BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. berdasarkan temuan yang diperoleh selama penelitian. Analisis terhadap hasil tes

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. berdasarkan temuan yang diperoleh selama penelitian. Analisis terhadap hasil tes"

Transkripsi

1 52 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini berisi tentang hasil pengolahan data penelitian dan pembahasannya berdasarkan temuan yang diperoleh selama penelitian. Analisis terhadap hasil tes siswa ditujukan untuk mengetahui bagaimana peningkatan pemahaman konsep dan keterampilan berpikir kritis siswa SMA kelas XI pada materi pokok larutan penyangga melalui pembelajaran kontekstual dengan metode praktikum. 4.1 Pemahaman Konsep Siswa Untuk mengetahui peningkatan pemahaman konsep siswa pada materi pokok larutan penyangga melalui pembelajaran kontekstual, maka dilakukan pretes dan postes terhadap subjek penelitian yaitu 34 orang siswa XI IPA di salah satu SMA di kota Bandung. Instrumen yang digunakan yaitu tes pilihan berganda sebanyak tujuh soal. Kemudian data yang diperoleh dari tes tertulis ini akan dianalisis sesuai dengan teknik analisis data yang telah diungkapkan pada bab sebelumnya. Dari hasil analisis data tersebut diperoleh informasi mengenai peningkatan nilai pretes terhadap postes siswa baik secara keseluruhan maupun untuk setiap indikator soal. Dengan demikian akan diperoleh gambaran mengenai indikator mana yang paling dikembangkan dengan pembelajaran ini.

2 Peningkatan Pemahaman Konsep Seluruh Siswa Peningkatan pemahaman konsep siswa diukur dengan membandingkan data pretes dan postes siswa. Secara kuantitatif, peningkatan penguasaan konsep siswa ditunjukkan dengan nilai normalisasi gain. Tabel perolehan pretes, postes, normalisasi gain (%), dan kategori peningkatan pada soal pemahaman konsep secara lengkap disajikan pada lampiran C.1. Hasil pengolahan data nilai rata-rata pretes dan postes untuk keseluruhan siswa disajikan dalam tabel 4.1. Tabel 4.1 Rata-rata Pretes, Postes dan Normalisasi Gain (%) Siswa Secara Keseluruhan Parameter Perolehan Pretes Postes Nilai rata-rata(%) Simpangan baku (S) Variansi(S 2 ) Nilai maksimum(%) Nilai minimum(%) 52,5 1,5 2,31 71,4 14,3 81,1 1,02 1, ,9 N-gain keseluruhan 60,2% Dari tabel di atas, diperoleh nilai rata-rata pretes sebesar 52,5% dari nilai rata-rata maksimal 100% dan nilai rata-rata postes sebesar 81,1% dari nilai ratarata maksimal 100%. Perbandingan nilai rata-rata pretes dan postes, menunjukkan terjadinya peningkatan pemahaman konsep yang selanjutnya diukur dengan normalisasi gain (N-Gain) sebesar 60,2%. Grafik perbandingan nilai rata-rata pretes, postes dan normalisasi gain disajikan dalam gambar 4.1.

3 Nilai Rata-rata(%) Keterangan : 1 = pretes 2= postes 3 = N-gain Gambar 4.1 Nilai Rata-rata Pretes, Postes, dan N-gain untuk Keseluruhan Siswa pada Soal Pemahaman Konsep Dari grafik di atas dapat terlihat bahwa secara keseluruhan siswa mengalami peningkatan pemahaman konsep. Rata-rata nilai pretes siswa yang berada di atas angka 50 menunjukkan bahwa siswa telah mempunyai pengetahuan awal mengenai konsep larutan penyangga sebelum pembelajaran dilaksanakan. Hal ini dikarenakan siswa sebelum mempelajari materi pokok larutan penyangga mereka terlebih dahulu telah mempelajari materi larutan asam basa, juga reaksi- berhubungan reaksi dalam larutan elektrolit, dimana materi-materi tersebut dengan materi larutan penyangga, sehingga berpengaruh pada pengetahuan awal yang dimiliki oleh siswa. Berdasarkan data keseluruhan nilai pretes, postes, dan N-gain (lampiran C.1), terlihat adanya perbedaan antara nilai pretes dan postes. Pada pretes, nilai tertinggi yang diperoleh siswa yaitu 7,1 dan nilai terendah yaitu 1,4 dari nilai maksimal 10. Adapun rata-rata nilai pretes hanya 5,3. Nilai postes siswa yang diperoleh setelah mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan

4 55 metode praktikum, rata-ratanya adalah 8,1, dengan nilai terendah 4,3 dan nilai tertinggi 10 dari nilai maksimal 10. Secara umum, hal ini menunjukkan adanya peningkatan pemahaman konsep siswa. Peningkatan pemahaman konsep siswa secara lebih bermakna dapat dilihat dalam bentuk normalisasi gain (lampiran C.2). Jumlah siswa yang memperoleh normalisasi gain pada kategori tinggi adalah 7 orang (21%), kategori sedang adalah 24 orang (70%), dan kategori rendah adalah 3 orang (9%). Normalisasi gain tertinggi diperoleh siswa sebesar 100% dan terendah sebesar 0%. Rata-rata siswa mengalami peningkatan sebesar 57% yang termasuk kategori sedang. Peningkatan pemahaman konsep ini diperkirakan karena siswa sebelumnya sudah mendapatkan pembelajaran kontekstual dengan metode praktikum. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Depdiknas (2006), bahwa salah satu ciri pembelajaran kontekstual adalah pengajaran otentik, yaitu pendekatan pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk mempelajari konteks bermakna terhadap fenomena-fenomena yang dihadapi. Dalam pembelajaran siswa dikenalkan pada konteks darah, yang di dalam darah tersebut terdapat sistem larutan penyangga. Dengan diperkenalkan pada konteks yang dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari, siswa menjadi lebih tertarik untuk mempelajari larutan penyangga, dan hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan pemahaman konsep siswa. Seperti yang dikemukakan oleh Nur aeni (2008), bahwa peningkatan pemahaman konsep siswa dapat meningkat dengan pembelajaran kontekstual dikarenakan pada pembelajaran ini siswa disuguhkan permasalahan yang kontekstual, mereka

5 56 dituntut untuk berdiskusi secara kelompok guna menyelesaikan permasalahan tersebut. Pembelajaran seperti itu dapat meningkatkan minat siswa. Sehingga siswa lebih antusias untuk mempelajari dan memahami materi yang sedang diajarkan oleh guru. Selain itu, kegiatan praktikum yang dilakukan pada saat pembelajaran juga berkontribusi besar dalam meningkatkan pemahaman konsep siswa. Praktikum dalam tahap pembelajaran kontekstual berada pada tahap elaborasi, dimana pada tahap ini dilakukan eksplorasi, pembentukan dan pemantapan konsep sampai pertanyaan pada tahap kuriositi dapat terjawab. Sebagian besar siswa juga lebih tertarik jika pembelajaran dilakukan dengan metode praktikum, karena mereka seringkali merasa bosan ketika pembelajaran hanya dilakukan di kelas dengan ceramah. Rasa ketertarikan siswa dengan metode praktikum ini juga tentu berkontribusi cukup besar pada peningkatan pemahaman konsep siswa. Seperti yang dikemukakan oleh Usman (dalam Noviantika, 2005) salah satu faktor yang dapat meningkatkan pemahaman siswa adalah faktor yang berasal dari diri pelajar itu sendiri (internal) yang meliputi faktor fisiologis dan psikologis. Salah satu faktor psikologis yang cukup berperan penting dalam belajar adalah motivasi. Motivasi dapat mendorong siswa untuk lebih memahami suatu materi. Praktikum dapat membantu meningkatkan motivasi siswa tersebut. Seperti juga yang diungkapkan oleh Rustaman (dalam Noviantika, 2005) mengenai empat alasan mengapa praktikum penting untuk dilakukan, salah satunya adalah praktikum membangkitkan motivasi dalam mempelajari IPA. Motivasi merupakan suatu hal yang penting dalam belajar yang dapat mendorong

6 57 siswa untuk belajar lebih mendalam. Peningkatan pemahaman konsep ini juga bisa terlihat dari jawaban siswa pada lembar kerja siswa (LKS) praktikum. Pada LKS terdapat empat pertanyaan yang mengacu pada indikator pemahaman konsep. Hampir seluruh siswa menjawab dengan benar ke empat soal tersebut. Walaupun secara umum seluruh siswa mengalami peningkatan pemahaman konsep, terdapat beberapa fenomena yang penulis temukan, diantaranya terdapat tiga orang siswa (S25, S33, dan S34) yang normalisasi gainnya 0%. Nilai N-gain sebesar 0% menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan pemahaman konsep setelah mengikuti pembelajaran. Sebelum mengikuti pembelajaran, nilai pretes kedua siswa, yaitu S25 dan S34 tergolong baik dibandingkan dengan siswa yang lain yaitu nilai 8,6 (untuk S25), dan 5,7 (untuk S34), sedangkan untuk S33 nilainya hampir sama dengan siswa lain yaitu 4,3. Berdasarkan nilai rata-rata sehari-hari, S25 termasuk kategori tinggi, sedangkan S33 dan S34 termasuk kategori rendah. Pada S33 dan S34 tidak terjadi peningkatan pemahaman konsep, dimungkinkan karena kedua siswa tersebut hanya menerka-nerka jawaban pada saat pretes. Tetapi terdapat juga kemungkinan kedua siswa tersebut mempunyai pengetahuan awal. Sedangkan pada S25, siswa ini pada saat pretes dan postes mengalami kesalahan pada soal yang sama, yaitu pada soal nomor tujuh. Hal ini dimungkinkan karena siswa tersebut kurang teliti membaca soal

7 Peningkatan Pemahaman Konsep Siswa Berdasarkan Indikator Soal Soal pemahaman konsep yang berjumlah tujuh, masing-masing memiliki indikator yang diharapkan dapat dicapai ketika siswa mampu menjawab soal tersebut dengan benar. Pengelompokkan butir soal ke dalam indikator disajikan pada tabel 4.2. Tabel 4.2 Pengelompokkan Butir Soal Pemahaman Konsep ke dalam Indikator No Indikator Nomor Soal 1. Membedakan larutan penyangga dan bukan larutan penyangga dalam beberapa konteks Membedakan jenis larutan penyangga 1 3. Menjelaskan fungsi larutan penyangga 2 4. Menjelaskan cara kerja larutan penyangga 4 5. Meramalkan pengaruh penambahan asam terhadap perubahan ph larutan penyangga 6. Meramalkan pengaruh penambahan basa terhadap perubahan ph larutan penyangga. 7. Meramalkan pengaruh pengenceran terhadap perubahan ph larutan penyangga Selanjutnya ketercapaian indikator-indikator tersebut dilihat berdasarkan rata-rata nilai pretes, postes siswa dan peningkatannya melalui rata-rata N-gain. Rata-rata nilai pretes, postes, dan N-gain siswa berdasarkan indikator dapat dilihat pada gambar 4.2 :

8 59 Nilai Rata-rata(%) Indikator pretes postes N-gain Gambar 4.2 Nilai Rata-rata Pretes, Postes, dan N-gain Berdasarkan Indikator Soal Pemahaman Konsep Dari grafik di atas, diperoleh data bahwa secara umum terjadi peningkatan pemahaman konsep rata siswa tertinggi siswa pada setiap indikator. Peningkatan kemampuan rata- terjadi pada indikator nomor dua yaitu membedakan jenis larutan penyangga, yang diwakili oleh soal nomor dua. Sebelum pembelajaran, kemampuan rata-rataa siswa pada konsep ini sebesar 85,3% dan tergolong baik. Setelah pembelajaran, pemahaman konsep rata-rata siswa pada indikator ini yaitu 100% dan tergolong sangat baik, dengan N-gain 100%. Peningkatan pemahaman konsep pada indikator ini juga didukung oleh data yang ada pada lembar kerja siswa, terdapat satu pertanyaan pada lembar kerja siswa yang indikatornya juga membedakan jenis larutan penyangga dan semua siswa menjawab benar. Peningkatan pemahaman konsep yang tinggi pada indikator ini juga dimungkinkan karena sub materi jenis larutan penyangga paling mudah dipahami dan dimengerti oleh siswa dibandingkan sub materi yang lain.

9 60 Pada sub materi ini, siswa diperkenalkan pada kedua jenis larutan penyangga yaitu larutan penyangga asam dan larutan penyangga basa. Dikarenakan sebelumnya siswa sudah mempelajari materi larutan asam dan basa, maka dengan pengetahuan awal yang dimiliki siswa tersebut, tidak terlalu sulit untuk membuat siswa paham pada konsep ini. Peningkatan pemahaman konsep rata-rata siswa yang paling rendah terdapat pada indikator nomor lima yaitu menentukan pengaruh penambahan asam terhadap perubahan ph larutan penyangga, yang diwakili oleh soal nomor tujuh. Sebelum pembelajaran, kemampuan rata-rata keseluruhan siswa pada konsep ini yaitu 26,5% dan tergolong kurang baik. Setelah pembelajaran, terjadi peningkatan kemampuan rata-rata siswa sebesar 34% menjadi 60,5% dan tergolong baik, dengan N-gain 46%. Peningkatan yang rendah pada indikator ini kemungkinan disebabkan oleh kebanyakan siswa banyak yang masih bingung mengenai konsep cara kerja larutan penyangga. Pada konsep ini, terjadi penggabungan beberapa konsep sebelumnya seperti konsep reaksi asam basa, kesetimbangan dalam larutan, sehingga untuk benar-benar paham pada konsep ini, siswa harus paham mengenai materi-materi tersebut, dan siswa harus mengingat kembali konsep-konsep tersebut serta menggabungkannya untuk dapat mengerti mengenai konsep cara kerja larutan penyangga.

10 61 Peningkatan pemahaman konsep pada indikator lainnya dipaparkan sebagai berikut : 1. Membedakan larutan penyangga dan bukan penyangga dalam beberapa konteks. Sebelum pembelajaran, kemampuan rata-rata keseluruhan siswa pada konsep ini yaitu 67,6% dan tergolong cukup. Setelah pembelajaran, terjadi peningkatan kemampuan rata-rata siswa menjadi 97% yang tergolong sangat baik, dengan N-gain 91%. Kemampuan rata-rata keseluruhan siswa sebelum pembelajaran pada konsep ini sudah tergolong cukup baik. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh konteks yang disajikan dalam soal yang erat dengan kehidupan siswa sehari-hari, sehingga siswa tertarik untuk membaca soal tersebut walaupun untuk soal tersebut diperlukan waktu yang agak lama untuk membacanya karena terdapat wacana. 3. Menjelaskan fungsi larutan penyangga Sebelum pembelajaran, kemampuan rata-rata keseluruhan siswa pada indikator ini yaitu 76% dan tergolong baik. Setelah pembelajaran, kemampuan rata-rata keseluruhan siswa naik menjadi 94% dan tergolong sangat baik, dengan N-gain 75%. Kemampuan rata-rata siswa pada konsep ini sebelum pembelajaran sudah tergolong baik. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh konsep fungsi larutan penyangga ini merupakan konsep yang tergolong mudah dibandingkan konsep larutan penyanga yang lainnya. Fungsi larutan penyangga yang paling utama dan yang ditanyakan di dalam soal adalah larutan penyangga dapat mempertahankan ph, kemampuan larutan penyangga

11 62 untuk mempertahankan ph ini dari awal sudah sering ditekankan karena merupakan bagian dari pengertian larutan penyangga. Hal ini menyebabkan siswa menjadi lebih paham dan ingat akan konsep fungsi larutan penyangga ini. Untuk indikator empat yaitu menjelaskan cara kerja larutan penyangga, indikator enam yaitu meramalkan pengaruh penambahan basa terhadap perubahan ph larutan penyangga, dan indikator tujuh yaitu meramalkan pengaruh pengenceran terhadap perubahan ph larutan penyangga, karena berada pada cakupan konsep yang sama, maka pembahasan akan dilakukan bersamaan. Sebelum pembelajaran, kemampuan rata-rata keseluruhan siswa pada ketiga indikator ini berturut-turut yaitu 65% yang tergolong cukup untuk indikator empat, 14% yang tergolong kurang untuk indikator enam, dan 32% yang tergolong cukup untuk indikator tujuh. Setelah pembelajaran, kemampuan rata-rata keseluruhan siswa pada indikator empat naik menjadi 91% dan tergolong sangat baik, dengan N-gain 75%, pada indikator enam naik menjadi menjadi 85% dan tergolong sangat baik, dengan N-gain 82%, pada indikator tujuh naik menjadi 79% dan tergolong baik, dengan N-gain 69%. Jika dibandingkan dengan indikator 1, 2 dan 3, kemampuan rata-rata keseluruhan siswa sebelum pembelajaran pada ketiga indikator ini lebih rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh konsep cara kerja larutan penyangga yang tergolong agak sulit jika dibandingkan konsep larutan

12 63 penyangga yang lainnya. Sehingga kebanyakan siswa baru benar-benar mengerti mengenai konsep ini setelah pembelajaran dilakukan. Dengan pembelajaran yang dilakukan, yaitu pembelajaran kontekstual dengan metode praktikum, konsep yang agak sulit pun pada akhirnya dapat dimengerti oleh siswa. Hal ini dikarenakan selama pembelajaran siswa banyak diberikan contoh yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Untuk konsep cara kerja larutan penyangga ini, siswa diberikan contoh diantaranya cara kerja larutan penyangga dalam darah. Setelah diberikan contoh melalui guru menerangkan di kelas, kemudian siswa selanjutnya melaksanakan praktikum dan konsep mengenai cara kerja larutan penyangga ini diperkuat kembali pada saat pratikum, dimana pada praktikum ini menggunakan konteks darah. Metode praktikum, yang lebih memotivasi siswa dibandingkan dengan pembelajaran dengan metode ceramah di kelas tentu akan memberikan hasil yang lebih optimal. Selain motivasi, dengan praktikum siswa dapat belajar dengan aktif. Seperti yang diungkapkan Ngabekti dan Aertha (dalam Noviantika, 2005) : Ada beberapa kegiatan pembelajaran yang cenderung mendorong siswa aktif. Salah satu kegiatan tersebut adalah praktikum. Keaktifan siswa dalam pembelajaran akan memberikan hasil yang optimal (Ngabekti dan Aertha dalam Noviantika, 2005). Sedangkan jika hanya membaca bagi sebagian orang membosankan sehingga tidak timbul motivasi untuk lebih memahami bacaannya

13 Peningkatann Pemahaman Konsep Siswa Berdasarkan Pemahaman Aspek Pemahaman menurut Bloom meliputi tiga aspek, yaitu aspek translasi, aspek interpretasi, dan aspek ekstrapolasi. Pengelompokkan butir soal ke dalam ketiga aspek tersebut disajikan pada tabel 4.3. Tabel 4.3 Pengelompokkan Butir Soal Pemahaman Konsep Berdasarkan Aspek Pemahaman Aspek Pemahaman Butir Soal Aspek Translasi 2,4 Aspek Interpretasi 1,6 Aspek Ekstrapolasi 3,5,7 Selanjutnya ketercapaian aspek-aspek pemahaman tersebut dilihat berdasarkan rata-rataa nilai pretes, postes siswa dan peningkatannya melalui rata- indikator rata N-gain. Rata-rataa nilai pretes, postes, dan N-gain siswa berdasarkan dapat dilihat pada gambar 4.3 : 100 Nilai rata-rata(%) pretes postes N-gain Aspek Pemahaman Gambar 4.3 Nilai Rata-rata Pretes, Postes, dan N-gain Berdasarkan Aspek Pemahaman Dari grafik di atas, dapat terlihat bahwa secara keseluruhan siswa mengalami peningkatan pada ketiga aspek pemahaman. Pada aspek yang pertama

14 65 yaitu aspek translasi, terjadi peningkatan yang cukup tinggi. Rata-rata nilai pretes untuk aspek ini 71% yang tergolong baik. Rata-rata postes naik menjadi 93% yang tergolong sangat baik, dengan N-gain 75%. Aspek translasi meliputi a) Kemampuan menterjemahkan sesuatu dari bentuk abstrak ke bentuk yang lebih konkrit. b) Kemampuan untuk menterjemahkan suatu simbol ke dalam bentuk lain seperti menterjemahkan tabel, grafik, dan sebagainya, dan c) Kemampuan menterjemahkan bahasa ke dalam bahasa lain. Aspek ini diwakili oleh soal nomor dua dan nomor empat. Dalam kedua soal ini, aspek translasi yang lebih ditekankan yaitu kemampuan menterjemahkan sesuatu dari bentuk abstrak ke bentuk yang lebih konkrit untuk soal nomor empat, dan kemampuan menterjemahkan bahasa ke dalam bahasa lain untuk soal nomor dua. Aspek translasi ini merupakan aspek pemahaman tingkat terendah. Rata-rata nilai pretes keseluruhan siswa pada aspek ini sudah cukup baik. Peningkatan yang cukup tinggi pada aspek ini menunjukkan bahwa siswa mampu mengingat (menghafal) dengan baik. Aspek pemahaman yang kedua yaitu aspek interpretasi yang meliputi: a) Kemampuan membedakan antara kesimpulan-kesimpulan yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan atau bertentangan dari kelompok data, b) Kemampuan untuk memahami rangkaian suatu pekerjaan secara keseluruhan, dan c) Kemampuan untuk memahami dan menafsirkan dengan kedalaman dan kejelasan berbagai macam bacaan. Aspek ini mengalami peningkatan tertinggi dibandingkan kedua aspek lainnya. Rata-rata nilai pretes keseluruhan siswa 76% yang tergolong baik, rata-rata nilai postes meningkat menjadi 98% yang tergolong

15 66 sangat baik, dengan N-gain 94%. Peningkatan yang cukup tinggi pada aspek ini menunjukkan bahwa siswa mampu megerti (memmahami), menerima, dan menganalisis dengan baik. Aspek interpretasi ini diwakili oleh dua soal, yaitu soal nomor satu dan nomor enam. Aspek interpretasi yang lebih ditekankan pada kedua soal ini yaitu kemampuan membedakan antara kesimpulan-kesimpulan yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan atau bertentangan dari kelompok data untuk soal nomor satu, dan kemampuan untuk memahami dan menafsirkan dengan kedalaman dan kejelasan berbagai macam bahan untuk soal nomor enam. Peningkatan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan aspek translasi, padahal aspek pemahaman ini berada pada tingakatan yang lebih tinggi daripada aspek translasi, kemungkinan disebabkan pada soal nomor enam disajikan data dalam bentuk tabel. Dari data yang disajikan pada soal tersebut, kemungkinan siswa akan lebih mudah menafsirkan kecenderungan manakah jawaban yang benar dari jawaban-jawaban yang ada. Aspek pemahaman yang ketiga yaitu aspek ekstrapolasi yang meliputi: a) Kemampuan untuk menyimpulkan dan menyatukan lebih eksplisit, b) Kemampuan untuk memprediksikan konsekuensi dari tindakan yang digambarkan dari sebuah komunikasi, dan c) Kemampuan bisa sensitif terhadap faktor yang mungkin membuat prediksi menjadi tidak akurat. Aspek ini mengalami peningkatan paling rendah. Rata-rata nilai pretes secara keseluruhan 24% yang tergolong rendah, rata-rata nilai postes naik menjadi 62% yang tergolong cukup, dengan N-gain 49%.

16 67 Aspek ekstrapolasi ini diwakili oleh tiga soal yaitu soal nomor tiga, lima, dan tujuh. Ketiga aspek ekstrapolasi yang telah dipaparkan sebelumnya ditekankan pada ketiga soal tersebut. Peningkatan yang rendah dimungkinkan pada aspek ini membutuhkan tingkat pemahaman yang lebih tinggi dibandingkan kedua aspek sebelumnya. Jika pada soal-soal pada kedua aspek sebelumnya tanpa membaca soal berkali-kali, siswa yang tingkat pemahamannya masih rendah pun bisa menjawab soal dengan benar. Soal-soal pada aspek ekstrapolasi ini dibutuhkan ketelitian untuk bisa menjawab dengan benar. Peningkatan yang rendah pada aspek ini menunjukkan bahwa kemampuan siswa untuk mengevaluasi dan mensiptakan pengetahuan baru dari apa yang telah dipahaminya masih cukup rendah. 4.2 Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Untuk mengetahui peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa, maka dilakukan pretes dan postes terhadap subjek penelitian. Instrumen yang digunakan yaitu tes essay sebanyak empat soal. Kemudian data yang diperoleh dari tes tertulis ini akan dianalisis sesuai dengan teknik analisis data yang telah diungkapkan pada bab sebelumnya. Dari hasil analisis data tersebut akan diperoleh informasi mengenai peningkatan nilai pretes terhadap postes siswa baik secara keseluruhan maupun untuk setiap indikator soal Peningkatan Keterampilan Berpikir Kritis Seluruh Siswa Peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa diukur dengan membandingkan data pretes dan postes siswa. Secara kuantitatif, peningkatan

17 68 keterampilan berpikir kritis siswa ditunjukkan dengan nilai normalisasi gain. Berikut ini merupakan tabel hasil pengolahan data nilai rata-rata pretes dan postes untuk keseluruhan siswa. Tabel 4.4 Rata-rata Pretes, Postes dan Normalisasi Gain (%) Siswa Secara Keseluruhan Parameter Perolehan Pretes Postes Nilaii rata-rata(%) Simpangan baku (S) Variansi(S ) Nilaii maksimum(%) Nilaii minimum(%) 9,2 1,9 3, ,4 1,8 3, N-Gain keseluruhan 73,63% Dari tabel di atas, diperoleh nilai rata-rata pretes sebesar 9,2% dari nilai rata-rata maksimal 100% dan nilai rata-rata postes sebesar 76,4% dari nilai rata- dan postes rata maksimal 100% %. Dengan perbandingan nilai rata-rata pretes di atas, terjadi peningkatan keterampilan berpikir kritis yang diukur dengan normalisasi gain, yaitu sebesar 73,63%. Berikut disajikan grafik perbandingan nilai rata-rata pretes, postes dan normalisasi gain. Nilai rata-rata(%) Keteranga n : 1 = pretes 2= postes 3 = N-gain Gambar 4.4 Nilai Rata-rata Pretes, Postes, dan N-gain untuk Keseluruhan Siswa pada Soal Keterampilan Berpikir Kritis

18 69 Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa secara keseluruhan siswa mengalami peningkatan keterampilan berpikir kritis. Berbeda dengan soal pemahaman konsep, nilai rata-rata pretes keseluruhan siswa pada soal keterampilan berpikir kritis jauh lebih rendah, yaitu 9,2% dari nilai rata-rata maksimal 100%. Tetapi setelah pembelajaran, keterampilan berpikir kritis siswa meningkat cukup tajam, yang ditunjukkan dengan nilai rata-rata pretes sebesar 76,4% dari nilai rata-rata maksimal 100%. Hal ini mengindikasikan bahwa kebanyakan siswa tidak mempunyai dasar keterampilan berpikir kritis sebelumnya, dalam artian untuk mampu berpikir kritis, harus melalui proses pembelajaran terlebih dahulu. Proses pembelajaran yang dilakukan yaitu pembelajaran kontekstual dengan metode praktikum, terbukti dapat melatih dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa. Pemberian masalah pada awal pembelajaran mendorong siswa untuk berpikir kritis. Selain itu, dengan praktikum, dimana siswa benar-benar belajar aktif dengan melakukan sendiri, juga mendorong seluruh siswa untuk berpikir kritis, bukan hanya siswa yang pintar, tetapi juga siswa yang prestasinya kurang bagus. Hasil penelitian Wern Burgh (dalam Noviantika, 2005) mengemukakan bahwa siswa yang mempunyai nilai rata-rata rendah memberikan respon yang positif terhadap kegiatan praktikum dibanding siswa yang memiliki nilai rata-rata tinggi (pintar). Berdasarkan penelitiannya, hal tersebut dikarenakan siswa yang memiliki prestasi bagus tidak memerlukan praktikum untuk membantu memahami konsep, tetapi membantu untuk berpikir kritis. Sedangkan bagi yang memiliki prestasi cenderung rendah, kegiatan praktikum sangat dibutuhkan untu menambah

19 70 pemahaman terhadap suatu konsep, juga sangat membantu untuk melatih dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Berdasarkan data keseluruhan nilai pretes, postes, dan N-gain (Lampiran C.1), terlihat adanya perbedaan antara nilai pretes dan postes. Pada pretes, nilai tertinggi yang diperoleh siswa yaitu 6 dan nilai terendah yaitu 0 dari nilai maksimal 10. Adapun rata-rata nilai pretes hanya 0,92. Nilai postes siswa yang diperoleh setelah mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan metode praktikum, rata-ratanya adalah 7,64, dengan nilai terendah 4 dan nilai tertinggi 10 dari nilai maksimal 10. Secara umum, hal ini menunjukkan adanya peningkatan pemahaman konsep siswa. Peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa secara lebih bermakna dapat dilihat dalam bentuk normalisasi gain. Normalisasi gain tertinggi diperoleh siswa sebesar 100%, dan normalisasi gain terendah sebesar 37,5%. Secara umum siswa mengalami peningkatan sebesar 73,63% yang termasuk kategori cukup. Jumlah siswa yang memperoleh normalisasi gain pada kategori tinggi adalah 18 orang (53%), kategori sedang adalah 16 orang (47%). Peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa diperkirakan karena siswa sudah mendapatkan pembelajaran kontekstual dengan metode praktikum. Seperti yang telah dipaparkan oleh Depdiknas (2006) bahwa salah satu komponen pembelajaran kontekstual adalah inquiry, dimana siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis. Pada proses pembelajaran, guru selalu menghadirkan contoh-contoh dalam kehidupan sehari-hari. Materi yang disampaikan berkaitan dengan pengalaman sehari-hari siswa. Dimulai dari tahap kuriositi, siswa

20 71 diberikan permasalahan yang erat kaitannya dengan keseharian mereka. Dengan memunculkan masalah sebelum pembelajaran, siswa ditantang untuk berpikir kritis untuk memecahkannya, sehingga masalah tersebut membawa makna bagi siswa. Dengan memunculkan permasalahan tersebut juga dapat menarik minat siswa untuk belajar dan membangkitkan rasa ingin tahu siswa. Seperti yang dikemukakan oleh Nur aeni (2008), bahwa penyajian masalah yang kontekstual mendorong siswa untuk memunculkan potensi berpikir dan mampu menjembatani konsep kimia dengan kehidupan sehari-hari. Metode praktikum yang digunakan juga berkontribusi besar dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. Karena salah satu keuntungan metode praktikum dalam pembelajaran adalah membantu mengembangkan keterampilan inkuiri dan membantu dalam mengembangkan sikap ilmiah. Berdasarkan hal tersebut, sangatlah jelas bahwa metode praktikum sebagai metode berbasis eksperimen dalam pembelajaran kimia merupakan satu dari banyak metode yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Jawaban siswa pada LKS juga menunjukkan peningkatan dalam keterampilan berpikir kritis siswa, terbukti pada pertanyaan-pertanyaan yang indikatornya merupakan indikator keterampilan berpikir kritis, seluruh siswa mampu menjawab dengan benar. Ditemukan fenomena bahwa S25, yang nilai pretes pada soal pemahaman konsepnya bagus, ternyata nilai pretes pada soal keterampilan berpikir kritis juga bagus. Hal ini menunjukkan bahwa siswa tersebut memang telah memiliki

21 72 pengetahuan sebelumnya dan siswa tersebut memiliki keseimbangan antara pemahaman konsep dan keterampilan berpikir kritis Peningkatan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Berdasarkan Indikator Soal Soal keterampilan berpikir kritis yang berjumlah empat, masing-masing memiliki indikator yang diharapkan dapat dicapai ketika siswa mampu menjawab soal tersebut dengan benar. Pengelompokkan butir soal ke dalam indikator disajikan pada tabel 4.5. Tabel 4.5 Pengelompokkan Butir Soal Keterampilan Berpikir Kritis ke dalam Indikator No. Indikator Nomor Soal 1. Memprediksi cara kerja larutan penyangga bila 8 ditambahkan asam 2. Memprediksi cara kerja larutan penyangga bila 9 ditambahkan basa 3. Memprediksi cara kerja larutan penyangga bila 10 dilakukan pengenceran 4. Menyimpulkan cara kerja larutan penyangga bila ditambahkan asam, basa dan air 11 Selanjutnya ketercapaian indikator-indikator tersebut dilihat berdasarkan rata-rata nilai pretes, postes dan peningkatannya melalui rata-rata N-gain. Ratarata nilai pretes, postes, dan N-gain siswa berdasarkan indikator dapat dilihat pada gambar 4.5 :

22 73 nilai rata-rata(%) indikator pretes postes N-gain Gambar 4.5 Nilai Rata-rata Pretes, Postes, dan N-gain Berdasarkan Indikator Soal Keterampilan Berpikir Kritis Dari grafik di atas, diperoleh data bahwa secara umum terjadi peningkatan keterampilan berpikirr kritis siswa pada setiap indikator. Peningkatan kemampuan rata-rata siswa tertinggi terjadi pada indikator nomor tiga yaitu memprediksi cara kerja larutan penyangga bila dilakukan pengenceran yang diwakili oleh soal nomor 10. Sebelum pembelajaran, keterampilan berpikir kritis siswa dalam konsep ini sebesar 7% dan tergolong kurang baik. Setelah pembelajaran, pemahaman konsep rata-rata siswa pada indikator ini yaitu 79% dan tergolong baik, dengan N-gain 77,2%. Peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa yang paling rendah terdapat pada indikator nomor empat yaitu menyimpulkan cara kerja larutan penyangga bila ditambahkan asam, basa dan air, yang diwakili oleh soal nomor 11. Sebelum pembelajaran, kemampuan rata-rata keseluruhan siswa pada konsep ini yaitu 7,65% dan tergolongg kurang baik. Setelah pembelajaran, keterampilan berpikir

23 74 kritis rata-rata siswa pada indikator ini yaitu 74,11% dan tergolong baik, dengan N-gain 71,96%. Peningkatan keterampilan berpikir kritis yang lebih rendah dibandingkan indikator yang lain kemungkinan disebabkan karena siswa kesulitan untuk menyimpulkan secara keseluruhan. Untuk menyimpulkan secara keseluruhan, terlebih dahulu siswa harus bisa memberikan penjelasan pada soalsoal sebelumnya. Pada soal nomor empat ini, banyak siswa hampir menjawab dengan benar tetapi kurang lengkap sehingga nilai jawaban siswa pada soal ini banyak yang kurang sempurna. Hal ini kemungkinan disebabkan siswa kurang menyimak secara keseluruhan pada saat guru menjelaskan di depan kelas. Peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa pada indikator lainnya dipaparkan sebagai berikut. Pada indikator nomor satu dan dua yaitu memprediksi cara kerja larutan penyangga bila ditambahkan asam dan memprediksi cara kerja larutan penyangga bila ditambahkan basa, sebelum pembelajaran kemampuan rata-rata siswa berturut-turut pada masing-masing indikator yaitu 13% dan 9 % yang tergolong kurang. Setelah pembelajaran, keterampilan berpikir kritis ratarata siswa berurut-turut pada masing-masing indikator yaitu 75% dan 79 % yang tergolong baik, dengan N-gain masing-masing yaitu 73% dan 77%. Kelemahan siswa menjawab soal pada kedua indikator ini yaitu pada tahap penulisan persamaan reaksi. Hampir semua siswa menjawab tidak tepat di tahap ini pada saat postes. Hal ini dikarenakan untuk mampu menuliskan persamaan reaksi dengan tepat, diperlukan proses yang sistematis, sehingga siswa baru akan mengerti dan mampu menjawab dengan tepat pada tahap penulisan persamaan reaksi setelah pembelajaran dilaksanakan. Pada tahap penulisan persamaan reaksi,

24 75 kebanyakan siswa mengesampingkan hal-hal kecil yang sebenarnya penting dan mempengaruhi nilai, seperti penulisan tanda panah yang bolak-balik untuk reaksi kesetimbangan, dan penulisan muatan pada senyawa hasil ionisasi. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada saat menjelaskan, guru kurang menekankan pada hal-hal kecil tersebut. Guru berasumsi bahwa siswa sudah mempunyai pengetahuan awal karena sebelumnya siswa sudah mempelajari materi mengenai reaksi-reaksi Peningkatan Keterampilan Berpikir Kritis Berdasarkan Kelompok Keterampilan Berpikir Pengelompokkan butir soal keterampilan berpikir kritis ke dalam kelompok keterampilan berpikir disajikan pada tabel 4.5. Tabel 4.5 Pengelompokkan Butir Soal Keterampilan Berpikir Kritis ke dalam Kelompok Keterampilan Berpikir No. Kelompok keterampilan berpikir Butir soal 1 Memberikan penjelasan sederhana 8, 9, 10 2 Menyimpulkan 11 Selanjutnya ketercapaian kelompok keterampilan berpikir tersebut dilihat berdasarkan rata-rata nilai pretes, postes siswa dan peningkatannya melalui ratarata N-gain. Rata-rata nilai pretes, postes, dan N-gain siswa berdasarkan indikator dapat dilihat pada gambar 4.6 :

25 76 Nilai rata-rata Kelompok Keterampilan Berpikir pretes postes N-gain Gambar 4.6 Nilai Rata-rata Pretes, Postes, dan N-gain Berdasarkan Kelompok Keterampilan Berpikir Dari grafik di atas, dapat terlihat bahwa pada kelompok keterampilan berpikir yang pertamaa yaitu memberikan penjelasan sederhana terjadi peningkatan yang cukup signifikan. Rata-rata nilai pretes pada kelompok keterampilan berpikir ini yaitu 9,8% yang tergolong kurang dari nilai maksimal pembelajaran, rata-rata nilai postes naik menjadi 77% yang 100%. Setelah tergolong baik, dengan N-gain 74%. Kelompok keterampilan berpikir ini diwakili oleh tiga soal yaitu nomor 8, 9, dan 10. Rata-rata nilai pretes yang rendah mengindikasikan bahwa untuk mampu berpikir kritis diperlukan proses. Setelah pembelajaran dilaksanakan, terlihat bahwa siswa dapat memberikan penjelasan sederhana dengan baik. Kelompok keterampilan berpikir yang kedua yaitu menyimpulkan.. Rata- 7,65% yang rata nilai pretes pada kelompok keterampilan berpikir ini yaitu tergolong kurang dari nilai maksimal 100%. Setelah pembelajaran, rata-rata nilai

26 77 postes naik menjadi 76,4% yang tergolong baik, dengan N-gain 71,96%. Kelompok keterampilan berpikir ini mengalami peningkatan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok keterampilan berpikir yang sebelumnya. Hal ini dikarenakan menyimpulkan ada pada tingkatan keterampilan berpikir yang lebih tinggi dibandingkan memberikan penjelasan sederhana. Kelompok keterampilan berpikir ini diwakili oleh satu soal yaitu soal nomor 11. Pada soal ini siswa diminta untuk menyimpulkan secara keseluruhan, dan kebanyakan siswa bingung menjawabnya sehingga banyak yang menjawab kurang lengkap. Padahal sebenarnya jika siswa teliti membaca soal, untuk menjawab dengan tepat pada soal ini siswa hanya perlu merangkum secara keseluruhan apa yang mereka jawab pada ketiga soal sebelumnya. Tetapi kebanyakan siswa kurang teliti membaca soal sehingga jawaban siswa pada soal ini banyak yang kurang lengkap. Rusidi (2007) mengungkapkan bahwa kurangnya keterampilan berpikir kritis siswa dalam menarik kesimpulan ini disebabkan siswa kurang dapat menghubungkan pengetahuan yang satu dengan yang lainnya dan siswa kurang dapat mengutarakan sesuatu melalui bahasa yang jelas, teratur dan terarah.

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu bangsa. Pemerintah terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA khususnya fisika mencakup tiga aspek, yakni sikap,

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA khususnya fisika mencakup tiga aspek, yakni sikap, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembelajaran IPA khususnya fisika mencakup tiga aspek, yakni sikap, proses, dan produk. Sains (fisika) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mutu pendidikan. Hal ini dikarenakan kualitas mutu pendidikan menentukan

I. PENDAHULUAN. mutu pendidikan. Hal ini dikarenakan kualitas mutu pendidikan menentukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa, tidak ada cara lain selain menigkatkan mutu pendidikan. Hal ini dikarenakan kualitas mutu pendidikan menentukan kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan mata pelajaran fisika pada jenjang Sekolah Menengah Atas. (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA) berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan mata pelajaran fisika pada jenjang Sekolah Menengah Atas. (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA) berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan B A B I. P e n d a h u l u a n 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan mata pelajaran fisika pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA) berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ahmad Mulkani, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ahmad Mulkani, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ilmu kimia merupakan salah satu mata pelajaran di sekolah yang termasuk ke dalam rumpun bidang studi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Seiring dengan perubahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Sains berkaitan dengan cara mencari

I. PENDAHULUAN. kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Sains berkaitan dengan cara mencari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kimia merupakan salah satu mata pelajaran dalam rumpun sains yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Sains berkaitan dengan cara mencari tahu dan memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengamatan penulis selama melakukan studi lapangan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengamatan penulis selama melakukan studi lapangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Berdasarkan pengamatan penulis selama melakukan studi lapangan pendidikan fisika di salah satu SMA Negeri di Bandung, menunjukkan bahwa pembelajaran aktif

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala

I. PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu pengetahuan alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

Lebih terperinci

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini akan diuraikan temuan penelitian dan pembahasan yang

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini akan diuraikan temuan penelitian dan pembahasan yang BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan diuraikan temuan penelitian dan pembahasan yang berkaitan dengan keterlaksanaan pembelajaran IPA Terpadu berbasis STL yang dikembangkan pada tema

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan kehidupan sehari-hari. Pada hakikatnya ada tiga hal yang berkaitan

I. PENDAHULUAN. dengan kehidupan sehari-hari. Pada hakikatnya ada tiga hal yang berkaitan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kimia adalah salah satu mata pelajaran dalam rumpun sains yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Pada hakikatnya ada tiga hal yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) disebut juga sains merupakan ilmu yang berkaitan

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) disebut juga sains merupakan ilmu yang berkaitan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) disebut juga sains merupakan ilmu yang berkaitan dengan cara mencari tahu dan memahami tentang alam. Sains pada hakekatnya terdiri atas proses,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam standar isi dinyatakan pendidikan IPA khususnya fisika diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAMPUAN MENYIMPULKAN PADA MATERI HUKUM-HUKUM DASAR KIMIA DENGAN INKUIRI TERBIMBING

ANALISIS KEMAMPUAN MENYIMPULKAN PADA MATERI HUKUM-HUKUM DASAR KIMIA DENGAN INKUIRI TERBIMBING ANALISIS KEMAMPUAN MENYIMPULKAN PADA MATERI HUKUM-HUKUM DASAR KIMIA DENGAN INKUIRI TERBIMBING Yosi Ermalinda, Ratu Betta Rudibyani, Emmawaty Sofya, Ila Rosilawati. Pendidikan Kimia, Universitas Lampung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, maupun prinsip-prinsip saja tetapi juga

I. PENDAHULUAN. yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, maupun prinsip-prinsip saja tetapi juga I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu pengetahuan alam berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini digunakan metode penelitian weak eksperimen dengan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini digunakan metode penelitian weak eksperimen dengan 52 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metodologi Penelitian Pada penelitian ini digunakan metode penelitian weak eksperimen dengan desain The One-Group Pretest-Postes Design (Fraenkel, J. R. & Wallen, N.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode quasi. eksperimen dengan one group pre-test and post-test design.

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode quasi. eksperimen dengan one group pre-test and post-test design. BAB III METODE PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode quasi eksperimen dengan one group pre-test and post-test design. Pada metode ini diperlukan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. sebenarnya (Suryabrata, 2005 : 38). Dalam penelitian ini peneliti ingin

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. sebenarnya (Suryabrata, 2005 : 38). Dalam penelitian ini peneliti ingin 33 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian Metode yang dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen yang bertujuan memperoleh informasi yang merupakan perkiraan bagi informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersedia tidak memadai, kurang dana, keterbatasan keterampilan guru dalam

BAB I PENDAHULUAN. tersedia tidak memadai, kurang dana, keterbatasan keterampilan guru dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkembangan sains dan teknologi yang demikian pesat pada era informasi kini, menjadikan pendidikan IPA sangat penting bagi semua individu. Kemampuan siswa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. terhadap buku teks terjemahan adalah metode

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. terhadap buku teks terjemahan adalah metode BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan untuk menganalisis keterbacaan dan pemahaman mahasiswa terhadap buku teks terjemahan adalah metode deskriptif. Menurut Firman,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip

I. PENDAHULUAN. pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara sistematis, sehingga pendidikan IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bicara tantangan dan permasalahan pendidikan di Indonesia berarti berbicara

I. PENDAHULUAN. Bicara tantangan dan permasalahan pendidikan di Indonesia berarti berbicara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bicara tantangan dan permasalahan pendidikan di Indonesia berarti berbicara tentang pendidikan kita dewasa ini dalam perspektif masa depan. Dalam kenyataannya, pendidikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan

I. PENDAHULUAN. alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pre-experiment, sehingga hanya digunakan satu kelas eksperimen dan tidak menggunakan kelas kontrol.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 24 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian pre-eksperimental dengan one shot case study. Pada penelitian ini suatu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pra eksperimen

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pra eksperimen 31 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pra eksperimen dengan one group pre-test and post-test design, (desain kelompok tunggal dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. proses kognitif. Proses belajar yang dimaksud ditandai oleh adanya perubahanperubahan

I. PENDAHULUAN. proses kognitif. Proses belajar yang dimaksud ditandai oleh adanya perubahanperubahan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belajar adalah tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan untuk menunjukkan dan membuktikan desain

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan untuk menunjukkan dan membuktikan desain BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menunjukkan dan membuktikan desain pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan literasi sains siswa. Penelitian ini

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 1 SMA Muhammadiyah 2

III. METODOLOGI PENELITIAN. Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 1 SMA Muhammadiyah 2 25 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Subyek Penelitian Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 1 SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013 yang berjumlah 29. Pemilihan subyek berdasarkan

Lebih terperinci

2015 PROFIL MODEL MENTAL SISWA PADA SUB-MATERI ASAM BASA DENGAN MENGGUNAKAN TES DIAGNOSTIK MODEL MENTAL PREDICT-OBSERVE-EXPLAIN (TDM-POE)

2015 PROFIL MODEL MENTAL SISWA PADA SUB-MATERI ASAM BASA DENGAN MENGGUNAKAN TES DIAGNOSTIK MODEL MENTAL PREDICT-OBSERVE-EXPLAIN (TDM-POE) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pemahaman konsep merupakan suatu kemampuan mengkonstruksi makna atau pengertian suatu konsep berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki atau mengintegrasikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kepada siswa untuk mengerti dan membimbing mereka untuk menggunakan

I. PENDAHULUAN. kepada siswa untuk mengerti dan membimbing mereka untuk menggunakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sains merupakan ilmu yang berkaitan dengan cara mencari tahu dan memahami tentang alam. Belajar sains merupakan suatu proses memberikan sejumlah pengalaman kepada siswa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan materi. Ilmu kimia

I. PENDAHULUAN. dan perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan materi. Ilmu kimia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kimia merupakan cabang dari IPA yang mempelajari struktur, susunan, sifat, dan perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan materi. Ilmu kimia dibangun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kurikulum 2013 lebih menekankan pada pembelajaran dengan memperkuat

I. PENDAHULUAN. Kurikulum 2013 lebih menekankan pada pembelajaran dengan memperkuat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kurikulum 2013 lebih menekankan pada pembelajaran dengan memperkuat proses pembelajaran dan penilaian autentik untuk memberikan pengalaman belajar seluas-luasnya bagi

Lebih terperinci

ISSN : X Jurnal Riset dan Praktik Pendidikan Kimia Vol. 1 No. 1 Mei 2013

ISSN : X Jurnal Riset dan Praktik Pendidikan Kimia Vol. 1 No. 1 Mei 2013 PENINGKATAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SMA MELALUI PEMBELAJARAN PRAKTIKUM BERBASIS INKUIRI PADA MATERI LAJU REAKSI Oleh : Meli Siska B 1, Kurnia 2, Yayan Sunarya 3 Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yuliani Susilawati,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yuliani Susilawati,2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 41 Tahun 2007, yaitu sebagai berikut: Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan guru dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu fungsi dari mata pelajaran kimia di SMA adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu fungsi dari mata pelajaran kimia di SMA adalah untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu fungsi dari mata pelajaran kimia di SMA adalah untuk mengembangkan keterampilan proses sains serta menumbuhkan kreativitas siswa. Keterampilan proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) pembelajaran fisika

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) pembelajaran fisika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) pembelajaran fisika diharapkan memberikan pengalaman sains langsung kepada siswa untuk memahami fisika secara utuh,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penguasaan Konsep Siswa Pada Materi Hidrolisis Garam Data tingkat penguasaan konsep siswa kelas XI IPA 3 MAN 1 Semarang pada materi hidrolisis garam diambil dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pola anggapan seperti itu perlu segera dikikis dan dicari solusinya. Kesulitan

BAB I PENDAHULUAN. Pola anggapan seperti itu perlu segera dikikis dan dicari solusinya. Kesulitan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kimia masih dianggap sulit oleh beberapa siswa (Sirhan, 2007). Pola anggapan seperti itu perlu segera dikikis dan dicari solusinya. Kesulitan dalam memahami ilmu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Proses pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis praktikum,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Proses pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis praktikum, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Proses pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis praktikum, melalui pendekatan inkuiri pada subkonsep faktor-faktor yang mempengaruhi fotosintesis dilakukan dalam

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 1 SMA Negeri 6 Bandar

III. METODOLOGI PENELITIAN. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 1 SMA Negeri 6 Bandar 21 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Subyek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 1 SMA Negeri 6 Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013 yang berjumlah 40 siswa terdiri dari 9 siswa

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data Data hasil penelitian diperoleh dari hasil tes uraian berupa pretest yang dilakukan sebelum pembelajaran dan posttest yang dilakukan setelah proses

Lebih terperinci

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengkategorian Penggunaan Level Mikroskopik dalam Buku Teks. Kimia SMA pada Materi Larutan Penyangga

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengkategorian Penggunaan Level Mikroskopik dalam Buku Teks. Kimia SMA pada Materi Larutan Penyangga BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Temuan 4.1.1 Pengkategorian Penggunaan Level Mikroskopik dalam Buku Teks Kimia SMA pada Materi Larutan Penyangga Penggunaan level mikroskopik dalam buku teks

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang berupa fakta- fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi

I. PENDAHULUAN. yang berupa fakta- fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Fisika merupakan salah satu bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Fisika berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga fisika

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di SMA Gajah Mada Bandar Lampung. Sampel

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di SMA Gajah Mada Bandar Lampung. Sampel III. METODOLOGI PENELITIAN A. Subyek Penelitian Penelitian ini dilakukan di SMA Gajah Mada Bandar Lampung. Sampel diambil berdasarkan sampel total dari seluruh kelas X IPA yang ada di SMA Gajah Mada Bandar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ilmu kimia adalah ilmu yang mempelajari tentang struktur, susunan, sifat, perubahan materi, serta energi yang menyertainya (Depdiknas, 2004). Lingkup pembelajaran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data 1. Data Uji Coba Instrumen Tes Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa soal tes uraian yang sebelumnya diujicobakan terlebih dahulu kepada peserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menunjukkan bahwa ilmu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menunjukkan bahwa ilmu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menunjukkan bahwa ilmu Pengetahuan Alam (IPA) bukan hanya sebagai kumpulan pengetahuan berupa fakta-fakta, konsep-konsep

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. pembelajaran kimia berbasis inkuiri pada guru-guru kimia SMA, dengan harapan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. pembelajaran kimia berbasis inkuiri pada guru-guru kimia SMA, dengan harapan BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini mencoba mengembangkan pelatihan perencanaan pembelajaran kimia berbasis inkuiri pada guru-guru kimia SMA, dengan harapan dapat meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan

I. PENDAHULUAN. alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siswa (membaca, menulis, ceramah dan mengerjakan soal). Menurut Komala

BAB I PENDAHULUAN. siswa (membaca, menulis, ceramah dan mengerjakan soal). Menurut Komala BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Rumit, sulit dipahami dan membosankan, tiga kata yang menjadi gambaran betapa pelajaran fisika kurang disukai oleh siswa pada umumnya. Pemahaman konsep, penafsiran grafik,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas XI IPA SMA Negeri I Natar

III. METODOLOGI PENELITIAN. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas XI IPA SMA Negeri I Natar III. METODOLOGI PENELITIAN A. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas XI IPA SMA Negeri I Natar Tahun Pelajaran 2012-2013 yang berjumlah 200 siswa dan tersebar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pembelajaran untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis (KBK) melalui Metode Praktikum Berbasis Material Lokal Pada pembelajaran larutan penyangga dengan

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Persiapan Penelitian Persiapan penelitian yang dilakukan meliputi: a. Melakukan observasi awal untuk mengidentifikasi masalah yang meliputi wawancara

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. menggambarkan keadaan atau suatu fenomena (Sukmadinata, 2009).

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. menggambarkan keadaan atau suatu fenomena (Sukmadinata, 2009). 30 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Pada bagian ini akan diuraikan mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penjelasan istilah, dan struktur organisasi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Lampung yang berjumlah 38 siswa. Waktu pelaksanaan penelitian ini dimulai

III. METODOLOGI PENELITIAN. Lampung yang berjumlah 38 siswa. Waktu pelaksanaan penelitian ini dimulai III. METODOLOGI PENELITIAN A. Latar Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA4 SMA YP Unila Bandar Lampung yang berjumlah 38 siswa. Waktu pelaksanaan penelitian ini dimulai sejak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang berkaitan dengan cara

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang berkaitan dengan cara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anita Novianti, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anita Novianti, 2013 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembelajaran merupakan sebuah upaya yang dilakukan untuk memperoleh kompetensi atau berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan dalam melakukan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di SMA Gajah Mada Bandar Lampung. Penentuan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di SMA Gajah Mada Bandar Lampung. Penentuan III. METODOLOGI PENELITIAN A. Subyek Penelitian Penelitian ini dilakukan di SMA Gajah Mada Bandar Lampung. Penentuan subyek penelitian dilakukan secara sampel total. Penelitian dilakukan terhadap tiga

Lebih terperinci

Vindri Catur Putri Wulandari, Masjhudi, Balqis Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5

Vindri Catur Putri Wulandari, Masjhudi, Balqis Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5 PENERAPAN PEMBELAJARAN BERBASIS PRAKTIKUM UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN PENGUASAAN KONSEP SISWA KELAS XI IPA 1 DI SMA MUHAMMADIYAH 1 MALANG Vindri Catur Putri Wulandari, Masjhudi, Balqis

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data Data yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian berupa hasil pretest, posttest,dan dokumentasi. Data hasil pretest (sebelum diberi perlakuan) dan pottest

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga

I. PENDAHULUAN. yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembelajaran IPA berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. meningkatkan prestasi belajar dan aktivitas peserta didik dalam proses dan

BAB III METODE PENELITIAN. meningkatkan prestasi belajar dan aktivitas peserta didik dalam proses dan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas. Penelitian tindakan kelas dimaksudkan untuk memberikan informasi terhadap tindakan yang tepat untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 26 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada bab ini akan diuraikan prosedur yang dilakukan untuk mengetahui efektivitas model siklus belajar hipotesis deduktif dalam meningkatkan penguasaan konsep siswa pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tujuan dan proses berbuat melalui berbagai pengalaman (Rusman, 2011). Berdasarkan

I. PENDAHULUAN. tujuan dan proses berbuat melalui berbagai pengalaman (Rusman, 2011). Berdasarkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belajar pada hakikatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar dapat dipandang sebagai proses yang diarahkan kepada tujuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran problem solving adalah model pembelajaran yang menyajikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran problem solving adalah model pembelajaran yang menyajikan 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Problem Solving Model pembelajaran problem solving adalah model pembelajaran yang menyajikan materi dengan menghadapkan siswa kepada persoalan yang harus dipecahkan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala

I. PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu pengetahuan alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya sebagai penguasaan kumpulan pengetahuan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Penelitian Penelitian dilaksanakan di salah satu SMA Negeri di kota Bandung. Subjek penelitian adalah siswa-siswi dalam satu kelas XI IPA dengan jumlah 28

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, sistem pendidikan nasional menghadapi tantangan yang

I. PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, sistem pendidikan nasional menghadapi tantangan yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Memasuki abad ke-21, sistem pendidikan nasional menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam menyiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mampu bersaing di era

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kimia kelas XI IPA 2 SMA

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kimia kelas XI IPA 2 SMA I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kimia kelas XI IPA 2 SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung nilai penguasaan konsep pada materi pokok asam basa pada tahun pelajaran

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan mix methode dengan desain

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan mix methode dengan desain BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan mix methode dengan desain embedded di mana metode kualitatif dan kuantitatif dipergunakan untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muhamad Ihsanudin, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muhamad Ihsanudin, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar konsep-konsep fisika masih merupakan konsep yang abstrak bagi siswa dan bahkan mereka sendiri tidak mengenali konsep-konsep kunci ataupun hubungan antar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ditumbuhkan dalam diri siswa SMA sesuai dengan taraf perkembangannya.

I. PENDAHULUAN. ditumbuhkan dalam diri siswa SMA sesuai dengan taraf perkembangannya. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ilmu kimia merupakan bagian dari IPA yang mempelajari struktur, susunan, sifat, dan perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan materi. Ilmu kimia disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stevida Sendi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stevida Sendi, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang fenomena alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan sebagai proses belajar mengajar bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi yang ada pada diri siswa secara optimal. Pendidikan merupakan sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan pendidikan adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penerapan kurikulum 2013 harus diterapkan untuk memfasilitasi siswa agar terlatih

I. PENDAHULUAN. Penerapan kurikulum 2013 harus diterapkan untuk memfasilitasi siswa agar terlatih I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerapan kurikulum 2013 harus diterapkan untuk memfasilitasi siswa agar terlatih berpikir logis, sistematis, kreatif, inovatif, dan ilmiah. Oleh karena itu, salah satu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. materi, sarana, serta prasarana belajar. Variabel bebas adalah lembar kerja siswa

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. materi, sarana, serta prasarana belajar. Variabel bebas adalah lembar kerja siswa A. Metode dan Desain Penelitian BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada penelitian ini digunakan metode penelitian quasi eksperimen karena tidak semua variabel ekstra dapat dikendalikan oleh peneliti. Variabel

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, oleh karena itu pembelajaran harus

I. PENDAHULUAN. erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, oleh karena itu pembelajaran harus 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fisika merupakan salah satu cabang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, oleh karena itu pembelajaran harus mengajarkan

Lebih terperinci

JCAE, Journal of Chemistry And Education, Vol. 1, No.1, 2017,

JCAE, Journal of Chemistry And Education, Vol. 1, No.1, 2017, JCAE, Journal of Chemistry And Education, Vol. 1, No.1, 2017, 65-72 65 PENGARUH MODEL INKUIRI TERBIMBING BERVISI SETS TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN HASIL BELAJAR LARUTAN PENYANGGA SISWA KELAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan suatu sistem atau proses membelajarkan siswa yang

I. PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan suatu sistem atau proses membelajarkan siswa yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembelajaran merupakan suatu sistem atau proses membelajarkan siswa yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar siswa dapat mencapai

Lebih terperinci

2015 PEMAHAMAN KONSEP SISWA PADA PEMBELAJARAN HIDROLISIS GARAM BERBASIS INKUIRI TERBIMBING

2015 PEMAHAMAN KONSEP SISWA PADA PEMBELAJARAN HIDROLISIS GARAM BERBASIS INKUIRI TERBIMBING BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sains merupakan pelajaran penting, karena memberikan lebih banyak pengalaman untuk menjelaskan fenomena yang dekat dengan kehidupan sekaligus mencari solusi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013, dengan jumlah siswa sebanyak 29

III. METODOLOGI PENELITIAN. Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013, dengan jumlah siswa sebanyak 29 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA I SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013, dengan jumlah siswa sebanyak 29 orang.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 36 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kemampuan dan Perbedaan Literasi Sains Siswa SMA Sebelum dan Setelah Diterapkan Pembelajaran Field Trip pada Kelas Eksperimen dan Kontrol pada Materi Ekosistem.

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data Data yang didapatkan dari penelitian ini yaitu hasil pretest dan posttest. Hasil pretest digunakan sebagai data pendukung untuk mengetahui kemampuan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Model dan Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pre-experimental design dengan one group pretest posttest design (Sugiyono, 2010). Dalam desain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan hasil observasi awal pada salah satu SMP swasta di Bandung,

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan hasil observasi awal pada salah satu SMP swasta di Bandung, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Berdasarkan hasil observasi awal pada salah satu SMP swasta di Bandung, diperoleh data rata-rata hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA TERPADU untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan usaha sadar mengembangkan manusia menuju kedewasaan, baik kedewasaan intelektual, sosial,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan usaha sadar mengembangkan manusia menuju kedewasaan, baik kedewasaan intelektual, sosial, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan usaha sadar mengembangkan manusia menuju kedewasaan, baik kedewasaan intelektual, sosial, maupun kedewasaan moral. Oleh karena itu, proses pendidikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penguasaan konsep siswa terhadap materi fluida statis diukur dengan tes

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penguasaan konsep siswa terhadap materi fluida statis diukur dengan tes BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Data Penguasaan Konsep Fluida statis Penguasaan konsep siswa terhadap materi fluida statis diukur dengan tes pilihan ganda sebanyak 15 soal.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kimia merupakan ilmu yang mencari jawaban atas dasar pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana gejala-gejala alam yang berkaitan dengan komposisi, struktur, sifat, perubahan,

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1

III. METODELOGI PENELITIAN. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 III. METODELOGI PENELITIAN A. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Kotaagung, Tanggamus Tahun Ajaran 01-013 yang berjumlah 98 siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan berperan penting dalam kehidupan manusia. Seiring berkembangnya teknologi dan zaman, pendidikan pun mengalami perkembangan. Perkembangan dunia pendidikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibangun melalui pengembangan keterampilan-keterampilan proses sains seperti

I. PENDAHULUAN. dibangun melalui pengembangan keterampilan-keterampilan proses sains seperti I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu kimia merupakan cabang dari IPA yang mempelajari struktur, susunan, sifat, dan perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan materi. Ilmu kimia dibangun

Lebih terperinci

KETERAMPILAN MEMPREDIKSI DAN MENGKOMUNIKASIKAN PADA MATERI KELARUTAN DAN Ksp MENGGUNAKAN INKUIRI TERBIMBING.

KETERAMPILAN MEMPREDIKSI DAN MENGKOMUNIKASIKAN PADA MATERI KELARUTAN DAN Ksp MENGGUNAKAN INKUIRI TERBIMBING. KETERAMPILAN MEMPREDIKSI DAN MENGKOMUNIKASIKAN PADA MATERI KELARUTAN DAN Ksp MENGGUNAKAN INKUIRI TERBIMBING Andri Kasrani, Ila Rosilawati, Nina Kadaritna Pendidikan Kimia, Universitas Lampung andrikas03@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan

Lebih terperinci