TATANIAGA TOMAT DI DESA GEKBRONG, KECAMATAN GEKBRONG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT WIGGO WINDI RISWANDY

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TATANIAGA TOMAT DI DESA GEKBRONG, KECAMATAN GEKBRONG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT WIGGO WINDI RISWANDY"

Transkripsi

1 TATANIAGA TOMAT DI DESA GEKBRONG, KECAMATAN GEKBRONG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT WIGGO WINDI RISWANDY DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANEJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Tataniaga Tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2013 Wiggo Windi Riswandy NIM H

4 ABSTRAK WIGGO WINDI RISWANDY. Tataniaga Tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Dibimbing oleh HARMINI. Tomat merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia yang menghasilkan nilai ekonomis dan strategis. Harga tomat yang fluktuatif dan marjin tataniaga yang cukup besar membuat nilai farmer s share menjadi relatif kecil. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian mengenai efisiensi tataniaga tomat untuk mengetahui gambaran tataniaga tomat secara komprehensif. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi saluran, fungsi, lembaga, dan struktur pasar pada sistem tataniaga tomat, serta menganalisis efisiensi operasional tataniaga tomat dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Pengamatan dan wawancara dilakukan kepada petani di Desa Gekbrong dengan metode purposive sampling, sedangkan metode snowball sampling dilakukan kepada lembaga tataniaga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4 saluran tataniaga dengan lembaga, fungsi, dan struktur pasar yang berbeda pada setiap salurannya. Secara umum, analisis efisiensi operasional menyatakan bahwa semua saluran tataniaga tomat belum efisien. Kondisi ini terlihat terutama dari ketidakadilan harga pada petani yang posisi tawarnya lemah. Selain itu dalam mekanisme penentuan harga petani hanya bertindak sebagai penerima harga. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat diperlukan dalam mendukung peran kelompok tani untuk mencapai efisiensi tataniaga tomat. Kata kunci: Desa Gekbrong, efisien, efisiensi, farmer s share, tataniaga tomat ABSTRACT WIGGO WINDI RISWANDY. Marketing System of Tomato in Gekbrong Village, Gekbrong Subdistrict, Cianjur Regency, West Java. Supervised by HARMINI. Tomato is one of the leading commodities in Indonesia which has economic and strategic value. The fluctuating price of tomato and high marketing margin make the farmer's share value is relatively small. Therefore, the research of efficiency in tomato marketing is needed in order to provide tomato marketing comprehensively. The objectives of this research were (1) to identify the marketing channels, institutions, functions and market structure of tomato marketing, and (2) to analyze the operational efficiency of tomato marketing with marketing margin approach, farmer's share, and benefit-cost ratio. The observations and interviews were conducted to farmers in Gekbrong village by purposive sampling method, while the method of snowball sampling was conducted to marketing institutions. The result showed that there were 4 marketing channels with different institutions, functions, and market structure on every channel. In general, the analysis of operational efficiency showed that all of the marketing channels had not been efficient. This condition was primarily seen at the inequity price that were suffered by farmers who had weak bargaining powers. Moreover, the pricing mechanism made farmers became price takers. Therefore, the role of government was required to support the role of farmer groups in order to attain the efficiency of tomato marketing. Keywords: efficiency, efficient, farmer s share, gekbrong village, tomato marketing

5 TATANIAGA TOMAT DI DESA GEKBRONG, KECAMATAN GEKBRONG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT WIGGO WINDI RISWANDY Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANEJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

6

7 Judul Skripsi : Tataniaga Tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat Nama : Wiggo Windi Riswandy NIM : H Disetujui oleh Ir Harmini, MSi Pembimbing Diketahui oleh Dr Ir Nunung Kusnadi, MS Ketua Departemen Tanggal Lulus:

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2012 ini ialah tataniaga, dengan judul Tataniaga Tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Ir Harmini, MSi selaku dosen pembimbing. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Amzul Rifin, SP, MA selaku dosen penguji utama dan Ibu Siti Jahroh, PhD selaku dosen penguji Departemen Agribisnis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Puji Mustika Lestari, SE yang telah bersedia menjadi pembahas pada seminar hasil penelitian ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Yayat Duriat dan Bapak Nasep Sudrajat dari Balai Pengembangan Budidaya Tanaman Pangan dan Hortikultura Kecamatan Gekbrong serta Bapak Sabar dari Kelompok Tani Gede Harepan Desa Gekbrong, yang telah membantu selama pengumpulan data. Kemudian penghargaan juga penulis sampaikan kepada Perum Perhutani yang telah memberikan beasiswa pendidikan selama menjalani perkuliahan di IPB serta beasiswa penelitian selama melaksanakan penelitian ini. Selanjutnya terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Andriyono Kilat Adhi selaku wali akademik selama menjalani perkuliahan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik-adik, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terakhir penulis sampaikan salam semangat dan terima kasih atas segala dukungan dari rekan-rekan Agribisnis 46 IPB, BEM FEM IPB 2011, ISEE IPB 2012, dan Kementerian Pendidikan BEM KM IPB Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, Juni 2013 Wiggo Windi Riswandy

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR xi DAFTAR LAMPIRAN xi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 4 Tujuan Penelitian 6 Manfaat Penelitian 7 Ruang Lingkup Penelitian 7 TINJAUAN PUSTAKA 7 KERANGKA PEMIKIRAN 11 Kerangka Pemikiran Teoritis 11 Kerangka Pemikiran Operasional 19 METODE PENELITIAN 21 Lokasi dan Waktu Penelitian 21 Jenis dan Sumber Data 21 Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel 21 Metode Pengolahan dan Analisis Data 22 Definisi Operasional Penelitian 26 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 27 Karakteristik Umum Wilayah, Keadaan Alam, dan Penduduk 27 Karakteristik Petani Responden 30 Karakteristik Lembaga Tataniaga Responden 32 HASIL DAN PEMBAHASAN 33 Identifikasi Lembaga Tataniaga 34 Identifikasi Fungsi Tataniaga 34 Identifikasi Saluran Tataniaga 42 Identifikasi Struktur Pasar 53 Analisis Marjin Tataniaga, Farmer s Share, dan Rasio Keuntungan terhadap Biaya 58 Analisis Efisiensi Tataniaga 66 SIMPULAN DAN SARAN 75 Simpulan 75 Saran 76 DAFTAR PUSTAKA 76 LAMPIRAN 79 RIWAYAT HIDUP 83

10 DAFTAR TABEL 1 Persentase pengeluaran rata-rata dari total pengeluaran konsumsi per kapita per bulan menurut kelompok barang di Indonesia tahun Nilai PDB beberapa komoditas sayuran terhadap total PDB sayuran di Indonesia tahun Produksi beberapa komoditas sayuran di Indonesia tahun Perkembangan volume dan nilai ekspor tomat di Indonesia tahun Struktur pasar untuk pemasaran pangan dan serat 16 6 Kriteria penentuan jenis struktur pasar di lokasi penelitian berdasarkan karakteristik pasar 23 7 Sebaran luas daerah menurut desa di Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur tahun Produktivitas sayuran menurut komoditas di Kecamatan Gekbrong tahun Sebaran luas lahan darat menurut desa di Kecamatan Gekbrong tahun Sebaran jumlah penduduk menurut jenis kelamin di Desa Gekbrong tahun Sebaran jumlah penduduk di Desa Gekrbrong berdasarkan mata pencaharian tahun Sebaran petani responden berdasarkan usia di Desa Gekbrong tahun Sebaran petani responden berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Gekbrong tahun Sebaran petani responden berdasarkan luas lahan garapan di Desa Gekbrong tahun Sebaran petani responden berdasarkan pengalaman dalam usahatani tomat di Desa Gekbrong tahun Sebaran lembaga tataniaga responden (pedagang pengumpul, pemilik koperasi, pedagang besar, dan pedagang pengecer) berdasarkan umur, tingkat pendidikan, dan pengalaman dalam berdagang tomat Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh petani dan lembaga-lembaga tataniaga di Desa Gekbrong Grading tomat berdasarkan berat menurut SNI Grading tomat berdasarkan syarat mutu menurut SNI Indikator sortasi untuk grading tomat di Desa Gekbrong Sebaran petani yang melakukan peminjaman modal usahatani kepada pedagang pengumpul di Desa Gekbrong pada musim tanam tomat Bulan September-November Sebaran petani responden dan volume penjualan tomat di setiap saluran tataniaga tomat di Desa Gekbrong pada musim panen Bulan November- Desember Biaya tataniaga tomat pada saluran tataniaga I Biaya tataniaga tomat pada saluran tataniaga II Biaya tataniaga tomat pada saluran tataniaga III Biaya tataniaga tomat pada saluran tataniaga IV 52

11 27 Marjin tataniaga setiap grade tomat pada setiap saluran tataniaga tomat di Desa Gekbrong Farmer s share setiap grade tomat pada setiap saluran tataniaga tomat di Desa Gekbrong Farmer s share setiap grade tomat pada setiap saluran tataniaga tomat di Desa Tugumukti, Kabupaten Bandung Barat Rasio keuntungan terhadap biaya setiap grade tomat pada setiap saluran tataniaga di Desa Gekbrong Efisiensi tataniaga tomat grade A di Desa Gekbrong Efisiensi tataniaga tomat grade B di Desa Gekbrong Efisiensi tataniaga tomat grade C di Desa Gekbrong Efisiensi tataniaga tomat grade super di Desa Gekbrong 69 DAFTAR GAMBAR 1 Perkembangan harga tomat di Kabupaten Cianjur tahun Kurva marjin tataniaga 17 3 Kerangka pemikiran operasional 20 4 Skema saluran tataniaga tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Saluran I ( ), saluran II ( ), saluran III ( ), dan saluran IV ( ). 42 DAFTAR LAMPIRAN 1 Produksi tomat menurut provinsi di Indonesia tahun Produksi tomat menurut kabupaten dan kota di Jawa Barat tahun Dokumentasi penelitian 81

12

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman hortikultura berbasis sayuran merupakan komoditas yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Kondisi agroklimat Indonesia yang cocok untuk ditanami berbagai komoditas sayuran menjadi hal positif dalam mendukung pengembangan komoditas sayuran. Pengembangan komoditas sayuran diharapkan mampu meningkatkan pangsa pasar dan daya saing dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Sayuran menyumbang kontribusi yang signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Direktorat Jenderal Hortikultura melaporkan bahwa sayuran merupakan komoditas dengan nilai kontribusi PDB yang selalu meningkat setiap tahun. Sayuran menyumbang PDB terbesar ke-2 pada sektor tanaman hortikultura setelah buah-buahan, yaitu sebesar milyar rupiah pada tahun Sampai saat ini, sayuran masih menjadi komoditas yang dikonsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia dalam rangka pemenuhan serat, vitamin, dan mineral. Tabel 1 memperlihatkan bahwa pada triwulan I (Maret) tahun 2012 pengeluaran penduduk Indonesia untuk konsumsi sayur-sayuran mencapai 7.4% dari total pengeluaran konsumsi makanan per kapita per tahun. Angka ini menunjukkan angka terbesar ke-3 dari pengeluaran penduduk Indonesia yang digunakan untuk konsumsi sayur-sayuran setelah padi-padian dan ikan dalam kelompok barang konsumsi makanan. Artinya, masyarakat Indonesia dalam pemenuhan konsumsi makanannya masih cukup bergantung pada sayur-sayuran. Tabel 1 Persentase pengeluaran rata-rata dari total pengeluaran konsumsi per kapita per bulan menurut kelompok barang di Indonesia tahun 2012 a Kelompok barang konsumsi Persentase makanan (%/kap/tahun) Makanan: Padi-padian Umbi-umbian 0.86 Ikan 8.22 Daging 4.03 Telur dan susu 5.87 Sayur-sayuran 7.40 Kacang-kacangan 2.60 Buah-buahan 4.78 Lain-Lain Jumlah makanan a Sumber: Badan Pusat Statistik 2012 (diolah). Salah satu komoditas sayuran unggulan di Indonesia adalah tomat. Hal ini karena tomat merupakan komoditas yang menghasilkan nilai ekonomis dan

14 2 strategis. Tomat dibudidayakan oleh petani sejak dahulu karena tomat menjadi salah satu komoditas komersil yang mampu menghasilkan sumber pendapatan andalan petani. Tomat juga menjadi komoditas strategis karena selalu digunakan masyarakat Indonesia sebagai bahan makanan yang mengandung nilai gizi yang baik. Selain itu, industri makanan dan minuman olahan juga membutuhkan tomat sebagai bahan baku yang keberadaannya sulit untuk digantikan. Besarnya nilai ekonomis tomat dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dapat dilihat dari kontribusi PDB tomat. Tabel 2 memperlihatkan kontribusi tomat terhadap total PDB atas harga yang berlaku untuk beberapa komoditas sayuran di Indonesia selama tahun Tomat menyumbang sebesar milyar rupiah atau 7.47% dari total PDB sayuran di Indonesia. Angka ini menunjukkan bahwa tomat merupakan komoditas yang keberadaannya harus diperhitungkan untuk dikembangkan selain komoditas lainnya yang juga memberi kontribusi PDB terbesar yaitu cabai besar sebesar milyar rupiah disusul bawang merah sebesar milyar rupiah, dan cabai rawit sebesar milyar rupiah. Tabel 2 Nilai PDB beberapa komoditas sayuran terhadap total PDB sayuran di Indonesia tahun 2010 a Komoditas Nilai PDB (milyar rupiah) Persentase (%) Cabai besar Bawang merah Cabai rawit Tomat Kentang Kubis Bawang daun Sayuran lainnya Total sayuran a Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2011). Produksi tomat di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa dibandingkan dengan komoditas sayuran lain, tomat merupakan komoditas sayuran yang mengalami peningkatan produksi dari tahun ke tahun. Tabel 3 memperlihatkan bahwa produksi tomat di Indonesia pada tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 7% dari tahun Total produksi tomat tahun 2010 sebesar ton kemudian pada tahun 2011 meningkat menjadi sebesar ton. Peningkatan produksi tomat ini menunjukkan bahwa permintaan masyarakat terhadap tomat meningkat setiap tahunnya. Terdapat beberapa wilayah di Indonesia yang menghasilkan tomat dengan produksi yang sangat besar dibandingkan dengan wilayah lainnya. Wilayah tersebut meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumetera Utara. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa wilayah Jawa Barat adalah wilayah dengan produksi tomat tertinggi yaitu sebesar ton pada tahun 2007 dan terus meningkat hingga ton selama tahun Data lengkap mengenai

15 produksi tomat seluruh provinsi di Indonesia dari tahun 2007 sampai 2011 dapat dilihat pada Lampiran 1. 3 Tabel 3 Produksi beberapa komoditas sayuran di Indonesia tahun a Jenis sayur Produksi (ton) Pertumbuhan Absolut % Bawang merah Kentang Kubis Cabai besar Cabai rawit Tomat a Sumber: Badan Pusat Statistik (2012). Upaya pemenuhan kebutuhan akan tomat tidak hanya dilihat dari segi kuantitas (produksi dan produktivitas), tetapi juga kualitas tomat. Seiring dengan berjalannya waktu, selera dan kepuasan masyarakat dalam mengkonsumsi tomat semakin meningkat sehingga perbaikan pada kualitas tomat menjadi sangat penting. Hal ini karena masyarakat sudah mulai peduli dengan cita rasa produk dan cenderung mengutamakan kualitas dari produk tersebut. Kondisi ini menjadi dasar bagi pemerintah untuk terus meningkatkan kualitas tomat. Dalam rangka meningkatkan kualitas tomat, pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 511/Kpts/PD.310/9/2006 tanggal 12 September Keputusan ini menyatakan bahwa tomat menjadi salah satu komoditas binaan Direktorat Jenderal Hortikultura. Dengan masuknya tomat ke dalam salah satu komoditas binaan pemerintah, diharapkan pemerintah dapat terus mengupayakan dan memprioritaskan perbaikan dari segi kualitas tomat. Upaya peningkatan kualitas tomat juga terlihat dari dilepasnya beberapa varietas unggul tomat dalam bentuk tomat hibrida seperti varietas Hibrida Pluto- 528 yang tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian No. 330/Kpts/TP.240/6/2003, varietas Hibrida Gress dalam Keputusan Menteri Pertanian No. 450/Kpts/SR.120/12/2005, dan varietas Hibrida Eggy dalam Keputusan Menteri Pertanian No. 116/Kpts/SR.120/3/2006. Tomat yang berkualitas akan mendapat perhatian lebih dari masyarakat yang mengkonsumsinya. Hal ini karena saat ini pemenuhan kebutuhan tomat bukan hanya ditujukan untuk masyarakat dalam negeri saja melainkan untuk diperkenalkan kepada masyarakat di luar negeri. Tomat kini sudah menjadi komoditas yang diperdagangkan di tingkat internasional. Tabel 4 memperlihatkan perkembangan volume dan nilai ekspor tomat tahun Selama tahun 2010 sampai tahun 2011 volume ekspor tomat mengalami pertumbuhan sebesar 12% sementara nilai ekspor juga mengalami pertumbuhan sebesar 19%. Indonesia mengekspor tomat ke beberapa negara dengan jumlah 626 ton pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 699 ton pada tahun Nilai yang diperoleh dari ekspor tomat adalah US$ pada tahun 2010 dan meningkat menjadi US$ pada tahun 2011.

16 4 Tabel 4 Perkembangan volume dan nilai ekspor tomat di Indonesia tahun a Ekspor Tahun Pertumbuhan Absolut % Volume (ton) Nilai (US$) a Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2012). Potensi dan peluang ekonomi dari tomat dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional akan terbuka lebar apabila proses penyampaian tomat dari petani sampai ke konsumen berlangsung secara efisien. Sistem tataniaga tomat yang efisien memiliki peran yang penting dalam rangka menjaga stabilitas tomat dari segi harga dan kuantitas di Indonesia. Dengan adanya sistem tataniaga yang efisien diharapkan dapat menurunkan biaya pemasaran serta memperlancar arus barang dan jasa sehingga tercapai harga yang layak dan bersaing. Dengan kondisi tersebut, diharapkan dapat memperluas lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan produsen (petani) dan lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat selama proses pemasaran, memantapkan stabilitas ekonomi, dan melindungi kepentingan konsumen 1. Perbaikan tomat secara fisik dari segi kualitas gizi yang tinggi dan perbaikan menuju sistem tataniaga yang efisien diharapkan mampu mewujudkan upaya pengembangan komoditas tomat dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional tersebut. Apalagi kini tomat tidak hanya diperdagangkan di dalam negeri tetapi juga diperdagangkan di luar negeri. Upaya tersebut tidak terlepas dari pembangunan pertanian berbasis pedesaan yang harus dilakukaan oleh pemerintah daerah di seluruh wilayah di Indonesia. Hal ini dilakukan dalam rangka pengembangan komoditas tomat secara nasional. Ini lah yang menjadi dasar bagi pemerintah daerah Kabupaten Cianjur dalam mendorong peningkatan kualitas tomat sebagai komoditas sayuran unggulan daerah Cianjur. Perumusan Masalah Provinsi Jawa Barat dikenal sebagai sentra produksi tomat dengan produksi terbesar di Indonesia (BPS 2012). Sentra produksi tomat di Jawa Barat menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat berada di Kabupaten Garut, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Cianjur. Berdasarkan luas areal tanam tomat di Jawa Barat, Kabupaten Cianjur berada pada urutan ketiga. Produksi tomat di Kabupaten Cianjur pada tahun 2011 mengalami peningkatan yang sangat singnifikan yaitu sebesar 95.57% dari tahun Data lengkap mengenai produksi tomat menurut kabupaten dan kota di Jawa Barat tahun dari tahun 2007 sampai 2011 dapat dilihat pada Lampiran 2. Kabupaten Cianjur sangat berpotensi sebagai salah satu sentra produksi tomat. Akan tetapi fakta menunjukkan bahwa dalam pemasaran tomat, harga tomat cenderung berfluktuasi. Fluktuasi harga tomat ini bisa dilihat dari 1 [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Perdagangan Bab 14. [internet]. [diacu 2012 Desember 1]. Tersedia dari:

17 perkembangan harga tomat di Kabupaten Cianjur selama tahun 2012 yang diperoleh dari laporan harian harga tomat menurut Kementerian Pertanian seperti yang disajikan pada Gambar 1 berikut , ,00 Harga (Rp / Kg) 5.000, , , , ,00 0,00 Gambar 1 Perkembangan harga tomat di Kabupaten Cianjur tahun 2012 Selain harga tomat yang cenderung berfluktuasi, terdapat perbedaan harga yang cukup signifikan antara harga yang diterima oleh petani (produsen) dengan harga yang dibayar oleh konsumen. Berdasarkan data Kementerian Pertanian tahun 2012, harga tomat yang diterima petani dengan harga yang dibayar konsumen di Kabupaten Cianjur menghasilkan perbedaan harga atau marjin tataniaga yang cukup besar. Selama tahun 2012, harga tomat di tingkat petani menyentuh harga terendah yaitu Rp850 per kg pada Bulan November sedangkan harga normal tomat di tingkat petani yang dapat menutupi biaya produksi adalah Rp2 500-Rp3 000 per kg. Mengingat pemasaran merupakan permasalahan yang umum terjadi pada produk pertanian hortikultura, penelitian-penelitian tentang tataniaga hortikultura di beberapa lokasi di Kabupaten Cianjur yang pernah dilakukan oleh A yun (2010), Noviana (2011), dan Sakti (2011) juga menunjukkan bahwa secara umum perbedaan harga atau marjin yang dihasilkan pada komoditas hortikultura relatif besar. Hal serupa juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Fikri (2013) pada tataniaga tomat di Desa Tugumukti, Kabupaten Bandung Barat. Kondisi ini terjadi salah satunya karena panjangnya rantai tataniaga yang melibatkan beberapa lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer. Perbedaan harga tomat yang cukup besar dan harga tomat yang fluktuatif menunjukkan bahwa terdapat permasalahan pada tataniaga tomat. Implikasi yang terjadi pada permasalahan tataniaga ini membuat pendapatan yang diterima petani sebagai produsen tomat menurun dari yang seharusnya. Petani sebagai produsen biasanya hanya bertindak sebagai price taker yang memperoleh bagian (farmer s share) yang kecil dari harga yang dibayar oleh konsumen.

18 6 Salah satu daerah penghasil tomat di Kabupaten Cianjur adalah Desa Gekbrong di Kecamatan Gekbrong. Informasi lokasi ini diperoleh dari studi lapang pendahuluan yang dilakukan kepada stakeholder di Desa Gekbrong. Tujuan dari studi lapang pendahuluan ini adalah memperoleh informasi keragaan tataniaga tomat di lokasi yang akan diteliti. Berdasarkan pengamatan di lapang tersebut, diperoleh informasi bahwa Desa Gekbrong juga mengalami permasalahan pada tataniaga tomat seperti yang telah umum terjadi di daerahdaerah penghasil tomat lainnya. Lebih jauh lagi diperoleh informasi bahwa petani di Desa Gekbrong tidak memperoleh harga tomat berdasarkan grade karena sistem penjualan tomat yang dilakukan di Desa Gekbrong cenderung mengarah pada sistem tebas. Permasalahan pada perbedaan marjin tataniaga yang cukup besar yang membuat pendapatan petani menjadi rendah dari harga yang dibayarkan konsumen diduga dialami oleh petani di Desa Gekbrong. Hal ini bisa dibuktikan lebih lanjut jika telah dianalisis pada bagian yang diterima oleh petani dari aktivitas pemasaran atau farmer s share. Marjin tataniaga yang dihasilkan pada tataniaga tomat di Desa Gekbrong perlu dianalisis berdasarkan fungsi tataniaga yang telah dilakukan oleh petani dan lembaga tataniaga tomat yang terlibat dalam proses penyampaian tomat mulai dari petani sampai kepada konsumen akhir. Hal ini dilakukan agar dapat diketahui apakah biaya tataniaga yang muncul dari aktivitas tataniaga dalam meningkatkan value added tomat sesuai dengan balas jasa berupa keuntungan tataniaga yang diperoleh lembaga tataniaga. Selain itu, struktur pasar yang terbentuk dan perilaku pasar yang muncul dari struktur pasar tersebut pada tataniaga tomat juga perlu diidentifikasi untuk melihat efisiensi pada tataniaga tomat di Desa Gekbrong. Oleh karena itu, penelitian pada tataniaga tomat di Desa Gekbrong ini perlu dilakukan secara menyeluruh dengan mengidentifikasi pola-pola saluran, lembaga, fungsi, dan struktur pasar pada tataniaga tomat. Selain itu, pendekatan kuantitatif juga diperlukan untuk melihat efisiensi operasional dengan menghitung nilai marjin tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Dengan demikian upaya ini bisa menjadi dasar bagi pemerintah setempat untuk membuat kebijakan yang tepat dalam meningkatkan efisiensi tataniaga tomat di Desa Gekbrong. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana saluran, lembaga, fungsi, dan struktur pasar pada tataniaga tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur? 2. Bagaimana marjin tataniaga, farmer s share, serta rasio keuntungan terhadap biaya pada efisiensi operasional tataniaga tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur? Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis sistem tataniaga tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

19 1. Mengidentifikasi saluran, lembaga, fungsi, dan struktur pasar pada tataniaga tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur. 2. Menganalisis efisiensi operasional tataniaga tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer s share, serta rasio keuntungan terhadap biaya. 7 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran yang membangun dan bermanfaat bagi: 1. Peneliti, sebagai sarana pembelajaran dan melatih untuk berpikir analitis dalam menerapkan ilmu-ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan tentang agribisnis yang sudah dipelajari selama peneliti melaksanakan perkuliahan di Institut Pertanian Bogor. 2. Pemerintah dan stakeholder, sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam memutuskan kebijakan yang berhubungan dengan sistem tataniaga tomat, terutama kebijakan yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani. 3. Pembaca, sebagai referensi, pedoman, dan literatur dalam melakukan penelitian lebih lanjut mengenai sistem tataniaga tomat di Indonesia. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis sistem tataniaga tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur. Komoditas yang diteliti adalah komoditas tomat (Lycopersicum esculentum). Petani yang dijadikan responden adalah petani tomat yang ada di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur. Data yang digunakan adalah data penjualan tomat yang terjadi pada musim panen tomat Bulan November Desember Lembaga tataniaga yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah lembaga yang terlibat dalam aktivitas pembelian dan penjualan tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur. Lembaga tataniaga yang ada pada sistem tataniaga ini terdiri atas pedagang pengumpul, pedagang besar di Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang, pedagang pengecer di Pasar Gekbrong dan Pasar Induk Cianjur. Analisis penelitian dibatasi untuk mengkaji sistem tataniaga dengan melihat saluran, lembaga, fungsi, struktur pasar, marjin tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya untuk melihat efisiensi operasional tataniaga tomat. TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Tomat Tomat yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah tomato memiliki nama ilmiah (Lycopersicum esculentum). Tomat merupakan tanaman asli Benua Amerika yang tersebar dari Amerika Tengah hingga Amerika Selatan. Beberapa

20 8 negara di belahan dunia menamai tomat dengan beberapa istilah unik. Perancis menamai tomat dengan apel cinta sedangkan Jerman menamainya dengan apel surga. Penyebaran tomat di Indonesia dimulai dari Filipina dan negara-negara Asia lainnya pada abad ke-18. Beberapa varietas tomat dikembangkan di Indonesia dalam upaya pengembangan komoditas sayuran unggulan. Salah satu varietas unggul tomat adalah tomat hibrida yang merupakan hasil persilangan 2 induk tomat galur murni dengan sifat unggulan mampu beradaptasi pada berbagai kondisi agroklimat mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi (Cahyono 2008). Direktorat Jenderal Hortikultura (2012) menyebutkan bahwa tomat merupakan salah satu komoditas hortikultura unggulan Indonesia yang dilihat dari nilai ekonomis dan strategisnya. Tomat menghasilkan nilai ekonomis terutama dalam menyumbang kontribusi produk domestik bruto (PDB) sebagai upaya pembangunan pertanian nasional. Tomat tidak hanya diperdagangkan di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Tomat dengan varietas unggul didukung oleh kondisi agroklimat Indonesia yang cocok untuk pengembangan komoditas tomat membuat tomat memiliki nilai strategis. Hal ini menjadikan tomat sebagai komoditas yang dibudidayakan oleh petani untuk dijadikan mata pencaharian yang mendatangkan nilai ekonomi berupa pendapatan. Kajian Mengenai Saluran, Fungsi dan Lembaga Tataniaga Kajian mengenai saluran tataniaga tanaman hortikultura sayuran pada umumnya menghasilkan saluran tataniaga yang panjang. Panjangnya rantai pemasaran berimplikasi pada besarnya perbedaan harga atau marjin tataniaga antara harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen. Kondisi ini mengakibatkan bagian yang diterima oleh petani atau farmer s share menjadi rendah. Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi lembaga dan fungsi tataniaga pada umumnya menggunakan metode deskriptif. Di samping itu metode yang digunakan untuk mengetahui pola saluran tataniaga yang terbentuk pada umumnya menggunakan metode snowball dengan petani sebagai titik awal penelusuran. Selanjutnya informasi dari petani akan mengantarkan penelitian pada informasi berikutnya sampai diketahui seperti apa pola saluran tataniaga yang terbentuk. Penelitian yang dilakukan oleh Sabang (2011) mengenai sistem tataniaga tomat di Kabupaten Kutai Kartanegara menunjukkan bahwa dari sebanyak 36 petani responden yang berasal dari 192 petani tomat, terdapat 4 pedagang pengumpul dan 6 pedagang pengecer. Metode pengambilan sampel responden petani adalah metode sampel acak sederhana (simple random sampling) untuk mengetahui berapa banyak sampel yang diambil dari 192 petani. Di samping itu metode penelitian yang dilakukan untuk mengambil sampel di tingkat lembaga pemasaran adalah metode snowball. Kelembagaan pemasaran pada tataniaga tanaman hortikultura merupakan berbagai organisasi atau kelompok bisnis yang melaksanakan fungsi-fungsi tataniaga. Pada umumnya lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan memasarkan komoditas tomat dan sayuran lainnya dimulai dari petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, sampai pedagang pengecer (A yun (2010);

21 Noviana (2011)). Selain itu pada beberapa kasus tertentu yang kegiatan pemasarannya lebih kompleks, terdapat lembaga-lembaga tataniaga seperti sub terminal agribisnis (STA) dan supermarket (Sakti 2011). Akan tetapi hasil penelitian Fikri (2013) menunjukkan sistem tataniaga yang tidak terdapat peran pedagang pengumpul dalam proses penyampaian produk kepada konsumen. Lembaga tataniaga yang terlibat dalam penelitian ini adalah petani, pedagang besar, pedagang kecil, dan pedagang pengecer. Pada umumnya setiap rantai pemasaran terdapat pedagang pengumpul yang berperan dalam menampung produk yang dihasilkan petani. Dengan adanya peran pengumpul ini posisi tawar petani menjadi kurang kuat terutama dalam sistem penetapan harga. Akan tetapi, dengan terputusnya pedagang pengumpul dari rantai pemasaran tidak selalu membuat sistem tataniaga menjadi lebih efisien. Oleh karena itu sistem tataniaga dapat berbeda pada tempat yang berbeda. Lembaga-lembaga tataniaga dalam sistem tataniaga melakukan fungsi yang berbeda untuk memperlancar proses penyampaian sayuran (tomat, daun bawang, caisin, jamur tiram putih, dan lainnya) dari petani hingga ke konsumen akhir. Fungsi tataniaga merupakan perlakuan-perlakuan pada sistem tataniaga yang akan meningkatkan atau menciptakan nilai tambah (value added) untuk memenuhi kepuasan konsumen. Secara umum fungsi tataniaga yang dilakukan lembaga tataniaga terdiri atas fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (penyimpanan, pengolahan, pengangkutan) dan fungsi fasilitas (sortasi, pembiayaan, penanggungan risiko, informasi pasar). Titik akhir saluran tataniaga tomat pada umumnya bermuara di pasar tradisional kecamatan atau kabupaten. Pada penelitian Mahassy (2011) yang melakukan penelitian mengenai tataniaga sayuran organik di Koperasi Serikat Petani Indonesia, Kabupaten Bogor petani melakukan penjualan langsung pada koperasi SPI tersebut dan membentuk 5 saluran pemasaran sayuran organik. Pada saluran (1) petani melakukan penjualan pedagang pengecer tradisional dan langsung menjualnya ke pedagang pengecer. Pada saluran (2) petani melakukan penjualan ke koperasi SPI, toserba YT, sampai ke konsumen. Pada saluran (3) petani melakukan penjualan ke koperasi SPI, pemasok supermarket GF, supermarket LS, sampai ke konsumen. Pada saluran (4) petani melakukan penjualan ke koperasi SPI, pemasok supermarket GF, supermarket GS, sampai ke konsumen. Sedangkan pada saluran (5) petani melakukan penjualan ke koperasi SPI, outlet SPI, sampai ke konsumen. Saluran tataniaga untuk komoditas sayuran yang berbeda bisa saja menghasilkan saluran tataniaga yang berbeda pula. Sebagai contoh, penelitian A yun (2010) mengenai tataniaga bawang daun di Kabupaten Cianjur menghasilkan 4 saluran pemasaran, yaitu: (1) petani, pedagang pengumpul, pedagang pengecer, konsumen; (2) petani, pedagang pengumpul, pedagang grosir, pedagang pengecer, konsumen; (3) petani, pedagang pengumpul, konsumen (restoran); (4) petani, pedagang pengumpul, supplier, pedagang pengecer (supermarket), konsumen. Saluran tataniaga tomat di Desa Tugumukti, Kabupaten Bandung Barat pada penelitian Fikri (2013) menghasilkan 6 saluran tataniaga yang terbagi atas 3 pasar akhir yaitu wilayah Bandung (lokal), Bekasi dan Jakarta. Saluran tataniaga yang terbentuk tersebut yaitu: (1) Petani, pedagang kecil, pedagang pengecer, konsumen (Bandung); (2) Petani, pedagang pengecer, konsumen (Bandung); (3) 9

22 10 Petani, pedagang besar, pedagang pengecer, konsumen (Bekasi); (4) Petani, pedagang besar, konsumen (Bekasi); (5) Petani, pedagang besar, pedagang pengecer, konsumen (Jakarta); (6) Petani, pedagang besar, konsumen (Jakarta). Pola saluran tataniaga yang berbeda juga terlihat pada penelitian Hairia (2013) yang meneliti saluran pemasaran tomat di Koperasi Mitra Tani Parahyangan, Kabupaten Cianjur. Saluran tataniaga yang terbentuk di Koperasi Mitra Tani Parahyangan terdiri atas 3 pola, yaitu: (1) Pola saluran pemasaran melalui distribution center (DC); (2) Pola saluran pemasaran tomat melalui Giant atau Alfamidi (retailer); (3) Pola saluran tomat melalui restoran. Kajian Mengenai Struktur Pasar Struktur pasar sangat dipengaruhi oleh beberapa karakteristik yang unik untuk masing-masing produk dan lembaga yang terlibat dalam tataniaga. Menurut Hammond dan Dahl (1977) terdapat 4 karakteristik struktur pasar yang pada akhirnya akan menentukan perilaku pasar pada setiap kegiatan pemasaran. Keempat karakteristik pasar tersebut adalah (1) jumlah dan ukuran perusahaan; (2) sifat produk (dari sudut pandang pembeli); (3) hambatan keluar dan masuk pasar; dan (4) pengetahuan tentang biaya, harga dan kondisi pasar diantara partisipan tataniaga. Prasetyo (2007) dalam Natalia (2011) memberi pengertian pada perilaku pasar sebagai cara bagaimana partisipan tataniaga (petani dan lembaga tataniaga) menyesuaikan diri terhadap situasi penjualan dan pembelian yang terjadi. Perilaku pasar tidak selamanya konstan dan akan berubah mengikuti situasi penjualan dan pembelian yang terjadi, sehingga lembaga tataniaga akan mengambil sikap dalam mengambil keputusan. Penentuan harga dan sistem kelembagaan pasar menjadi dasar untuk mengidentifikasi perilaku pasar. Terdapat 2 alasan yang menjadikan harga penting dalam suatu industri, dimana perilaku pasar mendorong terjadinya kerja sama dalam penetapan harga. Alasan tersebut adalah pertama, harga sebagai senjata efektif dan berbahaya dalam persaingan. Kedua, harga adalah bagian kritis yang harus dikontrol. Penelitian Fikri (2013) tentang sistem tataniaga tomat di Desa Tugumukti, Kabupaten Bandung Barat menunjukkan bahwa struktur pasar yang dihadapi oleh petani cenderung pada struktur pasar monopsoni karena petani menghadapi kesulitan dalam menjual tomat kepada pedagang, di mana pedagang merupakan pihak yang sangat dominan dalam menentukan harga tomat. Struktur pasar yang dihadapi lembaga tataniaga seperti pedagang besar, pedagang kecil dan pedagang pengecer cenderung mengarah pada pada pasar oligopoli karena jumlah penjual lebih sedikit dari pembeli, di mana penjual memiliki peran yang dominan dalam penentuan harga tomat. Menurut Burhan (2011) dalam menganalisis kinerja atau keragaan pasar, beberapa pendekatan bisa dilakukan yaitu dengan menganalisis biaya pemasaran, biaya operasional dan biaya transaksi khususnya yang menyangkut masalah penawaran. Biaya pemasaran merupakan biaya yang tidak dapat dipisahkan dalam melihat kinerja pasar. Selisih harga yang tinggi akan memicu para spekulator untuk mempermainkan harga di pasar. Biaya pemasaran tersebut menunjukkan besarnya marjin tataniaga yang menjadi salah satu indikator kuantitatif dalam

23 menentukan penerimaan petani sehingga dapat menunjukkan apakah keragaan pasar efektif atau tidak. Indikator yang biasa digunakan untuk melihat efisiensi pemasaran suatu produk pertanian adalah marjin tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Secara umum panjangnya rantai pada saluran tataniaga berimplikasi pada bertambahnya biaya tataniaga yang dikeluarkan untuk menangani produk pertanian tersebut dan adanya pengambilan keuntungan dari setiap lembaga tataniaga yang terlibat. Hal ini mengakibatkan nilai marjin tataniaga yang semakin membesar dan bagian yang diterima oleh petani (farmer s share) semakin mengecil. 11 Keterkaitan Kajian Empiris terhadap Penelitian Penelitian dengan topik tataniaga bukanlah merupakan hal yang baru. Di samping itu penelitian yang akan dilakukan mengacu pada beberapa penelitian tentang tataniaga yang telah dilakukan pada beberapa komoditas hortikultura di beberapa wilayah di Indonesia. Mengingat pemasaran merupakan permasalahan yang umum terjadi pada produk pertanian hortikultura, penelitian tataniaga menjadi penting untuk dilakukan. Hasil penelitian dari beberapa penelitian tentang tataniaga pada komoditas hortikultura menunjukkan bahwa secara umum perbedaan harga atau marjin atas harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen relatif besar. Hal ini terjadi salah satunya karena panjangnya rantai pemasaran yang melibatkan beberapa lembaga seperti pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer. Petani sebagai produsen biasanya hanya bertindak sebagai price taker yang memperoleh bagian (farmer s share) kecil dari harga yang dibayar oleh konsumen. Oleh karena itu, penelitian mengenai tataniaga tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat ini menggunakan beberapa rujukan dari penelitian-penelitian tentang tataniaga pada komoditas hortikultura yang telah dilakukan sebagai referensi dan pedoman. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini dilandasi oleh teori-teori mengenai konsep sistem tataniaga meliputi konsep sistem tataniaga; konsep saluran, lembaga, dan fungsi tataniaga; konsep struktur pasar; konsep marjin tataniaga; konsep farmer s share, konsep rasio keuntungan terhadap biaya; serta konsep efisiensi tataniaga. Konsep Sistem Tataniaga Tataniaga merupakan suatu kegiatan yang memfasilitasi produsen (petani) dengan konsumen akhir melalui aliran produk. Menurut Kohls dan Uhl (1985) konsep tataniaga merupakan suatu kegiatan mendistribusikan produk secara fisik dan aktivitas ekonomi yang memfasilitasi pergerakan dan pertukaran suatu

24 12 komoditas, mulai dari komoditas tersebut lepas dari penanganan usahatani di lahan pertanian hingga berada di tangan konsumen akhir. Tataniaga merupakan sebuah sistem karena dalam tataniaga terdiri atas lembaga-lembaga yang saling berinteraksi dan saling berkontribusi menuju satu tujuan industri secara keseluruhan, yaitu menyampaikan produk dari produsen (petani) kepada konsumen akhir. Asmarantaka (2012) menjelaskan konsep tataniaga dari aspek ekonomi bahwa tataniaga atau pemasaran merupakan suatu sistem yang terdiri atas sub-sub sistem. Sub-sub sistem tersebut disebut sebagai fungsi tataniaga yang terdiri atas fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi-fungsi tataniaga ini merupakan aktivitas bisnis atau kegiatan produktif selama mengalirnya produk atau jasa pertanian dari petani produsen sampai konsumen akhir. Tataniaga agribisnis pangan merupakan sistem yang kompleks dan mahal. Tataniaga dikatakan kompleks karena untuk satu jenis komoditas pangan saja memerlukan banyak prosedur operasi yang khusus dalam penanganannya. Selain sifat dari komoditas pangan yang mudah rusak, komoditas pangan juga mempunyai banyak variasi dalam hal kualitas sehingga harus dilakukan beberapa penanganan khusus seperti pengumpulan, sortasi, pengemasan, harus segera dipasarkan atau disimpan untuk kemudian digunakan. Biaya tenaga kerja yang digunakan selama proses tataniaga bisa melebihi nilai dari komoditas yang dijual oleh petani karena banyak melibatkan aktivitas bisnis dari lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat. Oleh karena itu tataniaga agribisnis untuk komoditas pangan dikatakan mahal (Kohls dan Uhl 1985). Schaffner et al (1998) dalam Asmarantaka (2012) menjelaskan tataniaga dari pendekatan manajemen (marketing management approach), merupakan pendekatan dari aspek mikro (manajerial) perusahaan dalam proses perencanaan, penetapan harga, promosi dan distribusi dari produk dan jasa untuk memuaskan konsumen baik konsumen individual maupun organisasi. Marketing Mix atau bauran pemasaran yang terdiri atas product, price, place, dan promotion mix merupakan salah satu strategi perusahaan dalam manajemen pemasaran. Kohls dan Uhl (1985) menyatakan bahwa mempelajari sistem tataniaga dapat dilakukan dengan melalui pendekatan-pendekatan sebagai berikut: 1. Pendekatan Fungsi (The Functional Approach) Pendekatan fungsi menganalisis jenis-jenis aktivitas bisnis yang terjadi selama proses tataniaga. Pendekatan fungsi tataniaga dibagi menjadi beberapa fungsi tataniaga. Pembagian fungsi tataniaga tersebut dilakukan berdasarkan biaya pemasaran dari berbagai komoditas pertanian yang nilainya berbeda-beda. 2. Pendekatan Kelembagaan (The Institutional Approach) Pendekatan kelembagaan memfokuskan pendekatan pada individu atau organisasi bisnis yang terlibat selama proses tataniaga atau aktivitas bisnis dilakukan. Pendekatan ini mencoba menjelaskan who dalam pertanyaan Who does what, artinya pendekatan ini menjelaskan peran dari pelakupelaku bisnis yang terlibat selama proses tataniaga berlangsung. 3. Pendekatan Sistem Perilaku (The Behavioral Systems Approach) Pendekatan sistem perilaku memandang keseluruhan dimensi yang terbentuk dari interaksi antara lembaga-lembaga tataniaga yang saling

25 melakukan fungsi-fungsi tataniaga dalam saluran-saluran tataniaga yang terbentuk. Konsep Saluran, Lembaga, dan Fungsi Tataniaga Menurut Kohls dan Uhl (1985) saluran tataniaga adalah sekumpulan pelaku-pelaku usaha (lembaga-lembaga tataniaga) yang saling melakukan aktivitas bisnis dalam membantu menyampaikan produk dari petani sampai konsumen akhir. Dalam saluran tataniaga, lembaga-lembaga tataniaga saling melakukan fungsi tataniaga sehingga kemudian akan terbentuk beberapa alternatif saluran tataniaga. Setiap alternatif saluran tataniaga memungkinkan terjadinya aliran produk yang berbeda-beda. Hal ini bergantung pada kepada siapa saja produk tersebut berhenti, apa saja perlakuan yang diberikan kepada produk selama melewati lembaga-lembaga tataniaga, dan seberapa panjang rantai tataniaga yang terbentuk. Dalam saluran tataniaga ada lembaga-lembaga tataniaga yang saling melakukan fungsi-fungsi tataniaga dalam menyampaikan produk sampai ke konsumen akhir. Lembaga-lembaga tataniaga tersebut dapat berupa individu atau organisasi bisnis yang terlibat dalam aktivitas ekonomi dan peningkatan nilai tambah (value added) produk. Dengan mempelajari lembaga-lembaga tatanaga akan dapat dimengerti bahwa mengapa petani dan konsumen tidak dapat berhubungan secara langsung dalam melakukan proses pertukaran produk. Berikut adalah lembaga-lembaga tataniaga yang umum terlibat dalam proses tataniaga (Kohls dan Uhl 1985): 1. Pedagang Perantara (Merchant Middlemen), lembaga tataniaga yang menghimpun barang untuk kemudian barang tersebut dimiliki untuk ditangani dalam upaya memperoleh marjin pemasaran. a) Pedagang Pengumpul (Assembler), mengumpulkan dan membeli produk langsung dari produsen (petani) dalam jumlah besar untuk memperoleh marjin pemasaran dengan menjual kembali kepada pedagang grosir atau lembaga tataniaga lain. b) Pedagang Grosir (Wholeseller), menjual produk kepada pedagang pengecer, pedagang grosir lain dan industri terkait, tetapi tidak untuk menjual produk dalam jumlah tertentu kepada konsumen akhir. c) Pedagang Pengecer (Retailers), membeli produk untuk langsung dijual kembali kepada konsumen akhir. 2. Agen Perantara (Agent Middlemen), memperoleh pendapatan dari komisi dan bayaran dari proses jual-beli. Agen perantara berbeda dengan pedagang yang memiliki hak atas produk untuk ditangani lebih lanjut. Agen perantara hanya mewakili pelanggan dalam transaksi jual-beli dan tidak memiliki hak atas produk yang mereka tangani. a) Broker (Brokers),menyalurkan produk untuk memperoleh komisi tanpa memiliki hak untuk mengontrol produk secara langsung. b) Komisioner (Commission Men), menyalurkan produk untuk memperoleh komisi. Komisioner diberi hak dan keleluasaan dalam mengontrol barang yang diperjual-belikan. 3. Spekulator (Speculative Middlemen), melakukan jual-beli produk dengan tujuan utama memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan pergerakan harga di pasar. 13

26 14 4. Pengolah dan Pabrik (Processor and Manufacturers), melakukan beberapa tindakan pada produk yang ditangani untuk memperoleh marjin pemasaran berupa nilai tambah (value added) dengan mengubah bentuk fisiknya. 5. Organisasi Pendukung (Facilitative Organizations), membantu berbagai perantara tataniaga dalam melakukan aktivitas bisnisnya. Biasanya organisasi pendukung memperoleh pendapatan dari taksiran bayaran dari lembaga-lembaga yang menggunakan jasa mereka. Lembaga-lembaga tataniaga melakukan aktivitas bisnis selama proses pemasaran berlangsung. Aktivitas-aktivitas tersebut dinamakan fungsi tataniaga. Fungsi-fungsi tataniaga tersebut harus dilakukan oleh pelaku-pelaku bisnis yang terlibat selama proses tataniaga berlangsung. Hal ini dilakukan dengan tujuan meningkatkan efisiensi tataniaga, karena fungsi tataniaga yang dilakukan dapat meningkatkan nilai tambah dari produk agribisnis. Kohls dan Uhl (1985) mengklasifikasikan fungsi tataniaga menjadi 3 kelompok utama, yaitu: 1. Fungsi Pertukaran (Exchange Functions) Fungsi pertukaran merupakan aktivitas-aktivitas yang melibatkan pertukaran kepemilikan dari barang-barang yang diperjual-belikan antara penjual dan pembeli. Fungsi pertukaran terdiri atas: a) Pembelian (Buying/Assembling) Pembelian adalah kegiatan mencari barang atau jasa yang digunakan sebagai bahan baku atau dengan mengalihkan kepemilikan. b) Penjualan (Selling) Penjualan adalah kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan pemasaran yang berusaha menciptakan permintaan dengan melakukan strategi promosi dan periklanan serta strategi pemasaran lainnya untuk dapat menarik minat pembeli. 2. Fungsi Fisik (Physical Functions) Fungsi fisik adalah aktivitas-aktivitas yang melibatkan penanganan, pergerakan, dan perubahan fisik atas produk. Fungsi fisik membantu menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan kapan, apa dan dimana tataniaga tersebut terjadi. Fungsi fisik terdiri atas: a) Penyimpanan (Storage) Penyimpanan membantu menyelesaikan permasalahan produk yang berhubungan dengan waktu. Penyimpanan membuat produk tersedia pada waktu yang diinginkan. b) Pengangkutan (Transportation) Pengangkutan membantu menyelesaikan permasalahan produk yang berhubungan dengan tempat. Pengangkutan membuat produk tersedia pada tempat yang tepat. c) Pengolahan (Processing) Pengolahan merupakan kegiatan merubah bentuk produk untuk meningkatkan nilai tambah produk tersebut. Pengolahan kadang tidak termasuk dalam kegiatan pemasaran karena pada dasarnya kegiatan pengolahan adalah kegiatan merubah bentuk produk, bukan kegiatan memasarkan produk. 3. Fungsi Fasilitas (Facilitating Functions)

27 Fungsi fasilitas merupakan aktivitas-aktivitas yang secara tidak langsung terlibat dalam proses pemasaran produk karena membutuhkan teknologi dan pengetahuan khusus dalam penanganannya. Dengan adanya fungsi fasilitas akan memperlancar fungsi pertukaran dan fisik sehingga kinerjanya akan menjadi lebih baik. Fungsi fasilitas terdiri atas: a) Standarisasi (Standarization) Standarisasi merupakan ukuran yang menjadi standar bagi semua produk agar menjadi seragam dalam hal kualitas dan kuantitas. b) Pembiayaan (Financing) Pembiayaan adalah kegiatan mengelola keuangan yang melibatkan banyak aspek penting dari tataniaga. c) Penanggungan Risiko (Risk Bearing) Fungsi penanggungan risiko digunakan untuk menghitung tingkat kemungkinan kehilangan atau kerugian dari proses tataniaga produk agribisnis yang dilakukan. d) Informasi Pasar (Market intelligence) Fungsi informasi pasar merupakan aktivitas mengumpulkan, menginterpretasi, dan menyebarluaskan berbagai macam informasi yang diperlukan untuk kelancaran proses tataniaga. Dalam melakukan pendekatan fungsi tataniaga, ada beberapa karakteristik penting yang harus diperhatikan (Kohls dan Uhl 1985), yaitu: 1. Dampak dari fungsi tataniaga tidak hanya terjadi pada biaya tataniaga pangan, tetapi terhadap nilai dari produk pangan yang diterima oleh konsumen. Pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan menciptakan nilai guna bentuk, ruang, dan waktu bagi konsumen. 2. Walaupun sistem tataniaga memungkinkan mengeliminasi pedagang perantara (middleman) untuk membuat tataniaga menjadi lebih efisien, fungsi-fungsi tataniaga akan sulit untuk bisa dieliminasi. 3. Fungsi tataniaga dapat dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja dalam sistem tataniaga. Konsep Struktur Pasar Struktur pasar adalah suatu dimensi yang menjelaskan definisi industri dan perusahaan mengenai jumlah perusahaan yang ada dalam pasar, distribusi perusahaan tersebut dengan berbagai ukuran, diferensiasi produk, serta syaratsyarat keluar masuk pasar yang tercipta dalam suatu industri (Azzaino (1983) dalam Melania (2007)). Hammond dan Dahl (1977) menjelaskan bahwa struktur pasar merupakan suatu lingkungan yang sangat dipengaruhi oleh karakteristik yang unik dari masing-masing produk dan pelaku-pelaku usaha yang terlibat dalam suatu pasar. Terdapat 4 karakteristik pasar yang mempengaruhi struktur pasar yang terbentuk, yaitu (1) jumlah dan ukuran perusahaan; (2) sifat produk (dari sudut pandang pembeli); (3) hambatan keluar dan masuk pasar; dan (4) pengetahuan tentang biaya, harga dan kondisi pasar diantara partisipan tataniaga. Pengetahuan pasar mengacu pada informasi yang terbentuk oleh partisipan pasar, yaitu para penjual dan pembeli yang memungkinkan mereka untuk membuat keputusan dalam lingkungan pasar yang mereka operasikan. Hammond dan Dahl (1977) mengklasifikasikan struktur pasar untuk komoditas pertanian 15

28 16 (pangan dan serat) yang terbentuk berdasarkan karakteristik pasar menjadi 5 kategori. Kelima kategori struktur pasar tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Struktur pasar untuk pemasaran pangan dan serat a Karakteristik Struktur pasar Jumlah perusahaan Sifat produk Sisi penjual Sisi pembeli Banyak Homogen Persaingan murni Persaingan murni Banyak Diferensiasi Persaingan monopolistik Persaingan monopsonistik Sedikit Homogen Oligopoli murni Oligopsoni murni Sedikit Diferensiasi Oligopoli terdiferensiasi Oligopsoni terdiferensiasi Satu Unik Monopoli Monopsoni a Sumber: Hammond dan Dahl (1977). Struktur pasar persaingan terjadi jika produsen sangat banyak dengan memproduksi jenis produk yang sejenis dan mirip dengan jumlah konsumen yang banyak pula. Menurut Melania (2007) sifat dari pasar persaingan sempurna adalah barang yang diperjual-belikan sejenis; penjual berperan sebagai pengambil harga (price taker); harga terbentuk dari mekanisme pasar; posisi tawar konsumen kuat; sulit memperoleh keuntungan di atas harga rata-rata; sensitif terhadap penambahan harga; dan mudah untuk masuk dan keluar pasar. Struktur pasar monopolistik terjadi ketika jumlah produsen atau penjual banyak dengan produk yang serupa atau sejenis tetapi konsumen produk tersebut berbeda-beda antara produsen satu dengan yang lain. Brand yang khas dan kemampuan produsen dalam sedikit mengubah harga menjadi ciri khusus dalam dalam pasar monopolistik. Pasar oligopoli didominasi oleh beberapa produsen atau penjual dalam suatu area dengan kunci sukses utama perbedaan produk yang unggul. Pasar oligopoli akan berubah menjadi pasar monopoli pada suatu keadaan ekstrim, yaitu jika produsen atau penjual di area tersebut hanya ada 1 produsen atau penjual dengan banyak konsumen (Melania 2007). Perilaku pasar adalah suatu pola yang muncul dari tindakan-tidakan atau tingkah laku yang tercermin dari lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar yang terbentuk. Lembaga-lembaga tataniaga tersebut melakukan transaksi penjualan dan pembelian dan menentukan bentuk-bentuk keputusan apa yang harus dilakukan dalam menghadapi struktur pasar (Hammond dan Dahl 1977). Kohls dan Uhl (1985) mengemukakan bahwa ada 4 masalah penting yang harus diperhatikan dalam menganalisis perilaku pasar. Keempat hal penting tersebut yaitu (1) input-output system, ini adalah masalah utama dan paling penting diantara masalah lainnya karena digunakan untuk mengetahui kombinasi input yang digunakan untuk menghasilkan output yang diinginkan dan diharapkan dapat menemukan solusi untuk meningkatkan kepuasan dari output tersebut; (2) power system, digunakan untuk menjelaskan bahwa perusahaan mempunyai status dan kepentingan dalam mamainkan peranannya di pasar dalam mengembangkan

29 kualitas, upaya menjadi pemimpin pasar, peduli terhadap masyarakat, konservatif, atau menjadi perusahaan dengan tingkat pertumbuhan paling cepat; (3) communication system, digunakan untuk membuat sistem informasi yang efektif; dan (4) system for adapting to internal and external change, digunakan untuk menjelaskan bagaimana perusahaan ingin bertahan pada suatu sistem tataniaga. Konsep Marjin Tataniaga Marjin tataniaga mengacu pada perbedaan harga pada berbagai tingkatan sistem tataniaga. Marjin tataniaga adalah perbedaan harga antara harga yang diterima oleh petani (P f ) dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir (P r ). Dengan kata lain, marjin tataniaga dapat dikatakan sebagai selisih dari harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir (P r -P f ). Marjin tataniaga hanya mengacu pada perbedaan harga, tidak berhubungan dengan jumlah produk yang ada di pasar (Hammond dan Dahl 1977). 17 P S r P r S f D r P f D f 0 Q r,f Gambar 2 Kurva marjin tataniaga Keterangan: P f = Harga di tingkat petani P r = Harga di tingkat konsumen akhir D f = Permintaan di tingkat petani (primary demand) D r = Permintaan di tingkat konsumen akhir (derived demand) S f = Penawaran di tingkat petani (primary supply) S r = Penawaran di tingkat konsumen akhir (derived supply) Q r,f = Jumlah produk di tingkat petani dan konsumen akhir Sumber: Hammond dan Dahl (1977) dalam Asmarantaka (2012) Q Proses pembentukkan marjin tataniaga dapat dilihat pada Gambar 2. Teori marjin tataniaga dapat dijelaskan seperti yang diungkapkan Tomek dan Robinson (1990) dalam Asmarantaka (2012). Primary demand adalah kondisi yang menentukan yaitu respon dari konsumen akhir, sebagai permintaan awal dari proses pemasaran. Derived demand adalah permintaan turunan, yaitu permintaan lembaga-lembaga tataniaga karena adanya primary demand dari konsumen akhir tersebut. Primary supply merupakan penawaran awal yaitu di tingkat petani. Derived suppy merupakan penawaran turunan yaitu penawaran di tingkat lembaga tataniaga.

30 18 Pengertian marjin tataniaga yang lebih luas menurut Asmarantaka (2012) adalah marjin merupakan cerminan dari aktivitas-aktivitas bisnis atau fungsifungsi tataniaga yang dilakukan dalam dalam sistem pemasaran. Selain cerminan dari fungsi tataniaga, marjin tataniaga juga terdiri atas kumpulan balas jasa karena kegiatan produktif dari fungsi tataniaga yang telah dilakukan oleh lembaga tataniaga dalam menyampaikan produk dari petani sampai kepada konsumen akhir. Marjin tataniaga merupakan salah satu indikator efisiensi tataniaga yang dalam penggunaannya harus teliti. Marjin tataniaga harus mempertimbangkan dan mengevaluasi fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan dalam meningkatkan nilai tambah (value added). Selain itu, dalam mempergunakan marjin pemasaran sebagai salah satu indikator efisiensi harus setara (equivalent) pada sistem tataniaga produk agribisnis. Konsep Farmer s Share Farmer s share merupakan salah satu indikator dalam menentukan efisiensi tataniaga secara kuantitatif. Kohls dan Uhl (1985) mendefinisikan farmer s share sebagai perbedaan harga di tingkat petani dan pedagang pengecer. Farmer s share merupakan bagian dari nilai yang dibayar konsumen akhir yang pada akhirnya diterima oleh petani, nilainya dinyatakan dalam presentase (%). Dalam menafsirkan dan mengevaluasi ukuran marjin tataniaga dan farmer s share, kedua ukuran ini tidak dapat dijadikan ukuran utama dalam menentukan apakah sistem tataniaga sudah efisien atau tidak. Marjin tataniaga yang sangat besar dan farmer s share yang sangat kecil belum tentu menjadi patokan utama dari pendapatan usahatani, efisiensi tataniaga, tingkat keuntungan, atau nilai dari produk pangan untuk konsumen akhir (Kohls dan Uhl 1985). Hal ini karena kompleksnya penanganan produk yang harus dilakukan untuk meningkatkan kepuasan konsumen. Walaupun farmer s share bukan menjadi standar ukuran utama dalam menentukan efisiensi tataniaga, namun dengan diidentifikasinya farmer s share dapat diketahui nilai yang diperoleh petani dari nilai yang dibayar konsumen. Sehingga diperlukan analisis yang mendalam secara menyeluruh untuk menentukan efisiensi suatu sistem tatanaga. Konsep Rasio Keuntungan terhadap Biaya Tataniaga Efisiensi sistem tataniaga dapat diukur secara kuantitatif salah satunya dengan rasio keuntungan terhadap biaya. Asmarantaka (2012) memberi pengertian yang luas terhadap keuntungan yaitu merupakan balas jasa dari penggunaan sumberdaya (kapital, fisik maupun manusia) dan biaya imbangan (opportunity cost) dari kesempatan terbaik. Membandingkan laju keuntungan (profit rates) antara perusahaan-perusahaan dan industri merupakan hal yang penuh dengan risiko, karena ada perbedaan cara perhitungan dan teknik laporan. Meskipun demikian, membandingkan laju profit dengan biaya-biaya antar lembaga tataniaga ( / ) ini sering dilakukan untuk perusahaan atau industri sebagai indikator efisiensi relatif dan keragaan pasar. Konsep Efisiensi Tataniaga Efisiensi dilihat dari rasio nilai output dan input. Efisiensi pada suatu tataniaga diukur berdasarkan kepuasan dari konsumen, produsen maupun lembaga yang terlibat dalam mengalirkan produk mulai dari petani sampai konsumen akhir.

31 Ukuran untuk menentukan tingkat kepuasan baik pada petani (produsen), lembaga tatanaiga, maupun konsumen merupakan hal yang sulit dan sangat relatif. Asmarantaka (2012) menyatakan bahwa efisiensi tataniaga dapat dilihat dari efisiensi operasional (teknis) dan efisiensi harga. Efisiensi operasional merupakan pelaksanaan aktivitas pemasaran yang bertujuan memaksimumkan rasio outputinput pemasaran. Analisis yang sering dilakukan untuk mengetahui efisiensi operasional adalah analisis marjin tataniaga dan farmer s share. Efisiensi harga merupakan kemampuan sistem pemasaran dalam mengalokasikan sumber daya dan mengoordinasikan seluruh produksi pertanian dan proses pemasaran sehingga efisien sesuai dengan keinginan konsumen. 19 Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian ini dilakukan berdasarkan kondisi aktual bahwa tomat merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan di Indonesia yang menghasilkan nilai ekonomis dan strategis. Sebagai salah satu sentra produksi tomat di Jawa Barat, Kabupaten Cianjur mempunyai potensi yang sangat besar dalam pengembangan komoditas tomat. Salah satu daerah penghasil tomat di Kabupaten Cianjur adalah Desa Gekbrong di Kecamatan Gekbrong. Secara umum, beberapa hasil penelitian tentang komoditas hortikultura menunjukkan perbedaan harga tomat yang cukup besar. Di samping itu harga tomat fluktuatif sepanjang tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat permasalahan pada tataniaga tomat dan diduga terjadi di Desa Gekbrong. Berdasarkan pengamatan di lapang diduga bahwa terdapat ketimpangan antara harga tomat yang diterima oleh petani tomat dengan harga tomat yang beredar di pasar. Akibat yang terjadi pada kondisi seperti ini adalah kesejahteraan petani tomat menurun (dilihat dari pendapatan pada aktivitas pemasaran). Biasanya petani hanya bertindak sebagai penerima harga (price taker). Mengacu pada permasalahan yang terjadi di Desa Gekbrong tersebut, perlu dilakukan analisis sistem tataniaga tomat yang komprehensif secara menyeluruh. Dengan demikian dapat diketahui pola saluran pemasaran yang terbentuk, lembaga tataniaga yang terlibat selama proses tataniaga, fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga, serta struktur pasar pada tataniaga tomat di Desa Gekbrong. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif dalam memahami sistem tataniaga di Desa Gekbrong. Analisis kualitatif dilakukan dengan mengidentifikasi saluran, lembaga, fungsi, dan struktur pasar pada sistem tataniaga. Sementara itu analisis kuantitatif dilakukan dengan menganalisis marjin tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Setelah semua analisis kualitatif dan kuantitatif dilakukan, maka akan diperoleh gambaran komponen-komponen tataniaga yang ada di Desa Gekbrong, hal ini bisa menjadi referensi bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang diambil untuk meningkatkan efisiensi tataniaga dan kesejahteraan petani. Skema kerangka pemikiran operasional tataniaga tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 3.

32 20 Permasalahan Tomat Harga tomat yang fluktuatif Secara umum terdapat perbedaan harga (marjin) yang cukup signifikan pada komoditas hortikultura, termasuk tomat Petani biasanya hanya sebagai price taker Pendapatan petani (farmer s share) menurun karena marjin yang tinggi Lembaga dan Fungsi Tataniaga Pihak yang terlibat Aktivitas lembaga tataniaga Fungsi tataniaga: fungsi pertukaran, fungsi fisik, fungsi fasilitas Saluran Tataniaga Identifikasi saluran tataniaga Volume penjualan setiap saluran tataniaga Struktur pasar Karakteristik: jumlah pelaku usaha, sifat, hambatan, informasi harga Perilaku pasar: pembelian & penjualan, penentuan harga, sistem penentuan harga, kerjasama antar lembaga Marjin Tataniaga Harga jual Harga beli Biaya tataniaga Farmer s Share Harga jual petani Harga beli konsumen Persentase perolehan petani Rasio Keuntungan terhadap Biaya Biaya tataniaga setiap lembaga Keuntungan setiap lembaga Rasio keuntungan terhadap biaya Rekomendasi bagi pemerintah sebagai upaya perbaikan sistem tataniaga tomat di Desa Gekbrong Gambar 3 Kerangka pemikiran operasional

33 21 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada tataniaga tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Gekbrong merupakan salah satu sentra produksi tomat di Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur. Waktu pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan Februari Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer diperoleh melalui pengamatan secara langsung (observasi) dan wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) kepada petani responden dan lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan tataniaga tomat di Desa Gekbrong seperti pedagang pengumpul, koperasi, pedagang besar, dan pedagang pengecer. Pertanyaan yang diajukan berupa pertanyaan tertutup (terstruktur) dan pertanyaan terbuka. Pertanyaan tertutup (terstruktur) berupa pertanyaan sistematis yang jawabannya telah disediakan sedangkan pertanyaan terbuka berupa pertanyaan yang jawabannya tidak disediakan. Data sekunder diperoleh melalui pencarian dari berbagai studi pustaka dan literatur. Data-data tersebut dapat bersumber dari laporan penelitian, jurnal, buku teks, situs internet, dan data-data lainnya yang berasal dari instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Hortikultura Republik Indonesia, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Cianjur, Balai Pengembangan Budidaya Tanaman Pangan dan Hortikultura Kecamatan Gekbrong, Perpustakaan LSI IPB, dan lainnya. Data sekunder digunakan dalam penelitian ini untuk mengisi kebutuhan atas referensi (rujukan) khusus pada beberapa hal untuk melengkapi data primer. Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel Metode pengumpulan data primer dilakukan dengan pengamatan (observasi) dan wawancara langsung kepada petani responden dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Data primer yang dikumpulkan melalui wawancara adalah data penjualan tomat di tingkat petani pada musim panen Bulan November- Desember Selain itu data yang dikumpulkan juga berupa data pembelian dan penjualan tomat di tingkat lembaga tataniaga pada periode waktu yang sama. Informasi harga tersebut digunakan untuk menghitung marjin tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Data primer yang dikumpulkan melalui pengamatan (observasi) adalah informasi tentang aktivitas-aktivitas

34 22 pemasaran yang dilakukan oleh petani dan lembaga tataniaga untuk mengetahui lembaga, fungsi, saluran, dan struktur pasar pada tataniaga di Desa Gekbrong. Penentuan responden petani ditentukan secara sengaja (purposive) berdasarkan informasi yang diperoleh dari perangkat desa dan Balai Pengembangan Budidaya Tanaman Pangan dan Hortikultura Kecamatan Gekbrong. Responden yang digunakan sebagai sampel adalah petani tomat yang berada di Desa Gekbrong. Jumlah responden petani yang digunakan sebagai sampel adalah sebanyak 30 orang petani yang ada di Desa Gekbrong. Jumlah tersebut dianggap mewakili keragaman saluran tataniaga tomat yang digunakan di Desa Gekbrong. Penentuan responden lembaga tataniaga dilakukan dengan metode non probability sampling, yaitu metode snowball sampling. Informasi dari metode ini diperoleh berdasarkan informasi dari responden sebelumnya yaitu petani tomat di Desa Gekbrong dengan melakukan penelusuran saluran tataniaga mulai dari petani sampai ke konsumen akhir. Metode ini berusaha mengetahui kemana aliran produk dan lembaga-lembaga apa saja yang terlibat dalam tataniaga tomat sampai ke konsumen akhir. Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Nazir (1999) mendefinisikan metode penelitian deskriptif sebagai suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari metode ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan, secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Metode deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah identifikasi saluran, lembaga, fungsi, dan struktur pasar secara kualitatif dan analisis marjin tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya secara kuantitatif. Data mengenai lembaga, fungsi, saluran, dan struktur pasar pada tataniaga tomat diidentifikasi dan disajikan dalam bentuk perbandingan dan tabulasi sederhana. Di samping itu data mengenai biaya, marjin, farmer s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya pada masing-masing lembaga tataniaga diolah dengan melakukan perhitungan menggunakan kalkulator dan software Ms Excel di komputer melalui persamaan yang akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya pada sub bab ini. Data yang telah diolah tersebut kemudian disajikan dalam bentuk tabulasi untuk kemudian dianalisis. Identifikasi Lembaga, Fungsi, dan Saluran Tataniaga Identifikasi lembaga tataniaga digunakan untuk mengetahui karakteristik lembaga-lembaga tataniaga yang melakukan fungsi-fungsi tataniaga di lokasi penelitian. Dengan mengidentifikasi lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses sistem tataniaga, dapat diketahui informasi mengenai pergerakan sumber dan tujuan tomat sampai ke tangan konsumen akhir. Dengan mengetahui alur barang dan jasa yang membentuk rantai pemasaran melalui identifikasi karakteristik lembaga-lembaga tataniaga, dapat membantu menjelaskan pola-pola

35 tataniaga apa saja yang akan membentuk saluran tataniaga pada tataniaga tomat di Desa Gekbrong. Identifikasi fungsi tataniaga digunakan untuk mengetahui kegiatan pemasaran apa saja yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga dalam menyalurkan barang dan jasa mulai dari petani produsen sampai ke tangan konsumen akhir. Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga dapat berupa fungsi pertukaran (penjualan dan pembelian), fungsi fisik (penyimpanan, pengemasan, dan pengangkutan), dan fungsi fasilitas (fungsi standarisasi, pembiayaan, penganggungan risiko, dan informasi pasar). Identifikasi Struktur Pasar Identifikasi struktur pasar digunakan untuk mengetahui struktur pasar apa yang terbentuk dari kondisi tataniaga yang terbentuk di lokasi penelitian. Struktur pasar dari tataniaga tomat dapat diketahui berdasarkan karakteristik pasar (Hammond dan Dahl 1977), yaitu (1) jumlah dan ukuran perusahaan; (2) sifat produk (dari sudut pandang pembeli); (3) hambatan keluar dan masuk pasar; dan (4) pengetahuan tentang biaya, harga dan kondisi pasar diantara partisipan tataniaga. Perilaku pasar didefinisikan sebagai suatu pola yang muncul dari tindakan-tindakan atau tingkah laku dari lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar yang terbentuk. Lembaga-lembaga tataniaga tersebut melakukan transaksi penjualan dan pembelian dan menentukan bentukbentuk keputusan apa yang harus dilakukan dalam menghadapi struktur pasar (Hammond dan Dahl 1977). 23 Tabel 6 Kriteria penentuan jenis struktur pasar di lokasi penelitian berdasarkan karakteristik pasar a Karakteristik Jumlah Informasi Hambatan keluar/ Struktur pasar Sifat produk perusahaan pasar masuk pasar Banyak Homogen Sedikit Rendah Persaingan murni Banyak Diferensiasi Sedikit Tinggi Persaingan monopolistik Sedikit Homogen Banyak Tinggi Oligopoli murni Sedikit Diferensiasi Banyak Tinggi Oligopoli terdiferensiasi Satu Unik Banyak Tinggi Monopoli a Sumber: Hammond dan Dahl (1977). Tabel 6 memperlihatkan kriteria penentuan jenis struktur pasar di lokasi penelitian berdasarkan struktur pasar yang dijelaskan dalam Hammond dan Dahl (1997). Struktur pasar yang terbentuk dapat berupa struktur pasar persaingan sempurna sampai pada struktur pasar persaingan tidak sempurna, bergantung pada karakteristik pasar yang ada di lokasi penelitian. Struktur pasar dapat dilihat dari sisi penjual dan pembeli. Penelitian ini membatasi identifikasi struktur pasar dari sisi penjual pada setiap lembaga tataniaga. Selanjutnya perilaku pasar diidentifikasi berdasarkan struktur pasar yang terbentuk di lokasi penelitian.

36 24 Kegiatan yang diamati dalam menentukan perilaku pasar dapat dilihat melalui praktik pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga dalam transaksi, sistem pembayaran dalam transaksi, dan kerja sama di antara lembaga tataniaga. Analisis Marjin Tataniaga Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga antara harga yang diterima oleh petani (P f ) dengan harga yang diterima oleh konsumen akhir (P r ). Sehingga marjin tataniaga dapat dikatakan sebagai selisih dari harga yang diterima oleh petani dengan harga yang diterima oleh konsumen akhir (P r -P f ). Marjin tataniaga hanya mengacu pada perbedaan harga, tidak ada hubungan dengan jumlah produk yang ada di pasar (Hammond dan Dahl 1977). Selain itu, Asmarantaka (2012) menjelaskan marjin tataniaga sebagai kumpulan jasa-jasa pemasaran akibat adanya aktivitas produktif atau peningkatan nilai tambah (value added) dan merupakan harga dari semua nilai guna dan nilai tambah dari aktivitas fungsi penanganan yang dilakukan oleh lembaga tataniaga dalam sistem tataniaga. Konsumen membayar dua bentuk harga untuk pangan yaitu harga produk dan marjin tataniaga. Marjin tataniaga total (MT) digunakan untuk menghitung nilai marjin absolut mulai dari petani sampai konsumen akhir. Marjin total diperoleh dari selisih harga jual petani (P f ) dengan harga jual pedagang pengecer (P r ). Di samping itu marjin total juga diperoleh dari jumlah marjin yang dihasilkan oleh semua lembaga tataniaga. Secara matematis, marjin tataniaga total dapat dirumuskan seperti pada persamaan (1) dan (2) sebagai berikut. = (1) = (2) Keterangan: MT & M i = Marjin Total & Marjin tataniaga lembaga ke-i P f & P r = Harga di tingkat petani & konsumen Marjin tataniaga setiap lembaga (M i ) dihitung untuk memperoleh nilai marjin pada setiap lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga tomat di Desa Gekbrong. Dengan mengetahui marjin tataniaga pada setiap lembaga, analisis efisiensi operasional dapat diketahui dengan membandingkan nilai marjin yang diperoleh pada setiap lembaga tataniaga. Marjin tataniaga pada lembaga ke-i diperoleh dari selisih harga jual pada lembaga ke-i (P ji ) dengan harga beli pada lembaga ke-i (P bi ). Di samping itu marjin tataniaga pada lembaga ke-i terdiri atas biaya tataniaga pada lembaga ke-i (C i ) dan keuntungan tataniaga pada lembaga ke-i. Secara matematis, marjin tataniaga pada lembaga ke-i dapat dirumuskan seperti pada persamaan (3) dan (4) sebagai berikut. = (3) = + (4) Keterangan: P bi &P ji = Harga beli & jual lembaga ke-i C i & Π i = Biaya dan keuntungan tataniaga lembaga ke-i i = 1,2,3,...,n

37 25 Berdasarkan persamaan (1) dan (2) diperoleh persamaan (5), = + (5) Sehingga keuntungan yang diperoleh pada lembaga ke-i merupakan selisih harga jual pada lembaga ke-i (P ji ) dengan harga beli pada lembaga ke-i (P bi ) dikurangi dengan biaya tataniaga pada lembaga ke-i. Secara matematis, keuntungan tataniaga pada lembaga ke-i dapat dirumuskan seperti pada persamaan (6) sebagai berikut. = (6) Sumber: Asmarantaka (2012) Analisis Farmer s Share Farmer s share adalah bagian dari nilai yang dibayar konsumen akhir yang pada akhirnya diterima oleh petani, nilainya dinyatakan dalam presentase (%) (Kohls dan Uhl 1985). Semakin tinggi harga yang diterima konsumen dari harga yang ditawarkan lembaga tataniaga, bagian nilai yang diterima oleh petani menjadi semakin sedikit. Hal ini karena petani menjual produk pangannya dengan harga yang relatif rendah. Dengan demikian, ada hubungan negatif antara marjin tataniaga dengan farmer s share. Semakin tinggi nilai marjin tataniaga dalam sistem tataniaga, maka nilai yang diterima oleh petani (farmer s share) akan semakin rendah. Secara matematis, farmer s share dapat dirumuskan sebagai berikut. = 100% Keterangan: P f = Harga di tingkat petani P r = Harga di tingkat konsumen akhir Fs = Bagian nilai yang diterima oleh petani (Farmer s share) Sumber: Asmarantaka (2012) Analisis Rasio Keuntungan terhadap Biaya Salah satu indikator efisiensi tataniaga adalah dengan membandingkan laju profit dengan biaya-biaya antar sistem lembaga tataniaga ( / ). Hal ini sering dilakukan untuk perusahaan atau industri sebagai indikator efisiensi relatif dan keragaan pasar (Asmarantaka 2012). Dengan rasio keuntungan terhadap biaya, efisiensi teknis (operasional) dapat dicapai dengan semakin meratanya rasio biaya dan keuntungan dalam sistem tataniaga. Artinya, jika / positif maka sistem tataniaga efisien sedangkan jika / bernilai nol atau negatif maka sistem tataniaga tidak efisien. Secara matematis, rasio keuntungan terhadap biaya dapat dirumuskan sebagai berikut. Keterangan π i = Keuntungan (profit) lembaga tataniaga C i = Biaya tataniaga (marketing cost) Sumber: Asmarantaka (2012) =

38 26 Definisi Operasional Penelitian Definisi operasional pada penelitian ini ditujukan untuk membatasi ruang lingkup penelitian yang akan dilakukan. Selain itu definisi operasional ini digunakan untuk menjelaskan setiap variabel yang akan diidentifikasi dalam penelitian. 1. Tataniaga tomat adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan proses pemindahan kepemilikan dan fisik atas komoditas tomat mulai dari petani di Desa Gekbrong sampai kepada konsumen (lokal maupun non lokal ) pada Bulan November-Desember 2012 yang melibatkan lembaga beserta fungsi tataniaga yang dilakukannya. 2. Tomat adalah komoditas hortikultura sayuran yang dibudidayakan oleh petani dengan ciri-ciri buah berbentuk bulat, warna buah merah, dan memiliki tangkai berwarna hijau. Varietas yang dikembangkan adalah adalah amira, maya, menara, amala, dan super hawai di Desa Gekbrong selama Bulan November sampai Desember Harga tomat di tingkat petani adalah harga rata-rata tomat semua grade (A,B,C, maupun super) yang dihasilkan dari sebanyak 30 petani responden di Desa Gekbrong. Harga tomat dikonversi ke dalam satuan Rp per kg selama musim panen Bulan November sampai Desember Harga tomat di tingkat konsumen akhir adalah harga rata tomat grade A,B,C, maupun super yang diterima oleh konsumen Cianjur maupun non lokal (sama dengan harga jual di tingkat pedagang pengecer). Harga tomat dikonversi ke dalam satuan Rp per kg selama musim panen Bulan November sampai Desember Marjin tataniaga total adalah perbedaan harga antara harga di tingkat petani (harga jual petani) dengan harga di tingkat pedagang pengecer baik lokal maupun non lokal yang terdiri atas total biaya dan total keuntungan tataniaga yang telah dikonversi ke dalam rata rata Rp per kg selama musim panen Bulan November sampai Desember Marjin tataniaga pada setiap lembaga adalah perbedaan harga antara harga jual dengan harga beli pada setiap lembaga tataniaga yang tertlibat pada tataniaga tomat di Desa Gekbrong. Marjin ini terdiri atas biaya dan keuntungan tataniaga setiap lembaga yang telah dikonversi ke dalam ratarata Rp per kg selama musim panen Bulan November sampai Desember Biaya tataniaga pada setiap lembaga adalah biaya yang dikeluarkan oleh setiap pelaku usaha (lembaga tataniaga) pada sistem tataniaga yang timbul sebagai konsekuensi dari fungsi tataniaga yang dilakukan selama proses penanganan tomat. Biaya tataniaga ini telah dikonversi ke dalam rata-rata Rp per kg selama musim panen Bulan November sampai Desember Keuntungan tataniaga adalah nilai yang diperoleh sebagai balas jasa atas fungsi tataniaga yang telah dilakukan dan sejumlah biaya tataniaga yang telah dikeluarkan oleh setiap pelaku usaha pada sistem tataniaga selama proses penanganan tomat. Keuntungan tataniaga ini telah dikonversi ke dalam rata-rata Rp per kg selama musim panen Bulan November sampai Desember 2012.

39 27 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Karakteristik Umum Wilayah, Keadaan Alam, dan Penduduk Penelitian ini dilaksanakan di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Desa Gekbrong memiliki potensi yang baik untuk ditanami berbagai komoditas hortikultura sayuran, khususnya untuk komoditas tomat yang tingkat produktivitas tinggi. Desa Gekbrong memiliki luas daerah ha. Desa Gekbrong merupakan salah satu desa di Kecamatan Gekbrong yang berada pada ketinggian m di atas permukaan laut dengan kemiringan 15-40%. Bentuk topografi wilayah ini terdiri atas daerah datar (20%), bergelombang (40%) dan berbukit (40%). Kecamatan Gekbrong terdiri atas 8 desa seperti yang disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7 Sebaran luas daerah menurut desa di Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur tahun 2011 a Nama desa Luas (km2) Cintaasih Cikancana Sukaratu Bangbayang Songgom Cikahuripan Gekbrong Kebonpeuteuy Jumlah a Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Cianjur (2012). Desa-desa yang ada di Kecamatan gekbrong meliputi Desa Cikancana, Cintaasih, Sukaratu, Bangbayang, Songgom, Cikahuripan, Gekbrong dan Kebonpeuteuy. Secara administratif, wilayah Kecamatan Gekbrong berbatasan dengan: Sebelah utara : Kecamatan Warungkondang Sebelah selatan : Kecamatan Cibeber dan Kabupaten Sukabumi Sebelah barat : Kabupaten Sukabumi Sebelah timur : Kecamatan Cibeber dan kecamatan Warngkondang Desa Gekbrong merupakan desa yang terletak di daerah paling ujung di Kecamatan Gekbrong dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Sukabumi. Desa Gekbrong juga merupakan wilayah dengan ketinggian yang paling tinggi dibandingkan dengan desa lainnya di Kecamatan Gekbrong. Secara administratif, wilayah Desa Gekbrong berbatasan dengan: Sebelah utara : Desa Kebonpeuteuy dan Taman Nasional Gede Pangrango Sebelah selatan : Desa Cikahuripan Sebelah barat : Kabupaten Sukabumi Sebelah timur : Desa Songgom

40 28 Komoditas sayuran unggulan di Kecamatan Gekbrong adalah tomat. Hal ini karena kondisi agroklimat di Kecamatan Gekbrong yang sangat cocok untuk ditanami tanaman seperti tomat. Tomat di Kecamatan Gekbrong memiliki tingkat produktivitas paling besar dibandingkan dengan sayuran lainnya. Pada tahun 2011 produktivitas tomat di wilayah ini adalah sebesar ku/ha. Kondisi ini mendukung pengembangan potensi tomat di Kecamatan Gekbrong. Tabel 8 menunjukkan tingkat produktivitas beberapa komoditas sayuran di Kecamatan Gekbrong selama tahun Tabel 8 Produktivitas sayuran menurut komoditas di Kecamatan Gekbrong tahun 2011 a Komoditas Produktivitas (ku/ha) Bawang daun Kacang merah Kubis Cabe besar Cabe rawit Terung Buncis Tomat a Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Cianjur (2012). Desa Gekbrong memiliki lahan darat/ladang yang cukup besar di Kecamatan Gekbrong, yaitu seluas 75 ha. Sistem pengairannya secara keseluruhan menggunakan sistem pengairan pedesaan. Lahan sawah di Desa Gekbrong tidak sebanyak luas lahan sawah di desa lainnya di Kecamatan Gekbrong karena sebagian besar masyarakat desa ini menanam jenis tanaman hortikultura sayuran seperti tomat dan cabe, bukan tanaman pangan seperti padi. Luas lahan darat di Kecamatan Gekbrong tahun 2012 bisa dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran luas lahan darat menurut desa di Kecamatan Gekbrong tahun 2012 a Desa Luas (ha) Bangbayang - Songgom 2.50 Sukaratu Cikancana 6.00 Gekbrong Kb. Peuteuy Cikahuripan Cintaasih Jumlah a Sumber: Programa Penyuluhan Kecamatan Gekbrong (2012).

41 Jarak lokasi penelitian dari kantor Kecamatan Gekbrong sekitar 5 km dan dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor selama ± 30 menit. Kondisi jalan pada sekitar 3 km menuju lokasi penelitian sangat rusak. Sepanjang jalan tersebut banyak lubang dan terdiri atas batu-batu yang membuat pengendara motor cukup kesulitan menjangkau lokasi penelitian. Mengingat kondisi medan jalan yang sangat buruk, kendaraan yang banyak digunakan oleh penduduk Desa Gekbrong adalah motor, sedangkan kendaraan yang biasa digunakan untuk mengangkut tomat hasil panen adalah mobil pick up. 29 Tabel 10 Sebaran jumlah penduduk menurut jenis kelamin di Desa Gekbrong tahun 2012 a Kategori Jumlah (orang) Persentase (%) Laki-laki Perempuan Total a Sumber: Programa Penyuluhan Kecamatan Gekbrong (2012) Desa Gekbrong merupakan desa dengan populasi penduduk yang cukup padat. Tabel 10 memperlihatkan bahwa jumlah penduduk di Desa Gekbrong tahun 2012 adalah sebanyak orang yang terdiri atas laki-laki sebanyak orang (51.12%) dan perempuan sebanyak orang (48.87%). Jumlah kepala keluarga (KK) di Desa Gekbrong tahun 2012 adalah orang dan jumlah kepala keluarga tani (KK Tani) adalah orang. Tabel 11 Sebaran jumlah penduduk di Desa Gekrbrong berdasarkan mata pencaharian tahun 2012 a Mata pencaharian Jumlah penduduk (jiwa) Persentase (%) Sektor pertanian Sektor perkebunan Sektor peternakan Sektor industri kecil dan kerajinan rumah tangga Sektor industri menengah dan besar Sektor perdagangan Sektor jasa Pegawai Negeri Sipil Total a Sumber: Monografi Desa Gekbrong (2012) Penduduk Desa Gekbrong sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai petani dan buruh tani pada sub-sektor hortikultura, terutama sayuran seperti tomat. Jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian adalah sebanyak

42 orang atau 32.34%. Sedangkan penduduk yang bekerja di sektor perkebunan adalah sebanyak orang atau 27.5%. Selain bergerak di sektor pertanian dan perkebunan, penduduk Desa Gekbrong ada yang mempunyai mata pencaharian di sektor peternakan, industri kecil sampai besar, perdagangan dan jasa. Mata pencaharian sebagai pegawai negeri sipil tercatat hanya sebanyak 30 orang atau 0.39%. Hal ini karena masyarakat belum terlalu peduli dengan pendidikan dan sebagian di antara mereka meneruskan tradisi keluarga sebagai petani atau bekerja di sektor industri sebagai buruh pabrik. Data lengkap mengenai jumlah penduduk di Desa Gekbrong berdasarkan mata pencaharian bisa dilihat pada Tabel 11. Karakteristik Petani Responden Petani yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah petani yang sedang melakukan kegiatan usahatani sayuran dan pernah melakukan pemanenan tomat pada periode musim panen sebelumnya, yaitu bulan November sampai Desember Petani responden dipilih secara sengaja (purposive) sebanyak 30 petani dengan asumsi pernah melakukan kegiatan panen pada rentang waktu tersebut. Karakteristik petani responden dikelompokkan menurut usia, tingkat pendidikan, dan pengalaman dalam melakukan usahatani tomat. Tabel 12 Sebaran petani responden berdasarkan usia di Desa Gekbrong tahun 2013 a Kelompok umur (tahun) Jumlah responden (orang) Presentase (%) Total a Sumber: Data primer (diolah). Berdasarkan Tabel 12, petani responden didominasi oleh petani yang berumur tahun yaitu sebanyak 12 orang (40%). Petani responden yang berumur kurang dari 30 tahun hanya terdapat 2 orang (6.67%.). Angka tersebut menunjukkan bahwa pemuda di Desa Gekbrong sedikit yang mau meneruskan tradisi keluarga, yaitu petani. Pemuda lebih memilih untuk bekerja di tempat lain seperti PT GSI, PT NIKE, dan PT Tirta Investama (AQUA Danone). Hal ini sangat kontras dengan petani usia lanjut ( 50 tahun) yang masih menjadikan petani sebagai profesi utama, yaitu terdapat sebanyak 7 orang (23.33%). Sementara itu, petani yang berusia tahun adalah sebanyak 9 orang (30%). Tingkat pendidikan di antara petani responden didominasi oleh petani yang berpendidikan sekolah dasar (SD). Tabel 13 memperlihatkan bahwa petani responden dengan tingkat pendidikan SD adalah 23 orang atau 76.67%. Kondisi ini cukup berpengaruh dalam cara mereka berbagi informasi dengan peneliti dalam menjawab pertanyaan yang diajukan. Petani responden dengan tingkat

43 pendidikan lanjut, yaitu SMP dan SMA/sederajat sangat sedikit, yaitu masingmasing sebanyak 3 orang atau 10%. Di samping itu petani responden dengan pendidikan tinggi (D3) hanya terdapat 1 orang atau 3.33%. Dalam proses wawancara, petani responden dengan pendidikan lebih berpengaruh terhadap kemampuan dalam menjangkau informasi pasar walaupun hanya sebatas mengetahui. 31 Tabel 13 Sebaran petani responden berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Gekbrong tahun 2013 a Tingkat pendidikan Jumlah responden (orang) Presentase (%) SD SMP/sederajat SMA/sederajat Perguruan Tinggi Total a Sumber: Data primer (diolah). Luas lahan yang digunakan dalam usahatani tomat beragam, mulai kurang dari 0.5 ha sampai lebih dari 1 ha. Status lahan yang digunakan ada yang milik sendiri, sewa, dan gabungan dari milik sendiri dan sewa. Kebanyakan petani yang memiliki status lahan milik sendiri memilih untuk menyewa lahan tambahan dengan tujuan dapat memperbanyak skala tanam sehingga diharapkan bisa memperoleh produksi tomat yang lebih banyak.. Tabel 14 Sebaran petani responden berdasarkan luas lahan garapan di Desa Gekbrong tahun 2013 a Luas lahan (ha) Jumlah responden (orang) Presentase (%) , Total a Sumber: Data primer (diolah). Petani tomat pada umumnya menanam tomat dengan sistem tumpang sari dengan komoditas sayuran lain seperti cabai dan sawi putih. Tabel 14 memperlihatkan bahwa jumlah petani dengan luas lahan garapan kurang dari 0.5 ha adalah 16 orang atau 53.33%. Petani dengan luas lahan garapan ha ada sebanyak 11 orang atau 36.67% sedangkan petani dengan luas lahan garapan lebih dari 1 ha ada sebanyak 3 petani. Petani responden di Desa Gekbrong merupakan petani sayuran yang dominan menanam tomat setiap musimnya. Selain tomat, komoditas lain yang sering ditanam adalah cabe, wortel, sawi hijau, sawi putih, dan kentang. Pengalaman dalam mengusahakan usahatani tomat dari petani responden sangat

44 32 beragam, namun kebanyakan dari petani responden merupakan petani pemula yang memiliki pengalaman kurang dari 5 tahun. Tabel 15 Sebaran petani responden berdasarkan pengalaman dalam usahatani tomat di Desa Gekbrong tahun 2013 a Lama bertani tomat (tahun) Jumlah responden (orang) Presentase (%) Total a Sumber: Data primer (diolah). Tabel 15 memperlihatkan bahwa petani responden yang memiliki pengalaman kurang dari 5 tahun ada sebanyak 9 orang atau 30%. Petani lainnya yang memiliki pengalaman 6-10 tahun dalam usahatani tomat ada 6 orang, pengalaman tahun ada 3 orang, pengalaman tahun ada 6 orang, dan petani responden yang memiliki pengalaman lebih dari 21 tahun ada 6 orang. Dari petani responden yang diwawancarai, ada 1 petani responden dengan pengalaman berusahatani tomat paling lama, yaitu selama 40 tahun. Karakteristik Lembaga Tataniaga Responden Penelusuran lembaga tataniaga responden dilakukan dengan metode bola salju (snowball sampling). Lembaga tataniaga responden diperoleh berdasarkan informasi diperoleh dari petani. Berdasarkan hasil penelusuran terhadap petani responden, diperoleh sebanyak 12 lembaga tataniaga responden yang terlibat selama proses penyampaian tomat sampai kepada konsumen akhir. Lembaga tataniaga yang menjadi responden dalam penelitian ini meliputi 4 orang pedagang pengumpul, 1 orang manajer Koperasi Mitra Tani Parahyangan, 1 orang pedagang besar (grosir) dan 2 orang pedagang pengecer di Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang, 2 orang pedagang pengecer di Pasar Gekbrong dan 2 orang pedagang pengecer di Pasar Induk Cianjur. Tabel 16 menyajikan karakteristik lembaga tataniaga responden yang dikelompokkan menurut usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pengalaman dalam berdagang tomat. Pedagang responden yang diperoleh berdasarkan hasil penelusuran hampir semua berjenis kelamin laki-laki, hanya ada 1 orang pedagang responden yang berjenis kelamin perempuan. Hal ini berdasar pada status pedagang merupakan mata pencaharian utama dari pedagang responden. Berdasarkan kelompok usia, pedagang responden yang berusia kurang dari 40 tahun ada sebanyak 6 orang (50%) dan yang berusia tahun ada sebanyak 5 orang (41.67%). Hanya ada 1 orang (8.33%) pedagang responden yang berusia lanjut ( 51). Dari 12 pedagang yang menjadi responden, 8 orang (66.67%) berpendidikan Sekolah Dasar (SD)

45 dan 4 orang (33.33%) berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Tidak ada pedagang responden yang berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP). 33 Tabel 16 Sebaran lembaga tataniaga responden (pedagang pengumpul, pemilik koperasi, pedagang besar, dan pedagang pengecer) berdasarkan umur, tingkat pendidikan, dan pengalaman dalam berdagang tomat a Karakteristik Jumlah responden (orang) Presentase (%) Umur (tahun) Tingkat Pendidikan SD SMP/sederajat SMA/sederajat Pengalaman (tahun) a Sumber: Data primer (diolah). Pengalaman pedagang responden bervariasi dan didominasi oleh 6 orang (50%) berpengalaman kurang dari 10 tahun. Pedagang responden yang berpengalaman tahun ada sebanyak 3 orang (25%), sedangkan yang berpengalaman lanjut ( 16) juga ada sebanyak 3 orang (25%). Pengalaman dalam berprofesi sebagai pedagang biasanya menentukan kekuatan network dan kemampuan dalam mengelola risiko dalam berdagang sayuran seperti tomat. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan dijelaskan secara berurut identifikasi unsur-unsur yang membentuk sistem tataniaga tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat yang merupakan hasil dari penelitian ini. Unsurunsur tersebut adalah lembaga, fungsi, saluran, dan struktur pasar dari tataniaga tomat di Desa Gekbrong. Selanjutnya unsur-unsur tersebut diidentifikasi dengan seksama untuk melihat gambaran sistem tataniaga tomat di Desa Gekbrong. Di samping itu, akan dibahas analisis efisiensi operasional dari tataniaga tomat di lokasi penelitian melalui analisis marjin tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya yang mempertimbangkan fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga.

46 34 Identifikasi Lembaga Tataniaga Dalam rangka menyalurkan tomat dari petani sampai konsumen akhir, sistem tataniaga tomat di Desa Gekbrong melibatkan beberapa lembaga tataniaga. Lembaga tataniaga tomat yang ada pada sistem tataniaga tomat di Desa Gekbrong adalah petani, pedagang pengumpul, koperasi, pedagang besar luar Cianjur, pedagang pengecer Cianjur, dan pedagang pengecer luar Cianjur. Penjelasan dari masing-masing lembaga tataniaga tersebut adalah sebagai berikut. a. Petani, adalah penduduk lokal yang melakukan kegiatan budidaya tomat sekaligus berperan sebagai produsen tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. b. Pedagang pengumpul, adalah lembaga tataniaga perseorangan yang berdomisili di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pedagang pengumpul berperan dalam menampung dan mengumpulkan tomat hasil panen dari petani untuk kemudian disalurkan ke lembaga tataniaga selanjutnya. c. Koperasi, adalah adalah lembaga pengumpul produk pertanian hortikultura (sayuran dan buah-buahan) yang berniaga dalam bentuk Koperasi Mitra Tani Parahyangan. Lembaga tataniaga ini berbentuk badan hukum koperasi yang berada di Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur. Koperasi ini menampung tomat dari petani dengan menerapkan standar khusus baik dari kualitas maupun kuantitas untuk dipasarkan langsung ke supermarket. d. Pedagang besar luar Cianjur, adalah lembaga tataniaga perseorangan yang berada di luar Kabupaten Cianjur (Pasar Induk Tanah Tinggi, Kota Tangerang) yang menjual tomat dan sayuran lain dalam skala yang besar. Pedagang besar luar Cianjur memiliki jaringan pemasaran yang sangat besar. Peran dari pedagang ini adalah menyalurkan tomat skala besar tersebut kepada pengecer-pengecer yang ada di luar Kabupaten Cianjur. e. Pedagang pengecer Cianjur, adalah lembaga tataniaga perseorangan yang berada di Kabupaten Cianjur (Pasar Induk Cianjur) yang membeli tomat dari pedagang pengumpul (ada juga yang membeli langsung dari petani tomat di Desa Gekbrong) untuk kemudian dijual kembali kepada konsumen akhir lokal. f. Pedagang pengecer luar Cianjur, adalah lembaga tataniaga perseorangan yang berada di luar Kabupaten Cianjur yang membeli tomat dari pedagang besar luar Cianjur (pedagang besar dari Pasar Induk Tanah Tinggi, Kota Tangerang) untuk kemudian dijual kembali kepada konsumen akhir non lokal (luar Kabupaten Cianjur). Identifikasi Fungsi Tataniaga Lembaga-lembaga tataniaga melakukan fungsi-fungsi tataniaga untuk memperlancar aktivitas penyampaian tomat dari petani hingga konsumen. Fungsi tataniaga dilakukan dengan tujuan meningkatkan efisiensi tataniaga karena fungsi tataniaga yang dilakukan merupakan kegiatan produktif yang dapat menciptakan atau meningkatkan nilai tambah dari produk agribisnis. Setiap lembaga tataniaga melakukan fungsi tataniaga yang berbeda dengan lembaga tataniaga lainnya. Satu

47 lembaga tataniaga bisa saja melakukan fungsi tataniaga yang berbeda pada waktu dan tempat yang berbeda. Tabulasi lengkap mengenai fungsi tataniaga yang dilakukan oleh petani dan lembaga tataniaga dapat dilihat pada Tabel Tabel 17 Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh petani dan lembaga-lembaga tataniaga di Desa Gekbrong a Lembaga tataniaga Fungsi tataniaga Aktivitas dari fungsi tataniaga Petani Pertukaran Penjualan Fisik Fasilitas Pengangkutan Pembiayaan, penanggungan risiko, dan informasi pasar (kadangkadang) Pedagang pengumpul Pertukaran Pembelian dan penjualan Fisik Pengemasan dan pengangkutan Fasilitas Sortasi/grading, pembiayaan, penanggungan risiko, informasi pasar Koperasi Pertukaran Pembelian dan penjualan Fisik Pengemasan dan pengangkutan Fasilitas Sortasi/grading, pembiayaan, penanggungan risiko, informasi pasar Pedagang besar Pertukaran Pembelian dan penjualan Fisik Pengangkutan (bongkar muat) Fasilitas Pembiayaan, penanggungan risiko, informasi pasar Pedagang pengecer Pertukaran Pembelian dan penjualan Fisik Penyimpanan (kadang-kadang), pengemasan, pengangkutan Fasilitas Pembiayaan, penanggungan risiko, informasi pasar a Sumber: Data primer. Secara umum fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga di lokasi penelitian terdiri atas fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa petani melakukan fungsi pertukaran (hanya penjualan), fungsi fisik (hanya pengangkutan), dan fungsi fasilitas (pembiayaan, penanggungan risiko, dan kadang-kadang mencari informasi pasar). Pedagang pengumpul melakukan fungsi pertukaran (pembelian, penjualan), fungsi fisik (pengemasan dan pengangkutan), dan fungsi fasilitas (sortasi/grading, pembiayaan, penanggungan risiko, dan informasi pasar). Koperasi hampir melakukan semua fungsi tataniaga seperti fungsi pertukaran, fungsi fisik (kecuali penyimpanan), dan fungsi fasilitas. Pedagang besar melakukan fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (hanya pengangkutan), dan fungsi fasilitas (pembiayaan, penanggungan risiko, dan

48 36 informasi pasar). Selanjutnya pedagang pengecer melakukan fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (kadang melakukan penyimpanan, pengemasan dan pengangkutan), dan fungsi fasilitas (pembiayaan, penanggungan risiko, informasi pasar, dan kadang melakukan sortasi/grading). Berikut adalah penjelasan fungsi tataniaga yang dilakukan oleh petani dan setiap lembaga tataniaga pada sistem tataniaga tomat di Desa Gekbrong. Penjelasan mencakup penjelasan menyeluruh mengenai aktivitas yang dilakukan pada fungsi tataniaga. Fungsi tataniaga yang telah diketahui pada setiap lembaga tataniaga dapat membantu dalam mengidentifikasi biaya-biaya tataniaga yang dikeluarkan pada setiap fungsi tataniaga yang dilakukan tersebut. Dokumentasi dari aktivitas-aktivitas tataniaga yang dilakukan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 3. Fungsi Tataniaga di Tingkat Petani Pada umumnya petani melakukan ketiga fungsi tataniaga, yaitu fungsi pertukaran, fisik, dan fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh petani adalah fungsi penjualan. Petani di Desa Gekbrong dapat memilih untuk menjual tomat hasil panennya ke pedagang pengumpul (untuk disalurkan ke pedagang besar luar Cianjur atau pedagang pengecer Cianjur), pedagang pengecer Cianjur, atau koperasi Mitra Tani Parahyangan. Petani yang menjual tomat ke pedagang pengumpul, beberapa di antaranya ada yang harus menjual tomatnya hanya ke pedagang pengumpul tersebut karena telah melakukan peminjaman modal untuk biaya penananan tomatnya di awal musim tanam. Fungsi fisik yang dilakukan oleh petani adalah pengangkutan. Sebelumnya tomat dipanen dengan menggunakan jasa tenaga kerja pemetik tomat dengan menggunakan ember untuk menampung tomat. Petani memberi upah harian sebesar Rp per hari untuk tenaga kerja wanita dan sebesar Rp per hari untuk tenaga kerja pria. Setelah dipanen, tomat dikemas dalam peti (pengemasan dilakukan oleh pihak pedagang pengumpul) untuk kemudian diangkut. Pengangkutan dilakukan oleh petani dengan menggunakan tenaga kerja pemikul. Tenaga kerja pemikul bertugas memikul peti-peti tomat yang telah di kemas dari lahan petani ke pinggir jalan desa. Petani memberi upah berdasarkan jarak yang ditempuh. Pekerja yang memikul peti tomat dengan jarak sangat dekat diberi upah minimal Rp50 per kg tomat sedangkan pekerja yang memikul peti tomat dengan jarak yang semakin jauh diberi upah lebih mahal yang bisa mencapai Rp250 per kg tomat. Petani yang menjual tomat langsung ke pedagang pengecer tidak melakukan pengangkutan karena pedagang pengecer mengambil tomat langsung ke petani. Petani tomat di Desa Gekbrong tidak melakukan penyimpanan dan pengemasan. Penyimpanan tidak dilakukan karena tomat merupakan komoditas pertanian yang cepat rusak dan harus segera dipasarkan sedangkan pengemasan tidak dilakukan karena aktivitas ini telah diambil alih oleh pedagang pengumpul, koperasi, dan pedagang peengecer yang membeli tomat langsung ke petani. Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh petani adalah pembiayaan, penanggungan risiko, dan kadang-kadang mencari informasi pasar. Sortasi/grading tidak dilakukan oleh petani karena petani tidak melakukan diferensiasi tomat berdasarkan ukuran (grade A, B, C, atau super). Dengan tidak

49 dilakukannya sortasi oleh petani, mengakibatkan petani tidak memperoleh potential benefit yang dapat meningkatkan nilai yang diperoleh petani. Tabel 18 memperlihatkan grading tomat berdasarkan beratnya yang diklasifikasikan menjadi 3 jenis, yaitu besar, sedang, dan kecil. Standarisasi ini didasarkan pada Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor yang diperoleh dari Badan Standardisasi Nasional (BSN). Selain grading menurut berat, grading juga didasarkan pada syarat mutu yang kemudian diklasifikasikan menjadi 2 jenis, yaitu mutu I dan mutu II 2. Grading tomat berdasarkan syarat mutu menurut SNI dapat dilihat pada Tabel Tabel 18 Grading tomat berdasarkan berat menurut SNI a Jenis Berat (gram/buah) Besar > 150 Sedang Kecil < 100 a Sumber: Badan Standardisasi Nasional (1992) Tabel 19 Grading tomat berdasarkan syarat mutu menurut SNI a Jenis uji Mutu I Mutu II Kesamaan sifat, Seragam Seragam varietas Tingkat ketuaan Tua, tapi tidak terlalu matang dan tidak lunak Tua, tapi tidak terlalu matang dan tidak lunak Ukuran Seragam Seragam Kotoran Tidak ada Tidak ada Tingkat kerusakan Maksimal 5% Maksimal 10% Tingkat kebusukan Maksimal 1% Maksimal 1% a Sumber: Badan Standardisasi Nasional (1992) Tabel 20 Indikator sortasi untuk grading tomat di Desa Gekbrong a Indikator Grade Super A B C Bobot per buah (gram) ± 100 ± 80 ± 70 ± 50 Tingkat kematangan (%) ± Warna buah Hijau keoranyeoranyean Hijau keoranyeoranyean Hijau keoranyeoranyean Hijau keoranyeoranyean Tingkat kerusakan (%) Kondisi buah Mulus dan sedikit bercak Mulus dan ada bercak yang wajar Mulus dan ada bercak yang wajar a Sumber: Data primer. Mulus dan ada bercak yang wajar 2 [BSN] Badan Standardisasi Nasional Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor tentang Tomat Segar. [internet]. [diacu 2013 Mei 30]. Tersedia dari:

50 38 Tabel 20 memperlihatkan indikator sortasi untuk grading tomat yang diperoleh berdasarkan wawancara dengan petani. Walaupun petani tidak memperoleh nilai atas kegiatan sortasi/grading, petani tetap mengetahui perbedaan antara tomat grade A, B, C, maupun super. Petani dan pedagang yang terlibat pada tataniaga tomat di Desa Gekbrong mempunyai kriteria sendiri dalam membuat indikator grading. Beberapa kriteria terlihat berbeda antara tomat SNI dengan tomat standar di lokasi penelitian. Indikator grading tomat didasarkan pada informasi yang diperoleh dari petani. Indikator grading meliputi bobot per buah, tingkat kematangan, warna buah, tingkat kerusakan, dan kondisi buah yang siap dipasarkan dari petani ke lembaga tataniaga selanjutnya. Pembiayaan yang dilakukan petani adalah dengan melakukan kegiatan permodalan untuk menanam dan memanen tomat. Pembiayaan kadang tidak seluruhnya dilakukan sendiri oleh petani, mereka juga bisa meminjam separuh bahkan seluruh modal kepada pedagang pengumpul. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab petani harus menjual tomat hasil panennya kepada pedagang pengumpul dengan satu jenis harga untuk semua grade tomat sehingga petani tidak memperoleh potential benefit dari aktivitas sortasi/grading. Tabel 21 memperlihatkan jumlah petani yang melakukan peminjaman modal untuk usahatani tomat kepada pedagang pengumpul yang diperoleh dari wawancara dengan petani di Desa Gekbrong. Dari sejumlah 25 orang petani responden yang melakukan penjualan tomat kepada pedagang pengumpul selama Bulan November-Desember 2012, 21 orang di antaranya melakukan peminjaman modal. Sebanyak 2 orang petani meminjam uang sebesar < Rp , 11 orang petani meminjam uang sebesar Rp Rp , dan 8 orang petani meminjam uang sebesar >Rp yang digunakan untuk modal tanam tomat. Syarat yang diberlakukan oleh pedagang pengumpul adalah petani harus melunasi utangnya ketika panen. Secara tersirat, syarat tersebut mengisyaratkan bahwa petani harus menjual tomat hasil panen kepada pedagang pengumpul. Kemudian pembayaran utang kepada pedagang pengumpul dilakukan dengan memotong hasil penjualan tomat petani ketika pedagang pengumpul menyerahkan uang hasil penjualan tomat tersebut. Tabel 21 Sebaran petani yang melakukan peminjaman modal usahatani kepada pedagang pengumpul di Desa Gekbrong pada musim tanam tomat Bulan September-November 2012 a Pemberi Jumlah petani Jumlah pinjaman (Rp) Syarat pinjaman pinjaman Pedagang pengumpul (orang) 2 < Lunas ketika panen Lunas ketika 11 panen > Lunas ketika 8 panen Jumlah 21 a Sumber: Data primer.

51 Kondisi permodalan petani yang buruk ini membuat posisi tawarnya menjadi lemah. Beberapa petani yang terikat modal maupun tidak kepada pedagang pengumpul menjadi penerima harga (price taker) dari harga yang telah ditentukan oleh petani. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, kondisi ini juga diperumit dengan keharusan petani menerima harga tomat yang sama untuk semua grade tomat yang dihasilkan. Kondisi ini mau tidak mau harus diterima oleh petani. Penanggungan risiko yang dilakukan petani adalah menerima harga di bawah harga pasar walaupun kadang harus menderita kerugian. Hal ini lebih baik dilakukan untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan saat tanam tomat. Di samping itu petani kadang-kadang mendapatkan informasi pasar dengan mengamati perkembangan harga tomat di televisi dan pedagang tomat di pasar terdekat namun upaya ini tidak terlalu membantu petani dalam mempertahankan posisi tawar. Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengumpul dan Koperasi Pedagang pengumpul di Desa Gekbrong dibedakan berdasarkan pasar yang dituju yaitu yang menyalurkan tomat ke pasar lokal dan pasar non lokal sedangkan Koperasi Mitra Tani Parahyangan (MTP) menyalurkan tomat ke supermarket. Kedua jenis pedagang pengumpul dan koperasi ini melakukan 3 fungsi tataniaga yang hampir sama, yaitu fungsi pertukaran, fisik, dan fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang pengumpul dan koperasi adalah pembelian dan penjualan. Pedagang pengumpul pasar lokal membeli tomat lokal dari petani dengan kualitas grade A, B, dan C dalam jumlah yang tidak terlalu besar untuk kemudian dijual kembali ke pedagang pengecer Cianjur di Pasar Induk Cianjur sedangkan pedagang pengumpul pasar non lokal membeli tomat lokal dari petani dengan kualitas grade A, B, dan C dalam jumlah yang sangat besar untuk kemudian dipasarkan ke pedagang besar di Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang. Berbeda dengan pedagang pengumpul, koperasi hanya membeli tomat dari petani dengan kualitas grade super dalam jumlah yang besar untuk kemudian dijual kembali ke supermarket-supermarket. Fungsi fisik yang dilakukan oleh pedagang pengumpul dan koperasi adalah pengemasan dan pengangkutan. Pengemasan yang dilakukan pedagang pengumpul (lokal dan non lokal) adalah dengan melakukan pengemasan tomat menggunakan peti-peti kayu. Aktivitas ini dilakukan pedagang pengumpul bersamaan dengan aktivitas sortasi/grading tomat sehingga pedagang pengumpul dapat memperoleh nilai tambah. Pengemasan yang dilakukan koperasi adalah dengan mengumpulkan tomat pada keranjang plastik di lahan petani untuk kemudian disortir sehingga dapat memisahkan tomat grade super dengan tomat grade non super. Pengangkutan yang dilakukan oleh pedagang pengumpul pasar lokal adalah mengangkut tomat hasil panen ke Pasar Induk Cianjur dengan menggunakan mobil pick up sedangkan pedagang pengumpul pasar non lokal mengangkut tomat hasil panen ke pedagang besar di Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang dengan menggunakan mobil pick up. Koperasi mengangkut tomat hasil panen ke supermarket dengan menggunakan mobil colt diesel. Pedagang pengumpul (lokal dan non lokal) dan koperasi melakukan semua fungsi fasilitas, yaitu sortasi/grading, pembiayaan, penanggungan risiko, dan informasi pasar. Sortasi/grading yang dilakukan pedagang pengumpul adalah 39

52 40 dengan melakukan pemisahan tomat berdasarkan ukuran pada saat tomat selesai dipanen di lahan petani sedangkan sortasi/grading yang dilakukan koperasi adalah dengan hanya mengambil tomat berukuran paling besar. Pedagang pengumpul memisahkan tomat menjadi 3 jenis ukuran, yaitu grade A (ukuran besar), B (ukuran sedang), dan C (ukuran kecil) sedangkan koperasi hanya menyortir tomat grade super (ukuran sangat besar dengan bobot ± 100 g per buah). Dengan melakukan aktivitas ini pedagang pengumpul memperoleh tiga jenis keuntungan dari satu harga tomat yang dibeli dari petani. Kondisi ini membuat pedagang pengumpul memperoleh potential benefit yang lebih besar. Selisih harga antara tomat grade A dan grade B mencapai Rp346 per kg sedangkan selisih harga antara tomat grade B dan grade C mencapai Rp460 per kg. Pembiayaan yang dilakukan oleh kedua jenis pedagang pengumpul ini adalah dengan menyediakan kebutuhan biaya modal awal panen untuk petani dan biaya-biaya yang dikeluarkan selama menangani tomat dari petani sampai ke pedagang besar luar Cianjur maupun pedagang pengecer Cianjur. Pembiayaan yang dilakukan oleh koperasi adalah dengan menyediakan kebutuhan input produksi tomat seperti bibit, pupuk, dan sarana produksi pertanian lain. Penanggungan risiko yang dilakukan oleh pedagang pengumpul dan koperasi adalah menanggung kerugian akibat penyusutan tomat yang busuk selama di perjalanan menuju Pasar Induk Cianjur, Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang, dan supermarket. Fungsi fasilitas lainnya yang dilakukan pedagang pengumpul dan koperasi adalah mencari informasi pasar dengan mengamati informasi perkembangan harga tomat dari pedagang-pedagang di Pasar Induk Cianjur, Pasar Induk Tanah Tinggi, dan supermarket untuk menentukan harga tomat di tingkat petani. Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Besar Pedagang besar yang ada pada sistem tataniaga tomat di Desa Gekbrong adalah pedagang besar di Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang. Secara umum pedagang besar ini melakukan 3 fungsi tataniaga, yaitu fungsi pertukaran, fisik, dan fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang besar adalah pembelian dan penjualan. Pedagang besar selalu mendapat pasokan tomat dari pedagang pengumpul. Pedagang besar membeli tomat dari pedagang pengumpul dengan jumlah yang tidak ditentukan, sebanyak apapun tomat yang masuk ke lapak pedagang besar akan diterima. Sistem penentuan harga ditentukan oleh pedagang besar namun untuk harga total keseluruhan ditentukan setelah tomat yang dibawa pedagang pengumpul habis terjual. Pedagang besar menjual tomat kepada pedagang-pedagang pengecer yang berasal dari Tangerang dan sebagian dari Jakarta. Fungsi fisik yang dilakukan oleh pedagang besar adalah pengangkutan. Pengangkutan yang dilakukan pedagang besar adalah bongkar muat yang menggunakan tenaga kerja untuk mengangkut peti-peti tomat dari mobil pick up pedagang pengumpul menuju lapak pedagang besar. Pedagang besar melakukan semua fungsi fasilitas, yaitu pembiayaan, penanggungan risiko, dan informasi pasar. Pembiayaan yang dilakukan pedagang besar adalah dengan menyediakan biaya-biaya yang dikeluarkan seperti biaya bongkar muat, biaya retribusi lapak, biaya tenaga kerja, dan penyusutan. Penanggungan risiko yang dilakukan oleh pedagang besar adalah menanggung

53 kerugian akibat penyusutan tomat yang busuk selama disimpan di lapak Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang. Fungsi fasilitas lainnya yang dilakukan pedagang besar adalah informasi pasar, yaitu mencari informasi perkembangan harga tomat dari sesama pedagang di Pasar Induk Tanah Tinggi untuk menentukan harga jual tomat di ke pedagang pengecer. Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengecer Pedagang pengecer yang terlibat pada sistem tataniaga menjual tomat kepada konsumen akhir di 3 pasar berbeda, baik pasar lokal maupun non lokal. Pedagang pengecer Cianjur menjual tomat di pasar Pasar Gekbrong dan Pasar Induk Cianjur sedangkan pedagang pengecer luar Cianjur menjual tomat di pasar luar Kabupaten Cianjur (Tangerang dan Jakarta). Ketiga jenis pedagang pengecer ini melakukan 3 fungsi tataniaga yang hampir sama, yaitu fungsi pertukaran, fisik, dan fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang pengecer adalah pembelian dan penjualan. Pengecer membeli tomat dari pedagang pengumpul, pedagang besar, dan langsung dari petani. Tujuan penjualan dari pedagang pengecer adalah konsumen akhir, baik konsumen Cianjur maupun non lokal. Fungsi fisik yang dilakukan oleh pedagang pengecer berbeda-beda bergantung pada sumber pasokan tomat dan tujuan penjualan tomat. Pedagang pengecer Cianjur di Pasar Induk Cianjur yang memperoleh tomat dari pedagang pengumpul pasar lokal melakukan fungsi fisik yaitu pengemasan dan penyimpanan. Pengemasan dilakukan secara sederhana hanya dengan melakukan kantong plastik sedangkan penyimpanan dilakukan hanya jika sisa tomat tidak terjual dan disimpan dalam waktu 2 sampai 4 hari bergantung pada varietas tomat yang dijual. Pedagang pengecer Cianjur yang langsung membeli tomat langsung dari petani dan pedagang pengecer luar Cianjur yang membeli tomat dari pedagang besar melakukan semua fungsi fisik berupa penyimpanan, pengemasan dan pengangkutan. Pedagang pengecer Cianjur mengambil tomat langsung dari lahan petani dalam jumlah yang kecil dan mengangkutnya dengan kendaraan motor roda tiga untuk dijual langsung ke konsumen di Desa Gekbrong dan di Pasar Gekbrong. Pedagang pengecer luar Cianjur mengambil tomat dari pedagang besar dengan menggunakan jasa becak atau sepeda motor pribadi untuk dijual di Pasar Induk Tanah Tinggi atau pasar lokal di Tangerang dan Jakarta. Pedagang pengecer baik lokal maupun non lokal melakukan fungsi fasilitas untuk memperoleh nilai tambah dari penjualan tomat. Fungsi fasilitas yang dilakukan berupa pembiayaan, penanggungan risiko, informasi pasar, dan sebagian ada yang melakukan sortasi/grading. Sortasi/grading hanya dilakukan oleh pedagang pengecer yang membeli tomat langsung dari petani sedangkan pedagang pengecer yang membeli tomat dari pedagang pengumpul dan pedagang besar membeli tomat dengan harga berdasarkan grade A, B, atau C. Pedagang pengecer yang membeli tomat langsung dari petani menentukan harga yang sama untuk tomat grade A dan B dengan alasan ukuran yang tidak terlalu berbeda sehingga hanya grade C yang harganya dibedakan atas grade lainnya. Aktivitas ini meningkatkan potential benefit dari pedagang pengecer dan dianggap tidak terlalu berpengaruh atas pendapatan petani karena hanya dilakukan dalam jumlah kecil. 41

54 42 Pembiayaan yang dilakukan oleh pedagang pengecer adalah menyediakan modal untuk membeli tomat dari petani, pedagang pengumpul atau pedagang besar serta biaya-biaya untuk kantong plastik, biaya retribusi lapak, pengangkutan, dan penyusutan. Informasi pasar yang didapatkan pedagang pengecer adalah dengan mengamati perkembangan harga tomat di pasar. Pedagang pengecer menanggung risiko dari tomat yang rusak karena proses pengangkutan dan penyimpanan selama beberapa hari. Identifikasi Saluran Tataniaga Saluran tataniaga tomat di lokasi penelitian melibatkan beberapa lembaga tataniaga dan diawali dengan petani sebagai titik permulaan. Petani menjual hasil panen kepada lembaga-lembaga tataniaga yang berbeda yang selanjutnya membentuk beberapa saluran tataniaga. Pada setiap saluran tataniaga, lembagalembaga tataniaga saling melakukan fungsi-fungsi tataniaganya. Saluran tataniaga yang terbentuk di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dapat digambarkan dalam skema seperti yang tersaji pada Gambar 4. Petani 0.47 ton (0.39%) ton (9.59%) 1 Pedagang Pengumpul ton (88.71%) 100% ton (1.3 %) Koperasi Pedagang Pengecer Cianjur 100% Konsumen Cianjur 100% 100% Pedagang Besar Luar Cianjur 100% Pedagang Pengecer Luar Cianjur 100% Konsumen Luar Cianjur 100% Supermarket 100% Gambar 4 Skema saluran tataniaga tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Saluran I ( ), saluran II ( ), saluran III ( ), dan saluran IV ( ). Sumber: Data primer.

55 Hasil penelitian memperlihatkan bahwa interaksi antara petani dan beberapa lembaga tataniaga yang menyalurkan tomat sampai kepada konsumen akhir membentuk 4 pola saluran tataniaga tomat di Desa Gekbrong. Lembaga tataniaga yang terlibat dalam saluran tataniaga tersebut adalah pedagang pengumpul, koperasi, pedagang besar, dan pedagang pengecer. Pola saluran tataniaga tomat yang terbentuk di Desa Gekbrong adalah sebagai berikut: 1) Saluran tataniaga I: Petani Pedagang pengumpul Pedagang Pengecer Cianjur Konsumen Cianjur. 2) Saluran Tataniaga II: Petani Pedagang pengumpul Pedagang Besar luar Cianjur Pedagang Pengecer Luar Cianjur Konsumen Luar Cianjur. 3) Saluran Tataniaga III: Petani Pedagang Pengecer Cianjur Konsumen Cianjur. 4) Saluran Tataniaga IV: Petani Koperasi Supermarket Konsumen Luar Cianjur. Panen tomat dilakukan secara berkala yaitu 3 sampai 4 hari sekali selama 1 sampai 2 bulan. Panen tomat pada kondisi normal adalah 10 sampai 12 kali pemetikan dalam sekali musim panen. Tomat yang dihasilkan oleh petani responden selama periode pertengahan Bulan November hingga pertengahan Bulan Desember 2012 adalah sebanyak ton. Jumlah tersebut dipasarkan ke beberapa lembaga tataniaga untuk kemudian dipasarkan lagi ke beberapa lembaga tataniaga sampai akhirnya sampai di tangan konsumen. Petani menjual tomat kepada pedagang pengumpul, koperasi, atau langsung ke pedagang pengecer Cianjur yang ada di Desa Gekbrong. Pasar akhir yang dituju dalam pemasaran tomat yang dihasilkan oleh petani di Desa Gekbrong adalah pasar lokal dan pasar non lokal. Pasar lokal adalah pasar induk Cianjur dan pasar lokal Gekbrong sedangkan pasar non lokal adalah pasar induk Tanah Tinggi Tangerang dan supermarket. Penjualan tomat ke pasar lokal dilakukan oleh petani secara individu melalui pedagang pengumpul dan pedagang pengecer Cianjur. Penjualan tomat ke pasar non lokal dilakukan oleh petani secara individu melalui pedagang pengumpul dan koperasi Mitra Tani Parahyangan. Tomat sebanyak ton yang dihasilkan petani selama periode musim tanam bulan November-Desember tersebut tersebar pada 4 saluran tataniaga di Desa Gekbrong. Tomat yang disalurkan pada saluran tataniaga I adalah sebanyak ton atau 9.59% dari total tomat petani responden. Sebanyak 4 orang petani atau 13.33% dari total responden petani menjual tomat tersebut kepada pedagang pengumpul dengan harga jual rata-rata tomat dari semua grade sebesar Rp400 per kg. Saluran tataniaga II merupakan saluran dengan jumlah petani responden dan tomat terbanyak, yaitu sebanyak 21 orang petani responden (70%) yang menjual tomat sebanyak ton (88.71%) kepada pedagang pengumpul dengan harga jual rata-rata tomat dari semua grade Rp per kg. Harga jual tomat di tingkat petani pada saluran I dan II merupakan harga yang diterima dari tomat grade A, B, dan C. Artinya, petani hanya mendapatkan satu jenis harga dari semua grade tomat yang dihasilkan. Selain itu, sistem penentuan harga juga ditentukan oleh pedagang pengumpul sebagai pembeli tomat sebagaimana dijelaskan dalam bahasan sebelumnya pada identifikasi fungsi tataniaga di tingkat petani. 43

56 44 Saluran tataniaga III merupakan saluran terpendek. Sebanyak 4 orang petani responden (13.33%) pada saluran ini menjual 0.47 ton tomat (0.39%) langsung kepada pedagang pengecer Cianjur di Desa Gekbrong dengan harga jual rata-rata tomat semua grade Rp562.5 per kg. Sama seperti saluran I dan II, harga jual tomat di tingkat petani pada saluran III merupakan harga yang diterima dari tomat grade A, B, dan C namun dilakukan dalam jumlah yang sangat sedikit. Saluran tataniaga IV merupakan saluran yang hanya digunakan oleh 1 petani (3.33%). Petani tersebut menjual sebanyak 1.58 ton tomat (1,31%) kepada koperasi Mitra Tani Parahyangan dengan harga jual rata-rata Rp1 600 per kg. Harga jual tomat di tingkat petani pada saluran ini merupakan harga jual untuk grade super. Jumlah tomat yang diperdagangkan pada setiap saluran tataniaga tersebut kemudian disalurkan sampai kepada konsumen akhir, baik konsumen Cianjur (saluran I dan saluran III) maupun konsumen luar Cianjur (saluran II dan saluran IV). Sebaran petani responden yang ada pada setiap saluran tataniaga di Desa Gekbrong dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Sebaran petani responden dan volume penjualan tomat di setiap saluran tataniaga tomat di Desa Gekbrong pada musim panen Bulan November- Desember 2012 a Saluran tataniaga Jumlah responden (orang) Persentase (%) Volume tomat (ton) Persentase (%) Saluran I Saluran II Saluran III Saluran IV Total a Sumber: Data primer. Jika dilihat berdasarkan grade tomat yang diperjualbelikan pada tataniaga tomat di Desa Gekbrong, hanya grade A, B, dan C yang bisa dibandingkan karena mempunyai pembanding yang setara (equivalent) pada saluran tataniaga I, II, dan III. Di sisi lain, tomat grade super hanya diperjualbelikan pada saluran tataniaga IV. Oleh karena itu penelitian membatasi grade super pada saluran IV hanya sebagai pembanding dengan saluran lainnya. Artinya akan diketahui apakah petani akan memperoleh keunggulan yang lebih baik pada farmer s share, marjin tataniaga, rasio keuntungan terhadap biaya jika memproduksi grade super. Berikut adalah penjelasan kondisi sistem tataniaga yang ada pada setiap saluran tataniaga tomat di Desa Gekbrong. Penjelasan mencakup penjelasan menyeluruh mengenai biaya-biaya tataniaga yang diidentifikasi berdasarkan fungsi tataniaga yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga pada sistem tataniaga di lokasi penelitian. Saluran Tataniaga I Saluran tataniaga I digunakan oleh sebanyak 4 petani responden (13.33%). Petani pada saluran ini menjual tomatnya kepada pedagang pengumpul kemudian ke pedagang pengecer Cianjur di Pasar Induk Cianjur sampai di konsumen akhir

57 (lokal). Jumlah tomat yang dijual petani ke pedagang pengumpul adalah ton (9.59%). Saluran ini merupakan saluran yang cukup panjang dan sedikit digunakan karena pedagang pengumpul di Desa Gekbrong lebih banyak memasarkan tomat ke pasar luar daerah, hanya sedikit pedagang pengumpul yang mau menjualnya ke pasar lokal. Saluran ini dipilih petani karena petani dapat menjual tomat dalam jumlah yang banyak maupun sedikit. Petani bisa saja menjual tomat langsung ke pasar Induk Cianjur namun keterbatasan sarana transportasi dan jauhnya lahan ke pasar menjadi hambatan sehingga petani lebih memilih menjualnya ke pedagang pengumpul. Hambatan yang dirasakan petani pada saluran ini adalah penerimaan harga jual tomat yang sangat rendah dari pedagang pengumpul. Pada saat panen tomat yang tidak terlalu banyak, petani lebih memilih menjual tomatnya ke pedagang pengumpul pada saluran ini. Petani membuat janji dengan pedagang pengumpul melalui telepon untuk kemudian pedagang pengumpul mendatangi lahan petani untuk melihat kondisi tomat. 45 Tabel 23 Biaya tataniaga tomat pada saluran tataniaga I a Lembaga tataniaga Grade A B C Pedagang Pengumpul Penyimpanan Pengemasan Transportasi Sortasi Bongkar muat Penyusutan Retribusi Tenaga kerja Jumlah Pedagang Pengecer Penyimpanan Pengemasan Transportasi Sortasi Bongkar muat Penyusutan Retribusi Tenaga kerja Jumlah Total biaya a Sumber: Data primer. Tabel 23 meperlihatkan rincian biaya tomat grade A, B, dan C pada saluran I. Biaya diidentifikasi berdasarkan fungsi tataniaga yang dilakukan oleh petani, pedagang pengumpul, dan pedagang pengecer yang telah dikonversi dalam satuan Rp/kg. Biaya tataniaga untuk penanganan tomat pada ketiga grade hampir sama karena tomat ditangani dalam waktu yang sama, yang membedakan adalah tingkat penyusutan. Berikut adalah penjelasan sistem tataniaga yang ada pada saluran I

58 46 dengan mengidentifikasi biaya-biaya tataniaga berdasarkan fungsi tataniaga yang telah dilakukan. Setelah pedagang pengumpul mengetahui kondisi tomat, tomat dipanen oleh petani dengan menggunakan jasa tenaga kerja pemetik tomat. Setelah tomat dipetik, tomat dipisah atau disortasi menurut ukuran, yaitu ukuran besar (grade A), sedang (grade B) dan kecil (grade C). Tomat grade A, B, dan C tersebut kemudian dikemas dengan menggunakan peti yang diikat dengan tali plastik. Biaya pengemasan dengan peti dan biaya sortasi ditanggung oleh pedagang pengumpul. Biaya pengemasan adalah Rp8 000 per peti (setiap peti mampu menampung kg tomat) sedangkan biaya tenaga kerja untuk melakukan pengemasan dan sortasi adalah Rp per orang. Ketika panen sudah selesai dikerjakan, pedagang pengumpul memberitahu petani agar menaruh tomat di pinggir jalan untuk diangkut ke Pasar Induk Cianjur. Petani dalam mengangkut tomat ke pinggir jalan menggunakan jasa tenaga kerja pemikul. Biaya tenaga kerja untuk pemikulan sebesar Rp62.5 per kg tomat ditanggung oleh petani. Harga jual rata-rata tomat yang diterima petani dari pedagang pengumpul pada saluran ini adalah sebesar Rp400 per kg. Harga jual ini merupakan harga untuk semua jenis tomat baik untuk grade A, B, maupun C. Diferensiasi harga tomat berdasarkan ukuran tidak berlaku di tingkat petani. Sistem pembayaran kepada petani dilakukan secara tunda, yaitu setelah tomat laku dijual di pasar sehingga harus menunggu sampai beberapa hari untuk memperoleh hasilnya. Peti-peti tomat yang sudah selesai dikemas kemudian diangkut dengan menggunakan mobil pick up yang digunakan oleh pedagang pengumpul. Tujuan pengiriman tomat ini adalah pedagang-pedagang pengecer di Pasar Induk Cianjur. Kondisi jalan dari lahan petani menuju ke jalan raya yang sangat buruk membuat pedagang pengumpul memerlukan waktu yang cukup lama untuk bisa mengangkut tomat ke lokasi penjualan tomat. Mobil pick up mampu menampung maksimal 50 peti tomat sekali angkut. Biaya transportasi untuk mengangkut tomat dari pinggir jalan dekat lahan petani sampai ke pasar Induk Cianjur dengan menggunakan mobil pick up adalah Rp Setibanya di pasar, pedagang pengumpul dikenakan biaya retribusi sebesar Rp50 per kg tomat. Beberapa lapak pedagang pengecer ada yang sudah menjadi langganan dari pedagang pengumpul sehingga pedagang pengumpul tinggal mengisi lapak-lapak tersebut. Pedagang pengumpul menjual tomat kepada pedagang pengecer dengan membedakan harga tomat berdasarkan ukuran. Harga jual tomat yang diterima pedagang pengecer adalah Rp1 716 per kg tomat grade A, Rp1 370 per kg tomat grade B, dan Rp910 per kg tomat grade C. Pedagang pengumpul menanggung biaya penyusutan yang berbeda dari setiap ukuran tomat. Penyusutan tomat untuk grade A sebesar 4% atau Rp16 per kg, grade B sebesar 5% atau Rp20 per kg, dan grade C sebesar 15% atau Rp60 per kg. Setiap hari pedagang pengecer hanya membeli tomat dalam jumlah yang sedikit dan umumnya lebih banyak membeli tomat grade A dan B, hanya sedikit tomat grade C yang diminta pedagang pengecer. Pasokan harian tomat di pedagang pengecer Pasar Induk Cianjur adalah 20 sampai 100 kg. Biaya yang dikeluarkan pedagang pengecer meliputi biaya kantong plastik, biaya retribusi lapak, angkut, dan penyusutan. Biaya kantong plastik per pack Rp1 500 per hari.

59 Biaya pungutan untuk sewa lapak kepada Pemda Cianjur Rp5 000 perhari. Biaya angkut tomat Rp5 000 per peti. Pedagang pengecer kemudian menjual tomat ke konsumen dengan harga Rp per kg grade A, Rp2 126 per kg grade B, dan Rp1 294 per kg grade C. Penyusutan tomat yang ditanggung pedagang pengecer untuk grade A sebesar 5% atau Rp85.8 per kg, grade B sebesar 5% atau Rp68.5 per kg, dan grade C sebesar 15% atau Rp136.5 per kg. Saluran Tataniaga II Saluran tataniaga II merupakan saluran yang paling banyak digunakan oleh petani yaitu sebanyak 21 petani responden (70%). Petani pada saluran ini menjual tomatnya kepada pedagang pengumpul, kemudian ke pedagang besar di Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang, pedagang pengecer, sampai di konsumen akhir. Jumlah tomat yang dijual petani ke pedagang pengumpul adalah ton (88.71%). Saluran ini merupakan saluran yang paling panjang (melibatkan banyak lembaga tataniaga) dan paling banyak digunakan oleh petani di Desa Gekbrong. Saluran ini dipilih petani karena petani dapat menjual tomat dalam jumlah yang banyak sehingga dapat mengurangi risiko tomat tidak terjual. Kondisi petani dan kelompok tani yang fungsinya belum berjalan optimal dalam menangani pemasaran hasil panen membuat petani di Desa Gekbrong sebagian besar sangat bergantung pada saluran ini. Pada saat panen tomat dengan jumlah yang banyak, petani lebih memilih menjual tomatnya ke pedagang pengumpul di saluran ini. Seperti halnya pada saluran tataniaga I, ketika ingin menjual hasil panennya petani membuat janji dengan pedagang pengumpul melalui telepon. Pedagang pengumpul mendatangi lahan petani untuk melihat kondisi tomat. Tabel 24 meperlihatkan rincian biaya tomat grade A, B, dan C pada saluran II. Biaya diidentifikasi berdasarkan fungsi tataniaga yang dilakukan oleh petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, dan pedagang pengecer yang telah dikonversi dalam satuan Rp/kg. Biaya tataniaga untuk penanganan tomat pada ketiga grade hampir sama karena tomat ditangani dalam waktu yang sama, yang membedakan adalah tingkat penyusutan. Berikut adalah penjelasan sistem tataniaga yang ada pada saluran II dengan mengidentifikasi biaya-biaya tataniaga berdasarkan fungsi tataniaga yang telah dilakukan. Setelah mengetahui kondisi tomat, tomat dipanen oleh petani dengan menggunakan jasa tenaga kerja pemetik tomat. Tomat dipisah atau disortir berdasarkan ukuran, yaitu ukuran besar (grade A), sedang (grade B) dan kecil (grade C). Tomat grade A, B, dan C tersebut kemudian dikemas dengan menggunakan peti yang diikat dengan tali plastik. Biaya pengemasan dengan peti dan biaya sortasi ditanggung oleh pedagang pengumpul. Biaya pengemasan adalah Rp8 000 per peti (setiap peti mampu menampung kg tomat) sedangkan biaya tenaga kerja untuk melakukan pengemasan dan sortasi adalah Rp per orang. Pedagang pengumpul memberitahu petani untuk menaruh tomat di pinggir jalan untuk diangkut ke Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang. Petani menggunakan jasa tenaga kerja pemikul untuk mengangkut tomat ke pinggir jalan. Biaya tenaga kerja untuk pemetikan dan pemikulan tomat ditanggung oleh petani sebesar Rp per kg. Harga jual rata-rata tomat yang diterima petani dari pedagang pengumpul pada saluran ini adalah sebesar Rp per kg. Harga jual ini 47

60 48 merupakan harga untuk semua jenis tomat baik untuk grade A, B, maupun C. Diferensiasi harga tomat menurut ukuran tidak berlaku di tingkat petani. Sistem pembayaran pedagang pengumpul kepada petani secara umum sama yaitu dibayar kemudian setelah tomat terjual di pasar sehingga harus menunggu sampai beberapa hari untuk memperoleh hasilnya. Tabel 24 Biaya tataniaga tomat pada saluran tataniaga II a Lembaga tataniaga Grade A B C Pedagang Pengumpul Penyimpanan Pengemasan Transportasi Sortasi Bongkar muat Penyusutan Retribusi Tenaga kerja Jumlah Pedagang Besar Penyimpanan Pengemasan Transportasi Sortasi Bongkar muat Penyusutan Retribusi Tenaga kerja Jumlah Pedagang Pengecer Penyimpanan Pengemasan Transportasi Sortasi Bongkar muat Penyusutan Retribusi Tenaga kerja Jumlah Total biaya a Sumber: Data primer. Peti-peti tomat yang sudah selesai dikemas kemudian diangkut dengan menggunakan mobil pick up yang digunakan oleh pedagang pengumpul. Selain kondisi jalan yang buruk, jauhnya perjalanan dari Cianjur ke Tangerang menjadi hambatan yang cukup signifikan bagi pedagang pengumpul dalam mempertahankan kesegaran tomat. Tujuan pengiriman tomat ini adalah pedagang besar di Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang. Mobil pick up mampu menampung maksimal 50 peti tomat sekali angkut. Biaya transportasi untuk mengangkut tomat

61 dari pinggir jalan dekat lahan petani sampai ke Pasar Induk Tanah Tinggi adalah Rp Pedagang pengumpul dalam perjalanan menuju pasar dikenakan biaya pungutan sebesar Rp sekali jalan. Setibanya di pasar, mobil pick up biasanya didatangi orang-orang yang terdiri atas pembeli dan pekerja bongkar muat liar yang ingin menurunkan tomat dari mobil. Pembeli-pembeli tersebut biasanya langsung menandai peti tomat yang akan dibelinya dengan spidol lalu bertransaksi dengan pedagang besar. Pedagang besar yang menjadi tujuan penjualan dari pedagang pengumpul merupakan rekan kerja yang sudah saling kenal baik. Pedagang pengumpul hanya tinggal menunggu barang dagangannya sampai terjual semua. Pedagang pengumpul menjual tomat ke pedagang besar dengan tiga jenis harga dari satu jenis harga yang diterima dari petani. Harga tomat dari petani Rp per kg dijual kepada pedagang besar dengan harga Rp per kg grade A, Rp per kg grade B, dan Rp per kg grade C. Sistem pembayaran antara pedagang pengumpul dengan pedagang besar adalah tunai pada saat tomat telah habis terjual. Penyusutan tomat yang ditanggung pedagang pengumpul untuk grade A sebesar 4% atau Rp19.87 per kg, grade B sebesar 5% atau Rp24.84 per kg, dan grade C sebesar 15% atau Rp74.51 per kg. Setiap hari, pedagang besar membeli tomat dari beberapa pedagang pengumpul sebanyak kurang lebih 10 ton. Tomat tersebut terdiri atas tomat grade A, B, dan C, namun untuk jenis C biasanya hanya dalam jumlah kecil, bahkan beberapa di antaranya dibiarkan busuk. Biaya yang dikeluarkan pedagang besar meliputi biaya bongkar muat, biaya retribusi lapak, biaya tenaga kerja, dan penyusutan. Biaya bongkar muat Rp per hari. Biaya pungutan untuk sewa lapak pada pengelola pasar Rp per bulan. Biaya tenaga kerja Rp per orang per hari. Biaya penyusutan tomat yang ditanggung oleh pedagang besar untuk grade A sebesar 5% atau Rp88.08 per kg, grade B sebesar 5% atau Rp70.83 per kg, dan grade C sebesar 10% atau Rp per kg. Pedagang besar pada hari yang sama pada saat tomat masuk lapak langsung menjual tomat ke pedagang-pedagang pengecer yang telah menandai peti-peti tomat sebelumnya dengan harga Rp per kg grade A, Rp pe kg grade B, dan Rp per kg grade C. Harga di pedagang besar terhitung murah karena pedagang besar memasok tomat dalam skala yang sangat besar setiap harinya. Pedagang pengecer juga membedakan harga untuk setiap ukuran karena mereka juga membeli dengan harga berbeda dari ukuran yang berbeda. Setiap hari, pedagang pengecer hanya membeli tomat dalam jumlah yang sedikit dan pada umumnya lebih banyak membeli tomat grade A dan B, hanya sedikit tomat grade C. Pasokan tomat harian pedagang pengecer adalah 120 kg. Biaya yang dikeluarkan pedagang pengecer meliputi biaya kantong plastik, biaya retribusi lapak, angkut, dan penyusutan. Pedagang pengecer kemudian menjual tomat ke konsumen di pasar tradisional yang ada di Kota Tangerang dan DKI Jakarta dengan harga Rp per kg grade A, 2.832,18 per kg grade B, dan Rp per kg grade C. Penyusutan tomat yang ditanggung pedagang pengecer untuk grade A sebesar 5% atau Rp per kg, grade B sebesar 5% atau Rp84.47 per kg, dan grade C sebesar 15% atau Rp per kg. 49

62 50 Saluran Tataniaga III Saluran tataniaga III digunakan oleh sebanyak 4 petani responden (13.33%). Petani pada saluran ini menjual tomatnya langsung ke pedagang pengecer Cianjur di Desa Gekbrong sampai kepada konsumen akhir (lokal). Jumlah tomat yang dijual petani ke pedagang pengecer hanya 0.47 ton (0.39%). Saluran ini merupakan saluran yang jarang digunakan petani karena tidak mampu menampung seluruh tomat hasil panen dari petani. Petani yang menjual tomat pada saluran ini adalah petani yang produksinya sedikit karena mengalami gagal panen atau petani yang melakukan penjualan dalam jumlah kecil selain ke pedagang pengumpul. Saluran ini tidak cukup membantu petani yang produksi tomatnya sangat besar. Saluran ini dipilih petani karena petani dapat menjual tomat dalam jumlah yang sedikit dengan harga sedikit lebih tinggi dari harga yang ditawarkan pedagang pengumpul. Hal ini dilakukan karena pedagang pengecer dapat memperoleh keuntungan lebih besar walaupun membeli tomat dengan harga sedikit lebih mahal. Pedagang pengecer kemudian menjualnya di bawah harga yang ditawarkan di pasar. Pada saat melakukan transaksi, pedagang pengecer lah yang menghampiri petani yang mau menjual tomat dalam skala kecil. Jika pedagang pengecer tidak mendatangi petani, tidak akan terjadi transaksi sehingga pedagang pengecer menjadi penentu terbentuknya kontinuitas saluran ini. Tabel 25 Biaya tataniaga tomat pada saluran tataniaga III a Lembaga tataniaga Grade A B C Pedagang Pengecer Penyimpanan Pengemasan Transportasi Sortasi Bongkar muat Penyusutan Retribusi Tenaga kerja Jumlah Total biaya a Sumber: Data primer. Tabel 25 meperlihatkan rincian biaya tomat grade A, B, dan C pada saluran III. Biaya diidentifikasi berdasarkan fungsi tataniaga yang dilakukan oleh petani dan pedagang pengecer yang telah dikonversi dalam satuan Rp/kg. Biaya tataniaga untuk penanganan tomat pada ketiga grade hampir sama karena tomat ditangani dalam waktu yang sama, yang membedakan adalah tingkat penyusutan. Berikut adalah penjelasan sistem tataniaga yang ada pada saluran III dengan mengidentifikasi biaya-biaya tataniaga berdasarkan fungsi tataniaga yang telah dilakukan. Petani tidak mengeluarkan biaya pengangkutan karena pedagang pengecer mengambil tomat langsung ke lahan petani. Pedagang pengecer membeli tomat

63 dari petani dengan harga rata-rata Rp562.5 per kg untuk ukuran A, B, maupun C. Pasokan tomat yang biasa dijual setiap hari oleh pedagang pengecer hanya sedikit, yaitu kg. Pedagang pengecer mengambil tomat di lahan dengan menggunakan keranjang plastik kemudian diangkut dengan menggunakan kendaraan bermotor roda tiga. Pedagang pengecer menjual tomat dengan sistem keliling desa menggunakan kendaraan motor roda tiga ke rumah-rumah warga di Desa Gekbrong dan sebagian dijual secara langsung di Pasar Gekbrong. Biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengecer meliputi biaya kantong plastik, biaya angkut, dan penyusutan. Biaya pengemasan dengan kantong plastik Rp per hari. Biaya angkut tomat dengan menggunakan motor roda tiga Rp per hari. Biaya penyusutan yang ditanggung pedagang pengecer yaitu untuk grade A dan B sebesar 10% atau Rp56.25 per kg dan grade C sebesar 15% atau Rp84.38per kg. Pedagang pengecer kemudian menjual tomat ke konsumen di Desa Gekbrong dan Pasar Gekbrong dengan harga Rp per kg grade A dan B dan Rp per kg grade C. Saluran Tataniaga IV Saluran tataniaga IV merupakan saluran yang hanya memproduksi dan memperjualbelikan tomat grade super yang berbeda dengan saluran lainnya. Dengan demikian saluran ini hanya diidentifikasi sebagai pembanding jika petani yang memproduksi tomat grade non super (A, B, C) kemudian memproduksi tomat grade super. Saluran tataniaga IV hanya digunakan oleh seorang petani responden (3.33%). Petani pada saluran ini menjual tomatnya kepada koperasi Mitra Tani Parahyangan yang terdapat di Desa Tegal Lega, Kecamatan Warung Kondang, Kabupaten Cianjur, kemudian ke supermarket, sampai di konsumen akhir (non lokal). Jumlah tomat yang dijual petani ke koperasi hanya sebanyak 1.58 ton (1.31%). Saluran ini merupakan saluran yang cukup pendek dan hanya digunakan 1 orang petani responden karena koperasi hanya menerima tomat dengan standar kualitas grade super dan kuantitas besar. Hal ini menjadi hambatan bagi petani yang ingin menyalurkan tomat hasil panennya karena belum semua petani di Desa Gekbrong mampu memenuhi syarat kualitas dan kuantitas tomat yang diminta oleh koperasi. Saluran ini dipilih petani karena petani dapat menjual tomat dalam jumlah yang banyak dan memperoleh harga jual di atas harga rata-rata yang ditawarkan pedagang pengumpul maupun pedagang pengecer. Petani pada saluran ini juga pernah menjual tomat ke pedagang pengumpul namun setelah melakukan kemitraan dengan Koperasi MTP ini petani merasa lebih meningkat kesejahterannya. Seperti pada saluran I dan II, ketika petani ingin menjual tomat hasil panennya, petani tinggal membuat janji dengan manajer koperasi melalui telepon. Kemudian manajer koperasi akan mendatangi lahan petani. Tabel 26 meperlihatkan rincian biaya tomat grade super pada saluran IV. Biaya diidentifikasi berdasarkan fungsi tataniaga yang dilakukan oleh petani dan koperasi yang telah dikonversi dalam satuan Rp/kg. Biaya tataniaga pada pengecer atau supermarket pada saluran ini tidak dapat diidentifikasi karena keterbatasan akses informasi dari supermarket. Berikut adalah penjelasan sistem tataniaga yang ada pada saluran IV dengan mengidentifikasi biaya-biaya tataniaga berdasarkan fungsi tataniaga yang telah dilakukan. 51

64 52 Setelah pihak koperasi memastikan tomat sudah sesuai standar kematangan, kadar air, bobot dan standar mutu lainnya, tomat dipanen oleh petani dengan menggunakan jasa tenaga kerja pemetik tomat. Setelah tomat dipetik, tomat dipisah atau disortasi mana saja tomat yang masuk kualitas super dan mana yang tidak. Tomat tersebut kemudian dikemas dengan menggunakan keranjang yang disediakan oleh pekerja koperasi. Biaya sortasi Rp per orang per hari ditanggung oleh koperasi. Tabel 26 Biaya tataniaga tomat pada saluran IV a Lembaga tataniaga Grade super Koperasi Penyimpanan 0.00 Pengemasan 0.00 Transportasi Sortasi Bongkar muat 0.00 Penyusutan Retribusi Tenaga kerja 0.00 Jumlah Pedagang Pengecer (supermarket) b Jumlah - Total biaya - a Sumber: Data primer.; b Biaya-biaya belum dapat diidentifikasi karena keterbatasan akses informasi dari supermarket.; (-)Data tidak tersedia. Petani dalam mengangkut tomat ke pinggir jalan menggunakan jasa tenaga kerja pemikul. Biaya tenaga kerja untuk pemetikan dan pemikulan tomat ditanggung oleh petani sebesar Rp60 per kg tomat. Harga jual rata-rata tomat yang diterima petani dari koperasi MTP pada saluran ini selalu di atas harga rata-rata yang ditawarkan pedagang pengumpul atau pedagang pengecer, yaitu Rp1 600 per kg tomat grade super. Sistem pembayaran kepada petani dilakukan secara tunda, yaitu setelah tomat laku dijual di supermarket sehingga harus menunggu 3 hari untuk memperoleh hasilnya. Tomat yang sudah selesai dikemas kemudian diangkut dengan menggunakan mobil colt diesel yang digunakan oleh koperasi. Koperasi MTP biasanya menangani 3 ton tomat per hari. Biaya transportasi untuk mengangkut tomat dari pinggir jalan dekat lahan petani sampai ke supermarket adalah Rp500 per kg. Setibanya di supermarket, koperasi dikenakan biaya pajak sebesar 5% dari harga jual atau Rp125 untuk setiap kg tomat grade super. Koperasi menanggung biaya penyusutan sebesar 2% atau Rp32 per kg dari harga beli tomat. Koperasi MTP menjual tomat grade super tersebut ke supermarket dengan harga Rp2 500 per kg. Selanjutnya supermarket-supermarket menjual tomat kepada konsumen dengan harga Rp per kg. 3 Giant Katalog. [internet]. [diacu 2013 April 2]. Tersedia dari:

65 53 Identifikasi Struktur Pasar Struktur pasar tomat di lokasi penelitian dapat diketahui dengan melihat jumlah pembeli dan penjual, sifat produk (dari sudut pandang pembeli), hambatan keluar dan masuk pasar, dan informasi tentang harga tomat di pasar. Struktur pasar diidentifikasi mulai dari petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, koperasi sampai pedagang pengecer. Identifikasi struktur pasar dilakukan untuk melihat apakah struktur pasar yang terbentuk di lokasi penelitian bersaing atau terkonsentrasi, ada atau tidaknya diferensiasi produk, serta ada tidaknya hambatan untuk masuk dan keluar pasar. Dengan begitu dapat diketahui keterkaitan indikator-indikator tersebut dalam analisis efisiensi tataniaga. Struktur Pasar di Tingkat Petani Struktur pasar yang dihadapi petani di Desa Gekbrong cenderung mengarah pada pasar oligopsoni murni. Hal ini didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut. 1. Jumlah petani sebagai penjual yang lebih banyak dari jumlah pedagang pengumpul, pedagang pengecer, maupun koperasi sebagai pembeli. Petani bertindak sebagai price taker karena hanya menerima harga tomat yang sudah ditentukan oleh penentu harga (price setter) seperti pedagang pengumpul, pedagang pengecer, maupun koperasi sebagai pembeli. 2. Komoditas yang dihasilkan petani bersifat homogen, yaitu tomat segar dengan varietas standar menara, maya, dan amira. Tidak ada diferensiasi pada produk (tomat) yang diperjualbelikan di lokasi penelitian. 3. Petani dapat dengan bebas keluar dan masuk pasar, tidak ada hambatan bagi petani dalam melakukan hal ini. Kondisi permodalan petani yang buruk mengakibatkan petani mengalami kesulitan dalam keluar dan masuk pasar. Petani yang telah terlibat dalam peminjaman uang untuk modal usahatani hanya bisa menjual tomat pada lembaga tataniaga tertentu yang telah meminjamkan modal tersebut. 4. Petani mendapatkan informasi mengenai perkembangan harga tomat, baik dari sesama petani, pedagang, maupun langsung dari pasar tetapi posisi tawar petani sangat lemah dalam mempertahankan harga jual. Upaya petani dalam mengakses informasi pasar tidak terlalu meningkatkan posisi tawar (bargaining power) dari petani. Struktur Pasar di Tingkat Pedagang pengumpul dan Koperasi Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul di Desa Gekbrong cenderung mengarah pada pasar oligopsoni murni. Hal ini didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut. 1. Jumlah pedagang pengumpul sebagai penjual yang lebih banyak dari jumlah pedagang besar sebagai pembeli. Penentuan harga ditentukan oleh pihak pembeli. 2. Komoditas yang dihasilkan petani bersifat homogen, yaitu tomat segar dengan varietas standar menara, maya, dan amira. 3. Pedagang pengumpul dapat dengan bebas membeli tomat dari petani manapun, namun ketika dihadapkan pada pedagang besar hambatan keluar dan masuk pasar relatif tinggi. Hanya pedagang pengumpul yang telah

66 54 dipercaya dalam waktu yang cukup lama yang bisa mengakses pasar dan bekerja sama dengan pedagang besar. Hal ini menjadikan hambatan yang cukup besar bagi pedagang pengumpul pendatang baru yang belum memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk dapat memasuki pasar. 4. Pedagang pengumpul mendapatkan informasi mengenai perkembangan harga tomat, baik dari petani, sesama pedagang, maupun langsung dari Pasar Gekbrong, Pasar Induk Cianjur, maupun Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang. Berbeda dengan pedagang pengumpul pada umumnya, struktur pasar yang dihadapi Koperasi Mitra Tani Parahyangan cenderung mengarah pada pasar oligopoli murni. Hal ini didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut. 1. Jumlah koperasi sebagai penjual yang lebih sedikit dari jumlah supermarket sebagai pembeli. 2. Komoditas yang dihasilkan petani bersifat homogen, yaitu tomat segar dengan kualitas grade super hawai dan amala. 3. Koperasi dapat dengan bebas membeli tomat dari petani manapun, namun ketika dihadapkan pada supermarket hambatan keluar dan masuk pasar relatif tinggi. Koperasi harus memenuhi beberapa syarat untuk dapat bekerja sama dengan supermarket, terutama dari kualitas tomat seperti mulus dan tidak ada bercak, tingkat kematangan 60%, dan bobot 100 gram per buah. Selain itu, retribusi yang diterapkan di supermarket cukup tinggi, yaitu sebesar 5% dari harga jual per kg nya. Tidak semua koperasi mampu menjalin kerja sama dengan supermarket, hanya yang telah dipercaya dalam waktu yang cukup lama yang bisa mengakses pasar dan bekerja sama dengan supermarket. Hal ini menjadikan hambatan yang cukup besar bagi koperasi pendatang baru untuk dapat memasuki pasar modern ini. 4. Koperasi mendapatkan informasi mengenai perkembangan harga tomat, baik dari petani, pedagang, maupun langsung dari supplier supermarket. Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Besar Struktur pasar yang dihadapi pedagang besar di Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang cenderung mengarah pada pasar oligopoli murni. Hal ini didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut. 1. Jumlah pedagang besar sebagai penjual yang lebih sedikit dari jumlah pedagang pengecer sebagai pembeli. 2. Komoditas yang dihasilkan petani bersifat homogen, yaitu tomat segar dengan varietas standar menara, maya, dan amira. 3. Pedagang besar dapat dengan bebas membeli tomat dari pedagang pengumpul manapun, begitu pula ketika menjual tomat ke pedagang pengecer. Pedagang besar dihadapkan pada hambatan masuk dan keluar pasar yang tinggi pada saat berusaha untuk memperoleh izin membuka lapak di Pasar Induk Tanah Tinggi. Selain itu, tingginya harga kios dan mahalnya biaya sewa per bulan menjadikan hambatan keluar-masuk pasar yang tinggi. Hal ini menjadikan hambatan yang cukup besar bagi pedagang besar pendatang baru yang belum memiliki pengalaman dan modal yang cukup untuk dapat memasuki pasar.

67 4. Pedagang besar mendapatkan informasi mengenai perkembangan harga tomat, baik dari petani, sesama pedagang, maupun langsung dari Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang. Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengecer Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengecer di Pasar Gekbrong, Pasar Induk Cianjur dan Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang cenderung mengarah pada pasar persaingan murni. Hal ini didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut. 1. Jumlah pedagang pengecer sebagai penjual dan jumlah konsumen Cianjur maupun non lokal sebagai pembeli relatif banyak. Pedagang pengecer bertindak sebagai price taker karena hanya menerima harga tomat yang sudah ditentukan oleh mekanisme pasar. 2. Komoditas yang dihasilkan petani bersifat homogen, yaitu tomat segar dengan varietas standar menara, maya, dan amira di pedagang pengecer dan varietas super hawai dan amala di supermarket. 3. Pedagang pengecer dapat dengan bebas membeli tomat dari pedagang besar manapun, begitu pula ketika menjual tomat ke konsumen Cianjur maupun non lokal. 4. Pedagang pengecer mendapatkan informasi mengenai perkembangan harga tomat, baik dari petani, sesama pedagang, maupun langsung dari Pasar Gekbrong, Pasar Induk Cianjur, maupun Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang. Hasil penelitian pada struktur pasar di tingkat petani berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fikri (2013), di mana struktur pasar yang terbentuk pada petani tomat di Desa Tugumukti, Kabupaten Bandung Barat cenderung mengarah pada pasar monopsoni sedangkan struktur pasar pada petani tomat di Desa Gebrong, Cianjur cenderung mengarah pada pasar oligopsoni murni. Struktur pasar pada tingkat lembaga tataniaga di Desa Tugumukti, Kabupaten Bandung Barat cenderung mengarah pada pasar oligopoli murni sedangkan lembaga tataniaga tomat di Desa Gekbrong Cianjur ada yang cenderung mengarah pada pasar oligopoli murni, oligopsoni murni, dan persaingan murni. Perbedaan hasil penelitian mungkin disebabkan oleh beberapa hal seperti perbedaan lokasi, waktu pengambilan data, dan objek penelitian. Berdasarkan struktur pasar yang terbentuk pada setiap lembaga tataniaga di Desa Gekbrong, muncul tindakan-tindakan yang membentuk pola perilaku pasar. Penelitian ini membahas beberapa hal yang berkaitan dengan perilaku pasar sebagai implikasi dari struktur pasar yang terbentuk. Selanjutnya perilaku pasar dapat menentukan bentuk-bentuk keputusan apa yang harus dilakukan dalam menghadapi struktur pasar tersebut. Perilaku pasar dapat diketahui dengan mengamati praktik pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga dalam transaksi, sistem pembayaran dalam transaksi, dan kerja sama di antara lembaga tataniaga. Praktik Pembelian dan Penjualan Tataniaga tomat melibatkan beberapa lembaga tataniaga tomat yang melakukan praktik pembelian dan penjualan. Petani sebagai produsen tomat hanya 55

68 56 melakukan praktik penjualan tomat langsung dari lahan petani ke lembaga tataniaga lainnya seperti pedagang pengumpul, koperasi, dan pedagang pengecer Cianjur. Konsumen akhir hanya melakukan praktik pembelian tomat langsung dari pedagang pengecer dan supermarket. Lembaga tataniaga yang melakukan praktik pembelian tomat dari petani yaitu pedagang pengumpul, koperasi, dan pedagang pengecer Cianjur. Pedagang pengecer Cianjur yang membeli tomat langsung dari petani menjual tomatnya langsung ke konsumen akhir yang ada di Desa Gekbrong dan Pasar Gekbrong dengan cara berdagang keliling menggunakan kendaraan motor roda tiga. Pedagang pengumpul yang membeli tomat langsung dari lahan petani di Desa Gekbrong ada yang menjual tomat ke pedagang pedagang pengecer Cianjur di Pasar Induk Cianjur dan pedagang besar di Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang. Pedagang pengecer Cianjur yang membeli tomat dari pedagang pengumpul kemudian menjualnya langsung ke konsumen akhir, sedangkan pedagang besar yang membeli tomat dari pedagang pengumpul menjualnya ke pedagang pengecer yang berasal dari Kota Tangerang dan DKI Jakarta. Pedagang pengecer luar Cianjur yang membeli tomat dari pedagang besar luar Cianjur kemudian menjualnya langsung ke konsumen akhir. Koperasi membeli tomat langsung dari lahan petani untuk kemudian dijual ke outlet-outlet supermarket dengan menggunakan mobil colt diesel. Supermarket yang membeli tomat dari koperasi tersebut kemudian menjualnya langsung ke konsumen akhir. Sistem Penentuan Harga dalam Transaksi Sistem penentuan harga dalam transaksi tomat di antara lembaga tataniaga tomat di Desa Gekbrong umumnya dilakukan dengan cara tawar menawar. Setiap lembaga memiliki kesempatan untuk melakukan tawar menawar, kecuali supermarket yang telah menentukan harga kepada koperasi. Harga tomat yang diterima petani ditentukan oleh lembaga tataniaga lainnya seperti pedagang pedagang pengumpul, pedagang pengecer Cianjur dan koperasi. Harga tomat sangat fluktuatif setiap musimnya sehingga lembaga tataniaga tomat memiliki cara tersendiri dalam menentukan harga tomat. Pedagang pengumpul, pedagang besar, koperasi, dan pedagang pengecer biasanya sudah memiliki harga taksiran tomat untuk bisa mereka beli. Penentuan harga antara petani dan pedagang pengumpul ditentukan oleh pedagang pengumpul karena pedagang pengumpul memiliki informasi harga dan posisi tawar yang lebih kuat walaupun sebelumnya sempat terjadi proses tawar menawar. Hal yang sama terjadi pada penentuan harga antara petani dan koperasi yang ditentukan koperasi. Walaupun harga ditentukan oleh koperasi, harga tomat yang diterima petani dari koperasi cukup kooperatif, selalu di atas harga yang ditawarkan pedagang pengumpul maupun pedagang pengecer. Penentuan harga antara pedagang pengumpul dan pedagang pengecer Cianjur ditentukan pedagang pengecer Cianjur karena pedagang pengecer Cianjur memiliki kekuatan tawar yang lebih besar. Pedagang pengecer yang membeli tomat langsung ke petani dengan cara tawar-menawar sampai diperoleh harga kesepakatan. Penentuan harga antara pedagang pengumpul dengan pedagang besar ditentukan oleh pedagang besar. Pedagang besar memiliki kekuatan tawar yang besar sehingga pedagang pengumpul harus menerima harga yang ditentukan tersebut. Kondisi yang sama juga berlaku pada penentuan harga antara pedagang besar dan pedagang pengecer

69 yang ditentukan oleh pedagang besar. Harga tomat yang ditentukan pedagang besar didasarkan pada harga beli ditambah dengan biaya pemasaran dan keuntungan yang ingin diambil. Sistem Pembayaran dalam Transaksi Sistem pembayaran dalam transaksi tomat di antara lembaga tataniaga tomat di Desa Gekbrong pada umumnya terdapat 2 kategori sebagai berikut. 1. Sistem pembayaran tunai (Cash) Sistem pembayaran tunai dilakukan oleh pedagang besar yang membeli tomat dari pedagang pengumpul dan pedagang pengecer yang membeli tomat dari pedagang besar. Pembayaran tunai juga dilakukan oleh pedagang pengecer yang membeli ke pedagang pengumpul dan pedagang pengecer yang membeli tomat langsung dari petani. Selain itu, supermarket membayar tunai kepada koperasi namun harus dipotong biaya pajak. 2. Sistem pembayaran kemudian (Hutang) Sistem pembayaran kemudian atau hutang dilakukan oleh pedagang pengumpul dan koperasi yang membeli tomat dari petani. Petani akan memperoleh penghasilan dari usahatani tomat beberapa hari setelah tomat diserahkan ke pedagang pengumpul atau koperasi. Secara umum transaksi antara petani dengan pedagang pengumpul atau koperasi harus menunggu setelah beberapa hari karena tomat yang dibawa ke pasar atau supermarket harus terjual setelah itu petani bisa menikmati hasilnya. Kerja Sama antara Lembaga Tataniaga Kerja sama antar lembaga tataniaga merupakan hal yang banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga tomat di Desa Gekbrong. Kerja sama yang dilakukan memiliki maksud dan tujuan yang diharapkan akan mendatangkan keuntungan bagi setiap lembaga tataniaga. Kerja sama antar lembaga tataniaga dapat terjalin karena rasa saling percaya selama bertahun-tahun. Kerja sama antar lembaga yang dilakukan petani dengan pedagang pengumpul atau koperasi adalah dengan petani meminjam uang untuk keperluan tanam tomat atau meminjam input produksi tomat dari koperasi. Kondisi itu menguntungkan petani karena petani tertolong pada saat akan melakukan tanam tomat sedangkan pedagang pengumpul dan koperasi berkesempatan untuk memperoleh hasil panen tomat dari petani dan mempunyai posisi tawar yang tinggi dalam menentukan harga. Kerja sama lainnya dilakukan antara petani dengan pedagang pengecer yang langsung membeli tomat kepada petani. Kerja sama ini menguntungkan petani dalam membantu menyerap hasil panen dengan harga jual di atas harga yang ditawarkan pedagang pengumpul. Pedagang pengecer pun berkesempatan mendapatkan keuntungan yang tinggi karena memperoleh pasokan tomat dengan harga yang murah. Kerja sama antar lembaga tataniaga ini juga berperan menjaga kontinuitas pasokan tomat dan mengurangi biaya berganti pemasok. 57

70 58 Analisis Marjin Tataniaga, Farmer s Share, dan Rasio Keuntungan terhadap Biaya Selain mengidentifikasi unsur-unsur yang membentuk sistem tataniaga tomat di Desa Gekbrong, analisis efisiensi tataniaga operasional diperlukan untuk melihat efisiensi pada setiap saluran tataniaga yang ada di Desa Gekbrong. Analisis Efisiensi operasional dapat dianalisis dengan menghitung nilai dari marjin tataniaga, farmer s share, serta rasio keuntungan terhadap biaya. Pendekatan kuantitatif ini dapat dijadikan indikator untuk kemudian saling dibandingkan nilainya. Saluran tataniaga yang efisien menunjukkan marjin pemasaran yang wajar (reasonable) berdasarkan fungsi tataniaga yang telah dilakukan, bagian yang diterima petani (farmer s share) yang menguntungkan petani, serta nilai rasio keuntungan terhadap biaya yang merata pada setiap lembaga tataniaga. Analisis Marjin Tataniaga Marjin tataniaga total merupakan perbedaan antara harga yang dibayarkan oleh konsumen dengan harga yang diterima oleh petani. Marjin tataniaga untuk setiap lembaga tataniaga diperoleh dengan cara mengurangkan harga penjualan dengan harga pembelian setiap lembaga tataniaga. Marjin tataniaga juga dapat berarti biaya-biaya tataniaga dan keuntungan tataniaga pada setiap lembaga tataniaga. Analisis marjin tataniaga dilakukan mulai dari petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, koperasi, sampai pedagang pengecer dengan tujuan mengetahui efisiensi dari tataniaga tomat di Desa Gekbrong. Biaya tataniaga merupakan biaya yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga tataniaga dalam memasarkan tomat dari petani di Desa Gekbrong sampai konsumen akhir. Biaya tataniaga terlebih dahulu diidentifikasi melalui fungsi tataniaga yang telah dilakukan oleh lembaga tataniaga. Biaya-biaya tataniaga tomat ini meliputi biaya pengemasan, transportasi, sortasi, tenaga kerja, penyusutan, bongkat muat, dan retribusi. Selain itu keuntungan tataniaga merupakan balas jasa atas fungsi tataniaga tomat yang telah dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga. Keuntungan tataniaga dapat diketahui dari selisih harga penjualan dengan pembelian setiap lembaga tataniaga dikurangi dengan biaya-biaya tataniaga yang telah diidentifikasi tersebut. Marjin tataniaga dianalisis dengan membedakan tomat menjadi 3 grade, yaitu grade A, B, dan C pada saluran tataniaga I, II, dan III. Saluran tataniaga IV merupakan saluran yang hanya menyalurkan tomat dengan grade super sehingga marjin tataniaga hanya dianalisis berdasarkan satu grade tomat saja. Analisis marjin tataniaga dengan menggunakan grade pada setiap saluran mempunyai maksud untuk menemukan nilai potential benefit dari aktivitas sortasi/grading tomat di Desa Gekbrong. Tabel 27 memperlihatkan bahwa masing-masing lembaga menghasilkan marjin tataniaga yang berbeda-beda. Pada saluran I petani menjual tomat dengan harga Rp400 per kg untuk semua grade kepada pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul kemudian membedakan harga jual tomat akibat dari proses sortasi/grading yang dilakukan sehingga harga jual kepada pedagang pengecer di Pasar Induk Cianjur menjadi Rp1 716 per kg grade A, Rp1 370 per kg grade B, dan Rp910 per kg grade C. Pedagang pengecer pada saluran ini menjual tomat

71 kepada konsumen dengan harga Rp2 989 per kg grade A, Rp2 126 per kg grade B, dan Rp1 294 per kg grade C. Jika dilihat dari marjin yang diperoleh dari masing-masing lembaga tataniaga pada saluran I, pedagang pengumpul memperoleh marjin paling besar yaitu sebesar Rp1 316 per kg untuk grade A. Tingkat penyusutan yang berbeda menjadikan biaya yang ditanggung oleh masing-masing lembaga pada saluran ini berbeda setiap gradenya. Biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul adalah Rp366 per kg grade A, Rp370 per kg grade B, dan Rp410 per kg grade C. Pada saluran II petani menjual tomat dengan harga Rp per kg untuk semua grade kepada pedagang pengumpul. Sama seperti pada saluran I, pedagang pengumpul pada saluran II kemudian membedakan harga jual tomat akibat dari proses sortasi/grading yang dilakukan sehingga harga jual kepada pedagang besar di Pasar Induk Tanah Tinggi menjadi Rp per kg grade A, Rp per kg grade B, dan Rp per kg grade C. Pedagang besar di Pasar Tanah Tinggi Tangerang pada saluran ini menjual tomat kepada pedagang pengecer dengan harga Rp per kg grade A, Rp per kg grade B, dan Rp per kg grade C. Pedagang pengecer pada saluran II menjual tomat kepada konsumen akhir di wilayah Tangerang dan Jakarta dengan harga Rp per kg grade A, Rp per kg grade B, dan Rp per kg grade C. Marjin yang diperoleh dari masing-masing lembaga tataniaga pada saluran II menunjukkan bahwa pedagang pengecer memperoleh marjin paling besar yaitu sebesar Rp per kg untuk grade A. Biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul adalah Rp per kg grade A, Rp per kg grade B, dan Rp per kg grade C. Pedagang besar menanggung biaya sebesar Rp per kg grade A, Rp per kg grade B, dan Rp per kg grade C. Pada tingkat pengecer, biaya yang dikeluarkan adalah sebesar Rp per kg grade A, Rp767.8 per kg grade B, dan Rp per kg grade C. Berdasarkan kondisi yang terjadi pada saluran I dan saluran II, terjadi ketidakadilan pada petani dengan kekuatan tawar yang dimiliki oleh pedagang pengumpul pada kedua saluran tersebut. Petani seharusnya menerima harga berdasarkan grade tomat seperti yang dilakukan oleh semua lembaga tataniaga pada saluran I dan II, bukan satu harga untuk semua jenis tomat. Namun kondisi ini tidak bisa dihindari lagi karena petani banyak yang menjual tomat kepada pedagang pengumpul dengan menggunakan sistem tebas. Sistem tebas merupakan sistem penjualan tomat yang dilakukan dengan menyerahkan proses pemanenan kepada pedagang pengumpul. Walaupun sudah diserahkan kepada pedagang pengumpul, petani tetap memiliki kewajiban untuk memfasilitasi pemetikan tomat dan mengangkutnya ke pinggir jalan. Kegiatan pasca panen yang diambil alih oleh pedagang pengumpul hanyalah melakukan sortasi/grading dan pengemasan dengan menggunakan peti kayu. 59

72 60 Tabel 27 Marjin tataniaga setiap grade tomat pada setiap saluran tataniaga tomat di Desa Gekbrong a Saluran tataniaga (Rp/kg) Lembaga tataniaga Saluran I Saluran II Saluran III Saluran IV A B C A B C A B C Super Petani Harga Jual , Biaya Tataniaga , Pedagang Pengumpul b Harga beli Biaya Tataniaga Keuntungan (150.00) Harga Jual Margin Pedagang Besar Harga beli Biaya Tataniaga Keuntungan Harga Jual Margin Pedagang Pengecer c Harga beli , Biaya Tataniaga , Keuntungan , Harga Jual , Margin , Total Biaya Tataniaga , Total Keuntungan , Total Margin Tataniaga , a Sumber: Data primer (diolah).; b Pada saluran IV bertindak sebagai koperasi.; c Pada saluran IV bertindak sebagai supermarket, hanya diidentifikasi sampai harga beli,harga jual dan marjin tanpa analisis biaya dan keuntungan (keterbatasan akses informasi supermarket).; (-)Data tidak tersedia.

73 Saluran paling pendek pada tataniaga tomat di Desa Gekbrong adalah saluran III. Petani langsung menjual tomat ke pedagang pengecer dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang ditawarkan pedagang pengumpul pada saluran I dan saluran II, yaitu Rp562.5 per kg tomat untuk semua jenis grade. Harga yang diberikan pedagang pengecer lebih tinggi dari pada harga yang ditawarkan pedagang pengumpul karena pedagang pengecer langsung menjual tomat tersebut dalam jumlah yang relatif sedikit dengan harga Rp per kg tomat grade A dan B serta Rp per kg tomat grade C. Pedagang pengecer menjual tomat grade A dan B dengan harga yang sama dengan alasan ukuran dan bobot tidak jauh berbeda sedangkan grade C dijual lebih murah karena ukuran dan bobotnya yang jauh lebih kecil dari grade A dan B. Pemberlakuan harga yang berbeda oleh pedagang pengecer menurut petani tidak terlalu menjadi masalah karena petani hanya menjual tomat dalam jumlah yang sangat sedikit. Marjin yang diperoleh pedagang pengecer pada aluran ini merupakan marjin terbesar yaitu Rp per kg untuk grade A dan B. Biaya yang dikeluarkan pedagang pengecer sebesar Rp per kg untuk tomat grade A dan B dan Rp per kg untuk tomat grade C. Saluran tataniaga terakhir yang hanya menyalurkan tomat grade super adalah saluran tataniaga IV. Saluran ini digunakan sebagai pembanding jika petani memproduksi tomat grade super. Harga tomat yang diterima petani dari Koperasi Mitra Tani Parahyangan pada saluran ini merupakan harga yang paling tinggi di antara harga yang ditawarkan lembaga tataniaga lainnya di saluran I, II, maupun III yaitu Rp1 600 per kg tomat grade super. Koperasi menjual tomat dengan harga Rp2 500 per kg kepada supermarket. Selanjutnya supermarket-supermarket menjual tomat kepada konsumen dengan harga Rp4 790 per kg untuk tomat kualitas grade super (harga jual didekati dengan pendekatan harga dari katalog supermarket yang bersangkutan). Marjin yang diperoleh koperasi adalah Rp900 per kg yang di dalamnya terdapat biaya tataniaga untuk menangani tomat sampai ke supermarket sebesar Rp213 per kg sedangkan marjin yang diperoleh supermarket adalah Rp Supermarket pada saluran IV menghasilkan marjin yang paling besar yaitu sebesar Rp2 290 per kg. Analisis Farmer s Share Farmer s share menunjukkan bagian nilai yang diperoleh petani dari aktivitas pemasaran. Nilai yang dibayar oleh konsumen tidak sepenuhnya diterima oleh petani karena adanya marjin (biaya dan keuntungan) tataniaga yang mengurangi bagian nilai yang diterima petani tersebut. Analisis farmer s share merupakan salah satu indikator efisiensi dalam sistem tataniaga. Akan tetapi semakin besar farmer s share tidak selalu mengindikasikan bahwa sistem tataniaga suatu komoditas sudah efisien karena farmer s share bukan satu-satunya indikator efisiensi tataniaga. Tabel 28 menunjukkan nilai farmer s share dari saluran tataniaga I, II, dan III di Desa Gekbrong yang merupakan nilai farmer s share dari tomat grade A, B, dan C sedangkan pada saluran tataniaga IV merupakan nilai farmer s share dari tomat grade super. Farmer s share pada saluran I adalah 13.38% untuk grade A, 18.81% untuk grade B, dan 30.91% untuk grade C. Pada saluran ini grade A menunjukkan nilai farmer s share yang paling kecil. Farmer s share rata-rata dari tomat grade A, B, dan C pada saluran ini adalah 18.72%. 61

74 62 Tabel 28 Farmer s share setiap grade tomat pada setiap saluran tataniaga tomat di Desa Gekbrong a Saluran Tataniaga Harga di tingkat petani (Rp/kg) Harga di tingkat konsumen (Rp/Kg) Farmer's share (%) Saluran I Grade A Grade B Grade C Saluran II Grade A Grade B Grade C Saluran III Grade A Grade B Grade C Saluran IV Grade super a Sumber: Data primer (diolah). Farmer share pada saluran II adalah 13.91% untuk grade A, 17.54% untuk grade B, dan 21.84% untuk grade C. Sama seperti pada saluran I, saluran II juga menghasilkan nilai farmer s share yang paling kecil pada grade A. Farmer s share rata-rata harga tomat grade A, B, dan C pada saluran ini adalah % dan merupakan nilai farmer s share rata-rata terkecil di antara semua saluran. Saluran I dan II merupakan saluran yang melibatkan lebih banyak lembaga pemasaran dalam penanganan tomat. Panjangnya saluran tataniaga pada kedua saluran ini mengakibatkan tingginya biaya-biaya yang dikeluarkan dan keuntungan yang diinginkan sebagai balas jasa setiap lembaga dari aktivitas pemasaran. Di samping itu grade A pada kedua saluran ini menghasilkan nilai farmer s share terkecil dibandingkan dengan grade B atau C. Hal ini diduga karena petani hanya memperoleh 1 harga jual sementara lembaga tataniaga yang membeli tomat kepada petani membedakan harga jual menjadi 3 jenis harga. Hal ini menunjukkan adanya ketidakadilan harga yang diperoleh petani. Saluran tataniaga III yang hanya melibatkan pedagang pengecer yang langsung membeli tomat pada petani memperlihatkan nilai farmer s share yang lebih baik dari saluran I dan saluran II, yaitu 21.2% untuk grade A dan B, serta 28.80% untuk grade C. Farmer s share rata-rata dari tomat grade A, B, dan C pada saluran ini adalah 23.18%. Hasil wawancara dengan petani di lokasi penelitian menunjukkan bahwa petani tidak terlalu terpengaruh dengan besar kecilnya perolehan nilai pada saluran ini karena tomat yang dapat diserap oleh pasar volumenya sangat kecil dan tidak dapat menampung semua tomat yang diproduksi oleh petani. Saluran tataniaga terakhir, yaitu saluran tataniaga IV merupakan saluran yang digunakan sebagai pembanding dengan saluran lainnya menghasilkan nilai farmer s share yang paling tinggi di antara saluran tataniaga lainnya, yaitu 33.4%. Harga jual di tingkat petani yang tinggi merupakan kondisi yang cukup ideal yang

75 memberikan bagian nilai yang wajar (reasonable) bagi petani dan lembaga tataniaga lainnya secara merata. Saluran ini berpotensi meningkatkan nilai yang diterima oleh petani karena harga jual yang diterima petani selalu dapat dipertahankan di atas harga jual rata-rata bahkan pada saat harga jual tomat di tingkat petani dalam kondisi sangat murah. Aktivitas sortasi/grading yang diambil alih oleh lembaga tataniaga pada saluran I, II, dan III membuat harga tomat yang diterima petani di Desa Gekbrong sama, baik untuk tomat grade A, B, maupun C. Padahal sortasi/grading jika dilakukan oleh petani akan mendatangkan potential benefit seperti yang dijelaskan dalam Asmarantaka (2012) bahwa dengan dilakukannya proses grading akan meningkatkan ketepatan harga pada setiap grade nya. 63 Tabel 29 Farmer s share setiap grade tomat pada setiap saluran tataniaga tomat di Desa Tugumukti, Kabupaten Bandung Barat a Saluran Tataniaga Harga di tingkat petani (Rp/kg) Harga di tingkat konsumen (Rp/Kg) Farmer's share (%) Saluran I Grade A ,19 Grade B ,42 61,07 Grade C ,14 49,64 Saluran II Grade A ,19 Grade B ,42 61,07 Grade C ,14 49,64 Saluran III Grade A 2783,3 4846,86 57,42 Grade B ,28 54,13 Grade C 1248, ,50 Saluran IV Grade A 2783,3 3357,14 82,91 Grade B ,85 83,01 Grade C 1248, ,85 70,64 Saluran V Grade A ,57 63,35 Grade B ,86 58,26 Grade C ,86 47,37 Saluran VI Grade A ,28 85,19 Grade B ,57 83,55 Grade C ,57 77,81 a Sumber: Fikri (2013). Jika melakukan sortasi/grading, petani akan berkesempatan memperoleh nilai farmer s share yang lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 29 bahwa menurut hasil penelitian Fikri (2013), nilai farmer s share yang dihasilkan jika

76 64 sortasi/grading dilakukan oleh petani, maka tomat dengan grade A dan B akan cenderung menghasilkan nilai farmer s share yang lebih tinggi. Kondisi ini sangat berbeda sekali pada hasil penelitian tataniaga tomat di Desa Gekbrong yang justru menghasilkan nilai farmer s share yang tinggi pada grade C yang penjualannya hanya dilakukan dalam jumlah sedikit. Analisis Rasio Keuntungan terhadap Biaya Salah satu indikator efisiensi tataniaga dapat dilihat dari rasio antara keuntungan dengan biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh setiap lembaga tataniaga. Dengan meratanya distribusi keuntungan dan biaya pada setiap lembaga tataniaga, diharapkan setiap biaya yang dikeluarkan lembaga tataniaga pada aktivitas pemasaran memberikan balas jasa berupa keuntungan yang wajar (reasonable) pada masing-masing lembaga tataniaga tersebut. Analisis rasio keuntungan terhadap biaya dalam penelitian ini digunakan sebagai indikator efisiensi relatif. Artinya, sistem tataniaga diharapkan dapat menghasilkan distribusi pendapatan yang adil pada setiap lembaga tataniaga dan memberikan keadilan harga kepada petani. Berdasarkan data pada Tabel 30, saluran tataniaga I menunjukkan nilai rasio total keuntungan terhadap biaya sebesar 2.78 untuk tomat grade A, 1.6 untuk grade B, dan 0.2 untuk grade C. Nilai rasio keuntungan terhadap biaya terbesar pada saluran ini terpusat pada grade A. Hal ini diduga karena lembaga tataniaga mengambil keuntungan terbesar pada grade ini. Nilai sebesar 2.87 berarti bahwa setiap biaya yang dikeluarkan sebesar Rp100 akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp287. Total biaya yang dikeluarkan pada saluran ini adalah Rp701.8 per kg untuk grade A, Rp688.5 per kg untuk grade B, dan Rp796.5 untuk grade C. Saluran tataniaga II menunjukkan nilai rasio total keuntungan terhadap biaya sebesar 0.84 untuk tomat grade A, 0.45 untuk grade B, dan 0.01 untuk grade C. Sama seperti saluran I, nilai rasio keuntungan terhadap biaya terbesar terpusat pada grade A. Nilai sebesar 0.84 berarti bahwa setiap biaya tataniaga sebesar Rp100 yang dikeluarkan oleh setiap lembaga tataniaga akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp84. Total biaya yang yang dikeluarkan pada saluran ini mencapai Rp per kg untuk grade A, Rp per kg untuk grade B, dan Rp per kg untuk grade C. Biaya yang dikeluarkan selama tomat ditangani pada saluran tataniaga II merupakan biaya paling besar karena melibatkan banyak lembaga tataniaga dalam menangani volume tomat yang sangat panjang. Saluran tataniaga III yang merupakan saluran paling pendek menunjukkan nilai rasio total keuntungan terhadap biaya sebesar 1.28 untuk tomat grade A dan B, serta 0.5 untuk grade C. Nilai rasio ini menunjukkan bahwa pedagang pengecer mengambil keuntungan yang sama besar dengan biaya yang dikeluarkan untuk menangani tomat sampai konsumen akhir. Dengan biaya Rp per kg untuk grade A dan B, serta Rp per kg untuk grade C, pedagang pengecer mendapatkan keuntungan sebesar Rp per kg untuk grade A dan B, serta Rp475 per kg untuk grade C. Saluran ini bukan merupakan saluran yang selalu terjadi setiap musim panen sehingga volume tomat yang diperjualbelikan hanya dalam jumlah yang kecil.

77 65 Tabel 30 Rasio keuntungan terhadap biaya setiap grade tomat pada setiap saluran tataniaga di Desa Gekbrong a Lembaga Tataniaga Saluran I Saluran II Saluran III Saluran IV A B C A B C A B C Super Pedagang Pengumpul Biaya (c) (Rp/Kg) Keuntungan (π) (Rp/Kg) (150.00) Rasio π/c (0.21) 0.31 Pedagang Besar Biaya (c) (Rp/Kg) Keuntungan (π) (Rp/Kg) Rasio π/c Pedagang Pengecer Biaya (c) (Rp/Kg) Keuntungan (π) (Rp/Kg) Rasio π/c Total Biaya (c) (Rp/Kg) Keuntungan (π) (Rp/Kg) Rasio π/c a Sumber: Data primer (diolah).; b Pada saluran IV bertindak sebagai koperasi.; c Pada saluran IV bertindak sebagai supermarket, analisis biaya dan keuntungan tidak diidentifikasi karena keterbatasan akses informasi dari supermarket.; (-)Data tidak tersedia.

78 66 Saluran tataniaga terakhir adalah saluran tataniaga IV sebagai pembanding jika petani memproduksi tomat grade super. Saluran ini menghasilkan nilai rasio total keuntungan terhadap biaya sebesar 0.29 pada tingkat koperasi. Koperasi tidak banyak mengambil keuntungan karena koperasi menghargai tomat petani jauh lebih tinggi dari harga yang ditawarkan oleh pedagang pengumpul walaupun pada saat harga tomat di pasar sedang jatuh dan sangat murah. Nilai rasio keuntungan terhadap biaya pada supermarket tidak dapat diidentifikasi karena keterbatasan dalam mengakses informasi. Informasi yang dapat didekati dengan data sekunder adalah hanya informasi harga jual dari katalog supermarket yang bersangkutan dan harga beli yang diperoleh dari harga jual lembaga sebelumnya, yaitu koperasi. Izin memperoleh informasi yang sulit membuat penelitian dibatasi sampai rasio keuntungan terhadap biaya koperasi. Analisis Efisiensi Tataniaga Sistem tataniaga yang efisien dapat tercapai apabila masing-masing pelaku tataniaga mulai dari petani, lembaga tataniaga terkait sampai konsumen akhir memperoleh kepuasan dari sistem tataniaga yang dilaksanakan. Analisis efisiensi tataniaga yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis efisiensi operasional (teknis). Untuk mengetahui efisiensi operasional pada tataniaga tomat di lokasi penelitian, setidaknya ada 3 indikator yang dapat digunakan untuk membandingkan efisiensi tataniaga di Desa Gekbrong. Ketiga indikator tersebut adalah marjin tataniaga (absolut dan persentase), farmer s share (absolut dan persentase), rasio keuntungan terhadap biaya. Volume komoditas yang diperjualbelikan pada setiap saluran digunakan juga sebagai penentu apakah saluran tersebut efisien dari daya serap komoditasnya. Indikator-indikator tersebut harus dibandingkan untuk dapat diperoleh efisiensi operasional. Efisiensi operasional tidak hanya bisa dilihat dari angka-angka yang muncul dari indikator efisiensi operasional. Perlu adanya evaluasi dari fungsi-fungsi tataniaga yang telah dilakukan dalam sistem pemasaran. Selain itu perlu dipertimbangkan pula kumpulan balas jasa berupa keuntungan tataniaga karena kegiatan produktif (menambah value added) dari fungsi tataniaga yang telah dilakukan oleh lembaga tataniaga dalam menyampaikan produk dari petani sampai kepada konsumen akhir. Berikut adalah penjelasan analisis efisiensi tataniaga yang diuraikan menurut grade tomat yang dihasilkan di Desa Gekbrong. Hal ini dilakukan agar perbandingan dapat dilakukan dengan setara (equivalent) pada grade yang sama. Indikator yang digunakan sebagai pembanding dalam analisis efisiensi tataniaga pada setiap grade ini adalah marjin tataniaga absolut, marjin tataniaga relatif (persentase), farmer s share absolut (harga jual di tingkat petani), farmer s share relatif (persentase), dan rasio keuntungan terhadap biaya. Efisiensi Tataniaga Tomat Grade A Tomat grade A yang dihasilkan di Desa Gekbrong merupakan tomat dengan bobot sekitar 80 g per buah dengan tingkat kerusakan 4-5%. Harga jual tomat yang diterima petani dari pedagang pengumpul adalah Rp400 per kg pada saluran I, Rp496,71 per kg pada saluran II, dan Rp562,5 per kg pada saluran III.

79 Saluran III memberikan tingkat harga yang lebih tinggi dibandingkan saluran lainnya. Marjin absolut yang dihasilkan dari tomat grade A pada saluran II merupakan nilai marjin yang paling besar namun dinilai yang lebih efisien daripada marjin yang dihasilkan oleh saluran lainnya. Marjin absolut yang dihasilkan pada saluran II adalah sebesar Rp per kg. Hal ini karena banyak terdapat kegiatan produktif yang dilakukan dalam meningkatkan value added dari tomat, terutama nilai guna tempat yang memungkinkan tomat dari Desa Gekbrong dikirim ke Tangerang. Tabel 31 memperlihatkan bahwa tomat grade A pada saluran II selain efisien dari segi marjin, rasio keuntungan terhadap biaya relatif lebih efisien dibandingkan dengan saluran lainnya. Hal ini terlihat dari rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 0.84, pedagang-pedagang yang terlibat dalam penyaluran tomat dari petani sampai konsumen akhir mengambil keuntungan yang wajar (reasonable) atas kegiatan produktif berupa fungsi tataniaga yang dilakukan. Selanjutnya nilai farmer s share pada saluran III memberikan bagian yang diterima petani yang paling tinggi dibandingkan saluran lainnya, yaitu 21.2%. Jadi, berdasarkan indikator-indikator efisiensi operasional yang telah dijelaskan dapat disimpulkan untuk sementara bahwa tomat grade A efisien pada saluran II. Hal ini karena pada saluran II terdapat kegiatan produktif yang dapat meningkatkan value added. 67 Tabel 31 Efisiensi tataniaga tomat grade A di Desa Gekbrong a Indikator Saluran tataniaga I II III Harga di tingkat petani (Rp/kg) Harga di tingkat konsumen (Rp/kg) Total marjin (Rp/kg) Total marjin (%) Farmer's share (%) Rasio π/c a Sumber: Data primer (diolah). Efisiensi Tataniaga Tomat Grade B Tomat grade B yang dihasilkan di Desa Gekbrong merupakan tomat dengan bobot sekitar 70 g per buah dengan tingkat kerusakan 5-10%. Harga jual tomat yang diterima petani dari pedagang pengumpul pada saluran I, II, dan III berturutturut adalah Rp400, Rp496,71 dan Rp562,5 per kg. Sama seperti tomat grade A, saluran III memberikan tingkat harga yang lebih tinggi dibandingkan saluran lainnya karena harga jual tomat di tingkat petani untuk semua grade dibuat sama oleh pedagang pengumpul. Marjin absolut yang dihasilkan dari tomat grade B pada saluran II merupakan nilai marjin yang paling besar yaitu Rp per kg namun dinilai yang lebih efisien daripada marjin yang dihasilkan oleh saluran lainnya. Hal ini karena pada saluran II terdapat banyak kegiatan produktif yang dilakukan dalam meningkatkan value added dari tomat, terutama nilai guna tempat yang memungkinkan tomat dari Desa Gekbrong dikirim ke Tangerang.

80 68 Tabel 32 Efisiensi tataniaga tomat grade B di Desa Gekbrong a Indikator Saluran tataniaga I II III Harga di tingkat petani (Rp/kg) Harga di tingkat konsumen (Rp/kg) Total marjin (Rp/kg) Total marjin (%) Farmer's share (%) Rasio π/c a Sumber: Data primer (diolah). Tabel 32 memperlihatkan bahwa tomat grade B relatif lebih efisien rasio keuntungan terhadap biayanya pada saluran II. Hal ini terlihat dari rasio keuntungan terhadap biaya sebesar Artinya, ketika pedagang mengeluarkan biaya sebesar Rp100 per kg maka balas jasa atas biaya-biaya yang dikeluarkan tersebut adalah sebesar Rp45 per kg. Pedagang-pedagang yang terlibat dalam penyaluran tomat grade B dari petani sampai konsumen akhir mengambil keuntungan yang wajar (reasonable) atas kegiatan produktif berupa fungsi tataniaga yang dilakukan. Selanjutnya nilai farmer s share pada saluran III memberikan bagian yang diterima petani yang paling tinggi dibandingkan saluran lainnya, yaitu sebesar 21.2 %. Jadi, berdasarkan indikator-indikator efisiensi operasional yang telah dijelaskan dapat disimpulkan untuk sementara bahwa tomat grade B efisien pada saluran II walaupun pada saluran III memberikan harga jual dan farmer s share yang lebih tinggi. Efisiensi Tataniaga Tomat Grade C Tomat grade C yang dihasilkan di Desa Gekbrong biasanya dihasilkan dalam jumlah yang sangat sedikit. Berdasarkan wawancara dengan beberapa petani di Desa Gekbrong, jumlah tomat grade C yang diperjualbelikan biasanya hanya sekitar 20%. Tomat grade C merupakan tomat dengan bobot sekitar 50 g per buah dengan tingkat kerusakan paling besar yaitu 10-15%. Harga jual tomat yang diterima petani dari pedagang pengecer adalah Rp400 per kg pada saluran I, Rp496,71 per kg pada saluran II, dan Rp562,5 per kg pada saluran III. Saluran III memberikan tingkat harga yang lebih tinggi dibandingkan saluran lainnya, sama seperti pada tomat grade A maupun B. Marjin absolut yang dihasilkan dari tomat grade C pada saluran I merupakan nilai marjin yang dinilai yang lebih efisien daripada marjin yang dihasilkan oleh saluran lainnya. Marjin absolut yang dihasilkan pada saluran I adalah sebesar Rp894 per kg. Hal ini karena tomat grade C pada saluran ini tingkat keuntungannya lebih wajar dibandingkan saluran II yang keuntungannya negatif. Rasio keuntungan terhadap biaya tomat grade C pada saluran I memperlihatkan nilai yang relatif efisien, yaitu sebesar 0.2 seperti yang disajikan pada Tabel 33. Pedagang-pedagang yang terlibat dalam penyaluran tomat grade C dari petani sampai konsumen akhir mengambil keuntungan yang wajar (reasonable) atas kegiatan produktif berupa fungsi tataniaga yang dilakukan pada saluran I. Selanjutnya nilai farmer s share pada saluran I untuk tomat grade C memberikan bagian yang diterima petani yang paling tinggi dibandingkan saluran

81 lainnya, yaitu sebesar 30.91%. Jadi, berdasarkan indikator-indikator efisiensi operasional yang telah dijelaskan dapat disimpulkan untuk sementara bahwa tomat grade C efisien pada saluran I. 69 Tabel 33 Efisiensi tataniaga tomat grade B di Desa Gekbrong a Indikator Saluran tataniaga I II III Harga di tingkat petani (Rp/kg) Harga di tingkat konsumen (Rp/kg) Total marjin (Rp/kg) Total marjin (%) Farmer's share (%) Rasio π/c a Sumber: Data primer (diolah). Efisiensi Tataniaga Tomat Grade Super Tomat grade super masih jarang dibudidayakan di Desa Gekbrong sehingga dianalisis untuk diketahui apakah jika petani memproduksi tomat grade super akan mendatangkan manfaat lebih atau tidak. Tomat grade super yang dihasilkan di Desa Gekbrong merupakan tomat yang mempunyai bobot sekitar 100 g per buag dengan tingkat kerusakan 4-5%. Tomat jenis ini hanya diperjualbelikan pada saluran IV, sehingga tidak bisa dibandingkan dengan saluran I, II, maupun III. Akan tetapi tomat grade super pada saluran tetap dianalisis efisiensi operasionalnya berdasarkan indikator efisiensi yang disajikan pada Tabel 34 untuk mengetahui tingkat efisiensinya pada tataniaga tomat di Desa Gekbrong. Tabel 34 Efisiensi tataniaga tomat grade Super di Desa Gekbrong a Indikator Saluran tataniaga IV Harga di tingkat petani (Rp/kg) Harga di tingkat konsumen (Rp/kg) Total marjin (Rp/kg) Total marjin (%) Farmer's share (%) Rasio π/c - a Sumber: Data primer (diolah). Harga jual tomat grade super yang diterima petani dari Koperasi Mitra Tani Parahyangan adalah sebesar Rp1 600 per kg. Total marjin absolut yang dihasilkan pada saluran ini adalah Rp3 190 per kg, nilai absolut yang cukup besar namun penanganannya dalam peningkatan nilai guna tempat sangat besar. Tomat grade super yang dihasilkan oleh petani di Desa Gekbrong dapat disalurkan ke kawasan JABODETABEK sehingga nilai guna tempatnya meningkat. Akan tetapi, terdapat

82 70 indikator yang tidak dapat diidentifikasi pada saluran ini yaitu rasio keuntungan terhadap biaya karena keterbatasan penelitian. Jadi, untuk sementara dapat disimpulkan bahwa tomat grade super pada saluran ini dinilai cukup efisien. Secara umum, berdasarkan analisis efisiensi tataniaga yang dilakukan pada setiap grade, sistem tataniaga tomat di Desa Gekbrong belum efisien. Hal ini terlihat dari nilai yang dihasilkan dari beberapa indikator efisiensi operasional yaitu marjin tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Perhitungan nilai indikator efisiensi operasional tersebut relatif dan telah mempertimbangkan fungsi-fungsi tataniaga yang telah dilakukan sebagai upaya produktif dalam meningkatkan value added baik nilai waktu, tempat, maupun kepemilikan. Berikut adalah penjelasan kondisi setiap saluran tataniaga yang menunjukkan bahwa sistem tataniaga di lokasi penelitian belum efisien. Saluran tataniaga I merupakan saluran yang cukup pendek dengan menyalurkan tomat di Pasar Induk Cianjur. Akan tetapi beberapa alasan membuat saluran ini dinilai belum efisien karena: a. Harga di tingkat petani hanya 1 jenis harga dari grade A, B, dan C. Jika lembaga tataniaga yang membeli tomat kepada petani menjual tomat dengan sistem grading (membedakan harga berdasarkan grade), idealnya petani juga harus memperoleh harga berdasarkan grade tomat yang diperjualbelikan. b. Marjin tataniaga yang dihasilkan dari 2 lembaga tataniaga secara absolut sangat besar. Balas jasa atas kegiatan produktif berupa keuntungan tataniaga yang terdapat pada saluran I didominasi oleh pedagang pengumpul dan pedagang pengecer yang melebihi harga jual di tingkat petani dan jauh melebihi biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga. c. Nilai rasio keuntungan terhadap biaya belum merata dan terpusat pada tomat grade A. d. Nilai farmer s share saluran I untuk grade A yang jumlahnya paling banyak diproduksi petani relatif sangat kecil yaitu 13.38%. Saluran tataniaga II merupakan saluran yang meningkatkan nilai guna tempat. Hal ini terlihat dari jangkauan pasar yang lebih luas dari saluran I, yaitu Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang. Akan tetapi beberapa alasan yang membuat saluran ini dinilai belum efisien adalah: a. Harga di tingkat petani hanya 1 jenis harga dari grade A, B, dan C. Sama seperti saluran I jika lembaga tataniaga yang membeli tomat kepada petani menjual tomat dengan sistem grading (membedakan harga berdasarkan grade), idealnya petani juga harus memperoleh harga berdasarkan grade tomat yang diperjualbelikan. b. Terdapat keuntungan negatif pada grade C yang ditanggung oleh pedagang pengumpul sebesar Rp150 per kg. c. Nilai rasio keuntungan terhadap biaya sudah cukup merata namun masih terpusat pada tomat grade A. d. Nilai farmer s share saluran II untuk grade A yang jumlahnya paling banyak diproduksi petani relatif sangat kecil yaitu 13.91%.

83 Saluran tataniaga III merupakan saluran yang paling pendek. Akan tetapi ada beberapa alasan yang membuat saluran ini belum efisien, yaitu: a. Harga di tingkat petani hanya 1 jenis harga dari grade A, B, dan C. b. Marjin tataniaga yang dihasilkan dari 1 lembaga tataniaga secara absolut sangat besar. Balas jasa atas kegiatan produktif berupa keuntungan tataniaga yang terdapat pada saluran III didominasi oleh pedagang pengecer yang melebihi harga jual di tingkat petani dan jauh melebihi biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengecer. c. Nilai rasio keuntungan terhadap biaya belum merata dan terpusat pada tomat grade A dan B. d. Nilai farmer s share saluran III untuk grade A dan B yang jumlahnya paling banyak dijual petani relatif kecil yaitu 21.2 %. e. Volume tomat yang dapat dijual petani kepada pedagang pengecer sangat kecil dan tidak mungkin dapat menyerap seluruh volume tomat yang diproduksi oleh petani. Saluran ini pada musim panen November-Desember 2012 hanya mampu menyerap 0.47% dari tomat yang diproduksi petani responden. Saluran tataniaga IV yang digunakan sebagai pembanding dengan saluran lainnya merupakan satu-satunya saluran yang memperjualbelikan tomat grade super dengan harga jual yang lebih tinggi yang ditawarkan Koperasi Mitra Tani Parahyangan kepada petani. Akan tetapi terdapat beberapa alasan yang membuat saluran ini dinilai belum efisien, yaitu: a. Petani belum banyak yang dapat mengakses saluran IV karena masih belum terbiasa menanam tomat grade super. b. Marjin tataniaga yang dihasilkan dari 2 lembaga tataniaga secara absolut sangat besar. Balas jasa atas kegiatan produktif berupa keuntungan tataniaga yang terdapat pada saluran IV didominasi oleh pedagang supermarket yang melebihi harga jual di tingkat petani. Besarnya marjin yang dihasilkan supermarket belum dapat diidentifikasi berapa besarnya keuntungan dan biayanya karena keterbatasan penelitian. c. Nilai rasio keuntungan terhadap biaya pada supermarket diduga sangat besar. Keuntungan yang dihasilkan oleh supermarket juga diduga tidak sesuai dengan kegiatan produktif dalam meningkatkan value added tomat yang dihasilkan. Tidak ada perlakuan khusus yang nampak dalam upaya peningkatan value added tomat. Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa saluran III merupakan saluran yang paling tidak efisien pada tataniaga tomat di Desa Gekbrong. Hal ini terlihat terutama pada daya serap komoditasnya, baik untuk tomat grade A, B, maupun C. Tomat yang diperjualbelikan pada saluran ini hanya sebanyak 0.47 ton (0.39%) sementara produksi tomat normal petani di Desa Gekbrong untuk setiap petani bisa mencapai 11 ton. Saluran III tidak bisa menyerap seluruh tomat yang dihasilkan petani dalam jumlah yang besar. Walaupun harga jual yang ditawarkan pedagang pengecer pada saluran ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang ditawarkan oleh pedagang pengumpul, keunggulan ini tidak terlalu berpengaruh jika tidak bisa menampung seluruh tomat yang diproduksi oleh petani. 71

84 72 Saluran yang menempati posisi ke-2 yang belum efisien adalah saluran I. Hal ini terlihat dari belum meratanya biaya dan keutungan yang diperoleh pedagang pengumpul dan pedagang pengecer. Keuntungan yang diperoleh bahkan melebihi biaya penanganan tomat dan harga jual tomat petani. Implikasi yang terjadi adalah memperbesar nilai marjin tataniaga yang pada akhirnya membuat harga di tingkat konsumen menjadi lebih mahal dan memperkecil nilai farmer share. Daya serap komoditas pada saluran ini juga masih belum mampu menampung seluruh tomat yang dihasilkan oleh petani. Hanya sebanyak ton (9.95%) tomat yang diperjualbelikan pada saluran ini. Selain itu, farmer s share yang diperoleh petani juga sangat kecil dan petani tidak mendapat potential benefit dari aktivitas sortasi/grading. Di antara saluran I dan II, saluran II relatif lebih efisien dan menempati posisi ke-3 yang belum efisien. Terdapat keuntungan yang negatif yang diperoleh pedagang pengumpul pada tomat grade C, hal ini menunjukkan bahwa alokasi tomat C belum efisien. Saluran ini sedikit lebih panjang dibandingkan dengan saluran lainnya sehingga penanganan tomat juga lebih banyak karena konsumen yang dituju adalah konsumen luar Cianjur di luar Kabupaten Cianjur. Kondisi yang hampir sama seperti saluran I juga terjadi pada saluran ini, yaitu farmer s share yang diperoleh petani sangat kecil dan petani tidak mendapat potential benefit dari aktivitas sortasi/grading. Penyaluran tomat ke luar Kabupaten Cianjur menambah nilai guna tempat sehingga proses distribusi tomat dari lokasi sentra tomat ke lokasi bukan sentra tomat dapat dilakukan. Dengan banyak dilakukannya kegiatan produktif yang dapat menambah nilai guna tempat dan kepemilikan dan balas jasa yang dihasilkan oleh lembaga tataniaga pada saluran ini membuat nilai marjin tataniaga yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan saluran I dan III. Saluran IV yang digunakan sebagai pembanding dengan saluran I, II, dan III dinilai sebagai saluran yang relatif lebih efisien di antara saluran lainnya jika petani memproduksi grade super. Harga jual yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan saluran lainnya membuat nilai farmer s share yang diperoleh petani juga meningkat. Sistem grading digunakan tidak hanya oleh koperasi dan supermarket, petani juga memperoleh nilai dari aktivitas grading walaupun hanya tomat super yang ditampung oleh koperasi. Kelemahan dari saluran IV adalah belum banyak petani yang mengakses saluran ini karena petani masih banyak yang menjual tomat hasil panennya kepada pedagang pengumpul yang sudah membiayai kegiatan usahataninya. Selain itu dalam membandingkan efisiensi dengan saluran lainnya, terdapat perbedaan yang paling mendasar pada saluran ini yaitu pada grade tomat yang dihasilkan. Nilai marjin absolut pada saluran ini merupakan nilai marjin absolut yang terbesar di antara saluran lainnya. Nilai marjin absolut yang dihasilkan oleh koperasi sebesar Rp900 yang terdiri atas biaya tataniaga sebesar Rp687 dan keuntungan tataniaga sebesar Rp213. Marjin tataniaga yang dihasilkan oleh koperasi terlihat sudah efisien karena keuntungan yang diambil koperasi dinilai relatif sudah sesuai dengan biaya-biaya tataniaga dalam penanganan tomat. Akan tetapi marjin yang dihasilkan supermarket merupakan marjin yang paling besar di antara semua lembaga tataniaga yang terlibat pada sistem tataniaga tomat. Marjin yang dihasilkan oleh supermarket sebesar Rp2 290 namun belum dapat diidentifikasi biaya dan keuntungannya karena keterbatasan penelitian.

85 Berdasarkan uraian di atas, di antara saluran tataniaga I, II, dan III, saluran II dinilai relatif lebih efisien. Saluran IV dinilai relatif lebih efisien dari saluran lainnya jika petani memproduksi tomat super sehingga saluran ini baik untuk digunakan. Walaupun ada beberapa hal yang membuat saluran IV belum efisien, tetapi dibandingkan saluran lainnya saluran IV relatif lebih efisien. Alasan yang mendasari terpilihnya saluran tersebut sebagai saluran yang relatif lebih efisien dalam penelitian tataniaga tomat di Desa Gekbrong ini adalah sebagai berikut. 1. Walaupun marjin tataniaga yang terbentuk secara absolut pada saluran IV merupakan marjin tataniaga yang terbesar, ternyata jika dilihat dari marjin tataniaga secara relatif (persentase) menghasilkan persentase marjin yang terkecil di antara saluran lainnya dengan penanganan tomat yang lebih baik dibandingkan dengan penanganan tomat pada saluran lainnya. Selain itu saluran IV merupakan saluran yang tidak terlalu melibatkan banyak lembaga tataniaga tetapi semua fungsi tataniaga dapat ditangani. 2. Farmer s share yang didapatkan oleh petani lebih besar pada saluran IV dibandingkan dengan saluran lainnya. Petani memperoleh bagian nilai yang lebih tinggi dari harga yang diterima konsumen pada saluran ini. 3. Nilai keuntungan terhadap biaya pada saluran IV menunjukkan bahwa koperasi tidak terlalu mementingkan keuntungan, tetapi mementingkan kontinuitas dari penjualan tomat dari petani ke konsumen. Keuntungan yang diperoleh koperasi dinilai rasional terhadap biaya yang dikeluarkan selama proses penanganan tomat sampai ke supermarket dan konsumen akhir. 4. Volume penjualan pada saluran IV memang tidak sebanyak volume penjualan yang terdapat pada saluran lainnya. Sebanyak 1,579 ton tomat tersebut hanya dihasilkan dari satu petani. Koperasi sebenarnya membutuhkan dan menghimbau kepada petani untuk dapat menyalurkan tomat hasil panennya kepada koperasi, namun karena standar yang diterapkan koperasi terkait kualitas tomat belum mampu dikuasai oleh petani sehingga belum semua petani menyalurkan tomat hasil panennya ke koperasi. 5. Harga jual yang diperoleh petani pada saluran IV jauh lebih tinggi dari harga yang ditawarkan saluran lainnya. Hal ini karena tomat yang diperjualbelikan merupakan tomat dengan kulitas grade super. Petani bisa memulai untuk membudidayakan tomat dengan kualitas grade super untuk bisa mengakses saluran ini. Sistem tataniaga yang belum efisien di lokasi penelitian terutama terlihat dari ketidakadilan pada petani sebagai produsen. Petani memiliki posisi tawar (bargaining position) yang lemah dibandingkan dengan lembaga tataniaga lainnya. Jika dilihat dari mekanisme penentuan harga, hampir semua petani di Desa Gekbrong hanya menjadi penerima harga (price taker). Padahal petani merupakan titik awal yang membuat sistem tataniaga tomat berjalan dan membuka lapangan pekerjaan bagi banyak pihak yang terlibat pada sistem tataniaga tomat di lokasi penelitian. Beberapa faktor yang menjadi alasan lemahnya posisi tawar petani adalah sebagai berikut. 1. Fungsi fasilitas berupa aktivitas pembiayaan yang dilakukan petani dalam membiayai modal usahataninya belum berjalan dengan baik. Pedagang pengumpul dalam tataniaga tomat membantu memperlancar pembiayaan 73

86 74 usahatani kepada para petani dengan meminjamkan modal usahatani. Akan tetapi kondisi ini justru membatasi petani terutama dalam kebebasan menjual tomat dan kehilangan potential benefit karena hanya menerima 1 jenis harga dari tomat grade A, B, dan C. Keterbatasan modal untuk melakukan usahatani tomat terjadi pada setiap awal musim tanam atau pertengahan masa tanam. 2. Informasi pasar yang tidak dikuasai petani. Petani dalam memasarkan hasil panen hanya tertuju pada lembaga tataniaga tertentu saja, padahal petani bisa memasarkan tomat kepada pasar yang memberi keuntungan lebih pada petani. 3. Petani berisiko menjual tomat dalam jumlah yang besar. Tomat merupakan komoditas hortikultura yang mudah busuk dan cepat rusak bila tidak segera dipasarkan. Selain itu ada kesukaran dalam menjual tomat dengan jumlah yang besar. Sistem penentuan harga juga ditentukan oleh lembaga tataniaga yang membeli tomat kepada petani, bahkan beberapa lembaga hanya memberi 1 harga dari beberapa grade tomat yang dihasilkan petani. 4. Petani tidak ada alternatif pasar lain. Setiap musim panen tiba, petani sudah berlangganan tetap dengan beberapa lembaga tataniaga dalam menjual tomatnya. Ha ini karena petani tidak tahu lagi harus kepada siapa menjual tomatnya. Keadaan ini dianggap oleh petani sebagai kerja sama yang baik antara petani dengan pedagang pengumpul. 5. Keterbatasan akses permodalan dan link pasar. Tidak semua fungsi pemasaran bisa ditangani oleh petani, beberapa fungsi pemasaran harus ditangani oleh lembaga tataniaga. Namun dengan adanya akses permodalan ke lembaga formal setidaknya petani akan diperlancar dengan fungsi fasilitas berupa pembiayaan. 6. Peran kelompok tani yang belum optimal. Kelompok tani yang ada di lokasi penelitian belum didukung penuh dengan stimulus program yang dilaksanakan oleh pemerintah setempat, terutama dalam akses permodalan. Walaupun hasil penelitian menunjukkan bahwa saluran yang relatif lebih efisien dibandingkan dengan saluran lainnya adalah saluran IV, kondisi riil sekarang tidak memungkinkan bagi sebagian besar petani untuk mengakses saluran IV. Hal ini karena untuk mengakses saluran IV, petani harus memproduksi tomat dengan grade super. Di sisi lain petani tomat di Desa Gekbrong mengalami kesulitan dalam hal permodalan yang memungkinkan mereka meminjam kepada pihak non formal seperti rentenir dan pedagang pengumpul. Apabila petani meminjam uang kepada pedagang pengumpul, implikasi yang terjadi adalah petani harus menjual hasil panen kepada pedagang pengumpul. Oleh karena itu, posisi tawar petani menjadi rendah dalam hal penetapan harga jual tomat. Hal ini menjadi permasalahan mendasar dalam menerapkan sistem tataniaga tomat yang efisien. Agar petani mampu meningkatkan posisi tawarnya, setidaknya petani harus memperbaiki kondisi permodalan untuk menangani biaya tanam (usahatani) pada awal musim tanam. Oleh kerena itu, peran pemerintah dan stakeholder terkait sangat diperlukan dalam menyikapi kondisi permasalahan tataniaga tomat di Desa Gekbrong. Pemerintah dapat mengupayakan perbaikan sistem tataniaga tomat di Desa Gekbrong dengan memberdayakan peran kelompok tani di Desa Gekbrong yang belum berjalan secara optimal. Peran

87 kelompok tani sangat dibutuhkan untuk membangkitkan semangat dan kebersamaan dalam upaya memperbaiki kondisi permodalan. Dengan kondisi permodalan yang baik, petani dan kelompok tani tomat di Desa Gekbrong akan dapat meningkatkan posisi tawar terutama dalam mengakses pasar yang dapat menguntungkan petani. Di samping itu petani juga dapat meningkatkan potential benefit dengan melakukan kegiatan sortasi/grading sendiri tanpa diambil alih pedagang pengumpul sehingga bisa mendapatkan harga sesuai dengan grade tomat. Selanjutnya dengan petani mulai menanam tomat dengan varietas yang lebih baik yang menghasilkan grade super, petani dapat meningkatkan kesejahteraannya dengan menjual tomat grade super yang harga jualnya lebih tinggi dari tomat grade A, B, maupun C. Lebih jauh lagi kelompok tani dapat menangani pemasaran tomat dengan bekerja sama dengan pihak yang mampu menyerap tomat petani dengan harga jual yang layak dan bersaing. 75 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Terdapat 4 saluran tataniaga tomat yang ada di Desa Gekbrong yang melibatkan beberapa lembaga tataniaga yaitu pedagang pengumpul, Koperasi Mitra Tani Parahyangan, pedagang besar luar Cianjur (Pasar Induk Tanah Tinggi), pedagang pengecer Cianjur (Pasar Gekbrong dan Pasar Induk Cianjur), dan pedagang pengecer luar Cianjur (Kawasan Tangerang dan Jakarta). Lembaga tataniaga tersebut melakukan fungsi tataniaga berbeda-beda pada setiap saluran tataniaga dalam menyampaikan tomat dari petani sampai konsumen akhir (lokal dan non lokal). Struktur pasar pada petani dan lembaga tataniaga berbeda-beda. Struktur pasar yang dihadapi oleh petani cenderung mengarah kepada pasar oligopsoni murni. Struktur pasar yang cenderung mengarah kepada pasar oligopsoni murni dihadapi oleh pedagang pengumpul sedangkan struktur pasar yang cenderung mengarah kepada pasar oligopoli murni adalah Koperasi dan pedagang besar luar Cianjur. Pedagang pengecer menghadapi struktur pasar yang cenderung mengarah kepada pasar persaingan murni. Berdasarkan struktur pasar yang terbentuk pada setiap tingkatan lembaga tataniaga tersebut membentuk pola perilaku pasar yang menyesuaikan dengan struktur pasar yang terbentuk tersebut. 2. Analisis efisiensi operasional menyatakan bahwa semua saluran tataniaga yang ada di Desa Gekbrong belum efisien. Kondisi ini terlihat terutama dari ketidakadilan pada petani yang posisi tawarnya lemah. Selain itu dalam mekanisme penentuan harga petani hanya sebagai penerima harga. Akan tetapi di antara 4 saluran tataniaga yang ada di Desa Gekbrong, saluran IV merupakan saluran yang relatif lebih efisien. Hal ini didasarkan pada pertimbangan perhitungan persentase marjin tataniaga, farmer s share, rasio keuntungan terhadap biaya, dan volume tomat yang diperjualbelikan. Saluran IV menghasilkan persentase total marjin sebesar 66.6%, farmer s share sebesar 33.4%, rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 0.29 pada tingkat koperasi, dan volume yang diperjualbelikan sebanyak 1.58 ton dari 1 petani.

88 76 Saran Saran yang dapat disampaikan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah sebaiknya mulai memperhatikan kesejahteraan petani dengan melakukan intervensi kebijakan yang berpihak kepada petani terutama dalam hal keadilan harga dan pasar pada tanaman hortikultura yang sudah menjadi permasalahan umum pada petani. Pemerintah seharusnya melindungi petani tomat di Desa Gekbrong dengan memberlakukan harga tomat berdasarkan grade yang dihasilkan sehingga petani tidak kehilangan benefit dari aktivitas sortasi/grading yang diambil alih pedagang. Dengan keterbukaan informasi diharapkan petani dapat memperoleh keadilan pasar dan pedagang pun dapat mempertahankan kontinuitas dari tataniaga tomat di Desa Gekbrong. 2. Pemerintah sebaiknya dapat memberdayakan peran kelompok tani yang belum optimal di Desa Gekbrong. Pemerintah dapat menjalin kerja sama dalam hal perbaikan kondisi permodalan dan pembiayaan usahatani petani tomat melalui akses ke lembaga keuangan formal sehingga tidak terlalu bergantung pada modal pinjaman non formal yang syaratnya tidak jelas. Jika petani telah mandiri dari segi permodalan dan kelompok tani memiliki kekuatan dalam memperjuangkan kepentingan anggota, kelompok tani diharapkan mampu mewadahi pemasaran tomat yang dihasilkan petani dengan melakukan kerjasama bersama koperasi untuk memperluas pasar tomat bahkan sampai ke tahap ekspor. 3. Petani sebaiknya mulai melakukan fungsi sortasi/grading atas tomat yang diproduksi di Desa Gekbrong. Hal ini penting untuk dilakukan karena aktivitas sortasi/grading dapat meningkatkan potential benefit yang selama ini tidak diperoleh petani. Dengan menerapkan fungsi tataniaga ini diharapkan petani memperoleh harga berdasarkan grade tomat yang dihasilkan. 4. Petani diharapkan mulai mengganti jenis varietas bibit dengan kualitas yang lebih baik secara berkala sehingga ketika panen petani akan dapat menghasilkan tomat dengan grade yang lebih baik seperti tomat grade super. Tomat dengan grade super atau grade biasa yang lebih baik kualitasnya akan lebih diminati di pasaran. 5. Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan dapat menganalisis efisiensi harga untuk mengetahui keterpaduan (integrasi) antara harga tomat di tingkat pasar acuan dengan harga tomat di tingkat pasar pengikutnya. DAFTAR PUSTAKA Asmarantaka RW Pemasaran Agribisnis (Agrimarketing). Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. A yun Q Analisis Sistem Tataniaga Bawang Daun (Allium fistulosum L.) di Kawasan Agropolitan Kabupaten Cianjur [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

89 [BP TPH] Balai Pengembangan Tanaman Pangan dan Hortikultura Kecamatan Gekbrong Programa Penyuluhan Kecamatan Gekbrong Tahun Cianjur (ID). [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Cianjur Luas Daerah Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur Tahun Cianjur (ID) Produktivitas sayuran di Kecamatan Gekbrong tahun Cianjur (ID). [BPS] Badan Pusat Statistik Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Menurut Kelompok Barang di Indonesia Tahun Jakarta (ID) a. Produksi Tomat Menurut Provinsi di Indonesia Tahun Jakarta (ID).. Berbagai Tahun. Produksi Sayuran di Indonesia Tahun Jakarta (ID). Burhan MU, Agus Suman, M. Pudjiharyo, Noer S Analisis Ekonomi Terhadap Struktur, Perilaku, dan Kinerja Pasar Pupuk di Jawa Timur (Kasus di Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Ngawi). Indonesian Applied. 5(1): Cahyono B Tomat: Usaha Tani dan Penanganan Pascapanen. Yogyakarta (ID): Kanisisus. Dahl DC, JW Hammond Market and Price Analysis The Agricultural Industries. New York (US): Mc Graw-Hill Book Company. [Diperta] Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat Produksi Tomat Menurut Kabupaten dan Kota di Jawa Barat Tahun Bandung (ID). [Dithorti] Direktorat Jenderal Hortikultura Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Tomat di Indonesia Tahun Jakarta (ID) Nilai PDB Beberapa Komoditas Sayuran terhadap Total PDB Sayuran di Indonesia Tahun Jakarta (ID) Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Periode Tahun Jakarta (ID). Fikri, Muhammad Sistem Tataniaga Tomat (Kasus di Desa Tugumukti, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hairia Analisis Saluran Pemasaran Tomat Bandung di KUD Mitra Tani Parahyangan Cianjur [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Kementan] Kementerian Pertanian RI Laporan Harian Harga Produsen dan Pengecer Komoditas Tomat di Kabupaten Cianjur. Jakarta (ID). Kohls RL, Uhl JN Marketing of Agricultural Product Sixth Edition. New York (US): Macmillan Publishing Company. Mahassy TP Analisis Saluran Pemasaran Sayuran Organik pada Koperasi Serikat Petani Indonesia Kabupaten Bogor, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Melania Struktur, Perilaku dan Keragaan Pasar. Eksekutif. 4(3): Natalia TC, Panji D, Mas ud E Analysis of The Structure, Behavior and Performance in Industrial Markets Bakpia Yogyakarta. Industria. 1(1): Nazir M Metode Penelitian. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia. 77

90 78 Noviana, Z Analisis Sistem Tataniaga Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sabang J, Nella ND, Tetty W Sistem Pemasaran Tomat (Lycopersicum esculentum L. Mill.) di Desa Bangunrejo Kecamatan Tenggarong Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara. EPP. 8(2): Sakti W.U, D.S Analisis Tataniaga Daun Bawang (Studi Kasus: Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sunarjono H Bertanam 30 Jenis Sayur. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Trisnawati Y, Ade IS Tomat: Pembudidayaan Secara Komersial. Jakarta (ID): PT Penebar Swadaya. Wahyu Wiryanta BT Bertanam Tomat. Jakarta (ID): AgroMedia Pustaka.

91 Lampiran 1 Produksi tomat menurut provinsi di Indonesia tahun a Provinsi Tahun (ton) b Indonesia Aceh Sumatera Utara Sumatera barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua a Sumber: Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura (2012).; b Angka sementara.; ( ) Data tidak tersedia. 79

92 80 Lampiran 2 No Produksi tomat menurut kabupaten dan kota di Jawa Barat tahun a Kabupaten/ Kota Tahun (ton) Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Bandung Barat Kota Bogor Kota Kukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Jumlah a Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat (2012).

93 81 Lampiran 3 Dokumentasi penelitian Bibit tomat siap tanam (dari kiri) Tomat grade A, B, dan C Pohon tomat umur 3 minggu di lahan tomat petani di Desa Gekbrong Tomat merah yang dihasilkan dari Desa Gekbrong Proses sortasi/grading tomat oleh pedagang pengumpul Salah satu tenaga kerja pemetik tomat Kegiatan penimbangan tomat Kondisi Pasar Induk Cianjur

94 82 Tomat dalam peti di Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang Kondisi Pasar Induk Tanah Tinggi Truk colt diesel milik Koperasi MTP Mobil pick up pedagang pengumpul Tempat sortasi dan pengemasan tomat di Koperasi MTP Tomat grade super yang dihasilkan dari Koperasi MTP Tomat di pedagang pengecer Pasar Induk Cianjur Kendaraan motor roda tiga milik pedagang pengecer

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor hortikultura berperan penting dalam mendukung perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan rangkaian teori-teori yang digunakan dalam penelitian untuk menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang digunakan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Tataniaga Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006) tataniaga dapat didefinisikan sebagai tindakan atau kegiatan yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis digunakan untuk memberikan gambaran atau batasan-batasan teori yang akan digunakan sebagai landasan dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual 3.1.1 Konsep Tataniaga Pemasaran adalah suatu proses sosial yang di dalamnya melibatkan individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Tataniaga Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006), istilah tataniaga dan pemasaran merupakan terjemahan dari marketing, selanjutnya tataniaga

Lebih terperinci

TATANIAGA PERTANIAN OLEH : NOVINDRA DEP. EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN

TATANIAGA PERTANIAN OLEH : NOVINDRA DEP. EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN TATANIAGA PERTANIAN OLEH : NOVINDRA DEP. EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN TATANIAGA PERTANIAN Tataniaga Pertanian atau Pemasaran Produk-Produk Pertanian (Marketing of Agricultural), pengertiannya berbeda

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada tiga desa di Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur yaitu Desa Ciherang, Cipendawa, dan Sukatani. Pemilihan lokasi dilakukan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang,

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang, BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja

Lebih terperinci

PEMASARAN BAWANG DAUN DESA ALAMENDAH, KECAMATAN RANCABALI, KABUPATEN BANDUNG TUTI ALAWIYAH

PEMASARAN BAWANG DAUN DESA ALAMENDAH, KECAMATAN RANCABALI, KABUPATEN BANDUNG TUTI ALAWIYAH PEMASARAN BAWANG DAUN DESA ALAMENDAH, KECAMATAN RANCABALI, KABUPATEN BANDUNG TUTI ALAWIYAH DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka Pada umumnya semua tanaman dapat diusahakan secara organik karena pada mulanya tanaman tumbuh secara alami, tanpa tambahan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini didasari oleh teori-teori mengenai konsep sistem tataniaga; konsep fungsi tataniaga; konsep saluran dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang beriklim tropis dan relatif subur. Atas alasan demikian Indonesia memiliki kekayaan flora yang melimpah juga beraneka ragam.

Lebih terperinci

Program Studi Agribisnis FP USU Jln. Prof. A. Sofyan No. 3 Medan HP ,

Program Studi Agribisnis FP USU Jln. Prof. A. Sofyan No. 3 Medan HP , ANALISIS TATANIAGA SAYURAN KUBIS EKSPOR DI DESA SARIBUDOLOK KECAMATAN SILIMAKUTA KABUPATEN SIMALUNGUN Roma Kasihta Sinaga 1), Yusak Maryunianta 2), M. Jufri 3) 1) Alumni Program Studi Agribisnis FP USU,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Pada Tahun Kelompok

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Pada Tahun Kelompok I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu komoditas pertanian yang berpotensi untuk dikembangkan. Pengembangan hortikuktura diharapkan mampu menambah pangsa pasar serta berdaya

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Nilai Tambah Nilai tambah merupakan pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, penyimpanan, pengangkutan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kelurahan Sukaresmi, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)

I. PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki peluang besar dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang melimpah untuk memajukan sektor pertanian. Salah satu subsektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Sebaran Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usahanya Tahun

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Sebaran Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usahanya Tahun I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia terutama dalam pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto). Distribusi PDB menurut sektor ekonomi atau

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN TATANIAGA BERAS VARIETAS PANDAN WANGI DAN VARIETAS UNGGUL BARU

ANALISIS PENDAPATAN DAN TATANIAGA BERAS VARIETAS PANDAN WANGI DAN VARIETAS UNGGUL BARU Jurnal AgribiSains ISSN 2442-5982 Volume 1 Nomor 2, Desember 2015 27 ANALISIS PENDAPATAN DAN TATANIAGA BERAS VARIETAS PANDAN WANGI DAN VARIETAS UNGGUL BARU (Kasus Kelompok Tani Nanggeleng Jaya Desa Songgom

Lebih terperinci

HUBUNGAN SALURAN TATANIAGA DENGAN EFISIENSI TATANIAGA CABAI MERAH

HUBUNGAN SALURAN TATANIAGA DENGAN EFISIENSI TATANIAGA CABAI MERAH HUBUNGAN SALURAN TATANIAGA DENGAN EFISIENSI TATANIAGA CABAI MERAH (Capsicum annuum SP.) (Kasus : Desa Beganding, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo) Masyuliana*), Kelin Tarigan **) dan Salmiah **)

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Gapoktan Bunga Wortel Desa Citeko, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penetuan lokasi penelitian

Lebih terperinci

AGRISTA : Vol. 3 No. 2 Juni 2015 : Hal ISSN ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN KEDELAI DI KABUPATEN GROBOGAN

AGRISTA : Vol. 3 No. 2 Juni 2015 : Hal ISSN ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN KEDELAI DI KABUPATEN GROBOGAN AGRISTA : Vol. 3 No. 2 Juni 2015 : Hal.63-70 ISSN 2302-1713 ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN KEDELAI DI KABUPATEN GROBOGAN Cindy Dwi Hartitianingtias, Joko Sutrisno, Setyowati Program Studi Agribisnis Fakultas

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN Sektor pertanian terdiri dari beberapa sub sektor, yaitu tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan, dimana keempat sub sektor tersebut mempunyai peranan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis 2.2. Sistem Tataniaga dan Efisiensi Tataniaga

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis 2.2. Sistem Tataniaga dan Efisiensi Tataniaga II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis Kubis juga disebut kol dibeberapa daerah. Kubis merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan pada sektor agribisnis yang dapat memberikan sumbangan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kabupaten Brebes merupakan daerah sentra produksi bawang merah di Indonesia, baik dalam hal luas tanam, luas panen, produksi dan produktivitas per

Lebih terperinci

Yoyo Sunaryo Nitiwidjaja Fakultas Pertanian Unswagati Cirebon. Kata Kunci : Faktor Internal dan Eksternal, Kelompok Tani, dan Produksi Bawang merah

Yoyo Sunaryo Nitiwidjaja Fakultas Pertanian Unswagati Cirebon. Kata Kunci : Faktor Internal dan Eksternal, Kelompok Tani, dan Produksi Bawang merah HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL KELOMPOK TANI DALAM PENGELOLAAN KERUAHAN PRODUKSI BAWANG MERAH Yoyo Sunaryo Nitiwidjaja Fakultas Pertanian Unswagati Cirebon ABSTRAK Faktor internal kemampuan kelompok

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Hortikultura merupakan salah satu sektor pertanian unggulan yang memiliki beberapa peranan penting yaitu dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, peningkatan pendapatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. komoditas pertanian tersebut karena belum berjalan secara efisien. Suatu sistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. komoditas pertanian tersebut karena belum berjalan secara efisien. Suatu sistem II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teoritis Secara umum sistem pemasaran komoditas pertanian termasuk hortikultura masih menjadi bagian yang lemah dari aliran komoditas. Masih lemahnya pemasaran komoditas

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN TALAS (Kasus di Desa Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh SRI WIDIYANTI A

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN TALAS (Kasus di Desa Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh SRI WIDIYANTI A ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN TALAS (Kasus di Desa Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh SRI WIDIYANTI A14105608 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

SISTEM PEMASARAN DAN NILAI TAMBAH PRODUK OLAHAN STROBERI DI DESA ALAMENDAH, KECAMATAN RANCABALI, KABUPATEN BANDUNG AYURI NUR ASHARI

SISTEM PEMASARAN DAN NILAI TAMBAH PRODUK OLAHAN STROBERI DI DESA ALAMENDAH, KECAMATAN RANCABALI, KABUPATEN BANDUNG AYURI NUR ASHARI SISTEM PEMASARAN DAN NILAI TAMBAH PRODUK OLAHAN STROBERI DI DESA ALAMENDAH, KECAMATAN RANCABALI, KABUPATEN BANDUNG AYURI NUR ASHARI DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS PEMASARAN NENAS PALEMBANG (KASUS: DESA PAYA BESAR, KECAMATAN PAYARAMAN, KABUPATEN OGAN ILIR, PROVINSI SUMATERA SELATAN)

ANALISIS PEMASARAN NENAS PALEMBANG (KASUS: DESA PAYA BESAR, KECAMATAN PAYARAMAN, KABUPATEN OGAN ILIR, PROVINSI SUMATERA SELATAN) Analisis Pemasaran Nenas Palembang ANALISIS PEMASARAN NENAS PALEMBANG (KASUS: DESA PAYA BESAR, KECAMATAN PAYARAMAN, KABUPATEN OGAN ILIR, PROVINSI SUMATERA SELATAN) Herawati 1) dan Amzul Rifin 2) 1,2) Departemen

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Sistem Tataniaga Tataniaga adalah suatu kegiatan dalam mengalirkan produk dari produsen (petani) sampai ke konsumen akhir. Tataniaga erat

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis berisi tentang konsep-konsep teori yang dipergunakan atau berhubungan dengan penelitian yang akan dilaksanakan. Berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Persentase Produk Domestik Bruto Pertanian (%) * 2009** Lapangan Usaha

I. PENDAHULUAN. Persentase Produk Domestik Bruto Pertanian (%) * 2009** Lapangan Usaha I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber pertumbuhan ekonomi yang sangat potensial dalam pembangunan sektor pertanian adalah hortikultura. Seperti yang tersaji pada Tabel 1, dimana hortikultura yang termasuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Usahatani dan Pemasaran Kembang Kol

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Usahatani dan Pemasaran Kembang Kol II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Usahatani dan Pemasaran Kembang Kol Karo (2010) melakukan penelitian mengenai analisis usahatani dan pemasaran kembang kol di Kelompok Tani Suka Tani, Desa Tugu Utara,

Lebih terperinci

ANALISIS TATANIAGA TELUR AYAM KAMPUNG (Studi Kasus: Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) SKRIPSI BETTY SAFITRI H

ANALISIS TATANIAGA TELUR AYAM KAMPUNG (Studi Kasus: Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) SKRIPSI BETTY SAFITRI H ANALISIS TATANIAGA TELUR AYAM KAMPUNG (Studi Kasus: Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) SKRIPSI BETTY SAFITRI H34076035 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan rangkaian teori-teori yang digunakan dalam penelitian untuk menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang digunakan

Lebih terperinci

VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR

VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR 7.1. Analisis Struktur Pasar Struktur pasar nenas diketahui dengan melihat jumlah penjual dan pembeli, sifat produk, hambatan masuk dan keluar pasar,

Lebih terperinci

KAJIAN SISTEM PEMASARAN KEDELAI DI KECAMATAN BERBAK KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR HILY SILVIA ED1B012004

KAJIAN SISTEM PEMASARAN KEDELAI DI KECAMATAN BERBAK KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR HILY SILVIA ED1B012004 KAJIAN SISTEM PEMASARAN KEDELAI DI KECAMATAN BERBAK KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR HILY SILVIA ED1B012004 SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Tataniaga Tataniaga atau pemasaran memiliki banyak definisi. Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2006) istilah tataniaga dan pemasaran

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini

III. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini 33 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini menggunakan metode sensus. Pengertian sensus dalam penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB.

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB. I. PENDAHULUAN 1.1. Latarbelakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan penting dalam meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor pertanian adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam pembangunan nasional. Hal ini didasarkan pada kesadaran bahwa negara Indonesia adalah negara agraris yang harus melibatkan

Lebih terperinci

Elvira Avianty, Atikah Nurhayati, dan Asep Agus Handaka Suryana Universitas Padjadjaran

Elvira Avianty, Atikah Nurhayati, dan Asep Agus Handaka Suryana Universitas Padjadjaran ANALISIS PEMASARAN IKAN NEON TETRA (Paracheirodon innesi) STUDI KASUS DI KELOMPOK PEMBUDIDAYA IKAN CURUG JAYA II (KECAMATAN BOJONGSARI, KOTA DEPOK JAWA BARAT) Elvira Avianty, Atikah Nurhayati, dan Asep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor di bidang ekonomi yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor di bidang ekonomi yang memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor di bidang ekonomi yang memiliki arti dan kedudukan penting dalam pembangunan nasional. Sektor ini berperan sebagai sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor Pertanian memegang peranan penting dalam struktur perekonomian Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang berperan dalam pembentukan

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. terhadap barang dan jasa sehingga dapat berpindah dari tangan produsen ke

KERANGKA PEMIKIRAN. terhadap barang dan jasa sehingga dapat berpindah dari tangan produsen ke III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual 3.1.1. Konsep Pemasaran Definisi tentang pemasaran telah banyak dikemukakan oleh para ahli ekonomi, pada hakekatnya bahwa pemasaran merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS TATANIAGA BERAS

ANALISIS TATANIAGA BERAS VI ANALISIS TATANIAGA BERAS Tataniaga beras yang ada di Indonesia melibatkan beberapa lembaga tataniaga yang saling berhubungan. Berdasarkan hasil pengamatan, lembagalembaga tataniaga yang ditemui di lokasi

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN UBI KAYU DI PROVINSI LAMPUNG. (Analysis of Marketing Efficiency of Cassava in Lampung Province)

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN UBI KAYU DI PROVINSI LAMPUNG. (Analysis of Marketing Efficiency of Cassava in Lampung Province) ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN UBI KAYU DI PROVINSI LAMPUNG (Analysis of Marketing Efficiency of Cassava in Lampung Province) Nuni Anggraini, Ali Ibrahim Hasyim, Suriaty Situmorang Program Studi Agribisnis,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Tanaman bawang merah diyakini berasal dari daerah Asia Tengah, yakni sekitar Bangladesh, India, dan Pakistan. Bawang merah dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan penting bagi perekonomian Negara Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia menggantungkan kehidupan mereka pada sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bruto (PDB) Indonesia, dan berperan penting dalam perekonomian nasional

BAB I PENDAHULUAN. Bruto (PDB) Indonesia, dan berperan penting dalam perekonomian nasional 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang memberikan kontribusi strategis dalam menyumbang nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (b) Mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

I. PENDAHULUAN. (b) Mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara tradisional Indonesia adalah negara agraris yang banyak bergantung pada aktivitas dan hasil pertanian, dapat diartikan juga sebagai negara yang mengandalkan sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun (Milyar rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun (Milyar rupiah) 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Sektor pertanian adalah salah satu

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN ANGGREK POTONG Vanda douglas DI DESA RAWAKALONG, KECAMATAN GUNUNG SINDUR, KABUPATEN BOGOR RESTI YANUAR AKHIR

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN ANGGREK POTONG Vanda douglas DI DESA RAWAKALONG, KECAMATAN GUNUNG SINDUR, KABUPATEN BOGOR RESTI YANUAR AKHIR ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN ANGGREK POTONG Vanda douglas DI DESA RAWAKALONG, KECAMATAN GUNUNG SINDUR, KABUPATEN BOGOR RESTI YANUAR AKHIR DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Pasar Definisi yang tertua dan paling sederhana bahwa pasar adalah sebagai suatu lokasi secara fisik dimana terjadi jual beli atau suatu

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik 2009

I PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik 2009 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat strategis dalam pembangunan perekonomian negara Indonesia. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar penduduk Indonesia yaitu sekitar

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Subsektor hortikultura merupakan bagian dari sektor pertanian yang mempunyai peran penting dalam menunjang peningkatan perekonomian nasional dewasa ini. Subsektor ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN *

I. PENDAHULUAN * I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pengembangan hortikultura yang ditetapkan oleh pemerintah diarahkan untuk pelestarian lingkungan; penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan; peningkatan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Tataniaga Pada perekonomian saat ini, hubungan produsen dan konsumen dalam melakukan proses tataniaga jarang sekali berinteraksi secara

Lebih terperinci

ANALISIS SISTEM TATANIAGA MENTIMUN DI DESA LALADON, KECAMATAN CIOMAS, KABUPATEN BOGOR BACHTIYAR ARIF IBRAHIM

ANALISIS SISTEM TATANIAGA MENTIMUN DI DESA LALADON, KECAMATAN CIOMAS, KABUPATEN BOGOR BACHTIYAR ARIF IBRAHIM ANALISIS SISTEM TATANIAGA MENTIMUN DI DESA LALADON, KECAMATAN CIOMAS, KABUPATEN BOGOR BACHTIYAR ARIF IBRAHIM DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANEJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Pemilihan lokasi tersebut sebagai lokasi penelitian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Di Indonesia, dikenal cukup banyak ragam varietas belimbing. Diantaranya varietas Sembiring, Siwalan, Dewi, Demak kapur, Demak kunir,

Lebih terperinci

Saluran dan Marjin Pemasaran cabai merah (Capsicum annum L)

Saluran dan Marjin Pemasaran cabai merah (Capsicum annum L) Saluran dan Marjin Pemasaran cabai merah (Capsicum annum L) Benidzar M. Andrie 105009041 Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi BenizarMA@yahoo.co.id Tedi Hartoyo, Ir., MSc.,

Lebih terperinci

ANALISIS MARKETING BILL KOMODTI CABAI MERAH DI KOTA MEDAN. Staff Pengajar Program Studi Agribisnis Fakultas PertanianUniversitas Sumatera Utara

ANALISIS MARKETING BILL KOMODTI CABAI MERAH DI KOTA MEDAN. Staff Pengajar Program Studi Agribisnis Fakultas PertanianUniversitas Sumatera Utara ANALISIS MARKETING BILL KOMODTI CABAI MERAH DI KOTA MEDAN Arini Pebristya Duha *), HM Mozart B Darus **), Luhut Sihombing **) *) Alumni Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Lebih terperinci

ANALISIS PEMASARAN JERUK SIAM DI KECAMATAN KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI, PROVINSI BALI NI PUTU DINDA WIED NATACHA PUTRI

ANALISIS PEMASARAN JERUK SIAM DI KECAMATAN KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI, PROVINSI BALI NI PUTU DINDA WIED NATACHA PUTRI ANALISIS PEMASARAN JERUK SIAM DI KECAMATAN KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI, PROVINSI BALI NI PUTU DINDA WIED NATACHA PUTRI DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BELIMBING DEWA DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK JAWA BARAT OLEH : SARI NALURITA A

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BELIMBING DEWA DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK JAWA BARAT OLEH : SARI NALURITA A ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BELIMBING DEWA DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK JAWA BARAT OLEH : SARI NALURITA A 14105605 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Penelitian ini menggunakan teori sistem pemasaran dengan mengkaji saluran pemasaran, fungsi pemasaran, struktur pasar, perilaku pasar, marjin pemasaran,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. untuk mengelola faktor-faktor produksi alam, tenaga kerja, dan modal yang

III. METODE PENELITIAN. untuk mengelola faktor-faktor produksi alam, tenaga kerja, dan modal yang 46 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Subsektor hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang memberikan kontribusi strategis dalam menyumbang nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan berperan

Lebih terperinci

USAHATANI DAN TATANIAGA KACANG KAPRI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG, CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT. Oleh: DAVID ERICK HASIAN A

USAHATANI DAN TATANIAGA KACANG KAPRI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG, CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT. Oleh: DAVID ERICK HASIAN A USAHATANI DAN TATANIAGA KACANG KAPRI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG, CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT Oleh: DAVID ERICK HASIAN A 14105524 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret April 2012 di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Pemilihan

Lebih terperinci

81 Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009) 1 & 2

81 Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009) 1 & 2 81 Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009) ANALISIS SISTEM TATANIAGA BERAS PANDAN WANGI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG, KABUPATEN CIANJUR PROVINSI JAWA BARAT Eva Yolynda Aviny

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi masyarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat (Sugiarti, 2003).

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Pendapatan dan Biaya Usahatani. keuntungan yang diperoleh dengan mengurangi biaya yang dikeluarkan selama

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Pendapatan dan Biaya Usahatani. keuntungan yang diperoleh dengan mengurangi biaya yang dikeluarkan selama BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Konsep Pendapatan dan Biaya Usahatani Soeharjo dan Patong (1973), mengemukakan definisi dari pendapatan adalah keuntungan yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

ANALISIS PEMASARAN BAWANG MERAH DI DESA OLOBOJU KECAMATAN SIGI BIROMARU KABUPATEN SIGI

ANALISIS PEMASARAN BAWANG MERAH DI DESA OLOBOJU KECAMATAN SIGI BIROMARU KABUPATEN SIGI ej. Agrotekbis 4 (1) :75 83, Februari 2016 ISSN : 23383011 ANALISIS PEMASARAN BAWANG MERAH DI DESA OLOBOJU KECAMATAN SIGI BIROMARU KABUPATEN SIGI Marketing Analysis of Shallot In Oloboju Village Sigi Biromaru

Lebih terperinci

ANALISIS PEMASARAN JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus) DI KOTA PEKANBARU

ANALISIS PEMASARAN JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus) DI KOTA PEKANBARU ANALISIS PEMASARAN JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus) DI KOTA PEKANBARU MARKETING ANALYSIS OF WHITE OYSTER MUSHROOM (Pleurotus ostreatus) IN PEKANBARU CITY Wan Azmiliana 1), Ermi Tety 2), Yusmini

Lebih terperinci

ANALISIS TATANIAGA UBI JALAR DI DESA PURWASARI KECAMATAN DRAMAGA KABUPATEN BOGOR. JAWA BARAT

ANALISIS TATANIAGA UBI JALAR DI DESA PURWASARI KECAMATAN DRAMAGA KABUPATEN BOGOR. JAWA BARAT ANALISIS TATANIAGA UBI JALAR DI DESA PURWASARI KECAMATAN DRAMAGA KABUPATEN BOGOR. JAWA BARAT Hariry Anwar*, Acep Muhib**, Elpawati *** ABSTRAK Tujuan penelitian menganalisis saluran tataniaga ubi jalar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komoditas hortikultura merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki nilai ekonomi tinggi serta mempunyai potensi besar untuk dikembangkan sebagai usaha di bidang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara agraris memiliki hasil pertanian yang sangat berlimpah. Pertanian merupakan sektor ekonomi yang memiliki posisi penting di Indonesia. Data Product

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pertanian diartikan sebagai rangkaian berbagai upaya untuk meningkatkan pendapatan petani, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan, memantapkan

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PEMASARAN KAYU SENGON GERGAJIAN (Studi Kasus di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor)

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PEMASARAN KAYU SENGON GERGAJIAN (Studi Kasus di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor) ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PEMASARAN KAYU SENGON GERGAJIAN (Studi Kasus di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor) Skripsi AHMAD MUNAWAR H 34066007 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

RANTAI NILAI BERAS IR64 DI KECAMATAN WANAREJA KABUPATEN CILACAP

RANTAI NILAI BERAS IR64 DI KECAMATAN WANAREJA KABUPATEN CILACAP AGRITECH : Vol. XIX No. 2 Desember 2017 : 121-129 ISSN : 1411-1063 RANTAI NILAI BERAS IR64 DI KECAMATAN WANAREJA KABUPATEN CILACAP Mahfud Hidayat, Pujiharto, Sulistyani Budiningsih Program Studi Agribisnis

Lebih terperinci

ANALISIS MARGIN PEMASARAN DAGING AYAM RAS PETELUR AFKIR DI PASAR TRADISIONAL KABUPATEN DAIRI

ANALISIS MARGIN PEMASARAN DAGING AYAM RAS PETELUR AFKIR DI PASAR TRADISIONAL KABUPATEN DAIRI ANALISIS MARGIN PEMASARAN DAGING AYAM RAS PETELUR AFKIR DI PASAR TRADISIONAL KABUPATEN DAIRI SKRIPSI Oleh: NOVRIANTO GINTING 120306033 PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. Melinjo (Gnetum gnemon, L.) termasuk tumbuhan berbiji terbuka

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. Melinjo (Gnetum gnemon, L.) termasuk tumbuhan berbiji terbuka II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjuan Pustaka 1. Tanaman Melinjo Melinjo (Gnetum gnemon, L.) termasuk tumbuhan berbiji terbuka (Gymnospermae), dengan tanda-tanda : bijinya tidak terbungkus daging tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data strategis Kabupaten Semarang tahun 2013, produk sayuran yang

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data strategis Kabupaten Semarang tahun 2013, produk sayuran yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Semarang memiliki potensi yang besar dari sektor pertanian untuk komoditas sayuran. Keadaan topografi daerah yang berbukit dan bergunung membuat Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka Sawi adalah sekelompok tumbuhan dari marga Brassica yang dimanfaatkan daun atau bunganya sebagai bahan pangan (sayuran),

Lebih terperinci

Sosio Ekonomika Bisnis Vol 18. (2) 2015 ISSN Tinur Sulastri Situmorang¹, Zulkifli Alamsyah² dan Saidin Nainggolan²

Sosio Ekonomika Bisnis Vol 18. (2) 2015 ISSN Tinur Sulastri Situmorang¹, Zulkifli Alamsyah² dan Saidin Nainggolan² ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN SAWI MANIS DENGAN PENDEKATAN STRUCTURE, CONDUCT, AND PERFORMANCE (SCP) DI KECAMATAN JAMBI SELATAN KOTA JAMBI Tinur Sulastri Situmorang¹, Zulkifli Alamsyah² dan Saidin Nainggolan²

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura yang dibutuhkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2008) 1 komoditi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Agribisnis menurut Arsyad dalam Firdaus (2008:7) adalah suatu kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Agribisnis menurut Arsyad dalam Firdaus (2008:7) adalah suatu kesatuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Agribisnis menurut Arsyad dalam Firdaus (2008:7) adalah suatu kesatuan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Produksi Tanaman Sayuran di Indonesia Tahun Produksi (Ton)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Produksi Tanaman Sayuran di Indonesia Tahun Produksi (Ton) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wortel merupakan salah satu tanaman sayuran yang digemari masyarakat. Komoditas ini terkenal karena rasanya yang manis dan aromanya yang khas 1. Selain itu wortel juga

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2004). Penelitian ini menggunakan

III. METODE PENELITIAN. tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2004). Penelitian ini menggunakan III. METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah suatu cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2004). Penelitian ini menggunakan metode penelitian survai. Penelitian

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Pengambilan Responden

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Pengambilan Responden IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Di sektor produksi barang-barang dan jasa dihasilkan sedangkan di sektor

TINJAUAN PUSTAKA. Di sektor produksi barang-barang dan jasa dihasilkan sedangkan di sektor TINJAUAN PUSTAKA Saluran dan Lembaga Tataniaga Di sektor produksi barang-barang dan jasa dihasilkan sedangkan di sektor konsumsi barang-barang dan jasa dikonsumsi oleh para konsumen. Jarak antara kedua

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BUNGA MAWAR POTONG DI DESA KERTAWANGI, KECAMATAN CISARUA, KABUPATEN BANDUNG BARAT. Abstrak

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BUNGA MAWAR POTONG DI DESA KERTAWANGI, KECAMATAN CISARUA, KABUPATEN BANDUNG BARAT. Abstrak DI DESA KERTAWANGI, KECAMATAN CISARUA, KABUPATEN BANDUNG BARAT Armenia Ridhawardani 1, Pandi Pardian 2 *, Gema Wibawa Mukti 2 1 Alumni Prodi Agribisnis Universitas Padjadjaran 2 Dosen Dept. Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI SALURAN PEMASARAN IKAN LELE DI DESA RASAU JAYA 1 KECAMATAN RASAU JAYA KABUPATEN KUBU RAYA

ANALISIS EFISIENSI SALURAN PEMASARAN IKAN LELE DI DESA RASAU JAYA 1 KECAMATAN RASAU JAYA KABUPATEN KUBU RAYA Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, Volume 1, Nomor 3, Desember 2012, hlm 29-36 ANALISIS EFISIENSI SALURAN PEMASARAN IKAN LELE DI DESA RASAU JAYA 1 KECAMATAN RASAU JAYA KABUPATEN KUBU RAYA Dani Apriono 1),

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor,

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor, 26 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini dilakukan dengan pertimbangan

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN HARGA CABAI MERAH KERITING

PEMBENTUKAN HARGA CABAI MERAH KERITING PEMBENTUKAN HARGA CABAI MERAH KERITING (Capsicum annum L) DENGAN ANALISIS HARGA KOMODITAS DI SENTRA PRODUKSI DAN PASAR INDUK (Suatu Kasus pada Sentra produksi Cabai Merah Keriting di Kecamatan Cikajang,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Komoditas Bawang Merah

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Komoditas Bawang Merah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditas Bawang Merah Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang merupakan anggota Allium yang paling banyak diusahakan dan memiliki nilai ekonomis

Lebih terperinci