Daftar Isi. Ringkasan Eksekutif. Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) 1. Perkembangan Kebijakan Pembangunan KPH 6. Kelembagaan KPH 14

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Daftar Isi. Ringkasan Eksekutif. Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) 1. Perkembangan Kebijakan Pembangunan KPH 6. Kelembagaan KPH 14"

Transkripsi

1

2

3 ii Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kebijakan, Implementasi dan Masa Depan iii Daftar Isi Ringkasan Eksekutif v Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) 1 Perkembangan Kebijakan Pembangunan KPH 6 Kelembagaan KPH 14 Sumberdaya Manusia KPH 18 Pendanaan KPH 22 KPH dan Pemegang ijin Usaha Kehutanan 24 Sinergi KPH dan Perhutanan Sosial 26 Rekomendasi 30 Pustaka 35 Lampiran 39

4 iv Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kebijakan, Implementasi dan Masa Depan v Ringkasan Eksekutif Ketiadaan pengelola hutan di tingkat tapak menjadi penyebab utama kegagalan melaksanakan pengelolaan hutan dan terputus informasi antara apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan dengan keputusan-keputusan yang dibuat, baik di tingkat pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi maupun pemerintah Pusat. Untuk menjembatani hal tersebut, keberadaan institusi pengelolaan hutan di tingkat tapak sangat di perlukan, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, PP. 44 Tahun 2004 dan PP. 6 Tahun 2007 Jo. PP 3 Tahun 2008 tentang pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat propinsi, kabupaten/kota, dan unit pengelolaan. Amanat tersebut dijabarkan melalui pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dengan tugas dan fungsi (1) menghimpun informasi sumberdaya hutan untuk mengetahui karakteristik dan sifat-sifat khas sumberdaya hutan, sehingga memudahkan penetapan sistem manajemen hutan yang sesuai dengan kondisi wilayah; (2) memonitor dan mengevaluasi kinerja pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pemegang ijin di tingkat lapangan; efektivitas kegiatan pengelolaan hutan dapat ditingkatkan dan pada gilirannya dapat meningkatkan efisiensi perusahaan; (3) mengidentifikasi keberadaan dan kebutuhan masyarakat terhadap manfaat sumberdaya hutan secara lebih jelas dan cermat, sehingga proses-proses pengakuan hak, pemberian ijin maupun kolaborasi dapat dilakukan; dan penyelesaian dan pencegahan konflik dapat dikendalikan; dan (4) memfasilitasi komunikasi dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah untuk menata hak dan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Pembangunan KPH belum masuk dalam Renstra Kehutanan Tahun dan belum dijalankan selama periode tersebut. PP No. 34 Tahun 2002 menjadi acuan bagi Keputusan Menteri Kehutanan No. 230 Tahun 2003 tentang pembentukan KPH khususnya KPHP. Namun demikian, pembentukan KPHP belum direalisasikan hingga

5 vi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kebijakan, Implementasi dan Masa Depan vii Kabinet Gotong Royong berakhir. Dalam periode , Lima Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan maupun Rencana Strategis Tahun dan Rencana Kerja tahunannya tidak menyebutkan pembangunan KPH. Dalam periode ini, regulasi tentang tugas dan fungsi KPH dipertegas melalui PP No. 6 Tahun 2007, sebagai pengganti PP No. 34 tahun PP No. 6 Tahun 2007 menjadi acuan bagi Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 6 Tahun 2009 tentang Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Rencana pembangunan KPH mulai disebutkan dalam Renstra Kehutanan Tahun dan RPJMN Tahun Pembangunan KPHP/KPHL masih menghadapi berbagai kendala, terutama terkait dengan tata hubungan kerja dengan UPT Kementerian LHK, SDM, mekanisme pendanaan dan keorganisasian, dukungan kebijakan pusat dan daerah terkait dengan kerjasama para pihak dan konsolidasi strategis dengan program nasional. Dalam banyak perbincangan orientasi pengelolaan hutan lestari pada skala KPH belum mendapatkan perhatian serius, walaupun ujicoba penilaian VLK dan PHPL telah dilakukan pada beberapa KPH selama periode Peran KPH penting untuk lebih diinklusifkan kedalam kerangka tata kerja PS yang berjalan hingga saat ini untuk meningkatkan efektivitas dan percepatan program PS ke depan. Efektivitas program PS ditunjukkan oleh Kesejahteraan masyarakat dicapai melalui pengelolaan hutan lestari, dan sebaliknya pengelolaan hutan lestari melalui partisipasi masyarakat. Tantangan yang dihadapi KPH berupa keterbatasan SDM profesional di tingkat lapangan secara kualitas dan kuantitas; keterbatasan anggaran; dukungan Pemerintah Provinsi yang masih lemah memerlukan Dukungan dari berbagai pihak di lintas kementerian, pemda, dan lembaga-lembaga donor sangat dibutuhkan. Penguatan regulasi untuk percepatan pembentukan dan operasionalisasi KPH masih harus dilakukan. KPH sebagai UPTD perlu diberi keleluasaan untuk bergerak, berinovasi supaya profesionalisme sebagai pengelola kawasan hutan di tingkat tapak dapat sungguh dapat dipraktikan. Regulasi yang diperlukan adalah regulasi yang dapat menggerakan peran pemerintah pusat dan daerah (provinsi) untuk mendukung KPH. Regulasi tentang tata hubungan KPH dengan instansi lain di Pusat dan Daerah, tata hubungan KPH dengan pemegang izin yang ada di wilayah KPH, pengaturan bagi hasil dari sumberdaya hutan yang dikelola langsung oleh KPH maupun kemitraan. ketepatan subyek (pelaku PS) dan obyek (kawasan hutan), dan keadilan antar pelaku. Bahkan kewenangan KPH perlu lebih diperbesar hingga seluruh proses pemberian izin PS selesai di KPH; pendampingan masyarakat lanjutan untuk pengelolaan PS dan pengembangan bisnisnya yang berbasis hasil hutan (kayu, bukan kayu, jasa lingkungan) dijalankan oleh KPH. Dalam kerangka kerja Perhutanan Sosial, peran KPH adalah memastikan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari melalui pelayanan yang sebaik mungkin di tingkat tapak oleh KPH dengan prinsip inklusif dan kepastian hak, menjaga KPH tetap berorientasi pada kesejahteraan masyarakat; dan tetap menyinergikan dengan UPT pusat dan para pihak. Didik Suharjito

6 viii Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kebijakan, Implementasi dan Masa Depan 1 1. Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Apa urgensi keberadaan KPH? Kartodihardjo et al. (2011) menyatakan bahwa ketiadaan pengelola hutan di tingkat tapak menjadi penyebab utama kegagalan melaksanakan pengelolaan hutan dan terputus informasi antara apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan dengan keputusan-keputusan yang dibuat, baik di tingkat pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi maupun pemerintah. Lebih lanjut Kartodihardjo et al. (2011) menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan, baik mempertahankan hutan alam yang tersisa maupun membangun hutan tanaman baru, diperlukan prioritas kegiatan teknis sekurang-kurangnya mencakup: (1) Penyelesaian masalah kawasan hutan yang telah terjadi dan menghindari terjadinya masalah baru di masa depan serta meningkatkan kapasitas pengelolaan hutan konservasi dan hutan lindung; (2) Mempermudah akses bagi penerima manfaat atau dapat menekan terjadinya ekonomi biaya tinggi serta terdapat landasan kuat untuk mengalokasikan manfaat hutan secara adil; (3) Menyediakan infrastruktur sosial maupun ekonomi bagi penguatan kelembagaan lokal terutama yang mendapat akses pemanfaatan sumberdaya hutan, peningkatan efisiensi ekonomi maupun pengembangan nilai tambah hasil hutan. Ketiga kegiatan teknis tersebut harus dilakukan dan berorientasi pada perencanaan secara spasial dengan memperhatikan situasi sosial ekonomi lokal serta menyatukan arah pelaksanaan kegiatan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kebupaten/ Kota. Pembangunan KPH menjadi solusi strategis yang tidak dapat dihindari untuk keperluan tersebut.

7 2 3 Apa tugas dan fungsi KPH? Mengapa organisasi kehutanan yang ada di tingkat provinsi dan kabupaten tidak dapat menjalankan tugas dan fungsi yang dilimpahkan kepada KPH sehingga membutuhkan keberadaan KPH? Berdasarkan penjelasan Kartodihardjo et al. (2011) dapat dinyatakan bahwa tugas dan fungsi KPH sebagai unit kerja adalah (1) menghimpun informasi sumberdaya hutan untuk mengetahui karakteristik dan sifat-sifat khas sumberdaya hutan, sehingga memudahkan penetapan sistem manajemen hutan yang sesuai dengan kondisi wilayah; (2) memonitor dan mengevaluasi kinerja pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pemegang ijin di tingkat lapangan; efektivitas kegiatan pengelolaan hutan dapat ditingkatkan dan pada gilirannya dapat meningkatkan efisiensi perusahaan; (3) mengidentifikasi keberadaan dan kebutuhan masyarakat terhadap manfaat sumberdaya hutan secara lebih jelas dan cermat, sehingga proses-proses pengakuan hak, pemberian ijin maupun kolaborasi dapat dilakukan; dan penyelesaian dan pencegahan konflik dapat dikendalikan; dan (4) memfasilitasi komunikasi dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah untuk menata hak dan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Secara konseptual, apa definisi KPH? Kartodihardjo et al. (2011) menyebut KPH sebagai organisasi yang spesifik yang di luar Pulau Jawa belum pernah ada. Setyarso dan Djajono (2014) menyebut KPH sebagai institusi baru yang diharapkan menjadi terobosan dalam mewujudkan kelestarian sumber daya dan kesejahteraan rakyat. Berdasarkan gagasan tersebut, KPH dapat didefinisikan sebagai suatu organisasi dengan tugas dan fungsi untuk melakukan pengelolaan hutan secara lestari dan menyejahterakan masyarakat. Pertanyaannya, bagaimana operasionalisasi KPH sebagai organisasi pengelolaan hutan itu? Menurut Kartodihardjo et al. (2011), penyelenggaraan pengelolaan hutan oleh KPH bukan memberi ijin pemanfaatan hutan kepada pihak lain, melainkan melakukan pengelolaan hutan sehari-hari dan mengawasi kinerja pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pemegang ijin. Penjelasan-penjelasan tersebut menunjuk bahwa KPH sebagai organisasi yang melaksanakan pembinaan dan pengendalian kegiatan yang dilakukan oleh pelaku ijin usaha kehutanan, sekaligus sebagai pelaku usaha kehutanan. Dengan kata lain, KPH sebagai organisasi pelayan publik sekaligus sebagai organisasi private pelaku bisnis. Sebagai organisasi bisnis KPH membutuhkan kebebasan membuat keputusan rencana dan implementasi, beradaptasi terhadap perkembangan pasar. Kartodihardjo et al. (2011) berpendapat bahwa organisasi KPH hendaknya tidak terdiri dari struktur dan tupoksi yang rigid, melainkan perlu memiliki fleksibilitas untuk dapat berinteraksi dengan banyak pihak dan menerima informasi serta menyesuaikan kegiatan yang sedang atau akan dilakukan. Demikian pula menurut Setyarso dan Djajono (2014) bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya KPH tidak harus seratus persen terikat oleh semua peraturan yang ada pada organisasi induknya, melainkan harus memiliki ruang yang lebih longgar agar mampu berdiri sendiri dan merupakan tim kerja yang komplementer dengan organisasi di atasnya (SKPD bidang kehutanan atau Dinas Kehutanan di daerah).

8 4 5 Konsep KPH di atas lebih menekankan pada subyek, yaitu KPH sebagai pelaksana pegelolaan hutan, sedangkan obyek (hutan) yang dikelola belum disinggung. Pada bagian lain dibahas obyek (hutan) yang dikelola khususnya berkaitan dengan wilayah kelola dari subyek yang lain yaitu pemegang ijin usaha kehutanan. KPH sebagai pelaku usaha di satu sisi dan sebagai pengawas terhadap pelaku usaha lainnya menggugah pertanyaan apakah tidak terjadi conflict of interest pada dirinya. Pada bagian lain dibahas kebijakan dan implementasi KPH serta bagaimana menanggapi conflict of interest. Tugas dan fungsi KPH sebagai organisasi pelaksana pengelolaan hutan lebih jelas apabila dibandingkan dengan tugas dan fungsi Dinas Kehutanan Provinsi. Kartodihardjo et al. (2011) merumuskan bahwa tugas pokok dan fungsi KPH adalah pada penyelenggaraan manajemen pengelolaan hutan di tingkat tapak atau lapangan, sedangkan tugas pokok dan fungsi Kementerian/Dinas Kehutanan Provinsi/ Kabupaten/ Kota adalah pada penyelenggaraan pengurusan atau administrasi kehutanan (Tabel 1).

9 Perkembangan Kebijakan Pembangunan KPH No Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, PP. 44 Tahun 2004 dan PP. 6 Tahun 2007 Jo. PP 3 Tahun 2008 memandatkan bahwa pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat: propinsi, kabupaten/kota, dan unit pengelolaan.pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, aspirasi, kearifan tradisional, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. Tabel 1. Pengurusan dan Pengelolaan Hutan PENGURUSAN/ADMINISTRASI (oleh Kementerian, Dinas Prov/ Dinas Kab/ Kota) 1 Perencanaan Inventarisasi Nasional, Provinsi, Kab/ kota Pengukuhan hutan (penunjukan, penataan batas, pemetaan, penetapan kawasan hutan Pembentukan wilayah KPH Penyusunan Rencana Kehutanan 2 Pengelolaan Tata hutan dan penyusunan rencana Pengelolaan hutan (penyusunan NSPK dan pengesahan terhadap rencana pengelolaan) Pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan (pemberian ijin-ijin) Rehabilitasi dan reklamasi termasuk pemberdayaan masyarakat, perbenihan (jika ada KPH, dilaksanakan oleh KPH) Perlindungan dan konservasi alam (jika ada KPH, dilaksanakan oleh KPH) PENGELOLAAN DI TINGKAT TAPAK (oleh KPH) Perencanaan di wilayah KPH Inventarisasi di wilayah KPH Pelaksanaan pengelolaan diwilayah KPH Penyelenggaraan*) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan Penyelenggaraan*) Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan Penyelenggaraan*) Rehabilitasi dan reklamasi. Penyelenggaraan*) perlindungan dan konservasi alam. 3 Litbang, Diklat dan Penyuluhan Lokasi penelitian, pendidikan dan latihan serta penyuluhan 4 Pengawasan Melaksanakan pengawasan pada lingkup wilayah KPH Sumber: Kartodihardjo et al. (2011) Keterangan: 1) Penyelenggaraan meliputi membina kegiatan, mengendalikan kegiatan dan melakukan kegiatan. Sebagai contoh: Apabila terdapat ijin pemanfaatan di wilayah kelola KPH, maka fungsi penyelenggaraan adalah melakukan pembinaan dan pengendalian (dalam konteks memantau kegiatan). Namun apabila belum terdapat ijin di wilayah kelolanya maka KPH harus melakukan kegiatan. 2) Pemanfaatan hutan meliputi: pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan non kayu, pemungutan hasil hutan. Sedangkan penggunaan kawasan hutan merupakan penggunaan untuk kepentingan diluar kehutanan (misal: tambang, saluran irigasi dll) Apa yang dimaksud dengan unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan (KPH) terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Seluruh kawasan hutan terbagi dalam KPH, yang menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Setiap unit pengelolaan hutan harus didasarkan pada karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bersangkutan. KPH dapat berupa KPH Lindung (KPHL), KPH Produksi (KPHP), dan KPH Konservasi (KPHK). 1 Apabila suatu KPH terdiri lebih dari satu fungsi pokok hutan, penetapan KPH berdasarkan fungsí yang luasnya dominan. Pembangunan KPH belum masuk dalam Renstra Kehutanan Tahun dan belum dijalankan selama periode tersebut. Bahkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 34 Tahun 2002, sebagai penjabaran UU No. 41 Tahun 1999 hanya menyebutkan KPH 1 Dalam UU No. 41 Tahun 1999 penjelasan pasal 17, disamping KPHP, KPHL dan KPHK, disebutkan juga KPH Kemasyarakatan (KPHKM), KPH Adat (KPHA), dan Kesatuan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (KPDAS).

10 8 9 pada pasal 2 (2) bahwa kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan dilaksanakan pada wilayah hutan dalam bentuk Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), dan Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). PP No. 34 Tahun 2002 menjadi acuan bagi Keputusan Menteri Kehutanan No. 230 Tahun 2003 tentang pembentukan KPH khususnya KPHP. Namun demikian, pembentukan KPHP belum direalisasikan hingga Kabinet Gotong Royong berakhir. Dalam periode , Lima Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan maupun Rencana Strategis Tahun dan Rencana Kerja tahunannya tidak menyebutkan pembangunan KPH. Dalam periode ini, regulasi tentang tugas dan fungsi KPH dipertegas melalui PP No. 6 Tahun 2007, sebagai pengganti PP No. 34 tahun PP No. 6 Tahun 2007 menjadi acuan bagi Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 6 Tahun 2009 tentang Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Namun hingga memasuki periode Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 pembangunan KPH belum direalisasikan. Rencana pembangunan KPH mulai disebutkan dalam Renstra Kehutanan Tahun dan RPJMN Tahun Dalam Renstra Kehutanan tahun versi Januari 2010 belum disebutkan secara tegas berapa jumlah KPH akan dibangun, hanya disebutkan bahwa pembangunan KPH meliputi (a) penetapan wilayah KPH Konservasi di 33 provinsi; (b) penetapan wilayah KPH Produksi di 28 provinsi; dan (c) penetapan wilayah KPH Lindung di 28 provinsi. Namun dalam Renstra Kehutanan versi Desember 2010 (revisi) disebutkan bahwa penetapan wilayah KPH di setiap provinsi menjadi sasaran strategis dan kegiatannya adalah pembangunan KPH dengan target 120 KPH beroperasi (atau 20% wilayah KPH yang telah ditetapkan). Belum ada pengelola kawasan hutan produksi di tingkat tapak dalam bentuk KPHP yang mengakibatkan kawasan hutan produksi yang tidak dibebani hak/ ijin tidak terurus menjadi alasan mengapa KPH harus dibangun.

11 10 11 Di akhir Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2, kebijakan pembangunan KPH sebagai organisasi pengelola hutan di tingkat tapak sudah diimplementasikan, dan sebagian KPH sudah operasional. KPH yang wilayahnya berada di dalam satu wilayah administratif kabupaten berada di bawah dinas bidang kehutanan pemda kabupaten, sedangkan KPH yang wilayahnya berada di lebih dari satu wilayah administratif kabupaten berada di bawah dinas bidang kehutanan pemda provinsi. Sampai dengan Desember 2014 telah ditetapkan wilayah KPHL dan KPHP pada 26 Provinsi, dua provinsi yang belum ditetapkan yaitu: Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau. Jumlah KPH yang telah dibentuk sampai Desember 2014 sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Dalam Renstra Kehutanan versi 2013 (revisi berdasarkan Permenhut P.15/Menhut-II/2013) disebutkan bahwa pada tahun 2014 sebanyak 120 organisasi KPH (40 KPH di Regional I, 14 KPH di Regional II, 23 KPH di Regional III, dan 43 KPH di Regional IV) sudah ditata dan semua RPHJP KPH sudah disahkan. Memasuki Tahun Anggaran Pembangunan 2014, Renstra Kehutanan tersebut diperkuat oleh kebijakan Bappenas No KPH No Budget, ada KPH ada dana kehutanan dari pusat yang mendorong banyak Pemda yang bersedia untuk membangun KPH di wilayahnya (Setyarso dan Djajono 2014). Menurut Setyarso dan Djajono (2014) Pemda terdorong untuk membangun KPH karena Pemda tidak akan mendapatkan Dana Alokasi Khusus (DAK) kehutanan di provinsi atau kabupaten/kota jika tidak ada KPH. Namun demikian pada tahun 2014 diberlakukan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang membawa konsekuensi struktur tata kelola pemerintahan di bidang kehutanan. Dinas yang mengurusi bidang kehutanan (selain urusan TAHURA) di Pemda kabupaten dihapus dan dialihkan kepada dinas bidang kehutanan di Pemda provinsi. Kedudukan KPH pun pindah dari di bawah dinas bidang kehutanan di pemda kabupaten menjadi di bawah dinas bidang kehutanan di pemda provinsi. Sebagai contoh, di Provinsi Sumatera Barat sebelum berlaku UU No. 23 Tahun 2014 terdapat 6 (enam) KPH yang terdiri dari 5 (lima) KPH Kabupaten dan satu KPH Provinsi, kini telah direorganisasi menjadi 7 KPHL dan 3 KPHP semuanya dalam bentuk UPTD. Demikian juga di Provinsi Sulawesi Tengah sebelum berlaku UU 23 Tahun 2014 terdapat 21 KPH, kini telah direorganisasi menjadi 13 KPH dalam bentuk UPTD.

12 12 13 KPH KPH Model KPHP KPHL KPHP KPHL KPHK (Pusat): Taman Nasional Cagar Alam/SM Jumlah Unit Luas Wilayah (Ha) Jumlah Keterangan 19 Unit SKPD 100 Unit UPTD 1 Unit belum ditetapkan Provinsi: 29 KPH (2 SKPD dan 26 UPTD) Kabupaten/Kota: 91 KPH (13 SKPD dan 78 UPTD) Sumber: Direktorat Rencana, Penggunaan, dan Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan, November 2015 Memasuki periode Kabinet Kerja, Renstra KLHK menyebutkan bahwa hingga tahun 2015 hanya 65 unit KPH yang dapat dianggap beroperasi. Oleh karena itu target pembangunan KPH sampai tahun 2019 adalah 182 Unit KPHL yang beroperasi, 347 Unit KPHP yang beroperasi, 50 Taman Nasional, dan 100 KPHK bukan Taman Nasional (TN). Pembangunan KPH secara bertahap sebagai berikut: (1) Tahun 2016, setidaknya 229 KPH mulai diintervensi secara langsung berdasarkan RPHJP, untuk mendorong produksi kayu, HHBK, dan jasa lingkungan air; (2) Tahun 2017, 229 KPH yang dioperasikan pada tahun 2016 mulai memberikan gambaran penurunan degradasi hutan, peningkatan produksi hutan; dan 100 KPH baru dioperasikan dan diberikan intervensi secara langsung; (3) Tahun 2018, 329 KPH yang dioperasikan pada tahun dan 50 Taman Nasional mampu memberikan sumbangan terhadap penyerapan tenaga kerja, dan dukungan terhadap akselerasi pembangunan ekonomi nasional. (4) Tahun 2019, 429KPH dan 50 Taman Nasional serta peningkatan akses masyarakat telah dapat diartikulasikan sebagai dukungan kementerian terhadap pembangunan nasional. Catatan: angka jumlah KPH yang dibangun dan dioperasikan tidak sama (429 KPH dan 50 TN atau 629 KPH dan 50 TN)? Ditjen PHPL memfasilitasi operasionalisasi KPHP. Target 69 KPHP pada tahun 2016 tercapai 67 KPHP. Hingga akhir tahun 2017, jumlah KPH yang sudah terbentuk adalah 183 KPHL dan 341 KPHP; sebanyak 217 unit KPHP dan KPHL dengan luas wilayah 28,65 juta ha sudah memiliki organisasi di tingkat tapak, sedangkan pada 312 unit KPHP dan KPHL dengan luas wilayah 70,23 juta ha belum memiliki organisasi tingkat tapak. Sebanyak 39 RPHJP dari KPHL dan 85 KPHP sudah disahkan, 291 KPHP diantaranya sudah ada Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati. Berdasarkan penilaian berbagai pihak, pembangunan KPHP/KPHL masih menghadapi berbagai kendala, terutama terkait dengan tata hubungan kerja dengan UPT Kementerian LHK, SDM, mekanisme pendanaan dan keorganisasian, dukungan kebijakan pusat dan daerah terkait dengan kerjasama para pihak dan konsolidasi strategis dengan program nasional. Dalam banyak perbincangan orientasi pengelolaan hutan lestari pada skala KPH belum mendapatkan perhatian serius, walaupun ujicoba penilaian VLK dan PHPL telah dilakukan pada beberapa KPH selama periode Permen LHK No. 81 Tahun 2016 tentang Kerjasama Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan untuk Mendukung Ketahanan Pangan mendorong beberapa Pemda membiayai penyusunan RPHJP karena menjadi persyaratan untuk melakukan kerjasama atau kemitraan antara KPH dengan BUMN/BUMD yang akan mengusahakan tanaman pangan dan atau ternak pada kawasan hutan tertentu di wilayah KPH.

13 Kelembagaan KPH Berdasarkan PP No. 6 Tahun 2007 jo. PP No. 3 Tahun 2008, KPH mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut: (1) Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi (a) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; (b) pemanfaatan hutan; (c) penggunaan kawasan hutan; (d) rehabilitasi hutan dan reklamasi; dan (e) perlindungan hutan dan konservasi alam; (2) Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang kehutanan untuk diimplementasikan; (3) Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan diwilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian; (4) Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya; (5) Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan. KPH diberi kewenangan untuk menyusun rencana pengelolaan hutan jangka panjang dan rencana pengelolaan hutan jangka pendek. Rencana pengelolaan hutan disusun dengan mengacu pada (1) rencana kehutanan nasional, provinsi, maupun kabupaten/ kota; dan (2) memperhatikan aspirasi, nilai budaya masyarakat setempat, serta kondisi lingkungan. Rencana pengelolaan hutan jangka panjang (RPHJP) memuat (1) tujuan yang akan dicapai KPH, (2) kondisi yang dihadapi; dan (3) strategi dan kelayakan pengembangan pengelolaan hutan. Sedangkan rencana pengelolaan hutan jangka pendek disusun berdasarkan RPHJP. Rencana pengelolaan hutan jangka pendek memuat (1) tujuan pengelolaan hutan lestari dalam skala KPH yang bersangkutan; (2) evaluasi hasil rencana jangka pendek sebelumnya; (3) target yang akan dicapai; (4) basis data dan informasi; (5) kegiatan yang akan dilaksanakan; (6) status neraca sumber daya hutan; (7) pemantauan evaluasi, dan pengendalian kegiatan; dan (8) partisipasi para pihak. Struktur organisasi KPH mengacu pada Permendagri No. 61 Tahun 2010 tentang pedoman organisasi dan tata kerja KPHL dan KPHP di daerah. Berdasarkan Permendagri tersebut, KPHL dan KPHP merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). KPHL dan KPHP Provinsi berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur/Bupati melalui Sekretaris Daerah. Susunan organisasi KPHL dan KPHP Provinsi/Kabupaten/Kota Tipe A, terdiri atas : a. Kepala; b. Sub-Bagian Tata Usaha; c. Seksi paling banyak 2 (dua) seksi; dan d. Kelompok jabatan fungsional.

14 16 17 Pada KPHP dan KPHL Tipe B tidak ada Seksi. Kepala KPHL dan Kepala KPHP Provinsi/Kabupaten/Kota Tipe A adalah jabatan struktural eselon III.a, sedangkan KKPH Tipe B eselon IVA. Resort KPHL dan KPHP Provinsi/Kabupaten/Kota dipimpin oleh Kepala Resort KPHL dan KPHP yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala KPHL dan KPHP. Organisasi KPHP dan KPHL ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah tingkat Provinsi atau Kabupaten/Kota dan bertanggungjawab langsung kepada Gubernur atau Bupati/Walikota. Mengacu pada UU No. 23 Tahun 2014 dan PP No. 18 Tahun 2016 Kementerian LHK telah menetapkan Permen No. 74 Tahun 2016 tentang Pedoman Nomenklatur Perangkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang melaksanakan Urusan Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup dan Urusan Pemerintahan Bidang Kehutanan, sementara Kementerian Dalam Negeri telah menetapkan Permendagri No. 12 Tahun 2017 tentang Pedoman Pembentukan dan Klasifikasi Cabang Dinas dan Unit Pelaksana Teknis Daerah. Permendagri tersebut tidak menyebutkan secara eksplisit tentang KPH, tetapi membuka peluang pembentukan UPTD provinsi yang bergerak di bidang kehutanan. Cabang Dinas Kehutanan (CDK) yang disebutkan secara eksplisit dalam Permendagri tersebut adalah CDK Provinsi yang mengurusi hutan yang berada di luar kawasan hutan. 2 Sedangkan Permen LHK No. 74 Tahun 2016 menyebutkan secara eksplisit UPTD KPH dengan tugas dan fungsinya. Dengan demikian kedua Permen tersebut mendudukan KPH sebagai UPTD provinsi. KPH dan Dinas Kehutanan Provinsi berdasarkan Permen LHK No. 74 Tahun 2016 disajikan pada Tabel Lampiran 1. Mengacu pada peraturan baru sejak UU No. 23 Tahun 2014 KPH di beberapa provinsi sudah atau dalam proses menyesuaikan diri mennjadi UPTD, misalnya di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Maluku Utara (10 KPH), Provinsi Papua Barat. UPTD KPH adalah organisasi yang melaksanakan kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang tertentu pada Dinas Kehutanan Provinsi. Pembagian tugas dan fungsi UPTD Tabel 1. Pengurusan dan Pengelolaan Hutan 2 Pengertian kawasan hutan dalam Permendagri No. 12 tahun 2017 ini perlu diklarifikasi, apakah yang dimaksud adalah kawasan hutan negara. Jika memperhatikan kriteria yang digunakan adalah luas kawasan lindung, lahan kritis dan areal hutan rakyat, kemungkinan CDK provinsi difokuskan hanya mengurusi hutan di luar kawasan hutan negara. CDK provinsi yang dimaksud dalam Permendagri ini sama dengan CDK provinsi yang dimaksud dalam Permen LHK No. 74 Tahun 2016 yang lebih eksplisit menyebutkan wilayah kerjanya di luar kawasan hutan negara.

15 Sumberdaya Manusia KPH Sumberdaya Manusia (SDM) KPH harus memenuhi kompetensi yang disyaratkan. Kementerian Kehutanan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi pegawai KPHL dan KPHP. Sertifikasi kompetensi jabatan struktural, fungsional dan Kepala Resort KPHL dan KPHP dilakukan melalui uji kompetensi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang kehutanan (LSPH). Uji kompetensi dilaksanakan dengan mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) SDM Pengelola KPH. Setyarso dan Djajono (2014) menyatakan bahwa saat ini secara umum KPHP dan KPHL yang sudah beroperasi mempunyai SDM yang masih terbatas baik jumlah maupun kualifikasinya. Walaupun ada beberapa KPH yang jumlah SDMnya memadai, namun sebagian besar SDM tersebut mempunyai kompetensi yang masih minim. Sebagai contoh, KPHP Yogyakarta yang sudah memiliki jumlah SDM yang memadai yaitu 190 orang selain Kepala KPH; KPHL Batu Tegi Lampung memiliki 25 SDM yang memadai meskipun masih di bawah jumlah SDM ideal sebanyak 34 orang; KPH Bukit Punggur di Kabupaten Way Kanan Lampung memiliki 11 orang staf (kualifikasinya 9 orang SMA dan 2 orang S1) dari 25 orang yang dibutuhkan. Selain ketersediaan SDM profesional yang terbatas, KPH juga menghadapi tantangan politik Kepala Daerah. Beberapa KKPH dipilih langsung oleh Bupati atau Kepala Daerah tidak disertai dengan fit and proper test. Campur tangan Kepala Daerah dalam penentuan KKPH semakin memperberat masalah keterbatasan SDM profesional untuk menjalankan roda manajemen KPH. Permenhut P.42 Tahun 2011 tentang standar kompetensi bidang teknis kehutanan pada KPHL dan KPHP belum diperhatikan oleh Pemda.

16 20 21 Proses mutasi SDM dari unit kerja kehutanan di pemda kabupaten ke provinsi belum berlangsung dengan baik, sehingga SDM yang sudah pindah dari pemda kabupaten ke pemda provinsi belum menjalankan perannya sebagaimana yang dibutuhkan. Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 2 Tahun 2016 mengatur bahwa pelaksanaan pengalihan Pegawai Negeri Sipil (PNS) daerah kabupaten/kota yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang kehutanan selain yang melaksanakan Pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura) kabupaten/kota menjadi PNS daerah provinsi dan ditempatkan pada unit kerja yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang kehutanan provinsi terhitung mulai tanggal 1 Oktober PNS yang dimaksud adalah PNS yang menduduki jabatan fungsional Penyuluh Kehutanan, fungsional Polisi Kehutanan, fungsional Pengendali Ekosistem Hutan; PNS yang telah mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan fungsional Penyuluh Kehutanan, Polisi Kehutanan, dan Pengendali Ekosistem Hutan dan berada pada unit kerja yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang kehutanan; dan PNS yang menduduki jabatan: Administrator, Pengawas, dan Pelaksana, yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang kehutanan pada unit kerja/dinas yang melaksanakan urusan kehutanan, KPH, atau badan yang menyelenggarakan urusan penyuluhan kehutanan. Selama ini KPH memperoleh dukungan SDM dari BP2SDM KLHK melalui program Bakti Rimbawan dan Mahasiswa Magang. Sejak tahun 2014 BP2SDM menyelenggarakan program Bakti Rimbawan (awalnya disebut Bakti Sarjana Kehutanan, BASARHUT) dengan jumlah sekitar 800 peserta setiap tahun. Dalam suatu forum lokakarya maupun komunikasi pribadi para KKPH mengapresiasi program tersebut, merasa sangat terbantu dan berharap program tersebut dapat dilanjutkan. Program Bakti Rimbawan perlu lebih diefektifkan pelaksanaannya, para peserta harus sungguh-sungguh dapat melakukan tugas-tugas membangun KPH.

17 Pendanaan KPH Permendagri No. 6 Tahun 2010 menyebutkan bahwa pembiayaan untuk mendukung kegiatan KPHL dan KPHP Provinsi, Kabupaten/ Kota dibebankan kepada APBD dan sumber dana lain yang sah. Namun demikian sebagaimana disampaikan oleh Setyarso dan Djajono (2014) bahwa selama ini masih banyak KPH (khususnya KPHP/L) yang mengalami masalah pengadaan dana operasionalnya karena sebagian besar KPH masih tergantung pada dana APBN, sedangkan Dinas Kehutanan atau Pemda Kabupaten atau Provinsi belum mampu menyediakan dana yang mencukupi untuk mendukung implementasi program KPH. Pemda yang mempunyai kontribusi penganggaran (sharing cost) yang memadai dalam mengembangkan KPH masih minim. Dalam kasus lain, pemda lebih memprioritaskan alokasi dana untuk keperluan Pilkada. Menurut Setyarso dan Djajono (2014) KPHP juga tidak mungkin mendapat bantuan atau sharing pendanaan dari UPT BPDAS karena BPDAS hanya memiliki tupoksi untuk bekerja pada kawasan hutan lindung. Padahal konvergensi kegiatan secara vertikal maupun horisontal dalam wilayah KPH seharusnya dimungkinkan guna mengefektifkan dan mengefisienkan pembiayaan. Sayangnya koordinasi yang baik belum terbangun. Dalam situasi keterbatasan anggaran dari pemerintah pusat dan pemda, beberapa KPH memperoleh dukungan dana dari lembaga internasional. Sebagai contoh, KPHP Model Tasik Besar Serkap (TBS) di Riau, memperoleh dana bantuan dari Pemerintah Korea untuk penyiapan operasionalisasinya selama tiga tahun sebagai kerjasama antara the Korea Forest Service dan Kementerian Kehutanan Indonesia tentang Penguatan dan Penyempurnaan Kapasitas KPH Tasik Besar Serkap untuk pengurangan emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan, konservasi, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan cadangan karbon (REDD+). Di beberapa provinsi sedang ada proses pembahasan untuk menjadikan KPH sebagai suatu institusi yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD). Menurut Nugroho (2014) pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) untuk organisasi yang dikelola oleh Pemerintah Pusat seperti KPHK dan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) untuk organisasi yang dikelola oleh Pemerintah Daerah seperti KPHP dan KPHL dapat dimanfaatkan untuk mencapai fleksibilitas pengelolaan keuangan. KPH juga dapat memperoleh penghasilan sendiri tanpa menerapkan PPK- BLU/PPK-BLUD, seperti KPH DIY yang memperoleh penghasilan sendiri dari retribusi daerah. Namun keluwesan pengelolaan keuangan seperti pada PPK- BLU/PPKBLUD tidak diperoleh dalam mekanisme retribusi. Sementara itu, untuk KPHK terdapat mekanisme PNBP seperti diatur dalam PP No. 12 Tahun Perkembangan terakhir beberapa Pemerintah Provinsi telah memasukkan anggaran untuk KPH dalam APBD. Sebagai contoh dalam APBD Provinsi NTB tahun 2018 dialokasikan untuk tenaga kontrak pengamanan hutan sekitar 6 (enam) miliyar rupiah dengan honor sesuai UMP Rp 1,825 jt/ bln, dan dana perjalanan patroli hutan sekitar Rp 250 jt tiap KPH (Kepala Dinas Kehutanan NTB). Demikian juga di Sulawesi Barat, operasionalisasi KPH menuju KPH mandiri sudah dimasukkan dalam RPJMD Provinsi dan Renstra Dinas Kehutanan. Honor tenaga pengamanan hutan dianggarkan dalam APBD 2018 dan sudah disetujui DPRD Provinsi (Kepala Dinas Kehutanan Sulbar).

18 KPH dan Pemegang Ijin Usaha Kehutanan Seluruh kawasan hutan terbagi dalam KPH. Sebagaimana dijelaskan dalam bagian sebelum ini bahwa KPH sebagai pelaksana pengelolaan hutan di tingkat tapak memiliki dua sisi, yaitu sebagai pelayan publik dan sebagai pelaku usaha atau bisnis. Di wilayah KPH terdiri dari beberapa pemegang izin, baik skala besar (IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT) maupun yang skala kecil (HKm, HTR, Hutan Desa), serta IUP (Pertambangan batubara, dengan wilayah sebagian menggunakan sistem pinjam pakai kawasan hutan). KPH melakukan pelayanan publik, melakukan pembinaan, pengawasan atau pengendalian, pemberdayaan masyarakat terhadap pemegang ijin atau pelaku usaha yang areal hutannya berada dalam wilayah KPH yang bersangkutan. Sedangkan sebagai pelaku usaha, KPH bekerja pada wilayah tertentu. Apa yang dimaksud dengan wilayah tertentu adalah wilayah hutan yang situasi dan kondisinya belum menarik bagi pihak ketiga untuk mengembangkan pemanfaatannya berada di luar areal ijin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan (PP No. 6 Tahun 2007 jo PP 3 Tahun 2008 dan Permenhut No. P.47/ MENHUT-II/2013). KPH dapat melakukan pemanfaatan kawasan hutan, jasa lingkungan, hasil hutan kayu dan bukan kayu serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu untuk kepentingan komersial maupun non komersial. Semua pemanfaatan hutan tersebut tertuang dalam Rencana Pengelolaan Hutan yang diusulkan oleh KKPH dan disahkan oleh Menteri Kehutanan sekaligus sebagai usulan pelimpahan kewenangan dalam melakukan pemanfaatan hutan di wilayah tertentu termasuk melakukan penjualan tegakan. Sebagai praktisi bisnis KPH dapat mengembangkan kerjasama atau kemitraan dengan praktisi bisnis lainnya: masyarakat setempat, BUMN/D/S, Koperasi, UMKM (Permenhut No. P.47 Tahun 2013). Kiprah KPH sebagai praktisi bisnis dapat dipandang sebagai laboratorium atau demonstration plot bagi praktisi bisnis yang lain baik BUMS maupun masyarakat tentang bagaimana rimbawan profesional melakukan praktik pengelolaan hutan di tingkat tapak. Prestasinya sebagai praktisi profesional meningkatkan kepercayaan diri dan menguatkan perannya sebagai pelayan publik, pembina, pengawas atau pengendali bagi pemegang ijin atau pelaku bisnis lainnya. Meskipun berperan ganda, sebagai rimbawan dan organisasi profesional dapat menghindari conflict of interest.

19 Sinergi KPH dan Perhutanan Sosial KPH dapat mengoperasionalkan program PS lebih efektif dan efisien. Sinergi KPH dan PS merealisasikan pembangunan masyarakat dari pinggiran (desa hutan) dan pemerintah hadir di tingkat tapak. KPH adalah unit kerja yang mengenal dari sangat dekat kondisi biofisik hutan, kondisi sosial budaya masyarakatnya, potensi dan persoalannya termasuk konflik atas hutannya, sejarah penguasaan lahan, siapa yang menguasai lahan dalam arti realitas menduduki, menggarap, mengusahakan lahan; struktur penguasaan lahan hutan. Peran KPH penting untuk lebih diinklusifkan kedalam kerangka tata kerja PS yang berjalan hingga saat ini untuk meningkatkan efektivitas dan percepatan program PS ke depan. Efektivitas program PS ditunjukkan oleh ketepatan subyek (pelaku PS) dan obyek (kawasan hutan), dan keadilan antar pelaku. Bahkan kewenangan KPH perlu lebih diperbesar hingga seluruh proses pemberian izin PS selesai di KPH; pendampingan masyarakat lanjutan untuk pengelolaan PS dan pengembangan bisnisnya yang berbasis hasil hutan (kayu, bukan kayu, jasa lingkungan) dijalankan oleh KPH. Dalam tahap proses perizinan, KPH mengidentifikasi penguasaan lahan hutan di tingkat tapak, mengidentifikasi kelompok masyarakat yang akan menjadi pelaku program PS, mengidentifikasi lahan yang akan dialokasikan untuk PS, dan memfasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat. PIAPS dapat digunakan oleh KPH sebagai acuan. Kawasan hutan yang dialokasikan untuk PS merupakan hasil identifikasi luas dan batas kawasan hutan bersama-sama masyarakat desa yang akan menerimanya. Batas areal hutan yang diusulkan dapat menggunakan batas administratif desa. Dengan kata lain kawasan hutan negara yang diusulkan oleh masyarakat desa atau pemerintah desa kepada KPH untuk PS adalah kawasan hutan yang masuk kedalam wilayah administrasi desa (wilayah pangkuan atau wewengkon atau pertuanan). Jika terdapat sengketa lahan hutan, KPH berperan aktif untuk melakukan resolusi konflik. BPS (2015) menyebutkan bahwa pada tahun 2014 jumlah rumahtangga desa hutan sekitar 8,6 juta dengan jumlah desa sekitar Jika rata-rata per desa dialokasikan areal PS 1000 ha, maka total luas kawasan hutan untu k PS 21 juta ha (hampir dua kali lipat target 12,7 jta hektar). Areal hutan 1000 ha itu dapat dikelola semuanya sebagai HD atau semuanya HKm. Jika rata-ra ta 2 ha per rumahtangga, maka memerlukan kawasan hutan 17 juta hektar. A pakah pengelolaannya dengan HD, HKm, HTR atau kemitraan sepenuhnya di putuskan dan disepakati di tingkat masyarakat desa masing-masing melalui musyawarah dan konsensus pemerintah desa, BPD, dan masyarakat desa.

20 28 29 Dengan langkah ini alokasi areal pencadangan PS segera dapat direalis asikan, segera dapat dipegang oleh masyarakat desa, sehingga mengurangi peluang okupasi lahan hutan secara illegal oleh orang-orang di luar masyarak at desa. Dalam banyak kasus, lahan-lahan hutan yang ditinggalkan oleh perus ahaan kehutanan (HPH atau pemegang IUPHHK), atau perusahaan tidak aktif, segera diokupasi secara illegal. Meskipun ada kemungkinan areal hutan yan g sudah diserahkan kepada masyarakat tidak segera dikelola, namun setidak nya sudah ada yang memegang hak atas kawasan hutan tersebut dan menga mankannya dari tindakan okupasi kawasan hutan secara illegal. KPH melakukan pembinaan teknis, kelembagaan dan manajemen bisnis. Pendampingan masyarakat membutuhkan waktu, komitmen para pihak de ngan kompetensi dan perannya, dan pendanaan. KPH dapat meminta bantua n kepada perguruan tinggi/ universitas setempat, LSM, atau pelaku bisnis dal am pembinaan masyarakat tersebut, termasuk memfasilitasi kerjasama mas yarakat dengan pelaku bisnis. Pembinaan teknis kegiatan ekonomi produktif berbasis sumberdaya hutan (kayu, bukan kayu, dan jasa lingkungan) dalam k erangka pengelolaan hutan maupun kegiatan ekonomi produktif di luar kehut anan perlu segera dilakukan untuk membangkitkan pendapatan masyarakat desa dan KPH. KPH dapat membantu penguatan kelembagaan masyarakat desa, misalnya BUMDes (Badan Usaha Milik Desa), peraturan desa atau aturan-aturan adat untuk pengelolaan hutan. Kelembagaan masyarakat desa diperkuat untuk mewujudkan keadilan distribusi tanggung jawab dan manfaat atas sumberdaya hutan dan kelestarian hutan. KPH juga dapat membantu pengua tan kapasitas manajemen bisnis masyarakat. Selain melakukan pendampingan terhadap para pelaku PS yang telah d efinitif izinnya, KPH juga dapat membangun kemitraan bersama masyarakat atau PS skema kemitraan pada kawasan hutan yang belum diberikan izin pemanfaatannya kepada pihak lain, sebagaimana dijelaskan dalam Permen LH K No. 49 Tahun Permen tersebut diharmonisasikan dengan Permen LH K No. 83 Tahun Gambar 2. Interaksi hutan lestari dan masyarakat sejahtera Peran KPH dalam kerangka kerja PS adalah memastikan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari melalui pelayanan yang sebaik mungkin di tingkat tapak oleh KPH dengan prinsip inklusif dan kepastian hak, menjaga KPH tetap berorientasi pada kesejahteraan masyarakat; dan tetap menyinergikan dengan UPT pusat dan para pihak. Kesejahteraan masyarakat dicapai melalui pengelolaan hutan lestari, dan sebaliknya pengelolaan hutan lestari melalui partisipasi masyarakat. Pemerintah pusat (KLHK) memantau, mengendalikan dan mengevaluasi program PS dengan berpegang pada RPHJP, karena program PS menjadi bagian dari keseluruhan program KPH yang diintegrasikan dalam RPHJP.

21 Rekomendasi Ke depan KPH masih akan menghadapi tantangan-tantangan keterbatasan SDM profesional di tingkat lapangan secara kualitas dan kuantitas; keterbatasan anggaran; dukungan Pemerintah Provinsi yang masih lemah. Dukungan dari berbagai pihak di lintas kementerian, pemda, dan lembaga-lembaga donor sangat dibutuhkan. Sekretariat Nasional Pembangunan KPH perlu diperkuat kembali perannya untuk menggerakan dukungan para pihak di tingkat nasional maupun daerah. Penguatan regulasi untuk percepatan pembentukan dan operasionalisasi KPH masih harus dilakukan. KPH sebagai UPTD perlu diberi keleluasaan untuk bergerak, berinovasi supaya profesionalisme sebagai pengelola kawasan hutan di tingkat tapak dapat sungguh dapat dipraktikan. Regulasi yang diperlukan adalah regulasi yang dapat menggerakan peran pemerintah pusat dan daerah (provinsi) untuk mendukung KPH. Regulasi tentang tata hubungan KPH dengan instansi lain di Pusat dan Daerah, tata hubungan KPH dengan pemegang izin yang ada di wilayah KPH, pengaturan bagi hasil dari sumberdaya hutan yang dikelola langsung oleh KPH maupun kemitraan. KPH membangun jejaring. Kapasitas KPH sangat menentukan keberhasilan pengelolaan hutan di tingkat tapak. KPH perlu membangun jejaring dengan unit-unit kerja lain di pemerintahan maupun dengan LSM, akademisi dan lembaga bisnis (BUMN/ BUMS). Di tingkat desa, KPH perlu membangun kerjasama dengan pemerintah desa (atau nama lainnya: nagari, negeri) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). KPH dapat menjadi motor penggerak sinergitas dinas-dinas dan badan-badan PEMDA yang terkait (Dinas kehutanan, pertanian, industri, pariwisata, pekerjaan umum) untuk membangun desa hutan. KPH menjadi penggerak atau yang memobilisir sumberdaya yang tersedia di daerahnya, bahkan dapat menjalin kerjasama atau membangun jejaring dengan para pihak yang lebih luas. Kementerian LHK mendukung peran KPH dalam pembinaan masyarakat, dalam bentuk dukungan anggaran, kebijakan/regulasi, koordinasi dan sinergi di level kementerian/lembaga negara, lembaga donor, ilmu pengetahuan, jejaring nasional dan internasional, monitoring dan evaluasi kenerja. Demikian pula pemerintah provinsi mendukung anggaran (APBD), pembinaan SDM, regulasi daerah, koordinasi dan sinergi dinas-dinas dan badan-badan di level provinsi dan kabupaten. Konflik atau sengketa atas hutan di wilayah KPH harus segera ditangani untuk menjamin kepastian hak atas PS. BPS (2014) mencatat terdapat sekitar 700 ribu rumahtangga yang menggunakan kawasan hutan secara tidak legal. Selain membuka akses masyarakat terhadap kawasan hutan, program PS perlu dibarengi dengan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang batas-batas kawasan hutan. BPS (2015) melaporkan bahwa 35,2 % rumahtangga desa hutan belum mengetahui keberadaan kawasan hutan. Diantara mereka yang mengetahui keberadaan kawasan hutan hanya 75 % yang mengetahui ada tanda batas kawasan hutan.

22 32 33 KPH mempunyai peran yang sangat besar untuk pengembangan PS. Kelembagaan HKm, HD, dan HTR yang kuat diperlukan untuk dapat menjalankan aturan-aturan pengelolaan hutan baik teknis kehutanan, membangun jejaring sosial ekonomi, maupun mengembangkan produk dan pemasarannya; memiliki posisi tawar yang kuat dalam berkolaborasi dengan pihak luar, menjamin distribusi manfaat yang adil di antara warga masyarakat. Penguatan dan pengembangan kapasitas masyarakat pengelola PS harus dilakukan oleh KPH. Efektivitas dan percepatan implementasi PS membutuhkan dukungan organisasi pemerintah di tingkat daerah dan tapak. Menggantungkan implementasi PS kepada jumlah UPT bidang PS yang terbatas akan mengalami hambatan. Peran pemerintah daerah sangat penting. Kemauan politik dan dukungan finansial dari pemda, kapasitas SDM bidang teknis dan sosial ekonomi, maupun infrastruktur dibawah kewenangan dan kekuasaan pemda harus diperkuat. Dinas-dinas di lingkungan PEMDA harus melakukan sinkronisasi program pembangunan masyarakat pedesaan di mana program PS dapat menjadi sentralnya. KPH sebagai organisasi pemerintah di tingkat tapak memegang peran yang strategis untuk implementasi program PS lebih efektif dan cepat. Oleh karena itu, KPH harus diberi peran lebih besar, bahkan kewenangan KPH perlu lebih diperbesar hingga seluruh proses pemberian izin PS selesai di KPH, dan pendampingan masyarakat lanjutan untuk pengelolaan PS dan pengembangan bisnisnya yang berbasis hasil hutan (kayu, bukan kayu, jasa lingkungan) dijalankan oleh KPH. Penguatan kelembagaan KPH seharusnya dilakukan bersama oleh pemerintah daerah dengan dukung kuat oleh KLHK. penguasaan lahan hutan membutuhkan keterampilan resolusi konflik. Komitmen Kementerian LHK untuk percepatan PS telah ditunjukkan dengan kebijakan menteri dan dirjen, kerjasama-kerjasama yang dibangun baik dengan kementerian lain maupun para pihak nonpemerintah, dan alokasi anggaran. Dukungan dari kementerian terkait, antara lain Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi; Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Peridustrian. Bahkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian telah mengeluarkan Surat Keputusan No. 73 Tahun 2017 tentang Tim Reforma Agraria pada tanggal 4 Mei Kebijakan tersebut dapat memberikan arahan koordinasi dan sinergitas antar kementerian khususnya dalam menangani PS dan reformasi agraria. Gerakan setingkat Menteri Koordinator mungkin belum cukup kuat untuk mempercepat implementasi program PS mencapai target 12,7 juta hektar pada tahun Oleh karena itu perlu dorongan lebih kuat, yaitu instruksi presiden dengan menggerakan organisasi non kementerian setingkat kementerian, semacam Badan Koordinasi yang dapat menggerakan kementerian-kementerian sekaligus menggerakan pemda. PS harus tepat sasaran dan sesuai dengan tujuan kebijakan yaitu mewujudkan pengelolaan hutan lestari, meningkatkan keadilan manfaat atas sumberdaya hutan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, masyarakat desa hutan. Program PS harus dapat menjadi pintu masuk penataan distribusi manfaat atas hutan. Okupasi masyarakat atas lahan hutan negara yang selama ini terjadi harus dapat ditata sehingga tidak terjadi ketimpangan penguasaan lahan hutan negara. Proses penataan distribusi

23 34 35 PUSTAKA

24 36 37 Departemen Kehutanan Informasi Umum Kehutanan Jakarta. Direktorat Rencana, Penggunaan, dan Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan KLHK Data dan informasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Tahun Djajono A. dan Sugiharto Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan. Direktorat Rencana Penggunaan dan Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan dan GIZ- FORCLIME. Jakarta Do A.T., Nguyen B.N., Vo D.T. and Le T.A Enabling Diverse Governance Structures for Community Forest Management. Kartodihardjo H., Nugroho B., Putro H.R Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH): Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi. Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan FORCLIME GIZ. Jakarta. Kartodihardjo H., Sardjono M.A. dan Wulandari Ch Pengarusutamaan Pengurusan Hutan di Daerah. Dalam Setyarso A., Djajono A., Nugroho B., Wulandari Ch., Suwarno E., Kartodihardjo H. Sardjono M.A. Strategi Pengembangan KPH dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia. Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan FORCLIME GIZ. Jakarta. Kementerian Kehutanan Rencana Strategis Kementerian Kehutanan Tahun Jakarta. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rencana Strategis Tahun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta. Nguyen T.Q. and Sikor T Forest Land Allocation: An Overview of Policy Framework and Outcomes. In Sikor T. and Nguyen T.Q. Realizing Forest Rights in Vietnam: Addressing Issues in Community Forest Management. RECOFTC The Center for People and Forests, Bangkok, Thailand. Nugroho B Menuju KPH Mandiri: Apa yang Harus Dilakukan? Dalam Setyarso A., Djajono A., Nugroho B., Wulandari Ch., Suwarno E., Kartodihardjo H. Sardjono M.A. Strategi Pengembangan KPH dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia. Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan FORCLIME GIZ. Jakarta. Pulhin J.M., Inoue M., and Enters Th Three decades of community- based forest management in the Philippines: Emerging lessons for sustainable and equitable forest management. International Forestry Review 9(4): Pulhin J.M. and Inoue M Dynamics of Devolution Process in the Management of the Philippine Forests. International Journal of Social Forestry 1(1): Sardjono M.A. dan Wulandari Ch Kemitraan KPH dan Masyarakat. Dalam Setyarso A., Djajono A., Nugroho B., Wulandari Ch., Suwarno E., Kartodihardjo H. Sardjono M.A. Strategi Pengembangan KPH dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia. Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan FORCLIME GIZ. Jakarta. Setyarso A., Djajono A., Nugroho B., Wulandari Ch., Suwarno E., Kartodihardjo H. Sardjono M.A Strategi Pengembangan KPH dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia. Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan FORCLIME GIZ. Jakarta. Setyarso A. dan Djajono A Pembelajaran dari Pembentukan dan Operasionalisasi KPH. Dalam Setyarso A., Djajono A., Nugroho B., Wulandari Ch., Suwarno E., Kartodihardjo H. Sardjono M.A. Strategi Pengembangan KPH dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia. Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan FORCLIME GIZ. Jakarta.

PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN KPH

PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN KPH KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DITJEN PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN KPH (Memperkuat KPH dalam Pengelolaan Hutan Lestari untuk Pembangunan Nasional / daerah

Lebih terperinci

(KPH) Peraturan terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan

(KPH) Peraturan terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DIREKTORAT WILAYAH PENGELOLAAN DAN PENYIAPAN AREAL PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN Peraturan terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) COOPERATION

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PEMANFAATAN HUTAN

OPTIMALISASI PEMANFAATAN HUTAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN HUTAN Direktur Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan Disampaikan pada Acara Gelar Teknologi Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 12 Mei 2014

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Seluruh kawasan hutan yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi

TINJAUAN PUSTAKA. Seluruh kawasan hutan yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) 1. Pembentukan Wilayah KPH Seluruh kawasan hutan yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi harus dilaksanakan proses pembentukan

Lebih terperinci

2 tentang Fasilitasi Biaya Operasional Kesatuan Pengelolaan Hutan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara

2 tentang Fasilitasi Biaya Operasional Kesatuan Pengelolaan Hutan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.811, 2015 KEMEN-LHK. Biaya Operasional. Kesatuan Pengelolaan Hutan. Fasilitasi. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.20/MenLHK-II/2015

Lebih terperinci

PERAN STRATEGIS KPH. Oleh : M.Rizon, S.Hut, M.Si (KPHP Model Mukomuko) Presentasi Pada BAPPEDA Mukomuko September 2014

PERAN STRATEGIS KPH. Oleh : M.Rizon, S.Hut, M.Si (KPHP Model Mukomuko) Presentasi Pada BAPPEDA Mukomuko September 2014 PERAN STRATEGIS KPH Oleh : M.Rizon, S.Hut, M.Si (KPHP Model Mukomuko) Presentasi Pada BAPPEDA Mukomuko September 2014 KONDISI KPHP MODEL MUKOMUKO KPHP MODEL MUKOMUKO KPHP Model Mukomuko ditetapkan dengan

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : P.20/MenLHK-II/2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : P.20/MenLHK-II/2015 TENTANG PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA 013 NOMOR : P.20/MenLHK-II/2015 TENTANG FASILITASI BIAYA OPERASIONAL KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.704, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Bakti Sarjana. Kehutanan. Pembangunan Hutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.30/MENHUT-II/2013 TENTANG BAKTI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO P E T I K A N PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUKOMUKO NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP)

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN KPH

KEBIJAKAN DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN KPH KEBIJAKAN DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN KPH Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan Disampaikan pada Pembahasan Finalisasi RPI Periode 205-209 Jakarta, 8 Februari 204 OUTLINE:

Lebih terperinci

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Disampaikan pada acara : Rapat Monitoring dan Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Jakarta, 22

Lebih terperinci

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PENGUATAN KELEMBAGAAN KPH SEBAGAI PENGELOLA KAWASAN HUTAN DI TINGKAT TAPAK YANG MANDIRI Drs. H. Slamet, M.Si KASUBDIT WILAYAH IV DIREKTORAT FASILITASI KELEMBAGAAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, 9PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.99/MENLHK/SETJEN/SET.1/12/2016 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN TAHUN 2017

Lebih terperinci

KEBUTUHAN SARANA DAN PRASARANA OPERASIONALISASI KPH

KEBUTUHAN SARANA DAN PRASARANA OPERASIONALISASI KPH KEBUTUHAN SARANA DAN PRASARANA OPERASIONALISASI KPH Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Disampaikan pada Sosialisasi DAK Bidang Kehutanan Tahun 2014 Jakarta, 6 Februari 2014 Mandat Perundang-undangan

Lebih terperinci

DATA DAN INFORMASI KEHUTANAN

DATA DAN INFORMASI KEHUTANAN DATA DAN INFORMASI KEHUTANAN Pangkal Pinang 16-17 April 2014 BAGIAN DATA DAN INFORMASI BIRO PERENCANAAN KEMENHUT email: datin_rocan@dephut.go.id PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG, 1 PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG NOMOR P.7/PDASHL/SET/KUM.1/11/2016 TENTANG STANDAR OPERASIONALISASI KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DIREKTORAT WILAYAH PENGELOLAAN DAN PENYIAPAN AREAL PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DIREKTORAT WILAYAH PENGELOLAAN DAN PENYIAPAN AREAL PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DIREKTORAT WILAYAH PENGELOLAAN DAN PENYIAPAN AREAL PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN RINGKASAN Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Konsep,

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DIREKTORAT WILAYAH PENGELOLAAN DAN PENYIAPAN AREAL PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DIREKTORAT WILAYAH PENGELOLAAN DAN PENYIAPAN AREAL PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DIREKTORAT WILAYAH PENGELOLAAN DAN PENYIAPAN AREAL PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN RINGKASAN Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Konsep,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1230, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Kelompok Tani Hutan. Pembinaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.57/Menhut-II/2014 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN KELOMPOK

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN 1 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP) MODEL LALAN KABUPATEN MUSI BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN Tesis Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 75 TAHUN 2017 TENTANG

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 75 TAHUN 2017 TENTANG GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 75 TAHUN 2017 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS DAERAH DINAS KEHUTANAN PROVINSI SUMATERA BARAT DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi

Lebih terperinci

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 022 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS, POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 022 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS, POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 022 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS, POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

Policy Brief. Skema Pendanaan Perhutanan Sosial FORUM INDONESIA UNTUK TRANSPARANSI ANGGARAN PROVINSI RIAU. Fitra Riau

Policy Brief. Skema Pendanaan Perhutanan Sosial FORUM INDONESIA UNTUK TRANSPARANSI ANGGARAN PROVINSI RIAU. Fitra Riau Skema Pendanaan Perhutanan Sosial FORUM INDONESIA UNTUK TRANSPARANSI ANGGARAN PROVINSI RIAU Fitra Riau 1 Skema Pendanaan Perhutanan Sosial SKEMA PENDANAAN PERHUTANAN SOSIAL LANDASAN KEBIJAKAN (HUKUM) Banyak

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA DINAS KEHUTANAN PROVINSI LAMPUNG TAHUN

INDIKATOR KINERJA UTAMA DINAS KEHUTANAN PROVINSI LAMPUNG TAHUN INDIKATOR KINERJA UTAMA DINAS KEHUTANAN PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2015-2019 PEMERINTAH PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2015 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR i ii iii BAB I PENDAHULUAN 1 1.1.

Lebih terperinci

SISTEMATIKA PENYAJIAN :

SISTEMATIKA PENYAJIAN : KEPALA BIRO PERENCANAAN PERAN LITBANG DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN SEKTOR KEHUTANAN JAKARTA, 11 JULI 2012 SISTEMATIKA PENYAJIAN : 1. BAGAIMANA ARAHAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN? 2. APA YANG SUDAH DICAPAI? 3.

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 7/Menhut-II/2011 TENTANG PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 7/Menhut-II/2011 TENTANG PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 7/Menhut-II/2011 TENTANG PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENGESAHAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

BAB II. PERENCANAAN KINERJA BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

PROYEKSI PERKEMBANGAN PERHUTANAN SOSIAL DI SUMATERA SELATAN

PROYEKSI PERKEMBANGAN PERHUTANAN SOSIAL DI SUMATERA SELATAN KERTAS KEBIJAKAN PROYEKSI PERKEMBANGAN PERHUTANAN SOSIAL DI SUMATERA SELATAN Perhutanan Sosial yang menjadi salah satu agenda RPJMN diharapkan dapat menjawab beberapa permasalahan nasional yang juga terjadi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan SUB BIDANG

AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan SUB BIDANG - 563 - AA. PEMBAGIAN URUSAN AN KEHUTANAN PROVINSI 1. Inventarisasi Hutan prosedur, dan kriteria inventarisasi hutan, dan inventarisasi hutan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI MODEL KOTAWARINGIN

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SEKRETARIAT, BIDANG,

Lebih terperinci

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA 5 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.58/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.58/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.58/Menhut-II/2014 TENTANG BAKTI RIMBAWAN DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

: Ketentuan Umum : Pemberian & Permohonan Hak atau Izin & Pelaksanaan Kemitraan Kehutanan Bab III : Pemanfaatan Areal PS Bab IV : Jangka Waktu dan

: Ketentuan Umum : Pemberian & Permohonan Hak atau Izin & Pelaksanaan Kemitraan Kehutanan Bab III : Pemanfaatan Areal PS Bab IV : Jangka Waktu dan Bab I Bab II : Ketentuan Umum : Pemberian & Permohonan Hak atau Izin & Pelaksanaan Kemitraan Kehutanan Bab III : Pemanfaatan Areal PS Bab IV : Jangka Waktu dan Evaluasi Bab V : Hak dan Kewajiban Bab VI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS SEKRETARIAT, BIDANG, SUB BAGIAN DAN SEKSI DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR MENIMBANG :

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1265, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Pembangunan. Kehutanan. Bakti Rimbawan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.58/Menhut-II/2014 TENTANG BAKTI RIMBAWAN

Lebih terperinci

Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan BAB III Urusan Desentralisasi

Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan BAB III Urusan Desentralisasi 3. URUSAN LINGKUNGAN HIDUP a. Program dan Kegiatan. Program pokok yang dilaksanakan pada urusan Lingkungan Hidup tahun 2012 sebagai berikut : 1) Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan

Lebih terperinci

SUPLEMEN, RENCANA KERJA 2015 (REVISI) : PENYIAPAN LANDASAN PENCAPAIAN SASARAN PEMBANGUNAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

SUPLEMEN, RENCANA KERJA 2015 (REVISI) : PENYIAPAN LANDASAN PENCAPAIAN SASARAN PEMBANGUNAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN SUPLEMEN, RENCANA KERJA 2015 (REVISI) : PENYIAPAN LANDASAN PENCAPAIAN SASARAN PEMBANGUNAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PENGANTAR Sebagai konsekuensi dari perubahan nomeklatur Kementerian

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH SALINAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 37 TAHUN 2015 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PADA DINAS KEHUTANAN PROVINSI

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 14 TAHUN 2013

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 14 TAHUN 2013 GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 38 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KESATUAN PENGELOLAAN

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 38 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KESATUAN PENGELOLAAN PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 38 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG KABUPATEN LUWU TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BRIEF Volume 11 No. 04 Tahun 2017

BRIEF Volume 11 No. 04 Tahun 2017 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN POLICY BRIEF Volume 11 No. 04 Tahun

Lebih terperinci

BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT DI LINGKUNGAN DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON

SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON KKI WARSI LATAR BELAKANG 1. Hutan Indonesia seluas + 132,9

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA 9 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.46/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENGESAHAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI BATULANTEH KABUPATEN SUMBAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA,

Lebih terperinci

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep No.149, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN. Badan Pengelola. Penurunan. Emisi Gas Rumah Kaca. Kelembagaan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN & KELEMBAGAAN KEHUTANAN DAERAH

KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN & KELEMBAGAAN KEHUTANAN DAERAH KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN & KELEMBAGAAN KEHUTANAN DAERAH IMPLIKASI UU NO. 23/2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH & PP NO. 18/2016 TENTANG PERANGKAT DAERAH Disampaikan pada: Acara Sosialisasi Tertib Peredaran

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MOR : P.25/Menhut-II/2013 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2013 KEPADA 33 GUBERNUR PEMERINTAH PROVINSI

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KEHUTANAN PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang : a. bahwa sehubungan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN - 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa hutan disamping

Lebih terperinci

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan.

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan. BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.30/Menhut-II/2013 TENTANG BAKTI SARJANA KEHUTANAN DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.30/Menhut-II/2013 TENTANG BAKTI SARJANA KEHUTANAN DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.30/Menhut-II/2013 TENTANG BAKTI SARJANA KEHUTANAN DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 92 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 92 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 92 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN PURWOREJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999 tentang Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah serta Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan

Lebih terperinci

BIDANG KEHUTANAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN KABUPATEN OKU 1. Inventarisasi Hutan

BIDANG KEHUTANAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN KABUPATEN OKU 1. Inventarisasi Hutan BB. BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN KABUPATEN OKU 1. Inventarisasi Hutan 2. Pengukuhan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Suaka Alam dan Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi. 13, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.5/Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 32 TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI...

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 78 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 78 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 78 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA DINAS PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum bidang kehutanan;

BAB I PENDAHULUAN. b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum bidang kehutanan; BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah dibentuk berdasarkan : 1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan Perintah, Pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, transparan, akuntabel, efisien dan efektif di bidang perencanaan pembangunan daerah, diperlukan adanya tahapan,tata

Lebih terperinci

Pasal 11 Kepala Sub Bagian Perencanaan mempunyai uraian tugas : a. menyiapkan bahan program kerja perencanaan sebagai pedoman pelaksanaan tugas;

Pasal 11 Kepala Sub Bagian Perencanaan mempunyai uraian tugas : a. menyiapkan bahan program kerja perencanaan sebagai pedoman pelaksanaan tugas; BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 100 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN DESA KABUPATEN

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK TENGAH RANCANGAN PERATURAN BUPATI LOMBOK TENGAH NOMOR... TENTANG

BUPATI LOMBOK TENGAH RANCANGAN PERATURAN BUPATI LOMBOK TENGAH NOMOR... TENTANG BUPATI LOMBOK TENGAH RANCANGAN PERATURAN BUPATI LOMBOK TENGAH NOMOR... TENTANG INTEGRASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT DALAM STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN Menimbang : a. Bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 958, 2013 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kemitraan Kehutanan. Masyarakat. Pemberdayaan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.39/MENHUT-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.44/Menhut-II/2014 TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN UNIT PERCONTOHAN PENYULUHAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.44/Menhut-II/2014 TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN UNIT PERCONTOHAN PENYULUHAN KEHUTANAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.44/Menhut-II/2014 TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN UNIT PERCONTOHAN PENYULUHAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MODEL ALOR PANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.407, 2011 KEMENTERIAN KEHUTANAN. IUPHHK. Hutan Tanaman Rakyat. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.55/Menhut-II/2011 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan pemanfaatan lahan antara masyarakat adat dan pemerintah merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Salah satu kasus yang terjadi yakni penolakan Rancangan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

USULAN STRUKTUR KELEMBAGAAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

USULAN STRUKTUR KELEMBAGAAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN USULAN STRUKTUR KELEMBAGAAN Dasar Hukum Lingkungan Hidup UU No. 32/2009: Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup UU No. 18/2008: Pengelolaan Sampah PP turunannnya Kehutanan UU No. 41/1999: Kehutanan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 228

Lebih terperinci

Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO. Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015

Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO. Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015 Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015 #1. Sektor Pertambangan Puluhan ribu hektar kawasan hutan lindung dan konservasi di Jabar,

Lebih terperinci

A. Bidang. No Nama Bidang Nama Seksi. 1. Bidang Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan. - Seksi Perencanaan dan Penatagunaan Hutan

A. Bidang. No Nama Bidang Nama Seksi. 1. Bidang Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan. - Seksi Perencanaan dan Penatagunaan Hutan Lampiran Surat Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten Nomor : 522/ /Hutbun.1/2016 Tanggal : Nopember 2016 Perihal : Kajian Pembentukan UPTD Urusan Kehutanan pada Dinas Lingkungan Hidup dan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PADA OPD YANG MENANGANI BUMD, BLUD, DAN BARANG MILIK DAERAH DAN ARAH PERUBAHAN KEBIJAKAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH DAERAH

KEBIJAKAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PADA OPD YANG MENANGANI BUMD, BLUD, DAN BARANG MILIK DAERAH DAN ARAH PERUBAHAN KEBIJAKAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH DAERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KEBIJAKAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PADA OPD YANG MENANGANI BUMD, BLUD, DAN BARANG MILIK DAERAH DAN ARAH PERUBAHAN KEBIJAKAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH DAERAH Oleh:

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI RAWAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LAKITAN KABUPATEN MUSI RAWAS DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.29/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENDAMPINGAN KEGIATAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.29/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENDAMPINGAN KEGIATAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.29/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENDAMPINGAN KEGIATAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci