lainnya untuk berpencar menangani pasien lain di ruangan gawat darurat.

Transkripsi

1 Prologue Seorang pemuda yang terbaring lemah di atas brankar tengah di dorong dengan sigap oleh para perawat Instalasi Gawat Darurat (IGD) di sebuah rumah sakit di kawasan Jakarta Barat. Pagi hari yang cukup damai itu berubah seketika menjadi sangat gaduh setelah korban kecelakaan kedua ini dibawa untuk diberi penanganan. Sa... saya perawat yang... yang kebetuan lewat. Mas yang terserempet motor ini tidak sadar! ujar seorang pemuda dengan napas yang terengah-engah. Tidak ada hambatan jalan napas, tapi napas dan nadinya lemah. Mungkin ada perdarahan

2 dalam! seru pemuda yang mengaku perawat itu sambil menunjuk sang korban yag dipanggilnya Mas ini. Pemuda itu memang lebih cocok dikatakan terlihat sebagai karyawan kantoran karena sedang mengenakan kemeja biru muda dan bercelana jeans warna cokelat muda. Terlepas dari apakah dirinya memakai seragam perawat atau tidak, nampaknya pemuda itu tahu benar alur pemeriksaan seseorang yang mengalami kondisi gawat darurat. Setelah memastikan pemeriksaan fisik yang dilakukan pemuda itu benar, para perawat segera membuka pakaian pria berambut klimis itu untuk memastikan apakah terdapat trauma luar pascaekecelakaan. Mereka tidak menanggalkan kancingnya satu per satu. Mereka menggunakan gunting agar mereka dapat berpacu dengan waktu. Di saat bersaman ada perawat lain yang tengah memasang selang infus dan selang

3 pembuangan air kecil. Semua terjadi sangat cepat dan berirama. Sesaat, pria berambut klimis itu membuka matanya untuk melirik ke arah pintu masuk. Tidak ada apa-apa di sana, kecuali brankar kosong. Pemuda yang telah menolong korban kecelakaan itu tengah duduk bersama seorang wanita tua yang terlihat seperti ibunya. Wanita tua itu terlihat sedang menenangkan sang pemuda yang cemas karena tak kunjung berhasil menghubungi kontak anggota keluarga si pria berambut klimis. Denyut nadi pasien di kasur nomor 9 sangat lemah, dok! seru seorang perawat perempuan yang telah berhasil mendapatkan nadi pria berambut klimis tersebut sesaat setelah beberapa dokter datang. Mayoritas dari mereka terlihat muda, tetapi berpengalaman. Hanya satu dokter yang terlihat sangat senior, dan dokter itu memecahkan gugusan dokter

4 lainnya untuk berpencar menangani pasien lain di ruangan gawat darurat. Selain pemuda berambut klimis itu, terdapat dua korban kecelakaan lainnya yang telah lebih dulu diberi penanganan. Mereka merupakan orang yang bertanggung jawab atas kecelakaan si pria berambut klimis. Seorang perempuan berjilbab sedang berteriak histeris karena suaminya pria yang mengendarai motor bersamanya tengah kehilangan kesadaran dengan berlumuran darah di depan matanya. Wanita ini meraung-raung tidak karuan sambil berusaha meninggalkan tempat tidurnya. Butuh lebih dari dua perawat untuk menenangkannya agar wanita ini dapat diberi tindakan medis. Kening sebalah kiri wanita ini juga berlumuran darah, tetapi ia terlalu panik untuk menyadarinya. Pria berambut klimis itu pun masih menatap ke arah yang sama. Sesekali, tangan kanannya seperti hendak menggapai

5 sesuatu. Dari arah berlawanan, datang seorang dokter perempuan berambut ekor kuda dengan setengah berlari. Bising sepatu hak tingginya yang biasa menggema di ruangan tidak lagi terdengar jelas karena kegaduhan di ruangan ini. Dokter itu segera meraih stetoskop yang dikalungkan di lehernya untuk mendengarkan suara jantung si pria berambut klimis. Hal yang berikutnya terjadi terlalu ricuh untuk digambarkan. Namun, hal-hal yang telah berlalu akan sangat jelas untuk dapat disajikan. Kecelakaan itu terjadi karena suatu alasan. Para korban dan penolong itu memiliki peran yang telah dipersiapkan. Semua itu terjadi bukan karena kebetulan. Semua kejadian itu merupakan rancangan kata-kata yang terukir dalam semesta. Sebuah cerita panjang yang dirancang oleh dunia: Prosa semesta.

6 Vena Cava Aneurisma Di sebuah meja di ruang rawat inap, seorang wanita berjubah putih dengan rambut ekor kudanya terlihat sedang membaca buku status pasien. Sudah jelas bahwa wanita ini adalah dokter. Dia tengah sibuk menggambar sebuat peta konsep suatu penyakit sambil sesekali membuka halaman demi halaman buku status pasien tersebut. Di tangan kanannya, dia menggenggam sebuah pensil. Tangan kanannya adalah tangan yang paling sibuk. Dia harus mensikronisasikan tangannya untuk membuka halaman buku status pasien dan mencatat data yang diperlukannya dalam peta konsep yang digambarnya di buku sketsa yang berukuran A4. Terlihat sekali dia tampak

7 sedang mencari data yang penting. Di tangan kirinya, terdapat satu gelas cappucino berukuran large yang sesekali ditenggaknya. Suasana tidak terlihat kondusif sama sekali. Banyak perawat ruangan yang juga sedang membolak-balik buku status pasien dan berlalu-lalang. Mungkin itu sebabnya ia membutuhkan kopi. Untuk memberikannya sedikit kewarasan agar mendapatkan hal yang ia butuhkan. Sesekali ia berdecak. Sesekali ia menyeringai. Sesekali ia menggaruk kepalanya karena bingung harus memperbesar peta konsepnya di atas lembar kertas yang sudah penuh. Wanita itu adalah aku. Tegukan demi tegukan kopi yang kuminum sebenarnya merupakan suatu ironi. Ironi karena seorang dokter bedah jantung sepertiku orang yang sampai berbusa menceramahi pasien untuk menjaga jantungnya sering dengan sengaja mencederai pembuluh

8 darah jantungnya dengan menkonsumsi caffeine. Apalagi saat-saat aku merasa menemukan jalan buntu di sini. Kopiku sudah hampir habis. Tegukan terakhir aku curahkan untuk membawaku ke memori masa lampau. Masa di mana aku memutuskan untuk menemukan jati diriku. Masa di mana aku memutuskan untuk menjadi dokter bedah jantung. *** Barisan mahasiswa co-ass itu berjalan sangat cepat di lorong ruangan yang terbilang sempit. Masing-masing mata dari para calon dokter masa depan ini masih menunjukkan semangat menyelamatkan hidup meskipun beberapa sudah menunjukkan kelelahan yang amat sangat

9 karena menjalani rutinitas ini selama setahun terakhir ini. Aku dapat menghirup aroma obatobatan khas ruang rawat yang dulu membuatku takut untuk masuk rumah sakit. Aku dapat mendengar seprai kasur ditebarkan di atas kasur kosong seindah musik orkestra yang mengiringi teater. Bulu kudukku merinding dipenuhi antusias menyambut kasus-kasus medis yang akan aku dapatkan. I used to be very afraid of this place. Tapi aku tahu, ini tempat di mana perbedaan dapat terjadi. Sebagai (calon) dokter, kami dilatih untuk menggunakan segala kapasitas dan ilmu pengetahuan yang kami miliki, namun kami tidak boleh angkuh hanya karena memiliki ilmu kedokteran. There are things bigger than that. This is the place where prayer can come true. This is the place where magic actually happens.