4 HASIL PENELITIAN 4.1 Pulau Kecil dan Ekosistemnya Tipe Tektonik Bentuklahan model pulau kecil

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4 HASIL PENELITIAN 4.1 Pulau Kecil dan Ekosistemnya Tipe Tektonik Bentuklahan model pulau kecil"

Transkripsi

1 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Pulau Kecil dan Ekosistemnya Tipe Tektonik Hasil analisis geomorfologi di daerah model, diketahui bahwa pulau-pulau kecil tipe tektonik dapat diidentifikasi terutama dari aspek morfoarrangement atau susunan keruangan sekelompok pulau-pulau kecil, berupa pola igir memanjang dan dari aspek morfologi berupa bentuk yang beragam. Unsur interpretasi pola dari sekelompok pulau-pulau kecil menjadi petunjuk dalam mengenalinya sebagai pulau kecil tipe tektonik. Hasil analisis geomorfologi secara keseluruhan diperoleh bahwa pulau-pulau kecil di kepulauan Kota Batam termasuk kriteria tipe tektonik. Di kepulauan Kota Batam, dijumpai beberapa pulau kecil berbentuk melingkar (Gambar 30 b) yang menyerupai bentuk pulau kecil tipe vulkanik, tetapi bentuk melingkar ini terbentuk oleh mangrove. Beberapa pulau kecil yang melingkar dapat diidentifikasi dari citra Landsat. Di sisi lain, dari Peta Geologi ditunjukkan adanya batuan vulkanik yang tersingkap di Pulau Batam bagian utara, berupa granit yaitu batu beku dalam. Keberadaan batu vulkanik ini bukan indikasi untuk pulau kecil tipe vulkanik, karena proses magmatik yang pernah berlangsung bukanlah proses utama terbentuknya pulau. Kedua hal tersebut merupakan contoh yang perlu diamati secara khusus dalam identifikasi tipe pulau kecil Bentuklahan model pulau kecil Hasil analisis geomorfologi dari aspek morfogenesis, bentuklahan yang berkembang di pulau-pulau Batam, Rempang, dan Galang (Barelang) dapat dikelompokkan menjadi bentuklahan-bentuklahan asal proses 1) vulkanik/ magmatik, 2) tektonik/struktural, 3) fluvial, 4) marin, 5) organik, dan 6) antropogenik. Bentuklahan-bentuklahan magmatik yang berkembang di Pulau Batam adalah berupa perbukitan berbatuan granit yang persebarannya menempati daerah Nongsa, Batuampar, dan Pulau Tanjungsauh di sebelah Timur Pulau Batam. Perbukitan dicirikan dengan relief bergelombang dengan permukaan yang relatif luas dan tumpul, mempunyai elevasi tidak lebih dari 200 m (169 m, peta pelayaran Indonesia skala 1:50.000) dari permukaan air laut, dan amplitudo perbedaan ketinggian yang tidak lebih dari 50 m. Pada daerah ini, permukaan tanah banyak dicirikan oleh tekstur pasir sebagai hasil proses pelapukan batu

2 granit berupa disintegrasi yang menghasilkan mineral-mineral lepas. Dari hasil proses pelapukan membentuk tanah dengan solum tanah bervariasi dari sedang hingga agak dalam (40-60 cm), tetapi kedalaman menjadi agak dangkal pada bagian puncak (30 cm). Di bagian pesisir pantai endapan pasir kelabu-kehitaman dari granit ini membentuk gisik pasiran yang sebagian digunakan sebagai tempat rekreasi di Nongsa. Bentuklahan-bentuklahan tektonik (struktural) yang paling banyak ditemukan adalah dari struktur lipatan. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan pola-pola igir yang secara umum memanjang dengan arah Baratlaut merupakan igir-igir homoklinal atau hogback (Gambar 11 b dan c) dengan kemiringan dip bervariasi dari Bentuklahan ini berselingan dengan lembah-lembah subsekuen yang mengikutinya. Pola seperti ini berkembang pada wilayah berbatuan sedimen yang secara umum terdiri atas perselingan antara batupasir, batulempung, dan konglomerat. Berdasarkan struktur peneplain yang didominasi oleh lipatan, maka pulau-pulau kecil yang terbentuk di perairan ini lebih banyak yang berupa igir-igir homoklinal. Pola igir hogback yang membentang dengan arah Baratlaut ini secara umum juga menunjukkan arah sumbu lipatan yang terbentuk. Pulau-pulau yang terdapat di Pelataran Sunda (Sunda shelf) adalah bagian dari peneplain yang tidak tenggelam oleh air laut. Ini berarti bahwa Barelang juga merupakan igir-igir peneplain tersebut. Dari peta batimetrik yang dibuat oleh British Admiralty Chart no. 2757, terlihat bahwa Kepulauan Barelang-Bintan sebenarnya merupakan salah satu semenanjung purba di pantai Timur Sumatra. Bentuklahan fluvial di Barelang menempati wilayah yang tidak luas, terutama berkembang di daerah lembah-lembah sungai dan lembah antar perbukitan yang terkadang merupakan daerah rawa-rawa. Material yang diendapkan pada dataran aluvial di kepulauan ini kebanyakan berupa material pasir yang berasal dari pelapukan batupasir atau batu granit. Bentuklahan-bentuklahan asal proses marin lebih banyak didominasi oleh dataran pasang surut (tidal flat) yang banyak ditumbuhi oleh hutan mangrove di tepian pulau-pulau kecil. Pada bentuklahan ini, yang dinamakan lahan gambut, material yang diendapkan berbutir halus atau berupa lumpur. Bentuklahan lain seperti gisik pasir (sand beach) dapat juga dijumpai di beberapa pulau kecil. Sebagian besar material pasir ini bukan berasal dari kiriman material sungai yang kemudian dibawa oleh arus sepanjang pantai (longshore current), tetapi lebih 71

3 sebagai proses abrasi gelombang terhadap batupasir yang tersingkap di tepi pantai, seperti dijumpai di pantai Pulau Jandaberhias (Gambar 11 e) dimana pasir-pasir tersebut diendapkan di sepanjang garis pantai tersebut. a) Mangrove dan permukiman di Pulau Lengkang b) Hogback di bagian Utara Pulau Bokor c) Pulau Mentiang dengan dominasi mangrove yang membentuk pulau jadi melingkar, tampak hogback d) Ujung penunjaman antiklin di pantai Pulau Abang-kecil e) Pantai berpasir di Pulau Jandaberhias f) Perairan laut dangkal di Pulau Hantu g) Pertumbuhan terumbu karang di Pulau Lengkang h) Mangrove dan lamun jenis Enhalus di Pulau Air-manis Gambar 11 Foto pulau-pulau kecil tipe tektonik. Terumbu karang tampak tumbuh di kepulauan Batam ini meskipun tidak merata dan terumbu karang yang mati sering muncul ke permukaan pada saat air laut surut, seperti yang terjadi di Pulau Hantu (Gambar 11 f). Di kepulauan ini 72

4 terumbu karang tumbuh di atas batuan dasar peneplain yang terendam air laut, seperti batupasir, batulempung, atau konglomerat, dan terkadang terumbu ini dapat menghubungkan satu pulau dengan pulau di dekatnya dengan membentuk sebuah perairan laut dangkal seperti yang terjadi di Pulau Hantu. Bentuklahan asal proses organik yang dijumpai di pulau-pulau kecil tipe tektonik adalah bentuklahan terumbu dan lahan gambut. Bentuklahan terumbu terbentuk oleh karang dan bentuklahan lahan gambut terbentuk oleh mangrove. Bentuklahan terumbu yang terbentuk merupakan bentuklahan terumbu paparan dinding yang tumbuh pada batuan dasar peneplain. Perbedaan tingkat perkembangannya dipengaruhi oleh kondisi hidrologinya. Bentuklahan asal proses antropogenik banyak ditemukan khususnya di Pulau Batam, karena pulau ini merupakan pulau yang paling intensif dikelola oleh manusia. Hasilnya adalah di pulau ini banyak terjadi perubahan bentuklahan dan penggunaan lahan. Perubahan bentuklahan terutama disebabkan oleh Cut and Fill atau pemotongan perbukitan dan pengurugan pada daerah cekungan serta reklamasi daerah pesisir. Kegiatan ini dilakukan berkaitan dengan kebutuhan lahan untuk penataan ruang seperti yang telah direncanakan khususnya yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Hal ini terjadi karena di pulau ini dicanangkan program percepatan pembangunan Pulau Batam (Otorita Batam) yang dijadikan sebagai pusat kegiatan ekonomi internasional sejak era tujuh puluhan. Perataan relief ini untuk memenuhi kemudahan pembangunan infrastruktur dan kebutuhan lahan untuk permukiman, industri, perkantoran, perdagangan, dan sebagainya, termasuk pengurugan daerah tepi pantai atau reklamasi. Oleh sebab itu, bentuklahan di Pulau Batam banyak mengalami perubahan besar dalam waktu yang relatif singkat (tahunan) oleh manusia sebagai tenaga geomorfik yang memodifikasi permukaan bumi dibandingkan oleh proses alami yang dapat memakan waktu ribuan/jutaan tahun. Analisis geomorfologi untuk memberikan gambaran lebih detail tentang karakteristik biogeofisik pulau kecil tipe tektonik dipilih Pulau Lengkang dan sekitarnya yang meliputi Pulau Gerit, Pulau Ladang, Pulau Anakladang, Pulau Resol, dan Pulau Jagung. Hasil klasifikasi bentuklahan secara visual ditampilkan dalam bentuk peta bentuklahan seperti yang disajikan pada Gambar 12. Pulau Lengkang dikelilingi oleh perairan laut dangkal dan di sisi barat menghadap laut lepas mempunyai kedalaman lebih dari -50 m (Gambar 13). 73

5 Gambar 12 Peta bentuklahan Pulau Lengkang. Gambar 13 Peta kedalaman laut Pulau Lengkang dan sekitarnya. 74

6 Secara deskriptif, geomorfologi Pulau Lengkang dan pulau-pulau kecil di sekitarnya memiliki morfologi berbukit. Bentuklahan perbukitan antiklinal dijumpai di Pulau Anak-ladang, sedangkan perbukitan lipatan dijumpai secara dominan pada daratan pulau-pulau kecil ini. Bentuklahan dataran aluvial pantai terbentuk dari proses fluvial yang mengendapkan material dari perbukitan yang tererosi, sedangkan dataran pasang surut terbentuk dari proses marin yang mengendapkan material lumpur-pasiran hasil dari proses abrasi air laut. Selain itu juga dijumpai bentuklahan teras marin yang dulunya merupakan bagian paparan yang terendam air laut. Mangrove dan lamun berkembang dengan baik meskipun lamun hanya dijumpai di beberapa tempat yang lebih terlindung. Sementara itu, terumbu karang tumbuh pada batuan dasar peneplain pada kondisi kurang bagus. Perkembangan ketiga ekosistem laut di sini terganggu oleh adanya permukiman di Pulau Lengkang dan jalur pelayaran internasional antara Batam dan Singapura Karakteristik biogeofisik Hasil analisis geomorfologis dari aspek morfoarrangement, keadaan umum Pulau-pulau Batam, Rempang, dan Galang atau disebut sebagai Kepulauan Barelang dicirikan oleh pola memanjang, dari Pulau Batam hingga Pulau Galang, dengan arah umum Baratlaut (NW). Pola ini berasal dari bentuklahan struktural yang berkembang di atas pulau-pulau tersebut dari morfologi igir-igir perbukitan yang memanjang dengan arah umum ke Baratlaut. Pola ini dapat dilihat dengan jelas dari citra Landsat yang digunakan. Secara umum morfologi Kepulauan Barelang didominasi oleh relief perbukitan, sedangkan daerah dataran relatif sempit, berupa dataran aluvial antar perbukitan. Namun demikian, pada kenyataannya sekarang di Pulau Batam banyak dijumpai daerah-daerah yang mempunyai relief datar. Daerah-daerah datar ini bukan dihasilkan oleh bentukan alam, akan tetapi oleh proses antropogenik dimana manusia sebagai tenaga perubah bentuk permukaan bumi. Kegiatan manusia ini berupa pemotongan bukit dengan alat-alat berat. Pantai yang terbentuk pada pulau-pulau kecil tipe tektonik dipengaruhi oleh singkapan batuan di pantai. Ada dua hal utama yang membedakan jenis pantai di sini ditinjau dari singkapan batuannya yaitu kemiringan dip struktur batuan di pantai dan jenis batuan yang tersingkap. Kondisi tersebut membentuk jenis pantai bervariasi berupa pantai terjal, landai, dan datar. Pantai terjal biasanya berbatu dan 75

7 pada perairan laut dangkalnya tumbuh terumbu karang, dimana semakin baik kondisi hidrologinya/air laut maka semakin baik pula terumbu karangnya. Pantai landai biasanya berbatu atau berpasir. Pantai landai berbatu pada kondisi hidrologi yang sesuai akan tumbuh terumbu karang, sedangkan pantai berpasir sesuai untuk mangrove dan lamun. Pantai datar kemungkinan berbatu, berpasir, atau berlumpur. Pantai datar berbatu dapat tumbuh terumbu karang, mangrove, atau lamun tergantung posisi pulau yang berarti kondisi hidrologinya. Pantai berpasir terbentuk dari abrasi batupasir atau batu granit yang tersingkap di pantai. Secara gradual, komposisi ukuran butir batuan di pantai datar ini membentuk variasi pertumbuhan ekosistem laut yaitu antara terumbu karang, mangrove, dan lamun yang dipengaruhi oleh posisi pulau kecil. Selain itu, pulau-pulau kecil di daerah ini tidak dijumpai muara sungai dengan muatan sedimen tinggi. Pantai dengan proses abrasi intensif akan membentuk lahan pasang surut atau gisik pantai dengan material lumpur ataupun pasir tergantung jenis batuan yang tersingkap. Jika pantai didominasi oleh endapan aluvial serta endapan sedimen halus dapat menyebabkan kekeruhan pada perairan laut dangkal. Faktor lain adalah jalur pelayaran yang dapat memperburuk kondisi terumbu karang. Contoh, di Pulau Lengkang, Batam bagian utara yang dekat dengan jalur pelayaran domestik dan internasional menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang lebih buruk dibandingkan dengan di Pulau Abang, Batam bagian selatan yang jauh dari jalur pelayaran. Aktivitas pelayaran ini mempengaruhi kualitas perairan Pengolahan data Karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil tipe tektonik dapat dimunculkan dari citra Landsat dengan kombinasi kanal 234 dan 345 (Tabel 13). Hasil perhitungan OIF, dari 10 model pulau kecil tipe tektonik, diperoleh bahwa kombinasi kanal 234 dan 345 sering muncul dengan nilai tertinggi. Oleh karenanya, kombinasi kanal 234 dan 345 ini adalah merupakan hasil fusi multispektral terseleksi untuk pulau kecil tipe tektonik. Perbedaan kombinasi kanal, dari 10 model pulau kecil tipe tektonik, secara umum dipengaruhi oleh perbedaan pertumbuhan ekosistem laut. Perbedaan ekosistem laut ini dipengaruhi oleh posisi/lokasi pulau kecil serta perbedaan tipe batuan di pantai. Hal inilah yang menjadikan perbedaan karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil tipe tektonik di daerah penelitian. 76

8 Tabel 13 Kombinasi kanal citra Landsat model pulau kecil tipe tektonik No Nama pulau Kombinasi Posisi pulau Bokor Mentiang Janda-berhias Lengkang Dangsi Calang Awi Ngenang Hantu Ranu Di bagian utara & terlindung Di bagian utara & terlindung Di jalur pelayaran Di jalur pelayaran Di tengah-tengah kepulauan Di tengah-tengah kepulauan Di bagian timur Di bagian timur Berada jauh dari pulau-pulau lain Berada jauh dari pulau-pulau lain Sumber : Hasil pengolahan data dengan formula 1. Nilai OIF yang diperoleh pada dasarnya berasal dari kisaran nilai digital yang merupakan cerminan karakteristik biogeofisik pulau kecil. Contoh urutan nilai OIF salah satu model yaitu Pulau Lengkang ditunjukkan pada Lampiran 4. Berdasarkan kombinasi kanal terseleksi dibuat enam citra komposit dan citra komposit yang dipilih ditunjukkan pada Gambar 14 a dan e untuk Landsat. Perbandingan antara Gambar 14 a dan e dari citra Landsat dengan Gambar 14 c dan f dari citra SPOT-5, menunjukkan bahwa morfologi pulau dapat dikenali dengan jelas dari citra Landsat resolusi spasial 30 m. Bahkan, dari 10 model pulau kecil, pulau paling kecil yaitu Pulau Mentiang (2,34 Ha) yang berbentuk melingkar tetap dapat dikenali. Hasil seleksi jenis penajaman spektral adalah autoclip (Tabel 14), sedangkan hasil seleksi jenis filter adalah high-pass sharpen 2 untuk model pulau-pulau kecil tipe tektonik (Tabel 15). Meskipun demikian, perbedaan jenis filter dan jenis penajaman juga dijumpai di antara model pulau-pulau kecil. Sebagai contoh, citra komposit hasil penajaman dan pemfilteran autoclip sharpen 2 ditunjukkan pada Gambar 14 d. Penajaman autoclip dan filter high-pass sharpen 2 terseleksi sebagai jenis penajaman karena modelnya memiliki penutup lahan relatif homogen. Ukuran pulau yang kecil dan batuan dasar penyusun pulau kecil tipe tektonik merupakan faktor yang mempengaruhi homogenitas yang terbentuk. Penajaman autoclip menghilangkan 0,5% nilai digital di kanan kiri, sedangkan filter high-pass sharpen 2 menggunakan jumlah kernel paling sedikit yaitu 3 kernel. Dengan penajaman dan pemfilteran ini morfologi pulau kecil tipe tektonik dan obyek-obyek yang ada di perairan laut dangkal menjadi lebih jelas dan tajam. 77

9 Tabel 14 Hasil penajaman pada model pulau kecil tipe tektonik Penajaman Pulau Linear Autoclip Levelslice Equalizer Gaussian Default Log. Bokor Mentiang Jandaberhias Lengkang Dangsi Calang Awi Ngenang Hantu Ranu Keterangan: - : tidak jelas + : kurang jelas ++ : jelas +++ : sangat jelas ++++: paling jelas Sumber : Hasil pengolahan data dengan Software ER-Mapper 6.4. Tabel 15 Hasil pemfilteran pada model pulau kecil tipe tektonik Pulau average 3x3 Filter low pass high pass edge detection average Sharpen Sharp Gradien diagonal 2 edge in the x Gradien in the y direction direction Bokor Mentiang Jandaberhias Lengkang Dangsi Calang Awi Ngenang Hantu Ranu Keterangan: - : tidak jelas + : kurang jelas ++ : jelas +++ : sangat jelas ++++ : paling jelas Sumber: Hasil pengolahan data dengan Software ER-Mapper 6.4. Hasil fusi multispasial membuat tampilan morfologi pulau-pulau kecil tipe tektonik menjadi lebih jelas dan tajam, seperti Gambar 14 b yang lebih jelas dibandingkan dengan Gambar 14 a. Peningkatan kejelasan dan ketajaman obyek 78

10 disebabkan oleh perubahan resolusi spasial dari 30 m menjadi 15 m. Pada citra SPOT-5 pansharpen dengan resolusi spasial 2,5 m, dapat dibandingkan perbedaan ketajaman antara Gambar 14 c dan 14 d. Hal ini menunjukkan bahwa fusi multispasial berfungsi meningkatkan kejelasan atau ketajaman tampilan morfologi dan obyek-obyek pulau kecil tipe tektonik. Namun, fusi multispasial membuat ketajaman perairan laut dangkal justru berkurang, seperti ditunjukkan pada perbedaan antara Gambar 14 a dengan 14 b. a) Pulau Lengkang dan sekitarnya, Landsat RGB 542 resolusi 30 m b) Pulau Lengkang dan sekitarnya, RGBI 5428, resolusi 15 m c) Pulau Lengkang, SPOT-5 resolusi 2,5 m d) Pulau Lengkang RGB 542 autoclip sharpen 2, resolusi 30 m lamun Dangkalan e) Pulau Bokor, Landsat RGB 543 resolusi 30 m f) Pulau Bokor, SPOT-5 resolusi 2,5 m g) Landsat RGB 421, warna biru terang adalah habitat terumbu karang Gambar 14 Citra komposit model pulau kecil tipe tektonik. Citra komposit terseleksi untuk mangrove adalah RGB 453 yang dipilih dari pengamatan secara visual terhadap 12 citra komposit. Ke-12 citra komposit dibangun berdasarkan hasil kombinasi kanal terseleksi 234, yaitu RGB 234, 243, 79

11 342, 324, 423, dan 432. Demikian pula pada kombinasi kanal 345 juga diperoleh 6 komposit. Penempatan kanal 4 yang sensitif terhadap vegetasi pada layer Red, menampilkan warna merah bata yang diidentifikasi sebagai mangrove. Hasil seleksi di antara citra komposit RGB 321, 421, 521, atau 721, diketahui bahwa komposit RGB 421 paling tajam menampilkan obyek-obyek di perairan laut dangkal. Hasil seleksi citra komposit yang sesuai untuk identifikasi lamun adalah RGB 421. Pada data Landsat kanal 1 dan 2, nilai digital lamun berada di antara terumbu karang dan mangrove (Tabel 16). Berdasarkan nilai digital tidak diperoleh nilai yang spesifik untuk lamun pada kanal 1, 2, 3, dan 4. Karakteristik nilai digital mangrove, terumbu karang, dan lamun pada kanal 1, 2, 3, dan 4 citra Landsat dapat dibedakan seperti ditunjukkan pada Tabel 16. Nilai digital mangrove pada kanal 4 jauh lebih tinggi dibandingkan terumbu karang dan lamun. Nilai digital terumbu karang pada kanal 1 dan 2 lebih tinggi daripada lamun dan nilai keduanya lebih tinggi daripada mangrove. Tabel 16 Nilai digital mangrove, terumbu karang, dan lamun di Pulau Lengkang Kanal Mangrove Terumbu karang Lamun Sumber : Hasil pengolahan data Landsat dengan software Er-Mapper. 80

12 4.1.2 Tipe Vulkanik Hasil analisis geomorfologi di daerah model, diketahui bahwa dari aspek morfologi, pulau kecil tipe vulkanik dikenali berupa pegunungan, perbukitan, dan dataran. Bentuklahan lereng gunungapi terdenudasi dengan pola aliran radial juga merupakan aspek morfologi untuk identifikasi pulau kecil tipe vulkanik. Sementara itu, dari aspek morfoarrangement pulau-pulau kecil tipe vulkanik membentuk suatu kelurusan sebagai cermin dari jalur magmatik. Pulau kecil tipe vulkanik dikenali terutama dari kunci interpretasi unsur bentuk dan lokasi, yaitu bentuk melingkar atau bentuk lain dari deformasi melingkar dan lokasi di samudra. Pulau kecil tipe vulkanik yang tidak berbentuk melingkar adalah hasil proses denudasi tahap lanjut. Dalam hal ini, identifikasinya dilakukan dengan mengenali bentuklahan asal vulkanik seperti kawah atau torehan dengan pola radial. Namun, pulau kecil tipe vulkanik dengan topografi datar, ciri-ciri tersebut sulit diidentifikasi dari citra satelit. Salah satu solusinya adalah dengan cek lapangan. Kasus ini diperkirakan banyak dijumpai terutama untuk pulau-pulau sangat kecil Bentuklahan model pulau kecil Hasil analisis geomorfologi dari aspek morfogenesis, bentuklahan pulaupulau kecil tipe vulkanik yang berkembang di Kabupaten Sikka dan Kabupaten Sitaro dapat dikelompokkan menjadi bentuklahan-bentuklahan asal proses 1) vulkanik/magmatik, 2) fluvial, 3) marin, dan 4) organik. Bentuklahan-bentuklahan magmatik/vulkanik yang berkembang di pulaupulau kecil di daerah penelitian adalah gunungapi dengan kondisi dari sangat aktif sampai kondisi tidak aktif dalam kurun waktu sangat lama. Pulau-pulau di Kabupaten Sikka berada pada suatu kelurusan, seperti deretan Pulau Palue, atol Gosong-goni, dan Pulau Babi yang berada pada suatu kelurusan di tengah Laut Flores. Di sebelah Selatan ada kelurusan yang menghubungkan Pulau Besar dan deretan gunungapi di Pulau Flores. Pulau-pulau di Kabupaten Sitaro berada pada suatu kelurusan dengan arah umum ke Utara Selatan dan membentuk tiga kelompok pulau yaitu Siau, Tagulandang, dan Biaro. Pulau Makalehi berada jauh dari kelurusan tersebut yaitu di bagian Barat Pulau Siau. Seperti diuraikan pada Bab 3, Kabupaten Sitaro mempunyai dua gunungapi aktif yaitu Gunung Karangetang di Pulau Siau dan Gunung Ruang di Pulau Ruang. Kepulauan Sitaro adalah bagian dari busur magmatik Kepulauan Sangihe. Morfologi umum pulaupulau berupa pegunungan dan perbukitan. 81

13 Bentuklahan kawah sebagai ciri gunungapi banyak dijumpai yang berada di ketinggian seperti di Pulau Siau (Gunung Karangetang, m), Pulau Ruang (Gunung Ruang, 868 m), dan Pulau Palue (Gunung Rokatenda, 863 m) dan ada kawah yang berupa danau seperti di Pulau Sukun, Kabupaten Sikka dan di Pulau Makalehi, Kabupaten Sitaro. Morfologi kawah yang terdenudasi dapat dikenali dari citra Landsat seperti di Pulau Besar dan Pulau Tagulandang. Bentuklahan perbukitan vulkanik banyak dijumpai pada pulau-pulau kecil tipe vulkanik yang secara umum disebabkan oleh proses deformasi lanjut dari tubuh vulkanik asalnya. Bentuklahan ini dicirikan oleh pola torehan yang khas pada gunungapi yaitu bertekstur halus cerminan sedikit torehan untuk material lava, atau bertekstur kasar cerminan banyak torehan untuk material piroklastik. Sebagai contoh, Pulau Babi yang tersusun secara dominan oleh batuan breksi andesit (lava) bertekstur halus dan Pulau Palue yang tersusun secara dominan oleh batuan tufa dan pasir (piroklastik) bertekstur kasar. Di Kabupaten Sikka dijumpai Gosong-goni berbentuk melingkar dengan kedalaman + 30 m dan mempunyai outlet di sebelah Timur. Besar kemungkinan bentuklahan terumbu karang ini tumbuh mengikuti pola batuan dasarnya (substrat) yang berupa tubuh vulkanik yang berada di bawah permukaan air laut. Tubuh gunungapi ini mungkin telah terhenti pertumbuhannya sebelum mencapai permukaan atau bisa juga berupa bekas tubuh gunungapi yang telah hancur oleh letusannya sendiri hingga terendam oleh air laut. Terumbu ini secara morfogenesis disebut atol yang merupakan tahap akhir perkembangan bentuklahan terumbu samudra. Gosong-goni ini dijumpai pada kelurusan antara Pulau Palue dan Pulau Konga, dan dengan posisi ini memperkuat dugaan bahwa Gosong-goni adalah atol. Pulau kecil Gunungsari (0,393 Ha) terbentuk di Gosong-goni sebagai hasil dari akresi pantai dengan elevasi pulau berkisar antara 1 1,5 meter dpal. Material penyusunnya adalah hancuran koral mati (rampat). Bentuklahan fluvial berupa dataran aluvial pantai terbentuk tapi relatif sempit. Proses fluvial dan fluvio-vulkanik di pulau-pulau yang terbentuk dari gunungapi aktif jenis strato memiliki proses eksogen yang berlangsung intensif dan memicu terjadinya longsor lahan. Efek dari aktivitas gunungapi dan longsor lahan yang intensif menyebabkan pertumbuhan terumbu karang terkendala yang terjadi di sekeliling pulau. 82

14 a) Singkapan batuan breksi andesit di sisi Barat Pulau Babi b) Kapal nelayan di pantai berpasir hasil rataan pasang surut yang semula permukiman di Pulau Babi c) Gisik dan tebing pantai di Pulau Ruang dari sisi Timur d) Pola pertumbuhan terumbu karang di pulau kecil tipe vulkanik di Pulau Tagulandang, Sitaro e) Asosiasi mangrove dan lamun jenis Enhalus di Pulau Pasighe f) Padang lamun jenis Thalasia di Pulau Pasighe Gambar 15 Foto perairan laut dangkal pulau kecil tipe vulkanik. a) Pulau Dambila, Landsat RGB 542 bertekstur halus b) Pulau Biaro, Landsat RGB 543 bertekstur kasar Gambar 16 Pulau vulkanik terdenudasi dengan morfologi tidak melingkar. 83

15 Bentuklahan asal proses marin yang banyak dijumpai adalah gisik dengan material endapan hasil letusan gunungapi berupa batu dan pasir. Bentuklahan lain seperti rataan pasang-surut dapat dijumpai di beberapa pulau dengan material hancuran koral. Proses marin ini membentuk pantai berpasir dan pada pantai ini seringkali tersusun oleh material campuran antara hancuran koral dan endapan piroklastik. Bentuklahan asal organik untuk terumbu yang berkembang adalah terumbu samudra (oceanic reefs) yaitu terumbu pinggiran, terumbu penghalang, dan atol. Terumbu pinggiran banyak dijumpai di perairan laut dangkal di sebagian besar pulau vulkanik, sedangkan terumbu penghalang hanya terbatas seperti dijumpai di Pulau Besar bagian Barat. Perkembangan pembentukan terumbu bervariasi di antara pulau-pulau kecil tipe vulkanik. Perbedaan tingkat perkembangan bentuklahan terumbu berkorelasi terbalik dengan tingkat aktivitas vulkanik yaitu semakin tinggi aktivitas gunungapi semakin terkendala perkembangan terumbu. Contoh hasil identifikasi bentuklahan terumbu secara visual disajikan pada peta bentuklahan pulau-pulau model. Sementara itu, bentuklahan asal organik untuk lahan gambut dijumpai di daerah yang terlindung, seperti halnya dengan lamun. Ekosistem mangrove dan lamun yang berkembang dengan baik di daerah penelitian seperti dijumpai di Pulau Pasighe, Kabupaten Sitaro. Analisis geomorfologi untuk memberikan gambaran variasi bentuklahan lebih detail dipilih tiga pulau kecil yaitu Pulau Ruang, Pulau Babi, dan Pulau Pasighe. Ketiga pulau kecil ini dipilih menurut perbedaan tingkat aktivitas vulkanik. Hasil analisis secara visual dan klasifikasi bentuklahan ditampilkan dalam bentuk peta yang disajikan pada Gambar 17 sampai Gambar 19. Berikut uraian analisis geomorfologi secara deskriptif untuk menggambarkan karakteristik biogeofisik pulau vulkanik. Pulau Ruang Pulau Ruang merupakan salah satu pulau kecil tipe vulkanik yang mempunyai gunungapi aktif. Morfologi pulau ini secara umum berbentuk melingkar yang merupakan suatu kerucut gunungapi (volcanic cone) tipe stratovulkano. Pulau Ruang pernah mengalami longsoran dicirikan oleh adanya tebing longsoran berbentuk tapal kuda yang menghadap ke Utara. Pola ini tampak jelas dari citra satelit meskipun sebagian besar tubuh dari longsoran ini telah tertutup oleh endapan vulkanik yang baru dari aktivitas Gunung Ruang. 84

16 Endapan ini dapat berasal dari aliran piroklastik maupun lahar yang tampak jelas tersingkap pada bentuklahan tebing pantai (cliff), seperti terlihat di sepanjang pantai bagian Utara. Hasil pelongsoran tersebut telah menghasilkan bentuklahan berupa bukit-bukit kecil dan besar (hummock) terdiri atas campuran bongkahan batu-batuan lava basaltik dan andesitik serta piroklastik. Hummock yang berukuran kecil telah banyak tertutup oleh endapan vulkanik yang baru, sedangkan hummock yang besar masih tampak jelas di lapangan yang menduduki bentuklahan kerucut gunungapi lereng bawah di bagian Utara. Bentuklahan kerucut gunungapi dapat dipilahkan menjadi tiga yaitu lereng atas (35 ), lereng tengah (20 ), dan lereng bawah (5-10 ). Letusan Gunung Ruang Tahun 2002 menghancurkan Desa Pumpete dan Desa Laingpatehi akibat derasnya jatuhan piroklastik (pyroclastic fall) yang terjadi. Jarak antara pusat letusan (kawah) dengan kedua desa ini kurang dari 2 km, sedangkan jatuhan piroklastik yang berukuran blok dan lapilli bisa mencapai radius 5 km. Letusan tersebut juga menghasilkan aliran piroklastik atau awan panas (nuees ardentes) yang secara umum mengalir ke arah Selatan dan Tenggara. Hal ini dicirikan oleh banyaknya endapan lapilli di lereng-lereng dan absennya vegetasi seperti kelapa dan semak belukar. Di bagian puncak Pulau Ruang terdapat dua kawah yang berdampingan dengan arah Timur-Laut (NE). Aliran lava hasil letusan Tahun 1949 berasal dari kawah sisi Timur-Laut dan mengalir ke arah Timur menuruni lereng hingga mencapai tepi pantai di Tanjung Kulukulu (Gambar 17). Aliran lava ini tampak jelas di citra dan dicirikan dengan masih sedikitnya vegetasi. Pantai pasir berbatu terbentuk oleh material yang berasal dari aliran piroklastik dan lahar. Terumbu karang masih belum banyak tumbuh di sekitar pulau vulkanik ini, sedangkan mangrove dan lamun juga tidak dijumpai. Gambaran aktivitas gunungapi tersebut menjadi dasar untuk memahami karakteristik biogeofisik ekosistem laut. Hasil analisis tersebut juga menjadi dasar untuk analisis digital. Berdasarkan Peta Geologi daerah penelitian (Samodra, 1994), Pulau Ruang tersusun atas aglomerat, lava, tuff, timbunan awan panas, endapan jatuhan, dan lahar. Aglomerat tersusun atas kepingan batuan andesit dan basalt yang tersebar di sebagian pantai yang curam. Lava andesit hornblende yang tersingkap di salah satu lereng berselingan dengan aglomerat terkekarkan membentuk struktur tiang dan melebar. Timbunan awan panas di lembah-lembah curam mengandung kepingan batuan beku, tuff terkersikkan, kayu terarangkan. 85

17 Gambar 17 Peta bentuklahan Pulau Ruang. Gambar 18 Peta bentuklahan Pulau Babi. 86

18 Pulau Babi Pulau Babi dengan luas 88,37 Ha memiliki morfologi kubah dengan topografi bergunung dan elevasi tertinggi 338 mdpal. Material yang dominan adalah lava dan breksi andesit berumur Pleistosen. Kubah lava ini mengalami denudasi menjadi bentuklahan kubah lava terdenudasi. Kenampakan di lapangan menunjukkan material ini mempunyai garis-garis kekar hasil proses intrusi. Berdasar analisis citra Landsat yang didukung oleh cek lapangan serta peta rupa bumi, menunjukkan bahwa sebagian besar pantai yang terbentuk adalah pantai berpasir sebagai hasil dari hancuran terumbu karang membentuk bentuklahan gisik. Namun pada bagian Timur-Laut terbentuk pantai berbatu yang tersusun secara dominan oleh batuan breksi andesit (Gambar 15 a). Pola aliran yang terbentuk adalah radial sentrifugal dengan tingkat torehan menengah. Bagian Selatan Pulau Babi berupa dataran dan dijumpai sumur dengan kedalaman air tanah berkisar antara 2-5 meter. Kedalaman sumur ini dipengaruhi oleh lapisan batuan tak tembus air yang membatasi akuifer. Bagian atas perlapisan batuan tersebut tertutupi oleh material pasir yang diidentifikasi sebagai hasil pelapukan fisik pantai berbatu oleh proses abrasi air laut. Bukti dari proses abrasi air laut adalah berupa gerong laut (notch) di kaki gunungapi dengan jarak berkisar 677 meter dari pantai, dan kondisi ini menegaskan bahwa dataran yang ada merupakan bentuklahan rataan pasang surut. Di bagian selatan juga dijumpai bentuklahan rawa payau yang ditumbuhi mangrove. Lereng terjal yang terbentuk di sisi luar terumbu karang mengindikasikan batas dari terumbu pinggiran (fringing reefs) dan terbentuk bentuklahan goba (Gambar 18). Pulau Pasighe Pulau Pasighe dengan luas 1,92 Km 2 merupakan bentuklahan dataran sisa vulkanik yang mempunyai morfologi relatif datar dengan lereng landai (0 3 ) serta mempunyai elevasi kurang dari 5 m. Menurut Peta Geologi daerah penelitian (Samudra, 1994) tipe batuan yang menyusun pulau ini sama dengan material gunungapi Malingge yang terdiri atas breksi gunungapi, lava, tuf, dan timbunan awan panas yang disertai adanya sisipan batupasir tufaan. Breksi vulkanik dan lava bersusunan andesit-basalt, sedangkan endapan awan panas mengandung kepingan andesit, basalt, diorit, batu apung, dan tuf tersilika yang menyudut. Sebagai sisipan pada tuff dan breksi gunungapi, tebal batupasir tufaan yang berbutir kasar hingga sangat kasar sekitar 20 cm. 87

19 Pulau Pasighe sudah tidak lagi mencerminkan suatu bentukan vulkanik seperti halnya Pulau Ruang. Hal ini mencerminkan bahwa, kemungkinan besar bentuklahan vulkanik ini telah hancur akibat letusan yang dahsyat di masa lalu dari Gunung Pasighe sendiri, sehingga menyisakan tubuh vulkanik yang rata dan hampir terendam oleh air laut. Dugaan ini diperkuat oleh bentuk dan pola pulau yang melingkar serta di sebelah utara pulau ini merupakan suatu perairan laut dangkal berbentuk cekung yang tersusun oleh pasir dan terumbu karang. Material pasir berasal dari produk vulkanik dan terumbu karang yang ada tentunya tumbuh di atas substrat batuan vulkanik dari sisa-sisa tubuh vulkanik lama. Letusan vulkanik yang besar yang umumnya dapat menghacurkan tubuh vulkanik adalah tipe letusan magmatik, seperti tipe plinian, yang umumnya mampu menghasilkan suatu kaldera yang didahului dengan semburan piroklastik abu-batuapung (ignimbrite) yang besar dan diendapkan di sekitar gunungapi. Jika lapilli batuapung yang ditemukan di Pulau Pasighe tersebut adalah berasal dari pulau itu sendiri, maka besar kemungkinan pulau ini secara morfogenesis merupakan suatu pulau vulkano-denudasional atau sebagai sisa-sisa tubuh vulkanik yang hancur di masa lalu. Permukaan lahan Pulau Pasighe terdiri atas endapan piroklastik berupa pasir dan kerikil (lapilli) yang mirip dengan endapan di Pulau Ruang. Besar kemungkinan jatuhan piroklastik dari letusan terakhir Gunung Ruang mencapai pulau ini, meskipun ditemukan jenis batuapung yang tidak ditemukan di Pulau Ruang. Lapili yang berada di atas pulau ini mempunyai bentuk runcing dan membulat. Yang pertama mencerminkan hasil dari letusan secara langsung (pyroclastic fall), sedangkan yang kedua mencerminkan hasil kerja dari ombak pantai terhadap endapan piroklastik yang jatuh di tepi pantai pulau ini. Di sebelah Utara Pulau Pasighe merupakan suatu perairan laut dangkal yang membentuk suatu lagun dengan air laut tersalurkan melalui suatu celah (inlet) yang berada di sisi Timur. Bentuklahan lagun dangkal dengan material pasir-lumpuran dan terumbu berada di bagian tepi, sedangkan bentuklahan lagun dalam dengan material pasir dan terumbu berada di bagian tengah. Bentuklahan gisik dengan material koral berpasir terbentuk mengikuti garis pantai yang kemudian dihancurkan oleh abrasi gelombang (Gambar 15 e). Sebagian dari dasar lagun tampak ditumbuhi oleh padang lamun pada substrat lumpur-pasiran terutama yang terletak di dekat Pulau Pasighe. Massa batuan vulkanik ini 88

20 merupakan tempat tumbuhnya terumbu karang, lamun, dan berbagai jenis tanaman bakau (mangrove) dan nonmangrove. Pulau Pasighe merupakan cagar alam dan sebagai lokasi untuk gerakan rehabilitasi lahan dan hutan (GERHAN) yang dikelola oleh Departemen Kehutanan. Di pulau ini kondisi ekosistem mangrove, terumbu karang, dan lamun dijumpai paling bagus dan dapat dijadikan sebagai contoh bentuk asosiasi pertumbuhan ketiga ekosistem utama yang ideal. Pulau Ruang, Pulau Pasighe, dan Pulau Tagulandang berada pada satu area perairan dangkal yang dikelilingi oleh perairan laut dalam dan menghadap laut lepas dengan kedalaman lebih dari m. Di bagian selatan kedalaman laut mencapai hingga lebih dari -600 m dan dijumpai Gugus-pulau Biaro (Gambar 20). Pulau Babi dikelilingi oleh perairan laut dangkal kecuali di sisi utara menghadap laut lepas dengan kedalaman lebih dari -500 m. Di perairan laut dangkal ini dijumpai juga Pulau Pomana dan Gugus-pulau Besar (Gambar 21). Gambar 19 Peta bentuklahan Pulau Pasighe. 89

21 Gambar 20 Peta kedalaman laut Pulau Ruang dan sekitarnya. Gambar 21 Peta kedalaman laut Pulau Babi dan Pulau Pomana. 90

22 Karakteristik biogeofisik Tipe pulau vulkanik yang dipilih untuk penelitian ini adalah pulau-pulau kecil di Kabupaten Sikka dan Kabupaten Sitaro. Hasil analisis secara geomorfologis dari aspek morfoarrangement, pulau vulkanik di Kabupaten Sikka berkembang mengikuti jalur magmatik yang membentuk kelurusan dengan arah umum ke barat - timur, seperti ditunjukkan pada kelurusan yang menghubungkan antara Pulau Palue, atol Gosong-goni, Pulau Babi, dan Pulau Konga (di sebelah barat Sikka). Sementara itu, di Kabupaten Sitaro pulau-pulau kecil berkembang memanjang dengan arah umum ke utara - selatan. Pola ini dapat dilihat dengan jelas dari citra Landsat yang digunakan dalam penelitian (Gambar 7 dan 8). Pulau-pulau kecil ini berkembang di samudra yaitu di Laut Flores dan di Laut Sulawesi dan termasuk kategori tipe vulkanik. Secara geomorfologis, keadaan umum pulau-pulau kecil tipe vulkanik dicirikan oleh bentuk pola morfologi pulau yang secara umum berbentuk melingkar seperti Pulau Palue di Kabupaten Sikka atau pola bentuk melingkar yang menyambung seperti Pulau Siau di Kabupaten Sitaro yang pada dasarnya merupakan ciri dari gunungapi. Namun, morfologi pulau kecil tipe vulkanik di daerah penelitian tidak seluruhnya berbentuk melingkar, misal, Pulau Dambila di Kabupaten Sikka dan Pulau Biaro di Kabupaten Sitaro (Gambar 16). Pulau vulkanik yang tidak lagi melingkar disebabkan oleh tingkat aktivitas vulkanis lebih lanjut dan asosiasinya dengan proses eksogenik. Secara umum morfologi Kepulauan Sikka dan Sitaro didominasi oleh relief pegunungan dan perbukitan, sedangkan daerah dataran relatif sempit, berupa dataran aluvial pantai dan rataan pasang surut. Perbedaan relief ini dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu tingkat aktivitas vulkanis dan komposisi material vulkanis. Faktor pertama, tingkat aktivitas gunungapi yang tinggi berpotensi membentuk relief pegunungan, sebaliknya aktivitas gunungapi yang semakin lama tidak aktif berpotensi membentuk relief perbukitan dan bahkan dataran. Pola morfologi tersebut hanya berlaku secara relatif terhadap suatu pulau kecil vulkanik, karena pada dasarnya morfologi pulau kecil yang dijumpai merupakan akhir aktivitas magmatik saat kini. Faktor kedua adalah komposisi material vulkanik antara piroklastik dan lava. Material piroklastik lebih rentan terdenudasi dibandingkan material lava, sehingga pulau vulkanik yang didominasi material piroklastik relatif lebih cepat terdenudasi membentuk dataran. Proses erosi dan longsor pada material piroklastik juga lebih intensif yang berpengaruh terhadap 91

23 ekosistem laut. Morfologi dataran umumnya dimanfaatkan untuk lahan pertanian dan permukiman, sedangkan morfologi pegunungan dan perbukitan dimanfaatkan untuk perkebunan. Pulau-pulau kecil di Sikka dan Sitaro dengan tipe vulkanik mempunyai substrat dasar yang tersusun atas endapan material vulkanik. Bentuklahan terumbu samudra akan berkembang di sini. Pada pulau kecil tipe vulkanik yang berupa gunungapi aktif, terumbu karang secara relatif kurang dapat berkembang karena terganggu oleh produk letusan, seperti yang terjadi di Pulau Ruang. Kegiatan gunungapi dengan periode letusan yang sering berpengaruh terhadap proses pertumbuhannya (banyak getaran, penaikan suhu serta sebaran materi vulkan yang mengganggu kejernihan air). Namun, secara umum terumbu karang lebih banyak berkembang dengan baik di pulau kecil tipe vulkanik ternudasi (tidak aktif) dibandingkan dengan di pulau kecil tipe tektonik. Pulau-pulau kecil tipe vulkanik di Kabupaten Sikka dijumpai terumbu karang sangat bagus karena posisinya berada di samudra, sedangkan mangrove relatif sedikit dan lamun tidak ada. Di Kabupaten Sitaro dijumpai terumbu karang, mangrove, dan lamun dengan kondisi lebih bervariasi Pengolahan data Hasil perhitungan OIF pada citra Landsat diperoleh bahwa kombinasi kanal 245 sering muncul dengan nilai tertinggi pada model pulau-pulau kecil tipe vulkanik (Tabel 17). Contoh urutan nilai OIF Pulau Babi ditunjukkan pada Lampiran 5. Tabel 17 Kombinasi kanal citra Landsat model pulau kecil tipe vulkanik No Nama pulau Kombinasi Kondisi pulau Tagulandang, Sitaro Pasighe, Sitaro Ruang, Sitaro Besar, Sikka Palue, Sikka Babi, Sikka Parumaan, Sikka Kondo, Sikka Vulkanik terdenudasi Vulkanik terdenudasi, berlagun Vulkanik aktif Vulkanik terdenudasi Vulkanik aktif Vulkanik terdenudasi Vulkanik terdenudasi, sangat kecil Vulkanik terdenudasi, sangat kecil Sumber: Hasil pengolahan data dengan formula 1, Lampiran 1. 92

24 Dari 8 model pulau kecil tipe vulkanik, 6 model merupakan gunungapi tidak aktif dan proses yang terjadi adalah denudasi. Di sisi lain, perbedaan tingkat proses denudasi yang berlangsung pada batuan vulkanik mempengaruhi perbedaan penutup lahan yang tercermin pada perbedaan kombinasi kanal (Tabel 17). Selain itu, perbedaan tingkat aktivitas vulkanik juga berpengaruh pada pertumbuhan terumbu karang dan bentuklahan terumbu. Dari kombinasi kanal terseleksi dapat dibuat enam citra komposit (Lampiran 7), seperti pada Gambar 22 a untuk pulau kecil tipe vulkanik berbukit dan Gambar 22 b untuk pulau kecil tipe vulkanik datar. Hasil perhitungan OIF pada citra QuickBird diperoleh bahwa kombinasi kanal terseleksi adalah 124 untuk Pulau Babi dan 134 untuk Pulau Pasighe dan Pulau Ruang. Gambar 22 c adalah citra komposit RGB 421 data QuickBird untuk Pulau Babi. Dari perbandingan antara Gambar 22 a (Landsat RGB 542) dan Gambar 22 c (QuickBird RGB 421), diketahui bahwa tampilan morfologi pulau relatif sama tajam. Padahal kedua citra ini memiliki perbedaan resolusi spasial berbeda yaitu 30 m dan 2,44 m. Hal ini menunjukkan bahwa kanal 1 tidak sesuai untuk tampilan daratan pulau kecil tipe vulkanik yang berbukit seperti Pulau Babi. Hasil seleksi jenis penajaman spektral untuk pulau-pulau kecil tipe vulkanik adalah autoclip, levelslice, dan equalizer (Tabel 18). Sementara itu, hasil seleksi jenis filternya adalah low-pass average 3X3, low-pass average diagonal, dan high-pass sharpen 2 (Tabel 19). Artinya, untuk satu pulau dapat digunakan ketiga jenis penajaman dan ketiga jenis filter tersebut. Berdasarkan kondisi di lapangan diketahui, hal ini terkait dengan pola radial torehan pada pulau kecil tipe vulkanik. Hasil penajaman dan pemfilteran berfungsi meningkatkan kejelasan dan ketajaman morfologi pulau kecil tipe vulkanik berbukit, terutama pada efek kesan tiga dimensi (Gambar 23 a lebih jelas dibandingkan Gambar 22 a). Namun, pengaruh penajaman dan pemfilteran kurang berfungsi untuk morfologi pulau kecil tipe vulkanik datar, seperti ditunjukkan pada perbedaan antara Gambar 22 b dan 23 b. Contoh variasi citra komposit, penajaman, dan pemfilteran Pulau Palue ditunjukkan pada Lampiran 7, 8, dan 9. Hasil fusi multispasial meningkatkan kejelasan dan ketajaman tampilan morfologi pulau terutama untuk pulau kecil tipe vulkanik berbukit, seperti perbedaan antara Gambar 23 c dan d. Fusi multispasial juga meningkatkan kejelasan dan ketajaman tampilan mangrove, tetapi kurang sesuai untuk terumbu karang dan lamun. 93

25 a) Pulau Babi, Landsat RGB 542 b) Pulau Pasighe, Landsat RGB 742 c) Pulau Babi, QuickBird RGB 421 d) Pulau Pasighe, QuickBird RGB 431 Gambar 22 Citra komposit model pulau kecil tipe vulkanik. Landsat resolusi spasial 30 m dan QuickBird resolusi spasial 2,44 m. a) Pulau Babi RGB 542 equalize, sharpen 2 b) Pulau Pasighe RGB 742 autoclip, sharpen 2 c) Pulau Babi RGBI 5428 d) P. Pasighe RGBI 7428 Gambar 23 Citra Landsat hasil penajaman dan fusi multispasial. 94

26 a) RGB 321 b) RGB 321 autoclip c) RGBI 3215 pecahan koral karang hidup lamun d) QuickBird RGB 421 e) Aplikasi Lyzengga lagun f) Landsat RGB 421 Gambar 24 Citra Pulau Pasighe. Tabel 18 Hasil penajaman pada model pulau kecil tipe vulkanik Penajaman Pulau Linear Autoclip Level slice Equalizer Gaussian Default Log Tagulandang Pasighe Ruang Besar Palue Babi Parumaan Kondo Keterangan: - : tidak jelas + : kurang jelas ++ : jelas +++ : sangat jelas ++++: paling jelas Sumber : Hasil pengolahan data dengan software Er-Mapper 95

27 Tabel 19 Hasil pemfilteran pada model pulau kecil tipe vulkanik Pulau average 3x3 Filter low pass high pass edge detection average Sharpen Sharp Gradien diagonal 2 edge in the x direction Tagulandang Pasighe Ruang Biaro Palue Babi Parumaan Kondo Keterangan: - : tidak jelas + : kurang jelas ++ : jelas +++ : sangat jelas ++++ : paling jelas Gradien in the y direction Sumber : Hasil pengolahan data dengan Software Er-Mapper. Berdasarkan pengamatan terhadap kombinasi kanal terpilih pada citra Landsat yaitu 245, 247, dan 345; diketahui bahwa citra komposit RGB 453 menampilkan mangrove dengan jelas. Artinya bahwa ada kesamaan susunan kanal citra komposit untuk obyek mangrove pada pulau kecil tipe tektonik dan tipe vulkanik. Hasil perhitungan OIF citra QuickBird di Pulau Pasighe menunjukkan bahwa nilai tertinggi untuk mangrove adalah kombinasi kanal 134 dan untuk terumbu karang dan lamun adalah kombinasi kanal 124 (Tabel 20). Tampilan citra komposit RGB 431 citra QuickBird untuk mangrove ditunjukkan pada Gambar 24 d. Dari tampilan citra komposit ini masih sulit untuk mengidentifikasi mangrove. Sementara itu, pada citra QuickBird komposit warna asli (true color) RGB 321, mangrove berwarna coklat kehitaman (Gambar 24 a). Dari Gambar 14 a dan 22 b, mangrove ditampilkan dengan warna berbeda, yaitu hijau tua pada RGB 542 di Pulau Lengkang dan kuning pada RGB 742 di Pulau Pasighe. Contoh kasus ini, menunjukkan bahwa identifikasi obyek yang hanya didasarkan pada warna citra komposit hasil perhitungan OIF dapat menimbulkan kesalahan interpretasi. Karakteristik nilai digital mangrove, terumbu karang, dan lamun dikaji melalui model Pulau Pasighe karena di pulau ini memiliki ketiga ekosistem laut terbaik (Tabel 21). Pada kanal 1, 2, dan 3 diketahui bahwa kisaran nilai digital terumbu karang dan lamun memiliki nilai lebih tinggi. Pada kanal 2 menunjukkan 96

28 perbedaan kisaran nilai digital paling nyata untuk terumbu karang dan lamun. Sementara itu, pada kanal 4 dijumpai nilai digital tertinggi adalah mangrove, disusul lamun, dan terakhir terumbu karang. Hal ini sesuai dengan karakterisitik kanal 4 yaitu memiliki kepekaan tinggi untuk vegetasi. Tabel 20 Nilai OIF ekosistem laut dari citra QuickBird di Pulau Pasighe Kombinasi kanal Ekosistem laut Mangrove 1,90 13,67 15,69 13,49 Terumbu karang 0,99 9,04 7,24 4,62 Lamun 1,75 3,17 2,95 2,85 Sumber : Hasil pengolahan data QuickBird dengan formula 1. Tabel 21 Nilai digital mangrove, terumbu karang, dan lamun di Pulau Pasighe Ekosistem Kanal Landsat Kanal QuickBird laut Mangrove Terumbu karang Lamun Sumber : Hasil pengolahan data dengan software Er-Mapper Tabel 22 Rata-rata nilai digital ekosistem laut di Pulau Pasighe Ekosistem laut Kanal 1 Kanal 2 Kanal 3 Kanal 4 Rata2 SD Rata2 SD Rata2 SD Rata2 SD Mangrove 69,50 0,69 48, ,00 1, Karang hidup 81,33 2,78 51,00 4,82 29,67 1,39 10,67 0 Pasir 86,00 1,39 60,50 3,48 35,50 0,69 10,50 0,69 Karang mati 98,00 2,78 76,50 4,87 44,00 1,39 10,00 0 Lamun 69,66 1,14 41,67 1,14 29,33 1,52 11,33 0,57 Sumber : Hasil pengolahan data dengan software Er-Mapper 97

29 Dari citra Landsat diperoleh rata-rata nilai digital ketiga obyek ekosistem laut berbeda (Tabel 22). Untuk kanal 1, 2, dan 3 menunjukkan nilai tertinggi adalah karang mati, kemudian pasir, karang hidup, lamun, dan terendah mangrove. Pola hubungan ini seperti ditunjukkan pada scattergram antara kanal 1 dan 2 di Pulau Pasighe pada Gambar 32. Sementara itu, pada kanal 4, mangrove memiliki nilai tertinggi dengan perbedaan yang sangat jauh dengan obyek lain, berikutnya secara berturut-turut adalah lamun, karang hidup, pasir, dan karang mati. Berdasarkan pengamatan terhadap nilai digital tersebut, maka identifikasi mangrove menggunakan kanal 4, sedangkan identifikasi terumbu karang dan lamun menggunakan kanal 1 dan 2. Sementara itu, klasifikasi terumbu karang menjadi karang hidup, pasir, dan karang mati dapat dilakukan menggunakan kanal 1 dan 2. Nilai digital mangrove dan lamun terdapat nilai yang tumpang tindih yaitu 16 pada Landsat dan pada citra QuickBird (Tabel 21). Hal inilah yang mempengaruhi kesulitan dalam hal delimitasi antara kedua obyek tersebut. Namun, rata-rata nilai digital lamun pada kanal 1 dan 2 berbeda dengan terumbu karang, sedangkan di kanal 3 dan 4 sangat berbeda dengan mangrove (Tabel 22). Kedua kondisi ini memungkinkan untuk identifikasi lamun dengan memanfaatkan keempat kanal tersebut secara proporsional, serta menggunakan gabungan analisis visual dan digital. Terumbu karang tumbuh di perairan laut dangkal tampak berwarna putih pada citra Landsat RGB 421. Di Pulau Lengkang, obyek berwarna putih ini merupakan substrat dasar atau peneplain yang terendam yang tersusun oleh batuan sedimen. Sementara itu, di Pulau Ruang merupakan material produk letusan Gunung Ruang yang tersusun oleh batuan bekudalam. Jenis substrat dasar terkait dengan terbentuknya pulau kecil dan informasi ini perlu dipertimbangkan pada identifikasi dan klasifikasi ekosistem laut secara digital. 98

30 4.1.3 Tipe Terumbu Hasil analisis geomorfologi di Pulau Pomana-besar dan Pulau Pomana-kecil, diketahui bahwa pulau kecil tipe terumbu dikenali terutama dari aspek morfologi dengan bentuk memanjang atau tidak melingkar sebagai hasil dari proses pengangkatan pada batu gamping terumbu. Proses awalnya adalah biologik yaitu dari binatang karang. Selain itu, aspek morfoarrangement juga membantu dalam identifikasi karena susunan keruangan posisi pulaunya terkait dengan pulau-pulau kecil tipe vulkanik. Aspek-aspek tersebut menjadi lebih berperan jika informasi jenis batuan belum tersedia. Pulau kecil tipe terumbu tampak dari citra Landsat RGB 543 dengan warna lebih cerah dibandingkan dengan pulau kecil tipe vulkanik. Hal ini terkait dengan batuan gamping terumbu dan vegetasi yang jarang. Interpretasi awal untuk pulau kecil tipe terumbu adalah dengan unsur warna yang cerah dan bentuk pulau yang memanjang. Dari tiga daerah penelitian, pulau kecil tipe terumbu yang dijumpai hanyalah Pulau Pomana-besar dan Pulau Pomana-kecil yang berada di antara pulau-pulau kecil tipe vulkanik. Warna citra untuk pulau kecil tipe terumbu ada kemiripan dengan pulau kecil tipe atol. Hal ini disebabkan oleh karena keduanya tersusun oleh batuan gamping terumbu. Akan tetapi keduanya memiliki morfologi pulau berbeda karena perbedaan proses terbentuknya. Pulau kecil tipe terumbu berbentuk memanjang, sedangkan pulau kecil tipe atol berbentuk melingkar. Morfologi pulau kecil tipe atol berbentuk melingkar atau bentuk lain dari deformasi melingkar sebagai kelanjutan dari proses pembentukan terumbu akibat tenggelamnya pulau kecil tipe vulkanik Bentuklahan model pulau kecil Hasil analisis dari aspek morfogenesis, bentuklahan pulau kecil tipe terumbu yang berkembang di Kabupaten Sikka dapat dikelompokkan menjadi bentuklahan-bentuklahan asal proses 1) tektonik/struktural, 2) marin, dan 3) organik. Bentuklahan asal proses tektonik atau struktural yang dijumpai adalah bentuklahan perbukitan plato berupa dua perbukitan memanjang dan bentuklahan perbukitan mesa berupa bukit kecil. Perbukitan yang luas atau plato dinamakan Pulau Pomana-besar, sedangkan yang sempit atau mesa dinamakan Pulau Pomana-kecil. Kedua pulau ini memiliki morfogenesis yang sama yaitu terbentuk dari hasil pengangkatan terumbu. Perbedaan dijumpai pada ukuran 99

31 bukit dan kondisi cuspate foreland yang menjadikan perbedaan kategori bentuklahan. Proses pengangkatan yang berlangsung membentuk suatu kelurusan dari Pulau Sukun, Pulau Besar, dan Pulau Flores bagian timur, dimana pada kelurusan ini secara umum membentuk deretan gunungapi seperti diilustrasikan oleh Bemmelen (1970) secara skematik pada Gambar 25. Di antara deretan gunungapi ini juga terangkat terumbu yang terletak di antara Pulau Sukun dan Pulau Besar dan terbentuklah pulau kecil tipe terumbu yaitu Pulau Pomana-besar dan Pulau Pomana-kecil. Pulau kecil tipe terumbu ini terbentuk di atas batu vulkanik yang terangkat Bentuklahan asal proses marin yang dijumpai adalah bentuklahan cuspate foreland, bentuklahan tombolo, dan bentuklahan gisik. Bentuklahan cuspate foreland terbentuk dari hasil pengendapan batu gamping terumbu dari proses akresi. Bentuklahan tombolo terbentuk dari hasil perluasan cuspate foreland yang telah menghubungkan dua pulau kecil berbukit yaitu Pulau Pomana-besar. Bentuklahan gisik terbentuk sebagai hasil dari proses abrasi gelombang terhadap batu gamping terumbu yang kemudian diendapkan di sekitarnya. Bentuklahan gisik membentuk dataran pantai dan relatif sangat sempit. Ketiga bentuklahan asal marin tersebut membentuk dataran. Bentuklahan tombolo berada di antara dua bukit sedangkan cuspate foreland berada di bagian selatan dan timur Pulau Pomana-besar. Penduduk menempati tombolo dan cuspate foreland dan mendapatkan sumber air tawar yang berada di lereng bukit. Bentuklahan asal proses organik yaitu bentuklahan terumbu yang terbentuk oleh binatang karang di perairan laut dangkal pulau-pulau kecil tipe terumbu. Bentuklahan asal proses organik yang dijumpai adalah bentuklahan terumbu paparan yang terdiri atas bentuklahan terumbu pelataran bergoba dan bentuklahan terumbu dinding tanduk. Goba atau lagun dijumpai di empat lokasi, yaitu di bagian timur dan selatan Pulau Pomana-besar dan dua di bagian utara Pulau Pomana-kecil. Goba dapat menjadi indikasi suatu tahapan perkembangan bentuklahan terumbu dan merupakan gambaran kondisi hidrologi pada bentuklahan terumbu. Pulau Pomana dikelilingi oleh perairan laut dalam dan menghadap laut lepas dengan kedalaman lebih dari -500 m kecuali di sisi Selatan. Di perairan laut dangkal ini, Pulau Pomana berada di antara Pulau Babi dan Gugus-pulau Besar, dimana keduanya termasuk kategori pulau kecil tipe vulkanik (Gambar 21). 100

32 Gambar 25 Skematik penampang melintang Pulau Pomana, (Bemmelen, 1970). a) Pulau Pomana-besar dengan tebing pantai yang terjal (cliff) b) Pulau Pomana-kecil (0,9 Ha), gisik pantai dan cliff dari sisi Barat c) Perairan laut dangkal di Pulau Pomana-besar d) Perairan laut dangkal dengan terumbu karang di Pulau Pomana-kecil e) Permukiman di bentuklahan tombolo di antara dua perbukitan f) Batu gamping terumbu di Pulau Pomana-besar Gambar 26 Foto pulau kecil tipe terumbu di Pulau Pomana. 101

33 Hasil analisis geomorfologi berupa peta bentuklahan Pulau Pomana-besar dan Pomana-kecil disajikan pada Gambar 27 dan 28. Pulau Pomana-besar terdiri atas bentuklahan-bentuklahan tombolo, cuspate foreland, perbukitan plato, terumbu pelataran bergoba, dan terumbu dinding tanduk. Pulau Pomana-kecil terdiri atas bentuklahan-bentuklahan cuspate foreland, gisik, perbukitan mesa, terumbu pelataran bergoba, dan terumbu dinding tanduk. Pulau Pomana-besar dan Pulau Pomana-kecil mempunyai ekosistem terumbu karang yang relatif luas dan luas masing-masing bentuklahan disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Luas bentuklahan Pulau Pomana No Bentuklahan Pomana-besar Pomana-kecil Luas (Ha) % Luas (Ha) % 1 Terumbu pelataran bergoba Terumbu dinding tanduk Gisik Tombolo Cuspate foreland Lagun Daratan Total Total Terumbu Sumber : Data primer Karakteristik biogeofisik Model pulau kecil tipe terumbu, yaitu Pulau Pomana-besar dan Pulau Pomana-kecil di Kabupaten Sikka terletak di Laut Flores dan berada di antara pulau-pulau kecil tipe vulkanik (Gambar 7). Di perairan Pulau Pomana-kecil ini area terumbu karang lebih luas daripada daratannya, dan mangrove dan lamun tidak dijumpai. Pulau Pomana-besar dengan luas 50,9 Ha memiliki morfologi perbukitan dan elevasi tertinggi 300 m dpal. Perbukitan ini dikembangkan untuk perkebunan jagung dan kacang-kacangan pada bagian lahan yang mempunyai solum tanah relatif paling tebal (20 30 cm) di perbukitan tersebut, terutama pada musim penghujan. Pulau Pomana-kecil dengan luas 0,9 Ha memiliki morfologi perbukitan dengan elevasi tertinggi 200 mdpal dan ditutupi oleh semak belukar. Unsur interpretasi warna yang cerah sebagai refleksi dari batu gamping terumbu dan vegetasi yang jarang dapat menjadi indikasi pada identifikasi awal pulau kecil tipe terumbu. Sementara itu, informasi jenis batuan yaitu gamping terumbu dapat diperoleh melalui Peta Geologi atau cek lapangan. 102

34 Gambar 27 Peta bentuklahan Pulau Pomana-besar. Gambar 28 Peta bentuklahan Pulau Pomana-kecil. 103

35 Secara geomorfologis, keadaan umum Pulau Pomana dicirikan oleh perbukitan berupa dua punggungan bukit dan satu bukit kecil. Perbukitan ini dicirikan oleh morfologi bukit berteras dengan arah umum Timurlaut. Pola ini berasal dari proses tektonik yaitu pengangkatan yang berlangsung pada batu gamping terumbu. Hasil pengangkatan ini membentuk tiga pulau kecil yang termasuk pulau kecil tipe terumbu. Morfologi pulau secara umum berbentuk memanjang atau tidak melingkar. Pulau Pomana diduga merupakan tiga pulau yang terpisah. Dua pulau yang lebih besar yang telah terhubungkan oleh tombolo yang dinamakan Pulau Pomana-besar, dan satu pulau lebih kecil yang dinamakan Pulau Pomana-kecil. Bentuklahan tombolo adalah cuspate foreland yang telah menghubungkan dua pulau. Saat kini, ketiga pulau kecil ini telah terhubungkan oleh bentuklahan terumbu sehingga membentuk gugus-pulau. Secara umum morfologi perbukitan mendominasi Pulau Pomana, sedangkan daerah dataran relatif sempit, yang berupa bentuklahan tombolo, cuspate foreland, dan gisik pantai. Dataran terbentuk dari endapan batu gamping terumbu hasil abrasi air laut. Dataran relatif luas dijumpai di antara dua perbukitan besar di Pulau Pomana-besar. Sementara itu, dataran sempit dijumpai di bagian Timur dan Selatan Pulau Pomana-besar. Dataran lain berupa dataran pantai yang relatif sangat sempit. Proses abrasi di tepi pantai pulau-pulau kecil ini menyisakan tebing terjal atau cliff (Gambar 26 a dan b). Pantai dengan tebing terjal mendominasi pantai di Pulau Pomana-besar dan Pulau Pomana-kecil. Tebing pantai ini membentuk gerong laut (notch) yang mencerminkan kerja gelombang yang kuat. Hal ini menjadi salah satu penyebab mengapa mangrove dan lamun sulit tumbuh dan berkembang. Di samping posisi pantainya berhadapan dengan gelombang besar, sedimentasi lumpur rendah, dan potensi pembentukan air payau yang rendah. Daerah dataran pantai berupa bentuklahan tombolo dan cuspate foreland dan dimanfaatkan oleh penduduk sebagai permukiman. Masyarakat menggunakan sumber air tawar yang muncul di lereng perbukitan Pengolahan data Hasil perhitungan OIF pada citra Landsat untuk model pulau kecil tipe terumbu diperoleh bahwa, kombinasi kanal untuk Pulau Pomana-besar adalah 257 dan untuk Pulau Pomana-kecil adalah 235. Urutan nilai OIF Pulau Pomanabesar ditunjukkan pada Lampiran 6. Perbedaan yang menyolok dari kedua model 104

36 pulau kecil ini adalah pada ukuran pulau. Nilai digital Pulau Pomana-kecil banyak dipengaruhi oleh perairan laut dangkal termasuk terumbu karang yang relatif luas. Sementara itu, hasil perhitungan OIF pada citra QuickBird diperoleh bahwa untuk Pulau Pomana-besar adalah kombinasi kanal 124 dan Pulau Pomana-kecil adalah 234. Berdasarkan kombinasi kanal terseleksi dibuat enam citra komposit dan salah satunya ditunjukkan pada Gambar 29 a dan b untuk citra Landsat dan Gambar 29 e dan f untuk citra QuickBird. Morfologi Pulau Pomana-besar tampak lebih jelas dari citra Landsat (Gambar 29 a dan b) dibandingkan dari citra QuickBird (Gambar 29 e dan f), padahal resolusi spasialnya jauh berbeda yaitu antara 30 m dengan 2,44 m. Demikian halnya untuk Pulau Pomana-kecil antara Gambar 29 b dan f. Hal ini menunjukkan bahwa citra Landsat sesuai untuk tampilan morfologi pulau-pulau kecil tipe terumbu. Kanal 7 pada kombinasi kanal 257 terseleksi memiliki nilai OIF tertinggi pada Pulau Pomana-besar. Citra komposit terpilih adalah RGB 752. Di sisi lain, hasil penelitian Parcharidis et al (1998) yang mempelajari fenomena karst di pantai utara Selat Corinthian menyebutkan bahwa kanal-kanal terseleksi adalah 1, 4, dan 7. Citra komposit terpilih adalah RGB 471. Adanya perbedaan ini diperkirakan dipengaruhi oleh perbedaan penutup lahan, akan tetapi pada kedua peneitian ini ada kesamaan yaitu terpilihnya kanal 7. Obyek obyek ekosistem terumbu karang pada Gambar 29 e (QuickBird) lebih jelas daripada Gambar 29 a (Landsat). Sementara itu, Gambar 29 e (RGB 421) lebih jelas daripada Gambar 29 f (RGB 432), dimana keduanya memiliki karakteristik biogeofisik yang sama yaitu terumbu karang yang tumbuh pada batuan gamping terumbu. Kondisi serupa juga dijumpai pada perbandingan antara RGB 542 dengan RGB 421 pada sesama citra Landsat. Hal ini menunjukkan bahwa resolusi spektral lebih berperan dibandingkan resolusi spasial. Kanal 1 dan 2 lebih sesuai dalam menampilkan obyek obyek ekosistem terumbu karang. Hasil penajaman spektral terseleksi untuk model pulau kecil tipe terumbu adalah autoclip, sedangkan hasil filter terseleksi adalah high-pass sharpen 2 (Tabel 24 dan 25). Model pulau-pulau kecil tipe terumbu mempunyai kondisi penutup lahan yang relatif sama. Contoh citra hasil penajaman dan pemfilteran ditunjukkan pada Gambar 29 c dan h. 105

37 a) Pulau Pomana-besar, Landsat RGB 752 b) Pulau Pomana-kecil, Landsat RGB 532 c) Pulau Pomana Landsat RGB 752 autoclip, sharpen 2 d) Pulau Pomana Landsat RGBI 7528 e) Pulau Pomana-besar, QuickBird RGB 421 f) Pulau Pomana-kecil, QuickBird RGB 432 g) Pulau Pomana, Citra Landsat RGB 421 h) Pulau Pomana, QuickBird RGB 421 autoclip, sharpen 2 Gambar 29 Citra komposit Landsat dan QuickBird Pulau Pomana. 106

38 Tabel 24 Hasil penajaman pada model pulau kecil tipe terumbu ++ : jelas +++ : sangat jelas ++++: paling jelas Sumber: Hasil pengolahan data dengan software Er-Mapper 6.4 Tabel 25 Hasil pemfilteran pada model pulau kecil tipe terumbu Pulau Penajaman Pulau Linear Autoclip Levelslice Equalizer Gaussian Default Log Pomanabesar Pamana kecil Keterangan: - : tidak jelas + : kurang jelas Pomanabesar Pamanakecil Keterangan: - : tidak jelas + : kurang jelas Filter low pass high pass edge detection average average Sharpen Sharp Gradien Gradien 3x3 diagonal 2 edge in the x in the y direction direction : jelas +++ : sangat jelas ++++ : paling jelas Sumber : Hasil pengolahan data dengan software Er-Mapper 6.4 Hasil fusi multispasial dari citra Landsat RGBI 7528 (Gambar 29 d) maupun dari citra QuickBird meningkatkan kejelasan atau ketajaman tampilan morfologi dan obyek-obyek pulau kecil tipe terumbu. Namun, fusi multispasial tidak memperjelas atau tidak mempertajam tampilan obyek-obyek terumbu karang. Hal ini juga terjadi pada pulau kecil tipe tektonik dan vulkanik yang menunjukkan bahwa terumbu karang memerlukan kisaran panjang gelombang lebih spesifik. Pada model pulau-pulau kecil tipe terumbu tidak dijumpai mangrove dan lamun tetapi dijumpai terumbu karang dengan pertumbuhan sangat baik. Teknik fusi multispektral berupa citra warna semu (False Color Composite/FCC) seperti RGB 421 dapat dibangun dari citra Landsat dan QuickBird. Citra komposit RGB 421 ini menampilkan terumbu karang dengan baik (Gambar 29 e dan g) dan menjadi lebih jelas lagi dengan penajaman autoclip sharpen 2 (Gambar 29 h). 107

39 Pada analisis bentuklahan terumbu berbasis geomorfologi, citra komposit RGB 421 dari Landsat sudah dapat menampilkan bentuklahan terumbu dengan baik. Perbandingan antara Gambar 29 g dengan 29 b di perairan Pulau Pomana-kecil, menunjukkan perbedaan kedetailan tampilan terumbu akibat perbedaan pilihan kanal; dimana kanal 1 dan 2 lebih baik. Sementara itu, perbandingan antara Gambar 29 g dengan 29 h menunjukkan bahwa identifikasi bentuklahan terumbu dan terumbu karang sudah dapat dicapai dari citra Landsat. Pulau kecil tipe tektonik ditandai terutama oleh bentuklahan tektonik atau struktural dan di daerah penelitian didominasi oleh struktur lipatan. Aspek morfoarrangement berupa igir memanjang dan bentuk beragam lebih berperan untuk identifikasinya. Pulau-pulau kecil yang terbentuk sebenarnya adalah bagian dari peneplain yang tidak tenggelam. Peneplain ini tersusun oleh batupasir, batulempung, dan konglomerat, dan di pantainya batuan ini tersingkap dengan kemiringan dip struktur yang bervariasi. Kondisi luas peneplain yang tenggelam dan ekosistem laut yang terbentuk membuat karakteristik biogeofisik pulau kecil bervariasi, sehingga karakter spektralnya beragam yang berpengaruh pada fusi multispektral. Fusi multispektral terseleksi adalah 234 dan 345. Fusi multispasial sesuai dalam mempertajam morfologi pulau dan mangrove. penutup lahannya homogen dan pulaunya kecil, penajaman yang sesuai adalah autoclip highpass sharpen 2. Jadi teknik pengolahan datanya adalah (Gambar 46). 108

40 4.2 Klasifikasi Tipe Pulau Kecil Berbasis Geomorfologi Hasil kajian pulau-pulau kecil di daerah penelitian dapat diketahui bahwa dasar klasifikasi pullau yang telah ada masih kurang mencerminkan karakteristik biogeofisik. Klasifikasi tipe pulau seperti diuraikan pada sub-bab 2.1.2; secara garis besar lebih menekankan pada tiga dasar klasifikasi yaitu 1) ketinggian, yang membedakan antara tinggi dan rendah, 2) topografi, yang membedakan antara berbukit dan datar, dan 3) lokasi, yang membedakan antara oseanik dan kontinen. Berdasarkan ketiga klasifikasi ini maka tampak bahwa karakter ekosistem laut yang tumbuh dan berkembang belum dapat digambarkan dengan baik. Dengan kata lain, klasifikasi yang ada belum dapat menggambarkan potensi pertumbuhan mangrove, terumbu karang, ataupun lamun. Berdasarkan hal tersebut makadalam penelitian ini klasifikasi tipe pulau kecil dilakukan berbasis geomorfologi, yaitu mengikuti proses geomorfik. Sistem klasifikasi tipe pulau kecil diawali dari morfogenesis dan kemudian dilengkapi dengan morfologi umum berupa morfografi. Hal ini diperlukan agar dalam pengkelasan tipe pulau kecil sekaligus dapat memberikan gambaran umum karakteristik biogeofisik ekosistem lautnya. Tabel 26 Klasifikasi tipe pulau kecil menurut morfogenesis Morfo- Proses Tipe pulau Morfografi genesis Endogenik Tektonik lipatan patahan Tektonik lipatan Tektonik patahan Berbukit, datar Berbukit, datar Vulkanik/ intrusif Vulkanik intrusif Berbukit, datar Magmatik ekstrusif Vulkanik ekstrusif Berbukit, datar Eksogenik Gradasif degradasif Stack Berbukit Monadnock Berbukit, datar aggradasif Hummock Aluvial/delta Moraine* Berbukit Datar Datar Biologik karang Terumbu Berbukit, datar Atol Datar mangrove Gambut* Datar, berbukit Antropogenik manusia Buatan* Datar, berbukit Sumber: Hasil analisis geomorfologi. *) jarang terjadi di Indonesia. 109

41 Klasifikasi tipe pulau kecil berbasis geomorfologi dibedakan menurut proses terbentuknya. Menurut Thornbury (1969), proses geomorfik yang membentuk muka bumi dibedakan menjadi tiga yaitu proses-proses endogen, eksogen, dan ekstraterestial. Proses endogen terdiri atas diastrofisme (lipatan dan patahan) dan magmatik (intrusi dan ekstrusi), sedangkan proses eksogen terdiri atas gradasi dan hasil kerja organisme termasuk manusia. Proses gradasi sendiri terdiri atas degradasi (pelapukan, gerakan massa, dan erosi) dan aggradasi (air, air tanah, gelombang, angin, dan glasial). Proses ekstraterestrial adalah jatuhnya meteorit dari luar angkasa ke permukaan bumi. Oleh karena proses ekstraterestrial jarang dijumpai maka konsentrasi studi ini difokuskan pada proses endogenik dan eksogenik. Pulau-pulau kecil diklasifikasikan dari kedua proses utama tersebut dan diuraikan ke dalam kelas-kelas yang lebih rinci. Untuk itu bentuk pembagian tipe pulau kecil disusun menurut morfogenesis dan dibedakan dari prosesnya, selengkapnya disajikan pada Tabel 26. Dari 13 tipe pulau kecil, tiga di antaranya yaitu moraine, gambut, dan buatan diperkirakan sangat jarang terbentuk di Indonesia. Untuk itu, klasfikasi tipe pulau kecil dapat disederhanakan menjadi 10 meliputi tektonik lipatan, tektonik patahan, vulkanik intrusif, vulkanik ekstrusif, stack, monadnock, hummock, aluvial, terumbu, dan atol. Pulau kecil tipe tektonik terbentuk oleh proses tektonik yang secara umum berupa lipatan dan patahan. Pulau-pulau ini, pada atlas pengelompokan pulaupulau kecil berdasarkan tektonogenesis, berada di daerah kelompok pulau Busur Muka, Paparan Benua dan Busur Belakang, dan Benua Renik. Di daerah kelompok pulau Busur Muka struktur geologi sesar naik lazim dijumpai walaupun jenis sesar lain serta struktur lain seperti sinklin dan antiklin juga sering ditemukan. Di daerah kelompok pulau Paparan Benua dan Busur Belakang dijumpai struktur terban dan setengah terban menguasai wilayah ini, tetapi sering juga dijumpai sesar geser, sesar naik bersudut landai, serta sinklin dan antiklin. Di daerah kelompok pulau Benua Renik dijumpai sesar geser umumnya menguasai wilayah ini, meskipun sesar normal dan sesar naik serta sinklin dan antiklin juga sering dijumpai. Pada struktur sesar berpeluang dijumpai pulau kecil tipe tektonik patahan, sedangkan pada struktur sinklin dan antikin berpeluang dijumpai pulau kecil tipe tektonik lipatan. Pulau kecil tipe vulkanik terbentuk oleh proses magmatik yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua yaitu intrusif dan ekstrusif. Pulau kecil tipe 110

42 vulkanik tidak pernah merupakan bagian dari daratan benua, dan terbentuk di sepanjang pertemuan antara lempeng benua dan lempeng samudra. Daerah yang berpeluang untuk dijumpai pulau kecil tipe vulkanik adalah di daerah kelompok pulau Busur Magmatik. Struktur sembul dan terban umumnya menguasai wilayah Busur Magmatik. Di daerah struktur sembul diperkirakan terbentuk pulau kecil tipe vulkanik intrusif, sedangkan pulau kecil tipe vulkanik ekstrusif diperkirakan dapat dijumpai di seluruh daerah Busur Magmatik. Pulau kecil tipe terumbu terbentuk oleh proses pengangkatan pada batu gamping terumbu. Oleh karena batu gamping terumbu terbentuk dari karang, maka peluang dijumpainya adalah di daerah terumbu karang yang mengalami proses endogen aktif. Jadi pulau kecil tipe terumbu awalnya terbentuk oleh proses biologik dan kemudian oleh proses tektonik yaitu pengangkatan. Pada klasifikasi ini (Tabel 26) dimasukkan ke dalam kelompok proses biologik karena proses biologik merupakan proses utama. Pulau kecil tipe atol terbentuk oleh proses penenggelaman (subsidence) pulau kecil tipe vulkanik yang semula menjadi substrat dasar pertumbuhan karang dan oleh pertumbuhan vertikal dari terumbu karang. Pulau kecil tipe vulkanik, dan tipe atol pembentukannya terkait dengan kegunungapian. Daerah yang berpeluang dijumpai pulau kecil tipe tipe atol adalah di daerah kelompok pulau Busur Magmatik seperti halnya untuk pulau kecil tipe vulkanik dan tipe terumbu. Stack adalah bentuklahan yang merupakan bagian dari suatu lapisan batuan dimana sebagian di antaranya telah tererosi. Monadnock adalah bentuklahan yang terbentuk oleh munculnya batuan yang resisten akibat tererosinya batuan di atasnya yang kurang resisten. Jika kedua bentuklahan tersebut terbentuk di lautan dan tidak tenggelam saat air laut pasang maka terbentuklah pulau kecil tipe stack dan monadnock. Pulau kecil tipe hummock dapat terbentuk di daerah yang relatif labil yang dapat menyebabkan suatu massa batuan bergeser dan membentuk bentuklahan hummock. Di daerah penelitian, contoh bentuklahan hummock dijumpai di daratan Pulau Ruang, dan jika bentuklahan ini terbentuk di lautan maka disebut pulau kecil tipe hummock. Morfologi pulau kecil tipe hummock berbentuk kubah atau dapat dikategorikan berbukit. Pulau kecil tipe hummock berpeluang dijumpai di daerah gempa. Pada Gambar 5, daerah gempa berada di Busur Muka, Busur 111

43 Magmatik, dan di Laut Jawa. Pulau kecil tipe hummock di Indonesia hanya dijumpai satu yaitu Pulau Rondo di Sumatra Utara (Rais, 2008). Pulau kecil tipe aluvial atau delta terbentuk oleh proses fluvial dimana laju pengendapan lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas erosi oleh arus dan gelombang laut. Pulau kecil tipe aluvial berpeluang dijumpai di depan muaramuara sungai besar, seperti di depan muara-muara sungai di pantai Timur Sumatra dan di Delta Mahakam, Kalimantan. Analisis tipe pulau kecil melalui pendekatan geomorfologi untuk ekosistem laut memberikan informasi bentuk pulau, jenis batuan yang terkandung, dan proses terbentuknya. Dengan kata lain, melalui tipe pulau dapat diduga karakteristik biogeofisik ekosistem lautnya. Sebagai contoh, pada pulau kecil tipe tektonik di Kepulauan Batam yang secara umum tersusun dari batupasir dan tuf dan di lokasi ini tidak dijumpai suatu muara sungai besar yang membawa muatan sedimen yang tinggi, maka ekosistem pantai yang terbentuk adalah pantai berbatu dan berpasir. Pada klasifikasi tersebut hanya membedakan antara morfografi datar dan berbukit, hal ini dimaksudkan untuk menyederhanakan. Topografi dapat dibedakan menjadi datar (0 100 m), berbukit (> m), dan bergunung (>300 m). Morfografi pulau kecil bergunung dan berbukit digabung menjadi morfografi berbukit, sehingga pulau kecil dengan ketinggian >100 m dimasukkan ke dalam kategori morfografi berbukit. Pada Tabel 25, jenis morfografi setiap tipe pulau kecil yang tercantum disesuaikan dengan kemungkinan ketinggian pulau kecil yang terbentuk. Karakteristik biogeofisik suatu pulau kecil terdapat kaitan yang erat antara morfografi (datar atau berbukit) dengan perkembangan ekosistem laut. Pola keterkaitan ini dijumpai pada model pulau-pulau kecil dan salah satu contoh fenomena yang menonjol dijumpai pada perbedaan karakteristik biogeofisik antara Pulau Ruang dengan Pulau Pasighe. Klasifikasi ini masih bersifat umum tetapi dapat dipakai sebagai panduan yang praktis untuk pembagian tipe pulau kecil dengan menggunakan data penginderaan jauh satelit atau data lainnya. Selanjutnya dari tipe pulau kecil ini dilakukan analisis untuk mendapatkan karakteristik biogeofisik melalui pendekatan geomorfologi ataupun cara lainnya. 112

44 4.3 Identifikasi Ekosistem Laut Berbasis Tipe Pulau Mangrove Pada model pulau-pulau kecil tipe tektonik, secara umum mangrove berkembang dengan baik. Pada tahap awal interpretasi secara visual, dari citra komposit warna semu (False Color Composite/FCC) RGB 453, mangrove diidentifikasi dari unsur interpretasi warna, tekstur, dan lokasi. Warna mangrove adalah merah bata, bertekstur kasar, dan lokasinya di pantai (Gambar 30 a). Pada citra QuickBird, interpretasi mangrove dapat diperjelas dengan unsur pola yaitu bergerombol-gerombol (Gambar 30 c). Pada Gambar 14 b mangrove dapat dikenali lebih jelas dibandingkan dengan Gambar 14 a. Hal ini menunjukkan bahwa fusi multispasial berperan dalam identifikasi mangrove yang berada di atas permukaan air laut. Dengan kata lain, mangrove dapat diidentifikasi tanpa kendala. Contoh kasus di Pulau Lengkang menunjukkan bahwa identifikasi mangrove dapat dilakukan hanya menggunakan unsur warna. Pada citra komposit RGB 453, mangrove berwarna merah bata (Gambar 30 a), sedangkan pada citra RGB 542, mangrove berwarna hijau tua (Gambar 14 a). Mangrove dapat diidentifikasi dengan baik pada kedua citra komposit tersebut. Sebaran mangrove di sini tidak terlalu luas, hanya terdapat pada sebagian sisi Pulau Lengkang, tetapi karena perbedaan warna antar obyek tampak kontras maka identifikasi mangrove dapat dilaksanakan. Warna mangrove yang kontras terkait dengan nilai digitalnya. Pada data Landsat kanal 4, kisaran nilai digital mangrove menunjukkan nilai yang tinggi dan berbeda nyata dengan terumbu karang dan lamun (Tabel 16). Perbedaan nyata atau keterpisahan nilai digital antar obyekobyek ekosistem laut ini membuat identifikasi mangrove menjadi lebih mudah. Contoh kasus di Pulau Jagung (Gambar 14 a bagian utara), dijumpai mangrove dengan tingkat kerapatan tinggi. Vegetasi ini tumbuh sampai batas daerah daratan yang dapat dicapai oleh air laut pada saat pasang tertinggi. Pada model pulau kecil tipe tektonik ini dijumpai keragaman penutup lahan, tetapi warna merah bata tampak kontras dengan warna lain. Secara umum, mangrove dapat tumbuh dan berkembang baik di sekeliling pulau-pulau kecil tipe tektonik, kecuali pada pantai berbatu dengan lereng terjal atau pantai yang telah banyak mendapat pengaruh aktivitas manusia seperti pencemaran. Pada model pulau-pulau kecil tipe vulkanik, mangrove dijumpai jika ada bagian pesisir pulau yang terlindung dari ombak. Hasil komposit RGB 453 citra 113

45 Landsat di Pulau Pasighe menunjukkan mangrove dengan warna merah bata juga. Namun, penutup lahan di Pulau Pasighe dominan mangrove sehingga warna merah bata tidak tampak kontrasnya, hanya sebagian kecil yang berwarna beda (Gambar 31 c). Kerapatan mangrove yang tinggi membuat tekstur obyek jadi lebih halus sehingga pola mangrove yang biasanya bergerombol tidak tampak. Dari unsur lokasi juga sulit digunakan untuk identifikasi. Mangrove di pulau kecil ini menempati seluruh pulau dan berada di tengah bentuklahan terumbu yang berbentuk lonjong. Artinya bahwa, pada tahap awal interpretasi mangrove menggunakan unsur warna, tekstur, dan lokasi masih menemui kesulitan. Pada kasus tersebut, identifikasi mangrove secara langsung dari RGB 453 menjadi terkendala. Salah satu kesulitannya adalah belum diketahuinya tipe dan karakteristik biogeofisik pulau kecil. Sebagai perbandingan fenomena pertumbuhan mangrove di pulau tipe vulkanik, adalah perbedaan antara Pulau Ruang dan Pulau Pasighe. Pada citra komposit RGB 453 di Pulau Ruang dan Pulau Pasighe dijumpai warna merah yang tersebar dari tengah pulau hingga ke pesisir. Keberadaan warna merah dengan lokasi di pantai mengarah untuk diinterpretasi sebagai mangrove. Namun, hasil pengamatan langsung di lapangan diketahui bahwa di Pulau Ruang tidak dijumpai mangrove, dan warna merah di citra adalah pohon kelapa dan semak belukar. Kesulitan identifikasi mangrove di Pulau Ruang ini disebabkan oleh warna merah dan warna lain tidak terjadi kekontrasan yang berarti, sehingga tidak ada pembanding. Pulau Ruang adalah pulau kecil tipe vulkanik berbukit dengan gunungapi yang masih aktif. Hasil letusan Gunungapi Ruang berupa piroklastik dan lava. Pulau vulkanik ini muncul di samudra sehingga semua pantainya berhadapan langsung dengan gelombang besar. Kedua faktor tersebut, gunungapi aktif dan posisi di samudra, menjadi kendala pertumbuhan mangrove (Gambar 31 b). Di sisi lain, Pulau Pasighe adalah pulau kecil tipe vulkanik datar terdenudasi lanjut yang terlindung dari gelombang besar oleh adanya terumbu yang berbentuk lonjong di sekelilingnya. Karakteristik fisik Pulau Pasighe ini sesuai untuk pertumbuhan mangrove dan lamun. Pada kasus dua pulau ini, ditemukan bahwa identifikasi mangrove memerlukan informasi pemahaman karakteristik biogeofisik pulau kecil. 114

46 a) Pulau Lengkang Landsat RGB 453 b) Pulau Mentiang, Landsat RGB 453 resolusi 30 m c) Pulau Mentiang QuickBird pansharpen resolusi 0,6 m Gambar 30 Citra mangrove di pulau kecil tipe tektonik. a) Pulau Pasighe QuickBird pansharpen b) Pulau Ruang Landsat RGB 453 c) Pulau Pasighe Landsat RGB 453 Gambar 31 Mangrove dan non-mangrove di pulau kecil tipe vulkanik. Gambar 32 Scattergram ekosistem laut Pulau Pasighe kanal 1 dan 2. Km = karang mati, p = pasir, kh = karang hidup, lm = lamun, mgr = mangrove. 115

47 Analisis digital mangrove di pulau kecil tipe tektonik dipilih di Pulau Lengkang. Hasil analisis digital mangrove dari algoritma NDVI diperoleh selang nilai dari negatif sampai positif. Nilai NDVI negatif merupakan obyek air, sedangkan nilai NDVI positif adalah mangrove. Analisis ini dimaksudkan untuk mengelompokkan tingkat kerapatannya serta memisahkan antara mangrove dengan non mangrove. Area mangrove telah diidentifikasi terlebih dahulu secara visual menggunakan citra Landsat RGB 453. Identifikasi mangrove di sini tidak dijumpai kesulitan, antara lain disebabkan oleh adanya keragaman obyek, sehingga warna merah bata tampak lebih nyata dan lebih kontras dibandingkan dengan warna lain (Gambar 30 a). Nilai NDVI mangrove di Pulau Lengkang (+ 0,27 Km 2 ) berkisar antara 0,349 sampai +0,376. Berdasarkan nilai tersebut Pulau Lengkang dibagi menjadi 5 kelas. Dua kelas pertama adalah perairan, dan selanjutnya adalah mangrove dengan kelas kerapatan dari rendah, sedang, sampai tinggi. Hasil klasifikasi kerapatan mangrove ditunjukkan pada Gambar 33. Analisis digital mangrove di pulau kecil tipe vulkanik dipilih di Pulau Ruang dan Pulau Pasighe untuk mewakili fenomena kaitan antara pulau kecil tipe vulkanik dengan pertumbuhan mangrove. Hasil pengamatan di Pulau Ruang dijumpai warna merah dari tengah pulau hingga ke tepi pulau secara merata (Gambar 31 b). Di bagian tengah pulau memiliki nilai NDVI lebih tinggi daripada di bagian tepi pulau. Kisaran nilai NDVI adalah -0,135 sampai +0,602. Pengaruh massa air di tepi pulau lebih tinggi sehingga nilai digital kanal 4 akan rendah dan nilai NDVI akan lebih kecil dibandingkan di tengah pulau. Hasil cek lapangan diketahui bahwa, di Pulau Ruang (+ 13,55 Km 2 ) tidak dijumpai mangrove tapi didominasi oleh kelapa dan semak belukar. Berdasarkan nilai NDVI Pulau Ruang dibagi menjadi 5 kelas kerapatan vegetasi dari sangat jarang hingga sangat lebat dan satu kelas perairan (Gambar 34). Hasil klasifikasi NDVI di pulau ini merupakan klasifikasi kerapatan vegetasi non mangrove. Hasil pengamatan pada citra Landsat RGB 453 di Pulau Pasighe dijumpai seluruh pulau berwarna merah bata yang kurang nyata, bertekstur halus yang mirip dengan padang rumput (Gambar 31 a dan c). Dari citra QuickBird Pulau Pasighe, mangrove dapat diidentifikasi dengan baik dengan pola vegetasi bergerombol. Nilai NDVI mangrove di Pulau Pasighe (+ 2 Km 2 ) berkisar antara 0,451 sampai +0,512. Hasil cek lapangan diketahui bahwa, di Pulau Pasighe didominasi oleh mangrove dan hanya sedikit area yaitu di tengah pulau yang 116

48 ditumbuhi oleh non-mangrove. Berdasarkan nilai NDVI tersebut Pulau Pasighe dibagi menjadi 3 kelas kerapatan mangrove yaitu rendah, sedang, dan tinggi, 2 kelas perairan, dan 1 kelas non-mangrove (Gambar 35). Kelas non-mangrove dengan NDVI di atas 0,4 adalah berupa hutan sangat lebat. Warna Nilai NDVI Luas(ha) Kerapatan Ndvi <= 0 4,14 perairan 0< ndvi<=0,1 2,61 perairan 0,1<ndvi<=0,2 10,98 rendah 0,2<ndvi<=0,3 20,88 sedang ndvi>0,3 30,69 tinggi Gambar 33 Klasifikasi kerapatan mangrove di Pulau Lengkang. Warna Nilai NDVI 0< ndvi<=0,1 0,1<ndvi<=0,2 0,2<ndvi<=0,3 0,3<ndvi<=0,4 0,4<ndvi<=0,5 ndvi>0,5 Luas (ha) 0 31,95 145,44 249,39 386,91 162,27 Kerapatan: perairan sangat jarang jarang sedang lebat sangat lebat Gambar 34 Klasifikasi NDVI di Pulau Ruang. Warna Nilai NDVI Ndvi <= 0 0< ndvi<=0,1 0,1<ndvi<=0,2 0,2<ndvi<=0,3 0,3<ndvi<=0,4 ndvi>0,4 Luas (ha) 9,36 6,30 8,91 27,99 112,05 34,56 Kerapatan: perairan perairan rendah sedang tinggi nonmangrove Gambar 35 Klasifikasi kerapatan mangrove di Pulau Pasighe. 117

49 Tabel 27 Nilai NDVI menurut tipe pulau Nama pulau Tipe pulau Nilai NDVI Lengkang Pasighe Ruang tektonik berbukit vulkanik datar terdenudasi vulkanik berbukit dengan gunungapi aktif - 0,349 sampai 0,376-0,451 sampai 0,512-0,135 sampai 0,602 Sumber: Hasil pengolahan data dengan formula 2 Klasifikasi tingkat kerapatan vegetasi di Pulau Ruang berbeda dengan Pulau Pasighe dipengaruhi oleh karakteristik biogeofisik pulau kecilnya. Sementara itu, analisis NDVI dari data Landsat dan QuickBird di Pulau Ruang dan Pulau Pasighe menunjukkan kisaran nilai dengan pola yang sama. Hasil perhitungan NDVI menunjukkan bahwa mangrove memiliki kisaran nilai lebih sempit dibandingkan vegetasi secara umum, yaitu antara -0,349 sampai 0,376 untuk Pulau Lengkang, -0,451 sampai 0,512 untuk Pulau Pasighe, dan - 0,135 sampai 0,602 untuk Pulau Ruang (Tabel 27). Sebagai perbandingan, nilai NDVI dari data NOAA untuk hutan adalah 0,7. Pada model pulau-pulau kecil tipe terumbu mangrove tidak dijumpai. Di Pulau Pomana-besar dan Pulau Pomana-kecil yang mewakili tipe pulau terumbu, tidak dijumpai mangrove dan lamun. Pulau ini mempunyai dataran yang terlindung dari aktivitas gelombang besar berupa tombolo di Pulau Pomanabesar dan cuspate foreland di Pulau Pomana-kecil bagian Barat. Namun, di lokasi tersebut tidak dijumpai mangrove dan lamun. Dari model pulau-pulau kecil tipe terumbu diketahui bahwa suplai air tawar tidak terjadi sehingga tidak sesuai untuk petumbuhan mangrove dan lamun. Hasil pengamatan diketahui bahwa hubungan antara bentuklahan dengan tipe pulau atau morfogenesis pulau menunjukkan bahwa pulau kecil tipe terumbu tidak sesuai untuk mangrove dan lamun tapi sangat sesuai untuk terumbu karang. Faktor salinitas, substrat, dan arus di sekeliling pulau kecil tipe terumbu ini diperkirakan tidak memenuhi syarat untuk pertumbuhan mangrove dan lamun. Salinitas tidak dapat terpenuhi karena tidak ada suplai air tawar. Faktor substrat tidak dapat terpenuhi karena pantainya berhadapan dengan laut lepas, sehingga kurang memungkinkan terbentuknya pengendapan sedimen. Sementara itu, faktor arus tidak sesuai untuk mangrove dan lamun karena pantainya berhadapan dengan laut lepas atau tidak ada pantai dengan posisi terlindung. 118

50 4.3.2 Terumbu karang Pada model pulau-pulau kecil ketiga tipe, unsur interpretasi warna yaitu biru terang dan unsur lokasi yaitu di perairan laut dangkal lebih mudah digunakan untuk identifikasi awal terumbu karang. Terumbu karang tumbuh di perairan laut dangkal dan pada citra Landsat RGB 421 tampak berwarna biru terang. Namun, warna biru terang adalah kondisi umum perairan laut dangkal non-mangrove (Gambar 14 g, 24 f, dan 29 e). Pada perairan laut dangkal di sekeliling pulau-pulau kecil tipe tektonik, identifikasi terumbu karang secara visual dapat dibandingkan antara citra RGB 421 dengan RGB 542 (Gambar 14). Jika pada citra RGB 542 obyek tetap tampak maka obyek ini bukanlah terumbu karang. Obyek berwarna biru terang di pulau tektonik ini adalah batuan dasar peneplain yang tenggelam dan belum tentu tumbuh terumbu karang. Hasil cek lapangan diketahui bahwa warna biru terang, pada area terumbu karang ini, ternyata merupakan pasir, batuan dasar, batu lempung, konglomerat, kekeruhan atau terumbu karang (Gambar 11 f dan g). Artinya bahwa identifikasi terumbu karang secara langsung dari unsur-unsur interpretasi masih mengalami kesulitan. Tipe pulau dan informasi karakteristik biogeofisik di pulau-pulau kecil tipe tektonik berperan dalam analisis terumbu karang. Pulau-pulau kecil di Kota Batam dengan tipe tektonik mempunyai substrat dasar yang secara geologis tersusun atas batuan bekudalam (igneous rock) dan batuan sedimen (sedimentary rocks), sehingga bentuklahan terumbu paparan berkembang di daerah ini. Misalnya, perairan laut dangkal di Pulau Lengkang merupakan paparan yang tersusun oleh batuan bekudalam dan sedimen. Jenis substrat dasar ini terkait dengan terbentuknya pulau kecil dan informasi ini bermanfaat untuk reklasifikasi hasil analisis digital menggunakan algoritma Lyzengga. Pada model pulau kecil tipe vulkanik dan tipe terumbu, terumbu karang diidentifikasi menggunakan citra komposit RGB 421 dari data citra Landsat dan QuickBird dengan penajaman autoclip highpass sharpen 2. Di Pulau Pasighe (Gambar 24 f) dengan bentuk yang unik memperlihatkan detail perairan laut dangkal yang mengelilinginya. Gambar 24 f ini secara visual menjelaskan, warna biru cerah adalah pecahan koral atau karang mati, warna biru kehijauan adalah karang hidup, warna coklat gelap adalah lamun, dan warna biru adalah lagun. Untuk obyek terumbu karang Gambar 22 a lebih jelas dibandingkan Gambar 23 a. Kondisi serupa juga dijumpai pada perbandingan antara citra RGB 119

51 542 dengan RGB 421 pada sesama citra Landsat (Gambar 22). Hal ini menunjukkan bahwa resolusi spektral lebih berperan dibandingkan resolusi spasial dalam menampilkan terumbu karang. Pada kasus ini, terumbu karang lebih sesuai ditampilkan dengan kanal 1 dan 2 seperti pada citra komposit RGB 421 Gambar 22 c. Hasil identifikasi terumbu karang pada model pulau kecil tipe vulkanik di daerah Sikka dan Sitaro diketahui kondisinya berkorelasi terbalik dengan tingkat aktivitas vulkanik di pulau kecil. Semakin tinggi aktivitas vulkanik semakin terkendala pertumbuhan karang. Secara berturut-turut contoh tingkat aktivitas vulkanik, dari paling aktif hingga tidak aktif dan terakhir membentuk atol adalah Pulau Palue dan Pulau Ruang, Gugus-pulau Besar, Pulau Pasighe, dan Pulau Gunung-sari. Pulau Babi berbentuk kubah lava terdenudasi hasil intrusi, sedangkan Pulau Gunung-sari terbentuk oleh tenggelamnya pulau vulkanik atau disebut atol. Model Pulau Besar yang merupakan pulau vulkanik denudasional (didominasi oleh endapan piroklastik dan lava dan tidak ada aktivitas vulkanik lagi) dijumpai terumbu penghalang, sedangkan model Pulau Palue yang terdapat gunungapi aktif dijumpai terumbu pinggiran. Terumbu penghalang terbentuk pada tahap lanjut dari pertumbuhan terumbu pinggiran. Model Pulau Pasighe yang merupakan pulau vulkanik denudasional (didominasi oleh endapan piroklastik dan tidak ada aktivitas vulkanik lagi) dijumpai terumbu karang berkembang jauh lebih bagus (Gambar 24 f), sedangkan model Pulau Ruang yang terdapat gunungapi aktif dijumpai karang yang masih dalam tahap awal pertumbuhannya pada substrat dasar batuan vulkanik muda. Aktivitas vulkanik ini juga mempengaruhi kondisi perairan (hidrologi) yang menjadi salah satu faktor penentu pertumbuhan karang. Contoh pertumbuhan terumbu karang tahap awal pada batuan vulkanik ditunjukkan pada Gambar 15 d. Analisis terumbu karang berikut ini untuk Pulau Babi, Gugus-pulau Besar, Gosong-goni, dan Pulau Ruang menunjukkan spesifikasi karakteristik biogeofisik terumbu terkait dengan karakteristik biogeofisik pulaunya. Terumbu karang di Pulau Babi terbentuk secara terpisah sejauh 75 meter dari tepi pantai akibat sedimentasi dan secara horizontal lebar terumbu karang berkembang tidak seragam. Perkembangan terlebar, dari arah tepi pulau menuju laut lepas adalah 800 meter, dan bagian tersempit adalah 40 meter. Pada bagian Tenggara dan Barat-Laut, terumbu karang kurang berkembang, dan hanya 120

52 memiliki lebar berkisar meter. Pada jarak 130 meter dari muara, terbentuk terumbu dengan lebar berkisar 68 meter. Kondisi ini menunjukkan bahwa terumbu karang dapat berkembang dengan lebih baik pada bagian Barat, Utara, dan Timur Pulau Babi. Hal ini disebabkan karena pada bagian-bagian tersebut menghadap ke laut (sea ward), sehingga percikan ombak serta arus pasang naik dan hangat akan membawa oksigen dan makanan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan karang. Terumbu karang pada Gugus-pulau Besar berkembang pada substrat yang berasal dari material vulkanis tua. Perkembangan terumbu karang tidak merata, mengikuti topografi dasar laut yang tidak teratur dan dipengaruhi oleh sedimentasi dari pulau kecil. Terumbu karang pada Pulau Parumaan berkembang terpisah berkisar meter dari tepi pulau. Terumbu karang pada Pulau Kondo berkembang mengelilingi tepi pulau. Sementara itu, terumbu penghalang dijumpai di bagian barat Pulau Besar, hal ini wajar karena merupakan bagian gugus-pulau yang menghadap ke laut lepas (Gambar 44 a). Terumbu karang pada Gosong-goni (Gambar 41 b) tampak dari citra berbentuk melingkar yang berkembang dengan topografi menyerupai cekungan seperti karung yang terbuka. Bagian terumbu karang yang terdalam mencapai 30 m di bawah permukaan air laut. Bentuk topografi demikian, dapat disebabkan oleh bentuk substrat dasarnya yang menyerupai cekungan. Bentuklahan terumbu ini disebut atol yang sedang tumbuh (belum muncul ke permukaan). Di Pulau Ruang terumbu karang tumbuh di batuan vulkanik di luar area breaker zone dan masih sangat sedikit (Gambar 36). Di dalam wilayah breaker zone tidak tumbuh terumbu karang, tapi di luar zona itu bisa tumbuh terumbu karang. Hasil aplikasi algoritma Lyzengga menunjukkan warna kuning dan merah adalah perairan laut dangkal dan terdapat endapan piroklastik berupa batu dan pasir. Di sini terumbu karang tidak terdeteksi karena memang masih sangat sedikit. Pola pertumbuhan terumbu karang pada batuan vulkanik ditunjukkan pada Gambar 15 d. Di Pulau Ruang breaker zone tampak dengan jelas dari citra (Gambar 36 a) tapi di Pulau Pasighe kurang jelas. Di Pulau Pasighe terumbu karang tumbuh di dalam breaker zone yang merupakan perairan laut dangkal, sebaliknya di Pulau Ruang terumbu karang tumbuh di luar breaker zone. Pulau Pasighe memiliki area perairan laut dangkal yang berbentuk oval dengan material vulkanik. Di Pulau Lengkang tidak tampak breaker zone. Kasus ini menunjukkan 121

53 hubungan antara batimetri substrat dasar dengan nilai digital dan pentingnya informasi karakteristik biogeofisik terumbu karang pada analisis digital. a) QuickBird RGB 421 b) Landsat RGB 421 autoclip sharpen 2 c) aplikasi algoritma Lyzengga Gambar 36 Breaker zone di Pulau Ruang, warna putih di pesisir. P. Airmanis P. Lengkang a) Landsat RGB 421, P. Lengkang b) hasil algoritma Lyzengga B Pasir Lamun Karang mati Karang hidup Laut dangkal Laut dalam P. Abang besar P. Pasir-buluh P. Abang kecil c) Landsat RGB 421, Puau Abang-besar A d) Terumbu karang di Pulau Abang Gambar 37 Klasifikasi terumbu karang dan lamun di pulau kecil tipe tektonik. 122

54 Hasil pengamatan pada pulau-pulau kecil tipe vulkanik tersebut, diperoleh perbedaan pola pertumbuhan terumbu karang secara berturut-turut dari pantai ke arah laut yaitu: a) Pulau Babi adalah pasir kemudian terumbu karang; b) Pulau Pasighe adalah lamun, terumbu karang kemudian pasir; c) Pulau Ruang adalah batu berpasir kemudian terumbu karang. Perbedaan urutan ini terjadi terkait dengan proses terbentuknya pulau kecil. Hasil pengolahan digital menggunakan algoritma Lyzengga pada model pulau kecil tipe tektonik di Pulau Lengkang dan sekitarnya menunjukkan bahwa, warna yang sama mencerminkan beberapa obyek berbeda, misalnya warna merah merupakan pasir, karang mati, dan dangkalan. Di sisi lain, algoritma Lyzengga juga menterjemahkan sama antara terumbu karang dan pantai berpasir. Nilai ki/kj pada model Pulau Lengkang ini adalah 0, Selain itu, tumpang tindih obyek dalam satu kelas juga dijumpai di model pulau-pulau kecil tipe tektonik lainnya. Analisis digital terumbu karang menggunakan algoritma Lyzengga mengelompokkan obyek-obyek yang dibedakan dalam warna. Berdasarkan perbedaan warna ini obyek-obyek di perairan laut dangkal atau di bawah permukaan air dikelompokkan menjadi terumbu karang, lamun, dan obyek lain seperti pasir, laut dangkal, atau kekeruhan. Penamaan tiap kelompok obyek menjadi bagian yang penting dan menjadi fokus perhatian penelitian ini karena berisiko timbul kekeliruan. Hasil aplikasi algoritma tersebut menunjukkan bahwa identifikasi terumbu karang dan lamun belum sesuai, meskipun telah menggunakan koefisien ki/kj yang dimaksudkan untuk mewakili keragaman daerah kajian. Pada kondisi lapangan memang obyek berwarna biru terang di daerah kajian merupakan batuan dasar peneplain. Kasus ini identik dengan kasus identifikasi mangrove dimana identifikasi obyek memerlukan pengetahuan tentang obyeknya. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab rendahnya akurasi klasifikasi terumbu karang secara digital. Upaya reklasifikasi hanya dapat membedakan antara perairan laut dangkal dan pasir. Hasil identifikasi terumbu karang pada model pulau-pulau kecil tipe tektonik diketahui bahwa, aplikasi algoritma Lyzengga dapat membedakan dengan baik sampai batas perbedaan antara daratan dan perairan laut dangkal. Namun, algoritma ini belumlah memuaskan untuk digunakan pada klasifikasi terumbu karang dan lamun. Berdasarkan temuan tersebut di atas, dilakukan pengujian di 123

55 Pulau Abang yang memiliki data tentang kondisi terumbu karang. Hasil perhitungan ki/kj Pulau Abang dengan 30 area sampling adalah a = varb1-varb2/(2xcovarb1b2) = -0,29593 ki/kj = a+((a^2)+1)^0.5 = 0, Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diperoleh klasifikasi terumbu karang seperti ditunjukkan pada Gambar 37 d. Menurut hasil survei CRITC (2005) di Pulau Abang menunjukkan bahwa di lokasi A ditemukan 0% karang hidup; 87,5% pasir dan 12,5% pecahan karang, sedangkan di lokasi B ditemukan: 29,70% karang hidup; 19,80 karang mati; 9,9% pasir; dan 29,7% rumput laut (seaweed). Di lokasi A, hasil klasifikasi mendekati hasil survei, sebaliknya di lokasi B, hasil klasifikasi jauh dari hasil survei. Tingkat akurasi pada kasus ini menunjukkan bahwa faktor morfologi, yaitu keterjalan pantai, mempengaruhi akurasi klasifikasi secara digital. Pada pantai terjal di lokasi B, karang hidup 29,70%, oleh algoritma Lyzengga tidak dapat dikenali. Sebaliknya, pada pantai landai di lokasi A, pasir teridentifikasi sebagai karang hidup oleh algoritma Lyzengga. Hasil aplikasi algoritma Lyzengga di Pulau Babi dibedakan menjadi 6 kelas yaitu karang mati, karang rusak, pasir, karang hidup, lamun, dan laut/lagun. Hasil reklasifikasinya menjadi karang hidup, karang mati, dan pasir (Gambar 38). Sementara itu hasil aplikasi algoritma Lyzengga di Pulau Pasighe menjadi 6 kelas yaitu lamun, daratan pulau, laut dangkal, karang hidup, pasir, dan karang mati/rubble. Hasil reklasifikasinya menjadi lamun, laut dangkal, karang hidup, pasir, dan karang mati (Gambar 39). Reklasifikasi dilakukan berdasarkan informasi bentuklahan terumbu dan karakteristik biogeofisik perairan laut dangkal. Hasil analisis digital terumbu karang di pulau kecil tipe terumbu menggunakan data Landsat, di Pulau Pomana-besar ditunjukkan pada Gambar 40. Klasifikasi terumbu karang menggunakan algoritma Lyzengga pada Gambar 40 a, kemudian dilakukan reklasifikasi dengan masukan hasil analisis karakteristik biogeofisik terumbu karang, dan hasilnya ditunjukkan pada Gambar 40 b. Analisis terumbu karang secara digital ini termasuk kriteria klasifikasi habitat secara ekologis, sedangkan informasi karakteristik biogeofisik terumbu karang adalah hasil analisis secara visual termasuk kriteria klasifikasi geomorfologi. Hasil reklasifikasi dapat membedakan antara terumbu karang (warna biru muda dan kuning) dan pasir (warna merah). 124

56 a) hasil algoritma Lyzengga Landsat b) hasil algoritma Lyzengga QuickBird : karang mati : karang rusak : pasir : karang hidup : lamun : Laut/lagun c) Hasil reklasifikasi Landsat Gambar 38 Klasifikasi terumbu karang di Pulau Babi. a) hasil algoritma Lyzengga Landsat b) hasil algoritma Lyzengga QuickBird c) Hasil reklasifikasi Landsat Gambar 39 Klasifikasi terumbu karang di Pulau Pasighe. 125

57 Perbedaan data Landsat dan QuickBird untuk klasifikasi terumbu karang dengan algoritma Lyzengga adalah pada kedetailan hasil yang disebabkan oleh perbedaan resolusi spasial yaitu antara 15 m dan 2,5 m. Kesamaannya adalah dalam memanfaatkan kanal 1 dan kanal 2 yang keduanya memiliki kisaran panjang gelombang sama. Hasil klasifikasi terumbu karang dari data QuickBird ini dimanfaatkan untuk verifikasi dan validasi hasil klasifikasi dari data Landsat. a) hasil algoritma Lyzengga citra Landsat b) hasil algoritma Lyzengga citra QuickBird Laut Karang hidup Pulau Pomana-besar Karang mati Pasir c) hasil reklasifikasi citra Landsat Gambar 40 Klasifikasi terumbu karang di Pulau Pomana-besar. 126

58 Berdasarkan hasil analisis digital dari algoritma Lyzengga diperoleh pengelompokan nil ai digital yang dibedakan dalam warna. Setiap warna diidentifikasi dan dibedakan menjadi terumbu karang, lamun, dan obyek lain seperti pasir, laut dangkal, atau kekeruhan. Penamaan obyek untuk tiap kelas pada saat reklasifikasi menjadi bagian yang penting dan fungsi informasi karakteristik biogeofisik menjadi panduan. Pada kasus terumbu karang di Pulau Pomana menunjukkan bahwa, warna yang sama mencerminkan beberapa obyek yang berbeda, misalnya warna merah merupakan pasir, karang mati, dan dangkalan. Kondisi ini tidak dapat diselesaikan sepenuhnya pada saat reklasifikasi terumbu karang secara digital. Misalnya terumbu karang (warna merah) di bagian Tenggara Pulau Pomana-besar masuk ke kelas pasir. Berdasarkan kasus-kasus tersebut di atas, diperlukan informasi karakteristik biogeofisik substrat dasar tempat tumbuh terumbu karang. Dari informasi ini secara tidak langsung juga dapat diperkirakan kedalaman perairannya. Pulau kecil memiliki perairan laut dangkal di sekelilingnya. Oleh karena terumbu karang tumbuh dengan baik pada kedalaman maksimum 30 m, maka area ini perlu dikenali dulu. Uraian di atas menjelaskan fenomena ekosistem terumbu karang dan tahapan untuk menggabungkan antara klasifikasi ekologis dan geomorfologis secara hierarkhis Lamun Secara visual, identifikasi lamun sulit dibedakan dengan kekeruhan karena lamun hidup di bawah permukaan air pada substrat pasir berlumpur. Lamun dan mangrove mempunyai syarat tumbuh yang terkait erat, sehingga untuk meyakinkan dalam interpretasi lamun dapat dibantu oleh keberadaan mangrove. Aspek morfoarrangement atau unsur posisi banyak membantu dalam mengenali lamun yaitu pada daerah yang terlindung dari gelombang besar (Gambar 14 g). Hasil pengamatan di Pulau Air-manis dijumpai lamun jenis Enhalus yang tumbuh di dekat mangrove dan berada pada perairan yang terlindung (Gambar 11 h). Ekosistem lamun di pulau-pulau kecil di perairan kepulauan Kota Batam memiliki kondisi kerapatan yang beragam. Lamun dapat diidentifikasi secara langsung menggunakan teknik fusi multispektral berupa citra warna semu (False Color Composite/FCC) RGB 421 dari citra Landsat dan QuickBird. Lamun diidentifikasi berdasarkan unsur interpretasi posisi dan warna. Area lamun yang luas dijumpai di Pulau Pasighe, 127

59 dan pada citra RGB 321, lamun berwarna kecoklatan dengan posisinya di daerah yang terlindung (Gambar 24 a, b, dan c). Komposit true color RGB 321 citra Landsat dan QuickBird menampilkan lamun dengan tajam, tapi komposit lain dengan kanal 1 dan 2 dapat juga digunakan seperti komposit RGB 421, 521, atau 721. Penajaman dan pemfilteran untuk lamun sama dengan untuk terumbu karang yaitu autoclip highpass sharpen 2. Sementara itu, fusi multispasial terjadi pengkaburan pada penambahan kanal pankromatik. Ekosistem lamun di Pulau Pasighe memiliki jenis dan kerapatan yang beragam. Aspek morfoarrangement atau unsur posisi banyak membantu dalam identifikasi lamun yaitu pada daerah yang terlindung dari gelombang besar (Gambar 24 f). Lamun di Pulau Pasighe dijumpai berkembang dengan sangat baik dengan posisi di sekitar mangrove. Persebaran lamun jenis Enhalus (Gambar 15 e) di Pulau Pasighe berada di dekat mangrove dan kemudian dijumpai jenis Thalasia (Gambar 15 f) secara berurutan. Sementara itu, lamun tidak dijumpai di pulau-pulau tipe vulkanik di daerah Sikka. Hal ini diperkirakan karena pantai-pantainya berhadapan langsung dengan laut lepas, jikapun ada pantai yang terlindung substrat dasarnya berupa batu. Lamun biasanya tumbuh pada perairan laut dangkal berlumpur sehingga dimungkinkan memiliki nilai digital yang sama dengan kekeruhan. Kekeliruan klasifikasi antara lamun dan kekeruhan pada klasifikasi digital dapat diperbaiki pada tahap reklasifikasi yaitu dengan memanfaatkan hasil analisis visual. Permasalahan dan pemecahannya untuk obyek ini sama seperti yang diuraikan pada klasifikasi terumbu karang. Tingkat akurasi klasifikasi lamun ditentukan pada saat proses reklasifikasi, yaitu menggunakan kelas-kelas yang dibentuk algoritma Lyzengga dan disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik biogeofisik yang ada. Hasil pengamatan pada model pulau-pulau kecil di daerah penelitian diketahui bahwa untuk identifikasi terumbu karang dan lamun menggunakan algoritma Lyzengga sebaiknya ditentukan batas daerah daratan pulau kecil secara visual. Berdasarkan uji coba model pulau, nilai digital batas antara darat dan perairan laut dangkal berbeda-beda bahkan pada satu pulau kecil sekalipun. Cara ini sangat berpengaruh pada akurasi klasifikasi terumbu karang dan lamun secara digital. 128

60 4.4 Pengelompokan Pulau Kecil untuk Perikanan Pulau kecil Pulau kecil adalah salah satu ekosistem laut. Identifikasi karakteristik biogeofisik ekosistem laut di sekitar pulau kecil akan lebih terarah melalui identifikasi pulau kecilnya terlebih dahulu. Sedikitnya ada dua kendala pada identifikasi pulau-pulau kecil yaitu menyangkut ukuran pulau yang kecil dan liputan awan yang tinggi. Ukuran pulau yang sangat kecil diidentifikasi menggunakan citra resolusi menengah dan untuk identifikasi lebih detail menggunakan citra resolusi tinggi. Posisi pulau kecil adalah tidak pernah tergenang saat pasang tertinggi, atau berada di atas permukaan air laut. Posisi ini dapat diidentifikasi lebih baik dibandingkan obyek-obyek di bawah permukaan air laut, karena tidak terpengaruh oleh faktor atenuasi di air yang disebabkan oleh penyerapan dan hamburan energi matahari. Contoh pulau sangat kecil di daerah penelitian adalah Pulau Kondo yang termasuk tipe vulkanik ekstrusif berbukit dengan luas 0,491Ha (14 piksel) dan Pulau Gunung-sari yang termasuk tipe atol datar dengan luas 0,393 Ha (12 piksel). Keduanya dapat dikenali dari citra Landsat (Gambar 41). Pulau Kondo P. Gunung-sari Pulau Parumaan a) Pulau Kondo (0,491Ha), tipe vulkanik b) Pulau Gunung-sari (0,393 Ha) di Gosong-goni, tipe atol Gambar 41 Pulau sangat kecil, Pulau Kondo dan Pulau Gunung-sari. 129

61 Bentuk pulau kecil bervariasi dan pada analisis menggunakan citra satelit dapat menggunakan cara memperbesar (zoom in) dan memperkecil (zoom out) obyek. Memperbesar citra untuk analisis aspek morfologi dan memperkecil citra untuk analisis aspek morfoarrangement. Pada saat memperbesar atau memperkecil juga dapat dibangun variasi citra komposit sesuai dengan kondisi pulau kecil. Selain itu, hasil analisis pulau kecil dari citra satelit dapat bersifat melengkapi peta yang telah tersedia. Misal, Pulau Pomana (Gambar 29) dan Gosong-goni (Gambar 41 b) belum dipetakan pada Peta Rupa Bumi Indonesia Tahun 1999 skala 1: Kaitan pulau kecil dengan perikanan pantai Hasil perhitungan indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi ikan disajikan pada Tabel 28. Perhitungan dilakukan tanpa memperhatikan ukuran, jadi untuk ikan sejenis yang berbeda ukuran dijumlahkan angkanya. Hasil pengumpulan data jenis dan jumlah ikan disajikan pada Lampiran 11. Kaitan antara pulau kecil dengan perikanan pantai dianalisis berdasarkan indeks tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan (Tabel 28) diketahui terdapat nilai yang kontras antara stasiun Pulau Palue Timur (PT) kedalaman 10 m dan stasiun Pulau Pomana-besar Selatan (PS) kedalaman 3 m. Di stasiun PT menunjukkan indeks keanekaragaman (H ) dan keseragaman (E) tertinggi dan indeks dominansi (C) terendah. Nilai H = 2,758 berarti stabilitas komunitas biota dalam kondisi sedang atau kualitas air tercemar sedang. Nilai E = 0,954 artinya bahwa, keberadaan setiap jenis biota di perairan ini dalam kondisi seragam atau keseragaman antar spesies relatif tinggi atau jumlah individu masing-masing spesies relatif seragam. Nilai C = 0,067 berarti tidak terdapat spesies yang mendominansi spesies lain atau struktur komunitas dalam keadaan stabil. Sebaliknya, di stasiun PS pada kedalaman 3 m memiliki indeks keanekaragaman dan keseragaman terendah dan indeks dominansi tertinggi. Nilai H = 0,915 berarti stabilitas komunitas biota dalam kondisi tidak stabil atau kualitas air tercemar berat. Nilai E = 0,357 artinya bahwa keberadaan setiap jenis biota di perairan ini dalam kondisi tidak seragam. Nilai C = 0,660 berarti terdapat spesies yang mendominansi spesies lain, atau struktur komunitas labil karena terjadi tekanan ekologis (stres). 130

62 Tabel 28 Indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi ikan Stasiun pengambilan sampel Keaneka ragaman (H ) Keseragaman (E) Dominansi (C) Pulau Palue Timur (PT) 10 m 2,758 0,954 0,067 Pulau Babi Selatan 3 m 2,267 0,784 0,168 (BS) 10 m 2,017 0,764 0,211 Pulau Babi Utara 3 m 2,205 0,778 0,152 (BU) 10 m 1,428 0,557 0,139 Pulau Pomana-besar 3 m 0,915 0,357 0,660 Selatan (PS) 10 m 1,827 0,735 0,238 Pulau Pomana-besar 3 m 2,454 0,930 0,100 Barat (PB) 10 m 2,221 0,769 0,166 Gunung-sari Dalam 3 m 1,922 0,678 0,197 (GD) 10 m 2,220 0,708 0,131 Gunung-sari Luar 3 m 1,795 0,663 0,298 (GL) 10 m 1,666 0,576 0,276 Sumber : Hasil analisis data perikanan dengan formula 5, 6, dan 7. Indeks Stasiun Gambar 42 Grafik indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi ikan. 131

63 Tabel 28 dan Gambar 42 di atas menjelaskan bahwa kondisi perikanan pantai di stasiun PT lebih baik dibandingkan dengan stasiun PS. Stasiun PT dekat dengan bentuklahan terumbu pinggiran yang berkembang pada batuan vulkanik. Pantai di stasiun PT, relatif rendah kemungkinan terjadinya longsoran piroklastik produk Gunung Rokatenda. Stasiun PS berhadapan dengan bentuklahan terumbu dinding tanduk yang berkembang di dekat bentuklahan tombolo. Pantai ini secara relatif sangat rentan terhadap sedimentasi yang berasal dari pasir di dataran bentuklahan tombolo yang digunakan sebagai permukiman. Nilai indeks ini membuktikan bahwa ada kaitan erat antara karakteristik biogeofisik pulau kecil dengan perikanan pantai. Nilai indeks dominansi (C) antara BS dan BU hampir sama yang menunjukkan tidak terdapat spesies yang mendominansi dan struktur komunitas stabil, tetapi ada sedikit perbedaan nilai yaitu BS lebih tinggi daripada BU. Hal ini menunjukkan bahwa ekologis di stasiun BS lebih tertekan, dominansi ikan lebih tinggi, dan struktur komunitas lebih labil. Kasus di Pulau Babi atau stasiun BS dan BU tersebut menunjukkan perbedaan kondisi perikanan pantai pada pulau kecil yang sama yang disebabkan oleh karakteristik biogeofisik bentuklahan yang berlainan. Stasiun BS berada dekat dengan bentuklahan rawa payau dan rataan pasang surut dengan karakteristik biogeofisik memiliki tingkat kerentanan sedimentasi lebih tinggi, sedangkan stasiun BU berada dekat dengan bentuklahan terumbu pinggiran yang relatif luas dengan tingkat kerentanan sedimentasi lebih rendah. Di sini diketahui bahwa perikanan pantai yang berhadapan dengan bentuklahan yang rentan sedimentasi akan kurang baik kualitasnya dibandingkan dengan perikanan pantai yang berhadapan dengan bentuklahan yang kurang rentan sedimentasi. Artinya bahwa kondisi perikanan pantai ada korelasi dengan tingkat sedimentasi bentuklahan di pulau kecil. Kasus di Pulau Pomana-besar atau stasiun PS dan PB ini menunjukkan adanya perbedaan tekanan ekologis perikanan pantai akibat perbedaan tingkat kerentanan sedimentasi dari daratan pulau kecilnya. Stasiun PS berhadapan dengan bentuklahan tombolo yang digunakan sebagai permukiman, sedangkan stasiun PB berhadapan dengan bentuklahan perbukitan plato yang digunakan sebagai perkebunan. Bentuklahan tombolo mempunyai potensi sedimentasi lebih tinggi dibandingkan dengan bentuklahan perbukitan plato. Perbukitan plato ini merupakan karst dengan proses pelarutan sehingga sedimentasinya sangat 132

64 rendah. Pengaruh perbedaan tingkat sedimentasi ini juga ditandai oleh perbedaan tahap pertumbuhan bentuklahan terumbu. Bentuklahan perbukitan plato dengan sedimentasi lebih rendah berhadapan dengan bentuklahan terumbu pelataran bergoba, sedangkan bentuklahan tombolo berhadapan dengan bentuklahan terumbu dinding. Terumbu pelataran bergoba merupakan tahap pertumbuhan bentuklahan lebih lanjut dari terumbu dinding. Kasus di Pulau Gunung-sari atau stasiun GD dan GL menunjukkan bahwa perbedaan kondisi perikanan pantai terkait dengan karakteristik biogeofisik antara bagian dalam dan bagian luar bentuklahan terumbu cincin atau atol. Kondisi perikanan pantai di stasiun GD (bagian dalam atol) lebih baik dibandingkan dengan stasiun GL (bagian luar atol), dan kedalaman 10 m lebih baik dibandingkan dengan kedalaman 3 m. Dengan kata lain, bagian dalam atol lebih terjaga dan semakin dalam kondisinya semakin baik. Hal ini ada korelasinya dengan kebiasaan nelayan setempat yang biasa mencari udang galah di bagian dalam atol pada kedalaman lebih dari 10 m. Perikanan pantai diketahui terdapat perbedaan kondisi menurut kedalaman perairan seperti ditunjukkan oleh indeks dominansi (C) di stasiun PS dimana nilai pada kedalaman 3 m lebih tinggi daripada 10 m. Artinya, pada kedalaman 3 m terjadi tekanan ekologis lebih tinggi sehingga komunitas lebih labil dan dominansi spesies ikan lebih tinggi. Stasiun PS ini berada di pulau kecil tipe terumbu berbukit tepatnya berhadapan dengan bentuklahan tombolo, yang berpotensi tinggi terjadi sedimentasi, dan terdapat bentuklahan terumbu dinding tanduk. Korelasi yang terjadi adalah pengaruh sedimentasi terhadap tekanan ekologis pada kedalaman 3 m lebih tinggi dibandingkan dengan 10 m. Di stasiun PB terjadi kondisi sebaliknya. Fenomena perikanan pantai menurut kedalaman lebih lanjut diketahui bahwa, di stasiun PS nilai H dan E pada kedalaman 3 m lebih rendah daripada 10 m tapi terjadi sebaliknya pada stasiun PB. Di stasiun PS, pada kedalaman 3 m kondisi keseragaman dan kestabilan lebih rendah dibandingkan dengan 10 m tapi di stasiun PB terjadi kondisi sebaliknya. Di stasiun PS, menunjukkan bahwa perikanan pantai yang berhadapan dengan bentuklahan tombolo, semakin dalam kondisinya semakin baik, dan diduga dipengaruhi oleh sedimentasi. Sebaliknya, di stasiun PB perikanan pantai yang berhadapan dengan bentuklahan perbukitan plato, semakin dalam kondisinya semakin buruk. 133

65 Di stasiun BS dan BU diketahui bahwa nilai H dan E pada kedalaman 3 m lebih tinggi daripada 10 m, berarti kondisi ikan pada kedalaman 3 m lebih seragam dan kondisi air lebih baik dibandingkan dengan 10 m. Namun, nilai indeks dominansi (C) pada kedua kedalaman dan di kedua stasiun, termasuk kategori tidak terdapat spesies yang mendominasi. Di stasiun BS nilai indeks C pada kedalaman 3 m lebih rendah daripada 10 m. Secara relatif dapat diartikan bahwa, pada kedalaman 3 m di stasiun BS kurang terjadi dominansi, sebaliknya di stasiun BU lebh terjadi dominansi. Di stasiun GD diketahui bahwa nilai indeks H dan E pada kedalaman 3 m lebih rendah daripada 10 m, tapi terjadi sebaliknya pada stasiun GL. Berarti ikanikan di kedalaman 3 m kurang seragam dan kondisi air lebih tercemar dibandingkan 10 m, meskipun perbedaannya tidak begitu nyata. Nilai indeks C pada kedalaman 3 m di stasiun GD dan GL lebih tinggi dibandingkan dengan 10 m. Artinya, di pulau tipe tol ini pada kedalaman 3 m terjadi tekanan ekologis lebih tinggi sehingga komunitas lebih labil dan dominansi spesies ikan lebih tinggi. Dengan kata lain, kedua stasiun berada pada kategori bahwa tidak terdapat spesies yang mendominansi dan struktur komunitas stabil, tetapi pada kedalaman 10 m kondisinya relatif lebih baik. Secara umum hasil ini menunjukkan bahwa semakin baik kualitas biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya maka semakin baik pula kondisi ikan karang. Selain itu juga diketahui bahwa daratan pulau kecil yang terjaga dari pencemaran alami ataupun buatan maka kualitas ekosistem laut dan perikanannya lebih baik Pengelompokan pulau kecil berbasis geomorfologi untuk perencanaan perikanan Pengelompokan pulau kecil adalah penggabungan beberapa pulau kecil ke dalam satu kelompok yang kepadanya dapat diterapkan satu bentuk pengelolaan. Cara ini dimaksudkan untuk pengelolaan ekosistem daerah penangkapan ikan. Pengelompokan pulau kecil bersifat spasial yang didasarkan pada karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya melalui pengolahan data penginderaan jauh. Karakteristik biogeofisik pulau kecil dan gugus-pulau kecil dianalisis menurut proses terbentuknya atau morfogenesis. Klasifikasi tipe pulau kecil berbasis geomorfologi digunakan sebagai upaya yang terstruktur untuk mendapatkan karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya. Di sisi lain, 134

66 kriteria ekologis, untuk identifikasi jenis ekosistem laut, dilakukan analisis dalam hubungannya dengan tipe pulau. Pengelompokan pulau kecil dibedakan menjadi dua tahapan, yaitu aplikatif dan eksploratif. Secara aplikatif, dilakukan menurut jarak 12 mil dan dibedakan menjadi dua macam yaitu kelompok pulau kecil dan kelompok gugus-pulau kecil. Secara eksploratif, dilakukan menurut karakteristik biogeofisik dan dibedakan menjadi tiga macam yaitu kelompok gugus-pulau kecil, kelompok pulau kecil dan gugus-pulau kecil, dan kelompok pulau kecil dan pulau kecil. Secara skematik pengelompokan pulau-pulau kecil ditunjukkan pada Gambar 43. Pengelompokan pulau kecil dilakukan dengan langkah-langkah berikut: 1) identifikasi dan pemilahan antara pulau kecil dan gugus-pulau kecil, 2) pengelompokan pulau kecil atau gugus-pulau kecil dengan jarak 12 mil, 3) identifikasi karakteristik biogeofisik pulau kecil, gugus-pulau kecil, dan ekosistemnya, 4) pengelompokan gugus-pulau kecil, 5) pengelompokan pulau kecil dan gugus-pulau kecil yang berdekatan, 6) pengelompokan pulau kecil dan pulau kecil. I) Aplikatif Pengelompokan menurut jarak 12 mil 1) Pulau kecil 2) Gugus-pulau kecil 3) Gugus-pulau kecil II) Eksploratif Pengelompokan menurut karakteristik biogeofisik 4) Pulau kecil dan gugus-pulau kecil 5) Pulau kecil dan pulau kecil Gambar 43 Pengelompokan pulau kecil. Pengelompokan pulau kecil secara aplikatif, dilakukan dengan mengukur jarak 12 mil. Pulau kecil atau gugus-pulau kecil yang berada jauh di antara pulaupulau kecil lain diukur jaraknya dan jika berjarak lebih dari 12 mil maka merupakan satu kelompok. Kemungkinannya dapat berupa kelompok pulau kecil atau kelompok gugus-pulau kecil. Contoh di daerah penelitian adalah Pulau 135

67 Palue dan Pulau Sukun di Kabupaten Sikka serta Pulau Makalehi di Kabupaten Sitaro (Gambar 1a). Ketiganya termasuk kategori pengelompokan kesatu yaitu kelompok pulau kecil. Jika pulau kecil yang terpisah membentuk gugus-pulau maka feomena ini termasuk kategori pengelompokan kedua yaitu kelompok gugus-pulau kecil Pulau Palue berjarak 11 mil dengan Pulau (besar) Flores dan berjarak 31 mil dengan Pulau Sukun, sedangkan Pulau Makalehi berjarak 13,5 mil dengan Pulau Siau. Kasus ini menjadi pertimbangan ketentuan jarak sejauh +12 mil sebagai cara aplikatif untuk mengelompokkan pulau-pulau kecil. Pulau Palue, Pulau Sukun, dan Pulau Makalehi adalah pulau kecil tipe vulkanik ekstrusif berbukit. Jarak pulau-pulau kecil yang berjauhan berpotensi dijumpai pada pulau kecil tipe vulkanik, tipe atol, dan tipe terumbu yang proses terbentuknya berada di daerah samudra dan terkait dengan aktivitas magmatik. P. Bakau P. Moimoi P. Sekila a) Gugus-pulau Besar Landsat RGB 543 P. Awi Landsat RGB 421 P. Buhias Landsat RGB 421 b) Pulau Moimoi P. Ranuh Landsat RGB 421 P. Pahepa P. Behang P. Masere P. Laweang P. Hantu P. Biora P. Abang-kecil c) Pulau Pahepa d) Pulau Ranuh Gambar 44 Gugus-pulau kecil dan pulau kecil. 136

5 PEMBAHASAN. Landsat (citra sejenis)

5 PEMBAHASAN. Landsat (citra sejenis) 5 PEMBAHASAN 5.1 Teknik Pengolahan Data Pulau Kecil dan Ekosistemnya 5.1.1 Pulau Kecil Pulau kecil tipe tektonik ditandai terutama oleh bentuklahan tektonik atau struktural dan di daerah penelitian didominasi

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian adalah dua tahun mulai pertengahan tahun 2006 hingga pertengahan tahun 2008 yang dibagi menjadi tiga periode meliputi pengumpulan data, pengolahan

Lebih terperinci

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR BENTUK LAHAN MAYOR BENTUK LAHAN MINOR KETERANGAN STRUKTURAL Blok Sesar Gawir Sesar (Fault Scarp) Gawir Garis Sesar (Fault Line Scarp) Pegunungan Antiklinal Perbukitan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses endogen adalah

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BENTUKLAHAN ASAL VULKANIK

BENTUKLAHAN ASAL VULKANIK BENTUKLAHAN ASAL VULKANIK Bentuklahan asal vulkanik merupakan bentuklahan yang terjadi sebagai hasil dari peristiwa vulkanisme, yaitu berbagai fenomena yang berkaitan dengan gerakan magma naik ke permukaan

Lebih terperinci

6.padang lava Merupakan wilayah endapan lava hasil aktivitas erupsi gunungapi. Biasanya terdapat pada lereng atas gunungapi.

6.padang lava Merupakan wilayah endapan lava hasil aktivitas erupsi gunungapi. Biasanya terdapat pada lereng atas gunungapi. BENTUK LAHAN ASAL VULKANIK 1.Dike Terbentuk oleh magma yang menerobos strata batuan sedimen dengan bentuk dinding-dinding magma yang membeku di bawah kulit bumi, kemudian muncul di permukaan bumi karena

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi Wilayah DAS Cileungsi meliputi wilayah tangkapan air hujan yang secara keseluruhan dialirkan melalui sungai Cileungsi. Batas DAS tersebut dapat diketahui dari

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan intepretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pengamatan secara langsung di

Lebih terperinci

GEOMORFOLOGI BALI DAN NUSA TENGGARA

GEOMORFOLOGI BALI DAN NUSA TENGGARA GEOMORFOLOGI BALI DAN NUSA TENGGARA PULAU BALI 1. Letak Geografis, Batas Administrasi, dan Luas Wilayah Secara geografis Provinsi Bali terletak pada 8 3'40" - 8 50'48" Lintang Selatan dan 114 25'53" -

Lebih terperinci

By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si

By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si Panjang Gelombang 1 m = 0,001 mm 1 m = 0,000001 m 0,6 m = 0,6 X 10-6 = 6 x 10-7 PANTULAN SPEKTRAL OBJEK Terdapat tiga objek utama di permukaan bumi, yaitu vegetasi, tanah,

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI Secara morfologi, Patahan Lembang merupakan patahan dengan dinding gawir (fault scarp) menghadap ke arah utara. Hasil interpretasi kelurusan citra SPOT menunjukkan adanya kelurusan

Lebih terperinci

Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M)

Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M) Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M) Volkan (V) Grup volkan yang menyebar dari dat sampai daerah tinggi dengan tut bahan aktivitas volkanik terdiri kerucut, dataran dan plato, kaki perbukitan dan pegunungan.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KLABANG

GEOLOGI DAERAH KLABANG GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK Penelitian tentang karakter morfologi pantai pulau-pulau kecil dalam suatu unit gugusan Pulau Pari telah dilakukan pada

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Lokasi penelitian berada di daerah Kancah, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung yang terletak di bagian utara Kota Bandung. Secara

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 23 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Geomorfologi di Daerah Penelitian Kondisi geomorfologi daerah penelitian berkaitan erat dengan sejarah geologi yang berkembang di wilayah tersebut, dimana proses-proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi pada peta topografi, citra

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan bentang alam yang ada di permukaan bumi dipengaruhi oleh proses geomorfik. Proses geomorfik merupakan semua perubahan baik fisik maupun

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator 32 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Daerah Penelitian 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian Daerah yang digunakan sebagai tempat penelitian merupakan wilayah sub DAS Pentung yang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal dari peta topografi dan citra satelit,

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang.

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang. BAB II KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 2.1 Geografis dan Administrasi Secara geografis daerah penelitian bekas TPA Pasir Impun terletak di sebelah timur pusat kota bandung tepatnya pada koordinat 9236241

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Struktur Geologi Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan Lempeng Eurasia ke daratan Asia Tenggara dan merupakan bagian dari Busur Sunda.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentuk morfologi dan topografi di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen yang bersifat destruktif dan proses endogen yang berisfat konstruktif.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi mum Daerah Penelitian ecara umum morfologi daerah penelitian merupakan dataran dengan punggungan di bagian tengah daerah

Lebih terperinci

Geomorfologi Terapan INTERPRETASI GEOMORFOLOGI CITRA SATELIT SEBAGAI DASAR ANALISIS POTENSI FISIK WILAYAH SELATAN YOGYAKARTA

Geomorfologi Terapan INTERPRETASI GEOMORFOLOGI CITRA SATELIT SEBAGAI DASAR ANALISIS POTENSI FISIK WILAYAH SELATAN YOGYAKARTA Geomorfologi Terapan INTERPRETASI GEOMORFOLOGI CITRA SATELIT SEBAGAI DASAR ANALISIS POTENSI FISIK WILAYAH SELATAN YOGYAKARTA A. Pendahuluan Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk muka

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH DENGAN NILAI INDEKS FAKTOR UNTUK IDENTIFIKASI MANGROVE DI BATAM (Studi Kasus Gugusan Pulau Jandaberhias)

PENGINDERAAN JAUH DENGAN NILAI INDEKS FAKTOR UNTUK IDENTIFIKASI MANGROVE DI BATAM (Studi Kasus Gugusan Pulau Jandaberhias) Berita Dirgantara Vol. 12 No. 3 September 2011:104-109 PENGINDERAAN JAUH DENGAN NILAI INDEKS FAKTOR UNTUK IDENTIFIKASI MANGROVE DI BATAM (Studi Kasus Gugusan Pulau Jandaberhias) Susanto, Wikanti Asriningrum

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Kabupaten Tanggamus 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus Secara geografis wilayah Kabupaten Tanggamus terletak pada posisi 104 0 18 105 0 12 Bujur Timur dan

Lebih terperinci

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK Nama Kelompok : IN AM AZIZUR ROMADHON (1514031021) MUHAMAD FAISAL (1514031013) I NENGAH SUMANA (1514031017) I PUTU MARTHA UTAMA (1514031014) Jurusan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Geomorfologi Daerah Penelitian III.1.1 Morfologi dan Kondisi Umum Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG BAB 3 GEOLOGI SEMARANG 3.1 Geomorfologi Daerah Semarang bagian utara, dekat pantai, didominasi oleh dataran aluvial pantai yang tersebar dengan arah barat timur dengan ketinggian antara 1 hingga 5 meter.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timurbarat (Van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian meliputi wilayah Kota Bogor yang terletak di antara 106 0 43 30 106 0 51 00 Bujur Timur dan 6 0 30 30 6 0 41 00 Lintang Selatan.

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN 4.1 Geomorfologi Telah sedikit dijelaskan pada bab sebelumnya, morfologi daerah penelitian memiliki beberapa bentukan khas yang di kontrol oleh litologi,

Lebih terperinci

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah menjadi beberapa zona fisiografi (Gambar 2.1), yaitu: 1. Dataran Aluvial Jawa bagian utara. 2. Antiklinorium

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumberdaya ikan berada pada kondisi akses terbuka karena adanya anggapan bahwa perairan laut sulit diberi batas atau zonasi. Selain itu, pola migrasi ikan yang

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9 3.2.2.4 Mekanisme pengendapan Berdasarkan pemilahan buruk, setempat dijumpai struktur reversed graded bedding (Gambar 3-23 D), kemas terbuka, tidak ada orientasi, jenis fragmen yang bervariasi, massadasar

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan proses

Lebih terperinci

PEDOMAN PRAKTIKUM GEOLOGI UNTUK PENGAMATAN BATUAN

PEDOMAN PRAKTIKUM GEOLOGI UNTUK PENGAMATAN BATUAN PEDOMAN PRAKTIKUM GEOLOGI UNTUK PENGAMATAN BATUAN Kegiatan : Praktikum Kuliah lapangan ( PLK) Jurusan Pendidikan Geografi UPI untuk sub kegiatan : Pengamatan singkapan batuan Tujuan : agar mahasiswa mengenali

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL II.1 FISIOGRAFI DAN MORFOLOGI Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah dibagi menjadi lima zona yang berarah timur-barat (van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Analisa geomorfologi merupakan sebuah tahapan penting dalam penyusunan peta geologi. Hasil dari analisa geomorfologi dapat memudahkan dalam pengerjaan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses yang bersifat

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

Ringkasan Materi Pelajaran

Ringkasan Materi Pelajaran Standar Kompetensi : 5. Memahami hubungan manusia dengan bumi Kompetensi Dasar 5.1 Menginterpretasi peta tentang pola dan bentuk-bentuk muka bumi 5.2 Mendeskripsikan keterkaitan unsur-unsur geografis dan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik Barat yang relatif bergerak ke arah baratlaut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Penelitian Secara geografis, kabupaten Ngada terletak di antara 120 48 36 BT - 121 11 7 BT dan 8 20 32 LS - 8 57 25 LS. Dengan batas wilayah Utara adalah Laut Flores,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

POTENSI BAHAN GALIAN GRANIT DAERAH KABUPATEN TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH

POTENSI BAHAN GALIAN GRANIT DAERAH KABUPATEN TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH POTENSI BAHAN GALIAN GRANIT DAERAH KABUPATEN TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH Nanda Prasetiyo Mahasiswa Magister Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta Wilayah Kabupaten Tolitoli yang terletak di Provinsi

Lebih terperinci

HIDROSFER V. Tujuan Pembelajaran

HIDROSFER V. Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 Kelas X Geografi HIDROSFER V Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami rawa, fungsi, manfaat, dan pengelolaannya.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lokasi Objek Penelitian Berdasarkan bentuk morfologinya, puncak Gunung Lokon berdampingan dengan puncak Gunung Empung dengan jarak antara keduanya 2,3 km, sehingga merupakan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Daerah penelitian berada di Pulau Jawa bagian barat yang secara fisiografi menurut hasil penelitian van Bemmelen (1949), dibagi menjadi enam zona fisiografi

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Pengamatan geomorfologi terutama ditujukan sebagai alat interpretasi awal, dengan menganalisis bentang alam dan bentukan-bentukan alam yang memberikan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Pegunugan Tigapuluh 4. Kepulauan

Lebih terperinci

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA...

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii UCAPAN TERIMA KASIH... iv KATA PENGANTAR... v SARI... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xviii DAFTAR

Lebih terperinci

DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir)

DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir) DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir) Adipandang Yudono 12 GEOLOGI LAUT Geologi (geology) adalah ilmu tentang (yang mempelajari mengenai) bumi termasuk aspekaspek geologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar 1).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar 1). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lokasi Daerah Penelitian Lokasi daerah penelitain berada di pulau Jawa bagian barat terletak di sebelah Utara ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar

Lebih terperinci

Morfologi dan Litologi Batuan Daerah Gunung Ungaran

Morfologi dan Litologi Batuan Daerah Gunung Ungaran Morfologi dan Litologi Batuan Daerah Gunung Ungaran Morfologi Gunung Ungaran Survei geologi di daerah Ungaran telah dilakukan pada hari minggu 15 Desember 2013. Studi lapangan dilakukan untuk mengetahui

Lebih terperinci

Bentuk lahan Asal Proses Marine

Bentuk lahan Asal Proses Marine Bentuk lahan Asal Proses Marine Bentuk lahan asal proses marine dihasilkan oleh aktivitas gerakan air laut, baik pada tebing curam, pantai berpasir, pantai berkarang maupun pantai berlumpur. Aktivitas

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi dan Morfologi Van Bemmelen (1949), membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat zona, yaitu Pegunungan selatan Jawa Barat (Southern Mountain), Zona Bandung (Central

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Propinsi Jawa Tengah secara geografis terletak diantara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan batas batas sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yaitu geologi daerah Ngampel dan sekitarnya. Pembahasan meliputi kondisi geomorfologi, urutan stratigrafi,

Lebih terperinci

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Bab III Geologi Daerah Penelitian Bab III Geologi Daerah Penelitian Foto 3.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Blok Patahan dilihat dari Desa Mappu ke arah utara. Foto 3.5 Lembah Salu Malekko yang memperlihatkan bentuk V; foto menghadap ke

Lebih terperinci

ACARA IV POLA PENGALIRAN

ACARA IV POLA PENGALIRAN ACARA IV POLA PENGALIRAN 4.1 Maksud dan Tujuan Maksud acara pola pengaliran adalah: 1. Mengenalkan macam-macam jenis pola pengaliran dasar dan ubahannya. 2. Mengenalkan cara analisis pola pengaliran pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Menurut Schieferdecker (1959) maar adalah suatu cekungan yang umumnya terisi air, berdiameter mencapai 2 km, dan dikelilingi oleh endapan hasil letusannya.

Lebih terperinci

RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1:

RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1: RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1:250.000 OLEH: Dr.Ir. Muhammad Wafid A.N, M.Sc. Ir. Sugiyanto Tulus Pramudyo, ST, MT Sarwondo, ST, MT PUSAT SUMBER DAYA AIR TANAH DAN

Lebih terperinci

2.3.7 Analisis Data Penginderaan Jauh

2.3.7 Analisis Data Penginderaan Jauh 2.3.7 Analisis Data Penginderaan Jauh 2.3.7.1.Analisis Visual Analisis visual dilakukan untuk mendapatkan algoritma terbaik untuk menggabungkan data Landsat ETM+. Analisis visual dilakukan dengan menguji

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 9 II.1 Fisiografi dan Morfologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL Area Penelitian Gambar 2-1 Pembagian zona fisiografi P. Sumatera (disederhanakan dari Van Bemmelen,1949) Pulau Sumatera merupakan salah

Lebih terperinci

BAB 5: GEOGRAFI DINAMIKA HIDROSFER

BAB 5: GEOGRAFI DINAMIKA HIDROSFER www.bimbinganalumniui.com 1. Proses penguapan air yang ada di permukaan bumi secara langsung melalui proses pemanasan muka bumi disebut a. Transpirasi b. Transformasi c. Evaporasi d. Evapotranspirasi e.

Lebih terperinci

MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO

MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO Oleh : Akhmad Hariyono POLHUT Penyelia Balai Taman Nasional Alas Purwo Kawasan Taman Nasional Alas Purwo sebagian besar bertopogarafi kars dari Semenanjung

Lebih terperinci