BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA SURAKARTA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA SURAKARTA"

Transkripsi

1 BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA SURAKARTA A. Aspek Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang sangat kompleks, bukan hanya terkait dengan masalah pendapatan, tetapi juga menyangkut kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang, baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin. Cara pandang yang berbeda akan menentukan pemahaman tentang kondisi, sifat dan konteks kemiskinan, bagaimana sebab-sebab kemiskinan dapat diidentifikasi, dan bagaimana masalah kemiskinan dapat diatasi. Agar upaya penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan secara tepat, hal pertama yang harus dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif. 1. Pengertian Kemiskinan Jika dikaitkan dengan masalah kepemilikan (proper) kemiskinan dapat dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Sementara dalam arti luas, kemiskinan merupakan suatu fenomena yang multi aspek (multi face) yang mencakup dimensi-dimensi: (i) Kemiskinan (proper); (ii) Ketidakberdayaan (powerless); (iii) Kerentanan dalam menghadapi situasi darurat (state of emergency); (iv) Ketergantungan (dependence); dan (v) Keterasingan (isolation), baik secara geografis maupun sosiologis (Suryawati, 2005: 122). BKKBN mengartikan kemiskinan sebagai keluaga miskin Pra Sejahtera yang tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya; tidak mampu makan 2 (dua) kali sehari; tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja dan bepergian; bagian terluas rumah berlantai tanah; dan tidak mampu membawa anggota keluarganya ke sarana kesehatan. Pengertian ini kemudian digunakan untuk mendefinisikan Keluarga Miskin, yaitu (Tim Crescent, 2003: 5): (i) Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging ikan/telur, (ii) Setahun sekali seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang 1 (satu) setel pakaian baru, dan (iii) Luas lantai rumah paling kurang 8 m 2 untuk tiap penghuni. Sedang pengertian Keluarga Miskin Sekali, yaitu keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi

2 salah satu atau lebih yang meliputi (Tim Crescent, 2003: 5-6): (i) Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 kali atau lebih, (ii) Anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian, dan (iii) Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah. Kemiskinan juga terkait dengan masalah budaya, dimana menurut Oscar Lewis, budaya kemiskinan adalah gaya hidup yang khas, yang berkembang di sebagian besar lapisan masyarakat miskin dan cara hidupnya sangat berbeda dengan lapisan masyarakat lainnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa budaya kemiskinan adalah: (i) Masyarakat itu miskin, karena budaya dalam diri masyarakat tersebut, (ii) Masyarakat tidak terangsang untuk menyelenggarakan pembangunan, jadi sifatnya fatalism, (iii) Tidak ada tantangan untuk maju, (iv) Tidak mampu melihat hari esok dengan baik, dan (v) Cepat putus asa dalam menghadapi masalah. Sementara menurut John Kenneth Galbraith, budaya kemiskinan adalah cara penyesuaian yang sangat realistis terhadap keputusasaan. Budaya miskin dan kemiskinan merupakan proses saling memperkuat, semakin lebar putarannya/lingkarannya, akan semakin lebar kemiskinannya. Di lain pihak, Bill Waren (1982) telah menjelaskan bahwa ketergantungan adalah pengkondisian struktur kemiskinan. Sedang kemiskinan adalah hasil dari atau sama dengan keterbelakangan. Pembangunan dan keterbelakangan merupakan bagian yang terpisah (Pradhanawati, 2008). Kebijakan pemerintah dalam menentukan jumlah dan persentase penduduk miskin, menggunakan perhitungan yang berdasarkan tingkat pengeluaran per kapita. Mereka yang memiliki tingkat pengeluaran lebih randah dari Garis Kemiskinan (GK) dikategorikan miskin. Garis kemiskinan, yang merupakan standar kebutuhan dasar tersebut terdiri atas 2 (dua) komponen, yaitu batas kecukupan makanan dan non makanan. GK ini pada prinsipnya adalah suatu standar minimum yang diperlukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Dengan perkataan lain, GK adalah nilai pengeluaran untuk kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan per kapita per bulan. Dalam konsep Bappenas (2004), kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang

3 atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar terdiri dari hak-hak yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Hakhak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya. 2. Jenis-Jenis Kemiskinan Nasikun (2001) dalam Suryawati (2005: 122) membagi kemiskinan ke dalam 4 (empat) bentuk, yaitu: a. Kemiskinan Absolut. Suatu keluarga dikatakan berada dalam kemiskian absolut, bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kemiskinan absolut diukur dengan menggunakan garis kemiskinan yang konstan sepanjang waktu yang biasanya berupa jumlah atau nilai pendapatan dan unit uang. Namun ukuran bisa pula berbentuk jumlah konsumsi kalori, atau lainnya, yang memungkinkan adanya perbedaan jumlah atau nilai perbedaan pendapatan dalam unit uang. Parameter ini merupakan ukuran yang tetap dan kriteria pengukuran seperti itu diperoleh dari pendekatan yang digunakan, yaitu pendekatan biologis dan pendekatan kebutuhan dasar. b. Kemiskinan Relatif. Kondisi miskin yang disebabkan oleh pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau kepada seluruh lapisan masyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya ketimpangan pada pendapatan, antarsatu daerah/wilayah dengan daerah/wilayah lainnya. Berbeda dengan kemiskinan absolut, kemiskinan relatif pada dasarnya menunjuk pada perbedaan relatif tingkat kesejahteraan antarkelompok

4 masyarakat. Mereka yang berada di lapis terbawah dalam persentil derajat kemiskinan suatu masyarakat digolongkan sebagai penduduk miskin. Dengan kategorisasi seperti ini, dapat saja mereka yang digolongkan sebagai miskin sebenarnya sudah dapat mencukupi hak-hak dasarnya, namun tingkat keterpenuhinya masih berada di lapisan terbawah. c. Kemiskinan Kultural. Jenis kemiskinan ini, mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti: tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar, dan sebagianya. d. Kemiskinan Struktural. Situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan. Sedang Owin Jarnasi (2004) dalam Suryawati (2005: 122) menyatakan bahwa kemiskinan struktural lebih banyak menjadi sorotan sebagai penyebab tumbuh dan berkembangnya ketiga kemiskinan yang lain (absolut, relatif dan kultural). Sementara M. Mas oed (1997) dalam Suryawati (2005: 122) membedakan kemiskinan menjadi 2 (dua) yaitu: a. Kemiskinan Alamiah. Kemiskinan alamiah berkaitan dengan kelangkaan sumber daya alam dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang tandus. b. Kemiskinan Buatan. Kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi atau pembangunan yang membuat masyarakat tidak dapat menguasai sumber daya, sarana, dan fasilitas ekonomi yang ada secara merata. 3. Karakteristik Kemiskinan Pada tahun 1976, tepatnya saat pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Ekonomi Perencanaan FE-UI Jakarta pada 14 Pebruari 1976, Emil Salim pernah menjelaskan mengenai ciri-ciri penduduk miskin, yaitu (Salim, 1976: 12-3): a. Sebagian terbesar penduduk miskin tinggal di perdesaan. Hal ini sangat terkait dengan mata pencahariannya, yang sebagian

5 besar adalah buruh tani yang tidak memiliki tanah sendiri. Kalaupun ada yang memiliki tanah, luasnya tidak seberapa dan tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidup yang layak. b. Penduduk miskin pada umumnya adalah penganggur atau setengah penganggur. Kalau ada pekerjaan sifatnya tidak teratur, atau pekerjaan tersebut tidak memberi pendapatan yang memadahi bagi tingkat hidup yang wajar. Mereka ini ada, baik di perkotaan maupun di perdesaan. c. Penduduk miskin biasanya berusaha sendiri dengan menyewa peralatan dari orang lain. Sifat usaha ini kecil atau usaha rumah tangga dan sangat terbatas karena tidak adanya modal untuk mendukung usahanya. Banyak dijumpai di perkotaan, tetapi dapat juga dijumpai di perdesaan. d. Kebanyakan penduduk miskin tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah. Rendahnya pendidikan sering berdampak pada kurangnya kesempatan untuk memperoleh jumlah yang cukup akan bahan kebutuhan pokok, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan dan komunikasi serta fasilitas kesejahteraan sosial lainnya. Dari ciri-ciri tersebut, dapat disimpulkan bahwa hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan yang rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti: tingkat kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri. Emil Salim dalam Alfian, dkk (1980: 35) juga telah mengungkapkan bahwa hal-hal yang tidak dimiliki oleh Penduduk Miskin, adalah: (i) Mutu tenaga kerja yang tinggi; (ii) Jumlah modal yang memadahi; (iii) Luas tanah dan sumber alam yang cukup; (iv) ketrampilan dan keahlian yang cukup tinggi; (v) kondisi fisik jasmaniah dan rohaniah yang cukup baik; serta (vi) lingkungan hidup yang memungkinkan perubahan dan kemajuan. 4. Penyebab Kemiskinan Nasikun (2001) dalam Suryawati (2005: 123) telah menyoroti beberapa sumber dan proses penyebab terjadinya kemiskinan, yaitu:

6 a. Policy Induces Processes: proses pemiskinan yang dilestarikan, direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan (induced of policy) di antaranya adalah kebijakan antikemiskinan, tetapi realitanya justru melestarikan kemiskinan. b. Socio-Economic Dualism: negara eks-koloni mengalami kemiskinan karena pola produksi kolonial, yaitu petani menjadi marjinal karena tanah yang paling subur dikuasai oleh petani skala besar dan berorientasi ekspor. c. Population Growth: perspektif yang didasari pada teori Malthus bahwa pertambahan penduduk seperti deret ukur sedang pertambahan pangan seperti deret hitung. d. Recources Management and the Environment: adanya unsur mis management sumber daya alam dan lingkungan, seperti manajemen pertanian yang asal tebang akan menurunkan produktivitas. e. Natural Cycles and Processes: kemiskinan terjadi karena siklus alam. Misalnya, tinggal di lahan kritis, di mana lahan ini jika turun hujan akan terjadi banjir tetapi jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan produktivitas yang maksimal dan terus-menerus. f. The Marginalization of Woman: peminggiran kaum perempuan karena perempuan masih dianggap sebagai golongan kelas kedua, sehingga akses dan penghargaan hasil kerja yang diberikan lebih rendah dari laki-laki. g. Cultural and Ethnic Factors: bekerjanya faktor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan. Misalnya, pola hidup konsumtif para petani dan nelayan ketika panen raya, serta adat istiadat yang konsumtif saat upacara adat atau keagamaan. h. Explotative Intermediation: keberadaan penolong yang menjadi penodong, seperti rentenir (lintah darat). i. Internal Political Fragmentation and Civil Stratfe: suatu kebijakan yang diterapkan pada suatu daerah yang fragmentasi politiknya kuat, dapat menjadi penyebab kemiskinan. j. International Processes: bekerjanya sistem-sistem internasional (kolonialisme dan kapitalisme) membuat banyak negara menjadi semakin miskin.

7 Selain beberapa faktor di atas, penyebab kemiskinan di masyarakat disebabkan oleh keterbatasan aset yang dimiliki, yaitu (Nasikun (2001) dalam Suryawati, 2005: 123): a. Natural Assets: seperti tanah dan air, karena sebagian besar masyarakat hanya menguasai lahan yang kurang memadai untuk mata pencahariannya. b. Human Assets: menyangkut kualitas sumber daya manusia yang relatif masih rendah (tingkat pendidikan, pengetahuan, keterampilan maupun tingkat kesehatan dan penguasaan teknologi). c. Physical Assets: minimnya akses ke infrastruktur dan fasilitas umum, seperti: jaringan jalan, listrik, dan komunikasi. d. Financial Assets: berupa tabungan (saving), serta akses untuk memperoleh modal usaha. e. Social Assets: berupa jaringan, kontak dan pengaruh politik, dalam hal ini kekuatan bargaining position dalam pengambilan keputusan-keputusan politik. Merujuk pada dokumen Bappenas (2005: 70) tentang Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, penyebab kemiskinan bersumber dari ketidakberdayaan dan ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi hak-hak dasar; kerentanan masyarakat menghadapi persaingan, konflik dan tindak kekerasan; lemahnya penanganan masalah kependudukan; ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender; dan kesenjangan pembangunan yang menyebabkan masih banyaknya wilayah yang dikategorikan tertinggal dan terisolasi. Masalah kemiskinan juga memiliki spesifikasi yang berbeda antar wilayah perdesaan, perkotaan, serta permasalahan khusus di kawasan pesisir dan kawasan tertinggal. Ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi hak-hak dasar secara umum berkaitan dengan kegagalan kepemilikan aset terutama tanah dan modal; terbatasnya jangkauan layanan dasar terutama kesehatan dan pendidikan; terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana pendukung; rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal masyarakat; lemahnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan publik; pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan, tidak berwawasan lingkungan dan kurang melibatkan

8 masyarakat; kebijakan pembangunan yang bersifat sektoral, berjangka pendek dan parsial; serta lemahnya koordinasi antarinstansi dalam menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar. 5. Program-Program Penanggulangan Kemiskinan Selama pemerintahan Orde Baru (ORBA) telah ada beberapa program yang dicanangkan untuk menanggulangi kemiskinan, yang antara lain dalam bentuk: Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Tabungan Kesejahteraan Keluarga (TAKESRA) dan juga Kredit Usaha Kesejahteraan Keluarga (KUKESRA). IDT memiliki sasaran penduduk miskin yang ada di desa-desa tertinggal, sedang TAKESRA dan KUKESRA memiliki sasaran penduduk miskin yang berada di luar lokasi desa-desa tertinggal. Sasarannya dibatasi pada keluarga yang masuk dalam kategori Keluarga Prasejahtera (KP) dan Keluarga Sejahtera I (KS-I), hasil survei yang dilakukan oleh Badan Kesejahteraan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Sejak tahun 1994, BKKBN mengembangkan indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga dengan menggunakan indikator ekonomi, indikator kesehatan, indikator gizi, dan indikator sosial. Hasil dari penelitian tersebut dapat memetakan kesejahteraan dalam tingkatan dan ketegori: (i) Keluarga Prasejahtera (KP), (ii) Keluarga Sejahtera I (KS-I), (iii) Keluarga Sejahtera II (KS-II), dan (iv) Keluarga Sejahtera III Plus (KS-III Plus). Keluarga yang masuk kategori miskin adalah KP dan KS-I. Gambaran selengkapnya, antara lain dapat dilihat pada Sulistiani (2004: 35) dan juga Tim Crescent (2003: 5-6). Sementara, terkait dengan perbedaan kebijakan-kebijakan dalam penanggulangan kemiskinan (IDT, P3DT, PPK, P2KP, PDMDKE, PARUL, dan PSEM), dapat dilihat pada Sumodiningrat (2007: 72-6 [Tabel 4]). Upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya oleh pemerintah daerah, dilakukan melalui dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD). SPKD merupakan dokumen strategi penanggulangan kemiskinan daerah yang digunakan sebagai rancangan kebijakan pembangunan daerah di bidang penanggulangan kemiskinan dalam proses penyusunan RPJMD pada tahun-tahun selanjutnya. Penyusunan SPKD dilakukan di setiap daerah, baik di provinsi, kabupaten maupun kota. Pihak yang

9 bertanggungjawab dalam menyusun SPKD adalah Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Daerah. Selanjutnya, melalui TKPK Daerah dibentuk Tim Penyusun SPKD yang keanggotaannya melibatkan berbagai elemen dari lintas pelaku (multi-stakeholders). SPKD merupakan representasi dari strategi dan prinsip penanggulangan kemiskinan nasional. Secara konseptual, substansi SPKD harus disesuaikan dengan kondisi faktual di masing-masing daerah sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh daerah. Strategi penanggulangan kemiskinan sebagaimana yang telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 15 Tahun 2010), mempuyai tujuan: (i) mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin, (ii) meningkatkan kemampuan dan pendapatan masyarakat miskin, (iii) mengembangkan dan menjamin keberlanjutan Usaha Mikro dan Kecil (UMK), dan (iv) membentuk sinergi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan. Sementara, prinsip utama dalam penanggulangan kemiskinan yang komprehensif, ditempuh melalui: (i) perbaikan dan pengembangan sistem perlindungan sosial, (ii) pningkatan akses pelayanan dasar, (iii) pemberdayaan kelompok masyarakat miskin, dan (iv) pembangunan yang inklusif. Dalam hal penangggulangan kemiskinan di bidang ekonomi, maka segenap upaya harus dilakukan agar kaum miskin tetap mendapatkan bagian dari kue perencanaan (baca: PDRB atau Produk Domestik Bruto) yang merupakan hasil pelaksanaan program-program pembangunan. Dengan identifikasi penduduk miskin sudah merujuk nama dan alamat (by name by address), akan ditemukan umur penduduk miskin yang bisa dikategorikan ke dalam: (i) Usia belum produktif (0-14 tahun). (ii) Usia produktif (15-55 tahun), dan (iii) usia di atas produktif (di atas 55 tahun). Sasaran pelaksanaan program-program pembangunan sebaiknya disesuaikan dengan kelompok umur, di mana untuk kelompok usia produktif harus lebih diutamakan. Kerangka pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan dari bidang ekonomi, selengkapnya dapat dilihat pada gambar berikut.

10 Aktivitas/Kegiatan Ekonomi (PDRB) Fasilitator Pelaku usaha (Masy) Pembiayaan Pendamping Usaha Aktivitas/Kegiatan Ekonomi (PDRB) Keb. Dasar (sesuai umur) CSR/PKBL Keu. Mikro Pasar dan Keterkaitan industri Peningkatan Pendapatan Kaum Menengah dan Kaya Bayar Pajak Keuangan Mikro Akses Modal Teknologi Tepat Guna Pelatihan Mgt Usaha Tabungan Modal Usaha Modal Manusia (Pendidikan, Kesehatan, dll) Keterampilan Anggaran Publik (APBN/APBD) Infrastruktur Publik Jalan, jembatan Pengolahan SDA Pembenahan Kelembagaan Gambar 2.1 Kerangka Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Bidang Ekonomi B. Profil Kemiskinan Sebelum menjelaskan profil kemiskinan di Kota Surakarta akan dipaparkan terlebih dahulu kondisi kependudukan pada beberapa kurun waktu terakhir. Dari Tabel 3.1 dapat dilihat bahwa selama tahun , jumlah penduduk di Kota Surakarta mengalami fluktuasi naik - turun pada kisaran angka sekitar jiwa. Jumlah penduduk yang pada tahun 2004 mencapai jiwa, pada tahun 2011 turun menjadi sekitar jiwa. Penduduk perempuan selalu lebih dominan, jika dibanding dengan penduduk laki-laki. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya Rasio Jenis Kelamin (sex ratio) yang kurang dari 100. Gambaran jumlah penduduk di Kota Surakarta, selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

11 Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Kota Surakarta Menurut Jenis Kelamin Tahun Tahun Jenis Kelamin Sex Jumlah Rasio Jenis Kelamin Year Laki-Laki Perempuan Total Sex Ratio Male Female (1) (2) (3) (4) (5) , , , , , , , ,68 Sumber: BPS Kota Surakarta (2012). Surakarta Dalam Angka Tahun 2011/ 2012 Jika dirinci menurut kecamatan, jumlah penduduk yang paling banyak ada di Kecamatan Banjarsari, yang pada tahun 2011 mencapai sebesar jiwa, sedang kecamatan dengan penduduk paling sedikit adalah Kecamatan Serengan, yaitu sekitar jiwa. Kecamatan Banjarsari juga merupakan wilayah dengan luas terbesar (sekitar 14,81 km 2 ). Gambaran jumlah penduduk di Kota Surakarta berdasar pembagian wilayah kecamatan, selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.2 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Rasio Jenis Kelamin dan Tingkat Kepadatan Tiap Kecamatan di Kota Surakarta 2011 Rasio Jumlah Penduduk Luas Jenis Tingkat Number of Population Kecamatan Wilayah Kelamin Kepadatan District Area (km 2 ) Laki-Laki Male Perempuan Female Jumlah Total Sex Ratio (%) Population Density (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Laweyan 8, , Serengan 3, , Pasar Kliwon 4, , Jebres 12, , Banjarsari 14, , Jumlah 44, , Sumber: BPS Kota Surakarta (2012). Surakarta Dalam Angka Tahun 2011/ 2012 Jika dilihat dari sisi penduduk dalam kategori angkatan kerja dan bukan angkatan kerja, dari Tabel 2.3 dan Gambar 2.2 dapat dilihat bahwa hingga tahun 2011, jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang jumlahnya jiwa, sebanyak jiwa merupakan angkatan kerja

12 dan sisanya sebanyak jiwa masuk kategori bukan angkatan kerja. Gambaran, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.3. Sementara jika dilihat berdasar jenis kelamin, sebagian besar penduduk di Kota Surakarta yang bekerja adalah laki-laki (sekitar 75,78%), termasuk juga yang menganggur masih dominan yang laki-laki (sekitar 8,82%), sedang sebagian besar bukan angkatan kerja dalam kategori mengurus rumah tangga adalah wanita (sekitar 30,19%). Penjelasan selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.2. Tabel 2.3 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas menurut Usia Kerja dan Jenis Kelamin di Kota Surakarta Tahun 2011 Penduduk Usia Kerja Laki-Laki Perempuan Jumlah % Jumlah % Jumlah (1) (2) (3) (4) (5) (6) Angkatan Kerja , , Bekerja , , Pengangguran , , Bukan Angkatan Kerja , , Sekolah , , Mengurus Rumah Tangga , , Lainnya , , Jumlah , , Sumber: BPS Kota Surakarta (2012). Surakarta Dalam Angka Tahun 2011/ 2012 Gambar 2.2 Perbandingan Persentase Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas menurut Usia Kerja dan Jenis Kelamin di Kota Surakarta Tahun 2011 Sumber: BPS Kota Surakarta (2012). Surakarta Dalam Angka Tahun 2011/ 2012

13 Untuk kategori penduduk miskin, perkembangan jumlah penduduk miskin di Kota Surakarta dalam tahun juga menunjukkan adanya fluktuasi yang naik turun, di mana jumlah penduduk miskin yang pada tahun 2002 sejumlah jiwa atau sekitar 14,23% pada tahun 2010; telah meningkat menjadi sejumlah jiwa atau sekitar 13,98%. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.4 Penduduk Miskin Kota Surakarta Tahun Tahun Jumlah (orang) Persentase (1) (2) (3) , , , , , , , , ,98 Sumber: BPS Kota Surakarta (2012). Surakarta Dalam Angka Tahun 2011/ 2012 Di lain pihak, jika penduduk miskin di Kota Surakarta dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota yang lain di Jawa Tengah, data dalam dokumen SPKD Provinsi Jawa Tengah, menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Kota Surakarta (sebesar 13,96%) bersama dengan Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Pati, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Kendal, dan Kabupaten Batang (9 Kabupaten/kota) termasuk dalam kategori kedua (menengah), yaitu kabupaten/kota dengan tingkat kemiskinan di atas angka nasional (besarnya 13,33% pada bulan Maret tahun 2010) namun di bawah angka provinsi (besarnya 16,11% pada bulan Juli tahun 2010). Posisi tingkat kemiskinan di Kota Surakarta dibanding kabupaten/kota lain di Jawa Tengah dapat dilihat pada Gambar berikut.

14 Gambar 2.3 Perbandingan Tingkat Kemiskinan Antara Masing-Masing Kabupaten/Kota, Provinsi dan Nasional Tahun 2010 Sumber: Dokumen SPKD Provinsi Jawa Tengah. Dari Gambar 2.3 di atas dapat dilihat bahwa Kota Surakarta yang digambarkan dengan diagram batang warna kuning, masuk kategori menengah, yaitu posisi tingkat kemiskinan penduduk berada di atas angka kemiskinan tingkat Nasional, namun berada di bawah angka kemiskinan Provinsi Jawa Tengah. Tingkat kemiskinan di Kota Surakarta yang masih relatif tinggi, secara perlahan harus bisa diturunkan dan bisa masuk dalam kategori pertama, yaitu masuk jajaran kabupaten/kota dengan tingkat kemiskinan berada di bawah angka Nasional yaitu sebesar 13,33% pada bulan Maret tahun Di Provinsi Jawa Tengah ada 10 (sepuluh) kabupaten/kota yang masuk kategori pertama (tingkat kemiskinan rendah), yaitu: (i) Kabupaten Sukoharjo, (ii) Kabupaten Kudus, (iii) Kabupaten Jepara, (iv) Kabupaten Semarang, (v) Kabupaten Tegal, (vi) Kota Magelang, (vii) Kota Salatiga, (viii) Kota Semarang, (ix) Kota Pekalongan, dan (x) Kota Tegal. Dengan membagi Garis Kemiskinan, menjadi: (i) Kategori Rendah, (ii) Kategori Sedang, dan (iii) Kategori Tinggi; Kota Surakarta masuk dalam kategori Garis Kemiskinan Tinggi. Garis Kemiskinan Tinggi adalah garis kemiskinan di kabupaten/kota yang berada di atas garis kemiskinan Nasional (bulan Maret 2010 sebesar Rp ,00/kapita/bulan). Ada 17

15 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah yang masuk dalam kategori Garis Kemiskinan Tinggi, yaitu: Kabupaten Banyumas, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Brebes, Kota Magelang, Kota Surakarta (sebesar Rp ,-/kapita/bulan dan menempati urutan teratas di Provinsi Jawa Tengah), Kota Salatiga, Kota Semarang, Kota Pekalongan, dan Kota Tegal. Adapun perbandingan Garis Kemiskinan (Rp/Kap/Bln) se-eks Karesidengan Surakarta Tahun 2010 adalah sebagai berikut. Gambar 2.4 Garis Kemiskinan (Rp/Kap/Bln) se-eks Karesidenan Surakarta Tahun 2010 Sementara itu, tingkat kemiskinan di Kota Surakarta berdasar hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) Tahun 2011, menunjukkan bahwa jumlah Rumah Tangga Sasaran (RTS) sebesar Kepala Keluarga (KK), dan jika dihitung secara individu atau jumlah Anggota Rumah Tangga (ART) sebesar jiwa. Jumlah keseluruhan penduduk miskin di Kota Surakarta berdasar RTS dan ART berdasar wilayah kecamatan dan kelurahan, dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.5 Rumah Tangga Sasaran (RTS) di Kota Surakarta Hasil PPLS Tahun 2008 dan Tahun 2011 Berdasar Wilayah Kecamatan dan Kelurahan (dalam satuan KK: Kepala Keluarga) No. Kecamatan dan Kelurahan Perubahan (1) (2) (3) (4) (5) I. Kec. Laweyan 01. Pajang ,44% 02. Laweyan ,26% 03. Bumi ,21% 04. Panularan ,71%

16 No. Kecamatan dan Kelurahan Perubahan (1) (2) (3) (4) (5) 05. Sriwedari ,29% 06. Penumping ,06% 07. Purwosari ,14% 08. Sondakan ,88% 09. Kerten ,86% 10. Jajar ,76% 11. Karangasem ,71% II. Jumlah ,52% Kec. Serengan 01. Joyontakan ,01% 02. Danukusuman ,69% 03. Serengan ,23% 04. Tipes ,53% 05. Kratonan ,12% 06. Jayengan ,12% 07. Kemlayan ,61% III Jumlah ,89% Kec. Pasar Kliwon 01. Joyosuran ,66% 02. Semanggi ,31% 03. Pasar Kliwon ,47% 04. Baluwarti ,27% 05. Gajahan ,75% 06. Kauman ,50% 07. Kampung Baru ,08% 08. Kedung Lumbu ,73% 09. Sangkrah ,78% IV Jumlah ,41% Kec. Jebres 01. Kepatihan Kulon ,93% 02. Kepatihan Wetan ,58% 03. Sudiroprajan ,00% 04. Gandekan ,72% 05. Sewu ,92% 06. Pucang Sawit 788 1, ,76% 07. Jagalan ,50% 08. Purwodiningratan ,82% 09. Tegal Harjo ,84% 10. Jebres ,19% 11. Mojosongo ,27% Jumlah ,44%

17 No. Kecamatan dan Kelurahan Perubahan (1) (2) (3) (4) (5) V. Kec. Banjarsari 01. Mangkubumen ,68% 02. Timuran ,26% 03. Keprabon ,90% 04. Ketelan ,91% 05. Punggawan ,19% 06. Kestalan ,13% 07. Setabelan ,45% 08. Gilingan ,49% 09. Manahan ,25% 10. Sumber ,38% 11. Nusukan ,76% 12. Kadipiro ,73% 13. Banyuanyar ,85% Jumlah ,10% Kota Surakarta ,23% Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011). Dengan meringkas Tabel 2.5 berdasar wilayah kecamatan, dari 5 (lima) kecamatan yang ada Kota Surakarta, Kecamatan Banjarsari mempunyai jumlah penduduk miskin yang diukur dengan satuan Rumah Tangga Sasaran (RTS), menempati peringkat yang paling tinggi, yaitu sejumlah KK. Gambaran selengkapnya lihat tabel berikut ini. Tabel 2.6 Rumah Tangga Sasaran (RTS) di Kota Surakarta Hasil PPLS Tahun 2008 dan Tahun 2011 Berdasar Wilayah Kecamatan (dalam satuan KK: Kepala Keluarga) No. Kecamatan Perubahan (1) (2) (3) (4) (5) 1. Laweyan ,52% 2. Serengan ,89% 3. Pasar Kliwon ,41% 4. Jebres ,44% 5. Banjarsari ,10% Kota Surakarta ,23% Sumber: Diolah dari Tabel 2.5

18 Di lain pihak, dengan merinci jumlah Rumah Tangga Sasaran (RTS) ke dalam keseluruhan jumlah Anggota Rumah Tangga (ART) di Kota Surakarta yang dibagi berdasar wilayah kecamatan dan kelurahan, dapat dilihat bahwa pada tahun 2011 jumlah keseluruhan RTS yang mencapai KK jika dirinci menjadi ART secara keseluruhan mencapai sejumlah jiwa. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.7 Anggota Rumah Tangga (ART) di Kota Surakarta Hasil PPLS Tahun 2008 dan Tahun 2011 Berdasar Wilayah Kecamatan dan Kelurahan (dalam satuan jiwa / orang) No. Kecamatan dan Kelurahan Perubahan (1) (2) (3) (4) (5) I. Kec. Laweyan 01. Pajang ,27% 02. Laweyan ,02% 03. Bumi ,15% 04. Panularan ,05% 05. Sriwedari ,81% 06. Penumping ,35% 07. Purwosari ,35% 08. Sondakan ,34% 09. Kerten ,03% 10. Jajar ,54% 11. Karangasem ,46% II. Jumlah ,26% Kec. Serengan 01. Joyontakan ,53% 02. Danukusuman ,64% 03. Serengan ,03% 04. Tipes ,25% 05. Kratonan ,31% 06. Jayengan ,64% 07. Kemlayan ,15% III. Jumlah ,58% Kec. Pasar Kliwon 01. Joyosuran ,67% 02. Semanggi ,96% 03. Pasar Kliwon ,45% 04. Baluwarti ,90% 05. Gajahan ,73% 06. Kauman ,30% 07. Kampung Baru ,50% 08. Kedung Lumbu ,11%

19 No. Kecamatan dan Kelurahan Perubahan (1) (2) (3) (4) (5) 09. Sangkrah ,59% IV. Jumlah ,51% Kec. Jebres 01. Kepatihan Kulon ,18% 02. Kepatihan Wetan ,38% 03. Sudiroprajan ,14% 04. Gandekan ,202 74,12% 05. Sewu ,94% 06. Pucang Sawit ,48% 07. Jagalan ,69% 08. Purwodiningratan ,57% 09. Tegal Harjo ,54% 10. Jebres ,44% 11. Mojosongo ,51% Jumlah ,40% V. Kec. Banjarsari 01. Mangkubumen ,48% 02. Timuran ,06% 03. Keprabon ,10% 04. Ketelan ,50% 05. Punggawan ,60% 06. Kestalan ,30% 07. Setabelan ,00% 08. Gilingan ,52% 09. Manahan ,36% 10. Sumber ,74% 11. Nusukan ,63% 12. Kadipiro ,08% 13. Banyuanyar ,09% Jumlah ,20% Kota Surakarta ,79% Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011). Dengan meringkas Tabel 2.7 berdasar wilayah kecamatan, dari 5 (lima) kecamatan yang ada Kota Surakarta, Kecamatan Banjarsari mempunyai jumlah penduduk miskin dalam satuan Anggota Rumah Tangga (ART) yang paling banyak, yaitu sejumlah jiwa / orang. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

20 Tabel 2.8 Anggota Rumah Tangga (ART) di Kota Surakarta Hasil PPLS Tahun 2008 dan Tahun 2011 Berdasar Wilayah Kecamatan (dalam satuan jiwa / orang) No. Kecamatan Perubahan (1) (2) (3) (4) (5) 1. Laweyan ,26% 2. Serengan ,58% 3. Pasar Kliwon ,51% 4. Jebres ,40% 5. Banjarsari ,20% Kota Surakarta ,79% Sumber: Diolah dari Tabel 2.7 Dengan membagi Rumah Tangga Sasaran (RTS) atau Anggota Rumah Tangga (ART) di Kota Surakarta menurut status kesejahteraannya, maka bedasar basis data terpadu untuk Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011), dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kategori, yaitu: a. Kelompok 1, merupakan sekelompok Rumah Tangga Sasaran (RTS) atau Anggota Rumah Tangga (ART) dengan kondisi status kesejahteraan sampai dengan 10% terendah di Indonesia. b. Kelompok 2, merupakan sekelompok Rumah Tangga Sasaran (RTS) atau Anggota Rumah Tangga (ART) dengan kondisi status kesejahteraan antara 11% - 20% terendah di Indonesia. c. Kelompok 3, merupakan sekelompok Rumah Tangga Sasaran (RTS) atau Anggota Rumah Tangga (ART) dengan kondisi status kesejahteraan antara 21% - 30% terendah di Indonesia. Hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011) berdasar Informasi Status Kesejahteraan Rumah Tangga Sasaran (RTS) di Kota Surakarta, menunjukkan bahwa dengan jumlah keseluruhan sebanyak KK, untuk kelompok 2 dan kelompok 3 mempunyai jumlah yang sama, yaitu sebanyak KK, sedang untuk kelompok 1 sebanyak KK. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.9 Informasi Status Kesejahteraan Rumah Tangga Sasaran (RTS) di Kota Surakarta (dalam satuan KK) No. Kecamatan Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 TOTAL (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. Laweyan Serengan

21 Pasar Kliwon Jebres Banjarsari Kota Surakarta Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011). Sementara itu, Status Kesejahteraan Anggota Rumah Tangga (ART) di Kota Surakarta, menunjukkan bahwa dengan jumlah keseluruhan sebanyak orang / jiwa, untuk kelompok 1 berjumlah orang, untuk kelompok 2 berjumlah orang, dan untuk kelompok 3 berjumkah orang. Gambaran selengkapnya lihat tabel berikut. Tabel 2.10 Informasi Status Kesejahteraan Anggota Rumah Tangga (ART) di Kota Surakarta (dalam satuan orang / jiwa) No. Kecamatan Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 TOTAL (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjarsari Kota Surakarta Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011). Pada bagian berikut akan diuraikan dan dipaparkan kondisi kemiskinan di Kota Surakarta berdasar data PPLS Tahun 2011 yang disusun berdasar 5 (lima) bidang pembangunan, yaitu: (i) Bidang Pendidikan, (ii) Bidang Kesehatan, (iii) Bidang Prasarana Dasar, (iv) Bidang Ketenagakerjaan, dan (v) Bidang Ketahanan Pangan. Penjelasan lebih lanjut, selengkapnya akan dibahas pada bagian berikut. 1. Bidang Pendidikan a. Indikator Indikator bidang pendidikan secara umum mencakup: (i) Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI, (ii) Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP/MTs, (iii) Angka Partisipasi Murni (APM) SMP/MTs, (iv) Angka Putus Sekolah Umur 7 12 tahun, dan juga (v) angka buta huruf. Gambaran Indikator Utama, Konsep/Definisi dan Interpretasi Hasil

22 Pembangunan di Bidang Pendidikan, selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.11 Indikator Utama, Konsep/Definisi dan Interpretasi Hasil Pembangunan di Bidang Pendidikan INDIKATOR UTAMA Angka Partisipasi Kasar (APK) (%) Angka Partisipasi Murni (APM) (%) Angka putus sekolah Angka buta huruf KONSEP/DEFINISI INTEPRETASI (1) (2) (3) Perbandingan antara jumlah murid pada jenjang pendidikan tertentu (SD, SLTP, SLTA, dan sebagainya), tanpa memandang usianya, dengan penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai. Nilai APK bisa lebih dari 100% karena terdapat murid yang berusia di luar usia resmi sekolah (karena terlalu cepat mendaftar, terlambat mendaftar atau mengulang), terletak di daerah kota, atau terletak pada daerah perbatasan (murid bertempat tinggal di luar daerah dimana mereka bersekolah) Perbandingan antara jumlah siswa kelompok usia sekolah pada jenjang pendidikan tertentu (SD, SLTP, SLTA) dengan penduduk usia sekolah yang sesuai Perbandingan antara jumlah murid putus sekolah pada jenjang pendidikan tertentu (SD, SLTP, SLTA, dan sebagainya) dengan jumlah murid pada jenjang pendidikan tertentu Proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang tidak mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya, tanpa harus mengerti apa yang dibaca/ditulisnya, terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas Semakin tinggi angka ini semakin banyak anak usia sekolah yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan di suatu daerah, atau semakin tinggi daya serap pendidikan pada jenjang itu terhadap penduduk, tanpa memandang usia di daerah yang bersangkutan. Semakin tinggi angka ini semakin banyak anak usia sekolah yang bersekolah di suatu daerah pada jenjang pendidikan tertentu, atau semakin tinggi daya serep pendidikan pada jenjang itu terhadap anak usia sekolah di daerah yang bersangkutan. Nilai ideal APM adalah 100% Semakin tinggi angka ini semakin banyak siswa yang putus sekolah di suatu jenjang pendidikan pada suatu wilayah, atau semakin rendah tingkat kontinyuitas pendidikan masyarakat pada jenjang yang dimaksud Semakin tinggi angka ini semakin rendah tingkat keterbukaan masyarakat di suatu daerah terhadap pengetahuan. Juga menunjukkan semakin tidak efektif pendidikan dasar (program keaksaraan) di daerah yang bersangkutan Sumber: Panduan Analisis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, TNP2K, 2012.

23 b. Data Pendukung Jumlah anak yang bersekolah di Kota Surakarta berdasar wilayah kecamatan yang pada saat survei masih berstatus bersekolah; dapat dilihat bahwa dominasi anak di Kota Surakarta, baik yang berjenis kelamin perempuan maupun laki-laki masih dominan pada usia sekolah SD hingga SMP, dengan jumlah total mencapai siswa atau sekitar 85,80% dari keseluruhan anak pada tahun 2011 yang sedang bersekolah. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel. Tabel 2.12 Jumlah Anak yang Bersekolah di Kota Surakarta pada Tahun 2011 Kecamatan Usia 7-12 Usia Usia P L P L P L TOTAL (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjarsari Kota Surakarta Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011). Sementara itu, jumlah anak yang yang tidak bersekolah, yang pada saat survei dilaksanakan belum bersekolah dan/atau tidak lagi bersekolah, menunjukkan bahwa anak usia tahun (usia setelah lulus SLTA) menunjukkan jumlah yang relatif dominan. Gambaran kondisi anak yang tidak bersekolah di Kota Surakarta, dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.13 Jumlah Anak yang Tidak Bersekolah di Kota Surakarta pada Tahun 2011 Kecamatan Usia 7-12 Usia Usia P L P L P L TOTAL (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjarsari Kota Surakarta Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

24 Jika dilihat dari jenis pendidikan yang sedang ditempuh oleh penduduk di Kota Surakarta dengan pendidikan SD dan yang sederajat, berdasar data PPLS Tahun 2011 berjumlah orang, dengan dominasi yang besar ada di Kecamatan Banjarsari, yaitu sejumlah orang. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.14 Jumlah Anak yang Bersekolah Jenjang Pendidikan SD dan yang Sederajat di Kota Surakarta Tahun 2011 Kecamatan SD / SDLB / Paket A M. Ibtidaiyah P L P L TOTAL (1) (2) (3) (4) (5) (6) Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjarsari Kota Surakarta Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011). Jika dilihat dari jenis pendidikan yang sedang ditempuh oleh penduduk di Kota Surakarta, dengan pendidikan SLTP/SMP dan yang sederajat berdasar data PPLS Tahun 2011 berjumlah orang, dengan jumlah yang besar berada di Kecamatan Banjarsari, yaitu sejumlah orang. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.15 Jumlah Anak yang Bersekolah Jenjang Pendidikan SLTP/SMP dan yang Sederajat di Kota Surakarta Tahun 2011 Kecamatan SMPT/SMPLB/Paket B M. Tsanawiyah P L P L TOTAL (1) (2) (3) (4) (5) (6) Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjarsari Kota Surakarta Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011). Untuk jenjang pendidikan yang sedang ditempuh oleh penduduk di Kota Surakarta, dengan pendidikan SLTA/SMA dan yang sederajat

25 berdasar data PPLS Tahun 2011 berjumlah orang, dengan jumlah yang besar berada di Kecamatan Banjarsari, yaitu sejumlah orang. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.16 Jumlah Anak yang Bersekolah Jenjang Pendidikan SLTA/SMA dan yang Sederajat di Kota Surakarta Tahun 2011 Kecamatan SMA/SMK/SMALB/ Paket C M. Aliyah TOTAL P L P L (1) (2) (3) (4) (5) (6) Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjarsari Kota Surakarta Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011). Untuk jenjang pendidikan yang sedang ditempuh oleh penduduk di Kota Surakarta, dengan pendidikan setingkat perguruan tinggi, berdasar data PPLS Tahun 2011 berjumlah 797 orang, dengan jumlah yang besar berada di Kecamatan Banjarsari, yaitu sejumlah 286 orang. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.17 Jumlah Anak yang Bersekolah Jenjang Pendidikan Perguruan Tinggi di Kota Surakarta Tahun 2011 Kecamatan P Perguruan Tinggi L TOTAL (1) (2) (2) (3) Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjarsari Kota Surakarta Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011). c. Kondisi dan Implementasi 1) Jumlah anak di Kota Surakarta berdasar PPLS Tahun 2011 yang berstatus masih sekolah sebagian besar berada pada usia jenjang pendidikan SD dan SMP (Pendidikan Dasar).

26 Siswa yang sedang menempuh pendidikan SD dan yang sederajat berjumlah sekitar orang, sedang yang menempuh pendidikan SLTP dan yang sederajat berjumlah orang. Dengan kondisi yang demikian perhatian pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan harus memberi bobot dan porsi yang besar untuk peningkatan kualitas pendidikan dasar. 2) Jumlah anak di Kota Surakarta berdasar PPLS Tahun 2011 yang berstatus belum dan/atau tidak bersekolah sebagian besar berada pada usia jenjang pendidikan tamatan SLTA, yaitu sejumlah berjenis kelamin perempuan dan sejumlah berjenis kelamin laki-laki. Berdasar pada kondisi yang demikian maka program-program pelatihan yang berbasis pada penempatan tenaga kerja, sebaiknya diorientasikan pada penduduk yang se-usia lulusan SLTA / SMA ke atas. 2. Bidang Kesehatan a. Indikator Indikator bidang kesehatan secara umum meliputi: (i) Angka Kematian Bayi (AKB) (per kelahiran hidup), (ii) Angka kematian Balita (AKBA) (per kelahiran hidup), (iii) Angka Kematian Ibu Melahirkan (Per kelahiran hidup, (iv) Prevalensi Balita Kekurangan Gizi (%), (v) Penduduk dengan keluhan kesehatan (%), (vi) Angka Morbiditas (%), dan (vii) Persentase Penduduk sakit dengan pengobatan sendiri (%). Gambaran Indikator Utama, Konsep/Definisi dan Interpretasi Hasil Pembangunan di Bidang Pendidikan, selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.18 Indikator Utama, Konsep/Definisi dan Interpretasi Hasil Pembangunan di Bidang Kesehatan INDIKATOR KONSEP/DEFINISI INTEPRETASI UTAMA (1) (2) (3) Angka Kematian Bayi (AKB) (per kelahiran hidup) AKB adalah banyaknya bayi yang meninggal sebelum mencapai usia 1 tahun AKB per kelahiran hidup pada tahun yang sama. Nilai normatif AKB kurang dari 40 sangat sulit diupayakan penurunannya (hard rock), antara tergolong sedang namun Semakin tinggi angka ini semakin tinggi tingkat kelangsungan hidup anak, dan juga semakin tinggi kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan anak-anak bertempat tinggal, termasuk

27 INDIKATOR KONSEP/DEFINISI INTEPRETASI UTAMA (1) (2) (3) Angka kematian Balita (AKBA) (per kelahiran hidup) Angka Kematian Ibu Melahirkan (Per kelahiran hidup Prevalensi Balita Kekurangan Gizi (%) Penduduk dengan keluhan kesehatan (%) Angka Morbiditas (%) Persentase Penduduk sakit dengan pengobatan sendiri (%) sulit untuk diturunkan, dan lebih besar dari 70 tergolong mudah untuk diturunkan AKBA adalah jumlah anak yang dilahirkan pada tahun tertentu dan meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun, dinyatakan sebagai angka per kelahiran hidup. Nilai normatif Akaba > 140 sangat tinggi, antara sedang, dan < 20 rendah Banyaknya wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan atau penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau kasus insidentil) selama kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari setelah melahirkan) tanpa memperhitungkan lama kehamilan per kelahiran hidup. AKI diperhitungkan pula pada jangka waktu 6 minggu hingga setahun setelah melahirkan Perbandingan antara balita berstatus kurang gizi dengan balita seluruhnya. Prevalensi status gizi balita diperoleh melalui indeks berat badan, umur, dan jenis kelamin. Kategori status gizi ditentukan dengan menggunakan standar NCHS-WHO, yang dibagi menjadi 4 kelas berdasarkan Z-score, yaitu: (1) Gizi lebih (Z-score >= +2) (2) Gizi normal (-2 < Z-score < +2) (3) Gizi kurang (-3 < Z-score < -2) (4) Gizi buruk (Z-score <=-3) Persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan, yaitu gangguan terhadap kondisi fisik maupun jiwa termasuk kearen kecelakaan atau hal lain Persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan, yaitu gangguan terhadap kondisi fisik maupun jiwa, termasuk karena kecelakaan atau hal lain, yang menyebabkan terganggunya aktivitas sehari-hari Perbandingan antara jumlah penduduk sakit yang diobati sendiri dengan jumlah penduduk yang mengalami keluhan sakit, yang menyebabkan aktivitasnya terganggu pemeliharaan kesehatannya Semakin tinggi angka ini, semakin tinggi tingkat kelangsungan hidup anak, dan juga semakin tinggi kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan anak-anak bertempat tinggal, termasuk pemeliharaan kesehatannya. Semakin tinggi angka ini semakin tinggi kematian yang terkait dengan kehamilan. AKI dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk status kesehatan secara umum, pendidikan dan pelayanan selama kehamilan dan melahirkan Semakin tinggi prevalensi ini, semakin tinggi risiko kematian yang dihadapi oleh anak (balita), dan semakin besar pula hambatan bagi pertumbuhan dan peningkatan status kesehatannya Semakin tinggi persentase ini semakin rendah derajat kesehatan masyarakat Semakin tinggi persentase ini semakin rendah derajat kesehatan masyarakat, dan semakin terganggu kelancaran aktivitas masyarakat akibat masalah kesehatan Semakin tinggi persentase ini semakin rendah kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan sarana kesehatan Sumber: Panduan Analisis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, TNP2K, 2012.

28 b. Data Pendukung Indikator utama pembangunan di bidang kesehatan di Kota Surakarta selama tahun ; dapat dilihat bahwa selama tahun , indikator utama pembangunan bidang kesehatan di Kota Surakarta menunjukkan kecenderungan pencapaian SPM yang sudah baik. Hal ini dapat dilihat dari indikator kesehatan nomor 8 yang memuat persentase penduduk miskin yang mendapatkan pelayanan, mulai tahun 2008 sudah mencakup semua penduduk miskin (angka capaian 100%). Namun demikian, masih banyak permasalahan di bidang kesehatan yang juga perlu mendapatkan penanganan secara baik, yaitu masalah penanganan penyandang cacat, dan penanganan penyakit kronis. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.19 Indikator Utama Pembangunan di Bidang Kesehatan di Kota Surakarta Tahun No Jenis Data (1) (2) (3) (4) (5) (7) (7) (8) Angka Kematian Bayi (per kelahiran hidup) Angka Kematian Balita (AKBA) Angka Kematian ibu Melahirkan Prevalensi Balita Kekurangan Gizi a. Prevalensi Balita Gizi Buruk b. Prevalensi Balita Gizi Kurang Persentase pelayanan antenatal (K4) Persentase penduduk miskin yang mendapatkan pelayanan Persentase balita yang mendapatkan imunisasi lengkap Persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan Sumber: Dinas Kesehatan Kota Surakarta 5,76 10,3 3,6 5,7 6,6 4,7 1,39 1 0,69 2,11 1,8 1 41,8 48,52 49,01 153,82 90,2 39,4 2,18 0,64 0,26 0, ,84 8,72 7,09 3,49 6,59 5,78 92,95 98,44 95,03 96,4 98,4 96,5 39,6 61, ,04 97,83 99,08 98,02 94,58 98, Data masalah penyandang cacat berdasar kelompok 1, 2, 3 di Kota Surakarta pada tahun 2011 menunjukkan bahwa dari total penyandang cacat sejumlah orang, yang dialami oleh kaum laki-

29 laki jenjang usia tahun, paling banyak, yaitu sejumkah 305 orang. Kecamatan Jebres mempunyai jumlah penduduk kategori miskin dengan jumlah penyandang cacat yang relatif banyak, yaitu sejumlah 375 orang. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.20 Informasi Data Penyandang Cacat / Kecacatan (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta (dalam satuan orang) Kecamatan Usia 0-di bawah 15 Usia 15-di bawah 45 Usia 45-di bawah 60 Usia 60+ P L P L P L P L TOTAL (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjarsari Kota Surakarta Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011). Untuk masalah penyakit kronis berdasar kelompok 1, 2, 3 di Kota Surakarta pada tahun 2011, menunjukkan bahwa dari total penyandang penyakit kronis yang jumlahnya orang, yang dialami oleh kaum perempuan pada jenjang usia di atas 60 tahun, adalah yang paling banyak, yaitu sejumlah 864 orang. Kecamatan Jebres mempunyai jumlah penduduk kategori miskin penyandang penyakit kronis dengan jumlah yang relatif banyak, yaitu sejumlah orang. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.21 Informasi Data Penyakit Kronis (Kelompok 1, 2, 3) di Surakarta (dalam satuan orang) Kecamatan Usia di bawah 15 tahun Usia 15- di bawah 45 Usia 45- di bawah 60 Usia 60+ P L P L P L P L Kota TOTAL (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjarsari Kota Surakarta Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

30 c. Kondisi dan Implementasi 1) Dari data yang ada menunjukkan bahwa capaian SPM di bidang kesehatan di Kota Surakarta sudah berjalan dengan baik, namun demikian, tantangan yang masih ada adalah terkait dengan masalah penanganan penyandang cacat dan masalah penyakit kronis. 2) Untuk penyandang cacat banyak dialami oleh kaum laki-laki pada jenjang usia tahun (sebanyak 305 orang). Hal ini membawa implikasi kebijakan di bidang kesehatan pada usia yang masih produktif ini, selain diupayakan menuju ke arah peningkatan produktivitas karena peningkatan derajat kesehatan, sebaiknya juga diarahkan untuk bisa terlibat dalam lapangan pekerjaan yang bersifat produktif. 3) Untuk penyakit kronis banyak dialami oleh kaum perempuan pada jenjang usia di atas 60 tahun (sebanyak 864 orang). Hal ini perlu menjadi perhatian yang lebih besar, karena kelompok ini selain sudah tidak produktif, juga sudah masuk dalam kategori manula. 3. Bidang Prasarana Dasar a. Indikator Indikator bidang prasarana dasar secara umum meliputi: (i) Proporsi rumah tangga tanpa akses terhadap sanitasi yang layak (%), (ii) Proporsi Rumah tangga dengan akses terhadap air bersih (%), (iii) Proporsi rumah tangga dengan kepemilikan hak atas rumah, dan (iv) Rasio elektrifikasi. Gambaran indikator utama, konsep/definisi dan interpretasi hasil pembangunan bidang prasana dasar, selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.22 Indikator Utama, Konsep/Definisi dan Interpretasi Hasil Pembangunan di Bidang Prasarana Dasar INDIKATOR UTAMA KONSEP/DEFINISI INTEPRETASI (1) (2) (3) Proporsi rumah tangga tanpa akses terhadap sanitasi yang layak (%) Perbandingan rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak dengan rumah tangga seluruhnya. Fasilitas sanitasi yang memenuhi kesehatan antara lain harus dilengkapi Semakin tinggi proporsi ini semakin tinggi risiko kontak masyarakat dengan pembuangan kotoran. Risiko ini umumnya lebih sulit dihindari di daerah perkotaan

31 INDIKATOR UTAMA KONSEP/DEFINISI INTEPRETASI (1) (2) (3) Proporsi Rumah tangga dengan akses terhadap air bersih (%) Proporsi rumah tangga dengan kepemilikan hak atas rumah Rasio Elektrifikasi dengan leher angsa dan tangki septik Perbandingan antara rumah tangga dengan akses terhadap air bersih dengna rumah tangga seluruhnya Perbandingan antara rumah tangga dengan akses terhadap tempat tinggal tetap dengan rumah tangga seluruhnya Rasio elektrifikasi adalah jumlah total rumah tangga yang memiliki fasilitas listrik dengan tumah tangga seluruhnya Semakin tinggi proporsi ini semakin besar peluang masyarakat terhindar dari berbagai sumber penyakit yang disebabkan oleh kondisi air yang tidak terlindungi atau tidak aman untuk diminum Semakin tinggi proporsi ini semakin tinggi kemampuan masyarakat memenuhi kebutuhan dasar tempat tinggal dan bangunan fisik yang tetap dan terjamin. Juga berarti semakin kecil kemungkinan masyarakat hidup dalam lingkungan yang tidak memadai (kumuh dan rawan penggusuran), khususnya di wilayah perkotaan Semakin tinggi rasio elektrifikasi suatu daerah, maka akan semakin banyak masyarakat di daerah yang bersangkutan yang mampu menikmati pelayanan listrik Sumber: Panduan Analisis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, TNP2K, b. Data Pendukung Untuk informasi status tempat tinggal penduduk kategori miskin di Kota Surakarta, dari data PPLS Tahun 2011 yang ada dapat dilihat bahwa penduduk kategori miskin masih dominan pada rumah tangga yang memiliki rumah hasil kontrak / sewa, yaitu mencapai sekitar unit (sekitar 48,96%). Kecamatan Banjarsari merupakan wilayah dengan penduduk miskin berdasar tempat tinggal yang paling banyak, yaitu mencapai sekitar unit / buah (sekitar 32,86%). Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

32 Tabel 2.23 Informasi Status Tempat Tinggal (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam unit / buah) Kecamatan Jumlah Rumah Tangga Milik Sendiri Kontrak/Sewa Lainnya (1) (2) (3) (4) Total Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjarsari Kota Surakarta Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011). Untuk data sumber air minum, dari data PPLS Tahun 2011 dapat dilihat bahwa jumlah rumah tangga penduduk miskin yang memanfaatkan sumber air terlindungi masih relatif banyak, yaitu sekitar KK (sekitar 69,26%). Hal ini mengindikasikan bahwa sumber air minum untuk KK miskin masih dalam kondisi baik, dibanding dengan KK miskin yang memanfaatkan air minum dari sumber yang tidak terlindungi, yaitu sebesar KK (sekitar 2,79%). Gambaran selengkapnya, dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.24 Informasi Sumber Air Minum Rumah Tangga (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam KK) Kecamatan Air Kemasan Jumlah Rumah Tangga Air Ledeng Sumber Terlindung Sumber Tidak Terlindung Total (1) (2) (3) (4) (5) (6) Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjarsari Kota Surakarta Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011). Untuk data sumber penerangan rumah tangga, dari data PPLS Tahun 2011 dapat dilihat bahwa jumlah rumah tangga miskin yang tidak mempunyai penerangan listrik (tidak ada listrik) masih ada, yaitu mencapai 662 KK (atau sekitar 1,79%). Hal ini

33 mengindikasikan bahwa di Kota Surakarta masih ada KK miskin yang belum dapat menikmati penerangan secara baik, walaupun jumlahnya masih kecil. Gambaran selengkapnya, dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.25 Informasi Sumber Penerangan Utama Rumah Tangga (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam KK) Kecamatan Listrik PLN Jumlah Rumah Tangga Listrik Non PLN Tidak Ada Listrik Total (1) (2) (3) (4) (5) Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjarsari Kota Surakarta Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011). Jika dilihat dari sisi bahan bakar utama yang dipergunakan oleh penduduk miskin, dari data PPLS Tahun 2011 dapat dilihat bahwa sebagian besar jumlah rumah tangga miskin sudah menggunakan bahan bakar utama yang bersumber dari listrik/gas/ elpiji, yaitu mencapai KK (atau sekitar 76,46%). Gambaran selengkapnya, dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.26 Informasi Bahan Bakar Utama Rumah Tangga (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam KK) Kecamatan Jumlah Rumah Tangga Listrik/Gas/Elpiji Lainnya Total (1) (2) (3) (4) Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjarsari Kota Surakarta Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011). Untuk fasilitas tempat buang air besar bagi keluarga miskin, dari data PPLS Tahun 2011 memperlihatkan bahwa sebagian

34 besar rumah tangga masih menggunakan fasilitas buang air besar secara bersama/umum, yaitu mencapai KK (atau sekitar 56,44%). Gambaran selengkapnya, dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.27 Informasi Penggunaan Fasilitas Tempat Buang Air Besar Rumah Tangga (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam KK) Kecamatan Sendiri Jumlah Rumah Tangga Bersama / Umum Tidak ada Total (1) (2) (3) (4) (5) Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjarsari Kota Surakarta Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011). Sementara untuk fasilitas pembuangan akhir tinja rumah tangga, dari data PPLS Tahun 2011 memperlihatkan bahwa sebagian besar rumah tangga sudah menggunakan fasilitas pembuangan akhir tinja dengan sistem tangki atau Sistem Pembungan Air Limbah (SPAL), yaitu mencapai KK (atau sekitar 74,22%). Gambaran selengkapnya, dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.28 Informasi Tempat Pembuangan Akhir Tinja Rumah Tangga (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam KK) Kecamatan Jumlah Rumah Tangga Tangki / SPAL Lainnya Total (1) (2) (3) (4) Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjarsari Kota Surakarta Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

35 c. Kondisi dan Implementasi 1) Status tempat tinggal rumah tangga miskin atau Rumah Tangga Sasaran (RTS) di Kota Surakarta sebagian besar masih menempati rumah kontrak/sewa. Hal ini membawa implikasi bahwa RTS masih dibebani dengan pengeluaran uang untuk membayar uang kontrak/sewa rumah. Kebijakan ke depan dapat diarahkan untuk pemanfaatan RUSUNAMI atau upaya-upaya yang mampu memperbesar pendapatan bagi kelompok RTS ini. 2) Di Kota Surakarta masih ditemukan RTS yang sumber penerangan utamanya tidak berasal dari energi listrik. Walaupun secara persentase masih relatif kecil (atau sekitar 1,79%), tetapi upaya menjadikan RTS menggunakan energi listrik harus mendapatkan perhatian. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa energi listrik tidak semata-mata berfungsi sebagai sumber penerangan, tetapi juga dapat dimanfaaatkan sebagai sumber energi yang lain, termasuk untuk sumber energi dalam menjalankan usaha-usaha produktif. 3) Sebagian besar jumlah RTS sudah menggunakan bahan bakar utama yang bersumber dari listrik/gas/elpiji (mencapai KK atau sekitar 76,46%). Hal yang menjadi perhatian utama adalah upaya dari pemerintah (baik pusat maupun daerah) untuk bisa menjaga stabiltas harga bahan-bahan bakar tersebut, sehingga daya beli mereka tetap terjaga dan tidak menganggu alokasi ke pengeluaran yang lain, akibat kenaikan dari sumber bahan bakar tersebut. 4) Sebagian besar rumah tangga masih menggunakan fasilitas buang air besar secara bersama / umum (mencapai KK atau sekitar 56,44%). Hal ini tentu menjadi dasar bagi pemerintah untuk menyediakan fasilitas MCK di pusat atau kantong-kantong kemiskinan agar kondisi sanitasi dan tingkat kesehatan RTS tetap dapat dijaga. 4. Bidang Ketenagakerjaan a. Indikator Indikator bidang ketenagakerjaan secara umum meliputi: (i) Tingkat Pengangguran Terbuka (%), (ii) Setengah Pengangguran

36 (%), dan (iii) Rasio Ketergantungan (per 100 penduduk angkatan kerja). Gambaran Indikator Utama, Konsep/Definisi dan Interpretasi Hasil Pembangunan di Bidang Ketenagakerjaan, selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.29 Indikator Utama, Konsep/Definisi dan Interpretasi Hasil Pembangunan di Bidang Ketenagakerjaan INDIKATOR UTAMA KONSEP/DEFINISI INTEPRETASI (1) (2) (3) Tingkat Pengangguran Terbuka (%) Setengah Pengangguran (%) Rasio Ketergantungan (per 100 penduduk angkatan kerja) Persentase penduduk yang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, yang sudah mempunyai pekerjaan tapi belum mulai bekerja, dari total angkatan kerja yang ada Persentase penduduk yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu) Banyaknya penduduk bukan angkatan kerja (0-14 tahun + 65 tahun ke atas) yang ditanggung oleh setiap 100 oenduduk angkatan kerja (15-64 tahun) Semakin tinggi tingkat pengangguran terbuka semakin kecil peluang masyarakat untuk mengakumulasi pendapatan dan semakin tinggi pula potensi kerawanan sosial Semakin tinggi tingkat setengah pengangguran semakin rendah tingkat utilisasi pekerja dan produktivitasnya Semakin tinggi rasio ketergantungan semakin berat beban yang harus ditanggung oleh penduduk usia produktif untuk membiayai penduduk lain yang belum produktif dan tidak produktif lagi Sumber: Panduan Analisis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, TNP2K, b. Data Pendukung Data pendukung di Kota Surakarta yang terkait dengan indikator ketenagakerjaan selama tahun dapat dilihat bahwa persentase Upah Minimum Kota (UMK) terhadap Kebutuhan Hidup Layak (KHL), pernah melewati angka 100% pada tahun 2009, selebihnya hingga tahun 2011 belum mencapai angka 100%. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

37 No. Tabel 2.30 Indikator Utama Bidang Ketenagakerjaan di Kota Surakarta, Tahun Indikator Ketenagakerjaan (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Persentase UMK terhadap KHL Persentase penduduk yang bekerja < 35 jam (setengah pengangguran) (%) Rasio Ketergantungan (Per penduduk usia produktif) Sumber: Dinsosnakertrans Kota Surakarta dan BPS 86,14 93,45 99,99 100,03 95,83 98,94 12,92 13,96 14,76 13,98 11,38 17,05 38,99 43,17 38,13 39,63 39,78 38,3 Rasio Upah Minimum Kota (UMK) terhadap Kebutuhan Hidup Layak (KHL), menurut data yang dimuat dalam dokumen SPKD Jawa Tengah agak berbeda dengan dokumen di atas. Dalam dokumen SPKD, rasio UMK terhadap KHL di Kota Surakarta pada tahun 2010 adalah sebesar 91,75%. Angka ini masih berada di bawah besaran UMK/KHL di Provinsi Jawa Tengah yang besarnya adalah 92,06%. Penjelasan secara grafis, dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 2.5 Grafik Persentase Perbandingan Upah Minimum Kabupaten/ Kota (UMK) terhadap Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Menurut Kabupaten/Kota se Jawa Tengah Tahun 2010 Sumber: Dokumen SPKD Provinsi Jawa Tengah.

38 Di lain pihak, besarnya tingkat pengangguran terbuka di Kota Surakarta yang mencapai angkat 8,73% termasuk dalam Kategori Tinggi, jika dibanding dengan tingkat pengangguran terbuka di Provinsi Jawa Tengah 2010 yang besarnya mencapai 6,21% atau lebih rendah dari tingkat pengangguran terbuka di tingkat nasional yang besarnya mencapai 7,87%. Secara keseluruhan di Provinsi Jawa Tengah ada 12 kabupaten/kota dengan tingkat pengangguran kategori tinggi, yaitu: Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Semarang, dan Kota Tegal. Perkembangan data lain terkait dengan masalah ketenagakerjaan juga bersumber dari dokumen PPLS Tahun Data ini antara lain berupa informasi kepala rumah tangga perempuan (untuk kelompok 1, 2, 3) dalam satuan Kepala Keluarga (KK). Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.31 Informasi Kepala Rumah Tangga Perempuan (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam KK) Kecamatan Usia di bawah 45 thn Usia 45 thn di bawah 60 Usia 60+ thn TOTAL (1) (2) (3) (4) (5) Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjarsari Kota Surakarta Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011). Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa RTS perempuan sebagai kepala rumah tangga sangat dominan pada usia tahun, yang besarnya mencapai KK atau sekitar 48,33%. Di lain pihak, untuk kelompok usia produktif (usia 15- < 60 tahun), menunjukkan bahwa dari total KK yang bekerja sebanyak KK, sedang sisanya yang tidak bekerja sebanyak KK. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

39 Tabel 2.32 Informasi Status Bekerja dan Tidak Bekerja ART (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam KK) Kecamatan Usia 5 di bawah 15 Usia 15 di bawah 60 Usia 60+ Bekerja Tidak Bekerja Bekerja Tidak Bekerja Bekerja Tidak Bekerja P L P L P L P L P L P L Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjarsari Kota Surakarta Catatan: - Jumlah pekerja (kepala rumah tangga dan individu / anggota rumah tangga) menurut jenis lapangan pekerjaan namun penghasilannya termasuk kelompok 1, 2, 3 - Buruh tani/bangunan atau pekerjaan lain dengan pendapatan di bawah Rp ,- Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

40 Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kelompok usia produktif yang tidak bekerja, untuk jenis kelamin perempuan sebanyak KK (atau sekitar 67,46%) sedang yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak KK (atau sekitar 32,54%). Sementara itu, perkerjaan yang sebagian besar menjadi mata pencaharian, baik RTS (satuan KK) maupun ARS (satuan orang / jiwa) berada di sektor-sektor: (i) Industri Pengolahan; (ii) Bangunan/Konstruksi; (iii) Perdagangan; (iv) Transportasi dan Pergudangan; dan (v) Jasa. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.33 Informasi Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam KK) Kecamatan (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjarsari Kota Surakarta Kecamatan TOTAL (1) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20) Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjarsari Kota Surakarta Catatan: Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga: 1. Pertanian tanaman padi dan palawija; 2. Hortikultura; 3. Perkebunan; 4. Perikanan Tangkap; 5. Perikanan budidaya; 6. Peternakan; 7. Kehutanan/pertanian lainnya; 8. Pertambangan/penggalian; 9. Industri Pengolahan; 10. Listrik dan gas; 11. Bangunan/Konstruksi; 12. Perdagangan; 13. Hotel dan rumah makan; 14. Transportasi dan Pergudangan; 15. Informasi & komunikasi; 16. Keuangan dan asuransi; 17. Jasa; 18. Lainnya Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

41 Tabel 2.34 Informasi Lapangan Pekerjaan Individu (ART) (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam orang / jiwa) Kecamatan (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjarsari Kota Surakarta Kecamatan TOTAL (1) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20) Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjarsari , Kota Surakarta Catatan: Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga: 1. Pertanian tanaman padi dan palawija; 2. Hortikultura; 3. Perkebunan; 4. Perikanan Tangkap; 5. Perikanan budidaya; 6. Peternakan; 7. Kehutanan/pertanian lainnya; 8. Pertambangan/penggalian; 9. Industri Pengolahan; 10. Listrik dan gas; 11. Bangunan/Konstruksi; 12. Perdagangan; 13. Hotel dan rumah makan; 14. Transportasi dan Pergudangan; 15. Informasi & komunikasi; 16. Keuangan dan asuransi; 17. Jasa; 18. Lainnya Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011). c. Kondisi dan Implementasi 1) Walaupun data dari Pemerintah Kota Surakarta maupun data dari Provinsi Jawa Tengah mengenai rasio Upah Minimum Kota (UMK) terhadap Kebutuhan Hidup Layak (KHL) pada tahun 2010 agak berbeda, tetapi ada kesamaan antarkeduanya bahwa nilai rupiah UMK masih lebih kecil dari nilai rupiah KHL. Hal ini harus menjadi perhatian, khususnya bagi pihak-pihak terkait untuk kelak bisa menyamakan bahkan jika mungkin untuk membuat nilai UMK harus lebih besar dibanding nilai KHL.

42 - 54-2) Rumah Tangga Sasaran (RTS) kelompok usia tahun, dengan perempuan berperan sebagai Kepala Rumah Tangga di Kota Surakarta masih relatif besar, yaitu mencapai KK (atau sekitar 48,33%). Kodisi ini harus menjadi perhatian dan pemikiran dari kita semua, agar kelompok miskin dari kategori ini tidak semakin buruk kondisinya. 3) Kelompok usia produktif penduduk miskin (usia 15 s.d < 60 tahun) yang jumlahnya sekitar KK, yang tidak bekerja sebanyak KK (atau sekitar 37,75%). Kebijakan yang menjadikan kelompok miskin usia produktif yang sekarang ini dalam kondisi tidak bekerja, pada masa-masa mendatang harus diupayakan untuk bisa bekerja dan mampu menghidupi bagi dirinya sendiri dan keluargnya. 4) Lapangan perkerjaan yang sebagian besar menjadi mata pencaharian, baik bagi RTS (satuan KK) maupun ART (satuan orang/jiwa) di Kota Surakarta berdasar data PPLS Tahun 2011 berada di sektor-sektor: (i) Industri Pengolahan; (ii) Bangunan/ Konstruksi; (iii) Perdagangan; (iv) Transportasi dan Pergudangan; dan (v) Jasa. Oleh karenanya, keberadaan sektor-sektor tersebut harus bisa dioptimalkan agar mampu berperan dalam memberikan lapangan pekerjaan bagi penduduk miskin. 5. Bidang Ketahanan Pangan a. Indikator Indikator bidang ketahanan pangan, secara umum meliputi: (i) Harga Beras (Rp), (ii) Harga bahan kebutuhan pokok (Rp), (iii) Rasio konsumsi pangan normatif terhadap ketersediaan pangan serealia (%). Gambaran indikator utama, konsep/definisi dan interpretasi hasil pembangunan di bidang ketahanan pangan, selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.35 Indikator Utama, Konsep/Definisi dan Interpretasi Hasil Pembangunan di Bidang Ketahanan Pangan INDIKATOR UTAMA KONSEP/DEFINISI INTEPRETASI (1) (2) (3) Harga Beras (Rp) Harga eceran/konsumen beras. Harga konsumen/eceran dalam Semakin tinggi harga beras semakin berat beban

43 INDIKATOR UTAMA Harga bahan kebutuhan pokok (Rp) Rasio konsumsi pangan normatif terhadap ketersediaan pangan serealia (%) KONSEP/DEFINISI hal ini adalah harga transaksi secara tunai, yang terjadi antara penjual dan pembeli dengan satuan eceran Harga eceran/konsumen bahan kebutuhan pokok. Harga konsumen/eceran dalam hal ini adalah harga transaksi secara tunai, yang terjadi antara penjual dan pembeli dengan satuan eceran Rasio antara konsumsi normatif pangan serealia (padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar) dengan ketersediaan pangan serelia yang dihasilkan di suatu daerah. Kriteria penilaiannya adalah 1. > 1,50 = sangat rawan 2. > 1,25 1,50 = rawan 3. >1,00 1,25 = agak rawan 4. > 0,75 1,00 = cukup tahan 5. > 0,50 0,75 = tahan 6. <=0,5 = sangat tahan INTEPRETASI pengeluaran yang harus ditanggung oleh masyarakat untuk mempertahankan konsumsi terhadap komoditas tersebut yang merupakan bagian dari kebutuhan dasarnya Semakin tinggi harga bahan kebutuhan pokok semakin berat beban pengeluaran yang harus ditanggung oleh masyarakat untuk mempertahankan konsumsinya terhadao komoditas tersebut, yang merupakan bagian dari kebutuhan dasarnya Semakin tinggi rasio ini semakin tinggi tingkat kerawanan pangan masyarakat suatu daerah. Ketika masyarakat mampu menyediakan bahan pangan, minimal untuk memenuhi kebutuhan pangan keseluruhan masyarakat secara lokal, tidak tegantung pada daerah lain maka daerah tersebut relatif rendah rawan pangannya dan dapat dikategorikan tahan pangan Sumber: Panduan Analisis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, TNP2K, b. Data Pendukung Data pendukung di bidang ketahanan pangan, antara lain berupa rasio konsumsi beras dan rasio konsumsi ubi jalar. Secara umum rasio ini menunjukkan angka yang kurang dari 100. Gambaran indikator bidang ketahanan pangan, selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.36 Indikator Bidang Ketahanan Pangan di Kota Surakarta Tahun No. Rasio Konsumsi Pangan Normatif terhadap Kesediaan Pangan Serelia (1) (2) (3) (4) 1. Rasio Konsumsi Beras Rasio Konsumsi Ubi Jalar Sumber: Kantor Ketahanan Pangan Kota Surakarta

44 Selain rasio konsumsi beras dan rasio konsumsi ubi jalar, indikator bidang ketahanan pangan terkait dengan perkembangan harga-harga kebutuhan pokok. Indikator harga-harga kebutuhan pokok utama di Kota Surakarta Tahun , selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.37 Indikator Bidang Ketahanan Pangan di Kota Surakarta Berdasar Harga-Harga Kebutuhan Pokok Utama (Rp) Tahun No. Komoditas Harga Tahun 2010 (Rp) Harga Tahun 2011 (Rp) (1) (2) (3) (4) 01. Beras C4 super Beras C4 biasa Jagung Manis Kedelai lokal Kacang tanah Ubi kayu / ubi jalar Cabe merah biasa Cabe merah keriting B Merah Brebes Minyak goreng Minyak curah Gula pasir TM Tepung Terigu Daging sapi Daging ayam Telur ayam Ikan teri Sumber: Kantor Ketahanan Pangan Kota Surakarta c. Kondisi dan Implementasi 1) Stabilitas harga harus terus diupayakan agar daya beli masyarakat, khususnya untuk kelompok masyarakat miskin tetap terjaga, sehingga tidak mengurangi proporsi pengeluaran mereka, khususnya untuk membeli konsumsi kebutuhan dasar / pokok. 2) Diversifikasi kebutuhan pangan yang mampu menggantikan konsumsi dan komoditi beras sebaiknya terus dilakukan agar ketergantungan terhadap konsumsi beras dapat diimbangi dengan ketersediaan komoditi lainnya. Hasil akhir program penanggulangan kemiskinan, diukur dengan perbaikan dalam besaran Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dengan nilai

45 IPM Provinsi Jawa Tengah sebesar 72,10, maka kabupaten/kota yang masuk kategori ber-ipm tinggi ada 15 kabupaten/kota, yaitu: Kota Surakarta (sebesar 77,49 peringkat tertinggi), Kota Semarang, Kota Magelang, Kota Salatiga, Kota Pekalongan, Kota Tegal, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Semarang, Kabupaten Jepara, Kabupaten Kudus, Kabupaten Pati, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Banyumas. Penjelasan secara grafis, dapat dilihat pada gambaran berikut ini. Gambar 2.6 Grafik Perbandingan Nilai IPM Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 Sumber: Dokumen SPKD Provinsi Jawa Tengah.

BAB I PENDAHULUAN. Rahayu, Harkunti P (2009) didefinisikan sebagai. ekonomi.meminimalkan risiko atau kerugian bagi manusiadiperlukan

BAB I PENDAHULUAN. Rahayu, Harkunti P (2009) didefinisikan sebagai. ekonomi.meminimalkan risiko atau kerugian bagi manusiadiperlukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banjir menurut Rahayu, Harkunti P (2009) didefinisikan sebagai tergenangnya suatu tempat akibat meluapnya air yang melebihi kapasitas pembuangan air di suatu wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu keadaan di mana masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dan kehidupan yang layak, (menurut World Bank dalam Whisnu, 2004),

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Salatiga, Oktober Tim Penyusun

KATA PENGANTAR. Salatiga, Oktober Tim Penyusun KATA PENGANTAR Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan review dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 5.1 Kesimpulan. terhadap perekonomian kota surakarta. Analisis

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 5.1 Kesimpulan. terhadap perekonomian kota surakarta. Analisis 64 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan real estat Kota Surakarta berdasarkan besaran, sebaran dan pola pergerakannya serta dampaknya terhadap

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. RAD MDGs Jawa Tengah

DAFTAR ISI. RAD MDGs Jawa Tengah DAFTAR ISI Hal Daftar Isi... ii Daftar Tabel dan Gambar... xii Daftar Singkatan... xvi Bab I Pendahuluan... 1 1.1. Kondisi Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Jawa Tengah... 3 Tujuan 1. Menanggulangi

Lebih terperinci

PEMODELAN BANYAKNYA PENDERITA DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA SURAKARTA DENGAN MIXED GEOGRAPHICALLY WEIGHTED REGRESSION (MGWR)

PEMODELAN BANYAKNYA PENDERITA DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA SURAKARTA DENGAN MIXED GEOGRAPHICALLY WEIGHTED REGRESSION (MGWR) PEMODELAN BANYAKNYA PENDERITA DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA SURAKARTA DENGAN MIXED GEOGRAPHICALLY WEIGHTED REGRESSION (MGWR) Hardanti Nur Astuti, Yuliana Susanti dan Dewi Retno Sari Saputro Program

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Bab I Pendahuluan Bab II Aspek dan Profil Kemiskinan di Kota Surakarta

DAFTAR ISI Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Bab I Pendahuluan Bab II Aspek dan Profil Kemiskinan di Kota Surakarta DAFTAR ISI Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vi Bab I Pendahuluan... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Maksud dan Tujuan... 5 1. Maksud... 5 2. Tujuan... 6 C. Dasar Hukum... 7 D. Kedudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama pada bidang pendidikan. Perubahan dalam dunia pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. terutama pada bidang pendidikan. Perubahan dalam dunia pendidikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan saat ini telah membawa pengaruh perubahan di dalam kehidupan manusia disegala bidang terutama pada bidang pendidikan. Perubahan

Lebih terperinci

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal LP2KD Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kabupaten Kendal TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL TAHUN 2012 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah

Lebih terperinci

MENGENAL SISTEM PERKOTAAN:

MENGENAL SISTEM PERKOTAAN: MENGENAL SISTEM PERKOTAAN: SEBUAH PENGANTAR TENTANG KOTA SOLO 3 Sekilas tentang Solo 7 Memahami Sistem Perkotaan 13 Mencari Bentuk 17 Memahami Kelurahan Kita BANJARSARI JEBRES KOTA SOLO LAWEYAN SERENGAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK BANGUNAN KANTOR KELURAHAN DI KOTA SURAKARTA

KARAKTERISTIK BANGUNAN KANTOR KELURAHAN DI KOTA SURAKARTA KARAKTERISTIK BANGUNAN KANTOR KELURAHAN DI KOTA SURAKARTA Suryaning Setyowati Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura 57102

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja. perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja. perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata kehidupan yang layak bagi seluruh

Lebih terperinci

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 36 BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH 4.1 Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di tengah Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi Jawa Tengah terletak

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH A. Aspek Geografi dan Demografi 1. Luas dan Batas Wilayah Administrasi Kota Surakarta merupakan wilayah yang memiliki posisi strategis di Provinsi Jawa Tengah karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa

I. PENDAHULUAN. perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan proses multidimensional yang melibatkan perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa dan lembaga nasional

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH SURAKARTA

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH SURAKARTA BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH SURAKARTA A. Deskripsi Kota Surakarta 1. Letak kota Surakarta Secara Geografis, Kota Surakarta berada diantara dataran rendah dan terletak diantara beberapa sungai kecil seperti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh penulis melibatkan penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh peneliti lain. Penelitian terdahulu digunakan

Lebih terperinci

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH Rapat Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Penanganan Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah Surakarta, 9 Februari 2016 Kemiskinan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Peta Provinsi Jawa Tengah Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 2. Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan yang dihadapi negara yang berkembang memang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan yang dihadapi negara yang berkembang memang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan yang dihadapi negara yang berkembang memang sangat kompleks. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar sektor. Akan

Lebih terperinci

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT 2.1. Gambaran Umum 2.1.1. Letak Geografis Kabupaten Sumba Barat merupakan salah satu Kabupaten di Pulau Sumba, salah satu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemiskinan dan Penyebab Kemiskinan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemiskinan dan Penyebab Kemiskinan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Kemiskinan dan Penyebab Kemiskinan Dalam arti proper, kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Prastyo (2010)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multi dimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga-lembaga sosial. Perubahan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Kemiskinan Kemiskinan adalah fenomena yang seringkali di jumpai dalam kehidupan bersosial. kemiskinan seringkali dipandang sebagai gejala rendahnya tingkat kesejahteraan semata

Lebih terperinci

BAB II EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH BAB II EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH A. Gambaran Umum Kondisi Daerah Gambaran umum kondisi daerah mencakup aspek geografi dan demografi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan. Kemiskinan telah membuat pengangguran semakin bertambah banyak,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan. Kemiskinan telah membuat pengangguran semakin bertambah banyak, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Kemiskinan telah membuat pengangguran semakin bertambah banyak, inflasi juga naik dan pertumbuhan ekonomi melambat. Kemiskinan yang terjadi dalam suatu

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR 44 Keterbatasan Kajian Penelitian PKL di suatu perkotaan sangat kompleks karena melibatkan banyak stakeholder, membutuhkan banyak biaya, waktu dan tenaga. Dengan demikian, penelitian ini memiliki beberapa

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Surakarta, Desember KEPALA BAPPEDA KOTA SURAKARTA Selaku SEKRETARIS TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN KOTA SURAKARTA

KATA PENGANTAR. Surakarta, Desember KEPALA BAPPEDA KOTA SURAKARTA Selaku SEKRETARIS TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN KOTA SURAKARTA KATA PENGANTAR Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD)

Lebih terperinci

PROFIL PERKEMBANGAN KEPENDUDUKAN KOTA SURAKARTA TAHUN 2016

PROFIL PERKEMBANGAN KEPENDUDUKAN KOTA SURAKARTA TAHUN 2016 PROFIL PERKEMBANGAN KEPENDUDUKAN KOTA SURAKARTA TAHUN 2016 PEMERINTAH KOTA SURAKARTA DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL KOTA SURAKARTA Jl. Jendral Sudirman No. 2 Surakarta No.Telp. (0271) 639554,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

c. Kondisi Demografi

c. Kondisi Demografi BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH A. Aspek Geografi dan Demografi 1. Karakteristik Lokasi dan Wilayah a. Luas dan Batas Wilayah Administrasi Kota Surakarta merupakan wilayah yang memiliki posisi strategis

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS-DATA MEMPERTAJAM INTERVENSI KEBIJAKAN

PERENCANAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS-DATA MEMPERTAJAM INTERVENSI KEBIJAKAN PERENCANAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS-DATA MEMPERTAJAM INTERVENSI KEBIJAKAN RAPAT KERJA TEKNIS TKPK TAHUN 2015 KERANGKA ANALISIS SITUASI KEMISKINAN KOMPONEN ANALISIS Perubahan akibat intervensi

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1. Umum Penelitian ini bertujuan untuk menentukan Matriks Asal Tujuan yang dihasilkan dari data arus lalu lintas pada kondisi keseimbangan di Kota Surakarta. Model sebaran

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t PROVINSI JAWA TENGAH Data Agregat per K b t /K t PROVINSI JAWA TENGAH Penutup Penyelenggaraan Sensus Penduduk 2010 merupakan hajatan besar bangsa yang hasilnya sangat penting dalam rangka perencanaan pembangunan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang senantiasa memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna mewujudkan cita-cita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rendahnya tingkat kesejahteraan menjadi alasan yang sempurna rendahnya

BAB I PENDAHULUAN. Rendahnya tingkat kesejahteraan menjadi alasan yang sempurna rendahnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rendahnya tingkat kesejahteraan menjadi alasan yang sempurna rendahnya Human Development Index (HDI), Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Secara menyeluruh kualitas

Lebih terperinci

PROFIL KABUPATEN / KOTA

PROFIL KABUPATEN / KOTA PROFIL KABUPATEN / KOTA KOTA SURAKARTA JAWA TENGAH KOTA SURAKARTA ADMINISTRASI Profil Wilayah Keraton, batik dan Pasar Klewer adalah tiga hal yang menjadi simbol identitas Kota Surakarta. Eksistensi Keraton

Lebih terperinci

BAB III PROFIL KEMISKINAN DAERAH

BAB III PROFIL KEMISKINAN DAERAH BAB III PROFIL KEMISKINAN DAERAH 3.1. Konsep Kemiskinan Kemiskinan adalah isu yang kompleks dan multidimensional, karena banyaknya pendekatan yang dilakukan terhadap kondisi yang disebut miskin, maka banyak

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN KEMISKINAN

PENANGGULANGAN KEMISKINAN I N A N T A INOVASI KETAHANAN KOMUNITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN KABUPATEN TANA TORAJA Penanggulangan Kemiskinan APA ITU adalah kebijakan dan program pemerintah pusat serta pemerintah daerah yang dilakukan

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Ikhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Indikator

Ikhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Indikator Page 1 Ikhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Uraian Jumlah Jumlah Akan Perlu Perhatian Khusus Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan 12 9 1 2 Mencapai Pendidikan Dasar Untuk Semua

Lebih terperinci

BAB II PENYEBARAN KANTOR PEMERINTAHAN DAN PELAYANAN MASYARAKAT DI SURAKARTA

BAB II PENYEBARAN KANTOR PEMERINTAHAN DAN PELAYANAN MASYARAKAT DI SURAKARTA BAB II PENYEBARAN KANTOR PEMERINTAHAN DAN PELAYANAN MASYARAKAT DI SURAKARTA 2.1 Data Kantor Pemerintahan dan Publik Servis Di Surakarta Wilayah Surakarta yang disurvey yaitu seluruh wilayah Surakarta yang

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.70 /11/33/Th.VIII, 05 November 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,68 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2014 yang sebesar

Lebih terperinci

BAB II PROFIL KEMISKINAN DAERAH

BAB II PROFIL KEMISKINAN DAERAH BAB II PROFIL KEMISKINAN DAERAH A. Kondisi Umum Daerah 1. Pertumbuhan PDRB Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menjadi salah satu indikator untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu wilayah dalam suatu

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.31 /05/33/Th.VIII, 05 Mei 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,45 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Februari 2014 yang sebesar 17,72

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.69 /11/33/Th.VII, 06 November 2013 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2013: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 6,02 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2013 mencapai 16,99

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengangguran merupakan masalah yang sangat kompleks karena mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi mengikuti pola yang

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM Pada bab IV ini penulis akan menyajikan gambaran umum obyek/subyek yang meliputi kondisi geografis, sosial ekonomi dan kependudukan Provinsi Jawa Tengah A. Kondisi Geografis Provinsi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 96 IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Dalam bab ini, akan dipaparkan secara umum tentang 14 kabupaten dan kota yang menjadi wilayah penelitian ini. Kabupaten dan kota tersebut adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan situasi serba kekurangan yang terjadi bukan dikehendaki oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 13 TAHUN TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 13 TAHUN TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 13 TAHUN 2 010 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan yang dilaksanakan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB IV PRIORITAS INTERVENSI KEBIJAKAN

BAB IV PRIORITAS INTERVENSI KEBIJAKAN BAB IV PRIORITAS INTERVENSI KEBIJAKAN 4.1. Bidang Pendidikan Analisis prioritas intervensi untuk bidang pendidikan yang menjadi prioritas untuk diintervensi adalah jenjang pendidikan SMA/MA. Ini terlihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan seringkali dipahami dalam pengertian yang sangat sederhana yaitu sebagai keadaan kekurangan uang, rendahnya tingkat pendapatan dan tidak terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. masalah klasik dan mendapat perhatian khusus dari negara-negara di dunia.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. masalah klasik dan mendapat perhatian khusus dari negara-negara di dunia. BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Landasan Teori dan Konsep 2.1.1. Konsep Kemiskinan Pada umumnya masalah kemiskinan hingga saat ini masih menjadi masalah klasik dan mendapat perhatian

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Kondisi Fisik Daerah Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua Provinsi besar, yaitu

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No. 66/11/33/Th.VI, 05 November 2012 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2012: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,63 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2012 mencapai 17,09

Lebih terperinci

Evaluasi Pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Tahun 2015

Evaluasi Pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Tahun 2015 Rapat Koordinasi TKPK Tahun 2015 dengan Tema : Evaluasi Pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Tahun 2015 Soreang, 27 November 2015 KEBIJAKAN PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN Peraturan Presiden

Lebih terperinci

Grafik 3.2 Angka Transisi (Angka Melanjutkan)

Grafik 3.2 Angka Transisi (Angka Melanjutkan) Grafik 3.2 Angka Transisi (Angka Melanjutkan) Grafik 3.2 memperlihatkan angka transisi atau angka melanjutkan ke SMP/sederajat dan ke SMA/sederajat dalam kurun waktu 7 tahun terakhir. Sebagaimana angka

Lebih terperinci

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR BUPATI KABUPATEN BANYUASIN... KATA PENGANTAR BAPPEDA KABUPATEN BANYUASIN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR BUPATI KABUPATEN BANYUASIN... KATA PENGANTAR BAPPEDA KABUPATEN BANYUASIN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR BUPATI KABUPATEN BANYUASIN... KATA PENGANTAR BAPPEDA KABUPATEN BANYUASIN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... i ii iii iv ix BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

Tingkat Kemiskinan Kabupaten Pasaman Barat dan Propinsi Sumatera Barat Tahun

Tingkat Kemiskinan Kabupaten Pasaman Barat dan Propinsi Sumatera Barat Tahun KONDISI MAKRO KEMISKINAN Target RPJMN, tingkat kemiskinan 2015 8% di tingkat Propinsi Sumatera Barat, Kabupaten Pasaman Barat berada di peringkat ke-8 Tingkat Kemiskinan Kabupaten Pasaman Barat dan Propinsi

Lebih terperinci

PENERAPAN METODE SET COVERING PROBLEM DALAM PENENTUAN LOKASI DAN ALOKASI SAMPAH DI WILAYAH KOTA SURAKARTA

PENERAPAN METODE SET COVERING PROBLEM DALAM PENENTUAN LOKASI DAN ALOKASI SAMPAH DI WILAYAH KOTA SURAKARTA PENERAPAN METODE SET COVERING PROBLEM DALAM PENENTUAN LOKASI DAN ALOKASI SAMPAH DI WILAYAH KOTA SURAKARTA PUBLIKASI ILMIAH Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makroekonomi jangka panjang. Dari satu periode ke periode berikutnya kemampuan suatu negara untuk

Lebih terperinci

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014 12 IndikatorKesejahteraanRakyat,2013 INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014 No. ISSN : 0854-9494 No. Publikasi : 53522.1002 No. Katalog : 4102004 Ukuran Buku Jumlah Halaman N a s k a

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kota Mungkid, 25 Maret a.n. BUPATI MAGELANG WAKIL BUPATI MAGELANG H.M. ZAENAL ARIFIN, SH.

KATA PENGANTAR. Kota Mungkid, 25 Maret a.n. BUPATI MAGELANG WAKIL BUPATI MAGELANG H.M. ZAENAL ARIFIN, SH. KATA PENGANTAR Syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayahnya, sehingga Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Kabupaten Magelang Tahun 2014 dapat diselesaikan tepat waktu. Laporan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fasilitas mendasar seperti pendidikan, sarana dan prasarana transportasi,

TINJAUAN PUSTAKA. fasilitas mendasar seperti pendidikan, sarana dan prasarana transportasi, 27 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemiskinan Masyarakat miskin adalah masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk mengakses sumberdaya sumberdaya pembangunan, tidak dapat menikmati fasilitas mendasar seperti

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA BANDAR LAMPUNG

PEMERINTAH KOTA BANDAR LAMPUNG PEMERINTAH KOTA PERKEMBANGAN EKONOMI DAN PENDAPATAN DAERAH PERTUMBUHAN EKONOMI Tahun 2004 = 7,69 % Tahun 2005 = 4,57 % PDRB (harga konstan 2000)(dalam juta rupiah) Realisasi Tahun 2004 = 4.554.824 Realisasi

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/01/33/Th.II, 2 Januari 2008 KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2007 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Jawa Tengah pada Agustus 2007 adalah

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/12/33/Th.III, 1 Desember 2009 KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2009 Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) dilaksanakan dua kali dalam setahun,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan dan ketahanan pangan merupakan isu terkini yang menjadi perhatian di dunia, khususnya bagi negara berkembang, termasuk di Indonesia. Kedua fenomena tersebut

Lebih terperinci

Boleh dikutip dengan mencantumkan sumbernya

Boleh dikutip dengan mencantumkan sumbernya INDIKATOR KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PROVINSI ACEH 2016 Nomor Publikasi : 11522.1605 Katalog BPS : 4102004.11 Ukuran Buku : 17,6 cm x 25 cm Jumlah Halaman : xvii + 115 Halaman Naskah Gambar Kulit Diterbitkan

Lebih terperinci

KABUPATEN ACEH TENGAH PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016

KABUPATEN ACEH TENGAH PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 KABUPATEN ACEH TENGAH PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN ACEH TENGAH TAHUN 2016 LAMPIRAN PERJANJIAN KINERJA KABUPATEN ACEH TENGAH TAHUN 2016 No Sasaran Strategis Indikator Kinerja

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR No. 02/06/3505/Th.I, 13 Juni 2017 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN BLITAR TAHUN 2016 RINGKASAN Persentase penduduk miskin (P0) di Kabupaten Blitar pada tahun 2016

Lebih terperinci

Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP

Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP Sejak tahun 2000, Indonesia telah meratifikasi Millenium Development Goals (MDGs) di bawah naungan Persatuan Bangsa- Bangsa.

Lebih terperinci

BAB V RELEVANSI DAN EFEKTIVITAS APBD

BAB V RELEVANSI DAN EFEKTIVITAS APBD BAB V RELEVANSI DAN EFEKTIVITAS APBD 5.1. Evaluasi APBD Pendapatan Daerah yang tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Kota Solok diperoleh dari berbagai sumber, diantaranya berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses saat pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4

RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4 RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4 RPJMD KOTA LUBUKLINGGAU 2008-2013 VISI Terwujudnya Kota Lubuklinggau Sebagai Pusat Perdagangan, Industri, Jasa dan Pendidikan Melalui Kebersamaan Menuju Masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kesejahteraan sosial dapat didefenisikan sebagai suatu kondisi kehidupan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kesejahteraan sosial dapat didefenisikan sebagai suatu kondisi kehidupan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesejahteraan 2.1.1 Pengertian Kesejahteraan Kesejahteraan sosial dapat didefenisikan sebagai suatu kondisi kehidupan individu dan masyarakat yang sesuai dengan standar kelayakan

Lebih terperinci

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017 GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017 Dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif, transparan dan akuntabel serta berorientasi pada hasil, yang bertanda tangan di bawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk upaya pengentasan kemiskinan dalam masyarakat. kesejahteraan di wilayah tersebut. Dengan demikian, kemiskinan menjadi salah

BAB I PENDAHULUAN. bentuk upaya pengentasan kemiskinan dalam masyarakat. kesejahteraan di wilayah tersebut. Dengan demikian, kemiskinan menjadi salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan masyarakat. Salah satu tujuan pembangunan adalah upaya untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi riil

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 No.42/06/33/Th.X, 15 Juni 2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 IPM Jawa Tengah Tahun 2015 Pembangunan manusia di Jawa Tengah pada tahun 2015 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan terus

Lebih terperinci

BAB 12. PENANGGULANGAN KEMISKINAN KELUARGA DI INDONESIA. Oleh: Herien Puspitawati Tin Herawati

BAB 12. PENANGGULANGAN KEMISKINAN KELUARGA DI INDONESIA. Oleh: Herien Puspitawati Tin Herawati BAB 12. PENANGGULANGAN KEMISKINAN KELUARGA DI INDONESIA Oleh: Herien Puspitawati Tin Herawati Kondisi Kemiskinan di Indonesia Isu kemiskinan yang merupakan multidimensi ini menjadi isu sentral di Indonesia

Lebih terperinci

Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah Agustus 2017

Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah Agustus 2017 Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah Agustus 2017 No. 79/11/33/Th. XI, 06 November 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah Agustus 2017 Agustus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Acuan Kebijakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Acuan Kebijakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Acuan Kebijakan Kemiskinan merupakan masalah multidimensi. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan

Lebih terperinci

DEMOGRAFI KOTA TASIKMALAYA

DEMOGRAFI KOTA TASIKMALAYA 1. Gambaran Umum Demografi DEMOGRAFI KOTA TASIKMALAYA Kondisi demografi mempunyai peranan penting terhadap perkembangan dan pertumbuhan suatu wilayah karena faktor demografi ikut mempengaruhi pemerintah

Lebih terperinci

ANALISIS ARAHAN PERSEBARAN SUMUR RESAPAN DI KOTA SURAKARTA TAHUN 2013

ANALISIS ARAHAN PERSEBARAN SUMUR RESAPAN DI KOTA SURAKARTA TAHUN 2013 ANALISIS ARAHAN PERSEBARAN SUMUR RESAPAN DI KOTA SURAKARTA TAHUN 2013 Erwin Santosa 1,*, Chatarina Muryani 2 dan Setya Nugraha 2 1 Program Studi Pendidikan Geografi, PIPS, FKIP, UNS Surakarta, Indonesia

Lebih terperinci

dengan 7 (tujuh), sedangkan target nomor 8 (delapan) menjadi Angka kematian ibu per kelahiran hidup turun drastis

dengan 7 (tujuh), sedangkan target nomor 8 (delapan) menjadi Angka kematian ibu per kelahiran hidup turun drastis dengan 7 (tujuh), sedangkan target nomor 8 (delapan) menjadi kewenangan pemerintah pusat. Angka kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup turun drastis pada tahun 2011, hal ini karena kasus kematian ibu

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2015

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2015 BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 201 PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 7 TAHUN 201 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BUPATI

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... Halaman PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2016-2021... 1 BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN Lampiran I Peraturan Bupati Pekalongan Nomor : 17 Tahun 2015 Tanggal : 29 Mei 2015 RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah

Lebih terperinci

TUJUAN 3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

TUJUAN 3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan TUJUAN 3 Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan 43 Tujuan 3: Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan Target 4: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi, tetapi berkaitan juga dengan rendahnya tingkat pendidikan, dan tingkat pendidikan yang rendah.

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi, tetapi berkaitan juga dengan rendahnya tingkat pendidikan, dan tingkat pendidikan yang rendah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks. Kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan masalah rendahnya tingkat pendapatan dan konsumsi, tetapi berkaitan juga dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertanian merupakan salah satu basis perekonomian Indonesia. Jika mengingat bahwa Indonesia adalah negara agraris, maka pembangunan pertanian akan memberikan

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1 Visi Visi merupakan cara pandang ke depan tentang kemana Pemerintah Kabupaten Belitung akan dibawa, diarahkan dan apa yang diinginkan untuk dicapai dalam kurun

Lebih terperinci

Kata Pengantar. Kepala Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta. Drs. Suwarta, SH, MM NIP

Kata Pengantar. Kepala Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta. Drs. Suwarta, SH, MM NIP Kata Pengantar Terimakasih kami ucapkan untuk dukungan berbagai pihak sebagai penghimpun data, pengolah data, penyusun analisis, dan penyaji Penyusunan Buku Profil Kependudukan Kota Surakarta 2014. Buku

Lebih terperinci

ZONASI TINGKAT KERENTANAN (VULNERABILITY) BANJIR DAERAH KOTA SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

ZONASI TINGKAT KERENTANAN (VULNERABILITY) BANJIR DAERAH KOTA SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI ZONASI TINGKAT KERENTANAN (VULNERABILITY) BANJIR DAERAH KOTA SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI Diajukan Oleh : Istikomah NIM : E100090054 Kepada FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014 ZONASI

Lebih terperinci