BAMBU WAHIDIYAH Antara Cita dan Fakta

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAMBU WAHIDIYAH Antara Cita dan Fakta"

Transkripsi

1 BAMBU WAHIDIYAH Antara Cita dan Fakta LAPORAN PENELITIAN LAPANGAN Disusun untuk Memenuhi Tugas-2 Matakuliah Metodologi Penelitian Sosial, Humaniora, dan Islamic Studies (Edisi Revisi) Oleh: SOKHI HUDA NIM: F Dosen Pembimbing: Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si. Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Program Pascasarjana Pebruari

2 1 KATA PENGANTAR Alhamdulillah, dengan segenap syukur kehadirat Allah swt, penelitian ini dapat terselesaikan sebagaimana kadar hasilnya. Penelitian ini dilaksanakan oleh penulis dalam rangka memenuhi tugas-2 matakuliah Metodologi Penelitian Sosial, Humaniora, dan Islamic Studies yang dibimbing oleh Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si. Matakuliah tersebut dilaksanakan dan penulis ikuti pada semester ganjil tahun akademik pada program studi Pemikiran Islam Program Doktoral Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya. Penulis menyadari belum optimal dalam pelaksanaan penelitian tersebut karena terkait hal-hal teknis, seperti rentang waktu yang tersedia dalam semester yang bersangkutan, manajemen waktu, dan sarana-sarana lainnya dalam penelitian yang bersangkutan. Kiranya hal ini dapat dipertajam oleh penelitian-penelitian lanjutan sebagaimana rekomendasi di bagian akhir laporan penelitian ini. Atas selesainya penelitian ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada yang terhormat: 1. Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si, selaku Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya, sekaligus sebagaim pembimbing penelitian ini, yang telah memberikan wawasan metodologis yang sangat berarti bagi pelaksanaan penelitian. 2. Prof. Dr. H.M. Ridwan Nasir, MA, selaku Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, yang telah memberikan sarana studi yang sangat mendukung bagi penyelesaian penelitian ini. 3. Seluruh dosen Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya telah memberikan wawasan ilmiahnya dalam rangka memperkaya perspektif bagi penelitian ini. 4. Para subjek dan informan penelitian yang telah memberikan informasinya bagi penyelesaian penelitian ini serta semua pihak yang telah memberikan partisipasinya dalam penyelesaian penelitian ini. Semoga amal shaleh semua pihak tersebut di atas memperoleh balasan banyak kebaikan di dunia dan akhirat, amin. Surabaya, 28 Pebruari 2011 Penulis i

3 2 PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Yang bertandatangan di bawah ini, saya: Nama : Sokhi Huda Tempat, Tgl. Lahir : Sidoarjo, 28 Januari 1967 Alamat : Pesantren At-Tahdzib (PA) Rejoagung, Ngoro, Jombang, 61473; HP: (Matrix) Pekerjaan : Staf Pengajar Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Dpk di Fakultas Dakwah Institut Keislaman Hasyim (IKAHA), Tebuireng, Jombang, Jl. Irian Jaya 55, Status : Mahasiswa Program Studi Pemikiran Islam Program Doktoral Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.. dengan ini menyatakan, bahwa penelitian berjudul: BAMBU WAHIDIYAH: ANTARA CITA DAN FAKTA merupakan karya asli pribadi saya. Apabila di kemudian hari ditemukan karya orang lain yang ternyata lebih dulu masa pengerjaannya, atau terdapat kemiripan/kesamaan, baik pada sebagian ataupun seluruhnya yang menunjukkan ketidakaslian penelitian ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik dan moral. Demikian pernyataan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab akademik. Surabaya, 28 Pebruari 2011 Yang Membuat Pernyataan, ttd Sokhi Huda ii

4 3 DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar... i Pernyataan Keaslian Karya... ii Daftar Isi... iii Daftar Tabel dan Gambar... iv BAB I : PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Fokus Penelitian... 6 C. Tujuan Penelitian... 7 D. Manfaat Penelitian... 7 BAB II : KAJIAN TEORETIS KONFLIK... 8 A. Sekilas Pemahaman tentang Konflik... 8 B. Paradigma, Akar, dan Ragam Teori Konflik C. Teori Konflik Otoritas D. Teori Manajemen Konflik: Konsensus, Resolusi, dan Transformasi BAB III : METODE PENELITIAN A. Strategi Penelitian B. Metode Penelitian C. Jenis, Sumber, dan Teknik Pengumpulan Data D. Instrumen Penelitian E. Tahap-Tahap Penelitian F. Analisis Data G. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data BAB IV : BAMBU WAHIDIYAH: ANTARA CITA DAN FAKTA A. Bambu Wahidiyah: Simbol Idealisme Ukhuwah B. Fakta Ukhuwah Wahidiyah C. Bambu yang Terbelah: Realitas Konflik Otoritas Wahidiyah D. Upaya-Upaya Penyelesaian Konflik Otoritas Wahidiyah iii

5 4 BAB V : TEMUAN DAN REKOMENDASI PENELITIAN A. Temuan Penelitian B. Rekomendasi Penelitian INTERVIEW GUIDE (PEDOMAN WAWANCARA) BIBLIOGRAFI LAMPIRAN : 1. Lembar Shalawat Wahidiyah Foto Muallif Shalawat Wahidiyah RA (dalam berbagai pose) Foto-Foto Papan Nama Organisasi Wahidiyah; PSW, PUPW, dan Miladiyah Salinan Surat Mufti Brunei Darussalam BIODATA PENELITI DAFTAR TABEL DAN GAMBAR Tabel 1 : Ringkasan Akar dan Ragam Teori Konflik Gambar 1 : Suasana Tempat Duduk Penyelesaian Masalah Keorganisasian Wahidiyah pada Tanggal 29 September 1992 di Kantor Jawatan Penerangan Direktorat Sosial Politik (Ditsospol) Jawa Timur iv

6 BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Bambu merupakan istilah simbolik yang pernah digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kekuatan. Dalam studi sejarah Indonesia dikenal ada istilah devide et impera yang diterjemahkan politik belah bambu Belanda untuk mematahkan kekuatan bangsa Indonesia. Istilah bambu juga digunakan oleh Ahmad Syafii Maarif untuk menggambarkan keterpecahan kekuatan Islam pada masa demokrasi terpimpin 1. Dalam hemat penulis, penggunaan istilah bambu ini diambil dari makna simbolik keteguhannya. Ginoga (1977) menjelaskan bahwa bambu memiliki sifat fisis dan mekanis berupa enam keteguhan, yaitu: (1) lentur statik, (2) tekan, (3) geser, (4) tarik, (5) belah, dan (6) pukul. 2 Dengan tradisi tersebut, penulis menggunakan istilah bambu dalam penelitian ini. Bambu Wahidiyah merupakan istilah yang penulis gunakan untuk menggambarkan ukhuwah (persaudaraan, kerukunan, persatuan, dan kesatuan) dalam Wahidiyah 3. Ukhuwah ini dalam Wahidiyah merupakan bagian doktrin dan kisi ritualnya. Sesuai dengan namanya, Wahidiyah memang menghendaki terwujudnya persaudaraan umat seluruh dunia (intergrup), bukan hanya persaudaraan di antara sesama pengamal Wahidiyah (intragrup). Dengan demikian, ukhuwah dalam Wahidiyah merupakan sesuatu idealitas. Akan tetapi pada realitasnya, Wahidiyah tepecah organisasinya menjadi tiga organisasi. Organisasi Penyiar Shalawat Wahidiyah (PSW) yang dibentuk sendiri oleh Muallifnya tidak lagi bertahan sebagai satu-satunya organisasi yang memegang otoritas manajerial Wahidiyah. Perpecahan ini justru berawal pada saat menjelang pemakaman Muallif Wahidiyah. Dengan demikian idealisme ukhuwah Wahidiyah memperlihatkan realitas sebaliknya. 1 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Teori Politik Belah Bambu pada Masa Demokrasi Terpimpin ( ) (Jakarta: Gema Insani Press, 1996). 2 Ginoga (1977) sebagaimana dikutip oleh Krisdianto, Ginuk Sumarni, dan Agus Ismanto, Sari Hasil Penelitian Bambu (Hasil Penelitian, 2011), h Untuk relevansi ini, lihat penjelasan Sokhi Huda, Tasawuf Kultural Fenomena Shalawat Wahidiyah (Yogyakarta, LKiS, 2008). 1

7 2 Dari paparan tersebut muncul sejumlah persoalan yang memerlukan jawaban berdasarkan fakta historis dan empiris. Di antaranya adalah: (1) apakah Wahidiyah itu?, (2) bagaimanakah doktrin dan kisi ritual Wahidiyah tentang ukhuwah?, (3) bagaimanakah realitas faktual ukhuwah dalam Wahidiyah?, (4) mengapa terjadi perpecahan organisasi dalam Wahidiyah?, (5) jika ada kepentingan-kepentingan tertentu, bagaimanakah kepentingan-kepentingan itu dimanifestasikan kedalam perilaku?, (6) jika ada kepentingan-kepentingan tertentu, bagaimanakah relasi antarkepentingan tersebut?, (7) bagaimanakah pola-pola otoritas yang dibangun dalam realitas kewahidiyahan?, (8), bagaimanakah gambaran tipe-tipe otoritas dalam realitas kewahidiyahan?, dan (9) jika ada usaha resolusi, bagaimanakah bentuk-bentuk resolusi yang ditempuh? Berdasarkan informasi awal yang penulis peroleh, ada persoalan konflik yang menyebabkan pergeseran idealisme ukhuwah dalam realitas faktualnya. Persoalan ini semakin memperoleh bodi yang fit (dalam istilah teori konflik: mempertegas garis batas identitas) ketika organisasi Wahidiyah pecah menjadi tiga organisasi. Idealisme ukhuwah ini tampak semakin kontras pada dataran realitas ketika dilacak lebih jauh bahwa Wahidiyah tidak hanya mengajarkan, tetapi justru menjadikan ukhuwah itu sebagai bagian dari doktrin dan kisi ritualnya. Wahidiyah merupakan aliran tasawuf dan organisasi sosial keagamaan. Dengan demikian, adanya konflik sebagaimana disebutkan di atas memberikan kesempatan bagi kemungkinan konflik individu, ke konflik organisasi, dengan latar eksistensi sebagai institusi agama. Di sini terbuka kemungkinan bahwa otoritas agama dapat dijadikan sebagai sandaran untuk alibi dan faktor legitimasi masing-masing pihak yang berkonflik. Atas dasar seluruh penjelasan di atas, masalah dalam penelitian ini (konflik otoritas) sebenarnya merupakan masalah yang berada dalam kajian tentang konflik. Kajian tentang konflik ini selalu menarik dan senantiasa mencapai tren aktual kaitannya dengan dinamika sosial. Sedang dinamika sosial itu tidak berhenti sepanjang sejarah manusia itu sendiri.

8 3 Sejumlah persoalan dalam penelitian memerlukan pemecahan secara ilmiah dari teori-teori yang relevan. Di antaranya adalah pertama, teori-teori sosiologi untuk memproporsikan persoalan konflik dalam paradigma teori-teori sosiologi sebagaimana kajian-kajian Émile Durkheim 4, Turner 5, Ritzer dan Goodman 6, Nur Syam 7, Nasrullah Nasir 8, Rosenberg 9, Goldthorpe 10, Elizabeth A. Freidheim 11, Alexander 12, Johnson 13, Giddens 14, dan Ferrante 15. Kedua, teori-teori konflik secara umum sebagaimana kajian-kajian Otomar J. Bartos dan Paul Wehr 16, Ralf Dahrendorf 17, Tom Bottomore 18, dan Mitchell 19. Ketiga, teori-teori konflik sosial sebagaimana kajian-kajian Lewis Coser 20, Ralf Dahrendorf 21. Keempat, teoriteori agama dan institusinya, dalam relevansinya dengan otoritas institusi agama 4 Untuk hal ini, sejumlah kajian yang terkait adalah Émile Durkheim, Rules of the Sociological Method (French: Les Règles de la Méthode Sociologique), first published in 1894; Lihat pembahasan tentang karya Durkheim ini pada Mike Gane, On Durkheim s Rules of the Sociological Method (USA: Routladge, Chapman & Hall, Inc., 1988), h J.H. Turner, The Structure of Sociological Theory (Sixth Edition) (Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company, 1998). 6 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj. Alimandan (Jakarta: Kencana, Cet. ke-6, 2010). 7 Nur Syam, Model Analisis Teori Sosial (Surabaya: PNM, 2010). 8 Nasrullah Nasir, Teori-Teori Sosiologi (Bandung: Widya Padjajaran, Cet. 2, 2009). 9 Michael Rosenberg, Introduction to Sociology (Canada: Methuen Publications, 1983). 10 J.E. Goldthorpe, An Introduction of Sociology, Third Edition (Cambirdge: Cambirdge University Press, 1985). 11 Elizabeth A. Freidheim, Sociological Theory in Research Practice (Cambirdge, California: Schenkman Publishing Company, Inc., 1976). 12 Jeffrey C. Alexander, Theoretical Logic in Sociology: Positivism, Presuppositions, and Current Controversies, Volume 1 Ed. John Rex (Geat Britain: Routledge and Kegan Paul Ltd., 1982). 13 Doyle Paul Johnson, Contemporary Sociological Theory: An Integrated Multi-Level Approach (USA: Springer, 2008). 14 Anthony Giddens, New rules of Sociological Method: A Positive Critique of Interpretative (Stanford, California: Stanford Unversity Press, 1993). 15 Joan Ferrante, Sociology: a Global Perspective, Sixth Edition (USA: Thomson Higher Education, 2006) 16 Otomar J. Bartos dan Paul Wehr, Using Conflict Theory (Cambridge: Cambridge Unversity Press, 2002). 17 Ralf Dahrendorf, The New Liberty Survival and Justice in a Changing World (California: Stanford University Press, 1975). 18 Tom Bottomore, e.al., Karl Marx: Selected Writings in Sociology and Social Philosphy (Victoria: Penguin Books, 1979). 19 C. R. Mitchell, The Structure of International Conflict (USA: St Martin s Press, Inc., 1998). 20 Lewis Coser, The Function of Social Conflict (New York: Free Press, 1956); Continuities in the Study of Social Conflict (New York: Free Press, 1967). 21 Ralf Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society (California: Stanford University Press, 1959).

9 4 sebagaimana kajian Rodney Stark dan William Sims Bainbridge 22, Masahiko Aoki 23. Kelima, teori-teori manajemen konflik sebagaimana kajian-kajian Morton Deutsch 24, Masters dan Albright 25, Collins dan O'Rourke 26, Rahim 27, Isenhart dan Spangle 28, dan Vayrynen 29. Pentingnya masalah penelitian ini didukung oleh aktualitasnya. Untuk hal ini penulis mengadakan penelusuran terhadap sejumlah penelitian yang sudah ada tentang Wahidiyah dan organisasinya. Pada realitas teraktual di dunia penerbitan, terdapat buku tentang Wahidiyah yang ditulis oleh Sokhi Huda, berjudul Tasawuf Kultural Fenomena Shalawat Wahidiyah 30. Dalam seleksi kepustakaan, buku ini masuk kedalam seleksi National Library of Australia, Regional Office Jakarta-Indonesia 31. Selanjutnya pada dataran karya ilmiah populer di media-media cetak dan situs-situs internet, buku ini memperoleh respons-respons analitis dan artikulatif Rodney Stark dan William Sims Bainbridge, A Theory of Religion (Ney Jersey: Rutgers University Press, 1996) 23 Masahiko Aoki, Toward a Comparative Institutional Analysis (Massachusetts: Massachusetts Institutte of Technology, 2001) 24 Morton Deutsch, Peter T. Coleman, dan Eric Colton Marcus, The Handbook of Conflict Resolution: Theory and Practice, Second Edition (San Francisco: John Wiley & Son Inc., 2006). 25 Marick Francis Masters dan Robert R. Albright, The Complete Guide to Conflict Resolution in the Workplace (New York: Amacom, 2002). 26 Sandra D. Collins dan James S. O'Rourke, Managing Conflict and Workplace Relationships (Managerial Communication Series 3) (Mason-USA: South-Western Congage Learning, 2009) 27 M. Afzalur Rahim, Managing Conflict in Organizations, Third Edition (Westport-USA: Quorum Books, 2001) 28 Myra Warren Isenhart dan Michael Spangle, Collaborative Approaches to Resolving Conflict (Lndon: Sgae Publication Inc., 2000) 29 Raimo Vayrynen (Ed.), New Direction in Conflict Theory: Conflict Resolution and Conflict Transformation (London-California-New Delhi: Sgae Publication Inc., 1991) 30 Sokhi Huda, Tasawuf Kultural Fenomena Shalawat Wahidiyah (Yogyakarta, LKiS, 2008). 31 National Library of Australia, Regional Office Jakarta-Indonesia, Indonesian Acquisitions List No. 04 October 2008 (listing items acquired from August to September 2008), p Di antara respons-respons termaksud adalah; (1) Harian Jawa Pos, Minggu, 02 Nopember 2008; memuat resensi berjudul Memelihara Spirit Sang Nabi, tulisan Ahmad Badrus Sholihin (Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep); (2) Harian "Pontianak Pos" Minggu, 02 Nopember 2008; memuat resensi pada nomor 1 di atas, pada halaman 19, kolom 1; (3) Website Sastra Tanah Air memuat resensi pada nomor 1 di atas, pada hari Senin, 03 Nopember 2008; (4) Website jurnalnet.com (Jogja) memuat resensi berjudul Fenomena Shalawat Wahidiyah, tulisan Ahmad Faidi Ridla (aktivis di rumah baca Moonrea la Bannie, tercatat sebagai mahasiswa SKI Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta); (5) Website NU Online ( memuat resensi berjudul Menggagas Tasawuf Kultural di Indonesia, tulisan Akhmad Kusairi (Peneliti pada The Alfalah Institut Yogyakarta), pada 20 Oktober 2008; (6) Website Idea Kalijaga ( berjudul Menggagas Tasawuf Kultural di Indonesia, tulisan Akhmad Kusairi, tanggal 7 Mei 2009; (7) Website InProgress Institute resensi pada nomor 4 di atas, pada hari Minggu, tanggal 02 Nopember

10 5 Sebelumnya terdapat sejumlah penelitian kesarjanaan dan non-kesarjanaan tentang Wahidiyah yang dapat dikategorikan kedalam empat kategori bidang kajian, yakni: (1) deskripsi umum, (2) bidang ajaran dan nilai aksiologisnya (nilai pengaruh atau manfaatnya), (3) bidang dakwah, dan (4) bidang pendidikan. Pertama, kajian deskripsi umum kewahidiyahan dilakukan oleh tim peneliti Departemen Agama RI Balai Penelitian Aliran Kerohanian/Keagamaan Semarang. 33 Penelitian ini dilakukan dengan metode kasus terhadap wilayah Pusat Wahidiyah di Jawa Timur dan cabang-cabangnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah, yakni: di Jombang, Malang, Tulungagung, Jepara, dan Kebumen. Hasil penelitian ini kaya informasi lapangan, dikemas setebal 388 halaman kwarto. Kedua, kajian bidang ajaran Wahidiyah dan nilai aksiologisnya dilakukan oleh (1) Cucuk Suroso 34, (2) Muslih 35, (3) Lutfi Wirawan 36, (4) Ahmad Lutfi Ridlo 37, dan (5) Harun Kusaijin 38. Ketiga, kajian bidang dakwah Wahidiyah dilaksanakan oleh (1) Muhamad 39, (2) Jakaria 40, (3) Kholil Prawoto 41, dan (4) 2008; (8) Website "Iqra' Site" memuat resensi berjudul "Ideologi Lokalitas Tarekat Wahidiyah", tulisan Iqro' el. Firdaus; (9) Website Dendang Sang Maestro memuat resensi berjudul "Ideologi Lokalitas Tarekat Wahidiyah", tulisan Iqro' el. Firdaus. 33 Tim Peneliti: Ahmad Sodli, Yusriati, Yustiani, dkk, Thariqat Wahidiyah di Jawa Timur dan Jawa Tengah (Semarang: Departemen Agama RI Balai Penelitian Aliran Kerohanian/Keagamaan, 1990). 34 Cucuk Suroso, Studi tentang Ma rifat dalam Wahidiyah dan Ittiha>d Menurut Abu Yazid (Skripsi Ushuluddin) (Jombang: Fakultas Ushuluddin Universitas Darul Ulum, 1998). 35 Muslih, Studi Perbandingan Antara Tasawuf dan Shalawat Wahidiyah (Skripsi Ushuluddin) (Jombang: Fakultas Ushuluddin Universitas Darul Ulum, 1998). 36 Lutfi Wirawan, Konsep Ma'rifat Menurut Jama'ah Penyiar Shalawat Wahidiyah (Skripsi Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007). 37 Ahmad Lutfi Ridlo, Atsar al-shalawat al-wahidiyah fi Akhlaq Thullab al-ma'had al-tahdzib Ngoro Jombang (Skripsi Fakultas Ushuluddin Institut Darussalam Pondok Modern Gontor Pomorogo Indonesia). 38 Harun Kusaijin, Perilaku Keberagamaan Pengamal Shalawat Wahidiyah di Pesantren At- Tahdzib Rejoagung Ngoro Jombang (Tesis Konsentrasi Pemikiran Islam program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003). 39 Muhamad, Sholawat Wahidiyah Sebuah Aktivitas Ritualistik dalam Pengembangan Dakwah Islamiyah di PP At-Tahdzib Ngoro Jombang (Studi Deskriptif Kualitatif) (Skripsi Fakultas Dakwah IKAHA Tebuireng Jombang, 1998). 40 Jakaria, Aktivitas Dakwah BPRW (Badan Pembina Remaja Wahidiyah) dalam Pembinaan Remaja di Lingkungan Remaja Wahidiyah (Skripsi Fakultas Dakwah IKAHA Tebuireng Jombang, 1999). 41 Kholil Prawoto, Pengaruh Ajaran Sholawat Wahidiyah terhadap Peningkatan Amal Ibadah Masyarakat Desa Rejoagung Kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang (Skripsi Fakultas Dakwah IKAHA Tebuireng Jombang, 2002).

11 6 Moh. Murtaqi Makarima 42. Sedang keempat, kajian bidang pendidikan Wahidiyah dilakukan oleh Mustaman 43 dan Mahbub Amasy 44. Selain karya-karya hasil penelitian di atas, penulis juga berhasil memperoleh karya-karya yang dapat diklasifikasikan kedalam empat klasifikasi, yaktu: (1) buku-buku kewahidiyahan (berisi doktrin-doktrin, pedoman aktivitas ritual, pedoman keseremonian, dan pedoman keorganisasian), (2) buku-buku tentang kritik terhadap Wahidiyah, (3) buku-buku respons balik kewahidiyahan, dan (5) media dan website kewahidiyahan. Karya-karya ini tidak disebutkan dalam penelusuran kepustakaan ini karena pertimbangan efisiensi tulisan. Berdasarkan hasil penelusuran tersebut di atas, penulis dapat menegaskan bahwa penelitian tentang masalah konflik otoritas dalam keorganisasian Wahidiyah belum ada orang/pihak yang menelitinya. Oleh karena itulah masalah penelitian ini dapat dibilang aktual, disamping urgen secara ilmiah. B. Fokus Penelitian Dengan latar belakang di atas, penelitian ini mengambil fokus konflik otoritas di kalangan pimpinan tiga organisasi Wahidiyah, yaitu: (1) Penyiar Shalawat Wahidiyah (PSW), berpusat di Pesantren At-Tahdzib (PA) Rejoagung, Ngoro, Jombang, (2) aliran Perjuangan Wahidiyah yang pada dekade awal dikenal dengan istilah aliran Pimpinan Umum Perjuangan Wahidiyah (PUPW), kemudian menempuh jalur legalitas hukum dengan nama Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo (YPWPPK), berpusat di Kedungo, Kediri, dan (3) aliran "Jama ah Miladiyah Muallif Shalawat Wahidiyah (JMMSW), berpusat di Kedungo, Kediri. 42 Moh. Murtaqi Makarima, Managemen Dakwah Wahidiyah pada Lembaga DPP PSW (Dewan Pimpinan Pusat Penyiar Sholawat Wahidiyah) di Desa Rejoagung Kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang (Skripsi Fakultas Dakwah IKAHA Tebuireng Jombang, 2003). 43 Mustaman, Pendidikan Akhlak dalam Aliran Shalawat Wahidiyah (Studi tentang Materi Metode Pendidikan Akhlak) (Skripsi Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2002). 44 Mahbub Amasy, Peranan Pengamalan Shalawat Wahidiyah dalam Menanggulangi Kemerosotan Akhlak Siswa Madrasah Aliyah Ihsanniat Desa Rejoagung Kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang (Skripsi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah "Taruna" Surabaya, 2002).

12 7 Alasan penentuan fokus tersebut adalah karena otoritas selalu berkaitan dengan kekuasaan pimpinan dalam artikulasi status. Pola-pola perilaku, aktivitas, dan sejumlah konspirasi yang mungkin muncul dapat mengerucut pada persoalan politis pimpinan yang bersangkutan. Dari sinilah fokus dapat dikembangkan lebih jauh. Fokus tersebut peneliti kembangkan pada kemungkinan konflik horisontal yang terjadi akibat dari konflik otoritas tersebut. Relevansi hal ini adalah pada kemungkinan terdapat sejumlah faktor yang menjadikan otoritas itu sebagai sandaran bagi interes individu. Ketika interes ini memperoleh kekuatan dalam tiap-tiap otoritas, maka selanjutnya perlu dilacak apakah interes tersebut cenderung memperkuat otoritas yang menaunginya atau bersikap netral. Selanjutnya perlu dilacak pula bagaimana interes tersebut merespons konflik otoritas yang terjadi antarorganisasi dalam Wahidiyah, kaitannya dengan kemungkinan upaya-upaya resolusi di antara mereka. C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan idealisme dan realias ukhuwah (persaudaraan, kerukunan, persatuan, dan kesatuan) dalam Wahidiyah sebagai aliran tasawuf dan organisasi sosial keagamaan. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat bermanfaat secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk memperkaya wawasan ilmiah tentang konflik secara umum dan tentang konflik otoritas dalam institusi sosial keagamaan. Sedang secara praktis, hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai wawasan empiris tentang otoritas dalam keorganisasian Wahidiyah, deskripsi tentang konflik-konflik institusional dan keotoritasan, dan upaya-upaya resolusi untuk memecahkan konflik-konflik tersebut.

13 BAB II KAJIAN TEORETIS KONFLIK A. Sekilas Pemahaman tentang Konflik Konflik (Latin: conflictus) berarti pertentangan 45 merupakan perwujudan aneka pertentangan antara dua pihak yang dapat merupakan dua orang, pihak, atau bahkan kelompok besar seperti negara. 46 Konflik merupakan gejala-gejala sosial yang ada dalam setiap masyarakat. Konflik melekat pada masyarakat. Konflik itu selalu ada selama masyarakat itu ada sehingga tidak mungkin menghapus konflik seperti yang menjadi anganangan para diktator. Sebaliknya, tidak mungkin konsensus dipertahankan terus menerus sekalipun dengan cara-cara kekerasan yang juga merupakan keinginan para penguasa otoriter. 47 Konflik juga menunjukkan pada hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Definisi ini menunjukkan perbedaan yang jelas antara konflik dan kekerasan. Kekerasan meliputi tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh. 48 Konflik mempunyai dampak yang sangat besar bagi masyarakat karena konflik yang berlangsung terus menerus akan menjurus ke arah disintegrasi sosial. Oleh karena itu, salah satu persoalan utama antara masyarakat dan negara adalah masalah konflik yaitu usaha-usaha untuk mencari titik temu antara pihak yang berkonflik sehingga konsensus atau kesepakatan dapat tercapai. 49 Sehingga dapat kita lihat bahwa konflik adalah pertentangan atau perbedaan antara dua orang atau lebih (kelompok) yang didasarkan pada perbedaan. 45 Pringondigdo, A.G., Ensiklopedia Umum (Yogyakarta: Kanisius, 1973), h Lihat juga, W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1961), h Yayasan Cipta Loka, Ensiklopedia Populer Politik Pembangunan Pancasila (Jakarta: Yayasan Cipta Loka, 1984), h Maswadi Rauf, Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoretis (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2000), h Chris Mitchell (1981) sebagaimana dikutip oleh Simon Fisher, dkk. Mengelola Konflik Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak (Jakarta : British Council Indonesia, 2001), h Rauf, Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis, h. 1. 8

14 9 Untuk memahami faktor-faktor penyebab konflik, terdapat enam teori. 50 Pertama, teori Hubungan Masyarakat yang menganggap konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan, dan permusuhan di antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Kedua, teori Negosiasi Prinsip yang memandang konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Ketiga, teori Kebutuhan Manusia yang mengatakan bahwa konflik disebabkan oleh akar kebutuhan dasar manusia yang terdiri dari fisik, mental, dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keempat, teori Identitas yang berasumsi bahwa konflik terjadi karena adanya identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya suatu penderitaan masa lalu yang tidak diselesaikan. Kelima, teori Kesalahpahaman Antarbudaya yang mengatakan bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara berkomunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Sedang keenam, teori Transformasi Konflik yang berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Selanjutnya Nicholas Ambercrombie dkk menjelaskan bahwa para ilmuwan sosial pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 menaruh minat pada konflik dalam masyarakat. Akan tetapi para fungsionalis pertengahan abad ke-20 menolak konflik demi konsep unitary yang menekankan integrasi sosial dan efek harmoni nilai-nilai bersama. Meskipun para fungsionalis memperhatikan konflik, tetapi mereka menganggap konflik sebagai patologis alih-alih sebagai keadaan organisme sosial yang sehat Fisher, Mengelola Konflik Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, h Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, dan Bryan S. Turner, Kamus Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2010), h. 105.

15 10 B. Paradigma, Akar, dan Ragam Teori Konflik Dari tiga paradigma yang disebutkan oleh George Ritzer dalam bukunya Sociology: A Multiple Paradigm Science 52, teori Konflik masuk dalam kategori paradigma Fakta Sosial. Paradigma Fakta Sosial dikembangkan oleh Emile Durkheim dalam The Rules of Sociological Method tahun 1895 dan Suicide tahun Ia mengkritik sosiologi yang didominasi oleh August Comte dengan Positivismenya, bahwa sosiologi dikaji berdasarkan pemikiran, bukan fakta lapangan. Durkheim menempatkan fakta sosial sebagai sasaran kajian sosiologi yang harus melalui kajian lapangan (field research) bukan dengan penalaran murni. Teori-teori dalam paradigma ini adalah: teori Fungsional Struktural, teori Konflik, teori Sosiologi Makro, dan teori Sistem. Sasaran kajian paradigma Fakta Sosial adalah: struktur sosial dan pranata sosial. Struktur sosial adalah jaringan hubungan sosial dimana interaksi terjadi dan terorganisasi serta melalui mana posisi sosial individu dan sub-kelompok dibedakan. Selanjutnya Bernard Raho menjelaskan bahwa teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. 53 Turner dalam bukunya The Structure of Sociological Theory 54 pada bab menjelaskan akar dan ragam teori konflik yang hingga saat ini banyak digunakan oleh para sosiolog di berbagai belahan dunia. Dari tiga bab tentang teori konflik inilah Turner berhasil menyederhanakan asal muasal teori konflik dan perbedaannya. Sejarah lahirnya teori konflik berawal dari kritik tajam terhadap Positivisme (seperti: teori Fungsionalisme) yang berkembang di ranah kelimuan Sosiologi. Sedang kritik tajam tersebut ditujukan kepada ilmuwan yang 52 George Ritzer, Sociology: A Multiple Paradigm Science (Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda), terj. Drs. Alimandan (Rajawali Pers, Jakarta, Cet. II, 1992). Ritzer menjelaskan bahwa tiga paradigma dalam Sosiologi adalah: (1) Fakta Sosial, (2) Definisi Sosial, dan (3) Perilaku Sosial. 53 Bernard Raho,Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), h J.H. Turner, The Structure of Sociological Theory (Sixth Edition) (Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company, 1998).

16 11 mendefinisikan perkembangan dan perubahan sosial secara linear atau statis. Dengan kata lain, kritikus Positivisme menganggap bahwa perkembangan dan perubahan sosial tidak tersusun atas dasar struktur yang statis, melainkan struktur yang tersusun secara dinamis atau dialektis (proses, hubungan, dinamika, konflik, dan kontradiksi). Dengan demikian, teori Konflik merupakan antitesis terhadap teori Fungsionalisme yang memandang struktur sosial cenderung bercorak statis. 1. Komponen dan Akar Teori Konflik Turner pada bab 11 bukunya memberikan gambaran lahirnya teori konflik yang dimotori oleh tiga tokohnya, yaitu: Karl Marx, Max Weber, dan George Simmel. Turner menekankan bahwa masing-masing tokoh yang melahirkan teori konflik tersebut menyusun proposisi yang berbeda-beda tentang kejadian konflik di masyarakat dari unit analisis yang berbeda pula. 55 Hal ini sebagaimana pandangan Sanderson yang menekankan tiga komponen dasar dalam analisis sistem sosiokultural. Menurutnya bahwa komponen-komponen dasar sistem sosiokultural terdiri atas superstruktur ideologis, struktur sosial, dan infrastruktur material. Ketiga komponen dasar inilah yang kemudian dijadikan pijakan para sosiolog dalam usaha menganalisis fenomena atau kejadian-kejadian sosial yang berlangsung. 56 Berdasarkan pijakan yang disusun oleh Sanderson tersbut, Karl Marx adalah salah seorang dari sekian tokoh Sosiologi yang menjadikan infrastruktur material sebagai determinasi sistem sosial yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Dalam kaitannya dengan teori konflik, Turner menekankan bahwa Marx dalam menyusun proposisinya tentang proses konflik didasarkan atas ketidaksetaraan akses terhadap sumberdaya. Ketidaksertaan ini menciptakan kelompok-kelompok yang memposisikan dirinya sebagai ordinat (dominan) di satu sisi dan subordinat (terdominasi) pada sisi lainnya Ibid. Lihat juga sebagai pengayaan tentang teori konflik Simmel pada Nur Syam, Model Analisis Teori Sosial (Surabaya: PNM, 2010), h Sanderson, Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial (Edisi Kedua) (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003). 57 Ibid.

17 12 Selanjutnya Marx, sebagaimana dijelaskan oleh Turner, mengatakan bahwa mereka yang tersubordinasi akan peduli terhadap kepentingan kolektif mereka atas dominasi kelompok ordinat dengan mempertanyakan pola distribusi sumberdaya alam yang tidak merata tersebut. Akibatnya adalah rusaknya relasi antara kelompok ordinat dan kelompok subordinat disebabkan oleh disposisi aleanatif yang diciptakan oleh kelompok ordinat terhadap kelompok subordinat. Dalam kondisi seperti ini, kelompok subordinat membangun kesatuan ideologi untuk mempertanyakan sistem yang berlangsung dan melakukan perlawanan melalui kepemimpinan kolektif terhadap kelompok ordinat. Hal inilah yang kemudian menyebabkan polarisasi antara kelompok ordinat dan kelompok subordinat yang berkepanjangan. 58 Berbeda dengan Marx, analisis Weber lebih menekankan teori konfliknya dari perspektif suprastruktur ideologis. Turner menjelaskan bahwa Weber membangun proposisi dalam proses konflik antara superordinat dan subordinat. Ada lima proposisi yang dibangun oleh Weber sebagai berikut: a. Konflik antara superordinat dengan subordinat dimungkinkan terjadi apabila ada tarikan dari otoritas politik. b. Tarikan tinggi dari otoritas politik tersebut dapat terjadi melalui keanggotaan dalam kelas, kelompok status, dan hierarki politik. Selain itu, tarikan tinggi dari otoritas politik dapat juga terjadi melalui diskontinu atau derajat ketidaksetaraan dalam distribusi sumberdaya dengan hierarki sosial yang tinggi. Tarikan tinggi dari otoritas politik dapat juga terjadi melalui mobilisasi sosial melalui hierarki sosial yang didasarkan atas kekuasaan dan prestise, serta kekayaaan. c. Konflik antara superordinat dan subordinat dimungkinakan terjadi melalui kepemimpinan yang karismatik yang dapat memobilisasi subordinat. d. Melalui kepemimpinan yang karismatik tersebut konflik berhasil dicapai dengan tekanan yang kuat terhadap otoritas yang lama sehingga menghasilkan sistem baru tentang peran dan administrasi. 58 Turner, The Structure of Sociological Theory.

18 13 e. Sebuah sistem dengan otoritas peran dan administrasi yang terbentuk tersebut kembali terjadi tarikan yang terus berulang (kembali ke proposisi ke-2 dan seterusnya). 59 Kelima proposisi tersebut jika disarikan kedalam teori Weber yang lebih komprehensif ditemukan kata kuncinya, yakni rasionalitas formal. Dalam hal ini, Weber memberikan contoh tentang proses birokratisasi yang ia kemas kedalam lembaga politik. Menurutnya, birokrasi mempunyai otoritas yang berbeda-beda dan terbagi kedalam tiga tipe otoritas, yakni: (1) tradisional, (2) kharismatik, dan (3) rasional-legal. Dari ketiga tipe otoritas ini, otoritas rasional-legal hanya dapat berkembang dalam masyarakat Barat modern dan hanya dalam sistem otoritas rasional-legas itulah birokrasi modern dapat berkembang penuh. Hal ini berbeda dengan birokrasi di dunia lainnya, dimana otoritas kharismatik atau tradisional merintangi perkembangan sistem hukum rasional dan birokrasi modern. 60 Jika dua pandangan tokoh sosiologi sebelumnya lebih berorientasi kepada dimensi masyarakat sebagai unit analisisnya, maka hal yang berbeda dilakukan oleh Georg Simmel yang menekankan unit analisis individu dalam teori konfliknya. Menurutnya, salah satu tugas utama sosiologi adalah memahami interaksi antarindividu yang dapat melahirkan konflik maupun solidaritas antarsesama. 61 Berkaitan dengan hal ini, proposisi-proposisi yang dibangun oleh Simmel cenderung melihat realitas konflik disebabkan oleh interaksi antarindividu yang mempunyai kekuatan emosional yang kemudian membangun ikatan solidaritas antarsesama. 2. Asumsi Dasar Teori Konflik Sebagaimana dijelaskan di muka, bahwa teori konflik muncul sebagai reaksi terhadap munculnya teori struktural fungsional. Selanjutnya Schwarz menjelaskan bahwa pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar teori konflik adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik 59 Ibid. 60 Ritzer dan Goodman, Teori Sosiologi Modern, h Ibid., h

19 14 mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional. 62 Ketika Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya, ia tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke-19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis. Kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka. 63 Ada empat asumsi dasar dari teori konflik. Pertama, teori konflik merupakan antitesis terhadap teori Struktural Fungsional, dimana teori Struktural Fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori Konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori Konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau keteganganketegangan. Kedua, teori Konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan. Ketiga, teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu diperlukan agar tercipta perubahan sosial. Ketika teori Struktural Fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori 62 Fred. Schwarz, You Can Trust the Communists (New Jersey: Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs, 1960), h Tom Bottomore, e.al., Karl Marx: Selected Writings in Sociology and Social Philosphy (Victoria: Penguin Books, 1979), h. 34.

20 15 Konflik justru melihat perubahan sosial disebabkan oleh adanya konflik-konflik kepentingan. Aakan tetapi pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus. Keempat, menurut teori Konflik, masyarakat disatukan dengan paksaan. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori Konflik erat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada teori Konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf. 3. Teori Konflik dengan Akar yang Berbeda pada Dahrendorf dan Coser Jika dibuat bagan keterkaitan antara tiga tokoh teori Konflik klasik (Marx, Weber, dan Simmel sebagaimana penjelasan di muka) dan dua tokoh yang mengembangkan teori Konflik modern (Dahrendorf dan Coser), maka terlihat benang merah pijakan tokoh pengembang teori konflik dengan pencetus teori konflik itu sendiri. Danrendorf adalah tokoh pewaris teori konflik Marx dan Weber. Sosiolog ini berpandangan bahwa masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus) sehingga teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian, yakni teori konflik dan teori konsensus. Teori pertama harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama di hadapan tekanan itu. Sedangkan teori kedua harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat. Dengan kedua teori ini, maka Dahrendorf lebih dikenal sebagai penggagas teori dialektika (dialectical theory). Atas dasar dua teori di atas, Dahrendorf berpendapat bahwa posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta kehidupan sosial ini mengerahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis Ibid., h. 156.

21 16 Sebagaimana Marx dan Weber, unit analisis teori konflik Dahrendorf masih dipusatkan pada masyarakat sebagai kesatuan sistem sosial, khusunya kepada struktur sosial yang lebih luas. Sebagaimana tesis yang dibangunnya bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai kualitas otoritas yang berbeda, otoritas tidak terletak di dalam diri individu, tetapi di dalam posisi. Selanjutnya Dahrendorf menekankan bahwa tugas pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di dalam masyarakat. Dengan kata lain, struktur sosial yang berbeda di masyarakat akan menentukan kualitas otoritas yang dimiliki oleh lapisan tertentu terhadap lapisan lainnya. Dengan demikian, otoritas menyatakan superordinat dan subordinat yang ada di masyarakat. Meskipun demikian, Dahrendorf tetap meyakini bahwa otoritas tidak konstan karena ia terletak dalam posisi, bukan di dalam diri orangnya sehingga otoritas seseorang akan berbeda-beda tergantung di lingkungan mana ia berada. Selain itu, konsep kunci lainnya tentang teori konflik Dahrendorf adalah kepentingan. Menurutnya bahwa kelompok-kelompok yang berada di atas dan berada di bawah didefinisikan berdasarkan kepentingan bersama. Gejala ini dapat dilihat pada orang yang berada pada posisi dominan berupaya mempertahankan status quo, sedang orang yang berada pada posisi subordinat berupaya mengadakan perubahan. Dalam kaitan dengan kepentingan, Dahrendorf membagi dua kepentingan, yaitu: (1) kepentingan tersembunyi adalah harapan peran yang tidak disadari; dan (2) kepentingan nyata adalah kepentingan tersembunyi yang telah disadari. Hubungan dua kepentingan inilah, menurut Dahendorf, yang merupakan tugas utama teori konflik. Selanjutnya kepentingan yang disebutkan sebelumnya selalu melekat pada kelompok yang berbeda-beda. Sedang kelompok yang berbedabeda tersebut adalah: (1) kelompok semu (quasi group) adalah sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama; (2) kelompok kepentingan adalah sejumlah agen yang mempunyai struktur, bentuk organisasi, dan tujuan atau program dan anggota perorangan Ibid. h

22 17 Berbeda dengan Dahrendorf, Coser adalah tokoh pewaris teori Simmel yang teori konfliknya dibangunnya lebih kepada analisis individu. Menurut Coser, konflik dapat membantu mengeratkan ikatan kelompok yang terstruktur secara longgar. Masyarakat yang mengalami disintegrasi atau berkonflik dengan masyarakat lain, dapat memperbaiki kepaduan integrasi. Selanjutnya Coser menambahkan bahwa konflik dengan satu kelompok dapat membantu menciptakan kohesi melalui aliansi dengen kelompok lain. Tidak sekedar itu saja, Coser menambahkan bahwa konflik yang terjadi di dalam masyarakat, dapat mengaktifkan peran individu yang semula terisolasi dan juga membantu fungsi komunikasi. 66 Dengan demikian, corak Fungsinalisme Coser terlihat secara tegas sebagaimana pewaris teori yang diikutinya. Perbedaan akar tersebut disebabkan oleh perbedaan konteks historis pada masing-masing tokoh. Konteks historis inilah yang menjadi argumen perbedaan inti pemikiran teori konflik pada Dahrendorf dan Coser. a. Konteks Historis dan Inti Pemikiran Teori Konflik Lewis A. Coser 1) Konteks Historis Perkembangan Sosiologi Selama lebih dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tertumpu kepada struktur sosial. Pada saat yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Berbeda dengan beberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda (teori fungsionalis dan teori konflik), coser mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan menyatukan kedua pendekatan tersebut. Akan tetapi para ahli sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisis konflik sosial, mereka melihatnya konflik sebagai penyakit bagi kelompok sosial. Coser memilih untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk serta mempertahankan struktur suatu kelompok tertentu. Coser mengembangkan perspektif konflik karya ahli sosiologi Jerman George Simmel. 66 Ibid. h. 159.

23 18 Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial, karena ia yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang sia-sia. 67 Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalah sebesar Emile Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan pendapatnya bahwa sosiologi bekerja untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk-bentuk atau konsep-konsep sosiologi di mana isi dunia empiris dapat ditempatkan. Penjelasan tentang teori konflik Simmel sebagai berikut: a) Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisahpisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisis. b) Menurut Simmel, konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam usaha menggambarkan kondisi-kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat. 68 2) Inti Pemikiran Coser Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya. 69 Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktekpraktek ajaran katolik pra-konsili Vatican II) dan gereja Anglo-Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). Perang 67 Lewis Coser (ed), George Simmel (Eaglewood Cliffts, N.J.: Prentice-Hall, 1965), h Ibid. 69 Ibid.

24 19 yang terjadi bertahun-tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel. 70 Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan-hubungan di antara pihakpihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup Penyelamat (savetyvalue) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur. 71 Contoh adalah: Badan Perwakilan Mahasiswa atau panitia kesejahteraan Dosen. Lembaga tersebut membuat kegerahan yang berasal dari situasi konflik tersalur tanpa menghancurkan sistem tersebut. Menurut Coser, konflik dibagi menjadi dua, yaitu: a) Konflik realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada objek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan. b) Konflik non-realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembalasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain-lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka. 72 Menurut Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi. 73 Contohnya adalah: dua pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa berteman erat. Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada suatu masalah yang 70 Ibid. 71 Ibid. 72 Ibid. 73 Ibid.

25 20 menuntut mereka untuk saling berhadapan di meja hijau. Masing-masing secara agresif dan teliti melindungi kepentingan kliennya, tetapi setelah meniggalkan persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi ke restoran untuk membicarakan masa lalu. Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan-hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan-hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan 74. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan-hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut. 75 Apabila konflik tersebut benar-benar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut. Contohnya adalah konflik antara suami dan istri, serta konflik sepasang kekasih. Coser 76 mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok. 77 Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. Jika konflik dalam kelompok tidak ada, maka hal ini menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. Dengan 74 Margaret. M. Poloma, Sosiologi Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), h Ibid. 76 Coser, Continuities in the Study of Social Conflict, h Coser (ed), George Simmel, h

26 21 demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan. 78 b. Konteks Historis dan Inti Pemikiran Teori Konflik Ralf Dahrendorf 1) Konteks Historis Perkembangan Sosiologi Bukan hanya Coser saja yang tidak puas terhadap pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi. Segera setelah penampilan karya Coser 79, seorang ahli sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya kedalam bahasa Inggris yang sebelumnya berbahasa Jerman agar lebih mudah dipahami oleh sosiolog Amerika yang tidak paham bahasa Jerman saat kunjungan singkatnya ke Amerika Serikat ( ). Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula-mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, menganggap teori tersebut merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisis fenomena sosial. Ralf Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerjasama. 80 2) Inti Pemikiran Dahrendorf Substansi teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana-sarana berada dalam satu individu-individu yang sama. 81 Menurut Dahrendorf tidak selalu pemilik saranasarana juga bertugas sebagai pengontrol apalagi pada abad ke-19. Bentuk penolakan tersebut ia tunjukkan dengan memaparkan perubahan yang terjadi di masyarakat industri sejak abad ke Di antaranya adalah: pertama, dekomposisi modal. Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi-korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tidak seorangpun memiliki 78 Coser, Continuities in the Study of Social Conflict, h Coser, The Function of Social Conflict, h Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society (California: Stanford University Press, 1959), h Ibid. 82 Ibid.

27 22 kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi modal. Kedua, dekomposisi tenaga kerja. Di abad spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Oleh karena zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai-pegawai untuk memimpin perusahaanya agar berkembang dengan baik. Ketiga, timbulnya kelas menengah baru. Pada akhir abad ke-19, lahir kelas pekerja dengan susunan yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh biasa berada di bawah. Penerimaan Dahrendorf terhadap teori konflik Karl Marx adalah ide tentang pertentangan kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. Kemudian dimodifikasi oleh berdasarkan perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini. Dahrendorf mengatakan bahwa ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan-hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur bagi kelahiran kelas. 83 Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial, yaitu mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. 84 Dalam analisisnya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan kelompok mungkin paling mudah dianalisis jika dilihat sebagai pertentangan tentang legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan. Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai-nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasannya. Sedang kepentingankepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini dan hubungan-hubungan sosial yang terkandung di dalamnya. 85 Contohnya adalah kasus kelompok minoritas yang pada tahun 1960-an kesadarannya telah 83 Dahrendorf, Essays in the Theory of Society (Stanford, Calif.: Stanford University Press, 1968), h Ibid. 85 Poloma, Sosiologi Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), h

28 23 memuncak, antara lain termasuk kelompok-kelompok kulit hitam, wanita, suku Indian dan Chicanos. Kelompok wanita sebelum tahun 1960-an merupakan kelompok semu yang ditolak oleh kekuasan di sebagian besar struktur sosial tempat mereka berpartisipasi. Pada pertengahan tahun 1960-an muncul kesadaran kaum wanita untuk menyamakan derajatnya dengan kaum laki-laki. Selanjutnya dari penjelasan di atas dan referensi-referensi yang disebutkan pada bagian pendahuluan penulis menyusun ringkasan akar dan ragam teori konflik sebagaimana pada tabel di bawah ini.

29 24 Tabel 1: Ringkasan Akar dan Ragam Teori Konflik No. Tokoh Inti Teori Konflik Keterangan 1 Karl Marx ( ) 2 Max Weber ( ) 3 Georg Simmel ( ) a. Masyarakat merupakan sisem dua kelas, yaitu borjuis (pemilik modal produksi) dan proletar (pekerja) b. Perbedaan kelas memiliki banyak hal untuk berbuat dengan barang-barang properti personal c. Percaya bahwa kondisi tereksploitasi akan menjadi kesadaran dan perjuangan unit, komunisme, dan eliminasi kelas. d. Ide utama di balik komunisme adalah bergeak di dalam the communist manifesto. a. Setuju dengan Marx bahwa ekonomi memainkan peran sentral dalam perbedaan power. b. Percaya dalam dua faktor lain: (1) prestis masyarakat (status) dan (2) pengaruh politik. c. Mendefinisikan power sebagai kemampuan untuk membebankan kehendak orang-orang kepada yang lainnya. d. Otoritas: power yang terlegitimasi, digubakan dengan persetujuan orang-orang yang diatur/dipimpin. e. Distribusi power dan otoritas = basis konflik sosial f. Jika subordinat percaya dalam otoritas = menolak konflik. g. Jika otoritas tidak diakui sebagai legitimasi = konflik. h. Masyarakat dengan power berusaha untuk mempertahankannya i. Masyarakat tanpa power berusaha untuk mencarinya j. 3 tipe otoritas: (1) rasional-legal, (2) tradisional, dan (3) kharismatik. a. Percaya bahwa aksi sosial selalu melibatkan harmonni dan konflik, cinta dan benci. b. Kerahasiaan: masyarakat yang memegang rahasia adalah dalam posisi power. c. Beberapa kelompok dibentuk sekitar rahasia dan diketahui sebagai masyarakat rahasia; biasanya dalam konflik dengan kelompok masyarakat yang lebih besar, dan inisiasi membuat hirarki. Pengaruh Marx: (1) Humanis: menghendaki semua individu mencapai potensi manusia sepenuhnya; (2) percaya bahwa manusia membuat sejarahnya sendiri (metode historis); (3) mencoba mengombinasikan faktorfaktor material dan ideal / faktor-faktor struktural dan kultural. - Konsep dan kontribusi Simmel: (1) menolak teori organik, (2) melihat masyaraat sebagai kumpulan interaksi individu, (3) hubungan yang terpenting adalah pemimpin dan pengikut, antara superior dan subordinat (masingmasing mempunyai hubungan timbal-balik).

30 25 No. Tokoh Inti Teori Konflik Keterangan 4 Lewis Coser ( ) 5 Ralf Dahrendorf (1929- ) 6 C. Wright Mills ( ) 7 Randall Collins (1941- ) a. Mendefinisikan konflik sebagai perjuangan di atas nilai-nilai dan klaim-klaim untuk menumbangkan status, power, dan sumbersumber dalam hal tujuan oponen adalah menetralisasi, melukai, dan mengeliminasi para lawannya. b. Konflik antara intergrup dan intragrup adalah bagian dari kehidupan sosial. c. Konflik adalah bagian dari relationship dan bukan tanda yang penting instabilitas. d. Konflik memberikan beberapa fungsi: (1) mengarahkan pada perubahan sosial, (2) dapat menstimulasi inovasi, (3) selama masa ancaman perang, dapat menambah power sentral. e. Mengeksplorasi 16 proposisi seluruh fungsi konflik. f. Berpendapat bahwa konflik = bingkai di antara kelompok-kelompok yang berbeda, di antara anggota-anggota individual dalam grup, dan mendeterminasi bingkai power. a. Keteraturan sosial ditegakkan oleh kekuatan dari atas. b. Tensi bersifat konstan c. Perubahan sosial yang ekstrem dapat terjadi kapan pun d. Tidak akan terjadi konflik jika beberapa kadar konsenss telah dibuat. e. Sekali dicapai, konflik secara temporer menghilang. a. Memusatkan perhatian sekitar power. b. Beberapa dimensi inekualitas (seperti Weber) c. Power dapat menjadi independen dari kelas ekonomi d. Versi teori konflik lebih dekat kepada Weber daripada Marx. e. Terdapat tiga tipe power: (1) otoritas; power yang dijustifikasi oleh keyakinan akan kepatuhan, (2) manipulasi: power yang digunakan tidak mengenal powerless, (3) koersif: bentuk final power, yang powerless dipaksakan untuk mencapai powerfull. a. Power dan status adalah dimensi-dimensi relasional yang fundamental pada level mikro interaksi sosial dan mungkin pada level makronya. b. Percaya bahwa ada hal-hal penting yang dikejar oleh setiap kelompok (kesejahteraan, power, dan prestis). c. Menyimpulkan bahwa paksaan dan kemampuan untuk memaksa pihak lain untuk berbuat dengan cara tertentu merupakan basis utama konflik. d. Memiliki stratified approach terhadap konflik yang mempunyai 3 prinsip dasar dan 5 prinsip analisis konflik. Coser dan Dahrendorf (dua sosiolog Jerman) menandai awalnya teori konflik modern. Kedua tokoh ini memperkenalkan ide-ide Marx, Weber, dan Simmel di Amerika pada tahun 1950-an - - -

31 26 Sebagai aksentuasi kajian tentang akar dan ragam teori Konflik, penulis dapat nyatakan bahwa teori Konflik merupakan alternatif terhadap Fungsionalisme, karena menawarkan perspektif teoretis makrososiologis. Dalam perspekti teori Konflik, kebencian dan permusuhan merupakan elemen-elemen konstan masyarakat. Teori Konflik juga menjelaskan perbedaan power di antara kelaskelas sosial. Selanjutnya teori Konflik menjelaskan bahwa interest groups berjuang untuk memiliki sumber-sumber daya yang langka dari masyarakat; berjuang untuk memperoleh keuntungan atas pihak lain. Akhirnya teori Konflik menjelaskan bahwa kompetisi menempatkan masyarakat pada ketidakseimbangan sampai kelompok dominan mencapai kemampuan kontrol dan stabilitas melalui power. C. Teori Konflik Otoritas Teoritisi konflik modern Ralf Dahrendorf menyatakan bahwa munculnya konflik sosial sistematis di semua asosiasi disebabkan oleh terjadinya perbedaan distribusi otoritas. 86 Otoritas atau kekuasaanlah selama ini yang menjadikan penentu utama konflik individu atau kelompok marak di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Untuk kasus di Indonesia misalnya, proses perjalanan kepemimpinan Soeharto pada rezim Orde Baru (ORBA), model distribusi otoritas tidak seimbang antara model fungsionalisme (keseimbangan) dan konflik. Dalam perspektif Dahrendorf, apa yang dilakukan oleh rezim ORBA ini merupakan realitas yang mesti terjadi, karena argumennya bahwa otoritas dalam setiap asosiasi selalu bersifat dikotomi, yaitu satu sisi kelompok yang memegang posisi otoritas (superordinat) dan kelompok yang dikendalikan (subordinat) di sisi lain. Dua kelompok ini dalam situasi apapun selalu berhadapan dan saling bertentangan untuk memperjuangkan kepentingannya masing-masing. Jika kelompok superordinat dalam fungsi konflik meminjam istilah Lewis Coser 87 kepentingannya untuk 86 Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society, h Coser, The Function of Social Conflict, h. 151.

32 27 mempertahankan status quo, sedangkan kelompok subordinat kepentingannya adalah perubahan. Dengan demikian, dalam teori Konflik modern, siapapun dan apapun bentuk kepemimpinannya selalu dibanyang-bayangi oleh makna otoritas, karena makna otoritas selalu melekat pada status/posisi yang merupakan dua entitas yang terkait. Mereka yang menduduki posisi otoritas secara otomatis mengendalikan bawahan dan memposisikannya sebagai superordinat yang berkuasa atas subordinat. Secara sosiologis, mereka yang berkuasa karena produk espektasi dari orang-orang yang di sekitar mereka, dan bukan karena karaktristik psikologis mereka sendiri, tetapi memang karena posisilah yang menciptakan seseorang mempunyai otoritas penuh. Dengan demikian, karena otoritas adalah absah, maka berbagai punishment dapat dijatuhkan kepada pihak yang menentangnya. Hal ini berlaku bagi siapapun yang memposisikan diri sebagai pemegang otoritas atau kuasa, dan selanjutnya tergantung pada perbedaan kadar sanksi yang diberikan kepada lawan posisinya. D. Teori Manajemen Konflik: Konsensus, Resolusi, dan Transformasi Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi, termasuk tingkah laku, dari pelaku maupun pihak luar dan cara mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar sebagai pihak ketiga, sesuatu yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini disebabkan oleh karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga. Menurut Ross, manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang ditempuh para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik, dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah, dengan atau tanpa

33 28 bantuan pihak ketiga, atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi dan perilaku para pelaku dan cara mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik. Fisher dkk menggunakan istilah transformasi konflik secara lebih umum dalam menggambarkan situasi secara keseluruhan, dengan tahap sebagai berikut: 1. Pencegahan konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras. 2. Penyelesaian konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan damai. 3. Pengelolaan konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat. 4. Resolusi konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang dapat tahan lama di antara kelompok-kelompok yang berkonflik. 5. Transformasi konflik, bertujuan mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif. 88 Fisher menjelaskan bahwa tahapan di atas merupakan satu kesatuan prosedural dalam manajemen konflik, sehingga masing-masing tahap akan melibatkan tahap sebelumnya, misalnya manajemen konflik akan mencakup pencegahan dan penyelesaian konflik. Selanjutnya untuk keperluan resolusi konflik, Rauf menjelaskan bahwa resolusi konflik adalah usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik dengan cara mencari kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik. Penyelesaian konflik didasarkan atas adanya perubahan pandangan dari salah satu atau semua pihak yang terlibat konflik sehingga tidak ada lagi pertentangan antara mereka. Penyelesaian konflik diperlukan untuk mencegah intensitasnya. Pertama, semakin mendalamnya konflik, yang berarti semakin tajamnya perbedaan antara pihak-pihak yang berkonflik. Kedua, semakin meluasnya 88 Fisher, Mengelola Konflik Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, h. 7.

34 29 konflik, yang berarti semakin banyaknya jumlah peserta masing-masing pihak yang berkonflik. 89 Prasyarat di atas menjadi penting karena, jika penyelesaian konflik tidak dapat dicapai dan dapat diselesaikan, maka biasanya konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat berkembang semakin mendalam dan meluas sehingga akan berdampak lebih luas lagi. Penyelesaian konflik mutlak diperlukan dalam hal ini, karena bila tidak ditemukan cara penyelesaian konflik secara efektif, konflik dapat menyebabkan ancaman disintegrasi, baik sosial maupun politik dalam masyarakat. Menurut Rauf, ada dua pendekatan dalam penyelesaian konflik, yaitu penyelesaian konflik secara pendekatan persuasif (persuasive approach) dan penyelesaian konflik secara pendekatan kekerasan atau koersif (coersive approach). Pendekatan persuasif dapat dilakukan dengan mengambil jalur perundingan dan musyawarah untuk mencari titik temu antara pihak yang berkonflik. Dalam hal ini, pihak yang melakukan konflik dapat melakukan perundingan antara kedua pihak saja, namun sangat jarang terjadi dalam penyelesaian konflik politik. Penyelesaian konflik dalam perundingan membutuhkan pihak ketiga sebagai mediator atau juru damai. Dalam penyelesaian konflik dengan musyawarah atau perundingan adalah dengan adanya perubahan-perubahan pandangan dari salah satu atau pihak yang terlibat sehingga perbedaan antara pihak yang berkonflik dapat diminimalisasi atau dihilangkan. 90 Selanjutnya menurut Rauf pendekatan persuasif dan koersif memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Pertama, pendekatan persuasif dapat menghasilkan penyelesaian konflik secara tuntas, sehingga kecil kemungkinan konflik berlanjut antara pihak yang berkonflik di masa yang akan datang. Kedua, pendekatan persuasif dalam penyelesaian konflik lebih bersifat manusiawi karena lebih sesuai dengan sifat-sifat manusia. Ketiga, pendekatan persuasif merupakan keterampilan dalam menyelesaikan konflik yang menjadi tuntutan demokrasi. Pendekatan persuasif juga memiliki kelemahan karena memerlukan tenaga dan waktu yang lama dan banyak energi untuk mencapai hasil, disamping memerlukan 89 Rauf, Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis, h Ibid.

35 30 kesabaran dan keuletan dalam bermusyawarah karena akan menyebabkan pembicaraan yang meluas. Sedang pendekatan secara koersif menggunakan kekerasan fisik atau ancaman kekerasan fisik untuk menghilangkan perbedaan pendapat antara pihakpihak yang terlibat konflik. Dalam pendekatan koersif, kekerasan fisik menjadi suatu pilihan yang penting dengan penggunaan benda-benda fisik yang dapat merugikan secara fisik, menyakiti, melukai, atau membunuh pihak lain. 91 Penyelesaian konflik yang terjadi dengan terciptanya titik temu karena pihak yang lemah yang menerima ancaman kekerasan fisik dengan menggunakan kekerasan fisik pula terpaksa menerima hegemoni dari pihak yang lebih kuat. Kelemahan dalam pendekatan koersif adalah akan menghasilkan penyelesaian konflik dengan kualitas yang rendah, karena konflik yang terjadi sebenarnya belumlah selesai secara tuntas. Penyelesaian secara koersif akan memunculkan potensi bagi munculnya kembali konflik yang lebih hebat dimasa-masa yang akan datang. Ketiga, pendekatan ini menunjukkan cara-cara yang kurang manusiawi dengan menggunakan kekerasan fisik dan penghilangan nyawa sebagai tindakan yang dianggap legal dalam menyelesaikan konflik. Disamping kelemahan, pendekatan koersif juga mempunyai kelebihan, karena dianggap sebagai pendekatan yang mudah dan cepat dalam menyelesaikan konflik. 92 Pada bagian lain, menurut Dennis Sandole, terdapat tiga pilar pemetaan secara komprehensif dari konflik dan resolusi konflik. Pertama, elemen-elemen konflik. Konflik menurut Sandole dibagi menjadi tiga, (1) yaitu konflik laten, (2) manifes tanpa kekerasan, dan (3) manifes dengan konflik kekerasan. Untuk mengidentifikasikan elemen konflik terdiri dari: 1. siapa pihak atau kelompok-kelompok yang bertikai?, 2. apa yang menjadi masalahnya, apa tujuan-tujuannya? 3. apa artinya? 4. konflik berdarah atau tidak, kekerasan atau tidak? 5. apa orientasi dari penanganan konflik? dan 6. bagaimana kondisi atau lingkungan dari konflik itu? 91 Ibid., h Ibid., h. 13.

36 31 Kedua, pilar penyebab konflik dan kondisinya. Sandole mengatakan terdapat empat level yang berbeda, antara lain: (1) perorangan, (2) sosial masyarakat, (3) internasional, (4) global. Pendekatan resolusi dilakukan dengan mencaritahu faktor yang mendorong terjadinya konflik serta mengembangkan suatu skenario yang mendorong terciptanya dampak skenario kasus terburuk dan skenario kasus terbaik. Ketiga, pilar intervensi konflik oleh pihak ketiga. Sandole menjelaskan perlu adanya intervensi konflik oleh pihak ketiga dengan tujuan dari pihak ketiga untuk mencegah konflik kekerasan, manajemen konflik kekerasan, penyelesaian konflik kekerasan, resolusi konflik kekerasan, dan tranformasi konflik kekerasan. Dalam hal ini, menurut Sandole, maksud-maksud pihak ketiga untuk mencapai tujuannya; konfrontasi atau kolaborasi, damai negatif atau damai positif dan maksud pihak ketiga untuk melacak sendiri atau melacak bersama-sama. Tahap pilar ketiga ini adalah membuat strategi untuk mengatasi skenario-skenario dengan menyelesaikan masalah yang terburuk dan mendukung penyelesaian skenario yang terbaik Paper dalam Peace Education di Indonesia, Asia Institute of Management Conference Center, Manila, Philippines, August 26-30, 2003, dapat diunduh melalui

37 BAB III METODE PENELITIAN A. Strategi Penelitian Penelitian ini (field research) menggunakan pendekatan kualitatif sebagai pendekatan penelitian untuk menghasilkan data deskriptif-holistik dari fenomena yang diamati. 94 Alasan dipilihnya metode kualitatif ini adalah karena penelitian ini bertujuan memperoleh deskripsi komprehensif yang terkait dengan ungkapan, persepsi, tindakan, norma dasar, dan kondisi sosial yang menyekitari fenomena ukhuwah dan konflik dalam Wahidiyah. Ontologi penelitian ini adalah realisme historis. Sedangkan epistemologinya, yakni hakikat hubungan antara peneliti dengan informan dan lingkungannya, adalah model Naturalistik. Model ini memilkiki karakteristik konteks natural, yaitu suatu konteks kebulatan menyeluruh, yang tidak akan dipahami dengan membuat isolasi atau eliminasi sehingga terlepas dri konteksnya. Suatu fenomena hanya dapat ditangkap maknanya dalam keseluruhan dan merupakan suatu bentukan hasil peran timbal-balik, bukan sekedar hubungan kausal linier. 95 Dalam pandangan Noeng Muhadjir, model Naturalistik adalah model keempat di antara lima model paradigma dalam perkembangan penelitian kualitatif, dan merupakan model yang menemukan karakteristik kualitatif yang sempurna. Hal ini disebabkan oleh karena kerangka pemikirannya, filsafat yang mendasarinya, ataupun operasionalisasi metodologinya bukan reaktif atau sekedar merespons dan bukan sekedar menggugat metodologi kuantitatif, melainkan membangun sendiri kerangka pemikirannya, filsafatnya, dan operasionalisasi metoodologinya. 96 Perspektif naturalistik dipilih dalam penelitian ini karena alasan sifat dan karakteristik masalah yang diteliti. Perspektif naturalistik ini merupakan 94 R. Bogdan dan Steven Taylor, Introduction to Qualitativee Research Methods (John Wiley & Sons, 1984), h Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, Edisi IV, Cet. I, 2000), h Penjelasan tentang konteks natural ini merupakan pendapat Egon G. Guba sebagaimana dikutip oleh Muhadjir. 96 Ibid., h Urutan lima model paradigma adalah (1) interpretatif milik Geertz, (2) grounded research, (3) etnografis-etnometodologis, (4) naturalistik, dan (5) interaksi simbolik. 32

38 33 perspektif filosofis dan teoretis utama penelitian, sebagai pengarah bagi gerak analisis data. Sedang metodologi atau hakikat tentang cara mencari kebenaran dalam penelitian ini bersifat: (1) netral, dalam arti tidak berpihak kepada individu/kelompok sosial tertentu, (2) objektif, yakni objektivitas yang sesuai dengan prosedur ilmiah yang melandasi penelitian ini; dan (3) tidak memisahkan antara teori dan praktek, sebab suatu teori dibangun dengan maksud praksis dalam rangka melakukan kritik dan mendorong transformasi sosial. 97 Sedang penjelasannya bersifat holistik untuk berusaha menghindari sifat deteministik dan reduksionis, serta melihat realitas sebagai proses kesejarahan. 98 B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif 99. Dengan metode ini penelitian ini berusaha mendeskripsikan idealisme dan realitas ukhuwah Wahidiyah. Deskripsi ini dilakukan dengan analisis perangkat teori Konflik Otoritas yang dimaksudkan dalam penelitian ini. C. Jenis, Sumber, dan Teknik Pengumpulan Data 1. Jenis dan Sumber Data Jenis data dalam penelitian ini adalah: (1) profil Wahidiyah sebagai aliran tasawuf dan organisasi sosial keagamaan, (2) identitas, pimpinan, dan kiprah organisasi-organisasi Wahidiyah, (3) faktor-faktor penyebab perpecahan organisasi Wahidiyah, (4) respons-respons terhadap faktor-faktor penyebab terjadinya pengembangan kuantitas organisasi Wahidiyah, dan (5) kemungkinan konflik otoritas, tipe-tipe konflik, dan upaya-upaya resolusi yang dilakukan terhadap realitas konflik. 97 Lihat F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h Mansur Faqih, Sesat Teori Pembangunan dan Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h Metode Deskriptif adalah penelitian dengan melukiskan keadaan subjek (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana apa adanya. Melalui sifat itu, metode deskriptif bersifat menemukan fakta-fakta (fact-finding), lalu memberikan penafsiran terhadapnya. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991), h , 81.

39 34 Sedangkan sumber datanya adalah: (1) dokumen-dokumen tulis, gambar, publikatif, soft data, dan lainnya yang mendukung dari organisasi Wahidiyah, (2) informan, (3) subjek, (4) aktivitas-aktivitas ritual, seremonial, keorganisasian, perilaku keseharian, dan relasi sosial, (5) hasil-hasil penelitian dan referensireferensi tentang Wahidiyah. 2. Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan empat teknik. Pertama, teknik wawancara. Dengan teknik ini peneliti mewawancarai beberapa informan dan subjek dari kalangan pengamal, aktivis, dan pimpinan organisasi-organisasi Wahidiyah dari berbagai aliran dan lain-lain yang kompeten untuk memberikan informasi tentang Wahidiyah. Wawancara ini menggunakan teknik bola salju (snowball) yang menggelinding dari seorang informan yang satu menuju informan yang lain sampai ditemukan key informan (informan kunci) tentang Wahidiyah. Informasi yang penulis dapatkan sifatnya adalah pengalaman ketasawufan, keterlibatan atau kesaksian historis, pengalaman organisasi, dan respons-respons sosial maupun yuridis. Kedua, teknik observasi partisipan. Dengan teknik ini penliti terlibat sebagai observer partisipan dalam kapasitas sebagai outsider dalam beberapa kegiatan Wahidiyah seperti mujahadah, ritual keagamaan, dan tradisi keperilakuan para pengamalnya. Ketiga, teknik dokumenter. Teknik ini peneliti gunakan untuk memperloleh data-data dokumenter terkait dengan Wahidiyah, baik data-data historis, keorganisasian, kereferensian, jurnal dan majalah, dan website, kaset, CD, stiker, maupun dokumen bentuk lainnya. Keempat, teknik Focus Group Discussion (FGD) secara informal bersama para pelaku sejarah dan aktivis organisasi Wahidiyah dan dalam kapasitas yang relatif terbatas. Metode ini dapat dimanfaatkan sebagai media pendalaman infiormasi maupun cross check data dari hasil interviu dan triangulasi yang telah dilakukan sebelumnya, sehingga semakin memudahkan penulis dalam usaha menginterpretasi realitas makna yang terdapat di balik fenomena. Melalui teknik

40 35 ini, data yang kurang lengkap dapat langsung dilengkapi. Sedangkan data yang kiranya kurang valid dapat dilakukan checking hingga dicapai validitasnya. D. Instrumen Penelitian Dalam penelitian kualitatif, instrumen utamanya adalah peneliti sendiri 100 dengan alat bantu berupa interview dan observasi partisipan di lapanagan, baik ketika akan terjun ke lapanagn maupun ketika berada di lapangan. Pencaritahuan alamiah dalam pengumpulan data lebih banyak bergantung pada peneliti sendiri sebagai instrumen utama pengumpulan data. Disamping itu, peneliti sebagai instrumen memiliki senjata dapat memutuskan yang secara luwes dapat digunakannya. Peneliti senantiasa dapat menilai keadaan dan dapat mengambil keputusan setelah berkonsultasi dengan teman sejawat, termasuk konsultan dan dosen pembimbing penelitian. Alat bantu berupa interview diwujudkan kedalam bentuk interview guide (pedoman wawancara) sebagaimana terlampir. Pedoman ini terdiri dari pertanyaan wawancara pokok dan pertanyaan wawancara mendalam. E. Tahap-Tahap Penelitian Tahap-tahap penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, tahap pralapangan. Pada tahap ini peneliti mulai melakukan penelitian dengan menyusun rancangan penelitian, seperti; memilih masalah dan judul penelitian dengan cara observasi maupun interview, menyusun proposal dan seminar proposal (dengan penyesuaian penjadwalan), mengurus surat perijinan dan menyiapkan perlengkapan penelitian. 101 Kedua, tahap kerja lapangan. Dalam tahap ini peneliti mulai memasuki lapangan, dengan terlebih dulu mempersiapkan diri, baik secara fisik, mental, maupun intelektual. Disamping itu, peneliti berusaha menyesuaikan perilaku dengan kebiasaan adat, tata cara, dan kultur latar penelitian, dan memahami adanya latar 100 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h Ibid., h. 85.

41 36 terbuka dan latar tertutup. 102 Peneliti kemudian menjalin hubungan dengan para informan dan subjrk penelitian. Ketiga, tahap analisis data. Tahap ini merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman tentang masalah yang diteliti serta menyajikannya sebagai temuan. 103 Pada proses analisis data ini peneliti mulai dari menelaah seluruh data yang ada dari berbagai sumber, yaitu dokumen, catatan lapangan, dan wawancara. Setelah peneliti telaah dan peneliti pelajari data tersebut, kemudian peneliti adakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi. Abstraksi ini merupakan usaha untuk membuat rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan yang perlu dijaga agar tidak tertinggal dan tetap ada di dalam laporan nantinya. F. Analisis Data Untuk keperluan analisis data 104 penulis menggunakan descriptive analytic method 105. Secara garis besar, proses pengolahan dan analisis data meliputi tiga tahap, yakni (1) deskripsi, (2) formulasi, dan (3) interpretasi. Deskripsi diawali dengan menggambarkan idealisme dan realitas ukhuwah Wahidiyah berdasarkan data-data historis, dokumenter, hasil wawancara, dan hasil observasi. Kemudian data dan informasi yang diperoleh diproses dalam sistem kategorisasi untuk memilah-milah data sesuai dengan substansi temuan, yang pada saat yang sama juga dilakukan proses reduksi data melalui pembuangan data dan informasi yang tidak layak dan tidak sesuai untuk dimasukkan kedalam sistem data penelitian. Proses selanjutnya berupa formulasi, yakni dengan cara mengamati kecenderungan, mencari hubungan asosional untuk selanjutnya data tersebut diinterpretasikan secara rasional dan sistematis. Seluruh proses penelitian mulai dari pengumpulan 102 Ibid., h Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), h Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor (1975;79), analisis data yang dimaksud di sini adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam satu pola, kategori, dan satuan uraian dasar yang merinci usaha secara formal untuk merumuskan hipotesis atas pembacaan terhadap data. Lihat Lexy J. Molenng, Metodologi Penelitian Kualitatif, h W. Lawrence Newman, Social Research Methods, Qualitative and Quantitative Approaches (Needham Heights USA: Allyn & Bacon, 4 th edition, 2000), h

42 37 data, pengolahan data, sampai analisis diimplementasikan dalam siklus yang interaktif. Jika pada saat dilakukan analisis itu datanya dipandang masih kurang, maka pengumpulan data dapat kembali dilakukan. Siklus ini akan berakhir ketika data dipandang cukup lengkap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pokok yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Peneliti juga memasukkan unsur telaah kritis terhadap data-data yang ada serta berusaha memberikan penilaian secara jujur (objektif) terhadapnya yang sesekali diperkaya oleh pendekatan social critic 106 tanpa usaha mereduksi fakta lapangan dengan subjektivitas penulis. Bahan yang telah terkumpul penulis bahas dengan menggunakan kerangka berpikir metode induktif 107. Sedangkan dalam usaha menganalisis gagasan tersebut relevansinya dengan realitas sosial, penulis menggunakan metode deduktif yang menggunakan kesimpulan khusus lewat dalil-dalil atau pengetahuan umum yang menjadi sandaran atau dasar pijakannya. 108 Selanjutnya, kaitannya dengan data-data historis penulis memasukkan telaah kritis terhadap fakta-fakta sejarah dengan pendekatan sejarah kritis (critical history). Pendekatan itu atas dasar filsafatnya menerapkan penalaran epistemologis dan konseptual. Analisis difokuskan pada dua hal, yaitu: (1) logisitas eksplanasi historisitas dan (2) status epistemologis narasinya. 109 Prioritasnya adalah fenomena objek studi yang dipahami dalam konteks latarnya. Oleh karena itu, pembahasan sengaja tidak direpotkan oleh pemilihan terhadap tawaran pola-pola linier, siklus, atau spiral sejarah. Pola-pola itu dipandangnya sebagai kooptasi terhadap daya kritis sejarah dan ekspansi pemaknaannya. 106 Istilah "paradigma" pertama kali diperkenalkan oleh Thomas S. Khun dalam karyanya yang berjudul "The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1970). Lihat juga pembahasan Erlyn Indarti, Critical Theory, Critical Legal Theory, and Critical Legal Studies (Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Undip, Volume XXXII No.2, April-Juni 2003). 107 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tekhnik (Bandung: Tarsito, 1994). 108 Tentang cara analisis ini, lihat Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial Dasar-Dasar dan Aplikasi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 5. Lihat pula Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta: Yudhistira, 1990), h Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h Sebagai perbandingan, satu pendekatan lainnya adalah pendekatan sejarah spekulatif yang menekankan pada keseluruhan proses, makna, dan tujuan sejarah menurut pola tertentu, untuk memaknai fenomena objeknya. Pendekatan ini mempunyai referensi pola garis lurus tunggal oleh Marx dan pola siklus Oleh Toynbee.

43 38 Dalam proses analisis data penulis menerapkan empat langkah teknik untuk memperoleh deskripsi data yang diharapkan oleh penelitian ini. Pertama, teknik Semantic Relationship Analysis. Teknik analisis ini dilakukan untuk memperoleh gambaran/pengertian yang bersifat umum dan relatif menyeluruh tentang apa yang tercakup di suatu fokus/pokok permasalahan yang diteliti. Hasilnya masih berupa pengetahuan/pengertian di tingkat permukaan tentang berbagai domain atau kategori-kategori konseptual (kategori-kategori simbolis yang mencakup atau mewadahi sejumlah kategori atau simbol lain secara tertentu). 110 Kedua, teknik Taxonomic Analysis. Pada analisis ini fokus penelitian ditentukan terbatas pada domain tertentu yang sangat berguna dalam upaya medeskripsikan atau mejelaskan fenomena/fokus penelitian. 111 Tehnik ini digunakan untuk tujuan hasil penelitian yang terfokus pada suatu domain tertentu. Secara universal, teknik ini menggunakan pendekatan non-kontras antarelemen. Secara operasional, teknik analisis ini terfokus hanya pada domain-domain serta bagian-bagian yang lebih khusus dan terperinci yang umumnya merupakan kelompok yang memiliki kesamaan. Ketiga, Componential Analysis. Pada teknik analisis ini, yang diorganisasi bukanlah kesamaan elemen dalam domain, melainkan kontras antarelemen dalam domain yang diperoleh melaui observasi dan/wawancara terseleksi. 112 Keempat, Cultural Theme Analysis. Teknik analisis tema atau discovering cultural themes sesungguhnya merupakan upaya mencari benang merah yang mengintegrasikan lintas domain yang ada 113, yaitu memberikan kesimpulan akhir dari domain-domain yang dianalisis tersebut. Sedang model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis data menurut Spradley. 114 Untuk keperluan ini Lexy J. Moleong menjelaskan bahwa dalam penelitian kualitatif ada tiga model analisis data, yakni 110 Sanapiah Faisal IKIP Malang, Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar dan Aplikasi (Malang: YA3 Malang, 1990), h Ibid, h Ibid, h Ibid, h James P. Spradley, Metode Etnografi (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997).

44 39 (1) model perbandingan tetap (constant comparative method) seperti yang dikemukakan oleh Glaser & Strauss dalam buku mereka the Discovery of Grounded Research. (2) model analisis data menurut Miles & Huberman seperti yang mereka kemukakan dalam buku Qualitative Data Analysis, dan (3) model analisis data menurut Spradley sebagai yang ditemukan dalam bukunya Participant Observation 115, yang penulis telah jelaskan pada empat langkah teknik di atas. Pada model pertama, constant comparative method, analisis data dilakukan secara tetap membandingkan satu datum dengan datum yang lainnya, dan kemudian secara tetap membandingkan kategori dengan kategori lainnya. Secara umum proses analisis datanya mencakup: reduksi data, katagorisasi data, sintesisasi, dan diakhiri dengan penyusunan hipotesis kerja. Miles and Huberman mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Ukuran kejenuhan data ditandai dengan tidak diperolehnya lagi data atau informasi baru. Aktivitas dalam analisis meliputi reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), serta penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing/ verification). G. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data Dalam upaya mencapai validitas dan kredibilitas data, peneliti menggunakan empat teknik. Pertama, memperkaya referensi. Peneliti memperkaya informasi tentang Wahidiyah dari sejumlah referensi berupa buku-buku wawasan, hasilhasil penelitian, dan website, buku-buku yang memberikan respons pro dan kontra terhadap Wahidiyah, serta data-data dokumenter dalam dan luar negeri. Kedua, diskusi dengan teman sejawat. Teknik ini penulis gunakan untuk mempertimbangkan dan mempertajam data penelitian dengan beberapa ahli di bidangnya. Meskipun tidak sedalam FGD (Focus Group Discussion), teknik ini cukup membantu dalam pemeriksaan kebsahan data. Teknik ini penulis gunakan 115 Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h

45 40 juga terhadap beberapa informan lintas aliran Shalawat Wahidiyah, agar perolehan data lebih kredibel. Ketiga, metode triangulasi data 116 yang penulis terapkan untuk memperoleh keterangan tentang sikap, perilaku keseharian, dan tradisi ketasawufan Muallif dan pengamal Shalawat Wahidiyah. Keterangan para informan amat membantu untuk memahami dan mengamati setiap fenomena ketasawufan dan keagamaan secara umum yang berkembang di kalangan masyarakat Wahidiyah. Dalam hal ini, data primer yang diperoleh ditopang oleh data sekunder yang kiranya mendukung. 117 Keempat, memperpanjang masa observasi. Teknik ini digunakan ketika peneliti memandang adanya kebutuhan untuk memperdalam informasi guna mancapai validitas dan kredibilitasnya. Dalam kaitan ini perlu dijelaskan, bahwa sebagian data dalam penelitian ini diperoleh pada saat penelitian tahun (selama 14 bulan) yang hasilnya dimuat dalam buku Tasawuf Kultural Fenomena Shalawat Wahidiyah. 116 Metode Triangulasi pertama kali dikemukakan oleh Patton dalam Qualitative Evaluation Method, yang kemudian banyak digunakan dalam uji validitas dalam penelitian kualitatif. Metode triangulasi ini didasarkan pada filsafat fenomenologi sebuah aliran filsafat yang mengatakan bahwa kebenaran tidak terletak pada pra konsepsi peneliti (subjek), melainkan pada realitas objek itu sendiri. Oleh karenanya, untuk memperoleh kebenaran hendaknya digunakan multiperspektif. Lihat Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: Rosydakarya, 2001), h Sutandyo Wingnyosubroto, Pengolahan dan Analisis Data dalam Koentjaraningrat, Metode- Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1997), h

46 BAB IV BAMBU WAHIDIYAH: ANTARA CITA DAN FAKTA A. Bambu Wahidiyah: Simbol Idealisme Ukhuwah Wahidiyah sebagai aliran tasawuf memiliki karakter khas yang membedakannya dengan seluruh aliran tasawuf dan tarekat yang ada. Ia tidak hanya mementingkan aspek esoteris, tetapi justru menempatkan aspek eksoteris dan keprilakuan sebagai keutuhan sistem ajarannya. Ajarannya disebut ajaran Wahidiyah, sedang sarana spiritualnya berupa Shalawat Wadahidiyah. Selanjutnya dalam rangka pengorganisasian para pengamalnya Wahidiyah memiliki organisasi yang diberi nama Penyiar Shalawat Wahidiyah (disingkat PSW). Organisasi ini dibentuk sendiri oleh Muallifnya dan sejak awal diinstruksikan olehnya agar didaftarkan ke instansi negara yang menangani administrasi dan pembinaan organisasi sosial keagamaan (yang dimaksudkan saat itu adalah Dirjen Sospol Depdagri). 118 Lebih daripada itu, Wahidiyah juga sangat concern tehadap persoalanpersoalan bangsa, dan ini bahkan ditempatkan dalam bagian sistemik kisi spiritual dan ditradisikan dalam menyikapi berbagai persoalan bangsa. Salah satu ajaran yang dimasukkan kedalam kisi spiritual adalah ukhuwah (persaudaraan, kerukunan, persatuan, dan kesatuan umat). Ukhuwah ini disebut sebagai ukhuwah Wahidiyah; secara simbolik, penulis sebut bambu Wahidiyah. Ajaran ukhuwah ini memang terpancar dari ruh nama Wahidiyah yang dijadikan sebagai identitas spiritualnya. Dalam bahasa Arab, kata wahid berarti satu. Dalam Wahidiyah, kata ini dimaksudkan sebagai daya spiritual yang mengesakan Tuhan secara kokoh dalam seluruh aktivitas ibadah dan perilaku keseharian. Hal ini diekspresikan kedalam bentuk ajaran Lillah- Billah. 119 Dalam konteks universal digunakan artikulasi Lil-Tuhan Bil-Tuhan. Sedang dalam kisi spiritualnya kata ini menghendaki persaudaraan dan persatuan seluruh umat manusia. Dengan demikian, secara simbolik, bambu Wahidiyah 118 Sokhi Huda, Tasawuf Kultural, Lillah-Billah merupakan salah satu di antara lima pokok ajaran Wahidiyah. Empat pokok lainnya adalah (1) Lirrasul-Birrasul, (2) Lighauts-Bilghauts, (3) Yukti Kulla dzi Haqqih Haqqah, dan (4) Taqdimul Ahamm fal-ahamm tsummal Anfa fal-anfa. Penjelasannya dapat dilihat pada Sokhi Huda, Tasawuf Kultural., h

47 42 dimaksudkan untuk skala global. Wahidiyah menghendaki agar bambu itu kokoh, tidak rapuh keteguhannya, bagi masyarakat global. Ajaran ukhuwah Wahidiyah ditemukan dalam kisi spiritualnya pada bagian Shalawat Wahidiyah sebagai berikut (pada bagian yang tercetak tebal): 3 Artinya: ی ا ر ب ن ا الل ھ م ص ل س ل م ع ل ى م ح مد ش ف ی ع ا لا م م ب ال و اح د ی ة ل ر ب ال ع ال م ی ن و ا لا ل و اج ع ل ا لا ن ام م س رع ی ن ی ار ب ن ا اغ ف ر ی سر اف ت ح و اھ د ن ا ق رب و أ ل ف ب ی ن ن ا ی ار ب ن ا Ya Tuhan kami ya Allah, limpahkanlah shalawat salam atas Baginda Nabi Muhammad Pemberi syafa at umat; dan atas Keluarga Beliau; Dan jadikanlah umat manusia cepat-cepat lari kembali mengabdikan diri dan sadar kepada Tuhan Semesta Alam. Ya Tuhan kami, ampunilah segala dosa-dosa kami, permudahlah segala urusan kami, bukakanlah hati dan jalan kami, dan tunjukilah kami, pereratlah persaudaraan dan persatuan di antara kami, ya Tuhan kami! 120 Ungkapan doa tersebut, bersama dengan bagian-bagian kisi spiritul lainnya dalam Shalawat Wahidiyah, ditujukan kepada masyarakat global. Hal ini sebagaimana terdapat pada bagian kisi Shalawat wahidiyah sebagai berikut yang bernuansa seruan (tercetak tebal): ب س م الله ال رح م ن ال رح ی م. ا لل ھ م ب ح ق اس م ك ا لا ع ظ م, و ب ج اه س ی د ن ا م ح مد ص ل ى الله ع ل ی ھ و س ل م, و ب ب ر ك ة غ و ث ھ ذ ا ال زم ان و أ ع و ان ھ و س ا ي ر أ و ل ی ا ي ك ی ا أ, ی ا أ, ی ا آ, ر ض ي الله ت ع ال ى ع ن ھ م 3) ب ل غ ج م ی ع ال ع ال م ی ن ن د آء ن ا ھ ذ ا و اج ع ل ف ی ھ ت ا ث ی ر ا ب ل ی غ ا 3) ف ا ن ك ع ل ى ك ل ش ی ي ق د ی ر, و ب ا لا ج اب ة ج د ی ر 3) (ف ف رو آ إ ل ى الله ط 7) و ق ل ج ا ء ال ح ق و ز ھ ق ال ب اط ل إ ن ال ب اط ل ك ان ز ھ و ق ا 3) ال ف ات ح ة 1 Artinya: Dengan Asma Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ya Allah, dengan Hak kebesaran Asma-Mu, dan dengan kemuliaan serta keagungan Baginda Nabi Muhammad SAW, dan dengan barakah Ghauts ha>dzaz- Zama>n wa A wa>nihi serta segenap Awliya Kekasih-Mu Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah, Rad}iyalla>hu Ta a>la> anhum, sampaikanlah seruan kami ini 120 Bagian tersebut dapat diperiksa pada lembar Shalawat Wahidiyah sebagaimana terlampir pada lampiran 1. Lihat juga dengan penjelasannya pada Sokhi Huda, Tasawuf Kultural, 152.

48 43 kepada jami> al a>lami>n (seluruh dunia) dan letakkanlah kesan yang merangsang di dalamnya; Maka sesungguhnya Engkau Maha Kuasa berbuat segala sesuatu dan Maha Ahli memberi ija>bah (pengabulan). Fafirru> Ilalla>h! = larilah kembali kepada Allah! wa qul ja>-al haqqu. = dan katakanlah (wahai Muhammad) perkara yang haqq (benar) telah datang dan musnahlah perkara yang batal; Sesungguhnya perkara yang batal itu pasti musnah. AL- FATIHAH! (membaca surat al-fatihah satu kali). 121 Untuk menjamin kelangsungan seluruh ajaran Wahidiyah, termasuk ajaran ukhuwah tersebut, Muallif Wahidiyah telah menyiapkan wasiatnya, dan dalam wasiat ini termuat juga garansi keorganisasiannya. Wasiat ini disampaikan oleh Muallif pada tanggal 7 dan 9 Mei 1986, dan dikenal sebagai Wasiat tanggal 7 dan 9 Mei,. Isi Wasiat ini adalah sebagai berikut: 1. Wasiat pada Tanggal 7 Mei 1986 Muallif Wahidiyah memberikan wasiat kepada Tim-3 yang sowan (berkunjung) pada tanggal 17 Mei 1986 untuk melaporkan hasil-hasil kerjanya. Pada kesempatan pelaporan ini, Tim-3 menyempatkan untuk mohon petunjuk lebih lanjut kepada Beliau. Person yang ikut hadir mendengarkan dalam kesempatan itu adalah Mohammad Ruhan Sanusi, Ketua PSW Pusat waktu itu. 2. Wasiat pada Tanggal 9 Mei 1986 M (30 Sya ban 1407 H) Pada Tanggal 9 Mei 1986 Muallif Shalawat Wahidiyah RA menyampaikan wasiat di hadapan 115 hadirin-hadirat (audien) dari Pengurus PSW Pusat serta para Anggota DPPW dan sebagian Pengurus PSW Kabupaten/Kota serta para Pengamal Wahidiyah yang ada kaitannya dengan berbagai kasus. Mereka hadir atas undangan Tim-3 dalam rangka persidangan untuk menyelesaikan berbagai masalah yang muncul waktu itu. Inti wasiat tersebut adalah tentang tiga hal, yakni: a. Tentang Pondok Kedunglo: Pondok Kedunglo adalah Hak Waris. b. Tentang SMP dan SMA Wahidiyah: 121Ibid., h

49 44 SMP dan SMA Wahidiyah diizinkan asal keberadaannya tidak mempengaruhi kehidupan Pondok dan Masjid Kedunglo serta tidak mengganggu Perjuangan Wahidiyah. c. Tentang Wahidiyah: Wahidiyah adalah seperti Perjuangan Islam pada umumnya, bukan hak waris. Para Penyiar Shalawat Wahidiyah dan para Pengamal Wahidiyah adalah wakil saya ; al-wakil Atsirul-Muwakkil ( Muwakkil kuasa penuh ). Syarat-syarat kesanggupan menjadi wakil adalah: Segala perbuatan dan perkataan maupun apa saja yang terutama merugikan Perjuangan, yang terutama menjadikan fitnah, ini supaya dibuang sama sekali. Menunjuk A.F. Baderi supaya duduk menjadi Wakil Ketua II, sehingga pimpinan PSW Pusat menjadi 3 (tiga) orang, yaitu: Moh. Ruhan Sanusi, K. Jazuli Yusuf, dan A.F. Baderi. Menunjuk Drs. Imam Mahrus menjadi Seketaris I PSW Pusat dan Agus Imam Yahya Malik menjadi Sekretaris II. 122 Sebagai bekal bagi penyelenggaraan organisasi yang mendukung wasiat tersebut, Muallif Wahidiyah memberikan bimbingan enam asas, yaitu: 1) Asas pengabdian (dedikasi; ikhlas Lilla>hi Ta a>la> tanpa pamrih); 2) Asas musyawarah dan istikha>rah; 3) Asas mengutamakan kewajiban daripada hak; 4) Asas taqdi>mul ahamm tsummal anfa (mengutamakan yang lebih penting, kemudian yang lebih bermanfaat); 5) Asas ta a>wun (saling menolong), dan 6) Asas tawakkul (tawakkal, berserahdiri kepada Allah swt) Data lengkap tentang hal ini terekam dalam dokumen Risalah transkrip dan kaset rekaman Wasiat Muallif Shalawat Wahidiyah RA tanggal 7 dan 9 Mei Sokhi Huda, Tasawuf Kultural., h. 104.

50 45 B. Fakta Ukhuwah Wahidiyah Fakta-fakta di bawah ini memperlihatkan bahwa ukhuwah Wahidiyah bergeser dari idealisme ukhuwah sebagaimana penjelasan di atas ke corak variasi otoritas. Variasi ini ditampilkan oleh perkembangan aliran-aliran keorganisasian baru dalam Wahidiyah. Meskipun pada dasarnya semua aliran tersebut menggunakan identitas pokok Wahidiyah dan sarana spiritual Shalawat Wahidiyah, tetapi tiaptiap aliran organisasi itu berusaha membangun karakteristik khasnya masingmasing. Karakter ini dimaksudkan sebagai identitas khas. Bahkan sebagian aliran sengaja menambahkan corak baru sebagai penguat corak identitas baru yang dibangunnya, meskipun dalam beberapa hal tidak sesuai dengan fondasi ajaran Wahidiyah. Masing-masing aliran menyatakan dirinya eksis dengan spirit moral yang sengaja dipegang sebagai argumen historis, spiritual, dan sosilologis. Pada realitasya, spirit moral ini semakin dikokohkan untuk memperkuat otoritasnya. Spirit moral ini tampak variatif pada masing-masing aliran. Ada aliran yang spirit moralnya dibangun dengan basis argumentasi historis berpegang teguh pada fondasi ajaran dan bimbingan Muallif Wahidiyah. Ada aliran yang spirit moralnya dibangun dengan basis argumentasi spiritual dan sosiologis kedudukan sebagai ghauts 124 dan ahli waris. Ada lagi aliran yang spirit moralnya dibangun dengan basis argumentasi sosiologis sebagai ahli waris dan penengah di antara dua aliran lainnya yang cenderung berkonflik secara laten. Dalam perspektif Max Weber 125, argumentasi spiritual dan sosiologis kedudukan sebagai ghauts yang digunakan oleh pimpinan PUPW/YPW tersebut merupakan tarikan tinggi dari otoritas politik yang terjadi melalui mobilisasi sosial (para warga pengamalnya) melalui hierarki sosial yang didasarkan atas kekuasaan, prestise, serta kekayaan. Dalam hal ini dua faktor yang dominan adalah kekuasaan dan prestise. Kekuasan telah dicapai dari status/otoritas sebagai pimpinan YPW. 124 Ghauts adalah jabatan spiritual tertinggi dalam laku spiritual menurut versi penjelasan tasawuf dan tarekat dalam pustaka Islam. Dalam Wahidiyah jabatan ini sangat dihormati dan menjadi istilah kunci yang strategis. Penjelasan selanjutnya tentang ghauts ini, lihat Sokhi Huda, Tasawuf Kultural, h Turner, The Structure of Sociological Theory.

51 46 Sedang prestise sengja dibangun dengan deklarasi diri sebagai ghauts, karena ghauts merupakan simbol status tertinggi dalam dunia spiritual. Sepeninggal Muallif Shalawat Wahidiyah (K.H. Abdoel Madjid Ma roef 126 ), Organisasi Shalawat Wahidiyah mengalami dinamika kesejarahan di lingkungan internalnya. Di antaranya adalah berkembangnya tiga aliran keorganisasian Shalawat Wahidiyah, yakni: (1) Penyiar Shalawat Wahidiyah (PSW), (2) Pimpinan Umum Perjuangan Wahidiyah (PUPW) yang selanjutnya berbadan hukum dengan nama Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo (YPWPPK), dan (3) Jama ah Miladiyah Muallif Shalawat Wahidiyah (JMMSW). 127 Dalam penyebutan singkatan selanjutnya dalam penelitian ini YPWPPK ditulis YPW, sedang JMMSW ditulis JMM. Pada realitas sekarang, PSW berpusat di Pesantren At-Tahdzib (PA) Rejoagung, Ngoro, Jombang. YPW dan JMM berpusat di Kedunglo, Kediri. Bedanya, YPW menemapati lokasi historis utama Wahidiyah, sedang JMM menempati lokasi yang berdekatan dengan YPW dalam satu lingkungan wilayah. Pertama, PSW merupakan organisasi yang dibentuk oleh Muallif RA sendiri semasa dia masih hidup dan memimpin langsung perjuangan dan penyiaran Wahidiyah. Dalam masa tersebut, PSW berpusat di Kedunglo Kediri, dan sempat didaftarkan sebagai organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum di Indonesia. Dalam kaitan ini, kunci historisnya ada pada Wasiat Muallif Shalawat Wahidiyah pada Tanggal 7 dan 9 Mei 1986, proses pembuatan PD & PRT, dan pendaftaran PSW Pusat kepada Pemerintah untuk memenuhi UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. 128 PSW dengan segenap upaya berusaha memegang teguh wasiat Muallif tersebut dan seluruh bimbingan spiritual, keprilakuan, dan keorganisasiannya. Hal ini sampai sekarang dituangkan kedalam prioritas program kerjanya. Dalam ungkapan bahasa program ini PSW berusaha melestarikan kemurnian ajaran dan memegang teguh bimbingan Muallif Wahidiyah. Selanjutnya, sebagaimana 126 K.H. Abdoel Madjid Ma roef lahir pada tahun 1920, wafat pada hari Selasa Wage, tanggal 29 Rajab 1409 H/7 Maret 1989 M. Ibid., Sokhi Huda, Tasawuf Kultural, h Ibid.

52 47 dimaksud dalam wasiat tersebut, basis otoritas PSW adalah pimpinan organisasi, bukan ahli waris. Dengan berbagai pertimbangan strategis dan kemaslahatan umat yang dimaksudkan oleh PSW, selanjutnya pusat organisasi PSW pindah ke Rejoagung Ngoro Jombang, tepatnya di lingkungan Pesantren At-Tahdzib, setelah terjadi ketidakharmonisan karena munculnya organisasi baru, yakni PUPW yang diwadahi oleh YPW. Kedua, YPW berpusat di Kedunglo Kediri, dipimpin oleh K.H. Abdul Latif, putera Muallif Wahidiyah. Organisasi ini muncul dan berkembang dengan semangat baru. Di dalamnya terdapat beberapa hal yang secara prinsipil berbeda dengan ruh dan otentisitas ajaran Wahidiyah yang diajarkan oleh Muallifnya, termasuk tentang dua hal yang menjadi kunci historis sebagaimana penjelasan di atas. Akan tetapi, nyatanya, YPW mempunyai massa pengikut yang tidak sedikit. Hal ini secara sosial dapat dipahami karena adanya dua faktor penting, yakni: (1) faktor otoritas genetik (silsilah) tokohnya sebagai putera Muallif Wahidiyah dan (2) faktor teritorial Kedunglo Kediri sebagai pusat organisasinya, tempat kelahiran dan pusat awal pengembangan Wahidiyah, serta tempat pesarehan (makam) Muallif Wahidiyah. YPW sejak awal berusaha membangun karakteristik khasnya. Basis otoritas yang dibangun adalah argumen-argumen spiritual dan sosiologis. Pada argumen spiritual, YPW mengajarkan bahwa pimpinannya menduduki jabatan ghauts. Sedang pada argumen sosiologis, YPW memandang dirinya kuat sebagai ahli waris Wahidiyah, meskipun hal ini sebenarnya bertentangan dengan wasiat Muallif Wahidiyah sendiri. Kedua basis otoritas ini berimplikasi pada produkproduk baru yang sengaja diciptakan oleh YPW untuk memperkuat otoritas tersebut. Ketiga, JMM berpusat di Kedunglo Kediri, dipimpin oleh K.H. Abdul Hamid, juga putera Muallif Wahidiyah. Organisasi ini muncul dengan ide dasar sebagai penengah antara PSW dan YPW. Bahkan pada masa-masa awal kelahirannya, organisasi ini merelakan diri dijadikan sasaran kritik untuk menetralisasi

53 48 ketidakharmonisan antara PSW dan PUPW. 129 Pada perkembangannya JMM tidak banyak menampilkan polarisasi dengan aliran organisasi lainnya, karena spirit historisnya tersebut. Hal ini juga disebabkan oleh karena dua hal. Pertama, dinamika JMM tidak sepesat dinamika dua aliran organisasi lainnya. Kedua, terdapat hubungan kekeluargaan antara pimpinan JMM (Putera Muallif) dengan keluarga Pesantren At-Tahdzib (PA) yang menjadi pusat PSW, karena dia adalah menantu K.H. Ihsan Mahin, pendiri PA dan tokoh penting dalam sejarah perjuangan Wahidiyah sejak masa hidup Muallif. Dengan demikian antara Muallif dan K.H. Ihsan Mahin terhadap hubungan kemertuaan (Jawa: besan). Atas dasar penjelasan di atas, basis otoritas yang dibangun oleh JMM adalah argumen sosiologis sebagai ahli waris dan penengah di antara dua aliran lainnya (PSW dan YPW) yang cenderung berkonflik secara laten. Dengan otoritas ini, dalam perkembangannya JMM memiliki massa pengikut tersendiri, meskipun jumlahnya tidak sebanyak massa pengikut PSW dan YPW. Interes massa pengikut aliran JMM dapat dibilang karena faktor-faktor yang sama dengan interes massa pengikut aliran YPW, yakni pimpinannya sebagai ahi waris, sebagaimana penjelasan di atas. Perspektif Max Weber pada akhirnya memberikan analisis tipe-tipe otoritas 130 terhadap ketiga aliran organisasi Wahidiyah tersebut Di atas. Pertama, Otoritas PSW sepeninggal Muallif Wahidiyah bertipe tradisional, karena bertumpu pada otoritas historis yang bersumber dari dan berpegang pada bimbingan Muallif. Akan tetapi semasa hidup Muallif, otoritas PSW bertipe kharismatik. Kedua, Otoritas PUPW/YPW bertipe kharismatik karena bertumpu pada power dan otoritas sebagai Pimpinan Umum Perjuangan Wahidiyah dan status sebagai Ghauts yang ditrasformasikannya, disamping status genealogis sebagai putera Muallif. Sedang ketiga, otoritas JMM bertipe kharismatik, karena bertumpu pada status genealogis sebagai putera Muallif. 129 Hasil wawancara dengan K.H. Abdul Hamid, tokoh sentral JMM, di Kedunglo Kediri, pada hari Rabu, tanggal 8 Pebruari 2006, sekitar WIB. 130 Turner, The Structure of Sociological Theory.

54 49 C. Bambu yang Terbelah: Realitas Konflik Otoritas Wahidiyah Dalam pandangan Coser, konflik itu memperlihatkan wajahnya ketika pihak-pihak yang berkonflik mencapai garis batas identitas. 131 Garis batas ini ditampilkan dalam bentuk pernyataan terbuka. Dalam Wahidiyah, garis batas identitas sebenarnya sudah tampak dalam beberapa momen dan perilaku sejak Muallifnya masih hidup, memimpin secara langsung seluruh aktivitas ritual dan membimbing secara langsung seluruh aktivitas keorganisasian. Garis batas itu terlihat pada saat Agus Abdul Latif Madjid 132, selaku Ketua MPPW (Majelis Pertimbangan Perjuangan Wahidiyah) 133, bersemangat tidak setuju PSW didaftarkan kepada pemerintah, dengan alasan PSW menjadi tidak bebas. Sikap ketidaksetujuan ini diungkapkan pada musyawarah PSW bersama MPW, hari Jum at pagi, tanggal 3 Juli Bahkan Ketua MPPW terus menerus melancarkan aksi mempengarui kepada Pengamal Wahidyah diberbagai daerah agar tidak menyetujui (menolak) PSW didaftarkan kepada Pemerintah. 135 Perdebatan ketika itu cukup tegang, sehingga musyawarah mengalami jalan buntu, tidak menghasilkan suatu keputusan. Kemudian diambillah suara aklamasi dan semua peserta musyawarah setuju, bahwa untuk masalah tersebut dimohonkan petunjuk kepada Muallif. Dalam hal ini konflik Wahidiyah semakin kuat, dan dengan semikian, secara simbolik bambu Wahidiyah berkurang sifat keteguhannya. 131 Lewis Coser (ed), George Simmel (Eaglewood Cliffts, N.J.: Prentice-Hall, 1965), h Agus Abdul Latif Madjid adalah putra Muallif Wahidiyah. Sekarang dia adalah pimpinan YPW. Sebutan nama lengkapnya sekarang adalah K.H. Abdul Latif Madjid. 133 Agus Abdul Latif terpilih sebagai ketua MPW berdasarkan poin kedua dari tiga poin keputusan Musyawarah Kubro I Wahidiyah, tanggal Desember Tugas MPW adalah memberikan pertimbangan (saran, nasehat) kepada PSW Pusat. Dua poin lainnya dari keputusan itu adalah: (1) poin pertama; menetapkan Garis-Garis Pokok Arah Perjuangan Wahidiyah (GPAPW). Sistematikanya hampir menyerupai lazimnya AD & ART dan (2) poin ketiga: Memilih dan mengangkat Pengurus PSW Pusat dengan ketua Mohammad Ruhan Sanusi (Tulungagung). Ibid., h Ibid. 135 K.H. Mohammad Ruhan Sanusi, Penjelasan Singkat tentang Sholawat Wahidiyah dan Lembaga Organisasi Penyiar Sholawat Wahidiyah (PSW), Penjelasan disampaikan pada acara Konferensi Pers DPP PSW pada hari Sabtu, tanggal 15 September 2007 M/3 Ramadhan 1428 H, pukul WIB, bertempat di Aula Pesantren At-Tahdzib (PA) Rejoagung Ngoro Jombang, h. 2. Konferensi ini merupakan bagian dari langkah-langkah responsip terhadap kasus Tasikmalaya. Penulis melakukan wawancara dengan K.H. Ruhan sebagai subjek penelitian tentang kasus Tasikmalaya ini dan sebagian materi yang akhirnya disampaikannya pada konferensi tersebut.

55 50 Secara normatif dan manajerial, sebenarnya pendaftaran PSW ke Dirjen Sospol Depdagri yang dibahas dalam musyawarah tersebut atas dasar amanat Muallif sendiri pada tanggal 16 dan 21 Juni Pada tanggal 16 Juni 1987 Muallif Shalawat Wahidiyah RA mengamanatkan kepada Ketua PSW Pusat supaya minta penjelasan (berkonsultasi) kepada Dirjen Sospol Depdagri di Jakarta mengenai UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Kesimpulan hasil konsultasi ini adalah PSW perlu didaftarkan. Sedang pada tanggal 21 Juni 1987 Muallif mengamanatkan agar pendaftaran PSW itu dimusyawarahkan. 136 Bentuk-bentuk perilaku konflik yang terjadi, di antaranya sebagaimana tersebut di atas, mencapai tahap puncak pada saat Muallif menjelang dimakamkan. Pada peristiwa ini konflik diperkuat dengan sikap politis pelakunya. Hal ini berdasarkan data-data historis yang telah penulis kumpulkan. Dalam suatu konferensi pers, K.H. Mohammad Ruhan Sanusi menjelaskan adanya konspirasi politis untuk membangun otoritas sebagai berikut: Pada pagi hari Selasa Wage, tanggal 9 Maret 1989, Muallif Sholawat Wahidiyah RA, wafat. Kemudian, pada malam harinya Ibu Nyai memanggil para ketua PSW Pusat untuk berkumpul dengan keluarga. Lalu, beliau Ibu Nyai mendawuhkan beberapa hal, terkait dengan peninggalan Muallif RA, antara lain: Pondok Putra, Pondok Putri, Sekolahan, dan Perjuangan Wahidiyah. Isi dawuh beliau Mbah Nyai adalah: Mbah Yai mboten ninggal wasiat nopo-nopo. Tinggalan Mbah Yai Pondok kaleh Wahidiyah. Anak kulo ingkang sampun kenging dipun ajak rembagan, sekawan: Nurul, Tatik, Latif, Hamid. Tapi Tatik empun criyos mboten badhe manggen ten Donglo, dados kantun tigo. Anggit kulo, pondok putri kersane diurusi Nurul, pondok putra diurusi Hamid, lan sekolahan diurusi Latif. Dene tinggalane Mbah Yai Wahidiyah kulo suwun anak-anak kulo sareng-sareng kalian bapak-bapak pusat nerusaken Perjuangan Wahidiyah tinggalane Mbah Yai. ( Mbah Yai tidak meninggalkan wasiat apa-apa, peninggalan Mbah Yai Pondok dan Wahidiyah. Anak saya yang sudah bisa diajak bicara, ada empat: Nurul, Tatik, Latif, Hamid. Tapi Tatik sudah bilang tidak akan bertempat di Kedunglo, jadi tinggal tiga. Maksud saya, Pondok Putri biar diurusi Nurul, Pondok Putra diurusi Hamid, dan Sekolahan diurusi Latif. Adapun peninggalan Mbah Yai Wahidiyah saya minta anak-anak saya bersama Bapak-Bapak Pusat meneruskan Perjuangan Wahidiyah Peninggalan Mbah Yai ) 136 Lihat data dan penjelasannya pada Sokhi Huda, Ibid., h. 107.

56 51 Para yang hadir sam an wa tho atan (mendengarkan dan taat) terhadap dawuh Ibu Nyai, dan menunjuk Bapak Mohammad Ruhan Sanusi, Ketua PSW Pusat, untuk mengumumkan hal itu pada saat upacara pemakaman jenazah. Rabu pagi ba da (setelah) subuh para ketua PSW Pusat dipanggil lagi berkumpul dengan keluarga di sekeliling jenazah, akan diumumkan putusan keluarga oleh Ibu Nurul Ismah. Isi pengumuman adalah: Pimpinan Umum Pondok dan Wahidiyah dipegang oleh Abdul Latif Madjid, pondok putri dibantu oleh Nurul Ismah Faiq, Pondok Putra dibantu oleh Abdul Hamid Madjid dan Imam Yahya Malik. Setelah pengumuman itu Gus Hamid menyatakan keberatan dirinya diumumkan seperti itu. 137 Dari penjelasan tersebut, fakta-fakta adanya kelompok kepentingan, pengaruh politik, dan usaha membangun otoritas semakin kuat. Bagi Gus Latif sendiri fakta itu memperlihatkan tahap puncak konflik karena usaha membangun otoritas diri. Selanjutnya pada masa itu Gus Latif serta merta dikenal sebagai pimpinan PUPW (Pimpinan Umum Perjuangan Wahidiyah). Dalam perspektif Coser 138, Gus Latif menyatakan adanya konflik realistis, yaitu konflik yang ditampakkan secara nyata sebagai manifestasi kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada objek yang dianggap mengecewakan. Dalam perspektif Max Weber, istilah Pimpunan Umum yang digunakan dalam konspirasi politis di atas merupakan usaha Gus Latif untuk membangun kharisma untuk menjadi pemimpin yang kharismatik 139 dengan power 140 yang dimlikinya. Selanjutnya dengan perspektif Weber, melalui kepemimpinan yang kharismatik inilah Gus Latif berhasil mencapai konflik yang dengan memberikan tekanan yang kuat terhadap otoritas yang lama, karena Muallif sebagai pemegang otoritas lama sudah meninggal. Tekanan ini dimaksudkan untuk menghasilkan sistem baru tentang peran dan administrasi. Untuk hal inilah pada waktu selanjutnya Gus Latif menempuh langkah-langkah untuk mewujudkan sistem 137 K.H. Mohammad Ruhan Sanusi, Penjelasan Singkat tentang Sholawat Wahidiyah dan Lembaga Organisasi Penyiar Sholawat Wahidiyah (PSW), h Coser (ed), George Simmel, h Turner, The Structure of Sociological Theory. 140 Dalam perspektif C. Wright Mills, power yang digunakan oleh Gus Latif masuk kategori power ketiga sebagai bentuk final power, yaitu koersi (paksaan) yang memaksakan powerless untuk mencapai powerfull. Dua tipe lainnya dari power adalah: (1) otoritas; power yang dijustifikasi oleh kayakinan akan kepatuhan dan (2) manipulasi; power yang digunakan tidak mengenal powerless.

57 52 baru yang dikehendakinya. Disamping itu, masih dengan perspektif Max Weber, istilah Pimpinan Umum tersebut dapat dipahami sebagai artikulasi usaha yang diorientasikan kedepan agar dapat menekan semua varian aliran Wahidiyah yang sudah ada maupun yang akan muncul kemudian. Konspirasi politis yang dilakukan oleh Gus Latif itu dalam memperoleh perhatian penting dari tesis sentral Dahrendorf yang menyatakan bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis. 141 Dengan cara itulah Gus Latif memastikan bahwa dirinya memperoleh distribusi otoritas. Jika cara itu tidak dilakukannya, maka tidak ada jaminan bahwa ia akan memperoleh otoritas sebagai pimpinan Wahidiyah. Sebabnya adalah adanya wasiat Muallif Wahidiyah tanggal 7 dan 9 Mei 1986 sebagaimana dijelaskan di muka. Wasiat inipun ditegaskan kembali oleh Mbah Nyai (isteri Muallif, ayahanda Gus Latif) pada malam menjelang pemakaman Muallif pagi harinya sebagaimana penjelasan di muka. Pada dinamika selanjutnya dalam keorganisasian Wahidiyah, konflik otoritas semakin kokoh pada saat masing-masing aliran berhasil menghimpun pengamal yang jumlahnya kian hari kian bertambah banyak. Wilayah penyebarannya pun semakin luas, bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga ke luar negeri, termasuk Brunei 142, Malaysia, Singapura, bahkan sampai Filipina, Jepang, Suriname, Australia, Belanda, Brazil, dan Amerika. Terdapat kecenderungan di kalangan para pengamal pada masing-masing untuk mempertajam konflik ini melalui polapola perilaku dan metode-metode penyiaran yang dilakukannya. Masing-masing aliran mengklaim kebenaran alirannya, sambil mengklaim aliran lainnya sebagai aliran yang keliru. Pada tahap inilah kepentingan-kepentingan yang ada dalam konflik itu tampak semakin tandas. 141 Bottomore, e.al., Karl Marx: Selected Writings in Sociology and Social Philosphy, h Untuk data terkait, dalam penelitian ini dilampirkan salinan fatwa Mufti Brunei Darussala m pada 14 Februari 1989, yang intinya adalah Shalawat Wahidiyah boleh diamalkan. Atas dasar data ini, secara historis makna logis yang dapat pahami adalah bahwa pada masa-masa awal tahun 1989 Wahidiyah sudah mencapai skala internasional. Bahkan dari sejumlah informan penulis juga memperoleh informasi bahwa sejak masa hidup Muallif, Wahidiyah sudah mencapai wilayah-wilayah Australia, Belanda, Jepang, dan Brazil.

58 53 Dalam perspektif Dahrendorf, kepentingan-kepentingan itu dapat berupa kepentingan tersembunyi atau kepentingan nyata. Kepentingan tersembunyi adalah harapan peran yang tidak disadari. Sedang kepentingan nyata adalah kepentingan tersembunyi yang telah disadari. Hubungan dua kepentingan inilah, menurut Dahendorf, merupakan tugas utama teori konflik. Selanjutnya kepentingan yang disebutkan sebelumnya selalu melekat pada kelompok yang berbeda-beda. Sedang kelompok yang berbeda-beda tersebut adalah: (1) kelompok semu (quasi group) adalah sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama; (2) kelompok kepentingan (interest group) adalah sejumlah agen yang mempunyai struktur, bentuk organisasi, dan tujuan atau program dan anggota perorangan. 143 Dalam realitasnya, kelompok-kelompok semu (quasi group) adalah: (1) pengurus PSW dan unit-unit terkait yang dibentuk oleh Muallif, (2) jajaran pengurus YPW yang diberi amanat oleh K.H. Abdul Latif, dan (3) jajaran pengurus JMM yang diberi amanat oleh K.H. Abdul Hamid. Sedang kelompokkelompok kepentingan (interest group) adalah: (1) K.H. Abdul Latif beserta keluarganya dan (2) K.H. Abdul Hamid beserta keluarganya. Pada PSW sepeninggal Muallif tidak ada kelompok kepentingan. Sebabnya adalah karakter organisasi PSW adalah birokrasi terbuka dan amanat Muallif. Sedang karakter organisasi YPW dan JMM adalah monarki. Sedang pola-pola interaksi antarindividu, menurut perspektif Simmel 144, melahirkaan konflik intergrup antaraliran di satu sisi dan solidaritas intragrup (antarsesama) pada sisi lain. Hal ini menjadi perhatian Simmel karena menurutnya, realitas konflik disebabkan oleh interaksi antarindividu yang mempunyai kekuatan emosional yang selanjutnya membangun ikatan soidaritas sosial antarsesama dalam kelompok atau memunculkan konflik dengan kelompok lain. Apapun bentuk klaim-klaim tersebut di atas, pada akhirnya masing-masing aliran berhadapan dengan seleksi dan respons-respon sosiologis dari masyarakat luas. Fakta kasak-kusuk masyarakat bahwa Wahidiyah sesat terus berkembang seiring perjalanan waktu. Perjalanan waktu ini terisi oleh aktivitas penyiaran 143 Bottomore, e.al., Karl Marx: Selected Writings in Sociology and Social Philosphy, h Ritzer dan Goodman, Teori Sosiologi Modern, h

59 54 Wahidiyah dari seluruh aliran yang ada. Tidak semuanya berpegang dan menyiarkan Wahidiyah sesuai dengan bimbingan Muallifnya. Oleh karena itu terbuka kemungkinan muncul respons-respons negatif dari masyarakat terhadap Wahidiyah, tanpa memperhatikan apa alirannya. 145 Pada tahap selanjutnya hal ini terbukti pada kasus Tasikmalaya di kalangan pengamal YPW, pada 11 September Kasus ini diinspirasi oleh fatwa MUI Jawa Barat (Nomor: 45/Kep./MUI-TSM/V/2007, tanggal 25 Mei 2007) yang isinya adalah bahwa Wahidiyah adalah aliran Sesat. Fatwa ini dimuat di media cetak (SINDO 146 dan Tribun Jabar 147 ) dan situs website 148, sehingga mudah tersebar di kalangan masyarakat. 145Hal ini terbukti pada satu di antara beberapa kasus yang terjadi, yang sempat dimuat di harian Bernas, Blora, Jum at, 1 Februari 2008, dengan judul berita Aparat Usir Pimpinan Jamaah Sholawat Wahidiyah. Isi utama berita ini adalah Dianggap meresahkan warga mengajarkan amalan agama, dua orang jamaah Sholawat Wahidiyah, Mohamad Isa Kusmiyanto penduduk Desa Kebonsari Kecamatan Sukun Kabupaten Malang, Jatim dan H Abdul Kohar warga Jalan Ciremai, Kampung Situtengah RT 12/RW III Desa Sinarsari Kecamatan Darmaga Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (31/1) pukul "dideportasi" dari Blora oleh aparat setempat. 146 Tasikmalaya (SINDO)-Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten dan Kota Tasikmalaya menyatakan dengan tegas ajaran Wahidiyah pimpinan Abdul Majid atau dikenal pengikutnya dengan sebutan Ghauts Hadzaz Zaman yang berkembang di Kecamatan Taraju, Kabupaten Tasikmalaya dan Kecamatan Mangkubumi, Kota Tasikmalaya, sebagai ajaran sesat. MUI juga meminta para pengikut serta pimpinannya kembali ke jalan agama yang benar. Sekretaris MUI Kabupaten Tasikmalaya Dudung Abdul Salam mengatakan, sebelumnya ajaran tersebut berkembang di Kampung Kereteg, Kelurahan Cigantang, Kecamatan Mangkubumi, Kota Tasikmalaya. Praktik yang dilakukannya adalah melakukan salawatan di rumah warga yang kemudian mendoktrin pengikutnya bahwa pimpinannya, Abdul Majid, bisa menanam atau mancabut iman seseorang dan bila tidak ada dirinya, maka Allah swt akan segera menghancurkan dunia. "Pada 2005, MUI Kota Tasikmalaya mengeluarkan fatwa yang menegaskan ajaran tersebut sesat dan harus dibubarkan. Serta meminta pimpinan dan para pengikutnya kembali ke jalan yang benar atau ajaran Islam yang sebenar-benarnya. Tapi, kini ajaran tersebut berkembang lagi di Taraju, KabupatenTasikmalaya. Kami mengeluarkan fatwa setelah mengkaji ajaran ini," papar Dudung, Kemarin. (Nanang Kuswara, Sindo). Lihat Koran Seputar Indonesia, Kamis, 31 Mei Tribun memuat berita berjudul MUI Pastikan Wahidiyah Sesat, Kamis, 31 Mei Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat mengeluarkan fatwa bahwa ajaran Wahidiyah yang dipimpin oleh Abas (tokoh lokal aliran YPY), asal Sumahmadu Taraju, Kab. Tasikmalaya, dinyatakan sesat. MUI minta kepada pengikut ajaran Wahidiyah agar kembali ke ajaran Islam sejalan dengan al-qur an dan Hadis. Kepada Pers, pada hari Rabu, 30 Mei 2007, di kantor MUI Tasikmalaya, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Kabupaten Tasikmalaya, K.H. Dudung Abd. Salam, menjelaskan bahwa Hasil pembahasan serta kajian yang dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI Kabupaten Tasikmalaya, menyatakan aliran atau paham Wahidiyah, adalah sesat serta menyesatkan. Lihat situs resmi: KESRA--2 JUNI: Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat).

60 55 Di antara akibat dari fatwa ini adalah perlakuan anarkis FPI terhadap para tokoh, pengamal, dan segala bentuk aktivitas Wahidiyah dari aliran YPW di Tasikmalaya. Sikap anarkis FPI dalam kasus Tasikmalaya ini sempat dipublikasikan di televisi (Metro TV 149 dan Liputan 6 SCTV), sehingga ketersebaran informasi semakin cepat. Secara yuridis, FPI menjadikan fatwa MUI itu sebagai dasar tindakan anarkisnya. Sikap anarkis ini berlanjut pada sikap antisipatif FPI terhadap aliran Wahidiyah lainnya, kecuali PSW. Berdasarkan fakta di lapangan pada masa kasus itu mencapai puncaknya, FPI justru memperlihatkan sikap bersahabat kepada para tokoh, pengamal, dan seluruh aktivitas PSW. Dari corak bendera saja FPI segera mengenali aliran tertentu. 150 Sikap bersahabat FPI ini selanjutnya dapat dipahami berdasarkan fakta di lapangan, PSW terbukti tidak pernah bermasalah dengan ajaran Wahidiyah yang disiarkannya, karena ajaran ini dijaga kemurniannya oleh PSW sesuai dengan bimbingan Muallif Wahidiyah. Hal ini juga dibuktikan oleh hasil penelitian tim peneliti Departemen Agama sebagaimana penjelasan pada bagian pendahuluan. Fatwa MUI bahwa Wahidiyah sesat didasarkan pada hasil penelitian lapangan. Atas dasar data-data lapangan inilah diperoleh adanya bukti-bukti penyimpangan ajaran Wahidiyah. Penyimpangan ini dipandang serius karena berkenaan dengan aspek akidah dan syari at islam, dan relasi sosial sesama muslim maupun dengan masyarakat luas. Terhadap kasus tersebut, secara moral dan manajerial PSW memandang penting (ahamm) untuk mengambil langkah-langkah responsip dan solutif. PSW menempuh dua jalan. Pertama, mengirim tim verifikasi ke lokasi kasus 149 Kasus Tasikmalaya (masalah Wahidiyah) ditayangkan pada acara Metro Realitas, Senen, 8 Oktober 2007 pukul WIB. Sebelum tayangan acara ini DPP PSW mengirimkan surat kepada pihak Metro TV agar memuat pernyataan sikap dan penjelasan tentang Wahidiyah yang naskahnya dilampirkan dalam lampiran surat tersebut; nomor: 208/U/DPP PSW-45/IX/2007, tanggal 7 Oktober Di antara isi pernyataan sikap DPP PSW adalah seruan agar kepada seluruh Pengamal Sholawat Wahidiyah supaya melaksanakan pengamalan Wahidiyah sesuai bimbingan Muallif. Sedang di antara isi penjelasan tentang Wahidiyah adalah bahwa Wahidiyah bukan hak waris. Isi penjelasan ini merujuk pada wasiat Muallif tanggal 7 dan 9 Mei Hasil wawancara dengan Moh. Choderi (anggota tim verifikasi yang ditugaskan oleh PSW) pada Ahad, 27 Januari 2008.

61 56 Tasikmalaya. 151 Kedua, resolusi agar MUI Jawa Barat bersedia mengubah fatwanya agar berlaku spesifik pada aliran yang menyebabkan kasus penyimpangan tersebut. Langkah pertama telah terlaksana dan berhasil menghimpun data-data lapangan yang diperlukan. Sedang langkah kedua tidak berhasil 152, meskipun PSW telah membawa bukti-bukti dokumen yang dipandang kuat untuk mendukung resolusinya. Usaha resolusi PSW dilanjutkan ke tingkat MUI Pusat untuk memperjuangkan pijakan yuridis yang lebih kuat dengan jangkauan wilayah yang lebih luas, karena PSW memandang bahwa masalah Wahidiyah tidak terbatas di wilayah Jawa Barat. Bentuk-bentuk konsultasi, audiensi, dan verifikasi data PSW dengan MUI Pusat segera dilaksanakan seoptimal mungkin. Usaha ini pun juga tidak berhasil, karena MUI Pusat berdasar bahwa kasus Tasikmalaya merupakan wilayah MUI Jawa Barat. Meskipun demikian, PSW terus berupaya untuk mencapai hasil resolusi itu. Pada tahap selanjutnya MUI Pusat bersama MUI Jawa Timur menurunkan komisi pengkajian 153 terhadap organisasi-organisasi Wahidiyah. Pada saat tim ini hadir di PSW pada Ahad, 2 Desember 2007, mereka disambut dan diperlakukan secara baik dan proaktif. Seluruh unsur pimpinan PSW dan Majelis Tahkim (Lembaga Penasehat PSW) hadir untuk menyambut kehadiran Tim dalam forum pertemuan yang dijadwalkan. Akan tetapi pada saat tim hadir di YPW pada Senin, 3 Desember 2007, mereka tidak diijinkan bertemu dengan pimpinannya. Alasannya adalah karena tim dianggap tidak selevel dengan pimpinan YPW. Padahal anggota tim ini terdiri dari orang-orang yang telah mencapai gelar akademik tertinggi serta para kyai dan sarjana yang sepatutnya diperlakukan 151Anggota tim verifikasi yang ditugaskan adalah Moh. Choderi, Ach. Dzaky Ghufron, MHI, dan M. Zainul Arifi, S.Pd.I Hasil wawancara dengan Moh. Choderi sebagai subjek, pada Ahad, 27 Januari Berdasarkan informasi dari subjek ini, tim berhasil menemui Abas (tokoh lokal aliran YPM) di Sumahmadu, Taraju, Tasikmalaya. Dalam kasus Tasikmalaya, rumah Abas sempat menjadi sasaran tindak anarkis yang dilakukan oleh FPI. 152Meskipun sempat diberitakan di harian Pikiran Rakyat, Jumat, 08 Juni 2007, dengan judul kolom MUI tidak Akan Mencabut Fatwa Siap Melayani Gugatan Penyiar Sholawat Wahidiyah, tetapi nyatanya resolusi DPP PSW ke MUI Jawa Barat tidak berhasil. 153Anggota komisi MUI Pusat adalah: (1) Prof. Dr. Utang Ranuwijaya, MA dan (2) Dr. AmirsyahTambunan, MA. Sedang anggota komisi MUI Jawa Timur adalah: (1) K.H. Imam Mawardi, Z.I., (2) Drs. K.H. Hasyim Abbas, MHI, dan (3) Drs. Masduki. Sumber: Dokumen DPP PSW.

62 57 secara baik dan layak dalam pelaksanaan tugas investigasinya. Tim hanya disambut oleh informan sekunder yang diinstruksikan oleh pimpinan YPW untuk menjelaskan alasan tersebut. Hasil investigasi ini dituangkan kedalam Temuan Hasil Investigasi Komisi Pengkajian MUI Pusat bersama MUI Jawa Timur terhadap Penyiar Shalawat Wahidiyah dan Yayasan Perjuangan Wahidiyah Tanggal 2 Desember Pada poin nomor 2 temuan investigasi ini disebutkan bahwa: Kedua kepemimpinan tersebut (PSW dan YPW, pen.) terjadi konflik kepentingan, yang hingga saat ini belum ada tanda-tanda untuk dapat melakukan rekonsiliasi (ishlah), meskipun sudah diupayakan oleh beberapa pihak seperti Dandim, Sospol, dan pihak keluarga. Terutama keengganan rekonsiliasi itu ditunjukkan oleh sikap Abd. Latif yang memandang bahwa Wahidiyah adalah warisan yang harus jatuh ke tangan Abd. Latif. 155 Kondisi itu semakin mempertandas bangunan otoritas YPW yang ditegakkan di atas basis spiritual sebagai ghauts dan argumen sebagai ahli waris meskipun bertentangan dengan wasiat Muallif sendiri. Pada realitasnya basis ini memang diajarkan dan ditradisikan di kalangan para pengamalnya. Kultus individu dibangun dan terus diperkuat melalui berbagai cara dan media; kisi ritual, seremoni, komunikasi intrapersonal dan interpersonal, penyiaran, dan publikasi 156. Kondisi itu juga membuat pimpinan YPW memantapkan ststus diri sebagai sosok yang memandang dirinya memiliki status, kharisma, power, dan otoritas yang semuanya menyatu dalam entitas pribadinya. Hal ini dalam perspektif Max Weber 157, mempertegas tipe otoritas khaismatik, dan dalam perspektif Wright 154Sumber: Dokumen DPP PSW, salinan Temuan Hasil Investigasi Komisi Pengkajian MUI Pusat bersama MUI Jawa Timur terhadap Penyiar Shalawat Wahidiyah dan Yayasan Perjuangan Wahidiyah Tanggal 2 Desember 2007, ditandatangani oleh dua anggota komisi pengkajian dari MUI Pusat (Prof. Dr. Utang Ranuwijaya, MA dan dan Dr. AmirsyahTambunan, MA), tanggal 21 Desember Ibid. 156 Di antara tiga aliran organisasi Wahidiyah, YPW merupakan aliran organisasi yang paling produktif dalam hal publikasi media kewahidiyahan. Organisasi ini memiliki majalah Ahamm yang terbit secara rutin. Isinya seputar doktrin-doktrin Wahidiyah versi YPW dan pengalaman-pengalaman perjuangan YPW di berbagai daerah, disamping corak penguatan kultus individu sebagai karakter khas yang dibangun oleh YPW. Model penguatan kultus individu ini direpresentasikan juga kedalam buku yang disusun oleh Team Pengalaman Rohani, Shalawat Wahidiyah dan Pengalaman Rohani (untuk kalangan sendiri) (Kediri: Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo, 1427 H/2004 M). Aliran organisasi selain YPW, yakni PSW, pernah menerbitkan Bulletin Kembali, tetapi edisi-edisi penerbitannya tidak lancar. 157 Ritzer dan Goodman, Teori Sosiologi Modern, h

63 58 C. Mills, mempertegas tipe final power, yaitu koersi. Dengan demikian, secara teoretis dalam hemat penulis, model-model resolusi dan konsensus apapun akan menjadi tawar jika diterapkan pada kondisi itu. Apa yang menurut Karl Marx, Max Weber, dan Dahrendorf sebut superordinat benar-benar melekat pada diri pimpinan YPW yang memandang individu-individu dan kelompok-kelompok lain sebagai subordinat. Pada akhirnya, realitas bambu yang terbelah dalam Wahidiyah, memberikan ruang dinamika yang nyaman bagi perspektif Dahrendorf dengan teori dialektika (dialectical theory)-nya yang tersusun atas dua teori, yaitu: (1) teori konflik dan (2) teori konsensus. 158 Dengan perspektif ini, oleh karena otoritas YPW semakin memantapkan status, power, kharisma, dan otoritasnya, maka pimpinan YPW memiliki power untuk mengikat warga pengamalnya bersama di hadapan status dan kharismanya. Sedang pada sisi lain, integrasi kelompok hanya berlaku pada masing-masing aliran yang bersangkutan. Wajah integrasi ini bergeser keluar dari idealisme ukhuwah sebagaimana bimbingan Muallif Wahidiyah. Dengan kata lain, integrasi ukhuwah yang ideal Wahidiyah tidak dapat bertahan, karena adanya realitas disintegrasi munculnya aliran-aliran baru selain aliran organisasi bimbingan Muallif Wahidiyah. Coser nemabahkan pada bagian akhir teorinya, bahwa konflik dengan satu kelompok dapat membantu menciptakan kohesi melalui aliansi dengen kelompok lain. Tidak sekedar itu saja, Coser menambahkan bahwa konflik yang terjadi di dalam masyarakat, dapat mengaktifkan peran individu yang semula terisolasi dan juga membantu fungsi komunikasi. 159 Teori Coser ini terbukti pada saat Gus Latif pernah menginterograsi tokoh-tokoh PSW pasca deklarasi konspirasi politis di atas. Intrograsi menjadi forum mih}nah (inkuisisi). Inti intrograsi ini adalah memastikan intragrup dan kelompok intergrup. 160 Dengan cara konflik yang 158 Dahrendorf dikenal sebagai pewaris teori konflik Karl Marx dan Max Weber. Lihat Tom Bottomore, e.al., Karl Marx: Selected Writings in Sociology and Social Philosphy (Victoria: Penguin Books, 1979), 159 Ibid. h Hasil wawancara dengan Bapak Abdul Wahid Soewoto sebagai subjek. Interviewee adalah mantan penginjil yang menjadi pengamal Wahidiyah sejak masa hidup Muallif. Nama Abdul Wahid merupakan pemberian Muallif pada saat yang bersangkutan masuk Islam dan menjadi pengamal. Dia juga pernah dipercaya oleh Muallif sebagai kepala SMA Wahidiyah. Informasi

64 59 sengaja dibangun oleh Gus Latif, maka ia dapat mengaktifkan dan menghimpun peran aktif individu-individu intragrup yang semula terisolasi karena tidak diperhitungkan atau tersisih pada sistem sebelumnya. Cara ini juga dapat memperjelas afiliasi politis dan arah integrasi. D. Upaya-Upaya Penyelesaian Konflik Otoritas Wahidiyah Upaya-upaya penyelesaian konflik otoritas Wahidiyah ini sebenarnya sudah sering dilakukan dengan beberapa model; pendekatan interpersonal, membangun konsensus, kekeluargaan, instansional, dan negosiasi distribusi otoritas. Akan tetapi semuanya kandas di tengah jalan, karena faktor kebertahanan argumen otoritas pada masing-masing aliran Wahidiyah. Hal ini sebagaimana disebutkan hasl temuan investigasi komisi pengkajian sebagaimana dijelaskan di muka. Dalam perspektif teori konflik, seiring dengan perjalanan waktu, realitas perpecahan itu sampai kondisi terkini diterima sebagai realitas distribusi otoritas. Sikap menerima terhadap realitas distribusi otoritas itu nyatanya masih berhadapan dengan persoalan konflik yang tersisa, yaitu aspek legalitas hukum, karena hal ini berkaitan dengan verifikasi keabsahan yuridis dan kelancaran proses perjuangan masing-masing aliran di tengah-tengah masyarakat. Dinamika historis Wahidiyah, sebagai ideologi dan sistem nilai di tengahtengah masyarakat di Indonesia khususnya, berhadapan dengan aspek legalitas hukum sebagai organisasi sosial di Indonesia. Hal ini sejak awal sebenarnya sudah diperhitungkan dan diantisipasi oleh Muallifnya Wahidiyah sebagaimana penjelasan di atas. Masing-masing aliran cenderung bertahan pada argumen normatif ajarannya. Akan tetapi aliran-aliran itu, nyatanya, berhadapan dengan aspek legalitas hukum. Hal ini menjadi problem tersendiri bagi Wahidiyah, sebelum crosscheck (pemeriksaan silang) dari sumber primer ini sebagaimana diceritakan oleh Bapak H. Mufakhir yang beralamat di Jl. Masjid Nurul Hidayah, Kelapa Dua Wetan RT.07/RW.12 No. 5 Kec. Ciracas Jakarta Timur, pada hari Sabtu, tanggal 23 September 2006, sekitar pukul WIB. Kisah tersebut diperkuat dan dipertajam oleh Bapak K. Sholihuddin Mahfudz, S.Sos, pada kesempatan wawancara dengan Beliau pada hari Kamis, tanggal 28 September 2006, sekitar pukul WIB, di Tanjungsari Kec. Boyolangu Kab. Tulungagung. Informasi dari dua informan ini dipertajam dengan hasil wawancara dengan sumber primer (subjek), yakni Bapak Abdul Wahid Suwoto, pada hari Rabu, tanggal 21 Pebruari 2007, sekitar pukul WIB, di rumahnya di Maesan Sooko Kediri.

65 60 ketika aliran-aliran tersebut berkembang dengan sayapnya masing-masing di tengah-tengah masyarakat. Puncak problem legalitas hukum Wahidiyah muncul ketika terjadi perbedaan corak ajaran Wahidiyah karena adanya perbedaan aliran Wahidiyah yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itulah Pemerintah mengambil tindakan penyelesaian masalah keorganisasian Wahidiyah berkenaan dengan keabsahan dan legalitas hukumnya. Tindakan penyelesaian masalah tersebut terjadi pada tahun Peristiwa ini dilaksanakan di Kantor Jawatan Penerangan Ditsospol Propinsi Jawa Timur, di Jalan Pemuda No. 5 Surabaya, pada tanggal 29 September 1992, sekitar pukul s.d WIB. 161 Pada peristiwa itu, suasana tempat duduk sebagaimana dikisahkan oleh informan penulis gambarkan sebagai berikut: Gambar 1: Suasana Tempat Duduk Penyelesaian Masalah Keorganisasian Wahidiyah Pada Tanggal 29 September 1992 di Kantor Jawatan Penerangan Direktorat Sosial Politik (Ditsospol) Jawa Timur 7 Bp. H. Sunandar, SH 6 Bp. Abdul Wahid Suwoto 5 Bp. K. Ibnu Alwan Bp. Dimyati 5 4 Bp. K. Ruhan Sanusi Bp. Zainuddin 4 3 Bp. K. Ihsan Mahin Bp. K. Abdul Latif 3 Madjid 2 Bp. H. Syafi i. Bp. K. Mahfudz Shiddiq 2 1 Bp. H. Afandi Bp. Slamet 1 Kelompok PSW Kelompok PUPW/YPW Bp. Zainal Muhtadin (Sekretaris) Bp. Sunarjo, SH (Moderator) 161 Informasi tentang peristiwa penyelesaian hukum ini merupakan hasil wawancara dengan Bapak Abdul Wahid Suwoto (pelaku sejarah) pada hari Rabu, tanggal 21 Pebruari 2007, sekitar pukul WIB, di rumahnya di Maesan Sooko Kediri. Informan adalah pengamal Wahidiyah, mantan penginjil. Kisahnya penulis paparkan pada Bab IV, pada sub bahasan tentang Fenomena Keterbukaan Ideologis dalam Dinamika Historis Wahidiyah.

66 61 Materi penyelesaian dalam forum tersebut adalah masalah keabsahan (legalitas hukum) organisasi Wahidiyah sebagai organisasi sosial keagamaan di Indonesia. Pada forum inilah Wasiat Muallif Shalawat Wahidiyah pada Tanggal 7 dan 9 Mei 1986 dan pendafatan PSW Pusat pada Ditsospol Jawa Timur pada tanggal 7 September 1987 menjadi kunci utama pemecahan masalah. Akhirnya Ditsospol Jawa Timur hanya mengakui PSW sebagai Organisasi Wahidiyah yang sah. 162 Forum penyelesaian masalah itu sebenarnya merupakan sebagian dari aneka realitas Wahidiyah. Sebab, dalam perkembangan selanjutnya, setelah adanya forum itu, YPW memperoleh perhatian massa yang semakin banyak jumlahnya. Oleh karena itulah, kemudian muncul istilah, bahwa dalam hal keorganisasian Wahidiyah, PUPW menduduki posisi de facto, sedangkan PSW menduduki posisi de jure. De facto berarti secara faktual memperoleh dukungan massa yang banyak, sedangkan de jure berarti diakui sah keberadaannya secara hukum oleh lembaga negara yang berwenang. Posisi de facto terbukti pada saat PUPW mengadakan acara Haul 163 pada tahun 1993 di Pesantren Kedunglo Kediri. Massa yang hadir pada acara itu sekitar 20 ribu orang. Sedangkan pada saat yang sama, PSW dengan posisi de jure yang dimilikinya menyelenggarakan Mujahadah Kubro I di Pesantren At- Tahdzib (PA) Rejoagung Ngoro Jombang yang dihadiri oleh massa sekitar 300 orang. Kemudian pada tahun yang sama, PSW menyelenggarakan Mujahadah Kubro II 164 yang dihadiri oleh sekitar orang. Jumlah ini surut menjadi sekitar 800 orang pada saat Mujahadah Kubro III tahun 1994, karena pada tahun ini K. Abdul Hamid (putera Muallif RA) mendirikan Organisasi Miladiyah. Dalam perkembangan selanjutnya sampai masa teraktual tahun 2010, Mujahadah 162 Ibid. 163 Haul merupakan acara tahunan memperingati hari wafat seseorang, pada umumnya tokoh agama yang berpengaruh. Haul itu digunakan sebagai alternatif penting nama acara, karena PUPW menduduki posisi de facto, bukan de jure. Hal ini berbeda dengan Mujahadah Kubro sebagai nama acara yang digunakan oleh PSW dengan posisi de jure yang dimilikinya. Mujahadah Kubro merupakan kegiatan kalenderik Wahidiyah sebagaimana diajarkan oleh Muallifnya. 164 Sesuai dengan ajaran Muallif Shalawat Wahidiyah, Mujahadah Kubro dilaksanakan dua kali setahun, yakni pada bulan Muharram dan bulan Rajab.

67 62 Wahidiyah yang diselenggarakan oleh PSW dihadiri oleh massa sekitar orang untuk empat gelombang/hari kegiatannya. Dengan keadaan ini, PSW meraih posisi de jure dan de facto sekaligus. Di sisi lain, pada saat penyelesaian masalah di atas (tahun 1992) hingga Mujahadah Kubro I pada tahun 1993, PSW belum menduduki (membuka cabang) separo lebih satu dari jumlah kabupaten di Propinsi Jawa Timur. Ketika itu jumlah seluruh kabupaten di Propinsi Jawa Timur adalah 27 kabupaten, sedangkan jumlah kabupaten yang sudah diduduki (dibuka cabang) oleh PSW adalah 13 kabupaten.

68 BAB V TEMUAN DAN REKOMENDASI PENELITIAN A. Temuan Penelitian Bambu Wahidiyah merupakan istilah simbolik yang digunakan oleh penulis untuk menggambarkan ajaran dan bimbingan ukhuwah (persaudaraan, kerukunan, persatuan, dan kesatuan umat) dalam Wahidiyah. Ajaran dan bimbingan ukhuwah ini bersumber dari kisi spiritualnya yang artinya Ya Allah, pereratlah persaudaraan dan persatuan di antara kami, ya Tuhan kami dan Ya Allah, sampaikanlah seruan kami ini kepada seluruh dunia dan letakkanlah kesan yang merangsang di dalamnya. Ajaran Ukhuwah dan bimbingan ini terpancar dari ajaran pokok Wahidiyah, yaitu Lillah-Billah, dan dimaksudkan untuk mencapai skala global. Untuk menjamin kelangsungan seluruh ajaran Wahidiyah, termasuk ajaran ukhuwah tersebut, Muallif Wahidiyah telah menyiapkan wasiatnya tanggal 7 dan 9 Mei Sebagai bekal bagi penyelenggaraan organisasi yang mendukung wasiat tersebut, Muallif Wahidiyah memberikan bimbingan enam asas, yaitu: (1) dedikasi, (2) musyawarah, (3) mengutamakan kewajiban daripada hak, (4) mengutamakan yang lebih penting, kemudian yang lebih bermanfaat, (5) saling menolong, dan (6) tawakkal. Secara kontras, fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa ukhuwah Wahidiyah bergeser dari idealisme ukhuwah di atas ke corak variasi otoritas. Masing-masing aliran menyatakan dirinya eksis dengan spirit moral yang sengaja dipegang sebagai argumen historis, spiritual, dan sosilologis. Dalam perspektif Max Weber, argumentasi spiritual dan sosiologis merupakan tarikan tinggi dari otoritas politik yang terjadi melalui mobilisasi sosial yang didasarkan atas kekuasaan, prestise, serta kekayaan. Sedang tipe-tipe otoritasnya adalah: (1) otoritas PSW bertipe tradisional, kecuali semasa hidup Muallif, ia bertipe kharismatik, (2) otoritas PUPW/YPW bertipe kharismatik, dan (3) otoritas JMM bertipe kharismatik. Dengan demikian fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa bambu Wahidiyah terpecah, kontras terhadap idealisme yang selalu diserukannya. Oleh karena itulah 63

69 64 kajian tantang status, otoritas, power, dan kepentingan dalam perspektif teori konflik menarik dan penting dilakukan. Dalam perspektif Coser, konflik dalam ukhuwah Wahidiyah memperlihatkan wajahnya ketika pihak-pihak yang berkonflik mencapai garis batas identitas yang sebenarnya sudah tampak dalam beberapa momen dan perilaku sejak Muallifnya masih hidup, memimpin secara langsung seluruh aktivitas ritual dan membimbing secara langsung seluruh aktivitas keorganisasian. Garis batas ini mencapai puncaknya, karena dideklarasikan secara terbuka, pada saat pengumuman di pagi hari menjelang pemakaman jenazah Muallif Wahidiyah. Fatwa sakral Muallif dan penegasan Mbah Nyai (isteri Muallif) pada malam hari sebelum pemakaman dipatahkan oleh deklarasi itu. Materi deklarasi yang penting dalam perspektif teori konflik adalah maklumat tentang Pimpinan Umum Perjuangan Wahidiyah. Dengan demikian deklarasi tersebut menampilkan corak konspirasi politis. Dalam perspektif Coser, fakta konspirasi politis menyatakan adanya konflik realistis, yaitu konflik yang ditampakkan secara nyata. Sedang dalam perspektif Max Weber, istilah Pimpunan Umum tersbut merupakan usaha untuk menjadi pemimpin yang kharismatik dengan power yang dimlikinya. Selanjutnya dengan perspektif Weber, idealisme kepemimpinan yang kharismatik itu berhasil mencapai konflik yang dengan memberikan tekanan yang kuat terhadap otoritas yang lama, karena Muallif sudah meninggal. Tekanan ini dimaksudkan untuk menghasilkan sistem baru tentang peran dan administrasi, dan diorientasikan kedepan agar dapat menekan semua varian aliran Wahidiyah yang sudah ada maupun yang akan muncul kemudian. Pada dinamika selanjutnya, konflik otoritas semakin kokoh pada saat masing-masing aliran berhasil menghimpun pengamal yang jumlahnya kian hari kian bertambah banyak. Adanya kepentingan-kepentingan, dalam perspektif Dahrendorf, dapat berupa kepentingan tersembunyi atau kepentingan nyata, yang berbeda-beda; kelompok semu (quasi group) atau kelompok kepentingan (interest group). Dalam realitasnya, kelompok-kelompok semu adalah: (1) pengurus PSW dan unit-unit terkait yang dibentuk oleh Muallif, (2) jajaran

70 65 pengurus YPW yang diberi amanat oleh K.H. Abdul Latif, dan (3) jajaran pengurus JMM yang diberi amanat oleh K.H. Abdul Hamid. Sedang kelompokkelompok kepentingan adalah: (1) K.H. Abdul Latif beserta keluarganya dan (2) K.H. Abdul Hamid beserta keluarganya. Pada PSW sepeninggal Muallif tidak ada kelompok kepentingan. Sedang pola-pola interaksi antarindividu, menurut perspektif Simmel, melahirkaan konflik intergrup antaraliran di satu sisi dan solidaritas intragrup (antarsesama) pada sisi lain. Realitas konflik disebabkan oleh interaksi antarindividu yang mempunyai kekuatan emosional yang membangun ikatan soidaritas sosial intragrup atau memunculkan konflik intergrup. Perhatian terpenting teori konflik adalah pimpinan YPW yang memantapkan ststus diri sebagai sosok yang memandang dirinya memiliki status, kharisma, power, dan otoritas yang semuanya menyatu dalam entitas pribadinya. Hal ini dalam perspektif Max Weber, mempertegas tipe otoritas khaismatik, dan dalam perspektif Wright C. Mills, mempertegas tipe final power, yaitu koersi. Dengan demikian, secara teoretis dalam hemat penulis, model-model resolusi dan konsensus apapun akan menjadi tawar jika diterapkan pada kondisi itu. Apa yang menurut Karl Marx, Max Weber, dan Dahrendorf sebut superordinat benar-benar melekat pada diri pimpinan YPW yang memandang individu-individu dan kelompok-kelompok lain sebagai subordinat. Pada akhirnya, realitas bambu yang terbelah dalam Wahidiyah, memberikan ruang dinamika yang nyaman bagi perspektif Dahrendorf dengan teori dialektika (dialectical theory)-nya yang tersusun atas dua teori, yaitu: (1) teori konflik dan (2) teori konsensus. Oleh karena otoritas YPW semakin memantapkan status, power, kharisma, dan otoritasnya, maka pimpinan YPW memiliki power untuk mengikat warga pengamalnya bersama di hadapan status dan kharismanya. Sedang integrasi kelompok hanya berlaku pada masing-masing aliran yang bersangkutan. Wajah integrasi ini bergeser keluar dari idealisme ukhuwah sebagaimana bimbingan Muallif Wahidiyah; integrasi ukhuwah yang ideal Wahidiyah tidak dapat bertahan, karena realitas disintegrasi.

71 66 Coser nemabahkan, bahwa konflik yang terjadi dapat mengaktifkan peran individu yang semula terisolasi dan juga membantu fungsi komunikasi. Teori Coser ini terbukti pada saat pimpinan PUPW/YPW pernah menginterograsi tokoh-tokoh PSW pasca deklarasi di atas. Intrograsi menjadi forum inkuisisi untuk memastikan kelompok intragrup dan kelompok intergrup. Dengan cara konflik yang sengaja dibangunnya, maka ia dapat mengaktifkan dan menghimpun peran aktif individu-individu intragrup yang semula terisolasi karena tersisih pada sistem sebelumnya. Cara ini juga dapat memperjelas afiliasi politis dan arah integrasi. B. Rekomendasi Penelitian Sebatas hasil penelitian ini sebagian teknik pengumpulan data belum dilakukan secara optimal karena masalah teknis, eksklusivitas sebagian sumber informasi, dan batas penyelesaian penelitian yang dijadwalkan. Oleh karenanya perlu ada penelitian-penelitian lanjutan dengan dua agenda: (1) eksplorasi secara lebih mendalam dan kritis terhadap teori-teori konflik yang secara langsung berkaitan dengan masalah penelitian dan (2) pengayaan verifikasi data secara lebih mendalam yang berkonsekuensi terhadap pelaksanaan penelitian secara lebih intensif. Kianya dua agenda tersebut dapat dijasikan sebagai informasi inspiratif untuk penelitian-penelitian selanjutnya tentang masalah-masalah sejenis.

72 INTERVIEW GUIDE (PEDOMAN WAWANCARA) Penelitian tentang Bambu Wahidiyah: Antara Cita dan Fakta A. Pertanyaan-Pertanyaan Pokok: 1. Menurut bapak/ibu/saudara, Wahidiyah itu apa? 2. Menurut bapak/ibu/saudara, apakah ada ajaran Wahidiyah tentang ukhuwah (persaudaraan, kerukunan)? Jika ada, bagaimanakah ajaran ukhuwah itu? 3. Menurut bapak/ibu/saudara, apakah di dalam Shalawat Wahidiyah ada bacaan atau doa tentang ukhuwah? Jika ada, apakah bunyi dan maksudnya? 4. Menurut bapak/ibu/saudara, bagaimanakah kenyataan ukhuwah dalam Wahidiyah itu sekarang? 5. Menurut bapak/ibu/saudara, mengapa terjadi perpecahan organisasi dalam Wahidiyah? 6. Menurut bapak/ibu/saudara, jika ada kepentingan-kepentingan tertentu, bagaimanakah tanda-tanda perilaku adanya kepentingan-kepentingan itu? 7. Menurut bapak/ibu/saudara, jika ada kepentingan-kepentingan tertentu, bagaimanakah hubungan di antara kepentingan-kepentingan itu? 8. Menurut bapak/ibu/saudara, bagaimanakah cara-cara yang digunakan untuk menjadi pimpinan Wahidiyah? 9. Menurut bapak/ibu/saudara, bagaimanakah perilaku-perilaku kedudukan/kekuasaan (otoritas) pimpinan dalam organisasi-organisasi Wahidiyah? 10. Menurut bapak/ibu/saudara, bagaimanakah sifat-sifat kedudukan/kekuasaan (otoritas) pimpinan dalam organisasi-organisasi Wahidiyah 11. Menurut bapak/ibu/saudara, apakah ada usaha-usaha untuk mendamaikan (menyatukan) organisasi-organisasi Wahidiyah? Jika ada, bagaimanakah bentuk-bentuk usaha-usaha itu? 67

73 68 B. Pertanyaan-Pertanyaan Mendalam: 1. Apakah bapak/ibu/saudara mengenal Wahidiyah? Jika ya, bagaimanakah Wahidiyah menurut bapak/ibu/saudara? 2. Apakah bapak/ibu/saudara pengamal Wahidiyah? Jika ya, sudah berapa lama bapak/ibu/saudara menjadi pengamal dan mengikuti organisasi Wahidiyah apa/yang mana?; bagaimanakah pengalaman bapak/ibu/saudara selama menjadi pengamal? 3. Apakah bapak/ibu/saudara pernah menjadi pengurus organisasi Wahidiyah? Jika ya, pada organisasi Wahidiyah apa/yang mana dan tahun berapa bapak/ibu/saudara pertama kali menjadi pengurus?; apakah sekarang juga menjadi pengurus?; dan bagaimanakah pengalaman bapak/ibu/saudara selama menjadi pengurus? 4. Apakah bapak/ibu/saudara mengetahui sebab-sebab perpecahan organisasi dalam Wahidiyah? 5. Apakah bapak/ibu/saudara mengetahui pimpinan organisasi-organisasi Wahidiyah? Jika ya, bagaimanakah perilaku dan sifat kepemimpinannya? 6. Apakah bapak/ibu/saudara menghadiri acara menjelang pemakaman jenazah Muallif? (pertanyaan bagi pengamal semasa hidup Muallif) 7. Menurut bapak/ibu/saudara, bagaimanakah perpecahan organisasi yang ada di Wahidiyah? 8. Menurut bapak/ibu/saudara, apakah ada pertentangan (konflik) di antara organisasi-organisasi Wahidiyah? Jika ada, bagaimanakah bentuk-bentuk pertentangan itu? 9. Menurut bapak/ibu/saudara, apakah ada usaha-usaha untuk mengatasi pertentangan itu? Jika ada, bagaimanakah bentuk-bentuk usaha-usaha untuk mengatasi pertentangan itu? Apakah bapak/ibu/saudara pernah terlibat langsung dalam usaha mengatasi pertentangan? Jika ya, bagaimanakah hasilnya? 10. Apakah harapan bapak/ibu/saudara terhadap Wahidiyah? 11. Apakah harapan bapak/ibu/saudara terhadap organisasi Wahidiyah?

74 BIBLIOGRAFI Abercrombie, Nicholas; Hill, Stephen; dan Turner, Bryan S Kamus Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I. Alexander, Jeffrey C Theoretical Logic in Sociology: Positivism, Presuppositions, and Current Controversies, Volume 1 Ed. John Rex. Great Britain: Routledge and Kegan Paul Ltd.. Aoki, Masahiko Toward a Comparative Institutional Analysis. Massachusetts: Massachusetts Institutte of Technology. Bartos, Otomar J. dan Wehr, Paul Using Conflict Theory. Cambridge: Cambridge Unversity Press. Bogdan, R. dan Taylor, Steven Introduction to Qualitativee Research Methods. John Wiley & Sons. Bottomore, Tom, e.al Karl Marx: Selected Writings in Sociology and Social Philosphy. Victoria: Penguin Books. Collins, Sandra D. dan O'Rourke, James S Managing Conflict and Workplace Relationships (Managerial Communication Series 3). Mason-USA: South- Western Congage Learning. Coser, Lewis (ed.) George Simmel. Eaglewood Cliffts, N.J.: Prentice-Hall The Function of Social Conflict. New York: Free Press Continuities in the Study of Social Conflict. New York: Free Press. Dahrendorf, Ralf Class and Class Conflict in Industrial Society. California: Stanford University Press Essays in the Theory of Society. Stanford, Calif.: Stanford University Press The New Liberty Survival and Justice in a Changing World. California: Stanford University Press. Denzin, Norman K. dan Lincoln, Yvonna S Hand Book of Qualitative Research, terj. Dariyatno, et. al. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I. Deutsch, Morton; Coleman, Peter T.; dan Marcus, Eric Colton The Handbook of Conflict Resolution: Theory and Practice, Second Edition. San Francisco: John Wiley & Son Inc. Durkheim Émile Rules of the Sociological Method (French: Les Règles de la Méthode Sociologique). Faisal, Sanapiah Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar dan Aplikasi. Malang: YA3 IKIP Malang Format-Format Penelitian Sosial Dasar-Dasar dan Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 69

75 70 Faqih, Mansur Sesat Teori Pembangunan dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ferrante, Joan Sociology: a Global Perspective, Sixth Edition. USA: Thomson Higher Education. Fisher, Simon, dkk Mengelola Konflik Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Jakarta : British Council Indonesia. Freidheim, Elizabeth A Sociological Theory in Research Practice. Cambirdge, California: Schenkman Publishing Company, Inc. Gane, Mike On Durkheim s Rules of the Sociological Method. USA: Routladge, Chapman & Hall, Inc. Giddens, Anthony New rules of Sociological Method: A Positive Critique of Interpretative. Stanford, California: Stanford Unversity Press. Goldthorpe, J.E An Introduction of Sociology, Third Edition. Cambirdge: Cambirdge University Press. Hardiman, F. Budi Kritik Ideologi. Yogyakarta: Kanisius. Huda, Sokhi Tasawuf Kultural Fenomena Shalawat Wahidiyah. Yogyakarta, LKiS. Isenhart, Myra Warren dan Spangle, Michael Collaborative Approaches to Resolving Conflict. Lndon: Sgae Publication Inc. Johnson, Doyle Paul Contemporary Sociological Theory: An Integrated Multi-Level Approach. USA: Springer. Kuswarno, Engkus Metodologi Penelitian Komunikasi: Fenomenologi: Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian. Bandung: Widya Padjajaran, Cet. I. Loka, Yayasan Cipta Ensiklopedia Populer Politik Pembangunan Pancasila. Jakarta: Yayasan Cipta Loka. Masters Marick Francis dan Albright, Robert R The Complete Guide to Conflict Resolution in the Workplace. New York: Amacom. Mitchell, C. R The Structure of International Conflict. USA: St Martin s Press, Inc. Moleong, Lexy J Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Muhadjir, Noeng Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, Edisi IV, Cet. I. Nasir, Nasrullah Teori-Teori Sosiologi. Bandung: Widya Padjajaran, Cet. 2. Nawawi, Hadari Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Newman, W. Lawrence Social Research Methods, Qualitative and Quantitative Approaches. Needham Heights USA: Allyn & Bacon, 4 th edition. Nur Syam, Model Analisis Teori Sosial. Surabaya: PNM.

76 71 Poerwodarminto, W.J.S Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, Poloma, Margaret. M Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Pringondigdo, A.G., Ensiklopedia Umum Yogyakarta: Kanisius. Rahim, M. Afzalur Managing Conflict in Organizations, Third Edition. Westport-USA: Quorum Books. Raho, Bernard Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Rapar, Jan Hendrik Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Rauf, Maswadi Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoretis. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Ritzer, George dan Goodman, Douglas J Teori Sosiologi Modern, terj. Alimandan. Jakarta: Kencana, Cet. ke-6. Ritzer, George Sociology: A Multiple Paradigm Science (Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda), terj. Drs. Alimandan. Rajawali Pers, Jakarta, Cet. II. Rosenberg, Michael Introduction to Sociology. Canada: Methuen Publications. Sanderson, S.K Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial (Edisi Kedua). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sanderson Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial (Edisi Kedua). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sanusi, K.H. Mohammad Ruhan Penjelasan Singkat tentang Sholawat Wahidiyah dan Lembaga Organisasi Penyiar Sholawat Wahidiyah (PSW), disampaikan pada acara Konferensi Pers DPP PSW pada hari Sabtu, tanggal 15 September 2007 M/3 Ramadhan 1428 H. Schwarz, Fred You Can Trust the Communists. New Jersey: Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs. Soemitro, Ronny Hanitijo Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Yudhistira. Stark, Rodney dan Bainbridge, William Sims A Theory of Religion. Ney Jersey: Rutgers University Press. Suprayogo, Imam Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Rosydakarya. Surakhmad, Winarno1994. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tekhnik. Bandung: Tarsito. Turner, J.H The Structure of Sociological Theory (Sixth Edition). Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company. Vayrynen, Raimo (Ed.), New Direction in Conflict Theory: Conflict Resolution and Conflict Transformation. London-California-New Delhi: Sgae Publication Inc.

77 72 Wingnyosubroto, Sutandyo Pengolahan dan Analisis Data dalam Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. REFERENSI STUDI KEPUSTAKAAN PENELITIAN Amasy, Mahbub Peranan Pengamalan Shalawat Wahidiyah dalam Menanggulangi Kemerosotan Akhlak Siswa Madrasah Aliyah Ihsanniat Desa Rejoagung Kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang. (Surabaya: Skripsi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah "Taruna"). Jakaria Aktivitas Dakwah BPRW (Badan Pembina Remaja Wahidiyah) dalam Pembinaan Remaja di Lingkungan Remaja Wahidiyah (Skripsi Fakultas Dakwah). Tebuireng Jombang: IKAHA. Kusaijin, Harun Perilaku Keberagamaan Pengamal Shalawat Wahidiyah di Pesantren At-Tahdzib Rejoagung Ngoro Jombang (Tesis Konsentrasi Pemikiran Islam). Surabaya: Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel. Makarima, Moh. Murtaqi Managemen Dakwah Wahidiyah pada Lembaga DPP PSW (Dewan Pimpinan Pusat Penyiar Sholawat Wahidiyah) di Desa Rejoagung Kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang (Skripsi Fakultas Dakwah). Tebuireng Jombang: IKAHA. Muhamad Sholawat Wahidiyah Sebuah Aktivitas Ritualistik dalam Pengembangan Dakwah Islamiyah di PP At-Tahdzib Ngoro Jombang (Studi Deskriptif Kualitatif) (Skripsi Fakultas Dakwah). Tebuireng Jombang: IKAHA. Muslih Studi Perbandingan Antara Tasawuf dan Shalawat Wahidiyah (Skripsi Ushuluddin). Jombang: Fakultas Ushuluddin Universitas Darul Ulum. Mustaman Pendidikan Akhlak dalam Aliran Shalawat Wahidiyah (Studi tentang Materi Metode Pendidikan Akhlak) (Skripsi Jurusan Kependidikan Islam). Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga. Prawoto, Kholil Pengaruh Ajaran Sholawat Wahidiyah terhadap Peningkatan Amal Ibadah Masyarakat Desa Rejoagung Kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang (Skripsi Fakultas Dakwah) Tebuireng Jombang: IKAHA. Ridlo, Ahmad Lutfi. Atsar al-shalawat al-wahidiyah fi Akhlaq Thullab al-ma'had al-tahdzib Ngoro Jombang (Skripsi Fakultas Ushuluddin). Gontor: Institut Darussalam Pondok Modern. Sodli, Ahmad; Yusriati; Yustiani; dkk. (Tim Peneliti) Thariqat Wahidiyah di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Semarang: Departemen Agama RI Balai Penelitian Aliran Kerohanian/Keagamaan. Suroso, Cucuk Studi tentang Ma rifat dalam Wahidiyah dan Ittiha>d Menurut Abu Yazid (Skripsi Ushuluddin). Jombang: Fakultas Ushuluddin Universitas Darul Ulum. Wirawan, Lutfi Konsep Ma'rifat Menurut Jama'ah Penyiar Shalawat Wahidiyah (Skripsi Jurusan Aqidah dan Filsafat). Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

78 LAMPIRAN Lampiran 1: Lembar Shalawat Wahidiyah 73

79 74 Lembar Balik Shalawat Wahidiyah

80 Lampiran 2: Foto-Foto Muallif Shalawat Wahidiyah RA (dalam berbagai pose) 75

81 76

82 77 Lampiran 3: Foto-Foto Papan Nama Organisasi Wahidiyah Foto Menyusul Papan Nama DPP PSW (Dewan Pimpinan Pusat Penyiar Shalawat Wahidiyah) di Rejoagung Ngoro Jombang Papan Nama YPWPK (Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Kedunglo) di Kedunglo Kediri Papan Nama JPWM (Jama ah Perjuangan Wahidiyah Miladiyah ) di Kedunglo Kediri

Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik

Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik Sofyan Sjaf Turner dalam bukunya yang berjudul The Structure of Sociological Theory pada bab 11 13 dengan apik menjelaskan akar dan ragam teori konflik yang hingga

Lebih terperinci

Makalah Teori Konflik Ilmu Sosial Untuk Memenuhi Tugas Teori Ilmu-ilmu Sosial

Makalah Teori Konflik Ilmu Sosial Untuk Memenuhi Tugas Teori Ilmu-ilmu Sosial Makalah Teori Konflik Ilmu Sosial Untuk Memenuhi Tugas Teori Ilmu-ilmu Sosial Bimbingan : Drs.Riyanto,M.Hum Oleh : Rizky Pratama Putra ( 0910313127) Syamsul Arifin (0910310314) Tamtowil Mustofa ( ) Rlina

Lebih terperinci

TEORI KONFLIK SOSIOLOGI KLASIK DAN MODERN M. Wahid Nur Tualeka

TEORI KONFLIK SOSIOLOGI KLASIK DAN MODERN M. Wahid Nur Tualeka Dosen Prodi Studi Agama-agama Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya Abstraksi Konflik sosial merupakan fenomena sosial yang menarik dikaji dan diteliti. Hal ini memunculkan berbagai teori

Lebih terperinci

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D a.wardana@uny.ac.id Teori Sosiologi Kontemporer Fungsionalisme Versus Konflik Teori Konflik Analitis (Non-Marxist) Perbedaan Teori Konflik Marxist dan Non- Marxist Warisan

Lebih terperinci

BAB II TEORI KONFLIK DAN KONSENSUS

BAB II TEORI KONFLIK DAN KONSENSUS 17 BAB II TEORI KONFLIK DAN KONSENSUS Landasan teori pada penelitian ini menggunakan teori Ralf Dahendrof. Karena, teori Dahendrof berhubungan dengan fenomena sosial masyarakat salah satunya adalah teori

Lebih terperinci

BAB II KONFLIK DALAM PERSPEKTIF DAHRENDORF. melekat dalam setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya

BAB II KONFLIK DALAM PERSPEKTIF DAHRENDORF. melekat dalam setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya 36 BAB II KONFLIK DALAM PERSPEKTIF DAHRENDORF A. Teori Konflik Kehidupan sosial dan konflik merupakan gejala yang tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainnya, konflik merupakan gejala yang selalu melekat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ide. Fakta sosial menurut Durkheim terdiri atas dua macam yaitu: dan berpengaruh terhadap kehidupan individu.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ide. Fakta sosial menurut Durkheim terdiri atas dua macam yaitu: dan berpengaruh terhadap kehidupan individu. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Fakta Sosial Fakta sosial dinyatakan sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Fakta sosial menurut Durkheim terdiri atas dua macam yaitu: 1. Dalam bentuk material,

Lebih terperinci

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH Pokok Bahasan : Perkembangan teori sosiologi dan antropologi. Pertemuan ke- : 1 dan 2 Mahasiswa memiliki pemahaman dan wawasan mengenai perkembangan teori sosiologi dan antropologi. 1. Menjelaskan pengertian

Lebih terperinci

Gagasan dalam Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial

Gagasan dalam Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial Gagasan dalam Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial Filsafat Ilmu Sosial 1 Positivistik (Value free) Fenomenologi (Value Bound) Perbedaan Paradigma dalam Sosiologi 2 3 Ilmu-ilmu sosial (seperti Sosiologi) telah

Lebih terperinci

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN Pada umumnya manusia dilahirkan seorang diri. Namun demikian, mengapa manusia harus hidup bermasyarakat. Manusia tanpa manusia lainnya pasti akan mati. Bayi misalnya,

Lebih terperinci

BAB II TEORI KONFLIK RALF DAHRENDORF. dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Dalam pandangan

BAB II TEORI KONFLIK RALF DAHRENDORF. dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Dalam pandangan BAB II TEORI KONFLIK RALF DAHRENDORF Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan

Lebih terperinci

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

SOSIOLOGI PENDIDIKAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL KONFLIK TOKOH PEMIKIR ANTARA LAIN: 1. KARL MARX (1818-1883) 5. JURGEN HABERMAS 2. HEGEL 6. ANTONIO GRAMSCI 3. MAX HORKHEIMER (1895-1973) 7. HERBERT

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat

BAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat BAB II KAJIAN TEORI A. KAJIAN PUSTAKA Dalam kajian pustaka ini penulis ataupun peneliti akan menjabarkan maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat dengan judul, tema, dan fokus

Lebih terperinci

TEORI SOSIOLOGI KONTEMPORER

TEORI SOSIOLOGI KONTEMPORER TEORI SOSIOLOGI KONTEMPORER Silabus Semester Genap 2013-2014 Dosen : Amika Wardana, Ph.D. Email : a.wardana@uny.ac.id Jurusan Pendidikan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta S I

Lebih terperinci

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN SOSIOLOGI BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU ALI IMRON, S.Sos., M.A. Dr. SUGENG HARIANTO, M.Si. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keilmuan modern telah berkembang sedemikian rupa di bawah hegemoni paham sekularisme. Akibat sangat lamanya paham ini mendominasi sejarah peradaban modern akibatnya

Lebih terperinci

Kuliah ke-2: Paradigma Teori Sosiologi

Kuliah ke-2: Paradigma Teori Sosiologi Kuliah ke-2: Paradigma Teori Sosiologi Teori Sosiologi Kontemporer Amika Wardana. Ph.D a.wardana@uny.ac.id Overview Perkuliahan Konstruksi Teori Sosiologi Proses Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Pengetahun

Lebih terperinci

KELAHIRAN SOSIOLOGI Pertemuan 2

KELAHIRAN SOSIOLOGI Pertemuan 2 KELAHIRAN SOSIOLOGI Pertemuan 2 SOSIOLOGI??? APA MANFAAT LETAK LAHIRNYA SOSIOLOGI Sosiologi lahir manakala muncul perhatian terhadap masyarakat karena perubahan yang terjadi Terdapat peristiwa besar di

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. 1. Kajian Tentang Keragaman Etnik Terhadap Pemahaman Keagamaan. masuknya ketidak sepakatan pemahaman keagamaan yang tajam atau

BAB II KAJIAN TEORI. 1. Kajian Tentang Keragaman Etnik Terhadap Pemahaman Keagamaan. masuknya ketidak sepakatan pemahaman keagamaan yang tajam atau 31 BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Pustaka 1. Kajian Tentang Keragaman Etnik Terhadap Pemahaman Keagamaan Menurut Leonard Binder, keragaman etnik terhadap keagamaan didalam bahasa aslinya berarti pluralism

Lebih terperinci

BAB II : KAJIAN TEORITIK. mengajar di tingkat universitas memberikan khusus sosiologi pertama kali di

BAB II : KAJIAN TEORITIK. mengajar di tingkat universitas memberikan khusus sosiologi pertama kali di BAB II : KAJIAN TEORITIK a. Solidaritas Sosial Durkheim dilahirkan di Perancis dan merupakan anak seorang laki-laki dari keluarga Yahudi. Dia mahir dalam ilmu hukum filsafat positif. Dia terakhir mengajar

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani,

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, Sangsekerta, dan Latin. Dimana istilah kebijakan ini memiliki arti menangani masalah-masalah publik

Lebih terperinci

BAB II. Paradigma Sosiologi dan Posisi Teori Konflik

BAB II. Paradigma Sosiologi dan Posisi Teori Konflik BAB II. Paradigma Sosiologi dan Posisi Teori Konflik Pokok Bahasan Pada umumnya, dalam dunia ilmu pengetahuan orang mencoba untuk melihat dan menjelaskan suatu fenomena sosial menggunakan alur dan logika

Lebih terperinci

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN Pada hakekatnya manusia merupakan mahluk sosial. Hal ini dapat dilihat dari kehidupannya yang senantiasa menyukai dan membutuhkan kehadiran manusia lain. Manusia memiliki

Lebih terperinci

Pengertian/Definisi Politik Terkait dengan masalah Kekuasaan/Pengaruh Terkait pula dengan negara Menentukan tujuan, pengambilan keputusan, dan impleme

Pengertian/Definisi Politik Terkait dengan masalah Kekuasaan/Pengaruh Terkait pula dengan negara Menentukan tujuan, pengambilan keputusan, dan impleme Ada tiga hal penting yang perlu kita tanyakan pada diri kita; Yakni: Apa yang perlu kita ketahui dan pahami tentang Sosiologi dan Politik? Mengapa kita perlu mengetahui dan memahami Sosiologi dan Politik?

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Teori Parson Tentang Perubahan Sosial. Perubahan Sosial dalam soejono soekanto (2003), adalah segala

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Teori Parson Tentang Perubahan Sosial. Perubahan Sosial dalam soejono soekanto (2003), adalah segala BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Parson Tentang Perubahan Sosial Perubahan Sosial dalam soejono soekanto (2003), adalah segala perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat yang tercakup atas aspek-aspek

Lebih terperinci

MASALAH SOSIAL BUDAYA DITINJAU DALAM BERBAGAI NUR ENDAH JANUARTI, MA

MASALAH SOSIAL BUDAYA DITINJAU DALAM BERBAGAI NUR ENDAH JANUARTI, MA MASALAH SOSIAL BUDAYA DITINJAU DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF NUR ENDAH JANUARTI, MA TUJUAN PEMBELAJARAN : Mahasiswa mampu memahami masalah sosial budaya dalam berbagai perspektif Mahasiswa mampu menganalisa

Lebih terperinci

PRINSIP DASAR MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL DI MASYARAKAT

PRINSIP DASAR MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL DI MASYARAKAT INTERAKSI SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL PRINSIP DASAR MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL DI MASYARAKAT 1. Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial 2. Manusia berada di dalam sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam ikut serta mencerdaskan bangsa. Banyaknya jumlah pesantren di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. dalam ikut serta mencerdaskan bangsa. Banyaknya jumlah pesantren di Indonesia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesantren telah lama menjadi lembaga yang memiliki kontribusi penting dalam ikut serta mencerdaskan bangsa. Banyaknya jumlah pesantren di Indonesia, serta besarnya jumlah

Lebih terperinci

ANALISIS KONFLIK ANTARA MASYARAKAT DENGAN PERHUTANI AKIBAT PENGAMBILAN LAHAN KEHUTANAN

ANALISIS KONFLIK ANTARA MASYARAKAT DENGAN PERHUTANI AKIBAT PENGAMBILAN LAHAN KEHUTANAN Fani Julia Putri, Analisis Konflik Antara Masyarakat Dengan Perhutani ANALISIS KONFLIK ANTARA MASYARAKAT DENGAN PERHUTANI AKIBAT PENGAMBILAN LAHAN KEHUTANAN Fani Julia Putri 1, Bunyamin Maftuh 2,Elly Malihah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tinjauan pustaka dilakukan untuk menyeleksi masalah-masalah yang akan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tinjauan pustaka dilakukan untuk menyeleksi masalah-masalah yang akan 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan pustaka Tinjauan pustaka dilakukan untuk menyeleksi masalah-masalah yang akan dijadikan topik penelitian. Dimana dalam tinjauan pustaka akan dicari teori atau konsep-konsep

Lebih terperinci

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang melahirkan aliran feminisme, yakni: 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik * *Tokoh : Robert Merton & Talcott Parsons. *Teori

Lebih terperinci

BAB II TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL

BAB II TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL BAB II TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL A. STRUKTURAL FUNGSIONAL Untuk mendukung penelitian ini, peneliti mengkaji lebih lanjut dengan teori Struktural Fungsional.Dan berikut merupakan penjelasan teori struktural

Lebih terperinci

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS)

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) 1. Nama Mata Kuliah : Sosiologi Terapan 2. Kode Mata Kuliah : ISS 701 3. Status Matakuliah : Wajib Prodi 4. Semester : VII 5. Matakuliah Prasyarat

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP. sosio-kultural dan struktural. Pemikiran dan aksi politik tersebut

BAB VII PENUTUP. sosio-kultural dan struktural. Pemikiran dan aksi politik tersebut 438 BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan. Penelitian tentang etika politik legislator muslim era demokrasi lokal ini menitikberatkan pada pemikiran dan aksi yang dijalankan legislator dalam arena sosio-kultural

Lebih terperinci

RALF DAHRENDORF ( )

RALF DAHRENDORF ( ) RALF DAHRENDORF (1929 - ) 1 TEORI KONFLIK: RALF DAHRENDORF Oleh: ANIEK RAHMANIAH 1. Konteks sosial yang melatari pemikiran Dahrendorf Revolusi politik dan revolusi industri yang melanda masyarakat Eropa

Lebih terperinci

RUMUSAN WORKSHOP NASIONAL PENGELOLAAN JURNAL DAN PEMBELAJARAN MATAKULIAH INTI PROGRAM SARJANA DAN PASCASARJANA SOSIOLOGI

RUMUSAN WORKSHOP NASIONAL PENGELOLAAN JURNAL DAN PEMBELAJARAN MATAKULIAH INTI PROGRAM SARJANA DAN PASCASARJANA SOSIOLOGI RUMUSAN WORKSHOP NASIONAL PENGELOLAAN JURNAL DAN PEMBELAJARAN MATAKULIAH INTI PROGRAM SARJANA DAN PASCASARJANA SOSIOLOGI KERJASAMA ASOSIASI PROGRAM STUDI SOSIOLOGI INDONESIA (APSSI) DENGAN JURUSAN SOSIOLOGI

Lebih terperinci

BAB II KONFLIK DAN INTEGRASI DALAM PARADIGMA TEORI SOSIAL. dengan; atau berselisih dengan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia konflik

BAB II KONFLIK DAN INTEGRASI DALAM PARADIGMA TEORI SOSIAL. dengan; atau berselisih dengan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia konflik 33 BAB II KONFLIK DAN INTEGRASI DALAM PARADIGMA TEORI SOSIAL A. Teori Konflik Konflik secara etimologis adalah pertengkaran, perkelahian, perselisihan tentang pendapat atau keinginan; atau perbedaan; pertentangan

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS BAB II PENDEKATAN TEORITIS Dalam bab ini, kajian teoritis akan digunakan sebagai pintu masuk sekaligus dasar penuntun dalam analisis data empirik yang diperoleh dalam penelitian di lapangan. Menurut Budiarjo,

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Universitas Islam Negeri Surabaya Pada akhir dekade 1950, beberapa tokoh masyarakat Muslim Jawa Timur mengajukan gagasan untuk mendirikan perguruan tinggi

Lebih terperinci

Teori Konflik I: Marxis dan Neo Marxis

Teori Konflik I: Marxis dan Neo Marxis Teori Konflik I: Marxis dan Neo Marxis K U L I A H KE- 5: A M I K A W A R D A N A, P H. D A. W A R D A N A @ U N Y. A C. I D T E O R I S O S I O L O G I K O N T E M P O R E R Materi: Fungsionalisme Versus

Lebih terperinci

PENINGKATAN EFEKTIVITAS SEKOLAH

PENINGKATAN EFEKTIVITAS SEKOLAH PENINGKATAN EFEKTIVITAS SEKOLAH ( Studi pada SD Negeri Sobokerto 1 dan MI Al-Islam Ngesrep 1 ) TESIS Oleh : Nama : Retnaning Winastuti NIM : Q.100030109 Program Studi : Magister Manajemen Pendidikan Konsentrasi

Lebih terperinci

RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RKPKS)

RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RKPKS) RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RKPKS) 1. Mata Kuliah Teori Sosiologi Modern 2. Kode Mata Kuliah ISS 301 3. Semester Ganjil 2010/2011 4. Status Wajib 5. Mata Kuliah Persyarat Teori

Lebih terperinci

TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL

TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL II. TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL A. Konflik Istilah konflik secara etimologis berasal dari bahasa latin con yang berarti bersama dan fligere yang berarti benturan atau tabrakan. Jadi, konflik dalam

Lebih terperinci

Tujuan Instruksional Khusus

Tujuan Instruksional Khusus Sosiologi Tujuan Instruksional Khusus Agar mahasiswa mengenal, mengerti, dan dapat menerapkan konsep-konsep sosiologi dalam hubungannya dengan psikologi SUMBER ACUAN : Soekanto, S. Pengantar Sosiologi.

Lebih terperinci

BAB II KONFLIK DALAM KACAMATA RALF DAHRENDORF. keterlibatan konflik yang di dalamnya terdapat waktu, tenaga, dana, dan

BAB II KONFLIK DALAM KACAMATA RALF DAHRENDORF. keterlibatan konflik yang di dalamnya terdapat waktu, tenaga, dana, dan 31 BAB II KONFLIK DALAM KACAMATA RALF DAHRENDORF A. TEORI KONFLIK Ralf Dahrendorf melihat proses konflik dari segi intensitas dan sarana yang digunakan dalam konflik. Intensitas merupakan sebagai tingkat

Lebih terperinci

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM. dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei, teori ini

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM. dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei, teori ini BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM Melihat kondisi solidaritas dan berdasarkan observasi, serta wawancara dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei,

Lebih terperinci

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER. Setiap manusia mempunyai naluri untuk berinteraksi dengan

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER. Setiap manusia mempunyai naluri untuk berinteraksi dengan BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER Manusia merupakan anggota masyarakat yang akan senantiasa berusaha agar selalu bisa bergaul dengan sesama. Sehingga setiap individu akan bertindak dan berusaha untuk

Lebih terperinci

Persoalan Ekonomi dan Sosiologi

Persoalan Ekonomi dan Sosiologi SOSIOLOGI EKONOMI Persoalan Ekonomi dan Sosiologi Economics and sociology; Redefining their boundaries: Conversations with economists and sociology (Swedberg:1994) Tiga pembagian kerja ekonomi dengan sosiologi:

Lebih terperinci

PERSEPSI PASIEN DAN KELUARGA TERHADAP PELAYANAN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT DR SAIFUL ANWAR MALANG. Tesis Sarjana S-2 Program Studi Magister Sosiologi

PERSEPSI PASIEN DAN KELUARGA TERHADAP PELAYANAN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT DR SAIFUL ANWAR MALANG. Tesis Sarjana S-2 Program Studi Magister Sosiologi PERSEPSI PASIEN DAN KELUARGA TERHADAP PELAYANAN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT DR SAIFUL ANWAR MALANG Tesis Sarjana S-2 Program Studi Magister Sosiologi Diajukan oleh: Imam Kurdi NIM 06250100 PROGRAM PASCASARJANA

Lebih terperinci

Hubungan Industrial. Perselisihan Kerja; Bentuk-Bentuk Konflik; dan Demo Serikat Pekerja. Rizky Dwi Pradana, M.Si. Modul ke: Fakultas Psikologi

Hubungan Industrial. Perselisihan Kerja; Bentuk-Bentuk Konflik; dan Demo Serikat Pekerja. Rizky Dwi Pradana, M.Si. Modul ke: Fakultas Psikologi Modul ke: Fakultas Psikologi Hubungan Industrial Perselisihan Kerja; Bentuk-Bentuk Konflik; dan Demo Serikat Pekerja Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Rizky Dwi Pradana, M.Si Daftar Pustaka

Lebih terperinci

MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI. Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014

MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI. Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014 MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014 Agama adalah salah satu bentuk kontruksi sosial. Tuhan, ritual, nilai, hierarki keyakinankeyakinan,

Lebih terperinci

Dimensi Subjektif - Objektif

Dimensi Subjektif - Objektif Sociological Paradigms and Organisational Analysis [chapter 1-3] Gibson Burrell & Gareth Morgan Heinemann, London 1979 Empat Asumsi Tentang Sifat Ilmu Sosial (1) Ontology Asumsi yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. feeling attituted, personal ideals, aktivitas kepercayaan. 1. (mendidik). Namun menurut al-attas (1980) dalam Hasan

BAB I PENDAHULUAN. feeling attituted, personal ideals, aktivitas kepercayaan. 1. (mendidik). Namun menurut al-attas (1980) dalam Hasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan berasal dari kata didik, yang mengandung arti perbuatan, hal, dan cara. Pendidikan Agama dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah religion education, yang

Lebih terperinci

Persoalan Ekonomi dan Sosiologi

Persoalan Ekonomi dan Sosiologi SOSIOLOGI EKONOMI Persoalan Ekonomi dan Sosiologi Economics and sociology; Redefining their boundaries: Conversations with economicts and sociology (Swedberg:1994) Tiga pembagian kerja ekonomi dengan sosiologi:

Lebih terperinci

BAB II TALCOTT PARSONS: TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL. A. Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons

BAB II TALCOTT PARSONS: TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL. A. Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons BAB II TALCOTT PARSONS: TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL A. Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons Teori ini digunakan oleh peneliti untuk menganalisis pesantren dan pangajian taaruf (studi kasus eksistensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan manusia menjadi penunjang keberlangsungan hidup manusia. Manusia dengan akal budinya

Lebih terperinci

BAB II TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL DAN TEORI SOLIDARITAS. Solidaritas Dan Stratifikasi Antar Petani Tambak Di Dusun Dukuan Desa

BAB II TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL DAN TEORI SOLIDARITAS. Solidaritas Dan Stratifikasi Antar Petani Tambak Di Dusun Dukuan Desa BAB II TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL DAN TEORI SOLIDARITAS A. Teori Fungsionalisme Struktural Untuk menjelaskan fenomena yang diangkat oleh peneliti yaitu Solidaritas Dan Stratifikasi Antar Petani Tambak

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

BAB V PENUTUP. sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan paparan yang digambarkan dalam pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Proses pengukuhan PAI sebagai bagian dari mata kuliah yang harus

Lebih terperinci

AKAR KONFLIK DAN MODEL RESOLUSI ( Studi Kasus Konflik Internal Tenaga Pendidik Di SMK PGRI 3 Tanggul Jember )

AKAR KONFLIK DAN MODEL RESOLUSI ( Studi Kasus Konflik Internal Tenaga Pendidik Di SMK PGRI 3 Tanggul Jember ) AKAR KONFLIK DAN MODEL RESOLUSI ( Studi Kasus Konflik Internal Tenaga Pendidik Di SMK PGRI 3 Tanggul Jember ) Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Magister Program Studi Magister

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN IMPLIKASI DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan 1. Secara Umum Konsep pendidikan yang Islami menurut Mohammad Natsir menjelaskan bahwa asas pendidikan Islam adalah tauhid. Ajaran tauhid manifestasinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke-

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada abad pencerahan (Aufklarung) telah membawa sikap kritis atas metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke- 19) di Jerman,

Lebih terperinci

DASAR-DASAR MIKRO BAGI SOSIOLOGI MAKRO

DASAR-DASAR MIKRO BAGI SOSIOLOGI MAKRO DASAR-DASAR MIKRO BAGI SOSIOLOGI MAKRO by Stephen K. Sanderson KETERKAITAN antara sosiologi mikro dengan sosiologi makro akhir-akhir ini banyak menarik perhatian para sosiolog dari berbagai aliran. Untuk

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Mencermati hasil analisis data dan pembahasan mengenai profesionalisme wartawan / jurnalis pada stasiun televisi lokal

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Mencermati hasil analisis data dan pembahasan mengenai profesionalisme wartawan / jurnalis pada stasiun televisi lokal BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Mencermati hasil analisis data dan pembahasan mengenai profesionalisme wartawan / jurnalis pada stasiun televisi lokal Batu Televisi (Batu TV) Kota Batu Jawa Timur pada bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komitmen organisasi dari para anggota dalam upaya meningkatkan kualitas.

BAB I PENDAHULUAN. komitmen organisasi dari para anggota dalam upaya meningkatkan kualitas. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak organisasi yang menghadapi tantangan dengan membangun komitmen organisasi dari para anggota dalam upaya meningkatkan kualitas. Bagi kehidupan organisasi,

Lebih terperinci

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian

Lebih terperinci

BAB II TEORI PILIHAN RASIONAL DALAM PERSPEKTIF JAMES S. COLEMAN

BAB II TEORI PILIHAN RASIONAL DALAM PERSPEKTIF JAMES S. COLEMAN BAB II TEORI PILIHAN RASIONAL DALAM PERSPEKTIF JAMES S. COLEMAN A. Rasonalitas Manusia Modern Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam klasifikasinya sampai mengenai tipe tipe tindakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Dalam perspektif ilmu-ilmu sosial terutama filsafat dan sosiologi, oposisi diantara subjektivisme dan objektivisme merupakan bagian yang selama ini tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di era modern ini, begitu pentingnya nilai dalam menjaga keharmonisan

BAB I PENDAHULUAN. Di era modern ini, begitu pentingnya nilai dalam menjaga keharmonisan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era modern ini, begitu pentingnya nilai dalam menjaga keharmonisan dan menyelaraskan pembangunan dan kemajuan, maka nilai akhlak harus tetap dilestarikan dan ditanamkan

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH BERDASARKAN PERMENDIKNAS NO. 19 TAHUN 2007 DI SD MUHAMMADIYAH BARAT KABUPATEN MAGETAN

IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH BERDASARKAN PERMENDIKNAS NO. 19 TAHUN 2007 DI SD MUHAMMADIYAH BARAT KABUPATEN MAGETAN IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH BERDASARKAN PERMENDIKNAS NO. 19 TAHUN 2007 DI SD MUHAMMADIYAH BARAT KABUPATEN MAGETAN TESIS Program Studi Magister Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan Diajukan

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN. A. Deskripsi Subjek, Objek dan Lokasi Penelitian

BAB III HASIL PENELITIAN. A. Deskripsi Subjek, Objek dan Lokasi Penelitian BAB III HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Subjek, Objek dan Lokasi Penelitian 1. Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah responden penelitian yang memberikan data berupa jawaban melalui angket. Adapun yang

Lebih terperinci

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) dan diajukan pada Jurusan Filsafat Agama

Lebih terperinci

TEORI DAN METODOLOGI

TEORI DAN METODOLOGI TEORI DAN METODOLOGI MEMBANGUN PARADIGMA DALAM TEORI SOSIOLOGI 3 PARADIGMA FAKTA SOSIAL DEFINISI SOSIAL PERILAKU SOSIAL Sudut pandang sistem sosial sebagai keseluruhan Sudut pandang struktur sosial Tindakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan teknologi, di samping juga didukung munculnya semangat globalisasi. Sehingga

BAB I PENDAHULUAN. dan teknologi, di samping juga didukung munculnya semangat globalisasi. Sehingga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu ciri dari masa ini adalah berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, di samping juga didukung munculnya semangat globalisasi. Sehingga

Lebih terperinci

INTERAKSI SOSIAL PADA AKTIVIS IMM DAN KAMMI. Skripsi

INTERAKSI SOSIAL PADA AKTIVIS IMM DAN KAMMI. Skripsi INTERAKSI SOSIAL PADA AKTIVIS IMM DAN KAMMI Skripsi Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana S-1 Psikologi Oleh : NANANG FEBRIANTO F. 100 020 160 FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

Teori dan Ragam Tipe Teori Sosiologi

Teori dan Ragam Tipe Teori Sosiologi Teori dan Ragam Tipe Teori Sosiologi Sofyan Sjaf Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan dalam sepanjang sejarahnya telah terbukti mampu membedah dan menganalisis kejadian atau fenomena sosial yang hadir dalam

Lebih terperinci

KONFLIK SOSIAL Pengertian Konflik

KONFLIK SOSIAL Pengertian Konflik KONFLIK SOSIAL 1. Pengertian Konflik Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau

Lebih terperinci

Studi Pengalaman Negosiasi Identitas antara Anak yang Melakukan Perpindahan Agama kepada Orang Tuanya

Studi Pengalaman Negosiasi Identitas antara Anak yang Melakukan Perpindahan Agama kepada Orang Tuanya Summary Studi Pengalaman Negosiasi Identitas antara Anak yang Melakukan Perpindahan Agama kepada Orang Tuanya Penyusun Nama : Devinta Hasni Fauziah NIM : D2C008021 Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm

BAB I PENDAHULUAN. Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era informasi dan komunikasi yang kian maju telah mempengaruhi kehidupan manusia di segala bidang tidak terkecuali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa ingin berhubungan antara satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa ingin berhubungan antara satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa ingin berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan selain karena manusia tercipta sebagai makhluk

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pemaparan penelitian yang berjudul PENDIDIKAN. ISLAM INTEGRATIF (Konsep Keilmuan Universitas Islam Negeri Sunan

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pemaparan penelitian yang berjudul PENDIDIKAN. ISLAM INTEGRATIF (Konsep Keilmuan Universitas Islam Negeri Sunan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan penelitian yang berjudul PENDIDIKAN ISLAM INTEGRATIF (Konsep Keilmuan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Universitas Islam Negeri Sunan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penulisan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penulisan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. semua warga menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. semua warga menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Demokrasi di Indonesia Definisi demokrasi menurut Murod (1999:59), sebagai suatu policy di mana semua warga menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat, mempunyai

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE 3 POKOK BAHASAN

PERTEMUAN KE 3 POKOK BAHASAN PERTEMUAN KE 3 POKOK BAHASAN A. TUJUAN PEMBELAJARAN Adapun tujuan pembelajaran yang akan dicapai sebagai berikut: 1. Mahasiswa dapat memahami tentang: Teori system, teori struktural fungsional, teori konflik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mudah untuk dicapai. Kemerdekaan Indonesia diperoleh melalui perjuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mudah untuk dicapai. Kemerdekaan Indonesia diperoleh melalui perjuangan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemerdekaan yang saat ini dinikmati oleh bangsa Indonesia bukanlah usaha mudah untuk dicapai. Kemerdekaan Indonesia diperoleh melalui perjuangan yang tidak hanya

Lebih terperinci

PANCASILA PANCASILA DAN IDEOLOGI DUNIA. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Sistem Informasi.

PANCASILA PANCASILA DAN IDEOLOGI DUNIA. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Sistem Informasi. PANCASILA Modul ke: PANCASILA DAN IDEOLOGI DUNIA Fakultas FASILKOM Nurohma, S.IP, M.Si Program Studi Sistem Informasi www.mercubuana.ac.id PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA ABSTRACT Menjelaskan ideologi

Lebih terperinci

BAB VII REFLEKSI DAN KESIMPULAN

BAB VII REFLEKSI DAN KESIMPULAN BAB VII REFLEKSI DAN KESIMPULAN Fakta-fakta dan analisis di dalam disertasi ini melahirkan satu kesimpulan umum yaitu bahwa keberadaan Jemaat Eli Salom Kele i adalah sebuah hasil konstruksi sosial dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Soetandyo Wignjosoebroto membedakan lima tipe kajian hukum berdasarkan perbedaan konsep hukum. Perbedaan tipe kajian ini akan menyebabkan juga perbedaan dalam

Lebih terperinci

FATHOR, NIM. B ,

FATHOR, NIM. B , ABSTRAKSI FATHOR, NIM. B05208022, 2012. Mempertahankan Tradisi di Tengah Industrialisasi (Studi Kasus Pelestarian Tradisi Haul Mbah Sayyid Mahmud di Desa Karangbong Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beragama yaitu penghayatan kepada Tuhan, manusia menjadi memiliki

BAB I PENDAHULUAN. beragama yaitu penghayatan kepada Tuhan, manusia menjadi memiliki BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Agama adalah wahyu yang diturunkan Allah untuk manusia. Fungsi dasar agama adalah memberikan orientasi, motivasi dan membantu manusia untuk mengenal dan menghayati

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PASCASARJANA DALAM PERSPEKTIF PERGURUAN TINGGI RISET

PENDIDIKAN PASCASARJANA DALAM PERSPEKTIF PERGURUAN TINGGI RISET SAMBUTAN REKTOR ITB pada PERESMIAN PENERIMAAN MAHASISWA PASCASARJANA BARU ITB SEMESTER 2 TAHUN AKADEMIK 2013/2014 PENDIDIKAN PASCASARJANA DALAM PERSPEKTIF PERGURUAN TINGGI RISET Aula Barat, Kampus ITB,

Lebih terperinci

Matakuliah : O0042 Pengantar Sosiologi Tahun : Ganjil 2007/2008 PERUBAHAN SOSIAL DAN MODERNITAS PERTEMUAN 09

Matakuliah : O0042 Pengantar Sosiologi Tahun : Ganjil 2007/2008 PERUBAHAN SOSIAL DAN MODERNITAS PERTEMUAN 09 Matakuliah : O0042 Pengantar Sosiologi Tahun : Ganjil 2007/2008 PERUBAHAN SOSIAL DAN MODERNITAS PERTEMUAN 09 1. Pengertian Perubahan Sosial Setiap masyarakat manusia selama hidup pasti mengalami perubahan-perubahan.

Lebih terperinci

Materi Bahasan. n Pengertian Ideologi. n Fungsi Ideologi. n Komponen Ideologi. n Klasifikasi Ideologi.

Materi Bahasan. n Pengertian Ideologi. n Fungsi Ideologi. n Komponen Ideologi. n Klasifikasi Ideologi. Ideologi Politik Cecep Hidayat cecep.hidayat@ui.ac.id - www.cecep.hidayat.com Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Materi Bahasan Pengertian Ideologi. Fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa dan bertujuan untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang positif bagi

BAB I PENDAHULUAN. bangsa dan bertujuan untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang positif bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan masalah yang pundamental dalam pembangunan suatu bangsa dan bertujuan untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang positif bagi siswa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah sebagai usaha membina dan mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah sebagai usaha membina dan mengembangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia, baik menyangkut aspek ruhaniah dan jasmaniah. Tidak heran bila suatu kematangan yang

Lebih terperinci

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) DAN BAHAN AJAR. 1. Nama Mata Kuliah : TEORI POLITIK KLASIK DAN KONTEMPORER

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) DAN BAHAN AJAR. 1. Nama Mata Kuliah : TEORI POLITIK KLASIK DAN KONTEMPORER RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) DAN BAHAN AJAR 1. Nama Mata Kuliah : TEORI POLITIK KLASIK DAN KONTEMPORER 2. Kode/SKS : SPF 245 / 3 SKS 3. Prasyarat Mata Kuliah : Pengantar Ilmu

Lebih terperinci

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan 5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, PARADIGMA

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, PARADIGMA II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, PARADIGMA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Perjuangan Pengertian perjuangan merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan, yang dilakukan dengan menempuh

Lebih terperinci

Kuliah ke-7 Amika Wardana, PhD. Teori Sosiologi Kontemporer

Kuliah ke-7 Amika Wardana, PhD. Teori Sosiologi Kontemporer Kuliah ke-7 Amika Wardana, PhD. a.wardana@uny.ac.id Teori Sosiologi Kontemporer Asumsi Dasar Interaksionisme-Simbolik Akar kesejarahan Interaksionisme-Simbolik Max Weber: Verstehen (Pemahaman Subyektif)

Lebih terperinci

SAMBUTAN KETUA DPR RI BAPAK H. MARZUKI ALIE, SE, MM. PADA ACARA PERESMIAN KANTOR BARU PWNU SUMATERA UTARA Medan, 06 Januari 2010

SAMBUTAN KETUA DPR RI BAPAK H. MARZUKI ALIE, SE, MM. PADA ACARA PERESMIAN KANTOR BARU PWNU SUMATERA UTARA Medan, 06 Januari 2010 KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN KETUA DPR RI BAPAK H. MARZUKI ALIE, SE, MM. PADA ACARA PERESMIAN KANTOR BARU PWNU SUMATERA UTARA Medan, 06 Januari 2010 Assalamu alaikum Warahmatullahiwabarakatuh.

Lebih terperinci