PRAPERADILAN PASCA 4 PUTUSAN MK

dokumen-dokumen yang mirip
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 102/PUU-XIII/2015

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

MEDIA RELEASE DIREKTORAT JENDERAL PAJAK KEMENTERIAN KEUANGAN

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya, maka

Opening Statement. Mejelis Hakim yang mulia,

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,

Kompilasi Putusan Mahkamah Konstitusi dan Perubahan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA 28 /PUU-VIII/2010

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

PUTUSAN Nomor 16/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA,

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 67/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 41/PUU-XIII/2015

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-IX/2011

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIV/2016 Kewenangan Jaksa Agung Untuk Mengenyampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 42/PUU-VI/2008

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

PUTUSAN Nomor 80/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. Habiburokhman, S.H.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

DASAR HUKUM KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

PUTUSAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

BAB V KESIMPULAN. hanya dapat dilakukan satu kali saja. 1 Hal itu berarti putusan yang

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XIII/2015 Beban Penyidik untuk Mendatangkan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pidana

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1

BAB I PENDAHULUAN. yang diterapkan dapat sesuai dengan hukum positif dan nilai keadilan.

PUTUSAN Nomor 81/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

KUASA HUKUM Adardam Achyar, S.H., M.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Agustus 2014.

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 49/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-VIII/2010 Tentang Pengajuan Saksi Yang Meringankan Tersangka/Terdakwa ( UU Hukum Acara Pidana )

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan

PERMOHONAN PRAPERADILAN ATAS PENUNDAAN PELAKSANAAN PENETAPAN HAKIM DALAM PERKARA KESAKSIAN PALSU Desita Sari S.H dan Hesti Setyowaty

2011, No b. bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa, namun dalam pelaksan

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

PUTUSAN Nomor 102/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan

5. Kosmas Mus Guntur, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon V; 7. Elfriddus Petrus Muga, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon VII;

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 85/PUU-XIV/2016

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendahuluan sebelum pemeriksaan sidang di pengadilan. 1 Istilah praperadilan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi

KUASA HUKUM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Maret 2014.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

PUTUSAN Nomor 78/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 54/PUU-XV/2017 Remisi bagi Narapidana Korupsi

JURIDICAL ANALYSIS PREPROSECUTION MATTER ABOUT DEMAND FOR REHABILITATION TO ILLEGAL ARREST AND RESTRAINT (Verdict Number : 01/Pid.PRA/2002/PN.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 16/PUU-VIII/2010 Tentang UU Kekuasaan Kehakiman, UU MA dan KUHAP Pembatasan Pengajuan PK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 67/PUU-XIII/2015 Beban Penyidik untuk Mendatangkan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pidana

STANDARD OPERATING PROCEDURES (S.O.P) PENANGANAN PERKARA PIDANA ACARA BIASA PADA PENGADILAN NEGERI TENGGARONG

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017

Transkripsi:

PRAPERADILAN PASCA 4 PUTUSAN MK oleh : Dr.Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H. Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas MA Pengantar Ruang lingkup praperadilan sejatinya telah dibatasi dalam ketentuan Pasal 77 KUHAP, namun ternyata perkembangan hukum 5 (lima) tahun terakhir telah menerobos batas-batasan tersebut dan bahkan mendahului pembahasan Rancangan KUHAP. Perkembangan hukum merupakan wujud nyata dari implementasi teori resposif yang menguraikan hukum sebagai suatu sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi-aspirasi masyarakat. Perluasan ruang lingkup praperadilan khususnya mengenai penetapan tersangka telah dimulai sebelumnya keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014. Praktik praperadilan terkait penetapan tersangka, awal mulanya dapat ditemukan dalam Putusan Nomor : 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel. Adapun pertimbangan hukumnya ialah menghubungkan sah atau tidaknya penetapan tersangka dengan penahanan sebagai upaya paksa kemudian ditafsirkan makna alat bukti yang cukup dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP terhadap ketentuan Pasal 184 ayat (1) sehingga penetapan tersangka termasuk objek praperadilan namun mengenai penghentian penyidikan sebagai bagian dari penetapan tersangka dianggap bukan materi praperadilan. Praktik berikutnya diketahui melalui Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. Dalam pertimbangan putusannya, dilakukan uji kewenangan penyidik terhadap kedudukan tersangka selaku penegak hukum atau penyelenggara negara atau bukan keduanya. Adapun amar putusan menyatakan Surat Perintah Penyidikan yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penetapan aquo tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Kewenangan Praperadilan Penetapan Tersangka (Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014) Dalam Putusan MK tersebut, diputuskan bahwa ketentuan Pasal 77 huruf A KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Adapun salah satu pertimbangan hukumnya, penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenangwenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Putusan MK ini memberikan perlindungan terhadap seseorang yang mengalami proses hukum yang keliru pada saat ditetapkan sebagai tersangka. Di dalam ketentuan Pasal 8 UU 39/1999 tentang HAM diatur bahwa Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah. Hal ini berarti MK mengambil peran dalam pemenuhan hak asas manusia melalui putusannya sebagai bagian dari upaya responsif konstitusional. Salah satu unsur perlindungan hukum yang ditekankan melalui putusan ini adalah kepastian hukum bahwa penyidik harus melakukan tindakan penyidikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Setelah lahirnya Putusan MK ini, maka permohonan praperadilan atas penetapan tersangka memiliki landasan hukum untuk diajukan ke pengadilan namun terdapat karakteristik khusus pengajuan praperadilan terkait penetapan tersangka yakni 1).penetapan tersangka tidak sah karena pemeriksan saksisaksi, ahli, tersangka, penggeledahan, serta penyitaan dilakukan setelah penetapan tersangka sehingga tidak terpenuhinya 2 (dua) alat bukti, 2).permohonan praperadilan yang kedua kalinya mengenai penetapan tersangka tidak dapat dikategorikan sebagai ne bis in idem karena belum menyangkut

pokok perkara, 3).penetapan tersangka atas dasar hasil pengembangan Penyidikan terhadap tersangka lainnya dalam berkas berbeda adalah tidak sah. Membatasi Ruang Lingkup Hukum Materil Praperadilan (Putusan MK Nomor 109/PUU-XIII/2015) MK melalui Putusan Nomor 109/PUU-XIII/2015 menafsirkan makna penyidik independen KPK yang dijadikan sebagai alasan mengajukan permohonan praperadilan tidak sahnya penetapan tersangka. MK mempertimbangkan, bahwa ketika terdapat perbedaan antara UU 30/2002 dengan KUHAP perihal kedudukan penyidik, maka dalam menjalankan tugasnya KPK tetap terikat pada UU 30/2002 dan dapat mengesampingkan KUHAP sepanjang hal itu secara khusus diatur dalam UU 30/2002, sejalan dengan prinsip lex specialis derogat legi generalis. Selanjutnya, Mahkamah berpendapat penyidik KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU 30/2002 tidak harus hanya berasal dari institusi Kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP dan menurut Mahkamah, KPK memiliki kewenangan untuk mengangkat sendiri penyidiknya. Melalui putusan ini, MK menegaskan posisinya sebagai penafsir undang-undang dengan menghubungkan melalui menafsiran sistematis dengan prinsip kekhususan suatu undang-undang. Untuk menciptakan konsistensi sikap terhadap muatan menafsiran MK maka penyidik independen KPK sudah tidak eksis untuk dijadikan bagian dari permohonan praperadilan penetapan tersangka. Kesatuan hukum perlu dibangun untuk menghindari abuse of power untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Gugurnya Permohonan Praperadilan (Putusan MK Nomor 102/PUU-XIII/2015) Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa suatu

perkara sudah mulai diperiksa tidak dimaknai permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan. Melalui putusan ini pengertian perkara sudah mulai diperiksa dalam perkara praperadilan adalah pada saat pokok perkara disidangkan. Putusan MK ini akan menyelesaian perbedaan tasir para hakim pada saat menggugurkan permohonan praperadilan karena sebelumnya ada sebagian putusan praperadilan yang menggugurkan permohonan setelah berkas dikirim sebagaimana Putusan Nomor 02/Pid.Pra/2015/PN.Tdn. Adapun alasanya frasa sudah mulai diperiksa tidak diatur secara gramatikal (menurut tata bahasa) oleh KUHAP sehingga kualifikasi sudah mulai diperiksa ditafsirkan secara sistematis terhadap ketentuan Bab XVI Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan Bagian Ketiga Acara Pemeriksaan Biasa pada Pasal 152 KUHAP yang mengatur Dalam hal pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya, ketua pengadilan menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari sidang. Proses penunjukan hakim dan proses penetapan hari sidang dilakukan oleh hakim melalui proses pemeriksaan berkas perkara terlebih dahulu. Penyerahan SPDP (Putusan Nomor 130/PUU-XIII/2015) MK menyatakan penyampaian Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum akan tetapi juga terhadap terlapor dan korban/pelapor dengan waktu paling lambat 7 (tujuh) hari dipandang cukup bagi penyidik untuk mempersiapkan/menyelesaikan hal tersebut. Adapun alasan MK didasarkan pada pertimbangan bahwa terhadap terlapor yang telah mendapatkan SPDP, maka yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk penasihat hukum yang akan mendampinginya, sedangkan bagi korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas laporannya. Putusan ini memberikan ruang bagi tersangka melakukan praperadilan apabila pada saat berstatus sebagai terlapor belum menerima SPDP atau lewatnya waktu

7 (tujuh) hari penyerahan SPDP kepada terlapor saat itu. Acuannya adalah adanya prinsip due process of law yang harus dipenuhi. Due Process of law : The conduct of legal proceedings according to established rules and principles for the protection and enforcement of privat right, including notice and the right to a fair hearing beforing a tribunal with the power to decide the case (Black s law dictionary). Pemberitahuan dimulainya suatu proses hukum merupakan hak konstitusional yang dijamin pelaksanaannya oleh aparatur hukum sehingga SPDP sebagai bagian dari prosedur hukum perlu dipastikan pelaksanaannya. Penolakan terhadap alasan praperadilan karena telat mengirim SPDP sesuai dengan Putusan MK dapat diketahui melalui Putusan 71/Pid.Pra/2017/PN JKT.SEL dengan alasan apabila tidak didalilkan ke dalam permohonan berarti pemohon menganggap tentang surat pemberitahuan dimulainya penyidikan bukan perkara yang substansial sehingga alasan tersebut ditolak. Putusan ini merujuk pada formulasi permohonan praperadilan yang tidak memuat keberatan atas keterlambatan penyerahan SPDP melainkan diajukan pada kesimpulan. Penutup Perkembangan praperadilan melalui 4 Putusan MK mempengaruhi perubahan tahapan-tahapan prosedural hukum yakni terbukanya kewenangan mengajukan permohonan praperadilan penetapan tersangka, diakuinya kedudukan penyidik independen KPK, gugurnya permohonan praperadilan setelah berkas dikirim dan telah dimulai sidang pokok perkara serta kewajiban menyerahkan SPDP. Dalam hal penetapan tersangka juga terdapat karakteristik khusus yang akan selalu berkembang menyesuaikan prosedur yang berkeadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan serta diberlakukan pada zamannya karena tujuan hukum yang tidak berada pada zamannya sama saja dengan kesesatan.