Kedudukan Pujangga Dalam Kesusastraan Jawa 1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Kedudukan Pujangga Dalam Kesusastraan Jawa 1"

Transkripsi

1 Kedudukan Pujangga Dalam Kesusastraan Jawa 1 oleh Muhammad Fachrizal Helmi, Pujangga keraton pada dasarnya adalah predikat yang diberikan pihak keraton kepada orang yang menggubah karya sastra: pada zaman Jawa-Budha dan Jawa-Hindu, pujangga keraton memperoleh julukan Empu (Linus Suryadi A.G, 1995). Empu adalah 1) gelar kehormatan yang berarti tuan, 2) seorang ahli, terutama ahli membuat keris (Poerwadarminta, 2007). Tapi maksud dari empu dalam pembahasan ini lebih mengacu kepada empu sebagai tuan. Sedangkan, Gericke mengungkapkan bahwa pujangga adalah geleerde, taalgeleerde en dichter - sarjana, ahli bahasa, dan penyair (Gericke-Roorda, jilid 2, 1901). Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, pujangga memiliki arti 1) pengarang sajak yang tinggi nilainya, 2) ahli pikir, ahli sastra dan bahasa (Poerwadarminta, 2007). Dilihat dari definisi di atas, secara umum dapatlah kita sebut bahwa pujangga adalah istilah yang gunakan sebagai sebutan untuk seorang penulis karya sastra pada masa atau zaman Jawa-Budha dan Jawa-Hindu, seperti mpu (atau empu) Tantular dan mpu Panuluh. Bahkan, pujangga tidak hanya dikenal pada masa Jawa-Hindu dan Jawa-Budha saja, tetapi juga sampai pada zaman Jawa-Islam yaitu, seperti R. Ng. Ranggawarsita yang merupakan salah satu pujangga atau penulis karya sastra Jawa yang dikenal pada zaman Jawa-Islam. Adapun penulis karya sastra di sini adalah, bukanlah sembarang penulis seperti yang kita kenal pada masa sekarang. Pujangga adalah istilah yang digunakan untuk menyebut penulis karya sastra Jawa yang dilegitimasi oleh keraton, seperti yang dikemukakan oleh Linus A.G pada paragraf di atas. Terkait dengan istilah pujangga tersebut, ada beberapa tokoh yang memang menyebut pujangga hanya sebatas pujangga, atau ada juga yang menyebut pujangga dengan istilah lain yang pada dasarnya adalah sama yaitu, empu. Atau, ada juga yang menyebut pujangga dengan istilah lain yaitu, kawi. Dalam Baoesastra Djawa (Poerwadarminta, 1939) disebutkan bahwa kata kawi memiliki arti, yang salah satunya adalah, pangarang (pengarang) atau pujangga. 1 Dibuat untuk melengkapi tugas akhir mata kuliah Dinamika Kesusastraan Jawa, program studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Dengan dosen pengampu Prapto Yuwono, M.Hum. 2 Mahasiswa semester V program studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa FIB UI. 1

2 Lalu dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia (P. J. Zoetmulder, 1995) pun demikian, kata kawi diartikan sebagai pujangga, penyair, dan atau seorang yang mahir dalam menggubah puisi. Dengan demikian, baik pujangga, penyair, empu, atau pun kawi, semua istilah itu dapat digunakan sebagai istilah untuk menyebut seorang penulis karya sastra Jawa yang berasal dari keraton. Banyak ditemukan dalam karya-karya sastra Jawa Kuna bahwa, para pujangga atau kawi tersebut, seringkali menulis dengan kandungan atau muatan-muatan yang bersifat religius, entah itu pada masa Jawa-Hindu-Budha ataupun pujangga yang juga hidup pada masa Jawa-Islam. Atau, dapat juga disebut sebagai zaman Jawa Kuna (Hindu-Budha) dan zaman Jawa Madya (Islam). Linus A.G (1995) mengungkapkan bahwa, pujangga Jawa Kuna dan Jawa Madya identik dengan pujangga keraton, yang secara jelas terinci dalam dua zaman yaitu, zaman Renaisan Jawa 1 antara abad 8 sampai 15 (zaman Budha dan Hindu). Kemudian zaman Renaisan Jawa II yaitu, antara abad 16 sampai dengan sekitar abad 19 (zaman Islam, pujangga Ranggawarsita). Hampir banyak sekali karya sastra Jawa yang digubah oleh para pujangga keraton tersebut, selalu menyinggung sisi religius, yang sering juga dikaitkan dengan Tuan mereka (raja/pangeran). Seperti halnya dalam karya sastra kitab Sutasoma yang digubah oleh empu Tantular pada zaman pujangga Jawa Kuna, demikian juga dengan kebanyakan karya sastra yang ditulis pada zaman Jawa Madya, yang mana teksnya sering sekali sarat akan hal-hal yang bersifat religus, yang sarat dengan perenungan-perenungan. Untuk selanjutnya, hal itulah yang akan menjadi fokus penulisan dalam pembahasan ini yaitu: mengapa para pujangga atau kawi pada zaman Jawa-Hindu-Budha-Islam (zaman Jawa Kuna dan Jawa Madya) selalu menulis karya sastra yang muatan di dalamnya selalu bersifat religus? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis telah melakukan studi pustaka terkait dengan sumber-sumber tertulis yang menyinggung perihal kepujanggaan yang ada dalam kesusastraan Jawa. Pujangga Dalam Rekam Jejak Perkembangan Kesusastraan Jawa Perlu diketahui terlebih dahulu, bahwa pujangga yang ada di dalam sebuah keraton, biasanya, bukanlah merupakan keluarga dari seorang raja. Seperti yang diungkapkan oleh Zoetmulder (1983), semua pengarang syair-syair itu sejauh kita ketahui bertempat tinggal di keraton, tetapi mereka sendiri bukanlah anggota keluarga 2

3 raja atau keluarga bangsawan. Mereka termasuk kalangan pejabat, petugas, dan hamba yang mengelilingi sang raja dan banyak di antara mereka rupanya juga memegang suatu jabatan religius. Perlu diketahui bahwa, dalam kepujanggaan Jawa, ada beberapa raja yang juga sekaligus sebagai pujangga (baca: sastrawan/penulis), yang melahirkan beberapa karya sastra Jawa yang sampai saat ini masih dikenal oleh masyarakat Jawa, yang salah satunya seperti Sultan Agung yang menulis Serat Sastra Gendhing, yang dapat dianggap sebagai sosok yang mengawali pujangga Jawa Madya (Linus A.G, 1995). Tetapi, perihal dengan seorang raja yang juga merangkap sebagai pujangga tersebut, merupakan tradisi baru dalam kehidupan keraton-keraton di Jawa. Dari konteks sejarah kepujanggaan Jawa Kuna, tak pernah terkabar ada raja merangkap pujangga (Linus A.G, 1995). Barulah pada masa Mataram Sultan Agung, berlanjut sampai dengan dengan klan Surakarta dengan Pakubuwana III, IV, dan V, juga X, yang menganut tradisi raja yang juga sebagai pujangga. Kembali kepada pembahasan semula yaitu, bahwa pujangga adalah seorang pejabat, petugas, dan hamba yang mengelilingi raja yang juga memegang suatu jabatan religius. Dalam Widyaparwa 22 Darusuprapta mengutip Berg (1983), pujangga adalah priester van de literaire magi, yang diterjemahkan oleh Darusuprapta ke dalam bahasa Jawa menjadi pandhitaning kasusastran magi. Jika dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia: seorang ahli dalam kesusastraan yang bersifat magi atau mengandung unsur magi. Hal tersebut, menurut penulis, berkaitan dengan pernyataan Zoetmulder yang menyebutkan bahwa pujangga memegang suatu jabatan religius, dikarenakan, jika dikatikan dengan pernyataan Berg, pujangga adalah seorang yang mumpuni dalam ilmu magi (baca: ilmu yang berkaitan dengan kekuatan gaib atau kekuatan magis). Zoetmulder (1983) menyebutkan bahwa pada mulanya, para pujangga yang menjabat suatu jabatan religius tersebut diharuskan untuk mempelajari bahasa Sanskerta dan sastra dalam arti yang paling luas dikembangan. Penekanannya pertama-tama adalah teks-teks religius yang dipakai dalam melaksanakan upacara-upacara ibadat atau yang merupakan bahan untuk mempelajari dan mengajarkan agama. Dari pernyataan Zoetmulder tersebut dapatlah kita katakan bahwa, ketika para pujangga mempelajari teks-teks religius tersebut di atas, maka dengan sendrinya hati dan pikiran mereka akan banyak dipengaruhi oleh bacaan-bacaan mereka 3

4 (pujangga) yang memuat teks-teks religius yang ditulis dalam bahasa Sanskerta, yang memuat tentang ajaran Hindu-Budha yang datang dari India ke Jawa. Ketika itu, sumber-sumber teks yang berbahasa Sanskerta tersebut merupakan teks-teks yang berikatan erat dengan cara hidup serta kaidah kelakuan kaum brahmin seperti diwajibkan oleh tradisi suci (dharma), tidak hanya semata-mata dipelajari, tetapi juga diterjemahkan dan diulas ke dalam bahasa Jawa Kuno. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya beberapa ulasan teks terkait dari Jawa (Zoetmulder, 1983). J.J. Ras dalam buku Masyarakat dan Kesusastraan Jawa (2014) juga mengemukakan, kita melihat bahwa transformasi dari teks asli Sanskerta terjadi atas perintah raja karena ia tidak paham teks yang asli (teks Sanskerta). Pengalihan teks Sanskerta ke Prakerta (atau, dalam hal ini adalah bahasa Jawa Kuna) terjadi mula-mula pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh ( ), mertua Raja Airlangga. Dengan demikian, bahwa memang mula-mula para pujangga di keraton tidak serta-merta lantas menulis suatu karya sastra langsung, tetapi, mereka melakukan penyalinan-penyalinan teks Sanskerta yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Jawa Kuna terlebih dahulu. Hal tersebut ditujukan untuk pemahaman yang menyeluruh tentang suatu teks tertulis yang mengandung nilai-nilai Hindu-Budha India, yang saat itu mulai dikembangkan di Jawa. Di sisi lain, hal tersebut pun merupakan perintah raja yang ingin mengerti teks-teks Sanskerta. Dari hal demikian, maka dapatlah disebut bahwa seorang raja tidak mengerti teks Sanskerta karena ia bukanlah brahmana, yang mengerti teks Sanskerta hanyalah kaum brahmana (pemuka agama). Selanjutnya, ada pernyataan yang saling terkait antara pernyataan Zoetmulder yang mengungkapkan bahwa pada mulanya para pujangga tersebut diharuskan untuk mempelajari bahasa Sanskerta dan sastra (oleh raja) dan J.J. Ras yang dalam bukunya mengungkapkan juga hal serupa: transformasi teks Sanskerta terjadi dalam hubungan guru-murid, di dalamnya raja berpartisipasi sebagai pihak yang menerima pengetahuan. Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa, pada masa itu yang memahami teks Sanskerta adalah para brahmana. Jadi, guru dari para pujangga seperti yang termaktub dalam Zoetmulder dan J.J. Ras tersebut adalah para brahmana. Dari hal di atas, penulis mencoba menarik kesimpulan bahwa, pujangga atau kawi atau penulis karya sastra yang dikenal pada zaman Jawa Kuna (Jawa-Hindu-Budha) selalu menuliskan karya sastra yang di dalamnya selalu memuat aspek ajaran religus magi dikarenakan adanya pengaruh teks-teks Sanskerta yang 4

5 memuat ajaran-ajaran religius Hindu-Budha dari India. Yang dalam hal ini terpengaruh lewat pembelajaran-pembelajaran yang dilakukan oleh seorang guru (brahmana) dan murid (pujangga), dalam memahami bahasa Sanskerta dan sastra (Sanskerta). Melalui proses pembelajaran tersebut, pastinya akan banyak sekali pengetahuan religius magis yang banyak terdapat dalam teks-teks Sanskerta pada masa itu, yang senantiasa abid dalam pikiran para pujangga yang mempelajari. Yang nantinya juga akan memengaruhi karya-karya sastra yang kelak ditulis oleh para pujangga tadi. Terlepas dari apakah karya-karya sastra yang ditulis oleh para pujangga yang telah belajar tadi dipengaruhi oleh pihak luar dirinya, dalam hal ini adalah raja, atau mungkin saja tidak. Namun, ada juga pendapat Zoetmulder yang mengungkapkan bahwa hubungan antara raja dan pujangga adalah sebagai seorang raja dan hamba. Pujangga pada masa Jawa Kuna akan menulis karya sastra berdasarkan perintah yang dikeluarkan oleh raja. Restu seorang raja kepada seorang penyair sangatlah besar artinya (Zoetmulder, 1983). Oleh karena itu, ketika seorang saja memerintahkan untuk menulis apapun, yang dalam banyak hal selalu menyangkut tentang kekuasaan seorang raja dan juga pembentukan citra, seorang pujangga akan sangat-sangat merasa terhormat. Dengan pengetahuan religius magi yang dipelajari para pujangga, ditambahkan dengan restu dan segala hal diperintahkan seorang raja kepada pujangga, maka akan terciptalah karya sastra yang bersifat religius magis, yang selalu saja bercerita tentang suatu kebesaran seorang raja dan tanah kekuasaannya. Hal tersebut guna melukiskan citra baik raja dan tanah yang dikuasainya. Seorang penyair yang telah melalui proses pembelajar bahasa Sanskerta dan sastra, pada masa Jawa Kuna, dianggap sebagai seorang yang memiliki daya magi yang dapat menghipnotis setiap orang dengan tulisan-tulisannya, tak jarang dihasilkan melalui proses tapa atau semacamnya.. Oleh karena itulah, kedudukan seorang pujangga pada masa Jawa Kuna sangatlah penting kedudukannya di dalam keraton yaitu, sebagai seorang yang mumpuni dalam hal magi, juga sebagai penyanjung raja dan keraton, atau dapatlah dikatakan bahwa pujangga adalah humas keraton. Raja percanya bahwa setiap kisah tentang dirinya dan kekuasaannya dituliskan oleh para pujangga, nantinya akan tercipta suatu kisah yang magis, yang dapat menghipnotis masyarakat dan pembacanya. Dalam banyak karya sastra Jawa Kuna, sering para pujangga 5

6 mengaitkan kisah raja-raja Jawa dengan sosok agung yang dipercayai oleh Hindu-Budha Jawa pada masa itu. Hal tersebut dikarenakan pengaruh pengetahuan atau background of knowledge yang ikut membentuk pola pikir penulis (pujangga) adalah berkaitan dengan teks-teks religius bahasa Sanskerta. Selanjutnya, bagaimanakah dengan pujangga yang hidup di keraton pada masa Jawa Madya? Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam kepujanggan zaman Jawa Madya dikenal beberapa pujangga seperti Pakubuwana III, Pakubuwana IV, KGPAA Mangkunegara IV, Pangeran Karanggayam, Jasadipura, Ranggwarsita, Ronggosutrasna, Pakubuwana V, jasadipura II, Sastranegara, Sastrawiguna, dan Pakubuwana X (Linus A.G, 1995). Tidak banyak sumber pustaka yang penulis temukan, yang memuat perihal peran dan lain sebagainya, yang berkaitan dengan pujangga yang ada pada zaman Jawa Madya (zaman Islam). Tetapi penulis akan mencoba untuk mengasumsikan bahwa para pujangga pada masa Jawa-Islam, banyak menuliskan karya-karya sastra Jawa yang (juga) bersifat religius magis, sama seperti pada masa Jawa-Hindu-Budha kurang lebih, tetapi tetap ada yang berbeda. Mengingat akar kebudayaan yang berkembang pada masa tersebut juga berbeda yaitu, akar kebudayaan Islam yang datang dari daerah Timur Tengah atau Arab atau juga India. Kebudayaan Jawa-Hindu-Budha perlahan tersisihkan, dan berkembanglah kebudayaan Islam di Jawa. Keraton-keraton tidak lagi dikuasai oleh kerajaan yang menganut Hindu-Budha, tetapi dikuasai oleh kerajaan yang menganut Islam-Jawa. Permulaan kebudayaan Islam berkembang di Jawa pada masa runtuhnya Majapahit pada sekitar abad ke-15. Yaitu pada masa runtuhnya Majapahit, dan berdirinya kesultanan atau kerajaan berbasis Islam pertama di pulau Jawa yaitu, Kesultanan Demak. Dan pada saat itu berganti pula tradisi sastra yang berkembang di pulau Jawa. Dari tradisi sastra yang selalu berkaitan dengan Hindu-Budha menjadi tradisi sastra dengan muatan teks Islam. Penulis tidak menemukan pustaka informasi yang memuat perihal akar ide kepenulisan pujangga ketika masa hegemoni Kesultanan Demak di Jawa. Barangkali, penulis mencoba mengasumsikan, bahwa karya sastra pada masa ini kurang begitu berkembang. Mengingat masih dalam tahap-tahap awal peralihan dari Jawa-Hindu-Budha ke Jawa-Islam, jadi, ada kemungkinan pemerintahan kesultanan kurang begitu giat dalam bersastra. Lalu melangkah jauh ke masa kepemimpinan Sultan Agung di Kesultanan 6

7 Mataram yaitu, sultan ketiga yang menduduki tahta Kesultanan Mataram, yang berkisar pada tahun Pada masa Sultan Agung inilah kesusastraan Jawa mulai hadir kembali yaitu, dimulai dengan hadirnya karya sastra yang ditulis oleh Sultan Agung sendiri yang pada saat itu sebagai raja juga pujangga yaitu, Serat Sastra Gendhing, yang di atas telah dikemukakan oleh Linus A.G bahwa kira-kira dapat dijadikan sebagai salah satu karya sastra dengan sosok pujangga (penulis) yang jelas diketahui. Setelah masa itu, makan kesusastraan Jawa dengan unsur Islam yang baru terus berkembang sampai dengan masa akhir kepujanggaan pujangga besar di Jawa yaitu, R. Ng. Ranggwarsita. Pada masa ini pada dasarnya, kedudukan seorang pujangga di dalam keraton adalah sama dengan masa Hindu-Budha. Yaitu sebagai juru tulis keraton, yang menulis karya-karya sastar berdasarkan perintah raja atau penguasanya. Pujangga masih tetap sama yaitu, sebagai hamba daripada seorang raja. Dan malah yang menarik, seperti telah disebutkan di atas bahwa, pada masa ini bahkan seorang raja pun ada juga yang merangkap sebagai penulis (pujangga). Pada masa ini para pujangga menulis karya-karya sastra yang memuat unsur-unsur religius yang ada pada Islam, yang seperti Serat Ambiya, Suluk Bonang, Suluk Wujil, dan Serat Centhini, dan lainnya. Semua karya sastra yang ditulis rata-rata, diilhami dari Al-Qur an dan Hadits, tapi perenungan-perenungan yang berkaitan dengan konsep religius Islam yang dipahami oleh para pujangga pada Islam itu. Seperti halnya Ranggawarsita yang sebelum menjadi seorang pujangga, ia sempat belajar di pesantren (Dhanu, 2003). Tetapi itu bukan merupakan suatu keharusan untuk menjadi pujangga pada masa itu. Jadi, menurut penulis, bahwa para penulis pada Islam seperti Ranggwarsita besar kemungkinan tulisan-tulisannya bersifat religius dikarenakan sebelum menjadi pujangga, penyair terkait pernah menempuh pembelajaran di pesantren seperti Ranggwarsita. Atau, dapat juga merupakan hasil dari pengaruh bacaan-bacaan seperti Al-Qur an dan Hadits. Tetapi, dalam konteks ini penulis bicara tentang konteks pujangga yang bukan merupakan juga seorang raja, seperti yang telah dijelaskan di atas. Sama seperti sebelumnya, para pujangga tersebut, pada masa Islam, juga merupakan sebagai seorang juru tulis keraton atau hamba daripada raja. Jadi, besar kemungkinan juga bahwa tulisan-tulisan yang diciptakan oleh para pujangga pada masa Islam juga dipengaruhi oleh titah-titah dari seorang raja atau penguasa mereka. 7

8 Daftar Pustaka Darusuprata. Jejer Kalenggahaning Pujangga ing Kasusastran Jawi. Dalam Widyaparwa 22. Yogyakarta: Penerbit Balai Penelitian Bahasa Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Prabowo, Dhanu Priyo. Budi Utomo, Imam. Pengaruh Islam Dalam Karya-Karya R. Ng. Ranggwarsita. Yogyakarta: Penerbit Narasi, J.J. Ras. Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa (terj). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Suryadi A.G, Linus. Dari Pujangga ke Penulis Jawa. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, P. J. Zoetmulder. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (terj). Judul Asli Kalangwan. A Survey of Old Javanese Literature (KITLV, 1974). Jakarta: Penerbit Djambatan, Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Cetakan Kelima. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, W. J. S Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Cetakan Keempat. Diolah Kembali oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka, Baoesastra Djawa. Groningen, Batavia: J. B. Wolters, Sumber Internet: Haydr Suhardy. Diakses pada tanggal 21 Desember 2015, pukul WIB. Vizcardine Audinovic. Diakses pada tanggal 21 Desember 2015, pukul WIB. 8

BAB II PEMBAHASAN. Kamajaya,Karkono,Kebudayaan jawa:perpaduannya dengan islam,ikapi,yogja,1995 2

BAB II PEMBAHASAN. Kamajaya,Karkono,Kebudayaan jawa:perpaduannya dengan islam,ikapi,yogja,1995 2 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pendidikan adalah upaya menggali dan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh setiap insan. Potensi itu berupa kemampuan berbahasa, berfikir, mengingat menciptakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Masyarakat Jawa merupakan salah satu masyarakat di Indonesia yang memiliki berbagai macam budaya. Salah satu budaya yang terdapat dalam masyarakat Jawa adalah budaya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masyarakat Jawa telah mengenal budaya bersusastra melalui tulisan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Masyarakat Jawa telah mengenal budaya bersusastra melalui tulisan yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Masyarakat Jawa telah mengenal budaya bersusastra melalui tulisan yang tertuang dalam bentuk naskah sejak abad IX 1. Berkaitan dengan tulisan dalam bentuk naskah, Saputra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai cipta sastra karena teks yang terdapat dalam teks mengungkapkan

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai cipta sastra karena teks yang terdapat dalam teks mengungkapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah-naskah Nusantara sangat beraneka ragam, yang isinya mengemukakan tentang kehidupan manusia misalnya, masalah politik, sosial, ekonomi, agama, kebudayaan, bahasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memikat perhatian para peneliti, salah satunya adalah kakawin yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. memikat perhatian para peneliti, salah satunya adalah kakawin yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam khazanah sastra Jawa Kuna (kawi) memang telah sejak lama memikat perhatian para peneliti, salah satunya adalah kakawin yang merupakan sastra Jawa Kuna yang berbentuk

Lebih terperinci

INTERAKSI KEBUDAYAAN

INTERAKSI KEBUDAYAAN Pengertian Akulturasi Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara atau kerajaan tentu mempunyai sistem hirarki dalam

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara atau kerajaan tentu mempunyai sistem hirarki dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Suatu negara atau kerajaan tentu mempunyai sistem hirarki dalam pemerintahan. Seperti yang terdapat pada kerajaan-kerajaan di Indonesia yang hingga saat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah islam si pulau Jawa telah berlangsung sangat lama. Selama perjalanan tersebut banyak hal-hal yang terjadi pada masa itu, diantaranya yaitu dialog antar kebudayaan.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembicaraan karya sastra tidak lepas dari penilaian-penilaian. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu seni adalah yang imajinatif,

Lebih terperinci

Pokok Bahasan Rincian Pokok Bahasan Waktu

Pokok Bahasan Rincian Pokok Bahasan Waktu 1. Fakultas/ Program Studi 2. Mata Kuliah dan Kode : Fakultas Bahasa dan Seni/ Pendidikan Bahasa Jawa : FILOLOGI JAWA I 3. Jumlah SKS : Teori : 2 SKS Praktik : - SKS 4. Kompetensi : Mahasiswa memiliki

Lebih terperinci

Karya sastra melukiskan corak, cita-cita, aspirasi, dan perilaku masyarakat, sesuai dengan hakikat dan eksistensinya karya sastra merupakan

Karya sastra melukiskan corak, cita-cita, aspirasi, dan perilaku masyarakat, sesuai dengan hakikat dan eksistensinya karya sastra merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kata satra dalam Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sanskerta yaitu akar kata sas-, yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi, sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu animisme dan dinamisme. Setelah itu barulah masuk agama Hindu ke

BAB I PENDAHULUAN. yaitu animisme dan dinamisme. Setelah itu barulah masuk agama Hindu ke 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebelum datangnya Islam masyarakat Indonesia masih percaya akan kekuatan roh nenek moyang yang merupakan sebuah kepercayaan lokal yaitu animisme dan dinamisme.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Parwa merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian epos-epos dalam

BAB I PENDAHULUAN. Parwa merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian epos-epos dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Parwa merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian epos-epos dalam bahasa Sanskerta dan menunjukkan ketergantungannya dengan kutipan-kutipan dari karya asli dalam bahasa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. 1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Sebagaimana yang dikutip Sudjiman dalam Memahami Cerita Rekaan (1991: 12) menurut Horatius karya sastra memang bersifat dulce et utile (menyenangkan dan bermanfaat).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Budi Utomo, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Budi Utomo, 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pulau Bangka merupakan pulau kecil di sebelah selatan Sumatra. Pulau ini sudah terkenal sejak abad ke-6. Hal ini dibuktikan dengan adanya peninggalan prasasti

Lebih terperinci

Wujud Akulturasi Budaya Islam Di Indonesia

Wujud Akulturasi Budaya Islam Di Indonesia Wujud Akulturasi Budaya Islam Di Indonesia Islam Budaya lokal Pengantar 611M Masa Kelahiran Islam Di Arab. 632-661 M Mulai muncul Kekhafilahan di Arab untuk menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada kertas, lontar, kulit kayu atau rotan (Djamaris, 1977:20). Naskah

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada kertas, lontar, kulit kayu atau rotan (Djamaris, 1977:20). Naskah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah merupakan obyek material filologi yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan hasil budaya bangsa pada masa lalu (Baried, 1985:54). Naskah yang dimaksud

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. ditarik kesimpulan dan saran sebagai berikut : A. Simpulan. 1. Sêrat Srutjar merupakan naskah jamak. Ditemukan tiga buah naskah yang

BAB IV PENUTUP. ditarik kesimpulan dan saran sebagai berikut : A. Simpulan. 1. Sêrat Srutjar merupakan naskah jamak. Ditemukan tiga buah naskah yang 373 BAB IV PENUTUP Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, maka akhir penelitian ini dapat ditarik kesimpulan dan saran sebagai berikut : A. Simpulan 1. Sêrat Srutjar merupakan naskah jamak. Ditemukan

Lebih terperinci

SERAT MUMULEN (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN SEMIOTIK)

SERAT MUMULEN (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN SEMIOTIK) SERAT MUMULEN (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN SEMIOTIK) SKRIPSI Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana Program Strata 1 dalam Ilmu Sastra Indonesia Oleh: Ika Cahyaningrum A2A 008 057 FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. hasil penelitian sebelumnya. Kajian pustaka bersifat mutakhir yang memuat teori,

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. hasil penelitian sebelumnya. Kajian pustaka bersifat mutakhir yang memuat teori, BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka memuat uraian yang sistematik dan relevan dari fakta serta hasil penelitian sebelumnya. Kajian pustaka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra diciptakan oleh sastrawan. Pikiran, perasaan, kreativitas, serta

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra diciptakan oleh sastrawan. Pikiran, perasaan, kreativitas, serta 1 BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan oleh sastrawan. Pikiran, perasaan, kreativitas, serta imajinasi adalah alat. Sastrawan menggunakan media lingkungan sosial sekitar,

Lebih terperinci

INTERAKSI LOKAL - HINDU BUDDHA - ISLAM

INTERAKSI LOKAL - HINDU BUDDHA - ISLAM INTERAKSI LOKAL - HINDU BUDDHA - ISLAM AKULTURASI : menerima unsur baru tapi tetap mempertahankan kebudayaan aslinya jadi budaya campuran ASIMILASI : pernggabungan kebudayaan lokal dan unsur baru tapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra. Karya sastra merupakan hasil ide atau pemikiran dari anggota

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra. Karya sastra merupakan hasil ide atau pemikiran dari anggota BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan peradaban manusia tidak pernah terlepas dari apa yang disebut karya sastra. Karya sastra merupakan hasil ide atau pemikiran dari anggota masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur budaya. Bali bukan hanya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur budaya. Bali bukan hanya sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali dikenal sebagai salah satu penyimpanan naskah-naskah kuna warisan nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur budaya. Bali bukan hanya sebagai penyimpanan naskah-naskah

Lebih terperinci

beragam adat budaya dan hukum adatnya. Suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri

beragam adat budaya dan hukum adatnya. Suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah suatu negara majemuk yang dikenal dengan keanekaragaman suku dan budayanya, dimana penduduk yang berdiam dan merupakan suku asli negara memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan masa lampau, karena naskah-naskah tersebut merupakan satu dari berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan masa lampau, karena naskah-naskah tersebut merupakan satu dari berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Khasanah budaya bangsa Indonesia yang berupa naskah klasik, merupakan peninggalan nenek moyang yang masih dapat dijumpai hingga sekarang. Naskah-naskah

Lebih terperinci

KAKAWIN BALI DWIPA ANALISIS KONVENSI DAN INOVASI. I Gusti Bagus Budastra. Program Studi Sastra Jawa Kuno Fakultas Sastra Universitas Udayana.

KAKAWIN BALI DWIPA ANALISIS KONVENSI DAN INOVASI. I Gusti Bagus Budastra. Program Studi Sastra Jawa Kuno Fakultas Sastra Universitas Udayana. 1 KAKAWIN BALI DWIPA ANALISIS KONVENSI DAN INOVASI I Gusti Bagus Budastra Program Studi Sastra Jawa Kuno Fakultas Sastra Universitas Udayana Abstract Kakawin is a literary work that is formed by wirama

Lebih terperinci

AKULTURASI BUDAYA INDONESIA DAN ISLAM

AKULTURASI BUDAYA INDONESIA DAN ISLAM AKULTURASI BUDAYA INDONESIA DAN ISLAM Akulturasi adalah percampuran dua atau lebih kebudayaan, tetapi unsurunsur pembentuknya masih nampak. Akulturasi juga sering diartikan sebagai percampuran dua atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tumpuan serta puncak keagungan bangsa adalah berupa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tumpuan serta puncak keagungan bangsa adalah berupa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tumpuan serta puncak keagungan bangsa adalah berupa karya sastra lama. Nilai-nilai budaya suatu bangsa yang dalam kurun waktu tertentu sangat dapat

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. tertentu, menekankan penuturan atau emosi, menghidupkan gambaran, menunjukkan bahwa bahasa kias mempunyai peranan yang penting dalam

BAB V PENUTUP. tertentu, menekankan penuturan atau emosi, menghidupkan gambaran, menunjukkan bahwa bahasa kias mempunyai peranan yang penting dalam BAB V PENUTUP A. Simpulan Dalam novel AW karya Any Asmara ditemukan enam jenis penggunaan bahasa kias, yaitu simile, metafora, personifikasi, metonimia, sinekdoke dan hiperbola. Fungsi bahasa kias yang

Lebih terperinci

Cinta dan Seksualitas dalam Dunia Kakawin. IDG Windhu Sancaya*

Cinta dan Seksualitas dalam Dunia Kakawin. IDG Windhu Sancaya* Cinta dan Seksualitas dalam Dunia Kakawin IDG Windhu Sancaya* Judul Buku: Perempuan dalam Dunia Kakawin, Perkawinan dan Seksualitas di Istana Indic Jawa dan Bali Penulis : Helen Creese Penerjemah: Ida

Lebih terperinci

Lihat Musa, M. Yusuf. 1988: 131, Ya qub, Hamzah. 1988:11, Marzuki, M.Ag. Dr. 2009

Lihat Musa, M. Yusuf. 1988: 131, Ya qub, Hamzah. 1988:11, Marzuki, M.Ag. Dr. 2009 BAB V KESIMPULAN 5.1. Simpulan Berdasarkan pembahasan sepanjang bab di penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa: Pertama, perbedaan pandangan humanisme sekuler dengan humanisme teosentris terletak pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan karya sastra Bali khususnya kidung masih mendapat tempat di hati

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan karya sastra Bali khususnya kidung masih mendapat tempat di hati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan karya sastra Bali khususnya kidung masih mendapat tempat di hati masyarakat pencinta kesusastraan Bali, sehingga keberadaannya masih tetap hidup seiring

Lebih terperinci

MATERI USBN SEJARAH INDONESIA. 6. Mohammad Ali : Sejarah adalah berbagai bentuk penggambaran tentang pengalaman kolektif di masa lampau

MATERI USBN SEJARAH INDONESIA. 6. Mohammad Ali : Sejarah adalah berbagai bentuk penggambaran tentang pengalaman kolektif di masa lampau MATERI USBN SEJARAH INDONESIA PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP ILMU SEJARAH 1. PENGERTIAN SEJARAH Istilah Sejarah berasal dari bahasa Arab yaitu Syajaratun yang berarti Pohon. Penggunaan kata tersebut dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Kata tembang nyanyian sama fungsi dan kegunaannya dengan kidung, kakawin dan gita. Kata kakawin berasal

BAB I PENDAHULUAN. 1 Kata tembang nyanyian sama fungsi dan kegunaannya dengan kidung, kakawin dan gita. Kata kakawin berasal BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan a. Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupannya di dunia manusia mengalami banyak peristiwa baik itu yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Terkadang beberapa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat di mana penulisnya hadir, tetapi ia juga ikut terlibat dalam pergolakanpergolakan

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat di mana penulisnya hadir, tetapi ia juga ikut terlibat dalam pergolakanpergolakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra dengan masyarakat mempunyai hubungan yang cukup erat. Apalagi pada zaman modern seperti saat ini. Sastra bukan saja mempunyai hubungan yang erat dengan masyarakat

Lebih terperinci

ANALISIS SEMIOTIK TEKSKIDUNG RUMEKSA ING WENGI

ANALISIS SEMIOTIK TEKSKIDUNG RUMEKSA ING WENGI ANALISIS SEMIOTIK TEKSKIDUNG RUMEKSA ING WENGI A. PENDAHULUAN Indonesia mempunyai khasanah sastra klasik yang beraneka ragam, yang terdiri dari sastra-sastra daerah. Sastra klasik adalah sastra dalam bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia yang terdiri atas beberapa pulau dan kepulauan serta di pulau-pulau itu terdapat berbagai suku bangsa masing-masing mempunyai kehidupan sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anggota masyarakat yang berkembang sesuai dengan lingkungannya. Karya

BAB I PENDAHULUAN. anggota masyarakat yang berkembang sesuai dengan lingkungannya. Karya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan peradaban manusia tidak pernah terlepas dari apa yang disebut karya sastra. Karya sastra merupakan hasil ide atau pemikiran dari anggota masyarakat

Lebih terperinci

SILABUS. I. Deskripsi Mata Kuliah Mata kuliah ini membahas mengenai perkembangan kebudayaan di nusantara pada periode Hindu-Budha.

SILABUS. I. Deskripsi Mata Kuliah Mata kuliah ini membahas mengenai perkembangan kebudayaan di nusantara pada periode Hindu-Budha. UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI FRM/FISE/46-01 12 Januari 2009 SILABUS Fakultas : Ilmu Sosial Ekonomi Jurusan/Program Studi : Pendidikan Sejarah/Ilmu Sejarah Mata Kuliah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial yang berlaku dan berlangsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui naskah kuna. Jenis isi dari naskah kuna sangat beragam. Jenis teks tersebut antara lain berisi

Lebih terperinci

SILABUS. : Bahasa dan Seni (FBS) : Pendidikan Bahasa Jawa. Jumlah SKS % Kode : 2 SKS PBJ 230

SILABUS. : Bahasa dan Seni (FBS) : Pendidikan Bahasa Jawa. Jumlah SKS % Kode : 2 SKS PBJ 230 SILABUS Fakultas : Bahasa Seni (FBS) Prodi : Pendidikan Bahasa Mata Kuliah : Prosa Modern Jumlah SKS % Kode : 2 SKS PBJ 230 Semester : III (tiga) Mata Kuliah Prasarat & Kode : - Dosen : Drs. Afendy Widayat

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS UNSUR-UNSUR INTRINSIK DALAM CERITA CEKAK DONGENGE PAKDHE BAB LENDHUT LAPINDO

UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS UNSUR-UNSUR INTRINSIK DALAM CERITA CEKAK DONGENGE PAKDHE BAB LENDHUT LAPINDO UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS UNSUR-UNSUR INTRINSIK DALAM CERITA CEKAK DONGENGE PAKDHE BAB LENDHUT LAPINDO JURNAL HARYO SUNDARU 0906641730 \ FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA SASTRA DAERAH UNTUK SASTRA

Lebih terperinci

2015 ORNAMEN MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA

2015 ORNAMEN MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Cirebon sejak lama telah mendapat julukan sebagai Kota Wali. Julukan Kota Wali disebabkan oleh kehidupan masyarakatnya yang religius dan sejarah berdirinya

Lebih terperinci

BAB IV DAKWAH ISLAM DI JEPARA KETIKA KEPEMIMPINAN KERAJAAN KALINYAMAT. peninggalannya berupa masjid di desa Mantingan kecamatan Tahunan kabupaten

BAB IV DAKWAH ISLAM DI JEPARA KETIKA KEPEMIMPINAN KERAJAAN KALINYAMAT. peninggalannya berupa masjid di desa Mantingan kecamatan Tahunan kabupaten BAB IV DAKWAH ISLAM DI JEPARA KETIKA KEPEMIMPINAN KERAJAAN KALINYAMAT Pada masa kepemimpinan Ratu Kalinyamat, kerajaan Kalinyamat mempunyai peran yang sangat penting dalam penyebaran dan pengembangan agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rahmat Allah SWT karena leluhur kita telah mewariskan khazanah kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. rahmat Allah SWT karena leluhur kita telah mewariskan khazanah kebudayaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, yang wajib kita mensyukuri rahmat Allah SWT karena leluhur kita telah mewariskan khazanah kebudayaan yang tidak ternilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesusastraan Bali adalah salah satu bagian dari karya sastra yang terdapat di

BAB I PENDAHULUAN. kesusastraan Bali adalah salah satu bagian dari karya sastra yang terdapat di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra merupakan karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keindahan dalam isi dan ungkapannya. Karya

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Kegiatan pembelajaran di sekolah dilaksanakan dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan siswa, baik pada aspek pengetahuan, sikap

A. Latar Belakang Kegiatan pembelajaran di sekolah dilaksanakan dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan siswa, baik pada aspek pengetahuan, sikap A. Latar Belakang Kegiatan pembelajaran di sekolah dilaksanakan dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan siswa, baik pada aspek pengetahuan, sikap maupun keterampilan. Untuk mencapai ketiga aspek tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia (Trisman, 2003:12). Karya sastra terdiri atas puisi, prosa, dan drama.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia (Trisman, 2003:12). Karya sastra terdiri atas puisi, prosa, dan drama. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan hasil imajinasi yang memiliki unsur estetis dan dituangkan ke dalam bentuk tulisan dengan media bahasa. Karya sastra sendiri dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan sebuah cerita fiksi atau rekaan yang dihasilkan lewat proses kreatif dan imajinasi pengarang. Tetapi, dalam proses kreatif penciptaan

Lebih terperinci

Data kongkrit tentang lahir asal usul wayang sedikit jumlahnya. Perbedaan adanya disiplin ilmu untuk mendekati masalah dan konsep tentang maksud

Data kongkrit tentang lahir asal usul wayang sedikit jumlahnya. Perbedaan adanya disiplin ilmu untuk mendekati masalah dan konsep tentang maksud Data kongkrit tentang lahir asal usul wayang sedikit jumlahnya. Perbedaan adanya disiplin ilmu untuk mendekati masalah dan konsep tentang maksud lahir atau asal usul. Wayang apakah asli Indonesia, berasal

Lebih terperinci

METODE EDISI: STEMMA

METODE EDISI: STEMMA METODE EDISI: STEMMA Oleh: Tedi Permadi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni - Universitas Pendidikan Indonesia Objek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan hasil sastra yang berupa puisi, prosa, maupun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan hasil sastra yang berupa puisi, prosa, maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil sastra yang berupa puisi, prosa, maupun lakon. Karya sastra mengungkapkan makna secara tidak langsung. Karya sastra merupakan sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. transformasi dari teks-teks yang lain (Kristeva dalam Culler, 1975: 139). Dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. transformasi dari teks-teks yang lain (Kristeva dalam Culler, 1975: 139). Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap teks sastra itu merupakan mosaik kutipan-kutipan, penyerapan dan transformasi dari teks-teks yang lain (Kristeva dalam Culler, 1975: 139). Dengan kata

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Naskah naskah..., Andriyati Rahayu, FIB UI., Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Naskah naskah..., Andriyati Rahayu, FIB UI., Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengetahuan tentang kebudayaan kita di masa lampau tergali dari peninggalan masa lalu, termasuk di antaranya adalah naskah. Isi naskah-naskah dapat memberikan gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nusantara memiliki beberapa jenis kesusastraan yang diciptakan, berkembang dan dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya. Salah satu kesusastraan yang berkembang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. penelitian ini, maka dapat diketahui kesimpulannya. Kesimpulan tersebut adalah

BAB V PENUTUP. penelitian ini, maka dapat diketahui kesimpulannya. Kesimpulan tersebut adalah BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang bentuk, nilai, dan fungsi parikan pada lirik lagu karya Genk Kobra yang telah dilakukan dalam penelitian ini, maka dapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejarah perkembangan sastra di Indonesia diawali dari era sastra Melayu

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejarah perkembangan sastra di Indonesia diawali dari era sastra Melayu 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah perkembangan sastra di Indonesia diawali dari era sastra Melayu Rendah atau Sastra Melayu Pasar yang dimulai pada tahun 1870 hingga 1942. Kemudian berlanjut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pikir manusia demi menunjang keberlangsungan hidupnya. Dalam Kamus Besar

BAB I PENDAHULUAN. pikir manusia demi menunjang keberlangsungan hidupnya. Dalam Kamus Besar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia. Hal itu disebabkan karena budaya merupakan hasil olah rasa dan olah pikir manusia demi menunjang

Lebih terperinci

Fungsi agama dalam pemerintahan pada masa kejayaan majapahit (abad ke-14 masehi) HB. Hery Santosa

Fungsi agama dalam pemerintahan pada masa kejayaan majapahit (abad ke-14 masehi) HB. Hery Santosa Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership) Fungsi agama dalam pemerintahan pada masa kejayaan majapahit (abad ke-14 masehi) HB. Hery Santosa Deskripsi Dokumen: http://lib.ui.ac.id/opac/ui/detail.jsp?id=74007&lokasi=lokal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra Indonesia telah bermula sejak abad 20 dan menjadi salah satu bagian dari kekayaan kebudayaan Indonesia. Sastra Indonesia telah mengalami perjalanan

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN SASTRA YANG KONTEKSTUAL DENGAN MENGADOPSI CERITA RAKYAT AIR TERJUN SEDUDO DI KABUPATEN NGANJUK

PEMBELAJARAN SASTRA YANG KONTEKSTUAL DENGAN MENGADOPSI CERITA RAKYAT AIR TERJUN SEDUDO DI KABUPATEN NGANJUK PEMBELAJARAN SASTRA YANG KONTEKSTUAL DENGAN MENGADOPSI CERITA RAKYAT AIR TERJUN SEDUDO DI KABUPATEN NGANJUK Ermi Adriani Meikayanti 1) 1) Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Madiun Email: 1)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penikmatnya. Karya sastra ditulis pada kurun waktu tertentu langsung berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. penikmatnya. Karya sastra ditulis pada kurun waktu tertentu langsung berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra terbentuk atas dasar gambaran kehidupan masyarakat, karena dalam menciptakan karya sastra pengarang memadukan apa yang dialami dengan apa yang diketahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis

BAB I PENDAHULUAN. bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia memiliki banyak warisan kebudayaan yang berupa bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis berupa naskah

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN TEMBANG MACAPAT BERFORMAT VIDEO INTERAKTIF PADA MATA PELAJARAN BAHASA DAERAH DI SEKOLAH DASAR

PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN TEMBANG MACAPAT BERFORMAT VIDEO INTERAKTIF PADA MATA PELAJARAN BAHASA DAERAH DI SEKOLAH DASAR PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN TEMBANG MACAPAT BERFORMAT VIDEO INTERAKTIF PADA MATA PELAJARAN BAHASA DAERAH DI SEKOLAH DASAR Joko Daryanto Universitas Sebelas Maret Abstrak Tembang Macapat merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap negara memiliki beragam norma, 1 moral, 2 dan etika 3 yang menjadi pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang berbeda-beda

Lebih terperinci

Wahyu Aris Aprillianto Universitas Muhammadiyah Purworejo

Wahyu Aris Aprillianto Universitas Muhammadiyah Purworejo KAJIAN FILOLOGI SERAT-SERAT ANGGITAN DALEM KANGJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ARIYA MANGKUNEGARA IV JILID I (WANAGIRI JAMAN KANGJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ARIYA MANGKUNEGARA III) Wahyu Aris Aprillianto Universitas

Lebih terperinci

AKULTURASI BUDAYA ISLAM DAN BUDAYA HINDU (Studi Tentang Perilaku Keagamaan Masyarakat Islam Tradisional di Gununggangsir Beji Pasuruan)

AKULTURASI BUDAYA ISLAM DAN BUDAYA HINDU (Studi Tentang Perilaku Keagamaan Masyarakat Islam Tradisional di Gununggangsir Beji Pasuruan) AKULTURASI BUDAYA ISLAM DAN BUDAYA HINDU (Studi Tentang Perilaku Keagamaan Masyarakat Islam Tradisional di Gununggangsir Beji Pasuruan) A. Latar Belakang Masalah Setiap agama bagi para pemeluknya merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra diciptakan pengarang berdasarkan realita (kenyataan) yang ada di dalam masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sastra memang mencerminkan kenyataan,

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. Naskah SDR yang dijadikan objek penelitian tidak mempunyai nomor

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. Naskah SDR yang dijadikan objek penelitian tidak mempunyai nomor BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap naskah SDR, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Naskah SDR yang dijadikan objek penelitian tidak mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang mengiringi kebudayaan dari zaman ke zaman.akibat perkembangan itu

BAB I PENDAHULUAN. berkembang mengiringi kebudayaan dari zaman ke zaman.akibat perkembangan itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra Bali merupakan salah satu aspek kebudayaan Bali yang hidup dan berkembang mengiringi kebudayaan dari zaman ke zaman.akibat perkembangan itu maka di Bali lahirlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luasnya pergaulan internasional atau antar negara adalah adanya praktek

BAB I PENDAHULUAN. luasnya pergaulan internasional atau antar negara adalah adanya praktek BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu dampak akan pesatnya teknologi yang berakibat pada luasnya pergaulan internasional atau antar negara adalah adanya praktek perkawian campuran. Di Indonesia

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil pembahasan terhadap novel Sundari karya Oskandar R

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil pembahasan terhadap novel Sundari karya Oskandar R BAB V PENUTUP 5. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan terhadap novel Sundari karya Oskandar R yang diterbitkan oleh Rangkah Mas Surabaya pada tahun 1966, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG HARI JADI KABUPATEN SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG HARI JADI KABUPATEN SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, BUPATI SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG HARI JADI KABUPATEN SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, Menimbang : a. bahwa berdasarkan catatan dan

Lebih terperinci

RELIGI JAWA (BJA40409) SEMESTER GENAP 2010/2011 (KELAS C)

RELIGI JAWA (BJA40409) SEMESTER GENAP 2010/2011 (KELAS C) RELIGI JAWA (BJA40409) SEMESTER GENAP 2010/2011 (KELAS C) Deskripsi: Mata kuliah ini merupakan mata kuliah wajib bagi mahasiswa Program Studi baik untuk bidang keilmuan bahasa/linguistik, sastra, filologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Koentjaraningrat mengatakan bahwa kata budaya berasal dari bahasa Sanksekerta budhayah yang berasal dari bentuk jamak kata budhi yang berarti budi dan akal. Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk menyampaikan gagasan filsafat. Dengan demikian sastra dapat

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk menyampaikan gagasan filsafat. Dengan demikian sastra dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sastra dan filsafat (pemikiran) memiliki hubungan yang erat. Sastra dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan gagasan filsafat. Dengan demikian sastra dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbesar di dunia. Perkembangan Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa sangat

BAB I PENDAHULUAN. terbesar di dunia. Perkembangan Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara dengan penduduk pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Perkembangan Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa sangat pesat, hal ini tak luput

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi syarat. Dilihat dari segi isinya, karya jenis tutur tidak kalah

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi syarat. Dilihat dari segi isinya, karya jenis tutur tidak kalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tutur merupakan salah satu jenis karya Sastra Jawa Kuno yang mengandung nilai filsafat, agama, dan nilai kehidupan. Menurut Soebadio (1985: 3), tutur merupakan pelajaran

Lebih terperinci

Tinjauan Buku STUDI SEJARAH DAN BUDAYA LOMBOK. Abdul Rasyad dan Lalu Murdi. STKIP Hamzanwadi Selong,

Tinjauan Buku STUDI SEJARAH DAN BUDAYA LOMBOK. Abdul Rasyad dan Lalu Murdi. STKIP Hamzanwadi Selong, Tinjauan Buku STUDI SEJARAH DAN BUDAYA LOMBOK Abdul Rasyad dan Lalu Murdi STKIP Hamzanwadi Selong, email: rasyad.iis@gmail.com ABSTRAK Tulisan ini merupakan resensi dari buku yang berjudul Studi Sejarah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab lima ini peneliti memaparkan beberapa kesimpulan mengenai analisis nilai patriarkal dan ketidaksetaraan gender dalam roman L Enfant de sable karya Tahar Ben Jelloun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah mengalami perkembangan selama lebih dari bertahun-tahun. Peran

BAB I PENDAHULUAN. yang telah mengalami perkembangan selama lebih dari bertahun-tahun. Peran 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa dan sastra adalah cermin kebudayaan dan sebagai rekaman budaya yang telah mengalami perkembangan selama lebih dari bertahun-tahun. Peran penting bahasa dan

Lebih terperinci

ANALISIS PSIKOLOGI TOKOH UTAMA NOVEL HUJAN DI BAWAH BANTAL KARYA E. L. HADIANSYAH DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI SMA

ANALISIS PSIKOLOGI TOKOH UTAMA NOVEL HUJAN DI BAWAH BANTAL KARYA E. L. HADIANSYAH DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI SMA ANALISIS PSIKOLOGI TOKOH UTAMA NOVEL HUJAN DI BAWAH BANTAL KARYA E. L. HADIANSYAH DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI SMA Oleh: Aji Budi Santosa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP, Universitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dulu sampai saat ini. Warisan budaya berupa naskah tersebut bermacam-macam

BAB 1 PENDAHULUAN. dulu sampai saat ini. Warisan budaya berupa naskah tersebut bermacam-macam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah kuno adalah benda budaya yang merekam informasi dan pengetahuan masyarakat lampau yang diturunkan secara turun temurun semenjak dulu sampai saat ini. Warisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebelum masuknya agama-agama besar dunia ke Indonesia, masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Sebelum masuknya agama-agama besar dunia ke Indonesia, masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebelum masuknya agama-agama besar dunia ke Indonesia, masyarakat Indonesia telah bertuhan dan menjunjung tinggi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Prof. Dr. Purbatjaraka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sangsekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan

Lebih terperinci

2015 KRITIK TEKS DAN TINJAUAN KANDUNGAN ISI NASKAH WAWACAN PANDITA SAWANG

2015 KRITIK TEKS DAN TINJAUAN KANDUNGAN ISI NASKAH WAWACAN PANDITA SAWANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kondisi pernasakahan di Indonesia bisa dikatakan sangat kurang peminat, dalam hal ini penelitian yang dilakukan terhadap naskah. Sedikitnya penelitian terhadap

Lebih terperinci

PEMAKNAAN PUISI DONGA BALIK Oleh Turita Indah Setyani NIM: Tugas Pengkajian Puisi Jawa Pengajar: Karsono H. Saputra, M.Hum.

PEMAKNAAN PUISI DONGA BALIK Oleh Turita Indah Setyani NIM: Tugas Pengkajian Puisi Jawa Pengajar: Karsono H. Saputra, M.Hum. PEMAKNAAN PUISI DONGA BALIK Oleh Turita Indah Setyani NIM: 0806481210 Tugas Pengkajian Puisi Jawa Pengajar: Karsono H. Saputra, M.Hum. Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Putra (1986), dalam penelitian beliau yang berjudul "Aspek Sastra Dalam Babad Dalem Suatu Tinjauan Intertekstualitas", menyatakan bahwa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran merupakan proses komunikasi antar peserta didik dengan pendidik, agar terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan serta pembentukan sikap dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan refleksi cipta, rasa, dan karsa manusia tentang kehidupan. Refleksi cipta artinya karya sastra merupakan hasil penciptaan yang berisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam dunia pesantren ada beberapa hal yang menjadi kendala

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam dunia pesantren ada beberapa hal yang menjadi kendala 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam dunia pesantren ada beberapa hal yang menjadi kendala menurunnya tingkat kesadaran akan pentingnya pendidikan di pesantren. Karenanya, penulis mencari

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok digilib.uns.ac.id BAB V PENUTUP A. Simpulan Fokus kajian dalam penelitian ini adalah menemukan benang merah hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri terhadap

Lebih terperinci

RELASI TEMPORAL ANTARKLAUSA DALAM KALIMAT MAJEMUK BERTINGKAT PADA WACANA KUMPULAN CERPEN DARI SITUS SKRIPSI

RELASI TEMPORAL ANTARKLAUSA DALAM KALIMAT MAJEMUK BERTINGKAT PADA WACANA KUMPULAN CERPEN DARI SITUS  SKRIPSI RELASI TEMPORAL ANTARKLAUSA DALAM KALIMAT MAJEMUK BERTINGKAT PADA WACANA KUMPULAN CERPEN DARI SITUS WWW.SRITI.COM SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Pendidikan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis terhadap kumpulan puisi Aku Ini Binatang Jalang karya

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis terhadap kumpulan puisi Aku Ini Binatang Jalang karya 78 BAB V SIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan simpulan dalam penelitian ini serta saran dari peneliti terkait penggunaan puisi dalam pembelajaran. 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisis terhadap kumpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budi pekerti, dan gambaran kehidupan orang Hindu. Agama ini juga

BAB I PENDAHULUAN. budi pekerti, dan gambaran kehidupan orang Hindu. Agama ini juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama Hindu adalah agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk India. Agama ini dinamakan Hindu, karena di dalamnya mengandung adatistiadat, budi pekerti,

Lebih terperinci

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN Mata Pelajaran : Sejarah 1 Beban Belajar : 4 SKS Pertemuan /Minggu ke : 1-4 /1 Alokasi waktu : 8 jam Kompetensi Dasar: RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN 1.1 Menganalisis Pengaruh perkembangan agama dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dijelmakan dalam suatu bentuk ciptaan atau penemuan. 1 HKI merupakan suatu

I. PENDAHULUAN. dijelmakan dalam suatu bentuk ciptaan atau penemuan. 1 HKI merupakan suatu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan hasil dari intelektual manusia yang dijelmakan dalam suatu bentuk ciptaan atau penemuan. 1 HKI merupakan suatu hak milik yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia terdiri dari beranekaragam suku bangsa dan memiliki berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia terdiri dari beranekaragam suku bangsa dan memiliki berbagai macam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia terdiri dari beranekaragam suku bangsa dan memiliki berbagai macam kebudayaan. Kebudayaan merupakan hasil cipta, karya, rasa manusia untuk memenuhi

Lebih terperinci