V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Keunggulan Komparatif Wilayah (LQ) Suatu wilayah dikatakan memiliki keunggulan komparatif jika wilayah tersebut memiliki komoditas dengan luas areal dan produksi yang tinggi jika dibandingkan dengan wilayah lain yang dinilai pada satu titik tahun. Berdasarkan hasil analisis LQ yang dihitung terhadap Propinsi Jawa Timur sebagai wilayah induk, Kabupaten Pacitan memiliki keunggulan komparatif pada komoditas kelapa baik pada produksi maupun luas arealnya. Hal ini dapat dilihat pada hasil perhitungan LQ berdasarkan luas areal pertanaman maupun produksi yang memberikan hasil angka-angka indeks lebih besar dari satu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kelapa merupakan sektor basis dalam perekonomian wilayah Kabupaten Pacitan. Jawa Timur sebagai wilayah induk Kabupaten Pacitan, termasuk 10 besar daerah penghasil kelapa di Indonesia. Sentra pertanaman kelapa pada Perkebunan Rakyat di Jawa Timur seluas 284,865 Ha terbagi atas Kabupaten Sumenep 44,408 Ha, Banyuwangi 25,356 Ha, Pacitan 24,113 Ha, Blitar 18,211 Ha, Trenggalek 14,690 Ha, Tulungagung 14,663 Ha, Malang 13,780 Ha, Jember 12,260 Ha, Tuban 10,383 Ha, dan sisanya menyebar di 26 Kabupaten/kota lainnya (Disbun Jatim, 2007) Hasil analisis LQ yang dilakukan dalam bentuk time-series/ trend dari tahun , yang dihitung terhadap Propinsi Jawa Timur sebagai wilayah induk, dapat terlihat bahwa terjadi kenaikan LQ untuk komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan. Hasil analisis LQ komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan berdasarkan produksi, yang dihitung terhadap Propinsi Jawa Timur sebagai wilayah induk, disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Hasil Analisis LQ Berdasarkan Produksi yang Dihitung Terhadap Propinsi Jawa Timur Sebagai Wilayah Induk dari Tahun Tahun Xij (total produksi kelapa di Kab Pacitan Xi (total produksi seluruh komoditas perkebunan di Kab Pacitan X.j (total produksi kelapa di Jawa Timur) X..(total produksi seluruh komoditas perkebunan di Jatim) (Ton) (Ton) (Ton) (Ton) ,948 42, ,647 1,333, ,978 42, ,682 1,437, LQij Kelapa untuk Kabupaten Pacitan Berdasarkan Produksi 77

2 ,120 42, , ,558 44, ,927 1,521, Sedangkan hasil analisis LQ komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan berdasarkan luas area pertanaman, yang dihitung terhadap Propinsi Jawa Timur sebagai wilayah induk, dari tahun disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Hasil Analisis LQ Berdasarkan Luas Area yang Dihitung Terhadap Propinsi Jawa Timur Sebagai Wilayah Induk dari Tahun Tahun Xij (total luas area kelapa di Kab Pacitan Xi (total luas area seluruh komoditas perkebunan di Kab Pacitan X.j (total luas area kelapa di Jawa Timur) X..(total luas area seluruh komoditas perkebunan di Jatim) LQij Kelapa untuk Kabupaten Pacitan Berdasarkan Luas Area (ha) (ha) (ha) (ha) ,340 39, ,558 40, ,714 40, ,027 41, Hasil analisis LQ yang menggambarkan keunggulan komparatif beberapa komoditas tanaman perkebunan di seluruh kecamatan di Kabupaten Pacitan disajikan pada Tabel 17. Dalam analisis LQ beberapa komoditas perkebunan di kecamatan-kecamatan Kabupaten Pacitan tersebut, digunakan indikator produksi berdasarkan jumlahnya menurut wilayah kecamatan. Keunggulan komparatif suatu komoditas daerah adalah bahwa komoditas itu lebih unggul secara relatif dengan komoditas lain di daerahnya. Pengertian unggul dalam hal ini adalah dalam bentuk perbandingan. Komoditas yang memiliki keunggulan, lebih menguntungkan untuk dikembangkan dibanding dengan komoditas lain yang sama-sama diproduksi oleh daerah tersebut. Pada Tabel 17 menunjukkan bahwa komoditas kelapa memiliki keunggulan komparatif dan sekaligus menjadi sektor basis di Kecamatan Pacitan, Kecamatan Arjosari, Kecamatan Kebonagung, Kecamatan Punung, Kecamatan Donorojo, Kecamatan Pringkuku dan Kecamatan Tulakan. Total ada 7 (tujuh) kecamatan yang sektor basisnya adalah kelapa. Komoditas cengkeh memiliki keunggulan komparatif dan menjadi sektor basis di Kecamatan Arjosari, Kecamatan Tegalombo, Kecamatan Bandar, 78

3 Kecamatan Nawangan, Kecamatan Sudimoro, dan Kecamatan Ngadirojo. Komoditas melinjo memiliki keunggulan komparatif dan menjadi sektor basis di Kecamatan Arjosari, Kecamatan Tegalombo, Kecamatan Kebonagung, Kecamatan Punung, Kecamatan Donorojo, Kecamatan Pringkuku, dan Kecamatan Tulakan. Komoditas kopi memiliki keunggulan komparatif dan menjadi sektor basis di Kecamatan Arjosari, Kecamatan Tegalombo, Kecamatan Bandar, dan Kecamatan Nawangan. Komoditas tanaman obat, dalam istilah lokal disebut empon-empon, yang terdiri dari jahe, kunyit, laos, temulawak, dan kencur, memiliki keunggulan komparatif dan menjadi sektor basis di Kecamatan Tegalombo, Kecamatan Bandar, Kecamatan Nawangan dan Kecamatan Ngadirojo. Sedangkan komoditas panili memiliki keunggulan komparatif dan menjadi sektor basis di Kecamatan Bandar, Kecamatan Nawangan dan Kecamatan Sudimoro. Tabel 17. Hasil Analisis LQ Beberapa Komoditas Perkebunan Berdasarkan Produksi di Seluruh Kecamatan Kabupaten Pacitan Tahun 2006 No Kecamatan Kelapa Cengkeh Melinjo Kopi Tanaman Panili obat (Emponempon) 1 Pacitan Arjosari Tegalombo Bandar Nawangan Sudimoro Kebonagung Punung Donorojo Pringkuku Ngadirojo Tulakan Tabel 17 juga menunjukkan bahwa komoditas kelapa, cengkeh, melinjo dan kopi tersebar merata di seluruh kecamatan. Dengan fakta ini dapat dinyatakan bahwa komoditas kelapa, cengkeh, melinjo dan kopi memiliki karakteristik yang mampu menarik sejumlah pendapatan dari luar daerah kepada 79

4 masyarakat melalui kegiatan ekspor dan jasa, sehingga mampu memberikan peningkatan perputaran dan nilai siklus konsumsi yang akhirnya akan memperbaiki perekonomian daerah. Sedangkan komoditas tanaman obat (jahe, temulawak, laos, kunyit, kencur) dan panili hanya tersebar di beberapa kecamatan. Pengetahuan akan keunggulan komparatif suatu daerah dapat digunakan para penentu kebijakan untuk mendorong perubahan struktur perekonomian daerah ke arah komoditas yang mengandung keunggulan komparatif. Apabila komoditas yang memiliki keunggulan komparatif bagi suatu daerah telah diketahui lebih dahulu, pembangunan berbasis komoditas dapat disegerakan tanpa menunggu tekanan mekanisme pasar yang sering berjalan lambat. Keunggulan komparatif dapat dijadikan pertanda awal bahwa komoditas itu punya prospek untuk juga memiliki keunggulan kompetitif. Tabel 18. Nilai LQ Komoditas Kelapa Pada Setiap Kecamatan di Kabupaten Pacitan dari Tahun No Kecamatan Tahun Tahun Tahun Tahun Pacitan Arjosari Tegalombo Bandar Nawangan Sudimoro Kebonagung Punung Donorojo Pringkuku Ngadirojo Tulakan Meskipun saat ini kelapa merupakan komoditas yang memiliki keunggulan komparatif, namun ada kemungkinan hal itu tidak berlangsung terus menerus. Keunggulan komparatif bersifat sangat dinamis, artinya keunggulan komparatif tersebut dapat berubah atau diubah, dan tentu saja dapat pula dikembangkan. Faktor-faktor yang bisa membuat suatu daerah memiliki keunggulan komparatif dapat berupa kondisi alam, yaitu sesuatu yang sudah 80

5 given, dan dapat juga karena usaha-usaha manusia. Oleh karena itu semua komponen atau faktor yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi keunggulan komparatif komoditas kelapa harus selalu dijaga dan ditingkatkan. Nilai LQ komoditas kelapa pada setiap kecamatan di Kabupaten Pacitan dari tahun yang disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 menunjukkan bahwa tanaman kelapa merupakan sektor basis dan memiliki keunggulan komparatif yang cenderung bertahan pada Kecamatan Punung, Kecamatan Donorojo, Kecamatan Pringkuku, dan Kecamatan Pacitan. Pada Kecamatan Arjosari sejak tahun 2005, kelapa mulai menjadi sektor basis dan memiliki keunggulan komparatif dibanding komoditas perkebunan lainnya. Sedangkan pada Kecamatan Kebonagung dan Kecamatan Sudimoro, nilai LQ mengalami penurunan, yang berarti sifat keunggulan komparatif kelapa di kedua kecamatan tersebut mengalami penurunan. 5.2 Analisis Keunggulan Kompetitif Wilayah (Shift Share) Dalam pengembangan ekonomi lokal, selain potensi keunggulan komparatif maka perlu diketahui pula keunggulan kompetitif. Untuk memahami pergeseran struktur komoditas kelapa atau sub sektor perkebunan serta menghitung seberapa besar share sub sektor perkebunan atau aktifitas komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan dibandingkan dengan wilayah Propinsi Jawa Timur dalam dua titik waktu, digunakan analisis Shift-Share. Dengan memahami struktur aktifitas komoditas kelapa dari hasil analisis Shift-Share dapat juga menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan secara dinamis, terutama dalam hubungannya dengan pertumbuhan wilayah. Suatu wilayah dikatakan memiliki keunggulan kompetitif jika dalam kurun waktu yang dianalisis, wilayah tersebut mengalami pergeseran yang positif (meningkat) untuk luas areal dan produksi suatu komoditas, yang dapat dibandingkan dengan wilayah lain. Hasil analisis Shift-Share komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan yang dihitung terhadap Propinsi Jawa Timur sebagai wilayah induknya pada dua titik tahun yaitu tahun 2003 dan tahun 2006 seperti yang disajikan pada Tabel 19, menunjukkan bahwa secara agregat sektor perkebunan di Kabupaten Pacitan masih memberikan kontribusi pertumbuhan produksi sebesar persen pada tingkat wilayah Propinsi Jawa Timur. Namun sebaliknya komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan bila dihitung terhadap Propinsi Jawa Timur sebagai wilayah 81

6 induknya, mengalami pertumbuhan produksi yang lamban selama kurun waktu tahun 2003 dan tahun 2006 ( ). Meskipun demikian komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan masih memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan dengan kabupaten lain pada tingkat wilayah Propinsi Jawa Timur. Hal ini ditunjukkan dengan nilai pergeseran yang positif (meningkat) untuk jumlah produksi komoditas kelapa (0.1903). Tabel 19. Hasil Analisis Shift Share Komoditas Kelapa di Kab Pacitan terhadap Propinsi Jawa Timur Pada Dua Titik Tahun (2003 dan 2006). X ij (jumlah produksi kelapa di Kab Pacitan pada tahun 2006) Xij (jumlah produksi kelapa di Kab Pacitan pada tahun 2003) X.j (jumlah produksi kelapa di Jawa Timur pada tahun 2006) X.j (jumlah produksi kelapa di Jawa Timur pada tahun 2003) X.. (juml produksi total komoditas perkebunan di Jawa Timur pada tahun 2006) X.. (juml produksi total komoditas perkebunan di Jawa Timur pada tahun 2003) (Ton) (Ton) (Ton) (Ton) (Ton) (Ton) 29,558 27, , ,647 1,521,613 1,333,800 RASS PSS DSS Total Shift-Share Pada tingkatan Kabupaten Pacitan dengan 12 (dua belas) kecamatan yang berada dalam wilayahnya, hasil perhitungan analisis shift share berdasarkan jumlah produksi pada dua titik waktu yaitu tahun 2003 dan tahun 2006, dijabarkan sebagai berikut : 1. Komponen share, yaitu besarnya perubahan secara agregat sektor perkebunan di Kabupaten Pacitan, yang diperoleh nilai komponen share sebesar , artinya di Kabupaten Pacitan terjadi perubahan perekonomian khususnya dalam sektor perkebunan yang meningkat sebesar 4.34 persen. 2. Komponen proportional shift share, menggambarkan perubahan relatif atau pergeseran komoditas guna mengetahui konsentrasi produksi masing masing jenis komoditas tanaman perkebunan. Nilai proportional shift share komoditas perkebunan di Kabupaten Pacitan tersebut disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Nilai Proportional Shift Share Komoditas Perkebunan di Kabupaten Pacitan (Tahun 2003 dan 2006). 82

7 Komoditas Nilai Proportional Shift Share Kelapa Cengkeh Melinjo Kopi Tanaman obat (empon-empon) Panili Sumber : Diolah dari data Dishutbun Kabupaten Pacitan (2003 dan 2006) Dari Tabel 20 diketahui bahwa komoditas yang relatif maju atau mengalami pertumbuhan sepanjang tahun adalah komoditas kelapa, komoditas tanaman obat (empon-empon) yakni laos, kunyit, kencur, temulawak, jahe, serta komoditas panili. Sedangkan komoditas yang mengalami penurunan atau pertumbuhan yang lambat adalah komoditas cengkeh, komoditas kopi, dan komoditas melinjo. Komoditas yang paling banyak bergeser dalam hal ini mengalami penurunan adalah cengkeh, yaitu terjadi penurunan sebesar 22.5 persen. Sedangkan komoditas yang paling banyak bergeser mengalami pertumbuhan adalah komoditas tanaman obat (laos, kunyit, kencur, temulawak, jahe), yaitu terjadi peningkatan sebesar 16.2 persen. 3. Komponen differential shift share, yaitu rasio produksi setiap komoditas dari komoditas perkebunan di setiap kecamatan di Kabupaten Pacitan pada tahun akhir dan tahun awal, untuk mengetahui komoditas-komoditas yang relatif maju atau lambat di setiap kecamatan di Kabupaten Pacitan ataupun kecamatan-kecamatan yang relatif maju atau lambat pada setiap komoditas. Nilai differential shift share komoditas perkebunan per kecamatan di Kabupaten Pacitan tersebut disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Nilai Differential Shift Komoditas Perkebunan per Kecamatan di Kabupaten Pacitan (Tahun 2003 dan 2006) Kecamatan Kelapa Cengkeh Melinjo Kopi Tanaman Panili Obat Pacitan Arjosari Tegalombo Bandar - 0,

8 Nawangan Sudimoro Kebonagung Punung Donorojo Pringkuku Ngadirojo Tulakan Sumber : Diolah dari Data Dishutbun Kab Pacitan (Tahun 2003 dan 2006) Dari Tabel 21 dapat diinterpretasikan bahwa komoditas kelapa mengalami peningkatan atau relatif maju pertumbuhannya di Kecamatan Punung, Donorojo, Pringkuku dan Ngadirojo. Sedangkan di Kecamatan Pacitan, Arjosari, Tegalombo, Bandar, Nawangan, Sudimoro, Kebonagung serta Tulakan, komoditas kelapa mengalami penurunan atau pertumbuhan yang lambat. Berdasarkan hasil analisis shift share, dapat memberikan gambaran komoditas yang mengalami pergeseran pada masing-masing kecamatan seperti tersaji dalam Tabel 22. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa komoditas kelapa mengalami peningkatan di hampir semua kecamatan, kecuali di Kecamatan Kebonagung, Kecamatan Pacitan dan Kecamatan Tulakan. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa komoditas kelapa mempunyai keunggulan kompetitif di Kecamatan Arjosari, Tegalombo, Bandar, Nawangan, Sudimoro, Punung, Donorojo, Pringkuku, serta Kecamatan Ngadirojo. Tabel 22. Pergeseran Komoditas Pada Masing-masing Kecamatan di Kabupaten Pacitan dari Tahun No Kecamatan Penurunan Komoditas yang Bergeser Peningkatan 1 Pacitan Kelapa, Cengkeh, Melinjo, - Kopi, Tanaman Obat. (Ket : Panili tidak diproduksi) 2 Arjosari Cengkeh. Kelapa, Melinjo, Kopi, Tanaman Obat. (Ket : Panili tidak diproduksi) 3 Tegalombo Cengkeh, Panili Kelapa, Melinjo, Kopi, Tanaman Obat 4 Bandar Cengkeh, Panili Kelapa, Melinjo, Kopi, Tanaman Obat 5 Nawangan Cengkeh Kelapa, Melinjo, Kopi, Tanaman Obat, Panili 6 Sudimoro - Kelapa, Cengkeh, Melinjo, Kopi, Tanaman Obat, Panili 7 Kebonagung Kelapa, Cengkeh, Melinjo, Panili Kopi, Tanaman Obat 84

9 8 Punung Cengkeh, Kopi Kelapa, Melinjo (Ket : Tanaman Obat dan Panili tidak diproduksi) 9 Donorojo Cengkeh, Kopi Kelapa, Melinjo (Ket : Tanaman Obat dan Panili tidak diproduksi) 10 Pringkuku Cengkeh, Melinjo, Kopi Kelapa (Ket : Tanaman Obat dan Panili tidak diproduksi) 11 Ngadirojo Melinjo, Kopi, Tanaman Obat Kelapa, Cengkeh, Panili 12 Tulakan Kelapa, Cengkeh Melinjo, Kopi, Tanaman Obat, Panili. Dari analisis Location Quotient (LQ) dan analisis Shift Share yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Pacitan memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif pada komoditas kelapa dibandingkan dengan kabupaten lain pada tingkatan wilayah Propinsi Jawa Timur. Adapun kecamatan-kecamatan di Kabupaten Pacitan yang memberikan kontribusi terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif pada komoditas kelapa adalah Kecamatan Arjosari, Kecamatan Donorojo, Kecamatan Punung, Kecamatan Pringkuku. Tabel 23 menyajikan keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas perkebunan di masing-masing kecamatan di Kabupaten Pacitan. Tabel 23. Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Komoditas Perkebunan di Kabupaten Pacitan (Tahun ) No Kecamatan Keunggulan (Komoditas Perkebunan) Komparatif Kompetitif 1 Pacitan Kelapa - 2 Arjosari Kelapa, Cengkeh, Melinjo, Kopi Kelapa, Melinjo, Kopi, Tanaman Obat 3 Tegalombo Cengkeh, Melinjo, Kopi, Tanaman Obat Kelapa, Melinjo, Kopi, Tanaman Obat 4 Bandar Cengkeh, Kopi, Tanaman Obat, Panili Kelapa, Melinjo, Kopi, Tanaman Obat 5 Nawangan Cengkeh, Kopi, Tanaman Obat, Panili Kelapa, Melinjo, Kopi, Tanaman Obat, Panili 6 Sudimoro Cengkeh, Panili Kelapa, Cengkeh, Melinjo, Kopi, Tanaman Obat, Panili 7 Kebonagung Kelapa, Melinjo Kopi, Tanaman Obat 8 Punung Kelapa, Melinjo Kelapa, Melinjo 9 Donorojo Kelapa, Melinjo Kelapa, Melinjo 85

10 10 Pringkuku Kelapa, Melinjo Kelapa 11 Ngadirojo Cengkeh, Tanaman Obat Kelapa, Cengkeh, Panili 12 Tulakan Kelapa, Melinjo Melinjo, Kopi, Tanaman Obat, Panili Kombinasi hasil analisis LQ dan Shift Share menunjukkan bahwa komoditas kelapa yang memiliki keunggulan komparatif di Kecamatan Pacitan, Kecamatan Kebonagung dan Kecamatan Tulakan, ternyata menjadi komoditas yang tidak kompetitif. Komoditas kelapa di ketiga kecamatan tersebut mengalami penurunan atau pertumbuhan yang lambat, dan ketiga kecamatan tersebut tidak memberikan kontribusi terbesar (keunggulan kompetitif) terhadap pertumbuhan komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan. Suatu wilayah memiliki keunggulan komparatif, salah satu faktornya adalah pemberian alam. Kondisi alam Kecamatan Pacitan, Kecamatan Kebonagung dan Kecamatan Tulakan memiliki keunggulan untuk menghasilkan komoditas kelapa. Tetapi pemberian alam ini bila tidak disertai dengan upaya manusia untuk terus menjaga dan memelihara, maka keunggulan ini tidak akan bertahan. Hal ini kemungkinan disebabkan nilai ekonomis kelapa yang mulai merosot, sehingga menyebabkan turunnya gairah petani dalam memelihara kebun, yang pada akhirnya kebun menjadi terlantar dan rusak. Untuk itu diperlukan upaya-upaya peningkatan produktivitas tanaman kelapa dengan terus memperbaiki pemeliharaan tanaman, pemberantasan hama dan penyakit, regenerasi tanaman, penyediaan bibit unggul serta teknik budidaya. 5.3 Analisis Kelayakan Finansial Kelapa dijuluki pohon kehidupan, karena setiap bagian tanaman dapat dimanfaatkan seperti berikut: (1) sabut: coir fiber, keset, sapu, matras, bahan pembuat spring bed; (2) tempurung: charcoal, carbon aktif dan kerajinan tangan; (3)daging buah: VCO, minyak kelapa, coconut cream, santan, kelapa parutan kering (desiccated coconut); (4) air kelapa: cuka, Nata de Coco; (5) batang kelapa: bahan bangunan untuk kerangka atau atap; (6) daun kelapa: lidi untuk sapu, barang anyaman (daun kelapa muda atau janur untuk dekorasi pesta pernikahan); (7) nira kelapa: gula merah (kelapa). Tetapi selama ini di Kabupaten Pacitan keragaman produk olahan kelapa yang dihasilkan masih terbatas, baik dalam jumlah maupun jenis. 86

11 Penganekaragaman produk-produk olahan kelapa merupakan upaya dalam meningkatkan nilai ekonomi kelapa sehingga dapat lebih memberikan kesejahteraan bagi petani. Dengan pengolahan kelapa secara terpadu akan dihasilkan beberapa produk, yang diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah kelapa. Pada umumnya hasil produk olahan kelapa berasal dari dua sumber yaitu yang berbasis buah dan yang berbasis bunga. Berdasarkan output derivasi dari tanaman kelapa baik yang berbasis buah maupun yang berbasis bunga, diharapkan dapat dikembangkan suatu bentuk klaster industri kelapa di Kabupaten Pacitan. Gambar 9 menunjukkan output derivasi tanaman kelapa yang berbasis buah maupun bunga yang dapat dikembangkan dalam bentuk klaster industri kelapa di Kabupaten Pacitan. VCO Daging buah Minyak kelapa Berbasis Buah Sabut Serat sabut Coco peat Produk Olahan Kelapa Tempurung Arang tempurung Air kelapa Nata de Coco Berbasis Bunga Nira Gula merah atau Gula kelapa Gambar 9. Output Derivasi Produk Olahan Kelapa Salah satu ouput derivasi tanaman kelapa berbasis bunga yang mempunyai nilai ekonomis adalah produk gula merah atau gula kelapa. Bagian penting bunga kelapa yang bernilai ekonomis itu adalah mayang. Mayang merupakan bunga kelapa yang belum terbuka, sedangkan bila telah mekar atau pecah disebut manggar. Nira kelapa adalah eksudat (cairan yang keluar) dari mayang pohon kelapa. Gula merah atau gula kelapa dibuat dari nira yang 87

12 diperoleh dari hasil penyadapan mayang kelapa, kemudian dimasak dan dicetak sesuai kebutuhan. Perolehan nira dari pohon kelapa dilakukan dengan cara menderes atau melukai mayang. Bila diasumsikan tanaman kelapa di Kabupaten Pacitan mampu menghasilkan nira sebanyak 30.9 liter per mayang, dan dalam satu pohon kelapa dapat menghasilkan 14 mayang per tahun, maka akan diperoleh nira sebanyak liter per pohon per tahun (Hamzah dan Jatnika, 1990 dalam Siahaan, 1992). Mayang yang telah dideres atau dilukai untuk diambil niranya sampai habis, tidak akan menghasilkan buah. Dalam hal ini terdapat kemungkinan untuk memperoleh nira dan buah dari mayang yang sama, sehingga harus dipilih salah satu dari kedua kemungkinan tersebut, nira atau kelapa, untuk mendapatkan nilai ekonomis yang optimal. Bila mayang dibiarkan sampai pecah atau mekar, sehingga serbuk sari dari bungan jantan mampu menyerbuki bunga betina maka akan dihasilkan buah kelapa dengan masa tunggu bulan agar buah siap dipanen. Secara umum buah kelapa terdiri dari empat komponen, dengan komposisi yaitu 35 persen sabut, 12 persen tempurung, 28 persen daging buah dan 25 persen air kelapa (Samosir, 1991). Dari keempat komponen tersebut, masing-masing dapat dihasilkan produk turunan yang bernilai ekonomis. Hasil pengukuran berat satu butir buah kelapa dalam yang ada di lokasi penelitian adalah seberat 2.2 kg. Produk turunan berbasis buah yang bernilai ekonomi yang bisa dikembangkan di Kabupaten Pacitan adalah virgin coconut oil (VCO). VCO atau minyak kelapa murni merupakan salah satu produk diversifikasi dari daging buah kelapa, yang dimanfaatkan sebagai bahan suplemen kesehatan dan bahan baku farmasi serta kosmetik. VCO diproses dari buah kelapa tua yang masih segar dan baru dipetik. Buah kelapa itu terlebih dahulu dikupas sabut, tempurung dan kulit arinya. Daging buah kelapa diparut, kemudian diperas hingga diperoleh santan kental. Santan ini kemudian diproses menjadi VCO. Hasil sampingan dalam proses pembuatan VCO berupa santan kental atau blondo (dalam istilah Pacitan) dapat terus diolah dengan dimasak hingga dihasilkan minyak goreng berkualitas tinggi. Sementara itu kulit ari dapat diproses lagi untuk dijadikan minyak goreng kualitas kedua, sedangkan ampas kelapanya dapat digunakan sebagai pakan ternak. Sabut kelapa adalah limbah dari proses pengolahan daging buah, dan merupakan bagian yang terbesar dari buah kelapa, yaitu sekitar 35 persen dari 88

13 bobot buah. Di Kabupaten Pacitan potensi sabut kelapa belum dimanfaatkan untuk kegiatan produktif yang dapat meningkatkan nilai tambah. Alternatif produk pengolahan sabut kelapa adalah serat sabut atau Coco Fiber, yang merupakan hasil dari proses pemisahan serat dari bagian kulit buah (epicarp dan mesocarp). Secara tradisionil serat sabut kelapa hanya dimanfaatkan untuk bahan pembuat sapu, keset, tali dan alat-alat rumah tangga lain. Dengan perkembangan teknologi, aspek karakteristik sifat fisika-kimia serat, dan kesadaran konsumen untuk kembali ke bahan alami, membuat serat sabut kelapa dimanfaatkan menjadi bahan baku industri karpet, jok dan dashboard kendaraan, kasur, bantal, dan hardboard. Serat sabut kelapa juga dimanfaatkan untuk pengendalian erosi. Serat sabut kelapa dapat diproses untuk dijadikan Coir Fiber Sheet yang digunakan untuk lapisan kursi mobil, spring bed dan lain-lain. Hasil samping pengolahan serat sabut kelapa berupa butiran-butiran gabus sabut kelapa, dikenal dengan nama Coco Peat. Sifat fisika-kimianya yang dapat menahan kandungan air dan unsur kimia pupuk, serta dapat menetralkan keasaman tanah menjadikan limbah ini mempunyai nilai ekonomi. Coco Peat digunakan sebagai media pertumbuhan tanaman hortikultur dan media tanaman rumah kaca. Hasil samping atau limbah buah kelapa selain sabut adalah air kelapa. Produk turunan yang dihasilkan dari air kelapa adalah nata de coco. Nata de coco merupakan hasil fermentasi air kelapa dengan bantuan mikroba acetobacter xyllium. Nata de coco merupakan salah satu produk olahan air kelapa yang memiliki kandungan serat tinggi dan kandungan kalori rendah sehingga cocok untuk makanan diet dan baik untuk sistim pencernaan serta tidak mengandung kolesterol sehingga mulai poluler di kalangan masyarakat yang memiliki perhatian pada kesehatan. Limbah buah kelapa yang lainnya adalah tempurung kelapa. Bobot tempurung mencapai 12 persen dari bobot buah kelapa. Potensi hasil samping tempurung di Kabupaten Pacitan belum dimanfaatkan sepenuhnya untuk kegiatan produktif yang dapat meningkatkan nilai tambahnya. Salah satu produk yang dibuat dari tempurung kelapa adalah pembuatan arang tempurung, yang pada proses selanjutnya akan dapat diolah menjadi arang aktif. Arang tempurung merupakan bahan baku untuk industri arang aktif. 89

14 Untuk merencanakan pengolahan kelapa secara terpadu dalam bentuk klaster industri, dilakukan analisa kelayakan finansial pada 1 hektar lahan. Di Kabupaten Pacitan, dalam luasan 1 hektar kebun kelapa, kerapatan tanaman adalah sebanyak 200 pohon/ ha. Analisa kelayakan finansial pada perencanaan pengolahan kelapa secara terpadu, dilakukan dengan menggunakan empat skenario. Skenario yang pertama adalah perencanaan usaha pengolahan dengan produk yang berbasis buah saja. Skenario yang kedua adalah perencanaan usaha pengolahan dengan produk yang berbasis bunga atau nira saja. Skenario yang ketiga adalah perencanaan usaha pengolahan dengan produk yang berbasis berbasis buah dan bunga/nira dengan komposisi 30 persen nira dan 70 persen buah. Skenario yang keempat adalah perencanaan usaha pengolahan dengan produk yang berbasis berbasis buah dan bunga/nira dengan komposisi 50 persen nira dan 50 persen buah. Diasumsikan produk turunan yang dihasilkan dari basis buah adalah VCO, minyak kelapa (minyak klentik) sebagai produk sampingan VCO, arang tempurung, serat sabut kelapa (coco fiber) dengan hasil sampingnya gabus sabut kelapa (coco peat), dan nata de coco. Sedangkan produk yang dihasilkan dari basis bunga atau nira adalah gula merah. Hasil analisis finansial usaha pengolahan kelapa terpadu pada 1 hektar kebun kelapa dengan empat skenario tersebut disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Hasil Analisis Kelayakan Finansial Perencanaan Usaha Pengolahan Kelapa Terpadu Pada Satu Hektar Kebun Dengan Empat Skenario. Kategori Jenis Analisis Finansial Perencanaan IRR (%) NPV (Rp/Ha) B/C Kesimpulan Skenario I 18.42% 5,039, Layak Berbasis buah saja Skenario II % 139,210, Layak Berbasis bunga saja Skenario III 40.20% 40,417, Layak Buah 70%, bunga 30% Skenario IV Buah 50%, bunga 50% 53.51% 68,808, Layak Keterangan : Dihitung pada tingkat suku bunga yang berlaku 15 % 90

15 Pada proses penyusunan analisis kelayakan finansial tersebut digunakan beberapa asumsi sebagai dasar perhitungan. Asumsi tersebut diperoleh berdasarkan kajian di daerah penelitian, informasi dari pelaku usaha serta studi pustaka. Asumsi analisis finansial usaha VCO adalah sebagai berikut: teknologi yang digunakan adalah teknologi sederhana dengan proses manual sehingga produk yang dihasilkan masih berupa VCO setengah jadi; dalam 1 hektar lahan terdapat 200 pohon kelapa; 1 pohon kelapa menghasilkan buah 61 butir kelapa per tahun; untuk menghasilkan 1 liter VCO diperlukan 11 butir kelapa; harga 1 butir kelapa Rp 750,-; harga 1 liter VCO setengah jadi (petani produsen) Rp ,-; harga 1 liter minyak kelapa yang merupakan produk sampingan VCO Rp 7,000,-,; tiap 5 liter VCO akan menghasilkan produk samping minyak kelapa sebanyak 3 liter. Limbah dari hasil pengolahan VCO tersebut berupa sabut, tempurung dan air kelapa, yang selanjutnya dapat diolah menjadi coco fiber dan coco peat, arang tempurung dan nata de coco. Asumsi analisis finansial usaha nata de coco adalah sebagai berikut: 1 butir kelapa mengandung air kelapa sebanyak liter; 1.2 liter air kelapa menghasilkan 1 lembar nata de coco; harga jual produsen per lembar nata de coco Rp 1000,-. Asumsi analisis finansial usaha arang tempurung adalah sebagai berikut: 1 butir kelapa menghasilkan tempurung seberat kg; untuk menghasilkan 1 kg arang tempurung dibutuhkan 4 kg tempurung kelapa; harga jual produsen 1 kg arang tempurung Rp 1100,-. Asumsi analisis finansial usaha sabut kelapa adalah sebagai berikut: sabut dari 9 butir buah kelapa akan menghasilkan serat sabut (coco fiber) sebanyak 1 kg dan debu sabut (coco peat) sebanyak 0.4 kg; harga coco fiber Rp 1200/ kg sedangkan harga coco peat Rp 500/ kg. Sedangkan pada usaha gula merah, asumsi analisis finansialnya adalah sebagai berikut: 1 pohon kelapa bila diambil semua niranya akan menghasilkan sebanyak 432 liter per tahun; untuk membuat 1 kg gula merah diperlukan nira sebanyak 5.5 liter; harga 1 liter nira Rp 350,-; harga jual produsen 1 kg gula merah Rp Untuk memproduksi sabut kelapa (coco fiber dan coco peat), VCO, nata de coco, arang tempurung, dan gula merah dibutuhkan input tetap (fixed input) dan input variabel (variabel input). Pemakaian input membawa konsekuensi pada biaya, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Input tetap adalah adalah input yang jumlahnya tidak tergantung dari jumlah output 91

16 yang diproduksi. Dalam bahasa sehari-hari biaya tetap ini sering disebut dengan biaya investasi. Komponen biaya investasi meliputi: biaya perijinan usaha, biaya tanah dan bangunan, mesin dan peralatan, serta kendaraan. Input variabel adalah input yang jumlahnya tergantung dari jumlah output yang diproduksi. Dalam bahasa sehari-hari biaya variabel ini sering disebut biaya operasional. Biaya operasional adalah biaya yang dikeluarkan untuk keperluan upah, bahan baku, bahan pembantu, listrik dan lain-lain yang terkait dengan penggunaan input. Usaha pengolahan kelapa terpadu yang layak dikembangkan di Kabupaten Pacitan adalah usaha dengan IRR > suku bunga yang berlaku, NPV bernilai positif dan B/C > 1. Berdasarkan hasil analisis kelayakan finansial yang tersaji pada Tabel 24, terlihat bahwa dari empat skenario analisis yang dilakukan, semuanya memberikan kriteria layak. Skenario kedua, yaitu perencanaan usaha pengolahan dengan produk yang berbasis bunga atau nira saja, mempunyai nilai yang tertinggi dengan NPV Rp 139,210,205, IRR % dan BC Ratio Tetapi skenario ini tidak tepat bila dilaksanakan, karena pasokan buah kelapa di Kabupaten Pacitan akan habis, bila semua niranya diambil. Selain itu, dalam jangka panjang hal ini justru dapat mematikan keunggulan komparatif komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan. Nilai hasil analisis kelayakan finansial yang tinggi pada skenario kedua, disebabkan karena dalam pengolahan gula merah proses yang digunakan cukup sederhana sehingga tidak diperlukan investasi yang banyak khususnya pada mesin serta nilai jual produk gula merah yang cukup tinggi. Sedangkan pada skenario pertama, yaitu perencanaan usaha pengolahan dengan produk yang berbasis buah saja, walaupun termasuk pada kriteria layak, tetapi mempunyai nilai yang terendah dengan NPV 5,039,719, IRR persen dan BC Ratio Hal ini disebabkan karena pada proses pengolahan produk turunan yang berbasis buah bila menghendaki mutu dan kualitas yang bagus dengan harga yang tinggi maka teknologi yang digunakan mesti standard dan menggunakan mesin modern. Tentu saja ini memerlukan investasi yang cukup tinggi. Selain itu skala ekonomis luasan lahan harus ditingkatkan, dan supplai bahan baku harus dijamin kontinuitasnya, supaya kapasitas produksi mesin terpenuhi. Tingkat keuntungan dan kelayakan usaha semakin baik bila tingkat produksi semakin besar dan mencapai batas maksimum kapasitas mesin. Karena cakupan lahan yang dihitung pada analisis 92

17 ini hanya 1 hektar maka tidak dihitung biaya investasi mesin yang modern, sehingga asumsi produk yang dihasilkan adalah produk setengah jadi atau produk dengan kualitas mutu dan harga yang rendah. Sebagai contoh, untuk menghasilkan VCO yang siap konsumsi dan memenuhi standard sertifikasi BPOM, maka proses produksi yang dilakukan harus memenuhi standard kualifikasi mutu. Produk VCO dengan kualitas demikian mempunyai nilai jual yang sangat tinggi yaitu Rp 100 ribu sampai 120 ribu per liter di tingkat konsumen, sedangkan di tingkat produsen seharga Rp 90 ribu per liter. Adapun VCO setengah jadi yang diproduksi di Pacitan saat ini hanya mempunyai nilai jual sebesar Rp per liter, karena proses produksi yang digunakan belum memenuhi standard. Bila dilihat dari optimalisasi pemanfaatan, maka skenario keempat, yaitu perencanaan usaha pengolahan dengan produk yang berbasis berbasis buah dan bunga/nira dengan komposisi 50 persen nira dan 50 persen buah merupakan pilihan yang terbaik, karena mempunyai nilai NPV Rp 68,808,128, IRR persen dan BC Ratio Analisis Nilai Tambah Nilai tambah yang dimaksud adalah nilai tambah bruto yang diperoleh dari aktivitas industri kelapa. Nilai tambah merupakan selisih antara nilai produksi dengan nilai bahan baku/ bahan penolong yang digunakan untuk memproduksi produk turunan kelapa. Analisis nilai tambah beberapa produk turunan kelapa dihitung berdasarkan satuan bahan baku yang diolah menjadi produk akhir yang siap dijual. Tabel 25 menunjukkan nilai tambah produk turunan kelapa berdasarkan perencanaan usaha yang menggunakan skenario keempat yaitu produk turunan yang berbasis berbasis buah dan bunga dengan komposisi 50 persen bunga dan 50 persen buah. Tabel 25. Hasil Analisis Nilai Tambah Perencanaan Usaha Pengolahan Kelapa Terpadu per ha Dengan Skenario Berbasis Buah 50 persen dan Berbasis Bunga 50 persen. No I Variabel Nilai Gula Merah Nilai Arang Tempurung Nilai Nata de Coco Nilai Sabut Kelapa OUTPUT, INPUT dan HARGA 1 Produk/ ouput (kg) Nilai VCO 93

18 2 Bahan baku (kg) Tenaga kerja (HOK) Faktor konversi (1:2) Koefisien tenaga kerja (3:2) Harga produk rata-rata (Rp/ kg) Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/ HOK) II PENDAPATAN dan KEUNTUNGAN 8 Harga bahan baku (Rp/ kg) Sumbangan input lain (Rp/ kg) Nilai produk/ output (Rp) a. Nilai Tambah (Rp) b. Rasio Nilai Tambah (%) a. Imbalan Tenaga Kerja (Rp) b. Bagian Tenaga Kerja (%) a. Keuntungan (Rp) b. Tingkat keuntungan (%) III BALAS JASA FAKTOR PRODUKSI 14 Marjin keuntungan a. Pendapatan tenaga kerja (%) b. Sumbangan input lain (%) c. Keuntungan pengolah (%) Hasil analisis nilai tambah pada Tabel 25 tersebut menunjukkan bahwa pada usaha gula merah, setiap liter nira yang diolah mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp dengan rasio nilai tambah pada proses pengolahan mencapai 36.6 persen. Dari kegiatan pengolahan tersebut, tenaga kerja memperoleh marjin keuntungan sebesar persen, input lain mendapat marjin keuntungan sebesar persen, sedangkan pengusaha memperoleh marjin keuntungan sebesar persen untuk setiap kilogram produk yang dihasilkan. Pada usaha arang tempurung, setiap kilogram limbah tempurung kelapa yang diolah mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 75 dengan rasio nilai tambah pada proses pengolahan sebesar 27.3 persen. Dari kegiatan pengolahan tersebut, tenaga kerja memperoleh marjin keuntungan sebesar persen, input lain mendapat marjin keuntungan sebesar persen, sedangkan pengusaha memperoleh marjin keuntungan sebesar persen untuk setiap kilogram produk yang dihasilkan. Pada usaha nata de coco, setiap liter limbah air kelapa yang diolah mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 435 dengan rasio nilai tambah pada proses pengolahan sebesar 52.4 persen. Dari kegiatan pengolahan tersebut, tenaga kerja memperoleh marjin keuntungan sebesar persen, input lain mendapat marjin keuntungan sebesar persen, sedangkan pengusaha memperoleh marjin keuntungan sebesar persen. 94

19 Pada usaha serat sabut, setiap kilogram limbah sabut kelapa yang diolah mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 33.4 dengan rasio nilai tambah pada proses pengolahan sebesar 21.1 persen. Dari kegiatan pengolahan tersebut, tenaga kerja memperoleh marjin keuntungan sebesar persen, input lain mendapat marjin keuntungan sebesar 74.9 persen, sedangkan pengusaha memperoleh marjin keuntungan sebesar 6.29 persen. Rendahnya marjin keuntungan yang diperoleh pengusaha disebabkan karena skala ekonomis usaha yang belum memenuhi, investasi mesin dan peralatan yang cukup mahal agar mampu menghasilkan kualitas mutu dan harga yang bagus, serta kuantitas bahan baku yang belum mencukupi agar kapasitas produksi mesin terpenuhi. Pada usaha VCO, setiap butir buah kelapa yang diolah mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 192 dengan rasio nilai tambah pada proses pengolahan sebesar persen. Dari kegiatan tersebut, tenaga kerja memperoleh marjin keuntungan sebesar persen, input lain mendapat marjin keuntungan sebesar persen, sedangkan pengusaha memperoleh marjin keuntungan sebesar persen. Rendahnya nilai tambah pada usaha VCO ini disebabkan karena output yang dihasilkan di Kabupaten Pacitan masih berupa produk setengah jadi dengan harga jual yang sangat murah dan kualitas mutu yang rendah. Proses pengolahan masih dilakukan secara tradisional yang banyak menggunakan tenaga kerja manusia, dengan tingkat keahlian yang masih terbatas. Ditinjau dari karakteristik tenaga kerja diketahui bahwa usaha pengolahan gula merah merupakan jenis usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja yaitu HOK. Usaha gula merah menempati urutan pertama dalam penyerapan tenaga kerja karena merupakan jenis usaha yang mempunyai pangsa pasar yang luas serta tidak membutuhkan proses pengolahan yang rumit. Keuntungan terbesar usaha pengolahan juga didapat dari usaha gula merah. Hal tersebut disebabkan besarnya selisih nilai tambah dengan imbalan terhadap tenaga kerja pada usaha gula merah. Imbalan terhadap tenaga kerja tergantung pada jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam aktivitas usaha untuk mengolah satu liter bahan baku nira menjadi produk gula merah, serta upah per hari yang diberikan pada tenaga kerja usaha gula merah. Apabila nilai tambah produk semakin besar dan faktor imbalan terhadap tenaga kerja makin 95

20 kecil maka keuntungan yang diperoleh makin besar. Peringkat keuntungan masing-masing jenis usaha pengolahan adalah gula merah (166.4), nata de coco (139.5), VCO (57), arang tempurung (45), dan serat sabut kelapa (8.4). Produk gula merah masih merupakan primadona produk turunan kelapa di Kabupaten Pacitan karena pemasarannya yang cukup luas dan telah terbukti menambah kesejahteraan petani. Pekerjaan membuat gula kelapa sebagian besar merupakan usaha sampingan yang dilakukan oleh kaum wanita. Koefisien tenaga kerja menggambarkan efisiensi tenaga kerja dari sebuah industri. Usaha nata de coco merupakan usaha yang memiliki efisiensi tenaga kerja yang paling baik (0.0197), berturut-turut kemudian gula merah (0.012), VCO (0.009), sabut kelapa (0.0025) dan arang tempurung (0.002). Tingginya efisiensi tenaga kerja pada usaha nata de coco disebabkan karena pada jenis usaha ini seorang tenaga kerja mampu mengolah bahan baku dalam jumlah yang besar. Ditinjau dari aspek nilai tambah diketahui bahwa usaha nata de coco mampu menghasilkan nilai tambah paling besar. Nilai tambah yang besar tersebut dihasilkan dari besarnya perbedaan nilai produk dengan harga bahan baku serta bahan penolong. Dalam hal ini harga bahan baku nata de coco relatif murah serta penggunaan bahan penolong yang sedikit sehingga selisih nilai produk dengan harga bahan baku dan bahan penolong menjadi tinggi. Peringkat nilai tambah masing-masing jenis usaha pengolahan berturut-turut adalah nata de coco (435), gula merah (346.4), VCO (192), arang tempurung (75), dan sabut kelapa (33.4). Walaupun secara perhitungan usaha nata de coco cukup mempunyai prospek, tetapi usaha ini masih belum banyak diminati karena jalur pemasarannya yang masih terbatas. Begitu juga dengan arang tempurung, hanya sebagian kecil petani saja yang mengolah arang tempurung untuk dijual, karena mereka lebih cenderung menggunakan sendiri limbah tempurung untuk bahan bakar di dapur. Dalam konteks pengembangan industri indikator yang harus diperhitungkan tidak hanya nilai tambah, imbalan tenaga kerja dan keuntungan saja. Tetapi juga harus dipertimbangkan indikator yang lebih penting yaitu rasio nilai tambah, bagian tenaga kerja dan tingkat keuntungan. Ketiga unsur yang berhubungan linier ini lebih riil menggambarkan kinerja suatu usaha. 96

21 Selain analisis nilai tambah yang dihitung berdasarkan satuan bahan baku yang diolah menjadi produk akhir yang siap dijual dengan metode Hayami, juga akan dilihat nilai ekonomis per butir kelapa apabila diolah menjadi beberapa produk turunan, dibandingkan dengan nilai ekonomis kelapa butiran yang langsung dijual dalam bentuk buah segar. Tabel 26 menggambarkan nilai tambah per butir kelapa dari berbagai produk yang dihasilkan. Tabel 26. Nilai per Butir Kelapa dari Berbagai Produk yang Dihasilkan Jenis produk Komponen buah yang digunakan Kuantitas produk yang dihasilkan (kg) Harga per kg (Rp) Nilai (Rp) Nata de coco Coco fiber (serat sabut kelapa) Coco peat Arang tempurung VCO Minyak kelapa Air kelapa liter Sabut kelapa 0.77 kg Sabut kelapa 0.77 kg Tempurung kg Daging buah kg Daging buah (Hasil samping VCO) TOTAL Tabel 26 memberikan gambaran bahwa upaya peningkatan nilai ekonomi kelapa melalui penganekaragaman produk-produk olahan dengan memanfaatkan hasil samping yang bernilai ekonomi, dapat meningkatkan nilai akhir satu butir kelapa sampai Rp Nilai per butir kelapa apabila hanya dijual langsung dalam bentuk buah segar adalah sebesar Rp 750, dan apabila dilakukan pengolahan kelapa secara terpadu dengan menghasilkan beberapa produk turunan, maka nilai total per butir kelapa mengalami peningkatan sebesar persen. Sebuah mayang pada pohon kelapa bila dideres atau diambil niranya sampai habis, maka tidak akan menghasilkan buah kelapa. Sebuah mayang mampu menghasilkan nira sebanyak 30.9 liter atau setara dengan 5.6 kg gula merah (Hamzah dan Jatmika, 1990 dalam Djamin dan Girsang, 1992). Bila mayang tersebut tidak dideres, tetapi dijadikan buah, maka jumlah buah yang 97

22 dihasilkan sebanyak 10 butir. Diasumsikan harga gula merah Rp 5200/ kg, sedangkan harga kelapa Rp 750/ butir. Sebuah mayang yang menghasilkan 10 butir buah kelapa, mempunyai nilai ekonomis sebesar Rp 7,500. Sedangkan bila mayang tersebut diambil niranya, mempunyai nilai ekonomis sebesar Rp 29,120. Dapat dikatakan nilai ekonomis sebuah mayang mengalami peningkatan sebesar 288 persen bila diolah menjadi gula merah, dibandingkan bila menghasilkan buah kelapa segar. 5.5 Analisis Marjin Pemasaran Gula Merah Pemasaran gula kelapa di Kabupaten Pacitan ada dua alur. Alur pemasaran pertama yaitu petani menjual ke pedagang pengumpul desa (tengkulak), pedagang pengumpul desa menjual pada pedagang besar di Kota Pacitan, dan selanjutnya pedagang besar Pacitan mendistribusikan kepada pedagang pengecer di Kabupaten Ponorogo, Madiun, Trenggalek, Kediri, Surabaya dan ke wilayah-wilayah lain di Pulau Jawa. Alur pemasaran kedua yaitu petani menjual kepada perkumpulan pembuat gula merah yang dirintis dalam bentuk koperasi, selanjutnya wadah koperasi ini melakukan penjualan kepada perusahaan atau industri makanan seperti pabrik kecap. Wadah koperasi ini merupakan hasil pendampingan dari Lembaga Masyarakat Mandiri Dompet Dhuafa. Hasil analisis marjin pemasaran gula merah pada alur pertama, yang disajikan pada Tabel 27 menunjukkan bahwa marjin total pemasaran gula merah adalah sebesar Rp 2300/kg, yang artinya selisih antara harga yang diterima produsen dengan harga yang diterima konsumen sebesar nilai tersebut. Proporsi harga yang diterima petani sebesar persen sedangkan sisanya akan beralih ke pedagang pengumpul sebesar 8 persen, pedagang besar sebesar 5.34 persen dan pedagang pengecer sebesar persen. Produsen atau petani yang menghasilkan gula merah keuntungannya berkurang persen, kali jumlah produk kali harga akhir di tingkat konsumen. Berdasarkan harga yang diterima produsen relatif terhadap harga yang dibayar konsumen, maka semakin tinggi proporsi harga yang diterima produsen, semakin efisien sistem pemasaran tersebut. Sistem pemasaran gula merah pada alur pertama ini masih relatif efisien karena proporsi harga yang diterima produsen masih lebih tinggi daripada yang beralih kepada pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang 98

23 pengecer. Hal ini masih menguntungkan pihak petani atau perajin sebab proporsi resiko yang ditanggung petani mendapat harga lebih tinggi. Karena proporsi harga yang diterima petani dari keseluruhan harga yang terbentuk dalam alur pertama pemasaran gula kelapa ini relatif besar, maka dapat dikatakan position petani sudah kuat terhadap pasar. Tabel 27. Hasil Analisis Marjin Pemasaran Gula Kelapa Pada Alur Pertama No Uraian Nilai Rp/ Kg % 1 Harga Jual Petani a. Bahan baku 1925 b. Tenaga kerja 1000 c. Input lain 250 Total Biaya 3175 Harga Bersih Petani Pedagang Pengumpul Desa a. Harga beli 5200 b. Biaya simpan 50 c. Biaya transportasi 100 d. Biaya pengemasan 50 Total Biaya 200 Harga Jual 5800 Keuntungan Bersih 400 Marjin Pemasaran Pedagang Besar a. Harga beli 5800 b. Biaya simpan 100 c. Biaya transportasi 150 Total Biaya 250 Harga Jual 6200 Keuntungan Bersih 150 Marjin Pemasaran Pedagang Pengecer a. Harga beli 6200 b. Biaya transportasi 200 c. Biaya simpan 100 Total Biaya 300 Harga Jual 7500 Keuntungan Bersih 1000 Marjin Pemasaran Total Marjin Pemasaran 2300 Total Biaya Pemasaran 3925 Total Keuntungan 1550 Hasil analisis marjin pemasaran pada alur kedua, yang disajikan pada Tabel 28 menunjukkan bahwa marjin total pemasaran gula merah adalah sebesar Rp 200/kg, yang artinya selisih antara harga yang diterima produsen dengan harga yang diterima konsumen yaitu pabrik kecap adalah sebesar nilai tersebut. Proporsi harga yang diterima petani sebesar persen sedangkan 99

24 sisanya akan beralih ke Koperasi Ikhtiar Swadaya Mitra (ISM) Gula Merah. Produsen atau petani yang menghasilkan gula merah keuntungannya hanya berkurang 3.45 persen, kali jumlah produk kali harga akhir di tingkat konsumen. Berdasarkan harga yang diterima produsen relatif terhadap harga yang dibayar konsumen, maka sistem pemasaran gula merah pada alur kedua ini sangat efisien karena proporsi harga yang diterima produsen jauh lebih tinggi daripada yang beralih kepada Koperasi ISM Gula Merah. Hal ini sangat menguntungkan pihak petani atau produsen sebab proporsi resiko yang ditanggung petani mendapat harga yang sangat tinggi. Karena proporsi harga yang diterima petani dari keseluruhan harga yang terbentuk dalam alur kedua pemasaran gula kelapa ini sangat besar, maka dapat dikatakan position petani sangat kuat terhadap pasar. Tabel 28. Hasil Analisis Marjin Pemasaran Gula Kelapa Pada Alur Kedua No Uraian Nilai Rp/ Kg % 1 Harga Jual Petani a. Bahan baku 1925 b. Tenaga kerja 1000 c. Input lain 250 d. Pengemasan 50 Total Biaya 3225 Harga Bersih Petani Koperasi ISM Gula Merah a. Harga beli 5600 b. Biaya transportasi 100 Total Biaya 100 Harga Jual (ke Pabrik Kecap) 5800 Keuntungan bersih 100 Marjin Pemasaran Total Marjin Pemasaran 200 Total Biaya Pemasaran 3325 Total Keuntungan Arang Tempurung Usaha kecil pengolahan arang tempurung yang dilakukan di Kabupaten Pacitan masih sangat terbatas. Salah satu unit usaha kecil yang melakukan pengolahan arang tempurung di Kabupaten Pacitan adalah Pesantren Nurul Dholam yang berada di Kecamatan Kebonagung. Proses produksi yang dilakukan masih menggunakan teknologi sederhana yang dibuat sendiri dengan memanfaatkan drum-drum bekas yang dimodifikasi dan peralatan lainnya. Usaha ini menggunakan hasil samping buah kelapa yaitu tempurung kelapa yang 100

25 dikumpulkan dari para petani dan pasar sekitar. Produk arang tempurung yang dihasilkan merupakan bahan baku industri arang aktif atau bahan bakar bagi produk tertentu. Permintaan arang tempurung kelapa tergantung pada aktifitas dan produktifitas industri arang aktif yang berada di Kota Surabaya dan sekitarnya. Peluang permintaan sebenarnya lebih besar apabila arang tempurung tersebut dipasarkan ke berbagai industri arang aktif di Jakarta dan beberapa daerah lainnya. Peluang permintaan ini dapat juga meningkat apabila rumah tangga mempergunakan arang tempurung sebagai bahan bakar sehari-harinya atau beberapa industri kecil makanan seperti berbagai industri keripik, pedagang sate/ikan bakar dan sebagainya, juga mempergunakan arang tempurung ini sebagai bahan bakarnya. Tabel 29. Hasil Analisis Marjin Pemasaran Arang Tempurung No Uraian Nilai Rp/ Kg % 1 Harga Jual Petani a. Bahan baku 400 b. Tenaga kerja 75 c. Input lain 150 d. Pengemasan 50 Total Biaya 675 Harga Bersih Petani Pedagang Pengumpul a. Harga beli 1100 b. Biaya sortasi 100 c. Biaya transportasi 200 d. Biaya penyimpanan 200 Total Biaya 500 Harga Jual 2500 Keuntungan Bersih 900 Marjin Pemasaran Total Marjin Pemasaran 1400 Total Biaya Pemasaran 1175 Total Keuntungan 900 Hasil analisis marjin pemasaran arang tempurung, yang disajikan pada Tabel 29 menunjukkan bahwa marjin total pemasaran arang tempurung adalah sebesar Rp 1400/kg, yang artinya selisih antara harga yang diterima produsen dengan harga yang diterima konsumen adalah sebesar nilai tersebut. Proporsi harga yang diterima petani sebesar 44 persen sedangkan sisanya akan beralih ke pedagang pengumpul sebesar 56 persen. Produsen atau petani yang menghasilkan arang tempurung keuntungannya berkurang 56 persen, kali jumlah 101

26 produk kali harga akhir di tingkat konsumen. Berdasarkan harga yang diterima produsen relatif terhadap harga yang dibayar konsumen, maka semakin tinggi proporsi harga yang diterima produsen, semakin efisien sistem pemasaran tersebut. Sistem pemasaran arang tempurung ini relatif kurang efisien karena proporsi harga yang diterima produsen lebih rendah daripada yang beralih kepada pedagang pengumpul. Hal ini tidak menguntungkan pihak petani atau produsen sebab proporsi resiko yang ditanggung petani tidak mendapat harga yang lebih tinggi. Karena proporsi harga yang diterima petani dari keseluruhan harga yang terbentuk dalam pemasaran arang tempurung ini relatif redah, maka dapat dikatakan position petani masih lemah terhadap pasar Nata de coco Usaha nata de coco di Kabupaten Pacitan masih dilakukan pada skala usaha kecil dan rumah tangga, dengan jumlah yang sangat terbatas. Usaha ini hanya menggunakan teknologi sederhana sehingga dapat dilakukan dalam skala usaha kecil maupun skala usaha rumah tangga. Jenis usaha nata de coco yang ada di Kabupaten Pacitan, hanya usaha yang membuat nata de coco lembaran (mentah) saja. Jenis usahanya pun masih bersifat sporadis artinya usaha tersebut hanya pada waktu-waktu tertentu ketika permintaan lokal meningkat, seperti waktu puasa, lebaran, tahun baru dan lain-lain. Air kelapa sebagai bahan utama nata de coco didapat dari kebun mereka sendiri, dari petani sekitar, dari pasar maupun produsen VCO. Rantai pemasaran nata de coco di Kabupaten Pacitan, dimulai dari produsen (petani) yang menjual nata de coco lembaran (mentah) langsung kepada para pengusaha restoran di tingkat lokal atau para pedagang minuman. Di Kabupaten Pacitan belum ada jenis usaha yang sampai memproduksi nata de coco kemasan (siap saji). Hasil analisis marjin pemasaran nata de coco, yang disajikan pada Tabel 30 menunjukkan bahwa marjin total pemasaran nata de coco adalah sebesar Rp 2500/kg, yang artinya selisih antara harga yang diterima produsen dengan harga yang diterima konsumen adalah sebesar nilai tersebut. Proporsi harga yang diterima petani sebesar persen sedangkan sisanya akan beralih ke pengusaha restoran atau pedagang minuman. Produsen atau petani yang menghasilkan nata de coco keuntungannya berkurang persen, kali jumlah produk kali harga akhir di tingkat konsumen. Berdasarkan harga yang diterima 102

27 produsen relatif terhadap harga yang dibayar konsumen, maka sistem pemasaran nata de coco ini tidak efisien karena proporsi harga yang diterima produsen jauh lebih rendah daripada yang beralih kepada pengusaha restoran atau pedagang minuman. Hal ini tidak menguntungkan pihak petani atau produsen sebab proporsi resiko yang ditanggung petani tidak mendapat harga yang tinggi. Karena proporsi harga yang diterima petani dari keseluruhan harga yang terbentuk dalam alur pemasaran nata de coco ini relatif redah, maka dapat dikatakan position petani sangat lemah terhadap pasar. Pasar nata de coco di Kabupaten Pacitan dapat dikatakan belum berkembang. Sistem penjualan yang diterapkan oleh produsen atau petani masih bersifat tradisional dan lokal. Kebanyakan produsen hanya 'menerima order' dan bukan 'mencari order' atau 'menjemput bola'. Sifat ini yang menyebabkan pengusaha kurang proaktif dan ekspansif seperti mencari pasar di luar daerah atau luar propinsi. Jangkauan pasar nata de coco yang dimasuki oleh pengusaha masih bersifat lokal. Tabel 30. Hasil Analisis Marjin Pemasaran Nata de Coco Lembaran No Uraian Nilai Rp/ Kg % 1 Harga Jual Petani a. Bahan baku 120 b. Tenaga kerja 150 c. Input lain 295 d. Biaya transportasi 100 Total Biaya 665 Harga Bersih Petani Pengusaha Restoran dan Pedagang Minuman a. Harga beli 1000 b. Penyimpanan 300 b. Proses Pengolahan Input lain 1000 Tenaga kerja 500 Total Biaya 1800 Harga Jual 3500 Keuntungan Bersih 700 Marjin Pemasaran Total Marjin Pemasaran 2500 Total Biaya Pemasaran 2465 Total Keuntungan Virgin Coconut Oil (VCO) 103

28 Usaha pembuatan VCO di Kabupaten Pacitan masih dilakukan secara tradisional, tanpa menggunakan mesin dan peralatan yang standard, sehingga produk yang dihasilkan masih berupa VCO setengah jadi. Saat ini usaha pembuatan VCO setengah jadi ini telah banyak dilakukan oleh para petani di sepuluh kecamatan di Kabupaten Pacitan. Rantai pemasaran VCO setengah jadi di Kabupaten Pacitan tergolong pendek, yang dimulai dari petani atau produsen yang menjual kepada pengusaha VCO di Yogyakarta, selanjutnya pengusaha VCO Yogyakarta tersebut mengolah VCO setengah jadi ini menjadi produk yang siap dikonsumsi. Proses pengemasan dan pemberian label produk juga dilakukan oleh pengusaha VCO Yogyakarta ini, yang selanjutnya langsung memasarkan produk VCO kepada konsumen. Tabel 31. Hasil Analisis Marjin Pemasaran Virgin Coconut Oil (VCO) No Uraian Nilai Rp/ liter % 1 Harga Jual Petani a. Bahan baku 8250 b. Tenaga kerja 2500 c. Input lain 150 Total Biaya Harga Bersih Petani Pengusaha VCO Yogya a. Harga beli b. Proses pengolahan c. Biaya packing 3000 d. Biaya labelling 500 e. Biaya simpan 2000 f. Biaya transportasi 1500 Total Biaya Harga Jual Keuntungan Bersih Marjin Pemasaran Pedagang Pengecer a. Harga beli b. Biaya transportasi 2000 c. Biaya simpan 1000 Total Biaya 3000 Harga Jual Keuntungan Bersih 7000 Marjin Pemasaran Total Marjin Pemasaran Total Biaya Pemasaran Total Keuntungan Hasil analisis marjin pemasaran VCO yang disajikan pada Tabel 31 menunjukkan bahwa marjin total pemasaran VCO adalah sebesar Rp 73,000/liter, yang artinya selisih antara harga yang diterima produsen dengan 104

29 harga yang diterima konsumen sebesar nilai tersebut. Proporsi harga yang diterima petani sebesar 14 persen sedangkan sisanya akan beralih ke pengusaha VCO Yogyakarta sebesar 74 persen, dan pedagang pengecer sebesar 12 persen. Produsen atau petani yang menghasilkan VCO keuntungannya berkurang 86 persen, kali jumlah produk kali harga akhir di tingkat konsumen. Berdasarkan harga yang diterima produsen relatif terhadap harga yang dibayar konsumen, sistem pemasaran VCO ini sangat tidak efisien karena proporsi harga yang diterima produsen jauh lebih rendah daripada yang beralih kepada pengusaha Yogyakarta dan pedagang pengecer. Hal ini tentu saja tidak menguntungkan pihak petani sebab proporsi resiko yang ditanggung petani tidak mendapat harga yang tinggi. Karena proporsi harga yang diterima petani dari keseluruhan harga yang terbentuk dalam alur pemasaran VCO ini sangat rendah, maka dapat dikatakan position petani sangat lemah terhadap pasar. Para pelaku usaha VCO di Kabupaten Pacitan masih menggantungkan sepenuhnya pemasaran produknya kepada suatu perusahaan VCO di Yogyakarta. Perusahaan ini mempunyai cabang di Kabupaten Pacitan yang berfungsi menampung hasil produk VCO setengah jadi dari para petani. Pasar VCO di Kabupaten Pacitan dapat dikatakan sebagai pasar monopsoni, dimana hanya terdapat satu pembeli dengan banyak penjual. Ke depan diharapkan dengan adanya dukungan kebijakan dan suntikan modal, proses pengolahan VCO di Kabupaten Pacian dapat menggunakan mesin dan teknologi yang standard sehingga mampu dihasilkan VCO yang memenuhi kualifikasi sertifikasi BPOM RI. Proses pengemasan dan labelisasi produk pun diharapkan dapat dilakukan lansung di Kabupaten Pacitan. Tetapi rencana ini menuntut sikap yang proaktif dari pelaku usaha di Kabupaten Pacitan untuk berekspansi mencari pasar di seluruh wilayah Indonesia bahkan ekspor. Paradigma sikap pelaku usaha yang hanya menerima order harus berganti menjadi sikap siap menjemput bola Serat Sabut Kelapa (Coco Fiber) Usaha serat sabut kelapa belum dilakukan di Kabupaten Pacitan, sehingga belum bisa dilaporkan analisa marjin pemasarannya. Beberapa waktu yang lalu pernah dirintis usaha ini, yang awalnya berwujud kemitraan dengan seorang pengusaha, dimana pengusaha tersebut memberikan fasilitas mesin 105

30 pemisah serat sabut kelapa. Tetapi baru sekali pengiriman penjualan lantas terhenti. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kapasitas mesin sehingga kualitas serat yang dihasilkan masih belum memenuhi persyaratan. Selain itu kendala dan masalah dalam pengembangan usaha kecil industri pengolahan serat sabut kelapa adalah keterbatasan modal, akses terhadap informasi pasar dan pasar yang terbatas. Ditinjau dari sisi pemasaran, usaha kecil serat sabut kelapa secara umum tidak dapat langsung memasarkan produknya kepada eksportir. Hal ini karena persyaratan mutu produk usaha kecil masih belum dapat memenuhi persyaratan mutu yang diinginkan. Selain itu, ketiadaan fasilitas mesin pengepress sabut - menyebabkan biaya transportasi per kg produk untuk dipasarkan langsung ke eksportir menjadi mahal dan tidak layak secara finansial. Ketidaklayakan mesin dan peralatan produksi pada usaha kecil menyebabkan jumlah dan kualitas produk yang dihasilkan tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk ekspor langsung. Pada tingkat pemasaran lokal dan domestik yang terjadi selama ini, kendala yang dihadapi oleh pengusaha kecil adalah lamanya realisasi pembayaran hasil penjualan produk. Kendala ini semakin dirasakan oleh pengusaha kecil karena keterbatasan modal kerja. Secara umum fasilitas produksi utama yang dibutuhkan adalah mesin pengurai dan pemisah serat dari sabut kelapa, fasilitas penjemuran atau mesin pengering, dan alat press serat sabut kelapa dan serbuk gabus sabut kelapa. Proses produksi serat sabut kelapa secara garis besar adalah persiapan bahan, pelunakan sabut, pemisahan serat, sortasi/ pengayakan, pembersihan dan pengeringan, pengepakan. Jenis produk yang dihasilkan dari industri pengolahan serat dapat dikelompokan menjadi dua yaitu : (1) serat sabut kelapa (coco fiber) dan (2) butiran gabus (coco peat). Hambatan yang sering dihadapi pada aspek produksi adalah kinerja mesin produksi dan mesin penggerak. Kinerja mesin yang rendah menyebabkan kualitas produk dari segi panjang dan kebersihan serat yang tidak dapat memenuhi standar kualitas untuk ekspor. Selain panjang dan kebersihan serat, tingkat kekeringan juga merupakan salah satu kriteria kualitas yang tidak dapat dipenuhi oleh usaha kecil, yang disebabkan kendala modal untuk pengadaan mesin pengering. 5.6 Karakteristik Petani dan Produsen Industri Rumah Tangga Produk Kelapa 106

31 Penelitian difokuskan di Kecamatan Kebonagung, pada dua desa yang menjadi wilayah pendampingan Program Masyarakat Mandiri (sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat), yakni Desa Kemantren dan Desa Worawari. Kecamatan Kebonagung terdiri dari 19 desa, merupakan salah satu sentra kelapa di Kabupaten Pacitan. Kecamatan ini luasnya 2,916 Ha, dengan total produksi kelapa 2,572,120 kg dan produktivitas sebesar 1, kg/ha/th. Kebonagung juga merupakan sentra industri rumah tangga berbasis komoditas kelapa yaitu gula merah. Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Pacitan pada tahun menyebutkan, di Kecamatan Kebonagung ada 2,526 unit usaha gula merah yang merupakan industri rumah tangga dan menyerap 5,634 orang tenaga kerja. Mayoritas mata pencaharian masyarakat di Desa Kemantren dan Desa Worawari adalah penyadap nira bagi laki-laki atau suami sedangkan kaum wanita atau istri sebagai pembuat gula merah. Selain itu mereka juga melakukan usaha tani yang lainnya. Distribusi karakteristik responden petani dan produsen gula merah di Kecamatan Kebonagung pada Tahun 2007 yang dikumpulkan dari 90 responden ditampilkan pada Tabel 32. Tabel 32 Distribusi Karakteristik Responden Petani dan Produsen Gula Merah di Kecamatan Kebonagung pada Tahun 2007 No Karakteristik Minimum Maksimum Rataan 1 Umur (tahun) Tingkat Pendidikan Formal SD (72 org) Diploma 2 (2 org) SD 3 Jumlah Tanggungan Keluarga (orang) 4 Luas lahan tegalan (Ha) Status lahan Sewa (20 org) Milik (70 org) Milik 5 Jumlah pohon kelapa yang disadap per hari (batang) Sumber : Data primer (diolah) Rata-rata responden petani kelapa memiliki lahan berupa lahan pekarangan dan tegalan. Luas kepemilikan lahan tegalan berupa lahan kering yang ditanami kelapa rata-rata seluas 1 ha. Pemanfaatan pohon kelapa ini sebagian untuk produksi buah saja yang dijual langsung dalam bentuk butiran, sebagian lagi disadap niranya untuk diolah menjadi gula merah. Walaupun rata- 107

32 rata petani memiliki lahan tegalan dengan kepemilikan pohon kelapa 200 batang/ ha, tetapi kemampuan penyadapan nira per hari pada setiap keluarga petani hanya berkisar 20 batang pohon. Usia rata-rata petani kelapa yang telah mencapai 40 tahun, cukup riskan dalam menjalani aktivitas penyadapan nira bila lebih dari 20 batang per hari, karena pohon kelapa yang disadap cukup tinggi sehingga sangat beresiko mengalami kecelakaan seperti jatuh dari pohon. Dapat dikatakan para responden petani kelapa tersebut belum mengoptimalkan kepemilikan pohon kelapa untuk nilai ekonomis yang dapat meningkatkan kesejahteraannya. Hal ini disebabkan karena faktor keterbatasan tenaga (sumberdaya manusia) yang dapat memanjat kelapa dan menyadap nira. Para pemuda di Desa Kemantren dan Worawari umumnya lebih suka merantau dan mengadu nasib sebagai TKI di luar negeri daripada menjadi petani kelapa. Pekerjaan pembuatan gula merah dianggap sebagai pekerjaan sambilan, namun setelah ditelusuri ternyata penjualan harian gula merah inilah yang paling menopang kebutuhan hidup keluarga petani. Hasil wawancara dengan beberapa warga Desa Kemantren, menunjukkan bahwa rata-rata dalam sehari setiap kepala keluarga mendapatkan penghasilan sekitar Rp ,- dari hasil pembuatan gula merah. Jumlah pendapatan yang diterima tergantung dari kualitas gula merah yang dihasilkan. Sebagian besar warga di Kecamatan Kebonagung menjadikan hasil penjualan gula merah ini sebagai penghasilan tetap yang menopang kebutuhan sehari-hari. Industri rumah tangga pembuatan gula merah maupun produk turunan kelapa lainnya di Desa Kemantren dan Desa Worawari merupakan usaha-usaha mikro yang memiliki ketergantungan kuat kepada para pedagang pengumpul lokal. Produk turunan kelapa yang dihasilkan unit-unit usaha rumah tangga tersebut masih ditujukan untuk pasar-pasar yang tidak terlalu menuntut kualitas. Sebagian besar unit usaha rumah tangga yang ada tidak memiliki keterikatan internal satu sama lain sehingga upaya membangun kepercayaan sulit dilakukan. Sentra industri rumah tangga ini memiliki struktur sosial yang mudah bercerai berai dan masih berkutat pada upaya untuk mempertahankan hidup. Upaya pengembangan industri rumah tangga gula merah maupun produk turunan kelapa lainnya di Desa Kemantren dan Desa Worawari serta di wilayah Kabupaten Pacitan secara umum, masih menghadapi persoalan dasar yaitu kelemahan internal usaha dan pelaku usaha, serta kelemahan eksternal berupa hubungan dengan pelaku-pelaku lain yang terkait dalam usaha tersebut. 108

33 Kelemahan internal industri rumah tangga berbasis produk kelapa secara umum di Kabupaten Pacitan adalah lemahnya kapasitas manajemen dan wirausaha, serta teknis produksi dan infrastruktur. Infrastruktur yang dimaksud meliputi akses terhadap sumber modal, pasar, informasi, teknologi, sarana dan prasarana. Sedangkan kelemahan eksternal terkait dengan pelaku-pelaku dalam lingkup usaha, yang disebut sebagai hubungan usaha hulu hilir. Hubungan usaha tersebut adalah hubungan antara pelaku usaha dengan pelaku-pelaku lain yang ada dalam jalur produksi dan pemasaran. 5.7 Penumbuhan Klaster Kelapa Berbasis Komunitas Penumbuhan klaster merupakan strategi pengembangan wilayah untuk memanfaatkan potensi ekonomi. Wacana penumbuhan klaster kelapa tidak lepas dari strategi tersebut, yang tujuannya untuk mendorong pengembangan sentra industri komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan. Dengan penumbuhan klaster kelapa diharapkan unit-unit usaha yang ada dapat memerankan fungsi yang saling mendukung pengembangan ekonomi di Kabupaten Pacitan. Unit-unit usaha rumah tangga produk turunan kelapa di Kabupaten Pacitan yang terkonsentrasi pada kawasan tertentu dapat dikategorikan sebagai klaster yang terbentuk secara alamiah tanpa intervensi pemerintah. Klaster ini terbentuk oleh kegiatan ekonomi masyarakat secara turun temurun. Ciri ekonomi klaster alamiah komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan adalah skala ekonominya kecil bahkan cenderung mikro, jumlah pekerja per unit usaha maksimum 5 orang yang sebagian besar masih anggota keluarga, serta inovasi produk yang sangat jarang terjadi. Berdasarkan kualitas produksi, teknologi, pasar, kapasitas sumberdaya manusia dan hubungannya dengan pihak-pihak terkait, maka klaster alamiah kelapa berbasis usaha komunitas yang saat ini terdapat di Kabupaten Pacitan masih tergolong klaster yang tidak aktif. Klaster tersebut memiliki ciri-ciri sebagai berikut: produk yang tidak berkembang (cenderung mempertahankan produk yang sudah ada), teknologi tidak berkembang (memakai tekonologi tradisional), pasar lokal (memperebutkan pasar yang sudah ada, tidak termotivasi untuk memperluas pasar sehingga terjadi persaingan pada tingkat harga bukan kualitas) dan tergantung pada pedagang perantara, tingkat ketrampilan statis dan turun temurun, tingkat kepercayaan antar pelaku rendah (kapital sosial rendah), serta informasi pasar sangat terbatas. 109

34 Masyarakat Mandiri (MM) Dompet Dhuafa, adalah lembaga swadaya masyarakat yang menggulirkan program pemberdayaan masyarakat berbasis potensi lokal, dengan model pembiayaan secara berkelompok serta menumbuhkan kelembagaan lokal yang memperkuat posisi tawar komunitas dampingan. Intervensi program MM pada komunitas petani kelapa di Kabupaten Pacitan, diharapkan dapat memberi nilai tambah, serta dapat menghasilkan usaha turunan yang punya daya saing di pasar nasional bahkan global. Pada wilayah dampingan di Kabupaten Pacitan, MM menempatkan dua orang pendamping yang tinggal bersama masyarakat selama program berlangsung. Pendamping menjalankan aktivitas berupa sosialisasi program; studi kelayakan mitra; pendampingan mulai dari pembentukan kelompok, pembiayaan, pelatihan yang berupa pengetahuan praktis keorganisasian, manajemen usaha, maupun manajemen produksi; serta penumbuhan dan penguatan lembaga lokal. Kegiatan pendampingan memberikan landasan pada penguatan kelembagaan lokal sampai pada tahap formalisasi lembaga, pembangunan jaringan pasar dan perintisan klaster industri. Setelah melalui masa sulit, eksistensi komunitas dampingan Program MM di Kabupaten Pacitan mulai mencapai perubahan positif. Dari segi produk, kualitas gula merah yang dihasilkan memperoleh pengakuan dari perusahaan pengguna. Hal ini mengubah citra buruk gula merah Pacitan yang dalam kurun sepuluh tahun sebelumnya dinilai kurang bermutu karena bercampur ampas atau zat penambah bobot lainnya. Perubahan positif ini berhasil dicapai melalui proses pendampingan yang menekankan pada kedisiplin dalam proses produksi. Dari sisi posisi tawar, komunitas dampingan kian melek bisnis. Setelah memperoleh akses informasi harga gula merah di pasaran, mereka tidak lagi pasrah pada harga yang ditetapkan para bakul. Perubahan yang terasa menonjol adalah terbangunnya kepercayaan diantara anggota komunitas usaha, sehingga terjalin keterikatan internal satu sama lain. Selain mengelola produk gula merah, kelembagaan komunitas ini tengah berupaya memproduksi produk-produk turunan berbasis kelapa yang lainnya, antara lain minyak kelapa murni/virgin coconuts oil (VCO), nata de coco, pengolahan sabut kelapa, gula jahe dan gula semut. Pembentukan dan konsolidasi kapital sosial menjadi unsur inti dalam perintisan dan penumbuhan klaster industri kelapa. Kapital sosial klaster sebagai ikatan internal ini akan menjembatani dalam berhubungan dengan pihak 110

35 eksternal. Bentuk yang dipilih oleh kelembagaan komunitas produsen kelapa di Kecamatan Kebonagung Pacitan untuk menumbuhkan klaster, adalah koperasi. Koperasi ini diharapkan dapat menjadi fasilitator pengembangan klaster. Ikatan yang cukup kuat diantara para pelaku usaha memungkinkan untuk dilakukan kegiatan produksi dari hulu hilir. Kelembagaan lokal yang berbadan hukum koperasi ini diharapkan dapat meneruskan keberlanjutan program setelah selesai masa pendampingan dari pihak luar. Dalam rangka kemandirian kelembagaan lokal perlu dilakukan upaya untuk membangun jaringan, membuka akses informasi dan penguatan posisi tawar. Hal ini harus ditopang dengan penguatan kapasitas kelembagaan lokal. Klaster alamiah kelapa berbasis usaha komunitas di Kabupaten Pacitan menghasilkan jenis produk yang homogen dengan segmen pasar yang seragam. Oleh karena itu keseragaman produk maupun pasar diharapkan dapat mendorong unit usaha di dalam klaster untuk membentuk kerja sama horizontal, yang dapat menjamin pasokan produk dan menjaga kepercayaan pasar. 5.8 Sektor Basis dan Pengembangan Klaster Berdasarkan analisis LQ sebagaimana dipaparkan pada sub bab sebelumnya, kelapa merupakan sektor basis dalam perekonomian wilayah di Kabupaten Pacitan. Ada tujuh kecamatan di Kabupaten Pacitan yang memiliki keunggulan komparatif pada komoditas kelapa yaitu Kecamatan Pacitan, Kecamatan Arjosari, Kecamatan Kebonagung, Kecamatan Punung, Kecamatan Donorojo, Kecamatan Pringkuku dan Kecamatan Tulakan. Pada Kecamatan Ngadirojo dan Kecamatan Sudimoro, dilihat dari analisis LQ, kelapa hampir mendekati sebagai sektor basis. Walaupun nilai LQ hampir mendekati satu (LQ < 1), tetapi pada kenyataan di lapangan, kelapa justru menjadi produk yang dominan di kedua kecamatan terletak di pesisir selatan Kabupaten Pacitan tersebut. Aktivitas sektor basis memiliki peranan sebagai penggerak utama (prime mover) dalam pertumbuhan suatu wilayah. Perkembangan komoditas kelapa yang tersebar di hampir seluruh kecamatan dapat mendorong sektor lain turut berkembang sehingga perekonomian daerah Kabupaten Pacitan secara keseluruhan akan tumbuh. 111

36 Wilayah kecamatan-kecamatan di Kabupaten Pacitan yang mempunyai komoditas utama kelapa, sebagaimana telah disebutkan di atas, memiliki kedekatan geografis atau berlokasi di tempat yang saling berdekatan sehingga akan memudahkan pembangunan suatu kawasan industri. Hal ini memungkinkan terjadinya kesatuan sektor industri kelapa, yang mencakup semua kegiatan dari pra produksi sampai pasca produksi. Kedekatan secara geografis antara entitas-entitas yang saling terkait pada industri komoditas kelapa, mendorong penumbuhkembangan klaster industri kelapa di Kabupaten Pacitan. Kedekatan geografis kecamatan-kecamatan penghasil komoditas utama kelapa, yaitu Pacitan, Arjosari, Kebonagung, Punung, Donorojo, Pringkuku, Tulakan, Ngadirojo dan Sudimoro, dapat dilihat posisinya pada peta di Gambar 10. Gambar 10. Peta Kabupaten Pacitan (Sumber: Bappeda Kab Pacitan) Analisa kelayakan finansial pada satu hektar lahan tegalan yang ditanami kelapa dengan kerapatan tanaman sebanyak 200 pohon/ Ha, sebagaimana dipaparkan pada sub bab sebelumnya, menghasilkan kriteria layak. Dengan rata-rata kepemilikan lahan tegalan kelapa seluas 1 Ha, maka penguatan unitunit usaha produk turunan kelapa, yang secara analisis finansial termasuk kriteria 112

NAMA : WIRO FANSURI PUTRA

NAMA : WIRO FANSURI PUTRA Peluang bisnis INDUSTRI SERAT SABUT KELAPA OLEH : NAMA : WIRO FANSURI PUTRA NIM : 11.12.6300 KELAS : 11-S1SI-13 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA Tahun 2011/2012 Industri Serat Sabut Kelapa PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Salah satu kebijakan pembangunan yang dipandang tepat dan strategis dalam rangka pembangunan wilayah di Indonesia sekaligus mengantisipasi dimulainya era perdagangan bebas

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian mengenai strategi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pacitan, maka prioritas strategi yang direkomendasikan untuk mendukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara penghasil kelapa yang utama di dunia. Pada tahun 2000, luas areal

BAB I PENDAHULUAN. negara penghasil kelapa yang utama di dunia. Pada tahun 2000, luas areal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Indonesia sebagai negara kepulauan dan berada di daerah tropis merupakan negara penghasil kelapa yang utama di dunia. Pada tahun 2000, luas areal tanaman

Lebih terperinci

TANAMAN PERKEBUNAN. Kelapa Melinjo Kakao

TANAMAN PERKEBUNAN. Kelapa Melinjo Kakao TANAMAN PERKEBUNAN Kelapa Melinjo Kakao 1. KELAPA Di Sumatera Barat di tanam 3 (tiga) jenis varietas kelapa, yaitu (a) kelapa dalam, (b) kelapa genyah, (c) kelapa hibrida. Masing-masing mempunyai karakteristik

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL Gamal Nasir Direktorat Jenderal Perkebunan PENDAHULUAN Kelapa memiliki peran strategis bagi penduduk Indonesia, karena selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam. secara langsung maupun secara tidak langsung dalam pencapaian tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam. secara langsung maupun secara tidak langsung dalam pencapaian tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional, hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

industri dalam negeri, meningkatkan ekspor, meningkatkan pendapatan petani, Peningkatan pengembangan sektor pertanian menuntut perhatian khusus dari

industri dalam negeri, meningkatkan ekspor, meningkatkan pendapatan petani, Peningkatan pengembangan sektor pertanian menuntut perhatian khusus dari I. A. Latar Belakang dan Masalah Perioritas pembangunan di Indonesia diletakkan pada pembangunan bidang ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian. Pembangunan pertanian diarahkan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam yang tersebar luas di wilayahnya. Negara Indonesia terkenal dengan sebutan negara agraris dan sebagian

Lebih terperinci

AGRIBISNIS KELAPA RAKYAT DI INDONESIA: KENDALA DAN PROSPEK

AGRIBISNIS KELAPA RAKYAT DI INDONESIA: KENDALA DAN PROSPEK AGRIBISNIS KELAPA RAKYAT DI INDONESIA: KENDALA DAN PROSPEK Oleh Aladin Nasution dan Muchjidin Rachmat') Abstrak Pengembangan komoditas kelapa menghadapi kendala besar terutama persaingan dengan sumber

Lebih terperinci

III. METODOLOGI KAJIAN

III. METODOLOGI KAJIAN III. METODOLOGI KAJIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Kabupaten Pacitan merupakan salah satu daerah tertinggal dari delapan kabupaten di Jawa Timur. Daerah tertinggal adalah daerah kabupaten yang masyarakat serta

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS Nama : Anugrah Kurniadi NIM : 10.11.3965 Kelas : S1TI-2F STMIK AMIKOM YOGYAKARTA MENDULANG RUPIAH DARI KELAPA ABSTRAK Peluang usaha dari manfaat kelapa Indonesia merupakan tempat

Lebih terperinci

MENILIK KELAPA & MINYAKNYA UNTUK BERBAGAI PELUANG USAHA

MENILIK KELAPA & MINYAKNYA UNTUK BERBAGAI PELUANG USAHA MENILIK KELAPA & MINYAKNYA UNTUK BERBAGAI PELUANG USAHA (Untuk Memenuhi Tugas Dari Mata Kuliah Lingkungan Bisnis) DISUSUN OLEH: IRFAN FAUZIANSYAH STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011 10.11.4409 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu pendapatan negara adalah perkebunan. Menurut

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu pendapatan negara adalah perkebunan. Menurut 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki andil yang cukup besar dalam ekonomi nasional di Indonesia. Sub sektor pertanian yang selama ini diandalkan oleh pemerintah Indonesia sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui nilai tambah, lapangan kerja dan devisa, tetapi juga mampu

I. PENDAHULUAN. melalui nilai tambah, lapangan kerja dan devisa, tetapi juga mampu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor industri merupakan komponen utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Sektor industri mampu memberikan kontribusi ekonomi yang besar melalui nilai tambah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hampir semua bagian dari tanaman kelapa baik dari batang, daun dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hampir semua bagian dari tanaman kelapa baik dari batang, daun dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa merupakan salah satu tanaman yang terpenting dalam perekonomian Indonesia. Hampir semua bagian dari tanaman kelapa baik dari batang, daun dan buah mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia tidak terlepas dari perekenomian yang berbasis dari sektor

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia tidak terlepas dari perekenomian yang berbasis dari sektor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia tidak terlepas dari perekenomian yang berbasis dari sektor pertanian. Hal ini karena sektor pertanian, masih tetap memegang peranan penting yakni sebagai

Lebih terperinci

MINYAK KELAPA DAN VCO. Putri Anjarsari, S.Si., M.Pd

MINYAK KELAPA DAN VCO. Putri Anjarsari, S.Si., M.Pd MINYAK KELAPA DAN VCO Putri Anjarsari, S.Si., M.Pd putri_anjarsari@uny.ac.id Kelapa Nama Binomial : Cocos nucifera Akar Batang Daun Tangkai anak daun Tandan bunga (mayang) Cairan tandan bunga Buah Sabut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan berbagai dampak yang serius. Dampak yang timbul akibat krisis ekonomi di Indonesia

Lebih terperinci

POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK) INDUSTRI SERAT SABUT KELAPA

POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK) INDUSTRI SERAT SABUT KELAPA POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK) INDUSTRI SERAT SABUT KELAPA BANK INDONESIA Direktorat Kredit, BPR dan UMKM Telepon : (021) 3818043 Fax: (021) 3518951, Email : tbtlkm@bi.go.id DAFTAR ISI 1. Pendahuluan.........

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang berarti negara yang mengandalkan sektor pertanian baik sebagai sumber mata pencaharian maupun sebagai penopang pembangunan.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional meliputi pengertian yang digunakan

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional meliputi pengertian yang digunakan 38 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional meliputi pengertian yang digunakan untuk memperoleh dan menganalisis data yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam menyumbangkan pendapatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam pembangunan perekonomian di Indonesia. Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat Indonesia menggantungkan hidupnya

Lebih terperinci

beragam kegunaan, maka tak heran bahwa tanaman ini dikenal juga sebagai tanaman surga. Bagian daun sampai tulang daunnya bisa dijadikan kerajinan dan

beragam kegunaan, maka tak heran bahwa tanaman ini dikenal juga sebagai tanaman surga. Bagian daun sampai tulang daunnya bisa dijadikan kerajinan dan 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman kelapa merupakan tanaman yang cukup populer di Indonesia. Tanaman ini tumbuh subur di dataran rendah di sepanjang nusantara. Mulai dari ujung barat kepulauan

Lebih terperinci

PENENTUAN PRODUK PROSPEKTIF UNTUK PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI KELAPA SECARA TERINTEGRASI

PENENTUAN PRODUK PROSPEKTIF UNTUK PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI KELAPA SECARA TERINTEGRASI PENENTUAN PRODUK PROSPEKTIF UNTUK PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI KELAPA SECARA TERINTEGRASI Banun Diyah Probowati 1, Yandra Arkeman 2, Djumali Mangunwidjaja 2 1) Prodi Teknologi Industri Pertanian, Fak Pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Utara (BPS Aceh 2012). penduduk. Areal tanaman kelapa di Provinsi Aceh pada tahun 2004 seluas

I. PENDAHULUAN. sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Utara (BPS Aceh 2012). penduduk. Areal tanaman kelapa di Provinsi Aceh pada tahun 2004 seluas I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Aceh terdiri atas 23 Kabupaten dan 8 Kota dengan luas wilayah 56.770,81 km2 terletak antara 2 6 o LU dan 90 98 o BT. Sebelah Utara dan Timur berbatasan dengan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian 36 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian dipilih secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Batang kelapa dapat digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Batang kelapa dapat digunakan untuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan tanaman yang serbaguna karena seluruh bagian dari pohon dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Batang, daging

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa , , ,16

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa , , ,16 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Industrialisasi (agroindustri) dapat menjadi salah satu pilihan strategis dalam menghadapi masalah dalam upaya peningkatan perekonomian masyarakat di pedesaan serta mampu

Lebih terperinci

pengusaha mikro, kecil dan menegah, serta (c) mengkaji manfaat ekonomis dari pengolahan limbah kelapa sawit.

pengusaha mikro, kecil dan menegah, serta (c) mengkaji manfaat ekonomis dari pengolahan limbah kelapa sawit. BOKS LAPORAN PENELITIAN: KAJIAN PELUANG INVESTASI PENGOLAHAN LIMBAH KELAPA SAWIT DALAM UPAYA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH DI PROVINSI JAMBI I. PENDAHULUAN Laju pertumbuhan areal perkebunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Supriatna (Pengamat Industri Kelapa), Indonesia merupakan negara penghasil kelapa terbesar di dunia. Beberapa negara penghasil kopra terbesar di dunia adalah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur 47 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

Proceeding Lokakarya Nasional Pemberdayaan Potensi Keluarga Tani Untuk Pengentasan Kemiskinan, 6-7 Juli 2011

Proceeding Lokakarya Nasional Pemberdayaan Potensi Keluarga Tani Untuk Pengentasan Kemiskinan, 6-7 Juli 2011 STUDI KELAYAKAN PENDIRIAN UNIT PENGOLAHAN GULA SEMUT DENGAN PENGOLAHAN SISTEM REPROSESING PADA SKALA INDUSTRI MENENGAH DI KABUPATEN BLITAR Arie Febrianto M Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sabut Kelapa Sabut kelapa (mesocarm) merupakan bagian yang terbesar dari buah kelapa, yaitu sekitar 35 persen dari bobot buah kelapa. Skema bagian-bagian buah kelapa dapat dilihat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mempunyai kekayaan alam yang salah satunya berupa hasil pertanian yang melimpah. Kekayaan alam dari sektor pertanian ini menjadi salah satu

Lebih terperinci

Boks 2. PENELUSURAN SUMBER PEMBENTUKAN INFLASI DI KOTA JAMBI: SUATU ANALISIS SISI TATA NIAGA DAN KOMODITAS

Boks 2. PENELUSURAN SUMBER PEMBENTUKAN INFLASI DI KOTA JAMBI: SUATU ANALISIS SISI TATA NIAGA DAN KOMODITAS Boks 2. PENELUSURAN SUMBER PEMBENTUKAN INFLASI DI KOTA JAMBI: SUATU ANALISIS SISI TATA NIAGA DAN KOMODITAS Inflasi adalah kecenderungan (trend) atau gerakan naiknya tingkat harga umum yang berlangsung

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. tersebut antara lain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang

I PENDAHULUAN. tersebut antara lain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian memegang peranan penting dalam pembangunan nasional. Peranan tersebut antara lain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang devisa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sentra bisnis yang menggiurkan. Terlebih produk-produk tanaman

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sentra bisnis yang menggiurkan. Terlebih produk-produk tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Permasalahan Tanaman perkebunan merupakan salah satu komoditas yang bisa diandalkan sebagai sentra bisnis yang menggiurkan. Terlebih produk-produk tanaman perkebunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian cukup strategis dalam pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Selama sepuluh tahun terakhir, peranan sektor ini terhadap PDB menujukkan pertumbuhan

Lebih terperinci

VI. ANALISIS NILAI TAMBAH INDUSTRI PENGGERGAJIAN KAYU (IPK)

VI. ANALISIS NILAI TAMBAH INDUSTRI PENGGERGAJIAN KAYU (IPK) VI. ANALISIS NILAI TAMBAH INDUSTRI PENGGERGAJIAN KAYU (IPK) 6.1. Analisis Nilai Tambah Jenis kayu gergajian yang digunakan sebagai bahan baku dalam pengolahan kayu pada industri penggergajian kayu di Kecamatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris, dimana Indonesia ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan yang tersebar di seluruh daerah. Sebagai negara agraris Indonesia juga dikaruniai

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA MESIN PENGAYAK SERAT COCOFIBER Performance Analysis of Sieving Machine for Cocofiber

ANALISIS KINERJA MESIN PENGAYAK SERAT COCOFIBER Performance Analysis of Sieving Machine for Cocofiber ANALISIS KINERJA MESIN PENGAYAK SERAT COCOFIBER Performance Analysis of Sieving Machine for Cocofiber Siswoyo Soekarno 1) *, Hamid Ahmad 1), Muhammad Nasir Afandi 1) 1) Jurusan Teknik Pertanian - Fakultas

Lebih terperinci

C. Program. Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga

C. Program. Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga C. Program PERKREDITAN PERMODALAN FISKAL DAN PERDAGANGAN KEBIJAKAN KETERSEDIAAN TEKNOLOGI PERBAIKAN JALAN DESA KEGIATAN PENDUKUNG PERBAIKAN TATA AIR INFRA STRUKTUR (13.917 ha) Intensifikasi (9900 ha) Non

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian subsektor perkebunan memiliki arti penting, terutama di negara berkembang yang selalu berupaya untuk memanfatkan kekayaan sumber daya alam secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perdagangan antar negara akan menciptakan pasar yang lebih kompetitif dan mendorong pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi. Kondisi sumber daya alam Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas yang mempunyai posisi strategis dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2000 sampai tahun 2005 industri gula berbasis tebu merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (b) Mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

I. PENDAHULUAN. (b) Mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara tradisional Indonesia adalah negara agraris yang banyak bergantung pada aktivitas dan hasil pertanian, dapat diartikan juga sebagai negara yang mengandalkan sektor

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KELAPA. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KELAPA. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KELAPA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan ridho

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan potensial untuk dikembangkan menjadi andalan ekspor. Menurut ICCO (2012) pada tahun 2011, Indonesia merupakan produsen biji

Lebih terperinci

VII. ANALISIS SITUASI USAHA PERKEBUNAN DAN AGROINDUSTRI NENAS DI KABUPATEN SUBANG DAN KARAWANG

VII. ANALISIS SITUASI USAHA PERKEBUNAN DAN AGROINDUSTRI NENAS DI KABUPATEN SUBANG DAN KARAWANG VII. ANALISIS SITUASI USAHA PERKEBUNAN DAN AGROINDUSTRI NENAS DI KABUPATEN SUBANG DAN KARAWANG 1. Lokasi Penelitian Lapang Penelitian lapang dilakukan di Kabupaten Subang, Jawa Barat, khususnya usaha perkebunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara pertanian, artinya bahwa sektor pertanian masih

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara pertanian, artinya bahwa sektor pertanian masih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara pertanian, artinya bahwa sektor pertanian masih memegang peranan yang penting dalam pembangunan perekonomian nasional. Salah satu ciri strategi

Lebih terperinci

CILACAP SURGANYA GULA KELAPA

CILACAP SURGANYA GULA KELAPA CILACAP SURGANYA GULA KELAPA Cilacap merupakan daerah yang memiliki Sumber Daya Alam yang cukup kaya, baik dari sektor kelautannya sampai dengan sektor pertanian. Bahkan dengan kondisi geografisnya Cilacap

Lebih terperinci

IV. TUJUAN DAN SASARAN

IV. TUJUAN DAN SASARAN IV. TUJUAN DAN SASARAN Tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan kelapa ke depan adalah menumbuhkan minat investor untuk menanamkan modalnya di bidang agrisnis kelapa, di hilir, on farm dan di hulu.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Strategi pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis dan agroindustri pada dasarnya menunjukkan arah bahwa pengembangan agribisnis merupakan suatu upaya

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor,

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor, 26 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini dilakukan dengan pertimbangan

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH, KEUNTUNGAN, DAN TITIK IMPAS PENGOLAHAN HASIL RENGGINANG UBI KAYU (RENGGINING) SKALA RUMAH TANGGA DI KOTA BENGKULU

ANALISIS NILAI TAMBAH, KEUNTUNGAN, DAN TITIK IMPAS PENGOLAHAN HASIL RENGGINANG UBI KAYU (RENGGINING) SKALA RUMAH TANGGA DI KOTA BENGKULU ANALISIS NILAI TAMBAH, KEUNTUNGAN, DAN TITIK IMPAS PENGOLAHAN HASIL RENGGINANG UBI KAYU (RENGGINING) SKALA RUMAH TANGGA DI KOTA BENGKULU Andi Ishak, Umi Pudji Astuti dan Bunaiyah Honorita Balai Pengkajian

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. 4.1 Kondisi Geografis dan Persebaran Tanaman Perkebunan Unggulan Provinsi Jambi. Jambi 205,43 0,41% Muaro Jambi 5.

IV. GAMBARAN UMUM. 4.1 Kondisi Geografis dan Persebaran Tanaman Perkebunan Unggulan Provinsi Jambi. Jambi 205,43 0,41% Muaro Jambi 5. IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Kondisi Geografis dan Persebaran Tanaman Perkebunan Unggulan Provinsi Jambi Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0 0 45 sampai 2 0 45 lintang selatan dan antara 101 0 10

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terlebih keuntungan dalam sektor pertanian. Sektor pertanian terutama

BAB I PENDAHULUAN. terlebih keuntungan dalam sektor pertanian. Sektor pertanian terutama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki iklim tropis yang banyak memberikan keuntungan, terlebih keuntungan dalam sektor pertanian. Sektor pertanian terutama hortikultura seperti buah-buahan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta ala dalam Al-Qur an Surat Al-

BAB I PENDAHULUAN. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta ala dalam Al-Qur an Surat Al- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Allah telah memberikan kenikmatan tak terhingga kepada manusia salah satunya adalah tumbuhan yang diciptakan untuk kesejahteraan manusia. Seperti firman Allah Subhanahu

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar merupakan pengertian yang digunakan untuk memperoleh

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar merupakan pengertian yang digunakan untuk memperoleh 22 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar Konsep dasar merupakan pengertian yang digunakan untuk memperoleh dan menganalisis data sehubungan dengan tujuan penelitian. Agroindustri gula aren dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelapa merupakan komoditas penting bagi rakyat Indonesia dan

BAB I PENDAHULUAN. Kelapa merupakan komoditas penting bagi rakyat Indonesia dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kelapa merupakan komoditas penting bagi rakyat Indonesia dan merupakan salah satu sumber devisa negara. Daerah penghasil kelapa di Indonesia antara lain Sulawesi Utara,

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK 6.1 Analisis Keuntungan Sistem Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok Analisis keunggulan komparatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penggunaannya sebagai santan pada masakan sehari-hari, ataupun sebagai

BAB I PENDAHULUAN. penggunaannya sebagai santan pada masakan sehari-hari, ataupun sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa merupakan sumber daya alam negara Indonesia yang sangat potensial. Masyarakat pada umumnya sangat akrab dengan kelapa karena penggunaannya sebagai santan pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencapai 2324,7 juta ton/tahun (Ditjenbun, 2007).

I. PENDAHULUAN. mencapai 2324,7 juta ton/tahun (Ditjenbun, 2007). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia adalah negara yang memiliki luas perkebunan kelapa nomor satu di dunia. Luas kebun kelapa Indonesia 3,712 juta hektar (31,4% luas kebun kelapa dunia)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan pola konsumsi makanan pada masyarakat memberikan dampak positif bagi upaya penganekaragaman pangan. Perkembangan makanan olahan yang berbasis tepung semakin

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. komoditas tanaman pangan pada 21 kecamatan di wilayah Kabupaten

BAB III METODE PENELITIAN. komoditas tanaman pangan pada 21 kecamatan di wilayah Kabupaten BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini berfokus pada komoditas unggulan, keragaman (diversitas), tingkat konsentrasi, dan tingkat spesialisasi komoditas tanaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral

I. PENDAHULUAN. Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral dari sektor pertanian memberikan kontribusi penting pada proses industrialisasi di wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya terencana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya sebagian besar adalah petani. Sektor pertanian adalah salah satu pilar dalam pembangunan nasional Indonesia. Dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN EKONOMI MURUNG RAYA TAHUN

BAB II TINJAUAN EKONOMI MURUNG RAYA TAHUN BAB II TINJAUAN EKONOMI MURUNG RAYA TAHUN 2010-2014 2.1 STRUKTUR EKONOMI Penetapan SDG s Sustainable Development Goals) sebagai kelanjutan dari MDG s Millenium Development Goals) dalam rangka menata arah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging ayam ras (broiler) secara nasional cenderung

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. raksasa mulai dari pengadaan sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida) proses

PENDAHULUAN. raksasa mulai dari pengadaan sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida) proses PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai produsen terbesar di dunia, kelapa Indonesia menjadi ajang bisnis raksasa mulai dari pengadaan sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida) proses produksi, pengolahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka 2. 1. Tinjauan Agronomis Secara umum terdapat dua jenis biji kopi, yaitu Arabika dan Robusta. Sejarah

Lebih terperinci

VII ANALISIS ASPEK FINANSIAL

VII ANALISIS ASPEK FINANSIAL VII ANALISIS ASPEK FINANSIAL Aspek finansial merupakan aspek yang dikaji melalui kondisi finansial suatu usaha dimana kelayakan aspek finansial dilihat dari pengeluaran dan pemasukan usaha tersebut selama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu aktivitas ekonomi dalam agribisnis adalah bisnis peternakan. Agribisnis bidang ini utamanya dilatarbelakangi oleh fakta bahwa kebutuhan masyarakat akan produk-produk

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA EKSPOR 5 KOMODITAS PERKEBUNAN UNGGULAN INDONESIA TAHUN

ANALISIS KINERJA EKSPOR 5 KOMODITAS PERKEBUNAN UNGGULAN INDONESIA TAHUN ANALISIS KINERJA EKSPOR 5 KOMODITAS PERKEBUNAN UNGGULAN INDONESIA TAHUN 2012-2016 Murjoko Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret email: murjoko@outlook.com Abstrak Indonesia merupakan negara yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia dilihat dari aspek kontribusinya terhadap PDB, penyediaan lapangan kerja, penyediaan penganekaragaman menu makanan,

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH AGROINDUSTRI KECAP (Studi Kasus pada Pengusaha Kecap Cap Jago di Desa Cibenda Kecamatan Parigi Kabupaten Pangandaran)

ANALISIS NILAI TAMBAH AGROINDUSTRI KECAP (Studi Kasus pada Pengusaha Kecap Cap Jago di Desa Cibenda Kecamatan Parigi Kabupaten Pangandaran) ANALISIS NILAI TAMBAH AGROINDUSTRI KECAP (Studi Kasus pada Pengusaha Kecap Cap Jago di Desa Cibenda Kecamatan Parigi Kabupaten Pangandaran) Oleh: 1 Nurul Fitry, 2 Dedi Herdiansah, 3 Tito Hardiyanto 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah Indonesia dalam perannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas fungsi-fungsi pelayanannya kepada seluruh lapisan masyarakat diwujudkan dalam bentuk kebijakan

Lebih terperinci

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era otonomi daerah, pembangunan ekonomi menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam daerah maupun faktor eksternal, seperti masalah kesenjangan dan isu

Lebih terperinci

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG 5.1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat 5.1.1. Jawa Timur Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perekonomian pedesaan merupakan perekonomian yang dihasilkan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perekonomian pedesaan merupakan perekonomian yang dihasilkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perekonomian pedesaan merupakan perekonomian yang dihasilkan berdasarkan hasil produksi di daerah pedesaan.hasil produksi tersebut sangat mempengaruhi pendapatan pedesaan.mayoritas

Lebih terperinci

sebagai bahan baku pembuatan minyak kelapa mentah (Cruide Coconut Oil) dan

sebagai bahan baku pembuatan minyak kelapa mentah (Cruide Coconut Oil) dan 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kopra merupakan produk turunan kelapa yang dikeringkan dan digunakan sebagai bahan baku pembuatan minyak kelapa mentah (Cruide Coconut Oil) dan turunannya. Terdapat dua

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Persentase Produk Domestik Bruto Pertanian (%) * 2009** Lapangan Usaha

I. PENDAHULUAN. Persentase Produk Domestik Bruto Pertanian (%) * 2009** Lapangan Usaha I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber pertumbuhan ekonomi yang sangat potensial dalam pembangunan sektor pertanian adalah hortikultura. Seperti yang tersaji pada Tabel 1, dimana hortikultura yang termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman kelapa merupakan salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi apabila dikelola dengan baik.indonesia sendiri merupakan negara penghasil kelapa,

Lebih terperinci

POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK) PENGOLAHAN ARANG TEMPURUNG

POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK) PENGOLAHAN ARANG TEMPURUNG POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK) PENGOLAHAN ARANG TEMPURUNG BANK INDONESIA Direktorat Kredit, BPR dan UMKM Telepon : (021) 3818043 Fax: (021) 3518951, Email : tbtlkm@bi.go.id DAFTAR ISI 1. Pendahuluan.........

Lebih terperinci

USAHA MIKRO GULA MERAH TEBU DI DESA MANGUNREJO KECAMATAN NGADILUWIH DAN DESA CENDONO KECAMATAN KANDAT KABUPATEN KEDIRI

USAHA MIKRO GULA MERAH TEBU DI DESA MANGUNREJO KECAMATAN NGADILUWIH DAN DESA CENDONO KECAMATAN KANDAT KABUPATEN KEDIRI IbM USAHA MIKRO GULA MERAH TEBU DI DESA MANGUNREJO KECAMATAN NGADILUWIH DAN DESA CENDONO KECAMATAN KANDAT KABUPATEN KEDIRI Nining Purnamaningsih1) Djunaidi2) 1Fakultas Ekonomi Universitas Kadiri Niningpurnamingsih@gmail.com)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris memiliki luas lahan dan agroklimat yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai usaha pertanian. Indonesia juga sejak lama dikenal

Lebih terperinci

DATA JUMLAH POHON, POHON PANEN, PRODUKSI,PROVITAS DAN HARGA TANAMAN BUAH-BUAHAN TAHUNAN DI PACITAN TAHUN 2010

DATA JUMLAH POHON, POHON PANEN, PRODUKSI,PROVITAS DAN HARGA TANAMAN BUAH-BUAHAN TAHUNAN DI PACITAN TAHUN 2010 Komoditi : Adpokat 1 Donorojo 517 86 4 0.41 2,000 2 Punung 2,057 427 8 0.19 2,000 3 Pringkuku 49,947 0 0 0 4 Pacitan 406 150 5 0.35 2,000 5 Kebonagung 590 590 19 0.33 1,750 6 Arjosari 1,819 1,327 7 0.05

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sabut Kelapa Sabut kelapa (mesocrap) merupakan bagian yang terbesar dari buah kelapa, yaitu sekitar 35 persen dari bobot buah kelapa (Lit.5 diunduh 20 Juni 2014). Skema bagian-bagian

Lebih terperinci

MAKALAH LINGKUNGAN BISNIS

MAKALAH LINGKUNGAN BISNIS MAKALAH LINGKUNGAN BISNIS Pembuatan minyak kelapa Nama : Aditya krisnapati Nim : 11.01.2900 Kelas : D3TI-02 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2012 I. ABSTRAK Dengan berbagai kemajuan yang telah diperoleh dari produk

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Definisi Kemitraan Definisi kemitraan diungkapkan oleh Hafsah (1999) yang menyatakan bahwa kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI USAHA VIRGIN COCONUT OIL

ANALISIS EKONOMI USAHA VIRGIN COCONUT OIL A. Pendahuluan ANALISIS EKONOMI USAHA VIRGIN COCONUT OIL Oleh: Cahyorini Kusumawardani Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Negeri Yogyakarta Email: cahyorini.k@uny.ac.id Minyak kelapa murni atau biasa

Lebih terperinci

8. NILAI TAMBAH RANTAI PASOK

8. NILAI TAMBAH RANTAI PASOK 69 adalah biaya yang ditanggung masing-masing saluran perantara yang menghubungkan petani (produsen) dengan konsumen bisnis seperti PPT dan PAP. Sebaran biaya dan keuntungan akan mempengarhui tingkat rasio

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembangunan ekonomi daerah di era otonomi sekarang ini, setiap

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembangunan ekonomi daerah di era otonomi sekarang ini, setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam pembangunan ekonomi daerah di era otonomi sekarang ini, setiap daerah dituntut untuk dapat mengenali setiap potensi yang ada di wilayahnya. Pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)

I. PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki peluang besar dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang melimpah untuk memajukan sektor pertanian. Salah satu subsektor

Lebih terperinci

KELAPA. (Cocos nucifera L.)

KELAPA. (Cocos nucifera L.) KELAPA (Cocos nucifera L.) Produksi tanaman kelapa selain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, juga diekspor sebagai sumber devisa negara. Tenaga kerja yang diserap pada agribisnis kelapa tidak sedikit,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Perkebunan tahun 2008 di Indonesia terdapat seluas 7.125.331 hektar perkebunan kelapa sawit, lebih dari separuhnya

Lebih terperinci

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis 3.1.1 Manajemen Usaha Ternak Saragih (1998) menyatakan susu merupakan produk asal ternak yang memiliki kandungan gizi yang tinggi. Kandungan yang ada didalamnya

Lebih terperinci