BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Kemampuan Berpikir Kritis Sebelum Pembelajaran

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Kemampuan Berpikir Kritis Sebelum Pembelajaran"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Kemampuan Berpikir Kritis Sebelum Pembelajaran Sebelum pembelajaran dengan menggunakan metode Guided Inquiry, siswa diberikan tes berupa soal uraian untuk mengetahui kemampuanan berpikir kritis awal siswa. Hasil pengolahan data tes tersebut menunjukan hasil sebagai berikut: Rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa sebelum pembelajaran menggunakan metode Guided Inquiry adalah sebesar 44,05% yang termasuk ke dalam kategori kurang Lampiran 5.1. Persentase berpikir kritis siswa tertinggi yaitu sebesar 59% yang termasuk ke dalam kategori cukup, sedangkan kategori kemampuan berpikir kritis siswa terendah sebesar 25% termasuk ke dalam kategori jelek. Adapun data lengkap untuk uraian tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5.1 dan dapat diinterpretasikan ke dalam bentuk diagram sebagai berikut: 29% 18% Cukup Kurang Jelek 53% Gambar 4.1 Persentase Kemampuan Berpikir Kritis Sebelum Pembelajaran 54

2 55 Bila kemampuan berpikir kritis awal siswa dilihat secara keseluruhan, maka sebanyak 18% siswa dari 39 orang siswa memiliki kemampuan berpikir kritis cukup, 29% siswa masih memiliki kemampuan berpikir kritis jelek, dan sisanya sebanyak 53% memiliki kemampuan berpikir kritis kurang. Tabel 4.1 Persentase Kemampuan Berpikir Kritis Sebelum Pembelajaran pada Setiap Indikator dan Sub Indikator Kemampuan Berpikir Kritis Indikator Berpikir Kritis Elementary Clarification (memberi penjelasan sederhana) Basic Suport (membangun keterampilan dasar) Inference (menyimpulkan) Advanced clarification (membuat penjelasan lebih lanjut) Strategies and Tactics (strategi dan taktik) No. Sub-Indikator Berpikir Kritis Kemampuan Berpikir kritis Kategori 1. Memfokuskan pertanyaan. 37% Jelek 2. Menganalisis argumen. 40% Kurang 3. Bertanya dan menjawab 49% Kurang pertanyaan klarifikasi dan pertanyaan yang menantang. 4. Menyesuaikan dengan 51% Kurang sumber. 5. Mengobservasi dan 60% Cukup observasi. 6. Membuat deduktif dan 68% Cukup deduktif. 7. Membuat induktif dan 39% Jelek induktif. 8. Membuat dan 67% Cukup keputusan. 9. Membuat definisi dari 39% Jelek suatu istilah dan mempertimbangkan definisi. 10. Mengidentifikasi asumsi. 49% Kurang 11. Memutuskan suatu 52% Kurang tindakan. 12. Berinteraksi dengan orang 46% Kurang lain.

3 56 Selain persentase kemampuan berpikir kritis awal tiap siswa, hasil pretest juga menunjukkan kemampuan berpikir kritis awal siswa pada setiap subindikator berpikir kritis. Persentase kemampuan berpikir kritis siswa tertinggi sebesar 68% yang termasuk kategori cukup pada subindikator membuat deduktif dan deduktif, sedangkan persentase kemampuan berpikir kritis terendah yaitu sebesar 37% termasuk ke dalam kategori jelek pada subindikator membuat pertanyaan. Untuk data lebih jelas dapat dilihat pada Tabel Kemampuan Berpikir Kritis Setelah Pembelajaran Setelah pembelajaran dengan menggunakan metode Guided Inquiry, siswa diberi soal uraian yang sama dengan soal yang diberikan saat pretest untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis akhir siswa. Hasil pengolahan data soal uraian yang telah diberikan kepada siswa dapat dilihat pada Lampiran 5.2. Berdasarkan data pada Tabel Lampiran 5.2, tampak bahwa rata-rata persentaseberpikir kritis akhir siswa adalah sebesar 71,61%. Nilai ini menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa setelah perlakuan (pembelajaran dengan metode Guided Inquiry) berada dalam kategori cukup. Persentase berpikir kritis tertinggi diraih oleh dua orang siswa dengan persentase sebesar 86% yang termasuk ke dalam kategori baik, sedangkan persentase kemampuan berpikir kritis siswa terendah diraih oleh satu orang siswa dengan persentase sebesar 63% yang termasuk ke dalam kategori cukup. Berdasarkan pada data tabel 4.3, dapat diinterpretasikan ke dalam bentuk diagram sebagai berikut:

4 57 Baik 46% Cukup 54% Gambar 4.2 Persentase Kemampuan Berpikir Kritis Setelah Pembelajaran Berdasarkan gambar 4.2, hasil tes kemampuan berpikir kritis siswa akhir menunjukkan bahwaa sebanyak 54% siswa dari 39 siswa memiliki kemampuan berpikir ktitis cukup, dan sisanya yaitu sebanyak 46% memiliki kemampuan berpikir kritis baik. Kemampuan berpikir kritis siswa dalam kategori kurang maupun jelek telah berkembang menjadi baik atau cukup, sehingga pada data hasil penelitian tidak ditemukan kemampuan berpikir kritis berkategori kurang maupun jelek. Persentase kemampuan berpikir kritis siswa pada setiap indikator dan sub- 88% yang indikator berpikir kritis berdasarkan hasil posttest teringgi yaitu sebesar termasuk ke dalam kategori baik pada sub-indikator mengobservasi dan observasi, sedangkan persentase kemampuan berpikir kritis terendah yaitu sebesar 68% termasuk ke dalam kategori cukup pada sub- indikator membuat induktif dan induktif. Data-data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:

5 58 Tabel 4.2 Persentase Kemampuan Berpikir Kritis Setelah Pembelajaran pada Setiap Indikator dan SubIndikator Kemampuan Berpikir Kritis Indikator Berpikir Kritis Elementary Clarification (memberi penjelasan sederhana) Basic Suport (membangun keterampilan dasar) Inference (menyimpulkan) Advanced clarification (membuat penjelasan lebih lanjut) Strategies and Tactics (strategi dan taktik) No. Sub-Indikator Berpikir Kritis Kemampuan Berpikir kritis Kategori 1. Memfokuskan pertanyaan. 74% Cukup 2. Menganalisis argumen. 71% Cukup 3. Bertanya dan menjawab 76% Baik pertanyaan klarifikasi dan pertanyaan yang menantang. 4. Menyesuaikan dengan sumber. 74% Cukup 5. Mengobservasi dan 88% Baik observasi. 6. Membuat deduktif dan 85% Tinggi deduktif. 7. Membuat induktif dan 68% Cukup induktif. 8. Membuat dan 78% Baik keputusan. 9. Membuat definisi dari suatu 69% Cukup istilah dan mempertimbangkan definisi. 10. Mengidentifikasi asumsi. 73% Cukup 11. Memutuskan suatu tindakan. 71% Cukup 12. Berinteraksi dengan orang lain. 72% Cukup 3. Perubahan Kemampuan Berpikir kritis Siswa Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa terdapat perubahan kemampuan berpikir kritis siswa sebesar 27,56% setelah pembelajaran dengan menggunakan metode Guided Inquiry, dimana rata-rata kemampuan berpikir kritis awal siswa yang didapat dari hasil pretest sebesar 44,05%, sedangkan ratarata kemampuan berpikir kritis akhir siswa yang didapat dari hasil posttest adalah

6 59 sebesar 71,61%. Adapun grafik perbandingan persentase rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa awal dan akhir adalah sebagai berikut: 100% 50% 0% 44% 71% Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Pre test Post test Gambar 4.3 Perbandingan Persentase Rata-rata Kemampuan Berpikir kritis Sebelum dan Setelah Pembelajaran Perubahan kemampuan berpikir kritis siswa dengan menggunakan metode Guided Inquiry dapat dilihat berdasarkan Indeks Gain pada tabel berikut ini: Tabel 4.3 Indeks Gain Kemampuan Berpikir Kritis Siswa No. Gain Indeks Keterangan Siswa Gain ,50 Sedang ,44 Sedang ,52 Sedang ,48 Sedang ,47 Sedang ,59 Sedang ,51 Sedang ,46 Sedang ,64 Sedang ,91 Tinggi ,41 Sedang ,52 Sedang ,51 Sedang ,63 Sedang ,54 Sedang ,45 Sedang ,53 Sedang ,61 Sedang ,56 Sedang ,54 Sedang ,52 Sedang No. Gain Indeks Keterangan Siswa Gain ,51 Sedang ,66 Sedang ,49 Sedang ,46 Sedang ,53 Sedang ,58 Sedang ,39 Sedang ,50 Sedang ,44 Sedang ,59 Sedang ,54 Sedang ,54 Sedang ,56 Sedang ,52 Sedang ,57 Sedang ,44 Sedang ,42 Sedang ,59 Sedang ,67 - x 29,36 0,53 Sedang

7 60 Tabel 4.3 menunjukkan rata-rata indeks Gain kemampuan berpikir kritis siswa yaitu sebesar 0,53 yang termasuk ke dalam kategori sedang. Indeks Gain siswa tertinggi yaitu sebesar 0,91 yang termasuk ke dalam kategori tinggi, sedangkan indeks Gain siswa terendah yaitu sebesar 0,39 termasuk ke dalam kategori sedang. Jika persentase indeks Gain kemampuan berpikir kritis siswa dilihat secara keseluruhan, maka sebanyak 0,25% siswa memiliki indeks Gain dengan kategori tinggi dan sebanyak 99,75% siswa dikategorikan memiliki indeks Gain kemampuan berpikir kritis sedang. Tabel 4.4 Perbandingan Persentase Rata-rata Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Sebelum dan Setelah Pembelajaran pada Setiap Indikator dan Subindikator Kemampuan Berpikir Kritis Indikator Berpikir Kritis Elementary Clarification (memberi penjelasan sederhana) Basic Suport (membangun keterampilan dasar) Inference (menyimpulkan) Advanced clarification (membuat penjelasan No. Sub-Indikator Berpikir Kritis Pretest (%) Posttest (%) 1. Memfokuskan pertanyaan Menganalisis argumen Bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi dan pertanyaan yang menantang Menyesuaikan dengan sumber. 5. Mengobservasi dan observasi. 6. Membuat deduktif dan deduktif. 7. Membuat induktif dan induktif. 8. Membuat dan keputusan. 9. Membuat definisi dari suatu istilah dan mempertimbangkan definisi. 10. Mengidentifikasi asumsi

8 61 lebih lanjut) Strategies and Tactics (strategi dan taktik) 11. Memutuskan suatu tindakan Berinteraksi dengan orang lain. Persentase rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa berbeda sebelum dan sesudah pembelajaran pada setiap indikator dan subindikator. Berdasarkan Tabel 4.4, semua subindikator mengalami kenaikan. Subindikator pertama (memfokuskan pertanyaan) mengalami kenaikan sebesar 100%, subindikator kedua (menganalisis argument) mengalami kenaikan 77%, subindikator ketiga (bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi dan pertanyaan yang menantang) mengalami kenaikan sebesar 55%, subindikator keempat (menyesuaikan dengan sumber) mengalami kenaikan sebesar 45%, subindikator kelima (mengobservasi dan observasi) mengalami kenaikan sebesar 47%. Selanjutnya, subindikator keenam (membuat deduktif dan deduktif) mengalami kenaikan sebesar 25%, subindikator ketujuh (membuat induktif dan induktif) mengalami kenaikan sebesar 74%, sub indikator kedelapan (membuat dan keputusan) mengalami kenaikan sebesar 16%, subindikator kesembilan (membuat definisi dari suatu istilah dan mempertimbangkan definisi) mengalami kenaikan sebesar 77%, subindikator ke- 10 mengalami kenaikan sebesar 49%, subindikator ke-11 (memutuskan suatu tindakan) mengalami kenaikan sebesar 36%, subindikator ke-12 (berinteraksi dengan orang lain) mengalami kenaikan sebesar 56%. Jika dilihat secara keseluruhan subindikator, subindikator kedelapan yaitu membuat dan

9 62 keputusan mengalami peningkatan paling kecil, sedangkan subindikator pertama yaitu memfokuskan pertanyaan mengalami kenaikan paling tinggi diantara yang lainnya. Persentase rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa awal dan akhir pada setiap indikator dan subindikator dihitung indeks Gainnya. Berdasarkan Tabel 4.5, dapat dilihat bahwa subindikator kemampuan berpikir kritis siswa yang masuk pada kategori tinggi adalah mengobservasi dan observasi dengan indeks Gain 0,70. Subindikator tersebut masuk ke dalam indikator Basic Suport (membangun keterampilan dasar). Selain subindikator tersebut, semua indikator kemampuan berpikir kritis yang lain memiliki indeks Gain dalam kategori sedang. Tabel 4.5 Indeks Gain Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada setiap Indikator dan Subindikator Kemampuan Berpikir Kritis Indikator Berpikir Kritis Elementary Clarification (memberi penjelasan sederhana) Basic Suport (membangun keterampilan dasar) Inference (menyimpulkan) No. Sub-Indikator Berpikir Kritis Indeks Gain Kategori 1. Memfokuskan pertanyaan. 0,59 Sedang 2. Menganalisis argumen. 0,52 Sedang 3. Bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi dan pertanyaan yang menantang. 0,53 Sedang 4. Menyesuaikan dengan 0,47 Sedang sumber. 5. Mengobservasi dan 0,70 Tinggi observasi. 6. Membuat deduktif dan 0,53 Sedang deduktif. 7. Membuat induktif dan 0,48 Sedang induktif. 8. Membuat dan 0,34 Sedang

10 63 Indikator Berpikir Kritis Advanced clarification (membuat penjelasan lebih lanjut) Strategies and Tactics (strategi dan taktik) No. Sub-Indikator Berpikir Kritis Indeks Gain Kategori keputusan. 9. Membuat definisi dari suatu 0,49 Sedang istilah dan mempertimbangkan definisi. 10. Mengidentifikasi asumsi. 0,47 Sedang 11. Memutuskan suatu tindakan. 0,40 Sedang 12. Berinteraksi dengan orang 0,48 Sedang lain. 4. Hasil Angket Tanggapan Siswa Untuk mengetahui pendapat siswa tentang pengaruh proses pembelajaran terhadapa indikator-indikator kemampuan berpikir kritis digunakan angket yang diberikan kepada siswa secara langsung setelah rangkaian perlakuan berakhir. Jawaban siswa pada angket tersebut kemudian dipersentasikan berdasarkan jumlah siswa yang menjawab pernyataan pada setiap nomor. Adapun hasil penjaringan pendapat siswa dengan angket tersebut, dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 4.6 Hasil Angket Persepsi Siswa Tentang Proses Pembelajaran dengan Metode Guided Inquiry No Pertanyaan Jawaban (%) Ya Tidak 1. Apakah dengan pembelajaran yang telah dilakukan, materi 97,4 2,6 sistem ekskresi menjadi lebih mudah dimengerti? 2. Apakah LKS yang digunakan dalam pembelajaran ini 71,8 28,2 mudah dipahami? 3. Apakah LKS yang digunakan dalam pembelajaran dapat 92,3 7,7 membantu kalian mempelajari konsep sistem ekskresi? 4. Apakah kegiatan dalam pembelajaran menuntut Anda 92,3 7,7 untuk lebih banyak berfikir kritis? 5. Apakah pembelajaran yang dilakukan dapat meningkatkan keterampilan berfikir Anda dalam kemampuan berfikir 100 -

11 64 No Pertanyaan Jawaban (%) Ya Tidak kritis? 6. Apakah dalam pembelajaran, kesempatan untuk 87,2 12,8 mengungkapkan ide/gagasan pribadi dan tukar pendapat dengan teman menjadi lebih banyak? 7. Apakah Anda sering bertanya pada teman atau guru di kelas ketika tidak mengerti? 8. Apakah pembelajaran yang telah dilakukan dapat 94,9 5,1 mengembangkan pengetahuan yang diperoleh di luar sekolah? 9. Apakah kalian setuju jika kegiatan belajar mengajar berikutnya menggunakan cara seperti yang kita lakukan kemarin? 10. Menurut Anda, apa kelebihan dari cara belajar yang telah kita lakukan? a. Dapat melatih kemampuan berfikir kritis dalam menentukan pemecahan masalah yang ada pada kehidupan sehari-hari. (56,4) b. Pembelajaran tidak membosankan karena siswa berperan aktif dalam pembelajaran. (59) c. Arahan atau petunjuk guru dan LKS melakukan percobaan mudah dimengerti. (30,8) d. Dapat meningkatkan kerjasama dengan teman. (16) e. Lainnya, yaitu : 1. Lebih mudah untuk dipahami. 2. Mudah diingat materinya. 3. Memudahkan untuk dimengerti. 4. Mudah dipahami dan tidak membosankan. 11. Dalam mengikuti pembelajaran tersebut, pada bagian mana yang paling banyak menuntut Anda untuk berfikir? a. Memahami LKS. (12,8) b. Melakukan pengamatan pada saat praktikum. (56,4) c. Menjawab pertanyaan LKS. (59) d. Memahami teks dan tabel. (20,5) e. Lainnya : 1. Ketika akan menghadapi ulangan/ tes. 2. Saat ulangan. 12. Menurut Anda, apa kekurangan dari cara belajar yang telah kita lakukan? a. Prosedurnya berbelit-belit, sehingga menyita waktu yang cukup lama. (17,9) b. Belajarnya lebih banyak mengobrol, sehingga suasana menjadi tidak tertib. (41) c. Bagian diskusi membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga membuat Anda merasa bosan. (38,5) d. Pertanyaan praktikum yang terdapat di LKS cukup banyak. (35,9) e...

12 65 B. Pembahasan Hasil penelitian ini akan dibahas berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan dalam proses persiapan penelitian. Adapun pertanyaan penelitian tersebut adalah tentang kemampuan berpikir kritis siswa sebelum dan sesudah pembelajaran dengan metode Guided Inquiry serta tentang tanggapan siswa mengenai pembelajaran dengan metode Guided Inquiry terkait subindikator kemampuan berpikir kritis Ennis (1985). Pada penelitian ini, kemampuan berpikir kritis siswa dapat diketahui dari hasil pretest dan posttest. Penelitian dilakukan pada sampel sebanyak 39 orang siswa SMA kelas XI IPA dengan treatment berupa pembelajaran dengan metode Guided Inquiry pada konsep sistem ekskresi. Peneliti melakukan penelitian dimulai dengan melakukan pretest dengan soal yang sesuai dengan indikator dan sub-indikator kemampuan berpikir kritis Ennis (1985). Setelah itu dilakukan pembelajaran dengan metode Guided Inquiry sebanyak empat kali pertemuan. Setelah dilakukan penjaringan data pretest, posttest, dan angket, peneliti mendapatkan data hasil penelitian yang dapat diuraikan sebagai berikut: Berdasarkan hasil pretest, rata-rata kemampuan berpikir kritis awal siswa yaitu 44,05% yang termasuk ke dalam kategori kurang. Data hasil penelitian menunjukan 18% dari sampel penelitian memiliki kemampuan berpikir kritis cukup dengan persentase tertinggi sebesar 59%, 53% sampel memiliki kemampuan berpikir kritis kurang dan 29% sampel memiliki kemampuan berpikir kritis jelek dengan persentase terendah sebesar 25%.

13 66 Setelah pembelajaran menggunakan metode Guided Inquiry (posttest), ratarata kemampuan berpikir kritis siswa meningkat menjadi 71,61% yang termasuk kedalam kategori cukup. Siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis baik sebanyak 46% dan yang memiliki kemampuan berpikir kritis cukup sebanyak 54%. Berdasarkan hasil posttest, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar siswa memiliki kemampuan berpikir kritis cukup setelah implementasi pembelajaran dengan metode Guided Inquiry, sedangkan selebihnya memiliki kemampuan berpikir kritis baik. Hasil penelitian menunjukan adanya peningkatan rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa sebesar 27,56%, yaitu meningkat dari 44,05% menjadi 71,61% setelah proses pembelajaran dengan menggunakan metode Guided Inquiry. 52% siswa yang semula memiliki kemampuan berpikir kritis kurang menjadi berpikiran kritis cukup, 48% siswa berkemampuan kritis kurang berubah menjadi berkemampuan berpikir kritis baik, 100% siswa berkemampuan kritis cukup pada saat pretest berubah menjadi baik setelah posttest, 91% siswa yang semula berpikir kritis jelek berubah menjadi cukup, dan 9% atau satu orang siswa berubah menjadi berkemampuan kritis baik dari jelek. Menurut Edward do Bono (1985 dalam Filsaisme, 2008). Jika kita menganggap berpikir sebagai sebuah kecakapan maka kita bisa meningkatkan kecakapan berpikir seperti halnya kita meningkatkan kecakapan apapun melalui memperhatikan dan mempraktikkan (Edward do Bono, 1985 dalam Filsaisme, 2008). Pendapat Edward do Bono tersebut merupakan asumsi dalam penelitian ini. Berdarkan asumsi tersebut dapat diketahui bahwa kemampuan berpikir kritis

14 67 dapat ditingkatkan melalui memperhatikan dan mempraktikan, tentunya disini dalam kegiatan pembelajaran. Asumsi ini terbukti dengan adanya peningkatan kemampuan berpikir kritis berdasarkan hasil posttest yang sebelumnya telah dilakukan treatment berupa pembelajaran dengan metode Guided Inquiry yang didalamnya banyak terdapat proses memperhatikan dan mempraktikan. Menurut Yahya sebenarnya setiap orang memiliki tingkat kemampuan berpikir yang seringkali seseorang itu tidak menyadarinya. Ketika mulai menggunakan tingkat kemampuan berpikir tersebut, fakta-fakta yang sampai sekarang tidak diketahuinya, lambat laun akan terungkap (Yahya, 2003). Semakin dalam seseorang berpikir, maka semakin bertambah kemampuan berpikirnya dan hal ini mungkin sekali berlaku bagi setiap orang. Karena itu, perlu disadari bahwa setiap orang mempunyai kebutuhan untuk berpikir serta menggunakan akalnya semaksimal mungkin. Berdasarkan asumsi tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya manusia memiliki potensi berpikir yang luar biasa jika dilatih dengan aspek-apek yang mendukung peningkatan kemampuan berpikir. Adapun aspek-aspek untuk melatih kemampuan berpikir kritis tersebut banyak terdapat dalam metode pembelajaran Guided Inquiri. Adapun aspek-aspek yang dapat melatih kemampuan berpikir kritis dan terdapat dalam metode Guided Inquiry dapat dilihat pada teori para ahli berikut ini: Inquiry dapat diartikan sebagai proses bertanya dan mencari tahu jawaban terhadap pertanyaan ilmiah yang diajukannya. Dengan kata lain, inkuiri adalah suatu proses untuk memperoleh dan mendapatkan informasi dengan melakukan observasi dan atau eksperimen untuk mencari jawaban atau memecahkan masalah

15 68 terhadap pertanyaan atau rumusan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir kritis dan logis (Schmidt, 2003 dalam Ibrahim, 2007). Pada tahap-tahap awal pengajaran diberikan bimbingan lebih banyak yaitu berupa pertanyaanpertanyaan pengarah agar siswa mampu menemukan sendiri arah dan tindakantindakan yang harus dilakukan untuk memecahkan permasalahan yang diberikan oleh guru. Pertanyaan-pertanyaan pengarah selain dikemukakan langsung oleh guru juga diberikan melalui pertanyaan yang dibuat dalam LKS. Oleh sebab itu LKS dibuat khusus untuk membimbing siswa dalam melakukan percobaan dan menarik kesimpulan. Berikut akan dipaparkan teori-teori ahli yang berkaitan dengan hasil penelitian. Ernis, Henri, Waston dan Glazer, dan Missiner (Filsaisme, 2008) mengembangkan teori berpikir kritis mereka ke dalam lima tahap proses kemampuan berpikir kritis. Proses-proses tersebut mencakup pemfokusan dan observasi pada sebuah pertanyaan atau masalah, analisis masalah, membuat dan mengevaluasi keputusan-keputusan atau solusi-solusi, dan akhirnya memutuskan satu tindakan (Filsaisme, 2008). Rustaman et al. (2003: 125), yang menyatakan bahwa dengan menggunakan pertanyaan yang efektif berarti mendorong siswa untuk berpikir dan bernalar, sehingga belajar berpusat pada diri siswa. Begitu pula dengan pendapat Nasution (2000: 161), bahwa bertanya merupakan stimulus yang mendorong anak untuk berpikir dan belajar, dengan bertanya, siswa akan memperoleh pengetahuan. Selain itu Costa (1985 dalam Costa ed., 1985: 125) dalam tulisan yang berjudul Teacher behaviors that Enable Student Thinking,

16 69 pertanyaan merupakan alat intelektual yang dapat mempertahankan ketertarikan dan antusiasme siswa dalam belajar. Berdasarkan penelitian Wright dan Bar, Sertorolli, Swartz dan Parks (Hassoubah, 2008: ), terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, diantaranya: (a) membaca dengan kritis; (b) meningkatkan daya analisis; (c) mengembangkan kemampuan observasi/ mengamati; (d) meningkatkan rasa ingin tahu, kemampuan bertanya dan refleksi; (e) metakognisi; (f) mengamati model dalam berpikir kritis; dan (g) melibatkan diri dalam diskusi yang kaya. Melalui diskusi, siswa mendapat pengalaman dan latihan mengungkapkan pendapat secara lisan dan berkomunikasi dengan orang lain dalam menghadapi suatu masalah. Diskusi memungkinkan pengembangan penalaran, pemikiran kritis dan kreatif serta kemampuan memberikan pertimbangan dan penilaian (Munandar, 1999: 84). Berdasarkan teori-teori para ahli tersebut, dapat dilihat bahwa langkahlangkah/ komponen-komponen metode Guided Inquiry sangat erat dengan terciptanya kemampuan berpikir kritis. Hai inilah yang mendasari penulis mengajukan hipotesis bahwa salah satu penyebab peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa setelah dilakukan pembelajaran dengan metode Guided Inquiry. Untuk melihat lebih jelas antara pembelajaran Guided Inquiry dengan kemampuan berpikir kritis siswa, berikut peneliti akan menguraikan tentang proses pembelajaran yang dilakukan dari pertemuan pertama hingga keempat. Pada pertemuan pertama, pembelajaran dilakukan dengan pendekatan induktif metode Guided Inquiry, kelompok siswa diberikan rangkuman materi

17 70 sistem ekskresi yang berbeda antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain (rangkuman dapat dilihat pada Lampiran 1.5), kemudian kelompok dipecah dan dibentuk kelompok yang baru yang selanjutnya anggota kelompok lama akan menjelaskan konsep yang didapatkannya kepada anggota kelompok baru. Hal ini berfungsi untuk melatih kemampuan siswa dalam bertanggung jawab dengan materi yang mereka terima dan mereka dapat menyampaikan materi tersebut kepada teman yang lain. Hal ini sejalan dengan proses pembelajaran inkuiri yang mendukung siswa untuk menemukan konsep sendiri dan berdiskusi dengan teman. Selain itu metode ini juga melatih siswa untuk mendapatkan sendiri konsepsinya dari pemahaman siswa yang lain. Pada kegiatan akhir pembelajaran, guru menjelaskan konsep yang mereka terima dengan utuh, agar tidak terjadi perbedaan dan kesalahan konsep antara siswa yang satu dengan yang lain. Dan jika ada kesalahan konsep yang didapatkan, siswa akan mengetahui dimana letak kesalahan konsep yang mereka terima (RPP dapat dilihat pada Lampiran 1.1). Hal ini memungkinkan siswa faham konsep, tidak sekedar mengingatnya. Berdasarkan praktik penelitian yang dilakukan, kelemahan proses pembelajaran ini terletak pada lamanya waktu yang digunakan dan pada beberapa kelompok siswa yang tidak menggunakan waktu diskusinya dengan baik dan menggunakan waktunya untuk mendiskusikan hal lain di luar pembelajaran. Hal ini dapat dilihat dari tanggapan sekitar 70% siswa melalui angket yang menyatakan bahwa kelemahan pembelajaran terletak pada dua hal tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Mulyana (2005: 11), kebaikan dari pola penalaran induktif dalam penalaran adalah proses penarikan kesimpulan yang banyak memakan waktu.

18 71 Pada pertemuan kedua (RPP dapat dilihat pada Lampiran 1.2), peneliti (sekaligus berperan sebagai guru) memperlihatkan sebuah video tentang proses pembentukan urin dan memberikan LKS tentang proses tersebut kepada siswa (untuk lebih jelas dapat dilihat pada Lampiran 1.6). Peneliti menginstruksikan kepada siswa untuk menjawab pertanyaan LKS sambil melihat video. Pada saat pemutaran video, guru juga menjelaskan isi video dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa untuk menyimpulkan sendiri yang terdapat dalam video. Hal ini merujuk pada salah satu komponen Guided Inquiry tentang observasi sendiri dan menyimpulkan. Pada pertemuan ketiga, dilakukan praktikum tentang uji urin (RPP dapat dilihat pada Lampiran 1.3). Guru memberikan penjelasan cara kerja selaligus memberikan LKS yang berisi sebuah permasalahan yang harus dijawab siswa (LKS dapat dilihat pada Lampiran 1.7). Pada pertemuan kali ini, siswa benarbenar dituntut untuk melakukan observasi sendiri dan menemukan konsep yang dituntut dalam SK/KD yaitu tentang keterkaitan antara yang mereka temukan dalam praktikum dengan materi organ, fungsi, dan proses sistem ekskresi yang telah mereka pelajari pada dua pertemuan sebelumnya. Selain itu mereka bisa menemukan keterkaitan tiga hal tersebut dengan penyakit/kelainan yang bisa terjadi pada sistem ekskresi manusia. Pada pertemuan keempat, peneliti membimbing siswa untuk mendapatkan konsep yang utuh tentang penyakit/kelainan yang dapat terjadi pada manusia terkait dengan organ, fungsi dan proses sstem ekskresi serta menjelaskan tentang sistem ekskresi pada hewan. Tujuan dari pembelajaran ke empat ini adalah untuk

19 72 menyimpulkan materi pada pertemuan pertama hingga terakhir. Setelah peneliti menguraikan proses pembelajaran, dapat kita lihat bahwa proses pembelajaran berkaitan erat dengan upaya pelatihan kemampuan berpikir kritis siswa. Selanjutnya penulis akan menguraikan tentang kemampuan berpikir kritis berdasarkan indikator dan subindikator Ennis berdarakan hasil penelitian, proses pembelajaran, pretest, posttest, dan angket. Persentase kemampuan berpikir kritis awal tiap siswa berdasarkan hasil tes kemampuan berpikir kritis awal siswa menunjukkan kemampuan berpikir kritis awal siswa pada setiap subindikator berpikir kritis. Persentase kemampuan berpikir kritis siswa tertinggi sebesar 68% yang termasuk kategori cukup pada subindikator membuat deduktif dan deduktif, sedangkan persentase kemampuan berpikir kritis terendah yaitu sebesar 37% termasuk ke dalam kategori jelek pada sub-indikator membuat pertanyaan. Persentase kemampuan berpikir kritis siswa pada setiap indikator dan subindikator berpikir kritis berdasarkan hasil tes kemampuan berpikir kritis akhir teringgi yaitu sebesar 88% yang termasuk ke dalam kategori baik pada subindikator mengobservasi dan observasi, sedangkan persentase kemampuan berpikir kritis terendah yaitu sebesar 68% termasuk ke dalam kategori berpikir kritis cukup pada subindikator membuat induktif dan induktif. Kemampuan berpikir kritis awal tertinggi yaitu pada subindikator membuat deduktif dan deduktif. Hal ini dimungkinkan terjadi karena cara belajar siswa biasanya memang dilakukan secara deduktif, yaitu

20 73 mendapatkan kesimpulan terlebih dahulu kemudian baru mendapatkan contohcontoh khusus. Hal ini peneliti ketahui dari hasil penyebaran angket yang menyatakan bahwa sebagian besar (64%) pembelajaran yang diterima dari guru yaitu berupa penjelasan dari guru (bukan peneliti) yang notabene kurang melibatkan siswa untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran sehingga siswa diberikan kesimpulan oleh guru di awal dan penjelasan mengenai hal-hal khususnya di akhir dari guru juga. Sedangkan kemampuan berpikir kritis terendah berada pada subindikator membuat pertanyaan. Hal ini terlihat pada saat pelaksanaan pretest, pada saat itu siswa kebingungan untuk membuat pertanyaan, sehingga siswa banyak bertanya kepada peneliti bagaimana cara membuat pertanyaan. Adapun persentase kemampuan berpikir kritis akhir siswa terbesar yaitu pada sub-indikator mengobservasi dan observasi hingga mencapai kategori baik dari yang semula dikategorikan cukup. Peningkatan subindikator ini juga merupakan peningkatan subindikator tertinggi dari peningkatan subindikator kemampuan berpikir kritis lainnya dengan kategori indeks Gain 0,7 dengan kategori tinggi. Hal ini diduga karena siswa banyak melakukan kegiatan observasi pada saat pembelajaran dengan menggunakan metode Guided Inquiry. Subindikator kemampuan berpikir kritis terendah terdapat pada subindikator membuat induktif dan induktif. Hal ini diduga karena siswa belum terbiasa dengan pembelajaran dengan pendekatan induktif karena walaupun demikian, subindikator kemampuan berpikir kritis ini mengalami peningkatan hingga mencapai indeks Gain sedang dari yang semula

21 74 jelek. Hal ini mengindikasikan bahwa pembelajaran Guided Inquiry yang dikategorikan memiliki proses pembelajaran induktif dapat memberikan pengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa yang telah terbiasa dengan pembelajaran deduktif pada awalnya oleh guru. Pada pembahasan sebelumnya tentang proses pembelajaran pada pertemuan satu sampai empat, dapat diambil kesimpulan bahwa proses pembelajaran dilakukan secara deduktif maupun induktif. Hal ini menurut peneliti tidak menjadi masalah saat siswa bisa melakukan pembelajaran dan mengambil kesimpulannya sendiri walaupun pada metode ini semua kegiatannya masih banyak membutuhkan intervensi guru (peneliti). Adapun pernyataan siswa tentang pengaruh pembelajaran Guided Inquiry terhadap indikator dan subindikator kemampuan berpikir kritis dapat dilihat pada hasil penjaringan pendapat siswa melalui angket. Sebagian besar bahkan hampir seluruh siswa menyatakan bahwa metode pembelajaran Guided Inquiry dapat melatih/meningkatkan kemampuan berpikir kritis mereka berdasarkan indikator dan sub-indikator yang dinyatakan dalam angket. Jika dilihat dari pendapat siswa melalui angket, kekurangan metode pembelajaran Guided Inquiry adalah kurang efektifnya metode ini karena banyak siswa yang mengobrol saat kegiatan berlangsung. Hal ini terjadi karena terdapat beberapa kelompok siswa yang tidak menggunakan waktunya dengan baik untuk benar-benar melakukan diskusi yang berkaitan dengan pembelajaran. Langholz dan Smaldino (Gelven & Stewart, 2001) menyatakan bahwa berpikir kritis tidak dapat dapat dikembangkan dalam waktu yang singkat tetapi

22 75 harus dilakukan secara berkelanjutan. Begitu pula dengan pendapat Beyer (1985 dalam Costa ed., 1985: 149) bahwa melatih berpikir kritis perlu dilakukan secara berulang-ulang sambil memberikan saran dan perbaikan pada hasil berpikir kritis siswa. Berdasarkan teori para ahli tersebut maka dapat diketahui bahwa kemampuan berpikir kritis tidak dapat dikembangkan dalam waktu singkat. Maka pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis harus dilakukan secara berkesinambungan. Hal ini juga senada dengan hasil penjaringan melalui angket, seluruh siswa (100%) setuju jika metode pembelajaran Guided Inquiry digunakan pada pembelajaran selanjutnya.

BAB I PENDAHULUAN. dan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA),

BAB I PENDAHULUAN. dan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan suatu kebutuhan dan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), khususnya biologi. Hal

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini, memiliki definisi

BAB III METODE PENELITIAN. Beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini, memiliki definisi BAB III METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional Beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini, memiliki definisi secara operasional, diantaranya: 1. Kemampuan berpikir kritis yang akan diukur

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi efektivitas adalah sesuatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi efektivitas adalah sesuatu II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Pembelajaran Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi efektivitas adalah sesuatu yang memiliki pengaruh atau akibat yang ditimbulkan, manjur, membawa hasil

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Dan Subjek Penelitian 1. Lokasi penelitian Penelitian dilakukan di SMA SWASTA KARTIKA XIX-1 Bandung. Peneliti memilih sekolah ini karena model pembelajaran yang akan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 30 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif karena penelitian ini hanya bersifat mengkaji atau menggambarkan keadaan atau kondisi yang ada di lapangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelajaran Fisika merupakan salah satu bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

BAB I PENDAHULUAN. Pelajaran Fisika merupakan salah satu bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelajaran Fisika merupakan salah satu bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang penting bagi siswa. Hal ini tercantum dalam fungsi dan tujuan mata pelajaran

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 1. Pembelajaran resiprokal (RT) dalam penelitian ini digunakan sebagai

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 1. Pembelajaran resiprokal (RT) dalam penelitian ini digunakan sebagai 44 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Definisi Operasional 1. Pembelajaran resiprokal (RT) dalam penelitian ini digunakan sebagai pendekatan pembelajaran, dimana dalam proses pembelajarannya meliputi empat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 1. Kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan menerapkan model

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 1. Kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan menerapkan model 30 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Definisi Operasional Untuk menghindari berbagai penafsiran terhadap definisi yang digunakan dalam penelitian ini, maka diberikan penjelasan beberapa defenisi operasional

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini pada dasarnya memiliki tujuan untuk mengetahui peranan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini pada dasarnya memiliki tujuan untuk mengetahui peranan 53 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian ini pada dasarnya memiliki tujuan untuk mengetahui peranan kegiatan praktikum dengan guided inquiry pada pembelajaran sistem saraf. Instrumen

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian mengenai penerapan model pembelajaran Discovery-

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian mengenai penerapan model pembelajaran Discovery- BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian Penelitian mengenai penerapan model pembelajaran Discovery- Inquiry untuk meningkatkan prestasi belajar pada ranah kognitif dan keterampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas. Yaitu sumber daya yang dapat bersaing dan. menetapkan keputusan dengan daya nalar yang tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas. Yaitu sumber daya yang dapat bersaing dan. menetapkan keputusan dengan daya nalar yang tinggi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menghadapi era globalisasi seperti saat ini, bangsa Indonesia dituntut untuk dapat bersaing dengan bangsa lain, dan menghasilkan sumber daya manusia yang

Lebih terperinci

Pelaksanaan Tes Kemampuan Berpikir Kritis

Pelaksanaan Tes Kemampuan Berpikir Kritis BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Sampel Penelitian Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 22 Bandung. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X MIA SMA Negeri 22 Bandung. Sampel

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini berbentuk Quasi experimental design dengan desain

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini berbentuk Quasi experimental design dengan desain BAB III METODE PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian Penelitian ini berbentuk Quasi experimental design dengan desain Randomized Control-Groups Pretest-Posttest Design (Isaac & Michael, 1982) untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. diperlukan penjelasan tentang istilah-istilah, berikut di bawah ini:

BAB III METODE PENELITIAN. diperlukan penjelasan tentang istilah-istilah, berikut di bawah ini: 37 BAB III METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional Untuk menjelaskan maksud dari judul yang dikemukakan, maka diperlukan penjelasan tentang istilah-istilah, berikut di bawah ini: 1. Pada kelas eksperimen

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa (IPBA) dirasakan penting untuk dipelajari karena materi-materi tersebut sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa

II. TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Inkuiri sebagai suatu proses umum yang dilakukan manusia untuk mencari atau memahami informasi. Gulo menyatakan strategi inkuiri berarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan salah satu cabang sains yang merupakan pengetahuan yang

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan salah satu cabang sains yang merupakan pengetahuan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fisika merupakan salah satu cabang sains yang merupakan pengetahuan yang terdiri atas fakta-fakta, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip. Sesuai dengan tujuan Kurikulum

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 1. Praktikum virtual merupakan praktikum menggunakan media komputer

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 1. Praktikum virtual merupakan praktikum menggunakan media komputer BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Definisi Operasional 1. Praktikum virtual merupakan praktikum menggunakan media komputer sebagai alat bantu yang menggantikan peran alat-alat dan bahan praktikum tatap

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Hasil Penelitian Penelitian yang dilakukan di MA Mathaliul Huda Pucakwangi Pati, bertujuan untuk melihat secara umum mengenai pembelajaran POGIL-Reteach

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Savitri Purbaningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Savitri Purbaningsih, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan observasi awal yang dilakukan oleh peneliti di kelas VIII-E SMP Negeri 44 Bandung, tentang pembelajaran IPS teridentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model Problem Based Learning dikembangkan oleh Barrows sejak tahun

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model Problem Based Learning dikembangkan oleh Barrows sejak tahun II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Berbasis Masalah Model Problem Based Learning dikembangkan oleh Barrows sejak tahun 1970-an. Model Problem Based Learning berfokus pada penyajian suatu permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis

BAB I PENDAHULUAN. Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis dan terus menerus terhadap suatu gejala alam sehingga menghasilkan produk tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan tujuan pendidikan nasional dan tuntutan masyarakat. Kualitas pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. dengan tujuan pendidikan nasional dan tuntutan masyarakat. Kualitas pendidikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sekolah merupakan satuan pendidikan yang berperan penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan dan pengajaran

Lebih terperinci

PEMBEKALAN KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF SISWA SMA MELALUI PEMBELAJARAN FISIKA BERBASIS MASALAH

PEMBEKALAN KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF SISWA SMA MELALUI PEMBELAJARAN FISIKA BERBASIS MASALAH PEMBEKALAN KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF SISWA SMA MELALUI PEMBELAJARAN FISIKA BERBASIS MASALAH Winny Liliawati Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia ABSTRAK Pembelajaran Fisika

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data Pretest, Posttest dan Indeks Gain Penguasaan Konsep

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data Pretest, Posttest dan Indeks Gain Penguasaan Konsep BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Data Pretest, Posttest dan Indeks Gain Penguasaan Konsep Penilaian penguasaan konsep siswa dilakukan dengan menggunakan tes tertulis dengan bentuk tes pilihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peny Husna Handayani, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peny Husna Handayani, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembelajaran biologi dirancang dan dilakukan semata-mata untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang- Undang Sisdiknas Pasal 20 ayat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimental dengan desain

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimental dengan desain 26 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimental dengan desain the matching only pretest posttest control group design (Fraenkel and

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kemampuan Penalaran Matematis Shadiq (Depdiknas, 2009) menyatakan bahwa penalaran adalah suatu aktivitas berpikir untuk menarik kesimpulan dalam rangka membuat suatu pernyataan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2012/2013

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2012/2013 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2012/2013 di SMA Negeri 2 Metro. B. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMA KELAS XI PADA MATERI HIDROLISIS GARAM DENGAN MODEL LEARNING CYCLE 5E DAN METODE PRAKTIKUM

ANALISIS KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMA KELAS XI PADA MATERI HIDROLISIS GARAM DENGAN MODEL LEARNING CYCLE 5E DAN METODE PRAKTIKUM SEMINAR NASIONAL KIMIA DAN PENDIDIKAN KIMIA V Kontribusi Kimia dan Pendidikan Kimia dalam Pembangunan Bangsa yang Berkarakter Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan PMIPA FKIP UNS Surakarta, 6 April 2013

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stevida Sendi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stevida Sendi, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang fenomena alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan proses pembelajaran di mana peserta didik (siswa)

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan proses pembelajaran di mana peserta didik (siswa) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan proses pembelajaran di mana peserta didik (siswa) menerima dan memahami pengetahuan sebagai bagian dari dirinya, dan mengolahnya untuk kebaikan

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang pengaruh penggunaan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang pengaruh penggunaan 35 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang pengaruh penggunaan metode discovery terhadap kemampuan generik sains siswa pada materi pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan aspek penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan aspek penting dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia modern seperti saat ini, diperlukan sikap dan kemampuan yang adaptif terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seperti yang tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Seperti yang tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Seperti yang tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mengacu pada Standar Isi dan tujuan mata pelajaran kimia SMA, pembelajaran kimia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan berpikir kritis dan kreatif untuk memecahkan masalah dalam

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan berpikir kritis dan kreatif untuk memecahkan masalah dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajaran mata pelajaran fisika di SMA dimaksudkan sebagai sarana untuk melatih para siswa agar dapat menguasai pengetahuan, konsep dan prinsip fisika, memiliki

Lebih terperinci

Penerapan Perangkat Pembelajaran Materi Kalor melalui Pendekatan Saintifik dengan Model Pembelajaran Guided Discovery Kelas X SMA

Penerapan Perangkat Pembelajaran Materi Kalor melalui Pendekatan Saintifik dengan Model Pembelajaran Guided Discovery Kelas X SMA Penerapan Perangkat Pembelajaran Materi Kalor melalui Pendekatan Saintifik dengan Model Pembelajaran Guided Discovery Kelas X SMA Linda Aprilia, Sri Mulyaningsih Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 45 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian Secara umum metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2013). Metode

Lebih terperinci

BAB II PEMBELAJARAN IPA TERPADU MODEL ARGUMENT- DRIVEN INQUIRY

BAB II PEMBELAJARAN IPA TERPADU MODEL ARGUMENT- DRIVEN INQUIRY DAFTAR ISI ABSTRAK... i ABSTRACT... ii KATA PENGANTAR... iii UCAPAN TERIMA KASIH... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi BAB 1 PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ilmu kimia adalah ilmu yang mempelajari mengenai susunan, struktur, sifat, perubahan

I. PENDAHULUAN. Ilmu kimia adalah ilmu yang mempelajari mengenai susunan, struktur, sifat, perubahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kimia adalah ilmu yang mempelajari mengenai susunan, struktur, sifat, perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan tersebut. Dalam BSNP (2006) hakikat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibicarakan, tentu dalam rangka penataan yang terus dilakukan untuk mencapai

BAB I PENDAHULUAN. dibicarakan, tentu dalam rangka penataan yang terus dilakukan untuk mencapai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penerapan teori-teori pendidikan pada masa ini adalah hal yang marak dibicarakan, tentu dalam rangka penataan yang terus dilakukan untuk mencapai pendidikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan pada umumnya identik dengan tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan

I. PENDAHULUAN. Pendidikan pada umumnya identik dengan tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan pada umumnya identik dengan tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan bersumber pada Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. berdasarkan temuan yang diperoleh selama penelitian. Analisis terhadap hasil tes

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. berdasarkan temuan yang diperoleh selama penelitian. Analisis terhadap hasil tes 52 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini berisi tentang hasil pengolahan data penelitian dan pembahasannya berdasarkan temuan yang diperoleh selama penelitian. Analisis terhadap hasil tes siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu bangsa. Pemerintah terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA khususnya fisika mencakup tiga aspek, yakni sikap,

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA khususnya fisika mencakup tiga aspek, yakni sikap, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembelajaran IPA khususnya fisika mencakup tiga aspek, yakni sikap, proses, dan produk. Sains (fisika) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis,

Lebih terperinci

PENERAPAN PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DENGAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING DALAM PEMBELAJARAN FISIKA DI SMA

PENERAPAN PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DENGAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING DALAM PEMBELAJARAN FISIKA DI SMA PENERAPAN PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DENGAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING DALAM PEMBELAJARAN FISIKA DI SMA Albertus D Lesmono, Supeno, Tita Riani Program Studi Pendidikan Fisika FKIP

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pem-belajaran

II. TINJAUAN PUSTAKA. Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pem-belajaran II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pem-belajaran konstruktivis (constructivist theories of learning). Teori konstruktivis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Model Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan suatu model

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Model Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan suatu model 25 BAB III METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional Supaya tidak terjadi perbedaan persepsi mengenai definisi operasional variabel penelitian yang digunakan, maka definisi operasional variabel yang dimaksud

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 27 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Deskripsi Kondisi Awal 4.1.1.1 Kondisi Proses Pembelajaran Kondisi pembelajaran yang terpusat pada guru terjadi pada pembelajaran matematika di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pendidikan nasional yaitu siswa harus memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap sosial, dan sikap spritual yang seimbang (Kemdikbud, 2013a). Fisika merupakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. kelompok pada materi Keanekaragaman Makhluk Hidup yang meliputi data (1)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. kelompok pada materi Keanekaragaman Makhluk Hidup yang meliputi data (1) 58 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Pada bab ini diuraikan hasil-hasil penelitian pembelajaran beserta pembahasannya tentang penerapan pembelajaran kooperatif tipe investigasi

Lebih terperinci

Ramona Safitri, M. Arifuddin Jamal, dan Abdul Salam M. Program Studi Pendidikan Fisika FKIP UNLAM Banjarmasin

Ramona Safitri, M. Arifuddin Jamal, dan Abdul Salam M. Program Studi Pendidikan Fisika FKIP UNLAM Banjarmasin PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN IPA SMP BERORIENTASI KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS PADA POKOK BAHASAN GETARAN DAN GELOMBANG DENGAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING Ramona Safitri, M. Arifuddin

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Sampel Penelitian Penelitian dilakukan di SMAN 4 Bandung, yang berlokasi di Jl. Gardujati No. 20 Bandung. Waktu penelitian dilakukan selama berlangsungnya pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa, praktisi pendidikan IPS

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa, praktisi pendidikan IPS 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa, praktisi pendidikan IPS telah banyak memperkenalkan dan menerapkan berbagai metode serta pendekatan mengajar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Desain Penelitian Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian Pre-Experimental atau sering juga disebut dengan istilah quasi experiment (Arikunto, 2002: 77)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pengembangan potensi diri diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pengembangan potensi diri diharapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan diselenggarakan tentu memiliki arah dan tujuan tertentu. Pada khususnya di Indonesia, nilai-nilai yang dijungjung tinggi adalah falsafah Pancasila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional) Pasal 37 menegaskan bahwa mata pelajaran matematika

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional) Pasal 37 menegaskan bahwa mata pelajaran matematika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang RI nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) Pasal 37 menegaskan bahwa mata pelajaran matematika merupakan salah satu mata pelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adelia Alfama Zamista, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adelia Alfama Zamista, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan proses pembelajaran yang diarahkan pada perkembangan peserta didik. Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga menyebutkan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Hasil pembelajaran dengan strategi pembelajaran Team Quiz yang

BAB V PEMBAHASAN. Hasil pembelajaran dengan strategi pembelajaran Team Quiz yang 75 BAB V PEMBAHASAN 1. Hasil belajar siswa Hasil pembelajaran dengan strategi pembelajaran Team Quiz yang diterapkan di kelas eksperimen tidak menunjukkan hasil belajar fisika siswa yang lebih baik dibandingkan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Pembelajaran penerapan trigonometri melalui belajar kooperatif tipe Student

BAB V PEMBAHASAN. Pembelajaran penerapan trigonometri melalui belajar kooperatif tipe Student BAB V PEMBAHASAN A. Aktivitas dan Bentuk Penerapan Pembelajaran Penerapan Trigonometri melalui Belajar Kooperatif Tipe STAD (Student Team Achievement Division) Pembelajaran penerapan trigonometri melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurikulum yang berlaku di jenjang sekolah menengah adalah kurikulum

BAB I PENDAHULUAN. kurikulum yang berlaku di jenjang sekolah menengah adalah kurikulum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kurikulum dalam arti sempit adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan untuk mencapai tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah. Ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode preexperiment design,yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui dampak awal

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Subyek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri Gendongan 01 yang terletak di Jl. Margorejo No.580 Kecamatan Tingkir Kota Salatiga. Siswa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Metode discovery adalah suatu prosedur mengajar yang menitikberatkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Metode discovery adalah suatu prosedur mengajar yang menitikberatkan 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Penemuan (Discovery Method) Metode discovery adalah suatu prosedur mengajar yang menitikberatkan studi individual, manipulasi objek-objek dan eksperimentasi oleh siswa.

Lebih terperinci

INDIKATOR KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN PERINCIANNYA. Sub Kemampuan. Memfokuskan pertanyaan. Menganalisis argumen

INDIKATOR KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN PERINCIANNYA. Sub Kemampuan. Memfokuskan pertanyaan. Menganalisis argumen 209 LAMPIRAN C. INDIKATOR KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN PERINCIANNYA Memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification) Memfokuskan pertanyaan Menganalisis argumen Bertanya menjawab penjelasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sarana dalam membangun watak bangsa. Tujuan pendidikan diarahkan pada

BAB I PENDAHULUAN. sarana dalam membangun watak bangsa. Tujuan pendidikan diarahkan pada 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan memberikan konstribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa, dan merupakan wahana dalam menterjemahkan pesan konstitusi serta sarana dalam

Lebih terperinci

2 Penerapan pembelajaran IPA pada kenyataannya di lapangan masih banyak menggunakan pembelajaran konvensional yaitu pembelajaran yang berpusat pada gu

2 Penerapan pembelajaran IPA pada kenyataannya di lapangan masih banyak menggunakan pembelajaran konvensional yaitu pembelajaran yang berpusat pada gu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah IPA merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui pengumpulan data dengan eksperimen, pengamatan, dan deduksi untuk menghasilkan suatu penjelasan tentang sebuah

Lebih terperinci

Jurnal Titian Ilmu Vol. IX, No. 1, 2015

Jurnal Titian Ilmu Vol. IX, No. 1, 2015 PERBEDAAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL INKUIRI TERBIMBING DAN MODEL INKUIRI BEBAS TERMODIFIKASI PEMBELAJARAN FISIKA KELAS X SMA NEGERI 1 BELITANG Arini Rosa Sinensis Dosen Pendidikan Fisika

Lebih terperinci

ANALISIS KETERAMPILAN MEMBERIKAN PENJELASAN SEDERHANA MENGGUNAKAN MODEL PROBLEM SOLVING

ANALISIS KETERAMPILAN MEMBERIKAN PENJELASAN SEDERHANA MENGGUNAKAN MODEL PROBLEM SOLVING ANALISIS KETERAMPILAN MEMBERIKAN PENJELASAN SEDERHANA MENGGUNAKAN MODEL PROBLEM SOLVING Riestania Faradilla, Ila Rosilawati, Noor Fadiawati, Nina Kadaritna Pendidikan Kimia, Universitas Lampung riestania.faradilla@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang memacu pada kemandirian siswa dalam menyelesaikan masalah

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang memacu pada kemandirian siswa dalam menyelesaikan masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan diartikan sebagai bentuk interaksi antara pendidik dengan siswa. Interaksi antara pendidik dengan siswa ini terjadi pada saat proses pembelajaran.

Lebih terperinci

BAB V ANALISA. Pembelajaran yang diterapkan pada kelompok sampel (kelas X IA-4)

BAB V ANALISA. Pembelajaran yang diterapkan pada kelompok sampel (kelas X IA-4) 83 BAB V ANALISA Pembelajaran yang diterapkan pada kelompok sampel (kelas X IA-4) adalah pembelajaran menggunakan model pembelajaran inquiry training yang dilakukan dalam tiga kali pertemuan dengan alokasi

Lebih terperinci

Eka Pratiwi Tenriawaru*, Nurhayati B, Andi Faridah Arsal. Program Studi Biologi, Fakultas MIPA Universitas Cokroaminoto Palopo ABSTRAK

Eka Pratiwi Tenriawaru*, Nurhayati B, Andi Faridah Arsal. Program Studi Biologi, Fakultas MIPA Universitas Cokroaminoto Palopo ABSTRAK Jurnal Dinamika, September 2011, halaman 74-90 ISSN 2087-7889 Vol. 02. No. 2 Peningkatan Motivasi, Aktivitas, dan Hasil Belajar Biologi Siswa melalui Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan pendidikan tidak dapat dipisahkan, sebab pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan pendidikan tidak dapat dipisahkan, sebab pendidikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dan pendidikan tidak dapat dipisahkan, sebab pendidikan merupakan kunci dari masa depan manusia yang dibekali dengan akal dan pikiran. Pendidikan mempunyai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS. Kemampuan berpikir tingkat tingi dapat dikembangkan dalam proses

BAB II KAJIAN TEORITIS. Kemampuan berpikir tingkat tingi dapat dikembangkan dalam proses BAB II KAJIAN TEORITIS A. Kajian Teori 1. Kemampuan Berpikir Kritis Kemampuan berpikir tingkat tingi dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran terutama dalam pembelajaran matematika, salah satunya adalah

Lebih terperinci

Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Peserta Didik melalui Metode Inkuiri Model Alberta

Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Peserta Didik melalui Metode Inkuiri Model Alberta Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Peserta Didik melalui Metode Inkuiri Model Alberta Depi Setialesmana Pendidikan Matematika,FKIP,UNSIL, depi_setia23@yahoo.co.id Abstrak Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

*keperluan Korespondensi, HP: , ABSTRAK

*keperluan Korespondensi, HP: , ABSTRAK Jurnal Pendidikan Kimia, Vol. 1 No. 1 Tahun 2012 Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Sebelas Maret EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF METODE STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISIONS (STAD) DAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penguasaan konsep siswa terhadap materi fluida statis diukur dengan tes

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penguasaan konsep siswa terhadap materi fluida statis diukur dengan tes BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Data Penguasaan Konsep Fluida statis Penguasaan konsep siswa terhadap materi fluida statis diukur dengan tes pilihan ganda sebanyak 15 soal.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada hari Jum at, tanggal 25 November

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada hari Jum at, tanggal 25 November BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembelajaran adalah proses transfer ilmu dua arah, antara guru sebagai pemberi informasi dan siswa sebagai penerima informasi menurut Munif Chatid (Indah,2008). Proses

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Proses pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis praktikum,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Proses pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis praktikum, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Proses pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis praktikum, melalui pendekatan inkuiri pada subkonsep faktor-faktor yang mempengaruhi fotosintesis dilakukan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Fisika merupakan salah satu bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Fisika berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga fisika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Matematika sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah memegang peranan penting untuk membentuk siswa menjadi berkualitas karena matematika merupakan suatu

Lebih terperinci

PENERAPAN MODEL LEARNING CYCLE 7E UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI PROSES DAUR AIR

PENERAPAN MODEL LEARNING CYCLE 7E UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI PROSES DAUR AIR Jurnal Pena Ilmiah: Vol. 1, No. 1 (2016) PENERAPAN MODEL LEARNING CYCLE 7E UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI PROSES DAUR AIR Yeti Sumiyati 1, Atep Sujana 2, Dadan Djuanda 3 1,2,3 Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Motivasi belajar mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap keberhasilan dalam proses kegiatan pembelajaran di kelas. Tanpa adanya motivasi belajar yang

Lebih terperinci

KEMAMPUAN MEMFOKUSKAN PERTANYAAN DAN MENGANALISIS ARGUMEN PADA MATERI KOLOID DENGAN INKUIRI TERBIMBING

KEMAMPUAN MEMFOKUSKAN PERTANYAAN DAN MENGANALISIS ARGUMEN PADA MATERI KOLOID DENGAN INKUIRI TERBIMBING KEMAMPUAN MEMFOKUSKAN PERTANYAAN DAN MENGANALISIS ARGUMEN PADA MATERI KOLOID DENGAN INKUIRI TERBIMBING Vina Oktavia, Ila Rosilawati, Noor Fadiawati Pendidikan Kimia, Universitas Lampung vinaoktavialampung@gmail.com

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. LEMBAR PENGESAHAN... ii. PERNYATAAN... iii. KATA PENGANTAR... iv. ABSTRAK... vi. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. LEMBAR PENGESAHAN... ii. PERNYATAAN... iii. KATA PENGANTAR... iv. ABSTRAK... vi. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv ABSTRAK... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiii BAB

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. digunakan penjelasan definisi operasional sebagai berikut:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. digunakan penjelasan definisi operasional sebagai berikut: 34 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Definisi Operasional Untuk lebih memahami makna dari penelitian yang dilakukan maka digunakan penjelasan definisi operasional sebagai berikut: 1. Penguasaan Konsep Penguasaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sehari-hari. Namun dengan kondisi kehidupan yang berubah dengan sangat

I. PENDAHULUAN. sehari-hari. Namun dengan kondisi kehidupan yang berubah dengan sangat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan diharapkan dapat membekali seseorang dengan pengetahuan yang memungkinkan baginya untuk mengatasi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Namun dengan kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu tujuan mata pelajaran fisika di SMA menurut Permendiknas No. 22 tahun 2006 adalah sebagai wahana atau sarana untuk melatih para siswa agar dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diri setiap individu siswa. Mudah masuknya segala informasi, membuat siswa

I. PENDAHULUAN. diri setiap individu siswa. Mudah masuknya segala informasi, membuat siswa 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi ini, semua infomasi dengan sangat mudah masuk ke dalam diri setiap individu siswa. Mudah masuknya segala informasi, membuat siswa harus berpikir secara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di kelas II SD Kutowinangun 08. Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar

Lebih terperinci

PENGARUHMODEL PEMBELAJARANINQUIRY TRAINING TERHADAPHASILBELAJARSISWA PADAMATERI POKOK ELASTISITAS KELAS XI SEMESTER I DI MAN 1 MEDAN T.

PENGARUHMODEL PEMBELAJARANINQUIRY TRAINING TERHADAPHASILBELAJARSISWA PADAMATERI POKOK ELASTISITAS KELAS XI SEMESTER I DI MAN 1 MEDAN T. Vol., No., Mei PENGARUHMODEL PEMBELAJARANINQUIRY TRAINING TERHADAPHASILBELAJARSISWA PADAMATERI POKOK ELASTISITAS KELAS XI SEMESTER I DI MAN MEDAN T.P 3/ Fitriani dan Alkhafi Maas Siregar Program Studi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2010). Metode

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2010). Metode 32 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian secara umum dapat diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2010). Metode

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. eksperimen 1 yang menggunakan pembelajaran guided inquiry melalui tahap

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. eksperimen 1 yang menggunakan pembelajaran guided inquiry melalui tahap 47 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini menyajikan data hasil penelitian, analisis, dan pembahasan hasil penelitian berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan dalam rumusan masalah. Dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini akan diuraikan secara rinci mengenai hasil penelitian yang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini akan diuraikan secara rinci mengenai hasil penelitian yang 45 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan diuraikan secara rinci mengenai hasil penelitian yang meliputi temuan-temuan dari seluruh kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Penelitian Penelitian ini dilakukan di SDN Cijati beralamat di Kecamatan Majalengka Kulon Kabupaten Majalengka. Yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Setiap tahap pelaksanaan tindakan merupakan tahapan yang dilaksanakan sebagai realisasi dari perencanaan yang telah disusun. Perencanaan yang telah disusun, belum

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. mengumpulkan data penelitiannya (Arikunto, 2002). Metode yang digunakan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. mengumpulkan data penelitiannya (Arikunto, 2002). Metode yang digunakan 32 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya (Arikunto, 2002). Metode yang digunakan dalam penelitian

Lebih terperinci