BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Ini berarti,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Ini berarti,"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kemerdekaan bangsa Indonesia yang di Proklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945 tidak dapat dilepaskan dari cita-cita pembaharuan hukum. Dalam pernyataan kemerdekaan Bangsa Indonesia itu sekaligus juga terkandung pernyataan untuk merdeka dan bebas dari belenggu penjajahan hukum kolonial. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa pernyataan kemerdekaan Bangsa Indonesia disamping merupakan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa juga didorong oleh keinginan luhur Bangsa Indonesia untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas. Keinginan luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas itu ingin dicapai dengan membentuk pemerintahan Negara Indonesia disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Ini berarti, kemerdekaan dan kebebasan yang ingin dicapai adalah kebebasan berkehidupan sebagai bangsa yang bebas dalam keteraturan atau dalam arti berkehidupan yang bebas dalam suatu tertib/tatanan hukum. Tujuan dan cita-cita dari Bangsa Indonesia yang ingin diwujudkan dari kemerdekaan dapat dilihat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu: melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, berdasarkan Pancasila. 2 Tujuan pembangunan nasional yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 itu sematamata demi terciptanya kesejahteraan bagi Bangsa Indonesia dan untuk mencapai semuanya itu maka dilakukan pembangunan. Adapun pembangunan yang dilakukan tidak 1 Barda Nawawi Arief,2010, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, cetakan keempat, Genta Publishing, Yogyakarta, hal Kabinet indonesia Bersatu Jilid 2 UUD 1945 dan Perubahannya, 2011, Mata Elang Media, Jakarta, hal. 8.

2 2 hanya pada satu sisi kehidupan saja akan tetapi pada semua sisi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk didalamnya pembangunan hukum. Seiring dengan laju perkembangan pembangunan hukum di Indonesia, berkembang pula bentuk-bentuk kejahatan di tengah-tengah masyarakat. Dalam upaya menanggulangi kejahatan-kejahatan tersebut dilakukan suatu kebijakan kriminal (Criminal Policy), kebijakan itu meliputi secara terpadu upaya penal dan non penal. Untuk merumuskan atau membuat hukum pidana lebih baik, tentunya bukanlah suatu pekerjaan yang sangat mudah, apalagi ilmu hukum pidana sendiri merupakan bagian dari ilmu pengetahuan sosial yang senantiasa terus berkembang bahkan berubah mengikuti perkembangan dan kondisi zaman. Hukum itu sendiri pada kenyataannya memang merupakan suatu gejala sosial budaya yang berfungsi untuk menerapkan kaidah-kaidah dan pola prilaku tertentu terhadap individu-individu di dalam masyarakat. Ilmu hukum mempelajari gejala-gejala sosial budaya serta menerangkan arti dan maksud kaidah-kaidah itu. Oleh karenanya pembaharuan hukum pidana sangat penting untuk mengatasi segala persoalan seiring dengan perkembangan zaman, selain itu pembaharuan hukum yang dilakukan juga semata-mata demi tercapainya perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa 3 ; Sasaran atau tujuan akhir dari kebijakan kriminal (Politik Kriminal) adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (Social Defence) dan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (Social Welfare). 3 Barda Nawawi Arief, Op Cit, hal. 4.

3 3 Hal ini berarti, dengan semakin majunya perkembangan masyarakat maka akan terjadi pula pergeseran nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang berimplikasi pada terjadinya perubahan tatanan sosial itu sendiri sehingga menuntut terjadinya perubahan norma hukum disatu sisi dan perubahan cara pandang terhadap perbuatan-perbuatan tertentu yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela dan merugikan masyarakat. Sehingga dalam melaksanakan hukum pidana berarti mewujudkan peraturan-peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia tentunya tidak terlepas dari politik hukum yang bertugas untuk meneliti perubahan-perubahan yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada agar supaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru di dalam masyarakat. Politik hukum tersebut meneruskan arah perkembangan tertib hukum, dari Ius Constitutum yang bertumpu pada kerangka landasan hukum yang terdahulu menuju pada penyusunan Ius Constituendum atau hukum pada masa yang akan datang. Hukum pada dasarnya berangkat dari dua asumsi dasar : pertama, hukum adalah untuk manusia bukan sebaliknya. Maka kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Jika terjadi permasalahan di dalam hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan di perbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa ke dalam skema hukum. Kedua, hukum bukan merupakan institusi yang mutlak dan final, karena hukum selalu berada pada proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making). 4 Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan peninjauan dan penilaian kembali sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural masyarakat indonesia yang melandasi 4 Yudi kristiana, 2010, menuju Kejaksaan Progresif, Masyarakat Transparansi Indonesia, Jakarta. Hal. 13

4 4 kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. 5 Upaya pembaharuan hukum pidana Indonesia mempunyai suatu makna yaitu menciptakan suatu kodifikasi hukum pidana nasional untuk menggantikan kodifikasi hukum pidana yang merupakan warisan kolonial yakni Wetboek van Strafrecht Voor Nederlands Indie 1915, yang merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht Negeri Belanda tahun Meskipun dalam KUHP sekarang ini telah dilakukan tambal sulam, namun jiwanya tetap tidak berubah, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Wetboek van Strafrecht atau yang disingkat W.v.S atau KUHP yang sehari-hari digunakan oleh para praktisi hukum Indonesia telah berusia lebih dari 66 tahun. Selama itu ia mengalami penambahan, pengurangan atau perubahan, namun jiwanya tidak berubah. Dari hal tersebut di atas, terkandung tekat dari bangsa Indonesia untuk mewujudkan suatu pembaharuan hukum pidana yang dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi sisi terhadap muatan normatif dan substansi hukum pidana yang dicita-citakan. 7 Dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia, terlebih dahulu haruslah diketahui permasalahan pokok dalam hukum pidana. Hal tersebut demikian penting, karena hukum pidana merupakan cerminan suatu masyarakat yang merefleksi nilai-nilai yang menjadi dasar masyarakat itu. Bila nilai-nilai itu berubah, maka hukum pidana juga haruslah berubah. 8 Menurut Barda Nawawi Arief, makna dan hakikat dari pembaharuan hukum pidana sebagai berikut : a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidanapada hakekatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial 5 Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakakan kedua, PT. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal Muladi, 2005, Lembaga Pidana Bersyarat, cetakan ketiga, Alumni, Bandung, hal 4. 7 Barda Nawawi Arief, op cit, hal A.Z. Abidin, tanpa tahun, Bunga Rampai Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, hal iii.

5 5 (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai atau menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat). b. Sebagai bagian dari kebijakan nasional, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan). c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbarui substansi hukum (legal subtance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum. 9 Pembaharuan hukum pidana tersebut akan mencakup beberapa permasalahan di dalam hukum pidana itu sendiri, yaitu masalah tindak pidana (merupakan perbuatan apa yang sepatutnya dipidana), kesalahan (syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk menyalahkan/mempertanggungjawabkan seseorang yang melakukan perbuatan itu), pidana ( sanksi apa yang yang sepatutnya dikenakan kepada orang yang disangka melakukan perbuatan pidana). Masalah pidana dewasa ini terdapat masalah secara universal yang terus dicarikan pemecahannya. Masalah tersebut karena ketidakpuasan masyarakat terhadap lembaga peradilan dalam memberikan keadilan terhadap masyarakat. Di Indonesia hari ini terus dicarikan pemecahan terhadap masalah tersebut, antara lain peningkatan pemidanaan yang lebih berperikemanusiaan. Pembaharuan hukum pidana yang menyangkut masalah utama di dalam hukum pidana tidak akan terlepas dari pengaruh perkembangan teori-teori tentang tujuan pemidanaan beserta aliran-aliran dalam hukum pidana yang mendasari perkembangan teori tersebut. Perumusan teori tentang tujuan pemidanaan akan bermanfaat untuk menguji seberapa jauh suatu pidana mempunyai daya guna dalam memberikan keadilan 9 Barda Nawawi Arief, log cit. hal 29

6 6 terhadap masyarat sebagai pelaku tindak pidana maupun sebagai korban dari tindak pidana itu sendiri. Berkaitan dengan sanksi pidana, maka jenis pidana perampasan kemerdekaan berupa pidana penjara merupakan jenis pidana yang kerap dikenakan terhadap pelaku tindak pidana oleh hakim. Proses hukum harusnya berdasarkan pada nilai-nilai atau jiwa bangsa, sehingga tidak begitu saja menerima konsep hukum yang berasal dari luar. Jati diri bangsa inilah yang merupakan filter masuknya nilai-nilai dari luar. Kebijakan hukum pidana akan terus berkembang dinamis seiring perkembangan masyarakat. 10 Perkembangan hukum pidana semakin banyak digunakan dan diandalkan untuk mengatur dan menertibkan masyarakat melalui peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan hukum mengandung sebuah statemen mengenai konsekuwensi-konsekuwensi hukum. Konsekuwensi ini merupakan sanksi hukum. Sanksi hukum adalah cara-cara menerapkan suatu norma atau peraturan yang digariskan atau diotorisasi oleh hukum. Dalam perjalanannya, sehubungan dengan perkembangan tujuan pemidanaan yang tidak lagi hanya terfokus pada upaya untuk menderitakan atau pembalasan, akan tetapi sudah mengarah pada upaya-upaya perbaikan ke arah yang lebih manusiawi, maka pidana penjara merupakan jenis sanksi dalam hukum pidana yang paling sering digunakan mulai menimbulkan kritikan dari banyak pihak terutama masalah efektivitas dan adanya dampak negatif yang ditimbulkan dengan penerapan pidana tersebut. Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa pidana penjara saat ini sedang mengalami masa krisis karena termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, sehingga banyak kritik tajam ditujukan terhadap jenis pidana perampasan kemerdekaan ini, baik dilihat dari 10 Teguh prasetyo, 2010, Kriminalisasi dalam hukum Pidana, Penerbit Nusa Media, Bandung,

7 7 sudut efektivitasnya maupun dilihat dari akibat-akibat negatif lainnya yang menyertai atau berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan seseorang. 11 Sorotan dan kritik-kritik tajam terhadap pidana penjara itu tidak hanya dikemukakan oleh para ahli secara perseorangan, tetapi juga oleh masyarakat bangsabangsa di dunia melalui beberapa kongres internasional. Dalam Kongres PBB kelima tahun 1975 di Geneva mengenai Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, antara lain dikemukakan, bahwa di banyak negara terdapat krisis kepercayaan terhadap efektivitas pidana penjara dan ada kecenderungan untuk mengabaikan kemampuan lembaga-lembaga kepenjaraan dalam menunjang usaha pengendalian kejahatan. 12 Bangsa Indonesia yang merupakan bagian dari peradaban masyarakat dunia, dengan memperhatikan dinamika yang terjadi, tentunya diharapkan dapat senantiasa mengikuti dan mengadopsi hal-hal yang positif dan bermanfaat bagi kepentingan untuk semakin meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan seluruh masyarakatnya dengan tetap berpijak pada nilai-nilai kepribadian bangsa. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengadopsi adanya perkembangan pemikiran tentang cara yang lebih tepat dan manusiawi dalam memperlakukan para pelaku kejahatan. Sejauh ini terdapat dua model alternatif yang dipilih masyarakat yaitu main hakim sendiri ataupun melalui perdamaian. Secara umum masyarakat sendiri menilai bahwa model penyelesaian main hakim sendiri dipandang negatif, akan tetapi pilihan kedua yaitu melauli upaya perdamaian seharusnya merupakan alternatif yang positif. 13 Berdasarkan pendapat diatas banyak alternatif perubahan yang di tawarkan dan kemudian berkembang menjadi sebuah faham atau teori dalam hukum pidana itu sendiri. Berkaitan dengan pemberian sanksi pidana yang tidak hanya sebagai unsur pembalasan bagi pelaku tindak 11 Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakakan kedua, PT. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal Ibid, hal Eva Achjani Zulfa, 2010, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung. Hal 2.

8 8 pidana. Namun pidana itu juga harus memuat unsur pencegahan, rehabilitasi, usaha yang ditujukan untuk menghilangkan rasa bersalah pelaku dan stigma negatif yang timbul pada diri pelaku, serta membangun pengertian antar sesama anggota masyarakat dan mendorong hubungan yang harmonis antar warga masyarakat. Pidana bersyarat merupakan salah satu bentuk penerapan sanksi pidana yang diatur dalam pasal 14a sampai dengan 14f KUHP. Pidana bersyarat baru dimasukkan ke dalam WvS Hindia Belanda dengan Staatsblad 1926 No. 251 jo. 486 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari Pidana bersyarat ini dapat dilihat sebagai suatu kebijakan untuk memperlunak penetapan jenis pidana oleh hakim. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan dapat mengurangi sifat kaku dari sistem perumusan tunggal yang merupakan warisan dari aliran klasik. Artinya, apabila hakim dalam menghadapi perumusan tunggal memandang tidak perlu menjatuhkan pidana penjara, maka ada jalan keluarnya yaitu dengan menjatuhkan pidana bersyarat sebagai mana diatur dalam pasal 14a sampai dengan 14f KUHP. Namun adanya ketentuan pidana bersyarat di KUHP Indonesia hari ini masih merupakan suatu masalah, karena ketentuan pidana bersyarat yang selama ini ada dan diharapkan mengurangi sifat kaku dari sistem pidana penjara masih berlaku tidak maksimal. Artinya, apakah ketentuan ini dapat mengurangi penerapan pidana penjara yang hari ini sudah mengalami banyak krisis ketidakpercayaan terhadap pidana penjara. Mengingat hari ini pidana bersyarat merupakan jenis penerapan pidana yang sangat jarang digunakan, karena Pidana bersyarat bukan merupakan jenis pidana pokok sebagaimana tercantum dalam pasal 10 KUHP. Jenis pidana yang sekarang sering digunakan oleh lembaga peradilan kita masih jenis pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara). 14 Barda Nawawi Arief, 2010, log cit, hal. 172

9 9 Ketentuan pidana bersyarat selama ini tidak banyak pengaruhnya terhadap kemungkinan banyaknya pidana penjara yang dijatuhkan oleh hakim. Karena masih banyak kelemahan tentang adanya penerapan dari pidana bersyarat. Seperti telah disampaikan diatas bahwa pidana bersyarat bukan merupakan jenis pidana pokok yang ada dalam KUHP Indonesia. Karena jika kita melihat ketentuan dalam KUHP, pidana bersyarat bukanlah jenis pidana yang berdiri sendiri, tetapi melekat pada sistem pidana penjara. Jadi, pidana bersyarat bukan merupakan jenis altenatif dari sanksi pidana penjara. Istilah pidana bersyarat itu membingungkan dan kurang tepat, karena tidak menentukan syarat untuk penjatuhan pidana, tetapi hanya sekedar menetapkan syarat untuk tidak dilaksanakannya pidana, misal penjara yang sudah dijatuhkan oleh hakim. 15 Pidana bersyarat menurut KUHP pasal 14a hanya dapat diberikan kepada orang yang dijatuhi pidana penjara tidak lebih dari satu tahun, itupun hanya bersifat fakultatif. Tidak ada ketentuan atau pedoman yang mengharuskan hakim menjatuhkan pidana bersyarat dalam hal-hal tertentu. Berdasarkan hal-hal tersebut pemberlakuan pidana bersyarat selama ini perlu ditinjau kembali. Untuk memperlunak atau mengimbangi sistem perumusan pidana penjara yang bersifat imperatif, maka harus ada ketentuan yang memungkinkan pidana bersyarat dijatuhkan secara imperatif dalam hal-hal tertentu. Berdasarkan uraian terkait dengan sanksi pidana tersebut, dengan adanya pidana bersyarat yang diharapkan mampu mengurangi sifat kaku dari pidana penjara selama ini meski dalam pemberlakuan pidana bersyarat tersebut masih mengandung banyak masalah dalam penerapannya. Perkembangan orientasi pemidanan dengan adanya pidana bersyarat tersebut dimana sanksi pidana haruslah seimbang dengan dengan kesalahan dari pelaku. Perkembangan tersebut muncul untuk melindungi pelaku tindak pidana dari kesewenang-wenangan 15 Ibid

10 10 hukum dengan orientasi dari pemidanaan sebagai perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap pelaku. Sistem pemidanaan yang berorentasi pada perlindungan HAM dapat dilihat sebagai sistem pemidanaan yang humanistis atau sistem pemidanaan yang berorentasi pada ide individualisasi pidana, karena HAM berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Perkembangan paradigma pemidanaan dalam hukum pidana di Indonesia hingga hari ini masih berorentasi terhadan pelaku tindak pidana (Individualisasi pidana). Hal itu terlihat sejak diundangkannya Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), perhatian terhadap kedudukan pelaku kejahatan sebagai individu yang mempunyai hak asasi manusia semakin memperoleh perhatian utama. Ide tersebut muncul karena di masa lalu berbagai kritikan terhadap proses pemeriksaan pelaku kejahatan dianggap banyak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Ironisnya, banyaknya materi KUHAP yang mengatur tentang perlindungan pelaku kejahatan tidak diimbangi dengan porsi perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan. Sejatinya perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan dan pelaku kejahatan haruslah seimbang dan tidak dapat dibeda-bedakan. Pergerakan orientasi pemidanaan selanjutnya haruslah mengarah kepada korban kejahatan dan masyarakat tidak hanya sebatas perlindungan terhadap pelaku kejahatan saja. Penyelesaian perkara pidana juga harus memperhatikan korban dan masyarakat yang dirugikan akibat adanya tindak pidana tersebut. Mengingat bahwa korban dalam hukum pidana berada dalam posisi sentral, karena korban adalah orang yang paling dirugikan dengan adanya tindak pidana tersebut. Sehingga sudah seharusnya posisi korban dan masyarakat dalam hukum pidana kita haruslah berada dalam sistem dan juga menjadi tujuan dari pemidanaan untuk dilibatkan dalam proses penyelesaian perkara pidana.

11 11 Penyelesaian perkara pidana diharapkan menguntungkan bagi semua pihak antara pelaku, korban, dan masyarakatpun menjadi wacana yang menarik dalam hukum pidana di Indonesia. Keadilan restoratif (Restoratif Justice) ditawarkan sebagai suatu pendekatan yang dianggap dapat memenuhi tuntutan tersebut. Keadilan restoratif adalah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan korban dan masyarakat yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada saat ini. 16 Keadilan restoratif merupakan konsep yang akan diaplikasikan melalui proses nyata. Sehingga untuk dapat menyatakan proses pendekatan restoratif, maka hal-hal dibawah ini adalah ciri dari proses yang menggunakan pendekatan restoratif. Pemberian sanksi pidana yang tidak hanya sebagai unsur pembalasan bagi pelaku tindak pidana. Namun pidana itu juga harus memuat unsur pencegahan, rehabilitasi, usaha yang ditujukan untuk menghilangkan rasa bersalah pelaku dan stigma negatif yang timbul pada diri pelaku, serta membangun pengertian antar sesama anggota masyarakat dan mendorong hubungan yang harmonis antar warga masyarakat. Salah satu yang menarik dalam penelitian ini, apakah keadilan restoratif yang digunakan dalam penyelesaian perkara pidana merupakan salah satu teori pemidanaan ataukah hanya khasanah baru yang memperkaya teori pemidanaan yang telah ada?. Prinsip dasar penyelesaian perkara menggunakan keadilan restoratif pada dasarnya terfokus pada upaya mentransformasikan kesalahan yang dilakukan pelaku dengan upaya perbaikan. Dari uraian tersebut pendekatan keadilan reatoratif setidaknya juga tergambarkan dalam konsep pidana bersyarat yang diatur KUHP pasal 14a sampai dengan pasal 14f sebagai upaya untuk menguangi sifat kaku dari pidana penjara, selain itu juga memiliki tujuan memberi kesempatan terhadap terpidana untuk memperbaiki dirinya di 16 Eva Achjani Zulfa, op cit, Hal 65.

12 12 masyarakat dan pihak korban untuk mendapatkan ganti kerugian atasa terjadinya perbuatan pidana. Pidana bersyarat juga memungkinkan terpidana untuk melanjutkan kehidupannya sehari-hari sebagai manusia yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dimasyarakat. Dalam hal pemberian pidana bersyarat juga mempertimbangkan seberapa jauh unsur-unsur pokok kehidupan masyarakat memperoleh manfaat dari pemberian pidana bersyarat tersebut. Peningkatan pemidanaan yang tidak hanya memuat unsur pembalasan namun menggunakan pendekatan restoratif setidaknya juga ada dalam bentuk pidana bersyarat yang sudah tertuang dalam KUHP kita yang merupakan bentuk penerapan dari pidana sebagai alternatif pemidanaan terhadap jenis pidana yang hanya sebagai unsur pembalasan dan paksaan terhadap pelaku tindak pidana dalam rangka mengeliminir dampak negatif yang ditimbulkan oleh pidana itu sendiri. Pembaharuan hukum pidana yang menyangkut salah satu masalah utama di dalam hukum pidana berupa lembaga ini, tidak terlepas dari pengaruh perkembangan teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Disamping itu, perlu kiranya adanya pemikiran tentang tujuan pemidanaan di Indonesia yang sesuai dengan filsafat kehidupan bangsa Indonesia yang bersendikan pancasila dan Undang-undang Dasar Pidana bersyarat merupakan faktor yang mempengaruhi proses hukum pidana berperikemanusiaan dengan pendekatan keadilan restorarif. Dalam ketentuan Pasal 14 a KUHP secara garis besar menyebutkan, bahwa terhadap terpidana yang akan dijatuhi pidana penjara kurang dari 1 (satu) tahun, kurungan bukan pengganti denda dan denda yang tidak dapat dibayar oleh terpidana dapat diganti dengan pidana bersyarat. Dengan demikian terhadap pelaku tindak pidana/terdakwa telah ada penjatuhan pidana secara pasti, yang pelaksanaannya ditunda dengan bersyarat. Selain itu di dalam pasal 14c KUHP ditentukan bahwa disamping syarat umum terpidana tidak akan melakukan

13 13 perbuatan pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu yang lebih pendek dari masa percobaan, harus mengganti segalan kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pidananya. Syarat-syarat tersebut tidak boleh mengurangi kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik bagi terpidana. 17 persoalan pemidanaan atau penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan bukanlah sekedar proses memasukkan pelaku ke penjara atau hanya sebagai pembalasan dengan paksaan terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Hukum pidana yang baik tidak lepas dari usaha penanggulangan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat sebagai upaya mempositifkan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat, sehingga tidak hanya berpegang pada pandangan yuridis belaka namun juga secara fungsional. Berdasarka hal tersebut hakim dituntut untuk dapat mengambil keputusan secara tepat dan memenuhi rasa keadilan, baik bagi masyarakat maupun diri terdakwa. Penggunaan sanksi pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana yank tidak bersifat jahat atau bagi tindak pidana ringan, akan menunjang pelaksanaan hukum pidana berperikemanusiaan, karena sanksi pidana tidak hanya melindungi masyarakat, tetapi harus pula membina si pelanggar. Berdasarkan dasar pemikiran yang telah diuraikan diatas, maka penulis mencoba mencari solusi dari permasalahan di atas dalam proses pembaharuan hukum pidana di Indonesia dalam rangka pentusunan Tugas Akhir ini dengan judul : Reorientasi Dan Reformulasi Pidana Bersyarat Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia Sebagai Upaya Mewujudkan Nilai-Nilai Keadilan Restoratif Menuju Paradigma Pemidanaan Yang Berperikemanusiaan 17 Ibid. Hal. 7

14 14 B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan pada pemikiran dan uraian di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaiman Reorentasi pidana bersyarat dalam hukum pidana di Indonesia berdasarkan perkembangan paradigma pemidanaan yang berperikemanusiaan? 2. Sejauhmana pidana bersyarat mewujudkan nilai-nilai keadilan restoratif dalam perkembangan paradigma pemidanaan yang berperikemanusiaan? 3. Bagaimana prospek pengaturan pidana bersyarat dalam hukum pidana di Indonesia? C. Tujuan Penulisan Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui urgensi Reorentasi pidana bersyarat dalam hukum pidana di Indonesia berdasarkan perkembangan paradigma pemidanaan yang berperikemanusiaan. 2. Untuk mengetahui sejauh mana Pidana Bersyarat dalam mewujudkan nilai-nilai keadilan restoratif dalam perkembangan paradigma pemidanaan yang berperikemanusiaan. 3. Untuk mengetahui prospek pengaturan pidana bersyarat dalam hukum pidana di Indonesia di masa depan. D. Manfaat Penulisan Berdasarkan tujuan penulisan hukum diatas, maka penulis mengklasifikasikan manfaat penelitian sebagai berikut : D. 1. Secara Teoretis Sebagai usaha untuk menambah dan memperluas pengetahuan dalam hal pidana bersyarat dalam mewujudkan nilai-nilai keadilan restoratif, khususnya terkait dengan

15 15 perkembangan paradigma pemidanaan yang berperikemanusiaan melalui konsep pidana bersyarat dan keadilan restoratif dimana dalam penelitian ini mencoba untuk memadukan antara dua konsep yang ada dalam KUHP yaitu pidana bersyarat dan konsep terkait dengan perkembangan pemikiran baru dalam hukum pidana berupa keadilan restoratif. D. 2. Secara Praktis a. bagi masyarakat, sebagai proses transformasi kepada masyarakat untuk mengetahui pidana bersyarat dalam mewujudkan nilai-nilai keadilan restoratif menuju paradigma pemidanaan yang berperikemanusiaan. Dengan ide itu juga mencoba untuk menggambarkan bahwa pidana tidak semata-mata sebagai pembalasan terhadap pelaku tindak pidana. b. bagi pemerintah, DPR RI, dan lembaga-lembaga penegakan hukum, sebagai masukan bagi masing-masing lembaga tersebut agar mampu merumuskan dan menjalankan peraturan tersebut serta mampu memberikan solusi terkait masalah pemidanaan agar tidak hanya semata-mata sebagai alat pembalasan, namun pemidanaan yang berperikemanusiaan. c. bagi penulis, yaitu untuk menambah pembendaharaan keilmuan penulis terkait dengan pidana bersyarat dan keadilan restoratif dalam menuju paradigma pemidanaan yang berperikemanusiaan, secara khusus penulisan ini untuk menyelesaikan syarat kelulusan studi strata satu sarjana hukum di Universitas Muhammadiyah Malang. E. Metode Penulisan E.1. Metode Pendekatan Dalam penulisan ini, penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang objek kajiannya meliputi ketentuan-ketentuan perundan-undangan serta literatur-literatur bacaan yang berhubungan dengan penulisan ini.

16 16 E. 2. Jenis atau Bahan Hukum Data yang hendak didapatkan untuk menopang hasil penelitian ini adalah data primer, sekunder, dan data tersier, yaitu: a. Bahan-bahan Primer Berupa bahan hukum primer yang didapatkan dari sumber perundang-undangan, yaitu peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar bekerjanya jenis pidana bersyarat khususnya pasal 14 huruf a sampai f KUHP. b. Bahan-bahan Sekunder Berupa bahan hukum yang bersumber dari buku-buku literatur yang berhubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan masalah yang diteliti. Bahan hukum ini didapatkan melalui studi kepustakaan, dokumen, konsep rancangan undang-undang khususnya Konsep KUHP Baru, pendapat para ahli hukum, hasil-hasil penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya yang berkaitan dengan masalah pidana bersyarat dan keadilan restoratif serta pemidanaan yang berperikemanusiaan. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain. E. 3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pada penulisan ini yang digunakan adalah model studi kepustakaan (library research), yang dimaksud dengan studi kepustakaan adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta

17 17 dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif, 18 yaitu penulisan yang didasarkan pada data-data yang dijadikan objek penelitian, seperti buku-buku pustaka, majalah, artikel, surat kabar, buletin, tentang segala hal yang sesuai dengan skripsi ini yang akan disusun dan dikaji secara komprehensif. F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang digunakan oleh penulis dalam skripsi ini terdiri dari 4 (empat) bab yang tersusun secara berurutan mulai dari Bab I sampai dengan Bab IV, secara garis besar diuraikan sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Berisi tentang latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Berisi tentang tinjauan umum yang berkaitan dengan topik dari penelitian ini, yaitu pidana bersyarat dalam mewujudkan keadilan restoratif dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Berkaitan dengan topik tersebut, pada awal bab akan diuraikan tentang Pidana dan Pemidanaan, Selanjutnya dipaparkan tentang teori-teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan dan perkembangannya sampai saat ini serta teori-teori terkait dengan keadilan restoratif. Sub bab berikutnya menjelaskan tentang pengertian dan ruang lingkup kebijakan hukum pidana dilanjutkan sub bab yang menggambarkan urgensi mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan yang di dalamnya juga dicantumkan adanya kritik-kritik terhadap pidana penjara. BAB III PEMBAHASAN 18 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal 81

18 18 1. Dalam bab ini akan diuraikan hasil pembahasan dari analisa data dengan permasalahan : 1) Reorentasi pidana bersyarat dalam hukum pidana di Indonesia berdasarkan perkembangan paradigma pemidanaan yang berperikemanusiaan? 2) Sejauhmana Pidana Bersyarat mewujudkan nilai-nilai Keadilan Restoratif dalam Perkembangan Paradigma Pemidanaan yang Berperikemanusiaan? dan 3) Bagaimana prospeksi pengaturan pidana bersyarat dalam hukum pidana di Indonesia? BAB IV PENUTUP Penelitian ini akan diakhiri dengan Bab IV yang merupakan Penutup yang di dalamnya akan ditarik kesimpulan tentang permasalahan dalam penelitian ini dan diberikan beberapa saran pemecahannya.

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena dilihat dari sudut efektivitasnya maupun dilihat dari akibat negatif lainnya yang menyertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak hanya menyangkut masalah substansinya saja, akan tetapi selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di Indonesia adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kebijakan Kriminal Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena keterbiasaanya terdapat semacam kerancuan atau kebingungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan republik indonesia memproklamasikan kemerdekaannya

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan republik indonesia memproklamasikan kemerdekaannya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan republik indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 yang merupakan awal dari kebangkitan masyarakat atau bangsa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Usaha penanggulangan kejahatan, secara operasional dapat dilakukan melalui sarana penal maupun non penal. Menurut Muladi

Lebih terperinci

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Judul : UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 Disusun oleh : Ade Didik Tri Guntoro NPM : 11100011 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA. Oleh : Iman Hidayat

PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA. Oleh : Iman Hidayat PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA Oleh : Iman Hidayat ABSTRAK Secara yuridis konstitusional, tidak ada hambatan sedikitpun untuk menjadikan hukum adat sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam hukum pidana dikenal adanya sanksi pidana berupa kurungan, penjara, pidana mati, pencabutan hak dan juga merampas harta benda milik pelaku tindak pidana.

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SKRIPSI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA BERSYARAT SERTA PENGAWASAN PELAKSANAANYA DALAM KASUS PEMBERIAN UPAH KARYAWAN DI BAWAH UPAH MINIMUM (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) Disusun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini telah berjalan dalam suatu koridor kebijakan yang komprehensif dan preventif. Upaya pencegahan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa cita-cita Negara Indonesia ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) merupakan bagian dari pidana pokok dalam jenis-jenis pidana sebagaimana diatur pada Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu pada hukum.namun dilihat dari sudut hukum, hak dan kewajiban secara individual selalu berkonotasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001, hlm , hlm Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hlm.

BAB I PENDAHULUAN. 2001, hlm , hlm Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hlm. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana di Indonesia saat ini merupakan peninggalan zaman kolonial belanda dan Prancis 1 yang sudah kurang relevan untuk menyelesaikan berbagai macam permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum,

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dihukum 5 (lima) tahun penjara. Pembandingnya adalah para koruptor di republik

BAB I PENDAHULUAN. dihukum 5 (lima) tahun penjara. Pembandingnya adalah para koruptor di republik 8 A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Mencuri 3 buah kakao dihukum 1,5 bulan penjara, mencuri semangka dihukum 5 (lima) tahun penjara. Pembandingnya adalah para koruptor di republik ini, berdasarkan putusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah,

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2 Abstrak Penelitian ini mengkaji mengenai kebijakan hukum pidana terutama kebijakan formulasi

Lebih terperinci

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta 1 UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. LATAR BELAKANG Kejahatan narkotika yang sejak lama menjadi musuh bangsa kini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala

Lebih terperinci

KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN SPAMMING MELALUI MEDIA SOSIAL DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TETANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN SPAMMING MELALUI MEDIA SOSIAL DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TETANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN SPAMMING MELALUI MEDIA SOSIAL DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TETANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK Oleh : Shah Rangga Wiraprastya Made Nurmawati Bagian Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara hukum dalam berbangsa

Lebih terperinci

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) maka pidana menempati suatu posisi sentral. Hal ini disebabkan karena keputusan di dalam pemidanaan mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga diikuti dengan berkembangnya permasalahan yang muncul di masyarakat. Perkembangan

I. PENDAHULUAN. juga diikuti dengan berkembangnya permasalahan yang muncul di masyarakat. Perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan zaman tidak hanya merupakan perkembangan di bidang teknologi semata melainkan juga diikuti dengan berkembangnya permasalahan yang muncul di masyarakat. Perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) berlandaskan keadilan dan. kebenaran adalah mengembangkan budaya hukum di semua lapisan

BAB I PENDAHULUAN. supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) berlandaskan keadilan dan. kebenaran adalah mengembangkan budaya hukum di semua lapisan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu arah kebijaksanaan yang harus ditempuh khususnya dalam rangka mewujudkan sistim hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Undang- Undang dasar 1945 hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan Narkotika dan Psikotrapika, merupakan kejahatan kemanusiaan yang berat, yang mempunyai dampak luar biasa, terutama pada generasi muda suatu bangsa

Lebih terperinci

PROSPEK PIDANA KERJA SOSIAL DI INDONESIA

PROSPEK PIDANA KERJA SOSIAL DI INDONESIA PROSPEK PIDANA KERJA SOSIAL DI INDONESIA Shinta Rukmi, SH. MHum. Dosen Fakultas Hukum Unisri Surakarta Abstract : Community Service order is a new criminal, and it is a rehabilitation to narapidana. The

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. A. Reorentasi pidana bersyarat dalam hukum pidana di Indonesia berdasarkan

BAB III PEMBAHASAN. A. Reorentasi pidana bersyarat dalam hukum pidana di Indonesia berdasarkan 170 BAB III PEMBAHASAN A. Reorentasi pidana bersyarat dalam hukum pidana di Indonesia berdasarkan perkembangan paradigma pemidanaan yang berperikemanusiaan Hukum pidana merupakan hukum publik yang berlaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 berusaha untuk benar-benar menjunjung tinggi hak asasi manusia, negara akan menjamin

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP)

REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP) REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP) Subaidah Ratna Juita Fakultas Hukum, Universitas Semarang email: ratna.shmh@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. penerapannya dilakukan secara kumulatif.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. penerapannya dilakukan secara kumulatif. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Korupsi sudah berkembang di lingkungan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal ini jelas sangat merugikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan kondisi aktual yang belakangan ini telah menjadi perhatian bagi

I. PENDAHULUAN. Perkembangan kondisi aktual yang belakangan ini telah menjadi perhatian bagi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan kondisi aktual yang belakangan ini telah menjadi perhatian bagi masyarakat luas di tanah air, yaitu perihal Mafia Peradilan. Mafia Peradilan atau sebutan

Lebih terperinci

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan 1 Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk FH USI Di satu sisi masih banyak anggapan bahwa penjatuhan pidana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu masalah yang ada di dalam kehidupan masyarakat, baik dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang berbudaya modern

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala kemungkinan yang dapat merusak baik fisik, mental dan spiritual anak.

BAB I PENDAHULUAN. segala kemungkinan yang dapat merusak baik fisik, mental dan spiritual anak. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kelangsungan hidup manusia dan merupakan kunci pokok keberlangsungan hidup bangsa dan negara. 1 Anak-anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak mempunyai permasalahan atau berhadapan dengan hukum berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial sesuai dengan apa yang termuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional sepertinya belum mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini terlihat dari sedikitnya hak-hak korban

Lebih terperinci

PIDANA PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA. Oleh : I Made Ardian Prima Putra Marwanto

PIDANA PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA. Oleh : I Made Ardian Prima Putra Marwanto PIDANA PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA Oleh : I Made Ardian Prima Putra Marwanto Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Udayana Abstract Titles in this writing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tindak pidana dan pemidanaan merupakan bagian hukum yang selalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tindak pidana dan pemidanaan merupakan bagian hukum yang selalu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana dan pemidanaan merupakan bagian hukum yang selalu hangat untuk diperbincangkan dari masa ke masa, hal ini disebabkan karakteristik dan formulasinya terus

Lebih terperinci

Tujuan studi ini adalah untuk: (1) mengidentifikasi dan mendeskripsikan praktik pemberian maaf dalam proses penyelesaian perkara pidana di Indonesia;

Tujuan studi ini adalah untuk: (1) mengidentifikasi dan mendeskripsikan praktik pemberian maaf dalam proses penyelesaian perkara pidana di Indonesia; RINGKASAN Sistem peradilan pidana hingga saat ini masih merupakan instrumen penting sebagai sarana penanggulangan kejahatan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Namun demikian di dalam praktek penegakan

Lebih terperinci

itu asas-asas dan dasar-dasar tata hukum MEMBANGUN SISTEM HUKUM PIDANA YANG pidana dan hukum pidana colonial MENJUNJUNG TINGGI NILAI-NILAI KEADILAN

itu asas-asas dan dasar-dasar tata hukum MEMBANGUN SISTEM HUKUM PIDANA YANG pidana dan hukum pidana colonial MENJUNJUNG TINGGI NILAI-NILAI KEADILAN itu asas-asas dan dasar-dasar tata hukum MEMBANGUN SISTEM HUKUM PIDANA YANG pidana dan hukum pidana colonial MENJUNJUNG TINGGI NILAI-NILAI KEADILAN Haryono* ABSTRAK Sistem hukum Indonesia adalah sistem

Lebih terperinci

: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Judul : MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK Disusun oleh : Hadi Mustafa NPM : 11100008 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Tujuan Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat selalu merasakan adanya gejolak dan keresahan di dalam kehidupan sehari-harinya, hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara yuridis formal pemberlakuan hukum pidana Belanda di Indonesia didasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Secara yuridis formal pemberlakuan hukum pidana Belanda di Indonesia didasarkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang saat ini berlaku di Indonesia merupakan hukum warisan penjajahan Belanda yang berdasarkan asas konkordansi diberlakukan di Indonesia. Secara yuridis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan dan hendak dilaksanakan oleh bangsa ini tidak hanya hukum

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan dan hendak dilaksanakan oleh bangsa ini tidak hanya hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia oleh bangsa ini sudah mulai dilaksanakan sejak Indonesia merdeka. Pembaharuan hukum pidana yang diterapkan dan hendak dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan

BAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan abad ke-21 ini, baik secara nasional maupun internasional. Hak Asasi Manusia telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap masyarakat agar keseimbangan

I. PENDAHULUAN. peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap masyarakat agar keseimbangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum pada dasarnya bersifat mengatur atau membatasi setiap tindakan yang dilakukan oleh setiap masyarakat (individu). Pada garis besarnya hukum merupakan peraturan-peraturan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik berwenang melakukan penahanan kepada seorang tersangka. Kewenangan tersebut diberikan agar penyidik dapat melakukan pemeriksaan secara efektif dan efisien

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu mengalami perkembangan diberbagai bidang. Perkembangan yang diawali niat demi pembangunan nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran baru mengenai pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tapi juga merupakan suatu usaha

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Hal ini didasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kesehatan penting untuk menunjang program kesehatan lainnya. Pada saat ini

I. PENDAHULUAN. kesehatan penting untuk menunjang program kesehatan lainnya. Pada saat ini I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan kesehatan adalah suatu usaha atau kegiatan untuk membantu individu, keluarga dan masyarakat dalam meningkatkan kemampuannya untuk mencapai kesehatan secara optimal.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indie (Kitab Undang Undang Hukum pidana untuk orang orang. berlaku sejak 1 januari 1873 dan ditetapkan dengan ordonasi pada tanggal

BAB I PENDAHULUAN. Indie (Kitab Undang Undang Hukum pidana untuk orang orang. berlaku sejak 1 januari 1873 dan ditetapkan dengan ordonasi pada tanggal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejarah kepenjaraan 1 di Hindia Belanda dimulai tahun 1872 dengan berlakunya wetboekvan strafrescht de inlanders in Nederlandsch Indie (Kitab Undang Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN (Pengantar Diskusi) Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. 1 A. NDAHULUAN Undang-undang tentang Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undangundang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang mengedepankan hukum seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 dalam Pasal 1 ayat 3 sebagai tujuan utama mengatur negara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan semata

BAB I PENDAHULUAN. atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan semata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum, penegasan ini secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun

Lebih terperinci

hukum terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur

hukum terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana pencurian dapat diproses melalui penegakan hukum. Penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur didalam ketentuan

Lebih terperinci

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas tercantum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup berkembang di kalangan masyarakat. Konsumen minuman keras tidak hanya orang dewasa melainkan juga

Lebih terperinci

RANCANGAN. : Ruang Rapat Komisi III DPR RI : Pembahasan DIM RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN. : Ruang Rapat Komisi III DPR RI : Pembahasan DIM RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahkluk sosial yang artinya manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda, dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. terdahulu, maka penulis menyimpulkan beberapa hal yaitu :

BAB III PENUTUP. terdahulu, maka penulis menyimpulkan beberapa hal yaitu : 77 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, baik itu penelitian kepustakaan maupun wawancara serta analisis yang telah penulis lakukan dalam babbab terdahulu, maka penulis menyimpulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai subsistem sosial menempati posisi penting dalam eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha membangun sistem hukum

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Oleh : Wahab Ahmad, S.HI., SH (Hakim PA Tilamuta, Dosen Fakultas Hukum UG serta Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

KETERANGAN PRESIDEN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA Jakarta, 6 Maret 2013 Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam sejahtera bagi kita semua, Saudara Pimpinan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan

Lebih terperinci

BAB III PIDANA BERSYARAT

BAB III PIDANA BERSYARAT 36 BAB III PIDANA BERSYARAT A. Pengertian Pidana Bersyarat Pidana bersyarat yang biasa disebut dengan pidana perjanjian atau pidana secara jenggelan, yaitu menjatuhkan pidana kepada seseorang akan tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembinaan narapidana yang didasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. pembinaan narapidana yang didasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sistem pemasyarakatan di Indonesia merupakan suatu proses pembinaan narapidana yang didasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sistem pemasyarakatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pidana di negara kita selain mengenal pidana perampasan kemerdekaan juga mengenal pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang. Pidana yang berupa pembayaran

Lebih terperinci

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO)

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO) PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan negara

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan negara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk menjaga harkat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia merupakan negara hukum, hal ini tertuang pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia merupakan negara hukum, hal ini tertuang pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara hukum, hal ini tertuang pada Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. 1 Masuknya ketentuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perbuatan dan Sifat melawan Hukum I. Pengertian perbuatan Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap gerak otot yang dikehendaki,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan menimbulkan korban. Korban/saksi dapat berupa pelaku tindak pidana yaitu: seorang Korban/saksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap

BAB I PENDAHULUAN. Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap orang yang hidup di dunia ini. Oleh karena itu untuk mewujudkan tujuan tersebut perlu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA POLITIK. Abstrak

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA POLITIK. Abstrak KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA POLITIK Dian Rahadian 1, Nyoman Serikat Putra Jaya 2 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis kebijakan hukum pidana dalam

Lebih terperinci