UJI BIOLOGIS CONDITIONED MEDIUM SEL LEYDIG TERHADAP DIFERENSIASI STEM CELL MESENKIMAL SUMSUM TULANG TIKUS DEWASA ABSTRAK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UJI BIOLOGIS CONDITIONED MEDIUM SEL LEYDIG TERHADAP DIFERENSIASI STEM CELL MESENKIMAL SUMSUM TULANG TIKUS DEWASA ABSTRAK"

Transkripsi

1 30 UJI BIOLOGIS CONDITIONED MEDIUM SEL LEYDIG TERHADAP DIFERENSIASI STEM CELL MESENKIMAL SUMSUM TULANG TIKUS DEWASA ABSTRAK Terapi menggunakan stem cell mesenkimal sumsum tulang telah banyak dilakukan pada penyakit degeneratif. Conditioned medium (CM) dari beberapa jenis kultur sel diperkirakan mengandung berbagai bahan bioaktif yang disekresikan secara in vitro sudah diuji terhadap transdiferensiasi stem cell mesenkimal sumsum tulang. Penelitian ini dilakukan untuk menguji CM sel Leydig terhadap diferensiasi stem cell mesenkimal sumsum tulang. Conditioned medium dikoleksi dari kultur sel Leydig hasil purifikasi dengan gradien Nycodenz masing-masing sebanyak 1x 10 6 sel/ml setelah dikultur di dalam medium: 1) DMEM + NBCS 10% (M) sebagai kontrol; 2) dengan hcg 2.5 IU/ml; 3) dengan insulin 5 μg/ml, transferrin 10 μg/ml, Selenium 5 μg/ml (ITS) serta 4) hcg dan ITS. Setelah dikultur selama tiga hari, medium dari masing-masing perlakuan diganti dengan medium DMEM tanpa serum dengan perlakuan yang sama. Conditioned medium dikoleksi pada tiga hari kemudian dan disimpan dalam temperatur -20 o C. Setelah dianalisis, CM yang diperoleh dari perlakuan hcg+its ditetapkan untuk digunakan sebagai medium kultur stem cell mesenkimal sumsum tulang tikus. Masing-masing sebanyak 1x 10 6 sel/ml stem cell mesenkimal sumsum tulang dikultur di dalam medium: 1) DMEM+ NBCS 10% sebagai kontrol ; 2) dengan testosteron 10 ng/ml; 3) dengan CM sel Leydig 50% ; 4) dengan CM sel Leydig 50% dan hcg 2.5 IU/ml. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan hcg+its pada CM sel Leydig meningkatkan konsentrasi testosteron (0,71 ng/ml) dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Perlakuan yang sama juga meningkatkan konsentrasi protein (985,29µg/ml) yang terdapat di dalam CM dibandingkan dengan perlakuan lainnya (p<0,05). Pita protein yang dihasilkan mempunyai berat molekul (BM) mendekati 29 kda, kda dan kda. Stem cell mesenkimal sumsum tulang yang dikultur dengan CM sel Leydig bereaksi positif terhadap pewarnaan spesifik 3β-HSD menghasilkan sel Leydig (53,2%), testosteron (0,93 ng/ml) dan protein (1251,94 μg/ml). Penambahan hcg ke dalam CM sel Leydig mampu meningkatkan konsentrasi testosteron (10,22 ng/ml) (p<0,05) dibandingkan dengan tanpa hcg. Dapat disimpulkan bahwa CM sel Leydig mampu mengarahkan stem cell mesenkimal sumsum tulang menjadi sel Leydig. Penambahan hcg ke dalam CM sel Leydig yang digunakan sebagai medium kultur stem cell mesenkimal sumsum tulang meningkatkan perolehan sel Leydig dan testosteron yang disekresikan. Kata kunci : conditioned medium, sel Leydig, stem cell mesenkimal, sumsum tulang, tikus, testosteron

2 31 ABSTRACT Bone marrow mesenchymal stem cells theraphy have been carried out on degenerative diseases. Conditioned medium (CM) from several types of cultured cells contain of bioactive materials secreted in vitro. In this study were used Leydig cells conditioned medium to evaluate the ability differentiation of bone marrow mesenchymal stem cells. Conditioned medium was collected from culture of 1x 10 6 cells/ml with 4 treatments, respectively: 1) DMEM supplemented with 10 % NBCS (M) as control ; 2) M supplemented with 2.5 IU/ml hcg ; 3) M supplemented with 5 µg/ml insulin, 10 µg/ml transferrin, 5 mg/ml Selenium (ITS) and 4) M supplemented with the combination of hcg and ITS. Each culture medium treatment was replaced after 3 days using DMEM without serum. Conditioned medium were collected 3 days later and analyzed for testosterone and protein concentration. The best result of treatment above was used for culture medium of bone marrow mesenchymal stem cells. The 1x 10 6 cells/ml bone marrow mesenchymal stem cells cultured in : 1) DMEM supplemented with 10% NBCS as control (M), 2) M supplemented with 10 ng/ml testosterone; 3) M supplemented with 50% Leydig cells CM; 4) M supplemented with 50% Leydig cells CM and 2.5 IU/ml hcg respectively. The result showed that Leydig cells CM from combination of hcg and ITS had higher testosterone concentration (0.71 ng/ml) compared to ITS (0.69 ng/ml), hcg (0.68 ng/ml) and control (0.56 ng/ml). The similar result also showed on protein concentration. Leydig cells CM had three protein bands with molecular weight (29 kda, kda and kda). Bone marrow mesenchymal stem cells cultured with Leydig cells CM has positive reaction to 3β-HSD specific stained for Leydig cells (53.2%) and produced testosterone (0.93 ng/ml). Supplementation of hcg to Leydig cell CM have an ability to increase testosterone production (10.22 ng/ml) and the positive number cells of Leydig cells (71.9% ) (p<0.05) compared without hcg. It can be concluded that Leydig cells conditioned medium can support differentiation of bone marrow mesenchymal stem cells to Leydig cells. Keywords : conditioned medium, Leydig cells, mesenchymal stem cells, bone marrow, rat, testosterone PENDAHULUAN Stem cell adalah sel yang terdapat dalam tubuh dan memiliki beberapa karakteristik yang cukup unik karena sel tersebut belum berdiferensiasi dan memiliki fungsi khusus, serta mampu memperbanyak diri sendiri menghasilkan sel yang sama dengan sel induknya (self renewal). Stem cell dapat berdiferensiasi

3 32 menjadi lebih dari satu jenis sel (multipoten atau pluripoten). Berdasarkan sumbernya, dapat digolongkan menjadi stem cell embrionik dan stem cell dewasa (Prentice 2003). Stem cell dewasa merupakan sel yang belum berdiferensiasi pada jaringan dan bersifat multipoten. Dapat ditemukan pada sumsum tulang, otak, pembuluh darah perifer, gastrointestinal, folikel rambut, hati, pankreas, jantung, kornea, retina, lemak dan otot skeletal. Sel tersebut berfungsi dalam memelihara dan memperbaiki kerusakan jaringan secara in vivo (Prentice 2003). Jika dibandingkan dengan stem cell embrionik, kemampuan berdiferensiasi stem cell dewasa lebih terbatas karena hanya mampu berdiferensiasi menjadi beberapa jenis sel saja serta hanya ditemukan dalam jumlah yang sedikit. Sejak dilaporkannya beberapa penelitian yang menyatakan bahwa stem cell dewasa mampu melakukan transdiferensiasi, maka harapan penggunaan stem cell dewasa khususnya stem cell mesenkimal dari sumsum tulang sebagai terapi alternatif penyakit degeneratif menjadi lebih besar. Penggunaan stem cell dewasa merupakan alternatif untuk mengatasi kendala etika penggunaan stem cell embrionik pada manusia. Transdiferensiasi adalah perubahan sel yang irreversible dari suatu sel tertentu menjadi jenis sel lainnya (Eguizabal et al. 2013). Stem cell mesenkimal mampu berdiferensiasi menjadi sel saraf atau stem cell hematopoietik yang berdiferensiasi menjadi sel jantung merupakan contoh dari transdiferensiasi stem cell (Halim et al. 2010). Induksi transdiferensiasi stem cell mesenkimal secara langsung dari satu galur mesenkimal menjadi galur yang lain dapat dilakukan dengan mengubah faktor lingkungan mikro (Song & Tuan 2004). Stem cell mesenkimal juga mempunyai kemampuan berdiferensiasi menjadi sel yang spesifik jika dikombinasikan dengan bahan bioaktif dan stimulus diferensiasi tertentu (Caplan & Bruder 2001). Selain itu, transdiferensiasi secara in vivo juga dipengaruhi oleh lingkungan mikro dari jaringan (Phinney & Prockop 2007). Sel yang dikultur secara in vitro mampu mensekresikan berbagai bahan bioaktif yang bermanfaat bagi pertumbuhan sel dalam kultur. Bahan bioaktif yang dihasilkan di antaranya adalah faktor pertumbuhan (growth factor, GF) dan produk lain yang diperlukan dalam perkembangan sel di dalam kultur. Conditioned medium (CM) adalah medium yang telah digunakan untuk mengkultur sel dan diperkirakan mengandung bahan bioaktif yang dihasilkan oleh kultur sel atau jaringan. Media tersebut dapat digunakan untuk menumbuhkan jenis sel yang sama ataupun yang berbeda. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui peranan faktor-faktor yang terdapat dalam CM dengan menggunakan stem cell mesenkimal sumsum tulang. Penggunaan CM kultur sel saraf untuk mengkultur stem cell mesenkimal sumsum tulang secara in vitro mampu mengarahkan sel tersebut berdiferensiasi menjadi sel saraf (Djuwita et al. 2010). Diferensiasi sel saraf pada stem cell mesenkimal tikus dan manusia juga dapat diinduksi oleh DMSO, β-mercapto-ethanol atau butylated hydroxyanisole (Woodbury et al. 2000) Sel Leydig pada tikus dewasa bukan berasal dari sel Leydig fetus tetapi berasal dari sel prekursor yang belum berdiferensiasi (Habert 2001). Progenitor sel Leydig diduga merupakan sel mesenkim karena mempunyai morfologi seperti sel yang terdapat pada jaringan ikat yang berasal dari mesoderm embrio (Hardy et al ) dan sel tersebut disebut sebagai stem cell mesenkimal (Ariyaratne et al. 2000). Sel Leydig terutama menghasilkan hormon testosteron, tetapi juga

4 33 mensekresikan berbagai bahan bioaktif seperti peptida, Interleukin-1 (IL-1) dan Interleukin- 6 (IL-6) (Chemes et al. 1992, Cudicini et al. 1997) ke dalam medium kulturnya. Sel Leydig diketahui juga mensekresikan beberapa faktor pertumbuhan seperti: Insulin-like Growth Factor I (IGF-I), Transforming Growth Factor-β (TGF-β), Epidermal Growth Factor (EGF), Fibroblast Growth Factor (FGF), Platelet-derived Growth Factor A (PDGF-A) dan lainnya (Mendis-Handagama & Ariyaratne 2001, Saez 1994, Avallet et al. 1991). Yazawa et al. (2006) telah melaporkan bahwa stem cell mesenkimal sumsum tulang dapat berdiferensiasi secara in vivo menjadi sel Leydig ketika ditransplantasikan ke dalam testis. Hasil tersebut menunjukkan bahwa stem cell mesenkimal rodentia mempunyai kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi sel steroidogenik yang serupa dengan sel Leydig. Pengarahan stem cell mesenkimal menjadi sel Leydig diharapkan dapat menjadi alternatif penyediaan sumber sel Leydig untuk transplantasi dan dapat menggantikan terapi testosteron sintetis yang umum dilakukan pada pria lanjut usia atau pada pasien penyakit hipogonadism. Terapi sel tersebut diharapkan dapat menghindari efek samping akibat pemberian testosteron sintetis dalam jangka waktu yang lama. Sun et al. (2009) menyimpulkan bahwa transplantasi sel Leydig dewasa pada tikus dengan penyakit hipogonadism dan dilakukan pada saat pra-pubertas mempunyai potensi terapeutik. Pengarahan sel dipengaruhi oleh kondisi lingkungan mikro stem cell mesenkimal tersebut, conditioned medium sel Leydig diduga menghasilkan bahan bioaktif yang dapat mendukung diferensiasi sel progenitor menjadi sel Leydig. Apabila pasien dalam kondisi hanya memiliki sel progenitor sel Leydig dalam jumlah yang sedikit di dalam testisnya maka kemungkinan penggunaan stem cell mesenkimal sebagai stem cell pengganti untuk menghasilkan sel Leydig perlu diketahui. Tujuan penelitian ini adalah menguji kemampuan sekreta yang dihasilkan CM sel Leydig untuk mengarahkan transdiferensiasi stem cell mesenkimal sumsum tulang menjadi sel Leydig. MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Embriologi, Bagian Anatomi, Histologi dan Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi; di Laboratorium Hormon, Unit Rehabilitasi Reproduksi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan di Laboratorium Reproduksi dan Kultur Sel Hewan, Puslit Bioteknologi LIPI mulai dari Desember 2012 sampai Agustus 2013.

5 34 Materi Penelitian Suspensi stem cell mesenkimal sumsum tulang dikoleksi dari 3 ekor tikus (Sprague Dawley) jantan dewasa berumur 8-10 minggu yang diperoleh dari Fakultas Peternakan IPB. Penyediaan conditioned medium sel Leydig dilakukan dengan mengkultur sel Leydig yang dipurifikasi dari testis yang diambil dari 3 ekor tikus jantan dewasa. Perlakuan terhadap hewan percobaan pada penelitian ini telah dilakukan dengan mengikuti kaidah ilmiah terstandar dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesejahteraan hewan. Metode Penelitian Tahapan kegiatan dalam penelitian ini adalah : 1. Kultur Sel Leydig Hasil Purifikasi dengan Gradien Nycodenz 2. Analisis Kandungan Testosteron dan Protein dari CM Sel Leydig 3. Isolasi Stem Cell Mesenkimal Sumsum Tulang 4. Kultur In Vitro Stem Cell Mesenkimal Sumsum Tulang dengan CM Sel Leydig 5. Analisis Kandungan Testosteron dan Protein dari Medium Kultur Stem Cell Mesenkimal Sumsum Tulang Setelah Dikultur dengan CM Sel Leydig Kultur Sel Leydig Hasil Purifikasi dengan GradienNycodenz Tikus (Sprague Dawley) jantan dewasa berumur 8-10 minggu diambil testisnya setelah dibius dan dikorbankan dengan cara cervical dislocation. Selaput tunika albuginea dan jaringan ikat lainnya dibuang, kemudian jaringan testis ditempatkan di dalam cawan petri berisi medium Dulbecco s Phosphate Buffer Saline (DPBS) tanpa Ca dan Mg (Gibco, , Invitrogen, NY, USA). Jaringan tersebut kemudian dicuci sebanyak tiga kali menggunakan medium DPBS yang ditambah Newborn Calf Serum 0.1% (NBCS, Gibco, , Invitrogen, New Zealand, DPBS). Pengambilan jaringan testis dilakukan secara aseptis kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang berisi satu ml collagenase type I (Sigma, C0130,St Louis, MO, USA) 0.04% dan trypsin inhibitor (Sigma, T9003, St Louis, MO, USA) 10 µg/ml dalam DPBS. Jaringan diinkubasi di dalam waterbath (Eyela SB-24) pada suhu 34 o C selama 40 menit. Suspensi sel diencerkan sebanyak empat kali volume awal dengan medium DPBS, kemudian didiamkan selama dua menit agar sel mengendap. Cairan

6 35 supernatan dikoleksi dan disentrifugasi dengan kecepatan 200 g selama tiga menit. Pelet sel dicuci sebanyak dua kali menggunakan medium DPBS dengan cara yang sama. Terakhir, pelet sel diencerkan dengan 500 µl medium DPBS. Isolasi dan purifikasi sel Leydig dilakukan dengan menggunakan metode gradien Nycodenz. Pelet sel yang telah diencerkan kemudian dimasukkan ke dalam larutan Nycodenz dengan gradien 4%, 8%, 10%, 12%, 15%. Setelah itu, larutan gradien disentrifugasi menggunakan sentrifus swing rotor (Kokusan H- 26F) dengan kecepatan 1500 g selama 10 menit pada suhu ruang. Lapisan sel yang terbentuk kemudian dikoleksi dan dicuci berturut-turut dengan DPBS sebanyak empat kali dan medium DMEM (Sigma, D5532, St Louis, MO, USA) yang ditambah NBCS 10% sebanyak satu kali dengan cara disentrifugasi dengan kecepatan 200 g selama tiga menit. Pelet sel diencerkan dengan 500 µl medium DMEM, kemudian dilakukan penghitungan konsentrasi sel dengan menggunakan hemositometer Neubauer. Sel Leydig sebanyak 1 x 10 6 sel/ml ditempatkan dalam cawan petri (Corning, , NY USA) berukuran 35 x 10 mm dengan perlakuan medium DMEM yang ditambah dengan 10% NBCS (M) sebagai kontrol (1); dengan 2.5 IU/ml hcg (Chorulon, Intervet, EU) (2); dengan 5 μg/ml insulin, 10 μg/ml transferrin, 5 μg/ml Se (ITS, Sigma I3146, St Louis, MO,USA) (3) serta hcg dan ITS (4) kemudian dikultur dalam inkubator 5% CO 2 (Sanyo, MCO-95, Japan) dengan temperatur 37 C. Setelah dikultur selama tiga hari, medium diganti menggunakan medium DMEM tanpa penambahan serum. Pada hari ke-3, conditioned medium (CM) kemudian dikoleksi dan disterilkan dengan filter syringe (MS CA)0,22 µm. Medium tersebut disimpan pada temperatur C untuk pengujian ELISA, SDS PAGE dan spektrofotometer. Analisis Kandungan Testosteron dan Protein dari CM Sel Leydig Konsentrasi testosteron dari CM sel Leydig kemudian diukur menggunakan kit Testosteron ELISA (DRG Diagnostic EIA 1559). Hasil dianalisis dengan menggunakan alat ELISA reader Biotek EL 808. Analisis kandungan protein di dalam CM sel Leydig dilakukan dengan metode SDS PAGE menggunakan gel Poliakrilamid 12%, kemudian masingmasing sebanyak 10 µl sampel CM sel Leydig sesuai perlakuan dimasukkan ke dalam sumur gel setelah dicampurkan dengan loading buffer dengan perbandingan 1 : 2. Disamping itu, dimasukkan pula larutan ukuran baku protein sebagai marker (kontrol positif) Chromatein Prestained Protein Ladder (PR Vivantis). Alat elektroforesis (SCIE-PLAS) dijalankan dengan kuat arus listrik 30mA, tegangan 140 V(Consort EU 261) selama 3 jam. Setelah proses elektroforesis selesai, dilakukan proses visualisasi protein dengan metode pewarnaan Coomassie Brilliant Blue (Phast Gel TM Blue-R, Pharmacia ). Analisis hasil dilakukan secara deskriptif terhadap perbedaan berat molekul protein yang dihasilkan dari pita-pita pada masing-masing CM sel Leydig perlakuan dibandingkan dengan berat molekul protein standar (marker) yang digunakan.

7 36 Konsentrasi protein di dalam CM sel Leydig diukur dengan menggunakan alat UV spectrophotometer Shimadzu UV-1800 dengan menggunakan software UV Probe Masing-masing sampel sebanyak 60 μl ditambahkan dengan 940 μl Protein Assay Dye Reagent (reagen Bradford, BioRad ), kemudian dimasukkan di dalam cuvet dan dilakukan pembacaan absorbansi pada panjang gelombang 595 nm. Hasil pembacaan dikoreksi dengan menggunakan kurva standar linier BSA 0 μg/ml sampai 1500 μg/ml yang telah dibuat sebelumnya. Isolasi Stem Cell Mesenkimal Sumsum Tulang Sumsum tulang (bone marrow) diisolasi dari tulang femur tikus jantan dewasa Sprague Dawley berumur 8-10 minggu. Tulang tibia atau femur dibersihkan dari jaringan dan darah, kemudian pada kedua ujung pangkal dilakukan pemotongan tulang rawan. Bagian stroma tulang dibilas dengan tiga ml medium DPBS dengan menggunakan syringe satu ml dengan jarum 26G. Bilasan ditampung dalam cawan petri kaca yang steril kemudian dihomogenkan dengan mikropipet 1000 µl. Setelah homogen, suspensi dimasukkan ke dalam tabung 15 ml dan disentrifugasi dengan kecepatan 200 g selama 10 menit. Setelah supernatan dibuang, pelet diresuspensi dengan tiga ml medium DPBS dan disentrifugasi ulang. Pencucian dilakukan masing-masing sebanyak dua kali menggunakan medium DPBS dan satu kali dengan medium kultur DMEM. Kemudian pelet sel diresuspensi dengan 1000 µl medium kultur DMEM. Kultur In Vitro Stem Cell Mesenkimal Sumsum Tulang dengan CM Sel Leydig Setelah dilakukan penghitungan konsentrasi sel, sebanyak 1 x 10 6 sel/ml stem cell mesenkimal sumsum tulang dikultur ke dalam cawan petri yang berisi medium kultur DMEM yang ditambah NBCS 10%. Pada cawan petri lainnya diberi gelas cover steril untuk pengamatan morfologi sel. Setelah 24 jam, stem cell mesenkimal sumsum tulang dikultur dengan perlakuan medium: 1) DMEM ditambahkan NBCS 10%; 2) dengan testosteron 10 ng/ml (Nacalay Tesque Kyoto, Japan); 3) dengan CM Leydig 50%; 4) dengan CM Leydig 50% dan hcg 2.5 IU/ml. Conditioned medium sel Leydig yang digunakan untuk mengkultur stem cell mesenkimal diperoleh dari perlakuan DMEM+hCG+ITS. Cawan petri dikultur di dalam inkubator CO 2 5% pada temperatur 37 o C. Penggantian media dilakukan setiap 48 jam dan kultur dilakukan sampai hari ke-10. Parameter yang diamati adalah morfologi sel yang tumbuh dalam kultur dan pewarnaan histokimia spesifik 3β-HSD untuk mendeteksi sel Leydig. Analisis data dilakukan secara deskriptif terhadap perubahan morfologi sel yang terjadi. Medium kultur kemudian dikoleksi, disterilisasi dengan filter syringe serta disimpan pada temperatur -20 o C untuk dilakukan pengujian ELISA dan spektrofotometer.

8 37 Analisis Kandungan Testosteron dan Protein dari Medium Kultur Stem Cell Mesenkimal Sumsum Tulang Setelah Dikultur dengan CM Sel Leydig Medium kultur stem cell mesenkimal sumsum tulang perlakuan di atas kemudian dikoleksi dan digunakan untuk dilakukan pengukuran konsentrasi testosteron menggunakan kit Testosteron ELISA (DRG Diagnostic EIA 1559). Pengukuran konsentrasi protein dengan menggunakan alat UV spectrophotometer Shimadzu UV-1800 dengan menggunakan software UV Probe Rancangan Percobaan dan Analisis Data Kultur sel Leydig dilakukan sebanyak tiga kali ulangan untuk setiap perlakuan. Conditioned medium dikoleksi dari masing-masing perlakuan untuk dilakukan analisis testosteron, protein dan SDS PAGE. Data yang diperoleh kemudian diuji secara statistik dengan uji ANOVA dengan tingkat kepercayaan 95% dan uji lanjut Duncan. Hasil SDS PAGE dianalisis secara deskriptif. Conditioned medium terpilih yaitu hasil perlakuan penambahan hcg dan ITS kemudian diperbanyak untuk digunakan pada penelitian selanjutnya. Kultur stem cell mesenkimal sumsum tulang dilakukan sebanyak tiga kali ulangan untuk setiap perlakuan. Parameter yang diamati adalah morfologi sel dan reaksi terhadap pewarnaan histokimia 3β-HSD. Analisis kandungan testosteron dan protein dilakukan dari setiap perlakuan dengan tiga kali ulangan. Data yang diperoleh kemudian diuji secara statistik dengan uji ANOVA dengan tingkat kepercayaan 95% dan uji lanjut Duncan. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis CM Sel Leydig Conditioned medium (CM) sel Leydig dari empat perlakuan menghasilkan konsentrasi testoteron sebesar 0,56 sampai 0,71 ng/ml. Penambahan hcg dan ITS menghasilkan testosteron yang lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Penambahan hcg (601,66µg/ml), ITS (572,08 µg/ml) maupun hcg+its (985,29 µg/ml) meningkatkan konsentrasi protein di dalam conditioned medium sel Leydig dibandingkan dengan kontrol (436,92 µg/ml) (p<0,05) Tabel 8.

9 38 Tabel 8. Analisis konsentrasi testosteron dan protein dari conditioned medium sel Leydig Conditioned medium sel Leydig dari perlakuan: Testoteron (ng/ml) Protein (μg/ml) DMEM+ NBCS 10% 0,56 436,92 a DMEM+ hcg 2.5 IU/ml ,66 b DMEM+ ITS (insulin 5 μg/ml, transferrin, ,08 c 10 μg/ml,se 5 μg/ml) DMEM+hCG+ITS ,29 d Keterangan : Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) dengan uji statistik Duncan. Hasil analisis protein dengan SDS PAGE terhadap CM sel Leydig ditampilkan pada Gambar 5. Conditioned medium sel Leydig pada penelitian ini menghasilkan pita protein antara berat molekul (BM) mendekati 29 kda, kda dan kda. Gambar 5. Hasil analisis SDS PAGE terhadap conditioned medium kultur sel Leydig Sel Leydig merupakan sel yang memproduksi hormon testosteron di dalam tubuh hewan jantan. Berdasarkan penelitian sebelumnya, perlakuan kultur sel Leydig dengan medium DMEM yang ditambahkan dengan serum, ITS dan hcg menghasilkan konsentrasi testosteron yang paling tinggi sebesar 5,25 ng/ml (Kaiin et al 2013). Pada penelitian ini, kandungan testosteron dari conditioned medium (CM) kultur sel Leydig yang diberi perlakuan hcg dan ITS juga menunjukkan konsentrasi testoteron yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Bilinska et al (2009) menyatakan bahwa sel Leydig manusia hasil pemurnian dengan Percol secara in vitro menghasilkan testosteron sebanyak 5,76 ng/10 6 sel dalam waktu 24 jam dan dengan penambahan hcg mampu meningkatkan produksi testosteron menjadi 9,83 ng/10 6 sel Pada penelitian lain, sel Leydig yang dikultur secara in vitro menghasilkan testosteron

10 39 sebesar 3,5 ng/10 6 sel, dan dengan penambahan hcg di dalam medium menghasilkan testosteron sebesar 4,5ng/10 6 sel ( Risbridger et al. 1981). Protein dengan BM mendekati 29 kda pada CM kultur sel Leydig diperkirakan adalah Interleukin 1 (IL-1). Menurut Saez (1994), IL-1 memiliki berat molekul yang bervariasi antara kda. Protein lainnya yang terdeteksi berdasarkan SDS PAGE memiliki BM yang cukup besar yaitu antara kda dan kda. Lakshmanan et al. (1990) menemukan EGF yang dideteksi dari urin mencit dewasa mempunyai berat molekul 66 dan 56 kda, sedangkan pro- EGF mempunyai berat molekul 165 kda. TGF-β merupakan famili dari polipeptida berukuran 25 kda yang terdistribusi dan disintesis oleh sel yang berbeda-beda (Lawrence 1995 dalam Kropf et al. 1997), pada penelitian ini tidak ditemukan protein dengan berat molekul tersebut. Di dalam testis, EGF berfungsi untuk menstimulasi sintesis androgen, demikian juga hal yang sama terjadi pada kondisi in vitro (Suarez-Quian & Niklinski 1990). PDGF-A merupakan faktor penting dalam proses diferensiasi sel Leydig, tetapi bagaimana mekanismenya belum banyak diketahui (Mendis-Handagama & Ariyaratne 2001). Selain faktor pertumbuhan tersebut masih banyak faktor lain yang disekresikan oleh sel Leydig seperti: Corticotropin-releasing factor (CRF), Arginin-vasopressin (AVP), oxytocin (OT), Angiotensin-II (A-II) dan peptida lainnya (Saez 1994). Diperlukan penelitian lanjutan untuk menentukan protein yang dihasilkan dalam gambaran hasil SDS PAGE pada penelitian ini. Uji Biologis CM Sel Leydig Terhadap Kultur Stem Cell Mesenkimal Sumsum Tulang Transdiferensiasi stem cell mesenkimal sumsum tulang diuji dengan menggunakan CM sel Leydig. Hasil menunjukkan bahwa stem cell mesenkimal yang dikultur dengan CM sel Leydig bereaksi positif dengan pewarnaan histokimia spesifik 3β-HSD untuk mendeteksi sel Leydig (Gambar 6c), menghasilkan sel Leydig sebesar 53,2 % dan hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (4,5%) maupun DMEM yang ditambahkan testosteron (20,5%) (p<0,05). Penambahan hcg ke dalam CM sel Leydig meningkatkan perolehan sel Leydig (71,9%) (p<0,05). Perlakuan CM Leydig menghasilkan testosteron dan protein di dalam medium kultur stem cell mesenkimal (Tabel 9). Penambahan hcg ke dalam CM sel Leydig meningkatkan konsentrasi testosteron (10,22 ng/ml) (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol (2,01 ng/ml) dan CM Leydig saja (0,93 ng/ml). Penambahan testosteron ke dalam medium kultur juga menghasilkan sel yang positif terhadap pewarnaan 3β-HSD (Gambar 6b).

11 40 Tabel 9. Kultur in vitro stem cell mesenkimal sumsum tulang dengan perlakuan conditioned medium kultur sel Leydig serta analisis konsentrasi testosteron dan protein di dalam medium kultur. Perlakuan Pewarnaan 3 β-hsd Sel Leydig (%) Testoteron (ng/ml) Protein (μg/ml) DMEM + NBCS 10% +/- 4,5 a 2.01 a 1770,29 a DMEM+testosteron10 ng/ml ++ 20,5 b 4.85 a 1285,39 b DMEM+ CML50% ,2 c 0.93 a 1251,94 c DMEM+CML50%+ hcg2.5 IU/ml ,9 d b 799,01 d Keterangan : Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) dengan uji lanjut Duncan. Gambar 6. Kultur stem cell mesenkimal sumsum tulang tikus yang diwarnai dengan pewarnaan histokimia spesifik 3β-HSD. Keterangan : a. DMEM+ NBCS 10%; b.dmem+testosteron 10 ng/ml; c. DMEM+ CM Leydig 50%; d. DMEM+CM Leydig 50%+ hcg 2.5 IU/ml. Skala = 20 µm Berdasarkan pengamatan morfologi sel, tampak ada perbedaan morfologi sel dari ketiga perlakuan (Gambar 7 b,c,d) dibandingkan dengan kontrol (Gambar 7a). Stem cell mesenkimal yang dikultur dengan CM kultur sel Leydig menghasilkan morfologi sel yang memiliki penjuluran yang lebih banyak dibandingkan dengan kultur stem cell mesenkimal tanpa perlakuan. Karakterisasi stem cell mesenkimal dapat dilakukan berdasarkan molekul protein permukaan (Cluster of Differentiation, CD) dan terdapat beberapa molekul protein permukaan pada stem cell mesenkimal di antaranya adalah CD73, CD90 dan CD105 (Halim et al. 2010). Transdiferensiasi stem cell mesenkimal menjadi sel Leydig akan menyebabkan terjadinya perubahan pada molekul protein permukaan.

12 41 Gambar 7. Morfologi stem cell mesenkimal sumsum tulang yang dikultur secara in vitro. Keterangan : a.dmem+nbcs 10%; b. DMEM+ testosteron 10 ng/ml; c. DMEM+ CM Leydig 50%; d.dmem+cm Leydig 50% +hcg 2.5 IU/ml hcg. Skala= 10 µm. Keterangan: menunjukkan penjuluran sel Kemampuan stem cell mesenkimal sumsum tulang mengalami transdiferensiasi menjadi sel Leydig pada penelitian ini dilakukan berdasarkan bahwa sel Leydig dewasa berasal dari stem cell mesenkimal yang merupakan galur sel Leydig di dalam testis karena sel tersebut dapat mengekspresikan beberapa marker spesifik seperti 3β-HSD, reseptor LH dan produksi androgen (Ariyaratne et al. 2000). Menurut Djuwita et al. (2010), stem cell mesenkimal sumsum tulang yang dikultur selama 24 jam morfologi selnya berbentuk poligonal dan berbentuk seperti fibroblas (fibroblast-like cell). Hal yang sama terjadi pada kelompok kontrol (Gambar 7 a). Pada penelitian ini, kultur stem cell mesenkimal sumsum tulang yang dikultur dengan CM kultur sel Leydig menunjukkan perbedaan morfologi sel yaitu lebih banyak juluran pada selnya (Gambar 7 c,d) dan setelah diidentifikasi dengan pewarnaan spesifik 3 β HSD menghasilkan reaksi yang positif (Gambar 6 c,d). Mendis-Handagama & Ariyaratne (2001) menyatakan bahwa pewarna spesifik 3 β HSD positif pada galur sel Leydig dimulai dari progenitor sel sampai sel Leydig dewasa. Pewarna tersebut akan negatif jika sel masih dalam tahap stem cell mesenkimal. Perubahan morfologi stem cell mesenkimal sumsum tulang tersebut kemungkinan merupakan proses transdiferensiasi menjadi sel Leydig. Transdiferensiasi sangat dipengaruhi oleh lingkungan mikro di sekitar sel, dengan adanya CM kultur sel Leydig di dalam medium yang memiliki kandungan bahan bioaktif seperti testosteron, faktor pertumbuhan dan protein yang disekresikan oleh sel Leydig menciptakan kondisi lingkungan untuk mendukung transdiferensiasi sel Leydig dari stem cell mesenkimal yang dikultur. Sifat stem cell mesenkimal yang multipoten dan didukung oleh lingkungan mikronya kemungkinan mengakibatkan terjadinya proses tersebut. Penelitian Wu et al. (2012) yang mengkultur stem cell sumsum tulang manusia dengan medium yang mengandung, LH, hcg, IL-1α dan PDGF menghasilkan sel yang bertransdiferensiasi menjadi sel steroidogenik (sel Leydig)

13 42 secara in vitro. Hasil tersebut mendukung penelitian ini karena diduga di dalam CM sel Leydig mengandung kedua faktor pertumbuhan tersebut, sehingga dapat menginduksi stem cell mesenkimal sumsum tulang menjadi sel Leydig yang dapat mensekresikan testosteron. Androgen berperan dalam diferensiasi sel Leydig Rodentia (Habert et al. 2001), demikian juga proses diferensiasi progenitor sel Leydig menjadi sel Leydig dewasa secara in vitro dipengaruhi oleh LH dan dihidrotestosteron (Mendis- Handagama & Ariyaratne 2001). Chemes et al. (1992) menyatakan bahwa stem cell mesenkimal dari pasien yang awalnya tidak sensitif terhadap androgen, jika dikultur dalam medium dengan penambahan hcg akan berdiferensiasi dan memproduksi testosteron, selain itu jumlah testosteron yang disekresikan oleh sel prekursor mesenkimal lebih rendah dibandingkan dengan kultur sel Leydig tikus dan manusia. Aktivitas 3 β- HSD dan produksi testosteron meningkat ketika hcg ditambahkan ke dalam medium kultur. Hal tersebut terjadi karena penambahan LH atau hcg diperlukan dalam proses perbanyakan dan diferensiasi sel Leydig (Saez 1994). Penambahan hcg pada medium kultur stem cell mesenkimal sumsum tulang dengan perlakuan CM sel Leydig menghasilkan testosteron dengan konsentrasi tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lain dan kontrol, tetapi menghasilkan konsentrasi protein yang lebih rendah. Hasil tersebut kemungkinan disebabkan adanya hcg yang menginduksi sel Leydig untuk lebih banyak mensekresikan testosteron daripada protein (Tabel 9). Pada penelitian ini, kultur stem cell mesenkimal yang dikultur dengan medium mengandung testosteron juga menghasilkan sel yang bereaksi positif (20,5 %) terhadap pewarnaan 3 β-hsd. Terjadi peningkatan testosteron sebesar 4,85 ng/ml dibandingkan dengan yang ditambahkan ke dalam medium yaitu sebesar 10 ng/ml. Hasil ini membuktikankan bahwa androgen (testosteron) juga dapat berperan dalam proses diferensiasi stem cell mesenkimal menjadi sel Leydig. Penambahan serum dilakukan sebagai tambahan nutrisi seperti asam lemak esensial dan kolesterol serta beberapa faktor seperti : IGF, EGF dan protein lainnya. Seedelar & Isaacs (2009) melaporkan bahwa terdapat kandungan testosteron di dalam bovine serum sebesar 1,2-7,5 ng/ml terutama pada serum yang dikoleksi pada saat setelah kelahiran sampai umur 1 tahun. Penemuan sel (4,5%) yang bereaksi positif terhadap 3 β- HSD di dalam kultur stem cell mesenkimal sumsum tulang pada kelompok kontrol kemungkinan disebabkan adanya hormon testosteron atau faktor lainnya di dalam serum yang digunakan. SIMPULAN 1. Conditioned medium kultur sel Leydig mengandung testosteron dan protein lainnya yaitu dengan BM mendekati 29 kda, kda dan kda. 2. Penggunaan CM Leydig sebagai medium kultur stem cell mesenkimal sumsum tulang menghasilkan sel yang positif terhadap pewarnaan spesifik 3β-HSD (sel Leydig), morfologi sel yang berbeda serta testosteron.

14 43 3. Penambahan hcg bersama-sama dengan CM kultur sel Leydig mampu meningkatkan jumlah sel Leydig dan sekresi testosteron di dalam medium kultur stem cell mesenkimal sumsum tulang. 4. CM sel Leydig dapat mengarahkan stem cell mesenkimal sumsum tulang mengalami transdiferensiasi menjadi sel Leydig. DAFTAR PUSTAKA Ariyaratne HBS, Mendis-Handagama SMLC, Hales DB, Mason JI Studies on the onset of Leydig precursor cell differentiation in the prepubertal rat testis. Biol Reprod 63 : Avallet O, Vigier M, Chatelain PG, Saez JM Regulation by growth factor of Leydig cell differentiated functions. J Steroid Biochem Mol Biol 40(1-3) : Bilinska B, Kotula-Balak M, Sadowska Morphology and function of human Leydig cells in vitro. Immunocytochemical and radioimmunological analyses. European J Histochem 53(1) : Caplan AI, Bruder SP Mesenchymal stem cells: building block for molecular medicine in the 21 st century. Trends Mol Med 7(6) : Chemes H, Cigorraga S, Bergada C, Schteingart, Rey R, Pellizzari Isolation of human Leydig cell mesenchymal precursors from patients with the androgen insensitivity syndrome: testosterone production and response to human chorionic gonadotropin stimulation in culture. Biol Reprod 46 : Cudicini C, Lejeune H, Gomez E, Bosmans E, Ballet F, Saez J, Jegou B Human Leydig cells and Sertoli cells are producers of Interleukins-1 and -6. J Clin Endocrin Metab 82 (5) : Djuwita I, Mohamad K, Prasetyaningtyas WE, Nurhidayat In vitro differentiation of adult rat bone marrow stromal cells into neurons using conditioned medium of newborn rat neuron primary culture. The Proceedings of the first Congress of South East Asia Veterinary School Association. Bogor, Indonesia. Hal Eguizabal C, Montserrat N, Veiga A, Belmonte JCI Dedifferentiation, transdifferentiation and reprogramming: Future direction in regenerative medicine. Sem Reprod Med 31: Halim D, Murti H, Sandra F, Boediono A, Djuwantono, dan Setiawan B Stem Cell. Dasar teori dan aplikasi klinis. Jakarta. Erlangga. Habert R, Lejeune H, Saez JM Origin, differentiation and regulation of fetal and adult Leydig cells. Mol Cell Endocrin 179 : Hardy MP, Kelce WR, Klinefelter GR, Ewing LL Differentiation of Leydig cell precursors in vitro : a role for androgen. Endocrin 127:

15 44 Kaiin EM, Djuwita I, Yusuf TL, Setiadi MA Development of in vitro culture of rat Leydig cells after purification with Nycodenz gradient. Open J Anim Sci 3 (4) : Kropf J, Schurek JO, Wollner A, AM Gressner Imunological measurement of transforming growth factor- beta I (TGF-βI) in blood, assay, development and comparison. Clin Chem 43(10) : Lakshmanan J, Salido EC, Lam R, Barrjas L, Fisher DA Identification of pro-epidermal growth factor and high molecular weight EGF in adult mouse urine. Biochem Biophysic Res Comm 173 (3) : Mendis-Handagama SMLC, Ariyaratne HBS Differentiation of the adult Leydig cell population in the postnatal testis. Biol Reprod 65 : Phinney DG, Prockop DJ Concise Review: Mesenchymal stem/multipotent stromal cells : The state of transdifferentiation and modes of tissue repair-current views. Stem Cells 25: Prentice DA Stem Cells and Cloning. San Francisco. Pearson Education Inc. Risbridger GP, Kerr JB, Peake R, Rich KA, de Kretser DM Temporal changes in rat Leydig cell function after the induction of bilateral cryptorchidism. J Reprod Fertil 63 : Saez JM Leydig cells: endocrine, paracrine, and autocrine regulation. Endocrine Rev 15(5): Sedelaar JPM, Isaacs JT Tissue culture media supplemented with 10% Fetal Calf Serum contains a castrate level of testosterone. Prostate 69 (16) : Song L, Tuan RS Transdifferentiation potential of human mesenchymal stem cell derived from bone marrow. FASEBJ 18 : Suarez-Quian, Niklinski Immunocytochemical localization of EGF receptor in mouse testis. Biol Reprod 43 : Sun J, Xi Y-B, Zhang Z-D, Shen P, Li H-Y, Yin M-Z, Li W-Y, Shi C-R Leydig cell transplantation restores androgen production in surgically castrated prepubertal rats. Asian J Androl 11: Woodbury D, Schwarz EJ, Prockop DJ, Black IB Adult rat and human bone marrow stromal cells differentiate into neurons. J Neurosci Res 61: Wu YJ, Dong Q, Li SF, Wei X, Long D, Zeng Y Differentiation of human bone marrow mesenchymal stem cells into Leydig or steroidogenic cells in vitro. Sichuan Da Xue Xue Bao Yi Xue Ban. 43(4):493-7, 506.(Abstract). Yazawa T, Mizutani T, Yamada K, Kawata H, Sekiguchi T, Yoshino M, Kajitani T, Shou Z, Umezawa A, Miyamoto K Differentiation of adults stem cells derived from bone marrow stroma into Leydig or adrenocortical cells. Endocrin 147(9) :

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kehidupan modern dewasa ini menyebabkan tingkat stress yang tinggi, sehingga menjadi salah satu faktor pemicu berkembangnya berbagai macam penyakit yang memerlukan penanganan

Lebih terperinci

OPTIMASI KULTUR IN VITRO DAN ANALISIS TESTOSTERON MEDIUM KULTUR SEL LEYDIG TIKUS HASIL PURIFIKASI DENGAN GRADIEN NYCODENZ ABSTRAK

OPTIMASI KULTUR IN VITRO DAN ANALISIS TESTOSTERON MEDIUM KULTUR SEL LEYDIG TIKUS HASIL PURIFIKASI DENGAN GRADIEN NYCODENZ ABSTRAK 8 OPTIMASI KULTUR IN VITRO DAN ANALISIS TESTOSTERON MEDIUM KULTUR SEL LEYDIG TIKUS HASIL PURIFIKASI DENGAN GRADIEN NYCODENZ ABSTRAK Penggunaan gradien Nycodenz yang bersifat non toksik untuk isolasi dan

Lebih terperinci

KAJIAN IN VITRO KULTUR SEL DAN CONDITIONED MEDIUM SEL LEYDIG TIKUS DAN PERANANNYA TERHADAP DIFERENSIASI STEM CELL MESENKIMAL SUMSUM TULANG

KAJIAN IN VITRO KULTUR SEL DAN CONDITIONED MEDIUM SEL LEYDIG TIKUS DAN PERANANNYA TERHADAP DIFERENSIASI STEM CELL MESENKIMAL SUMSUM TULANG KAJIAN IN VITRO KULTUR SEL DAN CONDITIONED MEDIUM SEL LEYDIG TIKUS DAN PERANANNYA TERHADAP DIFERENSIASI STEM CELL MESENKIMAL SUMSUM TULANG EKAYANTI MULYAWATI KAIIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KONSENTRASI, KEMURNIAN, DAN VIABILITAS SEL LEYDIG HASIL PURIFIKASI DENGAN GRADIEN NYCODENZ DAN KULTUR IN VITRO

KONSENTRASI, KEMURNIAN, DAN VIABILITAS SEL LEYDIG HASIL PURIFIKASI DENGAN GRADIEN NYCODENZ DAN KULTUR IN VITRO Jurnal Kedokteran Hewan ISSN : 1978-225X Ekayanti M. Kaiin, dkk KONSENTRASI, KEMURNIAN, DAN VIABILITAS SEL LEYDIG HASIL PURIFIKASI DENGAN GRADIEN NYCODENZ DAN KULTUR IN VITRO Concentration, Purity, and

Lebih terperinci

KONSENTRASI, KEMURNIAN DAN VIABILITAS SEL LEYDIG HASIL PURIFIKASI DENGAN GRADIEN NYCODENZ DAN KULTUR IN VITRO ABSTRAK

KONSENTRASI, KEMURNIAN DAN VIABILITAS SEL LEYDIG HASIL PURIFIKASI DENGAN GRADIEN NYCODENZ DAN KULTUR IN VITRO ABSTRAK 6 KONSENTRASI, KEMURNIAN DAN VIABILITAS SEL LEYDIG HASIL PURIFIKASI DENGAN GRADIEN NYCODENZ DAN KULTUR IN VITRO ABSTRAK Peran sel Leydig sebagai penghasil hormon testosteron di dalam tubuh jantan diketahui

Lebih terperinci

PENGARUH CONDITIONED MEDIUM RAT EMBRYONIC FIBROBLAST

PENGARUH CONDITIONED MEDIUM RAT EMBRYONIC FIBROBLAST i PENGARUH CONDITIONED MEDIUM RAT EMBRYONIC FIBROBLAST (CM-REF) DENGAN DAN TANPA LEUKEMIA INHIBITORY FACTOR (LIF) DALAM MEDIUM TERHADAP TINGKAT PROLIFERASI DAN SIFAT PLURIPOTENSI MESENCHYMAL STEM CELL

Lebih terperinci

DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI NEURON MENGGUNAKAN CONDITIONED MEDIUM RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI

DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI NEURON MENGGUNAKAN CONDITIONED MEDIUM RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI NEURON MENGGUNAKAN CONDITIONED MEDIUM RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN ORISINALITAS Dengan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2011 s.d. Februari 2012. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi Fisiologi dan

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah eksperimental laboratorik. Penanaman sel ke 96-wells plate. Uji Viabilitas Sel

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah eksperimental laboratorik. Penanaman sel ke 96-wells plate. Uji Viabilitas Sel BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah eksperimental laboratorik. 4.2 Alur Penelitian Kultur Sel dari Penyimpanan Nitrogen Cair Inkubasi selama 48 jam dalam inkubator dengan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Rancangan Percobaan Metode Penelitian Koleksi Blastosis

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Rancangan Percobaan Metode Penelitian Koleksi Blastosis METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari September 2006 sampai dengan Mei 2007, di Laboratorium Embriologi dan Laboratorium Histologi, Departemen Anatomi, Fisiologi,

Lebih terperinci

Lampiran 1 Pembuatan Medium Kultur DMEM Lampiran 2 Pembuatan Larutan PBS Lampiran 3 Prosedur Pewarnaan HE

Lampiran 1 Pembuatan Medium Kultur DMEM Lampiran 2 Pembuatan Larutan PBS Lampiran 3 Prosedur Pewarnaan HE LAMPIRAN Lampiran 1 Pembuatan Medium Kultur DMEM Medium kultur DMEM merupakan medium Dulbecco s Modified Eagle s Medium (DMEM; Sigma) yang telah dimodifikasi dengan penambahan asam amino non-esensial (AANE;

Lebih terperinci

POTENSI TRANSDIFERENSIASI SEL FIBROBLAS MENJADI SEL SARAF SECARA IN VITRO

POTENSI TRANSDIFERENSIASI SEL FIBROBLAS MENJADI SEL SARAF SECARA IN VITRO P-ISSN : 1978-225X; E-ISSN : 2502-5600 POTENSI TRANSDIFERENSIASI SEL FIBROBLAS MENJADI SEL SARAF SECARA IN VITRO Transdifferentiation Potency of Fibroblast Cell to Neuron Cell in Vitro Ekayanti M. Kaiin

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. digunakan adalah penelitian Posttest Only Control Design ( Gliner,2000 ) dengan kultur in

BAB IV METODE PENELITIAN. digunakan adalah penelitian Posttest Only Control Design ( Gliner,2000 ) dengan kultur in BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian Eksperimental, dengan rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian Posttest Only Control Design ( Gliner,2000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses di berbagai Negara. Saat ini penggunaan terapi stem cell menjadi

BAB I PENDAHULUAN. proses di berbagai Negara. Saat ini penggunaan terapi stem cell menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penelitian mengenai Stem cell masih memasuki tahap proses di berbagai Negara. Saat ini penggunaan terapi stem cell menjadi terobosan baru dalam upaya pengobatan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. SURAT PERNYATAAN... iii. PRAKATA... iv. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. SURAT PERNYATAAN... iii. PRAKATA... iv. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii SURAT PERNYATAAN... iii PRAKATA... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL... x DAFTAR SINGKATAN... xi INTISARI... xiv BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN D. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan adalah rendang iradiasi yang memiliki waktu penyinaran yang berbeda-beda (11 November 2006, DIPA 14 Juni 2007, dan no label 14 Juni

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 28 BAB 5 HASIL PENELITIAN Sel galur HSC-3 dan HSC-4 yang telah dikultur dan jaringan mukosa mulut normal dilakukan purifikasi (ekstraksi) protein dengan menggunakan kit Trizol (Invitrogen) sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. ahli medis, bahkan orang awam diseluruh penjuru dunia. Sesuai dengan kata yang

BAB I. PENDAHULUAN. ahli medis, bahkan orang awam diseluruh penjuru dunia. Sesuai dengan kata yang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini, stem sel telah menjadi topik utama pembicaraan banyak ilmuwan, ahli medis, bahkan orang awam diseluruh penjuru dunia. Sesuai dengan kata yang menyusunnya

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Pertumbuhan dan Peremajaan Isolat Pengamatan Morfologi Isolat B. thuringiensis

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Pertumbuhan dan Peremajaan Isolat Pengamatan Morfologi Isolat B. thuringiensis 13 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, IPB, dari bulan Oktober 2011 Mei 2012. Bahan Isolasi untuk memperoleh isolat B. thuringiensis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. primer sel otak fetus hamster ini merupakan penelitian eksperimental yang

BAB III METODE PENELITIAN. primer sel otak fetus hamster ini merupakan penelitian eksperimental yang 32 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian peran vitamin E (alpha tokoferol) terhadap proliferasi kultur primer sel otak fetus hamster ini merupakan penelitian eksperimental yang

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2006 hingga Agustus 2007. Penangkapan polen dilakukan di kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan dan analisa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian Pengaruh Vitamin E (α-tocoferol) Terhadap Kerusakan,

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian Pengaruh Vitamin E (α-tocoferol) Terhadap Kerusakan, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian Pengaruh Vitamin E (α-tocoferol) Terhadap Kerusakan, Viabilitas, dan Abnormalitas Kultur Primer Sel Paru-Paru Fetus Hamster Yang Dipapar Etanol

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor selama 3 bulan, terhitung

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian 3.2 Metode Penelitian Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci sebagai Hewan Coba

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian 3.2 Metode Penelitian Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci sebagai Hewan Coba 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Immunologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kandang Terpadu, Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan Penelitian. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan Penelitian. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2010 sampai dengan Januari 2011. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi Fisiologi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode B. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah sampel DNA koleksi hasil

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2014 di Green

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2014 di Green BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2014 di Green House dan Laboratorium Genetika dan Molekuler jurusan Biologi Fakultas Sains dan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian 14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010. Penelitian dilakukan di kandang pemeliharaan hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI SPERMATOZOA PASCA KAPASITASI TERHADAP TINGKAT FERTILISASI IN VITRO

PENGARUH KONSENTRASI SPERMATOZOA PASCA KAPASITASI TERHADAP TINGKAT FERTILISASI IN VITRO PENGARUH KONSENTRASI SPERMATOZOA PASCA KAPASITASI TERHADAP TINGKAT FERTILISASI IN VITRO (The Effects of Spermatozoa Concentration of Postcapacity on In Vitro Fertilization Level) SUMARTANTO EKO C. 1, EKAYANTI

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimental murni laboratoris in vitro. B. Sampel Penelitian Subjek penelitian ini adalah Human Dermal Fibroblast,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Morfologi Sel Fibroblas dalam Kultur In Vitro Hasil pengamatan kultur sel otot fetus tikus menunjukkan secara morfologi adanya dua bentuk sel, yakni sel fibrosit, berbentuk spindel

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 23 HASIL DAN PEMBAHASAN Kultur Primer Cardiomyocyte Cardiomyocyte yang digunakan dalam kultur primer dikoleksi dari jantung mencit neonatal umur 1-3 hari. Pemakaian sumber jantung mencit neonatal dikarenakan

Lebih terperinci

ABSTRAK APLIKASI SEL-SEL INDUK (STEM CELLS) DALAM TERAPI

ABSTRAK APLIKASI SEL-SEL INDUK (STEM CELLS) DALAM TERAPI ABSTRAK APLIKASI SEL-SEL INDUK (STEM CELLS) DALAM TERAPI Bramantyo Pamugar Tutor I : Sylvia Soeng, dr., MKes Tutor II: Teresa Liliana W., S.Si Penggunaan sel induk dalam terapi berbasis sel adalah salah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai distributor beban gaya yang bekerja pada tulang subkondral yang terletak

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai distributor beban gaya yang bekerja pada tulang subkondral yang terletak digilib.uns.ac.id 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kartilago artikuler merupakan satu jaringan yang unik dengan fungsi sebagai distributor beban gaya yang bekerja pada tulang subkondral yang

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI Halaman : 1 dari 5 ISOLASI TOTAL DNA HEWAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan hewan, dapat dari insang, otot, darah atau jaringan

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI ISOLASI TOTAL DNA TUMBUHAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA PHYTOPURE Halaman : 1 dari 5 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan tumbuhan, dapat dari daun, akar, batang,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan November 2006 sampai dengan Januari 2008. Penelitian bertempat di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Pembuatan Ekstrak Bligo (mengacu Sugito 2010)

III. METODOLOGI Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Pembuatan Ekstrak Bligo (mengacu Sugito 2010) III. METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Febuari 2010 sampai April 2010, bertempat Laboratorium Bersama Hewan Percobaan Departemen ITP dan SEAFAST CENTER IPB, Laboratorium Kimia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bioteknologi reproduksi merupakan teknologi unggulan dalam memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di dalamnya pemanfaatan proses rekayasa fungsi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. asiatica L.) terhadap Pertumbuhan Sel Hepar Baby hamster yang Dipapar 7.12-

BAB III METODE PENELITIAN. asiatica L.) terhadap Pertumbuhan Sel Hepar Baby hamster yang Dipapar 7.12- BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian tentang Pengaruh Ekstrak Pegagan (Centella asiatica L.) terhadap Pertumbuhan Sel Hepar Baby hamster yang Dipapar 7.12- dimetilbenz(α)antrasen

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN BAB 5 HASIL PENELITIAN Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sel-sel pulpa hasil subkultur dari kultur primer sel pulpa gigi sehat. Gambaran mikroskopis kultur sel primer dan subkultur sel-sel

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan α-amilase merupakan enzim yang mempunyai peranan penting dalam bioteknologi saat ini. Aplikasi teknis enzim ini sangat luas, seperti pada proses likuifaksi pati pada proses produksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe-tipe Sel yang Tumbuh dan Berkembang dalam Kultur

HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe-tipe Sel yang Tumbuh dan Berkembang dalam Kultur yaitu tingkat proliferasi, PDT dan panjang akson-dendrit dianalisis menggunakan metoda statistik T-test dengan tingkat kepercayaan 95%. HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe-tipe Sel yang Tumbuh dan Berkembang dalam

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat Penelitian telah dilaksanakan di laboratorium BKP Kelas II Cilegon untuk metode pengujian RBT. Metode pengujian CFT dilaksanakan di laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh Vitamin E (α-tokoferol) terhadap persentase

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh Vitamin E (α-tokoferol) terhadap persentase BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang pengaruh Vitamin E (α-tokoferol) terhadap persentase kerusakan, viabilitas, dan abnormalitas sel yang dipapar etanol pada kultur sel

Lebih terperinci

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2007 sampai dengan bulan Juli 2008 di Laboratorium Bersama Hewan Percobaan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian murni yang dilakukan dengan metode deskriptif, yaitu suatu metode penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan

Lebih terperinci

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN. 1.Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN. 1.Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 9 II. MATERI DAN METODE PENELITIAN 1.Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1.1. Materi Penelitian 1.1.1. Alat Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah cawan petri, tabung reaksi, autoklaf Hirayama,

Lebih terperinci

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN 17 BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, dan Laboratorium Terpadu, Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata Linn) terhadap kultur primer sel

BAB III METODE PENELITIAN. pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata Linn) terhadap kultur primer sel BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian yang berjudul pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata Linn) terhadap kultur primer sel hepar

Lebih terperinci

Lampiran 1. DATA SHEET : RIBAVIRIN (Bertrand 2000 dalam McEvoy 2005)

Lampiran 1. DATA SHEET : RIBAVIRIN (Bertrand 2000 dalam McEvoy 2005) 36 LAMPIRAN 37 Lampiran 1. DATA SHEET : RIBAVIRIN (Bertrand 2000 dalam McEvoy 2005) Nilai toksisitas Non-Manusia : Rat LD50 oral 5,3 g / kg; Mouse LD50 oral 2 g / kg; Ip Mouse LD50 0,9-1,3 g / kg; LD50

Lebih terperinci

METODE. A. Peremajaan Salmonella sp. B. Verifikasi Salmonella sp.

METODE. A. Peremajaan Salmonella sp. B. Verifikasi Salmonella sp. METODE Alur Penelitian Alur penelitian dan metode yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 6 tahapan, yaitu: peremajaan bakteri Salmonella sp., verifikasi bakteri Salmonella sp., isolasi fage,

Lebih terperinci

Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri. Isolasi DNA kromosom bakteri. Kloning DNA

Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri. Isolasi DNA kromosom bakteri. Kloning DNA LAMPIRAN 15 15 Lampiran 1 Tahapan penelitian Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri Isolasi DNA kromosom bakteri Pemotongan DNA dengan enzim restriksi Kloning DNA Isolasi DNA plasmid hasil

Lebih terperinci

Lampiran 1 Rancangan penelitian

Lampiran 1 Rancangan penelitian LAMPIRAN 18 19 Lampiran 1 Rancangan penelitian Cacing tanah E. foetida dewasa Kering oven vakum (Setiawan) Tepung cacing kering Ekstraksi buffer dan sentrifugasi Ekstrak kasar protease Salting-out dengan

Lebih terperinci

EFEK CENDAWAN ULAT CINA

EFEK CENDAWAN ULAT CINA ABSTRAK EFEK CENDAWAN ULAT CINA (Cordyceps sinensis [Berk.] Sacc.) TERHADAP KADAR INTERLEUKIN 1 PADA MENCIT (Mus musculus L.) YANG DIINDUKSI PARASETAMOL Banu Kadgada Kalingga Murda, 2009. Pembimbing I

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan Juni 2013 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan Juni 2013 di 25 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan Juni 2013 di Laboratorium Kimia Anorganik FMIPA Universitas Lampung. Analisis senyawa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) Terhadap Berat Badan, Berat Testis, dan Jumlah Sperma Mencit

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Proliferasi Berdasarkan Population Doubling Time (PDT) Population Doubling Time (PDT) adalah waktu yang diperlukan oleh populasi sel untuk menjadikan jumlahnya dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan

BAB I PENDAHULUAN. Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan biokimia dijelaskan sebagai penyakit pada pria tua dengan level serum testosteron di bawah parameter

Lebih terperinci

Kata kunci : sel punca, darah tali pusat, FcγRIIb, Reseptor Fc, Imunoglobulin

Kata kunci : sel punca, darah tali pusat, FcγRIIb, Reseptor Fc, Imunoglobulin ABSTRAK EKSPRESI FC γ RIIB YANG DIISOLASI DARI SEL PUNCA DARAH TALI PUSAT Elvine, 2009 Pembimbing I : Caroline Tan Sardjono,dr., PhD Pembimbing II: DR. Susi Tjahjani,dr., M.Kes Penggunaan sel punca sebagai

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Bioindustri, Pusat

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Bioindustri, Pusat BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Bioindustri, Pusat Teknologi Bioindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (LTB- PTB-BPPT)-Serpong.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Sampel yang akan diuji kemudian dimasukkan ke dalam sumuran-sumuran cawan ELISA sesuai dengan pola yang telah ditentukan. Setiap sumuran cawan berisi sebanyak 100 μl sampel. Cawan ELISA kemudian diinkubasi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian 12 METODE PEELITIA Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan April 2010, bertempat di Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba 17 III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama delapan bulan yang dimulai pada bulan Mei sampai dengan bulan Desember 2010. Penelitian dilakukan di kandang Mitra Maju yang beralamat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. terhadap proliferasi sel ginjal fetus hamster yang dikultur primer merupakan

BAB III METODE PENELITIAN. terhadap proliferasi sel ginjal fetus hamster yang dikultur primer merupakan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang peran pemberian vitamin E dalam media DMEM terhadap proliferasi sel ginjal fetus hamster yang dikultur primer merupakan penelitian

Lebih terperinci

ABSTRAK. Pembimbing I : Caroline Tan Sardjono, dr., Ph.D. Pembimbing II : Lusiana Darsono, dr., M.Kes.

ABSTRAK. Pembimbing I : Caroline Tan Sardjono, dr., Ph.D. Pembimbing II : Lusiana Darsono, dr., M.Kes. ABSTRAK DETEKSI Fc RI PADA STEM CELL YANG DIISOLASI DARI DARAH TEPI Cynthia Winarto, 2009. Pembimbing I : Caroline Tan Sardjono, dr., Ph.D. Pembimbing II : Lusiana Darsono, dr., M.Kes. Penelitian terhadap

Lebih terperinci

II. METODELOGI PENELITIAN

II. METODELOGI PENELITIAN II. METODELOGI PENELITIAN 2.1 Metode Pengumpulan Data 2.1.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di UPT Laboratorium Biosain dan Bioteknologi Universitas Udayana. Penelitian ini berlangsung

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan poguntano (Picria fel-terrae Lour.)

Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan poguntano (Picria fel-terrae Lour.) Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan poguntano (Picria fel-terrae Lour.) Lampiran 2. Gambar daun poguntano (Picria fel-terrae Lour.) a Keterangan: a. Gambar daun poguntano b. Gambar simplisia daun poguntano

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi bidang ilmu Biokimia dan Farmakologi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 19 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2010 di Laboratorium Mikrobiologi, Biokimia dan Bioteknologi Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil

Lebih terperinci

BAB III BAHAN, ALAT DAN METODA

BAB III BAHAN, ALAT DAN METODA 15 BAB III BAHAN, ALAT DAN METODA 3.1 BAHAN Lactobacillus acidophilus FNCC116 (kultur koleksi BPPT yang didapatkan dari Universitas Gajah Mada), Bacillus licheniformis F11.4 (kultur koleksi BPPT yang didapatkan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 26 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah Ilmu Imunologi. 4.2. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat pemeliharaan dan intervensi hewan coba

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Alat dan Bahan

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Januari 2009 dan selesai pada bulan November 2009. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Bioteknologi II, Departemen

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Rancangan Perlakuan Penelitian ini terdiri dari enam perlakuan yang masing-masing diberi 3 kali ulangan. Perlakuan yang diberikan berupa perendaman dengan dosis relhp berbeda yaitu

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi enzim fibrinolitik Cacing tanah P. excavatus merupakan jenis cacing tanah yang agresif dan tahan akan kondisi pemeliharaan yang ekstrim. Pemeliharaan P. excavatus dilakukan

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI DAN PRODUKSI ENERGI MITOKONDRIA SEL-SEL TROFOBLAS BLASTOSIS MENCIT(Mus musculus albinus) ROZA HELMITA

POLA DISTRIBUSI DAN PRODUKSI ENERGI MITOKONDRIA SEL-SEL TROFOBLAS BLASTOSIS MENCIT(Mus musculus albinus) ROZA HELMITA POLA DISTRIBUSI DAN PRODUKSI ENERGI MITOKONDRIA SEL-SEL TROFOBLAS BLASTOSIS MENCIT(Mus musculus albinus) ROZA HELMITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FAKULTAS FARMASI UGM

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FAKULTAS FARMASI UGM Hal. 1 dari 8 Dokumen nomor : 0301301 Tanggal : Mengganti nomor : 0201300 Tanggal : 24 Maret 2009 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJU OLEH Jabatan Staf Staf Supervisor Pimpinan Paraf

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN BAB 5 HASIL PENELITIAN Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sel pulpa yang merupakan hasil subkultur dari kultur primer sel pulpa gigi sehat. Gambaran mikroskopis kultur sel primer dan subkultur

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN METODE KULTUR EMBRYONIC STEM CELLS DARI EMBRIO HASIL FERTILISASI DAN PRODUKSINYA DARI EMBRIO PARTENOGENETIK MENCIT THOMAS MATA HINE

PENGEMBANGAN METODE KULTUR EMBRYONIC STEM CELLS DARI EMBRIO HASIL FERTILISASI DAN PRODUKSINYA DARI EMBRIO PARTENOGENETIK MENCIT THOMAS MATA HINE PENGEMBANGAN METODE KULTUR EMBRYONIC STEM CELLS DARI EMBRIO HASIL FERTILISASI DAN PRODUKSINYA DARI EMBRIO PARTENOGENETIK MENCIT THOMAS MATA HINE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimental yaitu penelitian yang didalamnya terdapat perlakuan untuk memanipulasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 39 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif. Penelitian membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2013 sampai dengan Juni 2013. Lokasi pengambilan sampel rumput laut merah (Eucheuma cottonii) bertempat di Perairan Simpenan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian yang dilakukan oleh dr.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian yang dilakukan oleh dr. BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian yang dilakukan oleh dr. Tiwuk Susantiningsih, M.Biomed mengenai pengaruh pemberian ekstrak etanol daun sirsak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 1 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian dasar yang menggunakan metode eksperimental. Penelitian eksperimen merupakan penelitian dimana variabel yang

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai Juni 2013 di Laboratorium

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai Juni 2013 di Laboratorium 22 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai Juni 2013 di Laboratorium Kimia Anorganik FMIPA Universitas Lampung. Analisis senyawa menggunakan

Lebih terperinci

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN. 1.Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN. 1.Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 9 II. MATERI DAN METODE PENELITIAN 1.Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1.1 Materi Penelitian 1.1.1 Alat Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah autoklaf (Hirayama), autoklaf konvensional,

Lebih terperinci

ABSTRAK EFEK DOSIS EKSTRAK ETANOL KULIT MANGGIS

ABSTRAK EFEK DOSIS EKSTRAK ETANOL KULIT MANGGIS ABSTRAK EFEK DOSIS EKSTRAK ETANOL KULIT MANGGIS (Garcinia mangostana L.) TERHADAP JUMLAH SEL SERTOLI DAN LEYDIG TIKUS (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR Penyusun NRP Pembimbing I Pembimbing II : Alvian Andriyanto

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang dilaksanakan dengan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dua faktor yaitu faktor kombinasi larutan enzim

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 individu udang Jari yang diambil dari Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.

Lebih terperinci

PROSEDUR TETAP UJI KOMBINASI DENGAN AGEN KEMOTERAPI

PROSEDUR TETAP UJI KOMBINASI DENGAN AGEN KEMOTERAPI Halaman 1 dari 7 FARMASI UGM Dokumen nomor : 0201300 Tanggal : 24 Maret 2009 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJUI OLEH Jabatan Staf Staf Supervisor Pimpinan Paraf Nama Aditya Fitriasari

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan September Januari 2016 di

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan September Januari 2016 di 13 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2015 - Januari 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan Fakultas Peternakan dan Pertanian, dan Laboratorium Terpadu Universitas

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Departemen Farmasi FMIPA UI dari Januari 2008 hingga Mei 2008.

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Departemen Farmasi FMIPA UI dari Januari 2008 hingga Mei 2008. BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Fitokimia dan Farmakologi Departemen Farmasi FMIPA UI dari Januari 2008 hingga Mei 2008. B. BAHAN DAN ALAT

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorium. Penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorium. Penelitian ini 40 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorium. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan post-test control design group. Penelitian ini menggunakan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang 11 MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Juni 2010 sampai dengan Juni 2011. Penelitian dilakukan di kandang FKH-IPB. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, terlihat adanya ketertarikan pada polypeptide growth factor

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, terlihat adanya ketertarikan pada polypeptide growth factor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, terlihat adanya ketertarikan pada polypeptide growth factor (PGFs) sebagai mediator biologis dalam proses regenerasi periodontal. Bahan-bahan tersebut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada 4 April 2016 sampai 16 Agustus 2016. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Riset Kimia Material dan Hayati Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikarenakan luka bakar menyebabkan cedera kronis yang bersifat nonhealing,

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikarenakan luka bakar menyebabkan cedera kronis yang bersifat nonhealing, BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Luka bakar merupakan salah satu cedera yang sangat beresiko. Hal ini dikarenakan luka bakar menyebabkan cedera kronis yang bersifat nonhealing, yang pada kondisi lebih

Lebih terperinci

PENGARUH EKSTRAK DAUN SUKUN

PENGARUH EKSTRAK DAUN SUKUN ABSTRAK PENGARUH EKSTRAK DAUN SUKUN (Artocarpus altilis, Park. Fsb.) TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA MENCIT GALUR SWISS-WEBSTER YANG DIINDUKSI ALOKSAN Elizabeth Tanuwijaya, 2007. Pembimbing

Lebih terperinci