RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR...TAHUN 2016 TENTANG HUKUM KELUARGA (FIQH MUNAKAHAT)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR...TAHUN 2016 TENTANG HUKUM KELUARGA (FIQH MUNAKAHAT)"

Transkripsi

1 1 RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR...TAHUN 2016 TENTANG HUKUM KELUARGA (FIQH MUNAKAHAT) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan negara mengakui dan menghormati satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang; b. bahwa Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menjelaskan Pemerintahan Aceh diberi kewenangan untuk melaksanakan keistimewaan Aceh dalam bentuk pelaksanaan syari at Islam; c. bahwa masyarakat Aceh dalam mengatur, membina dan melaksanakan hubungan keluarga mempunyai karakteristik tersendiri yang tidak dapat dipisahkan dengan Syariat Islam; d. bahwa hukum-hukum yang berkaitan dengan kekeluargaan yang sudah ada dan berlaku secara nasional belum mampu mengatur, membina, menjamin hak-hak dan menyelesaikan berbagai persoalan keluarga secara komprehensif di tengah-tengah masyarakat Aceh; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Qanun Aceh tentang Hukum Keluarga (Fiqh Munakahat). Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103); 3. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1974 Tahun 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019; 4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara

2 2 Nomor 5078) sebagaimana telah diubah kedua kali denganundang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5078); 5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3893); 6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 4633); 7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 nomor...; 9. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH dan GUBERNUR ACEH MEMUTUSKAN: Menetapkan : QANUN ACEH TENTANG HUKUM KELUARGA (FIQH MUNAKAHAT). BAB I KETENTUAN UMUM

3 3 Pasal 1 Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan: 1. Hukum keluarga adalah hukum yang mengatur hubungan keluarga dalam bidang pernikahan, perceraian, perwalian, hibah, wasiat, dan kewarisan. 2. Fiqh munakahat adalah ketentuan-ketentuan, norma-norma, kaidah-kaidah yang mengatur hubungan kekeluargaan dalam bidang pernikahan, perceraian, perwalian, hibah, wasiat, dan kewarisan. 3. Pernikahan adalah ikatan suci antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang sakinah, mawaddah, warahmah berdasarkan syariat Islam. 4. Nikah hamil adalah ikatan nikah yang dilakukan oleh seorang pria dengan wanita yang sedang hamil di luar nikah baik dikawini oleh pria yang menghamilinya maupun oleh pria yang bukan menghamilinya. 5. Nikah Mut ah adalah nikah yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita dengan mas kawin tertentu dalam waktu terbatas yang berakhir dengan habisnya waktu tersebut 6. Nikah Cina Buta adalah nikah antara seorang pria dengan wanita yang sudah ditalak tiga oleh suaminya untuk jangka waktu tertentu. 7. Nikah Tahlil (muhallil) adalah nikah antara seorang pria dengan wanita yang sudah di talak tiga sesudah lepas masa iddahnya atau sesudah digaulinya, kemudian ditalak lagi untuk menghalalkan untuk suami pertama. 8. Kafaah adalah kesetaraan antara seorang pria dengan wanita dalam keluarga. 9. Pencatatan Pernikahan adalah 10. Nikah Sirri adalah nikah yang dilakukan oleh seorang pria dengan wanita secara diamdiam dan terdaftar di Kantor Urusan Agama di tempat dilangsungkan perkawinan. 11. Nikah Dibawah Tangan adalah nikah yang dilakukan oleh seorang pria dengan wanita secara diam-diam dan tidak terdaftar di Kantor Urusan Agama di tempat dilangsungkan perkawinan. 12. Itsbat Nikah adalah permohonan pengesahan nikah yang diajukan ke Mahkamah Syar iyah untuk dinyatakan sahnya pernikahan dan memiliki kekuatan hukum. 13. Pembatalan nikah adalah pembatalan hubungan suami isteri setelah dilangsungkan akad nikah 14. Perjanjian Pernikahan adalah perjanjian yang dibuat antara seorang pria dengan seorang wanita sebelum dilangsungkan akad nikah. 15. Monogami adalah dalam waktu bersamaan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang wanita sebagai isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai dengan seorang pria sebagai suami. 16. Poligami adalah dalam waktu bersamaan seorang pria boleh menikahi lebih dari seorang wanita sebagai isteri dan tidak melebihi empat orang isteri. 17. Poliandri adalah dalam waktu bersamaan seorang wanita menikahi lebih dari seorang pria. 18. Badan Penasehat Pernikahan dan Perceraian adalah badan-badan yang dibentuk memediasi masalah Pernikahan dan Perceraian baik di tingkat Gampong dan Mukim 19. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah tindakan yang dilakukan di dalam rumah tangga, baik oleh suami, isteri, maupun anak yang berdampak buruk terhadap keutuhan fisik, psikis, dan keharmonisan dalam rumah tangga.

4 4 20. Putusnya Ikatan Nikah adalah berakhirnya hubungan suami isteri dalam sebuah rumah tangga. 21. Thalak adalah ikrar suami kepada isteri untuk memutuskan hubungan ikatan nikah dengan alasan yang diterima secara syar i. (Thalak 1, 2, 3) 22. Gugat Cerai adalah gugatan isteri untuk memutuskan hubungan ikatan nikah dengan suaminya 23. Fasakh adalah membatalkan ikatan perkawinan melalui kuasa qadhi atau hakim syar i karena suatu sebab atau kecacatan yang ada pada suami atau isteri. 24. Khulu adalah salah satu bentuk pemutusan hubungan nikah yang dapat digunakan oleh isteri dengan cara membayar ganti rugi (tebusan) kepada suaminya sehingga suaminya. 25. Illa adalah salah satu bentuk pemutusan hubungan nikah berupa sumpah suami dengan menyebut nama Allah untuk tidak mendekati isterinya selama jangka waktu 4 (empat) bulan atau lebih. 26. Li an adalah salah satu bentuk pemutusan hubungan nikah berupa ucapan tertentu yang digunakan suami untuk menuduh isteri melakukan perbuatan yang mengotori dirinya atau berzina. 27. Zhihar salah satu bentuk pemutusan hubungan nikah berupa perkataan suami yang mengharamkan isterinya bagi dirinya dengan menyerupakan keharamannya seperti ibunya atau saudara perempuannya atau mahramnya. 28. Syiqaq adalah salah satu bentuk pemutusan hubungan nikah dikarenakan adanya perseteruan terus menerus dari suami isteri yang sulit didamaikan. 29. Ta lik Thalaq adalah salah satu bentuk pemutusan hubungan nikah dikarenakan pelanggaran atas ucapan atau janji yang telah diucapkan suami setelah ijab kabul. 30. Cerai Putusan Pengadilan adalah salah satu bentuk pemutusan hubungan nikah dikarenakan putusan pengadilan. 31. Itsbat Thalak adalah permohonan pengesahan cerai/thalak yang diajukan ke Mahkamah Syar iyah untuk dinyatakan sahnya perceraian dan memiliki kekuatan hukum. 32. Iddah adalah masa tunggu bekas isteri untuk melangsungkan perkawinan berikutnya dalam jangka waktu yang telah ditentukan oleh syara. 33. Ruju adalah pernyataan suami untuk kembali kepada isterinya dalam membina mahligai rumah tangga dalam masa iddah. 34. Nafkah adalah kewajiban suami dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. 35. Nafkah Iddah adalah kewajiban bekas suami kepada bekas isteri selama masa iddah. 36. Qiswah adalah nafkah pemberian bekas suami kepada bekas isteri dalam waktu-waktu tertentu. 37. Maskan adalah penyediaan tempat tinggal bekas isteri oleh suami yang layak selama masa iddah. 38. Hadhanah adalah tanggung jawab orang tua terhadap nafkah untuk kelangsungan hidup anak sampai anak dewasa. 39. Harta bawaan adalah harta yang dimiliki oleh suami atau isteri yang diperoleh sebelum pernikahan berlangsung. 40. Harta bersama adalah harta yang diperoleh dan dimiliki oleh suami isteri selama perkawinan. 41. Harta anak adalah harta yang dimiliki oleh anak baik yang berasal dari pemberian maupun dari hasil jerih payah anak. 42. Anak kandung adalah anak yang dilahirkan dari suatu pernikahan yang sah. 43. Anak tiri adalah anak suami atau anak isteri yang dilahirkan dari pernikahan sebelumnya.

5 5 44. Anak angkat adalah anak yang dilahirkan dalam keluarga lain dan mendapatkan pengasuhan oleh orang tua angkat. 45. Anak sesusuan adalah anak yang dilahirkan oleh keluarga lain dan disusui oleh ibu susuan. 46. Anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah. 47. Perwalian adalah suatu perbuatan mengurus kepentingan orang lain. 48. Wali adalah seseorang yang dipilih untuk menjadi wakil atas dirinya atau orang lain terhadap hal-hal yang diwakilinya. 49. Mumayyiz adalah anak yang belum mencapai umur 10 (sepuluh) tahun. 50. Warisan adalah pengalihan harta peninggalan pewaris kepada ahli waris karena pewaris meninggal dunia. 51. Pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia. 52. Ahli Waris (Ashabah) adalah orang yang berhak untuk menerima harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. 53. Mafquth adalah bagian harta waris bagi ahli waris yang dianggap hilang. 54. Hibah adalah pemberian harta oleh pemiliknya secara sukarela kepada orang lain sebelum pemberi hibah meninggal dunia dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syara. 55. Wasiat adalah pemberian harta oleh pemiliknya kepada orang lain secara sukarela, baik dalam bentuk rahasia maupun dalam bentuk terang-terangan yang dilaksanakan setelah pemberi wasiat meninggal dunia. 56. Wasiat Wajibah adalah wasiat yang dalam pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak yang meninggal dunia. 57. Sengketa adalah perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara orang per seorangan dalam hubungan kekeluargaan mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau penggunaan harta benda dan atau hak dan kewajiban. 58. Konflik adalah perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara satu pihak dengan pihak lain dan atau antara satu keluarga dengan keluarga yang lain mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau penggunaan harta benda dan atau hak dan kewajiban. 59. Perkara adalah sengketa dan atau konflik mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau penggunaan harta benda yang dilakukan melalui Badan Peradilan 60. Penyelesaian Sengketa adalah proses penyelesaian perselisihan atas sengketa dan atau konflik yang dilakukan melalui non-litigasi dan atau proses litigasi. 61. Sanksi adalah tanggungan berupa tindakan dan atau hukuman untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan yang diatur dalam qanun ini. 62. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. 63. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Mahkamah Syar iyah, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. 64. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. 65. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.

6 6 66. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. 67. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. 68. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. 69. Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Mahkamah. 70. Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan. 71. Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selamalamanya guna kepentingan ibadat atau kerpeluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. 72. Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya. 73. Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda miliknya. 74. Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak uang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam. 75. Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf. 76. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang selanjutnya disingkat PPAIW adalah petugas pemerintah yang diangkat berdasarkan peraturan peraturan yang berlaku, berkwajiban menerima ikrar dan wakif dan menyerahkannya kepada Nadzir serta melakukan pengawasan untuk kelestarian perwakafan. 77. Pejabat Pembuat Ikrar Wakaf diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama. BAB II ASAS, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM KELUARGA Pasal 2 Hukum keluarga dilaksanakan berdasarkan asas: a. Keislaman; b. Keadilan; c. Kemanfaatan; d. Kapastian hukum; e. Musyawarah; Pasal 3 Hukum keluarga bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia, kekal, berdasarkan nilai ilahiyah serta untuk memberikan kepastian hukum;

7 7 Ruang lingkup Hukum Keluarga meliputi: a. Perkawinan; b. Perceraian; c. Anak; d. Harta; e. Hadanah; f. Warisan; g. Hibah; h. Wasiat; i. Wakaf. Pasal 4 BAB III PERKAWINAN Bagian Kesatu Dasar-Dasar Perkawinan Pasal 5 Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan khalidan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pasal 6 Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. Pasal 7 Perkawinan dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam. Bagian Kedua Pencatatan Perkawinan Pasal 8 (1)Untuk terjamin ketertiban perkawinan, maka setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah yang berwenang. (3) Untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. (4) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 8 (1) Setiap orang dilarang melangsungkan perkawinan di luar pengawasan Pegawai pencatat Nikah.

8 8 (2) Pernikahan dan pencatatan perkawinan dilarang dilakukan oleh orang yang tidak berwenang. (3) Pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) akan dikenakan sanksi denda. Pasal 9 (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah pda Kantor Urusan Agama. (2) Selain akta nikah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dijadikan bukti perkawinan. (3) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Mahkamah Syar iyah. (4) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Mahkamah Syar iyah terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : (a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; (b) Hilangnya Akta Nikah; (c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; (d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan; (e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan; (5) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. (6) Pengajuan itsbat nikah, terhadap nikah diluar pengawasan pegawai pencatat nikah yang terjadi setelah berlaku Qanun ini tidak menghilangkan sanksi denda. Bagian Ketiga Peminangan Pasal 10 (1) Dalam satu perkawinan, sebelum dilangsungkan akad nikah, didahului oleh acara peminangan. (2) Peminangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, dapat juga dilakukan oleh orang tua/keluarga dekat atau dapat pula dilakukan oleh perantara yang dipercaya. Pasal 11 (1) Peminangan hanya dapat dilakukan terhadap wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya. (2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj iah, haram dan dilarang untuk dipinang. (3) Peminangan terhadap janda yang bercerai dengan suaminya, hanya dibenarkan terhadap janda yang telah jelas status perceraiannya yang dibuktikan dengan Putusan Mahkamah Syar iyah.

9 9 (4) Peminangan dilarang meminang wanita yang sedang dipinang oleh pria lain, kecuali pinangan tersebut sudah putus. (5) Putusnya pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan putusnya hubungan pinangan dari pihak pria baik dinyatakan dengan tegas atau meninggalkan wanita yang dipinang selama 6 (enam) bulan berturut-turut tanpa berita. Pasal 12 (1) Peminangan dilakukan dengan memberikan tanda oleh pihak pria kepada pihak wanita yang dipinang. (2) Tanda Peminangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memberikan cincin emas dalam jumlah tertentu atau bentuk lainnya sebagai tanda ikatan oleh pihak pria kepada wanita. (3) Pemberian tanda peminangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah mempunyai akibat hukum. (4) Wanita yang sudah dipinang wajib memakai cincin atau tanda lain pinangannya. (5) Setiap pria maupun wanita yang sudah terikat pinangan wajib menjaga etika dalam pergaulan. Pasal 13 (1) Apabila pria yang sudah mengikat hubungan pinangannya memutuskan hubungan pinangan, akibat hukumnya cincin emas atau bentuk lainnya sebagai tanda yang telah diberikan kepada wanita tidak dapat diminta kembali. (2) Apabila seorang wanita yang sudah terikat hubungan pinangan memutuskan hubungan pinangannya, akibat hukumnya cincin emas atau bentuk lainnya yang telah diberikan oleh pihak pria harus dikembalikan atau sesuai dengan diperjanjikan atau sesuai hasil musyawarah. (3) Selama ikatan pinangan para pihak bebas memutuskan hubungan pinangan. (4) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan cara-cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama, adat istiadat dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai. Bagian Keempat Persiapan Pernikahan Pasal 14 (1) Setiap pasangan yang akan melangsungkan akad nikah, wajib mempersiapkan diri untuk dapat dinikahkan. (2) Calon pasangan mempelai wajib mengikuti bimbingan atau kursus perkawinan yang diadakan oleh Dinas Syari at Islam Kabupaten-Kota/Kantor Urusan Agama Kecamatan dalam wilayah tempat tinggalnya. (3) Dinas Syari at Islam Kabupaten-Kota/Kantor Urusan Agama Kecamatan wajib menyelenggarakan bimbingan atau kursus perkawinan untuk calon pasangan mempelai sebelum akad nikah. (4) Bimbingan perkawinan atau kursus dibuat secara terencana dan terstruktur dengan materi berkaitan dengan hukum Islam, akhlak, hukum perkawinan, adat istiadat dan budaya yang berkaitan dengan pembentukan sebuah rumah tangga.

10 10 (5) Materi bimbingan atau kursus harus dibuat oleh Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh yang dikirim kepada seluruh Kantor Urusan Agama dalam Provinsi Aceh. (6) Pada akhir bimbingan atau kursus dibuat ujian sebagai evaluasi untuk mengetahui sejauh mana para peserta bimbingan atau kursus sudah memahami materi yang disajikan. (7) Peserta yang tidak bisa tulis baca ujian dibuat secara lisan; (8) Kepada peserta bimbingan atau kursus yang lulus evaluasi akhir diberikan sertifikat sebagai bukti telah mengikuti bimbingan atau kursus perkawinan. (9) Bagi pasangan colon mempelai yang membutuhkan perlakuan khusus wajib disediakan pendampingan. Pasal 15 (1) Sebelum melangsungkan akad nikah pasangan calon mempelai di samping kewajiban mengikuti bimbingan atau kursus perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 juga wajib melakukan tes NAPZA, tes HIV/AIDS dan tes kehamilan bagi calon mempelai perempuan. (2) Apabila salah satu dari calon mempelai terindikasi ada penyakit HIV/AIDS dan NAPZA sedangkan yang lainnya tidak terindikasi HIV/AIDS dan NAPZA tidak boleh dinikahkan. (3) Apabila kedua-dua calon mempelai sama-sama terjangkit penyakit HIV/AIDS dan NAPZA boleh dinikahkan; (4) Apabila calon mempelai wanita hasil tes menunjukkan ada kehamilan akibat hubungan bebas antara keduanya, maka boleh dinikahkan untuk menentukan hubungan biologis dan hubungan keperdataan antara anak dengan orang tuanya; (5) Setelah lahir anak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pasangan tersebut harus dinikahkan kembali untuk kesucian terhadap anak-anak yang lahir selanjutnya. (6) Apabila calon mempelai wanita hasil tes menunjukkan ada kehamilan akibat hubungan bebas dengan orang lain atau pemerkosaan, maka tidak boleh dinikahkan hingga melahirkan. Bagian Kelima Persyaratan Perkawinan Pasal 16 (1) Untuk dapat melangsungkan pernikahan sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (1) wajib dilampirkan syarat-syarat sebagai berikut: a. calon mempelai pria sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun; b. calon mempelai wanita sekurang-kurangnya berusia 19 (sembilan belas) tahun; c. Akte kelahiran atau alat bukti lain yang sah; d. sertifikat telah lulus bimbingan atau kursus perkawinan; e. surat keterangan tes kesehatan yang terdiri dari: kehamilan, keperawanan, bebas HIV/AIDS, tes NAPZA dari RSUD setempat; (2) Tes keperawanan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf e hanya diperuntukkan bagi calon mempelai perempuan yang akan menikah pertama kali. (3) Tes bebas HIV/AIDS dan NAPZA juga berlaku untuk calon mempelai pria.

11 11 (4) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b untuk melangsungkan perkawinan harus mendapat izin dari orang tua/wali. (5) Pegawai Pencatat Nikah dilarang menikahkan pasangan calon mempelai yang belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud ayat (1). (6) Apabila Pegawai Pencatat Nikah menikahkan pasangan calon mempelai yang belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud ayat (1), dikenakan sanksi. Pasal 17 (1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. (2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas, dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat, dapat juga berupa diam selama tidak ada penolakan yang tegas. Pasal 18 (1) Sebelum dilangsungkan akad nikah, Pegawai Pencatat Nikah atau yang mewakilinya yang ditunjuk menanyakan terlebih dahulu persetujuan calon mempelai dihadapan dua orang saksi. (2) apabila perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai, akad nikah perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. (3) Bagi calon mempelai yang menderita tunadaksa atau kekurangan lainnya persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. (4) Akad nikah akan dilangsungkan apabila tidak ada terdapat halangan perkawinan. BAB IV RUKUN PERKAWINAN Pasal 19 Untuk melaksanakan perkawinan, harus memenuhi rukun yang meliputi: a. calon suami; b. calon isteri; c. wali nikah; d. dua orang saksi; e. ijab dan kabul; Bagian Kesatu Calon Suami dan Calon Isteri Pasal 20 (1) Calon suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a, yaitu: a. harus jelas pria; b. beragama Islam; c. tidak beristeri lebih dari empat;

12 12 (2) Calon Isteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b, yaitu: a. harus jelas perempuan; b. beragama Islam; c. tidak sedang dalam pinangan orang lain; d. tidak berstatus sebagai isteri orang lain. Bagian Kedua Wali Nikah Pasal 20 (1) Wali nikah dalam pelaksanaan akad nikah merupakan rukun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c, harus memenuhi syarat hukum Islam yaitu laki-laki, muslim, adil, aqil dan baligh. (2) Adapun wali nikah sebagaimana dimaksud ayat (1) terdiri atas: a. Wali nasab; b. Wali hakim. Paragraf 1 Wali Nasab Pasal 21 (1) Wali nasab sebagaimana dimaksud Pasal 21 ayat (2) huruf a, terdiri dari 4 (empat) kelompok sesuai dengan urutan kedudukannya sebagai berikut: a. Kelompok pertama adalah kerabat laki-laki garis lurus ke atas yaitu ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya; b. Kelompok kedua adalah kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki; c. Kelompok ketiga adalah kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki; d. Kelompok keempat adalah saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki. (2) Kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. (3) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali adalah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. (4) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali adalah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah, (5) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama derajat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. Pasal 22 Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tunadaksa atau kekurangan lainnya, maka

13 13 hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut dekatnya derajat berikutnya. Paragraf 2 Wali Hakim Pasal 23 (1) Apabila calon mempelai perempuan tidak mempunyai wali nasab sebagaimana dimaksud Pasal 21, maka wali nikahnya bergeser kepada wali hakim. (2) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila: a. wali nasab tidak ada; atau b. tidak mungkin menghindarkannya; atau c. wali nasab tidak diketahui tempat tinggalnya. (3) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Mahkamah Syar iyah tentang wali tersebut. (4) Akad nikah dilarang dilangsungkan tanpa ada wali nikah. (5) Akad nikah yang dilakukan tanpa ada wali menyebabkan akad nikah tersebut tidak sah. Bagian Ketiga Saksi Nikah Pasal 24 (1) Setiap pernikahan harus mempunyai saksi nikah. (2) Saksi dalam akad nikah merupakan rukun pelaksaan akad nikah. (3) Setiap pelaksanaan akad nikah harus disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat. (4) Syarat untuk menjadi saksi dalam akad nikah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu: a. laki-laki muslim; b. adil; c. aqil baligh; d. tidak terganggu ingatan; dan e. tidak tunadaksa. (5) Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung, mendengar ucapan ijab qabul dalam aqad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan. (6) Akad nikah dilarang dilangsungkan tanpa ada saksi. (7) Akad nikah yang dilakukan tanpa ada saksi menyebabkan akad nikah tersebut tidak sah. Bagian Kelima Akad Nikah dan Ijab Qabul Pasal 26 (1) Akad nikah dapat dilakukan di Mesjid, Kantor Urusan Agama, rumah calon mempelai wanita, rumah calon mempelai pria atau tempat lain yang tidak mengurangi makna pernikahan dan nilai-nilai islami.

14 14 (2) Akad nikah dapat dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nasab yang bersangkutan. (3) Wali nasab dapat mewakilkan kepada Pejabat Pencatat Nikah atau kepada orang lain yang memenuhi persyaratannya menurut hukum Islam. Pasal 27 (1) Ijab qabul dalam akad nikah dilakukan oleh wali calon mempelai wanita dengan calon mempelai pria di hadapan Penjabat Pencatat Nikah dan disaksikan oleh dua orang saksi. (2) Ijab dan qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas berurutan dan tidak berselang waktu. (3) Saksi wajib meminta kepada wali nikah atau qadhi nikah untuk mengulangi ijab dan qabul bila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 28 (1) Yang berhak mengucapkan qabul adalah calon mempelai pria secara langsung. (2) Dalam hal tertentu ucapan qabul dalam akad nikah dapat diwakilkan kepada orang lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa secara khusus dan tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu untuk dirinya. (3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan. BAB V MAHAR Pasal 29 (1) Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita. (2) Jumlah, bentuk dan jenis mahar sebagaimana dimaksud ayat (1) ditentukan dan disepekati oleh kedua belah pihak dengan melibatkan orang tua atau wali dari masingmasing pihak. (3) Penentuan mahar sebagaimana dimaksud ayat (2) didasarkan pada azas kesederhanaan dan kemudahan sesuai dengan tuntunan syariat Islam. (4) Mahar diberikan oleh pihak calon mempelai pria kepada pihak calon mempelai wanita. (5) Mahar yang sudah diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan kepada calon mempelai wanita menjadi hak pribadinya. (6) Mahar dapat diserahkan dengan cara tunai atau cicilan atau ditangguhkan. (7) Apabila calon mempelai wanita menyetujui penyerahan mahar tidak sekaligus, dapat ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. (8) Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi utang calon mempelai pria dan wajib ditunaikan sesuai yang disepakati. (9) Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan.

15 15 (10) Kelalaian menyebut jumlah dan jenis mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. (11) Mahar yang masih terutang tidak mengurangi sahnya akad nikah. (12) Penggunaan mahar untuk kebutuhan kanduri atau kebutuhan lainnya untuk keperluan mempelai dibenarkan sepanjang adanya persetujuan calon mempelai wanita. Pasal 30 (1) Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, maka mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang. (2) Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, diselesaikan dengan musyawarah. (3) Apabila musyawarah sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak tercapai, penyelesaian diajukan ke Mahkamah Syar iyah. Pasal 31 (1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, namun calon mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas. (2) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami wajib menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. (3) Selama penggantinya belum diserahkan, mahar masih dianngap belum terbayar. Pasal 31 (1) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam aqad nikah. (2) Apabila suami meninggal qobla al dukhul seluruh mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh isterinya. (3) Apabila perceraian terjadi qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mistil. (penjelasan Pasal ) BAB VI LARANGAN KAWIN Pasal 32 (1) Perkawinan dilarang antara pria dengan wanita yang disebabkan: a. pertalian nasab; b. pertalian kerabat semenda; c.pertalian sesusuan. (2) Larangan perkawianan karena pertalian nasab sebagaimana dimaksud ayat (1), meliputi: a. dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya; b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu; c.dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.

16 16 (3) Larangan perkawinan karena pertalian kerabat semenda sebagaimana dimaksud ayat (1), yaitu: a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya; b. dengan seorang wanita bekas isteri yang menurunkannya; c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul; d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya. (4) Larangan perkawinan karena pertalian susuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas; b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah; c.dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah; d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke bawah; e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya. Pasal 33 Perkawinan juga dilarang selain sebagaimana dimaksud pada Pasal 32, antara pria dengan wanita karena keadaan tertentu, yaitu: a. wanita yang bersangkutan masih terikat tali perkawinan dengan pria lain; b. perceraian terjadi di luar Mahkamah Syar iyah; c. belum ada putusan Mahkamah Syariyah tentang perceraiannya yang telah berkekuatan hukum tetap; d. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; e. seorang wanita yang tidak beragama Islam. Pasal 34 (1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya, yaitu: a. saudara kandung seayah atau seibu serta keturunannya; b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj i, tetapi masih dalam masa iddah. Pasal 34 Seorang pria yang sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri, yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam masa iddah talak raj i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj i, dilarang melangsungkan perkawinan dengan wanita lain. Pasal 35

17 17 (c.1) Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan: a. wanita bekas isterinya yang sudah ditalak 3 (tiga) kali; atau b. wanita bekas isterinya yang di li an. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a gugur, kalau bekas isterinya telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba da dukhul dan telah habis masa iddahnya. (3) Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan pria yang tidak beragama Islam. BAB VII PERJANJIAN PERKAWINAN Pasal 36 (1) Perjanjian perkawinan dapat dilakukan antara calon mempelai pria dengan calon mempelai wanita. (2) Perjanjian perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk : a. taklik talak; dan b. perjanjian lain sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Pasal 37 (1) Isi taklik talak sebagaimana dimaksud pada Pasal 36 ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. (2) Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya putus ikatan perkawinan. (3) Putusnya ikatan perkawinan karena melanggar taklik talak tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi isteri harus mengajukan persoalan tersebut ke Mahkamas Syar iyah untuk mendapat putusannya. (4) Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap akad nikah. (5) Taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali. Pasal 39 (1) Pada waktu atau sebelum akad nikah dilangsungkan, kedua calon mempelai dapat membuat perjajian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. (2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum islam.

18 18 (3) Disamping ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), juga boleh dibuat perjanjian tentang kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan Hak Pertanggungan atas harta pribadi dan harta bersama atau harta seuharkat. Pasal 40 (1) Perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta seharkat tidak menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. (2) Apabila dibuat perjanjian perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap telah telah terjadi pemisahan harta bersama atau harta seharkat dengan kewajiban suami menanggung biaya rumah tangga. Pasal 41 (1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik harta yang diperoleh sebelum perkawinan dibawa ke dalam perkawinan, maupun harta yang diperoleh masing-masing selama perkawinan. (2) Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagimana dimaksud pada ayat (1), dapat juga diperjanjiakan bahwa percampuran harta pribadi hanya sebatas pada harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsunkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya. Pasal 42 (1) Perjanjian harta perkawinan, mengikat semua pihak terhitung mulai tanggal dilangsungkan akad nikah di hadapan Pegawai Pencatat Nikah. (2) Perjanjian harta perkawinan, dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat akad nikah dilangsungkan. (3) Sejak pendataran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pencabutan telah mengikat kepada suami isteri, sedangkan kepada pihak ke tiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan oleh sumi isteri dalam suatu surat kabar. (4) Dalam waktu 6 (enam) bulan suami isteri tidak mengumumkan pendataran pencabutan perjanjian perkawinan, maka pendaftaran pencabutan perjanjian perkawinan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga. (5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga. Pasal 43 Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada suami atau isteri untuk minta pembatalan nikah atau dapat menjadi alasan gugatan perceraian ke Mahkamah Syar iyah. Pasal 44 Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat, dapat diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahi.

19 19 BAB VII KAWIN HAMIL Pasal 45 (1) Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. (2) Perkawinan dengan wanita hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anak yang bersangkutan. (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, maka untuk kemslahatan dan kesucian perkawinan perlu dinikah ulang setelah anak yang dikandung lahir. (4) Apabila kehamilan sebagai akibat pemerkosaan, maka pria yang menghamilinya harus diproses hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku meskipun pria tersebut telah menikahi wanita yang dihamilinya, (5) Apabila kehamilan terjadi akibat perbuatan suka sama suka, maka kedua-duanya harus diproses hukum sesuai ketentuan yang berlaku, meskipun sudah dinikahkannya. Pasal 46 (1) Seseorang selama masih menjalankan ibadah ihram, tidak boleh melangsungkan pernikahan dan juga tidak boleh bertindak sebagai wali nikah. (2) Apabila terjadi pernikahan dalam keadaan menjalankan ibadah ihram atau menjadi wali nikah masih berada dalam keadaan menjalankan ibadah ihram, pernikahan tersebut tidak sah. BAB VIII BERISTERI LEBIH DARI SATU ORANG Pasal 47 (1) Seorang sumi dalam waktu yang bersamaan boleh beristeri lebih dari satu orang dan tidak boleh lebih dari empat orang. (2) Syarat utama beristeri lebih dari satu orang harus punya kemampuan baik lahir maupun batin dan mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. (3) Kemampuan lahir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kemampuan dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan perumahan untuk kehidupan isteri-isteri dan anak-anaknya. (4) Kemampuan tersebut harus dibuktikan dengan sejumlah penghasilan yang diperoleh setiap bulan dari hasil pekerjaan baik sebagai PNS, pengusaha/wiraswasta, pedagang, petani maupun pelaut atau pekerjaan lainnya yang sah. (5) Kemampuan batin sebagaiman dimaksud pada ayat (2) adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan biologis terhadap lebih dari seorang isteri. (6) Apabila syarat utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, seorang suami dilarang beristeri lebih dari satu orang. Pasal 48

20 20 (1) Seorang suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Mahkamah Syar iyah. (2) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga dan keempat tanpa izin Mahkamah Syar iyah, tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 49 (1) Mahkamah Syar iyah hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri; b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah persyaratan alternatif, artinya salah satu syarat terpenuhi seorang suami sudah dapat mengajukan permohonan beristeri lebih dari satu orang meskipun isteri atau isteri-isteri sebelumnya tidak menyetujui, Mahkamah Syar iyah dapat memberikan izin kepada suami untuk beristeri lebih dari satu orang. Pasal 50 (1) Selain syarat utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2), untuk memperoleh izin Mahkamah Syar iyah harus pula dipenuhi syarat-syarat: a. Adanya persetujuan isteri atau isteri-isteri; b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. (2) Persetuan isteri atau isteri-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan. (3) Persetuan lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan oleh isteri di hadapan sidang Mahkamah Syar iyah. (4) Persetujuan sebagaimana pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada khabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya dua tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat pertimbangan hakim. Pasal 51 (1) Dalam hal isteri atau isteri-isteri tidak mau memberikan persetujuan, sedangkan suami yang mengajukan permohonan izin beristeri lebih dari seorang sudah mampu memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, hakim perlu mempertimbangkan untuk memberikan izin kepada suami untuk beristeri lebih dari seorang. (2) Ketentuan standar kemampuan suami dan tata cara mengajukan permohonan beristeri lebih dari seorang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan Gubernur.

21 21 BAB IX PENCEGAHAN PERKAWINAN Pasal 52 (1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang oleh hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. (2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Pasal 53 (1) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh: a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah; b. saudara; c. wali nikah; d. wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan. (2) Pencegahan perkawinan juga dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dan akan melangsungka perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami (3) Ayah kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya untuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain. (4) Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi. Pasal 54 (1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Mahkamah Syar iyah dalam daerah hukum perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah. (2) Pegawai Pencatat Nikah memberitahukan kepada calon mempelai mengenai adanya permohonan pencegahan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Calon suami dan calon isteri yang memaksakan Perkawinan tidak dapat dilangsungkan sebelum adanya pencabutan pencegahan perkawinan. Pasal 55 Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan kepada Mahkamah Syar iyah oleh yang mencegah atau dengan putusan Mahkamah Syar iyah. Pasal 56 Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan akad nikah bila ia mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan meskipun tidak ada pencegahan perkawinan. Pasal 57

22 22 (1) Apabila Pegawai Pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan, maka menolak untuk melangsungkan akad nikah. (2) Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah akan diberikan surat keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan penolakannya. (3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Mahkamah Syar iyah dalam wilayah Pegawai Pencatat Nikah mengadakan penolakan berwenang untuk memberi keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut. (4) Mahkamah Syar iyah akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dalam bentuk ketetapan, berupa menerima atau tidak menerima permohonan pemcegahan perkawinan. (5) Apabila Mahkamah Syar iyah menerima permohonan pencegahan perkawinan, perkawinan tersebut tidak dapat dilaksanakan. (6) Apabila Mahkamah Syar iyah menolak permohonan pencegahan perkawinan, perkawinan tersebut dapat dilaksanakan. (7) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka. Pasal 58 (1) Calon suami dan calon isteri tidak dibenarkan melangsungkan akad nikah jika mengetahui menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan terdapat larangan kawin. (2) Apabila akad nikah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dilaksanakan, kepada pasangan tersebut dikenakan sanksi. (3) Pegawai Pencatat Nikah yang membantu melangsungkan akad nikah, padahal ia mengetahui adanya larangan kawin bagi calon suami dan calon isteri yang bersangkutan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan atau sedang dalam proses pengajuan permohonan pencegahan perkawinan, juga akan dikenakan sanksi. BAB X BATALNYA PERKAWINAN Pasal 59 Perkawinan batal apabila : a. suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah memiliki empat orang isteri, meskipun salah satu dari empat isterinya itu dalam iddah talak raj i; b. bekas suami menikahi bekas isterinya yang telah dili annya; c. bekas suami menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak, kecuali bila bekas isteri yang bersangkutan pernah menikah dengan pria lain yang kemudian terjadi perceraian ba da al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;

23 23 d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, hubungan semenda dan hubungan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan, yaitu : 1. adanya hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas; 2. adanya hubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya; 3. adanya hubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri; 4. adanya hubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan. e. Isteri saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isteri. Pasal 60 Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: a. Seorang suami beristeri lebih dari satu orang tanpa izin Mahkamah Syar iyah; b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud; c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain; d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagimana dimaksud dalam Pasal 16. e. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; f. Perkawinan yang terjadi karena paksaan. Pasal 61 (1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilansungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. (2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri. (3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu enam bulan setelah itu masih tetap sebagai suami isteri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Pasal 62 Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah: a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri; b. Suami atau isteri; c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undangundang; d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum islam dan peraturan perundang-undangan. Pasal 63

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN 1. Pengertian Perkawinan Dalam ajaran Islam sebuah perkawinan merupakan peristiwa sakral bagi manusia, karena melangsungkan perkawinan merupakan

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki Perkawinan atau pernikahan merupakan institusi yang istimewa dalam Islam. Di samping merupakan bagian dari syariah Islam, perkawinan memiliki hikmah

Lebih terperinci

Pasal 3 Pasal 3 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Pasal 3 Pasal 3 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. 1 KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA BUKU I HUKUM PERKAWINAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dengan: a. Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang

Lebih terperinci

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan Rukun adalah unsur-unsur yang harus ada untuk dapat terjadinya suatu perkawinan. Rukun perkawinan terdiri dari calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur

Lebih terperinci

Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini

Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini Oleh: Nasrullah, S.H., S.Ag., MCL. Tempat : Balai Pedukuhan Ngaglik, Ngeposari, Semanu, Gunungkidul 29 Agustus 2017 Pendahuluan Tujuan perkawinan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH A. Analisis Status Perwalian Anak Akibat Pembatalan Nikah dalam Putusan Pengadilan Agama Probolinggo No. 154/Pdt.G/2015 PA.Prob Menurut

Lebih terperinci

BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD

BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD A. Analisis Persamaan antara Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Status Perkawinan Karena Murtad Dalam

Lebih terperinci

www.pa-wonosari.net admin@pa-wonosari.net UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : bahwa sesuai dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

KOMPETENSI DASAR: INDIKATOR:

KOMPETENSI DASAR: INDIKATOR: SYARIAH - MUNAKAHAT KOMPETENSI DASAR: Menganalisis ajaran Islam tentang perkawinan Menganalisis unsur-unsur yang berkaitan dengan ajaran perkawinan dalam agama Islam INDIKATOR: Mendeskripsikan ajaran Islam

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pembukaan Bab I Dasar perkawinan Bab II Syarat-syarat perkawinan Bab III Pencegahan perkawinan Bab IV Batalnya perkawinan Bab V Perjanjian

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

BAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala

BAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala 75 BAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita

Lebih terperinci

MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9

MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9 MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9 A. KELUARGA Untuk membangun sebuah keluarga yang islami, harus dimulai sejak persiapan pernikahan, pelaksanaan pernikahan, sampai pada bagaimana seharusnya suami dan

Lebih terperinci

SOAL SEMESTER GANJIL ( 3.8 )

SOAL SEMESTER GANJIL ( 3.8 ) SOAL SEMESTER GANJIL ( 3.8 ) Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Islam Kompetensi Dasar : Pernikahan dalam Islam ( Hukum, hikmah dan ketentuan Nikah) Kelas : XII (duabelas ) Program : IPA IPS I. Pilihlah

Lebih terperinci

PENETAPAN Nomor: X/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PENETAPAN Nomor: X/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENETAPAN Nomor: X/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama,

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor: 0381/Pdt.G/2012/PA.PRA

P U T U S A N Nomor: 0381/Pdt.G/2012/PA.PRA P U T U S A N Nomor: 0381/Pdt.G/2012/PA.PRA BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Praya yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah

Lebih terperinci

P E N E T A P A N. Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N. Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

KOMPILASI HUKUM ISLAM INDONESIA

KOMPILASI HUKUM ISLAM INDONESIA KOMPILASI HUKUM ISLAM INDONESIA Dasar Hukum : - Intruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 - Keputusan Mentri Agama Republik Indonesia nomer 154 tahun 1991 Tentang Pelaksaan

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 033/Pdt.G/2012/PA.DGL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 033/Pdt.G/2012/PA.DGL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA 1 Salinan P U T U S A N Nomor : 033/Pdt.G/2012/PA.DGL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Donggala yang mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi Perkawinan adalah ikatan lahir batin

II. TINJAUAN PUSTAKA. UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi Perkawinan adalah ikatan lahir batin 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor: 106/Pdt.G/2012/PA.Pkc

PUTUSAN Nomor: 106/Pdt.G/2012/PA.Pkc PUTUSAN Nomor: 106/Pdt.G/2012/PA.Pkc BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA NO PERBEDAAN BW/KUHPerdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1 Arti Hukum Perkawinan suatu persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui sah oleh UU/ peraturan negara yang bertujuan

Lebih terperinci

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac. DAMPAK PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT WALI YANG TIDAK SEBENARNYA TERHADAP ANAK DAN HARTA BERSAMA MENURUT HAKIM PENGADILAN AGAMA KEDIRI (Zakiyatus Soimah) BAB I Salah satu wujud kebesaran Allah SWT bagi manusia

Lebih terperinci

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan mempunyai tujuan untuk. pada akhirnya perkawinan tersebut harus berakhir dengan perceraian.

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan mempunyai tujuan untuk. pada akhirnya perkawinan tersebut harus berakhir dengan perceraian. BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN PUTUSAN PERCERAIAN ATAS NAFKAH ISTRI DAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA DAN PENYELESAIANYA JIKA PUTUSAN TERSEBUT TIDAK DILAKSANAKAN A. Pelaksanaan Putusan

Lebih terperinci

[BUKU 1: PERKAWINAN]

[BUKU 1: PERKAWINAN] MATERI COUNTER LEGAL DRAFT KOMPILASI HUKUM ISLAM PEREMPUAN [BUKU 1: PERKAWINAN] Menimbang: Mengingat: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN. TENTANG HUKUM PERKAWINAN ISLAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor: 0213/Pdt.G/2010/PA.Slk BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Solok yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu dalam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. A. Pendahuluan Perkawinan merupakan sebuah institusi yang keberadaannya diatur dan dilindungi oleh hukum baik agama maupun negara. Ha

Lebih terperinci

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan Nafsu biologis adalah kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia, namun tidak berarti bahwa hal tersebut

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan orang lain untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suatu perkawinan yang di lakukan oleh manusia bukanlah persoalan nafsu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suatu perkawinan yang di lakukan oleh manusia bukanlah persoalan nafsu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu perkawinan yang di lakukan oleh manusia bukanlah persoalan nafsu belaka, namun langgeng dan harmonisnya sebuah rumah tangga sangatlah di tentukan oleh sejauh mana

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN PERJANJIAN PRANIKAH PASCA PERKAWINAN (Studi Kasus di Desa Mojopilang Kabupaten Mojokerto)

BAB IV. ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN PERJANJIAN PRANIKAH PASCA PERKAWINAN (Studi Kasus di Desa Mojopilang Kabupaten Mojokerto) BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN PERJANJIAN PRANIKAH PASCA PERKAWINAN (Studi Kasus di Desa Mojopilang Kabupaten Mojokerto) A. Analisis Hukum Islam Terhadap Perjanjian Pranikah Dalam hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

Ditulis oleh Administrator Kamis, 07 Oktober :57 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 28 Oktober :12

Ditulis oleh Administrator Kamis, 07 Oktober :57 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 28 Oktober :12 KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama

Lebih terperinci

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN Menurut Imam Asy-Syathibi jika aturan/hukum itu membawa kepada kemaslahatan, maka aturan /hukum itu harus dijadikan sebagai

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

Oleh Administrator Kamis, 15 Januari :42 - Terakhir Diupdate Rabu, 22 Desember :51

Oleh Administrator Kamis, 15 Januari :42 - Terakhir Diupdate Rabu, 22 Desember :51 KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN AGAMA Kewenangan PA dari masa ke masa: Sebelum Kemerdekaan: Staatsblaad 1882 No. 152 tidak disebutkan secara tegas kewenangan PA, hanya disebutkan bahwa wewenang PA itu berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN A. Pembatalan Perkawinan 1. Pengertian pembatalan perkawinan Yaitu perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat

Lebih terperinci

P E N E T A P A N. Nomor : 7/Pdt.P/2013/PA.Gst BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N. Nomor : 7/Pdt.P/2013/PA.Gst BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor : 7/Pdt.P/2013/PA.Gst BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Gunungsitoli yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah merupakan makhluk sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah merupakan makhluk sosial yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Contohnya dalam hal pemenuhan kebutuhan lahiriah dan kebutuhan

Lebih terperinci

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. pada tingkat pertama, telah melaksanakan sidang keliling bertempat di Desa

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. pada tingkat pertama, telah melaksanakan sidang keliling bertempat di Desa SALINAN P E N E T A P A N Nomor : 08/Pdt.P/2012/PA.Sgr. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Singaraja yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu

Lebih terperinci

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN : BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN : BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1 Bentuk: Oleh: UNDANG-UNDANG (UU) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: Indeks: PERKAWINAN PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan Pengadilan Agama berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, merupakan salah satu badan

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN KITAB KLASIK DAN MODERN TERHADAP PASAL-PASAL DALAM KHI TENTANG MURTAD SEBAGAI SEBAB PUTUSNYA PERKAWINAN

BAB IV TINJAUAN KITAB KLASIK DAN MODERN TERHADAP PASAL-PASAL DALAM KHI TENTANG MURTAD SEBAGAI SEBAB PUTUSNYA PERKAWINAN 126 BAB IV TINJAUAN KITAB KLASIK DAN MODERN TERHADAP PASAL-PASAL DALAM KHI TENTANG MURTAD SEBAGAI SEBAB PUTUSNYA PERKAWINAN Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam

Lebih terperinci

P E N E T A P A N NOMOR 01/Pdt.P/2013/PA.Msa BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

P E N E T A P A N NOMOR 01/Pdt.P/2013/PA.Msa BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM 1 P E N E T A P A N NOMOR 01/Pdt.P/2013/PA.Msa BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Marisa yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

Nomor : 012/Pdt.G/2012/PA.Dgl BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Nomor : 012/Pdt.G/2012/PA.Dgl BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA SALINAN P U T U S A N Nomor : 012/Pdt.G/2012/PA.Dgl BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA ------- Pengadilan Agama Donggala yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah 1 BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah hidupnya karena keturunan dan perkembangbiakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Perceraian a. Pengertian Perceraian Perceraian sering diartikan oleh masyarakat luas adalah suatu kegagalan yang terjadi di rumah tangga. Dimana

Lebih terperinci

BAB IV. A. Analisis hukum formil terhadap putusan perkara no. sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi masyarakat pencari keadilan.

BAB IV. A. Analisis hukum formil terhadap putusan perkara no. sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. 81 BAB IV ANALISIS HUKUM FORMIL DAN MATERIL TERHADAP PUTUSAN HAKIM TENTANG NAFKAH IDDAH DAN MUT AH BAGI ISTRI DI PENGADILAN AGAMA BOJONEGORO (Study Putusan Perkara No. 1049/Pdt.G/2011/PA.Bjn) A. Analisis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM Oleh : Abdul Hariss ABSTRAK Keturunan atau Seorang anak yang masih di bawah umur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia

Lebih terperinci

PUTUSAN. Nomor : 0954/Pdt.G/2013/PA.Plg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PUTUSAN. Nomor : 0954/Pdt.G/2013/PA.Plg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PUTUSAN Nomor : 0954/Pdt.G/2013/PA.Plg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Palembang yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan 1 BAB I PENDAHULUAN Pada hakekatnya manusia diciptakan untuk hidup berpasang-pasangan oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan melangsungkan perkawinan. Perkawinan

Lebih terperinci

- 1 - RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR TAHUN 2014 TENTANG HUKUM JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG

- 1 - RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR TAHUN 2014 TENTANG HUKUM JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG - 1 - Bahan untuk Publikasi Media Cetak RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR TAHUN 2014 TENTANG HUKUM JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kelas I A Bengkulu yang memeriksa dan mengadili perkara perdata

Lebih terperinci

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan ialahikatan lahir

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor :../Pdt.G/2010/PA.Pso BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor :../Pdt.G/2010/PA.Pso BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor :../Pdt.G/2010/PA.Pso BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA ------Pengadilan Agama Poso yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG P E R K A W I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG P E R K A W I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 974 TENTANG P E R K A W I N A N Menimbang : Mengingat: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila

Lebih terperinci

Nomor 0435/Pdt.G/2014/PA.Spg. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Nomor 0435/Pdt.G/2014/PA.Spg. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA SALINAN P U T U S A N Nomor 0435/Pdt.G/2014/PA.Spg. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sampang yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu dalam

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : xxx/pdt.g/2011/ms-aceh

P U T U S A N Nomor : xxx/pdt.g/2011/ms-aceh P U T U S A N Nomor : xxx/pdt.g/2011/ms-aceh BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Mahkamah Syar'iyah Aceh yang mengadili perkara Cerai Gugat pada tingkat banding dalam

Lebih terperinci

KAJIAN YURIDIS TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR

KAJIAN YURIDIS TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR KAJIAN YURIDIS TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR Oleh ; Emi Zulaika, S.H. ABSTRAK Perkawinan anak dibawah umur yang masih banyak terjadi pada masyarakat pedesaan di Indonesia merupakan suatu

Lebih terperinci

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS PERNIKAHAN SIRRI SEORANG ISTRI YANG MASIH DALAM PROSES PERCERAIAN

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS PERNIKAHAN SIRRI SEORANG ISTRI YANG MASIH DALAM PROSES PERCERAIAN BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS PERNIKAHAN SIRRI SEORANG ISTRI YANG MASIH DALAM PROSES PERCERAIAN A. Analisis Latar Belakang Terjadinya Pernikahan Sirri Seorang Istri yang Masih dalam Proses

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Ikhtisar

BAB V PENUTUP A. Ikhtisar BAB V PENUTUP A. Ikhtisar Berkenaan dengan masalah perkawinan, khususnya jika dilihat dari sisi tata caranya, maka sebahagian masyarakat muslim Indonesia ada melakukan perkawinan yang diistilahkan dengan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA 70 BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA A. Analisis Yuridis Terhadap Dasar Hukum Yang Dipakai Oleh Pengadilan Negeri Jombang

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 00/Pdt.G/2014/PTA Btn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

P U T U S A N Nomor 00/Pdt.G/2014/PTA Btn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. P U T U S A N Nomor 00/Pdt.G/2014/PTA Btn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Banten yang mengadili perkara perdata tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengertian tentang perkawinan di Indonesia tercantum dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disana dijelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan

Lebih terperinci

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T AP A N Nomor: 23 /Pdt.P/2011/PA.Slk BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Solok yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara perdata tertentu

Lebih terperinci

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo*

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo* Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo* Abstrak Nikah Sirri dalam perspektif hukum agama, dinyatakan sebagai hal yang sah. Namun dalam hukum positif, yang ditunjukkan dalam Undang -

Lebih terperinci

Salinan P U T U S A N

Salinan P U T U S A N Salinan P U T U S A N Nomor : /Pdt.G/2011/PA.Pso BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA ------Pengadilan Agama Poso yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada

Lebih terperinci

HUKUM WARIS ISLAM DAN PERMASALAHANNYA

HUKUM WARIS ISLAM DAN PERMASALAHANNYA HUKUM WARIS ISLAM DAN PERMASALAHANNYA Dalam peradilan atau dalam hukum Indonesia juga terdapat hukum waris adat. Selama ini, khususnya sebelum munculnya UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama memang

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 19/Pdt.G/2011/PA.Prg

PUTUSAN Nomor 19/Pdt.G/2011/PA.Prg PUTUSAN Nomor 19/Pdt.G/2011/PA.Prg BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pinrang yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor :25/Pdt.G/2009/PA.Pkc.

PUTUSAN Nomor :25/Pdt.G/2009/PA.Pkc. PUTUSAN Nomor :25/Pdt.G/2009/PA.Pkc. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat

Lebih terperinci

RUMUSAN HASIL RAPAT PLENO KAMAR AGAMA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TANGGAL 03 S/D 05 MEI

RUMUSAN HASIL RAPAT PLENO KAMAR AGAMA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TANGGAL 03 S/D 05 MEI RUMUSAN HASIL RAPAT PLENO KAMAR AGAMA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TANGGAL 03 S/D 05 MEI 2012 NO MASALAH JAWABAN 1. Putusan Pengadilan Agama tidak menerima gugatan Penggugat karena bukan termasuk

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 038/Pdt.G/2011/PA.Mto. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 038/Pdt.G/2011/PA.Mto. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 038/Pdt.G/2011/PA.Mto. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Muara Tebo yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada

Lebih terperinci

Permohonan Cerai Talak antara pihak-pihak ; LAWAN. Termohon ;--

Permohonan Cerai Talak antara pihak-pihak ; LAWAN. Termohon ;-- Pengadilan Agama Poso yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam perkara Permohonan Cerai Talak antara pihak-pihak ;----------------------------------------

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO. 3400 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 1989 (AGAMA. KEHAKIMAN. PERADILAN. Perkawinan. Perceraian. Warisan. Warganegara. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH. A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH. A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah 56 BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah Menurut mazhab Hanafi wali dalam pernikahan bukanlah

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor : 31/Pdt.G/2010/PA.Rks. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PUTUSAN Nomor : 31/Pdt.G/2010/PA.Rks. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PUTUSAN Nomor : 31/Pdt.G/2010/PA.Rks. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Rangkasbitung yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat

Lebih terperinci

PUTUSAN. Nomor : 1636/Pdt.G/2012/PA.Plg. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PUTUSAN. Nomor : 1636/Pdt.G/2012/PA.Plg. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PUTUSAN Nomor : 1636/Pdt.G/2012/PA.Plg. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Palembang yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

PENETAPAN NOMOR : 02/Pdt.P/2011/PA.Mrs

PENETAPAN NOMOR : 02/Pdt.P/2011/PA.Mrs 1 PENETAPAN NOMOR : 02/Pdt.P/2011/PA.Mrs ب س م للا م ح ا م ح م DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Marisa yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan

Lebih terperinci

PROSEDUR BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA JEMBER

PROSEDUR BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA JEMBER PROSEDUR BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA JEMBER I. HAL-HAL YANG PERLU DIKETAHUI SEBELUM BERPERKARA (PERDATA) KE PENGADILAN Bagi orang yang akan berperkara di pengadilan dan belum mengerti tentang cara membuat

Lebih terperinci

BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA TENTANG DUDUK PERKARANYA

BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA TENTANG DUDUK PERKARANYA P U T U S A N Nomor:0099/Pdt.G/2010/PA.Slk BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Solok yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu dalam

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( )

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( ) KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI Oleh: Mulyadi, SH., MH. (081328055755) Abstrak Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah maka kalau terjadi perkawinan

Lebih terperinci

P E N E T A P A N. NOMOR 03/Pdt.P/2012/PA.Msa B ISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. penetapan itsbat nikah sebagai berikut dalam perkara yang diajukan oleh:

P E N E T A P A N. NOMOR 03/Pdt.P/2012/PA.Msa B ISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. penetapan itsbat nikah sebagai berikut dalam perkara yang diajukan oleh: 1 P E N E T A P A N NOMOR 03/Pdt.P/2012/PA.Msa B ISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Marisa yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MUI JAWA TIMUR TERHADAP PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN NIKAH

BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MUI JAWA TIMUR TERHADAP PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN NIKAH 75 BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MUI JAWA TIMUR TERHADAP PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN NIKAH A. Analisis Pendapat Hakim Tentang Status Istri Setelah

Lebih terperinci