BAB I PENDAHULUAN UKDW. Salah satu kuman penyebab infeksi saluran cerna adalah Shigella, yang

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Salah satu kuman penyebab infeksi saluran cerna adalah Shigella, yang bermanifestasi klinis diare dengan darah (disentri). Secara umum, Shigella spp. bertanggung jawab untuk 5 dari 10 persen dari seluruh kasus diare dan 30 persen dari kasus disentri (Niyogi, 2005). Disenteri akibat Shigella mengakibatkan sebanyak 165 juta kasus yang umumnya terjadi di negara berkembang dan sebagian besar dari seluruh penderita adalah anak-anak di bawah umur lima tahun (WHO, 2006). Sebuah kajian kepustakaan untuk literatur dari tahun 1990 sampai 2009 menunjukkan bahwa sekitar 125 juta kasus shigellosis terjadi tiap tahunnya di Asia, dan sebanyak dari kasus mengakibatkan kematian (Bardhan dkk, 2010). Pada gejala ringan, disentri akibat Shigella dapat sembuh tanpa terapi khusus (self-limiting), tetapi pada kasus berat diperlukan terapi antibiotik untuk kesembuhan dan pencegahan kejadian berulang. Terapi antibiotik yang direkomendasikan akan berbeda-beda pada tiap daerah, hal ini didasarkan pada sensitivitas kuman terhadap antibiotik, resistensi yang berkembang, dan adanya efek samping yang timbul. Di tahun 1990, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan Ciprofloxacin sebagai obat pilihan utama untuk terapi empiris pada shigellosis karena tingginya tingkat resistensi terhadap antibiotika lain seperti Ampicillin, Chloramphenicol, Asam nalidiksat dan Co- 1

2 2 trimoxazole (Niyogi, 2007). Penggunaan Ciprofloxacin untuk pengobatan shigellosis ternyata berhasil baik dan sangat efektif, namun karena banyaknya penggunaan yang berlebihan (overuse) dan penggunaan yang tidak benar (misuse) membuat resistensi juga telah muncul pada Ciprofloxacin seperti agen antibiotik lainnya (Taneja, 2007). Ceftriaxone dan Azithromycin dipertimbangkan sebagai terapi alternatif ketika ditemukan resistensi terhadap Ciprofloxacin, namun kedua antibiotik ini memiliki keterbatasan karena, biaya yang mahal, resistensi yang dapat berkembang dengan cepat, dan terbatasnya data pada efikasi penggunaannya (WHO, 2005). Bersamaan dengan meningkatnya resistensi bakteri terhadap antibiotik, serta kesadaran akan masalah penyalahgunaan dan peresepan antibiotik yang berlebih, dalam beberapa dekade terakhir mulai bermunculan keinginan untuk mengembangkan kelompok obat lain selain antibiotika yang berguna untuk mengendalikan infeksi yang terjadi. Sejumlah bukti ilmiah menunjukkan bahwa tumbuh-tumbuhan herba memiliki kemampuan untuk mensintesa senyawa antimikroba sebagai mekanisme pertahanan diri terhadap gangguangangguan biotik, termasuk mikroorganisme (Cowan, 1999; Bednarek, 2012; Daglia, 2012). Sekitar 25 sampai 50 % farmasi yang berasal dari tanaman yang ada sekarang tidak digunakan untuk penggunaan antimikroba, hal ini menjadi alasan perlunya pengembangan riset dan penelitian lebih lanjut untuk tanaman dan tumbuhan yang memiliki potensi terapeutik. Bawang putih (Allium sativum L.) merupakan satu dari beberapa produk tanaman yang memiliki kemampuan antimikroba. Kandungan

3 3 metabolit sekunder, yaitu sulfoxide dan trepenoid pada bawang putih membuatnya dapat memiliki efek inhibisi terhadap beberapa tipe mikroorganisme, termasuk bakteri, protozoa, jamur, dan virus (Cowan, 1999; Taylor dkk, 1996; Hasegawa dkk, 1994). Penelitian mengenai efek antimikroba bawang putih sudah sejak lama diteliti, penelitian oleh di Cavallito dan Bailey tahun 1944 mengidentifikasi salah satu kandungan yang bersifat antimikroba pada bawang putih, yaitu diallyl thiosulfinate (alicin), yang kemudian diketahui sebagai sebuah inhibitor enzim sulphydryl metabolik yang berpengaruh terhadap struktur biokimia (SH-) kuman (Cellini dkk, 1996; Cavallito dkk, 1944; Wills, 1956). Kemudian penelitian berkembang meluas, efek antimikroba ini diujikan terhadap beberapa mikrooganisme, seperti Staphylococcus aureus (Huddleson dkk, 1944), Proteus sp., Escherichia coli, Salmonella sp. (Jezpwa dkk, 1966), Bacillus sp., Hafnia sp. (Sharma dkk, 1977), Mycobacterium spp. (Delhala dan Garagusi, 1985), Helicobacter pylori (Cellini dkk, 1996). Pada beberapa hasil penelitian menunjukkan aktivitas antimikroba bawang putih ternyata dapat menyamai kemampuan antibiotik spektrum luas, sehingga perlu dilkukan penelitian lebih lanjut terdahap mikroorganisme kausatif lain. Penelitian ini akan melihat sensitivitas S. flexneri terhadap ekstrak bawang putih, serta menentukan kadar hambatnya terhadap S. flexneri. Penelitian serupa mengenai efek antimikroba bawang putih terhadap organisme penyebab diare menunjukkan tidak ada isolat kuman yang resisten

4 4 terhadap bawang putih (Eja dkk, 2007) menjadikan bawang putih sebagai antimikroba yang poten. 1.2 Masalah penelitian 1. Apakah ada efek antimikroba ekstrak bawang putih (Allium sativum) terhadap pertumbuhan S. flexneri? 2. Apakah kenaikan efek antimikroba sebanding dengan kenaikan konsentrasi ekstrak bawang putih (Allium sativum)? 1.3 Tujuan penelitian 1. Mengetahui efek antimikroba ekstrak bawang putih (Allium sativum) terhadap pertumbuhan S. flexneri. 2. Mengetahui hubungan antara kenaikan konsentrasi ekstrak bawang putih (Allium sativum) dengan efek antimikroba. 1.4 Manfaat penelitian 1. Memberikan informasi untuk penelitian lebih lanjut mengenai sifat antimikroba ekstrak bawang putih (Allium sativum) terhadap kuman gastrointestinalis, terutama Shigella flexneri 2. Memberikan informasi bagi masyarakat mengenai manfaat tanaman bawang putih sebagai alternatif pengobatan disentri akibat Shigella 1.5 Keaslian penelitian Beberapa penelitian terdahulu mengenai bawang putih memberikan informasi lebih bagaimana mekanisme aksi inhibisi ekstrak bawang putih terhadap mikroorganisme penyebab penyakit sehingga memungkinkan untuk penelitian

5 5 yang lebih luas terhadap mikroorganisme penyebab penyakit terutama yang dianggap memiliki kepentingan dalam ilmu medis. Penelitian terdahulu dalam beberapa tahun terakhir telah meneliti kemampuan antimikroba bawang putih pada Escherichia coli (Ekwenye dan Elegalam, 2005; Eja dkk, 2007), Salmonella typhi (Ekwenye dan Elegalam, 2005), Proteus mirabilis (Eja dkk, 2007), Streptococcus mutans (Karina, 2015), Corynebacterium diphtheriae (Rahmanita, 2015), bahkan telah diujikan terhadap bakteri yang telah resisten terhadap antibiotik (Ataee dkk, 2016). Mengingat sensitivitas kuman di daerah satu dengan lainnya dapat menunjukkan gambaran yang berbeda, maka muncul keinginan untuk melakukan penelitian serupa. Penelitian ini akan meneliti efek antimikroba bawang putih terhadap S. flexneri sebagai perbedaan dari penelitian sebelumnya. Tabel 1. Keaslian penelitian Nama No. Peneliti, Tahun 1 Ekwenye, U.N. dan Elegalam, N.N Judul Metode Hasil Antibacterial Activity of Ginger (Zingiber Officinale Roscoe) and Garlic (Allium Sativum L.) Exctracts on Escherichia Coli and Salmonella typhi Kadar hambat minimum ditentukan dengan metode difusi cakram pada konsentrasi dalam rentang 32,25mg/ml sampai 100mg/ml Ekstrak aqueous bawang putih tidak menunjukkan efek inhibisi pada kedua mikroorganisme uji tetapi ekstrak aqueous jahe menghambat pertumbuhan S. typhi dengan diameter sebesar 8mm.

6 6 2 Eja, M. E. dkk, Karina, R A Comparative Assessment of the Antimicrobial Effect of Garlic (Allium sativum) and antibiotics on Diarrheagenic Organism Pengaruh Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans secara in vitro Uji sensitivitas dengan teknik difusi cakram metode Kirby-Bauer dilakukan pada E. coli, Shigella sp, Salmonella sp., dan Proteus mirabilis yang diisolasi dari tinja pasien. Ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 25%, 75%, dan 100% diuji aktivitas antibakterinya dengan metode disc diffusion. Analisis data dengan uji Kruskall-wallis dan uji Mann-Whiteney Sensitivitas E. coli dan Salmonella sp terhadap bawang putih membentuk zona hambat 14mm. Ampicillin merupakan yang paling kurang efektif terhadap semua organisme yang diujikan. Sensitivitas tertinggi terhadap bawang putih ditunjukkan oleh Shigella sp, sedangkan yang paling kurang sensitif adalah P. mirabilis. Zona hambat yang terbentuk pada konsentrasi 25%; 75%; 100% sebesar 8.33;10;12 mm

7 7 4 Rahmani ta, P., Saha, S. dkk, 2016 Uji Daya Antimikroba Eksrak Etanol Bawang Putih (Allium sativum L.) terhadap bakteri Corynebacterium diphtheriae secara In Vitro Anti-Bacterial effect of Aqueous Garlic Extract (AGE) determined by Disc Diffusion Method against Escherichia coli Menggunakan dilusi tabung dengan konsentrasi ekstrak bawang putih 100%, 50%, 25%, 12,5%, 6,25%, 3,125%, 1,56%, 0,78%, 0,39%, 0,19%, dan 0%. Analisis data menggunakan uji Kruskal-wallis dan Mann whitney yang dilanjutkan uji korelasi dan regresi Sifat antibakteri ditentukan dengan metode difusi cakram terhadap strain E. coli ATCC Kadar hambat minimum 1,56% dan kadar bunuh minimum 12,5%. Hasil uji Kruskalwallis (p=0.001) menunjukkan terdapat pengaruh perlakuan pemberian ekstrak etanol bawang putih terhadap jumlah bakteri. Hasil uji korelasi (r=-0.714) menunjukkan semakin tinggi konsentrasi ekstrak semakin menurunkan jumlah pertumbuhan bakteri dengan hubungan yang kuat. Zona inhibisi yang didapat secara berurutan adalah 4mm, 10mm, dan 20mm pada konsentrasi 25μg/μl, 50μg/μl, 100μg/μl.

8 8 6 Salim, H., Ataee, R. A. dkk, 2016 Pengaruh Aktivitas antimikroba Ekstrak Bawang putih (Allium sativum) terhadap bakteri Gram positif (Staphylococcus aureus) dan Gram negatif (Escherichia coli) Effect of Allium sativum Extract on Erythromycin and Methicillin Resistant Bacteria Isolated from Hospital Operating Room Ektrak bawang putih menggunakan pelarut akuades. Penentuan sifat antimikroba dengan metode cakram Kirby-bauer. Sensitivitas bantibiotik dilakukan dengan prosedur difusi sumuran dan mikro dilusi. Setiap strain bakteri dipaparkan pada ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 4, 8, 12, 16, 20 dan 24μg/ml Didapatkan rerata diameter zona hambat S. aureus 23.78mm dan E. coli 22.30mm. Berdasarkan hasil analisis Mann- Whitney didapatkan tidak ada perbedaan aktivitas antimikroba bawang putih antara bakteri gram positif dan bakteri gram negatif (p = 0.56). 70 (100%) strain dengan metode difusi sumuran sensitif pada konsentrasi 4-12μg/ml dengan MIC 8μg/ml. Sedangkan, hasil mikro dilusi menunjukkan 40 dari 70 strain memiliki MIC 12μg/ml.