PENGELOLAAN WISATA PANTAI BERBASIS KONSERVASI PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI PANGUMBAHAN KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT NENENG NURBAETI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGELOLAAN WISATA PANTAI BERBASIS KONSERVASI PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI PANGUMBAHAN KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT NENENG NURBAETI"

Transkripsi

1 PENGELOLAAN WISATA PANTAI BERBASIS KONSERVASI PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI PANGUMBAHAN KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT NENENG NURBAETI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

2

3 PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN SUMBER SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Saya menyatakan bahwa Thesis berjudul Pengelolaan Wisata Pantai Berbasis Konservasi Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pangumbahan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat adalah benar karya Saya. Pengarahan dari komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir usulan penelitian ini. Dengan ini Saya melimpahan hak cipta dari karya tulis kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 Neneng Nurbaeti NRP C Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.

4 RINGKASAN NENENG NURBAETI. Pengelolaan Wisata Pantai Berbasis Konservasi Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pangumbahan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan ACHMAD FAHRUDIN. Pantai Pangumbahan ditetapkan sebagai Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan. Penetapan kawasan dilakukan untuk menjamin kelestarian populasi Penyu Hijau dengan mengembangkan kawasan sebagai kawasan ekowisata. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mengevaluasi kesesuaian kawasan untuk peneluran Penyu Hijau dan pengembangan kegiatan ekowisata pantai. 2) Menghitung daya dukung (carrying capacity) kawasan konservasi penyu untuk kegiatan ekowisata pantai. 3) Merencanakan arahan pengelolaan ekowisata pantai di kawasan konservasi yang berkelanjutan. Berdasarkan kesesuaiaan habitat di Pangumbahan aktivitas peneluran Penyu Hijau relatif rendah. Persentase kesesuaian kawasan untuk peneluran penyu kategori S1(sangat sesuai) 35,27% sisanya dikategorikan N (tidak sesuai) 64,73%. Persentase kesesuaian kawasan untuk wisata pantai 26,86 % kategori S1(sangat sesuai) dan kategori S2 (sesuai) 73,14%. Daya dukung kawasan untuk wisata pantai adalah 119 orang/hari, sedangkan daya dukung wisata penyu adalah 18 orang/hari. Kawasan untuk habitat peneluran penyu adalah Stasiun 1, 2 dan 3. Kawasan untuk wisata pantai adalah Stasiun 4, 5 dan 6. Hasil analisis WTP diperoleh nilai surplus konsumen atau nilai WTP wisatawan Rp 1,053,258,434 per tahun. Nilai WTP dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah tanggungan. Hasil perhitungan nilai rata-rata WTP wisatawan yaitu tiket masuk Rp /orang, melihat tempat peneluran penyu Rp /orang, pemutaran film Rp /orang sedangkan WTP melihat penyu bertelur Rp /orang. Jika dibandingkan dengan nilai WTP potensialnya diperoleh hasil WTP potensial lebih besar dibandingkan biaya transaksional yang dikeluarkan. Penetapan retribusi yang sesuai diharapkan menjadi sumber pendanaan bagi pengelolaan kawasan konservasi. Kata Kunci: Penyu Hijau, Ekowisata, wisata pantai, konservasi, Pangumbahan

5 SUMMARY NENENG NURBAETI. Management of Beach Ecotourism Based on Green Turtle Conservation (Chelonia mydas) in Pangumbahan Sukabumi West Java. Supervised by FREDINAN YULIANDA and ACHMAD FAHRUDIN. Pangumbahan beach decided as Coastal Parks Pangumbahan Turtle Beach. Region determination done to ensure the preservation of Green Turtle population by developing area as an ecotourism area. This study aims to: 1) Evaluate the area suitability for Green Turtle nesting and the development of beach ecotourism activities. 2) Calculate the carrying capacity of turtle conservation area for beach ecotourism activities. 3) Plan a direction of beach ecotourism management in sustainable conservation areas. Based on habitat suitability in Pangumbahan, Green Turtle nesting activity is low. Percentage of areas suitability for turtle nesting on category S1 (very appropriate) is 35.27% and the others were categorized as N (not appropriate) 64.73%. The percentage of area suitability for beach tourism is 26.86% category S1 (very appropriate) and category S2 (corresponding) 73.14%. The carrying capacity for beach tourism is 119 people/day while the carrying capacity for turtle tourism is 18 people / day. The areas for turtle nesting habitat are Station 1, 2 and 3. The areas for beach tourism is Station 4, 5 and 6. WTP analysis results obtained consumers surplus value or the value of tourism WTP rating is Rp per individual per year. WTP value is influenced by income level, education level and number of dependents. WTP average value calculation of tourism respondents results are entrance fee Rp.13858/person, seeing a turtle nesting place Rp /person, watching a movie Rp /person, while the WTP for seeing turtle laying eggs Rp /person. If compared to WTP potential value obtained the result of WTP potential is greater potential than transactional costs. Suitable retribution determination are expected to be a funding source for conservation area management. Keywords: Green Turtle, Ecotourism, beach tourism, conservation, Pangumbahan

6 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 PENGELOLAAN WISATA PANTAI BERBASIS KONSERVASI PENYU HIJAU (Chelonia mydas) DI PANGUMBAHAN KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT NENENG NURBAETI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc

9

10

11 PRAKARTA Tidak ada sedikitpun nikmat Allah yang mampu hamba dustakan. Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunianya sehingga penulis in shaa Allah dapat diselesaikan dengan baik. Tesis berjudul Pengelolaan Wisata Pantai Berbasis Konservasi Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai Pangumbahan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat diharapkan menjadi pertimbangan dalam pengembangan kawasan wisata di Sukabumi. Penghargaan dan ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada : 1. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc dan Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si selaku komisi pembimbing atas arahan dan bimbinganya selama penelitian dan penyusunan sehingga tesis ini dapat diselesaikan. 2. Dr. Ir. Isdradjat Setyobudiandi, M.Sc. selaku dosen penguji tamu serta Dr Zulhamsyah Imran, Msi.,PhD. Selaku sekretaris Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana IPB. 3. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi dan Kepala UPTD Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan Ahman Kurniawan, S.Pi beserta staf Agung Rahman, S.Pi. atas bantuan penyediaan data dan fasilitas selama penelitian. 4. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Muhammadiyah Sukabumi yaitu Ujang Dindin M.Si (ketua program studi), Pelita octorina M.Si (Wakil Dekan Fakultas Pertanian), Arif Supendi M.Si (Sekretaris program studi), Bambang Kustiawan S.Pi. serta semua pihak yang telah membantu dan memberikan kesempatan pada penulis untuk melanjutkan studi. 5. Ibunda tercinta Sarimah, kakak Usman Saepurahman yang telah memberikan dukungan dan doa yang tulus kepada penulis. 6. Adik-adik tercinta Rinrin Haryanti, Indana Mardhiati, Tuti Puspitawati, Vidya Hanum, Farissa Difta (Wisma Angrek) yang memberikan dukungan selama studi. 7. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan angkatan tahun 2012 dan 2013 atas dukungan dan kebersamaanya, serta semua pihak yang telah banyak memberikan konstribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam proses penyusunan tesis. Semoga segala bantuan dan dukungan yang diberikan mendapatkan ganjaran dari Allah SWT. Bogor, Agustus 2016 Neneng Nurbaeti

12 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pendekatan Studi METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Metode Pengumpulan Data Alat dan Bahan Analisis Data Indeks Kesesuaian Kawasan Habitat Peneluran Indeks Kesesuaian Wisata Analisis Daya Dukung Kawasan Untuk Kegiaan Wisata Pantai Analisis Ekonomi Ekowisata Analisis Manfaat Keberadaan Obyek Wisata HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi Penyu Hijau Kemiringan Pantai Lebar Pantai Tekstur Pasir Tipe Pantai dan Material Dasar Kedalaman Pantai Penutupan Lahan dan Vegetasi di Pangumbahan Pencahayan dan Bangunan Jarak Pantai Peneluran dengan Daerah Pakan Jarak Ketersediaan Air Tawar Kesesuaian Kawasan Peneluran Kesesuaian Kawasan Wisata Pantai Sistem Penzonasian kaitannya dengan pengelolaaan wisata Daya Dukung Kawasan untuk Kegiaan Wisata Pantai Karakteristik Wisatawan Jumlah Wisatawan Pendapatan Wisatawan Jenis Kelamin Wisatawan dan Tingkatan Usia Wisatawan Pendidikan Wisatawan Jumlah Tanggungan Wisatawan vii viii x

13 DAFTAR ISI (lanjutan) 3.16 Kesediaan Membayar Wisatawan Nilai Rataan Keinginan Membayar Wisatawan Biaya Wisatawan untuk Berwisata Penyu Arahan Pengelolaan Kawasan Konservasi SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP... 53

14 DAFTAR TABEL 1. Analisis, jenis data, aspek-aspek dan teknik pengambilan data 6 2. Alat dan Bahan 6 3. Matriks kesesuaian habitat peneluran penyu hijau 7 4. Matriks kesesuaian lahan untuk Wisata Penyu kategori rekreasi 8 5. Nilai kisaran lebar pantai Pangumbahan Kesesuaian tipe pasir untuk habitat peneluran penyu Kesesuaian tipe pantai dan material dasar perairan untuk wisata pantai Nilai rataan WTP untuk setiap kegiatan di kawasan konservasi Kisaran biaya wisatawan berdasarkan peluang melihat penyu Rekomendasi arahan pengelolaan kawasan konservasi di Pangumbahan 37

15 DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran penelitian Peta Lokasi Penelitian Kawasan Konservasi Penyu Hijau Populasi Penyu Hijau yang naik di pantai Pangumbahan Jumlah Penyu yang naik pada enam Stasiun utama tiga tahun terakhir 12 5 Persentase jumlah sarang Penyu Hijau perstasiun bulan Juli Sebaran sarang Penyu Hijau selama pengamatan Tingkat kemiringan di pantai Pangumbahan Persentase kesesuaian kemiringan pantai untuk habitat Penyu Persentase kesesuaian kemiringan pantai untuk wisata pantai Persentase kesesuaiaan habitat penyu berdasarkan lebar pantai Persentase kesesuaiaan wisata pantai berdasarkan lebar pantai Kedalaman perairan pantai Pangumbahan Sebaran vegetasi di pantai pangumbahan Pencahayaan di pantai Pangumbahan Rataan arah sumber pencahayaan di pantai Pangumbahan Sebaran bangunan di sekitar kawasan konservasi Peta kesesuaian wilayah habitat peneluran Penyu Hijau Peta kesesuaian wisata pantai di kawasan konservasi Peta evaluasi kesesuaian kawasan konservasi untuk wisata pantai Komposisi wisatawan berdasarkan kegiatan yang dilakukan di Pangumbahan Daya dukung kawasan untuk aktivitas wisata pantai dan wisata penyu Jumlah Wisatawan di Pangumbahan Asal kunjungan Wisatawan yang menjadi responden Persentase Pendapatan para Wisatawan Tingkatan usia wisatawan selama penelitian Tingkat Pendidikan Wisatawan Jumlah tanggungan wisatawan Minat khusus para wisatawan di Pangumbahan Sumber informasi kegiatan wisata di Pangumbahan Rataan wisatawan setiap bulan di Pangumbahan Peluang masa tunggu wisatawan untuk melihat kenaikan penyu pada stasiun 4, 5 dan DAFTAR LAMPIRAN 1. Jenis vegetasi di Pangumbahan Perhitungan regresi berganda Kuisioner Wisatawan ke Panggumbahan Daftar pengunjung selama Penelitian Kenaikan penyu hijau di pangumbahan... 50

16

17 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Populasi Penyu Hijau mengalami penurunan di Indonesia termasuk di Pantai Pangumbahan. Penurunan populasi disebabkan oleh faktor alam dan aktivitas manusia. Faktor alam yang mengancam keberadaan penyu adalah predator, penyakit dan perubahan iklim (Gibbons et al 2000). Perilaku manusia yang menjadi penyebab penurunan populasi Penyu berupa pemanenan berlebih terhadap telur, daging dan karapas penyu untuk perdagangan (Permen Hut No. 57 tahun 2008). Penangkapan penyu secara insidental dalam alat tangkap perikanan (Kot 2010) dan konservasi habitat peneluran menjadi daerah wisata yang tidak mendukung konservasi penyu seperti pembangunan di pantai-pantai peneluran, penggunaan lampu di pantai dan sampah-sampah yang mengotori pantai (Ferreira et al 2002). Tingginya ancaman terhadap Penyu maka IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resource) memasukan semua jenis Penyu kedalam red list. Lembaga tersebut diperkuat dengan Appendiks I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang menjelaskan bahwa keberadaan Penyu di alam terancam punah. Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan merupakan salah satu bentuk KKP3K yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Nomor: 523/Kep.639- Dislutkan/2008. Bentuk pengalihan kegiatan eksploitasi terhadap Penyu Hijau menjadi kegiatan jasa rekreasi berupa ekowisata pantai. Penetapan kawasan diharapkan dapat menjamin kelestarian populasi Penyu secara ekologis serta mengubah persepsi masyarakat terhadap kawasan konservasi yang bersifat sentralistik dan tertutup (kawasan larangan) bagi semua pihak. Aspek sosial dan ekonomi dapat memberikan manfaat secara maksimal bagi kesejahteraan masyarakat dengan tetap mengedepankan sisi perlindungan, khususnya Penyu Hijau Pantai Pangumbahan mempunyai ciri khusus, pantai landai berpasir tebal dengan latar belakang hutan lebat dan jenis Pandanus tectorius memberikan naluri kepada Penyu Hijau untuk bertelur (Bustard in Ahmad 1983). Pendaratan Penyu Hijau ini berpotensi sebagai aset pariwisata bagi pemerintah daerah. Dahuri (2006) menyatakan bahwa aset alami memerlukan penanganan yang serius agar dapat dipertahankan dan digunakan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dan azas manfaat agar produktifitasnya dapat terus berlanjut. Bentuk penanganan salah satunya adalah pengembangan kawasan sebagai kawasan ekowisata. Ekowisata adalah bentuk baru dari perjalanan yang bertanggung jawab kearea alami dan berpetualang yang dapat menciptakan kawasan industri pariwisata (Yulianda 2007). Sumberdaya di pantai Pangumbahan yang menjadi primadona dan daya tarik utama bagi wisatawan adalah keberadaan Penyu Hijau yang naik untuk bertelur dan pelepasan tukik pada sore hari. Wisatawan dapat ikut berpartisipasi dalam melepas tukik ke pantai dan mendapat sejumlah pengalaman baru dengan melihat peneluran penyu. Aktifitas wisata tersebut dilakukan untuk memberikan edukasi mengenai penyu, termasuk ancaman dan gangguan bagi penyu untuk mencegah penangkapan dan pemanfaatan penyu di masa yang akan datang.

18 2 Daerah tempat bertelur (nessting site) dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 tahun 2008 ditetapkan sebagai zona inti. Zona ini wajib dimiliki oleh setiap kawasan konservasi untuk melindungi ekosistem, situs budaya, penelitian dan pendidikan. Zona inti menjadi perlindungan mutlak habitat bagi populasi ikan serta alur migrasi biota laut. Konstribusi bagi pendapatan daerah bukan menjadi suatu kewajiban pada kawasan ini. Pengelola dan Stakeholders pengelolaan dalam konservasi penyu di Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan teridentifikasi sebanyak 18 pihak diantaranya perwakilan dari pemerintah, masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan perguruan tinggi (Harteti 2013). Pihak yang terlibat dalam jumlah yang banyak berpotensi menimbulkan konflik pemanfaatan karena beragamnya kewenangan, peran, harapan dan manfaat kawasan konservasi. Pendekatan holistik dan terpadu dalam pengelolaan Taman Pesisir harus diupayakan untuk menghasilkan strategi konservasi Penyu yang tepat sesuai dengan tujuan konservasi. Konservasi penyu memiliki konsep yang memadukan antara aspek perlindungan, pelestarian dan pemanfatan sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan PerMen.KP Nomor 17 tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di wilayah pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sehingga pemanfatan kawasan sebagai tempat wisata penyu haruslah mempertimbangkan keberadaan penyu, terutama Penyu Hijau sebagai hewan langka yang harus dilindungi. Tahapan analisis kebijakan disertakan dalam menentukan skenario pengelolaan kawasan konservasi melalui pendekatan Geograpyc Information System. Skenario yang dibuat diharapkan mampu menghasilkan suatu rekomendasi bentuk pengelolaan yang lebih terpadu dan terkoordinasi serta menjadi landasan dalam pengambilan keputusan dalam penetuan kegiatan di kawasan konservasi penyu. 1.2 Rumusan Masalah Populasi Penyu di pantai Pangumbahan telah terganggu yang diindikasikan dengan mulai menurunnya penyu yang bertelur di pantai Pangumbahan (Haryanti 2014). Jumlah penyu yang bertelur pada kawasan ini mengalami penurunan setiap tahunnya. Hal ini dikemukakan oleh salah satu pengelola yang menyatakan bahwa jumlah penyu yang bertelur kini hanya 1 ekor dalam setiap harinya, padahal dulu biasanya dapat mencapai 10 ekor (2012). Pada musim bertelur rata-tara penyu yang bertelur 5 hingga 7 ekor (Listiani 2012). Pemanfaatan kawasan konservasi sebagai tempat wisata belum dapat menjamin kelestarian penyu dan meningkatkan kesejahtaraan masyarakat diperlukan arahan atau strategi khusus dalam pengelolaan dengan prinsip pendekatan kehati-hatian dalam menjaga kelestarian penyu hijau tetap menjadi prioritas utama. Strategi pengelolaan merupakan keterpaduan antara kepentingan antara rencana pengembangan, status kawasan dan fungsi kawasan konservasi menjadi bagian penting dalam rencana pengelolaan. Pengelolaan kawasan konservasi sebagai tempat wisata yang melebihi daya dukung berpotensi memberikan eksternalitas negatif terhadap kawasan peneluran penyu. Kondisi ini disebabkan terganggunya kenyamanan penyu untuk bertelur. Penyertaan daya

19 3 dukung diperlukan dalam arahan strategi pengelolaan, untuk mencegah terjadinya degradasi dan rusaknya sumberdaya. Khususnya penyu hijau sebagai hewan langka yang dilindungi. Beberapa daya dukung diantaranya daya dukung kawasan sebagai tempat peneluran penyu dan sebagai tempat wisata, daya dukung ekonomi dan tingkat partisipasi masyarakat dalam menunjang kegiatan ekowisata pantai. 1.3 Tujuan Penelitian Melakukan pengkajian terhadap pemanfaatan Kawasan Konservasi Penyu Hijau di Pantai Pangumbahan Kabupaten Sukabumi untuk kegiatan wisata pantai serta memberikan arahan pengembangan secara optimal dan berkelanjutan berdasarkan parameter lingkungan yang ditentukan. Pengkajian untuk mencapai tujuan tersebut diantaranya: 1. Mengevaluasi kesesuaian kawasan untuk peneluran Penyu Hijau dan pengembangan kegiatan ekowisata pantai. 2. Menghitung daya dukung (carrying capacity) kawasan konservasi penyu untuk kegiatan ekowisata pantai. 3. Menentukan status kondisi ekonomi aktivitas wisata, preferensi wisatawan serta partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekowisata pantai saat ini. 4. Membuat arahan pengelolaan ekowisata pantai di kawasan konservasi yang berkelanjutan. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Memberikan arahan pengelolaan kawasan konservasi penyu yang menjadi kawasan ekowisata pantai dengan mempertimbangkan aspek daya dukung kawasan. 2. Menjadikan acuan dalam mengeluarkan kebijakan pengelolaan ekowisata yang mendukung aspek keberlanjutan bagi pemerintah dan instansi terkait. 3. Bahan pertimbangan bagi investor dalam melakukan investasi di kawasan Pangumbahan. 4. Memberikan kontribusi untuk pengembangan ilmu pengetahuan di bidang pengelolaan berkelanjutan untuk wilayah pesisir khususnya pada pengembangan ekowisata berupa ekowisata pantai. 1.5 Kerangka Pendekatan Studi Pesisir pada umumnya memiliki karakteristik habitat yang berbeda-beda. Perencanaan pengelolaan kawasan konservasi penyu untuk kegiatan ekowisata pantai memerlukan berbagai informasi. Beberapa diantaranya daya dukung kawasan melalui pendekatan sosial ekonomi maupun pendekatan ekologi. Nuitja (1992) menyatakan bahwa unsur utama daerah peneluran penyu terdiri dari makro dan mikro habitat. Makro habitat terdiri dari komposisi pasir, tanah dan formasi hutan pantai. Hutan pantai biasanya belum terjamah, kondisinya masih utuh dan

20 4 lebat dengan pohon-pohon. Sedangkan secara mikro habitatnya berupa unsurunsur hara. Kegiatan ekowisata pantai tentunya tidak boleh menghambat kegiatan konservasi Penyu. Keterbatasan ruang atau luasan dari sumberdaya hendaknya diperhatikan dalam pengelolaan. Penzonasian kawasan, ketersedian fasilitas ataupun infrastuktur, jumlah pengunjung, partisipasi masyarakat dan kemampuan dari kawasan dalam menerima aktivitas manusia perlu dipertimbangkan. Analisis optimasi pengelolaan mengunakan pendekatan kesesuian, daya dukung ekologi, sosial, ekonomi dan sistem dinamik untuk mengkaji pola pengelolaan ekowisata. Pengelolaan ekowisata di kawasan konservasi yang menjamin aspek keberlanjutan merupakan hasil analisis yang diharapkan. Pendekatan yang dilakukan mengunakan beberapa variabel diantaranya indeks kesesuaian wisata (IKW) dan analisis daya dukung kawasan (DDK) yang menjadi faktor supply ekologi. Demand wisata dianalisis menggunakan metode contingent valuation method (CVM) (Gambar 1). Kawasan Konservasi Penyu Hijau Pendekatan Ekologi Pendekatan Ekonomi Kriteria Konservasi Penyu Kriteria Wisata Penyu Daya Tarik Wisata 1. Jumlah penyu yang bertelur 2. Jumlah vegetasi 3. Tekstur pasir 4. Panjang pantai tempat bertelur 5. Lebar pantai 6. Kemiringan Pantai 7. Pencahayaan 8. Bangunan 1. Kenaikan penyu 2. Kedalaman perairan 3. Tipe pantai 4. Lebar pantai 5. Material dasar perairan 6. Kemiringan pantai 7. Penutupan lahan pantai CVM Demand Wisata Supply Ekologi Optimalisasi Pengelolaan Ekowisata pantai Analisis daya dukung (DDK) Keterangan: feedback alur penelitian alat atau metode analisis Arahan Pengelolaan Kawasan Konservasi Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

21 5 2. METODOLOGI PENELITIAN 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kawasan Konservasi Penyu Hijau di pantai Pangumbahan Kabupaten Sukabumi dengan panjang pantai 2,3 km (Gambar 2). Administratif lokasi penelitian berada di wilayah Desa Pangumbahan, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat. Letak geografis diantara 7 o LS 7 o LS dan 106º23 40 BT 106º24 10 BT Stasiun Penelitian Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Kawasan Konservasi Penyu Hijau Penelitian terdiri dari tiga tahap yaitu penentuan metode pengumpulan data, pengambilan data dan analisa data. Penentuan metode pengumpulan data dilakukan pada bulan Januari Survei lapangan untuk mengetahui kondisi awal daerah penelitian pada bulan Februari Pengambilan data berupa data primer dan sekunder dilakukan pada bulan April 2014.

22 6 2.2 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data ekologi, ekonomi dan sosial diperoleh berdasarkan survei dan studi pustaka. Survei dan wawancara langsung dengan masyarakat maupun dengan Stakeholder terkait. Jumlah responden dari masyarakat sekitar dan wisatawan yang melakukan kunjungan yaitu masingmasing 30 orang. Studi pustaka diperoleh dari hasil penelitian dan laporan pada kawasan konservasi penyu maupun Instansi terkait diantaranya Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pariwisata, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPEDA), Dinas Perhubungan, Badan Lingkungan Hidup, Badan Pusat Statistik, dan kantor desa setempat (Tabel.1) Tabel 1. Analisis, jenis data, aspek-aspek dan teknik pengambilan data Analisis Jenis Data Aspek-aspek Ekologi IKW Biologi Kenaikan Penyu dan penutupan vegetasi Fisik Lebar pantai, Kemiringan pantai Kedalaman perairan, Jenis pasir Tipe pantai, Material dasar perairan Ketersediaan air tawar, Sarana dan prasarana GIS Informasi spasial Sistem penzonasian Ekonomi CVM Nilai ekonomi Pendapatan wisatawan, biaya perjalanan wisata(demand) wisatawan, jarak tinggal, kondisi potensi SDA dan harga wisata Keterangan : IKW : Indeks Kesesuaian Wisata DDK : Daya dukung habitat CVM : Contingent Value Method Teknik Pengambilan Data Survei dan studi pustaka Survei wisatawan 2.3 Alat dan Bahan Alat dan bahan pada penelitian ini berfungsi dalam pengambilan data primer dan kuisioner. Peralatan yang digunakan untuk mengukur aspek bio-fisik, pengambilan data sosial masyarakat, wisatawan serta data keperluan dokumentasi (Tabel 2). Tabel 2. Alat dan Bahan Parameter Alat 1. Kemiringan pantai Rol meteran 2. Lebar pantai Clinometer/Meteran 3. Tekstur pasir Sekop kecil 4. Penutupan vegetasi Transek 5. Intensitas cahaya Lux meter 6. Luasan kawasan GPS (Global Positioning System) dan meteran 7. Letak bangunan GPS 8. Jarak pantai peneluran dengan daerah GPS pakan 9. Dokumentasi Kamera 10. Data Wisatawan dan masyarakat Formulir kuisioner dan recorder

23 7 2.4 Analisis Data Analisis data yang dilakukan meliputi analisis kesesuaian kawasan untuk peneluran penyu, kesesuaian kawasan wisata serta analisis daya dukung sosial ekonomi kawasan untuk kegiatan wisata pantai. Matriks kriteria digunakan sebagai langkah awal untuk mempermudah pembobotan (weighting) dan pengharkatan (scoring) yang akan menginformasikan parameter, bobot, kategori kelas kesesuaian dan skor Indeks Kesesuaian Kawasan Habitat Peneluran Kajian kondisi habitat peneluran dilakukan melalui matriks kesesuaian habitat yang dibagi menjadi 3 kelas yaitu sangat sesuai, sesuai dan tidak sesuai (Tabel 3). Indeks kesesuaian habitat penyu mengunakan rumus menurut Yulianda (2007) yaitu: IKH = (Ni/Nmaks) x 100% Keterangan: IKH = Indeks Kesesuaian Habitat, Ni = Nilai variabel ke-i (bobot x skor), Nmaks = Nilai maksimum dari bobot maksimum x skor maksimum Tabel 3 Matriks kesesuaian habitat peneluran penyu hijau Kategori dan skor Peubah habitat Bobot Sangat Skor Sesuai Skor Tidak sesuai Skor sesuai Kemiringan pantai o o 2 > 58 o 1 Lebar pantai(m) <7 atau > 43 1 Tekstur pasir % % 2 < 95% atau > 99% 1 Penutupan vegetasi % % 2 < 32% atau > 47% 1 Pencahayaan 5 0 lux lux 2 > 3 lux 1 Bangunan 1 0% 3 1-4% 2 > 4% 1 Jarak pantai peneluran dengan daerah pakan 3 0 km K m 2 > 5 km 1 Keterangan: Nmaksimum = 69, sangat sesuai = IKH>69,86%, sesuai = IKH 69, ,67%, tidak sesuai = IKH<66.67% Pengukuran kelayakan habitat peneluran berdasarkan matriks kesesuaian habitat dilakukan pada stasiun sesuai dengan pembagian manajemen pengelolaan. tekhnik pengukuran peubah habitat (Tabel 7) diantaranya: 1. Kemiringan pantai diukur dengan clinometers dari garis pasang harian tertinggi ke garis vegetasi. 2. Lebar pantai diukur dengan meteran dari garis pasang harian tertinggi ke garis vegetasi. 3. Pengukuran persentase pasir dilakukan pada bagian permukaan dan pada kedalaman 50 cm. 4. Penutupan vegetasi dilakukan pada penutupan vegetasi pandan (Pandanus tectorius) karena penyu hijau di pantai Pangumbahan sebagian besar

24 8 bersarang dibawah pandan. Penutupan vegetasi dilakukan dengan metode transek 10 x 10 m. 5. Pencahayaan diukur dengan lux meter dilakukan sebelum bulan terbit yaitu jam WIB. Pada tiga titik yaitu garis pantai, garis midhabitat dan garis vegetasi. Pengukuran dilakukan dengan ketinggian 10 cm dari atas pasir. Arah pengukuran menuju pantai, menjauhi pantai dan arah sejajar pantai (Santos et al. 2006). 6. Bangunan, di pantai peneluran dapat mengganggu penyu untuk bertelur. Bangunan shelter yang berfungsi sebagai tempat pengamatan penyu di pantai. Luas bangunan merupakan persentase rasio luas bangunan terhadap luas stasiun (Santos et al. 2006). 7. Jarak pantai peneluran dengan daerah pakan (lamun dan algae) diukur dengan menggunakan GPS. Data peubah habitat pada masing-masing stasiun dianalisis dengan analisis biplot (Gabriel 1971) dalam penentuan karakteristik pada masing-masing stasiun (tipe habitat). Kepadatan bersarang diasumsikan mewakili kesesuaian habitat (Santos et al.2006). Kepadatan bersarang dihitung dengan membagi jumlah sarang dengan luas stasiun. Sarang yang diamati adalah sarang sukses, yaitu sarang yang berisi telur penyu pada tahun Indeks Kesesuaian Wisata Indeks kesesuaian wisata untuk penyu dilihat dari beberapa aspek diantaranya kemiringan pantai, jenis partikel, jenis vegetasi tumbuhan, lebar pantai, peneluran, pasang surut air laut, cahaya lampu dan jarak bangunan. Parameter tersebut merupakan parameter penting yang berpengaruh terhadap pendaratan penyu. Tabel 4. Matriks kesesuaian lahan untuk Wisata Penyu kategori rekreasi Parameter Bobot Kategori S1 Skor Kategori S2 Skor Kategori S3 Skor Kenaikan Penyu ke pantai (ekor/hari) 5 >3 3 >1-3 2 <1 1 Lebar pantai (m) 5 > <10 1 Kemiringan pantai 5 < < ( 0 ) Kedalaman perairan >3-6 2 > Tipe pantai 3 Pasir putih 3 Material dasar perairan Penutupan lahan pantai Pasir putih sedikit karang 3 Pasir 3 Karang berpasir 2 5 Pandanus tectorius 3 Spinifex littoreus, Vigna marina 2 2 Pasir hitam, berkarang, sedikit terjal Pasir berlumpur Ipomea pescaprae,gy nura procumbens Ketersedian air tawar (km) 1 <0,5 3 0,5-1 2 >1-2 1 Pasang surut >100 1 Sumber : modifikasi dari Yulianda (2007) 1 1 1

25 9 Keterangan: Nmaksimum = 87, sangat sesuai = IKW >75-100%, sesuai = IKW 50-75%, tidak sesuai = IKW< 50% Hasil kesesuaian kawasan serta daya dukungnya selanjutnya dipetakan secara spasial menggunakan software ArcGIS. Kesesuaian lahan mempertimbangkan beberapa parameter dan dikategorikan dalam klasifikasi penilaian (Tabel 4). Indeks kesesuaian habitat penyu mengunakan rumus menurut Yulianda (2007) yaitu: IKW = [Ni/Nmaks] x 100% Keterangan: IKW = Indeks kesesuaian wisata Ni = Nilai Parameter ke-i (bobot x skor) N maks = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata Analisis Daya Dukung Kawasan Untuk Kegiatan Wisata Pantai Analisis daya dukung ditunjukan pada pengembangan wisata pantai agar dalam pengembangannya tidak menganggu kegiatan konservasi. Metode yang digunakan adalah konsep Daya Dukung Kawasan (DDK) yaitu jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada manusia (Yulianda 2007) dengan persamaan dalam bentuk rumus: DKK = K x Lp x Wt Lt Wp Keterangan: DDK K Lp Lt Wt Wp = Daya Dukung Kawasan (orang/hari) = Potensi Ekologis pengunjung persatuan unit area = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan = Unit area untuk kategori tertentu = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk setiap kegiatan = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan Luas suatu area yang dapat digunakan oleh pengunjung mempertimbangkan kemampuan alam dalam mentolelir pengunjung sehingga keaslianya tetap terjaga. Potensi ekologis rekreasi pantai, pengunjung perorang membutuhkan 50 m panjang pantai (Yulianda 2007). Waktu kegiatan pengunjung (Wp) dihitung berdasarkan potensi waktu peneluran penyu yaitu 10 jam dan lama total waktu yang diperlukan oleh pengunjung untuk melakukan kegiatan wisata adalah 24 jam.

26 Analisis Ekonomi Ekowisata Analisis Manfaat Keberadaan Obyek Wisata Penilaian setiap pengunjung terhadap suatu sumber daya alam yang dimanfaatkan sebagai obyek wisata pada dasarnya tidak sama. Seberapa besar nilai atau manfaat keberadaan obyek wisata tersebut, maka dapat dihitung dengan menggunakan metode valuasi kontingensi (CVM). Metode ini dianalisis berdasarkan keinginan membayar (willingness to pay) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam. Secara operasional, pendekatan CVM dilakukan dalam lima tahap, yaitu: 1. Membuat hipotesis pasar berupa kuesioner mengenai penyu, manfaat dan perkiraan luasan yang berkualitas baik. Kuesioner ini diberikan kepada wisatawan yang dipandu proses pengisiannya. 2. Mendapatkan nilai lelang yang dilakukan dengan mewawancarai langsung responden dengan kuesioner untuk mendapatkan nilai WTP responden. Nilai lelang ini didapatkan dengan teknik: a. Pertanyaan pilihan berganda, yaitu memuat beberapa nilai pilihan untuk aktivitas konservasi seperti melihat penyu bertelur, melihat tempat penetasan telur. b. Pertanyaan referendum, yaitu responden diberikan satu nilai dalam rupiah untuk setiap aktivitas konservasi, lalu diberikan pilihan setuju atau tidak 3. Menghitung rataan WTP berdasarkan nilai rata-rata (mean) atau nilai tengah (median). 4. Meregresikan nilai WTP untuk menduga hubungan antara WTP dengan karakteristik responden yang mencerminkan tingkat penghargaan wisatawan terhadap sumber daya yang selama ini dimanfaatkannya dengan formula: Ln WTP = β 0 + β 1 Ln I + β 2 Ln E + β 4 Ln AE...(1) yang mana, WTP = keinginan membayar wisatawan terhadap suatu sumber daya; I = pendapatan (rupiah/dolar); E = pendidikan; AE = ketertarikan terhadap ekosistem 5. Validasi model yang didapat dengan pengujian statistik melalui uji F dan uji t. Mengagregatkan hasil WTP rata-rata individu ke dalam WTP populasi yaitu: TB = WTP i x P...(2) TB = total benefit (rupiah/dolar); WTP i = nilai WTP per individu (rupiah/dolar); P = total populasi pada tahun ke-t yang relevan dengan analisis valuasi ekonomi sumber daya (orang).

27 11 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Populasi Penyu Hijau Penyu Hijau yang mendarat untuk melakukan aktivitas peneluran di Pangumbahan umumnya terjadi pada saat pasang tertinggi menutupi rata-rata permukaan laut. Jumlah kenaikan penyu harian, tertinggi pada tahun 2013 (15 ekor), 2012 (6 ekor), 2014 (4 ekor) dengan rataan 1-2 ekor permalam. Nilai tersebut mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Menurut Yusri (2003) tahun 2003 rataan kenaikan Penyu 2-3 ekor permalam, tahun 2004 kenaikan Penyu permalam 3-6 ekor. Tahun 2008 jumlah Penyu yang bertelur tertinggi mencapai ekor per malam. Signifikannya penurunan jumlah kenaikan Penyu sampai 90% karena kenaikan pernah mencapai ekor per malam dimana tiap 500 meter bertelur antara ekor. Dwihastuty (2014) menyatakana bahwa proses pendaratan, peneluran ataupun penetasan Penyu Hijau sangat dipengaruhi faktor biologi dan fisik kawasan. Populasi Penyu Hijau yang mendarat di Pangumbahan dari tahun 2012 masih didominasi oleh Penyu yang melakukan false crawl (Gambar 3). False crawl merupakan aktivitas Penyu naik ke darat tanpa melakukan kegiatan bersarang (Nuitja 1992; Harteti 2013). Persentase yang tidak bertelur mengalami peningkatan dari 2012 dengan rataan 39,35% (kisaran 21,64% - 52,61%). Kurangnya naluri Penyu bertelur akan berpengaruh pada ukuran populasi Penyu yang bertelur di Pangumbahan karena dari 2009 persentase penyu yang bertelur kurang dari 60% (Haryanti 2014) Bertelur Tidak Bertelur Gambar 3. Populasi Penyu Hijau yang naik di pantai Pangumbahan Sebaran kenaikan penyu dalam tiga tahun terakhir, menunjukan pola yang sama. Jumlah tertinggi secara berurutan pada Stasiun 2, 3, 1, 4, 5, 6 masingmasing berjumlah 2564 ekor, 1329 ekor, 1042 ekor, 877 ekor, 554 ekor, 174 ekor (Gambar 4). Perbedaan jumlah Penyu yang naik erat hubunganya dengan insting Penyu dalam pemilihan lokasi peneluran diantaranya tekstur pasir, ketinggian pantai, geomorfologi dan dimensi pantai, bentuk batimetrik pantai, tekstur pasir pantai dan cahaya lampu (Yusri 2003).

28 Jumlah penyu (ekor) I II III IV V VI STASIUN Gambar 4. Jumlah Penyu yang naik pada enam Stasiun utama tiga tahun terakhir Pemilihan lokasi peneluran Penyu Hijau berdasarkan jejaknya di Pangumbahan tertinggi terkonsentrasi pada Stasiun 2 (31,91%) kemudian Stasiun 3 (24,82%). Pada stasiun 4 dan 5 persentase jumlah sarang memiliki nilai yang sama (17,73%), Stasiun 1 (7,80%) dan terendah pada Stasiun 6 (0%) (Gambar 5) Sarang yang ditemukan umumnya berada di sekitar vegetasi terutama Pandanus (Gambar 6). Vegetasi memberikan insting pada Penyu untuk menghindari perendaman akibat adanya aktivitas pasang surut. Gambar 5. Persentase jumlah nesting area Penyu Hijau perstasiun bulan Juli Stasiun Pengamatan 2 1 Gambar 6. Sebaran nesting area Penyu Hijau selama pengamatan

29 kemiringan (0) Kemiringan Pantai Tingkat kemiringan Stasiun 1 sampai Stasiun 6, memiliki nilai rataan dengan dua kategori kemiringan yaitu miring dan landai. Kategori landai pada Stasiun 1 dan 6. Kemiringan kategori miring pada Stasiun 2, 3, 4, dan 5. Menurut Darmawijaya (1997) kemiringan agak curam berkisar , kategori miring sedangkan kategori landai Nilai kemiringan terendah pada Stasiun 1 dengan nilai rataan 6,15 0 (Gambar 7). Elevasi kemiringan pada Stasiun 2 dan 3 tidak mengalami perubahan yang signifikan. Perubahan mulai terjadi pada stasiun 4 dan 5, kontur pantai yang cenderung bergelombang berdampak pada probabilitas penyu bertelur. Menurut Varela-avecedo et al (2009) elevasi pantai diduga menjadi faktor yang paling berpengaruh bagi penyu dalam pemilihan lokasi peneluran Landai 2. Miring 3. Miring 4. Miring 5. Miring 6. Landai Stasiun min mean max Gambar 7. Tingkat Kemiringan di Pantai Pangumbahan Kesesuian kemiringan pantai untuk habitat penyu pada Stasiun 1 sampai 5 masuk pada kategori S1 (sangat sesuia) dengan persentase kesesuaian 100%. Stasiun 6 masuk pada kategori N (tidak sesuai) dengan selisih antara S1 (sangat sesuai) dengan N (tidak sesuai) 6,38% (Gambar 8). Keberadaan aliran sungai menyebabkan terjadinya penurunan kemiringan sampai dibawah 0 0 yang berpotensi pada perendaman telur. Jejak sebaran sarang peneluran penyu sempat ditemukan di Stasiun 3 dengan kemiringan Kemampuan Penyu mencapai lokasi peneluran dengan kemiringan cukup besar tentunya akan membutuhkan energi lebih besar. Selain itu, mata penyu terbatas tidak dapat melihat pada sudut yang 150º kebawah sehingga kemiringan yang landai dan lebar pantai yang tidak terlalu jauh akan lebih disukai penyu. Menurut Nuitja (1992) penyu menyukai daerah peneluran daratan landai dan luas dengan rata-rata derajat kemiringan 30 0 diatas daerah pasang surut (intertidal). 16

30 Persentase Kemiringan (%) Persentase Kemiringan (%) Stasiun Gambar 8. Persentase kesesuaian kemiringan pantai untuk habitat Penyu Kesesuaian kemiringan pantai untuk kegiatan wisata kategori S1 (sangat sesuai) pada Stasiun 1 dan 6. Nilai persentase kesesuaian lebih dari 50% yang diklasifikasikan pantai yang relatif landai. Stasiun 2, 3, 4 dan 5 dikategori S2 (sesuai) antara dengan persentase kesesuaiaan 55,26% sampai 88,57% (Gambar 9). Menurut Yulianda (2007) kemiringan pantai untuk kegiatan wisata pantai sangat sesuia apabila kurang dari 10 0 sedangkan kategori sesuai kemiringan 10 0 sampai N S2 S Stasiun N S2 S1 Gambar 9. Persentase kesesuaian kemiringan pantai untuk wisata pantai. 3.3 Lebar Pantai Pantai Pangumbahan memiliki lebar pantai sedang hingga lebar dengan kisaran nilai 6,33 m 103,96 m. Nilai rataan lebar pantai adalah 46,79 m dengan pengamatan sebelumnya berkisar 37,98 m - 41,33 m (Tabel 5). Pantai terlebar berada pada Stasiun 6 dengan rataan 70,73 m (kisaran 48,29-103,96 m). Berbedanya nilai lebar pantai bagian supratidal sangat dipengaruhi aktivitas pasang surut. Menurut Sagara (2008) Lebar pantai Pangumbahan pada saat musim barat dan lebih besar pada musim timur dengan selisih supratidal 7 m dan intertidal 8,25 m.

31 persentase Lebra pantai (%) 15 Tabel 5. Nilai kisaran lebar pantai Pangumbahan Rataan perstasiun Stasiun Lebar Pantai (m) (m) 1 6,33-35, ,96-52, ,29-49, ,20-71, ,55-67, ,29-103, Rata-rata 46,79 Kesesuaian lebar pantai untuk peneluran Penyu Hijau kategori S1 (sangat sesuai) dengan persentasi kesesuaiaan 100% di Stasiun 3, 4, 5, 6 (Gambar 10). Stasiun 2 dengan kategori S1 (sangat sesuai) 96,97% terendah pada Stasiun 1 dengan persentase kesesuaian 78,05%. Kesesuaian stasiun untuk peneluran penyu disebabkan nilai lebar pantai masih berada pada kisaran yang memudahkan penyu untuk mencapai daerah tempat pembuatan sarang. Aksesibilitas yang semakin jauh dari tempat pembuatan sarang mengakibatkan besarnya energi yang diperlukan penyu untuk mencapainya Stasiun Gambar 10. Persentase kesesuaiaan habitat penyu berdasarkan lebar pantai Kesesuaian lebar pantai untuk kegiatan wisata pantai kategori S1 (sangat sesuai) pada Stasiun 1, 2, 3, 4. Persentase tertinggi di Stasiun 2 yaitu 72,7% dan terendah di Stasiun 1 dengan nilai 29,3% (Gambar 11). Lebar pantai menjadi salah satu faktor pembatas untuk melakukan kegiatan wisata pantai. Semakin lebar pantai maka semakin banyak bentuk kegiatan wisata yang bisa dilakukan. Keleluasaan wisatawan dalam beraktivitas, meningkatkan kenyaman berwisata. Menurut Wunani (2014) Semakin lebar pantai maka semakin baik untuk kegiatan wisata dan kenyamanan wisatawan. Lebar pantai kategori N (tidak sesuia) terdapat pada Stasiun 5 dan 6 dengan persentase ketidak sesuaiaan 100%. Pada Stasiun 5 dan 6 nilai lebar pantai terlalu besar. Lebar pantai yang melebihi batas maksimum menyebabkan wisatawan seringkali merasa kelelahan. Batasan lebar pantai sebaiknya untuk kegiatan wisata pantai tidak melebihi dari 10 m (Yulianda, 2007). N S2 S1

32 persentase Lebra pantai (%) Stasiun Gambar 11. Persentase kesesuaiaan wisata pantai berdasarkan lebar pantai N S2 S1 3.4 Tekstur Pasir Tekstur dan persentase pasir sangat berpengaruh pada preferensi peneluran penyu. Persentase pasir Stasiun 1 sampai Stasiun 6 memiliki nilai rataan 97,32% dengan kisaran 96,90% 98,31% (Tabel 6). Menurut Nuitja (1992) Susunan tekstur pasir untuk daerah peneluran berupa pasir tidak kurang dari 90% dan sisanya adalah debu maupun liat. Pangumbahan menjadi salah satu sentral utama bagi aktivitas peneluran Penyu karena memiliki butiran yang lebih halus dibandingkan pasir di pantai Ujung Genteng dan Pelabuhan Ratu (Herdiawan 2003). Persentase pasir untuk kesesuaian peneluran penyu digolongkan kedalam tiga kategori, yaitu S1 (sangat sesuai) pada Stasiun 1, 2, 3, 5 dengan nilai tertinggi pada Stasiun 1 dengan nilai 98,31% dan terendah di Stasiun 3 dengan nilai 97,18%. Kategori S2 (sesuai) pada Stasiun 4 dan 6 dengan nilai masing-masing 96,92%; 96,90%. Tingginya persentase pasir ini memberikan kemudahan penyu dalam membuat sarang dibandingkan dengan tanah liat atau debu dan membantu penyebaran suhu yang lebih stabil dan merata. Menurut Silalahi (1990) pasir memiliki kemampuan dalam menyimpan air 30-40% dengan daya penyimpanan air efektif 20%. Daya simpan ini menjadikan kondisi pasir tidak terlalu kering atau terlalu basah. Stancyk dan Ross (1978); Mortimer (1990); Chen et al. (2010) menyatakan bahwa ukuran butir pasir lebih banyak mempengaruhi parameter penting yang menentukan proses keberhasilan inkubasi seperti porositas, kelembaban dan kepadatan pasir. Kawasan kategori S2 (sesuai) dan N (tidak sesuai) untuk peneluran penyu disebabkan komponen lain dalam jumlah besar. Komponen selain pasir akan berpengaruh pada kenyaman penyu untuk bertelur. Kawasan kategori S2 (sesuia) yaitu Stasiun 4 dan 6 selisih nilai persentase pasir 0,02%. Keberadaan muara sungai Cipanarikan dan kemiringan pantai yang landai pada Stasiun 6 berpotensi menjadikan kandungan liat sebagai komponen dominan. Menurut Herdiawan (2003) kandungan liat Stasiun 6 kandungan liat memiliki nilai paling tinggi mencapai 3%. Berbeda dengan Stasiun 4 komponen dominan berupa debu karena pada kawasan sekitarnya tidak ditemukan muara sungai yang berpotensi memberikan asupan suspensi solid yang mengandung liat.

33 17 Tabel 6. Kesesuaian tipe pasir untuk habitat peneluran penyu STASIUN PASIR (%) Kategori S S S S2 3.5 Tipe Pantai dan Material Dasar Pantai Pangumbahan berdasarkan tipe pantai dan material dasar perairan. Stasiun 1 sampai 6 dikategorikan S1 (sangat sesuai) untuk kegiatan wisata pantai (Tabel 7). Keseuaian tipe pantai berupa hamparan pasir putih yang berukuran sedang dengan material dasar perairan berupa pasir. Ukuran sedimen yang kasar dan sedang sangat baik untuk kegiatan ekowisata pantai dibandingkan ukuran butir sedimen yang sangat halus dan kasar (Hazeri 2014). Material dasar perairan berupa pasir turut mengukung untuk kegiatan wisata pantai karena identiknya para wisatawan mengangap secara estetika pantai yang berpasir putih lebih baik dibandingkan pantai yang berpasir hitam dan berkarang. Menurut Yulianda (2007) Wisata pantai akan sangat baik dilakukan pada pantai yang didominasi oleh substrat pasir, dibandingkan dengan pantai yang berbatu atau pantai yang didominasi oleh substrat karang karena dapat mengganggu kenyamanan wisatawan. Tabel 7. Kesesuaian tipe pantai dan material dasar perairan untuk wisata pantai STASIUN Tipe Pantai Material Dasar Perairan Kategori Pasir Putih Pasir S1 3.6 Kedalaman Pantai Kedalaman di pantai Pangumbahan cukup bervariasi dipengaruhi aktivitas pasang surut dan kondisi topograpis. Pasang surut Pangumbahan memiliki tipe pasang surut tipe campuran dominan semi diurnal. Semi diurnal merupakan perairan yang mengalami dua kali pasang dan dua kali surut selama 24 jam (Hazeri 2014). Kedalaman yang semakin besar dipengaruhi topografis pantai yang semakin ke selatan semakin curam karena pantai berhadapan langsung dengan

34 18 Samudra Hindia. Kndisi ini memberikan kemudahan aksesibilitas bagi pendaratan penyu di Pangumbahan. Selain itu, kedalaman perairan untuk penyu umumnya dimanfaatkan dalam mencari makan. Menurut Bennett and Bennett (1999) Kedalaman 1 sampai 1,5 m saat pasang dapat memudahkan penyu melakukan grazing (mencari makan). Lokasi feeding ground umumnya mulai daerah subtidal sampai inshore sekitar kedalaman 8 meter Kedalaman untuk kegiatan wisata pantai menjadi salah satu aspek penting dalam memberikan kenyamanan. Keyamanan berupa keamanan para wisatawan dalam melakukan berbagai aktivitas wisata pantai. Kedalaman pantai untuk wisata terbagi dalam dua kategori diantaranya kategori S1 (sangat sesuai) pada Stasiun 2, 1. Kategori S2 (sesuai) pada Stasiun 4, 5 dan Stasiun 6 (Gambar 12). Menurut Yulianda (2007) kawasan bagi wisata pantai kategorikan sangat sesuai apabila kedalaman perairan 0 m sampai 3 m, ketegori sesuai 3 m sampai 6 m dan tidak sesuai 6 sampai 10 m. Perairan yang terlalu dalam akan meningkatkan kekhawatitran para wisatawan untuk melakukan wisata pantai, terutama bagi wisatawan yang tidak memiliki kemampuan untuk berenang. Kekhawatiran wisatawan lainnya adalah aktivitas laut berupa pasang surut dan arus yang menyusuri tepi pantai (longshore current). Pada Stasiun 6 pantai yang berbatasan dengan BKSDA sedikit menekuk dan terhalang oleh batu karang yang tinggi. Wisatawan pada stasiun ini diharapkan lebih waspada dan tetap memperhatikan kondisi sekitar karena arus yang kuat secara tiba-tiba berpotensi membawa wisatawan ke parairan yang lebih dalam. Gambar 12. Kedalaman perairan pantai Pangumbahan

35 Penutupan Lahan dan Vegetasi di Pangumbahan Kesesuaian kawasan untuk peneluran penyu berdasarkan persentase penutupan vegetasi dikategorikan S1 (sangat sesuai) pada Stasiun 1 sampai Stasiun 6 dengan kisaran penutupan 39-47%. Vegetasi tidak terlalu terbuka maupun tidak terlalu rimbun. Keberadaan vegetasi menjadi indikator keterlindungan bagi telur penyu dari limpasan air laut, predator dan memperlambat proses transmisi panas sinar matahari ke permukaan pasir. Perambatan dan penyerapan sinar matahari menjadi lebih lambat karena sinar matahari terserap lebih dulu oleh naungan vegetasi sebelum ke permukaan pasir. Jenis vegetasi yang ditemukan di pantai Pangumbahan diantaranya katapang, nyamplung (Calphylum inphyllum), babakoan (Scaevla taccada), pohon waru (Hibiscus tiliaceus), bakung (Crinum asiaticum), Ipomea pescaprae dan Spinifex littoreus (lampiran 1). Pandan laut selain berperan dalam transmisi sinar matahari membantu memberikan naluri Penyu untuk bertelur. Menurut Segara (2008) Penyu memiliki ketertarikan terhadap vegetasi yang berbeda-beda. Ciri pantai peneluran penyu hijau umumnya didominasi vegetasi jenis pandan, sedangkan pantai peneluran penyu sisik umumnya didominasi vegetasi kampakkampak atau waru laut. Kesesuaian kawasan untuk wisata pantai berdasarkan penutupan lahan pantai kategori S1 (sangat sesuia) pada Stasiun 1, 2, 3, 5, 6. Vegetasi dan pandan laut memberikan kenyamanan berupa keterlindungan dari paparan sinar matahari langsung. Vegetasi pandan laut bagi para wisatawan menjadi daya tarik tersendiri karena memiliki bentuk daun, batang dan perakarannya yang khas. Berbeda dengan Stasiun 4 yang dikategorikan N (tidak sesuai) karena banyak ditemukan sebaran vegetasi jenis Spinifex littoreus (Gambar 13). Tumbuhan merambat ini menganggu kenyamanan Penyu saat naik, pengalian sarang dan menghambat tukik untuk kembali ke laut. Vegetasi Spinifex littoreus pada prinsipnya menjadi bagian objek wisata pantai di Pangumbahan, namun keberadaannya yang terlalu banyak dapat menurunkan tingkat kenyamanan wisatawan. Wisatawan dalam melakukan kegiatan wisata akan terbatasi secara ruang karena berusaha menghindari agar tidak terkena duri.

36 20 Gambar 13. Sebaran vegetasi di pantai Pangumbahan 3.8 Pencahayaan dan Bangunan Pencahayaan disekitar habitat peneluran berpengaruh terhadap naluri Penyu Hijau dalam melakukan pendaratan dan peneluran. Stasiun 1, 2, 3, 4, 5, 6 memiliki nilai rataan tingkat pencahayaan 0,41 lux dengan kisaran rataan 0,14-0,81 lux (Gambar 14). Nilai pencahayaan terbesar berada pada garis pantai. Penyu digaris pantai biasanya memastikan keadaan sekitar sebelum naik. Menurut Zavaleta et al. (2013) penyu menyukai pantai yang sepi, gelap dan tidak ada bunyi-bunyian. Intensitas cahaya mengalami perubahan peningkatan menjadi 0,11 lux dari nilai cahaya dari sebelumnya. Penelitian Widodo (1998), Listiani (2013) dan Haryanti (2014) pada zona inti, tingkat pencahayaan berkisar 0 0,7 lux dan 0 lux Perubahan tingkat pencahayaan disebabkan peningkatan jumlah bangunan villa maupun rumah hunian yang mengunakan lampu dengan volt tinggi sebagai sumber penerangan, aktivitas nelayan dan aktivitas wisatawan. Khususnya pada saat libur panjang, intensitas wisatawan semakin meningkat. Aktivitas wisatawan dari lampu kendaraan, lampu senter, api unggun di sekitar kawasan konservasi dan kegiatan pada malam hari menyebabkan peningkatan pencahayaan di pantai Pangumbahan.

37 21 Gambar 14. Pencahayaan di pantai Pangumbahan Arah datang cahaya pada Stasiun 1, 2, 3, 4, 5, 6 secara umum paling tinggi berasal dari sebelah kanan, terendah bagian tengah (Gambar 15). Perbedaan arah sumber cahaya sangat dipengaruhi intensitas cahaya bulan sebagai sumber pencahayaan alami, penutupan vegetasi termasuk keberadaan bangunan, aktivitas wisatawan, aktivitas nelayan yang mengunakan pencahayaan. Pada Stasiun 1, 2, 3, 4, 5, 6 sumber pencahayaan dari bangunan cukup terhalang oleh rimbunan vegetasi meskipun jarak bangunan kurang dari 1 km. Menurut Salmon (2006) bangunan yang tidak menggangu penyu adalah berjarak lebih dari 1 km. Adapun bangunan Stasiun di Stasiun 1, 2 dan 5 tidak diberikan penerangan. Sumber penerangan pada Stasiun 1 sampai Stasiun 6 hanya diperoleh dari sinar bulan dan penerangan dari lampu senter para petugas yang sesekali digunakan bila diperlukan. cahaya lampu di daerah peneluran mempengaruhi perilaku bertelur induk penyu dan perjalanan anakan penyu (Wibowo, 2007). Cahaya lampu atau cahaya buatan dapat membuat penyu tidak jadi bertelur (Salmon 2003) karena Penyu hijau paling sensitive terhadap cahaya dengan panjang gelombang 520 nm (biru-hijau) kerucut retina matanya mempunyai pigmen penglihatan yang mampu menyerap panjang gelombang nm (Granda dalam Harless and marlock 1979) Jumlah bangunan mengalami peningkatan akibat tingginya kunjungan wisata. Peningkatan jumlah bangunan dari tahun 2011 sebanyak 4% dari 59 unit menjadi 63 unit. Bangunan yang didirikan umumnya berada pada kawasan zona hijau yang dialih fungsikan oleh masyarakat lokal maupun luar (Gambar 16). Pengalihfungsian selain dijadikan lahan bangunan sebagian lahan dijadikan lahan terbuka yang bertujuan penataan lebih indah dan membuat akses menuju pantai lebih mudah. Pengalihfungsian kawasan sebagai bentuk pengembangan fasilitas dan utilitas dikhawatirkan menganggu kenyamanan penyu hijau dalam melakukan peneluran. Bangunan yang didirikan di zona hijau dikhawatirkan merubah komponen sistem ekologi yang berdampak pada ketidak sesuaiaan fungsi kawasan sehingga penyu hijau tidak lagi melakukan aktivitas peneluran.

38 22 Gambar 15. Rataan arah sumber pencahayaan di pantai Pangumbahan Stasiun pengamatan Lautan Daratan Gambar 16. Sebaran bangunan di sekitar kawasan konservasi

39 Jarak Pantai Peneluran dengan Daerah Pakan Kesesuaian kawasan berdasarkan jarak pantai peneluran dengan daerah pakan kategori S1 (sangat sesuai) pada Stasiun 1, 2, 3 dengan nilai 0 sampai 1 km. Kategori S2 (sesuai) pada Stasiun 4, 5, 6 dengan kisaran jarak kurang dari 1 sampai 5 km. Menurut Nuitja (1983) ketersediaan makanan laut untuk penyu, turut menjamin kestabilan populasi penyu yang bertelur di kawasan konservasi. Kawasan feeding ground diindikasikan dengan adanya hamparan lamun di luar zona inti (Gambar 17). Pentingnya ketersedian makanan di sekitar daerah kopulasi akan mempengaruhi kondisi induk dalam masa bertelur termasuk tingkat fertilisasi, persentasi penetasan telur, kelangsungan hidup embrio yang sangat ditentukan oleh makanan yang dikonsumsinya (Marquest 1990) Jarak Ketersediaan Air Tawar Kesesuaiaan kawasan wisata berdasarkan ketersediaan air tawar di pantai Pangumbahan dilakukan dengan mengukur jarak air tawar setiap stasiun dengan sumber air tawar. Ketersediaan air tawar kategorikan S1 (sangat sesuai) di Stasiun 6, kategori S2 (sesuai) di Stasiun 1 dan 2, kategori N (tidak sesuai) di Stasiun 3, 4 dan 5. Menurut Yulianda (2007) kawasan wisata pantai dikategorikan sangat sesuia apabila jarak air tawar kurang dari 0,5 km, jarak air tawar 0,5 sampai 1 km kategori sesuia dan kategori tidak sesuai jika jarak dengan air tawar lebih dari 1 sampai 2 km. Ketersediaan air tawar menjadi hal penting dalam menunjang aktivitas wisata karena menunjang fasilitas wisata yang membutuhkan sumber air bersih dan sanitasi. Handayawati (2010) keberadan air tawar menjadi kriteria penilaiaan dalam prioritas pengembangan wisata pantai Kesesuaian Kawasan Peneluran Kesesuaian kawasan konservasi sebagai habitat penyu secara exsisting meliputi 6 parameter yaitu kemiringan, lebar pantai, tekstur pasir, penutupan vegetasi, pencahayaan, bangunan dan jarak pantai peneluran dengan daerah pakan. Kawasan konservasi Penyu Hijau di Pangumbahan tidak lagi seluruhnya sesuai untuk habitat peneluran penyu. Tiga dari enam stasiun dikategorikan tidak sesuai untuk habitat peneluran penyu (Gambar 17). Stasiun yang dikategorikan S1 (sangat sesuai) hanya pada Stasiun 1, 2 dan Stasiun 3 sedangkan kategorikan N (tidak sesuai) pada Stasiun 4, 5 dan 6. Ketidak sesuaiaan di Stasiun 4 disebabkan banyaknya vegetasi rumput lari (Spinifex littoreus). Stasiun 5 dan 6 nilai lebar pantai dan kemiringan pantai terlalu besar. Stasiun 6 sebagian besar merupakan muara sungai yang berpotensi mensuplai endapan lumpur lebih tinggi. Pantai menghadap laut lepas memungkinkan terbentuknya rambatan gelombang besar dari bagian selatan Samudra Hindia yang menyebabkan berubahnya kestabilan garis pantai dan kemiringan pantai. meskipun geomorfologi pantai Pangumbahan berupa pantai terjal dengan batuan sedimen tua (Wahyudin 2011). Menurut Panjaitan (2012) telah terjadi abrasi sepanjang 3.042,9 m atau 80,91% dari total panjang garis

40 24 pantai Pangumbahan. Perubahan sebesar abrasi pantai 28% selama 21 tahun ( ). Gambar 17. Peta kesesuaian wilayah habitat peneluran Penyu Hijau 3.12 Kesesuaian Kawasan Wisata Pantai Wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai seperti rekreasi, olahraga, menikmati pemandangan dan iklim. Wisata pantai di Pangumbahan menjadi ekowisata yang melibatkan minat khusus. Kepuasan wisatawan diperoleh dari jasa yang diberikan oleh alam secara langsung. Sehingga tingkat kenyamanan wisatawan lebih rendah sedangkan tingkat kepedulian terhadap kelestarian suatu sumberdaya khususnya Penyu Hijau lebih diperhatikan. Pengembangan ekowisata ekowisata berupa wisata pantai dilakukan untuk menghindari terjadinya eksploitasi langsung penyu hijau di Pangumbahan Alternatif bentuk pengelolaan diharapkan mampu meningkatkan kesejahtraan masyarakat dengan menjaga keberlanjutan sumberdaya. Menurut Yulianda (2007) ekowisata merupakan wisata yang berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam atau lingkungan dan industri kepariwisataan. Kesesuaian kawasan untuk wisata pantai mengunakan 6 parameter diantaranya jumlah kenaikan Penyu setiap hari, lebar pantai, kemiringan pantai, kedalamaan, tipe pantai, material dasar perairan, penutupan lahan. Pantai

41 25 Pangumbahan secara eksisting memiliki dua kategori kesesuaian untuk wisata pantai. Kategori S1 (sangat sesuai) pada Stasiun 2 dan 3, kategori S2 (sesuai) pada Stasiun 1, 4, 5, 6 (Gambar 18). Gambar 18. Peta kesesuaian wisata pantai di kawasan konservasi Stasiun 1, 4, 5, 6 dikategorikan sesuai karena memiliki kondisi ekologis yang tidak jauh berbeda dengan Stasiun 2 dan 3. Panorama alam yang indah diantaranya hamparan pasir putih yang luas, air yang jernih, vegetasi pantai yang lebat dan khas, ombak yang sesuai untuk surfing, dan masih terdapat aktivitas kenaikan Penyu Hijau. Pada kawasan ini wisatawan masih bisa menikmati keindahan alam pantai Pangumbahan dengan melakukan kegiatan wisata pantai baik siang maupun malam hari. Menurut Kohl (2003) aspek terpenting dari pengalaman wisatawan adalah perasaan kealamian. Wisatawan lebih menghendaki pada kualitas dan keutuhan kawasan sehingga ekosistem habitat penyu hijau akan lebih terjaga keasliannya. Maka wisatawan diharapkan lebih menyadari akan pentingnya upaya konservasi yang dilakukan. Penyu Hijau umumnya menjadi objek ungulan yang menjadi daya tarik utama bagi para wisatawan. Pengaturan dengan memperhatikan daya dukung kawasan diperlukan dalam mengatur aktivitas wisatawan. Aktifitas wisatawan yang tinggi dan sulit untuk dikendalikan kerap kali mengurangi kenyamanan penyu untuk melakukan peneluran. Kondisi ini mengancam keberadaan Penyu Hijau di Pangumbahan. Menurut Sagara (2008) Penurunan populasi di Pangumbahan terjadi dikarenakan kunjungan wisata, pembuatan tenda, api unggun senter blits saat foto, pencurian Penyu, terjerat bagan ikan, perambahan

42 26 hutan dengan puncak terjadi pada tahun 1999 sampai 2002, predator dan jumlah tukik yang dilepas Sistem Penzonasian kaitannya dengan pengelolaaan wisata Pemaduan antara kegiatan pemanfatan kawasan untuk konservasi dan ekowisata diharapkan menjadi bentuk pengintegrasian dalam perencanaan pengembangan ekowisata di Pangumbahan. Hasil analisis spasial dengan teknik overlay antara kesesuian kawasan untuk peneluran Penyu dengan wisata pantai. Kawasan yang sangat sesuai untuk mendukung upaya perlindungan Penyu Hijau adalah Stasiun 1, 2 dan 3 dengan total luasan 3,684 ha karena memiliki kategori sangat sesuai untuk habitat penyu. Kawasan yang sesuai untuk wisata pantai pada Stasiun 4, 5 dan 6 dengan total luasan 6,762 ha. Persentase luasan kawasan hanya 3,20% yang sesuai untuk peneluran Penyu Hijau dan 5,88% sesuai untuk wisata pantai dari total luasan kawasan konservasi daratan. Menurut SK Bupati Sukabumi Nomor 523/Kep.639-Dislutkan/2008 yang dikeluarkan pada tanggal 31 Desember Luas Kawasan Konservasi mencapai hektar, yang terdiri dari daratan 115 hektar dengan panjang pantai meter dan kawasan perairan laut seluas hektar. Stasiun 4, 5 dan 6 dikategorikan tidak lagi sesuai untuk habitat penyu karena kemiringan pantai yang landai, nilai lebar pantai yang terlalu besar, keberadaan vegetasi Spinifex littoreus yang cukup banyak tidak lagi mendukung aktivitas peneluran penyu di Pangumbahan. Stasiun 1, 2 dan 3 merupakan kawasan sensitif yang memerlukan upaya perlindungan secara ketat. Stasiun 1, 2, dan 3 selama ini masih dijadikan sebagai lokasi utama untuk kegiatan wisata pantai. Pengalihan bentuk pemanfaatan kawasan konservasi berupa wisata pantai pada Stasiun 4, 5 dan 6 diharapkan mampu meningkatkan upaya reservasi habitat peneluran penyu di Pangumbahan (Gambar 19). Menurut Wilson (2001) perubahan kawasan berpotensi mengakibatkan kepunahan karena penyu tidak mampu beradaptasi dalam bereproduksi. Khususnya penyu hijau yang siklus hidup dan pertumbuhannya lambat. WWF-Indonesia (2009a) menyatakan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai masa dewasa sangat lama, yaitu harus bermigrasi sangat jauh dari habitat satu ke habitat lainnya selama 4 periode menjadi tukik, remaja dan dewasa (berkisar antara 20 sampai 50 tahun). Sifat wisata penyu yang in situ berupa objek yang hanya dinimkati secara utuh dalam ekosistemnya sangat keterikatan kuat dengan habitat. Penetapan kawasan yang tidak sesuai untuk pengembangan kegiatan ekowisata berupa wisata pantai dikhawatirkan menimbulkan kerusakan lingkungan yang berdampak pada kehilangan spesies.

43 27 Gambar 19. Peta evaluasi kesesuaian kawasan konservasi untuk wisata pantai 3.14 Daya Dukung Kawasan untuk Kegiaan Wisata Pantai Pengembangan kawasan yang memperhatikan daya dukung sangat penting dalam menjaga keberlanjutan suatu sumberdaya. Menurut Yulianda (2008) Daya dukung merupakan jumlah maksimum wisatawan yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Bentuk pemanfatan ekosistem alami tidak melebihi kapasitas fungsional ekosistem diharapkan mampu menjamin pemanfatan suatu sumberdaya secara berkelanjutan. Daya dukung kawasan konservasi di pantai Pangumbahan hanya di peruntukan pada Stasiun 4, 5 dan Stasiun 6 karena Stasiun 1, 2 dan Stasiun 3 hendaknya ditetapkan sebagai kawasan perlindungan mutlak (zona inti). Daya dukung untuk kegiatan wisata di Pangumbahan dibagi menjadi dua yaitu wisata pantai dan wisata penyu. Persentase wisatawan selama penelitian menunjukan aktivitas wisata pantai berupa jalan-jalan di pantai, melihat sunrice menikmati panorama alam, duduk santai, fotografi, berjemur, fotografi adalah 63%. Persentase wisatawan melakukan kegiatan wisata penyu berupa melihat penyu bertelur secara langsung dan melihat kegiatan konservasi penyu 30%. Wisatawan yang melakukan kegiatan wisata pantai dan wisata penyu adalah 7% (Gambar 20).

44 28 Gambar 20. Komposisi wisatawan berdasarkan kegiatan yang dilakukan di Pangumbahan Daya dukung kawasan untuk wisata pantai adalah 119 orang/hari terdiri dari 25 orang di Stasiun 4, 22 orang di Stasiun 5 dan 72 orang di stasiun 6. dengan waktu bersamaan (Gambar 21). Total waktu yang disediakan kawasan sepuluh jam dan tiga jam untuk kegiatan wisata pantai. Perbedaan jumlah wisatawan disetiap Stasiun disebabkan potensi ekologis yang berbeda. Daya dukung kawasan untuk wisata penyu pada seluruh Stasiun adalah 18 orang/hari dengan jumlah wisatawan terendah pada Stasiun 5 sebanyak 3 orang/hari, sedangkan yang terbesar di Stasiun 6 yaitu 11 orang/hari (Gambar 21). Pada waktu bersamaan dengan total waktu yang disediakan kawasan delapan jam dan empat jam untuk kegiatan wisata. Gambar 21. Daya dukung kawasan untuk aktivitas wisata pantai dan wisata penyu. Keindahan dan keaslian alam merupakan modal utama bagi ekowisata. jumlah wisatawan yang over carrying capacity dapat menjadi ancaman potensial terhadap daya tarik dari suatu obyek wisata dan berdampak terhadap degradasi ekosistem (Yulianda 2007). Pada saat libur jumlah wisatawan pada Stasiun 2 dalam satu hari dapat mencapai lebih dari 100 orang. Tingginya aktivitas pengunjung yang melebihi daya dukung dikhawatirkan berdampak pada perubahan ekosistem. Perubahan ekosistem sulit untuk diperbaiki seperti keadaan semula karena ekosistem memiliki sifat dan prilaku pemulihan yang tidak sama. Upaya mempercepat waktu pemulihan seringkali membutuhkan tenaga dan dana jauh lebih besar. Penetapan wisata penyu harus menjadi wisata ekslusif. Jumlah wisatawan sangat dibatasi tidak boleh melebihi jumlah daya dukung kawasan.

45 29 Pengaturan waktu secara berkelompok diharapkan mampu menjadi salah satu cara dalam membagi wisatawan untuk melihat aktivitas peneluran Penyu di Pangumbahan. Salah satu pembatasan jumlah pengunjung dilakukan di Playa Grande Marine Turtle National Park, maksimum wisatawan 15 orang dengan luas keseluruhan kawasan 445 Ha. Pembatasan ini dilakukan untuk menghindari adanya aktivistas pengunjung yang menganggu peneluran penyu. Menurut Listiani (2012) Koordinasi waktu wisatawan dilakukan dengan pergantian kelompok wisatawan yang terdiri dari jumlah maksimum yang telah ditentukan secara bergantian setiap 15 menit sekali Karakteristik Wisatawan Jumlah Wisatawan Jumlah wisatawan umumnya mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan tertinggi pada tahun 2013 sebanyak orang. Jumlah terendah tahun 2009 yaitu orang (Gambar 22). Peningkatan jumlah wisatawan dipengaruhi pengetahuan wisatawan terhadap penyu hijau dan habitat peneluran yang alami, indah dan unik. Keunikan penyu menjadi alasan utama wisatawan datang ke Pangumbahan, selain keindahahan pantai, jarak kawasan dengan rumah menjadi salah satu pertimbangan wisatawan untuk datang ke Pangumbahan. Wisatawan yang datang secara berulang 33% menyatakan karena kealamiahan kawasan, 44% karena keindahan pantainya, 13% karena keunikan penyu dan habitatnya. Sisanya 9% wisatawan menganggap Pangumbahan mampu memberikan kenyamanan untuk melakukan wisata. Gambar 22. Jumlah Wisatawan di Pangumbahan Wisatawan yang datang ke kawasan konservasi sebagian besar merupakan wisatawan nasional maupun internasional. Wisatawan nasinal diantaranya berasal dari Jakarta, Bandung, Bogor, Majalengka, Sukabumi, Tasikmalaya, Depok (Gambar 23). Wisatawan internasional yang dijadikan responden salah satunya dari jepang. Jumlah wisatawan nasinal relatif lebih besar dibandingkan dengan wisatawan lokal. Keberadaan sumberdaya yang terbatas disetiap kawasan, berupa pantai dengan objek utama penyu hijau di Pangumbahan. meningkatkan keingin tahuan seseorang sehingga mendorong seseorang untuk melakukan wisata.

46 30 Gambar 23. Asal kunjungan Wisatawan yang menjadi responden Pendapatan Wisatawan Persentase pendapatan wisatawan 46% berada pada kisaran Rp sampai Rp , kisaran Rp sampai sebanyak 22%, persentase terendah berkisar Rp sampai yaitu 11% (Gambar 24). Pendapatan menjadi salah satu pertimbangan dalam memberikan nilai terhadap sumberdaya. Pendapatan yang semakin besar memberikan keleluasaan lebih pada wisatawan untuk mempertingkan kegiatan wisata pantai yang akan dilakukan. Gambar 24. Persentase Pendapatan para Wisatawan Jenis Kelamin Wisatawan dan Tingkatan Usia Wisatawan Wisatawan yang diwawancarai berjumlah 166 orang dengan persentase 70% laki-laki dan 30% wanita dengan tingkatan usia yang beragam. Persentase tingkat usia tertinggi tahun sebanyak 67%, tingkatan usia kurang dari 19 tahun 23%, sisanya 10% berusia lebih dari 41 tahun (Gambar 25). Jenis kelamin dan tingkatan usia diduga akan mempengaruhi keputusan dalam melakukan kegiatan wisata pantai. Pria dianggap memiliki tingkat keleluasaan lebih besar dibandingkan dengan perempuan untuk mementukan bentuk dan jumlah wisata pantai yang akan dilakukan. Aspek kepuasaan cendrung lebih diutamakan bagi jenis kelamin pria dibandingkan dengan aspek keamanan, termasuk pertimbangan dalam melakukan perjalanan yang cukup jauh. Wisatawan yang datang ke Pangumbahan umumnya merupakan usia produktif tahun. Pada rentangan usia ini tingkat keingin tahuan diimbagi

47 31 kemampuan seseorang secara fisik maupun ekonomi (biaya wisata). Berbeda dengan tingkatan usia wisatawan yang dibawah 20 atau lebih dari 40 tahun. Keinginan seseorang untuk melakukan wisata terbatasi kondisi fisik atau biaya wisata. Usia kurang dari 20 tahun keingin tahuan dan kebutuhan rekreasi tidak di sertai kemapuan dalam menangung jumlah biaya wisata, sedangkan usia lebih dari 40 keinginan untuk melakukan wisata yang bersifat outdoor terbatasi oleh kemampuan fisik yang menurun. Gambar 25. Tingkatan usia wisatawan selama penelitian Pendidikan Wisatawan Tingkat pendidikan diduga mempengaruhi keputusan dalam mementukan kegiatan wisata. Wisatawan yang datang ke Pangumbahan berpendidikan SMA sebanyak 48%, 45% pendidikan S1, 2% pendidikan S2, persentase terendah adalah SMP yaitu 1% (Gambar 26). Wisatawan yang yang berpendidikan tinggi umumnya menyadari penyu hijau sebagai hewan langka yang perlu dijaga kelestariannya. Keputusan wisatawan dalam pemilihan bentuk kegiatan wisata tidak hanya menghilangkan kejenuhan akan rutinitas. Kegiatan wisata yang menambah pengetahuan atau informasi menjadi nilai lebih dan turut meningkatkan kepuasan wisatawan. Gambar 26. Tingkat Pendidikan Wisatawan Jumlah Tanggungan Wisatawan Jumlah tangungan wisatawan menjadi salah satu pertimbangan dalam penetuan nilai terhadap sumberdaya. Semakin sesar jumlah tanggungan maka semakin kecil kemungkinan memberikan nilai WTP karena bagi wisatawan

48 32 jumlah tanggungan dikategorikan sebagai penentu bentuk kegiatan wisata yang akan dilakukan (Gambar 27) 0 Gambar 27. Jumlah tanggungan wisatawan Pantai dan penyu menjadi minat khusus utama bagi para pengunjung termasuk pada kegiatan konservasi yang dilakukan. Persentase minat khusus berdasarkan ketertarikan terhadap sumberdaya wisatawan. Minat tertinggi yang mendorong wisatawan untuk datang ke Pangumbahan adalah penyu dan pantai 31%, minat khusus hanya pada pantai 25%, pada penyu 24% sisanya 19% minat khusus pada kegiatan konservasi di Pangumbahan (Gambar 28). Menurut (Dwihastuty 2016) 98% wisatawan mengetahui minat khusus 2% mendengar dari masyarakat sehingga menimbulkan rasa ingin tahu akan wisata minat khusus yang dimiliki kawasan konservasi. Gambar 28. Minat khusus para wisatawan di Pangumbahan Minat khusus wisatawan yang datang ke Pangumbahan didapatkan berdasarkan sumber informasi dari teman 61%, 24% dari keluarga dan sisanya 15% diperoleh dari media online (Gambar 29). Informasi dari teman menunjukan tingginya nilai persepsi masyarakat terhadap sumber daya di Pangumbahan, sehingga Pengalaman langsung sesorang menjadi rujukan untuk wisatawan lainnya melakukan wisata ke Pangumbahan. Kondisi ini menuntut pengelolaan kawasan untuk meningkatkan pelayanan dan penyediaan fasilitas wisata. Pengelola diharapkan melakukan pengaturan kegiatan dan pembatasan jumlah wisata untuk menjaga keberlangsungan sumberdaya.

49 33 Gambar 29. Sumber informasi kegiatan wisata di Pangumbahan. Rataan jumlah wisatawan selama lima tahun terakhir menunjukan kecenderungan peningkatan jumlah wisatawan terjadi pada bulan Agustus dan bulan Desember. Rataan jumlah wisatawan bulan agustus mencapai orang, bulan November orang (Gambar 30) Peningkatan jumlah wisatawan umumnya bertepatan dengan waktu libur sekolah dan libur akhir tahun. Pada saat libur, Pangumbahan menjadi alternatif wisata yang menarik karena wisatawan selain menikmati keindahan alam. Wisatawan mendapatkan pengetahuan tentang satwa langka dan kegiatan konservasi Penyu Hijau di Pangumbahan. Gambar 30. Rataan wisatawan setiap bulan di Pangumbahan 3.16 Kesediaan Membayar Wisatawan Ekowisata berupa wisata pantai menjadi sumber devisa negara yang menjual rasa. Kesenangan biasanya diekspesikan dengan mengeluarkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit. Kontribusi besar dari pengembangan kawasan konservasi diperoleh apabila kawasan mampu dikelola dengan baik. Pengelolaan ekowisata tidak hanya menjadi sumber pemasukan tambahan yang menunjang operasional kegiatan konservasi penyu hijau tetapi turut menjaga sumberdaya alam di Pangumbahan.

50 Nilai Rataan Keinginan Membayar Wisatawan Wisatawan memiliki tingkat kepedulian yang berbeda terhadap kelestarian sumberdaya. Salah satu indikatornya adalah variasi kesediaan wisatawan dalam membayar upaya pelestarian penyu di Pangumbahan. Jumlah wisatawan yang bersedia membayar sebanyak 166 orang. Distribusi nilai rata-rata WTP lebih lengkap disajikan berdasarkan jenis kegiatan yang dapat dinikmati para wisatawan di kawasan konservasi. Kesediaan membayar mulai dari tiket masuk, melihat tempat peneluran penyu, pemutaran film dokumenter penyu, pelepasan tukik sampai pada melihat aktivitas peneluran penyu. Nilai rataan WTP terbesar diberikan pengunjung berturut-turut untuk melihat penyu bertelur Rp /orang. Pemutaran film dokumenter tentang penyu hijau dan kegiatan konservasi yang dilakukan di Pangumbahan Rp /orang, pelepasan tukik Rp /orang, tiket masuk Rp /orang sedangkan harga yang diberikan untuk melihat tempat penetasan telur outdoor Rp /orang (Tabel 8). Tabel 8. Nilai rataan WTP untuk setiap kegiatan di kawasan konservasi Bentuk kegiatan Kisaran nilai WTP Rataan nilai WTP Tarif saat ini Arahan tarif Tiket masuk Melihat ruang penetasan telur outdoor Pemutaran film Pelepasan tukik (Dwihastuti 2014) Melihat penyu bertelur Jumlah rataan nilai WTP Wisata pantai (orang) 154 Wisata penyu (orang) 12 Jumlah pemasukan untuk kawasan konservasi Perhitungan nilai rataan WTP untuk semua kegiatan wisata di kawasan konservasi adalah Rp /orang. Perbedaan nilai WTP untuk melihat aktivitas peneluran penyu mengalami kenaikan dari penelitian sebelumnya Rp /orang dari Rp /orang (Dwihastuti 2014). Variabel yang berpengaruh terhadap penetuan nilai WTP wisatawan adalah pendapatan, pendidikan dan jumlah tanggungan. Nilai rataan WTP dapat mejadi acuan dalam penetapan tiket masuk untuk semua kegiatan. Perda Kab. Sukabumi Nomor 14 tahun 2013 mengabungkan tarif beberapa bentuk kegiatan di kawasan konservasi. Tiket masuk, melihat ruang penetasan outdoor, pemutaran film dan pelepasan tukik dikenakan biaya /orang. Jumlah pengunjung yang melakukan wisata pantai 154 orang dan wisata penyu 12 orang menghasilkan total pendapatan bagi kawasan konservasi sebesar Rp Berbeda dengan penetapan tarif yang didasarkan WTP setiap wisatawan. Jumlah pemasukan bagi kawasan konservasi dengan jumlah wisatawan yang sama

51 35 menghasilkan pendapatan dua kali lebih besar yaitu RP Selisih pendapatan dengan tarif yang ditetapkan saat ini yaitu Rp Keberadaan retribusi dari tarif setiap kegiatan diharapkan dapat digunakan secara langsung untuk melestarikan dan peningkatan kualitas kawasan diantaranya upaya rehabilitasi berupa penanaman pohon. Konsep ekowisata yang mengutamakan pasar atau pengembangan produk yang menjamin kelestarian. Filosofi dan rasa menjadi alasan ekowisata tidak mengenal kejenuhan pasar Biaya Wisatawan untuk Wisata Penyu Biaya wisata penyu mempertimbangkan peluang tingkat kenaikan penyu di Pangumbahan. Jumlah biaya wisata akan meningkat apabila masa tunggu naiknya penyu ke Pangumbahan relatif lama. Masa tunggu penyu berhubungan dengan musim pendaratan penyu yang ditunjukan oleh jumlah penyu yang bertelur di Pangumbahan. Puncak jumlah penyu yang bertelur selama lima tahun terakhir pada bulan Januari dan bulan agustus sampai November (lampiran 5). Peluang wisatawan untuk menemukan penyu di setiap stasiun memiliki variasi waktu yang berbeda. Peluang kenaikan penyu relatif lebih besar pada Stasiun 4 dan 5 dengan masa tunggu 1 sampai 5 hari (Gambar 31). Pada Stasiun 4, Wisatawan memiliki peluang lebih besar untuk melihat penyu dengan masa tunggu 1 hari (Oktober), 2 hari (September, November), 3 hari (Februari, Juli Agustus, dan Desember), 4 hari (Januari, April, dan Juni). Pada Stasiun 5 peluang kenaikan penyu relatif lebih besar pada bulan Oktober dengan masa tunggu 1 hari, masa tunggu 3 hari (Februari, Agustus, November dan Desember), 4 hari (September), 5 hari (April), 6 hari (Maret, Juni dan Juli), 8 hari (Januari), 9 hari (Mei). Pada Stasiun 6 waktu yang dibutuhkan wisatawan relatif lebih lama yaitu 2 sampai 14 hari. Masa tunggu tercepat pada bulan Oktober yaitu 2 hari, 3 hari (Maret, April, Juli dan November), 4 hari (Juni), 5 hari (Februari), 7 hari (Januari dan September), 13 hari (Desember), 14 hari (Mei). Gambar 31. Peluang masa tunggu wisatawan untuk melihat kenaikan penyu pada Stasiun 4, 5 dan 6 Pengelola kawasan konservasi untuk pemanfaatan wisata penyu dapat diarahkan pada stasiun yang memiliki peluang terbesar ditemukan penyu. Pengembangan kawasan wisata pada Stasiun 4 dan 5 lebih besar dibandingkan

52 36 Stasiun 6 dibulan Mei, September dan Desember karena pada Stasiun 6 masa tunggu untuk melihat satu ekor penyu hijau yang naik lebih dari satu minggu. Rataan jumlah biaya wisatawan yang datang ke Pangumbahan adalah Rp /orang. Kisaran biaya yang perlu disiapkan setiap wisatawan untuk wisata penyu pada stasiun 4 Rp /orang, pada stasiun 5 Rp /orang dan pada stasiun 6 adalah Rp /orang. Tingginya nilai kisaran biaya yang perlu disiapkan pada stasiun 6 karena waktu kenaikan penyu pada stasiun ini maksimal memiliki masa tunggu 14 hari (Tabel 9). Tabel 9. Kisaran biaya wisatawan berdasarkan peluang melihat penyu Bulan Waktu (hari) Kisaran biaya Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Jan Feb Mart Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des min mak Arahan Pengelolaan Kawasan Konservasi Pengembangan kawasan konservasi untuk ekowisata berupa kegiatan wisata pantai memerlukan perhatian lebih. Aspek keberlanjutan sumberdaya terutama menjaga keberadaan penyu hijau menjadi prioritas utama dalam pengembangan kawasan. Sejumlah arahan untuk mengatasi permasalahan diharapkan mampu membantu pengelola dalam mengoptimalkan bentuk pemanfatan secara perkelanjutan di Pangumbahan (Tabel 10). Tabel 10. Rekomendasi arahan pengelolaan kawasan konservasi di Pangumbahan Komponen Penjelasan Arahan Pengelolaan Kawasan yang sangat Penetapan zona inti pada stasiun 1, 2 dan sesuai untuk habitat 3. penyu adalah Stasiun 1, Pengalihan kegiatan wisata pantai pada 2, 3. Kawasan yang Stasiun 4, 5 dan 6. tidak sesuai Stasiun 4, 5, 6. Ketidak sesuaian Sistem penzonasian Bentuk pemanfaatan kawasan melebihi Daya dukung Degradasi habitat menyebabkan Rehabilitasi penanaman pohon dan penegendalian vegetasi Spinifex littoreus

53 37 kawasan Penetapan kawasan untuk wisata penyu Pelanggaran wisatawan Ketidak sesuaiaan harga tiket Kisaran biaya wisatawan untuk wisata penyu perstasiun nesting area untuk penyu hijau semakin berkurang. Batasan jumlah pengunjung untuk kegiatan wisata pantai 119 orang, wisata penyu 18 orang. kegiatan wisata penyu diarahkan pada kawasan yang memiliki peluang kenaikan penyu hijau tertinggi Pelaturan yang ditetapkan masih masih diabaikan dan dilanggar oleh sebagian wisatawan Retribusi yang ditetapkan masih terlalu rendah dibandingkan dengan nilai sumberdaya yang tinggi. Perbedaan peluang kenaikan penyu untuk tiga stasiun yang dianggap mengurangi tingkat kenyamanan penyu bertelur. Meningkatkan kualitas lingkungan untuk meningkatkan daya dukung kawasan melalui upaya rehabilitasi kawasan. Salah satunya penanaman jenis vegetasi asli seperti; nyamplung (Calphylum inphyllum), babakoan (Scaevla taccada). pohon waru (Hibiscus tiliaceus), bakung (Crinum asiaticum), Ipomea pescaprae dan Spinifex littoreus Pengaturan batasan jumlah pengunjung sesuia daya dukung kawasan. Wisata pantai pada staiun 4 sebanyak 25 orang, stasiun 5 sebanyak 22 orang, Stasiun 6 sebanyak 72 orang. Pengaturan waktu dan jumlah pengunjung wisata penyu. Pembagian waktu 15 menit sekali dan pengelompokan pengunjung stasiun 4 sebanyak 4 orang. Stasiun 5 sebanyak 3 orang dan Stasiun 6 sebanyak 11 upaya ini dilakukan untuk menjaga kenyamanan penyu dan wisatawan. Wisatawan pada bulan Mei, Agustus sampai Desember wisata penyu diarahkan pada Stasiun 4 dan 5 karena peluang wisatawan untuk melihat penyu hijau yang naik lebih cepat Prosedur yang jelas bagi wisatawan untuk setiap kegiatan wisata pantai maupun wisata penyu termasuk dalam pengunaan cahaya hanya diperbolehkan mengunakan cahaya dengan panjang gelombang kurang dari 520nm. Pemberian sanksi tegas pada setiap pelangaran denda maupun sanksi hukum lainnya. Penetapan tarif wisata berdasarkan setiap bentuk kegiatan yang akan dilakukan setiap wisatawan Penetapan tarif yang sesuai berdasarkan hasil analisis WTP untuk masing masing kegiatan. Kisaran biaya yang perlu disiapkan setiap wisatawan untuk wisata penyu pada stasiun 4 Rp /orang. stasiun 5 Rp /orang dan pada stasiun 6 adalah Rp /orang (ditambah dengan tarif yang telah disesuaikan)

54 38 4. SIMPULAN DAN SARAN 4.1 Simpulan 1. Tidak semua kawasan konservasi memiliki tingkat keseuaian bagi peneluran penyu. Penetapan kawasan sebagai zona inti pada Stasiun 1. 2 dan 3. Kawasan konservasi yang diperuntukan untuk kegiatan ekowisata berupa wisata pantai pada Stasiun 4, 5 dan Stasiun Pembatasan jumlah pengunjung berdasarkan daya dukung kawasan bertujuan untuk menjaga keaslian sumberdaya. menjaga kenyamanan penyu hijau dalam melakukan peneluran dan menjaga kenyamanan wisatawan dalam melakukan kegiatan wisata pantai. Batasan jumlah pengunjung untuk kegiatan wisata pantai 119 orang. wisata penyu 18 orang. 3. Nilai WTP kawasan konservasi dibagi berdasarkan jenis kegiatan yang akan dilakukan dengan total biaya keseluruhan Rp Penilaian terhadap sumberdaya ini sangat dipengaruhi tingkat pendidikan. jumlah pendapatan dan jumlah tanggungan wisatawan. 4. Pengembangan kawasan untuk wisata pantai hendaknya disesuiakan dengan potensi sumberdaya alam yang ada dengan tidak melebihi daya dukung kawasan 4.2 Saran Beberapa hal yang disarankan berdasarkan hasil penelitian diantaranya: 1. Pengalihan kegiatan wisata pantai dari zona inti perlu dilakukan dalam menjaga keaslian dan kealamiahan kawasan. terutama menjaga kepunahan penyu hijau di Pangumbahan. 2. Penetapan retribusi yang sesuai diperlukan untuk kegiatan wisata pantai di Pangumbahan. 3. Penelitian lanjutan diperlukan untuk pengembangan kawasan dengan mendesain kawasan untuk menjaga kelestarian habitat penyu yang turut meningkatkan kepuasan pengunjung dalam melakukan wisata.

55 39 DAFTAR PUSTAKA Adrianto N Perlindungan hukum terhadap Penyu di pulau Derawan Kabupaten Berau Kalimantan Timur. J Beraja Niti. 10(1): Bennet UP. Bennet P Aspects green turtle and hawksbill presence in their feeding. resting and cleaning areas off Honokwai west Maui Hawaii. doi:10.45/turtle Chen CL. Wang CC. Cheng IJ Effects of biotic and abiotic factors on the oxygen content of green sea turtle nests during embryogenesis. J Comp Physiol. B(180): doi: /s Darmawijaya MI Klasifikasi Tanah. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada Pr. p 411. Dahuri R Tahun Perikanan Indonesia; Membangun Perikanan Sebagai Primer Mover Perekonomian Nasional Menuju Indonesia Maju dan Sejahtera. Masyarakat Perikanan Nusantara. Jakarta. P Dwihastuti L Studi peningkatan kualitas pengellaan kawasan konservasi habitat penyu melalui pendekatan skema pembayaran jasa eksistem(studi Kasus Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan. Kabupaten Sukabumi) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Eagles PFJ. Cool McSF Tourism in National Parks and Protected areas. Oxon: CABI Publishing. p 21. Ferreira MB. Garcia M. Al-Kiyumi A Human and natural threats to the green turtles Chelonia mydas. at Ra s al Hadd turtle reserve Arabian Sea Sultanate of Oman. Sea Turtle Biology and Conservation. J BioOne. 5(1): doi: /1071. Gibbons JW. Scoott DE. Ryan TJ. Buhlmann K. Tuberville TD. Metts BS. Greene JL. Mills T. Leiden Y. Poppy S et al The global decline of reptiles deja vu amphibians. BioScience. 50(8): Handayawati HS. Budiono. Soemarno Potensi Wisata Alam Pantai Bahari. Jawa Timur (ID): PM PSLP PPSUB. p 17. Harteti S Analisis kinerja konservasi penyu di kawasan konservasi[disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Harless M. Morlock H TURTLES: Perspective and Research. New York (US): Haryanti R Status populasi Penyu Hijau (Chelonia mydas. Linnaeus 1758) di Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hazeri G Studi kesesuaian pantai laguna desa Merpas Kecamatan Nasal kabupaten Kaur sebagai daerah Pengembangan Pariwisata dan Konservasi [skripsi]. Bengkulu (ID): Universitas Bengkulu. Herdiawan I Analisis habitat Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai Penyu Pangumbahan. Kabupaten Sukabumi. Jawa Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hitchins PM. Bourquin O. Hitchins S. Piper SE Factors influencing emergences and nesting sites of hawksbill turtles (Eretmochelys imbricata) on Cousine Island Seychelles Phelsuma. 11:59-69.

56 40 Kohl J Park planning for life. Manual public use planning rare. Arlington. USA.21p. Listiani AI Kajian pengembangan ekowisata daerah peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas. Linnaeus 1758) di Pantai Pangumbahan Sukabumi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lizarraga LZ. Mavil JEM Nest site selection by the green turtle (Chelonia mydas) in a beach of the north of Veracruz. Mexico. Revista Mexicana de Biodiversidad. 84: doi: Lutz PL. Musick JA. Wyneken J The Biology of Sea Turtles Volume II. CRC Press LLC. Marquez DX Health promotion for successful aging. American J of 60 Lifestyle Medicine 3(1): Mortimer JA The influence of beach sand characteristics on the nesting behavior and clutch survival of green turtles (Chelonia mydas). Copeia. 1990: Nuitja INS Studi Ekologi Peneluran Penyu daging Chelonia mydas L di Pantai Sukamade. Kabupaten Banyuwangi. Bogor (ID): IPB Pr. Nuitja INS Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. Bogor (ID): IPB Pr. Salmon M Artificial night lighting and sea turtles. J Biologist. 50(4): Salmon M Protecting sea turtles from artificial lighting at Florida s oceanic beaches in Rich C and Longcore T. ecological consequences of artificial night lighting.washington. Island Pr : p. Santos KC. Tague C. Alberts AC. Franklin J Sea turtle nesting habitat on the US Naval Station. Guantanamo Bay. Cuba:a comparison of habitat suitability index models. Chelonian Conservation and Biology. 5(2): doi: / Segara RA Studi karakteristik biofisik habitat peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pangumbahan Sukabumi Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Seminoff JA The IUCN red list of threatened species: Chelonia mydas. The IUCN red list of threatened species. 21.doi: Silalahi S Pengaruh perlindungan sarang dan kepadatan telur terhadap laju tetas telur Penyu Hijau Chelonia mydas (L) di pantai Pangumbahan Sukabumi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Stancyk SE. Ross JP An analysis of sand from green turtle nesting beaches on Ascension Island. Copeia. 1:93-99.doi: / The Marine Species Section. Wildlife Division. Environment Australia Recovery Plan for Marine Turtles in Australia. 43p. Wicaksono MA. Elfidasari D. Kurniawan A Aktivitas pelestarian Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Taman Pesisir Penyu Pangumbahan Sukabumi Jawa Barat. Prosiding seminar nasinal matetamika sains dan teknologi. 4(2013) B: Wilson C. Tisdell C Sea turtle as a non-consumptive tourism resources especially in Australia. Tourism Management. 22: Wood DW. Bjorndal KA Relation of temperature. moisture. salinity and slope to nest site selection in loggerhead sea turtles. Copeia. 1:

57 Wunani D. Nursinar S. Kasim F Kesesuaian lahan dan daya dukung kawasan wisata pantai Botutonuo Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango. J Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 2(1): Yamamoto KH. Powell RL. Anderson S. Sutton PC Using LiDAR to quantify topographic and bathymetric details for sea turtle nesting beaches in Florida. Elsevier. 125: doi: /j.rse Yulianda F Ekowisata bahari sebagai alternatif pemanfaatan sumberdaya pesisir berbasis konservasi. Makalah seminar sains. Institut Pertanian Bogor. Bogor(ID). p 19. Yusri S Kondisi habitat dan vegetasi pantai peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas L.) di Suaka Margasatwa Cikepuh Sukabumi Jawa Barat [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia. [WWF-Indonesia] World Wildlife Fund-Indonesia Panduan melakukan pemantauan populasi penyu di pantai peneluran di Indonesia. Jakarta (ID): Gita Media Gemilang. Zavaleta. Morales-Mavil JE Nest site selection by the green turtle (Chelonia mydas) in a beach of the northof Veracruz. Mexico. Revista Mexicana de Biodiversidad. 84: Wahyudin Y Karakteristik Sumberdaya Pesisir dan Laut Kawasan Teluk Pelabuhan Ratu. Kabupaten Sukabumi. Jawa Barat. Bogor (ID): Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL- IPB). 41

58 42 LAMPIRAN Lampiran 1. Jenis vegetasi di Pangumbahan Pandan laut (Pandanus tectrius) Katapang (Terminalia catappa) Babakan (Scaevla taccada) Nyamplung (Calphylum inphyllum) Waru (Hibiscus tiliaceus) Bakung (Crinum asiaticum) Ip0mea pescaprae Rumput lari (Spinifex littreus)

59 43 Lampiran 2. Perhitungan regresi berganda SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 166 ANOVA df SS MS F Regression Residual Total Significance F E- 10 Coefficients Standard Error t Stat Intercept Pendapatan (X1) Pendidikan (X2) Jumlah Tanggungan (X3) Lower 95% Upper 95% P-value Intercept Pendapatan (X1) Pendidikan (X2) E-08 Jumlah Tanggungan (X3)

60 44 INSTITUT PERTANIAN BOGOR SEKOLAH PASCASARJANA PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN No Hari /tanggal : : Enumerator Tanda tangan : Neneng Nurbaeti : Waktu : I. IDENTITAS PENGUNJUNG Nama :... Jenis kelamin : Laki-laki Perempuan Umur :... tahun Alamat :... Kelurahan:... Kecamatan :... kab/ kota:... Pendidikan akhir : SD SMP S1 SMA D3 Lainya... Pekerjaan :... Status dalam keluarga : Suami Istri Anak Jumlah tangungan :... orang II. ASPEK PARIWISATA 1. Dari mana anda memperoleh informasi mengenai objek wisata ini? Sudah berapa kali Anda berkunjung ke Kawasan Konservasi penyu Pangumbahan?... Kali 3. Berapa Frekwensi kunjungan Anda ke Kawasan Konservasi penyu di Pangumbahan? 4. 1x setahun 2x setahun Apakah alasan utama anda datang berulang kali ke Pangumbahan? >2x setahun a. Wisata yang murah dan dekat dari tempat tinggal b. Alamnya menarik dan pagelaran seni budayanya menarik c. keunikan penyu d. alasan lainnya : Panorama alam apa yang Anda rasakan? a. alami b. indah c. unik d. nyaman e. bersih 6. kebersihan pantai a.sangat bersih b. bersih kurang c. bersih d. tidak bersih 7. Berapa lama waktu yang Anda habiskan untuk perjalanan wisata ini mulai dari berangkat hingga pulang?... jam / hari 8. Kegiatan wisata apa yang Anda lakukan : Motivasi / tujuan wisata Penyu Kunjungan Anda lakukan bersama : Teman Keluarga Rombongan wisata / tour Lainya Apakah Anda menginap? Ya Tidak Apabila menginap, dimana Anda menginap? Penginapan Mess di kawasan konservasi Penginapan di sekitar kawasan Pantai Pangumbahan Lainnya Bagaimana pengalaman wisata yang Anda rasakan dalam mengunjungi lokasi wisata ini? Positif Netral Negatif 12. Bagaimana sambutan Masyarakat yang Anda rasakan? KUISIONER PENGUNJUNG 2014 NENENG NURBAETI di

No : Hari/tanggal /jam : Nama instansi : Alamat Instansi : Nama responden yang diwawancarai Jabatan

No : Hari/tanggal /jam : Nama instansi : Alamat Instansi : Nama responden yang diwawancarai Jabatan LAMPIRAN 55 Lampiran 1. Kuisioner pengelola dan instansi terkait Kuisioner untuk pengelola dan Instansi terkait Pantai Pangumbahan No : Hari/tanggal /jam : Nama instansi : Alamat Instansi : Nama responden

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, telah dikenal memiliki kekayaan alam, flora dan fauna yang sangat tinggi. Kekayaan alam ini, hampir merata terdapat di seluruh wilayah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisik dan Biologi Pantai 4.1.1 Lebar dan Kemiringan Pantai Pantai Pangumbahan Sukabumi yang memiliki panjang pantai sepanjang ±2,3 km dan di Pantai Sindangkerta

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Lombok Barat-Propinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong bagian utara, tepatnya di Desa Sekotong

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan

3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 14 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan Pantai Lampuuk Kabupaten Aceh Besar, Provinsi NAD. Secara geografis Kabupaten Aceh Besar terletak pada 5,2º-5,8º

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 13 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan Pantai Santolo, Kabupaten Garut. Pantai Santolo yang menjadi objek penelitian secara administratif berada di dua

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistemnya. Pasal 21 Ayat (2). Republik Indonesia. 1

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistemnya. Pasal 21 Ayat (2). Republik Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia memiliki kekayaan laut yang sangat berlimpah. Banyak diantara keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

STUDI KESESUAIAN PANTAI LAGUNA DESA MERPAS KECAMATAN NASAL KABUPATEN KAUR SEBAGAI DAERAH PENGEMBANGAN PARIWISATA DAN KONSERVASI

STUDI KESESUAIAN PANTAI LAGUNA DESA MERPAS KECAMATAN NASAL KABUPATEN KAUR SEBAGAI DAERAH PENGEMBANGAN PARIWISATA DAN KONSERVASI STUDI KESESUAIAN PANTAI LAGUNA DESA MERPAS KECAMATAN NASAL KABUPATEN KAUR SEBAGAI DAERAH PENGEMBANGAN PARIWISATA DAN KONSERVASI Oleh Gesten Hazeri 1, Dede Hartono 1* dan Indra Cahyadinata 2 1 Program Studi

Lebih terperinci

Gambar 3 Lokasi penelitian.

Gambar 3 Lokasi penelitian. . METODOLOGI PENELITIAN.. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai Desember 8 yang berlokasi di Pulau Menjangan dan Teluk Terima dalam area Taman Nasional Bali Barat,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU Urip Rahmani 1), Riena F Telussa 2), Amirullah 3) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan USNI Email: urip_rahmani@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

POTENSI PENYU HIJAU (Chelonia mydas L.) DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI KAWASAN PANTAI SINDANGKERTA, KABUPATEN TASIKMALAYA

POTENSI PENYU HIJAU (Chelonia mydas L.) DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI KAWASAN PANTAI SINDANGKERTA, KABUPATEN TASIKMALAYA POTENSI PENYU HIJAU (Chelonia mydas L.) DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI KAWASAN PANTAI SINDANGKERTA, KABUPATEN TASIKMALAYA (Potential of Green Turtle (Chelonia mydas L.) and its Use as

Lebih terperinci

PEMETAAN KAWASAN HABITAT PENYU DI KABUPATEN BINTAN

PEMETAAN KAWASAN HABITAT PENYU DI KABUPATEN BINTAN PEMETAAN KAWASAN HABITAT PENYU DI KABUPATEN BINTAN Oleh : Dony Apdillah, Soeharmoko, dan Arief Pratomo ABSTRAK Tujuan penelitian ini memetakan kawasan habitat penyu meliputi ; lokasi tempat bertelur dan

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Waktu pelaksanaan penelitian ini dilakukan selama 3 bulan terhitung sejak

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Waktu pelaksanaan penelitian ini dilakukan selama 3 bulan terhitung sejak 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Waktu pelaksanaan penelitian ini dilakukan selama 3 bulan terhitung sejak bulan eptember sampai Desember 2013. Penelitian ini bertempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki potensi sumber daya alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan salah satu sistem ekologi

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di sepanjang jalur ekowisata hutan mangrove di Pantai

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di sepanjang jalur ekowisata hutan mangrove di Pantai III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di sepanjang jalur ekowisata hutan mangrove di Pantai Sari Ringgung, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, pada bulan

Lebih terperinci

Kesesuaian Lahan dan Daya Dukung Kawasan Wisata Pantai Botutonuo, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango

Kesesuaian Lahan dan Daya Dukung Kawasan Wisata Pantai Botutonuo, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 2, September 2013 Kesesuaian Lahan dan Daya Dukung Kawasan Wisata Pantai Botutonuo, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango 1,2 Deysandi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Data menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Indonesia telah. Olehkarenanya, sektor ini menjadi sangat potensial untuk dikembangkan

TINJAUAN PUSTAKA. Data menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Indonesia telah. Olehkarenanya, sektor ini menjadi sangat potensial untuk dikembangkan TINJAUAN PUSTAKA Pariwisata dan Ekowisata Data menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Indonesia telah memilikikontribusi ekonomi yang cukup penting bagi kegiatan pembangunan. Olehkarenanya, sektor ini

Lebih terperinci

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) Oleh : GITA ALFA ARSYADHA L2D 097 444 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 17 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Hari Kecamatan Laonti Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Lokasi penelitian ditentukan

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia kaya dan beranekaragam sumberdaya alam. Satu diantara sumberdaya alam di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian METODOLOGI. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini terdiri dari tahapan, yakni dilaksanakan pada bulan Agustus 0 untuk survey data awal dan pada bulan FebruariMaret 0 pengambilan data lapangan dan

Lebih terperinci

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR)

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) ANI RAHMAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN WISATA PANTAI LHOKNGA KECAMATAN LHOKNGA KABUPATEN ACEH BESAR SKRIPSI TAUFIQ HIDAYAT

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN WISATA PANTAI LHOKNGA KECAMATAN LHOKNGA KABUPATEN ACEH BESAR SKRIPSI TAUFIQ HIDAYAT ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN WISATA PANTAI LHOKNGA KECAMATAN LHOKNGA KABUPATEN ACEH BESAR SKRIPSI TAUFIQ HIDAYAT 100302084 Skripsi sebagai satu diantara beberapa syarat untuk memperoleh

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN WISATA PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI SYAHRU RAMADHAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN WISATA PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI SYAHRU RAMADHAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN WISATA PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI SYAHRU RAMADHAN 090302032 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

KAJIAN DAYA DUKUNG FISIK WISATA DANAU DI PANTAI PASIR PUTIH PARBABA KABUPATEN SAMOSIR

KAJIAN DAYA DUKUNG FISIK WISATA DANAU DI PANTAI PASIR PUTIH PARBABA KABUPATEN SAMOSIR KAJIAN DAYA DUKUNG FISIK WISATA DANAU DI PANTAI PASIR PUTIH PARBABA KABUPATEN SAMOSIR (The Study of Physical Carrying Capacity Lake Tourism at Parbaba Pasir Putih Beach District Samosir) Nancy Rolina,

Lebih terperinci

KAJIAN DAYA DUKUNG FISIK WISATA DANAU DI PANTAI PASIR PUTIH PARBABA KABUPATEN SAMOSIR NANCY ROLINA

KAJIAN DAYA DUKUNG FISIK WISATA DANAU DI PANTAI PASIR PUTIH PARBABA KABUPATEN SAMOSIR NANCY ROLINA KAJIAN DAYA DUKUNG FISIK WISATA DANAU DI PANTAI PASIR PUTIH PARBABA KABUPATEN SAMOSIR NANCY ROLINA 120302062 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2016

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia membentang 6 0 LU 11 0 LS dan 95 0-141 0 BT, sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua Australia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian untuk pengunjung wisata Pantai Sri

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian untuk pengunjung wisata Pantai Sri Lampiran 1. Kuesioner Penelitian untuk pengunjung wisata Pantai Sri Mersing Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian No. : Waktu : Hari/Tanggal : No : Waktu : Hari/tanggal : A. Identitas

Lebih terperinci

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KESESUAIAN PERAIRAN UNTUK WISATA SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BIAWAK, KABUPATEN INDRAMAYU

KESESUAIAN PERAIRAN UNTUK WISATA SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BIAWAK, KABUPATEN INDRAMAYU JOURNAL OF MARINE RESEARCH KESESUAIAN PERAIRAN UNTUK WISATA SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BIAWAK, KABUPATEN INDRAMAYU Oscar Leonard J *), Ibnu Pratikto, Munasik Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN TERUMBU KARANG PASIR PUTIH SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO BUPATI SITUBONDO, Menimbang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari lebih 17.000 Pulau dan memiliki panjang garis pantai 81.000 km yang merupakan terpanjang

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelangi Depok, Pantai Samas, Pantai Goa Cemara, dan Pantai Baru Pandansimo

BAB I PENDAHULUAN. Pelangi Depok, Pantai Samas, Pantai Goa Cemara, dan Pantai Baru Pandansimo 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pesisir Bantul telah menjadi habitat pendaratan penyu, diantaranya Pantai Pelangi Depok, Pantai Samas, Pantai Goa Cemara, dan Pantai Baru Pandansimo yang

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian dan Daya Dukung Wisata Kawasan Pantai Labombo Kota Palopo

Analisis Kesesuaian dan Daya Dukung Wisata Kawasan Pantai Labombo Kota Palopo Analisis Kesesuaian dan Daya Dukung Wisata Kawasan Pantai Labombo Kota Palopo Muhammad Bibin 1, Yon Vitner 2, Zulhamsyah Imran 3 1 Institut Pertanian Bogor, muhammad.bibin01@gmail.com 2 Institut Pertanian

Lebih terperinci

Valuasi Ekonomi Dalam Pengembangan Ekowisata Berbasis Sumberdaya Penyu di Kampung Baru Desa Sebong Lagoi Kabupaten Bintan

Valuasi Ekonomi Dalam Pengembangan Ekowisata Berbasis Sumberdaya Penyu di Kampung Baru Desa Sebong Lagoi Kabupaten Bintan Valuasi Ekonomi Dalam Pengembangan Ekowisata Berbasis Sumberdaya Penyu di Kampung Baru Desa Sebong Lagoi Kabupaten Bintan Priyanti Junia Pratiwi, Winny Retna Melani, Fitria Ulfah. Juniapratiwi2406@gmail.com

Lebih terperinci

Berikut obyek wisata yang bisa kita nikmati:

Berikut obyek wisata yang bisa kita nikmati: Daya tarik wisata alam Ujung Genteng memang membuat banyak orang penasaran karena keragaman objek wisatanya yang bisa kita nikmati dalam sekali perjalanan, mulai dari pantai berpasir putih, melihat penyu

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN WISATA PANTAI DI PANTAI KRAKAL KABUPATEN GUNUNGKIDUL

ANALISIS KESESUAIAN WISATA PANTAI DI PANTAI KRAKAL KABUPATEN GUNUNGKIDUL ANALISIS KESESUAIAN WISATA PANTAI DI PANTAI KRAKAL KABUPATEN GUNUNGKIDUL Fadhil Febyanto *), Ibnu Pratikto, Koesoemadji Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/PERMEN-KP/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG

PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG 77 PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG Comparison of Eggs Hatching Success Eretmochelys

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITAN

3. METODOLOGI PENELITAN 3. METODOLOGI PENELITAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pantai Sanur Desa Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali (Lampiran 1). Cakupan objek penelitian

Lebih terperinci

STUDI POTENSI EKOWISATA MANGROVE DI KUALA LANGSA PROVINSI ACEH ARIEF BAIZURI MAJID

STUDI POTENSI EKOWISATA MANGROVE DI KUALA LANGSA PROVINSI ACEH ARIEF BAIZURI MAJID STUDI POTENSI EKOWISATA MANGROVE DI KUALA LANGSA PROVINSI ACEH ARIEF BAIZURI MAJID 090302034 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014 STUDI POTENSI

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di kawasan pesisir Nuhuroa yaitu kawasan pesisir Kecamatan Kei Kecil dan Kecamatan Dullah Utara (Tabel 1). Tabel 1 Lokasi Penelitian di

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 22 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu pelaksanaan penelitian selama 6 (enam) bulan yaitu pada bulan Mei sampai Oktober 2009. Lokasi penelitian dan pengamatan dilakukan di Pulau

Lebih terperinci

KESESUAIAN EKOWISATA SNORKLING DI PERAIRAN PULAU PANJANG JEPARA JAWA TENGAH. Agus Indarjo

KESESUAIAN EKOWISATA SNORKLING DI PERAIRAN PULAU PANJANG JEPARA JAWA TENGAH. Agus Indarjo Jurnal Harpodon Borneo Vol.8. No.. April. 05 ISSN : 087-X KESESUAIAN EKOWISATA SNORKLING DI PERAIRAN PULAU PANJANG JEPARA JAWA TENGAH Agus Indarjo Universitas Diponegoro Jl. Prof.Soedarto,SH. Tembalang.Semarang.Tel/Fax:

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA Tito Latif Indra, SSi, MSi Departemen Geografi FMIPA UI

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensial untuk pembangunan apabila dikelola dengan baik. Salah satu modal

BAB I PENDAHULUAN. potensial untuk pembangunan apabila dikelola dengan baik. Salah satu modal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau mencapai 17.508 dan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan garis pantai yang panjang menyebabkan Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

STUDI HABITAT PENElURAN PENYU SISIK (Eretmoche/ys imbricata l) DI PULAU PETElORAN TIMUR DAN BARAT TAMAN NASIONAl KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

STUDI HABITAT PENElURAN PENYU SISIK (Eretmoche/ys imbricata l) DI PULAU PETElORAN TIMUR DAN BARAT TAMAN NASIONAl KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA ----------------~------------------------------------------.--------.----- Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia (1993),1(1): 33-37 STUDI HABITAT PENElURAN PENYU SISIK (Eretmoche/ys imbricata

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut ditemukan dalam jumlah besar. Daerah-daerah yang menjadi lokasi peneluran di Indonesia umumnya

Lebih terperinci

Jenis data Indikator Pengamatan Unit Sumber Kegunaan

Jenis data Indikator Pengamatan Unit Sumber Kegunaan 31 BAB III METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di lanskap wisata TNB, Sulawesi Utara tepatnya di Pulau Bunaken, yang terletak di utara Pulau Sulawesi, Indonesia. Pulau

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA 1 ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH : AMRULLAH ANGGA SYAHPUTRA 110302075 PROGRAM

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang telah banyak dikenal oleh dunia sebagai negara yang indah. Kekuatan potensi wisata bahari Indonesia

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

Penilaian pengelolaan lingkungan pulau wisata, di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta Utara Siregar, Mara Oloan

Penilaian pengelolaan lingkungan pulau wisata, di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta Utara Siregar, Mara Oloan Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership) Penilaian pengelolaan lingkungan pulau wisata, di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta Utara Siregar, Mara Oloan Deskripsi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

KAJIAN POTENSI KAWASAN PESISIR BAGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DI SEKOTONG, KABUPATEN LOMBOK BARAT - NTB ARTIKA RATNA WARDHANI

KAJIAN POTENSI KAWASAN PESISIR BAGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DI SEKOTONG, KABUPATEN LOMBOK BARAT - NTB ARTIKA RATNA WARDHANI KAJIAN POTENSI KAWASAN PESISIR BAGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DI SEKOTONG, KABUPATEN LOMBOK BARAT - NTB ARTIKA RATNA WARDHANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

HALAMAN PERSETUJUAN KATA PENGANTAR

HALAMAN PERSETUJUAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI vi HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN... ii KATA PENGANTAR... iii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR PETA... xi INTISARI... xii

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Pesisir dan Pantai Kawasan pesisir

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Pesisir dan Pantai Kawasan pesisir 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Pesisir dan Pantai 2.1.1. Kawasan pesisir Menurut Dahuri (2003b), definisi kawasan pesisir yang biasa digunakan di Indonesia adalah suatu wilayah peralihan antara daratan

Lebih terperinci

Gambar 1 Lokasi penelitian.

Gambar 1 Lokasi penelitian. 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Perencanaan tapak ini dilaksanakan di KHDTK Cikampek, Kabupaten Karawang, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juli 2012. Gambar

Lebih terperinci