Kateterisasi Jantung Koroner, Kapan Harus dilakukan?

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyakit jantung dan pembuluh darah telah menduduki peringkat pertama sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah salah satu manifestasi klinis

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan problem kesehatan utama yang

BAB I. Pendahuluan. I.1 Latar Belakang. Angina adalah tipe nyeri dada yang disebabkan oleh. berkurangnya aliran darah ke otot jantung.

Introduction to Cardiology and Vascular Medicine. Cardiology and Vascular Medicine

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Profesor Shahryar A. Sheikh, MBBS dalam beberapa dasawarsa terakhir

BAB 1 PENDAHULUAN. dan mortalitas yang tinggi di dunia. Menurut data World Health Organization

Tatalaksana Sindroma Koroner Akut pada Fase Pre-Hospital

BAB I PENDAHULUAN. data statistik yang menyebutkan bahwa di Amerika serangan jantung. oleh penyakit jantung koroner. (WHO, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindrom Koroner Akut (SKA)/Acute coronary syndrome (ACS) adalah

Informed Consent Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. paling sering adalah berupa angina pektoris stabil (Tardif, 2010; Montalescot et al.,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia membawa dampak

Manajemen Kardiak Pre-Operatif pada Pasien Pembedahan Non-Kardiak : Pendekatan Berbasis Individu dan Bukti Ringkasan

B A B I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) dengan penyakit kardiovaskular sangat erat

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang sangat menakutkan

BAB 1 PENDAHULUAN. darah termasuk penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, infark

BAB I PENDAHULUAN. Tahun Menular 64,49% 60,48% 50,72% 48,46% 44,57% Tidak Menular 25,41% 33,83% 43,60% 45,42% 48,53%

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. secara global, termasuk Indonesia. Pada tahun 2001, World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Mahasiswa mampu: 3. Melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan kateterisasi jantung

BAB 1 PENDAHULUAN. arrhythmias, hypertension, stroke, hyperlipidemia, acute myocardial infarction.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Peri-procedural myocardial injury pada multi vessel disease: Hubungan dengan skor SYNTAX.

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan masalah kesehatan dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi klinis akut penyakit

Glaukoma. 1. Apa itu Glaukoma?

Ns. Furaida Khasanah, M.Kep Medical surgical department

BAB I PENDAHULUAN. menimpa populasi usia di bawah 60 tahun, usia produktif. Kondisi ini berdampak

BAB 1 PENDAHULUAN. tersering kematian di negara industri (Kumar et al., 2007; Alwi, 2009). Infark

Penatalaksanaan Astigmatism No. Dokumen : No. Revisi : Tgl. Terbit : Halaman :

ANGINA PEKTORIS. dr. Riska Yulinta Viandini, MMR

B A B I PENDAHULUAN. negara-negara maju maupun berkembang. Diantara penyakit-penyakit tersebut,

BAB I PENDAHULUAN. memfokuskan diri dalam bidang life support atau organ support pada pasienpasien

BAB 1 PENDAHULUAN. angka morbiditas penderitanya. Deteksi dini masih merupakan masalah yang susah

BAB I PENDAHULUAN. di negara-negara barat. Penyakit jantung koroner akan menyebabkan angka

Penyumbatan Pembuluh Darah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. banyak dengan manifestasi klinis yang paling sering, dan merupakan penyebab

Penyakit Jantung Koroner

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah penyakit

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab nomor satu kematian di

ANGKA KEJADIAN SINDROMA KORONER AKUT DAN HUBUNGANNYA DENGAN HIPERTENSI DI RSUP H. ADAM MALIK, MEDAN PADA TAHUN 2011 KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. menempati peringkat ke-3 penyebab kematian setelah stroke dan hipertensi.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada saat ini penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian

BAB I PENDAHULUAN. utama pada sebagian besar negara-negara maju maupun berkembang di seluruh

sebesar 0,8% diikuti Aceh, DKI Jakarta, dan Sulawesi Utara masing-masing sebesar 0,7 %. Sementara itu, hasil prevalensi jantung koroner menurut

BAB I PENDAHULUAN. gangguan kesehatan yang semakin meningkat di dunia (Renjith dan Jayakumari, perkembangan ekonomi (Renjith dan Jayakumari, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PREVALENSI FAKTOR RESIKO MAYOR PADA PASIEN SINDROMA KORONER AKUT PERIODE JANUARI HINGGA DESEMBER 2013 YANG RAWAT INAP DI RSUP.

BAB I PENDAHULUAN. plak yang tersusun oleh kolesterol, substansi lemak, kalsium, fibrin, serta debris

Gambaran Jenis dan Biaya Obat pada Pasien Rawat Inap dengan. Sindroma Koroner Akut di Rumah Sakit Umum Pusat. Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2011

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit yang masih menjadi masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Jantung merupakan suatu organ yang berfungsi memompa darah ke

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner atau penyakit kardiovaskuler saat ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Aterosklerosis koroner adalah kondisi patologis arteri koroner yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jantung koroner yang utama dan paling sering mengakibatkan kematian (Departemen

BAB 1 PENDAHULUAN. terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit negara-negara industri (Antman

A. Latar Belakang Masalah

BAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS. kedokteran. : menerapkan ilmu kedokteran klinik pada sistem neuropsikiatri

BAB 1 PENDAHULUAN. fungsi aorta dan cabang arteri yang berada di perifer terutama yang memperdarahi

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Angina pektoris stabil adalah salah satu manifestasi. klinis dari penyakit jantung iskemik.

I. PENDAHULUAN penduduk Amerika menderita penyakit gagal jantung kongestif (Brashesrs,

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Kardiovaskuler adalah penyebab utama kematian pada orang

BAB 1 PENDAHULUAN. atau gabungan keduanya (Majid, 2007). Penyakit jantung dan pembuluh darah

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan pasien yang datang dengan Unstable Angina Pectoris. (UAP) atau dengan Acute Myocard Infark (AMI) baik dengan elevasi

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah

ABSTRAK GAMBARAN FAKTOR RISIKO PENDERITA PENYAKIT JANTUNG KORONER DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) atau di kenal dengan Coronary Artery

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DEFINISI OPERASIONAL Formulir Data Indonesia STEMI

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung. iskemik masih menduduki peringkat pertama di dunia

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia. Fenomena yang terjadi sejak abad ke-20, penyakit jantung dan UKDW

BAB 1 PENDAHULUAN. yang merajarela dan banyak menelan korban. Namun demikian, perkembangan

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Stroke atau cedera serebrovaskular adalah berhentinya suplai darah ke

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang utama adalah sesak napas dan rasa lelah yang membatasi

BAB I PENDAHULUAN. segmen ST yang persisten dan peningkatan biomarker nekrosis miokardium.

SKRIPSI. Diajukan oleh : Enny Suryanti J

BAB 4 HASIL. Hubungan antara..., Eni Indrawati, FK UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler memiliki banyak macam, salah satunya adalah

ABSTRAK GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR RISIKO PADA PASIEN GAGAL JANTUNG DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG PERIODE JANUARI-DESEMBER 2010

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

4. HASIL 4.1 Karakteristik pasien gagal jantung akut Universitas Indonesia

BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu penyakit tidak menular (PTM) yang meresahkan adalah penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. SL, Cotran RS, Kumar V, 2007 dalam Pratiwi, 2012). Infark miokard

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner. Kelebihan tersebut bereaksi dengan zat-zat lain dan mengendap di

Lampiran 1 LEMBAR PENJELASAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang kesehatan dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir

Transkripsi:

Kateterisasi Jantung Koroner, Kapan Harus dilakukan? dr. Isman Firdaus, SpJP(K), FIHA, FAPSIC, FAsCC, FESC, FSCAI hal. 02 edisi Tahun 2017 Ambroxol dan Bromhexin : Risiko Reaksi Alergi Berat (Anafilaksis) dan efek samping kulit berat (SCARS) Dra. Herawati, Apt, M. Biomed hal. 11 Managed Care Services Division obat@mandiriinhealth.co.id Bahaya Obat-obatan yang Mengandung Steroid Terhadap Mata Dr. dr. Virna Dwi Oktariana, SpM(K) Mandiri Inhealth telah terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan hal. 17

Kateterisasi Jantung Koroner, Kapan Harus dilakukan? Oleh : dr. Isman Firdaus, SpJP(K), FIHA, FAPSIC, FAsCC, FESC, FSCAI Akhir-akhir ini kateterisasi jantung menjadi salah satu modalitas penting dalam pengobatan dan tatalaksana penyakit kardiovaskular, dan bahkan telah berevolusi untuk tatalaksana di luar penyakit kardiovaskular. Kateterisasi (berasal dari kata cardiac catheterization, atau kateterisasi jantung dan disingkat menjadi kateterisasi) adalah tindakan memasukkan selang kecil (kateter) secara perkutan ke dalam pembuluh darah arteri dan atau vena dan menelusurinya hingga ke jantung, pembuluh darah lainnya dan atau organ lain yang dituju dengan bantuan sinar-x, bertujuan untuk diagnostik (mencari gangguan struktur dan atau fungsi pada pembuluh darah jantung, pembuluh darah lainnya, dan atau organ lain) dan atau terapetik (memperbaiki gangguan struktur dan atau fungsi pembuluh darah jantung, pembuluh darah lainnya, dan atau organ lain). Untuk tujuan terapetik, tindakan ini lazim disebut disebut prosedur intervensi invasif non-bedah atau intervensi kateterisasi perkutan. Angiografi Koroner Perkutan Angiografi koroner perkutan merupakan tindakan kateterisasi dengan menyemprotkan zat kontras ke dalam arteri koroner untuk melihat anatomi arteri koroner sehingga dapat mendeteksi ada atau tidaknya penyempitan (stenosis) yang dimonitor melalui sinar X. Gambar 1 menunjukkan gambaran skematik pembuluh koroner yang dilihat melalui kateterisasi. Angiografi arteri koroner merupakan tindakan baku emas dalam mendeteksi penyakit jantung koroner (PJK) yang dilakukan oleh seorang Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah. Indikasi angiografi koroner perkutan antara lain: 1. Pasien simptomatik dengan keluhan angina pektoris derajat 2-3 (CCS 2-3) disertai kelainan rekam listrik jantung EKG (elketrokardiografi) berupa depresi segmen ST atau inversi gelombang T pada minimal 2 lead yang berkaitan, atau pada pasien tanpa kelainan EKG pasca pemasangan ring koroner atau pasca CABG. Angina adalah rasa tidak nyaman atau nyeri dilokasi sub-sternum akibat iskemik miokard. Pada beberapa populasi pasien dengan keluhan angina dapat berupa rasa sesak nafas atau bahkan tanpa gejala. 2. Pasien asimptomatik, namun terdapat tanda-tanda iskemik dengan pemeriksaan treadmill test, atau pemeriksaan Nuklir/MRI, atau ditemukan gambaran hipokinesia miokard melalui ekokardiografi, atau terdapat gambaran lesi melalui pemeriksaan MSCT koroner. 3. Pasien asimptomatik dengan gambaran EKG gelombang Q, atau kelainan segmen ST dan gelombang T dengan risiko tinggi PJK seperti diabetes melitus, atau riwayat infark lama (pernah serangan jantung) 4. Pasien dengan angina tidak stabil atau angina progresif (CCS 3-4) dengan gambaran EKG abnormal atau normal. 5. Pasien yang akan menjalani operasi bedah jantung 6. Pemeriksaan noninvasif menunjukan hasil yang meragukan atau saling berlawanan. 7. Kalsifikasi berat dengan probabilitas menengah sedang yang terlihat dari CT Angiografi, pada pasien dengan gejala ringan dan tanpa gejala disarankan menjalani imaging stress test. Gambar 1. Anatomi Arteri Koroner skematik. 2 3

Perlindungan tenaga medis dan non medis meliputi kewaspadaan akan penyakit menular dan penggunaan alat perlindungan diri yang adekuat, metode pembuangan dan teknik disinfektan. Gambar 2. Gambaran angiografi koroner sebelum dan sesudah pemasangan stent pada tindakan intervensi koroner perkutan (IKP) Saat ini tidak ada kontraindikasi mutlak tindakan kateterisasi jantung, namun secara umum apabila fasilitas ruang dan peralatan tidak memadai sebaiknya tidak dilakukan. Komplikasi atau penyulit juga dapat terjadi pada tindakan kateterisasi antara lain cedera arteri koroner atau kejadian cedera pembuluh darah lainnya atau kejadian penyakit sistemik. Kejadian kardiovaskular mayor pada prosedur diagnostik sebesar kurang dari 1:1000 antara lain kematian, stroke, infark miokard dan iskemia yang membutuhkan bedah pintas koroner darurat termasuk dlaam kejadian kardiovaskular mayor. Komplikasi lain yaitu nefropati akibat kontras, perdarahan masif, komplikasi askes vaskular, hipotensi, aritmia, tamponade dan perforasi. Risiko tindakan makin meningkat pada pasien sindroma koroner akut, usia 75 tahun, gagal jantung, diabetes melitus, stenosis aorta, fungsi ventrikel kiri yang buruk, stenosis pada ketiga pembuluh darah kororner, riwayat kejadian serebral sebelumnya, obesitas, insufisiensi renal, suspek penyempitan di cabang utama dan hipertensi tidak terkontrol. Persiapan Kateterisasi Penjelasan perihal tindakan atau informasi kepada pasien sangat penting meliputi risiko, manfaat, alternatif terapi dan potensial yang diperlukan untuk prosedur lanjutan saat itu juga (adhoc atau standby PCI). Operator juga harus menjelaskan adanya potensial terjadinya pembedahan darurat. Persiapan : 1) Data laboratorium rutin meliputi hemoglobin, hitung jenis, elektrolit dan kreatinin yand didapat 2-4 minggu sebelum prosedur. 2) Prothrombin time bagi pasien dengan gangguan hati, hematologi dan yang mendapatkan warfarin. 3) Puasa tidak lebih dari 2 jam untuk clear liquid atau 6 jam setelah makan ringan. Hidrasi merupakan hal penting sbelum pemberian kontras. 4) Perempuan usia produktif harus menjalani tes beta-hcg serum atau urin dalam dua minggu sebelum prosedur. Hal ini diperlukan karena terdapat resiko minimal untuk janin berusia dua minggu gestasi. Intervensi Koroner Perkutan (IKP) Tujuan tindakan intervensi perkutan adalah menghilangkan tanda dan gejala iskemik koroner dan menurunkan resiko kematian akibat infark miokard akut. IKP juga harus disertai dengan terapi medikamentosa optimal setelah prosedur yaitu kontrol hipertensi dan diabetes, latihan fisik dan berhenti merokok. Penggunaan statin dalam pengelolaan lemak juga merupakan komponen penting. Indikasi 1. Intervensi koroner perkutan atau CABG (coronary artery bypass grafting) elektif dilakukan jika ditemukan bukti iskemik dari pemeriksaan penunjang non invasif (treadmill test, MSCT, Nuklir, MRI dan Echocardiografi) yang disertai lesi signifikan arteri koroner berdasarkan pemeriksaan angiografi koroner. 2. Kriteria lesi signifikan di LM (left main), LAD (left artery descending), LCx (left circumflex) dan RCA (right coronary artery): a. terdapat stenosis LM (left main) > 50%, b. terdapat stenosis LAD di osteal/proksimal >50%, c. terdapat stenosis LAD di mid-distal > 70%, d. terdapat stenosis LCx stenosis > 70% e. terdapat stenosis RCA stenosis >70%. 3. Pada lesi-lesi non signifikan yang dijumpai bukti adanya iskemia yang luas memerlukan pemeriksaan menggunakan FFR (flow fraction ration). Nilai FFR < 0,85 menunjukkan lesi signifikan. Pada tempat yang tidak memiliki fasilitas 4 5

FFR maka pemeriksaan iskemik stress test dapat membantu apakah lesi sebagai penyebab iskemik. 4. Indikasi CABG : Lesi panjang atau multiple stenosis (> 3 pembuluh koroner) dengan atau tanpa diabetes mellitus. 5. Pada kasus-kasus multivessel disease dimana CABG mempunyai risiko tinggi (Fraksi ejeksi > 35%, usia>75 tahun atau pembuluh distal kurang baik untuk grafting) maka dapat dilakukan IKP selektif dan bertahap (selective and Stagging PCI) dengan mempertimbangkan kondisi klinis pasien, lama radiasi, jumlah zat kontras dan lama tindakan. 6. IKP lanjutan dapat dikerjakan dalam kurun waktu 1-3 bulan kemudian jika kondisi klinis stabil. 7. IKP lanjutan harus dipercepat jika terdapat keluhan bermakna (simptomatik). 8. IKP primer (Primary PCI) wajib dilakukan pada kondisi akut seperti pada pasien serangan jantung sindroma koroner akut STEMI (ST elevasi myocardial infarction) dengan onset kurang dari 12 jam. 9. IKP dini (early PCI) yaitu tindakan intervensi koroner perkutan pada pasienpasien sindroma koroner akut dengan gambaran tanpa elevasi (Non-STEMI), atau pada angina pektoris tidak stabil yang masih mengalami angina (simtomatik). Kateterisasi pada pasien dengan Sindroma Koroner Akut (SKA) Pasien dengan Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS) dan infark miokard tanpa elevasi segmen ST akan mendapat manfaat mortalitas dan menurunkan angka reinfark melalui tindakan revaskularisasi. Strategi invasif dini harus diterapkan pada pasien iskemia berulang walaupun dengan terapi optimal, troponin yang meningkat, adanya depresi segmen ST baru, munculnya keluhan baru atau perburukan gagal jantung, fungsi ventrikel kiri yang memburuk, hemodinamik tidak stabil, takikardi ventrikel yang menetap dan adanya riwayat IKP atau operasi pintas koroner. IKP Primer harus dilakukan dalam waktu kurang dari 12 jam pada pasien infark miokard akut dengen elevasi segmen ST. Standar waktu yang diukur dalam tindakan IKP primer disebut door-to-balloon time (DTBT), yaitu waktu sejak pasien tiba di instalasi gawat darurat hingga dilakukan balonisasi intra koroner. DTBT yang diharapkan dalam pelaksanaan IKP primer adalah kurang dari 90 menit. IKP pasien sindroma koroner akut pada pasien tanpa elevasi (Non-STEMI) sebaiknya dilakukan dalam 48 jam atau durante perawatan di Rumah Sakit untuk menurunkan angka kematian. Pada akhir tindakan IKP akan di nilai lesi koroner pasca stenting atau balonisasi meliputi residual stenosis dan aliran flow koroner, aliran flow ini diukur dengan nilai TIMI flow 0 sampai dengan 3. TIMI 1-3 terdapat aliran, sedangkan TIMI 0 tidak ada alairan. Obat-obatan heparin sebelum tindakan dan obat anti platelet ganda berupa kombinasi oral aspirin 160 mg + cliopidogrel 600 mg atau aspirin 160 mg + ticaglerol 160 mg harus sudah diberikan sesuai dosis sebelum tindakan IKP. Pemilihan Stent Koroner Stent koroner digunakan lebih dari 90% prosedur IKP seluruh dunia. Stent koroner berperan sebagai perancah untuk diseksi arteri koroner, sehingga menurunkan insiden penutupan pembuluh darah dan operasi pintas koroner, menurunkan frekuensi restenosis dengen mencegah recoil arteri. Generasi kedua stent memiliki tingkat fleksiilitas yang tinggi, kemudahan penghantaran dan kemudahan akses cabang koroner. Gambar 3. Pemasangan stent koroner 6 7

Pada awal pengunaan stent koroner angka trombosis subakut cukup tinggi walaupun dengen terapi antitrombotik yang agresif. Trombosis subakut menghasilkan keadaan klinis yang berujung pada infark miokard, kematian atau revaskularisasi emergensi. Kejadian trombosis subakut semakin jarang (0.5%-1%) dengan digunakannya inflasi balon tekanan tinggi saat pemasangan stent dan dengan penggunaan antiplatelet ganda sebelum tindakan (gambar 3). Bare Metal Stent (BMS) digunakan hanya pada 10%-30% pasien yang menjalani IKP, paling sering karena ketidakmampuan mengonsumsi terapi antiplatelet ganda jangka panjang; pada pembuluh darah besar (>4 mm) dimana resiko stenosis nya rendah dan pada infark miokard akut. Kejadian restenosis dan angina berulang pada pemasangan BMS lebih sering terjadi dibandingkan dengan angioplasti balon. Drug Eluting Stent (DES) dikembangkan pada tahun 2000-an dengan komponen utama yaitu balon untuk mengembangkan stent, lapisan polimer yang membawa obat dan obat itu sendiri untuk menghambat hiperplasi intima. Stent ini telah terbukti pada pasien dengan lesi fokal dan de novo dengen diameter 2.5-3.5 mm dan panjang lesi 15-30 mm. Penelitian lain juga membuktikan manfaat DES untuk lesi panjang (>30 mm) dan pembuluh kecil (<2.5mm), oklusi total kronis,dan arteri mamari interna, restenosis in stent dan STEMI (ilustrasi gambar 4). Gambar 4. Stent Koroner Evaluasi medikamentosa pasca IKP Obat anti platelet ganda wajib dikonsumsi oleh pasien pasca pemasangan stent DES selama 1 tahun, sedangkan pada pemasangan BMS cukup 6 bulan saja. Obat-obatan rumatan oral yang wajib diberikan pada pasien pasca IKP antara lain aspirin 160 mg, clopidogrel 75 mg OD atau Ticagleror 90 BD, golongan statin, dan golongan beta bloker. Pada kondisi penurunan fungsi ventrikel kiri atau fraksi ejeksi kurang dari 40% maka memerlukan tambahan golongan penghambatan angiotensin. Obat-obatan terkait faktor risiko yang melekat perlu diberikan seperti diabetes mellitus dan hipertensi. Pemberian suplemen dan vitamin dilaporkan tidak memberikan manfaat dalam luaran klinis pada pasien-pasien PJK. Pasca pemasangan stent pasien memerlukan kontrol 1-2 minggu untuk evaluasi keluhan klinis dan pemeriksaan luka akses vaskular IKP. Jika kondisi stabil dan tidak ada keluhan yang bermakna maka pasien dapat kontrol dalam 3-4 bulan dengan dibekali obat-obatan antiplatelet ganda, beta bloker dan statin, serta obat kendali faktor risiko yang menyertai jika ada. Kontrol wajib dipercepat jika terdapat keluhan angina yang bermakna untuk dinilai apakah keluhan tersebut merupakan angina yang khas untuk terjadinya re-stenosis atau akut trombosis. Keluhan angina yang dicurigai suatu re-stenosis wajib dilakukan evaluasi angiografi koroner ulangan untuk memastikan patensi stent yang terpasang. Obat golongan clopidogrel atau ticagleror sebaiknya dihentikan setelah 1 tahun pemberian pasca pemasangan stent. Kesimpulan Angiografi arteri koroner perkutan merupakan baku emas dalam diagnosis penyakit jantung koroner. Angiografi arteri koroner diindikasikan secara kuat pada pasien dengan kecurigaan PJK berdasarkan keluhan, EKG, dan atau pemeriksaan pencitraan non invasif atau pemeriksaan stress test. Intervensi koroner perkutan (IKP) merupakan prosedur terapeutik revaskularisasi atau membuka aliran pembuluh darah koroner yang menyempit. Tindakan IKP bersifat life saving pada kasus-kasus sindroma koroner akut dan penyempitan kritis di pembuluh utama seperti Left Main dan LAD. Pemasangan Drug eluting stent (DES) pada tindakan IKP memiliki keunggulan dibanding Bare metal stent (BMS) dalam hal kejadian trombosis dan restenosis. 8 9

Pemberian obat-obatan antiplatelet ganda, golongan beta bloker dan statin merupakan satu kesatuan dalam tatalaksana pasien durante dan pasca pemasangan stent yang tidak bisa dipisahkan karena terkait dengan luaran terjadinya serangan jantung berulang dan kematian. Referensi 1. Buku Standar Laboratorium Kateterisasi Jantung, Perhimpunan Intervensi Kardiologi Indonesia-PERKI, 2017. 2. Buku Ajar Kardiovaskular FKUI, 2017 3. Firdaus I, dkk, Panduan Praktek Klinik dan Clinical Pathway PERKI 2016 4. Firdaus I, dkk, Panduan Praktek Klinik RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita 2017-2019. 5. Caluk J. Procedural Techniques of Coronary Angiography. InTech Europe. 2011. 6. Montalescot G, Sechtem U, Achenbach S, Andreotti F, Arden C, Budaj A, et al. 2013 ESC guidelines on the management of stable coronary artery diseasethe Task Force on the management of stable coronary artery disease of the European Society of Cardiology. European Heart Journal. 2013;34(38):2949-3003. 7. Kern MJ. Cardiac catheterization-- handbooks, manuals. Philadelphia: Saunders; 2011. 8. Bashore TM, Balter S, Barac A, Byrne JG, Cavendish JJ, Chambers CE, et al. 2012 American College of Cardiology Foundation/Society for Cardiovascular Angiography and Interventions Expert Consensus Document on Cardiac Catheterization Laboratory Standards Update: A Report of the American College of Cardiology Foundation Task Force on Expert Consensus Documents. Journal of the American College of Cardiology. 2012;59(24):2221-305. 9. King SB, Smith SC, Hirshfeld JW, Jacobs AK, Morrison DA, Williams DO, et al. 2007 Focused Update of the ACC/ AHA/SCAI 2005 Guideline Update for Percutaneous Coronary Intervention. A Report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines: 2007 Writing Group to Review New Evidence and Update the ACC/AHA/SCAI 2005 Guideline Update for Percutaneous Coronary Intervention, Writing on Behalf of the 2005 Writing Committee. 2008;117(2):261-95. Ambroxol dan Bromhexin : Risiko Reaksi Alergi Berat (Anafilaksis) dan efek samping kulit berat (SCARS) Oleh : Dra. Herawati, Apt, M. Biomed Ambroxol merupakan obat yang sering digunakan pada gangguan saluran pernapasan akut dan kronis, baik penggunaan untuk pasien dewasa maupun pasien anak di atas usia 2 tahun. Obat ini memiliki aktivitas meningkatkan sekresi saluran napas, meningkatkan produksi surfaktan paru dan menstimulasi aktivitas silier. Berbagai aksi ini menyebabkan peningkatan aliran dan transport mukus (bersihan mukosilier). Perbaikan sekresi cairan dan bersihan mukosilier memfasilitasi ekspektorasi dan memudahkan batuk. Ambroxol adalah senyawa benzylamine tersubstitusi, yang merupakan metabolit aktif N-desmethyl dari bromhexine1. Bromhexine sendiri juga merupakan obat yang bersifat mukolitik, yang banyak terkandung atau merupakan komponen dalam obat flu dan batuk. Berdasarkan hasil evaluasi keamanan terkini terhadap produk obat yang mengandung ambroxol disimpulkan bahwa terdapat risiko reaksi alergi berat (anafilaksis) dan efek samping kulit berat (SCARS) pada penggunaan ambroxol, seperti erythema multiforme, Stevens-Johnson syndrome (SJS) / toxic epidermal necrolysis (TEN) dan acute generalised exanthematous pustulosis (AGEP). Risiko ini dapat juga terjadi pada penggunaan obat flu dan batuk yang mengandung bromhexin karena bromhexin merupakan senyawa induk, yang di dalam tubuh akan dimetabolisme menjadi metabolit aktif ambroxol.2 Di Indonesia, ambroxol tersedia dalam bentuk sediaan tablet (30 mg), kapsul lepas lambat (75 mg), sirup (15mg/5 ml dan 30 mg/ 5 ml) dan drops (7,5 mg/ml). Namun demikian, saat ini ambroxol tidak tercantum dalam Formularium Nasional (Fornas 2015 dan adendum-nya). Walaupun tidak tercantum dalam Fornas, cukup banyak obat flu dan batuk yang mengandung bromhexin dan umumnya sediaan tersebut merupakan Obat Bebas Terbatas (OTC). 10 11

Laporan efek samping ambroxol atau bromhexin di Indonesia Selama periode tahun 2008 2014 terdapat 13 laporan efek samping berupa reaksi alergi kulit pada penggunaan produk obat mengandung ambroxol atau bromhexin yang dilaporkan ke Badan POM. Produk obat tersebut umumnya diberikan bersama obat lain dan efek samping yang dilaporkan yaitu Stevens- Johnson syndrome (1 kasus), epidermal necrolysis (1 kasus), makula eritema (4 kasus), urtikaria dan edema mulut (1kasus), rash maculopapular (5 kasus), vesikel (1 kasus), serta kemerahan pada tubuh, bengkak dan berdarah (1 kasus).2 Angka kejadian efek samping tersebut di Indonesia kemungkinan dapat lebih besar mengingat saat ini pelaporan efek samping penggunaan obat oleh tenaga kesehatan ke Badan POM belum menjadi mandatori. Kejadian efek samping ambroxol dan bromhexin pada pasien anak Analisis keamanan berdasarkan laporan kasus penggunaan amboxol dan bromhexin (sampai tahun 2014) untuk indikasi sekretolitik dengan fokus pada populasi anak usia 0-12 tahun telah dilakukan oleh Komite Farmakovigilans Uni Eropa (PRAC)1. Hasil analisis terhadap database obat inovator ambroxol menunjukkan bahwa dari total 3.876 laporan kasus, 383 (9,9%) laporan kasus dinyatakan serius. Kejadian fatal dilaporkan sebanyak 32 (0,8%) kasus. Dari total 3.876 kasus yang dilaporkan tersebut, sebanyak 371 (9,6%) kasus tidak diketahui usianya. Sedangkan untuk hasil analisis keamanan bromhexin yang dilakukan terhadap database obat inovator menunjukkan bahwa dari total 2.036 laporan kasus, 174 (8,5%) kasus adalah serius dan kejadian fatal dilaporkan sebanyak 17 (0,8%) kasus. Dari total 2.036 kasus yang dilaporkan tersebut, sebanyak 840 (41,3%) kasus tidak diketahui usianya. Tabel 1 dan Tabel 2 memperlihatkan jumlah total kasus dan karakteristik kasus per kelompok usia yang dilaporkan pada penggunaan obat inovator ambroxol dan bromhexin. Tabel 1. Total Case Count and Case Characteristics per Age Group for Originator Products Containing Ambroxol 12 6 to < 12 2 to < 6 0 to < 2 Number of cases 2,627 196 370 312 Number of cases in % of total cases with reported age 74,9% 5,59% 10,55% 8,9% Serious cases %* 10,62% 13,27% 8,11% 10,9% Health Professional confirmed cases in %* 83,87% 71,97% 54,01% 53,2% Cases including hospitalisation in %* 7,2% 9,18% 4,86% 6,09% Life-threatening cases in %* 1,64% 3,57% 2,7% 1,28% Fatal cases in %* 0,88% 0,51% 0% 1,92% * Of total cases reported per age group Tabel 2. Total Case Count and Case Characteristics per Age Group for Originator Products Containing Bromhexine 12 6 to < 12 2 to < 6 0 to < 2 Number of cases 825 64 170 137 Number of cases in % of total cases with reported age 69,98% 5,35% 14,21% 11,45% Serious cases %* 14,91% 7,81% 4,71% 3,65% Health Professional confirmed cases in %* 63,15% 40,63% 30,59% 29,93% Cases including hospitalisation in %* 9,46% 4,69% 2,94% 2,19% Life-threatening cases in %* 3,15% 1,56% 0% 0% Fatal cases in %* 1,21% 1,56% 0% 0% * Of total cases reported per age group Analisis lebih lanjut menyebutkan bahwa erythema multiforme pada penggunaan ambroxol terjadi lebih sering pada anak kelompok usia 6 - <12 tahun (4,08%) dibandingkan kelompok usia lainnya (0-1,08%). Demikian juga untuk kejadian Stevens-Johnsons Syndrome, dilaporkan lebih sering pada anak usia 6 - <12 tahun (2,55%) dibandingkan kelompok usia lainnya (0,81 0,98%). 12 13

Komunikasi informasi: safety alert dan pembatasan indikasi ambroxol Dengan adanya risiko reaksi alergi berat dan efek samping pada kulit yang berat, hal ini mendorong regulatori di bidang obat di banyak negara, termasuk Indonesia, melakukan kajian keamanan obat serta tindak lanjut regulatori untuk melindungi pasien pengguna obat. Dengan mempertimbangkan rasio manfaat-risiko pada penggunaan obat ambroxol, banyak negara tetap mengijinkan peredaran obat ini, namun dilakukan perbaikan informasi produk pada brosur obat serta melakukan komunikasi/diseminasi informasi kepada profesi kesehatan dan masyarakat. 2,3,4,5 14 January 2016 EMA/168579/2015 Ambroxol and bromhexine expectorants: safety information updated Risk of allergy and skin reactions included in the product information In this issue Bromhexine-containing cough and cold medicines risk of allergy and skin reactions Lercanidipine and cloudy peritoneal effluent in patients on peritoneal dialysis Medicine shortages information Marcain Spinal 0.5% Heavy and reports of failed or incomplete spinal anaesthesia Medicines Safety Update Volume 7, Number 3, June 2016 Di Indonesia sendiri, selain melakukan safety alert terkait risiko efek samping tersebut, juga membatasi indikasi/penggunaan ambroxol, dimana ambroxol tidak diindikasikan lagi sebagai sekretolitik pada pasien asma bronkial, dan memperjelas informasi risiko efek samping pada penggunaan ambroxol yang akan dicantumkan pada informasi produk obat (brosur/package insert). Perlu dipertimbangkan oleh dokter bahwa penggunaan ambroxol yang bersifat sebagai sekretolitik pada pasien asma bronkial akan menyebabkan pasien tidak berhenti memproduksi sekret sehingga inflamasi akan tetap terjadi. Selain itu, dalam pengobatan pasien menggunakan ambroxol, perlu dipahami oleh dokter bahwa apabila muncul gejala atau tanda ruam kulit yang progresif, biasanya berupa kulit melepuh atau terjadi lesi mukosa, obat harus segera dihentikan dan mencari saran medis yang tepat. Kesimpulan: 1. Ambroxol dan bromhexin sering digunakan sebagai sekretolitik pada pasien dewasa dan anak di atas usia 2 tahun yang mengalami gangguan saluran pernapasan. 2. Ambroxol jangan digunakan sebagai sekretolitik pada pasien asma bronkial. 3. Perlu diwaspadai bahwa terdapat risiko reaksi alergi berat (anafilaksis) dan efek samping kulit berat (SCARS) pada penggunaan ambroxol atau bromhexin, seperti erythema multiforme, Stevens-Johnson syndrome (SJS) / toxic epidermal necrolysis (TEN) dan acute generalised exanthematous pustulosis (AGEP). 4. Pada pengobatan menggunakan ambroxol atau bromhexin, apabila muncul gejala atau tanda ruam kulit yang progresif, biasanya berupa kulit melepuh atau terjadi lesi mukosa, obat harus segera dihentikan dan mencari saran medis yang tepat. On 18 November 2015, the CMDh 1 endorsed by majority vote recommendations to update the product information for ambroxol- and bromhexine-containing medicines with information about the small risk of severe allergic reactions and severe cutaneous adverse reactions (SCARs). The medicines are widely available in the EU for use as expectorants (to help clear mucus from the airways). The recommendations were originally made by EMA s Pharmacovigilance Risk Assessment Committee (PRAC), which confirmed the previously known risk of allergic reactions and also identified a small risk of SCARs, a group of skin conditions which include erythema multiforme and Stevens-Johnson syndrome. As a result, SCARs are now listed as side effects in the product information for these medicines, and patients are to stop treatment immediately if symptoms of SCARs occur. Reports of severe allergic reactions and SCARs in patients taking the medicines are rare, and the frequencies of these side effects are unknown. In making the recommendations, the PRAC evaluated available data on ambroxol and bromhexine, including reports of severe allergic reactions or SCARs. As the CMDh position was adopted by majority vote, it was sent to the European Commission, which endorsed it and issued an EU-wide legally binding decision. a small risk of severe cutaneous adverse reactions The TGA will be contacting other sponsors of (SCARs). SCARs include erythema multiforme, bromhexine-containing products to discuss including 14 Information to patients Stevens-Johnson syndrome and acute generalised similar information in their PI and CMI documents, if 15 There is a small risk of allergy and skin reactions with ambroxol and bromhexine used as expectorants to clear mucus in the airways. Bromhexine-containing cough and cold medicines risk of allergy and skin reactions Health professionals are advised that medicines containing bromhexine have been linked to a small risk of severe allergic reactions and severe skin reactions. This information is timely given the arrival of winter and influenza season. Bromhexine is contained in a number of over-thecounter cough and cold medicines as a mucolytic. As most of these are schedule 2 medicines, not all have Product Information (PI) or Consumer Medicines Information (CMI) documents. The TGA reviewed this issue after Europe s Pharmacovigilance Risk Assessment Committee (PRAC) confirmed the previously known risk of severe allergic reactions associated with bromhexine- and ambroxol-containing medicines and also identified exanthematous pustulosis. As a result of the PRAC s finding, in Europe, product information for these products is being updated with warnings regarding these potential adverse events Ambroxol is a metabolite of bromhexine, but it is not registered for use in Australia. The TGA has found that similar warnings to those being implemented in Europe are appropriate for bromhexine-containing medicines marketed here. As of 19 February 2016, 34 cases of hypersensitivity reactions, 10 cases of anaphylactic/anaphylactoid reactions and five cases of SCARs had been reported to the TGA. Twenty-nine of these cases could not be definitely linked with bromhexine because they involved products with multiple active ingredients or excipients, such as benzoates, which can also cause hypersensitivity, or had confounding factors. The current PI and package insert for the innovator brand, Bisolvon, already include a warning regarding anaphylactic reactions and skin reactions. they have them. In the meantime, health professionals are encouraged to advise patients who are using these products of the small risk of these potential adverse events and instruct them to stop using the medicine and seek Medicines Safety Update is the medicines safety bulletin of the Therapeutic Goods Administration (TGA)

Daftar Pustaka 1. European Medicines Agency, EMA s Pharmacovigilance Risk Assessment Committee (PRAC), Revised assessment report: Ambroxol and bromhexine containing medicinal products, EMA/PRAC/800767/2015. 2. Badan Pengawas Obat dan Makanan, Safety Alert: Ambroksol & Bromheksin dan Risiko Reaksi Alergi dan Reaksi Kulit yang Berat, 2016. 3. Badan Pengawas Obat dan Makanan, Safety Alert: Perbaikan Indikasi Ambroksol Hidroklorida, 2017. 4. European Medicines Agency, Ambroxol and bromhexine expectorants: safety information updated, risk of allergy and skin reactions included in the product information, EMA/168579/2015. 5. Therapeutic Goods Administration Australia, Bromhexine-containing cough and cold medicines risk of allergy and skin reaction, Medicines Safety Update, Volume 7, Number 3, 2017. Bahaya Obat-Obatan yang Mengandung Steroid Terhadap Mata Oleh : Dr. dr. Virna Dwi Oktariana, SpM(K) Steroid adalah senyawaan turunan hormon yang diproduksi oleh kelenjar adrenal. Salah satu hormon yaitu glukokortikoid diketahui memiliki efek anti radang dan kemampuan menekan sistem imun yang kuat. Jenis obatobatan yang termasuk dalam turunan ini antara lain: Deksametason, prednison, metil prednisolon, triamcinolon, flumetolon dan lain-lain. Kemampuan menekan reaksi radang dan reaksi imun menjadikan obat-obatan yang mengandung steroid ini banyak digunakan secara luas terutama untuk penyakitpenyakit yang terkait sistem kekebalan tubuh. Sebagaimana diketahui saat ini penyakit yang terkait dengan sistem kekebalan tubuh semakin banyak dijumpai, seperti lupus, artritis (radang sendi), dan lain-lain. Selain untuk penyakit-penyakit tersebut, obat golongan ini juga digunakan untuk mengatasi peradangan pasca operasi atau trauma berat lainnya. Obat yang mengandung steroid memiliki banyak sediaan, ada sediaan oral, injeksi, inhalasi dan topikal. Sediaan topikal dapat berupa obat tetes mata, salep dan krim. Obat oral dan injeksi memiliki efek sistemik pada seluruh tubuh, sedangkan inhalasi dan topikal memiliki efek yang lebih terbatas. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan obat topikal yang mempengaruhi sistem organ lain dalam tubuh. Efek obat steroid terhadap tubuh dipengaruhi oleh jenis steroid, sediaan obat, kekuatannya (efikasi), dan lama pemberian. Jenis steroid yang diketahui paling ringan efek anti radangnya adalah hidrokortison demikian pula efek sampingnya akan lebih ringan, namun penetrasinya dalam bentuk sediaan topikal sangat baik menembus kornea dibandingkan prednisolon. Oleh karena itu dalam pemberian obat steroid harus diperhatikan hal-hal seperti di atas. 16 17

Mekanisme kerja steroid dalam menekan reksi peradangan ada di tingkat selular dan humoral. Steroid menurunkan sel-sel radang yang aktif juga menghambat kerja enzim yang berperan dalam proses peradangan. Kedua hal ini antara lain yang menyebabkan steroid menjadi obat anti radang yang sangat baik. Kekuatan steroid dalam menekan reaksi radang dan sistem kekebalan tubuh berbanding lurus dengan efek samping yang dapat ditimbulkannya. Oleh karena itu dalam pemilihan obat-obatan tersebut selalu dipikirkan resiko dan manfaat dalam pemberiannya. Selain itu dalam penyakit yang berhubungan dengan kekebalan tubuh, steroid sering diberikan dalam jangka waktu yang panjang. Resiko dan manfaat yang ditimbulkan harus dapat diperhitungkan dengan sebaikbaiknya. Efek samping steroid pada mata yang terberat ada 2 yaitu glaukoma dan katarak. Glaukoma adalah penyakit yang berhubungan dengan kerusakan saraf mata (optik neuropati). Sementara katarak adalah kekeruhan pada lensa mata. Glaukoma karena pemberian steroid ini terjadi akibat peningkatan tekanan bola mata. Peningkatan tekanan bola mata dapat terjadi karena beberapa mekanisme. Salah satunya akibat sel radang menjadi tidak aktif. Steroid diketahui dapat menyebabkan sel-sel yang membersihkan debris seperti makrofag menjadi tidak aktif. Akibat sel tersebut tidak aktif akan terjadi akumulasi debris pada aliran keluar cairan bola mata. Akumulasi ini menyebabkan sumbatan sehingga cairan bola mata (aqueous humor) tidak dapat keluar dari dalam bola mata, sehingga tekanan dalam bola mata menjadi meningkat. Peningkatan tekanan bola mata ini akan menekan saraf mata dan apabila tidak diobati akan merusak saraf mata dan pada akhirnya dapat menyebabkan kebutaan. Peningkatan tekanan bola mata akibat pemberian steroid umumnya terjadi pada orang-orang yang sensitif terhadap steroid. Orang-orang ini disebut dengan high responder. Dari penelitian diketahui sekitar 30% populasi memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap steroid. Sehingga pemeriksaan tekanan bola mata secara berkala perlu dilakukan pada orang-orang yang mendapat terapi steroid jangka panjang. Peningkatan tekanan bola mata akibat steroid dipengaruhi oleh beberapa hal. yaitu: jenis steroid, cara pemberian, dosis dan lama pemberian. Semakin kuat efeknya semakin tinggi tekanan bola mata. Sebagai contoh Dexametason dan fluorometholon, dexametason memiliki potensi yang lebih besar dalam menekan reaksi peradangan dan sistem kekebalan tubuh, demikian pula efek peningkatan tekanan intraokular dibandingkan fluorometholon. Pemberian obat steroid juga memberikan efek yang berbeda. Pemberian topikal mempunyai efek yang lebih cepat dalam meningkatkan tekanan bola mata dibandingkan pemberian secara oral. Pemberian secara oral membutuhkan waktu yang lebih lama dalam meningkatkan tekanan intraokular. Apabila diketahui terjadi peningkatan tekanan intraokular akibat steroid, maka pengobatan sebaiknya dihentikan dan diberikan obat lain untuk menangani penyakit yang menyebabkan pemberian obat steroid tersebut. Apabila dengan penghentian obat, tekanan bola mata tetap tinggi maka pasien harus diberikan obat yang dapat menurunkan tekanan bola mata. Apabila efek steroid tersebut telah menetap di mata dan tidak dapat diturunkan dengan obat-obatan, maka diperlukan tindakan operasi untuk menurunkannya. Peningkatan tekanan bola mata dalam jangka waktu lama akan menyebabkan kerusakan saraf mata permanen dan pada akhirnya berujung pada kebutaan. Proses ini sering tidak disadari oleh pasien hingga keadaan gangguan yang berat, oleh karena itu pemberian steroid dalam jangka waktu lama harus dipantau oleh dokter. Komplikasi lain adalah katarak. Katarak bisa diketahui dari keluhan pasien yang merasakan penglihatannya menurun setelah pemakaian steroid dalam jangka waktu tertentu. Apabila katarak sudah terjadi maka tatalaksana terbaik adalah dengan melakukan operasi ekstraksi katarak. Sebagai penutup, steroid merupakan obat yang memiliki efek yang diperlukan dalam penanganan penyakit tertentu, namun efek sampingnya terhadap mata harus diperhatikan terutama pada pemakaian yang terus menerus atau berulang kali. Agar pasien tidak mengalami kebutaan atau gangguan penglihatan yang sebenarnya bisa dihindari dengan pemantauan yang baik. 18 19

Redaksi Pengarah/Penasehat Pemimpin Redaksi Redaktur Sekretaris : Direksi PT Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia : Kepala Divisi Managed Care Services : Kepala Departemen Obat dan Alkes : Staf Departemen Obat dan Alkes Kantor Pusat : Gedung Menara Palma, Lantai 20 Jl. HR. Rasuna Said, Blok X2 Kav. 6, Jakarta Selatan 12950 Telp. (021) 525 0900, Fax. (021) 525 0708 www.mandiriinhealth.co.id Kantor Operasional Mandiri Inhealth Kantor Operasional Balikpapan Jl. Jend. Achmad Yani No. 1 Rt. 17 Gunung Sari Ulu Balikpapan Telp. (0542) 424 115, 800 6118, 800 77900 Fax. (0542) 734 686 Kantor Operasional Bandung Jl. Bengawan No. 90 Bandung Telp. (022) 872 44476 / 706 23149 Fax. (022) 872 444 67 Kantor Operasional Denpasar Jl. Tukad Ganggan No. 3 Denpasar Telp. (0361) 233 844 Fax. (0361) 241 341 Kantor Operasional Jakarta Gedung Jaya Lt. 9 Suit 09-10 Jl. MH. Thamrin No. 12 Jakarta Pusat Telp. (021) 390 7037 Fax. (021) 390 7137 Kantor Operasional Makassar Gd. Fajar Graha Pena Lantai 17 Jl. Urip Sumohardjo No.20 Makassar Telp. (0411) 436 626 Fax. (0411) 421 331 Kantor Operasional Medan Komp. Golden Trade Center Jl. Gatot Subroto No. 19 Medan Telp. (061) 451 6574 Fax. (061) 452 1619 Kantor Operasional Palembang Jl. Basuki Rahmat No. 886-F 20 Ilir Kemuning Palembang Telp. (0711) 360 445 Fax. (0711) 357 647 Kantor Operasional Pekanbaru Komp. Perkantoran Sudirman Square City Jl. Jend. Sudirman Blok C No. 15 Pekanbaru Telp. (0761) 888 817 Fax. (0761) 789 1193 Kantor Operasional Semarang Jl. S.Parman No. 1a Semarang Telp. (024) 844 5957 Fax. (024) 845 6848 Kantor Operasional Surabaya Gedung Graha Pena Ext Lt.9 Room 902 Jl. A. Yani No. 88 Surabaya Telp. (031) 599 4444 Fax. (031) 599 0595