BAB I PENDAHULUAN. untuk mengemas nogosari, pepes, lemper, tempe dan arem-arem. Daun pisang

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Makanan khas daerah di Indonesia banyak yang dikemas dengan menggunakan daun khas Indonesia seperti daun pisang, daun jati, daun jambu, daun simpor, dan lain-lain. Sebagai contoh, daun pisang digunakan untuk mengemas nogosari, pepes, lemper, tempe dan arem-arem. Daun pisang yang digunakan sebagai pengemas memiliki sifat yang aman, dengan kata lain bahan tersebut tidak memiliki residu negatif yang dapat mencemari makanan. Daun pisang paling banyak digunakan sebagai pengemas makanan, alasan yang dijumpai di masyarakat adalah mudah didapat, daun lebar sehingga mudah dibentuk dan digunakan untuk mengemas berbagai produk makanan serta memberi flavor spesifik dalam pengolahan bahan pangan. Hanya beberapa jenis daun pisang yang lazim digunakan sebagai pengemas khususnya oleh masyarakat Jawa, antara lain daun pisang Klutuk, Kepok, Raja Bandung/Uter. Daun pisang klutuk banyak digunakan sebagai bahan pengemas makanan karena lebar dan tidak mudah sobek dibandingkan dengan daun pisang jenis lainnya. Daun pisang klutuk memang terkenal dengan keunggulan daunnya dibandingkan dengan buahnya. Penggunaan daun pisang klutuk sebagai bahan pengemas makanan dapat diaplikasikan dalam beberapa 1

2 cara yaitu langsung digunakan pada keadaan segar, dikukus atau direbus bersamaan dengan bahan yang dikemasnya. Penggunaan bahan pengemas makanan pada umumnya digunakan secara langsung atau kontak fisik dengan makanan yang dikemas. Menurut Castle (2000) bahan pangan atau olahannya yang dikemas dengan cara kontak langsung dengan pengemasnya dapat mengakibatkan senyawa kimia pada pengemas bermigrasi kedalam produk pangan yang dikemas. Oleh karena itu penggunaan daun tradisional khususnya daun pisang sebagai pengemas makanan lebih aman digunakan. Senyawa kimia pada daun pisang juga dapat bermigrasi kedalam produk pangan yang dikemasnya. Bahan pangan yang dibungkus daun pisang lalu dikukus akan memberikan cita rasa tertentu (Mohapatra et al., 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sahaa et al. (2013) daun pisang memiliki aktivitas antimikroba dan antioksidan. Ekstrak daun pisang mengandung asam galat yang merupakan tipe dari katekin. Katekin termasuk dalam golongan polifenol dan merupakan salah satu senyawa antioksidan. Menurut Handayani dan Mastuti (2014) ekstrak daun pisang ambon memiliki senyawa Fenol, 2,4-bis(1,1-dimethylethyl)-, senyawa tersebut adalah senyawa golongan fenolik. Senyawa Fenol, 2,4-bis(1,1- dimethylethyl)- dan E-15 heptadecenal memiliki aktivitas antibakteri yang sama dengan fraksi asetat daun dewa Gynura segetum pada penelitian Seow et al. (2012). Senyawa yang termasuk plasticizer ini diketahui mempunyai sifat antimikroba, antioksidan dan anti peradangan. Fitriani (2016) 2

3 menyebutkan bahwa ekstrak metanol daun pisang klutuk segar memilik aktivitas antioksidan dan memiliki nilai total fenolik. Pada ekstrak metanol daun pisang klutuk juga terdapat senyawa Fenol, 2,4-bis(1,1-dimethylethyl)- yang sama dengan ekstrak daun pisang ambon pada penelitian Handayani dan Mastuti (2014). Dewasa ini, pengemas tradisional banyak ditinggalkan masyarakat karena sifatnya yang tidak praktis dan sulit ditemukan dipasaran. Masyarakat mulai beralih pada plastik sebagai pengemas karena lebih praktis dan mudah untuk dibeli. Namun plastik tidak menyumbangkan flavor spesifik pada makanan yang dikemasnya serta tidak mengandung senyawa antioksidan dan tidak dapat terurai, sehingga menyebabkan penumpukan limbah. Maka perlu dikembangkan inovasi baru bahan pengemas makanan yang praktis namun tetap memiliki sifat-sifat yang ada pada bahan pengemas tradisional (daun) dan dapat terurai sehingga tidak menyebabkan penumpukan limbah sintetis. Penggunaan bahan alami sebagai polimer pengganti plastik telah banyak digunakan. Penggunaan polimer alami atau biopolimer sebagai pengganti plastik lebih menguntungkan karena tidak menyebabkan penumpukan limbah dan dapat dimodifikasi dengan berbagai senyawa agar menghasilkan biopolimer yang memiliki suatu kelebihan tertentu. Selain itu penggunaan bioplastik dan atau biopolimer tidak hanya memiliki citra biodegradable namun juga sifat fisiknya yang dapat ditingkatkan. Beberapa jenis biopolimer yang banyak digunakan sebagai film adalah pektin, pati, selulosa dan turunannya, lignin dan lain-lain. 3

4 Salah satu turunan dari selulosa yang populer sebagai bahan utama pembuatan film atau kemasan adalah methyl cellulose (MC). MC banyak digunakan karena memiliki sifat film-making yang baik serta mudah diolah. Oleh karena itu perlu dikembangan suatu kemasan yang menggunakan MC sebagai bahan utama dan diimprovisasi sehingga memiliki sifat fisik yang baik. Salah satu metode yang paling sering digunakan untuk meningkatkan keuntungan dari kemasan aktif adalah menggunakan agen crosslinking. Salah satu agen crosslinking yang populer adalah glutaraldehyde (GA). Menurut Hernandez-Munoz et al. (2004), crosslinking merupakan salah satu metode yang sering digunakan untuk memodifikasi polimer yang larut air agar dapat mencapai sifat yang diinginkan, dan GA merupakan crosslinker yang banyak digunakan untuk protein dan utamanya polisakarida. Beberapa karakteristik polimer dapat ditingkatkan dengan crosslinking, seperti permeabilitas, swelling, dan sifat mekanik. Penambahan agen crosslinker juga mempengaruhi migrasi komponen aktif pada aplikasi bidang farmasi (Aiedeh et al., 2006). Sistem kemasan aktif didasarkan pada bahan kemasan yang diberi beberapa zat aditif dengan sifat antimikroba dan atau antioksidan ditambahkan ke dalam matriks polimer dengan tujuan memperpanjang umur simpan dan meningkatkan keamanan konsumen (Vermeiren et al., 1999; Alvarez, 2000; Appendini and Hotchkiss, 2002; Del Nobile et al., 2009). Zat aditif yang ditambahkan kedalam matriks polimer akan migrasi kedalam 4

5 bahan makanan yang dikemasnya. Komponen yang dilepaskan akan memperpanjang umur simpan produk yang ada di dalamnya (Beltran et al., 2014; Chatterjee et al., 2011; Tian et al., 2012). Oleh karena itu perlu dikembangan suatu kemasan aktif yang diberi zat antioksidan atau antimikrobia. Namun belum ada penelitian mengenai penggunaan daun pisang klutuk sebagai bahan aktif pada pembuatan kemasan, demikian pula sifat kemasan yang dihasilkan serta pemanfatannya. Penelitian ini dilakukan untuk membuat kemasan aktif berbasis methyl cellulose dengan penambahan glutaraldehyde dan ekstrak daun pisang klutuk untuk meningkatkan sifat fungsionalnya Perumusan Masalah Bagaimana potensi kemasan aktif berbasis methyl cellulose yang ditambahkan ekstrak daun pisang klutuk? Bagaimana karakteristik kemasan berbasis methyl cellulose yang ditambahkan glutaraldehyde dan ekstrak daun pisang klutuk? Apakah antioksidan pada ekstrak daun pisang klutuk yang ditambahkan pada film berbasis methyl cellulose dapat migrasi kedalam simulan makanan berair dan berlemak? 5

6 1.3. Tujuan Penelitian Mengkaji penggunaan ekstrak daun pisang klutuk pada kemasan aktif sebagai zat aktif yang berfungsi untuk modifikasi sifat fungsional film Mengetahui karakteristik kemasan aktif berbasis methyl cellulose yang ditambahkan glutaraldehyde dan ekstrak daun pisang klutuk Mengetahui migrasi senyawa antioksidan dari kemasan aktif berbasis methyl cellulose yang ditambahkan ekstrak daun pisang klutuk kedalam simulan makanan berair dan berlemak Manfaan Penelitian Didapatkan inovasi baru kemasan aktif yang berbahan dasar methyl cellulose dengan tambahan ekstrak daun pisang klutuk Mengetahui karakteristik dari kemasan aktif berbasis methyl cellulose yang sudah ditambahkan glutaraldehyde dan ekstrak daun pisang klutuk Dihasilkan kemasan aktif sebagai pengemas yang memiliki antioksidan yang dapat bermigrasi kedalam makanan. 6