PENATALAKSANAAN HIPOTENSI PADA ANESTESI SPINAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENATALAKSANAAN HIPOTENSI PADA ANESTESI SPINAL"

Transkripsi

1 Referat Maret 2010 PENATALAKSANAAN HIPOTENSI PADA ANESTESI SPINAL Oleh Ronggo Baskoro Peserta PPDS I Anestesiologi dan Reanimasi FK UGM / RS Dr. Sardjito Pembimbing Moderator Dr. Sudadi, SpAn Dr. Pandit Sarosa, SpAn (K) SMF / BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI FK UGM / RSUP Dr. SARDJITO YOGYAKARTA 2010 PENDAHULUAN

2 Anestesi spinal merupakan salah satu tehnik anestesi dengan menyuntikan sejumlah obat lokal anestesi ke dalam ruang subarachnoid. Tehnik ini mempunyai onset yang cepat, tingkat keberhasilan yang tinggi, simpel, efektif, dan relatif mudah dilakukan. Tetapi selain itu, anestesi spinal juga memiliki beberapa komplikasi yang sering terjadi, diantaranya efek terhadap hemodinamik yaitu hipotensi. (Salinas, 2009) Komplikasi hemodinamik pada anestesi spinal yang paling sering terjadi adalah hipotensi. Hal ini merupakan perubahan fisiologis yang sering terjadi pada anestesi spinal. (Liguori, 2007) Insidensi kejadian hipotensi pada anestesi spinal mencapai 8 33 %. Dan dalam penelitiannya, Scott, 1991., menyebutkan bahwa pada kasus yang dilakukan anestesi spinal, 38 % diantaranya mengalami hipotensi. (Covino, 1994; Liguori, 2007) Penyebab utama dari terjadinya hipotensi pada anestesi spinal adalah blokade simpatis. Dimana derajat hipotensi berhubungan dengan tingkat penyebaran obat anestesi lokal. Level blok yang hanya mencapai sacral maupun lumbal biasanya hanya sedikit ataupun tidak berpengaruh terhadap tekanan darah, dibandingkan dengan level blok yang lebih tinggi. (Covino, 1994; Liguori, 2007) Mengingat frekuensi kejadian hipotensi yang ada pada anestesi spinal, maka penulis memandang perlu untuk menulis referat ini dengan tujuan untuk memahami pengetahuan tentang faktor - faktor yang berpengaruh terhadap perubahan kardiovaskuler pada anestesi spinal yang digunakan, dimana hal ini diperlukan untuk menghindari hipotensi yang hebat yang akan berpengaruh terhadap organ vital dan memahami tindakan preventif serta pemilihan terapi yang tepat. I. REGULASI FISIOLOGIS TEKANAN DARAH

3 Tekanan darah ditentukan oleh tahanan vaskuler sistemik dan curah jantung. Curah jantung ditentukan oleh laju nadi dan stroke volume, sementara stroke volume sendiri dipengaruhi oleh kontraktilitas otot jantung, after load dan preload, dimana hal ini semua berhubungan dengan venous retun. Venous return sendiri dipengaruhi oleh gravitasi (gaya berat), tekanan intratorakal dan derajat tonus venomotor. Tahanan vaskuler sistemik ditentukan oleh tonus simpatis vasomotor dan dipengaruhi oleh hormon-hormon seperti renin, angiotensin, aldosteron dan hormon antidiuretik, metabolik lokal (pada jaringan dan darah), serta konsentrasi 0 2 dan C0 2. (Covino, 1994) Perubahan dalam mikrosirkulasi juga mempengaruhi tekanan arterial, faktor tersebut bertanggung jawab untuk autoregulasi terhadap aliran darah. Ada dua mekanisme utama yaitu myogenik dan Chemical. Aksi autoregulasi myogenik melalui reseptor regangan pada dinding pembuluh darah dimana akan menyebabkan konstriksi ketika tekanan menurun. Autoregulasi chemical dipengaruhi oleh konsentrasi lokal dari metabolit vasoaktif. Dengan adanya vasodilatasi akibat blokade simpatis, peningkatan aliran akan mengencerkan metabolit dan menghasilkan reflek vasokonstriksi. (Paul, 1994; Viscomi, 2004) Jadi hipotensi selama anestesi spinal berhubungan dengan luasnya blokade simpatis, dimana mempengaruhi tahanan vaskuler perifer dan curah jantung. Besarnya perubahan kardiovaskuler tergantung atas derajat dari tonus simpatis yang timbul dengan segera setelah injeksi spinal. (Covino, 1994) TAHANAN VASKULER PERIFER Blok simpatis yang terbatas pada daerah thorax bagian bawah dan tengah menyebabkan vasodilatasi dari anggota badan dibawahnya dengan kompensasi vasokonstriksi anggota badan diatasnya. Jadi tahanan vaskuler perifer hanya menurun ringan yang membatasi derajat hipotensi. Bila blokade meluas lebih tinggi, vasodilatasi akan meningkat, dan beberapa saat kemudian kemampuan untuk vasokonstriksi sebagai kompensasi akan menurun. (Covino, 1994) CURAH JANTUNG Anestesi spinal, yang hanya sampai level torakal tengah, tidak menyebabkan perubahan yang nyata pada curah jantung asalkan posisi pasien horizontal atau

4 head down. Anestesi spinal yang meluas sampai ke level torakal bagian atas atau servikal, menyebabkan pengurangan yang nyata pada curah jantung karena adanya perubahan pada laju nadi, venous return dan kontraktilitas. (Covino, 1994) Gambar. 1 Faktor Faktor Yang Berpengaruh Pada Tekanan Darah Cardi Stroke Heart Preloa Contact Afterl Venou Arterial Blood ac Volume Rate dility oad s resista Pressure Outp Return nce ut (Covino, 1994) LAJU NADI Serabut simpatis dari T1 - T5 mengontrol laju nadi. Anestesi spinal yang memblokade serabut tersebut menyebabkan denervasi yang nyata dari persyarafan simpatis jantung. Sebagaimana normalnya derajat tonus simpatis terhadap jantung, denervasi tersebut menyebabkan penurunan laju nadi. Bradikardi yang hebat tampak pada beberapa pasien dengan anestesi spinal tinggi, hal ini kemungkinan disebabkan oleh peningkatan aktifitas vagal sebagaimana terjadi selama vasovagal syncope atau oleh reflek intrakardial. (Covino, 1994; Viscomi, 2004) STROKE VOLUME Stroke volume dapat berkurang selama spinal anestesi tinggi dengan pengurangan pada venous return dan penurunan kontraktilitas jantung. (Covino, 1994) VENOUS RETURN

5 Pada pasien yang tonus simpatisnya sudah dihilangkan, venous return akan tergantung pada gaya berat dan posisi tubuh. Kontrol simpatis pada sistem pembuluh darah sesungguhnya untuk mempertahankan venous return dan kardiovaskuler homeostasis selama perubahan postural. Pembuluh darah vena membentuk sistem tekanan darah dan merupakan proporsi yang besar dalam darah sirkulasi (mendekati 70%). Ketika anestesi spinal menghasilkan blokade simpatis, kontrol tersebut hilang dan venous return tergantung gravitasi. Pada anggota badan yang berada dibawah atrium kanan, pembuluh darah yang didenervasi akan dilatasi, sehingga menyimpan sejumlah besar volume darah. Gabungan dari penurunan venous return dan curah jantung serta dengan penurunan tahanan perifer dapat menyebabkan hipotensi yang hebat. (Covino, 1994) KONTRAKTILITAS Blokade persyarafan simpatis jantung dapat menyebabkan penurunan inotropism atau sifat inotropiknya yang mengakibatkan penurunan pada cardiac out put (5%). (Covino, 1994) Gambar. 2 Hubungan Antara Ketinggian Blok Pada Anestesi Spinal Terhadap Perubahan Kardiovaskuler

6 Keterangan : PR = Peripheral resistance; HR = Heart Rate; CO = Cardiac Output; VR = Venous Return; C = Contractility; MAP = Mean Arterial Pressure; NC = No Change. (Covino, 1994) II. HIPOTENSI PADA ANESTESI SPINAL

7 Hipotensi adalah suatu keadaan tekanan darah yang rendah yang abnormal, yang ditandai dengan tekanan darah sistolik yang mencapai dibawah 80 mmhg atau 90 mmhg, atau dapat juga ditandai dengan penurunan sistolik atau MAP (Mean Arterial Pressure) mencapai dibawah 30 % dari baseline. (Liguori, 2007) Insiden terjadinya hipotensi pada anestesi spinal cukup signifikan. Pada beberapa penelitian menyebutkan insidensinya mencapai 8 33 %. (Liguori, 2007) Tabel.1. Insidensi Hipotensi Pada Neuraxial Anesthesia (Liguori, 2007) Penyebab utama terjadinya hipotensi pada anestesi spinal adalah blokade tonus simpatis. Blok simpatis ini akan menyebabkan terjadinya hipotensi, hal ini disebabkan oleh menurunnya resistensi vaskuler sistemik dan curah jantung. Pada keadaan ini terjadi pooling darah dari jantung dan thoraks ke mesenterium, ginjal, dan ekstremitas bawah. (Liguori, 2007; Salinas, 2009) Manifestasi fisiologi yang umum pada anestesi spinal adalah hipotensi dengan derajat yang bervariasi dan bersifat individual. Terjadinya hipotensi biasanya terlihat pada menit ke pertama setelah injeksi, kadang dapat terjadi setelah menit ke Derajat hipotensi berhubungan dengan kecepatan obat lokal anestesi ke dalam ruang subarachnoid dan meluasnya blok simpatis. Blok yang terbatas pada dermatom lumbal dan sakral menyebabkan sedikit atau tidak ada perubahan tekanan darah. Anestesi spinal yang meluas sampai ke ting kat thorax tengah berakibat dalam turunnya

8 tekanan darah yang sedang. Anestesi spinal yang tinggi, di atas thorax 4 5, menyebabkan blokade simpatis dari serabut-serabut yang menginervasi jantung, mengakibatkan penurunan frekwensi jantung dan karena kotraktilitas jantung dan venous return menyebabkan penurunan curah jantung. Semuanya itu menyebabkan hipotensi y ang dalam. (Covino, 1994; Salinas, 2009) Gambar. 3 Patofisiologi Hipotensi Dan Bradikardi Pada Anestesi Spinal (Liguori, 2007) Faktor-faktor pada anestesi spinal yang mempengaruhi terjadinya hipotensi : 1. Ketinggian blok simpatis Hipotensi selama anestesi spinal dihubungkan dengan meluasnya blokade simpatis dimana mempengaruhi tahanan vaskuler perifer dan curah jantung.

9 Blokade simpatis yang terbatas pada rongga thorax tengah atau lebih rendah menyebabkan vasodilatasi anggota gerak bawah dengan kompensasi vasokonstriksi pada anggota gerak atas atau dengan kata lain vasokonstriksi yang terjadi diatas level dari blok, diharapkan dapat mengkompensasi terjadinya vasodilatasi yang terjadi dibawah level blok. (Covino, 1994; Liguori, 2007) Pada beberapa penelitian dikatakan efek terhadap kardiovaskuler lebih minimal pada blok yang terjadi dibawah T5. (Liguori, 2007; Salinas, 2009) Gambar. 4 Hubungan Antara Perubahan Tekanan Darah Dengan Ketinggian Blok Pada Anestesi Spinal (Covino, 1994) 2. Posisi Pasien Kontrol simpatis pada sistem vena sangat penting dalam memelihara venous return dan karenanya kardiovaskuler memelihara homeostasis selama perubahan postural. Vena-vena mempunyai tekanan darah dan berisi sebagian besar darah sirkulasi (70%). Blokade simpatis pada anestesi spinal

10 menyebabkan hilangnya fungsi kontrol dan venous return menjadi terg antung pada gravitasi. Jika anggota gerak bawah lebih rendah dari atrium kanan, venavena dilatasi, terjadi sequestering volume darah yang banyak (pooling vena). Penurunan venous return dan curah jantung bersama-sama dengan penurunan tahanan perifer dapat menyebabkan hipotensi yang berat. Hipotensi pada anestesi spinal sangat dipengaruhi oleh posisi pasien. Pasien dengan posisi headup akan cenderung terjadi hipotensi diakibatkan oleh venous pooling. Oleh karena itu pasien sebaiknya pada posisi slight head-down selama anestesi spinal untuk mempertahankan venous return. (Covino, 1994) Gambar. 5 Hubungan Antara Ketinggian Blok Pada Anestesi Spinal Dengan Posisi Pasien (Covino, 1994) 3. Faktor yang berhubungan dengan kondisi pasien Kondisi fisik pasien yang dihubungkan dengan tonus simpatis basal, juga mempengaruhi derajat hipotensi. Hipovolemia dapat menyebabkan depresi yang serius pada sistem kardiovaskuler selama anestesi spinal. Pada hipovolemia, tekanan darah dipertahankan dengan peningkatan tonus simpatis yang

11 menyebabkan vasokonstriksi perifer. Blok simpatis oleh karena anestesi spinal mungkin mencetuskan hipotensi yang dalam. Karenanya hipovolemia merupakan kontraindikasi relative pada anestesi spinal. Tetapi, anestesi spinal dapat dilakukan jika normovolemi dapat dicapai dengan penggantian volume cairan. Pasien hamil, sensitif terhadap blokade sympatis dan hipotensi. Hal ini dikarenakan obstruksi mekanis venous return oleh uterus gravid. Pasien hamil harus ditempatkan dengan posisi miring lateral, segera setelah induksi anestesi spinal untuk mencegah kompresi vena cava. Demikian juga pasien dengan tumor abdomen, atau masa abdomen, mungkin menyebabkan hipotensi berat pada anestesi spinal. Pasien-pasien tua dengan hipertensi dan ischemia jantung sering menjadi hipotensi selama anestesi spinal dibanding dengan pasien - pasien muda sehat. (Covino, 1994; Tarkkila, 2007) 4. Faktor Agent Anestesi Spinal Derajat hipotensi tergantung juga pada agent anestesi spinal. Pada level anestesi yang sama, bupivacaine mengakibatkan hipotensi yang lebih kecil dibandingkan tetracaine. Hal ini mungkin disebabkan karena blokade serabutserabut simpatis yang lebih besar dengan tetracain di banding bupivacaine. Barisitas agent anestesi juga dapat berpengaruh terhadap hipotensi selama anestesi spinal. Agent tetracaine maupun bupivacaine yang hiperbarik dapat lebih menyebabkan hipotensi dibandingkan dengan agent yang isobarik ataupun hipobarik. Hal ini dihubungkan dengan perbedaan level blok sensoris dan simpatis. Dimana agent hiperbarik menyebar lebih jauh daripada agent isobarik maupun hipobarik sehingga menyebabkan blokade simpatis yang lebih tinggi. (Covino, 1994; Tsai, 2007) Mekanisme lain yang dapat menjelaskan bagaimana anestesi spinal dapat menyebabkan hipotensi adalah efek sistemik dari obat anestesi lokal itu sendiri. Obat anestesi lokal tersebut mempunyai efek langsung terhadap miokardium maupun otot polos vaskuler perifer. Semua obat anestesi mempunyai efek inotropik negatif terhadap otot jantung. Obat anestesi lokal tetracaine maupun bupivacaine mempunyai efek depresi miokard yang lebih besar dibandingkan dengan lidocaine ataupun mepivacaine. (Liguori, 2007)

12 Adapun beberapa faktor resiko lain terjadinya hipotensi pada anestesi spinal, diantaranya adalah hipertensi preoperatif, usia lebih dari 40 th, obesitas, kombinasi general anestesi dan regional anestesi, alkoholisme yang kronis, dan tekanan darah baseline kurang dari 120 mmhg. (Liguori, 2007; Salinas, 2009) III. PENATALAKSANAAN HIPOTENSI 1. TINDAKAN PREVENTIF Pemberian preloading pada pasien yang akan dilakukan anestesi spinal dengan 1 2 liter cairan intravena (kristaloid atau koloid) sudah secara luas dilakukan untuk mencegah hipotensi pada anestesi spinal. Pemberian cairan tersebut secara rasional untuk meningkatkan volume sirkulasi darah dalam rangka mengkompensasi penurunan resistensi perifer. (Covino, 1994)

13 Kleinman dan Mikhail mengatakan hipotensi akibat efek kardiovaskuler dari anestesi spinal dapat diantisipasi dengan loading ml/kg cairan intravena (kristaloid atau koloid) pada pasien sehat akan dapat mengkompensasi terjadinya venous pooling. (Kleinman, 2006) Pada beberapa penelitian yang lain dikatakan bahwa preloading cairan intravena pada pasien yang akan dilakukan anestesi spinal adalah tidak efektif. Coe et al. dalam penelitiannya mengatakan bahwa prehidrasi pada pasien yang akan dilakukan anestesi spinal tidak mempunyai efek yang signifikan dalam mencegah terjadinya hipotensi. Hal ini juga dibenarkan oleh Buggy et al. Berbeda dengan Arndt et al. dia mengatakan bahwa prehidrasi dapat secara signifikan menurunkan insidensi terjadinya hipotensi, namun hanya dalam waktu 15 menit pertama setelah dilakukan anestesi spinal. (Liguori, 2007) Salinas mengatakan bahwa penurunan tekanan darah dapat dicegah dengan pemberian preloading cairan kristaloid. Namun hal ini tergantung dari waktu pemberian cairan tersebut. Dia mengatakan pemberian 20 ml/kg ringer laktat (RL) sesaat setelah dilakukan anestesi spinal dapat secara efektif menurunkan frekuensi terjadinya hipotensi, bila dibandingkan dengan preloading 20 menit atau lebih sebelum dilakukan anestesi spinal. (Salinas, 2009) Mojica, et.al., pada penelitiannya menilai efektivitas pemberian RL 20 cc/kg 20 menit sebelum dilakukan anestesi spinal dengan pemberian RL 20 cc/kg pada saat dilakukan anestesi spinal. Penelitian tersebut membandingkan kedua cara diatas dengan pemberian placebo (RL 1 2 cc/min). Dan didapatkan hasil bahwa pemberian kristaloid sebelum dilakukan anestesi spinal tidak menurunkan insidensi terjadinya hipotensi yang dibandingkan dengan pemberian placebo. Hal ini disebabkan oleh karena waktu paruh kristaloid yang pendek, dimana saat mulai terjadinya hipotensi, kristaloid sudah mulai berdifusi ke ruang interstitial, sehingga tidak dapat mempertahankan venous return dan curah jantung. Berbeda dengan pemberian kristaloid saat dilakukan anestesi spinal, ternyata cara ini lebih efektif dalam menurunkan insidensi terjadinya hipotensi, karena dengan cara ini kristaloid masih dapat memberikan volume intravaskuler tambahan (additional fluid) untuk mempertahankan venous return dan curah jantung. (Mojica, et.al., 2002)

14 Gambar. 6 Perbandingan pengaruh pemberian kristaloid sebelum dan sesaat anestesi spinal terhadap tekanan darah (Mojica, et.al., 2002) Mengenai pemilihan cairan, Zorco, et al., dalam penelitiannya tentang efek posisi trendelenburg, ringer laktat, dan HES 6% terhadap curah jantung setelah anestesi spinal didapatkan bahwa ketiga cara diatas dapat mencegah terjadinya penurunan curah jantung. Pemberian RL (kristaloid) maupun HES 6 % (koloid) pada saat anestesi spinal, ternyata tidak hanya dapat mencegah penurunan curah jantung, tapi dapat meningkatkan curah jantung. Namun saat efek kristaloid mulai berkurang terhadap curah jantung akibat cepatnya kristaloid berdifusi ke ruang interstitial, koloid masih dapat bertahan di intravaskuler dan masih dapat mempertahankan curah jantung. Namun dari segi ekonomis koloid lebih mahal dibandingkan kristaloid, dan koloid dapat menyebabkan terjadinya anafilaksis walaupun sedikit angka kejadiannya. (Zorco N., et al., 2009) Gambar. 7 Efek posisi trendelenburg, ringer laktat, dan HES 6% terhadap curah jantung setelah anestesi spinal

15 (Zorco N., et al., 2009) Vercauteren, et.al., dalam penelitiannya mengatakan pemberian ephedrine sebelum anestesi spinal juga dapat digunakan sebagai tindakan preventif terjadinya hipotensi. Dalam penelitiannya dengan pemberian 5 mg ephedrine IV (bolus) dapat mengurangi insidensi terjadinya hipotensi. Dalam penelitiannya yang lain, dikatakan pemberian ephedrine intramuskuler masih dalam perdebatan, karena absorbsi sistemik dan peak effect dari pemberian intramuskuler sulit diprediksi. (Vercauteren, et al, 2000) Kol, et.al., dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa pemberian ephedrine 0.5 mg/kg sebagai profilaksis dapat secara signifikan menurunkan angka kejadian hipotensi pada anestesi spinal. Pemberian ephedrine sebagai profilaksis dapat menurunkan angka kejadian hipotensi dari 95 % menjadi 38 %. (Kol, et.al., 2009) Penggunaan infus vasopresor terutama ephedrine sebagai profilaksis, secara signifikan dapat mengurangi insidensi terjadinya hipotensi dibandingkan dengan prehidrasi menggunakan kristaloid. Pada penelitian tersebut tidak didapatkan adanya hipertensi pada pasien yang diberikan infus ephedrine. (Liguori, 2007) Lim, et.al., dalam penelitiannya mengatakan bahwa pemberian atropine IV setelah preloading dengan kristaloid dapat menurunan angka kejadian hipotensi

16 dan menurunkan penggunaan ephedrine. Pada penelitiannya terhadap 75 pasien, dimana 25 pasien diberikan placebo, 25 pasien diberikan 5 μg atropine IV, dan 25 pasien diberikan 10 μg atropine IV, didapatkan hasil angka kejadian hipotensi berturut-turut adalah 76 %, 52 % dan 40 %. Dan pada penelitian tersebut, efek samping seperti angina, perubahan ST segmen pada EKG dan confusion tidak didapatkan. Penelitian ini dibatasi untuk tidak diberikan pada pasien dengan riwayat penyakit jantung iskemik dan pasien yang menggunakan β bloker. Lim, et.al., mengatakan bahwa pemberian atropine secara rutin sebagai premedikasi pada anestesi spinal tidak direkomendasikan, namun pemberian atropine dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien dengan baseline laju nadi yang rendah maupun pasien dengan baseline hipotensi dan bradikardi. (Lim, et.al., 2000) 2. Penatalaksanaan hipotensi Derajat hipotensi yang membutuhkan terapi aktif masih dalam perdebatan, hal ini disebabkan karena adanya data-data ilmiah yang menunjukkan bahwa hipotensi masih dapat ditoleransi pada pasien yang sehat. (Covino, 1994) Penatalaksanaan hipotensi pada anestesi spinal tergantung pada penyebab dasarnya. Jika terjadi hipotensi secara mendadak yang kemudian diikuti dengan bradikardia dan nausea, hal ini mungkin disebabkan akibat vasovagal syncope. Atropine dapat diberikan pada keadaan ini, namun tidak se-efektif bila diberikan vasopresor. (Covino,1994) Untuk mengatasi hipotensi secara efektif, penyebab utama dari hipotensi harus dikoreksi. Penurunan curah jantung dan venous return harus diatasi, pemberian kristaloid sering kali berguna untuk memperbaiki venous return. Dalam prakteknya pemberian preloading ml kristaloid dapat menurunkan terjadinya hipotensi, walaupun pada beberapa penelitian lain tidak efektif. (Tsai, 2007) Pada pasien tanpa adanya gangguan pada target organ dan asimptomatik, dengan penurunan tekanan darah mencapai 33 % belum perlu perlu dikoreksi. (Tsai, 2007) Monitoring tekanan darah dan juga pemberian suplemen oksigen harus diperhatikan pada anestesi spinal. Pemberian cairan juga harus dimonitor secara

17 hati-hati, karena pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya congestive heart failure, oedem paru, ataupun keduanya. (Tsai, 2007; Salinas, 2009) Penggunaan hanya dengan cairan intra vena tidak cukup efektif dalam penanganan hipotensi akibat anestesi spinal. Respon tekanan darah terhadap pemberian cairan intra vena membutuhkan waktu beberapa menit, sedangkan pada beberapa kasus hal itu tidak cukup cepat, oleh karena itu sebagai obat pilihan utama diberikan vasopresor. (Liguori, 2007; Salinas, 2009) Jika sudah ada indikasi penatalaksanaan dengan medikamentosa, vasopresor merupakan pilihan obat utamanya. Kombinasi α dan β adrenergik agonis lebih baik dari pada α agonis murni dalam menangani penurunan tekanan darah, ephedrine merupakan obat pilihan utamanya. Dengan ephedrine curah jantung dan resistensi vaskuler perifer dapat meningkat, sehingga dapat meningkatkan tekanan darah. (Tsai, 2007) Secara fisiologis penatalaksanaan hipotensi adalah dengan mengembalikan preload. Cara yang efektif adalah dengan memposisikan pasien menjadi trendelenburg atau dengan head down. Posisi ini tidak boleh lebih dari 20, karena dengan posisi trendelenburg yang terlalu ekstrim dapat menyebabkan penurunan prefusi cerebral dan dapat meningkatkan tekanan vena jugularis, dan bila ketinggian blok pada anestesi spinal belum menetap, posisi trendelenburg dapat meningkatkan ketinggian level blok pada pasien yang mendapatkan agen hiperbarik, yang dapat memperburuk keadaan hipotensinya. Hal ini dapat dihindari dengan menaikkan bagian atas tubuh menggunakan bantal dibawah bahu ketika bagian bawah tubuh sedikit dinaikkan diatas jantung. (Tsai, 2007; Salinas, 2009) Algoritme penatalaksanaan hipotensi pada anestesi spinal : (Tsai, 2007) 1. Pada pasien sehat Bila terjadi penurunan tekanan darah mencapai 30 % atau lebih, dilakukan loading cairan kristaloid ml dengan mempertimbangkan diberikan vasopresor, bila laju nadi sekitar 70 kali/mnt dapat diberikan ephedrine 5 10 mg IV, dan bila laju nadi sekitar 80 kali/mnt dapat diberikan phenylephrine

18 mcg IV, pemberian vasopresor tersebut dapat diulang setiap 2 3 mnt bila perlu sampai tekanan darah kembali normal. Perlu dipertimbangkan juga untuk mengubah posisi menjadi trendelenburg. 2. Pada pasien dengan adanya penyakit jantung dan kardiovaskuler serta penyakit di susunan saraf pusat Bila terjadi penurunan tekanan darah mencapai 30 % atau lebih dan ditemukan adanya gejala seperti nausea vomitus, nyeri dada, dsb. Dengan laju nadi 70 kali/mnt dapat diberikan ephedrine mg IV, jika tidak ada respon sampai dengan 2 kali pemberian, dapat diberikan epinephrine 8 16 mg IV atau infus titrasi epinephrine mcg/kg/min. Dengan laju nadi 80 kali/mnt dapat diberikan phenylephrine mcg IV, jika tidak ada respon sampai dengan 2 kali pemberian, dapat diberikan infus titrasi phenylephrine mcg/kg/min atau infus titrasi norepinephrine mcg/kg/min. Gambar. 8 Algoritme Penatalaksanaan Hipotensi Pada Anestesi Spinal

19 (Tsai, 2007) EPHEDRINE Ephedrine memiliki efek kardiovaskuler seperti epinephrine, dapat meningkatkan tekanan darah, laju nadi, kontraktilitas, dan curah jantung. Ephedrine juga memiliki efek bronkodilator. Perbedaannya, ephedrine memiliki durasi yang lebih panjang, kurang poten, memiliki efek langsung maupun tidak langsung dan dapat menstimulasi susunan saraf pusat. Efek tidak langsung dari ephedrine dapat menstimulasi sentral, melepaskan norepinephrine perifer postsinaps, dan menghambat reuptake norepinephrine. (Morgan, 2006) Efek tidak langsungnya dapat meningkatkan vasokonstriksi dengan jalan meningkatkan pelepasan dari noradrenaline dan menstimulasi secara langsung kedua reseptor (ß) beta untuk meningkatkan curah jantung, laju nadi, tekanan darah sistolik dan diastolik. (Morgan, 2006)

20 Ephedrine tidak menyebabkan penurunan uterine blood flow, sehingga dapat digunakan sebagai vasopresor kasus-kasus obstetri. Ephedrine juga memiliki efek antiemetik. (Morgan, 2006) Pada dewasa, dosis yang digunakan adalah 5 10 mg IV dengan durasi 5 10 menit atau 25 mg IM dengan durasi yang lebih panjang. Dapat pula diberikan dalam infus, dengan dosis mg ephedrine dalam 1 liter ringer laktat. Dosis untuk anak-anak dapat diberikan dengan dosis 0.1 mg/kg. (Morgan, 2006; Salinas, 2009) PHENYLEPHRINE Obat ini bersifat langsung dan dominan terhadap α1-agonis reseptor, dengan dosis tinggi dapat menstimulasi α 2 dan β reseptor. Efek utamanya adalah vasokonstriksi perifer, dan dapat meningkatkan resistensi vaskuler sistemik dan tekanan darah arteri. Phenylephrine dapat menimbulkan reflek bradikardi, sehingga dapat menyebabkan penurunan curah jantung. (Morgan, 2006; Salinas, 2009) Dengan pemberian dosis μg (0.5 1 μg/kg) secara cepat dapat mengembalikan hipotensi yang disebabkan vasodilatasi perifer akibat anestesi spinal. Dengan infus kontinyu ( μg/kg/min) dapat mempertahankan tekanan darah arteri, namun dapat menurunkan renal blood flow. (Morgan, 2006; Salinas, 2009) NOREPINEPHRINE Norepinephrine dapat menyebabkan vasokonstriksi pada pembuluh darah arteri maupun vena, hal ini dipicu oleh stimulasi langsung pada reseptor α 1 ketika tidak adanya aktivitas β 2. Norepinephrine mempunyai efek terhadap β 1 yang dapat meningkatkan kontraktilitas miokard, sehingga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah arteri. Norepinephrine memiliki efek menurunkan renal blood flow dan meningkatkan kebutuhan miokard akan oksigen, sehingga penggunaannya dibatasi pada keadaan syok refrakter. Ekstravasasi dari norepinephrine dapat menyebabkan terjadinya nekrosis jaringan. (Morgan, 2006)

21 Norepinephrine dapat diberikan dengan dosis 0.1 μg/kg, atau dapat dengan infus kontinyu dengan dosis 4 mg dalam 500 ml D5 dengan kecepatan 2 20 μg/min. (Morgan, 2006) KESIMPULAN Hipotensi merupakan salah satu respon fisiologis selama spinal anestesia yang disebabkan oleh karena terjadinya blokade pada serabut syaraf simpatis. Namun diketahui pula bahwa banyak faktor lain yang bisa menyebabkan hal ini terjadi. Pengetahuan tentang faktor - faktor yang berpengaruh terhadap perubahan kardiovaskuler tersebut, seperti anatomi, fisiologi, farmakologi spinal anestesia dan obat - obatan yang digunakan sangat diperlukan untuk menghindari hipotensi yang hebat yang akan berpengaruh terhadap organ vital dan untuk tindakan preventif serta pemilihan terapi yang tepat. Sebagai tindakan preventif pemberian kristaloid yang dilakukan pada saat anestesi spinal ternyata lebih efektif bila dibandingkan dengan preloading atau pemberian kristaloid sebelum dilakukan anestesi spinal. Dan penggunaan vasopresor, dalam hal ini ephedrine juga dapat secara signifikan menurunkan insidensi terjadinya hipotensi. Dan untuk penatalaksaan hipotensi pada anestesi spinal yang efektif, penyebab utama dari hipotensi harus dikoreksi. Penurunan curah jantung dan venous return harus diatasi, pemberian kristaloid sering kali berguna untuk memperbaiki venous return. Meskipun penggunaan hanya dengan cairan intra vena terkadang tidak cukup efektif dalam penanganan hipotensi akibat anestesi spinal, oleh karena itu sebagai obat pilihan utama diberikan vasopresor DAFTAR PUSTAKA Covino, B.G., et al., Handbook of spinal anaesthesia and analgesia :

22 Hartman., et al., The Incidence and Risk Factors for Hypotension After Spinal Anesthesia Induction: An Analysis with Automated Data Collection., Anesth Analg., 2002;94: Kleiman, W., Mikhail, M., Spinal, Epidural, & Caudal Blocks., Clinical Anesthesiology., 4th Ed., 2006 : Kol, I.O., et al., The Effects of Intravenous Ephedrine During Spinal Anesthesia for Cesarean Delivery: A Randomized Controlled Trial., J Korean Med Sci., 2009; 24: Liguori, G.A., Hemodynamic Complications., Complications in Regional Anesthesia and Pain Medicine., 1st Ed., 2007 : Lim, H.H., et al., The Use of Intravenous Atropine After a Saline Infusion in the Prevention of Spinal Anesthesia-Induced Hypotension in Elderly Patients., Anesth Analg 2000;91: Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J., Adrenergic Agonist & Antagonists., Clinical Anesthesiology., 2006 : Mojica, J.L., et al., The Timing of Intravenous Crystalloid Administration and Incidence of Cardiovascular Side Effects During Spinal Anesthesia: The Results from a Randomized Controlled Trial., Anesth Analg 2002;94: Salinas, FV., Spinal Anesthesia., A Practical Approach to Regional Anesthesia., 4th ed., 2009 : Tarkkila, P., Complications Associated with Spinal Anesthesia. Complication of Regional Anesthesia, 2nd Ed., 2007 : Tsai, T., Greengrass, R., Spinal Anesthesia., Textbook of Regional Anesthesia and Acute Pain Management., 2007 : Viscomi, CM., Spinal Anesthesia, Regional Anesthesia, 2004 : Vercuteren., et al., Prevention of Hypotension by a Single 5-mg Dose of Ephedrine During Small-Dose Spinal Anesthesia in Prehydrated Cesarean Delivery Patients., Anesth Analg., 2000;90: Zorco, N., et al., The Effect of Trendelenburg Position, Lactated Ringer s Solution and 6% Hydroxyethyl Starch Solution on Cardiac Output After Spinal Anesthesia., Anesth Analg., 2009;108:655 9.

Jurnal Keperawatan, Volume VIII, No. 2, Oktober 2012 ISSN

Jurnal Keperawatan, Volume VIII, No. 2, Oktober 2012 ISSN PENELITIAN PRELOADING DAN COLOADING CAIRAN RINGER LAKTAT DALAM MENCEGAH HIPOTENSI PADA ANESTESI SPINAL Ansyori*, Tori Rihiantoro** Banyaknya kasus operasi dengan anestesi spinal dan tingginya frekuensi

Lebih terperinci

PRESENTASI KASUS ANESTESI SPINAL. Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Akhir Stase Anestesi di RSUD Tidar Magelang

PRESENTASI KASUS ANESTESI SPINAL. Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Akhir Stase Anestesi di RSUD Tidar Magelang PRESENTASI KASUS ANESTESI SPINAL Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Akhir Stase Anestesi di RSUD Tidar Magelang Diajukan Kepada : dr. Budi Aviantoro, Sp.An Disusun Oleh : ALDHIMAS MARTHSYAL

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penyesuaian dari keperawatan, khususnya keperawatan perioperatif. Perawat

BAB 1 PENDAHULUAN. penyesuaian dari keperawatan, khususnya keperawatan perioperatif. Perawat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan yang pesat di bidang pembedahan dan anestesi menuntut penyesuaian dari keperawatan, khususnya keperawatan perioperatif. Perawat perioperatif mempunyai peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Propofol telah digunakan secara luas untuk induksi dan pemeliharaan dalam anestesi umum. Obat ini mempunyai banyak keuntungan seperti mula aksi yang cepat dan pemulihan

Lebih terperinci

PERBEDAAN TEKANAN DARAH PASCA ANESTESI SPINAL DENGAN PEMBERIAN PRELOAD DAN TANPA PEMBERIAN PRELOAD 20CC/KGBB RINGER ASETAT MALAT

PERBEDAAN TEKANAN DARAH PASCA ANESTESI SPINAL DENGAN PEMBERIAN PRELOAD DAN TANPA PEMBERIAN PRELOAD 20CC/KGBB RINGER ASETAT MALAT PERBEDAAN TEKANAN DARAH PASCA ANESTESI SPINAL DENGAN PEMBERIAN PRELOAD DAN TANPA PEMBERIAN PRELOAD 20CC/KGBB RINGER ASETAT MALAT THE DIFFERENCES IN BLOOD PRESSURE AFTER SPINAL ANESTHESIA WITH PRELOAD AND

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anestesi umum merupakan teknik yang sering dilakukan pada berbagai macam prosedur pembedahan. 1 Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi anestesi. 2 Idealnya induksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dari data antara tahun 1991 sampai 1999 didapatkan bahwa proses

BAB I PENDAHULUAN. Dari data antara tahun 1991 sampai 1999 didapatkan bahwa proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dari data antara tahun 1991 sampai 1999 didapatkan bahwa proses persalinan yang disertai dengan anestesi mempunyai angka kematian maternal yang rendah (sekitar

Lebih terperinci

SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan. Mencapai derajat sarjana S-1. Diajukan Oleh : Yunita Ekawati J Kepada : FAKULTAS KEDOKTERAN

SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan. Mencapai derajat sarjana S-1. Diajukan Oleh : Yunita Ekawati J Kepada : FAKULTAS KEDOKTERAN PERBANDINGAN ANTARA PEMASANGAN TOURNIQUET UNILATERAL DAN BILATERAL PADA EXTREMITAS INFERIOR UNTUK MENGURANGI PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA ANESTESI SPINAL DI RSO. Prof. Dr. R. SOEHARSO SURAKARTA SKRIPSI

Lebih terperinci

PERBEDAAN TEKANAN DARAH PASCA ANESTESI SPINAL DENGAN PEMBERIAN PRELOAD DAN TANPA PEMBERIAN PRELOAD 20CC/KGBB RINGER LAKTAT

PERBEDAAN TEKANAN DARAH PASCA ANESTESI SPINAL DENGAN PEMBERIAN PRELOAD DAN TANPA PEMBERIAN PRELOAD 20CC/KGBB RINGER LAKTAT PERBEDAAN TEKANAN DARAH PASCA ANESTESI SPINAL DENGAN PEMBERIAN PRELOAD DAN TANPA PEMBERIAN PRELOAD 20CC/KGBB RINGER LAKTAT THE DIFFERENCES IN BLOOD PRESSURE AFTER SPINAL ANESTHESIA WITH THE PRELOAD AND

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tujuan dari terapi cairan perioperatif adalah menyediakan jumlah cairan yang cukup untuk mempertahankan volume intravaskular yang adekuat agar sistem kardiovaskular

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Anestesi Spinal a. Definisi Anestesi spinal adalah suatu cara memasukan obat anestesi lokal ke ruang intratekal untuk menghasilkan atau menimbulkan hilangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan bedah pada pasien menunjukkan peningkatan seiring tumbuhnya

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan bedah pada pasien menunjukkan peningkatan seiring tumbuhnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan bedah pada pasien menunjukkan peningkatan seiring tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap perkembangan ilmu kesehatan. Hipotensi pada parturien (kondisi

Lebih terperinci

RINI ASTRIYANA YULIANTIKA J500

RINI ASTRIYANA YULIANTIKA J500 PERBANDINGAN PENURUNAN TEKANAN DARAH ANTARA LIDOKAIN 5% HIPERBARIK DENGAN BUPIVAKAIN 0,5% HIPERBARIK PADA ANESTESI SPINAL UNTUK OPERASI EKSTREMITAS INFERIOR DI RSO. Prof. Dr. R. SOEHARSO SURAKARTA SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. subarachnoid sehingga bercampur dengan liquor cerebrospinalis (LCS) untuk mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. subarachnoid sehingga bercampur dengan liquor cerebrospinalis (LCS) untuk mendapatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang paling sederhana dan paling efektif. Anestesi spinal dilakukan dengan memasukkan obat anestesi lokal ke dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. abdomen dan uterus untuk mengeluarkan janin. 1 Prevalensi terjadinya sectio. keadaan ibu dan janin yang sedang dikandungnya.

BAB I PENDAHULUAN. abdomen dan uterus untuk mengeluarkan janin. 1 Prevalensi terjadinya sectio. keadaan ibu dan janin yang sedang dikandungnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sectio cesarea didefinisikan sebagai tindakan pembedahan melalui dinding abdomen dan uterus untuk mengeluarkan janin. 1 Prevalensi terjadinya sectio cesarea semakin

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. FRAKTUR COLLUM FEMUR

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. FRAKTUR COLLUM FEMUR BAB II KAJIAN PUSTAKA A. FRAKTUR COLLUM FEMUR 1. Definisi Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma, baik langsung maupun tidak langsung. Fraktur

Lebih terperinci

PERBEDAAN TEKANAN DARAH PASCA ANESTESI SPINAL DENGAN PEMBERIAN PRELOAD DAN TANPA PEMBERIAN PRELOAD 20CC/KGBB RINGER LAKTAT

PERBEDAAN TEKANAN DARAH PASCA ANESTESI SPINAL DENGAN PEMBERIAN PRELOAD DAN TANPA PEMBERIAN PRELOAD 20CC/KGBB RINGER LAKTAT PERBEDAAN TEKANAN DARAH PASCA ANESTESI SPINAL DENGAN PEMBERIAN PRELOAD DAN TANPA PEMBERIAN PRELOAD 20CC/KGBB RINGER LAKTAT LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan dengan anestesi

BAB I PENDAHULUAN. seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan dengan anestesi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indikasi tindakan seksio sesaria pada wanita hamil berkisar antara 15 sampai 20% dari seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim

BAB I PENDAHULUAN. melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. diinginkan (Covino et al., 1994). Teknik ini pertama kali dilakukan oleh seorang ahli bedah

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. diinginkan (Covino et al., 1994). Teknik ini pertama kali dilakukan oleh seorang ahli bedah BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Sub Arachnoid Blok (SAB) atau anestesi spinal adalah salah satu teknik dalam anestesi yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang subarachnooid

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan dan anestesi merupakan suatu kondisi yang dapat memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani pembedahan sudah tentunya

Lebih terperinci

ELEVASI KAKI EFEKTIF MENJAGA KESTABILAN TEKANAN DARAH PADA PASIEN DENGAN SPINAL ANESTESI

ELEVASI KAKI EFEKTIF MENJAGA KESTABILAN TEKANAN DARAH PADA PASIEN DENGAN SPINAL ANESTESI ELEVASI KAKI EFEKTIF MENJAGA KESTABILAN TEKANAN DARAH PADA PASIEN DENGAN SPINAL ANESTESI I Made Sukarja I Ketut Purnawan Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar Email : Md_sukarja@yahoo.co.id

Lebih terperinci

PERBEDAAN TEKANAN DARAH PASCA ANESTESI SPINAL DENGAN PEMBERIAN PRELOAD DAN TANPA PEMBERIAN PRELOAD 20CC/KGBB RINGER ASETAT MALAT

PERBEDAAN TEKANAN DARAH PASCA ANESTESI SPINAL DENGAN PEMBERIAN PRELOAD DAN TANPA PEMBERIAN PRELOAD 20CC/KGBB RINGER ASETAT MALAT PERBEDAAN TEKANAN DARAH PASCA ANESTESI SPINAL DENGAN PEMBERIAN PRELOAD DAN TANPA PEMBERIAN PRELOAD 20CC/KGBB RINGER ASETAT MALAT LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mempertahankan tekanan onkotik dan volume intravaskuler. Partikel ini tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mempertahankan tekanan onkotik dan volume intravaskuler. Partikel ini tidak 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Koloid Larutan koloid adalah larutan homogen yang mengangandung partikel dengan berat molekul besar yaitu >20.000 dalton sehingga dapat digunakan untuk mempertahankan tekanan

Lebih terperinci

MONITORING HEMODINAMIK TIM ICU INTERMEDIATE ANGKATAN I

MONITORING HEMODINAMIK TIM ICU INTERMEDIATE ANGKATAN I MONITORING HEMODINAMIK TIM ICU INTERMEDIATE ANGKATAN I Hemodinamik Aliran darah dalam sistem peredaran tubuh kita baik sirkulasi magna/ besar maupun sirkulasi parva/ sirkulasi dalam paru paru. Monitoring

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian tubuh untuk perbaikan. Beberapa jenis pembedahan menurut lokasinya

BAB I PENDAHULUAN. bagian tubuh untuk perbaikan. Beberapa jenis pembedahan menurut lokasinya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembedahan atau operasi merupakan tindakan invasif dengan membuka bagian tubuh untuk perbaikan. Beberapa jenis pembedahan menurut lokasinya yaitu bedah kardiovaskuler,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebelum pindah ke ruang perawatan atau langsung dirawat di ruang intensif. Fase

BAB I PENDAHULUAN. sebelum pindah ke ruang perawatan atau langsung dirawat di ruang intensif. Fase 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap prosedur pembedahan harus menjalani anestesi dan melalui tahap pasca bedah, maka setiap pasien yang selesai menjalani operasi dengan anestesi umum

Lebih terperinci

FISIOLOGI PEMBULUH DARAH. Kuntarti, SKp

FISIOLOGI PEMBULUH DARAH. Kuntarti, SKp FISIOLOGI PEMBULUH DARAH Kuntarti, SKp Overview Struktur & Fungsi Pembuluh Darah Menjamin keadekuatan suplay materi yg dibutuhkan jaringan tubuh, mendistribusikannya, & membuang zat sisa metabolisme Sebagai

Lebih terperinci

EFEK PEMBERIAN CAIRAN KOLOID DAN KRISTALOID TERHADAP TEKANAN DARAH

EFEK PEMBERIAN CAIRAN KOLOID DAN KRISTALOID TERHADAP TEKANAN DARAH EFEK PEMBERIAN CAIRAN KOLOID DAN KRISTALOID TERHADAP TEKANAN DARAH Pada Pasien Seksio Sesarea Dengan Anestesi Spinal di RSUD Ulin Banjarmasin Rebika Nurul Azizah 1, Kenanga Marwan Sikumbang 2, Asnawati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi seorang anestesiologis, mahir dalam penatalaksanaan jalan nafas merupakan kemampuan yang sangat penting. Salah satu tindakan manajemen jalan nafas adalah tindakan

Lebih terperinci

ARTIKEL PENELITIAN. Abstrak. Abstract. Jurnal Anestesi Perioperatif

ARTIKEL PENELITIAN. Abstrak. Abstract. Jurnal Anestesi Perioperatif Jurnal Anestesi Perioperatif [JAP. 2016;4(1): 42 9] Insidensi dan Faktor Risiko Hipotensi pada Pasien yang Menjalani Seksio Sesarea dengan Anestesi Spinal Rini Rustini, 1 Iwan Fuadi, 2 Eri Surahman 2 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Anestesi spinal telah digunakan sejak tahun 1885 dan sekarang teknik ini dapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Anestesi spinal telah digunakan sejak tahun 1885 dan sekarang teknik ini dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anestesi spinal telah digunakan sejak tahun 1885 dan sekarang teknik ini dapat digunakan untuk prosedur pembedahan daerah abdomen bagian bawah, perineum dan ekstremitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seventh Report of Joint National Commite on Prevention, Detection, Evaluation,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seventh Report of Joint National Commite on Prevention, Detection, Evaluation, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tekanan Darah Tekanan darah merupakan gaya yang dihasilkan oleh darah terhadap dinding pembuluh darah. 19 Nilai normal tekanan darah menurut kriteria The Seventh Report of Joint

Lebih terperinci

HUBUNGAN TEKANAN DARAH SISTOLIK PADA PENDERITA INFARK MIOKARD AKUT SEGMEN ST ELEVASI ONSET < 12 JAM SAAT MASUK DENGAN MORTALITAS DI RSUP H.

HUBUNGAN TEKANAN DARAH SISTOLIK PADA PENDERITA INFARK MIOKARD AKUT SEGMEN ST ELEVASI ONSET < 12 JAM SAAT MASUK DENGAN MORTALITAS DI RSUP H. HUBUNGAN TEKANAN DARAH SISTOLIK PADA PENDERITA INFARK MIOKARD AKUT SEGMEN ST ELEVASI ONSET < 12 JAM SAAT MASUK DENGAN MORTALITAS DI RSUP H. ADAM MALIK TESIS MAGISTER Oleh ARY AGUNG PERMANA NIM : 117115004

Lebih terperinci

Perbandingan Insidensi Hipotensi Saat Induksi Intravena Propofol 2 Mg/Kg Bb Pada Posisi Supine dengan Perlakuan dan Tanpa Perlakuan Elevasi Tungkai

Perbandingan Insidensi Hipotensi Saat Induksi Intravena Propofol 2 Mg/Kg Bb Pada Posisi Supine dengan Perlakuan dan Tanpa Perlakuan Elevasi Tungkai 238 Artikel Penelitian Perbandingan Insidensi Hipotensi Saat Induksi Intravena Propofol 2 Mg/Kg Bb Pada Posisi Supine dengan Perlakuan dan Tanpa Perlakuan Elevasi Tungkai Beni indra 1, Untung Widodo 2,

Lebih terperinci

ARTIKEL PENELITIAN. Abstrak. Abstract. Jurnal Anestesi Perioperatif

ARTIKEL PENELITIAN. Abstrak. Abstract. Jurnal Anestesi Perioperatif Jurnal Anestesi Perioperatif [JAP. 2013;1(3): 144 50] Perbandingan Efektivitas Pemberian Efedrin Oral Dosis 25 mg dengan 50 mg Preoperatif terhadap Kejadian Hipotensi Pascaanestesi Spinal pada Seksio Sesarea

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemberian fentanil intravena sebagai Preemptive Analgesia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemberian fentanil intravena sebagai Preemptive Analgesia merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemberian fentanil intravena sebagai Preemptive Analgesia merupakan suatu tindakan yang sering dilakukan pada anestesi umum untuk mengurangi atau menumpulkan respon

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dari derajat substitusi (0,45-0,7) dan substitusi karbon pada molekul glukosa (C2,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dari derajat substitusi (0,45-0,7) dan substitusi karbon pada molekul glukosa (C2, BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hydroxyethyl Starch (HES) Hydroxyethyl Starch (HES) merupakan kelompok senyawa yang didapatkan dari kanji hidroksietil (diperoleh dari jagung). Hidroksietil ditentukan dari derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beberapa dekade terakhir ini, namun demikian perkembangan pada

BAB I PENDAHULUAN. beberapa dekade terakhir ini, namun demikian perkembangan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai sensasi yang tidak mengenakkan dan biasanya diikuti oleh pengalaman emosi tertentu

Lebih terperinci

Syok Syok Hipovolemik A. Definisi B. Etiologi

Syok Syok Hipovolemik A. Definisi B. Etiologi Syok Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 LATAR BELAKANG Kejadian mengancam nyawa sering disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 LATAR BELAKANG Kejadian mengancam nyawa sering disebabkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kejadian mengancam nyawa sering disebabkan oleh perdarahan. 1,2,3 Menurut data di Inggris (2010) sebanyak 80% kematian diakibatkan perdarahan yang menyebabkan syok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan sejalan dengan penetapan status Bandara Adisutjipto

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan sejalan dengan penetapan status Bandara Adisutjipto BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bandara Adisutjipto Yogyakarta berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan R.I. Nomor KM 90/19991 ditetapkan sebagai bandara internasional. Kegiatan, frekuensi, dan jenis

Lebih terperinci

MONITORING HEMODINAMIK

MONITORING HEMODINAMIK MONITORING HEMODINAMIK DEFINISI Hemodinamik adalah aliran darah dalam sistem peredaran tubuh, baik melalui sirkulasi magna (sirkulasi besar) maupun sirkulasi parva ( sirkulasi dalam paru-paru). Monitoring

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan pengalaman pembedahan pasien. Istilah perioperatif adalah suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan pengalaman pembedahan pasien. Istilah perioperatif adalah suatu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keperawatan Perioperatif 2.1.1 Definisi. Keperawatan perioperatif adalah merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem kardiovaskular terdiri dari jantung, jaringan arteri, vena, dan kapiler yang mengangkut darah ke seluruh tubuh. Darah membawa oksigen dan nutrisi penting untuk

Lebih terperinci

ARTIKEL PENELITIAN. Abstrak. Abstract. Jurnal Anestesi Perioperatif

ARTIKEL PENELITIAN. Abstrak. Abstract. Jurnal Anestesi Perioperatif Jurnal Anestesi Perioperatif [JAP. 2016;4(1): 50 5] Pengaruh Duduk 5 Menit Dibanding dengan Langsung Dibaringkan pada Pasien yang Dilakukan Anestesi Spinal dengan Bupivakain Hiperbarik 0,5% 10 mg terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pembedahan yang sering dilakukan adalah sectio caesaria. Sectio caesaria

BAB 1 PENDAHULUAN. pembedahan yang sering dilakukan adalah sectio caesaria. Sectio caesaria 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasien yang mengalami pembedahan semakin meningkat. Salah satu pembedahan yang sering dilakukan adalah sectio caesaria. Sectio caesaria (caesarean delivery) didefinisikan

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN SYOK

ASUHAN KEPERAWATAN SYOK ASUHAN KEPERAWATAN SYOK Syok yaitu hambatan di dalam peredaran darah perifer yang menyebabkan perfusi jaringan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sel akan zat makanan dan membuang sisa metabolisme ( Theodore,

Lebih terperinci

Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI

Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI Mempunyai kekhususan karena : Keadaan umum pasien sangat bervariasi (normal sehat menderita penyakit dasar berat) Kelainan bedah yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea merupakan hal yang rutin dilakukan pada anastesi umum. Namun tindakan laringoskopi dan intubasi tersebut dapat menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi atau tekanan darah tinggi menurut JNC 7 adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmhg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmhg. Hipertensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap sebuah pelumpuh otot yang ideal yang dapat memberikan kondisi intubasi yang ideal dalam durasi

Lebih terperinci

ARTIKEL PENELITIAN. Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

ARTIKEL PENELITIAN. Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Jurnal Anestesi Perioperatif [JAP. 2016;4(1): 7 13] Perbandingan Epidural Volume Extension 5 ml dan 10 ml Salin 0,9% pada Spinal Anestesi dengan Bupivakain 0,5% 10 mg Hiperbarik terhadap Tinggi Blok Sensorik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propofol adalah obat anestesi intravena yang sangat populer saat ini

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propofol adalah obat anestesi intravena yang sangat populer saat ini BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Propofol adalah obat anestesi intravena yang sangat populer saat ini dikarenakan memiliki waktu mula kerja, durasi dan waktu pulih sadar yang singkat. 1,2 Disamping

Lebih terperinci

PENGATURAN JANGKA PENDEK. perannya sebagian besar dilakukan oleh pembuluh darah itu sendiri dan hanya berpengaruh di daerah sekitarnya

PENGATURAN JANGKA PENDEK. perannya sebagian besar dilakukan oleh pembuluh darah itu sendiri dan hanya berpengaruh di daerah sekitarnya MAPPING CONCEPT PENGATURAN SIRKULASI Salah satu prinsip paling mendasar dari sirkulasi adalah kemampuan setiap jaringan untuk mengatur alirannya sesuai dengan kebutuhan metaboliknya. Terbagi ke dalam pengaturan

Lebih terperinci

dr. Nurnaningsih, Sp.A(K)

dr. Nurnaningsih, Sp.A(K) Nama dr. Nurnaningsih, Sp.A(K) Tempat, tgl. lahir Bantul, 15 April 1960 Pangkat & Golongan Unit Kerja Pembina Utama Muda / IV c - IRIA RSUP Dr. Sardjito - Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UGM / SMF Anak RSUP

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Selama penelitian didapatkan subjek penelitian sebesar 37 penderita kritis yang mengalami hiperbilirubinemia terkonjugasi pada hari ketiga atau lebih (kasus) dan 37 penderita

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN FUNGSI SISTEM KARDIOVASKULER

STRUKTUR DAN FUNGSI SISTEM KARDIOVASKULER STRUKTUR DAN FUNGSI SISTEM KARDIOVASKULER Tujuan Pembelajaran Menjelaskan anatomi dan fungsi struktur jantung : Lapisan jantung, atrium, ventrikel, katup semilunar, dan katup atrioventrikular Menjelaskan

Lebih terperinci

Prevalensi hipertensi berdasarkan yang telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan pengukuran tekanan darah terlihat meningkat dengan bertambahnya

Prevalensi hipertensi berdasarkan yang telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan pengukuran tekanan darah terlihat meningkat dengan bertambahnya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit hipertensi atau disebut juga tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Tekanan darah pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tekanan darah adalah gaya yang diberikan oleh darah kepada dinding pembuluh darah yang dipengaruhi oleh volume darah, kelenturan dinding, dan diameter pembuluh darah

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang keilmuan Obstetri dan Ginekologi.

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang keilmuan Obstetri dan Ginekologi. BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini mencakup bidang keilmuan Obstetri dan Ginekologi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini bertempat di Instalasi Rekam Medik

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. menggunakan uji One Way Anova. Rerata tekanan darah sistolik kelompok

BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. menggunakan uji One Way Anova. Rerata tekanan darah sistolik kelompok BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 6.1 Data Hasil Penelitian Uji perbandingan antara keempat kelompok sebelum perlakuan menggunakan uji One Way Anova. Rerata tekanan darah sistolik kelompok kontrol adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gagal jantung adalah sindroma klinis yang kompleks yang timbul akibat kelainan struktur dan atau fungsi jantung yang mengganggu kemampuan ventrikel kiri dalam mengisi

Lebih terperinci

ANESTESI REGIONAL. Department of Anesthesiology Faculty Of Medicine Padjadjaran University

ANESTESI REGIONAL. Department of Anesthesiology Faculty Of Medicine Padjadjaran University ANESTESI REGIONAL Department of Anesthesiology Faculty Of Medicine Padjadjaran University Anestesi Umum I.V I.M Inhalasi P.O P.Rectal Regional Topikal Infiltrasi Field Block Blok Saraf Tepi Spinal Epidural

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah suatu peningkatan tekanan darah di dalam arteri, mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Gagal jantung adalah keadaan di mana jantung tidak mampu memompa darah untuk mencukupi kebutuhan jaringan melakukan metabolisme dengan kata lain, diperlukan peningkatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anestesi regional saat ini semakin berkembang dan makin luas pemakaiannya dibidang anestesi. Mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, di antaranya relatif murah,

Lebih terperinci

ARTIKEL PENELITIAN. Efek Ondansetron Intravena terhadap Tekanan Darah dan Laju Nadi pada Anestesi Spinal untuk Seksio Sesarea

ARTIKEL PENELITIAN. Efek Ondansetron Intravena terhadap Tekanan Darah dan Laju Nadi pada Anestesi Spinal untuk Seksio Sesarea Jurnal Anestesi Perioperatif [JAP. 2015;3(2): 73 80] Efek Ondansetron Intravena terhadap Tekanan Darah dan Laju Nadi pada Anestesi Spinal untuk Seksio Sesarea Annisa Isfandiary Ismandiya, 1 Tinni Trihartini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu indikator keberhasilan pembanguan adalah semakin

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu indikator keberhasilan pembanguan adalah semakin 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu indikator keberhasilan pembanguan adalah semakin meningkatnya usia harapan hidup penduduk. Dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup penduduk, menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan gigi adalah proses pembedahan yang memberikan tantangan

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan gigi adalah proses pembedahan yang memberikan tantangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencabutan gigi adalah proses pembedahan yang memberikan tantangan luar biasa terhadap mekanisme hemostasis tubuh karena jaringan di dalam mulut memiliki vaskularisasi

Lebih terperinci

OBAT KARDIOVASKULER. Obat yang bekerja pada pembuluh darah dan jantung. Kadar lemak di plasma, ex : Kolesterol

OBAT KARDIOVASKULER. Obat yang bekerja pada pembuluh darah dan jantung. Kadar lemak di plasma, ex : Kolesterol OBAT KARDIOVASKULER Kardio Jantung Vaskuler Pembuluh darah Obat yang bekerja pada pembuluh darah dan jantung Jenis Obat 1. Obat gagal jantung 2. Obat anti aritmia 3. Obat anti hipertensi 4. Obat anti angina

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. letak insisi. Antara lain seksio sesaria servikal (insisi pada segmen bawah), seksio

BAB I PENDAHULUAN. letak insisi. Antara lain seksio sesaria servikal (insisi pada segmen bawah), seksio BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seksio sesaria adalah persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat

Lebih terperinci

EMBOLI CAIRAN KETUBAN

EMBOLI CAIRAN KETUBAN EMBOLI CAIRAN KETUBAN DEFINISI Sindroma akut, ditandai dyspnea dan hipotensi, diikuti renjatan, edema paru-paru dan henti jantung scr cepat pd wanita dlm proses persalinan atau segera stlh melahirkan sbg

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi atau tekanan darah tinggi dikenal luas sebagai penyakit kardiovaskular, merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering ditemukan di masyarakat modern

Lebih terperinci

5/30/2013. dr. Annisa Fitria. Hipertensi. 140 mmhg / 90 mmhg

5/30/2013. dr. Annisa Fitria. Hipertensi. 140 mmhg / 90 mmhg dr. Annisa Fitria Hipertensi 140 mmhg / 90 mmhg 1 Hipertensi Primer sekunder Faktor risiko : genetik obesitas merokok alkoholisme aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir

Lebih terperinci

PERBEDAAN CARDIOTHORACIC RATIO

PERBEDAAN CARDIOTHORACIC RATIO PERBEDAAN CARDIOTHORACIC RATIO PADA FOTO THORAX STANDAR USIA DI BAWAH 60 TAHUN DAN DI ATAS 60 TAHUN PADA PENYAKIT HIPERTENSI DI RS. PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN EFEK HEMODINAMIK ANTARA PROPOFOL DAN ETOMIDATE PADA INDUKSI ANESTESI UMUM ARTIKEL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

PERBANDINGAN EFEK HEMODINAMIK ANTARA PROPOFOL DAN ETOMIDATE PADA INDUKSI ANESTESI UMUM ARTIKEL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH PERBANDINGAN EFEK HEMODINAMIK ANTARA PROPOFOL DAN ETOMIDATE PADA INDUKSI ANESTESI UMUM COMPARISON OF HEMODYNAMIC EFFECTS BETWEEN PROPOFOL AND ETOMIDATE FOR GENERAL ANESTHESIA INDUCTION ARTIKEL PENELITIAN

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN PASIEN HIPERTENSI DALAM KASUS PENCABUTAN GIGI

PENATALAKSANAAN PASIEN HIPERTENSI DALAM KASUS PENCABUTAN GIGI PENATALAKSANAAN PASIEN HIPERTENSI DALAM KASUS PENCABUTAN GIGI 1. PENDAHULUAN Tidak semua pasien yang datang di praktek dokter gigi dalam keadaan sehat dan mempunyai tekanan darah yang normal. Ada beberapa

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Gagal Jantung Kongestif 1.1 Defenisi Gagal Jantung Kongestif Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan MAKALAH INFARK MIOKARD AKUT

BAB I PENDAHULUAN. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan MAKALAH INFARK MIOKARD AKUT MAKALAH INFARK MIOKARD AKUT BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infark miokard akut mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung akibart suplai darah yang tidak adekuat, sehingga aliran darah koroner

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat terlepas dari aktivitas dan pekerjaan dalam kehidupan sehari-hari. Tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. dapat terlepas dari aktivitas dan pekerjaan dalam kehidupan sehari-hari. Tuntutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi ditandai oleh penduduk dunia yang mengalami pergeseran pola pekerjaan dan aktivitas. Dari yang sebelumnya memiliki pola kehidupan agraris berubah menjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. milimeter air raksa (mmhg) (Guyton, 2014). Berdasarkan Seventh Joint National

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. milimeter air raksa (mmhg) (Guyton, 2014). Berdasarkan Seventh Joint National BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tekanan Darah 1. Definisi Tekanan Darah Menurut Guyton, tekanan darah adalah daya yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap satuan luas dinding pembuluh yang dinyatakan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sirosis hati merupakan suatu penyakit yang memiliki penyebaran di seluruh dunia. Individu yang terkena sangat sering tidak menunjukkan gejala untuk jangka waktu panjang,

Lebih terperinci

Curah jantung. Nama : Herda Septa D NPM : Keperawatan IV D. Definisi

Curah jantung. Nama : Herda Septa D NPM : Keperawatan IV D. Definisi Nama : Herda Septa D NPM : 0926010138 Keperawatan IV D Curah jantung Definisi Kontraksi miokardium yang berirama dan sinkron menyebabkan darah dipompa masuk ke dalam sirkulasi paru dan sistemik. Volume

Lebih terperinci

Etiologi penyebab edema dapat dikelompokan menjadi empat kategori umum:

Etiologi penyebab edema dapat dikelompokan menjadi empat kategori umum: Syifa Ramadhani (2013730182) 4. Jelaskan mekanisme dan etiologi terjadinya bengkak? Mekanisme terjadinya bengkak Secara umum, efek berlawanan antara tekanan hidrostatik (gaya yg mendorong cairan keluar

Lebih terperinci

ABSTRAK EFEK WORTEL (DAUCUS CAROTA L.) TERHADAP TEKANAN DARAH PEREMPUAN DEWASA

ABSTRAK EFEK WORTEL (DAUCUS CAROTA L.) TERHADAP TEKANAN DARAH PEREMPUAN DEWASA ABSTRAK EFEK WORTEL (DAUCUS CAROTA L.) TERHADAP TEKANAN DARAH PEREMPUAN DEWASA Olivia Ardini, 1110154 Pembimbing : Ellya Rosa Delima, dr., M.Kes. Latar belakang Hipertensi merupakan penyakit kelainan pembuluh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan sangat serius saat ini. Hipertensi disebut juga sebagai the silent killer. Hipertensi

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN. Setiawan, S.Kp., MNS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN. Setiawan, S.Kp., MNS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN SHOCK HYPOVOLEMIK Setiawan, S.Kp., MNS KLASIFIKASI SHOCK HYPOVOLEMIC SHOCK CARDIOGENIC SHOCK SEPTIC SHOCK NEUROGENIC SHOCK ANAPHYLACTIC SHOCK TAHAPAN SHOCK TAHAP INISIAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi adalah salah satu penyakit yang paling umum melanda dunia. Hipertensi merupakan tantangan kesehatan masyarakat, karena dapat mempengaruhi resiko penyakit

Lebih terperinci

ARTIKEL PENELITIAN. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Bayukarta Karawang,

ARTIKEL PENELITIAN. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Bayukarta Karawang, Jurnal Anestesi Perioperatif [JAP. 2015;3(1): 14 23] Perbandingan Efek Pemberian Norepinefrin Bolus Intravena dengan Norepinefrin Infus Kontinu dalam Tatalaksana Hipotensi, Laju Nadi, dan Nilai APGAR pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anestesi spinal merupakan salah satu teknik anestesi regional yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anestesi spinal merupakan salah satu teknik anestesi regional yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anestesi spinal merupakan salah satu teknik anestesi regional yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid untuk mendapatkan

Lebih terperinci

Anestesi epidural pada pasien modified radical mastectomy dengan gagal jantung kongestif

Anestesi epidural pada pasien modified radical mastectomy dengan gagal jantung kongestif Anestesi epidural pada pasien modified radical mastectomy dengan gagal jantung kongestif Jim Anthonio, IB Krisna, IMG Widnyana Bagian/SMF Ilmu Anesthesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. merupakan penyakit nomor satu penyebab kematian di Indonesia dan sekitar 20-

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. merupakan penyakit nomor satu penyebab kematian di Indonesia dan sekitar 20- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Prevalensi hipertensi atau tekanan darah di Indonesia cukup tinggi. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2001 menunjukkan bahwa 8,3% penduduk

Lebih terperinci

Data Demografi. Ø Perubahan posisi dan diafragma ke atas dan ukuran jantung sebanding dengan

Data Demografi. Ø Perubahan posisi dan diafragma ke atas dan ukuran jantung sebanding dengan ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Data Demografi Nama Umur Pekerjaan Alamat a. Aktifitas dan istirahat Ø Ketidakmampuan melakukan aktifitas normal Ø Dispnea nokturnal karena pengerahan tenaga b. Sirkulasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga menunjukkan prevalensi penyakit hipertensi atau tekanan darah tinggi di Indonesia cukup tinggi, yaitu 83 per 1.000 anggota rumah

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN LOADING 500 CC HIDROXYLETHYL STARCH

PENGARUH PEMBERIAN LOADING 500 CC HIDROXYLETHYL STARCH PENGARUH PEMBERIAN LOADING 500 CC HIDROXYLETHYL STARCH 130/0,4 (6%) TERHADAP TEKANAN DARAH DAN DENYUT NADI PADA PASIEN DENGAN ANESTESI SPINAL PADA SECTIO CESAREA JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA Diajukan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003

BAB I PENDAHULUAN. seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penatalaksanaan nyeri akut pascaoperasi merupakan salah satu tantangan seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003 melaporkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyakit kronis paling sering terjadi di negara industri dan berkembang. Klasifikasi menurut JNC VII (the Seventh US

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Anemia adalah berkurangnya volume sel darah merah atau menurunnya

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Anemia adalah berkurangnya volume sel darah merah atau menurunnya BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anemia Anemia adalah berkurangnya volume sel darah merah atau menurunnya konsentrasi hemoglobin di bawah nilai normal sesuai usia dan jenis kelamin. 8,9 Sedangkan literatur

Lebih terperinci