ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 93/PUU-X/2012 (STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA)
|
|
- Siska Hartanti Atmadjaja
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 93/PUU-X/2012 (STUDI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA) Abstrak Oleh : Abdurrahman Rahim, SH.I.,MH 1 * Tulisan ini mengangkat tentang sejauh mana kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah umumnya dan perbankan syariah khususnya pasca lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 mengenai Judicial Review atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Isu utama sesungguhnya adalah sejauh mana pemahaman atas putusan MK benar-benar memberikan kewenangan mutlak kepada Peradilan Agama tanpa ada lagi pilihan forum penyelesaian ke Peradilan Umum. Lalu bagaimana dengan pilihan forum lain secara Non litigasi dalam penjelasan pasal 55 ayat 2 tersebut, apakah ikut tidak berkekuatan hukum mengikat lagi? Tulisan ini bisa dikatakan bersifat deskriptif analitis dalam penyajiannya, dimulai dari penyajian kewenangan PA pasca Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan Agama, berlanjut kepada pasca Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan pada akhirnya Pasca Putusan MK sendiri. Data-data yang digunakan adalah data primer, sekunder termasuk data terkini seperti wawancara dengan Ketua Mahkamah Konstitusi pasca putusan MK yang dicoba dikomparasikan sebagai bahan analisis. Sesuai dengan analisa hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa choice of forum baik secara litigasi (Peradilan Umum) maupun non litigasi untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah yang di tentukan dalam penjelasan pasal 55 ayat 2 Undang-Undang No 21 tahun 2008 tidak lagi mempunyai hukum mengikat secara keseluruhannya tanpa terkecuali. Peradilan Agama sebagai satu-satunya lembaga litigasi yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah, namun jika para pihak sepakat untuk tidak menyelesaikan di Peradilan Agama, maka ketentuan penyelesaian dengan memilih forum di luar Peradilan Agama (non litigasi) dapat dibenarkan manakala ada kesepakatan tertulis terlebih dahulu diantara para pihak dan forum penyelesaian tersebut tidak bertentangan dengan prinsipprinsip syariah (pasal 55 ayat 2 dan 3). Tulisan ini sangat disadari banyak kekurangan dari segala sisi baik cara penulisan hingga pemaparan analisisnya, saran dan kritik sangat membantu penulis untuk memperbaikinya di masa yang akan datang. I. PENDAHULUAN Jauh sebelum putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 mengenai judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah diketok pada tanggal 29 Agustus 2013, polemik mengenai pasal yang dimohonkan oleh Pemohon untuk dijudicial review sudah sering diangkat dalam diskusi-diskusi, seminar, penelitian, jurnal bahkan sudah 1 *Hakim pada Pengadilan Agama Sambas-Kalimantan Barat 1
2 2 pernah diajukan materi permohonan serupa ke MK oleh seorang dosen Universitas Islam Indonesia bernama Dadan Muttaqien meskipun pada akhirnya dicabut (hukumonline.com). Hasil penelitian atau seminar seakan mengerucut kepada kesimpulan bahwa Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari ah akan menuai pertentangan di kemudian hari dikarenakan salah satu materi Undang-Undang tersebut, yaitu Pasal 55 ayat 2 dan 3 beserta penjelasannya berpotensi menimbulkan legaldisorder (kegaduhan hukum). (Tesis. Abdurrahman Rahim, UGM: 2011) Pasal 55 (1). Penyelesaian sengketa Perbankan syari'ah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama; (2). Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai isi akad. (3). Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip Syariah. Penjelasan Pasal 55 (1) Cukup jelas (2) Yang dimaksud dengan Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai akad adalah upaya sebagai berikut; a. Musyawarah; b. Mediasi perbankan; c. Melalui Badan Arbitrase Syari ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. Melalui pengadilan dalam lingkungan dalam Peradilan Umum. (3) Cukup jelas. Dalam Pasal 55 ayat 1 tersebut secara jelas menyatakan bahwa lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syari'ah adalah Peradilan Agama. Hal ini memperkuat atau sejalan dengan ketentuan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama bahwa Pengadilan Agama bertugas, berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang; (i) ekonomi syari ah. Secara yuridis tidak ada yang dilanggar dalam Pasal
3 3 55 ayat 1 tersebut dikarenakan telah singkron dengan Undang-Undang yang mengatur sebelumnya. Dalam penjelasan Pasal 55 ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 dinyatakan apabila para pihak memperjanjikan maka penyelesaian dapat dilakukan sesuai akad. Manakala dilihat pada penjelasan Pasal 55 ayat 2 tersebut, pilihan penyelesaian sesuai akad tersebut dibatasi di antaranya melalui jalur non litigasi dan litigasi. Diantara pilihan melalui non litigasi adalah jalur musyawarah, mediasi perbankan, melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), sementara jalur litigasi adalah melalui Peradilan Umum. Hasil analisa yuridis bahwa Pasal 55 ayat 2 tersebut terjadi dualisme penyelesaian sengketa ekonomi syariah, dimana Pasal 55 ayat 2 memberi ruang yang sama dalam hal kewenangan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah kepada Peradilan Umum. Ketua Kamar Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, DR. H. Andi Syamsu Alam, SH,.MH menyatakan bahwa ada kesan dari pembuat Undang-Undang bahwa yang berwenang mengadili sengketa Perbankan syari'ah adalah dua badan peradilan yaitu Peradilan Agama dan juga Peradilan Umum. pada waktu Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 lahir, PA secara Absolut menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, termasuk perbankan syari'ah, adanya undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari ah ada pandangan pembuat Undang-Undang bahwa dua-duanya (PA-PN) berwenang mengadili, kita tidak tahu mengenai politik hukumnya kenapa sampai ini terjadi karena itu wewenang pemerintah dan DPR, (wawancara, 29 Nopember 2010 di ruang Kerja Tuada Uldilag MARI) Pasal 55 ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 secara yuridis dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Kenapa Undang-Undang yang datang kemudian bisa bertentangan dengan Undang-Undang yang sebelumnya sudah mengatur tentang forum penyelesaian sengketa? Disinilah mulai perdebatan panjang mengenai produk hukum Undang-Undang tentang Perbankan Syariah yang pertama kali lahir hingga pada lahirnya putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012. Pertanyaan tentang kenapa dan apa faktor penyebab yang melatarbelakangi lahirnya Pasal 55 ayat 2 pasal banci tersebut dapat dijawab dan dianalisa dengan berbagai disiplin ilmu dan cabang pohon ilmu hukum. Salah satunya penelitian yang sudah pernah penulis lakukan medio tahun mengenai faktor politik hukum seperti apa yang mampu
4 4 melahirkan Pasal 55 ayat 2 sehingga menjadi masalah dikemudian hari. Salah satu data yang perlu dikaji untuk mengetahuinya tentu dengan menganalisa risalah persidangan pembahasan dari awal hingga menjadi Undang-Undang di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI). Dengan mengkaji risalah sidang pembahasan pembuatan Undang-Undang, setidaknya dapat menganalisa tarik ulur serta perdebatan apa yang berlangsung selama pembahasan sehingga dapat ditarik kesimpulan mengenai faktor kepentingan apa yang menyusupi pikiran para pembuat Undang-Undang serta kemana arah politik hukum saat pembuatannya. Namun pada kesempatan kali ini penulis akan mencoba fokus kepada pembahasan mengenai kewenangan PA pasca putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012. II. PEMBAHASAN A. Tarik Ulur Kewenangan Peradilan Agama Dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 Diangkatnya point tersebut di atas bukanlah tanpa alasan, timbul pertanyaaan bukankah tonggak kebangkitan Peradilan Agama secara yuridis telah dimulai pasca undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama atau setidak-tidaknya bergeser ke belakang lebih jauh sejak dilahirkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan? Alasan Pertama, setidaknya lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 merupakan tonggak sejarah di era milinium dimana Peradilan Agama bangkit dari masa kelam dan menggeliat dengan diberikannya kewenangan baru di luar kewenangan menangani masalah perdata keluarga yang secara politik hukum merupakan suatu pergeseran yang signifikan dari pembuatan Undang-Undang Peradilan Agama. Kedua, Perdebatan mengenai kompetensi absolut Peradilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah atau perbankan syariah khususnya jika ditarik benang merahnya dimulai sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang merupakan amandemen dari Undang-Undang Nomor 7 tahun Secara politik hukum pembuatan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 di DPR RI kala itu sangat kental indikasi adanya upaya pengkerdilan tersistematis oleh pihak yang tidak senang dengan diperluasnya kewenangan PA. Ada beberapa catatan penulis tentang perubahan mendasar atau dengan meminjam istilah Dr. Jaenal Aripin sebagai perubahan fundamental yang diberikan kepada PA yang sarat dengan perdebatan di legislasi;
5 5 Pertama, dihapuskannya hak opsi dalam penyelesaian perkara waris. Hak opsi menurut Abdullah Tri Wahyudi dalam (Anshori, 2007: 51) adalah hak untuk memilih sitem hukum yang dikehendaki para pihak berperkara sebagai acuan hukum yang akan diterapkan dalam penyelesaian suatu perkara. Dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan umum butir kedua bahwa Bidang kewarisan adalah mengenai siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut, bilamana berdasarkan hukum Islam. Sehubungan dengan hal tersebut para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dinyatakan hak opsi telah dihapuskan. Sehingga kewenangan PA semakin kokoh dan tidak lagi seperti kerakap di atas batu, dimana saat hak opsi diberlakukan bagi orang Islam maka terbuka peluang yang sangat besar terhadap pengenyampingan hukum Islam oleh penganutnya sendiri. Peradilan Agama ibaratkan punya gigi tapi tumpul punya kewenangan tapi tidak sepenuhnya diberikan karena umatnya sendiri dapat berpaling dari Peradilan Agama yang notabene menyelesaikan dengan sistem hukum Islam. (Basiq jalil,2006: 3) Penghapusan hak opsi dalam menyelesaikan sengketa kewarisan dalam Undang- Undang Nomor 3 tahun 2006 tersebut menurut Ketua Panja RUU tentang Peradilan Agama, Akil Mukhtar, secara sosiologis sudah benar karena umat Islam punya hak untuk bisa mengikuti hukum-hukum yang berkaitan dengan syari ah/agama Islam. Hukum waris Islam merupakan wilayah Agama dan diatur dalam syari at Islam, maka untuk menyelesaikannya sudah tentu lembaga litigasi yang subjek hukumnya orang-orang Islam yaitu Peradilan Agama. landasan sosiologisnya jelas bahwa umat Islam mempunyai hak untuk mengikuti hukum-hukum yang berkaitan dengan Islam khususnya konteks kemasyarakatan, Negara kita mengakui hal ini, kalau hak opsi diberikan tidak tepat, karena lembaga Peradilan yang subjek hukumnya orang Islam ya Peradilan Agama. Kenapa harus diberikan opsi lagi, itulah makanya dulu hak opsi dihapuskan pada Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama itu (wawancara dengan Ketua Panja (panitia kerja) RUU Peradilan Agama Dr. Akil Mukhtar, tanggal 27 April 2010 di ruang kerja Mahkamah Konstitusi)
6 6 Kedua, sengketa kepemilikian. Dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 diatur manakala terjadi sengketa hak milik atau sengketa keperdataan lainnya selama subjek hukumnya adalah orang-orang Islam maka diselesaikan melalui Pengadilan Agama sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 50 Undang-Undang tersebut. Pasal 50 (1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. (2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. Sebelumnya dalam hal terjadi sengketa hak milik atau keperdataan dalam perkara yang menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989, sengketa tersebut terlebih dahulu diselesaikan dalam lingkungan Peradilan Umum. Hal ini menurut penulis sangat merugikan secara politik hukum dalam hal penegakan/implementasi hukum dalam masyarakat. Di satu sisi Undang-Undang sudah memberikan kewenangan mengadili tetapi dalam hal yang sama Undang-Undang juga membatasinya, sehingga terkesan bahwa Undang-Undang tidak bersunguh-sungguh memberikan kewenangan kepada Peradilan Agama. Ketiga, asas penundukan diri terhadap hukum Islam. Menurut penulis hal ini dapat dikatakan sebagai suatu perubahan mendasar dan fundamental dari lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun Sebagaimana diketahui bahwa asas yang berlaku pada Peradilan Agama salah satunya ialah Asas personalitas keislaman. Artinya bahwa Pengadilan Agama hanya menyelesaikan perkara-perkara perdata tertentu sebagaimana kewenangan yang diberikan kepadanya selama subjeknya adalah orang-orang yang beragama Islam saja. Sebagaimana Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang.. Menurut Anshori (2007:62-63) indikator untuk menentukan kewenangan Peradilan Agama adalah Pertama, Agama yang dianut oleh kedua belah pihak saat terjadinya hukum adalah Agama Islam, Kedua, hubungan ikatan hukum yang mereka lakukan berdasarkan
7 7 hukum Islam, jika salah satu atau keduanya tidak terpenuhi maka terhadap kedua belah pihak yang bersengketa tidak berlaku asas personalitas keislaman. Namun dalam penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam" adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini. Maksud dari Undang-Undang tersebut seperti dijelaskan oleh Ketua Panja RUU tentang Peradilan Agama Akil Mukhtar, bahwa yang dapat ditundukkan atau yang dapat tunduk kepada kewenangan Pengadilan Agama bukan hanya orang-orang yang beragama Islam saja, tetapi siapapun baik personal (perorangan) maupun badan hukum, muslim maupun Non muslim boleh menyelesaikan perkaranya di Pengadilan Agama selama menundukkan dirinya terhadap hukum Islam secara sukarela. Sebagaimana kutipan wawancara dengan Akil Mukhtar; kalau dulu Peradilan Agama hanya boleh mengadili orang-orang yang secara formil dapat dibuktikan dia bergama Islam saja, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang- Undang Nomor 7 tahun 1989, namun sekarang sudah diperluas bahwa siapapun selama dirinya menundukkan diri kepada hukum Islam secara sukarela maka boleh menyelesaikan perkaranya di Peradilan Agama, hal ini seiring dengan pemberian kewenangan kepada Peradilan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari ah, maka demikianlah politik hukumnya saat itu (wawancara tanggal 27 April 2010 di ruangan kerja hakim Mahkamah Konstitusi). Sudah jelas bahwa latar belakang dimasukkannya asas penundukan diri terhadap hukum Islam adalah dikarenakan perluasan kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Sebab dalam perspektif praktek bisnis syariah sangat dimungkinkan keterlibatan Non Muslim sehingga diperbolehkan bagi dirinya untuk tunduk terhadap hukum Islam. Keempat, perluasan kewenangan PA dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah atau dalam bahasa belanda berarti compettentie. Pasal 49 huruf (i) undang-undang Nomor 3 tahun 2006 (lihat bunyi pasal di atas) PA telah diberikan kewenangan dalam menyelesaikan sengketa Ekonomi Syariah.
8 8 Ada tiga kewenangan Peradilan Agama dalam UU tersebut yang terbilang masih baru, diantaranya kewenangan menyelesaikan perkara Zakat, infaq dan sengketa ekonomi syariah. Namun yang menjadi fokus penelitian ini adalah kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Ekonomi syari ah sendiri sangat luas sekali cakupannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari ah, meliputi; a. Bank syari ah, b...dst. Siapa sangka proses lahirnya pasal 49 huruf (i) begitu alot dan penuh perjuangan, terlebih perjuangan meyakinkan para pembuat Undang-Undang dan pemerintah akan kesiapan PA serta mematahkan stigma negatif mereka terhadap PA. Berbagai resistensi (penolakan) dari berbagai pihak dan meragukan kemampuan Peradilan Agama mengemban amanah baru tersebut khususnya menyelesaikan Ekonomi Syari ah. Alasan ketidakmampuan hakim Peradilan Agama dalam meyelesaikan sengketa ekonomi syari ah diakui Akil Mukhtar mantan mantan ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Peradilan Agama sebagai alasan yang tidak bisa diterima dari sisi akademis, yuridis maupun sosiologis. Hakim Peradilan Agama tentu lebih paham mengenai ekonomi syariah ketimbang hakim dari peradilan lainnya sebab secara akademisi sebagian besar hakim PA adalah lulusan Hukum Syariah dan secara yuridis bahwa hukum Islam diakui oleh negara untuk boleh tunduk kepadanya dan menjadikannya hukum positif. Argumentasi di DPR bahwa ketidakmampuan PA dalam menyelesaikan perkara ekonomi syari ah sangat sulit diterima mengingat masyarakat Indonesia yang beragama Islam itu punya landasan hukum yang kuat yang diakui oleh negara bahwa ia bisa tunduk kepada hukum Islam sebagai hukum positif yang bisa mengikat masyarakat Indonesia, (wawancara dengan Akil Mukhtar, Gedung MK tanggal MK, 27 April 2010). B. Kewenangan PA Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari ah. Seperti yang telah diuraikan pada pendahuluan di atas, tulisan ini tidak akan mengupas lebih dalam bagaimana politik hukum saat RUU Perbankan Syari ah ini dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI), bagaimana perdebatan antara pemerintah dan DPR-RI, pro
9 9 kontra dan kompromi-kompromi apa yang terjadi dalam pembahasan. Namun Pasal yang paling krusial dan menuai pro kontra adalah ketentuan mengenai penyelesaian sengketa perbankan syariah dalam pasal 55 ayat 1, 2 dan 3. Pasal 55 (1). Penyelesaian sengketa Perbankan syari'ah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama; (2). Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai isi akad. (3). Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip Syariah. Penjelasan Pasal 55 (1) Cukup jelas (2) Yang dimaksud dengan Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai akad adalah upaya sebagai berikut; e. Musyawarah; f. Mediasi perbankan; g. Melalui Badan Arbitrase Syari ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau h. Melalui pengadilan dalam lingkungan dalam Peradilan Umum. (3) Cukup jelas. Berdasarkan hasil analisis yuridis bahwa pasal 55 ayat 2 tersebut terjadi dualisme lembaga litigasi penyelesaian sengketa ekonomi syariah, di satu sisi diberikan kewenangan mutlak kepada Peradilan Agama (pasal 55 ayat 1), dan disisi lain dibuka kran penyelesaian di pengadilan umum (Pasal 55 ayat 2). (Rahim, Abdurrahman, Tesis, UGM; ) Disadari betul oleh para akademisi khususnya warga Peradilan Agama bahwa ada penyimpangan makna dari pasal 55 ayat 2 tersebut. Saat penulis melakukan penelitian (tesis) mengenai Politik Hukum dibalik lahirnya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008, seperti disinggung di atas, Ketua Kamar Agama MARI DR. H. Andi Syamsu Alam, SH, MH menyatakan bahwa ada kesan dari pembuat Undang-Undang dimana PA dan PN sama-sama diberikan kewenangan menyelesaikan perkara ekonomi syariah.
10 10 Hasil analisis yuridis Pasal 55 ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Pasal 55 ayat 2 tersebut juga berpotensi menyebabkan kekacauan hukum karena antara ayat 1 dengan ayat 2 dari Pasal 55 tersebut saling bertentangan. Ada pilihan forum (choice of forum) dua lembaga litigasi dalam menyelesaikan sengketa perbankan syari'ah. Pertama, Ayat 1 dari Undang-Undang tersebut telah menyatakan dengan tegas lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan perkara sengketa perbankan syari'ah adalah Peradilan Agama. Kedua, ayat 2 menyatakan jika telah diperjanjikan atau jika para pihak telah melakukan akad terlebih dahulu maka boleh merujuk kepada isi akad tersebut. Makna dari ayat 2 tersebut mengandung kebebasan berkontrak dari para pihak dalam melakukan suatu akad. Hal ini sebenarnya sudah sesuai atau sejalan dengan asas hukum perikatan atau hukum perjanjian Islam dan teori hukum perjanjian dan ketentuan tersebut terkait dengan asas kebebasan berkontrak. Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu perikatan. Bentuk isi perikatan tersebut ditentukan oleh para pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka mengikat para pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya. Namun kebebasan ini tidak absolut, artinya sepanjang tidak bertentangan dengan syariah Islam, maka perikatan tersebut boleh dilaksanakan. Menurut Faturrahman Djamil, Syariah Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai dengan yang diinginkan, tetapi yang menentukan akibat hukumnya adalah ajaran Agama. (Djamil, 2001:249). Demikian pula Pasal 1338 KUHPerdata ayat (1) menyebutkan, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Kata semua dipahami mengandung asas kebebasan berkontrak, yaitu suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: a. membuat atau tidak membuat perjanjian, b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun, c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan d. menentukan bentuk perjanjian, yaitu secara tertulis atau lisan. Salah satu syarat untuk sahnya suatu perjanjian menurut Subekti (2001:20) adalah sebab yang halal sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Sebab yang dimaksud dalam suatu perjanjian adalah isi dari perjanjian itu sendiri. KUHPerdata tidak
11 11 secara tegas memberikan pengertian mengenai sebab yang halal. Pasal 1337 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-Undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Dari Pasal ini dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan halal adalah bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Berkaitan dengannya bahwa Pasal 55 Ayat 2 tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 55 ayat 1 dan bertentangan dengan Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, oleh sebab itu apabila kontrak yang dibuat bertentangan dengan hukum maka akibatnya batal demi hukum. Hakim Agung Abdul Gani Abdullah mengatakan bahwa ayat 1 dari Pasal 55 tersebut merupakan pasal induk yang mengatur soal kewenangan dan sesuai menurut aturan hukum, sedangkan ayat 2 tersebut hanyalah Pasal alternatif dan Pasal alternatif tidak boleh bertentangan dengan Pasal induknya. (wawancara, 24 April 2010,di UMJ Jakarta dan Mimbar Hukum, edisi 70 hal 22). Pertanyaannya adalah kenapa Pasal itu lahir sedangkan bertentangan dengan hukum.? Hal ini kembali kepada makna dan kembali kepada politik hukum pembuatan Perundang-Undangan yang melatar belakanginya. Bahkan Abdul Gani Abdullah mengatakan bahwa ayat (2) Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 terdapat ketentuan yang bersifat ketentuan menghindar dari keadaan normal (exilled clausule) atau bisa dikatakan sebagai ketentuan khusus dari keadaan umum (speciallis clousule), dimana ketentuan ayat (2) tersebut bukanlah Lex Specialis tetapi ketentuan yang yang mengatur adanya akad atau kesepakatan yang harus dilakukan ataupun yang harus tidak dilakukan. Dengan demikian berdasarkan hasil analisa bahwa jika ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tersebut bersifat Exilled clausule maka ayat 2 tersebut adalah norma yang seharusnya tidak ada, sebab sudah jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 1, namun karena adanya faktor (X ) hal itu dapat dipaksakan muncul meskipun mengandung pertentangan dengan Pasal induknya yaitu Pasal 1. Dengan kata lain bahwa Pasal 55 ayat 2 tersebut adalah Contradictio Interminis (kesepakatan yang lahir karena dipaksakan) sehingga untuk mengetahui makna dari Contradictio Interminis tersebut harus kembali kepada proses pembuatan Undang-Undang untuk menilai kekuatan politik hukum mana yang dominan sehingga bisa didapatkan norma idealnya (Ideal Norm).
12 12 Jika kembali melihat pendapat pertama di atas, bahwa Pasal 55 ayat 2 tersebut bertentangan dengan ayat (1) maka sudah jelas tidak ada sengketa kewenangan di sana karena pada dasarnya Pasal (2) tersebut adalah kondisi yang dipaksakan. Dengan demikian ayat 2 sesungguhnya dipahami tidak mereduksi ketentuan Pasal 1 tentang kewenangan Peradilan Agama, karena ketentuan Pasal 55 ayat (2) mengandung makna: (2) Yang dimaksud dengan Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai akad adalah upaya sebagai berikut; a. Musyawarah; b. Mediasi perbankan; c. Melalui Badan Arbitrase Syari ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. Melalui pengadilan dalam lingkungan dalam Peradilan Umum Dalam bunyi Pasal tersebut tidak terkandung adanya kewenangan baru yang diberikan kepada Peradilan Umum, namun ayat tersebut hanya menyiratkan bahwa adanya pilihan forum saja (Choice Of Forum) sekaligus membuat norma di atas norma induknya, jadi tidak menambahkan kewenangan forum (Choice of Jurisdictie). Oleh sebab itu kalangan yang masih menganggap bahwa kewenangan Peradilan Agama direduksi/diambil oleh Peradilan Umum adalah tidak tepat karena bukan itulah yang dimaksud oleh Undang-Undang. Tidak dapat dipungkiri bahwa hanya segelintir orang yang mengerti akan hal ini karena sekilas tanpa melakukan pengkajian dan penelitian maka masyarakat bahkan praktisi hukum pun akan langsung mengambil kesimpulan secara langsung bahwa telah terjadi perebutan kewenangan PA oleh PN. Setelah dianalisa dan dicermati secara seksama, bagaimanapun Pasal 55 Ayat 2 ini mengandung kalimat bersayap dan multi interpretasi. Sehingga sudah pasti yang sangat dirugikan secara kewenangan adalah Peradilan Agama. karena seyogyanya PA semakin diperkuat pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, namun faktanya berbeda bahwa seolah-olah Peradilan Agama kembali mundur, ibarat punya senjata tetapi tumpul kembali. C. Kewenangan PA Pasca Lahirnya Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 Setelah hampir satu tahun bergulir permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 di Mahkamah Konstitusi akhirnya selesai. Tepat pada Tanggal 29
13 13 Agustus 2013 Mahkamah Konstitusi melahirkan putusan Nomor 93/PUU-X/2012. Materi yang diuji tidak lain adalah pasal 55 ayat 2 dan 3 dari Undang-Undang tersebut. Adapun amar putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 sebagai berikut; Menyatakan: MENGADILI, 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; 1.1 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 1.2 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; 3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya. Setelah membaca dengan seksama, bagaimana sesungguhnya Putusan MK tersebut dan kalaupun tidak mau disebut istimewa tapi apakah putusan tersebut mampu menjawab dari segala bentuk sengkarut dari Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang dualisme penyelesaian sengketa perbankan syariah? Ada beberapa pertanyaan mendasar pasca putusan tersebut; 1. Kenapa MK menyatakan Penjelasan Pasal 55 ayat 2 yang bertentangan dengan Undang-Undang dasar 1945? Bukankah yang diminta pemohon adalah Pasal 55 ayat 2 dan 3? 2. Apakah penyelesaian sengketa perbankan syariah secara non litigasi yang tertera dalam penjelasan pasal 55 ayat 2 juga ikut dinyatakan tidak berkekuatan hukum tetap semuanya, sebab amar putusan mahkamah menunjuk secara keseluruhan?
14 14 3. Dan apakah putusan ini betul-betul menyatakan PA satu-satunya lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah? Jika kita baca dan fahami dengan seksama pertimbangan Mahkamah Konstitusi, dari sembilan hakim Mahkamah Konstitusi, semuanya sepakat menyatakan bahwa pasal 55 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 yang merupakan norma induk (ideal norm) tidak mengandung permasalahan konstitusional. Sebaliknya semua hakim Mahkamah Konstitusi satu suara bahwa yang mempunyai masalah konstitusional ketika penjelasan pasal 55 ayat 2 Undang-Undang tersebut muncul. Pasal 55 (1). Penyelesaian sengketa Perbankan syari'ah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama; (2). Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai isi akad. (3). Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip Syariah. Penjelasan Pasal 55 (1) Cukup jelas (2) Yang dimaksud dengan Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai akad adalah upaya sebagai berikut; i. Musyawarah; j. Mediasi perbankan; k. Melalui Badan Arbitrase Syari ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau l. Melalui pengadilan dalam lingkungan dalam Peradilan Umum. (3) Cukup jelas 8 orang hakim dari total 9 orang hakim MK sepakat menyatakan bahwa penjelasan pasal 55 ayat 2 di atas bertentangan dengan konstitusi secara keseluruhannya (lihat bunyi penjelasan pasal di atas), sehingga penjelasan tersebut tidak lagi berkekuatan hukum tetap sejak putusan dijatuhkan. Artinya proses penyelesaian sengketa perbankan syariah secara non litigasi (Musyawarah, mediasi perbankan dan Arbitrase Syariah) dan Litigasi (Peradilan Umum) semuanya.
15 15 Sementara itu hanya 1 orang hakim MK (Muhammad Alim) yang mempunyai Pendapat berbeda (disetting opinion) dari 8 orang hakim MK lainnya. Muhammad Alim justeru berpendapat bahwa hanya penjelasan Pasal 55 ayat 2 huruf (d) (Peradilan Umum) yang mempunyai masalah konstitusi dan dianggap bertentangan dengan Undang-Undang dasar 1945, sedangkan penjelasan Pasal 55 ayat 2 huruf a, b, dan c (Musyawarah, mediasi perbankan dan Arbitrase Syariah) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan penjelasan tersebut dapat dibenarkan oleh Undang-Undang dan prinsip syariah. Penulis berasumsi pemahaman amar putusan MK berpotensi dipahami oleh pembaca secara bias, dimana penyelesaian sengketa secara non litigasi (di luar peradilan) sudah ditiadakan sehingga dipahami hanya Peradilan Agama satu-satunya lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah? Tetapi jika ada, asumsi demikian adalah keliru sebab tidak demikian maksud putusan MK. Jelas, bahwa MK dalam amarnya menyatakan semua penjelasan pasal 55 ayat 2 secara keseluruhan bertentangan dengan konstitusi kita. Ada beberapa alasan kenapa MK menjatuhkan putusan demikian, Pertama, seperti telah disinggung di atas bahwa norma utama (ideal Norm) adalah pasal 55 ayat 1, pasal 55 ayat 2 pasal 55 ayat 3 dan secara konstitusi dibenarkan dalam Undang-Undang. Alasan yuridisnya bahwa perbankan syariah adalah wilayah muamalat/perdata/private dimana sangat bersinggungan dengan perikatan atau perjanjian diantara 2 atau lebih para pihak dan padanya melekat asas kebebasan berkontrak, termasuk kekebasan para pihak memilih forum untuk menyelesaikan sengketa. Sehingga pasal 55 ayat 2 dan 3 tetap berlaku. Kedua, pasal 55 ayat 1, pasal 55 ayat 2 pasal 55 ayat 3 adalah norma utama atau Norma induk, sedangkan penjelasan pasal 55 ayat 2 dan 3 hanyalah penjabaran makna dari pasal induknya (yaitu pasal 55 ayat 2). Ketika penjelasan atau penjabaran makna dari suatu pasal induk dianggap bertentangan dengan konstitusi, maka sesungguhnya tidak serta merta pasal yang dijelaskannya ikut menjadi bertentangan, sebab dalam teori pembuatan peraturan Perundang-undangan penjelasan pasal hanya berfungsi menjelaskan maksud pasal induknya dan tidak boleh membuat norma diatas norma induknya. Dalam kasus ini sesungguhnya tanpa penjelasan, pasal 55 ayat 2 dan 3 tersebut sudah bisa mengakomodir maksud dari pembuat Undang-Undang dan tentunya tidak bertentangan dengan konstitusi.
16 16 Jika dianalisis kembali, sudah terang bahwa penjelasan pasal 55 ayat 2 membuat norma baru, yaitu adanya opsi Peradilan Umum dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari ah. Padahal dalam pasal induknya pasal 55 ayat 1 (selain pasal 55 ayat 2 dan 3) sudah jelas ditentukan sebuah norma bahwa Peradilan Agama adalah lembaga penyelesaian secara litigasi. Hal ini jelas bertentangan baik secara teori pembuatan peraturan perundang-undangan maupun asas kepastian hukum yang wajib dalam sebuah produk peraturan-perundangundangan. Dengan demikian, ada beberapa ketentuan yang dapat dipahami dari analisis putusan MK tersebut; 1. Keputusan MK mengakibatkan secara yuridis bahwa semua pembatasan pilihan forum (choice of forum) penyelesaian sengketa yang tertera dalam penjelasan pasal 55 ayat 2 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik penyelesaian secara litigasi maupun non litigasi. 2. Segala ketentuan dari penyelesaian sengketa ekonomi syariah harus kembali kepada pasal induk yaitu pasal 55 ayat 1, 2, dan 3 sehingga choice of forum tetap berlaku; Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mukhtar menjelaskan bahwa setelah penjelasan pasal 55 ayat 2 tersebut dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak mengikat, maka pengguna (user) Undang-Undang harus kembali kepada ketentuan dasarnya yaitu pasal 55 ayat 1, 2 dan 3. Semua penjelasan pasal 55 ayat 2 tersebut batal, maka untuk menyelesaikan sengketa perbankan harus kembali kepada ketentuan dasar yang mengikat, yaitu pasal 55 ayat 1, 2 dan 3 (wawancara dengan Ketua MK Akil Mukhtar, 4 September 2013, pukul WIB). Dengan demikian, sudah terjawab bagaimana menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dan lembaga litigasi mana berwenang secara mutlak, maka dari analisa di atas dapat ditarik untuk menjawab hal tersebut;
17 17 1. Pasal 55 ayat 1 secara tegas memberikan kewenangan kepada PA sebagai satusatunya lembaga peradilan (litigasi) yang berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah; 2. Pasal 55 ayat 2 secara tegas menentukan norma bahwa para pihak yang bersengketa diberikan peluang untuk memilih penyelesaian (choice of forum) sengketa diluar Peradilan Agama (litigasi), manakala para pihak memperjanjikan maka penyelesaian sengketa dilakukan sesuai akad (non Litigasi). Barangkali akan timbul pertanyaan, bagaimana mungkin choice of forum penyelesaian diluar peradilan Agama tetap dibenarkan/diperbolehkan, sedangkan penjelasan pasal 55 ayat 2 sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Lebih lanjutnya apakah penyelesaian sengketa perbankan secara non litigasi (musyawarah, mediasi perbankan, arbitrase syariah) tetap berlaku? Jawabannya choice of forum di luar PA tetap berlaku dengan ketentuan; 1. Pilihan forum (chice of forum) tetap dibenarkan selama tidak bertentangan dengan sesuai prinsip-prinsip syariah; Pasal 55 ayat 3 Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip Syariah. Akil Mukhtar menjelaskan bahwa choice of forum yang dimaksud tersebut tetap dalam koridor selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan prinsip syariah. di dalam ekonomi syariah terdapat bentuk-bentuk penyelesaian di luar peradilan yang dibenarkan menurut prinsip-prinsip syariah sehingga koridor choice forum diluar PA itu harus tunduk kepada prinsip-prinsip syariah (wawancara dengan Ketua MK Akil Mukhtar, 4 September 2013, pukul WIB). Yang dimaksud dengan forum penyelesaian tidak bertentangan dengan prinsip syariah tersebut jika kembali kepada teori perbankan pada umumnya ada beberapa penyelesaian sengketa di luar peradilan (litigasi) yang lazim dilakukan dan sepanjang pengertian Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tidak bertentangan, diantaranya;
18 18 a. Musyawarah Internal; Diantaranya dengan jalan merevitalisasi proses yaitu dengan evaluasi ulang pembiayaan dengan jalan Rescheduling atau perubahan menyangkut jadwal pembayaran, Restructuring yaitu dengan perubahan sebagian atau seluruh ketentuan-ketentuan pembiayaan, Reconditioning yaitu perubahan sebagian atau seluruh ketentuan-ketentuan pembiayaan termasuk perubahan jangka waktudan persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut saldo, Bantuan Management yaitu penempatan sumber daya insani pada posisi manajemen oleh bank. b. Alternative Dispuste Resolution (ADR) Yaitu Alternatif penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak di luar pengadilan, diantaranya dengan jalan konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian para ahli. c. Arbitrase Syariah (Basyarnas) Basyarnas adalah satu penyelesaian sengekta di luar pengadilan (non litigasi) setelah kata mufakat dari hasil musyawarah tidak tercapai. Namun penyelesaian melalui Basyarnas dapat dilakukan apabila terjadi kesepakatan dan dicantumkan dalam akta akad sejak awal sebelum sengketa (pactum de Comprimittendo) 2. Pilihan penyelesaian sesuai akad (choice of forum) adalah second choice (pilihan kedua) bilamana para pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui PA 3. Pilihan Forum (choice of forum) penyelesaian sengketa perbankan syariah atau ekonomi syariah harus diwajibkan untuk membuat kesepakatan tersebut secara tertulis dan di dalam akta tersebut lengkap termuat mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. Lihat pertimbangan MK hal [3.20] Menimbang bahwa secara sistematis, pilihan forum hukum untuk penyelesaian sengketa sesuai dengan akad adalah pilihan kedua bilamana para pihak tidak bersepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan Agama.
19 19 Dengan demikian pilihan forum hukum untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah harus tertera secara jelas dalam akad (perjanjian). Para pihak harus bersepakat untuk memilih salah satu forum hukum dalam penyelesaian sengketa bilamana para pihak tidak ingin menyelesaikannya melalui pengadilan Agama. III. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan dan uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan yang terkait dengan masalah yang diangkat; 1. MK hanya menyatakan semua penjelasan pasal 55 ayat 2 yang bertentangan dengan konstitusi dan dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sedangkan Pasal 55 ayat 2 sebagai pasal dasar induk) tetap mengikat; 2. Pembatasan pilihan forum (choice of forum) dalam penjelesan pasal 55 ayat 2, baik melalui non litigasi (Musyawarah, mediasi perbankan, Arbitrase syariah) dan pilihan litigasi (Peradilan Umum) semuanya dinyatakan melanggar konstitusi dan tidak mengikat lagi ; 3. Peradilan Agama adalah satu-satunya lembaga peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa Perbankan syariah dan ekonomi syariah umunya serta tidak ada lagi dualisme kewenangan absolut lembaga peradilan antara PA dan PN; 4. Penyelesaian sengketa sesuai akad diperkenankan oleh Undang-Undang untuk memilih forum penyelesaian di luar Peradilan Agama bilamana para pihak menyepakati dalam akad secara tertulis dan jelas. 5. Ketentuan pemilihan penyelesaian sesuai akad diluar pengadilan Agama diperbolehkan oleh Undang-Undang selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
20 20 Daftar Pustaka A. Buku Anshori, Abdul Ghofur, 2007,Peradilan Agama Di indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006, Sejarah Kedudukan dan Kewenangan, UII Press, Yogyakarta Antonio, M. Syafe I, 1994, Prinsip Dasar Operasi Bank Muamalat Dan BPRS Dalam Arbitrase Islam Di Indonesia, Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, Jakarta. Aripin, Jenal, 2008, Peradilan Agama dalam Bingkai reformasi Hukum di Indonesia, Prenada Media, Jakarta. Djamil, Faturrahman, 2001, Hukum Perjanjian Syariah, Dalam Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung Indrati, Maria Farida, 2007, Ilmu PerUndang-undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta., 2007, Ilmu PerUndang-undangan : Proses dan Teknik Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta. Jalil, Basiq., 2006, Peradilan Agama Islam di Indonesia, Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Isam, Hukum Barat dan Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surutnya Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam di Aceh), Kencana, Jakarta. Lev, Daniel., 1979, Peradilan Agama Di iindonesia, Suatu Studi Tentang Landasan Politik Lembaga-lembaga Hukum, PT. Intermasa, Jakarta. Subekti, 2001, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta. B. Undang-Undang Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara tahun 1980 nomor 49. Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara tahun 2006 nomor 22. Undang-undang No. 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Peraturan PerUndangundangan, Lembaran Negara tahun 2004 nomor 53. Undang-undang No. 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Lembaran Negara tahun 2008 nomor 94. Undang-undang No. 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara nomor 2009 nomor 159. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijke Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, Cet. 8, Pradya paramitha, 1976
21 21 C. Website
BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan prinsip syari ah tidak mungkin dihindari akan terjadinya konflik. Ada yang berujung sengketa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ekonomi syariah tengah berkembang secara pesat. Perkembangan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ekonomi syariah tengah berkembang secara pesat. Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia sudah berjalan dua dekade lebih. Hal ini ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan Bank Syariah di Indonesia dinilai cukup marak, terbukti
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan Bank Syariah di Indonesia dinilai cukup marak, terbukti dengan adanya data Bank Indonesia tahun 2012 mengenai Jaringan Kantor Perbankan Syariah yang dari
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA
BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Analisis Dualisme Akad Pembiayaan Mud{arabah Muqayyadah Keberadaaan suatu akad atau perjanjian adalah sesuatu yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1998 sampai sekarang perbankan syariah di Indonesia
1 BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Sejak tahun 1998 sampai sekarang perbankan syariah di Indonesia berkembang sangat signifikan. Sehingga, sangat mungkin dapat menimbulkan terjadinya sengketa (dispute)
Lebih terperinciBAB IV. Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), tepatnya pada Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan
BAB IV ANALISIS KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DAN DASAR PENETAPAN HAKIM DALAM PERKARA WARIS NON MUSLIM DI PENGADILAN AGAMA KRAKSAAN (PENETAPAN NOMOR 0023/PDT.P/2015/PA. KRS). A. Analisis Kewenangan Pengadilan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebenarnya bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Salah satu ketentuan yang
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Arbitrase sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengeketa di Luar Pengadilan sebenarnya bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Salah satu ketentuan
Lebih terperinciBAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan
58 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN HUKUM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM MEMUTUSKAN PERCERAIAN PASANGAN YANG MENIKAH DUA KALI DI KUA DAN KANTOR CATATAN SIPIL NOMOR: 2655/PDT.G/2012/PA.SDA
Lebih terperinciIMPLIKASI HUKUM TERBITNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X/2012 Oleh : Muhammad Iqbal, SHI. SH. MHI 1
IMPLIKASI HUKUM TERBITNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X/2012 Oleh : Muhammad Iqbal, SHI. SH. MHI 1 A. Pendahuluan Dewasa ini aktifitas perekonomian berkembang begitu pesat dan terus merambah
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 91/PUU-XII/2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 91/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 14 Tahun
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI AH MENURUT PASAL 55 UU NO. 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARI AH
57 BAB IV ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI AH MENURUT PASAL 55 UU NO. 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARI AH A. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari ah Berdasarkan Kompetensi Absolut Peradilan
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 82/PUU-XV/2017
rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 82/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN TERHADAP UNDANG-UNDANG
Lebih terperinciII. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004).
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 68/PUU-XIII/2015 Implikasi Interpretasi Frasa Anjuran Mediator dan Konsiliator pada Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial I. PEMOHON 1. Muhammad Hafidz
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. yang menimbulkan suatu hubungan hukum yang dikategorikan sebagai suatu
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Manusia dalam mencapai kebutuhan hidupnya saling berinteraksi dengan manusia lain. Masing-masing individu dalam berinteraksi adalah subjek hukum yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 112/PUU-XII/2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 112/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat [Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3)] terhadap
Lebih terperinciBERACARA DI PENGADILAN AGAMA DAN PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH Oleh: Agus S. Primasta, SH 1
BERACARA DI PENGADILAN AGAMA DAN PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH Oleh: Agus S. Primasta, SH 1 Abstraksi Berdasarkan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, semua Pengadilan baik secara teknis
Lebih terperinciANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X/2012 TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X/2012 TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH Nursal Hakim Pengadilan Agama Kota Sawahlunto e-mail: nursal_sal@yahoo.com Abstract: In
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sengketa atau konflik hakekatnya merupakan bentuk aktualisasi dari suatu perbedaan dan atau pertentangan antara dua pihak atau lebih. Sebagaimana dalam sengketa perdata,
Lebih terperinciA. Gambaran Umum Tentang Kompetensi Absolut peradilan Agama. kekuasaan relatif dan kekuasaan absolut. Kekuasaan relatif berkaitan dengan
38 BAB III HAK OPSI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI AH MENURUT PASAL 55 UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2008 MENGENAI KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN AGAMA A. Gambaran Umum Tentang Kompetensi Absolut
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH
BAB II PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH A. Undang - Undang No. 30 Tahun 1990 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa di
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem Perbankan syariah adalah bagian yang berkembang pesat dari sektor keuangan dunia. Kebutuhan akan adanya bank yang beroperasi sesuai dengan nilai-nilai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menimbulkan konflik, konflik ini adakalanya dapat di selesaikan secara damai, tetapi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam berinteraksi satu sama lainnya dalam kehidupan masyarakat sering menimbulkan konflik, konflik ini adakalanya dapat di selesaikan secara damai,
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 74/PUU-X/2012
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 74/PUU-X/2012 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi [Pasal 55] terhadap Undang-Undang
Lebih terperinciCHOICE OF FORUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH PASCA TERBITNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.93/PUU-X/2012
[43] CHOICE OF FORUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH PASCA TERBITNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.93/PUU-X/2012 Afrik Yunari Sekolah Tinggi Agama Islam Hasanuddin (STAIH) Kediri Email:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaanya kedua belah pihak mengacu kepada sebuah perjanjian layaknya
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Manusia dalam menjalankan hubungan hukum terhadap pihak lain akan membutuhkan suatu kesepakatan yang akan dimuat dalam sebuah perjanjian, agar dalam
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-IX/2011
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-IX/2011 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-VIII/2010
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-VIII/2010 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1996 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 57/PUU-XV/2017
rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 57/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam malakukan perekonomian. Ekonomi syariah sendiri merupakan. perbuatan atau kegiatan usaha yang dilakukan menurut prinsip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada zaman di era globalisasi ini perekonomian di dunia maupun di Indonesia semakin berkembang, Seiring perkembangannya masyarakat Islam juga mengembangkan prinsip
Lebih terperinciPUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. : Habiburokhman S.H., M.H.
SALINAN PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 68/PUU-XIII/2015
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 68/PUU-XIII/2015 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. 1. Permohonan pengujian judicial review diajukan oleh Machica. kekuatan hukum dengan segala akibatnya. Machica dan putranya,
106 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Permohonan pengujian judicial review diajukan oleh Machica Mochtar, artis yang menikah secara sirri dengan Mantan Menteri Sekretaris Negara di Era Orde Baru Moerdiono.
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase
I. PEMOHON Zainal Abidinsyah Siregar. Kuasa Hukum: RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase Ade Kurniawan, SH., Heru Widodo, SH., MH., dkk, advokat/ penasehat hukum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang memberikan hak yang dapat digunakan oleh para pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan pengadilan. Hak tersebut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di dalam perkembangan kehidupan masyarakat saat ini suatu
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam perkembangan kehidupan masyarakat saat ini suatu perjanjian tertulis merupakan hal yang sangat penting dan dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, hal ini
Lebih terperinciOleh : Karmuji 1. Abstrak PENDAHULUAN
Jurnal Ummul Qura Vol VIII, No. 2, September 2016 1 PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARI`AH Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
Lebih terperinciRISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 130/PUU-VII/2009
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxp;;;;;;;;;;;;;;;;;;; ;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;; MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kegiatan ekonomi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh setiap manusia, ada
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan ekonomi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh setiap manusia, ada yang berskala kecil maupun besar. Karena manusia mempunyai banyak kebutuhan, maka kegiatan ekonomi
Lebih terperinciLex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017
KEDUDUKAN PERADILAN AGAMA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X/2012 1 Oleh: Tri Rama Kantohe 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah
Lebih terperinciPERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM SENGKETA EKONOMI SYARIAH
PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM SENGKETA EKONOMI SYARIAH Analisa Putusan MA Nomor 669 K/AG/2017 Oleh: Alimuddin Muslim Alpun Khoir Nasution Dosen Pengajar: Dr. Drs. H. Amran Suadi, S.H., M.Hum., M.M. PASCASARJANA
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 139/PUU-XII/2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 139/PUU-XII/2014 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAHAKAM ULU DI
Lebih terperinciIV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Dasar Hukum Kompetensi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dan Pengadilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah 1. Dasar Hukum Kompetensi Badan
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial I. PEMOHON Dr. H. Taufiqurrohman Syahuri, S.H Kuasa Hukum Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H. dkk berdasarkan
Lebih terperinciRISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 48/PUU-VI/2008
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 48/PUU-VI/2008 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan
Lebih terperinciANALISIS INTERPRETASI DAN IMPLEMENTASI PASAL 55 UUPS DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PADA PT BANK SYARI AH BUKOPIN
Tanjungpura Law Journal, Vol. 1, Issue 1, January 2017: 1-13. ISSN Print: 2541-0482 ISSN Online: 2541-0490. Open Access at: http://jurnal.untan.ac.id/index.php/tlj Article Info Submitted: 1 October 2016
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
Lebih terperinciA. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,
49 BAB III WEWENANG MAHKAMAH KOSTITUSI (MK) DAN PROSES UJIMATERI SERTA DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMPERBOLEHKAN PENINJAUAN KEMBALI DILAKUKAN LEBIH DARI SATU KALI. A. Kronologi pengajuan uji materi
Lebih terperincimemperhatikan pula proses pada saat sertipikat hak atas tanah tersebut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
101 kepemilikannya, bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terhadap sertipikat hak atas tanah dan perlindungan terhadap pemegang sertipikat hak atas tanah tersebut. Namun kepastian hukum dan perlindungan
Lebih terperinciKuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015.
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 42/PUU-XIII/2015 Syarat Tidak Pernah Dijatuhi Pidana Karena Melakukan Tindak Pidana Yang Diancam Dengan Pidana Penjara 5 (Lima) Tahun Atau Lebih Bagi Seseorang Yang Akan
Lebih terperinciI. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XIV/2016 Waktu Penyelesaian, Produk Hukum penyelesaian BNP2TKI, dan Proses Penyelesaian Sengketa Antara TKI dengan PPTKIS Belum Diatur Di UU 39/2004 I. PEMOHON
Lebih terperinciMelawan
JAWABAN TERMOHON KEBERATAN terhadap Keberatan yang diajukan oleh Pemohon Keberatan atas Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kabupaten Probolinggo Nomor 06/AK/BPSK/426.111/2014 antara
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah di Provinsi Aceh
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah di Provinsi Aceh I. PEMOHON Ir. H. Abdullah Puteh. Kuasa Hukum Supriyadi Adi, SH., dkk advokat
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada I. PEMOHON 1. Imran, SH. (Pemohon I); 2. H. Muklisin, S.Pd. (Pemohon II); Secara bersama-sama disebut
Lebih terperinciJurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Vol. 3 No.1 Juli
Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Vol. 3 No.1 Juli 2016 63 KOMPETENSI PENGADILAN AGAMA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN
Lebih terperinciHUKUM ACARA PERADILAN AGAMA MUHAMMAD MUSLIH, SH, MH
HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA MUHAMMAD MUSLIH, SH, MH A. Pendahuluan Pada masa penjajahan Belanda hingga menjelang akhir tahun 1989, Pengadilan Agama di Indonesia exis tanpa Undang-Undang tersendiri dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus keluarga. Anak juga merupakan aset bangsa yang sangat berharga; sumber daya manusia yang berperan penting
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 1/PUU-XVI/2018
rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 1/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN SEBAGAIMANA
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 18/PUU-XV/2017
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 18/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 96/PUU-XIV/2016
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 96/PUU-XIV/2016 PERIHAL PENGUJIAN PERPU NOMOR 51 TAHUN 1960 TENTANG LARANGAN PEMAKAIAN TANAH TANPA IZIN YANG BERHAK
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 99/PUU-XIV/2016
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 99/PUU-XIV/2016 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN TERHADAP UNDANG- UNDANG
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diakui eksistensinya dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengadilan Agama sebagai salah satu dari empat lingkungan peradilan yang diakui eksistensinya dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok- Pokok Kekuasaan
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 4/PUU-XVI/2018
rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 4/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA
Lebih terperinciKILAS BALIK KOMPETENSI ABSOLUT PERKARA WARIS MELALUI PERJUANGAN PANJANG (oleh H.Sarwohadi, S.H.,M.H.,Hakim Tinggi PTA Mataram)
KILAS BALIK KOMPETENSI ABSOLUT PERKARA WARIS MELALUI PERJUANGAN PANJANG (oleh H.Sarwohadi, S.H.,M.H.,Hakim Tinggi PTA Mataram) A. Perkembangan dan perubahan kewenangan perkara Waris 1. Pengadilan Agama
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan dengan tegas, dalam Pasal 1 angka 3, bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan
Lebih terperinciPUTUSAN Nomor 88/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
PUTUSAN Nomor 88/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan
Lebih terperinciRESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 017/PUU-IV/2006 Perbaikan Tanggal 12 September 2006
RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 017/PUU-IV/2006 Perbaikan Tanggal 12 September 2006 I. PEMOHON Yandril, S.Sos. dkk KUASA PEMOHON M. Luthfie Hakim. dkk II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG Undang-undang Nomor 32
Lebih terperinciRISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 46/PUU-VI/2008
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 46/PUU-VI/2008 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 75/PUU-XV/2017
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 75/PUU-XV/2017 Kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Aceh I. PEMOHON 1. Hendra Fauzi (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Robby Syahputra (selanjutnya disebut sebagai
Lebih terperinciA.Latar Belakang Masalah
A.Latar Belakang Masalah Setiap manusia hidup mempunyai kepentingan. Guna terpenuhinya kepentingan tersebut maka diperlukan adanya interaksi sosial. Atas interaksi sosial tersebut akan muncul hak dan kewajiban
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon
I. PEMOHON RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu, SH.,
Lebih terperinciI. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 12/PUU-XIV/2016 Waktu Penyelesaian, Produk Hukum penyelesaian BNP2TKI, dan Proses Penyelesaian Sengketa Antara TKI dengan PPTKIS Belum Diatur Di UU 39/2004 I. PEMOHON
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 119/PUU-XII/2014 Pengujian Formil Perppu 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Perppu 2/2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
Lebih terperinciRingkasan Putusan.
Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 tanggal 19 April 2010 atas Undang- Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 22/PUU-VII/2009 tentang UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah [Syarat masa jabatan bagi calon kepala daerah]
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 22/PUU-VII/2009 tentang UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah [Syarat masa jabatan bagi calon kepala daerah] I. PEMOHON Prof. Dr. drg. I Gede Winasa (Bupati Jembrana,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern ini, persaingan ekonomi di dunia sangatlah ketat. Hal ini dapat dibuktikan dengan berkembang pesatnya makro dan mikro seiring dengan pertumbuhan unit-unit
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 121/PUU-XII/2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 121/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Sebagaimana
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:
34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara hukum dimana kekuasaan tunduk pada hukum. Sebagai negara hukum, maka hukum mempunyai kedudukan paling tinggi dalam pemerintahan,
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 33/PUU-X/2012
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 33/PUU-X/2012 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR
Lebih terperinciRINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas
RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-VIII/2010 tanggal 24 September 2010 atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIV/2016 Kewenangan Jaksa Agung Untuk Mengenyampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIV/2016 Kewenangan Jaksa Agung Untuk Mengenyampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum I. PEMOHON Drs. Rahmad Sukendar, SH. Kuasa Hukum Didi Karya Darmawan, SE.,
Lebih terperinciPUTUSAN Nomor 75/PUU-IX/2011 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
PUTUSAN Nomor 75/PUU-IX/2011 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 22/PUU-XVI/2018
rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 22/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA SEBAGAIMANA
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 66/PUU-X/2012
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 66/PUU-X/2012 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan [Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 91/PUU-X/2012
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 91/PUU-X/2012 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
Lebih terperinciKOMPETENSI HAKIM PENGADILAN AGAMA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA EKONOMI SYARI AH (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta)
KOMPETENSI HAKIM PENGADILAN AGAMA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA EKONOMI SYARI AH (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 105/PUU-XIV/2016 Kewajiban Mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 105/PUU-XIV/2016 Kewajiban Mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi I. PEMOHON Forum Advokat Muda Indonesia (FAMI) Kuasa Hukum Zenuri Makhrodji, SH, DR. (can) Saiful Anam,
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 61/PUU.D-VIII/2010 Tentang Perlindungan dan Penghargaan Terhadap Hak-Hak Buruh
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 61/PUU.D-VIII/2010 Tentang Perlindungan dan Penghargaan Terhadap Hak-Hak Buruh I. PEMOHON M.Komarudin dan Muhammad Hafidz, sebagai perwakilan dari Federasi
Lebih terperinciI. PEMOHON Perkumpulan Tukang Gigi (PTGI) Jawa Timur yang dalam hal ini di wakili oleh Mahendra Budianta selaku Ketua dan Arifin selaku Sekretaris
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KE-2 Registrasi Nomor: 74/PUU-X/2012 Tentang Pemberhentian Sementara Pengujian Peraturan Perundang- Undangan Di Bawah Undang-Undang Yang Sedang Dilakukan Mahkamah Agung I.
Lebih terperinciBAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH
BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI DASAR HUKUM PUTUSAN Pengadilan Agama Kendal telah memeriksa dan memberi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setelah mengalami beberapa kali revisi sejak pengajuannya pada tahun 2011, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 30
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 65/PUU-VIII/2010 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 91/PUU-XV/2017
rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 91/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP UNDANG-UNDANG
Lebih terperinciBAB II LAPORAN HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012
BAB II LAPORAN HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Kewenangan Peradilan Agama 1. Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 Berbicara mengenai kewenangan atau kompetensi lingkungan Peradilan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk. peradilan agama telah menjadikan umat Islam Indonesia terlayani dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termuat dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD RI 1945).
Lebih terperinci