KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI SETELAH KELUARNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 20/PUU-XIV/2016 JURNAL HUKUM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI SETELAH KELUARNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 20/PUU-XIV/2016 JURNAL HUKUM"

Transkripsi

1 KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI SETELAH KELUARNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 20/PUU-XIV/2016 JURNAL HUKUM Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dalam Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh: RONI ALEXANDRO LAHAGU NIM: DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017

2 BIODATA DIRI Nama Lengkap : Roni Alexandro Lahagu Tempat, Tgl. Lahir : Purworejo, 31 Juli 1995 Jenis Kelamin : Laki-laki Status : Belum Menikah Agama : Kristen Kebangsaan : Indonesia Alamat Lengkap : Jalan Jamin Ginting No. G-6A, Komplek Pamen, Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru, Medan. Orang Tua :-Helpiaro Lahagu -Retno Irianingsih ronialexandrolahagu@yahoo.com No. HP : Pendidikan: : SD Swasta Khatolik Asisi : SMP Negeri 2 Pematangsiantar : SMA Negeri 1 Matauli Pandan : Program Sarjana (S-1) Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara i

3 ABSTRAK KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI SETELAH KELUARNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 20/PUU-XIV/2016 Roni Alexandro Lahagu * Alvi Syahrin ** Edi Yunara *** Tindak pidana korupsi merupakan extraordinary crime yang semakin beragam modus operandinya. Penggunaan alat bukti elektronik sangat diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut. Termasuk salah satunya yaitu rekaman CCTV. Keluarnya Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 tanggal 07 September 2016 yang memberi tafsir terhadap alat bukti elektronik, menjadi dasar dibentuknya UU No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Putusan tersebut bertujuan untuk menambah pengaturan tentang intersepsi atau penyadapan yang belum secara khusus diatur dalam sebuah Undang-Undang. Adapun masalah hukum yang timbul adalah bagaimana pengaturan mengenai alat bukti dan alat bukti elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia, bagaimana kekuatan pembuktian rekaman CCTV dalam penyelesaian tindak pidana korupsi, dan bagaimana kedudukan atau keadaan sebenarnya dari alat bukti rekaman CCTV sebagai alat bukti dalam tindak pidana korupsi setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan mengumpulkan bahan hukum (primer, sekunder, dan tersier) melalui studi kepustakaan (library research). Bahan hukum utama yang dikaji adalah Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September 2016 dan peraturan yang terkait dengan permasalahan dalam skripsi ini yaitu UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor dan peraturan lainnya. Untuk mendukung bahan hukum tersebut, juga dipergunakan bahan hukum sekunder dan tersier berupa buku, jurnal, internet, kamus, dan sebagainya. Hasil dari penelitian ini berupa kesimpulan bahwa, pertama, Di Indonesia, pengaturan tentang alat bukti dalam hukum acara pidana tidak hanya terdapat di dalam KUHAP, melainkan juga diatur dalam beberapa peraturan perundangundangan yakni pengaturan alat bukti elektronik. Kedua, kekuatan alat bukti rekaman CCTV dalam penyelesaian tindak pidana korupsi dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan yang ketiga adalah bahwa kedudukan atau keadaan sebenarnya rekaman CCTV sebagai alat bukti dalam tindak pidana korupsi setelah keluarnya Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 harus memenuhi beberapa ketentuan sehingga bukan merupakan intersepsi atau penyadapan. Kata Kunci : Alat Bukti, Rekaman CCTV, Intersepsi atau Penyadapan, Korupsi. * Mahasiswa Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II ii

4 ABSTRACT THE POSSITION OF CCTV RECORDS AS EVIDENCE IN THE CRIMINAL ACT OF CORRUPTION AFTER THE APPLY OF THE CONSTITUTIONAL COURT DECISION NUMBER 20 / PUU-XIV / 2016 Roni Alexandro Lahagu * Alvi Syahrin ** Edi Yunara *** The criminal act of corruption is an extraordinary crime that increasingly diverse modus operandi. Use of electronic evidence is necessary to solve the problem. Including one of them is CCTV recordings. Decision of The Constitutional Court No. 20 / PUU-XIV / 2016 dated September 7, 2016 which gives interpretation of electronic evidence, the basis for the establishment of Law no. 19 of 2016 on the amendment to Law no. 11 of 2008 on ITE. The ruling aims to add to the arrangement of interception or interception that has not been specifically regulated in a regulation. The legal issues that arise are how to regulate the evidence and electronic evidence in the criminal procedure law in Indonesia, how the strength of proof of CCTV record in the settlement of corruption crime, and how the position or the actual state of evidence of CCTV tape as evidence in the crime Corruption after the ruling of the Constitutional Court's decision. This research is a normative legal research by collecting legal materials (primary, secondary, and tertiary) through library research (library research). The main legal substances studied are Decision of the Constitutional Court. 20 / PUU-XIV / 2016 dated September 7, 2016 and regulations relating to the problem in this thesis is Law no. 11 of 2008 on ITE, Law no. 20 Year 2001 jo. UU no. 31 of 1999 on the Eradication of Corruption and other regulations. To support the material law, also used secondary and tertiary law materials in the form of books, journals, internet, dictionaries, and so forth. The result of this research is the conclusion that, first, in Indonesia, the regulation of evidence in criminal procedure is not only contained in the Criminal Procedure Code, but also regulated in several laws and regulations, namely the arrangement of electronic evidence. Secondly, the strength of CCTV evidence in the settlement of corruption is influenced by various factors, and the third is that the actual status or condition of the CCTV record is a proof of corruption after the issuance of Decision No. MK. 20 / PUU-XIV / 2016 must meet several provisions so that it is not an interception or wiretapping. Keywords: Evidence, CCTV Recording, Interception or Tapping, Corruption. * College Students of Law Faculty of University of North Sumatera ** Mentor I *** Mentor II iii

5 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tanggal 07 September 2016, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016. Putusan tersebut adalah hasil Pengujian Undang-Undang yang berkaitan dengan keabsahan alat bukti elektronik dalam UU ITE dan UU Tipikor. Pengujian Undang-Undang tersebut dilakukan atas permohonan yang diajukan oleh Setya Novanto yang diwakili oleh tim kuasa hukumnya. Pada amar putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 bertentangan dengan Undang-Undang dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya. Putusan tersebut menjadi dasar dibentuknya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 25 November Selain terhadap pasal UU ITE, Mahkamah Konstitusi juga mengabulkan permohonan pemohon yang memohon memberikan tafsiran terhadap Pasal 26A UU Tipikor. Bunyi amarnya yaitu, frasa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya. Latar belakang diajukannya permohonan pengujian undang-undang ini memiliki keterkaitan dengan rekaman pembicaraan Setya Novanto yang akan dijadikan alat bukti. Perekaman tersebut dilakukan tanpa persetujuan dan tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tindakan perekaman secara diam-diam adalah merupakan penyadapan. Penyadapan adalah proses dengan sengaja mendengarkan dan/atau merekam informasi orang lain atau pembicaraan orang lain yang dilakukan dengan sengaja 1

6 secara diam-diam dan tanpa sepengetahuan orang lain orang yang bersangkutan. 1 Pemasangan kamera CCTV bertujuan untuk alasan pengawasan atau pengamanan di tempat-tempat publik seperti di pusat perbelanjaan, bandara, jalan raya, dan tempat-tempat umum lainnya. Kini, pengawasan dengan CCTV juga sudah banyak dilakukan di tempat-tempat seperti ruang kerja, rumah, ruangan pejabat dan sebagainya. Perekaman dengan CCTV sangat bermanfaat, terutama dalam hal pengawasan atau sebagai bukti apabila telah terjadi tindak pidana. Namun, perekaman CCTV berpotensi mengancam hak privasi orang yang terekam di dalamnya. Hal tersebut disebabkan oleh perkembangan perangkat CCTV yang semakin canggih. Kini, CCTV dapat dipasang secara tersembunyi, dan juga dapat merekam suara. Berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016, lantas apakah rekaman CCTV sah sebagai alat bukti, apakah hal tersebut termasuk tindakan intersepsi, bagaimana kekuatan pembuktiannya bila rekaman CCTV digunakan sebagai alat bukti dalam penyelesaian kasus korupsi, dan bagaimana pula kedudukannya setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016. B. Permasalahan Adapun yang menjadi permasalahan adalah : 1. Bagaimana Pengaturan Mengenai Alat Bukti dan Alat Bukti Elektronik dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia? 2. Bagaimana Kekuatan Pembuktian Rekaman CCTV dalam Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi? 3. Bagaimana Kedudukan Alat Bukti Rekaman CCTV dalam Tindak Pidana Korupsi setelah Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU- XIV/2016? 1 Kristian dan Yopi Gunawan, Sekelumit Tentang Penyadapan Dalam Hukum Positif Di Indonesia, (Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2013), hal

7 II. PENGATURAN ALAT BUKTI DAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA A. Pengaturan Tentang Alat Bukti di Indonesia Pembuktian berkaitan erat dengan hal atau benda yang merupakan alat buktinya. Alat bukti dinilai sangat penting karena alat bukti menjadi dasar keputusan yang dibuat oleh hakim hakim. Di Indonesia, pengaturan mengenai alat bukti dalam hukum acara pidana diatur dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan di luar KUHAP. Berikut adalah pengaturan tentang alat bukti di Indonesia. 1. Pengaturan Alat Bukti Menurut KUHAP Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur mengenai tata cara mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materil sehingga memperoleh keputusan hakim, dan tata cara tentang bagaimana seharusnya keputusan hakim atau pengadilan tersebut dilaksanakan. 2 KUHAP juga mengatur mengenai alat bukti yang dapat digunakan dalam membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana. Alat bukti yang dapat sah tersebut, terdapat dalam bab XVI bagian ke empat tentang pembuktian dan putusan dalam acara pemeriksaan biasa, yakni Pasal 184 ayat (1). Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyatakan, alat bukti yang sah yaitu: 3 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa. 2. Pengaturan Alat Bukti Menurut Peraturan Perundang-Undangan di Luar KUHAP Pengaturan tentang alat bukti dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHAP masih mengacu kepada alat-alat bukti yang terdapat dalam KUHAP. Kemajuan teknologi menyebabkan munculnya kejahatan baru yang menyebabkan penggunaan alat bukti yang terdapat dalam KUHAP saja tidak cukup. Perkembangan alat bukti dalam hukum acara pidana mengalami 2 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Op.Cit., hal Pasal 184 ayat (1) UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 3

8 perkembangan dan perluasan ke arah ke satu penggunaan alat bukti lain, yaitu alat bukti elektronik (electronic evidence). Pengaturan tentang alat bukti elektronik ini tersebar ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Bentuk dan penggunaan alat bukti elektronik berbeda-beda, tergantung ketentuan khusus yang terdapat dalam masing-masing peraturan perundang-undangan. Mengenai ketentuan alat bukti elektronik di dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHAP akan dibahas dalam sub bab berikutnya. B. Pengaturan Tentang Alat Bukti Elektronik dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia Pengaturan alat bukti Elektronik dalam Hukum Acara Pidana secara spesifik belum dapat ditemukan dalam KUHAP. Namun, dengan berkembangnya zaman dan berkembangnya tindak pidana, sejalan dengan pendapat Eugen Ehrlich yang menyatakan bahwa dalam membuat undang-undang hendaklah diperhatikan apa yang hidup dalam masyarakat, 4 elektronik dinilai penting dan semakin dibutuhkan. 5 maka pengaturan alat bukti Pengaturan tentang alat bukti elektronik memiliki sejarah yang cukup panjang dan akan terus berkembang. 6 Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang telah menjadikan informasi elektronik atau dokumen elektronik menjadi alat bukti. Pada tahun 2008, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau biasa disebut dengan UU ITE. UU ITE ini menjadi titik terang pengaturan tentang alat bukti elektronik. Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Pasal ini menjadi landasan hukum bagi para penegak hukum untuk dapat menggunakan berbagai jenis alat bukti elektronik guna kepentingan penegakan hukum di Indonesia. Namun, UU ITE bukanlah peraturan yang pertama kali mengatur penggunaan alat bukti elektronik. Sebelum UU ITE dibentuk, sudah ada beberapa peraturan- 4 Efa Laila Fakhriah, Bukti Elektronik dalam Pembuktian Perdata, (Bandung: ALUMNI, 2009), hal Syaibatul Hamdi, Suhaimi, dan Mujibussalim, Jurnal Ilmu Hukum: Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Pidana, (Banda Aceh: Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, 2013), hal Josua Sitompul, Op.Cit., hal

9 peraturan yang memperbolehkan atau mengakui penggunaan alat bukti elektronik. Berikut adalah beberapa peraturan yang mengatur mengenai penggunaan alat bukti elektronik. 1. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan. 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang. 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. 5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 jo. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 5

10 III. KEKUATAN PEMBUKTIAN REKAMAN CCTV DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Rekaman CCTV sebagai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik Rekaman CCTV merupakan hasil dari perekaman yang dilakukan oleh perangkat Closed Circuit Television (CCTV). Perlu diketahui, CCTV tidak hanya terdiri dari kamera dan kabelnya saja, tetapi juga memiliki bagian-bagian lain, yaitu Camera, DVR (Digital Video Recorder), Hard Disk Drive (HDD), Coaxial Cable, Power Cable, dan BNC Connector. Dapat diketahui bahwa perangkat CCTV tidak hanya menampilkan apa yang terlihat oleh kamera CCTV tersebut melalui monitor yang tersambung, tetapi juga merekam dan menyimpannya ke dalam media penyimpanan Hard Disk Drive. Data atau informasi yang direkam dan disimpan itulah yang kemudian dinamakan rekaman CCTV. Agar dapat digunakan sebagai alat bukti, maka rekaman CCTV yang disimpan dalam media penyimpanan hard disk harus diambil atau dipindahkan ke dalam media penyimpanan lain seperti Flashdisk 7, kemudian biasanya disimpan dalam CD 8 atau media penyimpanan lainnya yang dapat dengan mudah dibawa-bawa, maka rekaman CCTV yang digunakan menjadi alat bukti adalah berupa Dokumen Elektronik. Alasannnya adalah karena rekaman CCTV tersebut mengandung suatu informasi elektronik yang telah disimpan, diteruskan atau dipindahkan ke dalam media digital yang lain untuk kemudian ditampilkan kembali pada perangkat seperti komputer atau perangkat lain yang dapat membaca rekaman CCTV tersebut. hal ini sesuai dengan pengertian dokumen elektronik dalam Pasal 1 Angka 4 UU ITE. B. Kekuatan Pembuktian Rekaman CCTV dalam Tindak Pidana Korupsi Pada dasarnya, kekuatan pembuktian rekaman CCTV sebagai alat bukti dalam tindak pidana korupsi, sama dengan kekuatan pembuktian alat bukti yang lain yang terdapat dalam KUHAP. Namun, Rekaman CCTV dalam tindak pidana korupsi tidak dapat berdiri sendiri. Rekaman CCTV berperan dalam membangun 7 Flashdisk adalah perangkat penyimpan data yang terdiri dari memori flash dan terintegrasi dengan antarmuka USB (Universal Serial Bus). Flashdisk memiliki sifat dapat dibaca dan ditulis oleh komputer dan akan mempertahankan informasi yang telah ditulis di dalamnya walaupun tanpa adanya arus listrik. Dengan demikian, data yang ada di dalam flashdisk akan tetap tersimpan di memori flash walaupun tanpa menggunakan baterai. 8 Compac Disk adalah media penyimpanan berbentuk piringan kecil yang hanya dapat dibaca melalui sebuah perangkat computer. 6

11 alat bukti petunjuk. Rekaman CCTV harus memiliki keterkaitan dengan alat bukti seperti keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, sehingga menunjukkan persesuaian kejadian satu dengan lainnya. Agar memiliki nilai pembuktian yang kuat, rekaman CCTV tersebut harus menunjukkan keterkaitan dengan tindak pidana korupsi yang ingin dibuktikan. Untuk menilai kekuatan suatu alat bukti, termasuk alat bukti elektronik maka yang menjadi kekuatan utamanya adalah informasi yang terkandung di dalam alat bukti tersebut. Semakin baik kualitas informasinya, maka semakin kuat kejadian-kejadian yang dapat dibuktikan. Oleh karena itu, informasi yang terdapat dalam alat bukti elektronik harus dapat dijamin keasliannya karena akan berdampak pada kualitas informasi yang didapatkan dari alat bukti elektronik tersebut. Bila alat bukti elektronik berisikan informasi yang tidak jelas atau setengah-setengah atau bahkan telah dimanipulasi, maka akan berakibat fatal pada proses pembuktiannya karena tidak lagi berdasar pada fakta-fakta yang sebenarnya. Rekaman CCTV dalam bentuk aslinya atau bentuk originalnya yaitu bentuk video akan lebih memberikan pembuktian yang kuat daripada hasil cetaknya yang hanya berupa potongan-potongan gambar dari video rekaman CCTV tersebut. Sah tidaknya suatu alat bukti elektronik, tidak terlepas dari istilah intersepsi atau penyadapan. Tindakan penyadapan merupakan suatu perbuatan yang berpotensi melanggar atau bahkan meniadakan hak pribadi atau hak privasi seseorang atau sekelompok orang yang disadap. Alasannya adalah karena suatu informasi yang disadap bukanlah informasi yang bersifat umum melainkan suatu informasi yang bersifat privasi atau rahasia. 9 Pengertian privasi sendiri merupakan konsep yang abstrak sehingga cukup sulit untuk didefinisikan dan sangat dipengaruhi oleh faktor budaya yang berkembang di masyarakat. 10 Untuk menentukan kekuatan pembuktian dari alat bukti rekaman CCTV dalam tindak pidana korupsi, maka berdasarkan uraian diatas penulis menyimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Informasi yang terkandung dalam rekaman CCTV harus memiliki keterkaitan atau kesesuaian dengan alat-alat bukti yang sah lainnya. 9 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit., hal Sinta Dewi Rosadi, Aspek Data Privasi Menurut Hukum Internasional, Regional, dan Nasional, (Bandung: Refika Aditama, 2015), hal. 2. 7

12 2. Bentuk rekaman CCTV yang paling baik untuk ditampilkan adalah bentuk video aslinya, sehingga informasi di dalamnya terjamin keotentikannya. 3. Rekaman CCTV harus merupakan alat bukti yang sah. Sah tidaknya rekaman CCTV ditentukan oleh: a. Dalam memperoleh rekaman CCTV harus memenuhi persyaratan minimum sistem elektronik yang ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1), dan b. Bukan merupakan hasil tindakan intersepsi atau penyadapan. Kecuali intersepsi tersebut dilakukan dengan tata cara yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 8

13 IV. Kedudukan Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Korupsi Setelah Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 A. Analisis Perkara Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 Pengujian Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 44 huruf b UU ITE dan pasal 26A UU Tipikor yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi berawal dari permohonan yang diajukan oleh Setya Novanto yang diwakili oleh kuasa hukumnya. Munculnya kasus papa minta saham" bermula dari beredarnya rekaman pembicaraan antara Setya Novanto dengan Ma roef Sjamsudin (Direktur Utama PT. Freeport Indonesia) dan Muhammad Riza Chalid yang dilakukan dalam ruangan tertutup di salah satu ruangan hotel Ritz Carlton yang terletak di kawasan Pacific Place, Jakarta Pusat. Pembicaraan tersebut direkam oleh Ma roef Syamsudin secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi tanpa persetujuan Setya Novanto, yang ada dalam rekaman tersebut, kemudian rekaman tersebut dilaporkan kepada Sudirman Said, Menteri ESDM. 11 Setya Novanto beranggapan bahwa rekaman yang diambil secara diamdiam dan tanpa persetujuan yang dilakukan oleh Ma roef Sjamsudin adalah tidak sah karena melanggar hak privasinya. Tindakan tersebut melanggar prinsip due process of law yang merupakan refleksi dari prinsip negara hukum yang dianut oleh Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan juga melanggar prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) serta melanggar hak privasi yang dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi meminta keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam perkara konstitusi ini. Pada intinya, mengenai kedudukan hukum atau legal standing Setya Novanto sebagai Pemohon, DPR menyerahkan pertimbangan kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menilai 13, dan terhadap dalil-dalil yang lain yang diungkapkan dalam pokok perkara, DPR tidak menyatakan sikap sepakat maupun sikap bertentangan. Namun, terhadap permohonan pemohon agar Mahkamah memberikan tafsir 11 Lihat pada Bagian kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon, Angka 10 Huruf b, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September Lihat pada Bagian kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon, Angka 10 Huruf i, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September Lihat pada Paragraf [2.4], Angka 1 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU- XIV/2016 bertanggal 07 September

14 conditionally unconstitutional, DPR RI berpandangan bahwa hal tersebut merupakan pembentukan norma yang merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang. 14 B. Pertimbangan Hakim Mengenai Pokok Permohonan dan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat, bahwa pada dasarnya tindakan penyadapan (interception) termasuk di dalamnya perekaman adalah perbuatan melawan hukum karena penyadapan merupakan sebuah tindakan yang melanggar privasi orang lain sehingga melanggar hak asasi manusia. Kegiatan dan kewenangan penyadapan merupakan hal yang sangat sensitif karena di satu sisi merupakan pembatasan HAM namun di sisi lain memiliki aspek kepentingan hukum. Oleh karena itu, pengaturan mengenai legalitas penyadapan harus dibentuk dan diformulasikan secara tepat sesuai dengan UUD UU ITE mengatur bahwa setiap orang dilarang melakukan intersepsi atau penyadapan seperti yang tercantum dalam pasal 31 ayat (1) bahwa merupakan perbuatan yang dilarang bagi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi dan/atau dokumen elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain. Kemudian pada penjelasan pasal tersebut dijelaskan perbuatan apa saja yang termasuk dalam intersepsi atau penyadapan, yakni kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi. 15 Penyadapan sebagai perampasan kemerdekaan adalah bagian dari upaya paksa yang hanya boleh dilakukan berdasarkan Undang-Undang dan harus diatur hukum acaranya melalui Undang-Undang yang khusus mengatur hukum formil terhadap penegakan hukum materiil. Oleh karena penyadapan di Indonesia sudah diatur dalam Undang-Undang meskipun tersebar di beberapa Undang-Undang, Majelis Hakim beranggapan perlu untuk memberi tafsir 14 Lihat pada Paragraf [2.4] Huruf B Angka 8, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September Lihat pada Paragraf [3.9], Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September

15 terhadap frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang termuat dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta pasal 44 huruf b ITE dan Pasal 26A UU Tipikor. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah dilakukan Mahkamah Konstitusi, maka terhadap permohonan Setya Novanto, Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya pada intinya menyatakan, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, yaitu menyatakan bahwa frasa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE. 16 C. Kedudukan Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti dalam Tindak Pidana Korupsi Setelah Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi ini banyak menimbulkan berbagai pendapat. Ada yang menyatakan rekaman CCTV tidak dapat dijadikan alat bukti bila tanpa izin penegak hukum. Pada dasarnya amar putusan yang dinyatakan oleh Hakim Konstitusi pada putusan tersebut tidak mengubah atau mempersempit makna sebenarnya dari frasa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik seperti dinyatakan dalam paragraf [3.10] putusan tersebut. Putusan tersebut menambahkan tafsiran bahwa sebuah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah bila bukan merupakan hasil intersepsi atau penyadapan kecuali intersepsi atau penyadapan tersebut dilakukan oleh penegak hukum yang berwenang, yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum. 16 Lihat pada Bagian Amar Putusan, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU- XIV/2016 bertanggal 07 September

16 Pada pasal 26A UU Tipikor, tafsiran tersebut juga berlaku meskipun tidak ditemukan frasa atau kata informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Segala bentuk alat bukti elektronik yang digunakan sebagai alat bukti petunjuk dalam tindak pidana korupsi harus memenuhi ketentuan seperti diatas. Oleh karena itu, tidak semua informasi atau dokumen elektronik otomatis dapat dijadikan alat bukti dalam tindak pidana korupsi. Maka berdasarkan penjelasanpenjelasan diatas dapat diketahui bahwa, putusan ini tidak mengubah kedudukan rekaman CCTV sebagai alat bukti lain dalam tindak pidana korupsi, namun memberikan suatu batasan atau ketentuan mengenai keabsahannya. Rekaman CCTV dinilai sah sebagai alat bukti bila bukan merupakan hasil intersepsi atau penyadapan, kecuali intersepsi atau penyadapan dengan CCTV dilakukan dengan cara yang sah. Seperti yang telah kita ketahui, kamera CCTV berfungsi sebagai pengintai pada tempat-tempat tertentu seperti tempat perbelanjaan, tempat pengambilan uang di ATM, gedung-gedung perkantoran dan tempat-tempat umum lainnya. Seiring dengan semakin berkembangnya pemikiran masyarakat akan keperluan pengamanan, penggunaan kamera CCTV yang tersembunyi (hidden cam) semakin banyak dipergunakan. Bahkan dengan kecanggihan teknologi di era globalisasi ini, CCTV dapat juga merekam suara. Tujuannya agar dapat mengawasi atau mengetahui orang yang melakukan tindak pidana atau perbuatan tertentu, tanpa diketahui orang yang direkam tersebut. Alasan tersebut memang masuk akal, karena orang yang ingin berniat jahat tentu tidak ingin diketahui orang lain. Demikian halnya pada tindak pidana korupsi. Para pelaku koruptor tentu akan menghindari tempat-tempat yang diawasi oleh kamera CCTV untuk melaksanakan perbuatannya. Yang menjadi inti permasalahannya adalah pengawasan dengan CCTV secara diam-diam dapat berpotensi mengganggu hak privasi orang lain dan dapat dianggap sebagai tindakan intersepsi atau penyadapan. Pada dasarnya, pengawasan dengan kamera CCTV hanya dapat dilakukan di tempat-tempat yang sifatnya publik. Namun, penulis berpendapat bahwa informasi yang direkam dari tempat publik belum tentu memiliki sifat publik juga. Demikan juga sebaliknya, perbuatan yang dilakukan di tempat yang bersifat privat, belum tentu bersifat privat. Di tempat yang bersifat publik, seseorang juga berhak untuk melakukan hak privasinya tanpa harus diawasi atau 12

17 dimata-matai. Misalnya, hak privasi yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 26 ayat (1) UU ITE, yakni: 17 Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai berikut: a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan. b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain tanpa tindakan memata-matai. c. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang. Berkomunikasi dengan orang lain, adalah hak pribadi yang dapat dilakukan di tempat umum atau tempat publik. Oleh karena itu, pengawasan dengan CCTV dapat dianggap sebagai tindakan memata-matai. Pasal 26 ayat (1) UU ITE menyatakan, kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan. Persetujuan yang dimaksud pada pasal ini memang merujuk pada apabila informasi tersebut akan digunakan. Namun, apabila melakukan pengawasan dengan kamera CCTV, sudah tentu dengan tujuan untuk menggunakan informasi yang terekam sebagai alat bukti jika terjadi suatu tindak pidana, atau yang berkaitan dengan tindak pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU ITE tersebut, maka perekaman dengan CCTV harus mendapat persetujuan orang yang bersangkutan. Hal tersebut harus dilakukan supaya rekaman CCTV tersebut tetap sah dan dapat digunakan sebagai alat bukti meskipun ada informasi yang bersifat pribadi di dalamnya. Oleh karena itu, kegiatan perekaman atau pengawasan dengan kamera CCTV seperti ini bukan merupakan pelanggaran hak privasi. Persetujuan yang dimaksud tidak harus dalam bentuk tertulis yang ditandatangani seperti pada persetujuan pada umumnya. Pihak yang melengkapi gedung atau ruangan dengan kamera CCTV, hanya perlu memberikan Elektronik. 17 Penjelasan Pasal 26 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi 13

18 pemberitahuan dengan kertas atau papan pemberitahuan yang ditempel di pintu atau sekitar pintu masuk, yang dengan tegas menyatakan ruangan atau tempattempat privat itu telah dilengkapi atau dipasang kamera pengintai atau kamera CCTV. Setuju atau tidaknya seseorang untuk diawasi dengan CCTV, dapat dilihat dari tindakan orang tersebut. Apabila orang tersebut tetap memilih untuk memasuki ruangan atau tempat yang telah dilengkapi kamera CCTV, maka orang tersebut dianggap setuju bahwa dirinya dan segala kegiatan yang dilakukan di tempat atau ruangan tersebut akan direkam oleh kamera CCTV, temasuk perbuatan yang sifatnya pribadi atau privasi. Dengan demikian, tidak ada hak privasi yang dilanggar. Pengetian intersepsi pada penjelasan pasal 31 ayat (1) UU ITE menyatakan bahwa yang dimaksud dengan intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi. Pada penjelasan diatas dapat ditemukan kata mengubah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Jadi, apabila rekaman CCTV tersebut telah diedit atau diubah sehingga informasi yang di sampaikan tidak sesuai lagi atau lain dengan aslinya, maka hal tersebut merupakan tindakan intersepsi. Kedudukan rekaman CCTV sebagai alat bukti dalam tindak pidana korupsi setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU- XIV/2016, adalah sebagai alat bukti lain yang harus memenuhi hal-hal sebagai berikut : 1. Tindakan perekaman dengan CCTV harus diketahui dan disetujui oleh orang yang akan direkam, dengan cara memberi pemberitahuan bahwa tempat atau ruangan tersebut telah dipasang atau dilengkapi kamera CCTV. 2. Rekaman CCTV yang akan digunakan sebagai alat bukti harus dalam bentuk aslinya, bukan hasil editan. 14

19 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Adapun kesimpulan dari permasalahan yang telah penulis bahas pada bab-bab sebelumnya adalah sebagai berikut. 1. Di Indonesia, pengaturan tentang alat bukti dalam hukum acara pidana tidak hanya terdapat di dalam KUHAP, tetapi juga diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berada di luar KUHAP. 2. Dalam hukum acara tindak pidana korupsi, rekaman CCTV merupakan alat bukti lain yang dapat menghasilkan atau menjadi sumber alat bukti petunjuk. Bukti petunjuk tidak berdiri sendiri, tetapi suatu bentukan atau konstruksi hakim yang didasarkan pada alat bukti lainnya. Kekuatan pembuktian Rekaman CCTV bergantung pada kesesuaian dengan alat bukti lain, keabsahannya, informasi yang terdapat di dalamnya dan bentuk dari rekaman CCTV yang dilampirkan atau digunakan. 3. Putusan ini tidak mengubah kedudukan rekaman CCTV sebagai alat bukti lain yang dapat membangun atau menjadi sumber alat bukti petunjuk seperti yang dinyatakan dalam pasal 26A UU Tipikor, namun memberikan syarat atau ketentuan mengenai sah tidaknya rekaman CCTV digunakan sebagai alat bukti. Kedudukan rekaman CCTV sebagai alat bukti dalam tindak pidana korupsi setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU- XIV/2016 adalah sebagai alat bukti lain yang harus memenuhi syarat tertentu, yaitu tindakan perekaman dengan CCTV harus diketahui dan disetujui oleh orang yang akan direkam, kedua, rekaman CCTV yang akan digunakan sebagai alat bukti harus dalam bentuk aslinya, bukan hasil editan, untuk menjaga keontentikan informasi di dalamnya. B. Saran Sebaiknya Pemerintah segera membentuk Undang-Undang yang khusus mengatur mengenai intersepsi atau penyadapan agar prosedur mengenai intersepsi atau penyadapan ini jelas dan tidak dilakukan secara sewenangwenang oleh pihak-pihak tertentu. Para penegak hukum dalam melakukan intersepsi harus tetap mematuhi aturan-aturan tentang intersepsi atau penyadapan yang ada dan berlaku. Selain itu, apabila dalam mengungkap tindak pidana termasuk korupsi penegak hukum 15

20 menggunakan alat bukti rekaman CCTV, lebih baik jika tidak hanya menunjukkan hasil cetaknya, karena hal tersebut akan mengurangi keotentikan informasi yang terdapat dalam alat bukti rekaman CCTV tersebut. Apabila masyarakat hendak memasang kamera pengintai atau kamera CCTV untuk kepentingan pengawasan, baik secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi di tempat umum atau publik ataupun di tempat atau ruangan yang bersifat privat, sebaiknya memasang pengumuman atau pemberitahuan bahwa ruangan tersebut telah dipasangi atau dilengkapi kamera CCTV. Cara ini dapat digunakan untuk menghindari pelanggaran terhadap hak privasi orang lain. DAFTAR PUSTAKA 16

21 I. Buku-Buku Fakhriah, Efa Laela, Bukti Elektronik dalam Pembuktian Perdata, (Bandung: ALUMNI, 2009). Kristian dan Gunawan, Yopi, Sekelumit Tentang Penyadapan Dalam Hukum Positif Di Indonesia, (Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2013). Rosadi, Sinta Dewi, Aspek Data Privasi Menurut Hukum Internasional, Regional, dan Nasional, (Bandung: Refika Aditama, 2015). Sitompul, Josua, Cyberspace Cybercrimes Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana, (Ciputat: PT.Tatanusa, 2012). Sofyan, Andi dan Asis, Abd, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta:Kencana, 2014). II. Jurnal Hukum Hamdi Syaibatul, Suhaimi dan Mujibussalim, Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Pidana, Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, III. Peraturan Perundang-Undangan UU No. 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana UU No. 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik IV. Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/

BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA

BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA Oleh: Elsa Karina Br. Gultom Suhirman Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Regulation

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah I. PEMOHON Drs. Setya Novanto,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu,

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5952 KOMUNIKASI. INFORMASI. Transaksi. Elektronik. Perubahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB III KEKUATAN PEMBUKTIAN REKAMAN CCTV DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB III KEKUATAN PEMBUKTIAN REKAMAN CCTV DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB III KEKUATAN PEMBUKTIAN REKAMAN CCTV DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Rekaman CCTV sebagai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik Pada sub bab ini akan dibahas mengenai kedudukan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA 44 BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA A. Pengaturan Tentang Alat Bukti di Indonesia Dalam proses persidangan, pembuktian tidak terlepas dari hal

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi I. PEMOHON Drs. Setya Novanto. Kuasa Pemohon: Muhammad Ainul Syamsu, SH., MH., Syaefullah Hamid,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan I. PEMOHON Rama Ade Prasetya. II. OBJEK PERMOHONAN

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka I. PEMOHON Setya Novanto Kuasa Hukum: DR. Fredrich Yunadi, S.H., LL.M, Yudha Pandu, S.H.,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang I. PEMOHON Mardhani Zuhri Kuasa Hukum Neil Sadek, S.H.dkk., berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 20/PUU-XIV/2016

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 20/PUU-XIV/2016 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 20/PUU-XIV/2016 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Lebih terperinci

Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia

Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia Oleh : Erasmus A. T. Napitupulu Institute for Criminal Justice Reform Pengantar Penyadapan merupakan alat yang sangat efektif dalam

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIV/2016 Frasa dapat merugikan keuangan negara dan Frasa atau orang lain atau suatu korporasi Sebagai Ketentuan Menjatuhkan Hukuman Pidana Bagi Tindak

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 20/PUU-XIV/2016

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 20/PUU-XIV/2016 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 20/PUU-XIV/2016 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 Keterangan Saksi Yang Diberikan di Bawah Sumpah dan Tidak Hadir Dalam Persidangan Disamakan Nilainya dengan Keterangan Saksi Di Bawah Sumpah Yang Diucapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rekaman CCTV. Keluarnya Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 tanggal 07

BAB I PENDAHULUAN. rekaman CCTV. Keluarnya Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 tanggal 07 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Tindak pidana korupsi merupakan extraordinary crime yang semakin beragam modus operandinya. Penggunaan alat bukti elektronik sangat diperlukan untuk mengatasi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan I. PEMOHON - P.T. Inanta Timber & Trading Coy Ltd.yang diwakili oleh Sofandra sebagai Direktur Utama -------------------------------------

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-IX/2011

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-IX/2011 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-IX/2011 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak kodrati. HAM dimiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak kodrati. HAM dimiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak kodrati. HAM dimiliki manusia karena dirinya manusia. HAM menjadi dasar suatu Negara dalam membentuk ketentuan-ketentuan dalam

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint I. PEMOHON Sri Royani II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan I. PEMOHON Barisan Advokat Bersatu (BARADATU) yang didirikan berdasarkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIV/2016 Frasa mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya dalam UU ITE

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIV/2016 Frasa mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya dalam UU ITE RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIV/2016 Frasa mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya dalam UU ITE I. PEMOHON Muhammad Habibi, S.H., M.H., Kuasa Hukum Denny

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI I. Pemohon 1. Iwan Budi Santoso S.H. 2. Muhamad Zainal Arifin S.H. 3. Ardion

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial I. PEMOHON 1. Joko Handoyo, S.H.,.. Pemohon I 2. Wahyudi, S.E,. Pemohon II 3. Rusdi Hartono, S.H.,. Pemohon III 4. Suherman,.....

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau tanpa memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan

BAB I PENDAHULUAN. atau tanpa memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyadapan termasuk salah satu kegiatan untuk mencuri dengar dengan atau tanpa memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi yang dilakukan untuk

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. Dr. Harun Al Rasyid, S.H., M.Hum sebagai Pemohon I; 2. Hotman Tambunan, S.T., MBA.sebagai Pemohon II; 3. Dr.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XV/2017 Wilayah Jabatan Notaris I. PEMOHON Donaldy Christian Langgar II. OBJEK PERMOHONAN Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-VIII/2010 Tentang Pengajuan Saksi Yang Meringankan Tersangka/Terdakwa ( UU Hukum Acara Pidana )

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-VIII/2010 Tentang Pengajuan Saksi Yang Meringankan Tersangka/Terdakwa ( UU Hukum Acara Pidana ) RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-VIII/2010 Tentang Pengajuan Saksi Yang Meringankan Tersangka/Terdakwa ( UU Hukum Acara Pidana ) I. PEMOHON Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra. II. POKOK

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN Oleh : Wajihatut Dzikriyah I Ketut Suardita Bagian Peradilan, Fakultas Hukum Program Ekstensi Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB III INTERSEPSI DALAM KONSTRUKSI HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. INTERSEPSI DALAM RUMUSAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

BAB III INTERSEPSI DALAM KONSTRUKSI HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. INTERSEPSI DALAM RUMUSAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA BAB III INTERSEPSI DALAM KONSTRUKSI HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. INTERSEPSI DALAM RUMUSAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, tidak banyak dari regulasi tersebut

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018 Wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan Mengambil Langkah Hukum Terhadap Perseorangan, Kelompok Orang, Atau Badan Hukum yang Merendahkan Kehormatan DPR Dan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional Terdakwa dan/atau Mantan Narapidana Untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah I. PEMOHON Drs. H. Rusli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut penjelasan Pasal 31 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut penjelasan Pasal 31 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut penjelasan Pasal 31 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dimaksud dengan Intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Perkumpulan Hisbut Tahrir Indonesia, organisasi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 92/PUU-XIII/2015 Prinsip Sidang Terbuka Untuk Umum Bagi Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang di Mahkamah Agung I. PEMOHON Forum Kajian Hukum dan Konstitusi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 76/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 76/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 76/PUU-XV/2017 Ketidakjelasan Rumusan Frasa antar golongan I. PEMOHON Habiburokhman, SH.,MH; Kuasa Hukum: M. Said Bakhri S.Sos.,S.H.,M.H., Agustiar, S.H., dkk, Advokat

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XV/2017 Verifikasi Partai Politik Yang Akan Mengikuti Pemilu 2019 I. PEMOHON Partai Persatuan Indonesia, yang diwakili oleh: 1. Hary Tanoesoedibjo; 2. Ahmad Rofiq.

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM Diajukan oleh: Ignatius Janitra No. Mhs. : 100510266 Program Studi Program Kehkhususan : Ilmu Hukum : Peradilan dan Penyelesaian

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan I. PEMOHON 1. Damian Agatha Yuvens 2. Rangga Sujud Widigda 3. Anbar Jayadi 4. Luthfi Sahputra 5. Ryand, selanjutnya disebut Para Pemohon.

Lebih terperinci

DASAR HUKUM KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA

DASAR HUKUM KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA DASAR HUKUM KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA oleh Cok Istri Brahmi Putri Biya Anak Agung Sri Utari Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Article titled

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 111/PUU-XIV/2016 Pengenaan Pidana Bagi PNS Yang Sengaja Memalsu Buku-Buku atau Daftar-Daftar Untuk Pemeriksaan Administrasi I. PEMOHON dr. Sterren Silas Samberi. II.

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG PENYADAPAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERADILAN KASUS KORUPSI

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG PENYADAPAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERADILAN KASUS KORUPSI BAB II ASPEK HUKUM TENTANG PENYADAPAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERADILAN KASUS KORUPSI A. Aspek Hukum Tindakan Penyadapan Tindak Pidana korupsi saat ini merupakan salah satu kejahatan yang menjadi sorotan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 69/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 69/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 69/PUU-XV/2017 Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali I. PEMOHON Donaldy Christian Langgar. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Pasal 69 Undang-Undang

Lebih terperinci

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 385 dan Pasal 423 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 385 dan Pasal 423 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XIV/2016 Frasa penyerobotan lahan garapan Termasuk Penyerebotan pangsa pasar dan Frasa pejabat Termasuk pejabat publik dan privat I. PEMOHON Nuih Herpiandi. II.

Lebih terperinci

Benyamin Yasolala Zebua ( )

Benyamin Yasolala Zebua ( ) ABSTRAK Aspek Pembuktian Tindak Pidana Perjudian Bola Online Berdasarkan Undang- Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Benyamin Yasolala Zebua (1088003) Aktivitas perjudian pada prakteknya

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 3/PUU-XIV/2016 Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Sebagai Dokumen Yang bersifat Rahasia

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 3/PUU-XIV/2016 Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Sebagai Dokumen Yang bersifat Rahasia RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 3/PUU-XIV/2016 Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Sebagai Dokumen Yang bersifat Rahasia I. PEMOHON 1. Agus Humaedi Abdillah (Pemohon I); 2. Muhammad Hafidz

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional Terdakwa dan/atau Mantan Narapidana Untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah I. PEMOHON Drs. H. Rusli Habibie,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial I. PEMOHON Dr. H. Taufiqurrohman Syahuri, S.H Kuasa Hukum Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H. dkk berdasarkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon I. PEMOHON RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu, SH.,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 49/PUU-X/2012 Tentang Persetujuan Majelis Pengawas Daerah Terkait Proses Peradilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 49/PUU-X/2012 Tentang Persetujuan Majelis Pengawas Daerah Terkait Proses Peradilan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 49/PUU-X/2012 Tentang Persetujuan Majelis Pengawas Daerah Terkait Proses Peradilan I. PEMOHON Kan Kamal Kuasa Hukum: Tomson Situmeang, S.H., dkk

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Afriady Putra S.,SH., S.Sos. Kuasa Hukum: Virza

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 063/PUU-II/2004

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 063/PUU-II/2004 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 063/PUU-II/2004 I. PEMOHON Suta Widhya KUASA HUKUM JJ. Amstrong Sembiring, SH. II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air: Prosedur

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018 Wewenang DPR Memanggil Paksa Setiap Orang Menggunakan Kepolisian Negara Dalam Rapat DPR Dalam Hal Pihak Tersebut Tidak Hadir Meskipun Telah Dipanggil

Lebih terperinci

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014).

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014). RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 61/PUU-XIV/2016 Perbedaan Akibat Hukum dalam Hal Jangka Waktu Terlampaui bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan untuk Menetapkan dan/atau Melakukan Keputusan dan/atau

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 18/PUU-IX/2011 Tentang Verifikasi Partai

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 18/PUU-IX/2011 Tentang Verifikasi Partai RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 18/PUU-IX/2011 Tentang Verifikasi Partai I. PEMOHON Drs. H. Choirul Anam dan Tohadi, S.H., M.Si. KUASA HUKUM Andi Najmi Fuadi, S.H., M.H, dkk, adalah advokat

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan I. PEMOHON Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), diwakili oleh: 1. Victor Santoso Tandiasa, SH. MH.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 6/PUU-XV/2017 Hak Konstitusional Guru Dalam Menjalankan Tugas dan Kewajiban Menegakkan Disiplin dan Tata Tertib Sekolah (Kriminalisasi Guru) I. PEMOHON 1. Dasrul (selanjutnya

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Chandra Furna Irawan, Ketua Pengurus Yayasan Sharia

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon I. PEMOHON RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu, SH., MH.,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan I. PEMOHON Organisasi Masyarakat Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), diwakili

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan I. PEMOHON PT. Bandung Raya Indah Lestari.... selanjutnya

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi I. PEMOHON Pungki Harmoko II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XIV/2016 Pengajuan Grasi Lebih Dari Satu Kali

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XIV/2016 Pengajuan Grasi Lebih Dari Satu Kali RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XIV/2016 Pengajuan Grasi Lebih Dari Satu Kali I. PEMOHON 1. Su ud Rusli, (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. H. Boyamin, (selanjutnya disebut sebagai Pemohon

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-VIII/2010 tanggal 24 September 2010 atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,

Lebih terperinci

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999). RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 65/PUU-XIII/2015 Kepastian Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Kewajiban Pelaku Usaha Atas Informasi Badan Hukum Secara Lengkap I. PEMOHON 1. Capt. Samuel

Lebih terperinci

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999). RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 65/PUU-XIII/2015 Kepastian Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Kewajiban Pelaku Usaha Atas Informasi Badan Hukum Secara Lengkap I. PEMOHON 1. Capt. Samuel Bonaparte,

Lebih terperinci

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) Oleh : I Gusti Ayu Dwi Andarijati I Nengah Suharta Bagian Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Korupsi adalah masalah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 102/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 102/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 102/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan I. PEMOHON E. Fernando M. Manullang. II. III. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materil terhadap Undang-Undang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. Achmad Saifudin Firdaus, SH., (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Bayu Segara, SH., (selanjutnya disebut

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap I. PEMOHON Julkifli, SH. Kuasa Hukum Ahmad Irawan, SH., Dading Kalbuadi, SH., M.Kn.,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan I. PEMOHON Nina Handayani selanjutnya disebut sebagai Pemohon; Kuasa Hukum: Dr. Youngky Fernando, S.H.,M.H,

Lebih terperinci

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon. RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 131/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Ketidakpastian hukum norma-norma UU Pemilu Legislatif I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira;

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015 PENYADAPAN OLEH KPK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh : Rizky O. U. Gultom 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 113/PUU-XII/2014 Keputusan Tata Usaha Negara yang Dikeluarkan atas Dasar Hasil Pemeriksaan Badan Peradilan Tidak Termasuk Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIV/2016 Kewenangan Jaksa Agung Untuk Mengenyampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIV/2016 Kewenangan Jaksa Agung Untuk Mengenyampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIV/2016 Kewenangan Jaksa Agung Untuk Mengenyampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum I. PEMOHON Drs. Rahmad Sukendar, SH. Kuasa Hukum Didi Karya Darmawan, SE.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 20/PUU-XIV/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 20/PUU-XIV/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SALINAN PUTUSAN Nomor 20/PUU-XIV/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUUXIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka I. PEMOHON 1. Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) (Pemohon I)

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUU-XIV/2016 Upaya Hukum Kasasi dalam Perkara Tindak Pidana Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUU-XIV/2016 Upaya Hukum Kasasi dalam Perkara Tindak Pidana Pemilu RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUU-XIV/2016 Upaya Hukum Kasasi dalam Perkara Tindak Pidana Pemilu I. PEMOHON Muhammad Nizar. Kuasa Pemohon: Habiburokhman, SH., MH., M. Said Bakhrie, S.Sos., SH.,

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 85/PUU-XIV/2016

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 85/PUU-XIV/2016 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 85/PUU-XIV/2016 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 3/PUU-XIV/2016 Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Sebagai Dokumen Yang bersifat Rahasia

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 3/PUU-XIV/2016 Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Sebagai Dokumen Yang bersifat Rahasia RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 3/PUU-XIV/2016 Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Sebagai Dokumen Yang bersifat Rahasia I. PEMOHON 1. Agus Humaedi Abdillah (Pemohon I); 2. Muhammad

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK [LN 2008/58, TLN 4843]

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK [LN 2008/58, TLN 4843] UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK [LN 2008/58, TLN 4843] BAB XI KETENTUAN PIDANA Pasal 45 (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal

Lebih terperinci

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI Disusun Oleh : MICHAEL JACKSON NAKAMNANU NPM : 120510851 Program Studi : Ilmu Hukum Program

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 54/PUU-XV/2017 Remisi bagi Narapidana Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 54/PUU-XV/2017 Remisi bagi Narapidana Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 54/PUU-XV/2017 Remisi bagi Narapidana Korupsi I. PEMOHON Suryadharma Ali, Otto Cornelis Kaligis, Irman Gusman, Barnabas Suebu, dan Waryono Karno Kuasa Hukum Afrian Bonjol,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA : 40/PUU-X/2012

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA : 40/PUU-X/2012 RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 40/PUU-X/2012 Tentang Larangan Melakukan Praktek Yang Tidak Memiliki Surat Ijin Praktek Dokter atau Dokter Gigi I. PEMOHON H. Hamdani Prayogo.....

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada I. PEMOHON Dani Muhammad Nursalam bin Abdul Hakim Side Kuasa Hukum: Effendi Saman,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK I. UMUM Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006 I. PARA PEMOHON Prof. DR. Nazaruddin Sjamsuddin sebagai Ketua KPU PEMOHON I Prof. DR. Ramlan Surbakti, M.A., sebagai Wakil Ketua

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci