5 PEMBAHASAN. Landsat (citra sejenis)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5 PEMBAHASAN. Landsat (citra sejenis)"

Transkripsi

1 5 PEMBAHASAN 5.1 Teknik Pengolahan Data Pulau Kecil dan Ekosistemnya Pulau Kecil Pulau kecil tipe tektonik ditandai terutama oleh bentuklahan tektonik atau struktural dan di daerah penelitian didominasi oleh struktur lipatan. Aspek morfoarrangement berupa igir memanjang dan bentuk beragam lebih berperan untuk identifikasinya. Pulau-pulau kecil yang terbentuk sebenarnya adalah bagian dari peneplain yang tidak tenggelam. Peneplain ini tersusun oleh batupasir, batulempung, dan konglomerat, dan di pantainya batuan ini tersingkap dengan kemiringan dip struktur yang bervariasi. Kondisi luas peneplain yang tenggelam dan ekosistem laut yang terbentuk membuat karakteristik biogeofisik pulau kecil bervariasi, sehingga karakter spektralnya beragam yang berpengaruh pada fusi multispektral. Fusi multispektral terseleksi adalah 234 dan 345. Fusi multispasial sesuai untuk mempertajam morfologi pulau dan mangrove. Penutup lahan yang homogen dan pulau yang kecil sesuai dengan penajaman autoclip highpass sharpen 2. Teknik pengolahan datanya ditunjukkan pada Gambar 45. Landsat (citra sejenis) Fusi multispektral: 234 atau 345 (komposit RGB 432 atau 543) Penajaman: Autoclip, highpass sharpen 2 Fusi multispasial Bentuk beragam? Ya Pulau kecil tipe tektonik Tidak Pulau kecil tipe non-tektonik Identifikasi karakteristik biogeofisik Gambar 45 Teknik pengolahan data pulau kecil tipe tektonik.

2 Pulau kecil tipe vulkanik ditandai terutama oleh bentuklahan vulkanik seperti kawah. Unsur interpretasi yang sangat membantu adalah bentuk melingkar atau bentuk lain dari deformasi melingkar, lokasi di samudra pada suatu kelurusan, dan pola torehan radial. Karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya bervariasi terkait dengan tingkat aktivitas vulkanisme. Morfologi pulau kecil vulkanik adalah bergunung, berbukit, dan datar. Secara umum, tekstur torehan kasar adalah dari materi piroklastik, sedangkan torehan halus adalah dari materi lava. Materi letusan dan tingkat torehan berpengaruh pada penutup lahan. Variasi tersebut membuat karakter spektralnya beragam yang berpengaruh pada fusi multispektral. Fusi multispektral terseleksi adalah kombinasi 245. Penutup lahannya lebih bervariasi dibandingkan pulau tektonik sehingga penajaman yang sesuai yaitu autoclip, levelslice, equalizer serta lowpass 3x3 dan diagonal dan highpass sharpen 2. Fusi multispasial sesuai untuk mempertajam morfologi pulau dan mangrove. Teknik pengolahan data penginderaan jauh untuk pulau kecil tipe vulkanik ditunjukkan pada Gambar 46. Landsat (citra sejenis) Fusi multispektral: 245 (komposit RGB 542) Penajaman: Autoclip, levelslice, equalizer; lowpass average 3x3 dan diagonal; highpass sharpen 2, & Fusi multispasial Bentuk melingkar di samudra? Ya Pulau kecil tipe vulkanik Tidak Pulau kecil tipe non-vulkanik Identifikasi karakteristik biogeofisik Gambar 46 Teknik pengolahan data pulau kecil tipe vulkanik. 141

3 Pulau kecil tipe terumbu ditandai terutama oleh batu gamping terumbu. Proses tektonik pengangkatan pada batu gamping terumbu membentuk pulaupulau kecil berupa perbukitan memanjang. Identifikasi awal pulau kecil tipe terumbu dapat dibantu dari warna cerah sebagai cerminan vegetasi yang jarang dan bentuk beragam sebagai cerminan dari pengangkatan. Perbukitan di Pulau Pomana-besar dan Pulau Pomana-kecil relatif gersang. Sementara itu, ekosistem terumbu karang berkembang sangat baik, tetapi mangrove dan lamun sulit tumbuh. Area terumbu karang di Pulau Pomana-besar adalah 36,94%, sedangkan di Pulau Pomana-kecil adalah 69,42%. Penutup lahannya homogen dan ukuran pulaunya relatif kecil. Kondisi tersebut berpengaruh pada karakter spektralnya dan hasil fusi multispektral terseleksi adalah 247 dan 235. Fusi multispasial sesuai untuk mempertajam morfologi pulau. Penajaman yang sesuai adalah autoclip highpass sharpen 2. Teknik pengolahan data penginderaan jauh untuk menampilkan pulau kecil tipe terumbu ditunjukkan pada Gambar 47. Landsat (citra sejenis) Fusi multispektral: 257 atau 235 (komposit RGB 752 atau 532) Penajaman: Autoclip, highpass sharpen 2 & Fusi multispasial Bentuk beragam, warna cerah Ya Pulau kecil tipe terumbu Tidak Pulau kecil tipe non-terumbu Identifikasi karakteristik biogeofisik Gambar 47 Teknik pengolahan data pulau kecil tipe terumbu. 142

4 Tabel 29 Pengolahan citra menurut tipe pulau dan ekosistem laut Tipe pulau & Fusi Penajaman Penajaman spasial Fusi ekosistem laut multispektral spektral (filtering) multispasial Tektonik 234 dan 345 Autoclip Highpass sharpen dan Vulkanik 245 Autoclip, Levelslice, equalizer Lowpass: average 3x3 dan diagonal serta highpass sharpen Terumbu 257 dan 235 Autoclip Highpass sharpen dan 5328 Mangrove 453 Autoclip Highpass sharpen Terumbu 421 Autoclip Highpass sharpen 2 - karang Lamun 421 Autoclip Highpass sharpen 2 - Teknik pengolahan data berupa fusi multispektral, penajaman spektral, penajaman spasial, dan fusi multispasial untuk pulau kecil dan ekosistemnya disajikan pada Tabel 29. Teknik ini bermanfaat untuk tujuan analisis visual, seperti analisis karakteristik biogeofisik dengan pendekatan geomorfologi. Berdasarkan hasil tampilan citra komposit terseleksi diketahui bahwa citra Landsat lebih jelas dan tajam atau mempunyai kemampuan relatif tinggi dibandingkan dengan citra QuickBird. Peranan kanal 5 dan 7 dari citra Landsat berfungsi secara baik untuk tampilan morfologi pulau kecil. Hal ini menunjukkan bahwa resolusi spektral lebih berperan dalam menampilkan morfologi pulau kecil dibandingkan dengan resolusi spasial Ekosistem laut Mangrove merupakan vegetasi yang tumbuh di atas permukaan air. Di daerah penelitian, mangrove dijumpai di pulau kecil tipe tektonik dan vulkanik. Mangrove diidentifikasi dari warna yang spesifik dan lokasinya di pesisir. Fusi multispektral terseleksi dari citra Landsat adalah 345, dan citra komposit terseleksi untuk mangrove adalah RGB 453. Dari citra komposit RGB 453 mangrove berwarna merah bata, sedangkan dari RGB 543 berwarna hijau. RGB 453 dipilih karena tampilan warna merah lebih tegas untuk membedakan dengan vegetasi lain. Fusi multispasial sesuai untuk mempertajam obyek mangrove karena permukaannya sebagian besar berada di atas permukaan air laut. Penajaman yang sesuai adalah autoclip highpass sharpen 2. Teknik pengolahan 143

5 data untuk menampilkan mangrove ditunjukkan pada Gambar 48. Mangrove kemungkinan dapat dijumpai di pulau kecil tipe delta/aluvial, karena pulaunya tersusun oleh materi berlumpur atau berpasir hasil pengendapan proses fluvial. Terumbu karang dan lamun seluruh bagiannya berada di bawah permukaan air. Karakteristik ini berpengaruh pada pilihan kanal yang digunakan untuk membangun citra komposit. Terumbu karang diidentifikasi secara visual dan digital, sedangkan bentuklahan terumbu secara visual, tetapi sasaran obyeknya sama. Hasil perhitungan OIF tertinggi untuk terumbu karang dan lamun adalah kombinasi kanal 124 (Tabel 20) dan sesuai ditampilkan dengan citra RGB 421. Kanal 1 dan 2 memiliki pantulan tertinggi untuk obyek-obyek di air. Penajaman yang sesuai adalah autoclip, highpass sharpen 2. Fusi multispasial akan menggaburkan obyek-obyek di bawah permukaan air, artinya terumbu karang dan lamun memerlukan kanal dengan panjang gelombang lebih spesifik. Selain itu, gradasi perbedaan antar obyek-obyek terumbu karang dan lamun relatif lebih kecil dan pola obyek kurang tegas dibandingkan dengan obyek-obyek di daratan, misalnya permukiman. Teknik pengolahan data penginderaan jauh untuk terumbu karang dan lamun ditunjukkan pada Gambar 49 dan 50. Landsat (citra sejenis) Komposit RGB 435 Penajaman: Autoclip, highpass sharpen 2 & Fusi multispasial Warna merah bata, di pesisir? Mangrove Ya Tidak non-mangrove Identifikasi karakteristik biogeofisik Gambar 48 Teknik pengolahan data ekosistem mangrove. 144

6 Perbedaan karakteristik biogeofisik tipe pulau kecil memberikan perbedaan ketajaman tampilan terumbu karang pada citra. Pulau kecil tipe vulkanik dan tipe terumbu lebih tajam dibandingkan dengan pulau kecil tipe tektonik karena struktur batuannya lebih miskin akan sedimen halus. Di daerah penelitian, terumbu karang dijumpai di ketiga tipe pulau kecil, sedangkan lamun dijumpai di pulau kecil tipe tektonik dan vulkanik. Berdasarkan karakteristik fisik, terumbu karang kemungkinan dapat dijumpai di pulau-pulau kecil tipe stack, monadnock, hummock, dan atol karena pantainya berbatu dengan proses sedimentasi relatif rendah. Lamun diperkirakan dapat dijumpai di semua tipe pulau kecil jika ada bagian pulau yang terlindung dan terjadi proses fluvial atau marin yang membentuk substrat berlumpur. Aplikasi algoritma pada Gambar 45 sampai 50 bersifat umum dan merupakan tahap awal prosedur interpretasi, sehingga perlu memperhatikan karakteristik biogeofisik umum setiap tipe pulau kecil dan ekosistem laut seperti diuraiakan di atas. Anomali morfologi pulau kecil adalah salah satu contoh yang perlu dicermati. Landsat (citra sejenis) Komposit RGB 421 Penajaman: Autoclip, highpass sharpen 2 Warna biru terang/ kehijauan? Tidak non-terumbu karang Terumbu karang Ya Identifikasi karakteristik biogeofisik Gambar 49 Teknik pengolahan data ekosistem terumbu karang. 145

7 Landsat (citra sejenis) Komposit RGB 421 Penajaman: Autoclip, highpass sharpen 2 Daerah terlindung, warna kecoklatan Tidak Bukan lamun Lamun Ya Identifikasi karakteristik biogeofisik Gambar 50 Teknik pengolahan data ekosistem lamun. 5.2 Desain Klasifikasi Tipe Pulau Kecil Klasifikasi tipe pulau kecil menurut morfogenesis (Tabel 26) bersifat mempertajam dari klasifikasi sebelumnya dan menarik benang merahnya melalui pendekatan geomorfologi. Beberapa nama tipe pulau kecil tetap digunakan dengan tambahan istilah proses geomorfik lebih spesifik, yaitu tektonik lipatan, tektonik patahan, vulkanik intrusif, dan vulkanik ekstrusif. Tipe pulau yang sebelumnya tidak tercantum pada tinjauan pustaka adalah stack, hummock, moraine, gambut, dan buatan. Pulau kecil tipe hummock terdapat di Indonesia, sedangkan tipe lainnya kemungkinan dijumpainya relatif rendah. Selain itu, istilah koral seperti yang dikemukakan oleh Dahuri (1998) diubah menjadi terumbu untuk lebih mencerminkan asal terbentuknya pulau kecil yaitu dari terumbu. Peranan informasi morfografi, yang dibagi menjadi datar dan berbukit, dapat memberikan gambaran kemungkinan jangkauan gelombang laut menuju daratan pulau kecil. Informasi ini berfungsi sebagai parameter untuk analisis potensi perkembangan ekosistem laut serta untuk analisis pemulihan ekosistem 146

8 yang mengalami kerusakan. Oleh karena itu, cara klasifikasi yang tidak mempertimbangkan morfografi atau topografi, misalnya berdasarkan lokasi, kurang menggambarkan potensi perkembangan ekosistem laut. Informasi morfografi pada pulau kecil memberi arti penting karena dapat menggambarkan karakteristik biogeofisik ekosistem laut yang terbentuk, misalnya, hubungan antara proses denudasi di daratan dengan proses marin. Informasi morfologi dapat diperoleh dari identifikasi berbagai sumber data yang telah tersedia, seperti citra penginderaan jauh dan peta Rupabumi. Contoh klasifikasi tipe pulau kecil sesuai Tabel 26, untuk Pulau Ruang adalah termasuk kelas pulau kecil tipe vulkanik ekstrusif berbukit, sedangkan Pulau Pasighe termasuk kelas pulau kecil tipe vulkanik ekstrusif datar. Perbedaan ekosistem laut yang terbentuk diuraikan pada sub-bab Pulau-pulau kecil yang diketahui tipenya dapat memberikan informasi karakteristik biogeofisik ekosistem lautnya. Informasi ini bermanfaat untuk menjaga kesehatan perairan laut dangkal yang menjadi daerah penangkapan ikan yang potensial. Pada penelitian ini, karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya digunakan untuk pengelompokan pulau kecil. Pulau-pulau kecil yang mempunyai tipe sama dapat dikelompokkan menjadi satu, dan secara lebih detail pengelompokannya lebih mempertimbangkan karakteristik biogeofisiknya. 5.3 Desain Identifikasi Ekosistem Laut Pulau kecil Jumlah pulau kecil di Indonesia tercatat lebih dari buah dan perairan di sekelilingnya merupakan ekosistem daerah penangkapan ikan. Pemanfaatan data penginderaan jauh satelit pada penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil dan ekosistemnya. Guna mendapatkan informasi tersebut sedikitnya ada dua kendala yaitu menyangkut ukuran pulau yang kecil dan liputan awan yang tinggi. Wilayah Indonesia mempunyai area sekitar 14% yang sering tertutup awan. Kondisi ini sering menjadi masalah buat sebagian pengguna citra penginderaan jauh satelit yang memanfaatkannya untuk interpretasi sumberdaya alam. Namun, tidaklah demikian pada analisis berbasis geomorfologi, karena yang diamati adalah bentuklahan dan proses-proses yang berlangsung. Bentuk kajian ini mengamati perubahan dalam kurun waktu lama karena dinamika endogen dan eksogen yang dikaji berlangsung dalam hitungan tahun geologi. Oleh karenanya, 147

9 kondisi liputan awan tersebut dapat diatasi dengan memilih citra yang rendah liputan awannya, sehingga tidak terikat pada tanggal perekaman. Sebagai contoh, citra Kota Batam (Gambar 6) merupakan mozaik citra Landsat Tahun 2001 dan 2002, dan analisis beberapa pulaunya menggunakan citra Tahun 1996 karena adanya tutupan awan. Artinya prospek pemanfaatan data penginderraan jauh untuk pulau kecil dan ekosistemnya cukup menjajikan. Ada empat aspek yang digunakan pada analisis geomorfologi pulau kecil dan ekosistemnya meliputi morfologi (morfografi dan morfometri), morfogenesis, morfokronologi, dan morfoarrangement. Ukuran pulau mempengaruhi bentuk pilihan jenis citra penginderaan jauh yang digunakan. Pulau dengan ukuran kecil dapat menggunakan citra resolusi menengah, sedangkan pulau dengan ukuran sangat kecil dapat menggunakan citra resolusi tinggi. Pengolahan citra terseleksi disiapkan untuk mempercepat proses analisis geomorfologi pulau kecil. Pilihan ini mempengaruhi hasil analisis aspek morfologi pulau kecil. Pada morfografi pulau yang berukuran besar seperti gunungapi yang tinggi dan dataran yang luas, serta morfometri yang mempunyai variasi besar, seperti ukuran bentuklahan yang luas dan beda tinggi yang mencolok, maka citra resolusi menengah dapat berperan cukup baik. Dari empat aspek geomorfologi, aspek morfogenesis menjadi pertimbangan utama, karena aspek ini mewakili prosesproses geomorfik yang membentuk keragaman tipe pulau kecil. Pulau kecil tipe vulkanik yang berbukit diidentifikasi dari aspek morfologi yaitu melingkar dari bentuklahan kawah, kaldera, atau lereng kaki gunung. Morfologi yang khas berupa kerucut atau gabungan beberapa kerucut menunjukkan suatu jalur magmatik. Dikenalinya pulau tipe terumbu di jalur magmatik (Kabupaten Sikka) adalah dari morfologi pulau berbentuk memanjang dari perbukitan yang relatif datar di permukaannya. Sebaliknya, dijumpainya morfologi pulau kecil berbentuk melingkar pada jalur tektonik, bukanlah indikasi pulau tipe vulkanik, melainkan vegetasi mangrove yang berkembang pada habitat yang sesuai sehingga berbentuk melingkar. Morfologi pulau kecil tipe tektonik dicirikan oleh relief perbukitan. Untuk aspek morfogenesis, peranan citra bervariasi tergantung pada morfologi pulau kecil. Morfologi Pulau Ruang misalnya yang berbentuk kerucut melingkar bisa memberi petunjuk bahwa morfogenesis pulau tersebut adalah vulkanik. Meskipun, morfologi Pulau Lengkang dan Pulau Pasighe sulit dilakukan interpretasi morfogenesisnya, karena pola atau bentuk dari pulau tidak 148

10 mencerminkan suatu proses geomorfik tertentu. Artinya, interpretasi tipe pulau pada kedua morfologi tersebut sulit dilakukan secara langsung dari citra dan perlu didukung oleh data lain seperti peta Geologi, peta Rupabumi Indonesia, dan pemahaman geomorfologi. Di sini aspek morfoarrangement menjadi berperan, misalnya Pulau Pasighe terletak di kompleks gunungapi, sehingga besar kemungkinan pulau ini juga merupakan tubuh gunungapi, tapi yang telah terdegradasi. Dari aspek morfogenesis, bentuklahan yang berkembang di pulau-pulau kecil tipe tektonik dapat dikelompokkan menjadi bentuklahan-bentuklahan asal proses (1) magmatik/vulkanik, (2) tektonik/struktural, (3) fluvial, (4) marin, (5) organik, dan (6) antropogenik. Bentuklahan yang berkembang di pulau-pulau kecil tipe vulkanik dapat dikelompokkan menjadi bentuklahan-bentuklahan asal proses (1) magmatik/vulkanik, (2) fluvial, (3) marin, (4) dan organik. Bentuklahan yang berkembang di pulau-pulau kecil tipe terumbu dapat dikelompokkan menjadi bentuklahan-bentuklahan asal proses (1) tektonik/struktural (2) marin, dan (3) organik. Bentuklahan asal proses marin dan organik adalah bentuklahan yang banyak dijumpai di pulau-pulau kecil di Kepulauan Indonesia. Analisis geomorfologi pada aspek morfokronologi adalah untuk mengenali keterkaitan proses berbagai bentuklahan secara relatif dan absolut. Proses terbentuknya bentuklahan secara relatif seperti tahapan proses geomorfik, maka peranan citra banyak dipakai; tetapi untuk mengenalinya secara absolut diperlukan dukungan informasi dari peta geologi dan peta Rupabumi Indonesia. Contoh Pulau Ruang (Gambar 36 b), ada dua tanjung yang berseberangan, di sebelah Timur dan Barat. Tanjung di Timur berwarna hitam yaitu lahan tanpa vegetasi; sedangkan tanjung di Barat, pantainya berwarna hijau-kemerahan, dan ke arah puncak terdapat warna merah yaitu vegetasi dan warna hijau-kemerahan yaitu lahan terbuka. Interpretasi menduga bahwa kronologis atau tahap pembentukan tanjung di Timur terjadi lebih akhir dibandingkan dengan tanjung di Barat. Hal ini disebabkan tanjung di Timur dibentuk oleh aliran lava muda (dicirikan oleh tiadanya vegetasi), sedangkan tanjung di Barat kemungkinan besar dibentuk oleh aliran lava lebih tua, yang telah tertutup oleh endapanendapan piroklastik muda. Endapan ini saat sekarang telah ditumbuhi oleh vegetasi. Tanjung di Barat ini, pada bagian dasar tanjung tersusun atas bongkahbongkah batu besar yang diduga berasal dari bongkah-bongkahan batu dari aliran lava tua. Tanjung di Timur adalah produk letusan tahun 1949, sedangkan 149

11 tanjung di Barat tidak tercatat tahun terbentuknya. Namun diduga bahwa, terbentuknya tanjung di Barat melalui proses yang identik dengan tanjung di Timur. Unsur warna lebih berperan dalam interpretasi untuk menduga perbedaan tahap pembentukan antara kedua tanjung melalui penutup lahannya. Unsur pola (seperti torehan) juga banyak membantu pada analisis morfokronologi. Untuk aspek morfoarrangement, atau mengenali hubungan antar bentuklahan dalam susunan keruangannya, banyak didukung oleh citra satelit terutama pada citra resolusi menengah seperti Landsat dan SPOT. Di Kepulauan Batam, morfoarrangement pulau-pulau kecil banyak ditunjukkan oleh hubungan pola igir-igir perbukitan struktural yang memanjang dan banyak dijumpai di Pulau-pulau Batam, Rempang, hingga Galang. Hasil analisis tipe pulau di Kepulauan Batam menunjukkan adanya pulau kecil tipe tektonik dan diperkirakan tipe ini mendominasi keseluruhan pulau yang ada. Di Kepulauan Sikka dan Sitaro, morfoarrangement pulau-pulau kecil dengan morfologi berbentuk melingkar, menunjukkan suatu pola yang serupa, yaitu berada pada suatu kelurusan di tengah samudra. Hasil analisis di Kepulauan Sikka dan Sitaro menunjukkan adanya pulau-pulau kecil tipe vulkanik dan satu pulau kecil tipe terumbu. Aspek morfoarrangement di sini paling berperan untuk analisis tipe pulau, yaitu untuk identifikasi tipe pulau kecil pada skala makro Korelasi pulau kecil dan ekosistem laut Pulau kecil dan ekosistem laut di sekelilingnya merupakan satu kesatuan yang membentuk karakteristik biogeofisik yang khas. Karakteristik biogeofisik substrat dasar perairan laut dangkal memiliki korelasi erat dengan pulaunya. Perkembangan ekosistem laut juga dipengaruhi oleh posisi pulau dan jenis pantai. Posisi pulau terkait dengan sirkulasi gelombang laut, sedangkan jenis pantai terkait dengan singkapan batuan. Pulau-pulau kecil tipe tektonik, vulkanik, dan terumbu dapat membentuk pantai terjal, landai, dan datar dengan material berbatu, berpasir, dan berlumpur. Pulau-pulau kecil tipe tektonik, variasi jenis pantainya dipengaruhi oleh singkapan batuan di pantai, dimana pantai terjal berbatu, pantai landai berpasir, dan pantai datar akan berlumpur. Mangrove berkembang lebih baik pada pantai datar dan landai dan pada posisi terlindung; demikian halnya dengan lamun. Sementara itu, terumbu karang berkembang lebih baik pada pantai terjal berbatu dengan posisi pantai menghadap laut lepas. Pantai landai dan datar dengan 150

12 material berbatu juga berpotensi untuk perkembangan terumbu karang. Di daerah penelitian, pulau kecil tipe tektonik lipatan berbukit sangat berpotensi untuk dijumpai terumbu karang, sedangkan pada morfologi datar sangat berpotensi untuk dijumpai mangrove. Pulau-pulau kecil tipe vulkanik, variasi jenis pantainya dipengaruhi oleh material letusan gunungapi dan perbedaan tingkat aktivitas vulkanis yang berlangsung. Di daerah penelitian, mangrove dan lamun dijumpai pada bentuklahan dataran sisa vulkanik di Pulau Pasighe, yaitu pada pantai datar di tengah sisa tubuh gunungapi dan mangrove dijumpai pula pada bentuklahan rawa payau di Pulau Babi. Keduanya berada pada pantai dengan posisi terlindung. Terumbu karang berkembang baik di pulau-pulau kecil pada semua tingkat aktivitas vulkanik mulai dari bentuklahan terumbu pinggiran, terumbu penghalang, sampai atol. Hal tersebut terutama disebabkan, pulau kecil tipe vulkanik muncul di samudra dimana kondisi perairannya relatif lebih jernih karena sirkulasi arus dan gelombang laut lebih baik. Perkembangan bentuklahan terumbu berkorelasi terbalik dengan tingkat aktivitas vulkanis; demikian halnya dengan terumbu karang. Semakin rendah aktivitas vulkanik semakin lanjut pertumbuhan bentuklahan terumbu. Pulau-pulau kecil tipe terumbu, variasi jenis pantainya dipengaruhi oleh posisi pantai. Pantai terjal berbatu posisinya berhadapan dengan laut lepas, sedangkan pantai landai berpasir atau berlumpur posisinya terlindung. Mangrove sulit berkembang karena pantainya berhadapan dengan laut lepas dan proses solusional yang ada tidak membentuk air payau. Lamun juga sulit berkembang disebabkan oleh ketiadaan mangrove. Di Pulau Pomana yang berbatuan gamping terumbu, air hujan turun melalui celah-celah batuan sehingga sedimentasi di pantai rendah dan kondisi ini kurang mendukung bagi pertumbuhan mangrove dan lamun. Perkembangan bentuklahan terumbu sangat bagus dan terdapat perbedaan terkait posisi pantai, yang dalam hal ini berhubungan dengan arus dan gelombang laut, demikian halnya dengan terumbu karang. Bentuklahan terumbu berkembang lebih baik pada sisi pulau yang lebih terbuka mendapat arus dan gelombang laut. Hal ini ditunjukkan oleh kondisi lagun, dimana semakin lancar arus laut semakin luas terbentuk lagun. Di Pulau Pomana dijumpai bentuklahan terumbu paparan berupa terumbu pelataran bergoba dan terumbu dinding tanduk. Korelasi antara tipe pulau kecil dan ekosistem laut disajikan pada Tabel

13 Tabel 30 Matriks korelasi pulau kecil dan ekosistem laut Ekosistem Tipe pulau kecil laut Tektonik Vulkanik Terumbu Mangrove lebih baik di pantai landai dan datar yang lebih terlindung tumbuh pada sisi pulau yang datar dan terlindung sulit tumbuh Terumbu karang Lamun lebih baik pada pantai terjal berbatu yang menghadap laut lepas lebih baik di daerah yang lebih terlindung aktivitas vulkanik semakin rendah terumbu karang semakin baik tumbuh pada sisi pulau yang terlindung Sumber : Hasil analisis geomorfologi model pulau-pulau kecil Lebih baik pada posisi perairan laut yang lebih terbuka sulit tumbuh Suatu pulau kecil dimana seluruh bagiannya merupakan wilayah pesisir, maka mangrove bisa mendominasi seluruh pulau, dengan kata lain, tidak hanya terbatas pada daerah yang dekat dengan laut. Kondisi ini terutama banyak dijumpai pada pulau kecil dengan morfologi datar. Di sisi lain, pada lingkungan fisik yang sama, pulau kecil datar lebih berpotensi untuk pertumbuhan mangrove daripada pulau kecil berbukit, contoh, Pulau Pasighe (tipe vulkanik ekstrusif datar) dan Pulau Lengkang (tipe tektonik lipatan datar). Sementara itu di pulaupulau besar, mangrove dapat dijumpai di sekitar muara sungai. Kasus ini menjelaskan perbedaan fenomena pertumbuhan mangrove antara pulau besar dan pulau kecil. Keterkaitan antara mangrove dan karakteristik biogeofisik pulau kecil ini mengarahkan untuk lebih mencermati pada klasifikasi tipe pulau yang membedakan morfologi pulau kecil antara pulau berbukit dan pulau datar. Pada pulau tektonik seperti di Batam, terumbu karang mulanya tumbuh dan berkembang pada substrat dasar perairan laut dangkal yang merupakan peneplain (Gambar 11 g). Pada pulau vulkanik, terumbu karang mulanya tumbuh dan berkembang pada batu vulkanik yang terendapkan di perairan sekeliling pulau (Gambar 15 d) dan selanjutnya berkembang dan bergabung membentuk terumbu pinggiran. Di pulau-pulau vulkanik denudasional yaitu dengan gunungapi yang telah lama mati, terumbu karang dapat berkembang lebih baik. Sementara itu, pada pulau kecil tipe terumbu diperkirakan proses pertumbuhan terumbu karang merupakan tahap lanjut yang semula berawal pada batuan vulkanik. 152

14 5.3.3 Identifikasi ekosistem laut berbasis tipe pulau Identifikasi ekosistem laut didesain berbasis tipe pulau untuk mendapatkan informasi obyek-obyek ekosistem laut meliputi bentuklahan terumbu, terumbu karang, lamun, dan mangrove. Informasi bentuklahan terumbu membantu dalam identifikasi antara karang hidup dan karang mati. Data tipe pulau kecil dan petapeta digunakan untuk mendapatkan informasi karakteristik biogeofisik pulau kecil dengan pendekatan analisis geomorfologi. Obyek-obyek tersebut diidentifikasi menggunakan data penginderaan jauh satelit dengan citra komposit dan penajaman tertentu. Korelasi antara pulau kecil dan ekosistemnya yang beragam membutuhkan suatu kerangka identifikasi yang terstruktur. Selain diperlukan pula informasi ekosistem laut yang bersifat kualitatif, kuantitatif, dan spasial. Informasi kualitatif diperoleh dari karakteristik biogeofisik pulau kecil dan bentuklahan terumbu, sedangkan informasi kuantitatif dan spasial diperoleh dari data penginderaan jauh satelit. Diagram alir identifikasi ekosistem laut disajikan pada Gambar 51. Identifikasi ekosistem laut dilakukan secara visual dan digital. Analisis visual adalah untuk identifikasi karakteristik biogeofisik pulau kecil, bentuklahan terumbu, lamun, dan mangrove. Analisis digital adalah untuk identifikasi antara karang hidup, karang mati, dan lamun; serta klasifikasi kerapatan mangrove. Hasil analisis visual bentuklahan terumbu digunakan sebagai dasar reklasifikasi terumbu karang dari hasil algoritma Lyzengga. Identifikasi obyek-obyek ekosistem laut secara digital akan lebih akurat jika dilakukan pemisahan secara visual terlebih dahulu antara daratan dan perairan laut dangkal dan antara mangrove dan non-mangrove. Hal ini terkait dengan tingginya keragaman karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil di Indonesia. Pemetaan bentuklahan terumbu dari data penginderaan jauh satelit dilakukan melalui analisis visual. Klasifikasi bentuklahan terumbu secara geomorfologis dapat digunakan kriteria menurut Maxwell (Zuidam, 1985) yang telah dinyatakan sebagai standar (Tabel 2). Klasifikasi terumbu karang secara digital termasuk kriteria klasifikasi habitat secara ekologis, sedangkan analisis secara visual termasuk kriteria klasifikasi geomorfologis. Analisis terumbu karang secara digital dapat menggunakan algoritma Lyzengga seperti dirumuskan pada persamaan 3 dan 4 Bab 3. Tahap penggabungan antara klasifikasi terumbu berbasis geomorfologis secara visual dengan klasifikasi terumbu karang berbasis ekologis dilakukan saat reklasifikasi. 153

15 Peta Rupa Bumi, Peta Geologi, & Peta Pelayaran Tipe pulau kecil, cek lapangan Landsat (citra sejenis) kanal multispektral dan kanal pankromatik input citra komposit pulau kecil: tipe tektonik: 4328 & 5438, tipe vulkanik: 5428, tipe terumbu: 7528 & 5328; penajaman dan fusi multispasial mangrove 4538, terumbu karang 421, lamun 421 & penajaman autoclip sharpen 2 proses Analisis geomorfologi Pemisahan laut & darat/pesisir Karakteristik biogeofisik pulau kecil & ekosistemnya Laut dangkal Laut dalam Darat/pesisir Y= ln (TM1) + k i /k j. ln (TM2) Klasifikasi visual Bentuklahan terumbu Karang hidup Karang mati Lamun Mangrove Non mangrove output Gambar 51 Diagram alir identifikasi ekosistem laut. 154

16 Berdasarkan hasil penelitian ini maka dirasakan perlu ada pra analisis sebelum dilakukan analisis digital terumbu karang; seperti kasus identifikasi mangrove yang tidak dapat sepenuhnya hanya dengan membatasi warna merah bata di daerah pesisir. Informasi tipe pulau dan karakteristik biogeofisiknya dapat memandu interpreter dalam identifikasi mangrove, terumbu karang, dan lamun. Sementara itu, karakteristik ekosistem laut pada pulau kecil tipe vulkanik perlu dicermati terlebih dahulu tingkat aktivitas gunungapi yang ada karena perbedaan ini memberi pengaruh yang nyata. Tahapan/proses secara ringkas identifikasi obyek-obyek ekosistem laut utama berbasis geomorfologi menggunakan data penginderaan jauh secara skematik disajikan pada Gambar 51 dengan rincian sebagai berikut: 1) Mengenali tipe pulau kecil. Informasi ini belum tersedia dan masih perlu dianalisis sesuai dengan klasifikasi tipe pulau kecil pada Tabel 26, 2) Membangun citra komposit dan penajamannya sesuai dengan tipe pulau kecil, untuk identifikasi karakteristik biogeofisik pulau kecil dan bentuklahan terumbu. Selain itu juga dilakukan analisis geomorfologi untuk mendapatkan karakteristik biogeofisik mangrove, terumbu karang, dan lamun, 3) Mendelineasi secara visual batas antara daratan dan perairan laut dangkal serta mangrove dan non mangrove, menggunakan citra komposit RGB 421 untuk terumbu karang dan lamun dan RGB 453 untuk mangrove, 4) Klasifikasi kerapatan mangrove menggunakan algoritma NDVI dengan kelas kerapatan seperti tercantum pada Tabel 31. 5) Klasifikasi terumbu karang menggunakan algoritma Lyzengga; serta reklasifikasi untuk mendapatkan kelas karang hidup, karang mati, dan lamun menggunakan informasi klasifikasi bentuklahan terumbu. Tabel 31 Klasifikasi kerapatan mangrove Kelas Penutup lahan dan kerapatan 1 perairan dangkal, non hutan 2 mangrove kerapatan rendah 3 mangrove kerapatan sedang 4 mangrove kerapatan tinggi 5 hutan non mangrove Sumber: Hasil pengolahan data dengan formula 2 dan cek lapangan. 155

17 5.4 Desain Pengelompokan Pulau Kecil untuk Perikanan Pengelompokan pulau kecil dilakukan menurut karakteristik biogeofisik untuk pengelolaan ekosistem daerah penangkapan ikan. Informasi karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil dan sangat kecil dapat diperoleh menggunakan citra penginderaan jauh satelit serta peta-peta dan cek lapangan. Kaitan antara pulau kecil dan ekosistemnya dengan kondisi ikan terbukti menunjukkan korelasi yang erat. Pulau kecil dan ekosistemnya merupakan suatu kesatuan dalam rangkaian siklus hidup ikan pantai, sehingga pengelompokan pulau kecil juga dapat menjadi bentuk zonasi ekosistem daerah penangkapan ikan. Jadi pengelompokan pulau kecil dapat merupakan suatu cara untuk pengelolaan perikanan pantai yang bersifat akses terbatas untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan. Desain pengelompokan pulau kecil untuk perikanan ini menjawab tujuan penelitian yang keempat atau terakhir. Pulau-pulau kecil tipe tektonik di Kota Batam memiliki karakteristik biogeofisik relatif homogen dibandingkan dengan pulau-pulau kecil tipe vulkanik, demikian pula ekosistemnya. Karakteristik biogeofisik pulau kecil tipe tektonik di daerah Batam mempunyai potensi pertumbuhan mangrove lebih baik dibandingkan tipe vulkanik dan tipe terumbu. Mangrove dan lamun juga dapat tumbuh bagus pada pantai berbatu disebabkan oleh posisi pulau yang terlindung dari sirkulasi gelombang laut. Variasi pertumbuhan ekosistem laut dipengaruhi oleh singkapan batuan dan posisi pulau. Mangrove dan posisi pantai dapat dikenali dengan baik dari citra satelit. Berdasarkan karakteristik biogeofisik tersebut maka faktor ekosistem laut perlu lebih dipertimbangkan dalam pengelompokan pulau-pulau kecil tipe tektonik. Pulau-pulau kecil tipe vulkanik memiliki karakteristik biogeofisik relatif heterogen, sehingga pola perkembangan ekosistemnya juga relatif berlainan. Pulau-pulau yang berdekatan dimungkinkan memiliki karakteristik biogeofisik yang sangat berbeda. Tingkat perkembangannya bervariasi dari kondisi gunungapi aktif seperti Pulau Ruang dan Pulau Palue hingga proses denudasi lanjut pada bebatuan gunungapi seperti Pulau Pasighe dan Pulau Besar. Proses vulkanisme pada suatu pulau kecil berpengaruh terhadap perkembangan ekosistemnya. Berdasarkan karakteristik biogeofisik tersebut maka faktor jarak antar pulau dan korelasi antar ekosistem laut perlu dipertimbangkan dalam pengelompokan pulau kecil tipe vulkanik. 156

18 Pulau-pulau kecil tipe terumbu memiliki karakteristik biogeofisik relatif spesifik terkait dengan proses pelarutan atau solusional pada batuan gamping terumbu. Di daerah penelitian, proses tektonik berlangsung pada batuan gamping terumbu yang membentuk tiga pulau kecil tipe terumbu dan kini terhubungkan oleh bentuklahan terumbu (Gambar 29). Berdasarkan karakteristik biogeofisik tersebut maka faktor kondisi ekosistem laut perlu dipertimbangkan dalam pengelompokan pulau kecil tipe terumbu. Di Kabupaten Sikka, dijumpai Pulau Gunung-sari, Pulau Pomana, dan Pulau Besar yang jarak antar ketiganya kurang dari 12 mil. Secara berturut-turut pulau-pulau tersebut adalah tipe atol datar, terumbu berbukit, dan vulkanik ekstrusif berbukit. Pengelompokan pulaupulau yang berbeda dari tipe tersebut perlu dipisahkan karena masing-masing memerlukan bentuk pengelolaan yang berlainan. Implikasi pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya terhadap pengelolaan ekosistem daerah penangkapan ikan adalah pada efisiensi dana. Hal ini karena pemahaman karakteristik biogeofisik akan mengarahkan pada sasaran lebih tepat dan waktu lebih singkat. Secara khusus, bentuk pengelompokan ini ditujukan untuk mengelola ekosistem daerah penangkapan ikan, akan tetapi pengaruhnya akan meluas hingga ke perairan laut dalam di sekelilingnya. Dengan kata lain, pengelompokan ini dapat memberi pengaruh bagi kelestarian ikan dan biota laut lainnya di seluruh wilayah lautan negara Kepulauan Indonesia. 157

4 HASIL PENELITIAN 4.1 Pulau Kecil dan Ekosistemnya Tipe Tektonik Bentuklahan model pulau kecil

4 HASIL PENELITIAN 4.1 Pulau Kecil dan Ekosistemnya Tipe Tektonik Bentuklahan model pulau kecil 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Pulau Kecil dan Ekosistemnya 4.1.1 Tipe Tektonik Hasil analisis geomorfologi di daerah model, diketahui bahwa pulau-pulau kecil tipe tektonik dapat diidentifikasi terutama dari aspek

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumberdaya ikan berada pada kondisi akses terbuka karena adanya anggapan bahwa perairan laut sulit diberi batas atau zonasi. Selain itu, pola migrasi ikan yang

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian adalah dua tahun mulai pertengahan tahun 2006 hingga pertengahan tahun 2008 yang dibagi menjadi tiga periode meliputi pengumpulan data, pengolahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi Wilayah DAS Cileungsi meliputi wilayah tangkapan air hujan yang secara keseluruhan dialirkan melalui sungai Cileungsi. Batas DAS tersebut dapat diketahui dari

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

2.3.7 Analisis Data Penginderaan Jauh

2.3.7 Analisis Data Penginderaan Jauh 2.3.7 Analisis Data Penginderaan Jauh 2.3.7.1.Analisis Visual Analisis visual dilakukan untuk mendapatkan algoritma terbaik untuk menggabungkan data Landsat ETM+. Analisis visual dilakukan dengan menguji

Lebih terperinci

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI 3.1 Konsep Dasar Penetapan Ekoregion Provinsi Konsep dasar dalam penetapan dan pemetaan ekoregion Provinsi Banten adalah mengacu pada Undang-Undang No.32/2009,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 23 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Geomorfologi di Daerah Penelitian Kondisi geomorfologi daerah penelitian berkaitan erat dengan sejarah geologi yang berkembang di wilayah tersebut, dimana proses-proses

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK Penelitian tentang karakter morfologi pantai pulau-pulau kecil dalam suatu unit gugusan Pulau Pari telah dilakukan pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan Vink (1983) dalam Samadikun (2009) menyatakan studi bentanglahan merupakan sebuah studi yang mengaitkan hubungan erat antara ruang dan waktu diantara fenomena

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat Dengan demikian, walaupun kondisi tanah, batuan, serta penggunaan lahan di daerah tersebut bersifat rentan terhadap proses longsor, namun jika terdapat pada lereng yang tidak miring, maka proses longsor

Lebih terperinci

BENTUKLAHAN ASAL VULKANIK

BENTUKLAHAN ASAL VULKANIK BENTUKLAHAN ASAL VULKANIK Bentuklahan asal vulkanik merupakan bentuklahan yang terjadi sebagai hasil dari peristiwa vulkanisme, yaitu berbagai fenomena yang berkaitan dengan gerakan magma naik ke permukaan

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH DENGAN NILAI INDEKS FAKTOR UNTUK IDENTIFIKASI MANGROVE DI BATAM (Studi Kasus Gugusan Pulau Jandaberhias)

PENGINDERAAN JAUH DENGAN NILAI INDEKS FAKTOR UNTUK IDENTIFIKASI MANGROVE DI BATAM (Studi Kasus Gugusan Pulau Jandaberhias) Berita Dirgantara Vol. 12 No. 3 September 2011:104-109 PENGINDERAAN JAUH DENGAN NILAI INDEKS FAKTOR UNTUK IDENTIFIKASI MANGROVE DI BATAM (Studi Kasus Gugusan Pulau Jandaberhias) Susanto, Wikanti Asriningrum

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si

By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si Panjang Gelombang 1 m = 0,001 mm 1 m = 0,000001 m 0,6 m = 0,6 X 10-6 = 6 x 10-7 PANTULAN SPEKTRAL OBJEK Terdapat tiga objek utama di permukaan bumi, yaitu vegetasi, tanah,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Geomorfologi Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuklahan yang menyusun permukaan bumi, baik diatas maupun dibawah permukaan air laut dan menekankan pada asal mula

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses endogen adalah

Lebih terperinci

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR BENTUK LAHAN MAYOR BENTUK LAHAN MINOR KETERANGAN STRUKTURAL Blok Sesar Gawir Sesar (Fault Scarp) Gawir Garis Sesar (Fault Line Scarp) Pegunungan Antiklinal Perbukitan

Lebih terperinci

Ringkasan Materi Pelajaran

Ringkasan Materi Pelajaran Standar Kompetensi : 5. Memahami hubungan manusia dengan bumi Kompetensi Dasar 5.1 Menginterpretasi peta tentang pola dan bentuk-bentuk muka bumi 5.2 Mendeskripsikan keterkaitan unsur-unsur geografis dan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1 Program Studi Geofisika FMIPA Universitas Hasanuddin, Makassar 90245, Indonesia

Lebih terperinci

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1 Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1 Program Studi Geofisika FMIPA Universitas Hasanuddin, Makassar 90245, Indonesia

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian meliputi wilayah Kota Bogor yang terletak di antara 106 0 43 30 106 0 51 00 Bujur Timur dan 6 0 30 30 6 0 41 00 Lintang Selatan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu yang semakin berkembang pada masa sekarang, cepatnya perkembangan teknologi menghasilkan berbagai macam produk penginderaan jauh yang

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

6.padang lava Merupakan wilayah endapan lava hasil aktivitas erupsi gunungapi. Biasanya terdapat pada lereng atas gunungapi.

6.padang lava Merupakan wilayah endapan lava hasil aktivitas erupsi gunungapi. Biasanya terdapat pada lereng atas gunungapi. BENTUK LAHAN ASAL VULKANIK 1.Dike Terbentuk oleh magma yang menerobos strata batuan sedimen dengan bentuk dinding-dinding magma yang membeku di bawah kulit bumi, kemudian muncul di permukaan bumi karena

Lebih terperinci

label 1. Karakteristik Sensor Landsat TM (Sulastri, 2002) 2.3. Pantai

label 1. Karakteristik Sensor Landsat TM (Sulastri, 2002) 2.3. Pantai H. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh didefmisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN Analisis Lansekap Terpadu 21/03/2011 Klasifikasi Bentuklahan KLASIFIKASI BENTUKLAHAN PENDAHULUAN Dalam membahas klasifikasi bentuklahan ada beberapa istilah yang kadang-kadang membingungkan: - Fisiografi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geomorfologi Geomorfologi adalah studi yang mendiskripsikan bentuklahan, proses-proses yang bekerja padanya dan menyelidiki kaitan antara bentuklahan dan prosesproses tersebut

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KLABANG

GEOLOGI DAERAH KLABANG GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi

Lebih terperinci

4/8/2011 PEMETAAN GEOMORFOLOGI UNTUK GEOLOGI ATAU GEOFISIKA. Permasalahan atau. isu yang muncul : 1. Adanya berbagai persepsi. pemetaan geomorfologi?

4/8/2011 PEMETAAN GEOMORFOLOGI UNTUK GEOLOGI ATAU GEOFISIKA. Permasalahan atau. isu yang muncul : 1. Adanya berbagai persepsi. pemetaan geomorfologi? PEMETAAN GEOMORFOLOGI UNTUK GEOLOGI ATAU GEOFISIKA Suroso Sastroprawiro Bambang Kuncoro Hadi Purnomo Jurusan Teknik Geologi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta Contact person: 08122953788

Lebih terperinci

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK Nama Kelompok : IN AM AZIZUR ROMADHON (1514031021) MUHAMAD FAISAL (1514031013) I NENGAH SUMANA (1514031017) I PUTU MARTHA UTAMA (1514031014) Jurusan

Lebih terperinci

GEOMORFOLOGI BALI DAN NUSA TENGGARA

GEOMORFOLOGI BALI DAN NUSA TENGGARA GEOMORFOLOGI BALI DAN NUSA TENGGARA PULAU BALI 1. Letak Geografis, Batas Administrasi, dan Luas Wilayah Secara geografis Provinsi Bali terletak pada 8 3'40" - 8 50'48" Lintang Selatan dan 114 25'53" -

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

BAB 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

BAB 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI BAB 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI 3.1. Kerangka Pikir Dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Undangundang Nomor 24 tahun 1992 tentang Tata Ruang Wilayah dan Undang-undang No.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Kabupaten Tanggamus 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus Secara geografis wilayah Kabupaten Tanggamus terletak pada posisi 104 0 18 105 0 12 Bujur Timur dan

Lebih terperinci

Pemetaan Geologi Menggunakan Analisa Integrasi Citra Radarsat-2 dan Landsat (Daerah Studi : Puttusibau, Kalimantan Barat)

Pemetaan Geologi Menggunakan Analisa Integrasi Citra Radarsat-2 dan Landsat (Daerah Studi : Puttusibau, Kalimantan Barat) Pemetaan Geologi Menggunakan Analisa Integrasi Citra Radarsat-2 dan Landsat (Daerah Studi : Puttusibau, Kalimantan Barat) O L E H : A H N A S A W W A B 3 5 0 9 1 0 0 0 6 2 Latar Belakang Penelitian Pemetaan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentuk morfologi dan topografi di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen yang bersifat destruktif dan proses endogen yang berisfat konstruktif.

Lebih terperinci

Geomorfologi Terapan INTERPRETASI GEOMORFOLOGI CITRA SATELIT SEBAGAI DASAR ANALISIS POTENSI FISIK WILAYAH SELATAN YOGYAKARTA

Geomorfologi Terapan INTERPRETASI GEOMORFOLOGI CITRA SATELIT SEBAGAI DASAR ANALISIS POTENSI FISIK WILAYAH SELATAN YOGYAKARTA Geomorfologi Terapan INTERPRETASI GEOMORFOLOGI CITRA SATELIT SEBAGAI DASAR ANALISIS POTENSI FISIK WILAYAH SELATAN YOGYAKARTA A. Pendahuluan Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk muka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN Morfologi permukaan bumi merupakan hasil interaksi antara proses eksogen dan proses endogen (Thornbury, 1989). Proses eksogen merupakan

Lebih terperinci

Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M)

Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M) Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M) Volkan (V) Grup volkan yang menyebar dari dat sampai daerah tinggi dengan tut bahan aktivitas volkanik terdiri kerucut, dataran dan plato, kaki perbukitan dan pegunungan.

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL Nam dapibus, nisi sit amet pharetra consequat, enim leo tincidunt nisi, eget sagittis mi tortor quis ipsum. PENYUSUNAN BASELINE PULAU-PULAU

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan intepretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pengamatan secara langsung di

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN Drs. Dede Sugandi, M.Si. Drs. Jupri, MT. Nanin Trianawati Sugito, ST., MT. Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

KLASIFIKASI GEOMORFOLOGI. didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi menurut van Zuidam & Cancelado (1979) (Tabel

KLASIFIKASI GEOMORFOLOGI. didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi menurut van Zuidam & Cancelado (1979) (Tabel KLASIFIKASI GEOMORFOLOGI Satuan geomorfologi morfometri yaitu pembagian kenampakan geomorfologi yang didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi menurut van Zuidam & Cancelado (1979) (Tabel 3.1) dan dalam

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Lokasi penelitian berada di daerah Kancah, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung yang terletak di bagian utara Kota Bandung. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Struktur Geologi Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan Lempeng Eurasia ke daratan Asia Tenggara dan merupakan bagian dari Busur Sunda.

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI Secara morfologi, Patahan Lembang merupakan patahan dengan dinding gawir (fault scarp) menghadap ke arah utara. Hasil interpretasi kelurusan citra SPOT menunjukkan adanya kelurusan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah menjadi beberapa zona fisiografi (Gambar 2.1), yaitu: 1. Dataran Aluvial Jawa bagian utara. 2. Antiklinorium

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Geomorfologi Daerah Penelitian III.1.1 Morfologi dan Kondisi Umum Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan laut yang masih di pengaruhi pasang dan surut air laut yang merupakan pertemuan anatara darat

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

FUSI CITRA LANDSAT 7ETM+ DAN ASTER G-DEM UNTUK IDENTIFIKASI ASPEK GEOLOGI KABUPATEN SOPPENG SULAWESI SELATAN

FUSI CITRA LANDSAT 7ETM+ DAN ASTER G-DEM UNTUK IDENTIFIKASI ASPEK GEOLOGI KABUPATEN SOPPENG SULAWESI SELATAN FUSI CITRA LANDSAT 7ETM+ DAN ASTER G-DEM UNTUK IDENTIFIKASI ASPEK GEOLOGI KABUPATEN SOPPENG SULAWESI SELATAN Anugerah Ramadhian AP anugerah.ramadhian.a@mail.ugm.ac.id Taufik Hery Purwanto taufik@ugm.ac.id

Lebih terperinci

BAB BENTUK MUKA BUMI. Gambar 8.1 Salah satu contoh peta topografi untuk penggambaran relief permukaan bumi.

BAB BENTUK MUKA BUMI. Gambar 8.1 Salah satu contoh peta topografi untuk penggambaran relief permukaan bumi. Bab 8 Peta Tentang Pola dan Bentuk Muka Bumi 149 BAB 8 PETA TENTANG POLA DAN BENTUK MUKA BUMI Sumber: Encarta Encyclopedia, 2006 Gambar 8.1 Salah satu contoh peta topografi untuk penggambaran relief permukaan

Lebih terperinci

HIDROSFER V. Tujuan Pembelajaran

HIDROSFER V. Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 Kelas X Geografi HIDROSFER V Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami rawa, fungsi, manfaat, dan pengelolaannya.

Lebih terperinci

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA Nirmalasari Idha Wijaya 1, Inggriyana Risa Damayanti 2, Ety Patwati 3, Syifa Wismayanti Adawiah 4 1 Dosen Jurusan Oseanografi, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan geologi Papua diawali sejak evolusi tektonik Kenozoikum

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan geologi Papua diawali sejak evolusi tektonik Kenozoikum BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perkembangan geologi Papua diawali sejak evolusi tektonik Kenozoikum New Guinea yakni adanya konvergensi oblique antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik (Hamilton,

Lebih terperinci

SEARCH : Fisik dan Lingkungan Alam Geomorfologi Indonesia

SEARCH : Fisik dan Lingkungan Alam Geomorfologi Indonesia HOME ENGLISH KONTAK SITE MAP SEARCH : Fisik dan Lingkungan Alam Geomorfologi Indonesia Advanced Search Tema Fisik dan Lingkungan Potensi dan Sumberdaya Sejarah, Wilayah, Penduduk & Budaya Interaktif Peta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir)

DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir) DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir) Adipandang Yudono 12 GEOLOGI LAUT Geologi (geology) adalah ilmu tentang (yang mempelajari mengenai) bumi termasuk aspekaspek geologi

Lebih terperinci

ANALISIS DAERAH BAHAYA DAN PENUTUP LAHAN WILAYAH GUNUNGAPI SLAMET

ANALISIS DAERAH BAHAYA DAN PENUTUP LAHAN WILAYAH GUNUNGAPI SLAMET Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 48-59 ANALISIS DAERAH BAHAYA DAN PENUTUP LAHAN WILAYAH GUNUNGAPI SLAMET Susanto, Suwarsono Peneliti PUSBANGJA, LAPAN e-mail: susanto_lapan@yahoo.com) RINGKASAN

Lebih terperinci

KERAGAMAN BENTUK MUKA BUMI: Proses Pembentukan, dan Dampaknya Terhadap Kehidupan

KERAGAMAN BENTUK MUKA BUMI: Proses Pembentukan, dan Dampaknya Terhadap Kehidupan KERAGAMAN BENTUK MUKA BUMI: Proses Pembentukan, dan Dampaknya Terhadap Kehidupan 1. Proses Alam Endogen Hamparan dataran yang luas, deretan pegunungan yang menjulang tinggi, lembah-lembah dimana sungai

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN 4.1 Geomorfologi Telah sedikit dijelaskan pada bab sebelumnya, morfologi daerah penelitian memiliki beberapa bentukan khas yang di kontrol oleh litologi,

Lebih terperinci

BAB IV GEOLOGI PANTAI SERUNI DAERAH TAPPANJENG. pedataran menempati sekitar wilayah Tappanjeng dan Pantai Seruni. Berdasarkan

BAB IV GEOLOGI PANTAI SERUNI DAERAH TAPPANJENG. pedataran menempati sekitar wilayah Tappanjeng dan Pantai Seruni. Berdasarkan BAB IV GEOLOGI PANTAI SERUNI DAERAH TAPPANJENG 4.1 Geologi Lokal Daerah Penelitian Berdasarkan pendekatan morfometri maka satuan bentangalam daerah penelitian merupakan satuan bentangalam pedataran. Satuan

Lebih terperinci

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI SALAH SATU SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR (STUDI KASUS DI DELTA SUNGAI WULAN KABUPATEN DEMAK) Septiana Fathurrohmah 1, Karina Bunga Hati

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU

KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU Tjaturahono Budi Sanjoto Mahasiswa Program Doktor Manajemen Sumberdaya Pantai UNDIP

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur 11 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian DAS, Banten merupakan wilayah yang diambil sebagai daerah penelitian (Gambar 2). Analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir (coast) dan pantai (shore) merupakan bagian dari wilayah kepesisiran (Gunawan et al. 2005). Sedangkan menurut Kodoatie (2010) pesisir (coast) dan pantai (shore)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Maksud dan Tujuan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Maksud dan Tujuan Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian geologi dilakukan untuk mengenal dan memahami kondisi geologi suatu daerah. Penelitian tersebut dapat meliputi penelitian pada permukaan dan bawah permukaan.

Lebih terperinci

Oleh : Imron Bashori*, Prakosa Rachwibowo*, Dian Agus Widiarso (corresponding

Oleh : Imron Bashori*, Prakosa Rachwibowo*, Dian Agus Widiarso (corresponding ANALISIS PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENENTUKAN DAERAH BAHAYA DALAM RANGKA MENDUKUNG UPAYA MITIGASI BENCANA GUNUNGAPI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA DEM DAN LANDSAT DAERAH GUNUNG BATUR KABUPATEN BANGLI PROVINSI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi mum Daerah Penelitian ecara umum morfologi daerah penelitian merupakan dataran dengan punggungan di bagian tengah daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan teknologi penyadap dan produksi data citra digital permukaan bumi telah mengalami perkembangan sejak 1960-an. Hal ini dibuktikan dengan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yaitu geologi daerah Ngampel dan sekitarnya. Pembahasan meliputi kondisi geomorfologi, urutan stratigrafi,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.16 Teras sungai pada daerah penelitian. Foto menghadap timur. 4.2 Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada daerah penelitian

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Batimetri 4.1.1. Pemilihan Model Dugaan Dengan Nilai Digital Asli Citra hasil transformasi pada Gambar 7 menunjukkan nilai reflektansi hasil transformasi ln (V-V S

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada

Lebih terperinci

PETA SATUAN MEDAN. TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan

PETA SATUAN MEDAN. TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan PETA SATUAN MEDAN TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan ALAT DAN BAHAN 1. Peta Rupa Bumi Skala 1 : 25.000 2. Peta Geologi skala 1 : 100.000 3. Peta tanah semi detil 4. Alat tulis dan gambar 5. alat hitung

Lebih terperinci