BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Wujud pengembangan bahasa salah satunya yaitu mampu berkomunikasi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Wujud pengembangan bahasa salah satunya yaitu mampu berkomunikasi"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wujud pengembangan bahasa salah satunya yaitu mampu berkomunikasi secara lisan dengan lingkungannya. Sehubungan dengan itu, bahasa Jawa yang masih dipakai di kalangan etnik Jawa ikut berperan sebagai sarana pengembangan kemampuan berkomunikasi. Bahasa Jawa mempunyai unggah-ungguh sopan-santun yang sangat berperan dalam pembentukan perilaku dan watak yang luhur. Fungsi dan makna bahasa Jawa sebagai bahasa ibu didalam rangka membina bibit-bibit atau insan-insan yang benar-benar bermoral budaya Jawa tidak dapat dipisahkan dengan masalah pendidikan budi pekerti dan tata krama. Kedua hal tersebut dapat diperoleh dari pembelajaran bahasa, terutama bahasa Jawa yaitu tingkat tutur bahasa Jawa atau undha-usuk basa Jawa. Kedudukan bahasa dan sastra Jawa mencerminkan nilai-nilai filosofis khas Jawa, disamping karena merupakan bagian dari kebudayaan Jawa yang juga menjadi bagian dari kebudayaan Nasional, bahasa Jawa dianggap penting dan mempunyai posisi di dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan bahasa Jawa mempunyai kekayaan pola-pola gramatika, terlebih kekhasan sistem tingkat tuturnya. Dalam kaitannya dengan kemampuan tingkat tutur bahasa Jawa perlu adanya usaha untuk meningkatkan kemampuan berbahasa yang benar sesuai dengan Undha- 1

2 2 Usuk basa Jawa, oleh karena itu partisipasi aktif, kemampuan, dan latar belakang sosial guru sangat diperlukan supaya dapat mencapai tujuan berbahasa secara utuh. Salah satu ciri bahasa Jawa adalah adanya sistem Tingkat Tutur (Undha- Usuk) yang tidak dimiliki oleh setiap bahasa lain. Bagi orang yang tidak paham benar mengenai bahasa Jawa akan mengatakan bahwa tingkat tutur bahasa Jawa sulit dan memupuk sikap tidak demokratis antara penutur dan mitra bicaranya. Namun sebetulnya bila nilai filosofis tingkat tutur itu dipahami benar, justru tingkat tutur bahasa Jawa mengajari manusia Jawa nilai-nilai kemanusiaan yang sangat dalam, antara lain andhap asor (rendah hati), empan papan (sikap baik), saling menghormati, pengakuan akan keberagaman, aja dumeh (jangan sombong) dan tepa slira (sopan santun). Sistem tingkat tutur bahasa Jawa itu merupakan pertanda pentingnya adat sopan santun yang menjalin sistem tata hubungan manusia Jawa. Kata santun adalah kata sifat dan kata bendanya adalah kesantunan. Kesantunan adalah tatacara atau kebiasaan, norma atau adat yang berlaku dalam suatu masyarakat. Kesantunan merupakan tata cara atau aturan perilaku yang menjadi kesepakatan bersama oleh suatu masyarakat tertentu. Bagi masyarakat Jawa kesantunan biasa disebut sopan santun, unggah-ungguh, tata krama, etika. (Kongres Bahasa Jawa II, Batu Malang, tanggal 22 s.d. 26 Oktober 1996). Masyarakat Jawa menekankan perlunya pendidikan sopan santun yang berkaitan dengan tingkat tutur bahasa Jawa, karena merupakan sarana yang cocok untuk pendidikan kesantunan. Salah satu ciri obyektif bahasa Jawa ialah bahwa bahasa Jawa memiliki tingkat tutur yang baik dan rapi.

3 3 Tulisan Clifort. Geertz (1968) tentang etika linguistik Linguistic Etiquette dalam The Religion of Java memaparkan bahwa bahasa Jawa dapat dipakai untuk melambangkan etika sopan santun orang Jawa. Pola berbahasa orang Jawa mengikuti sumbu alus sampai dengan sumbu kasar. Kedua sumbu itu kemudian membentuk pola tingkat tutur krama, madya, dan ngoko. Tingkat tutur krama merupakan tingkat tutur dengan kadar kesopanan tinggi yang digunakan oleh para priyayi; tingkat tutur madya merupakan tingkat tutur dengan kadar kesopanan sedang, dan biasanya digunakan oleh kelompok petani; sedangkan tingkat tutur ngoko merupakan tingkat tutur dengan nilai kesopanan rendah, digunakan oleh kelompok nonpriyayi (Maryono Dwiraharjo, 1990: 35). Yang dimaksud dengan Tingkat Tutur atau Undha-Usuk atau Speech Level adalah suatu sistem kode (kebahasaan) yang menyampaikan variasi rasa hormat atau kesantunan yang memiliki unsur kosa kata tertentu, aturan sintaktis tertentu, aturan morfologis dan fonologis tertentu (Soepomo, 1979:8-9). Setiap kosa kata bahasa Jawa memiliki variasi bentuk morfologis yang menunjukkan tingkat rasa hormat atau kesopanan, ada tingkat halus dan tidak halus (atau kasar). Kemampuan tingkat tutur dan penguasaan kosa kata dalam bahasa Jawa mulai dari anak-anak sampai remaja berawal dari pendidikan di lingkungan keluarga dan pendidikan di sekolah khususnya untuk mata pelajaran bahasa Jawa. Bahasa dan pemakaian bahasanya tidak diamati secara individual, tetapi selalu dihubungkan dengan kegiatannya di dalam masyarakat. Atau dengan kata lain, bahasa tidak saja dipandang sebagai gejala individual tetapi juga merupakan gejala sosial. Sebagai

4 4 gejala sosial, bahasa dan pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik antara lain adalah faktor-faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa misalnya status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin dan sebagainya. Di samping itu pemakaian bahasa juga dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional, yaitu siapa berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana dan mengenai masalah apa, seperti dengan ringkas dirumuskan oleh Fishman (1972:15) Who speaks what language to whom and when. Seorang guru terlebih guru bahasa Jawa berperan penting dalam menumbuhkembangkan kemampuan siswa dalam berbahasa Jawa dan tingkat tutur yang benar. Bahasa Jawa sebagai hasil pembelajaran bahasa merupakan kemampuan berinteraksi dengan menggunakan bahasa Jawa dalam peristiwa komunikasi atau berupa kompetensi kontekstual dan sosiolinguistik (fungsional) di samping kompetensi linguistik. Maka seorang guru bahasa Jawa juga harus mampu berbahasa Jawa dengan benar sesuai undha-usuk basa Jawa. Bahasa Jawa sebagai sistem pengajaran perlu dimaknai sebagai bentuk pengajaran bahasa yang tidak hanya melihat bahasa Jawa dari sisi strukturnya, tetapi juga dari sisi fungsi komunikatif yang dibutuhkan, dan dapat dimanfaatkan. Di Kota Madiun mulai tahun pelajaran 2005/2006 pelajaran bahasa Jawa menjadi muatan lokal wajib pada semua jenjang Sekolah Dasar. Menurut ketentuan guru pengampu adalah benar-benar guru mata pelajaran bahasa Jawa bukan dari guru kelas. Pemerintah Kota Madiun membutuhkan guru bahasa Jawa untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dan masing-masing sekolah ada satu guru mata pelajaran khusus

5 5 bahasa Jawa. Terbukti pada tahun 2009 Kota Madiun menerima Guru PNS untuk memenuhi formasi mata pelajaran bahasa Jawa di SD Negeri sebanyak 29 guru. Di Kota Madiun guru bahasa Jawa untuk angkatan guru PNS formasi tahun 2009 dilihat dari faktor umur rata-rata masih berusia muda, berdasarkan data perkisaran kelahiran guru dari tahun 1977 sampai yang paling muda kelahiran tahun 1987 dan dari faktor pendidikan yang berbeda-beda, ada yang dari Universitas Swasta ataupun Negeri, dan banyak didominasi guru perempuan. Ini terbukti dalam satu kota hanya ada dua guru laki-laki di SD Negeri pada tiga Kecamatan yang berbeda pula. Melihat beberapa data yang diperoleh, perlu dilakukan pengkajian untuk menumbuhkembangkan dan sejauh mana kemampuan Tingkat Tutur seorang guru terutama pada SD Negeri. Mengetahui lebih mendalam kemampuan Tingkat Tutur ragam Krama Alus pada guru SD Negeri. Bagaimana derajad kesopansantunan berbahasa Jawa pada Tingkat Tutur bahasa itu. Secara garis besar teori atau pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus tentang Tingkat Tutur. Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini digunakan kajian sosiolinguistik yang pada dasarnya adalah penelitian tentang wujud tuturan yang harus diperhatikan konteks sosialnya. Berdasarkan data guru tersebut ada beberapa temuan yang menarik untuk diteliti dilihat dari faktor nonlinguistik pemakaian bahasa antara lain ditinjau dari faktor umur, faktor pendidikan, dan jenis kelamin. Penelitian tingkat tutur bahasa Jawa dan relevansinya dengan kemampuan mengajar guru terutama guru bahasa Jawa dipandang masih belum banyak dilakukan

6 6 oleh peneliti lain. Peneliti lebih menekankan pada aspek-aspek sosiolinguistik dimana aspek tersebut yang melatarbelakangi seseorang dalam kemampuan berbahasa, terutama kemampuan tingkat tutur bahasa Jawa. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kemampuan guru bahasa Jawa di SD Negeri Kota Madiun dalam pemakaian tingkat tutur ragam ngoko alus, krama lugu, dan krama alus? 2. Bagaimanakah kemampuan guru dalam mengimplementasikan tingkat tutur ragam ngoko alus, krama lugu, krama alus di dalam pembelajaran bahasa Jawa? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Secara umum, tujuan penelitian ini dilakukan adalah: untuk melestarikan bahasa Jawa. Dengan demikian, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam bahasa Jawa yang terwujud dalam tingkat tutur akan tetap lestari. 2. Tujuan Khusus Secara khusus, penelitian ini bertujuan sebagai berikut. a. Mendeskripsikan kemampuan guru bahasa Jawa di SD Negeri Kota Madiun dalam pemakaian tingkat tutur ragam ngoko alus, krama lugu, krama alus.

7 7 b. Mendeskripsikan pembelajaran tingkat tutur bahasa Jawa ragam ngoko alus, krama lugu, krama alus yang terjadi pada waktu proses belajar mengajar di kelas. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah kekayaan pustaka di bidang linguistik dan pengajarannya, kajian Tingkat Tutur ragam Ngoko Alus, Krama Lugu, Krama Alus dalam pengajaran bahasa. b. Bahan kajian dan pembanding bagi para peneliti, peminat, dan pemerhati budaya Jawa, khususnya kemampuan dalam pemakaian Tingkat Tutur ragam Ngoko Alus, Krama Lugu, Krama Alus. c. Wawasan, pemerhati masyarakat untuk peduli dan ikut melestarikan budaya Jawa, khususnya kemampuan dalam pemakaian Tingkat Tutur ragam Ngoko Alus, Krama Lugu, Krama Alus. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk: a. Memberi masukan yang berguna kepada guru bahasa Jawa agar lebih kreatif dalam mengembangkan kemampuan tingkat tutur sehingga mampu meningkatkan kualitas. b. Meningkatkan kemampuan guru agar pengembangan materi bahasa Jawa dapat tepat dan sesuai dengan kurikulum.

8 8 c. Bahan masukan kepada Pemerintah terkait, dalam hal ini Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda, Dan Olah Raga untuk mengambil kebijakan agar bahasa Jawa tetap terpelihara dengan digunakannya bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar di sekolah, dan mengadakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan materi bahasa Jawa dengan pihak-pihak terkait.

9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA BERPIKIR A. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Bambang Maryadi tahun Tesis. Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Jawa Dan Pengaruhnya Terhadap Kemampuan Komunikasi Bahasa Indonesia. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tingkat tutur ngoko, krama, krama alus masing dipakai guru dan siswa dalam berkomunikasi di kelas. Pengaruh penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa terhadap kemampuan berkomunikasi bahasa Indonesia. Diwarnai oleh penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa baik ngoko, krama lugu, maupun krama alus. Bagi siswa yang kemampuan berkomunikasi bahasa Indonesianya baik dan benar tidak mudah dipengaruhi tingkat tutur bahasa Jawa. Penelitian yang berkaitan dengan tingkat tutur bahasa jawa yaitu penelitian Ester Mariatun tahun Tesis dengan judul Hubungan Penguasaan Tingkat Tutur Bahasa Jawa Dan Konsep Diri Dengan Kemampuan Komunikasi Lisan Dalam Bahasa Indonesia dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa dipengaruhi oleh konsep diri dan kemampuan bahasa Indonesia. Penelitian berikut berkaitan dengan kemampuan Guru Sekolah Dasar yaitu penelitian yang dilakukan oleh Marsin tahun Tesis dengan judul Kemampuan Mengajar Guru Sekolah Dasar Ditinjau Dari Model Penyelenggaraan Program 9

10 10 Penyetaraan D-II Dan Pengalaman Mengajar Di Kabupaten Boyolali penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kemampuan mengajar guru dipengaruhi oleh pengalaman mengajar, pengalaman kerja, dan belajar yang mereka lakukan. Sedangkan penelitian ini dengan subyek penelitiannya adalah guru yang difokuskan pada kemampuan tingkat tutur bahasa Jawa ragam krama alus dan pengaruhnya dengan pembelajaran bahasa Jawa di Sekolah Dasar. Dalam penelitian Sasan Baleghizadeh tahun Jurnal Internasional. Yang berjudul Speech Acts In English Theacing dijelaskan bahwa penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui peran tingkat tutur dalam pengajaran bahasa Inggris. Penelitian dilakukan dengan analisis kompetensi gramatikal, kemudian dikaitkan dengan kompetensi komunikatif yang menekankan peran tingkat tut ur bahasa dalam penggunaan sehari-hari. An ascription-based approach to speech Acts penelitian yang dilakukan oleh Mark Lee and Yorick Wilks (2009). Jurnal Internasional. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pendekatan di bidang pragmatik yaitu dengan pemodelan pada kajian pidato, kemudian untuk mengetahui teori tindak tutur pada sebuah dialog. Pada intinya penelitian ini menyajikan suatu pendekatan dalam pidato berdasarkan teknik pemodelan. Berdasarkan deskripsi teori pada tinjauan pustaka yang telah dipaparkan sebelumnya dan dipakai sebagai acuan dalam penelitian ini, maka penelitian tentang tingkat tutur bahasa Jawa ini sebagai subyek penelitiannya adalah Guru di Sekolah

11 11 Dasar yang difokuskan pada kemampuan tingkat tutur ragam ngoko alus, krama lugu, krama alus, dan bagaiman kompetensi mengajar Guru bahasa Jawa di sekolah. B. Landasan Teori 1. Hakikat Tingkat Tutur a. Pengertian Tingkat Tutur Istilah unggah-ungguh, undha-usuk, dan speech levels adalah beberapa istilah serupa yang dimaksudkan sebagai tingkat-tutur. Kata tersebut dimaknai sebagai berikut. 1) Unggah-ungguh Unggah-ungguh bahasa Jawa selain mengandung makna tingkat-tingkatan dalam bahasa juga mengandung makna kesantunan atau etika. (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka). Dalam buku Marsudi Unggah-Ungguh Basa Jawa dikatakan bahwa pangertosan unggah-ungguh basa menika pranataning basa miturut lenggahing tatakrama pengertian unggah-ungguh bahasa itu tatanan bahasa menurut kedudukan tatakrama (Haryana, Supriya, 2001: 13). Menurut S.A. Mangun Suwito (2002: 288) unggah-ungguh basa adalah katakata yang sopan santun, basa-basi. Bentuk unggah-ungguh merupakan kata majemuk, atau dapat juga merupakan bentuk perulangan dari kata dasar unggah. Kata unggah mempunyai makna bergerak dari atas ke bawah, naik. Sebagai kata majemuk, unggah-ungguh dimaknai khusus sebagai tata krama atau sopan santun dalam

12 12 berbahasa. Bahasa yang dimaksud adalah bahasa yang disesuaikan dengan keadaan yang pantas. Selaras dengan pernyataan S. Poedjowardojo dan Suwito (1990: 1) bahwa istilah unggah-ungguh dipadankan dengan sopan santun atau tata krama. Lebih lanjut dikatakan Poedjowardojo bahwa unggah-ungguh menampilkan sifat dan tabiat manusia Jawa, sedangkan unggah-ungguh basa terdiri atas faktor lingual dan nonlingual. Kedua unsur ini difungsikan sebagai wahana pengungkap sopan-santun. Istilah unggah-ungguh lebih ditekankan pada aspek pemakaian bahasa yang didasari oleh perilaku penuturnya. Undha-usuk lebih ditekankan pada aspek ciri-ciri fisik bahasa yang digunakan dan ditekankan pada pemilihan kata atau ragam bahasa yang tepat dalam berbicara kepada orang lain. 2) Undha-usuk Dalam buku Unggah-Ungguh Basa Jawa dan selaras dengan pendapat Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka bahwa undha-usuk basa atau tingkat tutur bahasa hanya mengisyaratkan makna bahwa dalam bahasa itu terdapat tingkatan-tingkatan. Menurut Poerwadarminta (1993:441), mengartikan istilah undha-usuk sebagai berikut. Oendha-oesoek (kn) iku 1. Nganggo tetandhingan mitoeroet kaanane (gedhene) lsp; 2. Oeroet-0eroetan beda-beda saka sathitik; 3. Moeng sathithik bedane (meh padha) Undha-usuk (krama ngoko) 1. Memakai perbandingan menurut keadaan (besarnya) dan lain-lain; 2. Urut-urutan yang berbeda dari sedikit; 3. Hanya sedikit perbedaannya (hampir sama). Ketiga arti undha-usuk di atas setidaknya

13 13 mengisyaratkan lima pernyataan, yaitu (1) tidak hanya terdiri dari satu hal (dapat berupa benda, atau pernyataan lainnya), (2) adanya perbandingan, (3) adanya selisih atau jenjang dalam tingkatan, (4) adanya perbedaan, (5) adanya kemiripan. Jika undha-usuk dianggap sebagai istilah tingkat tutur bahasa, maka tingkat-tutur bahasa itu bercirikan lima unsur tadi. Istilah tingkat tutur adalah suatu sistem kode penyampaian rasa kesopanan yang di dalamnya terkandung unsur vokabuler, aturan sintaksis, atau morfologis. Dapat dikatakan juga bahwa tingkat tutur merupakan kode penyampaian rasa sopan yang bertujuan untuk menghormati orang yang diajak bertutur atau menghormat pada apa-apa yang dituturkan (Soepomo Poedjosoedarmo, 1984: 147). Menurut Soepomo (1984), istilah tingkat tutur (speech level) merupakan variasi bahasa yang perbedaan-perbedaannya ditentukan oleh anggapan penutur (O1) dan relasinya dengan yang diajak bicara (O2). Maryono Dwiraharjo menambahkan bahwa relasi-relasi tersebut dapat bersifat akrab, sedang, jauh, menarik, mendatar, atau menurun (1990: 1). Dari uraian di atas unsur-unsur tersebut meliputi sebagai berikut: (1) Sistem yang teratur dalam satu bahasa, (2) Terdiri dari tingkatan-tingkatan, (3) Memiliki kadar kesopanan tertentu, (4) Bertujuan untuk menghormati mitra tutur (O2) dengan kadar tertentu, (5) Dapat digunakan untuk menghormati orang yang dibicarakan (O3) dengan kadar tertentu pula.

14 14 Berdasarkan lima komponen diketahui dengan jelas pengertian tingkat tutur. Pengertian tingkat tutur dapat disusun kembali untuk mencakupi lima komponen tersebut. Tingkat tutur adalah suatu sistem tingkatan yang teratur dalam suatu bahasa, yang dengan kadar kesopanan tertentu untuk menunjukkan hormat penutur kepada mitra tutur maupun orang yang dituturkannya. Tingkatan-tingkatan yang dimaksud dapat berupa tingkatan tinggi, menengah, dan rendah. Semakin tinggi tingkatan yang digunakan menunjukkan semakin tinggi tingkat kesopanan, tingkat hormat terhadap mitra tutur dan yang dituturkan. Sebaliknya, semakin rendah tingkat yang digunakan semakin rendah pula tingkat kesopanan dan penghormatannya kepada mitra tutur maupun yang dituturkan. Dalam buku Tingkat Tutur Bahasa Jawa (Soepomo Poedjasoedarmo, 1979: 14-15) mengartikan tingkat tutur sebagai berikut: (a) Tingkat Tutur Ngoko Tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara O1 terhadap O2. Artinya, O1 tidak memiliki rasa segan (eguh pakewuh) terhadap O2. Jadi, seseorang yang ingin menyatakan keakrabannya terhadap seseorang O2, tingkat ngoko inilah yang seharusnya dipakai. Teman akrab biasanya saling ngoko an. Orang-orang yang berstatus sosial tinggi berhak pula, atau justru dianggap pantas, untuk menunjukkan rasa tak enggan terhadap orang lain yang berstatus sosial lebih rendah. Antara orang yang akrab hubungannya tetapi saling menghormat dapat memakai tingkat tutur

15 15 ngoko yang halus (antyabasa dan basaantya). Contohnya teman akrab dikalangan Pegawai Negeri, guru-guru menggunakan tingkat tutur ini. (b) Tingkat Tutur Krama Tingkat tutur krama adalah tingkat yang memancarkan arti penuh sopan santun. Tingkat ini menandakan adanya perasaan segan (pakewuh) O1 terhadap O2, karena O2 adalah orang yang belum dikenal, atau berpangkat, atau priyayi, berwibawa dan lain-lain. Terhadap orang yang belum dikenal dan masih muda dipakai juga krama yang halus kalau orang muda itu dipandang berstatus cukup tinggi. Tingkat tutur krama memancarkan arti sopan-santun yang tinggi. Di samping itu krama menimbulkan rasa berjarak antara O1 dengan O2 yang disapanya. Artinya O1 harus menghormat kepada O2, tidak boleh berbuat seenaknya sendiri terhadap O2. (c) Tingkat Tutur Madya Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah antara krama dan ngoko. Ia menunjukkan perasaan sopan, secara sedang-sedang saja. Tingkat ini bermula adalah tingkat tutur krama, tetapi dalam proses perkembangan telah mengalami tiga perkembangan yang penting. Perkembangan itu ialah perkembangan proses kolokialisasi (informalisasi), penurunan tingkat, dan ruralisasi. Inilah sebabnya, bagi kebanyakan orang, tingkat madya ini dianggap tingkat yang setengah sopan dan setengah tidak. Inilah sebabnya pula bahwa O2 yang disapa dengan madya ini pada

16 16 anggapan O1 ialah kurang begitu berwibawa. O1 harus menaruh sopan-santun, tetapi rasa segan tak perlu setinggi seperti yang dikenakan O2 yang seharusnya diberi. Berdasarkan ketiga komponen tingkat tutur diatas dapat diketahui bahwa tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara O 1 dan O 2, tingkat tutur krama mencerminkan arti penuh sopan/adanya perasaan segan antara O 1 terhadap O 2, dan tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah antara krama dan ngoko yang menunjukkan perasaan sopan secara sedang-sedang saja. b. Pengertian Tingkat Tutur Ditinjau dari Sosiolinguistik Abdul Chaer dan Leonie Agustin (1995: 3) mengatakan bahwa Sosiolinguistik adalah bidang disiplin antar ilmu yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu dalam masyarakat. Nancy Parrot H dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustin (1995: 5) mengungkapkan bahwa Sosiolinguistik adalah pengembangan subbidang linguistik yang memfokuskan pada varian ujaran serta pengkajian dalam suatu konteks sosial. Harimurti Kridalaksana (1993: 181) mengungkapkan bahwa Sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari hubungan dan saling berpengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial. Dijelaskan pula bahwa ada pola-pola bahasa yang sama dan bahasa yang berbeda, yang dapat dianalisis secara deskriptif. Pola-pola yang dibatasi maka digunakan penuturnya untuk berkomunikasi (Ferguson dan Gumperth dalam Mansur Pateda, 1990:77)

17 17 Fisman (1972: 44) mengatakan Sosiologi bahasa adalah bidang yang menelaah interaksi antara dua segi perilaku manusia, yaitu penggunaan bahasa dan pengorganisasian bahasa oleh masyarakat. Di dalamnya tidak saja tercakup penggunaan bahasa, melainkan juga sikap bahasa, perilaku terhadap bahasa dan terhadap pemakai bahasa. Soeseno Kartomiharjo (1987: 230) mengatakan bahwa ruang lingkup dan garapan Sosiolinguitik meliputi: kontak bahasa, bilingualisme, variasi bahasa, ragam bahasa, dan wacana. Kontak bahasa adalah saling seutuh atau saling pengaruh antara satu bahasa dengan bahasa lain, satu dialek dengan dialek lain, atau satu variasi dengan variasi lain. Bilingualisme berarti penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau suatu masyarakat. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa Sosiolinguistik adalah gabungan cabang ilmu Linguistik dan Sosiologi yang mempelajari hubungan bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu dalam masyarakat. Tingkat tutur ditinjau dari segi sosiolinguistik adalah suatu sistem tingkatan bahasa yang mempelajari hubungan dan saling berpengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial untuk berkomunikasi secara teratur dengan kadar kesopanan dan menunjukkan rasa hormat penutur dengan mitra tutur dalam suatu masyarakat.

18 18 c. Aspek-aspek Penanda Tingkat Tutur Tingkat tutur merupakan variasi bahasa yang perbedaan antara satu dan lainnya ditentukan oleh perbedaan sikap santun yang ada pada diri pembicara terhadap mitra bicara. Sistem kode untuk menyampaikan rasa kesopanan dalam macam tingkat tutur, di dalamnya terkandung kosakata, aturan-aturan morfologi, aturan sintaksis, dan aturan fonologi. Rupanya keempat aturan itu mendasari derajat tingkat tutur dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa dilihat dari segi kosakatanya, tidak hanya terbatas pada kosakata ngoko, kosa kata madya, maupun kosakata krama, tetapi ada kosakata krama desa, basa kedhaton, dan basa kasar, yang figur-figur semantisnya mempunyai ciri-ciri khas tersendiri yang berbeda dengan yang lain. Ragam leksikal yang digunakan, sebagai salah satu bagian terbesar penentu tinggat tutur. Sebenarnya yang menjadi dasar pembentukan ragam kosakata bahasa Jawa adalah kosakatakosakata ngoko. Oleh karena itu, sebagian besar kosakata ngoko yang tidak ada padanannya dengan bentuk krama (inggil), atau ragam lainnya dapat berfungsi menduduki berbagai ragam tingkat tutur. Dalam hal ini kosakata ngoko dapat menempati posisi dalam tuturan krama, seperti kata sungu tanduk dapat menempati ragam apapun. Kebo iku gedhe sungune (ngoko); Maesa punika ageng sunginipun (krama); Maesa niku ageng sungune (madya) kerbau itu besar tanduknya. Dengan demikian kata sungu yang merupakan kata ngoko dapat menempati ragam madya

19 19 maupun krama, atau disebut sebagai kosakata krama ngoko (Soepomo Poedjosoedarmo, 1979:3) Pada tataran morfologi maupun sintaksis, unsur-unsur pembeda tingkat tutur dapat dilihat dari adanya morfem dan perubahannya menjadi bentuk kata. Morfemmorfem tertentu sering menunjukkan ragam tertentu pula, misalnya imbuhan {dak, kok-, di-} (ngoko) beridentitas krama menjadi {kula, panjenengan, dipun}, {-(n)e; - ake} (ngoko) menjadi {-(n)ipun; -aken} (krama). Perubahan morfem {dak-, kok-, di-} (ngoko) menjadi krama {kula, panjenengan, dipun}, secara bentuk merupakan dari bentuk morfem menjadi bentuk kata, tetapi secara sematis bermakna sama. Bentuk kata ombe saya minum, merupakan bentuk frasa secara sematis mempunyai satu kesatuan makna identik dengan kata dak-ombe saya minum. Bentuk kedua ini mengalami penurunan tataran dari bentuk pertama, yaitu penurunan dari bentuk frasa menjadi kata. Penurunan tataran ini diakibatkan oleh kula yang semula merupakan kata yang berdiri sendiri dalam bentuk krama berubah menjadi imbuhan (dak-) harus dirangkaikan dengan kata yang menyertainya, mempunyai makna yang sama. Dengan demikian dapat dilihat secara morfologis maupun sintaksis merupakan pembeda tingkat tutur. Dari beberapa fakta yang ada, perbedaan kosakata dirasakan sangat menentukan ciri paling menonjol dalam pembentukan tingkat tutur. Artinya penggunaan kosakata mencerminkan corak khas tingkat tutur, dan sintaksis sosial para penuturnya.

20 20 Jika perbedaan sikap santun yang ada pada diri penutur (O1) terhadap lawan bicara (O2) merupakan penentu pembeda tingkat tutur, maka hal itu hanya sebagai acuan pertama pemilihan tingkat tutur apa yang akan digunakan oleh seorang penutur bahasa Jawa. Tetapi setelah seseorang tahu persis tingkat tutur apa yang digunakan, seorang penutur akan berpikir lebih dalam tentang pola, dan pilihan kata apa yang akan dipergunakannya untuk membentuk konstruksi tuturan yang sesuai dengan tingkat tutur yang telah ditentukan semula. Hal pertama merupakan unsur nonverbal, dan hal kedua merupakan unsur verbal. Dalam studi sosiolinguistik termasuk studi tentang tingkat tutur kedua hal itu saling melengkapi dan sering sejalan. Hal menarik diungkapkan Sudaryanto (1989: ), konsep pembeda terjadinya tingkatan-tingkatan tutur dalam bahasa Jawa dapat dilihat dari dua pokok perhatian, yaitu hubungan antara tiga komponen tutur dalam pertuturan, meliputi yang berbicara, yang diajak berbicara, dan yang dibicarakan; kemudian dapat juga dilihat dari wujud kosakatanya. Manakala keseluruhan kata yang dipakai ngoko maka disebut ngoko lugu, manakala seluruh kata yang dipakai krama maka termasuk tingkat kramantara. Jenis-jenis kata yang lain seperti krama inggil, madya, kasar, basa kedhaton cenderung digunakan bersama-sama dengan ngoko atau krama. Ngoko dan kasar membentuk basa kasar, ngoko dengan krama inggil membentuk ngoko andhap antyabasa; ngoko dengan krama (inggil) membentuk ngoko andhap basaantya. Krama dengan krama inggil membentuk mudha krama. Kosakata madya dipakai bersama ngoko membentuk madyangoko, dipakai dengan krama membentuk

21 21 madyakrama, dengan krama inggil membentuk madyantara. Sementara wredhakrama mirip dengan kramantara, hanya perbedaannya terletak pada penggunaan afiks seperti pada ngoko. Untuk membedakan ragam dalam tingkat tutur bahasa Jawa perlu diperhatikan istilah-istilah yang serupa antara istilah ragam leksikal dengan istilah ragam tingkat tutur. Istilah ragam leksikal adalah nama ragam suatu kosakata; dalam bahasa Jawa setidak-tidaknya dibedakan antara kosakata ngoko, madya, krama, krama inggil, krama andhap, krama ngoko, krama desa, dan basa kedhaton. Istilah ragam tingkat tutur merupakan nama-nama tingkat tutur yang ada, yang merupakan kombinasi dari berbagai unsur penanda penentu tingkat tutur. Nama-nama itu tercermin dalam sebutan (tingkat tutur) ngoko, madya, krama, dan kombinasinya. Dengan adanya kemampuan membedakan kedua istilah tersebut diatas akan lebih mudah pemahaman penggunaan tingkat tutur. Untuk lebih memperjelas gambaran pembagian tingkat tutur seperti yang telah diuraikan diatas, dapat dilihat dalam tabel 1 dan 2 berikut: Ragam Tabel 1 Penanda Ragam Ngoko Leksikon Pronomina Awalan Akhiran dasar pendukung aku kowe {dak-} {ko-} {di-} {-ku} {-mu} {-(n)e} {-ake} Ngoko Lugu N Ngoko Andhap Antyabasa Ngoko Andhap Basaantya N Ki N Ki, K

22 22 Ragam Madyangoko Madyakrama Leksikon Pronomina Awalan Akhiran dasar pendukung aku kowe {dak-} {ko-} {di-} {-ku} {-mu} {-(n)e} {-ake} N yang Md tidak ber Md N yang Md tidak ber Md Madyantara Md, K Ki Mudhakrama K Ki Kramantara K Wredhakrama K Krama Desa K KD Krama Inggil K Ki Basa Kedhaton K/N Kd Tabel 2 Penanda Ragam Tingkat Tutur Pengganti Ngoko Ragam Ngoko Lugu Ngoko Andhap Antyabasa Ngoko Andhap Basaantya Madyangoko Leksikon Pronomina Awalan Akhiran da- Pendukung aku kowe {dak-} {ko-} {di-} {-ku} {-mu} {-(n)e}{-ake} sar N - aku kowe dak- ko- di- -ku -mu (n)e -ake N Ki aku N Ki, K aku Md N yang tidak ber- Md kula Panjenengan, sliramu, kengslira Panjenengan, sliramu, kengslira dika, samang dak- ko- di- -ku -mu (n)e -ake dak- ko- di- -ku -mu (n)e -ake kula dika di- kula dika (n)e -ake

23 23 Ragam Madyakrama Mudhakrama Krama Desa Krama Inggil Leksikon Pronomina Awalan Akhiran da- Pendukung sar aku kowe {dak-} {ko-} {di-} {-ku} {-mu} {-(n)e}{-ake} N yang Sampeyan, Sampe- dika, Md tidak kula kula yan, di- kula sampe- (n)e -ake ber- samang samang yan Md Md, K Ki kula K Ki kula K - kula K - kula K KD kula K Ki kawula, abdi dalem, kawula, dalem Madyantara Sanpeyan, samang Panjenengan, sanpeyan Wredhakrama Panjenengan, sampeyan Sampeyan Panjenengan dalem, sampeyan dalem (raja) kula kula kula kula kula k{aw} ula Sanpeyan, samang Panjenengan, sanpeyan Panjenengan, sanpeyan Kramantara Sampeyan Sampeyan Panjenengan, sanpeyan Sampeyan Panjenengan, sanpeyan Sampeyan Panjenengan dalem, sampeyan dalem (raja)- di- dipun- dipun- dipun- dipun- dipun- kula kula kula kula kula kawula, abdidalem kawula, -ipun abdi dalem kawula dika, sampeyan Sampeyan (n)e ipun - ipun (n)e ipun -ake aken aken -ake aken dalem ipun aken

24 24 d. Fungsi Tingkat Tutur Secara umum bahasa mempunyai alat komunikasi dan mempunyai fungsi komunikatif. Bahasa secara umum menjadi sarana komunikasi antar pengguna bahasa. Dengan demikian menandakan bahwa bahasa merupakan media berhubungan di antara penggunanya dapat berupa lisan atau tulis. Tingkat tutur bahasa Jawa mencerminkan fungsi tingkat tutur dalam bahasa Jawa. Ada jenis tingkat tutur ragam ngoko, madya, dan krama. Ketiga tingkat tutur itu secara luas berfungsi sebagai alat komunikasi dalam masyarakat tutur bahasa Jawa. Soepomo Poedjosoedarmo (1979: 14-15) membicarakan bahwa tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tidak berjarak antara O1 terhadap O2. Artinya O1 tidak memiliki rasa segan terhadap O2. Ngoko menunjukkan hubungan yang akrab dan terbiasa. Krama adalah tingkat tutur yang menyatakan arti penuh sopan santun. Menandakan adanya perasaan segan O1 terhadap O2. Hal ini timbul karena akibat kurang dikenal, atau berstatus lebih tinggi. Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah antara krama dan ngoko. Tingkat ini menunjukkan rasa sopan santun yang sedang-sedang. (Maryono Dwiraharjo, 1990: 6). Maryono Dwiraharjo (2001) menjelaskan (1) tingkat tutur ngoko mencerminkan status sosial yang rendah (low status); (2) tingkat tutur madya mencerminkan status sosial yang sedang (middle status); dan (3) tingkat tutur krama mencerminkan status sosial yang tinggi (high status). Dapat disimpulkan empat fungsi tingkat tutur bahasa Jawa berikut. (1) menunjukkan sifat hubungan antara penutur dengan mitra tutur, (2) menunjukkan tingkat penghormatan atau tingkat kesopananan antara penutur dengan mitra tutur atau juga dengan orang

25 25 yang dituturkan (orang yang dibicarakan); (3) menunjukkan perbedaan status sosial antara penutur dengan mitra tutur orang yang dibicarakan; dan (4) menunjukkan situasi tutur yang sedang berlangsung (Maryono Dwiraharjo, 2001: 48-49). 2. Klasifikasi Tingkat Tutur Bahasa Jawa a. Kajian terhadap karti basa Dalam Karti Basa terbitan Kementrian PP dan K (1946: 64-84) disebutkan bahwa Unggah-Ungguh bahasa Jawa (dalam buku itu menyebutkan undha-usuk) terdiri atas (1) Ngoko, (2) Madya, (3) Krama, (4) Krama Inggil, (5) Kedhaton, (6) Krama Desa, dan (7) Kasar. Undha-Usuk Ngoko dibedakan menjadi dua, yaitu Ngoko Lugu dan Ngoko Andhap. Ngoko Andhap dibedakan lagi menjadi dua, yaitu Ngoko Antyabasa dan Basaantya. Undha-Usuk Madya dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) Madya Ngoko, (2) Madyantara, dan (3) Madya Krama, Undha-Usuk juga dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) Mudha Krama, (2) Kramantara, (3) Wredha Krama. Di dalam buku Karti Basa bahwa basa Ngoko merupakan bahasa yang lugu (sederhana, wajar, alami) yang belum mengalami perubahan apapun. Keseluruhan leksikon berupa Ngoko. Jika di dalam kalimat terdapat kata Krama Inggil, ragam itu disebut Ngoko Antyabasa. Namun jika di dalam kalimat terdapat kata Krama dan Krama Inggil, ragam itu disebut Basa Antya. Basa Madya merupakan bahasa yang berada di tengah-tengah antara basa Ngoko dan basa Krama. Kata-kata yang terdapat di dalamnya berupa kata Madya dan Ngoko. Jika

26 26 dalam kalimat hanya terdapat kata Madya dan Ngoko, ragam itu disebut Madya Ngoko atau Madyantara. Jika dalam kalimat terdapat kata Madya, Krama, dan Krama Inggil, ragam itu disebut Madya Krama. Analisis Tingkat Tutur ragam Krama Inggil dalam Karti basa, basa Krama Inggil merupakan bahasa yang hormat. Kata-kata yang terdapat di dalamnya semua berupa Krama. Jika dalam kalimat terdapat kata Krama dan Krama Inggil, ragam itu disebut Mudha Krama. Namun, jika dalam kalimat hanya berupa kata Krama saja itu disebut Kramantara dan Wedhakrama. Yang membedakan kedua ragam tersebut terletak pada penggunaannya. Jika yang menggunakan orang muda, ragam itu disebut Mudha Krama. Namun, jika yang menggunakan orang tua, ragam itu disebut Wredha Krama. Dalam buku itu dijelaskan bahwa Mudha Krama digunakan oleh anak muda kepada orang tua, Kramantara digunakan oleh orang tua sejajar status sosialnya, dan Wredha Krama digunakan oleh orang tua kepada orang yang lebih muda. Disebutkan masih ada basa Krama Inggil, basa Kedhaton, basa Krama Desa, dan basa Kasar. Basa Krama Inggil merupakan bahasa yang santun yang bentuknya mirip dengan Mudha Krama. Bahasa Kedhaton (di Yogyakarta disebut basa Bagongan) merupakan bahasa yang digunakan oleh keluarga Raja dan/atau digunakan oleh para karyawan (abdi) yang bekerja di dalam Istana. Ragam bahasa tersebut hanya dipakai di dalam Istana. Krama Desa didefinisikan sebagai ragam halus orang desa yang kurang memahami ragam halus orang kota. Di dalam buku Karti Basa disebutkan bahwa Krama Desa tidak termasuk bahasa yang halus.

27 27 Undha-Usuk Ngoko Lugu Basa Antya Ngoko Krama Inggil Basa Kedhaton Krama Desa Basa Kasar Antya Basa Krama Madya Krama Madya Wredha Krama Mudha Krama Kramantara Madyantara Madya Ngoko Bagan 1 ( Karti Basa, 1946 ) b. Kajian terhadap tingkat tutur bahasa jawa Dalam Tingkat Tutur Bahasa Jawa (Poedjasoedarma, dkk. 1979). Tingkat Tutur bahasa Jawa, terdiri atas (1) Ngoko, (2) Madya, dan (3) Krama. Tingkat Tutur Ngoko dibedakan menjadi Ngoko Lugu, Basa Antya, dan Antyabasa; Tingkat Tutur Madya dibedakan menjadi Madya Ngoko, Madyantara, dan Madya Krama. Tingkat tutur krama dibedakan menjadi mudha krama, kramantara, dan wredha krama. Poedjasoedarma dalam urainnya mengakui bahwa Tingkat Tutur kramantara dan wredha krama sudah jarang terdengar. Pendapat tersebut diikuti oleh Bambang Kaswanti Purwo (1991) membagi Tingkat Tutur bahasa Jawa menjadi Ngoko, Madya, dan Krama.

28 28 Soepomo Poedjasoedarma (1979:13-15) telah membagi Tingkat Tutur menjadi sembilan, ternyata yang diberi penjelasan panjang lebar hanyalah Tingkat Tutur yang berbentuk Ngoko, Madya, dan Krama, sedangkan bagian-bagian ketiga Tingkat Tutur itu penjelasannya sama dengan yang terdapat di dalam Karti Basa. Poedjasoedarma berpendapat bahwa Tingkat Tutur Ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara O 1 terhadap O 2 dan Tingkat Tutur ini dipakai jika seseorang ingin menyatakan keakrabannya terhadap mitra wicara (O 2 ); Tingkat Tutur Madya diartikan sebagai Tingkat Tutur menengah antara Krama dan Ngoko, tetapi tetap menunjukkkan perasaan sopan meskipun kadar kesopanannya hanya sedang-sedang saja; Tingkat Tutur Krama diartikan sebagai Tingkat Tutur yang memancarkan arti penuh Sopan Santun dan Tingkat Tutur ini menandakan adanya perasaan segan O 1 terhadap O 2. Tingkat-Tutur Ngoko Krama Ngoko Lugu Basa Antya Antya Basa Wredha Krama Mudha Krama Madya Kramantara Madya Krama Madyantara Madya Ngoko Bagan 2 ( Poedjasoedarma, dkk 1979 : Tingkat-Tutur Bahasa Jawa )

29 29 c. Kajian tingkat tutur lain Kajian lain yang perlu diungkapkan adalah kajian yang dilakukan oleh Poerbatjaraka (dalam Sudaryanto, 1989: ) berpendapat bahwa Unggah- Ungguh bahasa Jawa pada prinsipnya terdiri atas empat macam, yaitu Ngoko, Krama, Ngoko Krama, dan Krama Ngoko. Hadiwidjana (1967: 50-51), ia membagi Tingkat Tutur menjadi empat yaitu menjadi basa baku, basa Krama basa Madya, dan basa Kurmat. Sudaryanto (1989) membagi Tingkat Tutur menjadi empat yaitu Ngoko, Ngoko Alus, Krama, dan Krama Alus. Kajian lain dilakukan oleh Ekowardono dkk. (1993). Ekowardono mengelompokkan Unggah-Ungguh bahasa Jawa menjadi dua, yaitu Ngoko dan Krama. Jika Unggah-Ungguh Ngoko ditambah Krama Inggil, Unggah-Ungguh tersebut akan berubah menjadi Ngoko Alus. Jika Unggah-Ungguh Krama ditambah Krama Inggil, Unggah-Ungguh tersebut akan berubah menjadi Krama Alus. Tanpa pemunculan kata Krama Inggil, Unggah-Ungguh itu hanya berupa Ngoko Lugu atau Krama Lugu. Ada kesamaan antara Sudaryanto dan Ekowardono. Dalam buku Unggah-Ungguh basa Jawa Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka menyebut dengan istilah Unggah-ungguh basa dibagi menjadi empat yaitu ragam ngoko lugu, ngoko alus, karma ligu, karma alus. Tingkat Tutur Ngoko Krama Ngoko Ngoko alus Krama Krama Alus (Ngoko Lugu) (Krama Lugu) Bagan 3 Unggah Ungguh Bahasa Jawa Menurut Sudaryanto (1989) dan Ekowardoyo (1993)

30 30 Pembagian Unggah-Ungguh tersebut, apabila diamati dengan melihat kata-kata yang disusun di dalamnya atau berdasarkan leksikon pembentuknya, yang tampak rapi hanya yang terdapat pada Unggah-Ungguh Ngoko, sedangkan pembagian yang lain, terutama pada Unggah-Ungguh Krama, terdapat kekacauan istilah dan terdapat kekacauan pengelompokan leksikon. Jika di dalam suatu tuturan semua leksikonnya berupa Ngoko, tuturan tersebut disebut Ngoko Lugu. Jika di dalam suatu tuturan terdiri atas leksikon Ngoko, Krama Inggil, dan Krama Andhap, tuturan tersebut disebut Ngoko Antyabasa. Jika di dalam suatu tuturan terdiri atas leksikon Ngoko, Krama, Krama Inggil, dan Krama Andhap, tuturan tersebut disebut Ngoko Basa Antya. Sementara itu, jika di dalam suatu tuturan terdiri atas leksikon Madya dan Ngoko, tuturan itu disebut Madya Ngoko. Jika di dalam suatu tuturan terdiri atas leksikon Madya, Krama, dan Ngoko, tuturan itu disebut Kramantara, sedangkan jika di dalam suatu tuturan terdiri atas leksikon Madya, Ngoko, Krama, Krama Inggil, dan Krama Andhap, tuturan itu disebut Madya Krama. Unggah-Ungguh yang sulit diidentifikasikan adalah Mudha Krama, Kramantara, dan Wredha Krama. Ketika Unggah-Ungguh tersebut dibedakan bukan berdasarkan leksikon pembentuknya tetapi berdasarkan pemakainya. Mudha Krama, misalnya, didefinisikan sebagai tuturan yang digunakan orang muda terhadap orang tua, atau dapat juga didefinisikan sebagai bahasa anak muda terhadap orang tua, karena yang menggunakan orang muda, Unggah-Ungguh Mudha Krama menurut munculnya leksikon Krama Inggil dan Krama Andhap

31 31 disamping leksikon Krama. Itu berarti bahwa orang muda mempunyai semacam kewajiban untuk menggunakan bahasa yang paling santun kepada orang tua. Lain halnya dengan Wredha Krama. Unggah-Ungguh tersebut didefinisikan sebagai bahasa orang tua terhadap orang muda. Karena yang menggunakan tuturan ini adalah orang tua, leksikon Krama Inggil dan Krama Andhap tidak wajib muncul, tetapi kehadiran leksikon tersebut opsional. Hal itu mengisyaratkan makna bahwa tidak ada semacam kewajiban bagi orang tua untuk menggunakan bahasa yang paling santun kepada orang muda. Akibatnya, leksikon yang wajib muncul dalam Unggah-Ungguh Wredha Krama adalah leksikon Krama. Sementara itu, Unggah-Ungguh Kramantara didefinisikan sebagai Unggah-Ungguh yang berada diantara Mudha Krama dan Wredha Krama. Di dalam Unggah-Ungguh ini penutur dan mitra tutur merasa mempunyai kesejajaran sosial. Jika dilihat dari kata atau leksikon yang dirangkaikan dalam suatu tuturan, tampak bahwa kata-kata yang terdapat pada Kramantara sama seperti yang terdapat pada Wredha Krama yaitu semua berbentuk Krama. Leksikon Krama Inggil dan Krama Andhap tidak muncul dalam kedua Unggah-Ungguh ini. Walaupun bentuk atau wujud kata yang digunakan sama, yaitu semua berbentuk Krama, yang satu disebut Wredha Krama dan yang lain disebut Kramantara. Demikian juga dengan Mudha Krama dan Krama Inggil, leksikon yang terdapat dalam kedua Unggah-Ungguh tersebut sama, yaitu semuanya Krama ditambah Krama Inggil dan Krama Andhap. Ternyata, walaupun bentuk atau wujud kata yang digunakan sama, yang satu disebut Mudha Krama dan yang lain

32 32 disebut Krama Inggil. Tidak ada alasan yang cukup kuat untuk membuktikan bahwa suatu tuturan disebut Krama Inggil hanya karena di dalam tuturan tersebut terdapat leksikon Krama Inggil. Pembagian Unggah-Ungguh lainnya yang juga didefinisikan secara sematis adalah Krama Desa, basa Kedhaton, dan basa Kasar. Yang dimaksud dengan Krama Desa adalah bahasa Krama yang dipakai oleh orang yang kurang dapat berbahasa dengan benar. Sementara itu, yang disebut dengan basa Kedhaton (bahasa istana) adalah bahasa yang digunakan oleh kerabat istana atau orangorang yang berada di dalam istana dan wilayah pemakainnyapun terbatas hanya di dalam Istana, sedangkan yang dimaksud dengan basa kasar adalah bahasa yang di dalamnya terdapat leksikon yang bernilai rasa kasar. Jika dicermati lebih dalam, Krama Desa lebih tepat disebut sebagai bahasa Krama yang kurang baku atau bahasa Krama nonstandar (substandar) karena hanya kata Krama yang tidak baku, misalnya menggunaka analogi yang salah seperti kata milai dan wedos digunakan dalam percakapan sehari-hari. Penanaman Krama Desa sebenarnya merupakan olok-olok yang dilakukan orang Kota terhadap orang Desa. Saat itu, orang yang tidak dapat berbahasa dengan benar menurut ukuran orang Negari (Kota) diidentikkan dengan orang Desa sehingga bahasa Krama yang digunakannyapun disebut Krama Desa. Sementara itu, basa Kedhaton lebih tepat dikelompokkan ke dalam subdialek atau lebih dekat ke bentuk kreol daripada kedalam suatu ragam tertentu. Dalam masyarakat Jawa dewasa ini terdapat perubahan sikap, yaitu bahwa tidak semua orang bersedia menggunakan bentuk Krama kepada mitra

33 33 wicara, terutama jika mitra wicara atau O 2 merasa status sosialnya sama atau sejajar dengan yang mengajak berbicara (O 1 ). Dalam keadaan seperti itu, O 2 cenderung akan menggunakan bentuk Krama jika O1-juga menggunakan bentuk Krama. Akan tetapi, jika O 1 menggunakan bentuk Ngoko, maka O 2 pun cenderung akan menggunakan bentuk Ngoko pula. Oleh karena itu, tidak aneh jika Poedjasoedarma berpendapat bahwa bentuk Kramantara dan Wredhakrama saat ini mulai jarang terdengar. Penyebabnya diduga terdapat pergeseran parasaan status sosial, yaitu mitra wicara (O 2 ) merasa sejajar status sosialnya dengan (O 1 ). 3. Jenis leksikon dalam bahasa Jawa Terdapat perbedaan-perbedaan dalam Tingkat-Tutur bahasa Jawa, yaitu pada jenis leksikon bahasa Jawa yang terdiri atas leksikon Madya, Krama, krama Inggil, Krama Andhap, dan Ngoko. a. Leksikon Madya Leksikon Madya merupakan leksikon Krama yang kadar kehalusannya rendah. Meskipun begitu, leksikon Madya tetap menunjukkan kadar kehalusan. Leksikon Madya hanya berjumlah sekitar 50 kosakata. Pemakaian leksikon Madya sama dengan pemakaian leksikon Ngoko, yaitu, dapat dipakai oleh O 1, O 2, dan O 3. Leksikon Madya hanya digunakan dalam percakapan yang tidak resmi (informal). Beberapa contoh leksikon Madya adalah empun sudah, ampun jangan, kajenge biar/biarkan, kriyin dahulu, dan onten ada. b. Leksikon Krama Leksikon Krama merupakan bentuk halus leksikon Ngoko. Semua leksikon Krama pasti mempunyai padanan leksikon Ngoko. Leksikon Krama

34 34 dapat dibedakan menjadi dua, yaitu leksikon Krama baku dan leksikon Krama tidak baku. Leksikon Krama baku disebut sebagai leksikon Krama standar, sedangkan leksikon Krama tidak baku disebut sebagai leksikon Krama substandar. Leksikon Krama substandar lazim pula disebut dengan nama Krama desa. Munculnya leksikon Krama Desa ini dikarenakan si pembaca, entah O 1 atau O 2, kurang mengerti leksikon Krama baku. Leksikon Krama Desa ini dapat dipakai oleh O 1, O 2, dan O 3. Beberapa contoh leksikon Krama baku adalah rumiyin dahulu, benjing sesuk, siang awan, dalu malam, dan kula saya, sedangkan beberapa contoh leksikon Krama Desa atau substandar adalah kajenge biarlah, onten ada, tanglet tanya, lemantun lemari, dan konten pintu. c. Leksikon Krama Inggil Leksikon Krama Inggil merupakan leksikon yang digunakan untuk menghormati mitra wicara dengan jalan meninggikan mitra wicara. Leksikon ini hanya digunakan untuk orang lain, baik untuk orang yang diajak berbicara atau O 2 maupun untuk orang yang dibicarakan atau O 3. Leksikon ini tidak dapat digunakan oleh diri sendiri atau oleh orang pertama (O 1 ). Beberapa contoh leksikon ini adalah mustaka kepala, rikma rambut, dhahar makan, siram mandi, dan tindak pergi. d. Leksikon Krama Andhap Leksikon Krama Andhap merupakan leksikon yang digunakan untuk menghormati mitra wicara dengan jalan merendahkan diri sendiri. Leksikon ini hanya dapat digunakan untuk diri sendiri atau O 1 dan tidak dapat digunakan untuk orang lain, baik untuk orang yang sedang diajak bebicara (O 2 ), maupun untuk

35 35 orang yang sedang dibicarakan (O 3 ). Beberapa contoh leksikon ini adalah sowan menghadap, paring beri, suwun pinta, nderek ikut, dan niatur berkata. Jumlah leksikon ini hanya terbatas. Entri leksikon Krama Andhap hanya delapan, tetapi subentrinya mencapai puluhan kata. e. Leksikon Ngoko Leksikon Ngoko merupakan leksikon dasar pembentukan leksikon lain. Oleh sebab itu, leksikon ini mempunyai padanan leksikon Krama, Madya, Krama Inggil, dan/atau Krama Andhap. Beberapa contoh leksikon Ngoko adalah mata mata, cangkem mulut, linggih duduk, bojo istri/suami, nunggang naik. f. Leksikon Netral Leksikon Netral merupakan leksikon yang tidak mempunyai padanan leksikon Krama, Madya, Krama Inggil, dan/atau Krama Andhap. Leksikon ini dapat muncul pada ragam Ngoko atau Ragam Krama. Di dalam Kamus Jawa, leksikon Netral sering disebut dengan Leksikon Ngoko Krama karena leksikon tersebut dapat muncul pada tataran Ngoko dan pada tataran Krama. g. Leksikon Kasar Leksikon Kasar merupakan leksikon yang mengungkapkan makna kasar, Sudaryanto (1989: 79-87) menyebut leksikon kasar sebagai kata afektif. Leksikon ini tidak mencerminkan kesantunan. Leksikon ini dibedakan menjadi dua, yaitu leksikon yang benar-benar bermakna kasar dan leksikon kasar yang berasal dari pergeseran makna leksikon ngoko. Beberapa contoh leksikon kasar, yaitu minggat pergi, modar mati, gobog telinga, cocot mulut dan bangka mati.

36 36 4. Bentuk Tingkat Tutur Bahasa Jawa Tingkat Tutur bahasa Jawa atau yang disebut Unggah-ungguh basa Jawa oleh Sry Sasangka, dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu Ngoko (ragam Ngoko) dan Krama (ragam Krama). Kedua bentuk Unggah-Ungguh tersebut akan diuraikan berikut ini. a. Ragam Ngoko Yang dimaksud dengan ragam Ngoko adalah bentuk Unggah-Ungguh bahasa Jawa yang berintikan leksikon Ngoko, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam Ngoko adalah leksikon Ngoko bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul pada ragam inipun semuanya berbentuk Ngoko (misalnya afiks di-, -e, dan -ake). Ragam Ngoko dapat digunakan oleh mereka yang sudah akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih tinggi status sosialnya dari pada lawan bicara (mitra wicara). 1) Ngoko Lugu Yang dimaksud dengan Ngoko Lugu adalah bentuk Unggah-Ungguh bahasa Jawa yang semua kosa katanya berbentuk Ngoko dan Netral (leksikon Ngoko dan Netral). Tanpa terselip leksikon Krama, Krama Inggil, atau Krama Andhap, baik untuk O 1, O 2, maupun (O 3 ). Afiks yang digunakan di dalam raga ini adalah afiks di-, -e, dan -ake bukan afiks dipun-, -ipun, dan -aken. Afiks itu melekat pada leksiokon Ngoko dan Netral. Contoh dalam tuturan tampak seperi berikut: - Pur, aku tukokno anggur beras kencur cap Pak Jenggot! - Pur, saya belikan anggur beras kencur cap Pak Jenggot!

37 37 Contoh dalam wacana tampak seperti berikut. Jamu beras kencur iku klebu jamu tradisisonal. Jamu beras kencur ana rong warna. Ana sing kanggo perem, kang cara panganggone diwedhakake ing perangane awak kang njarem, emu, utawa benjut jalaran kethuthuk utawa kajeglug. Parem beras kencur kuwi duwe daya bisa ngilangi rasa njarem, kesel, lan gaweangeting awak kang diparemi. Jamu beras kencur itu termasuk jamu tradisional. Jamu beras kencur ada dua warna. Ada yang buat parem, yang cara penggunaannya dilulurkan di bagian tubuh yang sakit, capek, atau luka karena terbentur sesuatu. Parem beras kencur itu mempunyai daya menghilangkan rasa capek dan membuat badan hangat. 2) Ngoko Alus Yang dimaksud dengan Ngoko Alus adalah bentuk Unggah-Ungguh yang di dalamnya bukan hanya terdiri atas leksikon Ngoko dan Netral saja, melainkan juga terdiri atas leksikon Krama, Krama Inggil, atau Krama Andhap. Namun, leksikon Krama, Krama Inggil, atau Krama Andhap yang muncul di dalam ragam ini sebenarnya hanya digunakan untuk menghormati mitra wicara (O 2 atau O 3 ). Leksikon Krama Inggil yang muncul di dalam raga ini biasanya hanya terbatas pada kata benda (nomina), kata kerja (verba), atau kata ganti orang (pronominal). Jika leksikon Krama Andhap muncul dalam raga ini, biasanya leksiokon itu berupa kata kerja, dan jika leksikon Krama muncul dalam raga ini, leksikon itu biasanya berupa kata kerja atau kata benda. Afiks yang digunakan dalam Ngoko Alus meskipun melekat pada leksikon Krama, Krama Inggil, atau Krama Andhap tidak jauh berbeda bentuknya dengan afiks yang melekat pada Ngoko Lugu, yaitu menggunakan afiks penanda leksikon ngoko (di-, -e, dan -ne).

38 38 Contoh dalam tuturan tampak seperti berikut. - Simbah mengko arep tindak karo sapa? Nenek nanti akan pergi dengan siapa? Contoh dalam wacana tampak seperti berikut. Jam sepuluh Bu Prapto lan ibu-ibu liyane padha rawuh karo ngasta nyamikan. Ana sing ngasta gedhang godhog, pohung godhok, gedhang goreng, wedang kopi, teh lan liya-liyane. Ora let suwe Pak Prapto ngajak para wargane ngaso dhisik, ngicipi nyamikake ibu-ibu. Kabeh padha ngaso sinambi ngobrol ngalor-ngidul lan gegojegan. Jam sepuluh Bu Prapto dan ibi-ibu lainnya datang membawa jajanan. Ada yang membawa pisang rebus, ketela rebus, pisang goreng, minuman kopi, teh, dan lain-lainnya. Tidak lama kemudian Pak Prapto mengajak para warga istirahan dulu, merasakan nyamikan ibu-ibu. Semua istirahat sambil ngobrol kesana-kesini sambil bercanda. b. Ragam Krama Yang dimaksud dengan ragam Krama adalah bentuk Unggah-Ungguh basa Jawa yang berintikan leksikon Krama, atau yang menjadi unsur inti di dalam Ragam Krama adalah leksikon Krama bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul dalam raga ini pun semuanya berbentuk Krama (misalnya, afiks dipun-,ipun, dan -aken). Ragam Krama digunakan oleh mereka yang belum akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih rendah status sosialnya daripada lawan bicara. Ragam Krama mempunyai dua bentuk varian, yaitu Krama Lugu dan Krama Alus. Kedua varian itu berbeda secara etik, tetapi tidak berbeda secara emik. Uraian berikut ini akan membahas hal itu.

39 39 1) Krama Lugu Istilah lugu pada Krama Lugu tidak didefinisikan seperti Lugu pada Ngoko Lugu. Makna Lugu pada Ngoko lugu mengisyaratkan makna bahwa bentuk leksikon yang terdapat didalam Unggah-Ungguh tersebut semuanya berupa Ngoko. Sementara itu, lugu dalam Krama Lugu tidak diartikan sebagai suatu ragam yang semua kosakatanya terdiri atas leksikon Krama, tetapi digunakan untuk menandai suatu ragam yang kosakatanya terdiri atas leksikon Krama, Madya, Netral, dan/atau Ngoko serta dapat ditambah leksikon Krama Inggil atau Krama Andhap. Yang menjadi inti dari ragam Krama Lugu adalah leksikon Krama, Madya, Netral, dan/atau Ngoko sedangkan leksikon Krama Inggil atau Krama Andhap yang muncul dalam ragam ini hanya digunakan untuk menghormati lawan bicara. Contoh dalam tuturan: - Sampeyan napa empun nate tindak teng Wonogiri? - Sudah pernahkah Anda pergi ke Wonogiri? Contoh dalam wacana tampak dalam tuturan berikut. Menawi sampeyan wangsul teng Solo, kula aturi mempir onten griya, Mas. Niki rencanane kula kalih pake ajeng wansul onten sedherek, niku rayine pake, ajeng gadhah damel mantu njing dinten Senen Legi tanggal 11 Maret. Sing wangsul mung kula kalih pake thok, yen Sri kalih Yuni mboten wangsul, kajenge jaga waning niki timbang wira-wiri Solo Jakarta ngentek-ngentekake ragat. Bubar banjir niki lho Mas, dodolane sepen sing tumbas. Jika anda pulang ke Solo, saya persilahkan mampir kerumah, Mas. Rencananya saya dan suami akan pulang, ada saudara, itu adik suami, akan ada hajatan nanti hari Senin Legi tanggal 11 Maret. Yang pulang hanya saya dan suami saja, kalau Sri dan Yuni tidak pulang, supaya menjaga warung

40 40 daripada bolak-balik Solo-Jakarta hanya menghabiskan biaya. Setelah banjir itu lo Mas, jualannya sepi pembeli. 2) Krama Alus Yang dimaksud dengan Krama Alus adalah bentuk Unggah-Ungguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya terdiri atas leksikon Krama dan dapat ditambah dengan leksikon Krama Inggil dan Krama Andhap. Yang menjadi inti dari ragam ini hanyalah leksikon yang berbentuk Krama. Leksikon Madya dan leksikon Ngoko tidak pernah muncul di dalam Tingkat Tutur ini. Selain itu leksikon Krama Inggil atau Krama Andhap secara konsisten selalu digunakan untuk penghormatan terhadap mitra wicara. Secara semantik ragam Krama Alus dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk ragam Krama yang kadar kehalusannya tinggi. Dalam Tingkat Tutur ini afiks dipun-, ipun, dan -aken cenderung sering muncul dari pada afiks di-, -e, dan -ake. Contoh dalam tuturan tampak seperti berikut. - Para miyarsa, wonten ing giyaran punika kula badhe ngaturaken rembag bab kasusastran Jawi - Para pendengar, dalam (kesempatan) siaran ini saya akan berbicara tentang kesusasteraan Jawa. Contoh dalam wacana tampak seperti berikut: Tlatah wewengkoning Nusantara punika wiyar sanget, arupi pulo ageng-alit, maewu-ewu. Sumebaring pendhudhuk ing pulo-pulo wau boten waradin. Wonten pulo ingkang pendhudhukipun sakalangkung padhet, prasasat jejel-riyel. Umpaminipun pulo Jawi lan pulo Bali. Swatawis wonten pulo ingkang taksih sakedhik sanget pendhudhukipun. Kathah

41 41 papan ingkang taksih bawera bera, kados-kados suwung boten wonten ingkang ngenggeni. Daerah Nusantara ini luas sekali, berupa pulau besar-kecil, beriburibu. Penyebaran penduduk di pulau-pulau tidak merata. Ada pulau yang penduduknya sangat padat sampai berjejal-jejal. Contohnya pulau Jawa dan pulau Bali. Sebagian ada pulau yang pendududknya sangat sedikit. Banyak lahan yang masih kosong seperti tidak ada yang menempati. Dapat diamati, bahwa leksikon Krama Inggil dan Krama Andhap selalu mendapatkan perlakuan yang khusus, yaitu selalu digunakan untuk penghormatan terhadap lawan bicara dengan cara meninggikan orang lain dan merendahkan diri sendiri. Untuk meninggikan orang lain selalu digunakan leksikon Krama Inggil dan untuk merendahkan diri sendiri selalu digunakan leksikon Krama Andhap. Pemunculan leksikon Krama Inggil atau Krama Andhap dalam ragam Ngoko dapat mengubah ragam itu menjadi Ngoko Alus. Sementara itu pemunculan leksikon Madya dan Ngoko serta pemunculan afiks Ngoko dan klitik Madya (mang-) dalam ragam Krama dapat mengurangi kadar kehalusan ragam itu, atau dengan kata lain pemunculan afiks Ngoko dan klitik Madya dalam ragam Krama dapat mengubah Krama Inggil menjadi Krama Lugu. Berdasarkan beberapa uraian tentang kajian tingkat tutur bahasa Jawa dari beberapa ahli yang telah dijelaskan sebelumnya, peneliti dalam menganalisis data penelitian, maka peneliti lebih berkiblat pada pendapat Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka dalam Ungguh-Ungguh Bahasa Jawa (2010). Secara ringkas dapat dikatakan bahwa unggah-ungguh bahasa Jawa secara emik terdiri atas ngoko dan krama, sedangkan secara etik unggah-ungguh bahasa Jawa terdiri atas ngoko lugu dan ngoko alus; krama lugu dan krama alus.

42 42 5. Peran Guru dalam Pembelajaran Tingkat Tutur Bahasa Jawa Kemampuan tingkat tutur berkaitan dengan kemampuan komunikasi lisan seseorang pada hal ini berkaitan dengan kemampuan lisan bahasa Jawa. Dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Kemampuan Komunikasi Lisan Bahasa Jawa Kemampuan komunikasi lisan bahasa Jawa meliputi konsep kemampuan, dan komunikasi lisan. 1) Konsep Kemampuan Gagne dan Briggs (1974: 57) mengemukakan bahwa kemampuan adalah hasil belajar yang diperoleh pembelajar setelah mengikuti suatu proses belajar mengajar. Suatu kemampuan adalah suatu kekuatan untuk menunjukkan suatu tindakan khusus atau tugas khusus, baik secara fisik atau mental (Sternberg, 1994: 3). Tentu saja tugas yang berbeda menuntut kemampuan yang berbeda juga. Selaras dengan itu, Warren (1994:1) mengartikan kemampuan sebagai kekuatan untuk menunjukkan tindakan responsif, termasuk gerakan-gerakan terkoordinasi kompleks dan pemecahan problem mental. Menurut Chaplin (2000: 1). Kemampuan diartikan sebagai kecakapan, ketangkasan, bakat, kesanggupan, tenaga (daya kekuatan) untuk melakukan suatu perbuatan. Sementara itu, Eysenck, Arnold, dan Meili (1995: 5) mengemukakan bahwa kemampuan adalah suatu pertimbangan konseptual. Selanjutnya, mereka mengatakan bahwa kemampuan berarti semua kondisi psikologi yang diperlukan untuk menunjukkkan suatu aktivitas.

43 43 Selain pendapat diatas, kemampuan bisa merupakan kesanggupan bawaan sejak lahir, atau merupakan hasil latihan atau praktek. Senada dengan itu, Fuad Hassan (1991: 43) mengartikan kemampuan sebagai suatu kesanggupan atau kecakapan. Sternberg dan Warren memiliki kesamaan dalam mengemukakan pengertian tentang kemampuan, yakni kemampuan adalah suatu kekuatan untuk menunjukkan suatu tindakan responsif. Chaplin dan Fuad Hassan mengemukakan bahwa kemampuan merupakan suatu kesangguapan untuk melakukan suatu perbuatan. Adapun Eysenck, Arnold, dan Meili mengemukakan pengertian kemampuan adalah suatu pertimbangan konseptual dalam arti semua kondisi psikologi yang diperlukan untuk menunjukkan suatu aktifitas. Kemampuan merupakan perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Menurut penjelasan Charles E Johnsons, seperti yang dikutip oleh Ace Wijaya dan Tabrani Rusyan (1994: 8) seorang yang dinyatakan kompeten dalam bidang tugas atau kerja tertentu adalah seseorang yang menguasai kecakapan dari bidang tersebut. Sebagai tenaga pendidik, Guru melaksanakan fungsi profesi. Oleh karena itu, agar dalam menjalankan fungsi profesi dapat berhasil dengan baik, Guru harus memiliki kemampuan tertentu, baik kemampuan dasar umum maupun kemampuan khusus. Kemampuan dasar umun adalah kemampuan yang memberi dukungan positif terhadap pelaksanaan tugas profesinya dengan kata lain memiliki kualifikasi profesional. Kemampuan khusus Guru bahasa Jawa harus memiliki kemampuan khusus tertentu, antara lain: (1) memiliki kualitas memadai dalam

44 44 pemahaman Tingkat Tutur bahasa Jawa, (2) memiliki tekad untuk menumbuh kembangkan pemakaian Tingkat Tutur bahasa Jawa dengan baik dan benar terutama dimulai dari anak didik. Berpijak pada beberapa pendapat para ahli di atas, kemampuan adalah suatu kekuatan yang diperlukan untuk menunjukkan suatu tindakan atau aktivitas. 2) Pengertian Komunikasi Lisan Burhan Nurgiyantoro (1988: 252) menyatakan bahwa berbicara merupakan aktivitas berbahasa kedua yang dilakukan manusia dalam kehidupan berbahasa, yaitu setelah aktivitas mendengarkan. Berdasarkan bunyi-bunyi (bahasa) yang didengarkannya, kemudian manusia belajar mengucapkan dan akhirnya mampu berbicara. Dalam kegiatan berbicara diperlukan penguasaan terhadap lambang bunyi baik untuk keperluan menyampaikan maupun menerima gagasan. Menurut Henry Guntur Tarigan (1985: 15) berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, neorologis, semantik, dan linguistik sedemikian ekstensif. Sehingga secara luas dapat dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi control sosial. Pada saat melakukan aktifitas berbicara pada hakikatnya seseorang menerapkan berbagai kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki secara total dalam suatu konteks yang dinamis. Menurut Bygate (1987: 3) berbicara mencakup keterampilan perspektif motorik dan keterampilan interaksi. Brown (1996: 5) menyebutkan bahwa, pembicara harus memantau apa yang baru saja dikatakannya, dan menentukan apakah itu sesuai dengan

45 45 maksudnya, pada waktu ia mengucapka dan memantau kata-kata yang sedang diucapkannya, sekaligus merencanakan ujarannya yang berikut serta menempatkan itu ke dalam keseluruhan pola mengenai apa yang ingin dikatakannya dan selain itu memantau tidak hanya performance-nya atau penampilannya sendiri, tetapi juga penerimaan oleh pendengarnya. Mulgrave, dalam Henry Guntur Tarigan (1984: 15) mengemukakan berbicara adalah suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun serta dikembangkan, sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak. Lebih jauh dikatakan berbicara merupakan instrumen yang mengungkapkan kepada penyimak hampir-hampir secara langsung apakah sang pembicara memahami atau tidak, baik bahasa pembicaranya maupun bagi penyimaknya. Berdasarkan beberapa konsep di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud komunikasi lisan (berbicara) adalah aktivitas berbahasa yang dilakukan manusia dalam kehidupan sehari-hari yang bertujuan menyampaikan informasi dengan menggunakan kalimat efektif sehingga pesan yang disampaikan dapat diterima secara cepat. 3) Hakikat Kompetensi Guru Menurut Loise Moqvist (2003) mengemukakan Competency has been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work. Sementara itu, dari Training Agency sebagaimana disampaikan Len Holmes (1992) menyebutkan bahwa: A competence is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is a

46 46 description of an action, behavior or outcome which a person should be able to demonstrate. Kompetensi pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan sesorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan. Kompetensi guru dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seeorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan. Lebih jauh, Raka Joni sebagaimana dikutip oleh Suyatno dan Djihad Hisyam (2000) mengemukakan tiga jenis kompetensi guru, yaitu sebagai berikut. 1. Kompetensi profesional; memiliki pengetahuan yang luas dari bidang studi yang diajarkan, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses belajar mengajar yang diselenggarakannya. 2. Kompetensi kemasyarakatan; mampu berkomunikasi, baik dengan siswa, sesama guru, maupun masyarakat luas. 3. Kompetensi personal; yaitu memiliki kepribadian yang mantap dan patut diteladani. Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang, menjalankan peran: ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantun dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu sebagai berikut.

47 47 1. Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemmapuan dalam pengelolan peserta didik yang meliputu: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahamn terhadap peserta didik; (c) pengembangan kurikulum/silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. 2. Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan. 3. Kompetensi sosial, yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk: (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi kumunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik; (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar. 4. Kompetensi professional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajasionar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan

48 48 sehari-hari; (e) kompetesi secara professional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional. b. Pengertian Mengajar Mengajar merupakan salah satu tugas profesi guru yang utama di sekolah. Nasution (2000: 4) mengemukakan beberapa pengertian mengajar: (1) Mengajar adalah menanamkan pengetahuan pada anak, (2) Mengajar adalah menyampaikan kebudayaan pada anak, (3) Mengajar adalah suatu aktifitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungknya dengan anak sehingga terjadi proses pelajar. Dapat dijelaskan bahwa, definisi 1dan 2 lebih bersifat teacher-centered, sehingga anak bersikap pasip. Definisi 3 lebih bersifat pupil-centered, dalam definisi ini guru hanya berfungsi sebagai fasilitator, pembimbung dan pengatur lingkungan belajar, sehingga terbentus suasana yang sebaik-baiknya bagi anak untuk belajar. Hakikat mengajar atau teaching adalah membantu para pelajar memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk mengekspresikan dirinya, dan cara-cara belajar bagaimana belajar (Joyce dan Weil 1996: 22). Sedangkan Gagne, Briggs, dan Wager (1983: 3) menyatakan sebagai berikut: instruction is a set events that affect learners in such a way that learning is facilitated. Sedangkan pendapat Burton yang dikutip Uzer Usman (2000: 6) menyatakan bahwa teaching is the guidance of learning activities. Selanjutnya User usman sendiri mendifinisikan pengertian mengajar sebagai berikut: mengajar

49 49 adalah suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan proses belajar. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa mengajar adalah suatu kegiatan dan usaha dalam membimbing, memfasilitasi, mengatur lingkungan belajar yang sebaik-baiknya bagi anak sehingga terbentuk suasana belajar yang nyaman dan efektif. 1) Tugas dan Peran Guru Dalam proses pembelajaran peranan dan tugas seorang guru adalah sangat strategis di samping tugas-tugas lain yang sangat komplek. Guru mempunyai tugas cukup banyak, baik yang bersifat kedinasan maupun di luar kedinasan (Moh Uzer Usman, 2000: 6). Dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) Tugas dalam bidang profesi, (2) Tugas kemanusiaan, (3) Tugas dalam bidang kemasyarakat. Tugas guru sebagai profesi meliputi, mengajar maupun melatih. Tugas guru sebagai jiwa kemanusiaan, guru harus menjadi orang tua kedua dan menjadi panutan anak didik. Sedangkan dalam bidang kemasyarakatan seorang guru harus bisa mendidik dan mengajar di lingkup masyarakat dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. 2) Kemampuan Mengajar Guru Guru harus memiliki kemampuan profesional agar dapat melaksanakan tugas dengan baik. Cooper yang dikutip Nana Sudjana (1989: 17) mengemukakan kemampuan dasar yang harus dikuasai guru, yaitu: (1) Mengetahui pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia, (2) Mempunyai pengetahuan dan

50 50 menguasai bidang studi yang dibinanya, (3) Mempunyai sikap yang tepat tentang diri sendiri, sekolah, teman sejawat dan bidang studi yang dibinanya, (4) Mempunyai ketrampilan teknik mengajar. Sejalan juga dengan Glasser yang dikutip Nana Sudjana (1989: 18) menyatakan adanya 4 (empat) kemampuan dasar yang harus dikuasai guru dalam mengajar: (a) Menguasai bahan pelajaran, (b) Mendiagnosa tingkah laku siswa, (c) Kemampuan melaksanakan proses pengajaran, (d) Kemampuan mengukur hasil belajar siswa. Dari 4 (empat) konsep yang telah dikemukakan, sebenarnya kemampuan guru dalam mengajar berkaitan dengan pengalaman mengajar. Pengalaman adalah guru yang baik. Hal ini juga berlaku dalam mengajar. Semakin berpengalaman dalam mengajar seorang guru akan semakin peka dalam memilih metode, menyusun dan menggunakan strategi pembelajaran, maupun dalam penguasaan materi pelajaran. Pengalaman adalah proses untuk memperoleh pengetahuan atau ketrampilan dengan mengerjakan atau melihat. (Hornby, 1974: 78). Begitu juga pendapat Wisnubrata (1983: 47) menyatakan bahwa pengalaman adalah segala kejadian yang secara sengaja dialami oleh seseorang. Dali Galo (1989: 24) menyatakan bahwa pengalaman atau experience diartikan sebagai riwayat yang dialami suatu organism pada saat yang lampau. Benyamin Bwalman (1973: 31) Experience is skill or understanding which is the result of living through something or of practice or of participation in something. Joyce dan Weil yang dikutip Toeti Sukamto (1997: 79) mengatakan bahwa hakekat mengajar adalah usaha membantu para pelajar memperoleh

51 51 informasi, ide, ketrampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk mengekspresikan dirinya dan cara-cara belajar. Sejalan dengan pendapat Ali Imron (1995: 167) mengajar merupakan suatu usaha yang memungkinkan siswa belajar. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud pengalaman mengajar adalah segala kemampuan, keterampilan, maupun nilainilai yang diperoleh seorang guru melalui partisipasi atau keterlibatannya secara langsung selama mengajar. jadi untuk memperoleh atau meningkatkan pemahaman, keterampilan dan nilai-nilai mengajar yang lebih baik seorang guru perlu belajar melalui pengalaman kerja yang mereka lakukan. 3) Pengertian Pembelajaran Bahasa Jawa Pengajaran bahasa Jawa di sekolah perlu didasarkan pada bahasa Jawa sebagai bahan pembelajaran bahasa, hasil pembelajaran bahasa, dan pengajaran bahasa. Bahasa Jawa sebagai bahan pembelajaran bahasa adalah kesatuan antara sistem dan kaidah, fungsi, dan realisasinya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa. Sebagai bentuk kesatuan itu, maka bahasa Jawa harus dipelajari selaras dengan pengalaman kebahasaan sebagaimana ditemukan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Jawa sebagai bahasa daerah merupakan bahasa pertama yang dikenal oleh anak, dipelajari oleh anak secara alamiah dari lingkungna hidupnya. Cara belajar demikian tidak hanya menghasilkan pemerolehan bahasa lahiriah, tetapi meliputi juga sendi-sendi bahasa yang paling dalam. Pemerolehan bahasa tidak hanya terbatas struktur bahasa tetapi menyentuh pula aspek rasa bahasa.

52 52 Bahasa Jawa sebagai hasil pembelajaran berarti seperti diungkapkan Hatch (1978) merupakan kemampuan berinteraksi dengan menggunkan bahasa Jawa dalam peristiwa komunikasi; atau bila diturunkan dari pendapat Littlewood (1981) berupa kompetensi kontekstual dan sosiolinguistik (fungsional) disamping kompetensi linguistik. Kompetensi konstektual berupa kepemilikan kemampuan memanfaatkan bahasa Jawa sesuai dengan kebutuhan. Kompetensi sosiolinguistik berupa kepemilikan kemampuan menggunakan bahasa Jawa yang berterima sesuai etika sosial. Kompetensi linguistik merupakan kepemilikan pengetahuan tentang struktur bahasa Jawa. Bahasa Jawa sebagai sistem pengajaran perlu dimaknai sebagai bentuk pengajaran bahasa yang tidak hanya melihat bahasa Jawa dari sisi strukturnya, tetapi juga dari sisi fungsi komunikatif yang dibutuhkan, dapat dimanfaatkan, dan dapat dimainkan pembelajar. Pembelajaran bahasa Jawa harus langsung dipraktekkan di dalam kehidupan sehari-hari, terutama pembelajaran pada siswa. Perpaduan antara kemampuan bahasa dan keterampilan berbahasa merupakan modal dasar dalam usaha untuk memperoleh kemampuan komunikatif (Hymes, 1972). Pembelajaran bahasa Jawa di sekolah terutama dalam kompetensi dasar unggah-ungguh basa diberikan kepada siswa sejak Pendidikan Usia Dini sampai Pendidikan Menengah Atas bahkan pada tingkat Perguruan Tinggi. Sehingga tes untuk mengetahui perbedaan penguasaan tingkat tutur bahasa Jawa siswa yaitu dengan penugasan (pemberian tugas) praktik bercakap-cakap.

53 53 C. Kerangka berpikir Tingkat tutur bahasa Jawa yaitu tingkah laku berbicara yang perbedaanperbedaanya ditentukan menurut adat sopan santun masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan unggah-ungguh basa merupakan alat untuk menciptakan jarak sosial, namun disisi lain juga merupakan produk dari kehidupan sosial. Struktur bahasa yang mengenal unggah-ungguh basa merupakan pantulan dari struktur masyarakat yang mengenal tingkatan-tingkatan sosial atau stratifikasi sosial. Yang dimaksud dengan ngoko alus adalah bentuk unggah-ungguh yang di dalamnya bukan hanya terdiri atas leksikon ngoko dan netral saja, melainkan juga terdiri atas leksikon krama inggil, krama andhap, dan krama. Yang dimaksud krama lugu adalah suatu ragam yang kosakatanya terdiri atas leksikon krama, tetapi digunakan untuk menandai suatu ragam yang kosakatanya terdiri atas leksikon krama, madya, netral, atau ngoko serta dapat ditambah leksikon krama inggil atau krama andhap. Krama alus adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua kosa katanya terdiri atas leksikon krama dan dapat ditambah dengan leksikon krama inggil atau krama andhap. Meskipun begitu, yang menjadi leksikon inti dalam ragam ini hanyalah leksikon yang berbentuk krama. Leksikon krama inggil atau krama andhap secara konsisten selalu digunakan untuk penghormatan terhadap mitra wicara. Secara semantis ragam krama alus dapat didefinisikan sebagai suatu ragam krama yang kadar kehalusannya tinggi.

54 54 Kompetensi Guru bahasa Jawa dalam berbahasa atau penguasaan Tingkat Tutur dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari diri Guru (internal), maupun yang berasal dari luar diri Guru (eksternal). Faktor internal yang dimaksud seperti kemampuan Guru di dalam menguasai materi tingkat tutur atau unggah-ungguh basa keterlibatannya dalam pemakaian bahasa sehari-hari baik di masyarakat atau di sekolah. Faktor eksternal yang mempengaruhi Guru dalam penguasaan kompetensi bidang tingkat tutur bahasa Jawa, misalnya sarana, kondisi siswa, dan lingkungan sekolah. Berikut disampaikan bagan kerangka berpikir dalam penelitian ini. Tingkat Tutur Kajian Tingkat Tutur Bahasa Jawa Ragam Ngoko Alus Ragam Krama Lugu Ragam Krama Alus Kompetensi Guru Mengimplementasikan Pembelajaran Tingkat Tutur di Sekolah Bagan 4. Bagan Kerangka Berpikir

55 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di: (1) SD Negeri Patihan Kecamatan Mangunharjo, (2) SD Negeri 05 Madiun Lor Kecamatan Mangunharjo, (3) SD Negeri Kejuron Kecamatan Taman, (4) SD Negeri 01 Josenan Kecamatan Taman, (5) SD Negeri 02 Kanigoro Kecamatan Kartoharjo, (6) SD Negeri 02 Kartoharjo Kecamatan Kartoharjo. Beberapa pertimbangan dipilihnya sekolah tersebut sebagai tempat penelitian adalah: Pertama, Kota Madiun terdiri dari tiga Kecamatan, kemudian diambil sampel dalam satu Kecamatan dua SD Negeri. Kedua, sekolah-sekolah tersebut termasuk sekolah dengan akreditasi A. Lokasi penelitian di Kecamatan Mangunharjo yaitu SD Negeri 05 Madiun Lor lokasinya berada di pusat Kota dekat dengan pasar besar dan supermarket. SD Negeri Patihan lokasinya terletak di sebelah utara dari pusat Kota. Lokasi penelitian di Kecamatan Kartoharjo yaitu SD Negeri 02 Kanigoro lokasinya terletak paling timur dari pusat Kota. SD Negeri 02 Kartoharjo lokasinya juga terletak di pusat Kota bersebelahan tepat dengan SD Negeri 05 Madiun Lor tetapi sudah berbeda Kecamatan. Lokasi penelitian di Kecamatan Taman yaitu SD Negeri 01 Josenan lokasi sekolah termasuk terletak paling selatan dari pusat Kota, dan SD Negeri Kejuron terletak di tengah-tengah Kota dekat dengan Pasar Besar. 55

56 56 Beberapa pertimbangan dipilihnya guru pada masing-masing sekolah tersebut adalah: (1) perbandingan antara guru yang berasal asli dari Jawa Tengah dan guru yang berasal dari asli Jawa Timur, (2) dari faktor usia mewakili guru yang masih berusia kurang dari 30 tahun dan guru yang berusia lebih dari 30 tahun, (3) lulusan sarjana dari Perguruan Tinggi Negeri dan lulusan dari Perguruan Tinggi Swasta. 2. Waktu Penelitian Penelitian tentang kemampuan tingkat tutur bahasa Jawa pada guru Bahasa Jawa di SD Negeri di Kota Madiun dilakukan mulai bulan Mei sampai dengan bulan Oktober Adapun jadwal penelitian dan kegiatan-kegiatannya tampak pada matrik sebagai berikut: Jadwal Penelitian No Kegiatan 1 Penyusunan Proposal 2 Seminar Proposal 3 Observasi Awal 4 Pengumpulan data 5 Analisis dan Verifikasi data 6 Penyusunan dan Laporan hasil Penelitian Mei Juni Juli Agustus September Oktober

57 57 B. Bentuk dan Strategi Penelitian Berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, yang lebih menekankan pada masalah proses dan makna, maka jenis penelitian dengan strateginya yang terbaik adalah penelitian kualitatif deskriptif (Sutopo, 2002: 183). Moleong (1991:7) mengemukakan bahwa penelitian yang lebih banyak mementingkan segi proses daripada hasil disebut penelitian kualitatif. Jenis penelitian ini mampu mengungkap berbagai informasi dengan deskripsi yang lebih teliti dan melihat aspek manusia secara lebih substansial daripada aspek atributif. Strategi yang dipilih adalah strategi studi kasus (Noeng Muhadjir, 1996: 43). Studi kasus dipilih karena merupakan strategi yang paling cocok untuk menjawab pertanyaan Bagaimana dan Mengapa sehingga dapat mengklarifikasikan secara tepat hakekat pertanyaan dalam penelitian (Yin dalam Sutopo, 2002: 183). Studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus tunggal terpancang, karena fokus penelitian telah ditentukan sebelum peneliti terjun menggali informasi data di lapangan yaitu kemampuan guru dalam pemakaian tingkat tutur bahasa Jawa. C. Data dan Sumber Data 1. Data Penelitian Data yang diperoleh untuk disusun, diolah, dan dikumpulkan merupakan data kualitatif. Data penelitian ini berupa data tulis ragam ngoko alus, krama lugu,

58 58 krama alus yang berupa soal, dan tuturan bahasa Jawa guru SD Negeri di Kota Madiun. Diperoleh melalui informasi lisan dan tulis yang didalamnya terdapat ketiga ragam tersebut. 2. Sumber data Penelitian Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah (a) informan/nara sumber yaitu guru bahasa Jawa dari SD Negeri 05 Madiun Lor Kecamatan Mangunharjo bernama Ibu Erna Ratnawati S.Pd, SD Negeri Patihan Kecamatan Mangunharjo bernama Ibu Rahayu Sih Sejati, S.Pd, SD Negeri 02 Kanigoro Kecamatan Kartoharjo, Bapak Nasrullah, S.Pd, SD Negeri 02 Kartoharjo Kecamatan Kartoharjo, Ibu Sriana Mardikawati, S.Pd, SD Negeri 02 Josenan Kecamatan Taman, Ibu Yeny Yudha, S.Pd, SD Negeri Kejuron Kecamatan Taman, Ibu Triasih, S.Pd, (b) kegiatan dan peristiwa pembelajaran yaitu proses pembelajaran bahasa Jawa di dalam kelas, (c) soal-soal tentang tingkat tutur bahasa Jawa ragam ngoko alus, krama lugu, krama alus yang dikumpulkan. Ada beberapa soal yang dibagikan ketika guru berada di sekolah masing-masing, dan ketiga ketika diadakan kegiatan rutin agenda bulanan kegiatan Kelompok Kerja Guru, serta pengamatan langsung ketika guru mengajar di dalam kelas. Soal tersebut dibagikan agar dijawab untuk mengetahui sejauh mana kemampuan guru tersebut mengenai ketiga tingkat tutur bahasa Jawa tersebut. D. Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan bentuk penelitian kualitatif dan jenis data yang digunakan, maka teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan:

59 59 1. Wawancara Wawancara mendalam (In-depth Interviewing). Wawancara jenis ini bersifat lentur, tidak dalam suasana formal dan bisa dilakukan berulang-ulang pada informan yang sama (Sutopo, 1996: 137). Pertanyaan yang diajukan bisa makin terfokus sehingga informasi yang bisa dikumpulkan makin rinci dan mendalam (Sutopo, 2002: 184). Kelonggaran dan kelenturan cara ini akan mampu mengorek kejujuran informan untuk memberikan informasi yang sebenarnya, terutama yang berkaitan dengan perasaan, sikap, dan pandangan mereka pada semua informasi. Wawancara ini dilakukan pada informan yang diperlukan yaitu: guru bahasa Jawa untuk mencari keterangan tentang kemampuan guru dalam pemakaian tingkat tutur bahasa Jawa. Kegiatan ini semua dilaksanakan selama peneliti mencari data yang dibutuhkan sebagai bahan laporan, dengan cara merekam, mewawancarai, dan mencatat semua yang dituturkan oleh narasumber. 2. Observasi Pengamatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengamatan berperan pasif. Dalam observasi ini peneliti hanya mendatangi lokasi, tetapi sama sekali tidak berperan sebagai apapun selain sebagai pengamat pasif, namun hadir dalam konteksnya (Sutopo, 2002: 66). Hal ini bertujuan untuk mengamati kemampuan guru dalam pembelajaran bahasa Jawa terutama kajian tingkat tutur yang berlangsung di masing-masing sekolahan yang menjadi tempat penelitian.

60 60 3. Tes tertulis Tujuan tes tertulis untuk mengetahui kebenaran dalam penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa ragam ngoko alus, krama lugu, krama alus. E. Teknik Cuplikan (Sampling) Dari berbagai sumber bahwa SD Negeri di Kota Madiun cukup banyak. Dalam satu Kota Madiun terdiri dari tiga Kecamatan, yaitu Kecamatan Mangunharjo, Taman, dan Kartoharjo. Dalam satu Kecamatan Mangunharjo terdapat 18 SD Negeri, Kecamatan Taman terdapat 18 SD Negeri, dan Kecamatan Kartoharjo terdapat 19 SD Negeri, baik kelas gemuk ataupun kurus. Untuk mempermudah dalam pengolahan data, maka peneliti mengambil teknik sampling atau cuplikan dengan menggunakan purposive sampling. Karena dilakukan secara purposive, maka dari seluruh SD Negeri yang ada di Kota Madiun, dipilih setiap Kecamatan dua SD Negeri, dikandung maksud bahwa di SD Negeri tersebut guru yang dapat dijadikan nara sumber atau informan sudah sesuai dengan tujuan dan maksud peneliti. Dalam pemilihan informan sebagai nara sumber, peneliti melakukan dengan cara selektif dan fleksibel. Selektif maksudnya bahwa nara sumber sebagai informan adalah benar-benar dapat memberikan keterangan yang aktual, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber informasi yang jelas. Sesuai cara pemilihan informan dilakukan secara fleksibel yang berarti bahwa dalam melaksanakan pengumpulan data pemilihan dan penetapan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan sepanjang masih ada keterkaitan dengan

61 61 yang diteliti. Misalnya mencari data langsung pada setiap Guru memberi pelajaran bahasa Jawa. F. Teknik Validasi Data Trianggulasi adalah teknik pemeriksaaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2000: 178). Teknik trianggulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah trianggulasi sumber data dan trianggulasi metode pengumpulan data. Dalam kaitannya dengan trianggulasi sumber data, peneliti mengutamakan pengecekan informasi dan data hasil tes tertulis. Informasi yang diperoleh dari seorang informan dicek silang dengan informasi serupa dari informan lain. Suatu informasi diakui kebenarannya apabila disepakati oleh para informan. Dalam kaitannya dengan trianggulasi metode, peneliti mambandingkan informasi yang diperoleh dari suatu teknik/metode pengumpulan data dengan informasi serupa yang diperoleh dengan teknik/metode lainnya. G. Teknik Analisis Data Dari berbagai teknik dalam laporan teknik analisis data berupa analisis struktural dan model interaktif (interaktif mode of analysis) yang dikembangkan oleh Miles dan Hubremen. Analisis model interaktif melalui tiga hal, yaitu reduksi data (reductions data), penyajian data (data display), dan penarikan simpulan (conclusion drawing). Untuk lebih jelas, maka analisis model interaktif tersebut di bawah ini digambarkan diagram cara atau langkah kerjanya.

62 62 Pengumpulan Data Penyajian Data Reduksi Data Penarikan Simpulan/Verifikasi Bagan 5. Analisis Model Interaktif

63 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Pada hasil penelitian berikut, ada beberapa soal berupa ragam ngoko alus, krama lugu, krama alus yang diujikan kepada masing-masing guru bahasa Jawa. Karena data yang disajikan banyak dan beragam maka pada data dipilih berupa jawaban-jawaban salah yang ditemukan di dalam masing-masing soal yang sudah dikerjakan. 1. Soal A1 ragam ngoko lugu yang diubah ke ragam ngoko alus. (1) Mentri pendhidhikan sing anyar iki jênêngé sapa? (5) Kaé bapakmu gék maca ning kamar. (7) Yén mung kaya ngono waé, dhéwéké mêsthi ya bisa! (8) Dhik, tulisanmu mênêng-mênêng akéh sing sênêng, lho! (11) Coba ta dipikir dhisik aja grusa-grusu (13) Kapan mulihé, Nak? (14) Bu,iki biyén kanca kuliahku, saiki anaké wis têlu tur wis gêdhé-gêdhé. (15) Bu, aku njaluk tulung iki mêngko diwénéhaké Dhik Bondhan si Klapa Manis. (16) Mbak, yén mulih mênyang Jepara aku dijalukaké dhuwit marang Ibu, ya? 2. Soal A2 ragam ngoko lugu yang diubah ke ragam krama alus (2) Kowé sida arêp ngêjak aku ora, Mas? (7) Yén mung kaya ngono waé, dhéwéké mêsthi ya bisa! 63

64 64 (8) Dhik, tulisanmu mênêng-mênêng akéh sing sênêng, lho! (13) Kapan mulihé, Nak? (14) Bu,iki biyén kanca kuliahku, saiki anaké wis têlu tur wis gêdhé-gêdhé. (15) Bu, aku njaluk tulung iki mêngko diwénéhaké Dhik Bondhan si Klapa Manis. 3. Soal B ragam ngoko lugu yang diubah ke ragam krama lugu, dan ragam krama alus (1) Kowé têkaa wingi, aku nanggap wayang. (2) Dhéwéké mbok muliha sadhéla, aku wis kangên. (3) Dikandhanana, Mbak Darmi durung mêsthi teka, amarga sésuk arêp ujian. (5) Kalungé wis dituku adhimu. (11) Lirih waé, mundhak dirungokaké bojomu! (12) Wis, kokgawakaké tas sing cilik iki waé! (13) Anakmu dakturokné, mara yén arêp dikêloni! (14) Murid-murid dakkandhanané mênawa sésuk libur. (15) Panganan iki gawanên mulih waé! (16) Sing tunggu omah gawakna panganan iki! 4. Soal C ragam ngoko lugu yang diubah ke ragam krama alus (3) Pak Ali akon Bu Tini supaya ngumpulaké kanca-kanca guru. (6) Êmbah lanang nalika isih urip sênêng rokok krètèg (12) Pak Bambang dakwênéhané foto sing apik-apik. (13) Panjalukku, kowé prayoga mulih waé!

65 65 (14) Ibu Kadés mènèhi pawarta nganggo tilpun marang Ibu Camat manawa dhayoh saka Kabupaten wis padha têka. (15) Ibu Camat mènèhi pawarta nganggo tilpun marang Ibu Kadés Manawa dhayoh saka Kabupaten wis padha têka. (19) Ibu Camat mènèhaké tandha-mata marang Ibu Kadés 5. Soal D1 leksikon ngoko lugu yang diubah ke leksikon krama inggil No soal Ngoko Lugu Krama Inggil No Soal Ngoko Lugu 7 ngadhêp 59 bacut 9 adol 60 mbacutaké 11 ngaji 61 kêbacut 12 ngajéni 62 baé 13 pangaji 63 baku 18 ngaku 65 mbaléni 19 ngakoni 69 kebangêtên 27 kamban(ên) 71 kebanjiran 34 kaanan 78 barêp,(pa)mbarêp 35 ngandêl 84 kabisan 36 antara 85 bobot 41 apa dené 89 bubrah 44 ngapiki 91 bukak 46 ngapik-apik 95 buru 50 ngarani 96 mburu 58 ngarêp-arêp Krama Inggil 6. Soal D2 leksikon ngoko lugu yang diubah ke leksikon krama inggil No Krama No Ngoko Lugu Soal Inggil Soal Ngoko Lugu 4 cêndhèk 53 êndhék 8 pacoban 55 ngênggoni 17 dandan 57 ênya 20 kêdawan 59 gaman Krama Inggil

66 66 21 désa 63 nggatékaké 22 ndésani 67 gêni 23 padésan 70 godhong 26 ndhéwé 71 gegodhongan 27 ndhéwéki 75 guna 28 dhéwékan 79 guyon 31 kêdhisikan 82 kélangan 35 dinan 84 isin 37 sadina-dina 85 ngisin-isinaké 38 dluwang 87 iwak 47 pasaduluran 89 kalah 48 durung 90 ngalah 49 sadurungé 91 kêsusus 52 kêpénak No Ngoko Lugu Krama Lugu Krama Inggil 23 Metak Undha-usuk bahasa jawa yang berupa bagian tubuh ( peranganing awak ) No Ngoko Lugu Krama Lugu Krama Inggil 1 alis 4 bangkèkan 5 bathuk 8 cengel 10 dhengkul 12 Geger 13 griwa 14 gulu 15 idep 16 grana 17 kuku 18 lambé 19 soca; tingal 20 sikil

67 67 a) Kemampuan Guru Bahasa Jawa di SD Negeri Kota Madiun dalam Pemakaian Tingkat Tutur Ragam Ngoko Alus, Krama Lugu, dan Krama Alus. Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana kemampuan tingat tutur khususnya ragam ngoko alus, krama lugu, krama alus guru bahasa Jawa di SD Negeri Kota Madiun, pada hasil penelitian ini akan diilustrasikan dan dijelaskan kesalahan yang ditemukan pada tiap-tiap soal yang diujikan kepada masing-masing guru bahasa Jawa untuk mengukur dan membandingkan, sehingga dapat diketahui sejauh mana kemampuan guru tersebut dalam pemakaian tingkat tutur bahasa Jawa. Lembar soal pertama yang diberikan sebanyak 20 butir soal dibagi menjadi jenis soal A1, A2, B, dan C, lembar soal kedua jenis soal D1, D2, E1, E2, dan lembar soal ketiga. Untuk mengetahui kemampuan guru tersebut dalam pemakaian tingkat tutur yang diaplikasikan berupa soal, peneliti di sini menggunakan scor nilai dengan kategori A (baik sekali) antara nilai , B (baik) antara nilai 71-85, C (cukup) antara nilai 56-70, D (kurang) antara nilai 41-55, E (sangat kurang) nilai kurang dari 40, sebagai alat ukur penilaian. Tiap butir soal jika jawaban benar mendapat nilai 10, jika salah sebagian mendapat scor nilai 5, dan jika salah semua mendapat scor nilai 0. Pembahasan sebagai berikut:

68 68 (1) Analisis soal berupa kalimat yang menggunakan ragam ngoko lugu diubah ke ragam ngoko alus. Jenis soal A1 (a) Guru di SD Negeri Patihan Kecamatan Mangunharjo. Gambar 1 Kegiatan mengerjakan soal tingkat tutur oleh Ibu Rahayu Sih Sejati Diujikan kepada guru tersebut sebanyak 20 soal yaitu mengubah bahasa Jawa ragam ngoko lugu menjadi bahasa Jawa ragam ngoko alus. Setelah diteliti dan dinilai guru tersebut dalam mengerjakan soal, sudah banyak yang benar sehingga nilai yang diperoleh sudah mencapai standar ketuntasan yaitu 85 (baik), pada analisis soal terdapat dua jawaban yang kurang sesuai. Yaitu pada butir soal nomer (5) Kae bapakmu gek maca ning kamar (ngoko lugu) Itu bapak kamu sedang membaca di dalam kamar. Kemudian diubah oleh guru tersebut menjadi Kae bapakmu gek maos ing kamar (ngoko alus). Kata Maca (ngoko lugu) membaca (verba) sudah sesuai diubah menjadi maos (krama inggil). Kesalahan terdapat pada panambang-mu

69 69 (akhiran-mu) kamu yang melekat pada kata bapak-mu (ngoko lugu) bapak kamu seharusnya diubah menjadi bapak panjenengan. Kesalahan ditemukan juga pada butir soal nomer (8) yaitu Dhik, tulisanmu meneng-meneng akeh sing seneng, lho (ngoko lugu) Dik, tulisan kamu diam-diam banyak yang menyukai, lho diubah menjadi Dhik, tulisan panjenengan menengmeneng akeh sing seneng, lho (ngoko alus). Pada analisis ini jawaban dari guru tersebut salah tampak pada kata tulisan tulisan (nomina) tidak diubah menjadi kata seratan, tetapi pada soal ini tampak bahwa panambang-mu (akhiran-mu) sudah diubah menjadi leksikon krama inggil yaitu -panjenengan yang melekat pada kata tulisanmu tulisan kamu menjadi tulisan panjenengan. Jika disesuaikan dengan kunci jawaban yang tersedia menjadi Dhik, seratan panjenengan meneng-meneng akeh sing seneng, lho. Kemudian butir soal nomer (15) yaitu Bu, aku njaluk tulung iki mengko diwenehke Dhik Bondhan si Klapa Manis (ngoko lugu) Bu, saya minta tolong ini nanti diberikan Dik Bondan si Kelapa Manis. Diubah oleh guru tersebut menjadi Bu, aku njaluk tulung iki mengko dipuncaoske Dhik Bondhan si Klapa Manis. Jawaban tersebut salah karena tampak pada kata diwenehke diubah menjadi ragam krama inggil dicaoske, seharusnya diparingke ater-ater awalan di- pada diwenehke diberikan merupakan afiks penanda leksikon ngoko maka afiks tersebut tetap menggunakan ngoko lugu. Sehingga sesuai kunci jawaban yang tersedia menjadi Bu, aku nyuwun tulung iki mengko diparingake Dhik Bondan si Klapa Manis Karena dalam konteks tersebut O2 dianggap masih muda dengan sebutan Dhik (Adik).

70 70 (b) Guru di SD Negeri 05 Madiun Lor Kecamatan Mangunharjo. Gambar 2 Kegiatan mengerjakan soal tingkat tutur oleh Ibu Erna Ratnawati Diujikan sebanyak 20 soal kepada guru tersebut untuk mengubah bahasa Jawa ragam ngoko lugu ke bahasa Jawa ragam ngoko alus. Setelah diteliti dan dinilai bahwa guru tersebut mendapat nilai yang sesuai, guru tersebut memperoleh nilai 70 (cukup). Kesalahan dapat dilihat mulai butir soal nomer (1) yaitu Mentri Pendhidhikan sing anyar iki jenenge sapa? (ngoko lugu) Mentri Pendidikan yang baru ini namanya siapa Kalimat tersebut diubah ke ragam ngoko alus menjadi Mentri Pendhidhikan sing enggal iki asmane sapa? Kesalahan tampak bahwa kata anyar baru diubah menjadi enggal "baru" seharusnya jika disesuaikan dengan kunci jawaban yang tersedia menjadi Mentri Pendhidhikan sing anyar iki asmane sapa? Jadi kata anyar tetap tidak diubah ke ragam krama inggil. Pada butir soal nomer (3) oleh guru tersebut tidak dijawab. Kemudian butir soal nomer (5) Kae

71 71 bapakmu gek maca ning kamar Itu bapak kamu sedang membaca di dalam kamar oleh guru tersebut diubah ke ragam ngoko alus menjadi Kae bapakmu gek maos ning kamar. Ditemukan lagi pada bentuk ragam ngoko alus panambang-mu (akhiran-mu) yang melekat pada bapakmu tidak diubah menjadi krama inggil seharusnya sesuai kunci jawaban menjadi Kae bapak panjenengan gek maos ning kamar. Kemudian butir soal nomer (7) Yen mung kaya ngono wae, dheweke mesthi ya bisa! Jika cuma seperti itu saja, dia pasti juga bisa! Oleh guru tersebut kalimat diubah menjadi Yen mung ngono wae, panjenengane mesthi ya saged! (ngoko alus). Kesalahan terdapat pada kata dheweke menjadi panjenengane seharusnya piyambakipun kemudian kata bisa (ngoko lugu) juga diubah menjadi (krama inggil) saged seharusnya kata tersebut tidak berubah, disesuaikan dengan kunci jawaban yaitu Yen mung ngono wae piyambakipun mesthi ya bisa!. Kesalahan juga ditemukan pada nomer (8) Dhik, tulisanmu meneng-meneng akeh sing seneng, lho! Dik, tulisan kamu diam-diam banyak yang menyukai, lho. Oleh guru tersebut diubah menjadi Dhik, tulisanmu meneng-meneng akeh sing remen, lho!. Pada soal tersebut kata tulisanmu tidak diubah menjad krama inggil, yang diubah menjadi bentuk krama inggil kata seneng menjadi remen. Sehingga jawaban tersebut salah seharusnya sesuai kunci jawaban seperti berikut Dhik, seratan panjenengan meneng-meneng akeh sing seneng, lho! Butir soal nomer (14) Bu, iki biyen kanca kuliahku, saiki anake wis telu tur wis gedhe-gedhe Bu, ini dahulu teman kuliah saya, sekarang anaknya sudah tiga dan sudah besar-besar. Pada soal tersebut ada kesalahan ketika guru mengubah kata kanca menjadi krama inggil rencang. Bu

72 72 iki biyen rencang kuliahku, saiki putrane wis telu tur wis gedhe-gedhe. Kata kanca (ngoko lugu) tidak perlu diubah, sehingga jawaban yang sesuai menjadi Bu iki biyen kanca kuliahku saiki putranipun wis telu tur wis gedhe-gedhe. (c) Guru di SD Negeri Kejuron Kecamatan Taman. Gambar 3 Kegiatan mengerjakan soal tingkat tutur oleh Ibu Triasih Dari 20 soal yang diberikan, ternyata banyak ditemukan kesalahan pada guru tersebut dalam mengerjakan, ini terbukti nilai yang diperoleh 50 (kurang). Karena semua jawaban salah, kemudian poin nilai tersebut diperoleh dari setiap soal yang terdapat sedikit kesalahan diberi bonus poin 5 sehingga 20 soal dikali 5 menjadi 100 kemudian dibagi 2, jadi nilai yang diperoleh 50. Karena hampir semua jawaban dari guru tersebut banyak yang salah dari soal nomer 1 sampai soal nomer 20, maka kesalahan tidak diurai satu per satu. Bisa dilihat pada lampiran data. Diketahui bahwa

73 73 guru tersebut dalam mengubah ragam ngoko alus menggunakan ragam krama, salah satu contoh kesalahannya sebagai berikut lunga menjadi kesah, kowe menjadi sampeyan, iki menjadi niki, teka menjadi dugi. Seharusnya kata-kata tersebut diubah ke bentuk ragam krama inggil. (d) Guru di SD Negeri 02 Josenan Kecamatan Taman Gambar 4 Kegiatan mengerjakan soal tingkat tutur oleh Ibu Yeni Yudha E Dari soal sebanyak 20 butir, untuk mengubah kalimat yang menggunakan ragam ngoko lugu ke ragam ngoko alus, guru tersebut telah mengerjakan soal dengan nilai yang diperoleh 75 (baik). Kesalahan yang ditemukan antara lain setiap ada panambang akhiran tidak diubah ke bentuk krama inggil contohnya panambang - mu akhiran-mu yang melekat pada kata bapak-mu. Seperti contoh butir soal nomer (5) Kae bapakmu gek maca ning kamar (ngoko lugu) Itu bapak kamu sedang

74 74 membaca di dalam kamar menjadi Kae bapakmu gek maos ing kamar (ngoko alus). Kemudian kesalahan ditemukan pada soal nomer (8) yaitu Dhik, tulisanmu menengmeneng akeh sing seneng, lho! Dik, tulisan kamu diam-diam banyak yang menyukai, lho. Diubah oleh guru tersebut menjadi Dhik, seratanmu meneng-meneng akeh sing remen, lho!. Kesalahan yang ditemukan lagi ada beberapa kata yang tidak diketahui ragam krama inggilnya oleh guru tersebut sehingga jawaban menjadi salah. Seperti soal (11) Coba, ta dipikir dhisik aja grusa-grusu Coba, lah dipikir dulu jangan tergesa-gesa ragam ngoko alus-nya menjadi Coba ta dipikir dhisik aja grusa-grusu. Sehingga tidak ada perubahan pada kalimat tersebut. Butir soal nomer (13) Kapan mulihe, Nak? Kapan pulangnya, Nak? diubah menjadi Kapan wangsule, Nak? Kata mulih (ngoko lugu) menjadi wangsul (krama). Karena ragam ngoko alus kata kerja harus diubah ke ragam krama inggil maka kata mulihe harus diubah menjadi kondure, sehingga jawaban yang benar menjadi Kapan kondure, Nak? Soal nomer (16) sebagai berikut Mbak, yen mulih menyang Jepara aku dijalukake dhuwit marang ibu, ya! Mbak, kalau pulang ke Jepara saya dimintakan uang pada Ibu, ya! Diubah ke ragam ngoko alus menjadi Mbak, yen kondur menyang Jepara aku dijalukake dhuwit marang, ibu ya!. Kesalahan ditemukan pada dijalukake (ngoko lugu) tidak diubah ke ragam (krama inggil) menjadi disuwunake. Sehingga sesuai kunci jawaban yang benar menjadi Mbak, yen kondur menyang Jepara aku disuwunake dhuwit Ibu, ya!.

75 75 (e) Guru di SD Negeri 02 Kanigoro Kecamatan Kartoharjo Gambar 5 Kegiatan mengerjakan soal tingkat tutur oleh Bapak M. Nasrullah Pada analisis soal mengubah kalimat yang menggunakan ragam ngoko lugu menjadi ngoko alus, sama persis yang diujikan pada guru-guru sebelumnya Bapak Nasrullah memperoleh nilai 80 (baik). Kesalahan yang ditemukan pada jawaban beliau yaitu pada butir soal nomer (8) Dhik, tulisanmu meneng-meneng akeh sing seneng, lho! Dik, tulisan kamu diam-diam banyak yang menyukai, lho. Diubah oleh guru tersebut menjadi Dhik, seratanmu meneng-meneng akeh sing seneng, lho! Kesalahan hanya terdapat pada panambang-mu akhiran-mu yang tidak diubah ke ragam krama inggil panjenengan. Kemudian butir soal nomer (11) Coba, ta dipikir dhisik aja grusa-grusu! Coba, lah dipikir dulu jangan tergesa-gesa! ragam ngoko alus-nya menjadi Coba ta dipenggalih rumiyin aja grusa-grusu. Kata dipikir (ngoko lugu) sudah sesuai diubah

76 76 menjadi krama inggil, hanya kesalahan pada kata dhisik (ngoko lugu) juga diubah ke ragam krama inggil menjadi rumiyin. Sehingga jawaban menjadi salah. Butir soal nomer (14) Bu, iki biyen kanca kuliahku, saiki anake wis telu tur wis gedhe-gedhe Bu, ini dulu teman kuliah saya, sekarang anaknya sudah tiga dan sudah besar-besar. Pada soal tersebut ada kesalahan ketika guru mengubah kata kanca menjadi krama inggil rencang. Bu iki biyen rencang kuliahku, saiki putrane wis telu tur wis gedhegedhe. Kata kanca (ngoko lugu) tidak perlu diubah, sehingga jawaban yang sesuai menjadi Bu iki biyen kanca kuliahku saiki putranipun wis telu tur wis gedhe-gedhe. Kemudian kesalahan juga terdapat pada butir soal nomer (15) Bu, aku njaluk tulung iki mengko diwenehke Dhik Bondhan si Klapa Manis (ngoko lugu) Bu, saya minta tolong ini nanti diberikan Dik Bondan si Kelapa Manis. Diubah oleh guru tersebut menjadi Bu, aku njaluk tulung niki mangke diwenehake Dhik Bondhan si Klapa Manis. Jawaban tersebut salah karena tampak pada butir diwenehke tidak diubah menjadi ragam krama inggil dicaoske, oleh guru tersebut yang diubah ke ragam krama inggil yaitu kata iki mengko (ngoko lugu) menjadi niki mangke (krama inggil). Sehingga sesuai kunci jawaban yang tersedia menjadi Bu, aku nyuwun tulung iki mengko diparingake Dhik Bondan si Klapa Manis Karena dalam konteks tersebut O2 dianggap masih muda dengan sebutan Dhik (Adik).

77 77 (f) Guru di SD Negeri 02 Kartoharjo Kecamatan Kartoharjo Gambar 6 Kegiatan mengerjakan soal tingkat tutur oleh Ibu Sriana Mardikawati Pada analisis soal mengubah kalimat yang menggunakan ragam ngoko lugu menjadi ngoko alus sama persis yang diujikan pada guru-guru sebelumnya, Ibu Sriana memperoleh nilai 85 (baik). Kesalahan yang ditemukan pada jawaban beliau ada tiga yaitu pada butir soal nomer (8) Dhik, tulisanmu meneng-meneng akeh sing seneng, lho! Dik, tulisan kamu diam-diam banyak yang menyukai, lho. Diubah oleh guru tersebut menjadi Dhik, seratanmu meneng-meneng akeh sing seneng, lho! Kesalahan hanya terdapat pada panambang-mu akhiran-mu yang tidak diubah ke ragam krama inggil panjenengan. Kemudian soal nomer (13) Kapan mulihe, Nak? Kapan pulangnya, Nak? diubah menjadi Kapan wangsule, Nak? Kata mulih (ngoko lugu) menjadi wangsul (krama). Karena ragam ngoko alus kata kerja harus diubah ke ragam krama inggil

PEMAKAIAN ISTILAH-ISTILAH DALAM BAHASA JAWA DIALEK SURABAYA PADA BERITA POJOK KAMPUNG JTV YANG MELANGGAR KESOPAN-SANTUNAN BERBAHASA SKRIPSI

PEMAKAIAN ISTILAH-ISTILAH DALAM BAHASA JAWA DIALEK SURABAYA PADA BERITA POJOK KAMPUNG JTV YANG MELANGGAR KESOPAN-SANTUNAN BERBAHASA SKRIPSI PEMAKAIAN ISTILAH-ISTILAH DALAM BAHASA JAWA DIALEK SURABAYA PADA BERITA POJOK KAMPUNG JTV YANG MELANGGAR KESOPAN-SANTUNAN BERBAHASA SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat-syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa merupakan suatu keunggulan kecerdasan manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa merupakan suatu keunggulan kecerdasan manusia yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan suatu keunggulan kecerdasan manusia yang sangat diperlukan oleh masyarakt manusia (Gardner dalam Sukardi, 2005: 67). Kecerdasan yang dimiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa dapat digunakan manusia dalam menyampaikan ide, gagasan,

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa dapat digunakan manusia dalam menyampaikan ide, gagasan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa dapat digunakan manusia dalam menyampaikan ide, gagasan, keinginan, perasaan serta pengalamannya kepada orang lain. Tanpa bahasa manusia akan lumpuh dalam berkomunikasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana, 1982:17). Bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lisan. Secara tertulis merupakan hubungan tidak langsung, sedangkan secara. sebuah percakapan antar individual atau kelompok.

BAB I PENDAHULUAN. lisan. Secara tertulis merupakan hubungan tidak langsung, sedangkan secara. sebuah percakapan antar individual atau kelompok. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam kehidupannya memerlukan komunikasai untuk dapat menjalin hubungan dengan manusia lain dalam lingkungan masyarakat. Ada dua cara untuk dapat melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh suku, daerah dan bangsa dalam bersosial. Tanpa adanya bahasa, komunikasi antar manusia akan terhambat. Manusia

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL ORANG TUA DENGAN UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA PESERTA DIDIK SMP NEGERI 2 KALIWIRO KABUPATEN WONOSOBO

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL ORANG TUA DENGAN UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA PESERTA DIDIK SMP NEGERI 2 KALIWIRO KABUPATEN WONOSOBO HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL ORANG TUA DENGAN UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA PESERTA DIDIK SMP NEGERI 2 KALIWIRO KABUPATEN WONOSOBO Aris Hidayat, Gusti Surawening Pradanasiwi Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanpa bahasa manusia tidak dapat saling berinteraksi baik antar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. Tanpa bahasa manusia tidak dapat saling berinteraksi baik antar individu maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Tanpa bahasa manusia tidak dapat saling berinteraksi baik antar individu maupun kelompok. Bahasa

Lebih terperinci

CERMINAN NILAI SOSIAL DAN BUDAYA DALAM VARIASI TINDAK TUTUR BAHASA JAWA DIALEK BANYUMAS

CERMINAN NILAI SOSIAL DAN BUDAYA DALAM VARIASI TINDAK TUTUR BAHASA JAWA DIALEK BANYUMAS CERMINAN NILAI SOSIAL DAN BUDAYA DALAM VARIASI TINDAK TUTUR BAHASA JAWA DIALEK BANYUMAS Hesti Fibriasari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan ABSTRAK Bahasa adalah alat untuk berinteraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk menyampaikan pendapat, ide, gagasan, maupun perasaan. Bahasa sebagai satu-satunya alat komunikasi terbaik

Lebih terperinci

PERGANTIAN MAKNA DALAM BAHASA JAWA KRAMA. Oleh: Kustri Sumiyardana ABSTRAK

PERGANTIAN MAKNA DALAM BAHASA JAWA KRAMA. Oleh: Kustri Sumiyardana ABSTRAK Magister linguistik PPs UNDIP Semarang, 6 Mei 2010 PERGANTIAN MAKNA DALAM BAHASA JAWA KRAMA Oleh: Kustri Sumiyardana ABSTRAK Akibat politik bahasa nasional, keberadaan bahasa ibu di Indonesia mulai terdesak.

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan Dalam penelitian ini dapat disimpulkan dua hal yang merupakan jawaban dari perumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya. Simpulan dari penelitian

Lebih terperinci

PEMEROLEHAN BAHASA JAWA PADA ANAK USIA DINI DI LINGKUNGAN PENUTUR MULTIBAHASA SERTA STRATEGI PEMERTAHANANNYA SEBAGAI PENGUAT JATI DIRI BUDAYA BANGSA

PEMEROLEHAN BAHASA JAWA PADA ANAK USIA DINI DI LINGKUNGAN PENUTUR MULTIBAHASA SERTA STRATEGI PEMERTAHANANNYA SEBAGAI PENGUAT JATI DIRI BUDAYA BANGSA -Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III- 78 PEMEROLEHAN BAHASA JAWA PADA ANAK USIA DINI DI LINGKUNGAN PENUTUR MULTIBAHASA SERTA STRATEGI PEMERTAHANANNYA SEBAGAI PENGUAT JATI DIRI BUDAYA BANGSA Favorita

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semarang merupakan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Semarang telah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semarang merupakan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Semarang telah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengantar Semarang merupakan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Semarang telah menjadi suatu wilayah yang kompleks masyarakatnya. Keadaan ini terjadi karena sekarang semakin

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat suku Jawa untuk berkomunikasi antarsesama masyarakat Jawa.

PENDAHULUAN Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat suku Jawa untuk berkomunikasi antarsesama masyarakat Jawa. 1 PENDAHULUAN Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat suku Jawa untuk berkomunikasi antarsesama masyarakat Jawa. Dalam interaksi sosial masyarakat Jawa, lebih cenderung menggunakan komunikasi

Lebih terperinci

Mentalitas Jawa: Menghormati Diri dengan Unggah-ungguh (Oleh: Mulyanto)

Mentalitas Jawa: Menghormati Diri dengan Unggah-ungguh (Oleh: Mulyanto) Mentalitas Jawa: Menghormati Diri dengan Unggah-ungguh (Oleh: Mulyanto) 1. Pendahuluan Bahasa Jawa mempunyai beberapa dialek, di antaranya dialek Bagelen, dialek Solo-Yogya, Dialek Jawa Timur, dan Dialek

Lebih terperinci

2016 PENGGUNAAN TINGKAT TUTUR BAHASA JAWA CIREBON DI KALANGAN GENERASI MUDA

2016 PENGGUNAAN TINGKAT TUTUR BAHASA JAWA CIREBON DI KALANGAN GENERASI MUDA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu yang digunakan oleh masyarakat Jawa, terutama masyarakat yang tinggal di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia lebih banyak melakukan komunikasi lisan daripada

BAB I PENDAHULUAN. Manusia lebih banyak melakukan komunikasi lisan daripada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia lebih banyak melakukan komunikasi lisan daripada komunikasi tulisan oleh sebab itu, komunikasi lisan dianggap lebih penting dibandingkan komunikasi dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sama lain. Bahasa merupakan media yang digunakan oleh manusia untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. sama lain. Bahasa merupakan media yang digunakan oleh manusia untuk BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dan bahasa adalah dua komponen yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Bahasa merupakan media yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. wajib untuk Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Dasar. Sekolah Dasar

BAB 1 PENDAHULUAN. wajib untuk Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Dasar. Sekolah Dasar BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mata pelajaran muatan lokal yang tercantum dalam Garis- Garis Besar Program Pengajaran ialah mata pelajaran Bahasa Jawa sebagai mata pelajaran wajib untuk Sekolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Dalam bagian ini diuraikan (1) latar belakang, (2) masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, dan (5) struktur organisasi penulisan. Adapun uraiannya sebagai berikut. 1.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dita Marisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dita Marisa, 2013 BAB I PENDAHULUAN Dalam bagian ini akan diuraikan, latar belakang penelitian, masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi penulisan. Adapun uraiannya sebagai berikut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, yang kemudian disebut dengan komunikasi. Bahasa merupakan alat komunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam berkomunikasi menjadi sangat penting. Hal ini ditunjukkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. dalam berkomunikasi menjadi sangat penting. Hal ini ditunjukkan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini keberadaan talk show atau dialog interaktif sebagai sarana dalam berkomunikasi menjadi sangat penting. Hal ini ditunjukkan dengan semakin beragamnya talk

Lebih terperinci

Etika dan Penggunaan Unggah-ungguh Bahasa Jawa dalam Roman Nona Sekretaris karya Suparto Brata dan Skenario Pembelajarannya di SMA Kelas X

Etika dan Penggunaan Unggah-ungguh Bahasa Jawa dalam Roman Nona Sekretaris karya Suparto Brata dan Skenario Pembelajarannya di SMA Kelas X Etika dan Penggunaan Unggah-ungguh Bahasa Jawa dalam Roman Nona Sekretaris karya Suparto Brata dan Skenario Pembelajarannya di SMA Kelas X Oleh: Hana Pebri Ristiadi Program Studi Pendidikan Bahasa dan

Lebih terperinci

KAJIAN PEMAKAIAN DEIKSIS SOSIAL DALAM TAJUK RENCANA HARIAN SOLOPOS EDISI JANUARI-FEBRUARI 2010 SKRIPSI

KAJIAN PEMAKAIAN DEIKSIS SOSIAL DALAM TAJUK RENCANA HARIAN SOLOPOS EDISI JANUARI-FEBRUARI 2010 SKRIPSI KAJIAN PEMAKAIAN DEIKSIS SOSIAL DALAM TAJUK RENCANA HARIAN SOLOPOS EDISI JANUARI-FEBRUARI 2010 SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa juga merupakan ekspresi kebudayaan,

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa juga merupakan ekspresi kebudayaan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan alat yang digunakan oleh sekelompok manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa juga merupakan ekspresi kebudayaan, karena bahasa mengalami

Lebih terperinci

REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA DI KALANGAN MAHASISWA DALAM BERINTERAKSI DENGAN DOSEN DAN KARYAWAN

REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA DI KALANGAN MAHASISWA DALAM BERINTERAKSI DENGAN DOSEN DAN KARYAWAN REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA DI KALANGAN MAHASISWA DALAM BERINTERAKSI DENGAN DOSEN DAN KARYAWAN SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat S-I Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pembelajaran bahasa Jawa antara lain untuk melestarikan budaya Jawa dan membentuk budi pekerti generasi bangsa. Hal tersebut tertuang dalam standar isi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki dialek oleh karena seperti

BAB I PENDAHULUAN. dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki dialek oleh karena seperti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah salah satu identitas sebuah bangsa demikian juga halnya dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki dialek oleh karena seperti bahasa Indonesia

Lebih terperinci

PEMILIHAN BAHASA DALAM MASYARAKAT PEDESAAN DI KABUPATEN TEGAL DAN IMPLIKASINYA SEBAGAI ALTERATIF BAHAN AJAR MATA KULIAH SOSIOLINGUISTIK.

PEMILIHAN BAHASA DALAM MASYARAKAT PEDESAAN DI KABUPATEN TEGAL DAN IMPLIKASINYA SEBAGAI ALTERATIF BAHAN AJAR MATA KULIAH SOSIOLINGUISTIK. PEMILIHAN BAHASA DALAM MASYARAKAT PEDESAAN DI KABUPATEN TEGAL DAN IMPLIKASINYA SEBAGAI ALTERATIF BAHAN AJAR MATA KULIAH SOSIOLINGUISTIK Leli Triana ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi

Lebih terperinci

keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada (Yamin, 2010:64). Tetapi terkadang dalam

keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada (Yamin, 2010:64). Tetapi terkadang dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Berbagai keragaman di setiap wilayahnya membuat Indonesia disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (KBBI,

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (KBBI, BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (KBBI,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan kekacauan pada tindak berbahasa. Salah satu contoh penggunaan bentuk bersinonim yang dewasa ini sulit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia lain dalam kehidupan sehari-harinya. Untuk melakukan interaksi

BAB I PENDAHULUAN. manusia lain dalam kehidupan sehari-harinya. Untuk melakukan interaksi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang memerlukan interaksi dengan manusia lain dalam kehidupan sehari-harinya. Untuk melakukan interaksi tersebut, manusia memerlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini peranan bahasa sebagai alat komunikasi masih sangat penting. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini peranan bahasa sebagai alat komunikasi masih sangat penting. Hal ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam interaksi masyarakat, bahasa merupakan alat utama yang digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan seseorang kepada orang lain. Dewasa ini peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa daerah memiliki fungsi dan peran utama dalam hal pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa daerah memiliki fungsi dan peran utama dalam hal pengembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa daerah memiliki fungsi dan peran utama dalam hal pengembangan bahasa nasional. Fungsi dan peran tersebut di ataranya, yaitu: (a) sebagai lambang kebaggaan

Lebih terperinci

b. Untuk memperkenalkan bahasa Batak Toba kepada masyarakat sebagai salah satu bahasa daerah yang turut memperkaya kebudayaan nasional.

b. Untuk memperkenalkan bahasa Batak Toba kepada masyarakat sebagai salah satu bahasa daerah yang turut memperkaya kebudayaan nasional. 1.4.2 Manfaat Penelitian a. Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya pemakaian kata sapaan dalam bahasa Batak Toba. b. Untuk memperkenalkan bahasa Batak Toba kepada masyarakat sebagai salah satu bahasa daerah

Lebih terperinci

PEMAKAIAN TINGKAT TUTUR BAHASA JAWA PADA PENGAJIAN IBU-IBU DI DUSUN KEDUNGDOWO, KECAMATAN LOANO, KABUPATEN PURWOREJO

PEMAKAIAN TINGKAT TUTUR BAHASA JAWA PADA PENGAJIAN IBU-IBU DI DUSUN KEDUNGDOWO, KECAMATAN LOANO, KABUPATEN PURWOREJO PEMAKAIAN TINGKAT TUTUR BAHASA JAWA PADA PENGAJIAN IBU-IBU DI DUSUN KEDUNGDOWO, KECAMATAN LOANO, KABUPATEN PURWOREJO Diajukan Kepada Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta Untuk Memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa. Manusia memerlukan bahasa sebagai alat komunikasi. Bahasa

BAB I PENDAHULUAN. bahasa. Manusia memerlukan bahasa sebagai alat komunikasi. Bahasa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak pernah terlepas dari bahasa. Manusia memerlukan bahasa sebagai alat komunikasi. Bahasa bagaikan udara bagi manusia untuk

Lebih terperinci

Pemberdayaan Ibu Rumah Tangga dalam Pembelajaran Unggah-Ungguh Bahasa Jawa sebuah Upaya Pendidikan Karakter Anak

Pemberdayaan Ibu Rumah Tangga dalam Pembelajaran Unggah-Ungguh Bahasa Jawa sebuah Upaya Pendidikan Karakter Anak Pemberdayaan Ibu Rumah Tangga dalam Pembelajaran Unggah-Ungguh Bahasa Jawa sebuah Upaya Pendidikan Karakter Anak Oleh: Alfiah 1), Mukhlis 2), Yuli Kurniati W 3) Abstrak Iptek bagi masyarakat (IbM) ini

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1

Jurnal Ilmiah. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 VARIASI BAHASA JAWA PADA PERCAKAPAN NASABAH DAN DEBT COLLECTOR KSU LANGGENG DHANA MAKMUR DI KAB. NGAWIBESERTA IMPLEMENTASI DALAM PEMBELAJARAN BAHASA DAERAH DI SMP N 1 SINE Jurnal Ilmiah Untuk Memenuhi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB I PENDAHULUAN. untuk dibicarakan karena bahasa telah menjadi bagian dari kehidupan manusia.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB I PENDAHULUAN. untuk dibicarakan karena bahasa telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 42 5.1 KESIMPULAN... 42 5.2 SARAN... 43 DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kajian mengenai bahasa menjadi suatu kajian yang tidak pernah habis untuk dibicarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau kelompok individu terutama kelompok minoritas atau kelompok yang

BAB I PENDAHULUAN. atau kelompok individu terutama kelompok minoritas atau kelompok yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seseorang dapat bertutur dengan bahasa tertentu secara tiba-tiba dalam situasi penuturan baik bersifat formal maupun yang bersifat informal. Mengganti bahasa diartikan

Lebih terperinci

VARIASI BAHASA JAWA PADA PERCAKAPAN WARGA DESA DURENOMBO SUBAH KABUPATEN BATANG JAWA TENGAH

VARIASI BAHASA JAWA PADA PERCAKAPAN WARGA DESA DURENOMBO SUBAH KABUPATEN BATANG JAWA TENGAH VARIASI BAHASA JAWA PADA PERCAKAPAN WARGA DESA DURENOMBO KECAMATAN SUBAH KABUPATEN BATANG JAWA TENGAH Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana (SI) pada Pendidikan Bahasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Manusia pada hakikatnya adalah sebagai makhluk individu dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Manusia pada hakikatnya adalah sebagai makhluk individu dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Manusia pada hakikatnya adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu dimana manusia mempunyai perasaan, jiwa, hati dan pikiran masing-masing

Lebih terperinci

KESANTUNAN BERBAHASA PADA TUTURAN SISWA SMP

KESANTUNAN BERBAHASA PADA TUTURAN SISWA SMP Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Galuh dewinurhayati0403@gmail.com, hendaryan@unigal.ac.id ABSTRAK Bahasa dan kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan. Bahasa digunakan penuturnya untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tata kalimat, dan tata makna. Ciri-ciri merupakan hakikat bahasa, antara lain:

BAB I PENDAHULUAN. tata kalimat, dan tata makna. Ciri-ciri merupakan hakikat bahasa, antara lain: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa sebagai rangkaian bunyi yang mempunyai makna tertentu yang dikenal sebagai kata, melambangkan suatu konsep. Setiap bahasa sebenarnya mempunyai ketetapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam pikiran sehingga terwujud suatu aktivitas. dalam pikiran pendengar atau pembaca.

BAB I PENDAHULUAN. alam pikiran sehingga terwujud suatu aktivitas. dalam pikiran pendengar atau pembaca. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi sehari-hari oleh para penuturnya. Bahasa merupakan sesuatu yang sangat penting dalam proses berpikir maupun dalam kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu warisan budaya bangsa. Pemerintah mengeluarkan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu warisan budaya bangsa. Pemerintah mengeluarkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa daerah adalah bahasa ibu yang seyogyanya harus dilestarikan keberadaanya agar tidak hilang dalam jati diri anak bangsa. Bahasa daerah merupakan salah

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep dapat mendukung proses berjalannya suatu penelitian.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep dapat mendukung proses berjalannya suatu penelitian. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Alih Kode Konsep dapat mendukung proses berjalannya suatu penelitian. Menurut KBBI konsep adalah rancangan dasar, ide, pengertian, dan gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. realitas, dan sebagainya. Sarana yang paling utama dan vital untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. realitas, dan sebagainya. Sarana yang paling utama dan vital untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam sepanjang hidupnya hampir-hampir tidak pernah dapat terlepas dari peristiwa komunikasi. Di dalam berkomunikasi manusia memerlukan sarana untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian. sosiolinguistik. Penelitian kualitatif di sini menggunakan jenis penelitian yang

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian. sosiolinguistik. Penelitian kualitatif di sini menggunakan jenis penelitian yang BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan sosiolinguistik. Penelitian kualitatif di sini menggunakan jenis penelitian yang bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. interaksi sosial antara orang satu dengan yang lainnya. Dalam. komunikasi dibutuhkan alat komunikasi agar hubungan antarmanusia

BAB I PENDAHULUAN. interaksi sosial antara orang satu dengan yang lainnya. Dalam. komunikasi dibutuhkan alat komunikasi agar hubungan antarmanusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan dalam masyarakat pasti terjadi proses komunikasi dan interaksi sosial antara orang satu dengan yang lainnya. Dalam komunikasi dibutuhkan alat komunikasi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. yang relevan dengan hal yang sedang berlangsung. Bertolak pada kenyataan

BAB II KAJIAN TEORI. yang relevan dengan hal yang sedang berlangsung. Bertolak pada kenyataan BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teoretik 1. Pengertian Pragmatik Pengkajian terhadap bahasa jika ditinjau dari sudut pandang linguistik terapan tentu tidak dapat dilakukan tanpa memperhitungkan konteks

Lebih terperinci

PEMAKAIAN BAHASA JAWA OLEH SANTRI PONDOK PESANTREN HADZIQIYYAH KABUPATEN JEPARA

PEMAKAIAN BAHASA JAWA OLEH SANTRI PONDOK PESANTREN HADZIQIYYAH KABUPATEN JEPARA PEMAKAIAN BAHASA JAWA OLEH SANTRI PONDOK PESANTREN HADZIQIYYAH KABUPATEN JEPARA Himawatul Azmi Nur dan Prembayun Miji Lestari Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, FBS, Universitas Negeri Semarang ABSTRAK Tujuan

Lebih terperinci

PENYEBAB INTERFERENSI GRAMATIS

PENYEBAB INTERFERENSI GRAMATIS PENYEBAB INTERFERENSI GRAMATIS BAHASA BATAK ANGKOLA DALAM KARANGAN BERBAHASA INDONESIA SISWA KELAS 5 SDN 105010 SIGAMA KECAMATAN PADANG BOLAK TAPANULI SELATAN Fitriani Lubis Fakultas Bahasa dan Seni Universitas

Lebih terperinci

Joyful Learning Journal

Joyful Learning Journal JLJ 3 (2) (2014) Joyful Learning Journal http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jlj PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA KRAMA LUGU MELALUI MODEL ROLE PLAYING BERBANTUKAN MEDIA AUDIOVISUAL Budi Santoso,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Bahasa yang baik berkembang berdasarkan suatu sistem,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hanya sekedar memenuhi kebutuhan hiburan masyarakat dan kedua hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. hanya sekedar memenuhi kebutuhan hiburan masyarakat dan kedua hal tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Televisi adalah sesuatu yang sudah sangat familiar dalam beberapa dekade terakhir ini. Banyak acara dibuat untuk memenuhi kebutuhan informasi atau hanya sekedar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipilah menjadi dua, yaitu komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Komunikasi verbal yaitu cara berkomunikasi seseorang dengan

BAB I PENDAHULUAN. dipilah menjadi dua, yaitu komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Komunikasi verbal yaitu cara berkomunikasi seseorang dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada umumnya bentuk komunikasi yang dilakukan manusia dapat dipilah menjadi dua, yaitu komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Komunikasi verbal yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Televisi adalah media komunikasi jarak jauh dengan penayangan gambar dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Televisi adalah media komunikasi jarak jauh dengan penayangan gambar dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Televisi adalah media komunikasi jarak jauh dengan penayangan gambar dan pendengaran suara, baik melalui kawat maupun secara elektromagnetik tanpa kawat (Palapah,1983:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istilah. Berikut diuraikan penjelasan yang berkaitan dengan pendahuluan.

BAB I PENDAHULUAN. istilah. Berikut diuraikan penjelasan yang berkaitan dengan pendahuluan. BAB I PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan ini diuraikan mengenai: (1) latar belakang, (2) fokus penelitian, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, dan (5) penegasan istilah. Berikut diuraikan penjelasan

Lebih terperinci

REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA JAWA MELALUI PESAN SINGKAT (SMS) ANTARA MAHASISWA DAN DOSEN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KEGIATAN AKADEMIS

REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA JAWA MELALUI PESAN SINGKAT (SMS) ANTARA MAHASISWA DAN DOSEN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KEGIATAN AKADEMIS REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA JAWA MELALUI PESAN SINGKAT (SMS) ANTARA MAHASISWA DAN DOSEN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KEGIATAN AKADEMIS Astiana Ajeng Rahadini, S. Pd., M. Pd.; Favorita Kurwidaria, S.S.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap masyarakat pemakai bahasa memiliki kesepakatan bersama mengenai

BAB I PENDAHULUAN. Setiap masyarakat pemakai bahasa memiliki kesepakatan bersama mengenai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap masyarakat pemakai bahasa memiliki kesepakatan bersama mengenai bahasa yang dituturkannya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu kesepakatan itu pun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menguasai bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan. pandangan sebagian masyarakat yang tidak merasa perlu untuk

BAB I PENDAHULUAN. menguasai bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan. pandangan sebagian masyarakat yang tidak merasa perlu untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa Indonesia sebagai salah satu perwujudan budaya bangsa memiliki sejarah perkembangan yang unik, yakni lahir mendahului kemerdekaan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian kualitatif berusaha memahami makna dari fenomena-fenomena, peristiwa-peristiwa,

Lebih terperinci

Bahasa Jawa dan Pengajaran Bahasa

Bahasa Jawa dan Pengajaran Bahasa 1 Bahasa Jawa dan Pengajaran Bahasa oleh Dwi Puspitorini 1 dpr@cbn.net.id 1. PENGANTAR Bahasa Jawa merupakan bahasa daerah dengan jumlah penutur yang paling banyak. Menurut catatan, jumlah penutur bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai segi kehidupan. Kenyataan menunjukkan bahwa pemakaian bahasa. dalam suatu pembelajaran di lembaga pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai segi kehidupan. Kenyataan menunjukkan bahwa pemakaian bahasa. dalam suatu pembelajaran di lembaga pendidikan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bahasa merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, manusia tidak pernah terlepas dari pemakaian bahasa. Manusia sebagai makhluk sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertimbangan akal budi, tidak berdasarkan insting. dan sopan-santun non verbal. Sopan-santun verbal adalah sopan santun

BAB I PENDAHULUAN. pertimbangan akal budi, tidak berdasarkan insting. dan sopan-santun non verbal. Sopan-santun verbal adalah sopan santun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Baryadi (2005: 67) sopan santun atau tata krama adalah salah satu wujud penghormatan seseorang kepada orang lain. Penghormatan atau penghargaan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia sebagai makhluk sosial, dituntut untuk memiliki berbagai keterampilan. Salah satu keterampilan yang harus dimiliki yaitu keterampilan berkomunikasi.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Biau. Kabupaten Buol. Adapun penelitian sejenis yang pernah diteliti antara lain:

BAB II LANDASAN TEORI. Biau. Kabupaten Buol. Adapun penelitian sejenis yang pernah diteliti antara lain: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya Penelitian tentang alih kode dan campur kode, sudah banyak diteliti oleh para peneliti sebelumnya. Namun sejauh ini belum ada yang melakukan penelitian

Lebih terperinci

: Ortografis dalam Register Seabreg SMS Gaul

: Ortografis dalam Register Seabreg SMS Gaul Judul Skripsi : Ortografis dalam Register Seabreg SMS Gaul Nama : Eli Rahmat Tahun : 2013 Latar Belakang Menurut Keraf bahasa memiliki empat fungsi, yaitu (1) sebagai alat untuk mengekpresikan diri, (2)

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Nurlaila Djamali (2005) mengkaji tentang Variasi Bahasa Bolaang Mongondow

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Nurlaila Djamali (2005) mengkaji tentang Variasi Bahasa Bolaang Mongondow BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian yang Relevan Disadari bahwa penelitian ini bukanlah kajian pertama yang mengangkat masalah ini. Telah banyak penelitian yang relevan sebelumnya. Berikut adalah uraian singkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perubahan itu berupa variasi-variasi bahasa yang dipakai sesuai

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perubahan itu berupa variasi-variasi bahasa yang dipakai sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa mengalami perubahan signifikan seiring dengan perubahan masyarakat. Perubahan itu berupa variasi-variasi bahasa yang dipakai sesuai keperluannya. Banyaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu lain yang berasal dari daerah atau wilayah lain. Oleh karena itu, bahasa. Indonesia dijadikan sebagai bahasa nasional.

BAB I PENDAHULUAN. individu lain yang berasal dari daerah atau wilayah lain. Oleh karena itu, bahasa. Indonesia dijadikan sebagai bahasa nasional. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan di negara Indonesia. Bahasa Indonesia menjadi perantara bagi lapisan masyarakat dalam berkomunikasi, khususnya bagi

Lebih terperinci

Tingkat tutur bahasa jawa krama pada generasi muda sinoman di kecamatan Grogol kabupaten Sukoharjo

Tingkat tutur bahasa jawa krama pada generasi muda sinoman di kecamatan Grogol kabupaten Sukoharjo Tingkat tutur bahasa jawa krama pada generasi muda sinoman di kecamatan Grogol kabupaten Sukoharjo Skripsi Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Mencapai Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Surat kabar atau dapat disebut koran merupakan lembaran-lembaran kertas

BAB I PENDAHULUAN. Surat kabar atau dapat disebut koran merupakan lembaran-lembaran kertas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Surat kabar atau dapat disebut koran merupakan lembaran-lembaran kertas yang bertuliskan berita-berita dan sebagainya (Sugono ed., 2015:872). Beritaberita dalam surat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek pengajaran yang sangat penting, mengingat bahwa setiap orang menggunakan bahasa Indonesia

Lebih terperinci

ANALISIS KESALAHAN FONOLOGIS PADA KARANGAN BERBAHASA JAWA SISWA KELAS III SD NEGERI KOTAGEDE 5 YOGYAKARTA ARTIKEL JURNAL

ANALISIS KESALAHAN FONOLOGIS PADA KARANGAN BERBAHASA JAWA SISWA KELAS III SD NEGERI KOTAGEDE 5 YOGYAKARTA ARTIKEL JURNAL ANALISIS KESALAHAN FONOLOGIS PADA KARANGAN BERBAHASA JAWA SISWA KELAS III SD NEGERI KOTAGEDE 5 YOGYAKARTA ARTIKEL JURNAL Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta guna Memperoleh

Lebih terperinci

RAGAM BAHASA PEDAGANG KAKI LIMA DI TERMINAL PURABAYA SURABAYA: KAJIAN SOSIOLINGUISTIK. Ratna Dewi Kartikasari Universitas Muhammadiyah Jakarta

RAGAM BAHASA PEDAGANG KAKI LIMA DI TERMINAL PURABAYA SURABAYA: KAJIAN SOSIOLINGUISTIK. Ratna Dewi Kartikasari Universitas Muhammadiyah Jakarta RAGAM BAHASA PEDAGANG KAKI LIMA DI TERMINAL PURABAYA SURABAYA: KAJIAN SOSIOLINGUISTIK Ratna Dewi Kartikasari Universitas Muhammadiyah Jakarta ABSTRAK Penelitian ini mengaji tentang ragam bahasa Pedagang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lain, sehingga orang lain mengetahui informasi untuk memenuhi kebutuhan

I. PENDAHULUAN. lain, sehingga orang lain mengetahui informasi untuk memenuhi kebutuhan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa berperan penting di dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, hampir semua kegiatan manusia bergantung pada dan bertaut dengan bahasa. Tanpa adanya bahasa

Lebih terperinci

Realisasi Tuturan dalam Wacana Pembuka Proses Belajar- Mengajar di Kalangan Guru Bahasa Indonesia yang Berlatar Belakang Budaya Jawa

Realisasi Tuturan dalam Wacana Pembuka Proses Belajar- Mengajar di Kalangan Guru Bahasa Indonesia yang Berlatar Belakang Budaya Jawa REALISASI TUTURAN DALAM WACANA PEMBUKA PROSES BELAJARMENGAJAR DI KALANGAN GURU BAHASA INDONESIA YANG BERLATAR BELAKANG BUDAYA JAWA NASKAH PUBLIKASI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai

Lebih terperinci

Analisis Sapaan Dalam Novel Gumuk Sandhi Karya Poerwadhie Atmodihardjo

Analisis Sapaan Dalam Novel Gumuk Sandhi Karya Poerwadhie Atmodihardjo Analisis Sapaan Dalam Novel Gumuk Sandhi Karya Poerwadhie Atmodihardjo Oleh: Rinda Aprilia Eka Wati Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Rindaapriliaekawati@gmail.com Abstrak: Penelitian ini

Lebih terperinci

PROSES MORFOLOGIS PEMBENTUKAN KATA RAGAM BAHASA WALIKA

PROSES MORFOLOGIS PEMBENTUKAN KATA RAGAM BAHASA WALIKA Arkhais, Vol. 07 No. 1 Januari -Juni 2016 PROSES MORFOLOGIS PEMBENTUKAN KATA RAGAM BAHASA WALIKA Wahyu Dwi Putra Krisanjaya Lilianan Muliastuti Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pembentukan

Lebih terperinci

PEMILIHAN KATA BAHASA INDONESIA SEBAGAI SARANA PENGUASAAN BAHAN AJAR

PEMILIHAN KATA BAHASA INDONESIA SEBAGAI SARANA PENGUASAAN BAHAN AJAR PEMILIHAN KATA BAHASA INDONESIA SEBAGAI SARANA PENGUASAAN BAHAN AJAR Sutarsih Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah Email: sutabinde1@yahoo.com Abstrak Bahasa sebagai alat komunikasi memiliki peran sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk menyampaikan ide, gagasan, atau pendapat. Alat komunikasi itu disebut

BAB I PENDAHULUAN. untuk menyampaikan ide, gagasan, atau pendapat. Alat komunikasi itu disebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai mahkluk sosial selalu berhubungan dengan orang lain. Dalam mengadakan hubungan atau interaksi dengan sesamanya, manusia memerlukan sebuah alat komuniksi.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Bahasa 1. Pengertian Bahasa Menurut Poerwadarminta (2007: 80) bahasa adalah sistem lambang yang berupa sembarang bunyi (bunyi bahasa) dipakai orang untuk melahirkan pikiran dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masyarakat Indonesia terdiri dari bermacam macam suku bangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masyarakat Indonesia terdiri dari bermacam macam suku bangsa dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia terdiri dari bermacam macam suku bangsa dan bahasa bahasa. Selain dari suku bangsa asli Indonesia, terdapat suku bangsa asing yang berdiam di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat, bahasa bukanlah satu-satunya alat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat, bahasa bukanlah satu-satunya alat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan bermasyarakat, bahasa bukanlah satu-satunya alat komunikasi. Manusia dapat menggunakan media yang lain untuk berkomunikasi. Namun, tampaknya bahasa

Lebih terperinci

Upaya Bahasa Jawa Mengakomodasi Tulisan Ilmiah: Tanda-Tanda Impotensi atau Komplikasi?

Upaya Bahasa Jawa Mengakomodasi Tulisan Ilmiah: Tanda-Tanda Impotensi atau Komplikasi? Upaya Bahasa Jawa Mengakomodasi Tulisan Ilmiah: Tanda-Tanda Impotensi atau Komplikasi? Oleh: Djatmika Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstrak Makalah ini membahas kemampuan bahasa Jawa sebagai media

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bahasa merupakan alat pertukaran informasi. Namun, kadang-kadang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bahasa merupakan alat pertukaran informasi. Namun, kadang-kadang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan alat pertukaran informasi. Namun, kadang-kadang informasi yang dituturkan oleh komunikator memiliki maksud terselubung. Oleh karena itu, setiap manusia

Lebih terperinci

PENGGUNAAN DEIKSIS DALAM BAHASA INDONESIA

PENGGUNAAN DEIKSIS DALAM BAHASA INDONESIA PENGGUNAAN DEIKSIS DALAM BAHASA INDONESIA Roely Ardiansyah Fakultas Bahasa dan Sains, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak Deiksis dalam bahasa Indonesia merupakan cermin dari perilaku seseorang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau

I. PENDAHULUAN. berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, digunakan baik sebagai bahasa pengantar sehari-hari ataupun bahasa pengantar di lingkungan formal seperti bahasa pengantar sekolah,

Lebih terperinci

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PICTURE AND PICTURE UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA KRAMA LUGU

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PICTURE AND PICTURE UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA KRAMA LUGU PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PICTURE AND PICTURE UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA KRAMA LUGU PADA SISWA KELAS II SDN PRAJEKSARI 02 KABUPATEN MAGELANG Tatin Wasiyat Ernawati SDN Prajeksari 02 Kabupaten

Lebih terperinci

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PERCAKAPAN STAF FKIP UNIVERSITAS AL ASYARIAH MANDAR

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PERCAKAPAN STAF FKIP UNIVERSITAS AL ASYARIAH MANDAR Prosiding Seminar Nasional Volume 03, Nomor 1 ISSN 2443-1109 ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PERCAKAPAN STAF FKIP UNIVERSITAS AL ASYARIAH MANDAR Nur Hafsah Yunus MS 1, Chuduriah Sahabuddin 2, Muh. Syaeba 3 Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan alat komunikasi yang efektif. Bahasa dan proses

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan alat komunikasi yang efektif. Bahasa dan proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi yang efektif. Bahasa dan proses berbahasa adalah hal yang tidak bisa terlepas dari kehidupan manusia. Dengan berbahasa, seseorang

Lebih terperinci

diperoleh mempunyai dialek masing-masing yang dapat membedakannya

diperoleh mempunyai dialek masing-masing yang dapat membedakannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan sosial kemasyarakatan, santun berbahasa sangat penting peranannya dalam berkomunikasi. Tindak tutur kesantunan berbahasa harus dilakukan oleh semua pihak untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Setiap individu manusia tidak akan pernah luput dari berkomunikasi

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Setiap individu manusia tidak akan pernah luput dari berkomunikasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap individu manusia tidak akan pernah luput dari berkomunikasi antar sesama, baik dalam kehidupan sehari-hari di keluarga maupun di lingkungan masyarakat tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dibedakan menjadi dua sarana,

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dibedakan menjadi dua sarana, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunikasi dapat dilakukan oleh manusia melalui bahasa. Bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dibedakan menjadi dua sarana, yaitu bahasa tulis dan bahasa

Lebih terperinci