Mentalitas Jawa: Menghormati Diri dengan Unggah-ungguh (Oleh: Mulyanto)
|
|
- Harjanti Darmali
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Mentalitas Jawa: Menghormati Diri dengan Unggah-ungguh (Oleh: Mulyanto) 1. Pendahuluan Bahasa Jawa mempunyai beberapa dialek, di antaranya dialek Bagelen, dialek Solo-Yogya, Dialek Jawa Timur, dan Dialek Banyumas (Soemarsono, 2007). Dialek Solo-Yogya dianggap sebagai dialek standar bahasa Jawa karena di samping berada di sekitar pusat budaya keraton, juga bahasanya dianggap lebih santun dibandingkan dengan bahasa dialek lainnya. Dialekdialek itu adalah ragam bahasa Jawa yang semuanya juga perlu dilestarikan sebagai khasanah bahasa dan budaya Jawa. Di samping itu, di dalam tiap-tiap dialek mendudukkan variasi tingkatan bahasa (ngoko-krama) dengan sebutan tingkat-tutur bahasa (undha-usuk/unggahungguh basa). Kemunculan tingkat tutur bahasa Jawa tidak terlepas dari sistem masyarakat Jawa yang tanpa disadari menghendaki keberadaannya. Walaupun tidak mengenal kasta (tingkatan sosial seperti di Bali), masyarakat Jawa sadar diri bahwa mereka secara individu maupun kelompok harus menghormati individu atau kelompok dari kalangan lainnya. Bentuk hormat itu setidak-tidaknya diwujudkan dalam berbahasa. Di dalam tingkat tutur bahasa terdapat norma, salah satunya adalah norma yang muda menghormati yang lebih tua. Bentuk hormat itu diwujudkan dalam bentuk bahasa krama (yang dianggap halus), yaitu yang muda berbahasa krama kepada yang tua. Tidak ada norma yang mengatur pemilihan ragam bahasa bagi yang tua kepada yang muda. Yang lebih tua bisa saja menggunakan ragam krama, bisa juga menggunakan ragam ngoko. Dilihat dari tingkat sosial yang tua dianggap lebih tinggi daripada yang muda, demikian juga terjadi pada status sosial lainnya. Oleh karena itu, analogi penerapan ragam bahasanya adalah sama bagi tingkattingkat sosial yang lain. Latar belakang ini bertentangan dengan anggapan bahwa yang berstatus lebih tinggi bahasanya halus, dan yang lebih rendah bahasanya kurang halus. Mengapa dalam kenyataan justru yang berbahasa halus adalah yang berstatus sosial lebih rendah? Tidak adakah norma yang mengatur pemilihan ragam bahasa bagi yang berstatus lebih tinggi kepada yang berstatus lebih rendah? Berikut digambarkan dimensi sosial masyarakat Jawa, konsep unggah-ungguh basa, prinsip menghormati orang lain, dan bahasa Jawa bukan untuk diri sendiri. 2. Dimensi sosial masyarakat Jawa Prinsip bahwa semua anggota masyarakat di dalam berbicara dan membawakan diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan pangkat dan kedudukannya adalah prinsip yang telah dipegang kuat oleh masyarakat Jawa. Prinsip ini dibarengi dengan sikap yang menunjukkan penampilan sosial yang harmonis dan menghindari 1
2 semua konflik dalam situasi apa pun. Di dalam beberapa ajaran moral konvensional juga disebutkan bahwa manusia Jawa hendaknya mempunyai hambeg watak memadukan beberapa prinsip, yakni andhap asor merendahkan diri, tepa selira tahu diri, empan papan bisa menyesuaikan diri, senang menghormati orang lain, berbudi pekerti luhur, dan asih ing sapadha-padha menyayangi sesamanya. Watak-watak ini juga tercermin dalam segenap aktivitas berbahasa. Kriteria di atas mencerminkan bahwa orang Jawa memiliki sikap mengalah. Mengalah bukan berarti kalah, tetapi mengalah untuk menang. Artinya, manusia Jawa sesungguhnya tidak akan memperebutkan sesuatu kemenangan itu dengan kekerasan apalagi kekerasan fisik. Kekerasan yang dipakai adalah kekerasan tekat untuk menang, yaitu dengan kelemahlembutan. Sebagai misal apabila dua orang berselisih dan masing-masing memperebutkan kebenarannya sendiri, hal yang terjadi justru akan menghancurkan kedua belah pihak. Perselisihan itu pun tidak akan selesai. Kalaupun selesai tidak akan tuntas. Akan tetapi apabila masing-masing memperebutkan kesalahan, masing-masing akan segera mengalah, perselisihan akan segera berakhir dan tuntas. Sikap ini juga identik dengan jargon menang tanpa ngasorake menang tanpa harus mengalahkan. Inilah letak kepiawaian manusia Jawa dan semoga bukan merupakan senjata untuk menutupi kekurangan dan kelemahan manusia Jawa itu sendiri. Sikap mengalah orang Jawa bisa ditunjukkan dalam bahasa. Lihat saja, bahwa bahasa halus tidak bisa dipakai untuk bertengkar. Bahasa kasarlah yang biasa dipakai untuk bertengkar. Hal ini dapat dibuktikan, misalnya orang yang marah kepada Anda secara otomatis akan diam setelah Anda menjawab maki-makiannya dengan bahasa halus (krama). Orang marah biasanya mengucapkan kata-kata ragam kurang halus (kasar), bila Anda mengimbanginya dengan kata-kata dengan ragam yang sama, pertengkaran akan lebih gila. Tidak akan terjadi pertengkaran dengan media bahasa-bahasa halus. Namun demikian bahasa halus justru akan lebih terpelihara dan bertahan karena norma merestuinya. Gejala ini menunjukkan bahwa sebenarnya semakin halus bahasa digunakan seseorang semakin halus pula kepribadian seseorang tersebut, semakin terhormat pula orang yang bersangkutan. Jadi pada hakikatnya bukanlah mitrawicara yang lebih halus dan lebih hormat, tetapi menghormati diri sendiri. Pepatah ajining dhiri dumunung ing lathi harga diri seseorang tergantung pada cara bicaranya mengingatkan kepada masyarakat tentang kesadaran cara menghargai diri sendiri. Seseorang yang berbudi bahasa baik, tentu harga dirinya lebih baik. Sebaliknya, orang yang bahasanya kurang baik, tentu harga dirinya juga rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat dari kalangan mana pun akan semakin baik menggunakan bahasa yang semakin halus. Jika perlu dapat dipakai bahasa yang paling halus kepada siapa pun, tanpa memperhatikan dari status apa pun dia berasal. Perilaku ini tanpa disadari hanyalah untuk 2
3 menghargai dan menghormati diri sendiri. Pepatah ini tidak berarti menunjuk bahwa manusia Jawa harus berperilaku sombong, meninggikan diri sendiri, atau tamak. Secara teoretis, ada beberapa faktor seseorang memilih tingkat bahasa tertentu. Tingginya tingkat kedudukan seorang mitrawicara menentukan kehalusan bahasa yang dipakai. Semakin tinggi tingkat kedudukan seseorang mitrawicara semakin halus bahasa yang dipakai. Faktor itu antara lain umur, keturunan, derajat/pangkat, kekuasaan, kualitas diri, keakraban. Faktor-faktor itu identik dengan kedudukan sosial yang menandai adanya ketercapaian dalam hidup, misalnya kedudukan seorang pejabat tinggi seakan-akan mencapai kesuksesan tertentu. Jika demikian halnya, terjadilah kesalahan fatal bagi kehidupan si pejabat yang bersangkutan. Harus diingat bahwa kebahagiaan lahir maupun batin merupakan dorongan batin serta restu masyarakat sekitar. Seorang yang hidup bahagia lahir dan batin hendaknya tidak tamak, serta selalu ingat orang lain di sekitarnya. Pada hakikatnya kebahagiaan seseorang itu tidak mungkin dicapai hanya dengan bekerja sendiri, tetapi harus ada bantuan atau dukungan dari orang lain (manusia makhluk sosial). Oleh karena itu, hendaknya jasa-jasa mereka tidak dilupakan. Demikianlah kata pepatah bahwa tidak akan ada raja kalau tidak ada rakyatnya, tetapi tanpa raja pun rakyat tetap ada. Oleh karena itu, manusia Jawa hendaknya tetap menerapkan prinsip aja dumeh dan tidak menerapkan aji mumpung dalam kehidupannya termasuk dalam perilaku bahasanya. Aja dumeh adalah suatu peringatan agar orang selalu ingat kepada sesamanya. Aji mumpung adalah salah satu pedoman mengendalikan diri dari sifat-sifat serakah dan angkara murka apabila seseorang sedang hidup di atas (dalam kedudukan sosial yang tinggi). Pangkat dan kekuasaan hanya merupakan sarana untuk menjalankan tugas-tugas sebagai pemimpin, atau sekadar kepercayaan yang diterimanya dari masyarakat atas prestasinya. Kekuasaan adalah kepercayaan yang diserahkan rakyat untuk dilaksanakan, bukan sebagai alat untuk menguasai rakyat. Penghormatan dan penghargaan bukan semata-mata derajat, kekuasaan tetapi merupakan penghormatan kepada sesama. Di dalam sistem norma terdapat nilai-nilai budaya yang sudah terkait peranannya masing-masing anggota masyarakat. Hal itu tampak pada sikap antara yang tua dan yang muda, atau sebaliknya. Misalnya pada saat hari raya, yang muda yang akan datang bertandang kepada yang lebih tua, menyampaikan sesuatu sebagai tanda kasih/hormat, kemudian sungkem, dan memohon restu.. Yang tua memberi restu dan wejangan sebagai bekal pelajaran hidup kepada yang lebih muda. Kalau menghadapi orang tua atau yang dituakan, seorang muda harus berbuat sesuatu yang telah digariskan. Orang muda tidak boleh sembarangan menggunakan bahasa, misalnya menggunakan ngoko kepada orang tua, atau atasannya. Sebenarnya seseorang yang sudah terbiasa tidak akan kesulitan menerapkan unggah-ungguh basa jika hal itu biasa digunakan. Di dalam batin setiap orang sudah tertanam pola tata krama pergaulan yang pasti (konkret) sehingga sikap yang bagaimana pun yang diperlukan adalah ekspresi pola pikiran yang telah ada sejak kecil tertanam di dalam lingkungan keluarganya. 3
4 3. Konsep Unggah-ungguh Banyak sekali istilah yang kira-kira mengandungi makna yang sama dengan apa yang terdapat di dalam kata unggah-ungguh. Istilah-istilah itu adalah sopan santun, kesopanan, kesantunan, subasita, tata krama, tata susila, tata cara, adat-istiadat, dan lain-lain. Menurut Poerwadarminta (1939: 443) unggah-ungguh adalah tata bahasa yang didasari oleh tata krama (tata pranataning basa mitoeroet loenggoehing tatakrama) atau sudah pada tempatnya, sangat pantas (mungguh, mapan, wis prenah banget, pantes banget). Bentuk unggah-ungguh adalah kata majemuk, atau bentuk ulang dari kata unggah yang artinya naik; berorientasi pada adanya tata krama, basa-basi, sopan-santun yang bersifat umum. Dari pengertian di atas, setidak-tidaknya konsep unggah-ungguh berkaitan dengan bahasa, berkaitan pula dengan budi pekerti. Sehingga kemudian muncul istilah unggahungguh basa yang sesungguhnya adalah unggah-ungguh itu sendiri. Agaknya istilah ini lebih dekat dengan kata sopan santun bahasa. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2003) kata sopan-santun artinya budi pekerti yang baik, tata krama, peradaban, kesusilaan. Apabila dikaitkan dengan bahasa, sopan santun berbahasa artinya budi pekerti yang baik, tata krama, peradaban, atau kesusilaan dalam berbahasa. Kata sopan sendiri artinya hormat dan takzim; tertib, menurut adat yang baik, sedangkan santun adalah halus dalam budi bahasa dan tingkah lakunya; penuh rasa belas kasihan dan suka menolong. Di dalam kata santun sudah meliputi kehalusan budi bahasa, sehingga kalau bisa dikonkretkan kata unggah-ungguh dapat disebut kesantunan atau kesantunan berbahasa. Konsep kesantunan yang berkaitan dengan bahasa dan budi pekerti tidak dapat dielakkan. Di dalam teori bahasa dikenal adanya faktor lingual dan factor nonlingual yang terlibat dalam ujaran bahasa. Faktor lingual adalah ekspresi berbentuk materi bahasa berupa ujaran itu (kata, kalimat, wacana), berkaitan dengan faktor lahiriah. Faktor nonlingual menyangkut sikap dan tingkah laku yang menyertai pemberian hormat kepada orang lain/mitrawicara. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, oleh Maryono (1990:1) diibaratkan suruh saupamane, beda lumah lawan kurepe, lamun ginigit nunggal rasane seumpama daun sirih, atas bawahnya berbeda, jika digigit satu rasa. Bahasa yang tidak dilandasi aspek tingkah laku akan kehilangan fungsinya sebagai wahana pengungkap sopan santun. Konsep unggah-ungguh atau kesantunan berbahasa dalam kaitan dengan tulisan ini diidentikkan dengan penerapan tingkat tutur bahasa Jawa, krama dan ngoko. Tingkat krama mencerminkan tingkatan halus, tingkat ngoko mencerminkan kenetralan, dan di sekitar krama dan ngoko masing masing menunjukkan sifat yang berbeda dari yang sangat halus hingga yang kasar. Pembagian tingkatan bahasa Jawa mengacu pada Sudaryanto (1989:103), yakni krama (h)alus, krama, ngoko (h)alus, ngoko. Sistem tingkatan ini ditandai oleh pemakaian unsur-unsur kosakata (sebut: ragam) krama inggil, krama, dan ngoko. Krama alus memiliki unsur krama, dan krama inggil untuk mitratutur; krama semua unsurnya adalah ragam krama, 4
5 ngoko alus memiliki unsur ragam ngoko, dan ragam krama inggil untuk mitratutur; dan ngoko hanya memiliki kosakata ragam ngoko. Kosakata ragam ngoko mempunyai jumlah paling banyak. Tidak setiap kata ragam ngoko memiliki padanan dalam ragam krama atau ragam krama inggil, sehingga kosakata ragam ngoko sebenarnya menjadi dasar semua tingkatan dalam bahasa Jawa dan tidak bisa digantikan ragam lain jika memang tidak ada. Selain kosakata, penanda ragam yang lain yakni penggunaan sapaan krama dan ngoko yang juga diaktualisasikan dalam bentuk prefiks honorifik proklitik (pendahulu verba) sebagai penciri verba persona pasif dan transhierarkinya; dan enklitik (mengikuti nomina) penunjuk milik atau kata ganti milik. Kombinasi antara ragam kosakata, sapaan, dan klitika tersebut membentuk tingkat tutur/unggah-ungguh yang berbeda-beda. Semakin halus ragam yang digunakan semakin halus dan hormat pula pertuturan bahasa Jawa yang ada. 4. Prinsip menghormati orang lain Prinsip menghormati orang lain berkaitan dengan hubungan antara penutur (orang pertama/o1), mitratutur (orang kedua/o2), dan yang dituturkan (orang ketiga/o3). Hubungan menghormati selalu ditunjukkan oleh O1 selaku penutur, sedangkan mitratutur yang menanggapi tuturan penutur dalam hal menghormati juga berposisi sebagai O1. Intinya ukuran hubungan itu ditunjukkan oleh penutur sebagai orang yang bertutur. Sekurangkurangnya terdapat tiga hubungan yang dimaksud, yakni hubungan naik, hubungan turun, dan hubungan setara. Hubungan naik menunjukkan posisi O1 lebih rendah, hubungan turun menunjukkan posisi O1 lebih tinggi, dan hubungan setara menunjukkan kesebayaan, tidak ada yang dianggap atau menganggap dirinya lebih tinggi. Dalam bahasa Jawa hubungan naik adalah hubungan menghormati ditunjukkan dengan pemilihan ragam halus. Artinya setiap orang yang berusaha menghormati orang lain selalu berusaha menggunakan ragam halus. Hubungan turun cenderung kurang hormat ditunjukkan dengan pemilihan ragam ngoko. Sedangkan hubungan setara cenderung akrab ditunjukkan dengan pemilihan ragam ngoko/lugu atau lebih rendah dari ngoko. Penanda ragam hormat itu ditunjukkan oleh pemakaian ragam krama (inggil) untuk O2/O3 yang dihormati yang meliputi a. sapaan, b. kosakata, c. kata ganti, imbuhan, dan pemakaian klitika. Penjalin hubungan itu --apakah naik, turun, atau setara-- terdiri dari empat kategori, yakni hubungan (1) O1 terhadap O2, (2) O1 terhadap O3, dan (3) O1 terhadap hubungan O2- O3. Konkret pertuturan dalam hubungan itu dapat diterangkan bahwa pada kategori (1) O1 sama sekali tidak mengacuhkan keberadaan O3 dalam bertutur. Semakin hormat O1 terhadap O2 semakin halus ragam bahasa yang dipilih. Hubungan ini bisa naik, turun atau setara. Dalam kategori (2) O1 melibatkan O3 dalam pembicaraannya terhadap O2, tetapi O1 sama 5
6 sekali tidak mengacuhkan hubungan O2 dengan O3. Dalam kategori (3) O1 melibatkan O3 dalam pembicaraannya terhadap O2, bahkan O1 sangat memperhatikan hubungan O2 terhadap O3. Simpulan ini hanya bersifat awal, barangkali masih ada hubungan yang belum diterangkan di sini. Sekali lagi, tuturan yang dimaksud dalam hubungan ini berfokus pada posisi O1. a. Hubungan model (1) O1 terhadap O2 Hubungan ini adalah hubungan yang paling sederhana dan sedikit banyak sudah di singgung pada bagian terdahulu. Ada tiga kemungkinan dalam model hubungan ini, yakni hubungan naik, hubungan setara, dan hubungan turun. Perhatikan contoh data berikut. (1) Kula sampun tumbas sekul, panjenengan sampun mundhut? Kalimat ini adalah bentuk hormat ragam krama. Hal itu ditandai oleh pemakaian kosakata krama disertai kosakata dan sapaan krama inggil untuk O2. Ragam ini bisa dipakai untuk menghormati O2. Jika tuturan di atas di kembalikan ke dalam bentuk krama dengan mengganti kosakata krama inggil mundhut menjadi tumbas, kesan halusnya berkurang. (1a) Kula sampun tumbas sekul, panjenengan sampun tumbas? saya sudah beli nasi, kamu sudah beli Saya sudah membeli nasi, (apakah) kamu sudah membeli (juga)? Ragam ini bisa dipakai untuk hubungan setara, atau bahkan hubungan turun. Hubungan setara atau hubungan turun juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan ragam ngoko hingga seluruh kosakata, sapaan, maupun klitikanya ngoko, seperti berikut. (1b) Aku wis tuku sega, kowe wis tuku? Kalimat (1b) dapat digunakan untuk hubungan turun. Dalam bahasa Jawa tidak ada krama inggil untuk O1 walaupun dalam hubungan turun. Kalaupun ada krama untuk O1, itu pun hanya terbatas pada ragam krama. Tuturan berikut tidak berterima. (1c) *Kula sampun mundhut sekul, kowe wis tuku? (1d) *Kula sampun tumbas sekul, kowe wis tuku? Kata mundhut (krama inggil) tidak dapat dipakai untuk O1, termasuk penanda krama pada kalimat (1c) untuk O1 karena untuk O2 secara keseluruhan berpenanda ngoko. Di dalam kalimat (1d) pun demikian, tidak berterima penanda krama untuk O1 jika untuk O2 beragam ngoko. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh tuturan yang digunakan untuk hubungan naik dapat digunakan untuk hubungan yang lain, sedangkan tuturan untuk hubungan setara tidak dapat dipakai untuk hubungan naik dan tuturan untuk hubungan setara pada umumnya sama dengan hubungan turun. Dalam kasus tertentu tuturan hubungan turun bisa berupa bahasa kasar. Dapat dikatakan bahwa pemakaian ragam halus lebih luas digunakan daripada yang kurang halus. b. Hubungan model (2) O1 terhadap O3 Dalam model ini juga ada tiga kemungkinan hubungan, yakni hubungan naik, hubungan setara, dan hubungan turun. Perhatikan contoh data berikut. Namun yang perlu diperhatikan 6
7 bahwa kehadiran O3 dalam tuturan tidak secara langsung. Tuturan tetap berlangsung terhadap O2, tetapi berbicara tentang O3. Contoh tuturannya dapat dilihat dalan (2) berikut. (2) Piyambakipun kula aturi tindak dhateng peken. dia saya suruh pergi ke pasar Dia kusuruh perke ke pasar. Unsur kosakata piyambakipun berjenis krama sebagai sebutan untuk O3, tindak berjenis krama inggil untuk O3. Sedangkan kosakata yang lain beragam krama. Kalimat ini bisa digunakan untuk menhormati O3, artinya untuk memenuhi hubungan naik. Kalimat ini sesungguhnya juga dapat dipakai untuk hubungan setara dan turun. Sama halnya dengan model satu, pemakaian ragam halus lebih luas digunakan daripada yang kurang halus. Hal itu dapat dilihat pada contoh (2a) (2d) sebagai berikut. (2a) Piyambakipun kula aturi kesah dhateng peken (krama). (2b) Piyambakipun takkon tindak menyang pasar (ngoko alus). (2c) Dheweke takkon lunga menyang pasar (ngoko). (2d) *Dheweke kula aturi lunga menyang pasar. Tuturan (2a) dan (2c) bisa dipakai untuk hubungan setara dan hubungan turun, tidak bisa dipakai untuk hubungan naik. Tuturan (2b) bisa dipakai untuk semua hubungan, karena masih terdapat ragam krama inggil untuk O3 yakni kata piyambakipun dan tindak. Tuturan (2d) tidak dapat berterima karena pemakaian kosakata krama untuk O1 dalam ragam ngoko. Dapat disimpulkan bahwa pemakaian penanda krama untuk O2 dan O3 menunjukkan hubungan naik, dan dalam kasus tertentu dapat dipakai dalam semua hubungan. c. Hubungan model (3) O1 terhadap hubungan O2-O3 Kasus hubungan ini lebih rumit dibandingkan dengan dua model hubungan sebelumnya. Beberapa kemungkinan yang dapat timbul adalah hubungan O1-O2 naik, sedangkan hubungan O2-O3 bisa naik, setara, atau turun; hubungan O1-O2 setara, sedangkan hubungan O2-O3 bisa naik, setara, atau turun; dan hubungan O1-O2 turun, sedangkan hubungan O2-O3 bisa naik, setara, atau turun. Dengan demikian jumlah hubungan ada sembilan meliputi naiknaik, naik-setara, naik-turun, setara-naik, setara-setara, setara-turun, turun-naik, turun-setara, dan turun-turun. Rumitnya hubungan ini sebenarnya bersifat universal terjadi dalam setiap masyarakat. Hal ini dalam masyarakat Jawa juga ditunjukkan oleh bahasa. Namun dalam banyak hubungan itu masih dapat tafsirkan bahwa hubungan O1-O2 lebih dominan sehingga yang ada adalah hubungan seberti dalam model-model sebelumnya. Untuk melihat secara detail hubungan-hubungan terhadap O3 masih perlu penelitian yang mendalam. Berikut contoh tuturan yang melibatkan peruntukannya bagi O1, O2, dan O3. (3) Piyambakipun ngendika manawi panjenengan badhe mundhut gadhahan kula menda. dia berkata kalau Anda akan membeli milik saya kambing Dia berkata kalau Anda akan membeli kambing saya. Tiap-tiap kata dapat ditunjukkan peruntukan serta ragamnya, disertai bentuk ngokonya (krama bagi yang krama inggil) sebagai berikut. 7
8 piyambakipun (O3, krama) dheweke (N) ngendika (O3, krama inggil) ngomong/kandha (N) manawi (netral, krama) manawa/yen (N) panjenengan (O2, krama inggil) sampeyan (K), kowe (N) badhe mundhut (O2, krama inggil) badhe tumbas (K), arep tuku (N) gadhahan kula (O1, krama) duwekku (N), kagungan kula (K inggil) menda (netral, krama) wedhus (N) Contoh (3) menunjukkan adalah tuturan paling halus, dapat dipakai untuk hubungan naik, dan sebenarnya bisa dipakai untuk semua jenis hubungan. Dalam hal ini pemakaian krama inggil untuk O2 dan O3 menunjukkan hubungan naik. Bentuk (3) itu dapat diturun menjadi tuturan beragam krama dan ngoko berikut. Dalam ragam krama: (3a) Piyambakipun ngendika manawi sampeyan ajeng numbas gadhahan kula menda. (3b) Piyambakipun matur manawi sampeyan ajeng numbas gadhahan kula menda. Dalam ragam ngoko (3c) Piyambakipun ngendika yen njenengan ajeng numbas wedhusku. (3d) Piyambake ngendika yen kowe arep nuku wedhusku. (3e) Dheweke kandha yen panjenengan badhe mundhut wedhusku. (3f) Dheweke kandha yen kowe arep nuku wedhusku. Tutur yang tidak berterima (3g) *Dheweke kandha yen kowe arep nuku wedhus kula. Tuturan (3g) tidak dapat diterima karena dalam ragam ngoko masing menggunakan kosakata krama untuk O1 kula. Kalimat (3a), (3b), (3c) dan (3e) dan dapat dipakai untuk hubungan naik-naik, dan bahkan masih dapat dipakai untuk seluruh hubungan dalam konsisi tertentu. Kalimat (3d) dan (3f) dapat dipakai untuk hubungan setara. 5. Penutup Pembicaraan di atas masih merupakan ide mencari model untuk menghubungkan perilaku masyarakat Jawa dalam menghormati orang lain dalam wujud kesantunan berbahasa. a. Sopan santun berbahasa berhubungan dengan unggah-ungguh basa, yakni tingkah laku yang disertai budi bahasa yang baik. b. Orang yang baik dalam berbahasa sesungguhnya menghargai diri sendiri. Seseorang yang berbahasa dengan baik/sopan dapat dipandang terhormat, dan orang lain akan cenderung lebih menghormatinya. c. Bahasa Jawa sesungguhnya diperuntukkan bagi orang lain, bukan untuk diri sendiri. Hal ini dilakukan semata-mata manusia Jawa selalu lebih menghormati orang lain daripada diri sendiri. Hal ini terbukti bahwa pemakaian bahasa krama, khususnya krama inggil hanya dapat dipakai untuk O2, atau O3, bukan untuk O1. Di samping itu 8
9 pemakaian bahasa halus lebih potensial digunakan dalam berbagai hubungan daripada bahasa yang kurang halus. d. Di dalam tulisan ini belum disinggung hubungan yang multi dimensional, yakni hubungan yang saling silang antara O1, O2, dan O3. Belum dilihat hubungan O1 dan O2 dalam kaitannya dengan O2. Hubungan ini tentu lebih kompleks karena status sosial seseorang ditentukan oleh banyak faktor. Misalnya, seseorang ketika di rumah adalah anak yang harus patuh kepada orang tua, tetapi ia di masyarakat dipandang berkualitas karena pendidikannya tinggi, dan di lingkungan pekerjaanya dia adalah pimpinan, dapat juga bawahan dari tetangganya, dan seterusnya. Tidak selamanya hubungan dalam model (3) selalu seperti itu, tetapi bisa saja terjadi hubungan O1-O2 naik, hubungan O2-O3 naik, tetapi hubungan O1-O3 turun, dan seterusnya. DAFTAR PUSTAKA Dwiraharjo, Maryono. (1990). Tingkat Tutur dalam Bahasa Jawa sebagai Bentuk Sopan Santun Berbahasa. Makalah Seminar. Surakarta: Lembaga Javanologi. Dwiraharjo, Maryono. (2001). Bahasa Jawa Krama. Surakarta: Pustaka Cakra. Harjawiyana, Haryana, et al. (2001). Kamus Unggah-ungguh Basa Jawa. Yogyakarta: Kanisius. Poedjosoedarmo, Soepomo, et al. (1979). Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Poedjowardojo, S. (1990). Unggah-ungguh lan Kasusilan. Makalah Seminar. Surakarta: Lembaga Javanologi. Poerwadarminta, W.J.S. (1939). Baoesastra Djawa. Groningen, Batavia: J.B. Wolters Uitgevers Maatschappij N.V. Purwo, Bambang Kaswanti. (1990). Tingkat Tutur Bahasa Jawa: Tata Bahasa dan Pragmatik. Makalah Kongres Bahasa Jawa. Semarang. Soemarsono, et al. (2007). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Kerjasama Sabda dan Pustaka Pelajar. Sudaryanto. (1989). Pemanfaatan Potensi Bahasa. Yogyakarta: Kanisius. Tim Penyusun. (2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka. 9
CERMINAN NILAI SOSIAL DAN BUDAYA DALAM VARIASI TINDAK TUTUR BAHASA JAWA DIALEK BANYUMAS
CERMINAN NILAI SOSIAL DAN BUDAYA DALAM VARIASI TINDAK TUTUR BAHASA JAWA DIALEK BANYUMAS Hesti Fibriasari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan ABSTRAK Bahasa adalah alat untuk berinteraksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa merupakan suatu keunggulan kecerdasan manusia yang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan suatu keunggulan kecerdasan manusia yang sangat diperlukan oleh masyarakt manusia (Gardner dalam Sukardi, 2005: 67). Kecerdasan yang dimiliki
Lebih terperinciPEMAKAIAN ISTILAH-ISTILAH DALAM BAHASA JAWA DIALEK SURABAYA PADA BERITA POJOK KAMPUNG JTV YANG MELANGGAR KESOPAN-SANTUNAN BERBAHASA SKRIPSI
PEMAKAIAN ISTILAH-ISTILAH DALAM BAHASA JAWA DIALEK SURABAYA PADA BERITA POJOK KAMPUNG JTV YANG MELANGGAR KESOPAN-SANTUNAN BERBAHASA SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat-syarat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menanyakan sesuatu, mengekspresikan diri, dan mempengaruhi orang lain. penting bagi manusia untuk berinteraksi dengan orang lain.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial tidak mungkin hidup sendiri tanpa kehadiran orang lain. Hal ini membutikkan bahwa pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial. Manusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Manusia pada hakikatnya adalah sebagai makhluk individu dan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Manusia pada hakikatnya adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu dimana manusia mempunyai perasaan, jiwa, hati dan pikiran masing-masing
Lebih terperinciHUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL ORANG TUA DENGAN UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA PESERTA DIDIK SMP NEGERI 2 KALIWIRO KABUPATEN WONOSOBO
HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL ORANG TUA DENGAN UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA PESERTA DIDIK SMP NEGERI 2 KALIWIRO KABUPATEN WONOSOBO Aris Hidayat, Gusti Surawening Pradanasiwi Universitas Muhammadiyah
Lebih terperinciBAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan Dalam penelitian ini dapat disimpulkan dua hal yang merupakan jawaban dari perumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya. Simpulan dari penelitian
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. wajib untuk Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Dasar. Sekolah Dasar
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mata pelajaran muatan lokal yang tercantum dalam Garis- Garis Besar Program Pengajaran ialah mata pelajaran Bahasa Jawa sebagai mata pelajaran wajib untuk Sekolah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh suku, daerah dan bangsa dalam bersosial. Tanpa adanya bahasa, komunikasi antar manusia akan terhambat. Manusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tingkah laku manusia dengan adanya norma-norma tertentu yang harus
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki beragam suku bangsa dan budaya. Budaya, dalam tulisan ini khususnya budaya Jawa, mengatur tingkah laku manusia dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bahasa dapat digunakan manusia dalam menyampaikan ide, gagasan,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa dapat digunakan manusia dalam menyampaikan ide, gagasan, keinginan, perasaan serta pengalamannya kepada orang lain. Tanpa bahasa manusia akan lumpuh dalam berkomunikasi,
Lebih terperinciPERGANTIAN MAKNA DALAM BAHASA JAWA KRAMA. Oleh: Kustri Sumiyardana ABSTRAK
Magister linguistik PPs UNDIP Semarang, 6 Mei 2010 PERGANTIAN MAKNA DALAM BAHASA JAWA KRAMA Oleh: Kustri Sumiyardana ABSTRAK Akibat politik bahasa nasional, keberadaan bahasa ibu di Indonesia mulai terdesak.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap negara memiliki beragam norma, 1 moral, 2 dan etika 3 yang menjadi pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang berbeda-beda
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pembelajaran bahasa Jawa antara lain untuk melestarikan budaya Jawa dan membentuk budi pekerti generasi bangsa. Hal tersebut tertuang dalam standar isi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama anak, tempat anak meniru
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama anak, tempat anak meniru perilaku orang tua. Orang tua memiliki peran penting dalam membimbing, mengawasi, mengarahkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lisan. Secara tertulis merupakan hubungan tidak langsung, sedangkan secara. sebuah percakapan antar individual atau kelompok.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam kehidupannya memerlukan komunikasai untuk dapat menjalin hubungan dengan manusia lain dalam lingkungan masyarakat. Ada dua cara untuk dapat melakukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana, 1982:17). Bahasa
Lebih terperinciSILABUS MATA PELAJARAN : BAHASA JAWA
SILABUS MATA PELAJARAN : BAHASA JAWA Satuan Pendidikan : SMP N 3 Sewon Kelas/ Semester : VII/ 1 Kompetensi Inti : KI1 : Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya. KI2 KI3 KI4 : Menghargai dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. disebabkan karena kurangnya minat dan motivasi belajar bahasa Jawa. lingkungan sekolah maupun luar sekolah.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penerapan berbicara bahasa Jawa belum sepenuhnya dilaksanakan dalam pembelajaran bahasa Jawa, karena dalam proses belajar mengajar guru masih menggunakan bahasa
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS DATA. dikumpulkan, diklasifikasikan dan dianalisis. mewawancarai secara mendalam kepada responden.
BAB IV ANALISIS DATA Analisis data merupakan proses pengantar urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategori dan satu uraian dasar. Pada tahap ini data yang diperoleh dari berbagai sumber
Lebih terperinci2016 PENGGUNAAN TINGKAT TUTUR BAHASA JAWA CIREBON DI KALANGAN GENERASI MUDA
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu yang digunakan oleh masyarakat Jawa, terutama masyarakat yang tinggal di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa
Lebih terperinciPENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keluarga yang harmonis. Dalam berumah tangga setiap pasang terkadang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu tradisi dipersatukannya dua insan manusia dalam ikatan suci, dan keduanya ingin mencapai tujuan yang sama yaitu menjadi keluarga yang harmonis.
Lebih terperincikeunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada (Yamin, 2010:64). Tetapi terkadang dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Berbagai keragaman di setiap wilayahnya membuat Indonesia disebut sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lingkungan sesuai dengan norma norma dan nilai nilai sosial dan saling
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesantunan dalam berbahasa di lingkungan masyarakat dan sekolah sangatlah penting, karena dengan bertutur dan berkomunikasi dengan santun dapat menjaga nilai diri sebagai
Lebih terperinciMENGENALKAN UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA KEPADA ANAK USIA DINI
MENGENALKAN UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA KEPADA ANAK USIA DINI PENDAHULUAN Menurut Sayuti (2007) bahwa ketika muncul kesadaran bahwa yang lokal selalu menjadi korban marginalisasi sehingga terpinggirkan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia. Keluarga yang terdiri dari orang tua dan anak, masing-masing memiliki
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan satuan yang terkecil dalam masyarakat. Keluarga mempunyai peran yang besar dalam membentuk sebuah bangsa yang besar seperti Indonesia. Keluarga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. satu ciri pembeda utama antara manusia dengan makhluk hidup lainnya. Selain
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia mempergunakan bahasa sebagai sarana komunikasi dalam hidup ini. Bahasa merupakan sebuah lambang dalam berkomunikasi. Bahasa menjadi salah satu ciri pembeda
Lebih terperinciPEMEROLEHAN BAHASA JAWA PADA ANAK USIA DINI DI LINGKUNGAN PENUTUR MULTIBAHASA SERTA STRATEGI PEMERTAHANANNYA SEBAGAI PENGUAT JATI DIRI BUDAYA BANGSA
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III- 78 PEMEROLEHAN BAHASA JAWA PADA ANAK USIA DINI DI LINGKUNGAN PENUTUR MULTIBAHASA SERTA STRATEGI PEMERTAHANANNYA SEBAGAI PENGUAT JATI DIRI BUDAYA BANGSA Favorita
Lebih terperinciREALISASI KESANTUNAN BERBAHASA DI KALANGAN MAHASISWA DALAM BERINTERAKSI DENGAN DOSEN DAN KARYAWAN
REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA DI KALANGAN MAHASISWA DALAM BERINTERAKSI DENGAN DOSEN DAN KARYAWAN SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat S-I Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra
Lebih terperinciArah Pelestarian Bahasa Jawa Krama di Surakarta. Oleh. Sri Marmanto. Fakultas Sastra dan Seni Rupa. Universitas Sebelas Maret Surakarta
MR Arah Pelestarian Bahasa Jawa Krama di Surakarta Oleh Sri Marmanto Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta Bahasa Jawa (BJ) adalah bahasa ibu (mother tongue ) dengan jumlah
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. isinya. Beberapa pengkajian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Peribahasa Jawa cukup banyak jumlahnya dan beraneka ragam isinya. Beberapa pengkajian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ajaran moral yang cukup tinggi terkandung di dalamnya.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat sehari-hari. Masyarakat menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan salah satu alat paling penting dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Masyarakat menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi untuk berinteraksi
Lebih terperinciEtika dan Penggunaan Unggah-ungguh Bahasa Jawa dalam Roman Nona Sekretaris karya Suparto Brata dan Skenario Pembelajarannya di SMA Kelas X
Etika dan Penggunaan Unggah-ungguh Bahasa Jawa dalam Roman Nona Sekretaris karya Suparto Brata dan Skenario Pembelajarannya di SMA Kelas X Oleh: Hana Pebri Ristiadi Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Lebih terperinciPERANAN METODE BERCERITA DALAM MENGEMBANGKAN NILAI-NILAI MORAL PADA ANAK DI KELOMPOK B2 TK PERTIWI PALU ABSTRAK
PERANAN METODE BERCERITA DALAM MENGEMBANGKAN NILAI-NILAI MORAL PADA ANAK DI KELOMPOK B2 TK PERTIWI PALU Mega Yulianti 1 ABSTRAK Pengembangan nilai moral adalah pembentukan perilaku anak melalui pembiasaan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Era Globalisasi membuat jati diri bahasa Indonesia perlu dibina dan. dimasyarakatkan luas pada khususnya. Agar bangsa Indonesia tidak
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era Globalisasi membuat jati diri bahasa Indonesia perlu dibina dan dimasyarakatkan luas pada khususnya. Agar bangsa Indonesia tidak terbawa arus oleh pengaruh dari budaya
Lebih terperinciREALISASI KESANTUNAN BERBAHASA JAWA MELALUI PESAN SINGKAT (SMS) ANTARA MAHASISWA DAN DOSEN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KEGIATAN AKADEMIS
REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA JAWA MELALUI PESAN SINGKAT (SMS) ANTARA MAHASISWA DAN DOSEN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KEGIATAN AKADEMIS Astiana Ajeng Rahadini, S. Pd., M. Pd.; Favorita Kurwidaria, S.S.,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. sama lain. Bahasa merupakan media yang digunakan oleh manusia untuk
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dan bahasa adalah dua komponen yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Bahasa merupakan media yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bahasa. Manusia memerlukan bahasa sebagai alat komunikasi. Bahasa
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak pernah terlepas dari bahasa. Manusia memerlukan bahasa sebagai alat komunikasi. Bahasa bagaikan udara bagi manusia untuk
Lebih terperinciBahasa Jawa dan Pengajaran Bahasa
1 Bahasa Jawa dan Pengajaran Bahasa oleh Dwi Puspitorini 1 dpr@cbn.net.id 1. PENGANTAR Bahasa Jawa merupakan bahasa daerah dengan jumlah penutur yang paling banyak. Menurut catatan, jumlah penutur bahasa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tutur. Kegiatan berinteraksi antara penutur dan mitra tutur dapat berupa dialog
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bahasa memiliki fungsi penting bagi kehidupan bermasyarakat. Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi antara penutur dan mitra tutur. Kegiatan
Lebih terperinciNASKAH PUBLIKASI. PENGELOLAAN PENDIDIKAN BAHASA JAWA DALAM MENINGKATKAN KESANTUNAN BERBAHASA SISWA DI SEKOLAH (Studi Kasus di MI Muhammadiyah
NASKAH PUBLIKASI PENGELOLAAN PENDIDIKAN BAHASA JAWA DALAM MENINGKATKAN KESANTUNAN BERBAHASA SISWA DI SEKOLAH (Studi Kasus di MI Muhammadiyah Ngasem Tahun 2014) Oleh : DANANG SUPRIYANTO A 510 100 169 FAKULTAS
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pertimbangan akal budi, tidak berdasarkan insting. dan sopan-santun non verbal. Sopan-santun verbal adalah sopan santun
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Baryadi (2005: 67) sopan santun atau tata krama adalah salah satu wujud penghormatan seseorang kepada orang lain. Penghormatan atau penghargaan terhadap
Lebih terperinciIMPLIKATUR PERCAKAPAN PADA WACANA PEMBUKA RAPAT DINAS DI TINGKAT KELURAHAN BERLATAR BELAKANG BUDAYA JAWA NASKAH PUBLIKASI
IMPLIKATUR PERCAKAPAN PADA WACANA PEMBUKA RAPAT DINAS DI TINGKAT KELURAHAN BERLATAR BELAKANG BUDAYA JAWA NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S-1 Pendidikan
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS PERAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI LINGKUNGAN KELUARGA DALAM MEMBENTUK AKHLAQUL KARIMAH PADA REMAJA DI DUSUN KAUMAN PETARUKAN PEMALANG
77 BAB IV ANALISIS PERAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI LINGKUNGAN KELUARGA DALAM MEMBENTUK AKHLAQUL KARIMAH PADA REMAJA DI DUSUN KAUMAN PETARUKAN PEMALANG A. Analisis Tentang Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam
Lebih terperinci1. Menerapkan unggah-ungguh jawa untuk berpamitan. 2. Menerapkan unggah-ungguh jawa untuk menyapa. 3. Menerapkan unggah-ungguh jawa untuk berkenalan.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) SatuanPendidikan : SMP N 4 WATES Kelas/Semester : VII/1 Mata Pelajaran : Bahasa Jawa Materi Pokok : Unggah-ungguh Alokasi Waktu : 2 X 40 menit (80 menit) A. Kompetensi
Lebih terperinciPENDAHULUAN Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat suku Jawa untuk berkomunikasi antarsesama masyarakat Jawa.
1 PENDAHULUAN Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat suku Jawa untuk berkomunikasi antarsesama masyarakat Jawa. Dalam interaksi sosial masyarakat Jawa, lebih cenderung menggunakan komunikasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memenuhi keinginannya sebagai mahluk sosial yang saling berhubungan untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Melalui bahasa manusia dapat berkomunikasi dengan sesama untuk memenuhi keinginannya sebagai mahluk sosial yang saling berhubungan untuk menyatakan pikiran dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. untuk menyampaikan ide, gagasan, atau pendapat. Alat komunikasi itu disebut
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai mahkluk sosial selalu berhubungan dengan orang lain. Dalam mengadakan hubungan atau interaksi dengan sesamanya, manusia memerlukan sebuah alat komuniksi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keragaman budaya. Salah satu contoh kekayaan budaya tersebut adalah beragamnya bahasa daerah yang tersebar di
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa pada prinsipnya merupakan alat untuk berkomunikasi dan alat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa pada prinsipnya merupakan alat untuk berkomunikasi dan alat untuk menunjukkan identitas masyarakat pemakai bahasa. Masyarakat tutur merupakan masyarakat
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA PEMAKAIAN BAHASA KRAMA DAN LOCUS OF CONTROL DENGAN PENALARAN MORAL PADA PENUTUR BAHASA KRAMA. S k r i p s i
HUBUNGAN ANTARA PEMAKAIAN BAHASA KRAMA DAN LOCUS OF CONTROL DENGAN PENALARAN MORAL PADA PENUTUR BAHASA KRAMA S k r i p s i Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat S-1 Psikologi O l e
Lebih terperinciBahasa Indonesia. Ragam Bahasa. Dwi Septiani, S.Hum., M.Pd. Modul ke: Fakultas Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Manajemen
Bahasa Indonesia Modul ke: Ragam Bahasa Fakultas Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Manajemen www.mercubuana.ac.id Dwi Septiani, S.Hum., M.Pd. Hakikat Bahasa Kedudukan Bahasa Kedudukannya Sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan usia pada tiap-tiap tingkatnya. Siswa usia TK diajarkan mengenal
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah sebagai lembaga untuk belajar mengajar merupakan tempat untuk menerima dan memberi pelajaran serta sebagai salah satu tempat bagi para siswa untuk menuntut
Lebih terperinciPENGGUNAAN BAHASA JAWA PADA ANAK USIA 8 DAN 9 TAHUN DI DESA LUNDONG KECAMATAN KUTOWINANGUN KABUPATEN KEBUMEN
PENGGUNAAN BAHASA JAWA PADA ANAK USIA 8 DAN 9 TAHUN DI DESA LUNDONG KECAMATAN KUTOWINANGUN KABUPATEN KEBUMEN Oleh : Ani Lestari program studi pendidikan bahasa dan sastra jawa anisetiyawan27@yahoo.co.id
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bahasa merupakan alat pertukaran informasi. Namun, kadang-kadang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan alat pertukaran informasi. Namun, kadang-kadang informasi yang dituturkan oleh komunikator memiliki maksud terselubung. Oleh karena itu, setiap manusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah alat komunikasi atau alat interaksi yang digunakan oleh manusia
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa adalah alat komunikasi atau alat interaksi yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan maksud, ide, dan gagasan yang dimilikinya serta untuk bersosialisasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bahasa menunjukkan cermin pribadi seseorang. Karakter, watak, atau pribadi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa menunjukkan cermin pribadi seseorang. Karakter, watak, atau pribadi seseorang dapat diidentifikasi dari perkataan yang ia ucapkan. Penggunaan bahasa yang
Lebih terperinciKata Kunci: Manusia Jawa, Kesantunan, Tingkat Tutur. Pendahuluan
Tingkat Tutur Bahasa Jawa Wujud Kesantunan Manusia Jawa (Dulu dan Sekarang) Agustinus Ngadiman Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Abstrak. Bahasa adalah entitas suatu budaya. Dalam bahasa itu terkandung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Bahasa yang baik berkembang berdasarkan suatu sistem,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peranan bahasa dalam kehidupan manusia amat penting. Oleh karena itu, wajar jika bahasa menjadi perhatian banyak orang, terutama para ahli bahasa dan mereka
Lebih terperinciSAPA ARUH: STRATEGI PEMERSATU BANGSA DAN PEMERKAYA BAHASA. Oleh Sutarsih Balai Bahasa Jawa Tengah ABSTRAK
SAPA ARUH: STRATEGI PEMERSATU BANGSA DAN PEMERKAYA BAHASA Oleh Sutarsih Balai Bahasa Jawa Tengah ABSTRAK Magister linguistik PPs UNDIP Semarang, 6 Mei 2010 Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang
Lebih terperinciPENGENALAN BAHASA JAWA PADA ANAK SEBAGAI BENTUK PEMBERDAYAAN BAHASA LOKAL DAN UPAYA PENGUATAN JATI DIRI BANGSA
PENGENALAN BAHASA JAWA PADA ANAK SEBAGAI BENTUK PEMBERDAYAAN BAHASA LOKAL DAN UPAYA PENGUATAN JATI DIRI BANGSA Nur Ramadhoni Setyaningsih Balai Bahasa Provinsi DIY Email: nurramadhonis@gmail.com Abstract
Lebih terperinciKESANTUNAN BERBAHASA PADA TUTURAN SISWA SMP
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Galuh dewinurhayati0403@gmail.com, hendaryan@unigal.ac.id ABSTRAK Bahasa dan kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan. Bahasa digunakan penuturnya untuk
Lebih terperinciPENGGUNAAN TINGKAT TUTUR BAHASA JAWA SISWA KELAS I SD NEGERI 2 TRENTEN KECAMATAN CANDIMULYO MAGELANG SKRIPSI
PENGGUNAAN TINGKAT TUTUR BAHASA JAWA SISWA KELAS I SD NEGERI 2 TRENTEN KECAMATAN CANDIMULYO MAGELANG SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam percakapan sehari-hari di sekolah, siswa lebih banyak menggunakan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Yuwono menyatakan bahwa kemampuan anak-anak dalam berbahasa Jawa dan minat terhadap budaya Jawa pun terlihat semakin turun. Dalam percakapan sehari-hari di sekolah,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dibedakan menjadi dua sarana,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunikasi dapat dilakukan oleh manusia melalui bahasa. Bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dibedakan menjadi dua sarana, yaitu bahasa tulis dan bahasa
Lebih terperinciPemberdayaan Ibu Rumah Tangga dalam Pembelajaran Unggah-Ungguh Bahasa Jawa sebuah Upaya Pendidikan Karakter Anak
Pemberdayaan Ibu Rumah Tangga dalam Pembelajaran Unggah-Ungguh Bahasa Jawa sebuah Upaya Pendidikan Karakter Anak Oleh: Alfiah 1), Mukhlis 2), Yuli Kurniati W 3) Abstrak Iptek bagi masyarakat (IbM) ini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berbagai segi kehidupan. Kenyataan menunjukkan bahwa pemakaian bahasa. dalam suatu pembelajaran di lembaga pendidikan.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bahasa merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, manusia tidak pernah terlepas dari pemakaian bahasa. Manusia sebagai makhluk sosial
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tata kalimat, dan tata makna. Ciri-ciri merupakan hakikat bahasa, antara lain:
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa sebagai rangkaian bunyi yang mempunyai makna tertentu yang dikenal sebagai kata, melambangkan suatu konsep. Setiap bahasa sebenarnya mempunyai ketetapan
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang kajian. Aji Kabupaten Jepara dapat disimpulkan sebagai berikut.
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang kajian morfosemantik istilah-istilah pertukangan kayu di Desa Lebak Kecamatan Pakis Aji Kabupaten Jepara dapat disimpulkan
Lebih terperinciTelaah Budi Pekerti dalam Pembelajaran di Sekolah (Implementasi Konsep dan Prinsip Tatakrama dalam Kehidupan Berbasis Akademis) Oleh: Yaya S.
Telaah Budi Pekerti dalam Pembelajaran di Sekolah (Implementasi Konsep dan Prinsip Tatakrama dalam Kehidupan Berbasis Akademis) Oleh: Yaya S. Kusumah Pendahuluan Pergeseran tata nilai dalam kehidupan sehari-hari
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. manusia dibina melalui suatu pergaulan (interpersonal relationship). Pergaulan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pergaulan adalah salah satu kebutuhan manusia, sebab manusia adalah makhluk sosial yang dalam kesehariannya membutuhkan orang lain, dan hubungan antar manusia dibina melalui
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI. yang relevan dengan hal yang sedang berlangsung. Bertolak pada kenyataan
BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teoretik 1. Pengertian Pragmatik Pengkajian terhadap bahasa jika ditinjau dari sudut pandang linguistik terapan tentu tidak dapat dilakukan tanpa memperhitungkan konteks
Lebih terperinciIDENTIFIKASI KETIDAKTEPATAN PENGGUNAAN UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA JAWA
IDENTIFIKASI KETIDAKTEPATAN PENGGUNAAN UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA JAWA oleh Sutrisna Wibawa FBS Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk
Lebih terperincisudah diketahui supaya tidak berulang-ulang menyebut benda tersebut, bahasa Jawa anak usia lima tahun yang berupa tingkat tutur krama, berjenis
dalam tingkat tutur madya, dan ngoko, serta kata tersebut mengganti benda yang sudah diketahui supaya tidak berulang-ulang menyebut benda tersebut, menerangkan letak barang dan tidak mengandung imbuhan.
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan seperti berikut ini. dalam bidang fonologi (vokal dan konsonan) dan leksikal.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan seperti berikut ini. 1. Variasi kedaerahan bahasa Jawa yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, yang kemudian disebut dengan komunikasi. Bahasa merupakan alat komunikasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat, ide-ide, nilai-nilai kejadian-kejadian yang membangun cerita,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra merupakan ekspresi penghayatan dan pengalaman batin si pencerita (atau pun pengarang) terhadap masyarakat dalam suatu situasi dan waktu tertentu. Di dalamnya
Lebih terperinciDEIKSIS DALAM RUBRIK AH TENANE PADA SURAT KABAR HARIAN UMUM SOLOPOS
DEIKSIS DALAM RUBRIK AH TENANE PADA SURAT KABAR HARIAN UMUM SOLOPOS Wisnu Nugroho Aji Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Widya Dharma Klaten wisnugroaji@gmail.com Abstrak Bahasa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Manusia sebagai mahluk sosial pasti melakukan proses komunikasi dalam kehidupan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia sebagai mahluk sosial pasti melakukan proses komunikasi dalam kehidupan bermasyarakat, karena untuk membentuk suatu hubungan atau kerja sama pasti diawali
Lebih terperinciPEMILIHAN BAHASA DALAM MASYARAKAT PEDESAAN DI KABUPATEN TEGAL DAN IMPLIKASINYA SEBAGAI ALTERATIF BAHAN AJAR MATA KULIAH SOSIOLINGUISTIK.
PEMILIHAN BAHASA DALAM MASYARAKAT PEDESAAN DI KABUPATEN TEGAL DAN IMPLIKASINYA SEBAGAI ALTERATIF BAHAN AJAR MATA KULIAH SOSIOLINGUISTIK Leli Triana ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
Lebih terperinciPENGEMBANGANN MEDIA PEMBELAJARAN KAMUS SAKU UNGGAH- UNGGUH BASA JAWA KELAS IV SDN TAMBAKREJO PURWOREJO SKRIPSI
PENGEMBANGANN MEDIA PEMBELAJARAN KAMUS SAKU UNGGAH- UNGGUH BASA JAWA KELAS IV SDN TAMBAKREJO PURWOREJO SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan termasuk salah satu dasar pengembangan karakter seseorang. Karakter merupakan sifat alami jiwa manusia yang telah melekat sejak lahir (Wibowo, 2013:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 pasal I mengamanahkan bahwa tujuan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan upaya mencapai kedewasaan subjek didik yang mencakup segi intelektual, jasmani dan rohani, sosial maupun emosional. Undang-Undang Sisdiknas
Lebih terperinciBAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. A. Simpulan. Secara keseluruhan penelitian dan pembahasan tentang novel Serat
181 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan Secara keseluruhan penelitian dan pembahasan tentang novel Serat Prabangkara karya Ki Padmasusastra menghasilkan beberapa temuan penting yang dapat
Lebih terperinciSILABUS Satuan pendidikan : SMP N 2 DEPOK Kelas/Semester : VIII / Ganjil Kompetensi Inti :
KI1 KI2 KI3 KI4 Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya. SILABUS Satuan pendidikan : SMP N 2 DEPOK Kelas/Semester : VIII / Ganjil Kompetensi Inti : Menghargai dan menghayati perilaku jujur,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Suku Batak terdiri dari lima bagian yaitu; Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang Suku Batak terdiri dari lima bagian yaitu; Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pak-pak Dairi, dan Batak Angkola Mandailing.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semarang merupakan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Semarang telah
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengantar Semarang merupakan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Semarang telah menjadi suatu wilayah yang kompleks masyarakatnya. Keadaan ini terjadi karena sekarang semakin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. budi atau akal (Kuntowijaya, 2003). Kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta buddhayah yang berarti budi atau akal (Kuntowijaya, 2003). Kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan nasional harus memberikan dasar bagi keberlanjutan kehidupan bangsa dengan segala aspek kehidupan bangsa yang mencerminkan karakter bangsa masa kini.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi merupakan kegiatan interkasi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih baik lisan maupun tulisan. Sebelum mengenal tulisan komunikasi yang sering
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. komunikasi, sebab bahasa adalah alat komunikasi yang sangat penting,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan ciri yang paling khas manusia yang membedakan dengan makhluk-makhluk lain. Dengan bahasa manusia dapat mengadakan komunikasi, sebab bahasa adalah alat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pribadi yang memuaskan. Menurut Dayakisni dan Hudaniah (2005) ketrampilan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketrampilan interpersonal seseorang ditunjukkan dengan terciptanya interaksi sosial dan komunikasi yang efektif sehingga terjalin hubungan antar pribadi yang
Lebih terperinciSILABUS MATA PELAJARAN : BAHASA JAWA
SILABUS MATA PELAJARAN : BAHASA JAWA Satuan Pendidikan : SMP N 1 PIYUNGAN Kelas/Semester : VII / I Kompetensi Inti : KI 1 : Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya. KI 2 : Menghargai dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Berbahasa adalah kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh setiap
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbahasa adalah kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh setiap manusia. Seperti halnya kegiatan yang lain, berbahasa akan terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. juga sebagai makhluk sosial. Dalam hidup bermasyarakat, manusia sebagai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dilahirkan di muka bumi ini selain menjadi makhluk individu juga sebagai makhluk sosial. Dalam hidup bermasyarakat, manusia sebagai makhluk sosial harus
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak dapat hidup sendiri
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia memerlukan manusia lain untuk memenuhi segala kebutuhan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa memiliki peran penting bagi kehidupan manusia, hal tersebut kiranya tidak perlu diragukan lagi. Bahasa tidak hanya dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa
Lebih terperinciPenggunaan Bentuk dan Jenis Honorifik Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo
Penggunaan Bentuk dan Jenis Honorifik Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo Oleh: Ari Fariza Ma rifati Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa afaryza@yahoo.com Abstrak: Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan
Lebih terperinciABSTRAK
STIMULUS KESANTUNAN BERBAHASA MEMBENTUK KARAKTER PADA ANAK Octaria Putri Nurharyani Roch Widjatini Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Email: octariaputri97@gmail.com ABSTRAK
Lebih terperinci