BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. V.1. Kesimpulan. 1. Pemberian monosodium glutamate (MSG ) per oral selama 30 hari hingga

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. V.1. Kesimpulan. 1. Pemberian monosodium glutamate (MSG ) per oral selama 30 hari hingga"

Transkripsi

1 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan penelitian, kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Pemberian monosodium glutamate (MSG ) per oral selama 30 hari hingga dosis 4 mg/g BB pada tikus Wistar ( Rattus novergicus) jantan remaja tidak menyebabkan perbedaan fungsi koordinasi motorik (waktu latensi dan jumlah jatuh) yang signifikan dibandingkan kelompok kontrol (tanpa MSG). 2. Pemberian monosodium glutamat (MSG) per oral selama 30 hari hingga 4 mg/g BB pada tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan remaja tidak menyebabkan perbedaan jumlah sel Purkinje yang signifikan dibandingkan kelompok kontrol (tanpa MSG). 3. Tidak didapatkan hubungan antara jumlah sel Purkinje cerebellum dan fungsi koordinasi motorik (waktu latensi dan jumlah jatuh) pada tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan remaja yang mendapatkan MSG per oral hingga dosis 4 mg/g BB. 74

2 75 V.2. Saran Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan, beberapa saran yang dapat diajukan antara lain: 1. Untuk melihat pengaruh MSG yang diberikan secara oral terhadap jumlah sel Purkinje cerebellum dan fungsi koordinasi motorik, perlu dilakukan penelitian dengan durasi yang lebih lama atau dengan meningkatkan dosis pemberian MSG untuk melihat toksisitas MSG yang dikonsumsi. 2. Untuk memperoleh presisi penghitungan jumlah sel Purkinje cerebellum yang optimal, perlu dilakukan penelitian untuk mengembangkan software ataupun metode fraksionator dan pengukur disektor, sehingga kerja menjadi lebih efektif dan efisien. 3. Untuk mendapatkan gambaran nucleolus yang lebih jelas, sebaiknya pewarnaan dengan toluidine blue 0,1% diperbarui setelah digunakan untuk mengecat 50 slide. 4. Untuk menghasilkan data yang lebih representatif pada uji perilaku, diperlukan jumlah subjek penelitian lebih besar yang didapatkan melalui proses optimasi. 5. Pengambilan kesimpulan penelitian untuk manusia terhadap hasil penelitian ini perlu dilakukan dengan hati-hati dengan memperhatikan derajat sensitivitas individu yang berbeda terhadap monosodium glutamat, faktor genetik, usia, jumlah dan frekuensi paparan, serta durasi paparan.

3 76 V.3. Ringkasan 1. Latar Belakang Monosodium glutamat (MSG) merupakan penguat rasa yang penggunaannya cukup luas di masyarakat, mulai dari produk makanan ringan hingga masakan olahan. Konsumsi MSG di Indonesia rata-rata 0,6 g per hari (Prawirohardjono et al., 2000). Angka tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata konsumsi MSG di negara-negara Asia yang mencapai 1,2-1,7 g per hari. Sedangkan di wilayah Eropa, rata-rata konsumsi MSG berkisar antara 0,3 0,5 g per hari (Beyreuther et al., 2007). Organisasi pangan dunia, Food and Agriculture Organization (FAO) telah menyatakan bahwa kadar MSG pada masyarakat masih berada dalam batas yang aman, namun beberapa penelitian preklinik pada hewan menunjukkan bahwa MSG dosis tinggi yang diberikan secara oral, subkutan, maupun intraperitoneal menyebabkan kerusakan organ. Glutamat merupakan neurotransmiter yang bersifat eksitatorik yang memiliki jumlah terbanyak di otak. Monosodium glutamat yang dikonsumsi secara berlebihan berpotensi meningkatkan kadar glutamat dalam darah hingga menjadi zat toksik yang sampai pada otak sehingga menyebabkan kematian neuron melalui aktivasi reseptor asam amino eksitatorik yang berlebihan. Aktivasi yang berlebihan terhadap reseptor asam amino eksitatorik menyebabkan peningkatan konsentrasi Ca 2+ yang memicu serangkaian proses yang menyebabkan nekrosis sel dan meningkatnya kadar reactive oxygen species (ROS). ROS menyebabkan kerusakan pada sebagian besar komponen sel yang bermanifestasi sebagai kerusakan membran, sitotoksik, mutagenositas, serta modifikasi enzim.

4 77 Sejauh ini penelitian mengenai pemberian MSG secara oral baru menunjukkan adanya pengaruh pada sel saraf cerebellum, namun penghitungan jumlah sel Purkinje cerebellum belum dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas dampak pemberian MSG per oral dengan dosis 1 mg/g BB, 2 mg/g BB, dan 4 mg/g BB selama 30 hari terhadap jumlah sel Purkinje cerebellum serta pengaruhnya terhadap koordinasi motorik pada tikus Wistar jantan. 2. Landasan Teori Dalam fungsinya sebagai neurotransmiter, glutamat berinteraksi dengan dua tipe reseptor membran postsinaps yaitu reseptor ionotropik dan reseptor metabotropik. Lapisan epitel mukosa saluran pencernaan serta sistem saraf enterik memiliki reseptor untuk glutamat (Burrin & Stoll, 2009). Dari saluran pencernaan, asam amino hasil pencernaan, termasuk glutamat yang terhidrolisis menjadi asam amino bebas akan diserap masuk ke dalam kapiler. Selanjutnya, dari kapiler akan menuju venula, lalu menuju vena, melalui vena porta (Bhattacharya et al., 2011), hingga sampai pada vena cava dan jantung. Dari jantung, bersama dengan aliran darah arteri, glutamat akan diedarkan ke seluruh tubuh, termasuk menuju otak. Neurotoksin seperti MSG berpotensi menimbulkan gangguan atau kerusakan pada cerebellum. Cerebellum merupakan salah satu bagian otak dengan kadar glutamat yang tinggi. Pada kadar glutamat yang tinggi dan menetap, ikatan antara glutamat dan reseptor ionotropik makin banyak terbentuk, kanal ion Ca 2+ terbuka sehingga ion Ca 2+ masuk ke dalam sel dalam jumlah besar. Sedangkan terikatnya glutamat pada reseptor metabotropik memicu aktivasi protein G yang akhirnya

5 78 menyebabkan kadar Ca 2+ di sitoplasma semakin meningkat. Meningkatnya aktivitas reseptor glutamat yang meningkatkan kadar Ca 2+ intraseluler juga menyebabkan stres pada retikulum endoplasma (Wang & Qin, 2010) yang akhirnya menyebabkan aktivasi protease proapoptosis. Semakin banyaknya jumlah ion Ca 2+ dalam sitoplasma akan mengaktifkan enzim proteolitik (fosfolipase C). Aktifn ya fosfolipase C memicu pemecahan asam lemak yang menyusun membran sel sehingga terjadi lisis membran. Kondisi tersebut memicu reaksi inflamasi dengan dihasilkannya asam arachidonat yang diubah menjadi prostaglandin dan leukotrien oleh enzim cyclo-oxygenase (COX) dan lipoxygenase (LOX) (Murphy, 2012). Sebagai respon terhadap banyaknya ion Ca 2+ di intrasel, diaktifkanlah sistem transport aktif ion Ca 2+ untuk mengeluarkannya ke ekstrasel. Sistem transport aktif ini memerlukan ATP sehingga berpotensi menyebabkan kelelahan sel hingga pada level exhausted yang memicu terjadinya apoptosis sel (Blaylock, 1997). Kadar glutamat yang berlebihan memicu dihasilkannya glutamat dehydrogenase (GDH) untuk mengubah glutamat menjadi glutamin di astrosit. Pada keadaan eksitotoksisitas glutamat, terjadi penurunan kadar GDH. Akibatnya, kadar glutamat di dalam sel menjadi sangat tinggi sehingga menyebabkan kematian sel (nekrosis) melalui mekanisme autofagi yang melibatkan lisosom yang tidak stabil yang membentuk kompleks autofagosom. Mitokondria dalam hal ini berperan sebagai pengatur keseimbangan ion Ca 2+, penghasil ATP, serta ROS endogen. Eksitotoksisitas yang disebabkan oleh berlebihnya jumlah ion Ca 2+ menyebabkan depolarisasi mitokondria yang

6 79 berdampak pada semakin banyak influks ion Ca 2+ ke dalam mitokondria. Banyaknya ion Ca 2+ di dalam mitokondria memicu diproduksinya radikal bebas (superoksida) dan protein pro-apoptosis sehingga menyebabkan fragmentasi DNA sel yang berakhir sebagai kematian sel (Wang & Qin, 2010). Kerusakan pada cerebellum dikaitkan dengan terganggunya fungsi koordinasi motorik anggota gerak (Guyton & Hall, 2011), hilangnya keseimbangan (Gordon & Ghez, 1995) dan tonus otot yang menopang fungsi keseimbangan. 3. Metode Penelitian Prosedur penelitian telah mendapatkan rekomendasi dan persetujuan dari Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan nomor KE/FK/66/EC/2016. Tikus jantan remaja galur Wistar ( Rattus norvegicus) yang diperoleh berdasarkan kriteria penelitian dipilih secara acak dan dibagi menjadi 4 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor. Sebelum diberikan perlakuan, hewan coba diadaptasikan pada suasana kandang dan lingkungan di sekitar kandang dengan mempertahankan intensitas cahaya harian (12 jam terang dan 12 jam gelap) selama 7 hari. Pakan dan kebutuhan minum tikus diberikan secara ad libitum dan dikontrol setiap hari. MSG yang diberikan secara oral berasal dari monosodium glutamat berkadar 99% dengan dosis 1 mg/g BB, 2 mg/g BB, dan 4 mg/g BB yang dilarutkan dalam 2 ml NaCl 0,9% untuk setiap dosis. Penetapan dosis didasarkan pada hasil konversi dosis penelitian pada manusia dengan asusmsi berat badan 70 kg, yaitu

7 80 sebesar 150 mg/kg BB (Baad -Hansen et al., 2009). Berdasarkan pertimbangan tersebut, peneliti menetapkan dosis 1 mg/gbb untuk dosis terendah. Dosis 2 mg/g BB merupakan kelipatan dua dari dosis terendah. Dosis 4 mg/g BB merupakan kelipatan empat dari dosis terendah. Sediaan tersebut dibuat setiap hari sebelum perlakuan sehingga merupakan sediaan segar dan terbebas dari kristalisasi. Larutan MSG ini selanjutnya diberikan kepada hewan coba dengan teknik sondase. Berat badan tikus pada setiap kelompok perlakuan ditimbang sebelum penghitungan dosis yang akan diberikan. Pemberian MSG per oral via sonde dilakukan selama 30 hari pada ketiga kelompok perlakuan, sedangkan pada kelompok kontrol diberikan 2 ml NaCl 0,9% per oral via sonde. Uji tabung putar ( rotarod test) adalah uji yang digunakan untuk menilai fungsi koordinasi motorik sehingga mampu menilai adanya defisit neurologis (Buitrago et al., 2004; Bohlen et al., 2009) terutama yang berkaitan dengan cerebellum (Shiotsuki et al., 2010). Pada uji tabung putar, fungsi koordinasi motorik tikus dinilai dengan waktu latensi (lama tikus bertahan pada instrumen dan jumlah jatuh) yang dilakukan sebanyak satu sesi (Partadiredja & Bedi, 2011). Setiap tikus diuji tanpa melalui latihan sebelumnya. Uji tabung putar dilakukan sebelum perlakuan (pre test) dan sesudah perlakuan (post test). Pre test dilakukan pada hari ke-8, sedangkan post test dilakukan pada hari ke-41 dan pada hari ke-52. Waktu latensi dihitung dari dua waktu terlama tikus mampu bertahan di atas tabung putar dalam waktu tiga menit. Hasil penghitungan waktu latensi disajikan dalam bentuk prosentase, yaitu dengan membandingkan rata-rata penghitungan

8 81 waktu latensi dengan total lama uji. Jumlah jatuh merupakan total jumlah jatuh selama 3 menit (Prastiwi et al., 2015). Pengambilan cerebellum dilakukan setelah pengujian koordinasi motorik tikus selesai, yaitu pada hari ke-53. Sebelum cerebellum diambil, dilakukan teknik perfusi transkardial. Pengambilan sampel dari organ cerebellum menggunakan metode fraksionator fisik. Cerebellum diletakkan pada permukaan yang datar. Dengan menggunakan tissue slicer (tebal silet +0,12 mm), cerebellum dipotong secara sagital dengan ketebalan potongan yang sama, yaitu 2 mm. Hasil potongan diurutkan sesuai letak awal dan dilakukan penomoran (1 dan 2) secara berseling. Randomisasi tahap pertama dilakukan dengan mengambil sampel secara acak dari 2 nomor. Sampel yang telah diurutkan dan diberi nomor diambil berdasarkan undian untuk memilih antara 1 atau 2. Hal ini dilakukan pada setiap cerebellum (fraksi 1 = ). Hasil randomisasi potongan pertama yaitu fraksi 1 (f1) dipotong menjadi bentuk yang lebih kecil. Selanjutnya potongan sampel disusun kembali dan dilanjutkan dengan pengambilan sampel lagi secara random sistematis. Pada randomisasi tahap kedua, diambil 1 nomor dari 3 nomor secara acak, sehingga didapatkan fraksi 2 (f2) =. Hasil randomisasi potongan tahap kedua, yaitu fraksi 2 (f2) diproses menjadi blok parafin. Sampel yang telah diproses dengan metode fraksionator fisik direndam dalam formaldehid 4% selama 24 jam, selanjutnya dilakukan pembuatan blok parafin. Pembuatan blok parafin dilakukan di Laboratorium Histologi dan Biologi Sel

9 82 Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, dengan melalui tahapan dehidrasi, clearing, embedding, dan pembuatan blok parafin. Selanjutnya sampel dipotong di Laboratorium Histologi dan Biologi Sel Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dengan menggunakan mikrotom Leica RM Blok parafin dipotong dengan ketebalan 4 µm dengan menggunakan mikrotom, diambil secara serial sebanyak 6 potongan preparat berurutan dan saling berpasangan dengan prinsip random dari setiap 50 potongan, sehingga didapatkan fraksi 3 (f3) =. Dengan demikian, didapatkan sekitar 6-10 slide dari 1 sampel jaringan. Hasil potongan sampel selanjutnya diletakkan di atas kaca objek yang sebelumnya telah diolesi dengan perekat. Kaca objek diletakkan pada hot plate agar mengering dan agar potongan sampel menempel, selanjutnya dilakukan proses pengecatan sampel. Tahapan berikutnya adalah penghitungan jumlah sel Purkinje. Penghitungan estimasi jumlah sel Purkinje cerebellum menggunakan metode disektor fisik. Penghitungan dilakukan terhadap nucleolus yang merupakan satuan unit hitung (Aminuddin et al., 2014; Prastiwi et al., 2015). Proses penghitungan melibatkan 4 fraksi (f), yaitu fraksi 1 (f1) =, fraksi 2 (f2) =, fraksi 3 (f3) =, dan fraksi 4 (f4) =. Dua potongan preparat histologis yang berurutan dan telah diwarnai, masingmasing dipotret dengan menggunakan mikroskop cahaya dan Optilab pada pembesaran 40 kali (lensa objektif 4 kali dan lensa okuler 10 kali). Hasil foto selanjutnya digabung dengan bantuan program Adobe Photoshop CC version 14.0 (Adobe Systems Incorporated, USA) untuk mendapatkan gambaran preparat

10 83 utuh. Dari 6 preparat histologis yang telah diwarnai dalam 1 slide, dipilih 1 pasang preparat yang memberikan gambaran penampang potongan cerebellum yang utuh atau paling mendekati wujud yang utuh. Dengan perbesaran 40 kali, dibuatlah titik hitung pada potongan preparat cerebellum dengan ukuran 1x1 cm 2 sehingga didapatkan beberapa kotak titik hitung berukuran 1x1 cm 2. Setiap 4 kotak ditentukan 1 kotak titik hitung yang akan menjadi target penghitungan dengan pendekatan 25% (1 dari 4) sehingga didapatkan nilai fraksi 4 (f4) =. Zona sel Purkinje cerebellum yang jatuh pada titik hitung target pada perbesaran 40 kali ditandai. Dengan perbesaran 400 kali ( lensa objektif 40 kali dan lensa okuler 10 kali), sel Purkinje yang masuk pada frame target dihitung seluruhnya dengan pengukur disektor. Sel Purkinje hasil penghitungan dijumlahkan seluruhnya sehingga didapatkan jumlah sel Purkinje per slide. Selanjutnya, jumlah dari masing-masing slide diakumulasi sehingga didapatkan jumlah sel Purkinje untuk satu subjek sampel (Q - ). Estimasi jumlah total sel Purkinje (N) dihitun g dengan rumus sebagai berikut: N = x x x x (Howard & Reed, 2005). Agar hasil penghitungan mendekati nilai objektif, setiap preparat histologis ditandai dengan kode secara acak sehingga peneliti tidak menyadari kelompok asal dari preparat histologis yang diperiksa (Prastiwi et al., 2015). Data hasil penelitian dianalisis dengan program SPSS 22 for Windows. Variabel penelitian merupakan data berskala numerik yang disajikan dalam bentuk rerata ± Standar Error of Mean (SEM). Uji normalitas data menggunakan uji Saphiro-Wilk, dilakukan sebelum mengerjakan uji statistik. Uji Saphiro-Wilk

11 84 dipilih karena jumlah sampel kurang dari 50 (Dahlan, 2011). Jika hasil uji normalitas menunjukkan data terdistribusi normal, maka dilakukan uji Levene untuk mengetahui homogenitas data. Jika data terdistribusi normal dan homogen maka dilakukan analisis statistik parametrik. Namun, jika hasil uji normalitas menunjukkan data tidak terdistribusi normal, maka dilakukan analisis statistik nonparametrik. Analisis statistik untuk melihat perbedaan waktu latensi dan jumlah jatuh antar kelompok pada hari ke-8 (praperlakuan), hari ke-41 (3 hari pascaperlakuan), dan hari ke-52 (14 hari pascaperlakuan) dilakukan uji non-parametrik Kruskal- Wallis dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Untuk melihat perbedaan waktu latensi dan jumlah jatuh (fungsi koordinasi motorik) dalam satu kelompok pada tiga periode pengujian, dilakukan analisis statistik dengan uji Friedman. Analisis statistik nonparametrik menggunakan uji Kruskal Wallis sehingga dapat diketahui adanya perbedaan rerata jumlah sel Purkinje cerebellum antar kelompok. Selanjutnya, terhadap variabel jumlah sel Purkinje dilakukan uji Mann Whitney untuk membandingkan efektivitas pemberian perlakuan pada masingmasing kelompok. Korelasi antar variabel dianalisis dengan uji korelasi. Hubungan antara fungsi koordinasi motorik dan jumlah sel Purkinje dianalisis dengan uji Spearman. Untuk mengevaluasi presisi penghitungan jumlah sel Purkinje, dilakukan penghitungan CE (coefficient of errors), CV total (total coefficient of variation), dan CV biologis (West, 2012). Penghitungan ini bertujuan untuk mengoptimalkan jumlah potongan sampling dan pengukur yang digunakan untuk penelitian-penelitian

12 85 dengan hitung jumlah sel Purkinje cerebellum selanjutnya. Adapun hasil perhitungan yang diharapkan adalah 0,2 < CE 2 /CV 2 total < 0,5. 4. Hasil Penelitian Subjek penelitian adalah tikus Wistar jantan berusia 6 sampai 8 minggu. Berat badan tikus ditimbang sebelum perlakuan dan setelah perlakuan. Sebelum perlakuan, berat tikus berkisar antara 100 g sampai 207 g, sedangkan berat tikus setelah perlakuan berkisar antara 192 g sampai 320 g. Dengan uji Shapiro-Wilk, diketahui bahwa data berat badan terdistribusi normal dengan nilai p>0,05. Dengan uji Levene, didapatkan bahwa data berat badan tikus homogen, artinya tidak didapatkan variasi data yang berbeda secara signifikan. Berdasarkan tabel 2, diketahui bahwa hasil analisis uji t-berpasangan menunjukkan peningkatan bermakna pada berat badan setelah perlakuan dibandingkan berat badan sebelum perlakuan pada seluruh kelompok (p<0,05). Melalui uji one way ANOVA, diketahui bahwa peningkatan berat badan pada masing-masing kelompok pada seluruh subjek penelitian tidak berbeda signifikan. Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa pemberian MSG per oral dengan dosis 1 mg/g BB, 2 mg/g BB, dan 4 mg/g BB tidak berpengaruh terhadap peningkatan berat badan. Fungsi koordinasi motorik tikus dinilai dengan waktu latensi dan jumlah jatuh, yang dilakukan sebanyak satu sesi. Uji koordinasi motorik diukur sebelum perlakuan, yaitu pada hari ke-8 dan setelah perlakuan, yaitu pada hari ke-41 dan hari ke-52. Waktu latensi dinilai dengan menghitung lama bertahan tikus di atas alat uji tabung putar. Untuk menganalisis pengaruh MSG terhadap fungsi

13 86 koordinasi motorik, peneliti harus membandingkan hasil uji waktu latensi dari subjek penelitian, yaitu antara kelompok kontrol (C) dan kelompok perlakuan (T1, T2, dan T3) pada tiap periode waktu pengujian (pra -perlakuan/hari ke-8, 3 hari pasca-perlakuan/hari ke-41, dan 14 hari pasca-perlakuan/hari ke-52). Uji normalitas terhadap data waktu latensi menunjukkan bahwa distribusi data tidak normal, sehingga dilakukan analisis non parametrik Kruskal-Wallis untuk setiap periode pengujian. Kemudian dilanjutkan dengan analisis Mann-Whitney untuk mengetahui pasangan kelompok yang memiliki perbedaan. Hasil analisis waktu latensi antar kelompok pada pra-perlakuan menggambarkan paling tidak terdapat perbedaan waktu latensi antara dua kelompok, dengan nilai p= 0,039. Pada 3 hari pasca-perlakuan dan 14 hari pasca-perlakuan, peneliti mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antar kelompok dengan nilai p masing-masing 0,567 dan 0,397. Selanjutnya, dengan analisis Mann-Whitney didapatkan bahwa pada uji pra-perlakuan, terdapat perbedaan waktu latensi antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan T1 dengan nilai p= 0,039. Sedangkan pada pasangan kelompok yang lain tidak didapatkan perbedaan signifikan. Untuk mengetahui perbedaan dalam satu kelompok pada beberapa kali pengujian, dilakukan analisis Friedman. Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol, terdapat perbedaan paling tidak pada 2 pengukuran waktu latensi (p = 0,028). Sedangkan pada kelompok T1, T2, dan T3 tidak terjadi perbedaan signifikan pada pengujian waktu latensi hari ke-8, hari ke-41, dan hari ke-52. Jumlah jatuh merupakan hasil konversi penghitungan jumlah kali jatuh tikus pada uji tabung putar selama 3 menit dengan menggunakan rumus

14 87 X(t) = ( + 0,5. Hal ini dilakukan karena beberapa data bernilai nol. Uji normalitas terhadap data jumlah jatuh menunjukkan distribusi data tidak normal sehingga dilakukan analisis non-parametrik Kruskal-Wallis untuk setiap waktu pengujian. Kemudian dilanjutkan dengan analisis Mann-Whitney untuk mengetahui pasangan kelompok yang memiliki perbedaan. Hasil analisis jumlah jatuh antar kelompok pada pra-perlakuan, 3 hari pasca-perlakuan (hari ke-41), dan 14 hari pasca-perlakuan (hari ke-52) menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna dengan nilai p>0,05. Selanjutnya, dengan analisis Mann-Whitney didapatkan bahwa pada uji pra-perlakuan, terdapat perbedaan jumlah jatuh antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan T1 dengan nilai p= 0,03. Sedangkan, pada pasangan kelompok yang lain tidak didapatkan perbedaan signifikan. Untuk mengetahui perbedaan dalam satu kelompok pada beberapa kali pengujian, dilakukan analisis Friedman. Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol, terdapat perbedaan jumlah jatuh paling tidak pada 2 pengukuran (p = 0,048). Sedangkan pada kelompok T1, T2, dan T3 tidak terjadi perbedaan signifikan pada pengujian jumlah jatuh hari ke-8, hari ke-41, dan hari ke-52. Estimasi jumlah sel Purkinje cerebellum dihitung dengan metode disektor fisik. Penghitungan dilakukan terhadap nucleolus yang merupakan satuan unit hitung (Aminuddin et al., 2014; Prastiwi et al., 2015). Proses penghitungan melibatkan 4 fraksi (f), yaitu fraksi 1 (f1) =, fraksi 2 (f2) =, fraksi 3 (f3) =, dan fraksi 4 (f4) =.

15 88 Uji normalitas terhadap jumlah sel Purkinje cerebellum menggambarkan data tidak terdistribusi normal sehingga digunakan analisis statistik non-parametrik. Berdasarkan uji Kruskal Wallis diperoleh data bahwa jumlah sel Purkinje cerebellum antar kelompok tidak terdapat perbedaan bermakna, dengan nilai p = 0,664. Selanjutnya, dilakukan uji Mann-Whitney untuk mengetahui pasangan kelompok yang memiliki perbedaan. Hasil uji Mann-Whitney menggambarkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna pada jumlah sel Purkinje antar masingmasing kelompok subjek penelitian dengan nilai p>0,05. Penghitungan estimasi kekuatan presisi terhadap jumlah sel Purkinje cerebellum menunjukkan hasil di bawah nilai target di mana (CE 2 /CV 2 total < 0,2). Berdasarkan hasil tersebut, penghitungan jumlah sel Purkinje masih kurang efektif dan efisien. Untuk memperoleh hasil 0,2 < CE 2 /CV 2 total < 0,5, diperlukan pengurangan jumlah potongan maupun jumlah lapang pandang yang dihitung sehingga didapatkan hasil optimal. Uji korelasi digunakan untuk mengetahui adakah hubungan antara fungsi koordinasi motorik (waktu latensi dan jumlah jatuh) dan jumlah sel Purkinje cerebellum. Ketiga data yang akan dikorelasikan memiliki distribusi data yang tidak normal sehingga uji yang dipilih adalah uji Spearman. Berdasarkan uji Spearman, dapat diketahui bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara waktu latensi maupun jumlah jatuh dan jumlah sel Purkinje cerebellum dari subjek penelitian, dengan masing-masing nilai p>0,05.

16 89 5. Pembahasan Pada uji perbandingan berat badan antar kelompok sebelum perlakuan, diperoleh data yang tidak berbeda. Hal serupa terjadi pada pemeriksaan berat badan antar kelompok setelah perlakuan (sebelum proses nekropsi). Peneliti menerapkan pola makan ad libitum pada seluruh kelompok, dengan ritme aktivitas yang disamakan antar masing-masing tikus yang tinggal pada kandang dengan luas dan bentuk yang sama. Selama perlakuan, peneliti tidak mendapati adanya tikus yang sakit. Masing-masing tikus memperoleh perlakuan pemberian cairan via sondasi dengan metode yang sama. Oleh karena itu, satu-satunya perlakuan yang berbeda adalah tikus tanpa MSG dan tikus yang mendapatkan MSG dengan dosis yang bervariasi. Dengan demikian, pemberian MSG per oral dengan dosis 1 mg/g BB, 2 mg/g BB, dan 4 mg/g BB selama 30 hari tidak mempengaruhi nafsu makan dan berat badan tikus. Fungsi koordinasi motorik merupakan kemampuan sensorimotor yang menggambarkan fungsi yang selaras dari bagian-bagian tubuh yang terlibat dalam mencipta gerakan. Pengaturan kerja motorik dan koordinasinya merupakan hasil kerjasama antara beberapa bagian di otak (Ganong, 2005). Untuk menghasilkan kerja motorik, terdapat komponen eksitasi yang memodulasi gerakan dan komponen inhibisi yang mengontrol gerakan (fungsi koordinasi). Kejadian eksitotoksisitas yang berlangsung secara terus menerus, dapat berdampak pada kerusakan neuron. Cerebellum merupakan salah satu bagian otak yang berperan dalam pengaturan fungsi koordinasi motorik. Fungsi koordinasi motorik tikus

17 90 dapat dinilai, salah satunya adalah dengan menghitung waktu latensi, yaitu lama bertahan tikus di atas tabung putar dan dengan menghitung jumlah jatuhnya. Pada penelitian ini, diperoleh hasil bahwa waktu latensi tidak berbeda secara bermakna pada hari ke-8 (lihat di tabel 3). Terjadinya perbedaan signifikan pada hari ke-8 menggambarkan bahwa kondisi awal tikus berbeda-beda. Hal ini merupakan salah satu kelemahan penelitian ini. Meskipun demikian, perbedaan signifikan tidak terjadi pada hari ke-41 dan tetap tidak berbeda pada hari ke-52. Namun, pada parameter jumlah jatuh, tidak didapatkan perbedaan signifikan pada hari ke-8, yang menunjukkan bahwa kondisi awal tikus tidak berbeda (lihat di tabel 4). Perbedaan signifikan terhadap parameter jumlah jatuh juga tidak terjadi pada hari ke-41 dan hari ke-52. Selain itu, pada analisis Friedman yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan pada masing-masing kelompok antar waktu pengujian, didapatkan bahwa pada kelompok kontrol, didapatkan perbedaan bermakna antara pengujian hari ke-8 dan pengujian hari ke-41 maupun hari ke-52. Sedangkan pada kelompok perlakuan (T1, T2, T3) didapatkan hasil yang tidak signifikan. Hasil tersebut menggambarkan bahwa kemampuan untuk mempelajari dan mengingat pola gerakan pada uji tabung putar dimiliki oleh kelompok kontrol dan tidak dimiliki oleh kelompok perlakuan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Collison et al. (2010) yang mana pemberian MSG menurunkan kapasitas memori spasial. Selain itu, tidak adanya perbedaan antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian MSG per oral selama kurun waktu 30 hari (subkronis) dengan dosis 1 mg/g BB, 2 mg/g BB, dan 4 mg/g BB belum

18 91 menimbulkan gangguan terhadap fungsi koordinasi motorik. Hal ini selaras dengan hasil penghitungan sel Purkinje cerebellum yang juga menunjukkan perbedaan tidak signifikan antar kelompok. Tren waktu latensi yang menurun dan jumlah jatuh yang meningkat pada uji tabung putar hari ke-52 pada kelompok perlakuan memberikan gambaran bahwa fungsi koordinasi motorik tikus mulai terganggu, meskipun pembuktian statistik menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan. Hal ini dapat terjadi akibat kecilnya jumlah sampel untuk suatu uji perilaku. Di samping itu, peningkatan berat badan pun berpengaruh terhadap frekuensi jatuh. MSG merupakan zat eksitotoksin yang berpotensi menyebabkan apoptosis dan nekrosis sel Purkinje. Dengan lebih sedikitnya jumlah sel Purkinje, penerimaan input motorik melalui mossy fibers dan climbing fibers, serta modulasi output dari cerebellum akan berkurang. Kondisi tersebut akan menyebabkan gangguan transmisi output dari cerebellum ke Upper Motor Neuron (UMN) sehingga menyebabkan gangguan fungsi koordinasi motorik (Purves et al., 2001). Pemberian MSG per oral dengan dosis 1 mg/g BB, 2 mg/g BB, dan 4 mg/g BB selama 30 hari belum menunjukkan perbedaan signifikan pada jumlah sel Purkinje cerebellum antar kelompok. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Prastiwi et al. (201 5) memberikan hasil signifikan di mana dosis MSG sebesar 3,5 mg/g BB yang disuntikkan secara intraperitoneal menunjukkan perbedaan signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada penelitian ini, pemberian MSG per oral dengan durasi lebih lama (1

19 92 bulan) belum mampu memberikan hasil yang setara dengan pemberian MSG melalui suntikan langsung. Penelitian Burrin dan Stoll (2009) dengan subjek penelitian babi menunjukkan bahwa MSG dengan dosis di atas rata-rata dosis harian yang diberikan secara intragastrik akan diabsorbsi dengan kisaran 17-28%. Dalam perjalanannya menuju otak, MSG yang diberikan secara oral via tabung intragastrik mengalami beberapa pajanan kimiawi di lambung, di intestinum, serta dalam perjalanan melalui vena porta hepatika. Sebagaimana penelitian Burrin dan Stoll (2009), absorbsi glutamat di lambung hanya berkisar 17-28% (dengan median 22%), sedangkan di duodenum terabsorbsi sekitar 13-17% (dengan median 15%). Sebagai ilustrasi, jika MSG dimisalkan hanya melalui dua organ di atas (lambung dan duodenum), maka 100 mg MSG akan terabsorbsi sebesar (22% x 100 mg) + (15% x 22% x100 mg) = 25,3 mg. Pada kenyataannya, untuk dapat sampai pada pembuluh darah, suatu substansi masih akan melalui beberapa lapis sawar darah yang akan menurunkan kadar substansi awal. Apalagi untuk dapat menembus sawar darah otak diperlukan sejumlah substansi (MSG) yang melebihi ambang batas maksimal, di mana kadar glutamat ekstrasel dipertahankan sebesar 5-10 mikromolar per kilogram berat jaringan. Meskipun demikian, pemberian MSG per oral lebih menggambarkan kondisi di masyarakat, di mana MSG dikonsumsi dengan cara dimakan dan bukan disuntikkan. Fungsi koordinasi motorik merupakan hasil pengaturan berbagai bagian pada sistem saraf pusat. Bagian-bagian tersebut bekerjasama untuk menciptakan pola gerakan motorik yang selaras dan terkoordinasi. Cerebellum merupakan salah satu

20 93 bagian yang berperan dalam koordinasi motorik. Dosis MSG sebesar 4 mg/g BB yang telah diberikan secara oral belum menyebabkan kerusakan yang signifikan sehingga tidak berpengaruh terhadap fungsi koordinasi motorik. Namun, dengan adanya tren yang menurun pada jumlah sel Purkinje cerebellum pada kelompok perlakuan (T1, T2, dan T3), dapat dijelaskan bahwa MSG menyebabkan kerusakan pada neuron, utamanya neuron Purkinje cerebellum. Kematian sel Purkinje cerebellum disebabkan oleh eksitotoksisitas MSG yang menyebabkan reseptor glutamat teraktivasi (Lau & Tymian ski, 2010). Kerusakan neuron berawal dari adanya interaksi antara glutamat (melebihi ambang toleransi glutamat ekstraseluler) dan reseptor glutamat yang diikuti dengan meningkatnya ion kalsium intraseluler (Balazs et al., 2006; Abbas et al., 2011). Selanjutnya terjadi overstimulasi reseptor membran yang berpotensi menimbulkan kerusakan pada neuron. Lebih rendahnya rata-rata jumlah sel Purkinje pada kelompok perlakuan merupakan dampak dari meningkatnya proses kematian sel akibat stress oksidatif (Farombi dan Onyema, 2006). Fungsi koordinasi motorik pada subjek penelitian tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan jumlah sel Purkinje cerebellum. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa fungsi koordinasi motorik diatur oleh beberapa bagian dari sistem saraf pusat, termasuk cerebellum. Berdasarkan teori plastisitas, jika suatu bagian dari otak terganggu atau bahkan gagal dalam menjalankan fungsi, maka bagian dari otak yang lain (bisa jadi bagian yang berdekatan ataupun yang jauh) akan melakukan mekanisme kompensasi terhadap fungsi yang sama (Purves et al., 2001). Dengan demikian, penurunan jumlah sel

21 94 Purkinje cerebellum tidak serta-merta mengakibatkan gangguan pada fungsi koordinasi motorik. Diperlukan prosentase kerusakan yang besar untuk menimbulkan disturbansi terhadap fungsi koordinasi motorik yang terlihat dari penilaian terhadap waktu latensi dan jumlah jatuh tikus pada uji tabung putar (Prastiwi et al., 2015). Konsumsi MSG per oral terbukti meningkatkan kadar glutamat dalam darah. Namun tidak serta-merta hal tersebut menimbulkan kerusakan neuron di otak secara langsung. Hal ini sesuai dengan penelitian Baad-Hansen et al. (2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah 30 menit pemberian MSG didapatkan peningkatan level glutamat dalam plasma darah mencapai 395% pada dosis 75 mg/kg BB, dan semakin meningkat menjadi 556% pada dosis 150 mg/kg BB. Namun, dengan adanya mekanisme clearance, peningkatan kadar glutamat dalam plasma dapat dinormalkan sehingga tidak sampai menimbulkan reaksi eksitotoksisitas. Akan tetapi, jika hal tersebut terjadi secara terus-menerus, maka dapat terjadi kegagalan mekanisme clearance yang dipicu oleh kondisi eksitotoksik endogen. Jika mekanisme clearance gagal, maka kadar glutamat menjadi semakin tinggi hingga memicu kondisi eksitotoksik ekstrasel yang akhirnya menyebabkan kerusakan sel (neuron). Oleh karena itu, penelitian terhadap keamanan MSG terus menerus dilakukan mengingat manusia sangat sulit menghindari makanan dengan campuran MSG. Pada penelitian ini, dosis maksimal yang digunakan adalah 4 mg/g BB. Tujuan akhir dari penelitian pada hewan coba adalah bagaimana kadar yang digunakan pada hewan coba dapat dikonversi menjadi dosis manusia. Jika dosis 4

22 95 mg/g BB dikonversi ke dalam dosis manusia, maka dengan pendekatan faktor konversi sebesar 56 ( Laurence & Bocharch, 1964), diperoleh dosis 640 mg/kg BB. Jika dosis tersebut diberikan pada seseorang dengan berat badan 70 kg, maka MSG yang dikonsumsi adalah sebesar mg, sama dengan 44,8 g. Hasil tersebut merupakan angka yang besar untuk konsumsi manusia. Jika dibandingkan dengan rata-rata konsumsi MSG di dunia, maka angka tersebut jauh lebih tinggi. Rata-rata konsumsi MSG di Indonesia adalah sebesar 0,6 g per hari (Prawirohardjono et al., 2000). Sementara itu, rata-rata konsumsi MSG di negaranegara Asia mencapai 1,2-1,7 g per hari dan antara 0,3 0,5 g per hari di wilayah Eropa (Beyreuther et al., 2007). Mengacu pada rata-rata konsumsi MSG di dunia, penggunaan MSG saat ini masih dalam batas aman, namun masih berpotensi menimbulkan gejala seperti sakit kepala, pusing, mual, keringat berlebihan, lemah, rasa kering di kerongkongan, rasa panas di wajah, leher, dan dada, nyeri perut, serta diare. Munculnya beberapa keluhan tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik, usia, jumlah dan frekuensi paparan, sensitivitas individu terhadap eksitotoksin, serta durasi paparan. Batas aman konsumsi MSG adalah 120 mg/kg BB/hari (Collison et al, 2009). Kadar asam glutamat dalam darah baru akan meningkat setelah mengonsumsi MSG 30 mg/kg BB/hari (Walker dan Lupien, 2000).

23 96 6. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan penelitian, kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Pemberian monosodium glutamate (MSG ) per oral selama 30 hari hingga dosis 4 mg/g BB pada tikus Wistar ( Rattus novergicus) jantan remaja tidak menyebabkan perbedaan fungsi koordinasi motorik (waktu latensi dan jumlah jatuh) yang signifikan dibandingkan kelompok kontrol (tanpa MSG). 2. Pemberian monosodium glutamat (MSG) per oral selama 30 hari hingga 4 mg/g BB pada tikus Wistar ( Rattus norvegicus) jantan remaja tidak menyebabkan perbedaan jumlah sel Purkinje yang signifikan dibandingkan kelompok kontrol (tanpa MSG). 3. Tidak didapatkan hubungan antara jumlah sel Purkinje cerebellum dan fungsi koordinasi motorik (waktu latensi dan jumlah jatuh) pada tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan remaja yang mendapatkan MSG per oral hingga dosis 4 mg/g BB.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. cukup luas di masyarakat, mulai dari produk makanan ringan hingga masakan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. cukup luas di masyarakat, mulai dari produk makanan ringan hingga masakan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Monosodium glutamat (MSG) merupakan penguat rasa yang penggunaannya cukup luas di masyarakat, mulai dari produk makanan ringan hingga masakan olahan. Luasnya penggunaan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, SARAN, DAN RINGKASAN. V.1. Kesimpulan. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

BAB V KESIMPULAN, SARAN, DAN RINGKASAN. V.1. Kesimpulan. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : BAB V KESIMPULAN, SARAN, DAN RINGKASAN V.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : 1. Gangguan koordinasi motorik lebih besar pada kelompok tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Perkembangan zaman berdampak pada perubahan pola makan yang lebih banyak

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Perkembangan zaman berdampak pada perubahan pola makan yang lebih banyak BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perkembangan zaman berdampak pada perubahan pola makan yang lebih banyak mengkonsumsi jenis makanan cepat saji, makanan kemasan dan makanan yang diawetkan yang saat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dibagi menjadi kelompok kontrol dan perlakuan lalu dibandingkan kerusakan

BAB III METODE PENELITIAN. dibagi menjadi kelompok kontrol dan perlakuan lalu dibandingkan kerusakan BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental laboratorik. Penelitian dilakukan dengan memberikan perlakuan pada sampel yang telah dibagi menjadi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Farmakologi. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Biokimia, Gizi dan 4.2 Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan post

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan post 23 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan post test only group design. Penelitian eksperimental bertujuan untuk mengetahui kemungkinan

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup keilmuan penelitian ini adalah bidang Histologi, Patologi Anatomi, dan Farmakologi. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian akan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup ruang ilmu Anestesiologi, Farmakologi, dan Patologi Klinik. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Desain pada penelitian ini adalah eksperimen laboratorium dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Desain pada penelitian ini adalah eksperimen laboratorium dengan 1 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain pada penelitian ini adalah eksperimen laboratorium dengan rancangan percobaan post test only control group design. Pengambilan hewan uji sebagai

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup ilmu penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik, Ilmu Patologi Anatomi dan Farmakologi. 4.2. Tempat dan Waktu Penelitian Adaptasi

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik dan Ilmu Patologi Anatomi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan selama

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Forensik, Ilmu Patologi Anatomi dan Farmakologi.

BAB IV METODE PENELITIAN. Forensik, Ilmu Patologi Anatomi dan Farmakologi. 26 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup ilmu dari penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik, Ilmu Patologi Anatomi dan Farmakologi. 4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 29 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen kuantitatif. Pada penelitian ini terdapat manipulasi terhadap objek

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup keilmuan penelitian ini mencakup bidang Histologi, Patologi Anatomi, dan Farmakologi. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah ilmu Anestesiologi, Farmakologi, dan Patologi Klinik. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini adalah ilmu kedokteran forensik, farmakologi dan ilmu patologi anatomi. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Adaptasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental, dengan rancangan acak lengkap dan menggunakan pendekatan posttest only control design

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan the

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan the 16 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan the post test only group design. Penelitian eksperimental bertujuan untuk mengetahui kemungkinan

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik dan Ilmu Patologi Anatomi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan selama

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. design. Posttest untuk menganalisis perubahan jumlah sel piramid pada

BAB III METODE PENELITIAN. design. Posttest untuk menganalisis perubahan jumlah sel piramid pada BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental, posttest only control group design. Posttest untuk menganalisis perubahan jumlah sel piramid pada korteks

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian 3.1.1 Lingkup Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biologi Universitas Negeri Semarang, Laboratorium Histologi Universitas Diponegoro, Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan percobaan post-test only control group design. Pengambilan hewan

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan percobaan post-test only control group design. Pengambilan hewan BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorium, dengan rancangan percobaan post-test only control group design. Pengambilan hewan uji sebagai sampel

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Tempat : Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Universitas. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

BAB IV METODE PENELITIAN. Tempat : Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Universitas. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mencakup ruang ilmu Anestesiologi, Farmakologi, dan Patologi Klinik. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat : Penelitian dilakukan di

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental, postest only control group design. Postes untuk menganalisis perubahan jumlah purkinje pada pada lapisan ganglionar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini meliputi ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok (THT)

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini meliputi ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok (THT) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini meliputi ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok (THT) divisi Alergi-Imunologi dan Patologi Anatomi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 22 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Ruang lingkup penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Farmakologi, Farmasi dan Patologi Anatomi. 4.2. Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini berkaitan dengan Ilmu Kedokteran Forensik, Ilmu Patologi Anatomi, dan Toksikologi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Pemeliharaan hewan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Gizi dan Biokimia.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Gizi dan Biokimia. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Gizi dan Biokimia. 3.2 Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hewan Coba

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. 1.1 Ruang Lingkup Penelitian Pada penelitian ini, ruang lingkup keilmuan yang digunakan adalah Ilmu

BAB IV METODE PENELITIAN. 1.1 Ruang Lingkup Penelitian Pada penelitian ini, ruang lingkup keilmuan yang digunakan adalah Ilmu 26 BAB IV METODE PENELITIAN 1.1 Ruang Lingkup Penelitian Pada penelitian ini, ruang lingkup keilmuan yang digunakan adalah Ilmu Histologi dan Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Biokimia.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Biokimia. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Biokimia. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Pemeliharaan hewan coba dan penelitian dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik dan Ilmu Patologi Anatomi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan pendekatan pre dan post test control group design. 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 23 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup Penelitian 4.1.1 Ruang Lingkup Keilmuan Penelitian ini mencakup bidang Histologi, Patologi Anatomi, dan Farmakologi. 4.1.2 Ruang Lingkup Tempat Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental in vivo pada hewan. uji dengan posttest only control group design

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental in vivo pada hewan. uji dengan posttest only control group design BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental in vivo pada hewan uji dengan posttest only control group design B. Subjek Penelitian Hewan uji yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. pendekatan Pre test - Post Test Only Control Group Design. Perlakuan hewan coba dilakukan di animal house Fakultas Kedokteran

III. METODE PENELITIAN. pendekatan Pre test - Post Test Only Control Group Design. Perlakuan hewan coba dilakukan di animal house Fakultas Kedokteran 24 III. METODE PENELITIAN III.1 Jenis dan Desain Penelitian Jenis dari penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain penelitian menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus putih (Rattus norvegicus) Penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus putih (Rattus norvegicus) Penelitian ini BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan. Hewan coba yang digunakan

Lebih terperinci

BAB IV METODA PENELITIAN. designs) dengan rancangan randomized post-test control group design, 56 yang

BAB IV METODA PENELITIAN. designs) dengan rancangan randomized post-test control group design, 56 yang BAB IV METODA PENELITIAN IV.1. Desain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik ( true experiment designs) dengan rancangan randomized post-test control group design, 56 yang

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini meliputi bidang Ilmu Gizi, Farmakologi, Histologi dan Patologi

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini meliputi bidang Ilmu Gizi, Farmakologi, Histologi dan Patologi BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Anatomi. Penelitian ini meliputi bidang Ilmu Gizi, Farmakologi, Histologi dan Patologi 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Ilmu Patologi Anatomi dan

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Ilmu Patologi Anatomi dan BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Ilmu Patologi Anatomi dan Fisika kedokteran. 4.2 Tempat dan waktu penelitian 4.2.1 Tempat 1. Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah eksperimental laboratorik. B. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah ilmu farmakologi,

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah ilmu farmakologi, 21 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah ilmu farmakologi, histologi, dan patologi anatomi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian 1) Tempat

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang ilmu Biokimia dan Farmakologi.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang ilmu Biokimia dan Farmakologi. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang ilmu Biokimia dan Farmakologi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik, Ilmu

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik, Ilmu BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik, Ilmu Patologi Anatomi, dan Fisika Kedokteran. 4.2 Tempat dan waktu penelitian 4.2.1 Tempat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Farmakologi dan Terapi 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hewan

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Biokimia. pembuatan pakan. Analisis kadar malondialdehida serum dilakukan di

BAB 4 METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Biokimia. pembuatan pakan. Analisis kadar malondialdehida serum dilakukan di BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Biokimia. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Parasitologi Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Bidang ilmu yang tercakup dalam penelitian ini adalah Biologi, Farmakologi, dan Kimia. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan.hewan

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan.hewan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan.hewan coba yang

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Farmakologi. Penelitian ini termasuk dalam lingkup kelimuan Biokimia dan 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Obstetri Ginekologi, Patologi Anatomi,

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Obstetri Ginekologi, Patologi Anatomi, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian dan Farmakologi. Penelitian ini mencakup bidang Obstetri Ginekologi, Patologi Anatomi, 3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian a. Pemeliharaan dan perlakuan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Waktu dan lokasi penelitian ini adalah sebagai berikut : dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi RSUP Dr.

BAB III METODE PENELITIAN. Waktu dan lokasi penelitian ini adalah sebagai berikut : dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi RSUP Dr. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mencakup Ilmu dibidang Obstetri dan Ginekologi dan Histologi 3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu dan lokasi penelitian ini adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Etanol disebut juga etil alkohol atau alkohol yang merupakan sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, dan tak berwarna. Etanol merupakan jenis alkohol yang

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dari penelitian ini adalah Histologi, Patologi

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dari penelitian ini adalah Histologi, Patologi BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup keilmuan dari penelitian ini adalah Histologi, Patologi Anatomi dan Farmakologi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Pemeliharaan hewan coba dilakukan di Animal Care Universitas Negeri

BAB 3 METODE PENELITIAN. Pemeliharaan hewan coba dilakukan di Animal Care Universitas Negeri BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup Penelitian 3.1.1. Lingkup Tempat Pemeliharaan hewan coba dilakukan di Animal Care Universitas Negeri Semarang (UNNES). Pemeriksaan histopatologi dilakukan di

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Histologi, Patologi Anatomi dan

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Histologi, Patologi Anatomi dan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Histologi, Patologi Anatomi dan Farmakologi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Pembuatan ekstrak kulit manggis (Garcinia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah eskperimental

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah eskperimental BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah eskperimental laboratorik dengan rancangan penelitian pre test & post test control group design

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kedokteran khususnya ilmu Biokimia dan Farmakologi.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kedokteran khususnya ilmu Biokimia dan Farmakologi. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kedokteran khususnya ilmu Biokimia dan Farmakologi. 3.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Patologi Anatomi, Histologi, dan Farmakologi. Laboratorium Patologi Anatomi RSUP dr. Kariadi Semarang.

BAB III METODE PENELITIAN. Patologi Anatomi, Histologi, dan Farmakologi. Laboratorium Patologi Anatomi RSUP dr. Kariadi Semarang. BAB III METODE PENELITIAN 3.3 Ruang Lingkup Penelitian 3.1.1 Ruang Lingkup Keilmuan Pada penelitian ini, ruang lingkup keilmuan yang digunakan adalah Patologi Anatomi, Histologi, dan Farmakologi. 3.1.2

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap kadar glukosa darah dan histologi pankreas tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PELAKSANAAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian dan Pengembangan

BAB IV METODE PELAKSANAAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian dan Pengembangan BAB IV METODE PELAKSANAAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menyangkut bidang ilmu biokimia, ilmu gizi, dan patologi anatomi 4.2 Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. : Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. : Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 31 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini memiliki ruang lingkup pada ilmu Farmakologi dan Biokimia. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat : Laboratorium Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Farmakologi. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Biokimia, Gizi dan 4.2. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup keilmuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Patologi Anatomi, Histologi, dan Farmakologi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 1)

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. hewan coba tikus Wistar menggunakan desain post test only control group

BAB IV METODE PENELITIAN. hewan coba tikus Wistar menggunakan desain post test only control group BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Disain penelitian Penelitian ini merupakan penelitian experimental laboratoris dengan hewan coba tikus Wistar menggunakan desain post test only control group design. Tikus

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Biokimia.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Biokimia. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Biokimia. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Parasitologi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini memiliki ruang lingkup pada ilmu Farmakologi dan Biokimia.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini memiliki ruang lingkup pada ilmu Farmakologi dan Biokimia. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini memiliki ruang lingkup pada ilmu Farmakologi dan Biokimia. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat : -Laboratorium Penelitian dan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang ilmu Biokimia dan Farmakologi. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah true experimental dengan pre-post test with

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah true experimental dengan pre-post test with 43 III. METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah true experimental dengan pre-post test with randomized control group design. Pemilihan subjek penelitian untuk pengelompokan

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Disiplin ilmu dalam penelitian ini adalah ilmu Biokimia dan Farmakologi.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Disiplin ilmu dalam penelitian ini adalah ilmu Biokimia dan Farmakologi. BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Disiplin ilmu dalam penelitian ini adalah ilmu Biokimia dan Farmakologi. 4.2 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 26 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup keilmuan penelitian ini adalah bidang Histologi, Patologi Anatomi, dan Farmakologi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN BAB V HASIL PENELITIAN Tikus jantan galur Sprague dawley yang digunakan dalam penelitian ini berumur 9 minggu sebanyak 18 ekor dibagi menjadi 3 kelompok ( kontrol, P1 dan P2 ), selama penelitian semua

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hewan Coba Fakultas Kedokteran

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hewan Coba Fakultas Kedokteran BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Farmakologi dan Terapi 3.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hewan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Kesehatan Jiwa, dan Patologi Anatomi. ini akan dilaksanakan dari bulan Februari-April tahun 2016.

BAB III METODE PENELITIAN. Kesehatan Jiwa, dan Patologi Anatomi. ini akan dilaksanakan dari bulan Februari-April tahun 2016. 27 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Farmakologi, Biokimia, Ilmu Kesehatan Jiwa, dan Patologi Anatomi. 3.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian post test only with control group

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 26 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan metode post test group only design. Menggunakan tikus putih jantan galur Sprague dawley berumur

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Forensik, Ilmu Patologi Anatomi, Ilmu Farmakologi. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan

BAB III METODE PENELITIAN. Forensik, Ilmu Patologi Anatomi, Ilmu Farmakologi. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup keilmuan dari penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik, Ilmu Patologi Anatomi, Ilmu Farmakologi. 3.2 Tempat dan waktu penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 25 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen adalah penelitian yang dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengamatan Neuron Pyramidal CA1 Hippocampus

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengamatan Neuron Pyramidal CA1 Hippocampus BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia dengan nomor 19/Ka.Kom.Et/70/KE/III/2016.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorium dan menggunakan

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorium dan menggunakan III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorium dan menggunakan rancangan acak lengkap dengan Posttest Only Control Group Design. Dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan rancangan post test dan controlled group design pada hewan uji.

BAB III METODE PENELITIAN. dengan rancangan post test dan controlled group design pada hewan uji. BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Model penelitian ini adalah eksperimental murni yang dilakukan dengan rancangan post test dan controlled group design pada hewan uji. B. Populasi dan Sampel

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. perlakuan pada hewan uji (Taufiqurrahman, 2004). Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu subyek

BAB III METODE PENELITIAN. perlakuan pada hewan uji (Taufiqurrahman, 2004). Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu subyek BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat experimental laboratorium dengan rancangan penelitian post test only control group, karena pengukuran hanya dilakukan setelah pemberian

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 40 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan pretest - posttest control group design (Campbell & Stanly, 1996). Skema

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 32 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian 4.1.1. Deskripsi Subjek Penelitian Subyek penelitian ini yaitu tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur Wistar, usia 90 hari dengan berat badan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Hal ini karena pada penelitian ini terdapat manipulasi terhadap objek

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. menggunakan pre dan post-test design. Pre-test pada penelitian ini adalah

III. METODE PENELITIAN. menggunakan pre dan post-test design. Pre-test pada penelitian ini adalah III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian adalah penelitian eksperimental murni, dengan menggunakan pre dan post-test design. Pre-test pada penelitian ini adalah pengukuran kadar LDL

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. laboratorik dengan rancangan penelitian pretest and posttest with control

BAB III METODE PENELITIAN. laboratorik dengan rancangan penelitian pretest and posttest with control BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Design Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan peneliti adalah studi eksperimental laboratorik dengan rancangan penelitian pretest and posttest with control group

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Ruang Lingkup, Tempat dan Waktu Penelitian. 2. Ruang lingkup tempat : Laboratorium Biologi Universitas Negeri

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Ruang Lingkup, Tempat dan Waktu Penelitian. 2. Ruang lingkup tempat : Laboratorium Biologi Universitas Negeri BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup, Tempat dan Waktu Penelitian 1. Ruang lingkup keilmuwan : Anestesiologi 2. Ruang lingkup tempat : Laboratorium Biologi Universitas Negeri Semarang 3. Ruang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. eksperimental dengan menggunakan rancangan penelitian Post Test. Randomized Control Group Design.

BAB III METODE PENELITIAN. eksperimental dengan menggunakan rancangan penelitian Post Test. Randomized Control Group Design. BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan penelitian Post Test Randomized Control

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Model penelitian ini adalah eksperimental murni yang dilakukan dengan rancangan post test controlled group design terhadap hewan uji. B. Populasi dan Sampel

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian pre and post test with control group

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. pendekatan post-test only control group design. Hewan uji dirandomisasi baik

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. pendekatan post-test only control group design. Hewan uji dirandomisasi baik BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah eksperimental murni, dengan pendekatan post-test only control group design. Hewan uji dirandomisasi baik pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. random pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar jantan.

BAB III METODE PENELITIAN. random pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar jantan. 34 BAB III METODE PENELITIAN A. DESAIN PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental laboratorik dengan post-test only control group design. Pemilihan hewan uji sebagai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian di bidang farmakologi.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian di bidang farmakologi. 25 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian di bidang farmakologi. 3.2 Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Parasitologi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 1 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian dasar yang menggunakan metode eksperimental. Penelitian eksperimen merupakan penelitian dimana variabel yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang ilmu Gizi Klinik, Farmakologi,

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang ilmu Gizi Klinik, Farmakologi, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang ilmu Gizi Klinik, Farmakologi, dan Biokimia. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Ruang lingkup penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Farmakologi, Farmasi dan Patologi Anatomi. 4.2. Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Hewan penelitian adalah tikus jantan galur wistar (Rattus Norvegicus), umur

III. METODOLOGI PENELITIAN. Hewan penelitian adalah tikus jantan galur wistar (Rattus Norvegicus), umur III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Subjek Penelitian Hewan penelitian adalah tikus jantan galur wistar (Rattus Norvegicus), umur 8-12 minggu dengan berat badan 200-300 gr. Sampel penelitian dipilih secara

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini meliputi bidang ilmu kedokteran forensik dan

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini meliputi bidang ilmu kedokteran forensik dan BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi bidang ilmu kedokteran forensik dan patologi anatomi. 4.2 Waktu dan lokasi penelitian Penelitian dilakukan di

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan termasuk ke dalam penelitian eksperimental. Penelitian eksperimental adalah penelitian yang dilakukan dengan pengadaan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup penelitian dan Biokimia. Penelitian ini adalah penelitian di bidang ilmu Farmakologi, Gizi Klinik 3.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan. menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan. menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5 ulangan, perlakuan yang digunakan

Lebih terperinci