Dilema Pergaraman di Indonesia INFO KOMODITI GARAM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Dilema Pergaraman di Indonesia INFO KOMODITI GARAM"

Transkripsi

1 Dilema Pergaraman di Indonesia INFO KOMODITI GARAM i

2 Ernawati Munadi SANKSI PELANGGARAN Pasal 72 UU No. 19 Tahun Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp ,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupah) 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah) ii

3 Dilema Pergaraman di Indonesia Info Komoditi GARAM EDITOR: Zamroni Salim, Ph.D Ernawati Munadi, Ph.D Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Al Mawardi Prima, Jakarta 2016 iii

4 Ernawati Munadi Judul: Info Komoditi Garam Zamroni Salim, Ph.D dan Ernawati Munadi, Ph.D Copyright 2016 Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Hak Cipta dilindungi Undang-Undang All rights reserved Diterbitkan oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia bekerja sama dengan Al Mawardi Prima Anggota IKAPI DKI Jaya Diterbitkan pertama: Juli 2016 Desain Cover: Piter Prihutomo Sumber Cover depan searah jarum jam 1. Dokumentasi Piter Prihutomo; Sumber cover belakang: 1. Piter Prihutomo; x, 120 hlm, 16,5 x 25 cm ISBN: Pengarah: Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Penanggung Jawab: Sekretaris Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Redaksi Pelaksana: 1. Puspita Dewi, SH, MBA 2. Maulida Lestari, SE, ME 3. Reni K. Arianti, SP, MM 4. Suler Malau, SH 5. Primakrisna T, SIP, MBA 6. Dwi Yulianto, S.Kom AMP Press Imprint Al-Mawardi Prima Anggota IKAPI JAYA Jl. H. Naimun No. 1 Pondok Pinang, Kebayoran Lama Jakarta Selatan Telp/Fax. (021) info@almawardiprima.co.id Website: iv

5 Dilema Pergaraman di Indonesia KATA PENGANTAR Bunga Rampai Info Komoditi Garam merupakan salah satu dari serangkaian Bunga Rampai Info Komoditi yang telah diterbitkan oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) sejak tahun 2013 yang dimaksudkan untuk memberikan kompilasi singkat data dan statistik tentang produksi, konsumsi, pengolahan, perdagangan, kebijakan dan peraturan yang terkait dengan komoditas tertentu. Hal ini mengingat pentingnya sebuah pemahaman yang kuat dari setiap produk, yang sangat diperlukan bukan hanya untuk pengambilan keputusan kebijakan perdagangan yang efektif, namun juga pengembangan dan pemahaman bagaimana untuk meningkatkan daya saing Indonesia. Khusus untuk komoditas garam, pemahaman yang sangat mendalam terkait dengan kondisi produksi dan konsumsi garam di Indonesia beserta permasalahan-permasalahan yang dihadapi sangat diperlukan dan sangat krusial bagi pengambil kebijakan khususnya dan masyarakat secara umum dalam menyikapi pengembangan sektor pergaraman di Indonesia. Menarik untuk dicermati misalnya, bagaimana Indonesia dengan produksi garam nasional pada tahun 2015 yang mencapai 2,84 juta ton belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan garam dalam negeri sebesar 3,75 juta ton pada tahun yang sama. Ironisnya, ketidakmampuan produksi garam Indonesia dalam memenuhi kebutuhan dalam negerinya bukan hanya disebabkan oleh produksi yang lebih rendah dari konsumsi, namun juga karena kualitas garam yang dihasilkan juga belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan industri yang mensyaratkan kualitas garam yang lebih tinggi. Indonesia harus mengimpor dengan jumlah yang tidak kalah banyaknya dengan yang diproduksi dalam negeri, yaitu sebesar 2,16 juta ton pada tahun Akibat situasi ini, garam bukan hanya berperan sebagai komoditas strategis, namun juga sebagai komoditas politis karena garam sangat potensial dalam memberikan keuntungan bagi beberapa pihak. Pemahaman yang mendalam terkait dengan kondisi perdagangan garam baik di dalam negeri maupun di pasar internasional serta bagaimana prospek garam di masa yang akan datang juga sangat penting, khususnya bagi pengambil kebijakan dalam rangka meningkatkan daya saing garam Indonesia di pasar global. Dengan pemahaman yang sangat mendalam terkait dengan aspekaspek tersebut, yang secara mendalam di bahas dalam Bunga Rampai Info Komoditi Garam ini, diharapkan kebijakan yang diambil oleh pemerintah mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi semua stakeholder yang terlibat v

6 Ernawati Bunga Rampai Munadi Info Komoditi Rumput Laut dalam industri pergaraman di Indonesia serta tidak menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak tertentu. Penerbitan Bunga Rampai Info Komoditi Garam diharapkan akan memainkan peran penting dalam membantu peneliti, analis kebijakan dan stakeholder lain dalam memahami pentingnya komoditi garam bagi Indonesia dan ekonomi global sehingga analisis lebih efektif, strategi dan kebijakan dapat dikembangkan untuk menguntungkan konsumen dan produsen Indonesia. Kami juga menyambut setiap komentar atau koreksi serta saran untuk membuat media publikasi info komoditi ini lebih informatif dan bermanfaat. Pada masa yang akan datang, BPPP berencana untuk terus mengembangkan Bunga Rampai Info Komoditi lainnya yang dianggap penting bagi Indonesia, baik dalam kaitannya dengan situasi pasar dalam negeri maupun pasar global. Jakarta, Juli 2016 Editor vi

7 Dilema Pergaraman Kata di Pengantar Indonesia DAFTAR ISI Pengantar Editor...v Daftar Isi... vii Daftar Gambar... viii Daftar Tabel...ix BAB I DILEMA PERGARAMAN DI INDONESIA Ernawati Munadi... 1 BAB II PRODUKSI GARAM INDONESIA Septika Tri Ardiyanti... 7 BAB III KONSUMSI GARAM Steven Raja Ingot dan Titis Kusuma Lestari BAB IV PERDAGANGAN GARAM DI DALAM NEGERI Nugroho Ari Subekti BAB V PERDAGANGAN LUAR NEGERI GARAM Aziza Rahmaniar Salam BAB VI PELUANG DAN TANTANGAN GARAM DI INDONESIA Aditya P. Alhayat BAB VII TATA NIAGA DAN MANISNYA GARAM DI INDONESIA Zamroni Salim Indeks Biografi Penulis vii

8 Ernawati Munadi DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Pengelompokan Garam Berdasarkan Permenperin No. 88/M-IND/PER/10/ Gambar 2.2 Proses Pembuatan Garam dengan Metode Kristalisasi Gambar 3.1 Kebutuhan Garam Nasional Tahun Gambar 3.2 Proses Bisnis Industri Garam Gambar 3.3 Penggunaan Garam Gambar 3.4 Alur Proses Membran Sel dalam Pembentukan Soda Kostik Gambar 3.5 Diagram Alur Proses Penyamakan Kulit Mineral Gambar 4.1 Pola Distribusi Perdagangan Garam Nasional Gambar 4.2 Pola distribusi Perdagangan Garam di Propinsi Daerah Istimewa Aceh.55 Gambar 4.3 Pola distribusi Perdagangan Garam di Propinsi Jawa Timur Gambar 4.4 Pola distribusi Perdagangan Garam di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Gambar 4.5 Pola distribusi Perdagangan Garam di Propinsi Sulawesi Tengah Gambar 5.1 Negara Utama Pengekspor Garam (Volume) Tahun Gambar 5.2 Negara Utama Pengekspor Garam (Nilai) Tahun Gambar 5.3 Negara Utama Pengimpor Garam (Nilai) Tahun viii

9 Dilema Pergaraman di Indonesia DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Produsen Garam Dunia, Tabel 2.2 Produksi Garam Indonesia (Ribu Ton) Tabel 2.3 Pangsa Produksi Garam Rakyat Tiap Daerah Terhadap Produksi Garam Nasional Tahun Tabel 2.4 Luas Lahan dan Produktivitas Garam Indonesia Tabel 2.5 Hasil Analisis Laboratorium Garam dengan Media Isolator Tabel 2.6 Hasil Laboratorium Analisis dan Kalibrasi Badan Kajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Balai Besar Industri Agro Tabel 2.7 Struktur Biaya Produksi Garam Rakyat Tahun 2015 dengan Pola Sewa di Cirebon dan Indramayu Tabel 2.8 Struktur Biaya Produksi Garam Rakyat Tahun 2015 dengan Pola Bagi Hasil di Cirebon dan Indramayu Tabel 3.1 Neraca Garam Nasional, (Dalam Ton) Tabel 3.2 Syarat Mutu Garam untuk Bahan Baku Industri menurut SNI Tabel 3.3 Syarat Mutu Garam untuk Konsumsi Beryodium menurut SNI Tabel 3.4 Proporsi Konsumsi Garam Yodium oleh Rumah Tangga per Provinsi di Indonesia Tahun Tabel 4.1 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) Tabel 4.2 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) di Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tabel 4.3 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) di Propinsi Jawa Timur Tabel 4.4 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) di Propinsi Nusa Tenggara Barat Tabel 4.5 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) di Propinsi Sulawesi Tengah Tabel 5.1 Perkembangan Nilai dan Volume Ekspor Impor Garam Indonesia Tabel 5.2 Perkembangan Volume Ekspor Garam Indonesia HS 10 digit (Ribu Ton) Tabel 5.3 Perkembangan Volume Ekspor Garam Meja Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan (Ribu Ton) ix

10 Ernawati Munadi Tabel 5.4 Perkembangan Volume Impor Garam Indonesia HS 10 digit (Ton) Tabel 5.5 Data Realisasi Impor Garam, (RibuTon) Tabel 5.6 Perkembangan Volume Impor Garam (Yang Mengandung Natrium Klorida Paling Sedikit 94,7%) Indonesia Berdasarkan Negara Asal Impor (Ribu Ton) Tabel 5.7 Harga Garam di Berbagai Negara Tabel 5.8 Daya Saing Garam Indonesia Tabel 5.9 Daya Saing 3 Negara Utama Pengekspor Garam Tabel 5.10 Pokok Perubahan Permendag No. 58/2012 Menjadi Permendag No. 125/ Tabel 6.1 Realisasi dan Proyeksi Kebutuhan Garam Nasional (Dalam Ribu Ton) Tabel 6.2 Pendapatan Rata-rata Petambak Garam Tahun 2014 (Rp/musim) Tabel 6.3 Dampak Iklim terhadap Produksi Garam dan Adaptasi Petambak x

11 Dilema Pergaraman di Indonesia BAB I DILEMA PERGARAMAN DI INDONESIA Ernawati Munadi Garam bukan hanya sebagai komoditas strategis, garam juga merupakan komoditas politik di Indonesia bahkan sejak zaman Kolonial Belanda. Komoditas politik karena menyangkut kepentingan bangsa, komoditas strategis karena semua orang mengkonsumsinya. Sebagai bukti bahwa garam komoditas strategis dan politik dalam sejarah, tahun 1813 Raffles menyelenggarakan monopoli garam di seluruh daerah kekuasaannya, baik produksi maupun distribusi. Hal itu mengingat peran esensial garam baik sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat maupun kebutuhan untuk industri. Akibatnya, garam merupakan salah satu komoditas strategis yang sarat dengan campur tangan pemerintah. Di Indonesia, garam digunakan bukan hanya untuk konsumsi langsung rumah tangga sebagai salah satu kebutuhan pokok dan juga untuk kebutuhan diet. Garam juga banyak digunakan untuk industri yang meliputi industri kimia, industri aneka pangan, industri farmasi, industri perminyakan, dan juga untuk industri penyamakan kulit. Garam diklasifikasikan sebagai garam konsumsi dan garam industri di Indonesia. Klasifikasi garam sebagai garam konsumsi dan garam industri ini didasarkan pada kandungan zat kimia yang diperlukan oleh masing-masing pengguna. Garam konsumsi misalnya mensyaratkan kandungan NaCl minimal 94%, sementara garam untuk diet mensyaratkan kandungan NaCl maksimal 60%. Garam untuk kebutuhan industri, kualitas garam yang diperlukan juga sangat bervariasi, misalnya industri kimia memerlukan garam dengan kandungan NaCl minimal 96%, industri makanan dan minuman memerlukan garam dengan kandungan NaCl minimal 97%, serta industri farmasi memerlukan garam dengan kandungan NaCl yang lebih tinggi lagi yaitu minimal 99,8%. Industri perminyakan memerlukan garam dengan kandungan NaCl yang sedikit lebih rendah yaitu minimal 95%, serta industri water treatment dan penyamakan kulit memerlukan garam dengan kandungan NaCl yang lebih rendah yaitu 85%. Selain garam dengan kualitas kadar NaCl yang tinggi, kualitas garam lain yang dipersyaratkan oleh industri adalah batas maksimal kandungan logam berat seperti kalsium dan magnesium yang tidak boleh melebihi 400 ppm untuk industri aneka pangan, ambang batas maksimal 200 ppm serta kadar air yang rendah untuk industri chlor alkali plan (Gatra, 2015). 1

12 Ernawati Munadi Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP, 2015), produksi garam nasional pada tahun 2015 mencapai 2,84 juta ton. Sebanyak 2,5 juta ton diproduksi oleh garam rakyat yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan garam konsumsi, dan sisanya berupa garam industri yang diproduksi PT. Garam. Dengan total produksi garam pada tahun 2013 sebesar 1,09 juta ton, posisi Indonesia dibandingkan dengan negara produsen utama garam dunia hanya berada ada urutan ke-36 dengan tiga negara yang mendominasi produsen garam dunia pada tahun 2013, yaitu Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dengan pangsa mencapai lebih dari 25%, Amerika Serikat sebesar 15%, dan India 6% (USGS, 2013). Di sisi lain, akibat peningkatan jumlah penduduk dan industri, kebutuhan garam nasional dari tahun ke tahun semakin meningkat, dari hanya 2,7 juta ton pada tahun 2007 meningkat menjadi 3,75 juta ton pada tahun Dari jumlah tersebut, 647,6 ribu ton (17,3%) merupakan kebutuhan garam konsumsi dan 3,1 juta ton (82,7%) merupakan garam industri (BPS, 2015). Ironisnya kebutuhan industri yang memerlukan garam dengan kualitas tinggi, yaitu dengan kandungan NaCl lebih dari 95% mencapai 61,5%. Dari jumlah kebutuhan garam dengan kualitas tinggi yang mencapai 61,5% tersebut, hanya sekitar 31% yang bisa dipenuhi oleh kebutuhan garam yang dihasilkan di dalam negeri. Hal itu terlihat dari data KKP (2015) yang menunjukkan bahwa kualitas garam lokal yang dihasilkan, khususnya oleh petambak garam (garam rakyat) tidak seragam sehingga penjualan garam petani tambak juga digolongkan kedalam beberapa kelas sesuai dengan kualitasnya. Kualitas pertama (KW1) adalah garam dengan tingkat NaCl antara 95%-98%, kualitas kedua (KW2) mengandung NaCl antara 90%-95%, dan kualitas ketiga (KW3) berkadar NaCl kurang dari 90%. Dari total produksi nasional yang mencapai 2,84 juta ton pada tahun 2015, jumlah produksi garam rakyat yang masuk dalam kategori KW1 baru mencapai 31,04%. Dengan demikian, dengan asumsi bahwa kebutuhan garam industri yang mencapai lebih dari 80%, maka masih terbuka peluang pasar sebesar 50% bagi petani garam lokal jika petani garam bisa memproduksi garam yang bisa memenuhi kebutuhan industri dalam negeri (LPPM ITB, 2016). Masih belum terpenuhinya kebutuhan garam dengan kualitas tinggi tersebut mengingat berdasarkan studi KKP (2015), pembuatan garam di Indonesia yang umumnya melalui metode solar evaporation pada areal petak yang kecil mengakibatkan kualitas garam yang dihasilkan bervariasi. Kandungan NaCl garam yang diproduksi dalam negeri hanya berkisar antara 81%-96%. Beberapa uji laboratorium yang dilakukan oleh beberapa instansi juga menunjukkan kandungan NaCl yang lebih rendah. Misalnya (1) Hasil analisis uji sampel garam dari 42 Kabupaten/Kotamadya kepada para penerima 2

13 Dilema Pergaraman di Indonesia program PUGAR yang dilakukan oleh Universitas Diponegoro (UNDIP) pada tanggal 3 Juni 2013 menyatakan bahwa garam tersebut memiliki ratarata kandungan NaCl 92,69%, Kadar Air 2,24%, Pb 8,9 ppm, Cu 3,23 ppm, Arsen 0 ppm; (2) Hasil pengujian laboratorium beberapa Industri Pengolahan Garam pada tahun 2014, garam rakyat memiliki kandungan NaCl sebesar 81,1 86,91%; kadar air = 9,68 9,77%; Ca = 0,15 2,02%; Mg = 0,89 2,31% (Hasil Peninjauan Tim Kemenko Perekonomian, Kemenperin, KKP dan Kemendag); (3) Garam bahan baku premium PT. Garam (14 Maret dan 15 April 2014) memiliki kandungan NaCL (adbk) 95,47% 96,45%, H2O: 0,24 6,23%, Ca 0,22 0,58. Akibatnya untuk memenuhi kebutuhan garam dalam negeri khususnya garam industri, Indonesia pada 2014 mengimpor sebanyak 2,16 juta ton dan jumlah ini sama dengan 69,6% kebutuhan industri yang memerlukan garam dengan kualitas tinggi (Kemenperin, 2016). Adanya perbedaan hasil yang cukup signifikan terkait dengan kualitas garam yang ditunjukkan oleh beberapa institusi yang berbeda-beda ini kemungkinan besar disebabkan oleh sampel yang berbeda-beda. Terlihat bahwa garam yang dibutuhkan sektor industri menuntut kualitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan garam untuk konsumsi rumah tangga. Supaya dapat memanfaatkan peluang tersebut, maka penting bagi pemerintah untuk mengupayakan berbagai terobosan baru yang mampu memberikan insentif kepada produsen garam dalam negeri untuk dapat memproduksi garam dengan kualitas tinggi. Apalagi kebutuhan garam dari sektor industri sendiri berkontribusi lebih dari 80% dari total kebutuhan garam nasional (Sulistyono, 2015). Selain permasalahan terkait dengan kualitas garam yang dihasilkan, permasalahan lain dalam pergaraman adalah produktivitas garam yang masih rendah. Sebagai contoh, produktivitas PT. Garam tidak lebih dari 70 ton/hektar (Kabar Bisnis, 2013). Jika produktivitas petani garam rakyat hanya sebesar 60 ton/hektar, maka dapat disimpulkan bahwa produktivitas garam domestik hanya berkisar 60 ton/hektar hingga 70 ton/hektar. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan Australia yang dapat menghasilkan garam dengan produktivitas yang mencapai 350 ton/hektar (Detik Finance, 2015). Ada banyak faktor yang diperkirakan berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas garam di Indonesia. Pertama, teknik produksi dan peralatan yang digunakan masih sangat tradisional serta produksi garam yang sangat bergantung pada cuaca yang secara umum hanya memungkinkan memproduksi garam hanya dalam waktu 4 bulan (KKP, 2014). Masa produksi ini jauh lebih pendek jika dibandingkan dengan Australia yang iklimnya memungkinkan untuk memproduksi garam hingga 8 bulan sehingga menghasilkan garam yang jauh lebih banyak dengan kualitas tinggi. 3

14 Ernawati Munadi Produksi garam di Indonesia sebagian besar juga merupakan produksi garam rakyat dengan luas areal rata-rata sebesar 0,5-3 hektar dengan letak yang terpencar-pencar. Kondisi ini menyulitkan pengembangan garam dalam skala besar yang terintegrasi dan efisien yang membutuhkan kesatuan lahan datar yang cukup luas yaitu antara 4 ribu hingga 6 ribu hektar sehingga mendapat manfaat dari skala ekonomi (Puska PDN, 2012). Faktor lain juga usaha garam hanyalah merupakan mata pencaharian musiman, di mana petani garam seringkali hanya memanfaatkan waktu jeda pada usaha tambak udang sehingga usaha garam rakyat belum dilakukan secara optimal. Melihat kondisi sektor pergaraman nasional tersebut adalah sebuah dilema bagi pemerintah. Di satu sisi pemerintah harus melidungi petani garam mengingat bahwa 85% produksi di Indonesia dihasilkan oleh garam rakyat dan hanya 15% dari total produksi garam yang dihasilkan oleh PT. Garam (KKP, 2015). Meskipun produksi garam dalam negeri yang sebenarnya dari jumlah tidak sedikit, namun karena produksi garam tidak dikelola dengan teknologi tinggi maka sebagian besar garam yang dihasilkan petani rakyat masih menghadapi kendala dalam menghasilkan garam dengan kualitas yang memenuhi persyaratan yang diinginkan oleh industri. Akibatnya, petani garam sering dihadapkan pada kondisi yang sulit karena rendahnya harga garam impor seringkali memaksa petani garam lokal membanting harga. Sayangnya, pasar akan tetap memilih produk impor yang kualitasnya terjamin dan harganyapun tetap terjaga. Petani garam ingin mendapatkan kepastian dari segi harga dan pasar. Di sisi lain, pemerintah juga harus melindungi sektor industri yang membutuhkan garam. Mereka juga merupakan stakeholder penting yang harus dilindungi terkait dengan kebijakan garam, dan jangan sampai kebijakan yang diambil oleh pemerintah merugikan salah satu stakeholder penting tersebut. Hal ini mengingat bahwa industri pengguna garam juga sangat memegang peranan penting dalam ekonomi. Industri makanan dan minuman misalnya yang membutuhkan garam ratarata per tahunnya sebesar 509,6 ribu ton per tahun juga sangat memerlukan kearifan pemerintah dalam melihat situasi pergaraman nasional yang terjadi selama ini. Hal itu disebabkan karena garam merupakan bahan baku yang sangat esensial dalam proses produksi industri makanan dan minuman. Tanpa garam, industri makanan dan minuman tidak dapat berproduksi, yang pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Tumbuhnya industri makanan dan minuman sangat penting untuk diperhatikan mengingat industri ini sangat berkontribusi terhadap penyerapan lapangan kerja yang jumlahnya tidak sedikit karena multiplier effect yang dihasilkan oleh industri makanan dan minuman dapat memberikan dampak penyerapan tenaga kerja sebanyak empat kali lipat. 4

15 Dilema Pergaraman di Indonesia Sepertinya peningkatan kualitas garam rakyat pada level yang memenuhi persyaratan industri pengguna garam merupakan solusi tepat yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam memecahkan dilema sektor pergaraman ini. Hal itu mengingat bahwa sebenarnya garam rakyat juga mampu mencapai kualitas seperti yang dipersyaratkan oleh industri yaitu dengan kandungan NaCl yang mencapai lebih dari 95%. Hal itu terbukti bahwa sudah ada sekitar 31% garam rakyat yang berdasarkan uji laboratorium telah mampu mencapai NaCl lebih dari 95% apalagi dengan perkembangan produksi yang terjadi akhir-akhir ini dimana dengan bantuan KKP melalui teknologi membran sel umumnya garam rakyat sudah memiliki kualitas dengan kandungan NaCl yang tinggi. Namun upaya yang telah dilakukan oleh program PUGAR yang dimotori oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu bersinergi dengan kementerian lain seperti Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan untuk bisa menciptakan kepastian kualitas namun mampu menjamin kepastian pasar dan harga bagi petani yang merupakan insentif untuk meningkatkan kualitas garam. Jika kepastian harga dan pasar bagi petani sudah tercipta, maka permintaan garam untuk keperluan bahan baku industri yang masih sangat terbuka lebar dapat menjadi peluang yang bisa dimanfaatkan oleh petani yang pada akhirnya mampu meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan petani. Dengan kata lain, kepastian yang diinginkan petani yaitu kepastian tentang pasar dan harga otomatis tercapai jika garam yang dihasilkan rakyat bisa memenuhi kebutuhan industri yang masih terbuka lebar. Belum lagi peluang yang tercipta untuk ekspor garam. Diantara jenis garam yang masih diekspor oleh Indonesia hingga detik ini adalah garam meja. Peluang ekspor garam meja ini bisa menjadi salah satu alternatif solusi atas produksi garam rakyat yang tidak sepenuhnya dapat diserap oleh industri domestik, terutama karena persyaratan kadar NaCl yang sangat tinggi. Beberapa ilustrasi di atas merupakan gambaran tentang sektor pergaraman nasional. Fakta-fakta tersebut akan dibahas secara lebih mendalam dalam Bunga Rampai Info Komoditi Garam edisi kali ini. Buku ini selanjutnya disusun dengan Bab II yang akan membahas Produksi Garam, dan akan dilanjutkan dengan gambaran tentang Konsumsi Garam di Bab III, kemudian membahas lebih jauh terkait dengan Perdagangan Garam di Dalam Negeri di Bab IV yang dilanjutkan dengan Perdagangan Luar Negeri Garam di Bab V. Peluang dan Tantangan Komoditas Garam kemudian akan dibahas di Bab VI dan diakhiri dengan bagian Penutup di Bab VII. Semoga tulisan ini mampu memberikan wawasan tentang Komoditas Garam secara luas dan bermanfaat bagi seluruh pembaca. 5

16 Ernawati Munadi DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik (BPS). (2015). Distribusi Perdagangan Komoditi Garam Indonesia. Diunduh dari tanggal 31 Januari Detik Finance. (2015, Oktober 7). Faisal Basri Kritik BUMN Garam. Diunduh tanggal 29 Januari 2016 dari read/2015/10/07/210546/ / 1036/faisal-basri-kritik-bumngaram. Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, KKP. (2015). Refleksi 2014, Outlook Jakarta: Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, KKP. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2014). Laporan Kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2015). Laporan Kinerja Kementerian Kelatuan dan Perikanan Tahun Diunduh tanggal 17 Februari 2016 dari LAKIP-KKP-2014.pdf. Gatra. (2015, April 20). Hingga Akhir 2015, Kebutuhan Garam Nasional 2,6 Juta Ton. Diunduh tanggal 15 Februari 2016 dari com/ekonomi/industri/ hingga-akhir-2015,-kebutuhangaram-nasional-2,6-juta-ton. Kementerian Perindustrian (Kemenperin). (2016) Diunduh 11 Mei 2016, dari Bergantung-Impor. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM ITB). (2016). Peningkatan Kualitas dan Produksi Industri Garam Rakyat. Diunduh tanggal 12 Februari 2016 dari laporanpengabdian /peningkatan-kualitas-dan-produksi-industrigaram-rakyat. Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri (Puska PDN). (2012). Penerapan Supply Chain Management untuk Meningkatkan Efisiensi dan Efektifitas Distribusi pada Kasus Garam. Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Jakarta. Sulistyono, Endra. (2015). Mewujudkan Garam Nasional yang Berswasembada. Diunduh 15 Mei 2016, dari: go.id/sites/default/files /Mewujudkan%20Garam%20Nasional%20 yang%20berswasembada.pdf. US Geological Survey (USGS). (2013). Publications: Mineral Yearbook. Diambil kembali dari US Geological Survey (USGS): minerals.usgs. gov/minerals/pubs/commodity/salt/myb salt.xls. 6

17 Produksi Garam Indonesia BAB II PRODUKSI GARAM INDONESIA Septika Tri Ardiyanti 2.1 Pendahuluan Garam menjadi salah satu komoditas strategis nasional yang kedudukannya tidak kalah penting jika dibandingkan dengan kebutuhan pokok lainnya, mengingat peran dan fungsi yang dimilikinya. Selain berfungsi sebagai bahan pangan, garam juga berfungsi sebagai bahan baku bagi industri dalam negeri. Sebagai bahan pangan yang mengandung unsur mineral yang dibutuhkan oleh manusia, Sodium dan Klor (NaCl), keberadaan garam tentu mutlak diperlukan di tiap rumah tangga masyarakat. Sementara sebagai bahan baku industri, garam menjadi bahan baku penting bagi industri makanan olahan, industri kimia atau farmasi, industri penyamakan kulit dan industri pengeboran minyak (Rismana dan Nizar, 2014). Melihat peran esensial garam bagi konsumsi rumah tangga yang menyangkut ketahanan pangan dan pemenuhan gizi nasional serta fungsi sebagai bahan baku bagi industri di dalam negeri, tidak heran apabila garam kemudian juga dijuluki sebagai salah satu komoditas politik (Gibran, 2015). Sebagai komoditas politik, isu swasembada garam nasional kemudian menjadi salah satu isu yang banyak diperbincangkan. Hal tersebut disebabkan karena Indonesia masih bergantung pada garam impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya, sebuah kondisi yang cukup ironis bagi Indonesia, negara yang 2/3 wilayahnya merupakan lautan. Meskipun pemerintah telah menargetkan bahwa Indonesia harus menjadi poros maritim dunia di masa mendatang, usaha produksi garam yang notabene merupakan salah satu produk hasil laut ternyata masih belum banyak diminati di dalam negeri, termasuk usaha untuk meningkatkan kualitas garam nasional (Purbani, 2001). Hingga saat ini, sebagian besar produksi garam dilakukan secara individual oleh petani garam sehingga produksi garam mempunyai produktivitas yang rendah dan kualitas garam yang relatif rendah pula sehingga tidak memenuhi spesifikasi yang disyaratkan oleh industri di dalam negeri (Efendy, et al., 2016). Apabila dibandingkan antara kebutuhan nasional dan kemampuan produksi, maka produksi garam nasional hanya mampu memenuhi kebutuhan dari sisi konsumsi saja, sementara untuk kebutuhan bahan baku industri masih bergantung pada impor. Meskipun garam konsumsi telah dipenuhi oleh produksi dalam negeri, namun ternyata sebagian besar produksi garam rakyat tersebut masih membutuhkan proses pengolahan lebih lanjut untuk dapat memenuhi segala standar yang dibutuhkan hingga layak dikonsumsi oleh masyarakat (Efendy, Zainuri dan Hafiluddin, 2014). 7

18 Septika Tri Ardiyanti Berbagai permasalahan yang terdapat pada usaha produksi garam rakyat tersebut, tentu memberi dampak bagi para petani garam. Rendahnya kualitas produksi garam serta persaingan dengan garam impor membuat harga garam dalam negeri semakin tertekan yang pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan petani garam. Bahkan, salah satu faktor keengganan petani garam untuk berproduksi dan memperbaiki kualitas produksi adalah harga garam di pasar dalam negeri yang tidak stabil dan sering turun drastis (Kompas, 2016). Padahal, usaha produksi garam rakyat juga merupakan salah satu roda penggerak perekonomian karena menyediakan lapangan kerja terutama bagi masyarakat di kawasan pesisir Indonesia dan menjadi sarana untuk mengentaskan kemiskinan (Kusumastanto dan Satria, 2012). Melihat fakta-fakta tersebut, maka produksi garam kemudian menjadi salah satu isu nasional dan merupakan fokus pemerintah saat ini. Bab ini membahas lebih lanjut berbagai isu terkait produksi garam nasional termasuk kinerja produksi garam nasional dari sisi teknologi yang digunakan, luas areal dan produksi garam nasional, permasalahan dalam produksi hingga kebijakan yang telah dilakukan pemerintah guna meningkatkan dan memperbaiki kuantitas dan kualitas produksi garam nasional. 2.2 Sumber dan Jenis Garam Garam di dunia berasal dan diproduksi dari berbagai sumber. Secara umum, terdapat tiga sumber utama garam, antara lain (Burhanuddin, 2001): a. Air Laut dan Air Danau Asin Sebesar 40% produksi garam dunia berasal dari air laut. Beberapa negara produsen garam yang berasal dari air laut antara lain Australia, Brazil, RRT India, Kanada dan Indonesia. Sementara itu, produksi garam dunia yang berasal dari air danau asin menyumbangsebesar 20% dari total produksi dunia. Negara produsen garam yang berasal dari air danau asin antara lain: Yordania (Laut Mati), Amerika Serikat (Great Salt Lake), RRT dan terdapat beberapa daerah di Australia. b. Tambang Garam Produksi garam dunia yang berasal dari dalam tanah (tambang garam) memiliki pangsa sebesar kurang lebih 40% dari total produksi garam dunia. Tambang-tambang garam terutama berada di Negara Amerika Serikat, Belanda, RRT dan Thailand. c. Air Dalam Tanah Garam yang berasal dari air dalam tanah memiliki pangsa yang amat kecil dari total produksi garam dunia. Kecilnya produksi garam yang berasal dari air tanah disebabkan biaya yang harus dikeluarkan untuk memproduksi garam tersebut dinilai tidak efisien (tidak ekonomis). 8

19 Produksi Garam Indonesia Selain pengelompokan berdasarkan sumber asal garam, garam di dunia dikelompokkan menjadi empat jenis berdasarkan nomenklatur perdagangan internasionalnya yaitu klasifikasi barang menurut ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature (AHTN). AHTN merupakan nomenklatur klasifikasi barang yang bertujuan untuk menyederhanakan transaksi perdagangan intra- ASEAN melalui suatu nomenklatur yang seragam. AHTN terdiri dari 6 digit kode numerik HS yang dibuat oleh World Custom Organization (WCO) dan kemudian disusun ke dalam 8 digit kode numerik HS yang seragam untuk seluruh ASEAN. Jenis garam berdasarkan klasifikasi tersebut antara lain: 1) Garam meja/ table salt (HS: ), 2) Rock salt (HS: ), 3) Sea water (HS: ) dan other (HS: ) (Kemenkeu, 2016). Berbeda dengan klasifikasi garam dunia, klasifikasi garam nasional secara garis besar dikelompokkan menjadi dua jenis garam yaitu garam konsumsi dan garam industri. Pengklasifikasian tersebut didasarkan pada Peraturan Menteri Perindustrian No. 88/M-IND/PER/10/2014 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian No. 134/M-IND/PER/10/2009 tentang peta panduan (roadmap) pengembangan klaster industri garam (Gambar 2.1). Sebagai salah satu komoditas strategis nasional, wajar bila pemerintah banyak mengeluarkan beberapa kebijakan khusus yang mengatur garam dalam negeri, baik dari sisi supply (pasokan), demand (permintaan) maupun dari sisi distribusinya termasuk juga pengkategorian jenis dan kegunaan garam di dalam negeri. Perbedaan klasifikasi garam dunia dan garam nasional tentu menimbulkan permasalahan dalam perdagangan luar negeri khususnya pada saat impor. Klasifikasi garam dunia berdasarkan kode HS tidak membedakan peruntukan garam konsumsi ataupun garam industri sehingga garam impor yang masuk ke dalam negeri masih sulit dibedakan apakah garam tersebut garam konsumsi atau garam produksi yang meningkatkan resiko merembesnya garam impor sebagai garam konsumsi. 9

20 Septika Tri Ardiyanti Gambar 2.1 Pengelompokan Garam Berdasarkan Permenperin No. 88/M-IND/PER/10/2014. Sumber: Permenperin No. 88/M-IND/PER/10/2014 Berdasarkan Permenperin No. 88/M-IND/PER/10/2014 yang dimaksud dengan garam konsumsi adalah garam yang digunakan untuk konsumsi masyarakat atau dapat diolah menjadi garam rumah tangga dan garam diet. Garam rumah tangga adalah garam konsumsi beryodium dengan kandungan NaCl minimal 94% atas dasar basis kering (adbk) dengan kandungan air maksimum 7%, bagian yang tidak larut dalam air maksimum 0,5 mg/kg (adbk), Kadmiun (Cd) maksimum 0,5 mg/kg, Timbal (Pb) maksimum 10,0 mg/ Kg, Raksa (Hg) maksimum 0,1 mg/kg dan cemaran Arsen (As) maksimum 0,1 mg/kg serta Kalium Ioidate (KIO3) minimal 30 mg/kg yang berbentuk padat dan dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Sementara itu, yang dimaksud dengan garam diet adalah garam konsumsi beryodium berbentuk cairan/padat dengan kadar NaCl maksimum 60% (adbk) serta Kalium Iodate (KIO3) 30 mg/kg yang dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Garam industri pada peraturan Menteri Perindustrian No. 88 Tahun 2014 tersebut adalah garam yang digunakan sebagai bahan baku/bahan penolong yang digunakan pada proses produksi pada industri kimia, industri aneka pangan, industri farmasi, industri perminyakan, industri penyamakan kulit dan water treatment. Garam industri yang digunakan tersebut memiliki spesifikasi teknis yang berbeda-beda bergantung pada jenis industrinya. 1. Garam Industri Kimia adalah jenis garam yang digunakan untuk memproduksi senyawa kimia antara lain Chlor Alkali Plant (CAP), dengan 10

21 Produksi Garam Indonesia standar high grade, dengan kadar NaCl minimum 96% (adbk), kadar air (b/b) maksimum 2,5%, Calsium (Ca) maksimum 0,1%. Hasil produk CAP digunakan untuk industri kertas, industri PVC, sabun (deterjen) dan tekstil. 2. Garam industri aneka pangan adalah garam beryodium maupun tidak beryodium yang digunakan sebagai bahan baku/bahan penolong pada industri aneka pangan untuk memproduksi makanan atau minuman. Spesifikasi teknis yang dibutuhkan pada garam industri aneka pangan adalah garam beryodium maupun tidak beryodium dengan standar food grade dan telah diolah dengan tingkat kehalusan tertentu dengan kadar NaCl minimum 97% (adbk), Calsium (Ca) maksimum 0,06%, Magnesium (Mg) maksimum 0,06%, kadar air (b/b) maksimum 0,5%, bagian yang tidak larut dalam air maksimum 0,5% dan cemaran logam Kadmium (Cd) maksimum 0,5 mg/kg, Timbal (Pb) maksium 10 mg/kg, Raksa (Hg) maksimum 0,1 mg/kg dan Arsen (As) maksimum 0,1 mg/kg untuk garam beryodium minimum 30 mg/kg. Garam jenis ini banyak digunakan untuk industri mie, bumbu masak, biskuit, minuman gula, kecap, mentega dan pengalengan ikan. 3. Garam industri farmasi adalah jenis garam yang digunakan pada industri farmasi sebagai bahan baku/bahan penolong dengan spesifikasi kadar NaCl minimal 99,8% (adbk), kadar impurities mendekati 0%. Garam jenis ini banyak digunakan untuk pembuatan cairan infus, cairan pembersih darah (Haemodialisa) atau garam murni. 4. Garam industri perminyakan adalah garam yang digunakan sebagai bahan penolong pada proses pengeboran minyak. Spesifikasi garam industri perminyakan yaitu garam dengan kadar NaCl minimal 95% (adbk), Sulfat (SO4) maksimum 0,5%, Calsium (Ca) maksimum 0,2% dan Magnesium (Mg) maksimum 0,3% dengan kadar air 3% sampai dengan 5%. 5. Garam industri penyamakan adalah garam yang digunakan sebagai bahan penolong pada proses penyamakan kulit. Spesifikasi garam untuk industri tersebut adalah garam yang peruntukannya sebagai bahan penolong dengan standar NaCl minimal 85% (adbk). 6. Garam water treatment adalah garam yang digunakan sebagai bahan penolong pada proses penjernihan air dan/atau pelunakan air pada boiler. Spesifikasi yang dibutuhkan pada garam untuk water treatment adalah kadar NaCl minimal 85% yang peruntukkannya sebagai bahan penolong untuk penjernihan air. Sedangkan, untuk pelunakan air pada boiler dibutuhkan spesifikasi garam dengan tingkat kadar NaCl minimal 95%. 11

22 Septika Tri Ardiyanti 2.2 Areal dan Teknologi Pembuatan Garam Areal untuk proses pembuatan garam terutama untuk garam yang berasal dari air laut dengan menggunakan tenaga matahari secara umum harus dipilih berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria-kriteria yang digunakan dalam memilih lokasi tersebut antara lain letak dari permukaan air laut, topografi, sifat fisik tanah dan sebagainya (Puska PDN, 2011). Faktor-faktor desain lokasi areal pergaraman yang menentukan adalah air laut sebagai bahan baku, tanah sebagai faktor sarana utama dan iklim sebagai faktor sumber tenaga serta tenaga manusia sebagai faktor tambahan (Puska PDN, 2011). 1. Air Laut Air laut untuk pembuatan garam harus memenuhi persyaratan: Kadar garamnya tinggi, tidak tercampur aliran muara sungai tawar. Jernih, tidak tercampur dengan lumpur, sampah dan lain sebagainya. Mudah masuk ke areal ladang garam, pada saat pasang air laut dapat masuk ke saluran/petak penampungan sehingga mudah dipompa ke areal ladang garam. 2. Tanah Sebagai sarana utama, tanah untuk ladang pegaraman harus memenuhi persyaratan: Kedap air, artinya tidak porous (rembes air) agar air laut yang ditampung di atasnya tidak merembes (bocor) ke dalam tanah. Ketinggian maksimum 3 meter di atas permukaan air laut ratarata (mean sea level/m.s.l) agar mudah serta murah dalam hal pemompaan air ke dalam ladang pegaraman. Harus cukup luas. Untuk ladang perorangan minimal 1 Ha, untuk perusahaan besar diperlukan tanah minimal 4000 Ha. 3. Iklim Sebagai sumber energi utama harus memenuhi persyaratan iklim: Curah hujan tahunan yang kecil, curah hujan tahunan daerah garam antara mm/tahun. Mempunyai sifat kemarau panjang yang kering yaitu selama musim kemarau tidak pernah terjadi hujan (salah musim). Lama kemarau kering ini minimal 4 bulan (120 hari). Mempunyai suhu atau penyinaran matahari yang cukup atau jarang mendung/berkabut. Makin panas suatu daerah, penguapan air laut akan semakin cepat. Mempunyai kelembaban rendah/kering. Makin kering udara di daerah tersebut, penguapan akan makin cepat. 12

23 Produksi Garam Indonesia Teknologi yang digunakan untuk pembuatan garam juga beragam dan didasarkan oleh sumber dimana garam tersebut berasal. Proses pembuatan garam tersebut antara lain (Puska PDN, 2011): 1. Garam dari tambang Pembuatan garam dari tambang dapat dilakukan melalui dua proses, yaitu Proses 1: Penambangan langsung, kemudian dicuci (washing plant),dihilangkan airnya sampai kadar air mencapai 3-5% dengan centrifuge (untuk menghasilkan jenis garam bahan baku/garam kasar) dan dilanjutkan dengan pengeringan (drying) dan penggilingan (crushing) untuk menghasilkan garam halus atau garam meja. Proses 2: Garam hasil penambangan dilarutkan dalam air (dapat ditambang dahulu kemudan dicairkan atau dicairkan di bawah permukaan tanah dengan sedikit air dengan tekanan yang sangat tinggi). Larutan garam ini kemudian diberikan perlakuan khusus agar jernih dan seminimum mungkin mengandung kotoran (baik lumpur maupun senyawa kimia yang tidak dikehendaki), kemudian dikristalkan kembali dalam kolom Kristalisasi (crystallization column). Hasil re-kristalisasi kemudian dikeringkan, diayak (sleving) dan terakhir dikantongi (packing). 2. Garam dari Air Laut Garam dari air laut dapat dibuat melalui dua proses, yaitu: Proses 1: Penguapan air Laut di ladang garam dengan tenaga sinar matahari (Solar Evaporation). Air laut diuapkan di ladang-ladang garam dengan tenaga sinar matahari. Hasil garam diambil, kemudian dicuci agar bersih serta sesedikit mungkin mengandung senyawa lain yang tidak dikehendaki dan lumpur. Proses 2: Pemisahan NaCl dengan aliran listrik (Elektrodialisa) Air laut dimasukkan dalam sel-sel elektrolisa yang dialiri listrik sehingga didapatkan larutan NaCl jernih. Larutan ini kemudian dikristalisasi dalam kolom kristalisasi. Hasil re-kristalisasi dikeringkan, diayak dan terakhir dikantongi (packing). 3. Garam dari Air Danau Garam(Salt Lake) Pada prinsipnya proses pembuatan garam yang berasal dari air danau sama dengan garam dari air laut, hanya karena kadar garamnya relatif lebih tinggi maka hasil garam per satuan lahan maupun per satuan utility (listrik,bahan bakar) hasilnya menjadi lebih besar dibandingkan dengan penguapan air laut. 13

24 Septika Tri Ardiyanti 2.3 Produksi Garam Dunia Di tahun 2013, total produksi garam dunia mencapai 262,0 juta ton, atau mengalami penurunan sebesar 0,6% per tahun selama periode 5 tahun terakhir (Tabel 2.1). Republik Rakyat Tiongkok (RRT) merupakan produsen utama garam dunia, dengan produksi pada tahun 2013 mencapai 70,0 juta ton atau memiliki pangsa sebesar 26,7% dari total produksi garam dunia. Produksi garam RRT selama periode menunjukkan kondisi yang fluktuatif dengan peningkatan rata-rata 0,8% per tahun. Sebagian besar garam RRT berasal dari air laut yaitu kurang lebih sebesar 75% dari total produksi. Selain air laut, sumber garam RRT juga berasal dari danau air asin dan sumur garam (air dalam tanah) (Bloch, 2016). Sementara itu, Amerika Serikat (AS) menduduki peringkat ke-2 produsen garam dunia dengan total produksi pada tahun 2013 mencapai 40,3 juta ton (pangsa 15,4% produksi dunia). Sama seperti RRT, sebagian besar garam Amerika Serikat atau sebesar 63,0% berasal dari garam air laut, sementara 37,0% lainnya berasal dari tambang garam (USGS, 2013). Selanjutnya India, Kanada dan Jerman masing-masing berada pada urutan ke-3, ke-4 dan ke-5 dengan total produksi pada 2013 mencapai 16,0 juta ton (pangsa: 6,1%); 12,2 juta ton (pangsa 4,7%) dan 11,9 juta ton (pangsa 4,5%). Di India dan Kanada, hampir keseluruhan garam yang diproduksi berasal dari air laut, bahkan hanya 0,01% yang berasal dari tambang garam di India. Berbeda dengan kedua negara tersebut, produksi garam Jerman sebagian besar berasal dari tambang garam dengan pangsa sebesar 51,5% dari total produksi dan 48,5% lainnya berasal dari garam air laut (USGS, 2013). Sementara itu, Australia yang letak geografisnya tidak jauh dari Indonesia dan menjadi negara utama asal impor garam Indonesia berada di peringkat ke-6 dengan total produksi pada tahun 2013 sebesar 11,0 juta Ton atau sebesar 4,2% dari total produksi garam dunia yang sebagian besar berasal dari air laut dan beberapa danau air asin (USGS, 2013; Hough, 2008) (Tabel 2.1). Sebagai negara maritim, produksi garam Indonesia berdasarkan USGS (2013) tercatat sebesar 0,72 juta ton atau memiliki pangsa sebesar 0,27% dari total produksi dunia. Dengan total produksi tersebut, Indonesia menduduki peringkat ke-36 dunia, berada tepat di bawah Filipina yang menduduki peringkat ke-35 dunia. Produksi garam Indonesia berdasarkan data yang dirilis oleh USGS selama periode menunjukkan adanya tren peningkatan dengan rata-rata kenaikan sebesar 5,9% per tahun (Tabel 2.1). 14

25 Produksi Garam Indonesia Tabel 2.1 Produsen Garam Dunia, No. Negara Juta Ton Tren. (%) Pangsa (%) Total 265,00 270,00 272,00 260,00 262,00 (0,60) 100,00 1 RRT 66,63 70,38 67,42 69,12 70,00 0,81 26,72 2 AS 46,00 43,30 45,00 37,20 40,30 (4,08) 15,38 3 India 16,50 17,00 16,00 17,00 16,00 (0,61) 6,11 4 Kanada 14,62 10,54 12,63 10,85 12,21 (3,25) 4,66 5 Jerman 18,94 19,68 17,44 14,45 11,90 (11,65) 4,54 6 Australia 11,56 12,06 11,40 10,82 11,00 (2,05) 4,20 7 Meksiko 7,45 8,43 8,81 10,80 10,80 10,42 4,12 8 Brazil 5,91 7,03 6,16 7,48 7,50 5,54 2,86 9 Inggris 6,17 6,67 6,70 6,70 6,70 1,73 2,56 10 Chile 8,38 7,69 9,97 8,06 6,58 (4,30) 2,51 11 Ukraina 5,40 4,91 5,94 6,19 6,20 5,23 2,37 12 Perancis 6,20 5,87 5,43 5,46 6,10 (1,04) 2,33 13 Turki 3,77 4,04 6,55 5,25 5,30 9,92 2,02 14 Spanyol 4,29 4,35 4,37 4,39 4,44 0,78 1,69 15 Polandia 3,83 4,10 4,28 3,93 4,43 2,51 1,69 35 Filipina 0,52 0,56 0,72 0,72 0,72 9,65 0,27 36 Indonesia 0,59 0,60 0,65 0,70 0,72 5,86 0,27 Lainnya 8,53 8,73 9,09 8,13 8,50 (0,80) 3,2 Catatan: data produksi garam Indonesia yang tercatat oleh USGS lebih rendah dari data tercatat oleh KKP sehingga kemungkinan data tersebut hanya sebatas garam untuk keperluan konsumsi rumah tangga karena volumenya hanya di kisaran 700 ribu ton. Sumber: USGS Minerals Yearbook (2013) 2.4 Kinerja Produksi Garam Nasional Produksi Garam Indonesia Produksi garam nasional hingga saat ini hanya mampu memenuhi kebutuhan garam dalam negeri dari segi konsumsi saja, sementara untuk kebutuhan garam industri dipenuhi dari impor (Efendy, et al., 2016). Produksi garam Indonesia secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu garam yang berasal atau diproduksi oleh PT. Garam (Persero) dan garam yang berasal dari rakyat yang disebut dengan garam rakyat. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang dimaksud dengan garam rakyat adalah garam yang diproduksi dan berasal dari areal pegaraman selain yang dikelola/digarap oleh PT. Garam. PT. Garam adalah satu-satunya BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang bergerak di bidang produksi garam. Dalam berproduksi, PT. Garam memiliki areal lahan produksi tersendiri yang dikelola oleh petani garam yang juga menjadi pegawai dari PT. Garam. Dari beberapa lahan yang dimiliki oleh PT. Garam, sebagian ada yang 15

26 Septika Tri Ardiyanti disewakan untuk dikelola oleh rakyat yang kemudian termasuk ke dalam garam rakyat. Meskipun lahan tersebut dimiliki oleh PT. Garam, namun karena pengelolaannya sepenuhnya dilakukan oleh non-pt. Garam maka dikategorikan ke dalam garam rakyat. PT. Garam hingga saat ini menjadi kompetitor utama bagi garam rakyat karena garam yang diproduksi samasama diperuntukkan sebagai garam konsumsi. Pada tahun 2015, produksi garam nasional mencapai 2,8 juta ton yang terdiri dari 345 ribu ton garam yang diproduksi oleh PT. Garam (persero) dan 2,5 juta ton yang berasal dari garam rakyat. Dengan demikian, mayoritas garam nasional pada periode tersebut bersumber dari garam rakyat dengan pangsa 87,9% dari total produksi nasional, sementara garam yang berasal dari PT. Garam (persero) hanya memiliki pangsa sebesar 12,1%. Secara nasional, produksi garam selama periode mengalami tren peningkatan yang sangat signifikan dengan rata-rata pertumbuhan 46,6% per tahun. Meskipun pada tahun 2010, produksi garam nasional sempat mengalami penurunan tajam hingga hanya mencapai 30,6 ribu ton, turun signifikan dari produksi tahun sebelumnya yang mencapai 1,4 juta ton. Kementerian Perindustrian yang saat itu menjadi kementerian pembina sektor garam nasional, bahkan menyatakan bahwa produksi garam tahun 2010 hanya mencapai 2% dari rata-rata produksi garam dalam setahun sebesar 1,2 juta ton. Merosotnya produksi di tahun 2010 disebabkan adanya perubahan iklim dimana musim hujan yang terjadi hampir sepanjang tahun sehingga merusak siklus produksi garam (Tempo, 2011). Tren peningkatan produksi garam pada periode dipicu oleh peningkatan produksi garam rakyat yang naik sebesar 48,6% per tahun dan produksi PT. Garam (persero) yang juga meningkat sebesar 37,1% per tahun (Tabel 2.2). Peningkatan produksi tersebut tidak terlepas dari program PUGAR (Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat) yang dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2011 yang bertujuan untuk memperkuat kapasitas sumber daya manusia pada masyarakat pesisir, penguatan kelembagaan dan pemangku kepentingan di sektor garam guna mendukung target pencapaian swasembada garam konsumsi pada 2012 dan swasembada garam industri pada tahun Tabel 2.2 Produksi Garam Indonesia (Ribu Ton) Uraian Tahun Tren. (%) Pangsa (%) Produksi Indonesia 1.371,0 30, , , , , ,0 46,6 100,0 - PT. Garam (Persero) 308,5 4,5 156,7 307,3 156,8 315,0 345,0 37,1 12,1 - Garam Rakyat 1.062,5 26,1 956, ,3 930, , ,0 48,6 87,9 Keterangan: Data produksi diambil dari neraca garam sehingga volume produksi tersebut sudah termasuk penyusutan 10%-25%. Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) (2015a) 16

27 Produksi Garam Indonesia Daerah Produsen Garam Rakyat Berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan oleh KKP pada tahun 2010, Indonesia memiliki luas lahan garam potensial sebesar 37,4 ribu hektar yang dapat digunakan sebagai areal produksi garam di Indonesia. Namun demikian, lahan garam produktif yang digunakan hanya seluas 19,9 ribu hektar di tahun 2010 atau baru sekitar 53,2% dari total lahan potensial yang tersedia (Manadiyanto, 2010). Areal potensial sebagai tempat produksi garam tersebut tersebar di beberapa wilayah di Indonesia seperti Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan dan sebagian kecil di wilayah Papua. Di tahun 2014, lahan garam produktif telah mengalami peningkatan menjadi 27,9 ribu hektar (74,6% dari total lahan potensial hasil pemetaan pada tahun 2010) (Tabel 2.3). Dengan demikian, masih terdapat 25,4% lahan potensial pegaraman lainnya yang belum dimanfaatkan sehingga masih terdapat peluang untuk melakukan ekstensfikasi lahan garam dalam negeri. Total area produktif tersebut tersebar di beberapa Propinsi di Indonesia. Cirebon, Indramayu, Pati, Sampang dan Sumenep merupakan wilayah produsen terbesar garam Indonesia. Pada 2014, produksi garam rakyat yang berasal dari Cirebon, Indramayu, Sumenep, Pati dan Sampang masing-masing memiliki pangsa sebesar 12,6%; 12,4%; 11,7%; 11,5% dan 10,3% dari produksi garam tahun Dengan demikian, kelima kabupaten tersebut menyumbang sebesar 58,4% dari total produksi garam nasional di tahun 2014 (Tabel 2.3). Tabel 2.3 Pangsa Produksi Garam Rakyat Tiap Daerah Terhadap Produksi Garam Nasional Tahun 2014 No. Kab/Kota Produksi (%) No. Kab/Kota Produksi (%) 1 Cirebon 12,56 23 Gresik 0,35 2 Indramayu 12,43 24 Bangkalan 0,35 3 Sumenep 11,67 25 Buleleng 0,25 4 Pati 11,51 26 Sumbawa 0,18 5 Sampang 10,25 27 Pidie 0,16 6 Bima 6,25 28 Karawang 0,15 7 Kota Surabaya 6,24 29 Kupang 0,13 8 Rembang 5,67 30 Kota Bima 0,12 9 Demak 4,22 31 Aceh Utara 0,12 10 Pamekasan 3,57 32 Lombok Tengah 0,08 11 Jepara 2,91 33 Nagekeo 0,07 12 Pangkep 2,19 34 Karangasem 0,06 13 Lamongan 1,31 35 Kota Palu 0,04 14 Brebes 1,02 36 Selayar 0,03 15 Probolinggo 1,00 37 Ende 0,03 16 Tuban 1,00 38 Aceh Timur 0,03 17 Jeneponto 0,98 39 Sumba Timur 0,02 18 Lombok Timur 0,91 40 Aceh Besar 0,02 19 Pasuruan 0,64 41 Manggarai 0,01 20 Takalar 0,64 42 Alor 0,01 21 Kota Pasuruan 0,43 43 TTU 0,01 22 Lombok Barat 0,37 TOTAL 100,00 Sumber: Laporan Kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) (2014a) 17

28 Septika Tri Ardiyanti Rata-rata masa produksi garam di Indonesia pada 2014 yaitu selama 4 bulan, dengan rata-rata produktivitas sebesar 89,7 ton/ha. Masa produksi dan produktivitas garam nasional selama periode mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Selama periode tersebut, produktivitas garam tertinggi terjadi pada tahun 2011 mencapai 91,7 ton/ha dengan masa produksi 4,8 bulan, sementara masa produksi tercepat terjadi pada tahun 2013 yaitu 2 bulan namun memiliki produktivitas yang rendah yaitu hanya mencapai 39,6 ton/ha. Fluktuasi baik dari sisi produksi, produktivitas maupun masa panen garam nasional tersebut terutama disebabkan teknik produksi dan peralatan yang digunakan masih sangat tradisional serta masih sangat bergantung pada cuaca yang juga berakibat pada produktivitas serta kualitas produksi yang rendah (KKP, 2014a). Seperti yang terjadi pada tahun 2010, dimana produksi mengalami penurunan cukup drastis akibat adanya anomali cuaca. Produksi garam di Indonesia sebagian besar merupakan produksi garam rakyat dengan luas areal rata-rata sebesar 0,5-3 hektar dengan letak yang terpencar-pencar. Untuk mengembangkan garam dalam skala besar yang terintegrasi dan efisien dibutuhkan satu kesatuan lahan datar yang cukup luas yaitu antara 4 ribu hingga 6 ribu hektar sehingga mendapat manfaat dari skala ekonomi (Puska PDN, 2011). Selain itu, usaha garam di Indonesia juga merupakan usaha musiman yang sangat bergantung pada musim. Di luar musim produksi, petani garam sebagian besar melakukan usaha lain misalnya budidaya tambak udang seperti yang dilakukan oleh petambak garam di pulau Jawa. Dengan melihat kondisi-kondisi tersebut di atas, produktivitas garam rakyat tentu dinilai belum optimal dan masih relatif rendah jika dibandingkan dengan negara produsen garam laut lainnya, seperti Australia yang mampu memproduksi garam sebesar 350 ton/hektar (Kompasiana, 2015). Luas Lahan dan Produktivitas Garam Rakyat Produktivitas garam Indonesia sendiri dibagi menjadi 2 yaitu produktivitas garam yang masuk ke dalam program PUGAR dan garam yang masuk ke dalam program non PUGAR. Garam yang masuk ke dalam program PUGAR, memiliki produktivitas sebesar 43,0 ton/ha di tahun 2013, sementara garam yang masuk kategori non PUGAR memiliki produktivitas sebesar 23,7 ton/ha, lebih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas garam PUGAR (Tabel 2.4). Tingginya produktivitas garam PUGAR disebabkan karena adanya penguatan kapasitas petani yang menerima bantuan PUGAR melalui sosialisasi, pelatihan dan pendampingan serta tambahan dana berupa bantuan dana langsung masyarakat melalui Kelompok Usaha Kelautan dan Perikanan 18

29 Produksi Garam Indonesia (KUKP). Sebesar kurang lebih 81,6% dari total produksi garam rakyat berasal dari produksi dengan mendapat bantuan PUGAR, sementara hanya sebagian kecil lainnya yang belum mendapat bantuan PUGAR (KKP, 2014b). Namun demikian, berdasarkan hasil wawancara dengan KKP, program PUGAR terus berusaha untuk memperluas cakupannya agar dapat semaksimal mungkin dapat memberikan bantuan pada seluruh petani garam rakyat. Tabel 2.4 Luas Lahan dan Produktivitas Garam Indonesia Tahun Lokasi Luas Lahan Masa Produksi Produktivitas (Kab/Kota) (Ha) (Bulan) (Ton/Musim/Tahun) PUGAR Non PUGAR ,94 3,50 78,04 58, ,44 4,80 96,79 74, ,82 2,00 43,02 23, ,00 4,00 89,72 n/a Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) (2014b) Tenaga Kerja Garam Rakyat Produksi garam rakyat hingga saat ini masih dilakukan dengan menggunakan peralatan sederhana sehingga dalam berproduksi masih bergantung pada tenaga kerja manusia. Tenaga kerja yang terdapat pada sektor garam dapat dikategorikan menjadi 2 kelompok, yaitu tenaga kerja yang terlibat langsung dan tenaga kerja yang tidak terlibat langsung (Puska PDN, 2011). Tenaga kerja yang terlibat langsung antara lain penggarap (tukang garam), tukang pikul, tukang pemelihara areal dan penjaga. Namun demikian, pada areal produksi garam rakyat yang memiliki luas areal produksi relatif sempit, tugas dari tenaga-tenaga kerja tersebut dirangkap oleh penggarap (tukang garam) dengan jumlah rata-rata sebanyak 4 orang tiap hektar areal produksi. Dengan menggunakan asumsi tersebut, maka dengan luas lahan produksi sebesar 27,9 ribu hektar, tenaga kerja langsung di Indonesia berjumlah 111,6 ribu tenaga kerja. Sementara itu, yang dimaksud dengan tenaga kerja tak langsung adalah para pemilik lahan, penyewa lahan dan pengepul yang rata-rata tiap hektar areal terdapat 2 orang tenaga kerja tak langsung (Puska PDN, 2011). Dengan demikian, jumlah tenaga kerja tak langsung pada 2014 berjumlah 55,8 ribu tenaga kerja. Secara total, tenaga kerja yang bekerja di sektor garam diprediksi berjumlah 167,4 ribu tenaga kerja. Lebih lanjut, Sumber Daya Manusia (SDM) di sektor garam juga hanya terpusat di wilayah Madura dan Jawa Timur sehingga SDM di areal produksi lainnya perlu diberikan pelatihan untuk dapat meningkatkan pengetahuan dan keahliannya. 19

30 Septika Tri Ardiyanti Teknologi Produksi Garam Rakyat Hampir keseluruhan garam Indonesia diproduksi dengan menggunakan teknologi penguapan air laut dengan tenaga sinar matahari (solar evaporation). Secara umum, pembuatan garam air laut dengan metode tersebut dilakukan melalui proses pemekatan dan proses pemisahan garam (kristalisasi) (Assadad dan Utomo, 2011). Proses pemekatan dilakukan dengan menguapkan airnya dengan panas matahari. Setelah garam melalui proses kristalisasi maka garam akan mengandung berbagai macam unsur mineral lainnya yang disebut dengan impurities yaitu sulfat, magnesium dan kalsium (Gambar 2.2). Gambar 2.2 Proses Pembuatan Garam dengan Metode Kristalisasi. Sumber: Assadad dan Utomo (2011) Proses solar evaporation secara lebih detail dilakukan melalui tahapantahapan berikut (Puska PDN, 2011): 1. Air laut dimasukkan ke dalam waduk penampungan pada saat pasang melalui saluran induk; 2. Dari waduk penampungan garam dipompa ke areal penguapan pada level yang tertinggi; 3. Dari areal penguapan yang mempunyai level paling tinggi air dialirkan secara gravitasi ke petak penguapan lainnya. Dalam perjalanannya air laut dipetak penguapan ini mendapatkan pemanasan sinar matahari dan hembusan angin sehingga terjadilah penguapan, hingga air laut menjadi jenuh (konsentrasi air garam tinggi atau pekat); 4. Air laut yang jenuh dialirkan ke petak kristalisasi untuk mengkristalkan garam; 5. Di petak kristalisasi ini, garam dibiarkan mengendap dengan jangka waktu: 20

31 Produksi Garam Indonesia Pegaraman Rakyat tiap umur garam 4-6 hari lalu dipanen Pegaraman PT. Garam tiap umur +/- 10 hari lalu dipanen 6. Garam yang sudah dipungut lalu diangkut ke gudang untuk diproses lebih lanjut. Langsung dikarungi dan dijual sebagai garam bahan baku Dicuci (washing), dikeringkan (drying) dan digiling (crushing) menjadi garam meja (halus) Teknologi pembuatan garam rakyat masih tradisional, baik ditinjau dari peralatannya maupun proses produksinya: Tata letak: Petakan trap luasan kecil (waduk kecil, paminihan yang kadang-kadang merangkap sebagai meja kristalisasi; di beberapa tempat disediakan tempat timbunan garam. Luas areal per unit pergaraman adalah 0,5-3 hektar. Pungutan: Pungutan garam langsung di atas lantai tanah. Umur pungutan garam 3-5 hari; cara pungutan dengan menggunakan tenaga manusia (padat karya). Pengangkutan dan handling: dipikul, sepeda, pick-up mini Dengan menggunakan metode solar evaporation secara tradisional dalam proses produksi garam rakyat tersebut, maka faktor-faktor yang berpengaruh pada kualitas dan kuantitas garam yang kemudian menjadi kendala dalam proses produksi antara lain (Puska PDN, 2011): a. Air laut yang bercampur dengan polutan dan air tawar Indonesia memiliki laut yang amat luas, 2/3 bagian Indonesia merupakan lautan. Namun demikian, di banyak tempat di Indonesia air laut tersebut bercampur dengan air tawar karena laut banyak menjadi muara bagi aliran sungai tawar. Selain itu, banyak air laut Indonesia yang telah tercemar dengan polutan sehingga tentu berpengaruh pada produksi. b. Curah hujan yang cukup tinggi di areal produksi Indonesia sebagai negara tropis mengalami musim kemarau yang cukup panjang, berlangsung 4 hingga 6 bulan, namun di beberapa tempat khususnya areal produksi garam musim kemarau yang berlangsung tersebut masih diselingi oleh hujan. Curah hujan di areal produksi garam Indonesia pada musim kemarau berkisar mm per musim dengan tingkat kelembaban 60% - 80%, sementara curah hujan pada musim kemarau di negara produsen garam dunia seperti Australia hanya berkisar mm per musim dengan tingkat kelembaban 30% - 40%. Selain itu, musim kemarau di Indonesia juga berlangsung relatif lebih pendek jika dibandingkan dengan Australia dimana musim kemaraunya berlangsung selama 9 hingga 10 bulan. Dengan memperhatikan faktor- 21

32 Septika Tri Ardiyanti faktor tersebut, maka tingkat kecepatan penguapan di Indonesia relatif lebih lama jika dibandingkan dengan Australia. c. Kualitas produk yang belum bisa memenuhi kebutuhan garam industri Konsekuensi yang ditimbulkan dari pembuatan garam dengan solar evaporation pada areal (petak) yang kecil adalah ketidak seragaman dari sisi kualitas. Garam rakyat memiliki kandungan NaCl berkisar 81% - 96%, sementara kadar NaCl yang dibutuhkan industri adalah rata-rata di atas 95%, meskipun ada beberapa yang di bawah 95%. Beberapa uji yang pernah dilakukan untuk mengetahui kualitas garam rakyat antara lain (KKP, 2014b): - Berdasarkan hasil analisis uji sampel garam dari 42 Kabupaten/ Kotamadya kepada para penerima program PUGAR yang dilakukan oleh Universitas Diponegoro (UNDIP) pada tanggal 3 Juni 2013 menyatakan bahwa garam tersebut memiliki rata-rata kandungan NaCl 92,69%, Kadar Air 2,24%, Pb 8,9 ppm, Cu 3,23 ppm, Arsen 0 ppm; - Hasil pengujian laboratorium beberapa Industri Pengolahan Garam pada tahun 2014 menyatakan bahwa garam rakyat memiliki kandungan NaCl sebesar 81,1 86,91%; kadar air = 9,68 9,77%; Ca = 0,15 2,02%; Mg = 0,89 2,31%, dimana hasil sampel diambil langsung dari tambak garam (Hasil Peninjauan Tim Kemenko Perekonomian, Kemenperin, KKP dan Kemendag); - Hasil pengujian laboratorium garam bahan baku premium PT. Garam (14 Maret dan 15 April 2014) menyatakan bahwa garam tersebut memiliki kandungan NaCL (adbk) 95,47% 96,45%, H2O: 0,24 6,23%, Ca 0,22 0,58. Perbedaan hasil yang cukup signifikan dari beberpa hasil uji tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan sampel yang digunakan oleh masingmasing institusi. Dengan demikian, garam rakyat hingga saat ini masih belum mampu untuk memenuhi kebutuhan garam industri di dalam negeri yang mensyaratkan kualitas garam memiliki kandungan NaCl sebesar 85% hingga 99,8% serta standar kandungan mineral lainnya yang terkandung di dalamnya serta dalam kuantitas yang juga cukup besar. Namun demikian, berdasarkan informasi yang diberikan oleh petani garam di Pati pada acara bedah naskah BRIK Garam yang diselenggarakan oleh BPPP Kementerian Perdagangan, melalui program PUGAR produksi garam dengan menggunakan media isolator terbukti mampu memperbaiki kualitas garam rakyat, dengan peningkatan kadar NaCl yang bisa mencapai lebih dari 95% dalam garam meskipun kadar air yang terkandung masih 22

33 Produksi Garam Indonesia belum memenuhi standar yang disyaratkan. Tabel 2.5. dan Tabel 2.6. berikut merupakan hasil uji garam yang merupakan hasil produksi dengan media isolator di daerah Pati dengan kadar NaCL berkisar 97%-98%. Tabel 2.5 Hasil Analisis Laboratorium Garam dengan Media Isolator No Parameter Satuan Hasil Uji Metode Uji 1 Kadar Air % bb 11,44 SNI 3556:2010 lamp.b Butir B.2 2 Kadar NaCl dihitung dari Jumlah Khlorida % bb adbk 97,73 SNI 3556:2010 lamp.b Butir B.3 3 Bagian Tidak Larut dalam Air % bb adbk Tak nyata SNI 3556:2010 lamp.b Butir B.5 4 Yodium dihitung sebagai Kalium Iodat (KIO3) mg/kg adbk 2,09 SNI 3556:2010 lamp.b Butir B.4 5 Cemaran logam - Timbal (Pb) mg/kg 1,45 SNI 3556:2010 lamp.b Butir B Kadmium (Cd) mg/kg <0,01 SNI 3556:2010 lamp.b Butir B Raksa (Hg) mg/kg <0,02 SNI 3556:2010 lamp.b Butir B Cemaran Arsen mg/kg <0,005 SNI 3556:2010 lamp.b Butir B.7 Keterangan: Uji dilakukan oleh Ir. Bambang Sugeng Suryatna, MT (Dosen FT Unnes Semarang) Sumber: BPPP Kementerian Perdagangan (2016b) Tabel 2.6 Hasil Laboratorium Analisis dan Kalibrasi Badan Kajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri, Balai Besar Industri Agro No. Parameter Satuan Hasil Uji Metode Uji 1 Kadar Air % bb 10,3 SNI , butir Kadar NaCl dihitung dari Jumlah Khlorida % bb adbk 98,4 SNI , butir Bagian Tidak Larut dalam Air % 0 SNI , butir Kalsium (Ca) mg/100gram 148 A A S 5 Kalsium (Ca) mg/100gram 1446 A A S 6 Cemaran logam Timbal (Pb) mg/kg <0,040 AOAC / Kadmium (Cd) mg/kg <0,005 SNI , Butir 5 Raksa (Hg) mg/kg <0,005 SNI , Butir 6 7 Cemaran Arsen mg/kg <0,003 SNI Sumber: BPPP Kementerian Perdagangan (2016b) 2.5 Kebijakan Pemerintah Untuk Mendorong Produksi Garam Nasional Sebagai salah satu komoditas strategis nasional, pemerintah telah berupaya untuk dapat mendorong produksi garam nasional melalui kebijakankebijakan yang dikeluarkan, salah satunya adalah Program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.41/MEN/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan Tahun Pada saat diluncurkan, PUGAR merupakan salah satu komponen dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan (PNPM Mandiri KP) yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan melalui 23

34 Septika Tri Ardiyanti peningkatan kemampuan dan pendapatan masyarakat serta pengembangan usaha kelautan dan perikanan. Terdapat empat isu utama yang menjadi landasan dalam pelaksanaan PUGAR pada tahun 2011 antara lain: (1) Isu kelembagaan yang menyebabkan rendahnya kuantitas dan kualitas garam rakyat; (2) Isu permodalan yang menyebabkan para petani garam khususnya petani garam skala kecil terjerat pada tengkulak yang kemudian dapat menekan harga jual garam; (3) Isu regulasi yang berdampak pada lemahnya keberpihakan dan proteksi pemerintah pada sektor garam rakyat, sehingga usaha garam rakyat menjadi tidak prospektif dan marketable; serta (4) Isu tata niaga garam rakyat yang dirasa sangat bebas pada waktu itu seperti tidak adanya standar serta belum adanya harga dasar bagi garam rakyat (KKP, 2014a). PUGAR saat ini telah menjadi salah satu program prioritas nasional yang dilaksanakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam program PUGAR adalah untuk memacu produksi baik dari segi kuantitas maupun kualitas garam melalui penguatan kapasitas petani garam (Neraca, 2012). Penguatan kapasitas tersebut dilakukan melalui sosialisasi, pelatihan dan pendampingan serta dengan tersedianya tambahan dana berupa bantuan dana langsung masyarakat atau Bantuan Langsung Mandiri (BLM) yang diterimakan melalui Kelompok Usaha Kelautan dan Perikanan (KUKP). Dalam pelaksanaan program PUGAR, KKP menetapkan lokasi yang dipilih untuk menjadi sentra PUGAR dan lokasi yang menjadi penyangga PUGAR. Lokasi sentra PUGAR biasanya merupakan sentra produksi garam. Di tahun 2014, KKP menetapkan 7 lokasi sebagai sentra PUGAR antara lain: Cirebon, Indramayu, Rembang, Pati, Pamekasan, Sampang dan Sumenep, sementara lokasi yang terpilih sebagai peyangga PUGAR sebanyak 33 lokasi seperti Karangasem, Buleleng, Bima, Sumbawa, Kota Bima, Lombok Timur, Lombok Barat, Lombok Tengah, dll (BKIPM, KKP, 2014). Pada tahun 2015, pola kegiatan dan bantuan yang biasanya diterima oleh petani garam atau kelompok petani garam melalui program PUGAR mengalami perubahan. Program PUGAR di tahun 2015 tidak lagi memberikan Bantuan Langsung Mandiri (BLM) kepada petani garam akan tetapi dirubah menjadi bantuan pembangunan infrastruktur bagi para petani garam. Pembangunan infrastruktur tersebut berupa pembangunan jalan di sekitar areal tambak garam serta saluran air (Koran Kabar, 2015). Berdasarkan hasil wawancara dengan KKP, program PUGAR di tahun 2016 juga sudah mulai menyasar pada penerapan teknologi-teknologi baru bagi para petani garam sehingga dapat mengoptimalkan dan mengupayakan 24

35 Produksi Garam Indonesia peningkatan produksi dan produktivitas garam dalam negeri serta sebagai antisipasi apabila terjadi anomali cuaca, seperti pengimplementasian teknologi geomembrane 1. Geomembrane adalah sebuah lembaran yang terbuat dari High Density Polyetylene (HDPE) yang berfungsi untuk mencegah merembesnya air ke dalam pori-pori tanah sehingga dapat memperbaiki tekstur tanah di tambak garam. Tekstur tanah dengan tingkat permeabilitas yang rendah merupakan lokasi yang baik untuk memproduksi garam (Efendy, Zainuri dan Hafiluddin, 2014). Selain perbaikan dalam hal infrastruktur dan teknologi yang digunakan, KKP melalui program PUGAR juga saat ini fokus pada pembenahan kelembagaan petani garam melalui rencana korporatisasi garam rakyat. Korporatisasi garam rakyat didefinisikan sebagai sejumlah areal garam yang kemudian pengelolaanya dilakukan secara kolektif berdasarkan ikatan komunal sehingga dapat mencapai skala ekonomis dalam pengelolaannya (Efendy, et al., 2016). Dengan perbaikan kelembagaan itu diharapkan para petani garam dapat memperoleh akses yang lebih mudah untuk mengakses sumber daya yang dibutuhkan sehingga dapat mengoptimalkan kapasitas usahanya serta meningkatkan kemampuan sumber daya manusia petani garam melalui komunitas yang terorganisasi dengan baik. 2.6 Biaya Produksi dan Analisis Finansial Berdasarkan hasil wawancara dengan petani garam yang berasal dari Indramayu pada FGD BRIK Garam yang diselenggarakan di Kementerian Perdagangan, secara umum terdapat dua pola usaha garam yang dilakukan di daerah Indramayu dan Cirebon yaitu pola sewa dan pola bagi hasil. Pada usaha garam rakyat dengan pola sewa, segala modal yang dibutuhkan berasal dari petani penggarap. Biaya yang diperlukan untuk produksi garam dengan menggunakan pola sewa yaitu sebesar Rp 584/kg dengan asumsi produktivitas garam yang digunakan adalah 90 ton/ha (Tabel 2.7). 1 Teknologi geomembrane menggunakan lembaran yang lebih lebar dan tebal dibandingkan dengan teknologi geoisolator (media isolator) sehingga diharapkan tidak akan mudah robek untuk menjaga kualitas garam yang dihasilkan (KKP, 2015b). 25

36 Septika Tri Ardiyanti Tabel 2.7 Struktur Biaya Produksi Garam Rakyat Tahun 2015 dengan Pola Sewa di Cirebon dan Indramayu No. Komponen Satuan Jml. Biaya (Rp) I Masa Persiapan dan Produksi 1 Sewa Lahan Rp./Ha Perbaikan lahan dan saluran selama 10 hari Rp./Orang Peralatan slide pemadat Rp./Buah Tenaga kerja pemadatan dengan slide selama 5 hari Rp./Orang Peralatan kincir Rp./Buah Paralon 3 Rp./Buah Elbow 3 Rp./Buah Mesin pompa air 3 Pk Rp./Unit Selang air 3 Rp./m Keranjang bamboo Rp./Buah Baumeter Rp./Buah Ember besar isi 25 Kg Rp./Buah Ember kecil isi 5Kg Rp./Buah Cangkul Rp./Buah Garukan kayu papan Rp./Buah Bilik bambu ukuran 2x3 m Rp./Buah Terpal plastik ukuran 2x3 m Rp./Buah Bahan bakar mesin pompa selama 90 hari Rp./Lt Bambu besar Rp./Buah Bambu kecil Rp./Buah Tali Plastik Rp./m II Masa Panen 22 Tenaga kerja selama 90 hari Rp./Orang Karung plastik ukuran 50 Kg Rp./lembar Tali plastik raffia Rp./Kg Biaya pengangkutan garam Total biaya produksi Rp/Ha Asumsi Produktivitas Tahun 2014 (90 Ton/Ha) Biaya Produksi/Kg 584,11 Sumber: BPPP Kementerian Perdagangan (2016a) Berbeda dengan pola sewa, pada pola bagi hasil biaya modal sebagian berasal dari pemilik lahan seperti lahan, pembelian kincir, mesin pompa dan beberapa peralatan lain yang dibutuhkan sehingga komponen biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani garam dengan pola sewa dan pola bagi hasil terdapat perbedaan dikarenakan beberapa komponen biaya berasal dari pemilik lahan. Untuk membantu dalam permodalan yang diperlukan, pemilik lahan/ koperasi petani garam juga memberikan pinjaman kepada petani penggarap dengan jumlah pinjaman sebesar Rp Lebih lanjut, struktur biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani penggarap dengan menggunakan pola bagi hasil disajikan pada Tabel

37 Produksi Garam Indonesia Tabel 2.8 Struktur Biaya Produksi Garam Rakyat Tahun 2015 dengan Pola Bagi Hasil di Cirebon dan Indramayu No. Komponen Satuan Jml. Biaya (Rp.) I Masa Persiapan dan Produksi Biaya perbaikan lahan Pembelian bamboo Rp./Buah Pembelian Bilik Bambu Rp./Buah II Masa Panen Tenaga kerja selama 90 hari Rp./orang Karung plastik ukuran 50 Kg Rp./Buah Tali plastik raffia Rp./Kg Biaya pengangkutan garam Total biaya produksi Sumber: BPPP Kementerian Perdagangan (2016a) 2.7 Penutup Garam merupakan salah satu komoditas strategis nasional. Selain peran dan fungsinya bagi pemenuhan pangan dan gizi serta sebagai bahan baku industri dalam negeri, garam menyediakan lapangan kerja bagi ratusan ribu tenaga kerja serta sebagai sarana pengentasan kemiskinan bagi masyarakat khususnya di wilayah pesisir. Produksi garam nasional selama 7 tahun terakhir, terus mengalami peningkatan dengan tren pertumbuhan sebesar 46,6% per tahun. Meningkatnya produksi garam nasional merupakan salah satu bukti besarnya perhatian khusus yang diberikan pemerintah pada sektor garam khususnya garam rakyat melalui berbagai program dan kebijakan yang dikeluarkan. Namun demikian, besarnya perhatian pemerintah yang diberikan pada sektor garam bukan berarti bahwa dari sisi produksi garam nasional telah terbebas dari berbagai masalah dan hambatan. Permasalahan yang timbul dari sisi produksi tersebut salah satunya disebabkan karena pola pengelolaan yang masih bersifat individual sehingga luas lahan sempit dan terpencarpencar yang tidak memungkinkan petani untuk mendapat manfaat dari skala ekonomi. Selain itu, produksi garam dalam negeri juga masih mengalami kendala baik dari sisi teknologi, sumber daya manusia, infrastruktur serta kualitas garam yang dihasilkan. Teknologi yang digunakan dalam pembuatan garam rakyat masih sangat tradisional sehingga berpengaruh pada produktivitas dan kualitas garam yang dihasilkan oleh petani. Produksi garam nasional hanya mampu memenuhi kebutuhan sisi konsumsi sementara untuk keperluan industri masih bergantung pada impor. Sumber Daya Manusia (SDM) garam juga 27

38 Septika Tri Ardiyanti masih berpusat di beberapa lokasi sentra industri garam seperti Madura dan Jawa Timur. Sebagai negara dengan garis pantai terpanjang di dunia dengan dua per tiga wilayahnya merupakan laut, Indonesia ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan garamnya sendiri. Oleh karena itu, berbagai kebijakan guna mendukung peningkatan kualitas dan kuantitas garam dalam negeri baik melalui intensifikasi seperti peningkatan teknologi, pengembangan SDM dengan perbaikan kelembagaan serta pembangunan infrastruktur di sekitar tambak garam harus terus dilaksanakan. Selain intensifikasi, ekstensifikasi dengan memanfaatkan lahan-lahan potensial harus tetap terus dilanjutkan, dioptimalkan serta terus dilakukan monitoring pelaksanaannya di lapangan. Upaya yang baik tersebut diperlukan sehingga swasembada garam nasional dapat terwujud danpada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia khususnya di wilayah pesisir. DAFTAR PUSTAKA Assadad, L., Utomo, B. S. (2011). Pemanfaatan Garam Dalam Industri Pengolahan. Buletin Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Vol. 6 (1), pp BKIPM, KKP. (2014, Maret 17). KKP Perkuat Basis Produksi Garam Rakyat. Diunduh tanggal 7 April 2016 dari kkp-perkuat-basis-produksi-garam-rakyat/. Bloch, D. (2016). Salt Monopolies - China. Diunduh tanggal 28 April 2016 dari BPPP, Kementerian Perdagangan. (2016a). Focus Group Discussion (FGD) (18 Mei 2016). BPPP, Kementerian Perdagangan. (2016b). Bedah Naskah BRIK Garam (10 Juni 2016). Burhanuddin, S. (2001). Proceeding: Forum Pasar Garam Indonesia. Forum Pasar Garam Indonesia. Jakarta: Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, KKP. Efendy, M., Heryanto, A., Sidik, R. F., Muhsoni, F. F. (2016). Perencanaan Usaha Korporatisasi Usaha Garam Rakyat. Jakarta: Sekretariat Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Effendy, M., Zainuri, M., Hafiluddin. (2014). Persembahan Program Studi Ilmu Kelautan untuk Maritim Madura. Intensifikasi Lahan Garam Rakyat di Kabupaten Sumenep. Bangkalan: UTM Press. 28

39 Produksi Garam Indonesia Gibran, M. (2015). Sebuah Optimisme Untuk Industri Garam Indonesia. Selasar Ekonomi, 20 Mei. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2014a). Laporan Kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2014b). Data Produktivitas Lahan dan Kualitas Garam Periode Makalah: Disajikan Pada Rapat Teknis Harmonisasi Tarif Bea Masuk Garam Pada Tanggal 14 Desember Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2015a). Data Neraca Garam Periode Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2015b, 17 September). KKP Dorong Produksi Garam Rakyat Menjadi Kualitas Industri. Diunduh tanggal 1 Juni 2016 dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). (2014). Kegiatan Pembahasan Penyusunan ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature (AHTN) Diunduh tanggal 7 April 2016 dari default/files/ Laporan%20Kegiatan%20Penyusunan%20AHTN% pdf. Kementerian Perindustrian (Kemenperin). (2015, Januari 12). Kemenperin Dorong Pembangunan Industri Berbasis Maritim. Diunduh tanggal 3 Maret 2016 dari Kemenperin-Dorong-Pembangunan-Industri-Berbasis-Maritim. Hough, J.K. (2008).Salt production in South Australia. Diunduh tanggal 28 April 2016 dari data/assets/pdf_file/ 0005/93803/mj50_salt_production.pdf. Kompasiana. (2015, Oktober 28). Indonesia Swasembada Garam: Realita Vs Harapan. Diunduh tanggal 20 Juni 2016 dari com/bernalizafuad/indonesia-swasembada-garam-realita-vs-harapa n_ afbd2a0861c610. Koran Kabar. (2015, Juni 3). KKP Ubah Pola Bantuan Pugar. Diunduh tanggal 28 April 2016 dari Kusumastanto, T. & Satria, A. (2011). Strategi Pembangunan Desa Pesisir Mandiri. Diunduh tanggal 28 April 2016 dari net/. Manadiyanto. (2010). Dukungan Kebijakan dan Peranan Pemerintah Dalam Menuju Swasembada Garam. Diunduh tanggal 28 April 2016 dari 29

40 Septika Tri Ardiyanti Neraca. (2012, Mei 4). Swasembada Garam Terbelit Kebijakan Impor. Diunduh tanggal 14 Maret 2016 dari swasembada-garam-terbelit-kebijakan-impor. Peraturan Menteri Perindustrian No. 88/M-IND/PER/10/2014 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian No. 134/M-IND/ PER/10/2009 tentang peta panduan (road map) pengembangan klaster industri garam Jakarta. Purbani, D. (2001). Proses Pembentukan Kristalisasi Garam. Jakarta: Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Pusat Kebijakan Perdagangan dalam Negeri (Puska PDN). (2011). Analisis Kebijakan Harga Garam Nasional. Jakarta: Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan. Rismana, E., Nizar. (2014). Kajian Proses Produksi Garam Aneka Pangan. Chemistry Progress, Vol. 7 (1), pp Tempo. (2011, Januari 6). Produksi Garam Terjun Bebas. Diunduh tanggal 7 April 2016 dari /produksi-garam-terjun-bebas. US Geological Survey (USGS). (2013). Publications: Mineral Yearbook. Diunduh tanggal 14 Februari 2016 dari minerals/pubs /commodity/salt/myb salt.xls. 30

41 Konsumsi Garam BAB III KONSUMSI GARAM Steven Raja Ingot dan Titis Kusuma Lestari 3.1 Pendahuluan Garam merupakan salah satu bahan pokok kebutuhan masyarakat yang mengandung unsur sodium dan chlor (NaCl), dimana unsur sodium sangat penting untuk mengatur proses keseimbangan cairan di dalam tubuh, disamping fungsinya dalam mengatur kelancaran proses transmisi saraf dan kerja otot (klikdokter, 2016). Khusus untuk garam konsumsi rumah tangga, harus menggunakan garam yang mengandung yodium. Kekurangan yodium memiliki konsekuensi buruk bagi kesehatan yang disebut sebagai Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY). Gangguan Akibat Kekurangan Yodium mencakup keterbelakangan mental yang permanen, gondok, kegagalan reproduksi, meningkatnya kematian anak dan penurunan sosial ekonomi. Anak dengan kekurangan yodium memiliki rata-rata IQ 13,5 poin lebih rendah dibandingkan yang cukup yodium. Untuk mengatasinya penanggulangan GAKY difokuskan pada peningkatan konsumsi garam beryodium (depkes. go.id, 2016). Selain sebagai konsumsi rumah tangga, garam juga sangat diperlukan untuk kebutuhan industri, yakni sebagai bahan baku dalam pembuatan berbagai produk industri. Industri Kimia merupakan salah satu industri yang sangat banyak menggunakan garam dimana lebih dari 50% produk kimia menggunakan garam dalam proses produksinya. Garam juga digunakan dalam memproduksi berbagai macam produk industri antara lain kaca, kertas, karet dan pengolahan air (EUsalt, 2016). Garam yang dibutuhkan sektor industri harus memiliki kualitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan garam untuk konsumsi rumah tangga. Oleh karena itu, penting bagi produsen garam dalam negeri untuk dapat memproduksi garam dengan kualitas tinggi, mengingat kebutuhan garam dari sektor industri sendiri berkontribusi 65% dari total permintaan garam nasional. Disinilah pemerintah perlu mengeluarkan terobosan baru untuk memenuhi kebutuhan garam berkualitas tersebut (Sulistyono, 2015). Kualitas garam yang dibutuhkan oleh industri tidak hanya terbatas pada kandungan NaCl yang tinggi (minimal 97%). Namun demikian, terdapat beberapa persyaratan lain seperti batas maksimal kandungan logam berat seperti kalsium dan magnesium. Kandungan kedua logam berat tersebut tidak boleh melebihi 400 ppm untuk industri aneka pangan. Adapun untuk industri Chlor Alkali Plant (CAP) atau soda kostik mensyaratkan ambang batas 31

42 Steven Raja Ingot dan Titis Kusuma Lestari kandungan logam berat tidak melebihi 200 ppm serta kadar air yang rendah. Sementara itu, garam untuk kebutuhan industri farmasi yang digunakan untuk memproduksi infuse dan cairan pembersih darah harus mengandung NaCl 99,9-100% (Kemenperin, 2014). Namun dari sekian banyak sentra produksi garam di Indonesia, daerah yang saat ini mampu memenuhi kebutuhan garam industri salah satunya dari Nusa Tenggara Timur (NTT) (Maulana & Abdurrahma, 2016). Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan industri, kebutuhan garam nasional dari tahun ke tahun semakin meningkat. Kebutuhan garam pada tahun 2007 sebesar 2,7 juta ton, meningkat menjadi 2,9 juta ton pada tahun 2008 dan 2009, serta menjadi 3 juta ton pada tahun Dari jumlah kebutuhan garam tersebut di atas, sekitar 1,6-1,9 juta ton dipenuhi dari impor (Aprilia & Ali, 2011 dalam Assadad & Utomo, 2011). Berdasarkan data pada tahun 2014, kebutuhan garam di Indonesia adalah sebanyak 3,53 juta ton. Kebutuhan garam itu meliputi antara lain garam konsumsi ton dan garam industri 2,57 juta ton. 3.2 Kondisi Kebutuhan Garam Nasional Tahun 2015 Total kebutuhan/konsumsi garam nasional, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun industri, terus meningkat selama 6 tahun terkahir. Pada tahun 2010, total kebutuhan garam mencapai 3,0 juta ton, lalu meningkat rata-rata 4,3% per tahun menjadi 3,75 juta ton di tahun Peningkatan kebutuhan tersebut terutama disumbang oleh peningkatan kebutuhan garam industri yang signifikan, yakni naik rata-rata 6,8% per tahun selama , sedangkan kebutuhan garam konsumsi hanya naik 0,4% per tahun. Berdasarkan data dari KKP (2015), penggunaan garam konsumsi didominasi oleh sektor Rumah Tangga. Namun demikian, kebutuhan garam konsumsi untuk industri pengasinan naik cukup tajam 13,7% per tahun selama , sehingga kontribusinya mencapai lebih dari 50% dari kebutuhan garam konsumsi nasional tahun Adapun penggunaan garam industri didominasi oleh industri CAP dan Farmasi, yang mencapai 73,5% dari total kebutuhan garam industri tahun Selain itu, kebutuhan garam untuk industri CAP dan Farmasi mengalami peningkatan 2,1% per tahun. Kementerian Perindustrian (2014) memproyeksikan kebutuhan garam untuk industri akan terus meningkat sekitar ton setiap tahun. Tingginya kebutuhan garam ini dipicu oleh industri pangan nasional yang terus tumbuh. Potensi kebutuhan garam nasional sangat tinggi dan terus mengalami peningkatan, sehingga diperkirakan Indonesia masih belum akan terbebas dari impor garam. Hal tersebut dikarenakan produksi garam lokal, masih belum bisa memenuhi kebutuhan industri baik secara kuantitas, meskipun 32

43 Konsumsi Garam jumlahnya mengalami peningkatan lebih dari 90 kali lipat selama , maupun dari segi kualitas seperti yang sudah diuraikan pada bab sebelumnya. Pada tahun 2015, produksi garam nasional mencapai 2,84 juta ton, yang terdiri dari 2,5 juta ton garam rakyat, yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan garam konsumsi, dan sisanya berupa garam industri (yang diproduksi PT. Garam). Selama , produksi garam nasional naik signifikan rata-rata 98,7% per tahun. Namun demikian, produksi garam, khususnya garam industri, masih belum dapat memenuhi kebutuhan nasional. Sehingga Indonesia masih melakukan impor garam sebesar 1,86 juta ton. Meskipun demikian, impor garam mengalami penurunan rata-rata 3,85% per tahun (Tabel 3.1). Tabel 3.1 Neraca Garam Nasional, (Dalam Ton) No. Uraian Tahun Tren (%) I Kebutuhan ,29 Garam Konsumsi ,40 a. Rumah tangga ,34 b. Industri Aneka Pangan *) *) c. Industri Pengasinan Ikan ,74 Garam Industri ,83 a. Industri CAP dan Farmasi ,08 b. Industri Non CAP ,23 ( Perminyakan, Kulit, Tekstil, Sabun, dsb ) c. Industri Aneka Pangan , ,571 II Produksi **) ,74 i. PT. Garam (Persero) ,60 ii. Garam Rakyat ,54 Impor ,85 Ekspor ,08 III Stok Akhir ( ) ( ) Keterangan: *) Garam Aneka Pangan dikategorikan ke dalam garam industri sejak 2014 berdasarkan Permenperin No. 88/M-IND/ PER/10/2014 tentang Perubahan atas Permenperin No. 134/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan (Roadmap) Pengembangan Klaster Industri Garam **) Data produksi sudah termasuk penyusutan 10% - 25% Data ekspor dan impor yang digunakan dalam perhitungan ini berasal dari Badan Pusat Statistik (2016) Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (2016), diolah Kebutuhan garam nasional merupakan total keseluruhan dari kebutuhan garam konsumsi dan kebutuhan garam industri di Indonesia. Total kebutuhan Garam Nasional pada tahun 2015 adalah sebesar ton yang dipenuhi dari produksi sebesar 2,8 juta ton dan sisa kebutuhan dipenuhi oleh impor. Terdapat kenaikan kebutuhan garam nasional dengan persentase sebesar lebih kurang 6% dibandingkan dengan total kebutuhan garam nasional pada tahun Berikut adalah tabel kebutuhan garam nasional 2015 dan beberapa perusahaan yang bergerak di bidang pergaraman. 33

44 Steven Raja Ingot dan Titis Kusuma Lestari Kebutuhan Garam 2015 Garam Konsumsi ( Ton) Garam Industri ( Ton) R.Tangga (NaCL min 94%) Pengasian/ Pengawetan Ikan Industri Farmasi (NaCL min 99,8%) Industri Kimia (NaCL min 96%) Industri Aneka Pangan ( NaCL min 97%) Ind. Perminyakan, Penyamakan Kulit, Pakan Ternak/ ikan, Water Treatment, Es Batu, Dll (NaCL min 85%) Ton Ton Ton Ton Ton Ton Sumber: KKP (2015) 1. PT. Otsuka Indonesia 2. PT. Intan Jaya Medika Solusi 3. PT. Jayamas Medika Industri 4. PT. Amerta Indah Otsuka 5. PT. Finusolprima Farma Internasional 6. PT. Sanbe Farma 7. PT. Widatra Bhakti 8. PT. Emjebe Pharma 1. PT. Indah Kiat Pulp & Paper 2. PT. Pabrik Kertaas Tjiwi Kimia 3. PT. Asahimas Chemical 4. PT. Sulfindo Adiusaha 5. PT. Riau Andalan Pulp&Paper 6. PT. Lontar Papyrus 7. PT. Toba Pulp&Paper 8. PT. Tanjung Enin Pulp&- Paper 9. PT. Pindodeli Pulp&Paper 10. PT.Pakerin 1. PT. Saltindo Perkasa 2. PT.Unichemcandi 3.PT.Sumatraco Langgeng Makmur 4. PT. Susanti Megah 5. PT. Garindo Sejahtera Abadi 6. PT. Cheetam Garam Indonesia 7. PT. Niaga Garam Cemerlang Gambar 3.1 Kebutuhan Garam Nasional PT. Garam 2. PT. Saltindo Perkasa 3. PT. Sumatraco Langgeng Makmur 4. PT. Kao Indonesia 5. PT. Chetham Garam Indonesia 6. PT. Niaga Garam Cemerlang 7. PT. Gunajaya Santosa Sebesar 73% dari volume garam industri dikonsumsi oleh Industri kimia (NaCl min. 96%) sehingga dapat dikatakan bahwa Industri Kimia mendominasi kebutuhan total garam untuk industri tahun 2015 sebanyak ton garam untuk kebutuhan industri dikonsumsi oleh industri kimia diikuti oleh Industri Aneka Pangan, Industri Perminyakan, Penyamakan Kulit, Pakan Ternak/Ikan, Water Treatment, es batu dan Industri Farmasi. 34

45 Konsumsi Garam Standar Mutu Industi Soda Abu IMPOR Standar Mutu Industri CAP Pergaraman Industri Industri Perumahan (Purifikasi) Standar Mutu Industri Farmasi AIR LAUT Garam Konsumsi Beryodium Industri Pangan Olahan Pangan saat masak/saji Pergaraman Rakyat Industri Pengasinan ikan, Industri Pakan Ternak dan Industri Perkebunan K1 K2 K3 Bisnis Pencucian Garam Bisnis Iodisasi Industri Catering/ Resto/Hotel Konsumen Rumah Tangga Pangan Siap Santap Garam Bumbu Masak Sumber: KKP (2015) Gambar 3.2 Proses Bisnis Industri Garam. Dalam memenuhi kebutuhan garam sebagai bahan baku, industri memanfaatkan garam dari produksi nasional (garam rakyat) dan juga dari impor. Meskipun berdasarkan Permendag Nomor 125 tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Garam tidak mewajibkan produsen/industri untuk menyerap garam rakyat, namun ada beberapa perusahaan yang memanfaatkan garam rakyat sebagai bahan baku produksi. 3.3 Garam Konsumsi Rumah Tangga Sebagaimana dijelaskan pada Bab II, garam diklasifikasikan menjadi dua, yaitu garam konsumsi dan garam industri. Garam konsumsi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: a. Garam Rumah Tangga Garam rumah tangga adalah garam konsumsi beryodium dengan kandungan NaCl min. 94% atas dasar basis kering (adbk), air maks. 7%, bagian yang tidak larut dalam air maks. 0,5 mg/kg (adbk), Kadmium (Cd) maks. 0,5 mg/kg, Timbal (Pb) maks. 10,0 mg/kg, Raksa (Hg) maks. 0,1 mg/kg, dan cemaran Arsen (As) maks 0,1 mg/kg, serta Kalium Iodate (KI03) min. 30 mg/kg yang berbentuk padat dan dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat. 35

46 Steven Raja Ingot dan Titis Kusuma Lestari b. Garam Diet Garam diet adalah garam konsumsi beryodium berbentuk cairan/padat dengan kadar NaCl maks 60% (adbk) serta Kalium Iodate (KI03) min. 30 mg/kg yang dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Garam Konsumsi merupakan kebutuhan penting bagi rumah tangga. Sudah dapat dipastikan bahwa setiap rumah tangga di Indonesia mengkonsumsi garam untuk kebutuhan sehari-hari sebagai bahan pangan. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk menyediakan garam konsumsi rumah tangga yang mengandung yodium cukup, dalam rangka menjaga kecukupan gizi bagi masyarakat. Menurut pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan (2013), konsumsi garam di Indonesia dianggap berlebih sehingga rentan menimbulkan berbagai penyakit seperti hipertensi, diabetes, jantung koroner, kanker dan stroke. Konsumsi garam yang dianjurkan per orang per hari adalah 5 gram (setara 1 sendok teh), sementara saat ini, konsumsi garam masyarakat dapat mencapai 10 gram (setara 2 sendok teh) per orang per hari. Untuk mencegah hal ini, pemerintah akan mengatur dan menerbitkan buku saku tentang pembatasan konsumsi garam, sebagai pedoman konsumsi. 3.4 Konsumsi Garam Industri Pada sub Bab 3.1 sudah dijelaskan bahwa sebagai bahan baku proses produksi, industri membutuhkan garam yang memiliki kualitas khusus, yang memiliki kualitas lebih tinggi dibanding garam konsumsi rumah tangga, dan memiliki spesifikasi yang berbeda pada masing-masing jenis industri yang menggunakan. Berdasarkan Permenperin 88/M-IND/PER/10/2014: Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 134/M-IND/ PER/10/2009 tentang Peta Panduan (Roadmap) Pengembangan Klaster Industri Garam, Garam industri didefinisikan sebagai garam yang digunakan sebagai bahan baku/penolong pada proses produksi. Penggunaan garam industri secara detil dijelaskan sebagai berikut: a. Konsumsi Garam pada Industri Farmasi Industri farmasi merupakan industri obat jadi dan industri bahan baku obat. Industri farmasi sebagai industri penghasil obat, dituntut untuk dapat menghasilkan obat yang memenuhi persyaratan khasiat, keamanan dan mutu dalam dosis yang digunakan untuk tujuan pengobatan. Karena menyangkut soal nyawa manusia, industri farmasi dan produknya diatur secara ketat. Industri farmasi di Indonesia diberlakukan persyaratan yang diatur dalam CPOB. Garam farmasi merupakan garam dengan kualitas tertinggi dengan kadar NaCl > 99,5 % serta dengan kandungan pengotor 36

47 Konsumsi Garam NaCL Soda Abu Soda Kostik Klorin Farmasi Lain-lain Pengolahan Air Senyawa Natrium Pecah Belah Cat Minyak Disinfektan De-Icing Organik Pulp & Paper Aluminium & Metal Keramik Pewarna Tekstil Sabun & Deterjen Pewarna Tekstil Konstruksi Garam Meja Industri Pangan Sumber: EUsalt (2016) Gambar 3.3 Penggunaan Garam. seperti Ca dan Mg <50 ppm, sulfat <150 ppm serta tidak adanya logam berat lainnya (Rismana, 2014). Berdasarkan informasi dari Kementerian Perindustrian, saat ini industri masih sangat tergantung pada bahan baku impor. Bahkan, hampir 95% Bahan Baku Obat (BBO) masih dipenuhi dari impor. Salah satu bahan baku obat yang masih dipenuhi dari impor adalah garam farmasi. Garam farmasi merupakan bahan baku yang banyak digunakan dalam industri farmasi yakni antara lain sebagai bahan baku infus, produksi tablet, pelarut vaksin, sirup, oralit, cairan pencuci 37

48 Steven Raja Ingot dan Titis Kusuma Lestari darah, minuman kesehatan dan lain-lain. Kebutuhan garam farmasi masih dipenuhi dari impor dikarenakan belum adanya industri lokal yang dapat memproduksi garam farmasi dengan spesifikasi yang tepat. b. Konsumsi Garam pada Industri Kimia Lebih dari 70% kebutuhan garam industri diserap oleh industri kimia. Salah satu jenis Industri kimia adalah industri kimia dasar yang memproduksi Caustic Soda. Industri ini banyak menyerap garam dalam proses produksinya. Caustic Soda sendiri merupakan bahan baku dasar yang digunakan dalam beragam industri antara lain (Sumber: Asahimas Chemical, 2016): - Pulp dan Kertas: Industri ini merupakan pengguna Caustic Soda terbesar di dunia dimana caustic soda digunakan sebagai bahan baku untuk proses pulping, bleaching dan de-inking sisa kertas. - Tekstil: Caustic Soda digunakan untuk memproses katun dan pewarnaan serat sintetis seperti nilon dan polyester. - Sabun dan Detergen: Caustic Soda digunakan dalam proses saponification yaitu proses kimia yang merubah vegetable oil menjadi sabun. Pada industri detegen, caustic soda digunakan untuk membuat anionic surfactants yang merupakan komponen penting dalam produksi detergen dan produk pembersih. - Minyak dan Gas: Pada tahap eksplorasi, produksi dan proses dari petroleum gas dan gas alam, Caustic Soda digunakan untuk menghilangkan bebauan tajam yang berasal dari hydrogen sulfide dan mercaptans. - Industri Pengolah Kimia lainnya: Caustic Soda digunakan sebagai bahan baku untuk produk sepert plastik, lem, tinta. coating, pelarut dll. c. Konsumsi Garam pada Industri Aneka Pangan Garam industri aneka pangan adalah garam yang beryodium maupun tidak beryodium dan digunakan sebagai bahan baku/penolong pada industri aneka pangan untuk memproduksi makanan maupun minuman. Garam untuk industri aneka pangan diperuntukkan bagi industri mie, bumbu masak, biskuit, minuman, gula, kecap, mentega dan pengalengan ikan (Kemenperin, 2014). Dari hasil FGD dengan perwakilan dari GAPMMI menyatakan bahwa industri ini memerlukan garam dengan 38

49 Konsumsi Garam Gambar 3.4 Alur Proses Membran Sel dalam Pembentukan Soda Kostik. Sumber: Eurochlor (2016) kualitas tinggi dan merupakan bahan baku yang penting dalam proses produksi walau hanya dibutuhkan dalam kuantitas yang tidak banyak. Sebagai contoh untuk industri mie, garam digunakan dalam adonan mie dan campuran pada bumbu mie. Menurut Rismana (2014), garam aneka pangan banyak digunakan di industri pangan seperti makanan ringan mempunyai kadar NaCl sekitar 99,00% dengan kandungan kalsium dan magnesium < 200 ppm. d. Konsumsi Garam pada Industri Penyamakan Kulit Industri penyamakan kulit adalah industri yang mengolahberbagai macam kulit mentah, kulit setengah jadi (kulit pikel, kulit wetblue, kulit kras) menjadi kulit jadi. Terdapat 4 jenis penyamakan kulit, yaitu penyamakan nabati, penyamakan minyak, penyamakan sintetis dan penyamakan mineral. Garam dibutuhkan oleh industri penyamakan kulit sebagai bahan baku/ penolong dalam penyamakan mineral. Garam yang digunakan tersebut berupa Garam Krom (Cr) basa yang mempunyai valensi III (Kromium trivalent) (Setiyono dan Yudo, 2014). Garam Krom tersebut harus 39

50 Steven Raja Ingot dan Titis Kusuma Lestari memiliki spesifikasi kandungan NaCl minimal 85%. Kromium merupakan unsur terbanyak dalam kulit bumi ke-22 dengan konsentrasi rata-rata 100 ppm. Senyawa-senyawa kromium ditemukan dalam lingkungan, karena erosi batu-batuan yang mengandung kromium dan dapat didistribusikan oleh ledakan gunung berapi. Konsentrasi dalam tanah berkisar antara 1 sampai 300 mg/kg, dalam air laut antara 5 sampai 800 µg/liter, dan dalam sungai serta danau 26 µg/liter sampai 5,2 mg/liter. Kromium diperoleh dari tambang dalam bentuk batu logam (ore) kromit (FeCr2O4) (Kotaś & Stasicka, 2000). Proses Penyamakan kulit mineral dibagi menjadi 3 tahap yaitu: Beam house, Tanning, dan Finishing (Iswahyuni, 1997 dalam Hatibi,1998). Adapun garam industri digunakan pada proses Beam House, yakni pada saat pengawetan; dan pada proses Tanning, yakni saat penyamakan Krom (Setiyono dan Yudo, 2014). Gambar 3.5 Diagram Alur Proses Penyamakan Kulit Mineral. Sumber: Setiyono & Yudo (2014) 40

51 Konsumsi Garam 3.5 Persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) Garam Sebagai salah satu upaya perlindungan terhadap industri dalam negeri dan perlindungan terhadap konsumen pengguna produk, maka pemerintah menerapkan standar tertentu untuk suatu produk dengan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang dalam hal ini ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional. Pemenuhan terhadap persyaratan SNI dibuktikan melalui kegiatan penilaian kesesuaian yang dilakukan oleh Lembaga Penilaian Kesesuaian yang terdiri dari Laboratorium Penguji, Lembaga Sertifikasi Produk (LSpro), Lembaga Inspeksi, Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen sesuai dengan produknya (BSN, 2014). Pemerintah telah memiliki standar mutu khusus untuk komoditi garam, baik untuk garam industri dan garam konsumsi. Pemerintah dalam hal ini juga memiliki perhatian khusus terhadap standar garam konsumsi dengan menerapkan SNI Wajib untuk produksi Garam Konsumsi Beryodium, sementara SNI mutu garam untuk bahan baku industri belum diwajibkan. Tabel 3.2 dan 3.3 menunjukkan data SNI mutu garam. Tabel 3.2 Syarat Mutu Garam untuk Bahan Baku Industri menurut SNI No Kriteria uji Satuan Persyaratan 1 Keadaan - bau - Normal - rasa - Asin - warna - Putih Normal 2 Natrium Klorida (NaCl) % (b/b) adbk Minimal 94,7 3 Air (H2O) % (b/b) Maksimal 7 4 Bagian tidak larut dalam air % (b/b) adbk Maksimal 0,5 5 Cemaran logam - Timbal (Pb) mg/kg Maksimal 10,0 - Tembaga (Cu) mg/kg Maksimal 10,0 - Raksa (Hg) mg/kg Maksimal 0,1 6 Cemaran arsen (As) mg/kg Maksimal 0,1 Keterangan: b/b= bobot/bobot; adbk= atas dasar bahan kering. Sumber: Assadad dan Utomo (2011) Tabel 3.3 Syarat Mutu Garam untuk Konsumsi Beryodium menurut SNI No Kriteria uji Satuan Persyaratan 1 Kadar air (H2O) % (b/b) Maksimal 7,0 2 Kadar NaCl (natrium klorida) % (b/b) adbk Minimal 94,7 dihitung dari jumlah klorida (Cl) 3 Yodium dihitung sebagai kalium mg/kg Minimal 30,0 iodat (KIO3) 4 Cemaran logam - Timbal (Pb) mg/kg Maksimal 10,0 - Tembaga (Cu) mg/kg Maksimal 10,0 - Raksa (Hg) mg/kg Maksimal 0,1 5 Cemaran arsen (As) mg/kg Maksimal 0,1 Keterangan: b/b= bobot/bobot; adbk= atas dasar bahan kering Sumber: Assadad dan Utomo (2011) 41

52 Steven Raja Ingot dan Titis Kusuma Lestari 3.6 Garam Konsumsi Beryodium Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI tahun 2013, telah melaksanakan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 di Indonesia secara keseluruhan (perkotaan dan pedesaan) yang salah satu hasilnya adalah data konsumsi garam beryodium di Indonesia. Tabel 3.4 Proporsi Konsumsi Garam Yodium oleh Rumah Tangga per Propinsi di Indonesia Tahun 2013 Sumber: Riset Kesehatan Dasar, Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes RI (2013) Berdasarkan Hasil Riskesdas 2013, Indonesia pada tahun 2013 seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 3.1, rumah tangga di Indonesia yang mengonsumsi garam mengandung cukup yodium sudah mencapai 77,1%, namun masih ada rumah tangga yang mengonsumsi garam mengandung yodium kurang sebesar 14,8% dan ada rumah tangga mengkonsumsi garam yang tidak mengandung yodium sebesar 8,1%. 42

53 Konsumsi Garam Berdasarkan data World Bank (2016), pada tahun 2013, jumlah rumah tangga di negara dengan pendapatan menengah ke atas mengonsumsi garam cukup yodium mencapai 91,3%, jauh lebih tinggi dibanding di negara dengan pendapatan menegah ke bawah yang hanya 73,6%. Beberapa negara dengan jumlah rumah tangga yang mengonsumsi garam cukup yodium tinggi antara lain RRT (96,7%), Brazil (95,7%), dan Meksiko (91,0%). Sementara beberapa negara dengan jumlah rumah tangga yang mengonsumsi garam cukup yodium rendah antara lain Mauritania (7,3%), Sudan (9,5%), dan Ethiopia (15,4%). Adapun negara ASEAN yang masih berada di bawah standar kecukupun yodium adalah Vietnam (45,1%), Myanmar (68,8%), Thailand (70,9%), dan Laos (79,5%), World Health Organization (WHO) menargetkan bahwa standar kecukupan Yodium (Universal Salt Iodization/USI) atau garam beryodium untuk semua, adalah kondisi dimana Rumah Tangga telah mengkonsumsi minimal 90% garam dengan kandungan yodium cukup. Pada tahun 2013, 13 propinsi di Indonesia telah mencapai syarat USI. Hal ini menunjukkan peningkatan 2 kali lipat dibandingkan dengan tahun 2007 dimana saat itu hanya 6 propinsi yang sudah memenuhi syarat USI. Kekurangan garam yodium dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia. Selain berupa pembesaran kelenjar gondok dan hipotiroid, kekurangan yodium jika terjadi pada wanita hamil mempunyai resiko terjadinya abortus, lahir mati, sampai cacat bawaan pada bayi yang lahir berupa gangguan perkembangan syaraf, mental dan fisik yang disebut kretin. Semua gangguan ini dapat berakibat pada rendahnya prestasi belajar anak usia sekolah, rendahnya produktifitas kerja pada orang dewasa serta timbulnya berbagai permasalahan sosial ekonomi masyarakat yang dapat menghambat pembangunan. Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) dapat diatasi dengan mudah melalui garam yang telah difortifikasi yodium sesuai standar. Masalah rendahnya konsumsi garam beryodium cukup (>30ppm) di rumah tangga, antara lain karena belum optimalnya penggerakan masyarakat, kurangnya kampanye konsumsi garam beryodium, dan dukungan regulasi yang belum memadai. Masalah lain adalah belum rutinnya pelaksanaan pemantauan garam beryodium di masyarakat. Selain itu, pemerintah juga melakukan beberapa upaya percepatan pemenuhan garam beryodium dalam mengatasi GAKY, antara lain melalui (BAPPENAS, 2004): a. Membina dan mengawasi produsen dan distributor garam beryodium melalui pembinaan penerapan sistem manajemen mutu dan penerapan hukum 43

54 Steven Raja Ingot dan Titis Kusuma Lestari b. Melakukan yodisasi garam di sentra-sentra produksi garam rakyat melalui kelompok pegaram. c. Melakukan yodisasi garam di lingkungan distribusi dan pemasaran untuk konsumen di daerah-daerah konsumsi non-produksi, terutama di kabupaten/kota yang memiliki daerah endemik GAKY. d. Menjamin pemenuhan kebutuhan Kalium Yodat (KIO3) ke produsen garam beryodium dan sentra produksi melalui kerja sama antara PT. Kimia Farma, Asosiasi Produsen Garam Beryodium dan Dinas Perindag propinsi dan kabupaten/kota. e. Mengembangkan jaringan distribusi garam beryodium lintas daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota. Sedangkan dalam melaksanakan sistem pemantauan kualitas garam beryodium yang terintegrasi di tingkat produksi, distribusi dan konsumsi, pemerintah melakukan upaya (BAPPENAS, 2004): a. Mensosialisasikan sistem pemantauan mutu garam beryodium dalam era otonomi daerah secara terintegrasi antara pemantauan produksi dan distribusi garam rakyat, pengadaan dan distribusi garam impor, produksi dan distribusi garam beryodium, pengadaan dan distribusi KIO3 dan pemantauan mutu garam di tingkat distribusi. b. Melakukan pemantauan mutu garam di tingkat produksi, distribusi dan konsumsi. c. Mengkoordinasikan hasil pemantauan secara periodik di tingkat produksi, distribusi dan konsumsi serta melaksanakan tindak lanjut pembinaan, pengawasan, pengumuman kepada masyarakat dan tindakan hukum bila diperlukan. d. Melaksanakan pemantauan distribusi garam rakyat dan garam impor, serta pengadaan dan distribusi Kalium Yodat (KIO3). e. Menstandarisasi dan mensosialisasikan metode uji kadar yodium dengan cepat. f. Mengadakan dan mendistribusikan peralatan dan bahan uji mutu garam ke kabupaten/kota, masyarakat dan pengusaha. 3.6 Kebijakan Konsumsi Garam Nasional dan Internasional World Health Organization (WHO) memberikan panduan bahwa orang dewasa sebaiknya mengkonsumsi 5 gram garam atau kurang dari 2000mg sodium dan 3510mg potasium per hari menekankan bahwa konsumsi garam yang melebihi melebihi dari batas normal dapat meningkatkan resiko terkena penyakit jantung dan stroke (WHO,2016). Sementara untuk kebutuhan yodium, WHO, UNICEF dan ICCIDD merekomendasikan kebutuhan yodium 44

55 Konsumsi Garam perhari 90 mikrogram pada anak usia 0-59 bulan, 120 mikrogram pada anak usia 6-12 tahun, 150 mikrogram diatas 12 tahun dan 200 mikrogram pada wanita hamil dan menyusui. Untuk mengurangi resiko kekurangan konsumsi garam yodium, pemerintah menerbitkan beberapa regulasi, yaitu Keputusan Presiden Nomor 69 Tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Konsumsi Beryodium; dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 63 Tahun 2010 tentang Pedoman Penanggulangan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium di Daerah. 3.7 Penutup Berdasarkan jenisnya, Garam Konsumsi dibagi menjadi 2 yaitu Garam Konsumsi untuk Rumah Tangga dan Garam Industri dengan berbagai spesifikasi khusus yang dibutuhkan oleh masing-masing industri sehingga dalam menyelesaikan masalah konsumsi garam, pemerintah perlu membuat kebijakan yang sesuai bagi Garam Konsumsi dan Garam Industri. Kebutuhan garam nasional yang mencapai sebesar ton per tahun pada tahun 2015 dengan total produksi garam rakyat nasional mencapai 2,84 juta ton pada tahun 2015 dapat disimpulkan bahwa dari sisi kuantitas Indonesia masih belum mampu memenuhi kebutuhan garam nasional. Garam yang dikonsumsi masyarakat tercatat masih belum memenuhi standar Yodium yang dipersyaratkan oleh WHO dimana kondisi ideal adalah 90% rumah tangga sudah memenuhi kebutuhan yodium. Saat ini baru 13 propinsi dari total 33 propinsi di Indonesia yang sudah memenuhi standar WHO tersebut. Sedangkan dari sisi kebutuhan garam untuk keperluan industri, Indonesia masih dihadapkan pada permasalahan pemenuhan standar kualitas dan spesifikasi garam yang dibutuhkan oleh industri. Menyadari permasalahan ini, pemerintah perlu cepat tanggap untuk membuat kebijakan yang tepat untuk Garam Konsumsi dan Garam Industri. Dalam menyelesaikan permasalahan Garam Konsumsi, pemerintah perlu membuat kebijakan dan sosialisasi ke masyarakat tentang pentingnya mengkonsumsi garam beryodium dengan tujuan utama untuk mempercepat pemerataan penyerapan Garam Konsumsi beryodium dengan fokus pada 20 propinsi di Indonesia yang masih belum memenuhi standar WHO. Sementara untuk pemenuhan kebutuhan industri pemerintah perlu mengupayakan dan membangun banyak industri yang mampu memurnikan dan meningkatkan kualitas garam rakyat agar mampu memenuhi standar Industri. 45

56 Steven Raja Ingot dan Titis Kusuma Lestari DAFTAR PUSTAKA Asahimas Chemical. (2016). Caustic Soda. Diunduh 27 Mei 2016 dari Assadad, L., & Utomo, B. S. (2011). Pemanfaatan Garam Dalam Industri Pengolahan. Buletin Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Vol 6 No.1, Badan Standardisasi Nasional (2014). Perumusan & Penerapan SNI (Termasuk SNI Wajib), Serta Peran GAPMMI. Disampaikan dalam Member Gathering GAPMMI Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan RI. Bappenas. (2004). Rencana Aksi Nasional Kesinambungan Program Penanggulangan Gaky. Diunduh 27 Mei 2016 dari: bappenas.go.id/document/ makalah/23_makalah.pdf Depkes.go.id. (2010). Konsumsi Garam Beryodium Untuk Semua. Diunduh 22 Maret 2016 dari: Eusalt. (2016). Salt Uses. Diunduh 27 April 2016 dari Eurochlor. (2016). Membrane Cell Process. Diunduh 27 Mei eurochlor.org/media/7812/membrane_300dpi2.pdf. Klikdokter. (2016). Garam. Diunduh 27 April 2016 dari: com/rubrikspesialis/gizi/info-nutrisi/garam. Kementerian Perindustrian. (2016). Garam Industri Masih Bergantung Impor, Diunduh 11 Mei 2016 dari Garam-Industri-Masih-Bergantung-Impor. Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2016). Peningkatan Kualitas Garam Menuju Swasembada Garam Nasional. Bahan Paparan Kementerian Kelautan Dan Perikanan. Kotaś, J. & Stasicka, Z (2000). Chromium occurrence in the environment and methods of its speciation. Environmental Pollution 107 (3): Maulana, A. G. & Abdurahma, M. (2016). Industri Jamin Serap Garam Petani. Diunduh 7 April 2016 dari read/ /513492/industri-jamin-serap-garam-petani. 46

57 Konsumsi Garam Peraturan Menteri Perindustrian No. 88/M-IND/PER/10/2014 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian No. 134/M-IND/ PER/10/2009 tentang peta panduan (road map) pengembangan klaster industrigaram. Diakses pada tanggal 22 Maret 2016 melalui Peraturan Menteri Perdagangan No.58/M-DAG/PER/8/2012 tentang Ketentuan Impor Garam. Diakses pada tanggal 22 Maret 2016 melalui jdih.kemendag.go.id/id/regulations?year=2012&group=&type=&q= &N=2&N=3&N=2&N=1&N=2. Rismana, Eriawan & Nizar. (2014). Kajian Proses Produksi Garam Aneka Pangan Menggunakan Beberapa Sumber Bahan Baku. Diunduh 19 Juni 2016, dari php?article=163913&val=1039&title=kajian%20proses%20 Produksi%20Garam%20Aneka%20Pangan%20Menggunakan%20 Beberapa%20Sumber%20Bahan%20Baku. Setiyono & Yudo, Satmoko. (2014). Daur Ulang Air Limbah Industri Penyamakan Kulit Studi Kasus di Lingkungan Industri Kulit, Magetan, Jawa Timur. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Sulistyono, Endra. (2015). Mewujudkan Garam Nasional yang Berswasembada. Diunduh 15 Mei 2016, dari: go.id/sites/default/files/mewujudkan%20garam%20nasional%20 yang%20berswasembada.pdf. World Bank. (2016). World Consumption of iodized salt (% of households). Diunduh 1 Juni 2016 dari : SN.ITK.SALT.ZS World Health Organization. (2013). WHO issues new guidance on dietary salt and potassium. Diunduh 27 April 2016 dari: mediacentre/news/notes/2013/salt_potassium_ /en/. 47

58 Steven Raja Ingot dan Titis Kusuma Lestari 48

59 Perdagangan Garam di Dalam Negeri BAB IV PERDAGANGAN GARAM DI DALAM NEGERI Nugroho Ari Subekti 4.1. Gambaran Umum Perdagangan Dua masalah umum yang dihadapi komoditi garam nasional yaitu produksi dan distribusi. Dari sisi produksi, permasalahan komoditi garam disebabkan karena beberapa faktor diantaranya ketergantungan produksi garam pada iklim, teknologi yang digunakan, sifat produksi garam yang padat karya, lokasi areal pegaraman yang mempunyai skala yang bervariasi, petani garam yang secara sosial ekonomi lemah, keterbatasan modal, serta struktur kepemilikan lahan. Faktor-faktor tersebut merupakan potret masalah di industri garam Indonesia (Lintang, 2013 dalam Syarifudin, 2013). Dari sisi distribusi, berdasarkan analisis yang dilakukan Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (2012) secara umum sistem distribusi produk garam di Indonesia belum efisien dan efektif.beberapa indikator yang mengindikasikan buruknya sistem distribusi garam antara lain ditandai dengan besarnya margin distribusi, fluktuasi harga yang tinggi, pembagian keuntungan tidak merata diantara elemen rantai pasok, serta munculnya spekulan-spekulan di bidang perdagangan (Puska PDN, 2012). Sejalan dengan penelitian Puska PDN (2012), Heriansah dan Fathuddin (2014) menemukan jika di sisi rantai yang paling hulu yakni petani garam memiliki posisi tawar yang sangat lemah dikarenakan jalur distribusi garam yang inefisien dan ketergantungan pada tengkulak. Kondisi ini menyebabkan harga garam yang diterima petambak jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga yang diterima di tingkat elemen rantai pasok selanjutnya khususnya ketika waktu panen raya garam berlangsung. Dalam rangka meningkatkan daya tawar petani, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah memberlakukan beberapa kebijakan khususnya terkait dengan tata niaga impor garam. Langkah-langkah kongkrit yang telah dilakukan adalah dengan menerbitkan beberapa peraturan yang melarang impor garam satu bulan sebelum panen raya, selama panen raya dan dua bulan setelah panen raya sampai dengan kebijakan Menteri Perdagangan yang terakhir yaitu Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 58/M-DAG/PER/9/2012. Kebijakan tata niaga impor juga dilengkapi dengan kebijakan harga acuan pembelian garam rakyat sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri No. 2/DAGLU/ PER/5/2011. Isu terkait dengan komoditas garam di dalam negeri akan selalu terkait dengan isu pada sisi hulu yaitu produksi dan sisi hilir yaitu konsumsi. Dalam 49

60 Nugroho Ari Subekti bab ini akan dibahas lebih komprehensif tata niaga garam di dalamnya dan tentu saja akan bersentuhan dengan berbagai sisi baik di sektor hulu maupun hilir seperti struktur pasar garam, pola pemasaran dan distribusi garam, serta kebijakan garam. 4.2 Struktur Pasar Garam di Indonesia Produsen garam di Indonesia secara umum dapat dibedakan menjadi dua yaitu: 1) Pegaraman PT. Garam (Persero); dan 2) Petani garam atau pemilik garam swasta. Dari total produksi garam nasional yang dihasilkan, sekitar 70% garam berasal dari petani garam atau pemilik garam swasta (Kemala, 2013). Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (2015) menunjukkan total produksi nasional sebesar 2,84 juta ton dengan proporsi produksi garam rakyat sebesar 2,49 juta ton atau lebih dari 85% dari total produksi dan sisanya merupakan produksi dari PT. Garam. Dengan situasi ini, permasalahan terkait dengan garam akan menjadi isu yang sangat sensitif karena melibatkan banyak kepentingan di dalamnya, khususnya petani garam. Secara umum pasar garam di Indonesia adalah untuk kebutuhan garam konsumsi dan garam industri. Kelompok kebutuhan garam konsumsi dibedakan menjadi tiga jenis yaitu foodgrade dengan kandungan NaCl 97%, medium grade dengan kadar NaCl 94,7%-97% dan low grade dengan kadar NaCl 90 94,7%. Sementara untuk garam industri, secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga yaitu garam industri perminyakan dengan kadar NaCl 95% - 97%, garam industri lainnya (industri kulit, industri tekstil, pabrik es dan lain-lain) dengan kadar NaCl minimal 95% dan Garam Industri Chlor Alkali Plant (CAP) dan Industri Farmasi minimal 99,8% (Permenperin Nomor: 88/M-IND/PER/10/2014). Produksi garam yang dihasilkan oleh produsen garam di Indonesia yaitu PT. Garam (Persero) dan garam rakyat pada prinsipnya pangsa pasarnya adalah untuk kebutuhan bahan baku garam konsumsi. Namun pada kenyataanya, hanya garam yang dihasilkan oleh PT. Garam (Persero) yang memenuhi syarat mutu garam konsumsi beryodium dan untuk garam industri perminyakan dan garam industri lainnya dengan kadar NaCl sebesar 95-97%. Sementara untuk garam rakyat, garam yang dihasilkan memiliki kadar NaCl kurang dari 95% dengan kualitas campuran garam mutu rendah dan menengah yang memerlukan pengolahan lebih lanjut untuk memenuhi bahan baku garam beryodium. Kebutuhan garam industri CAP, garam industri farmasi maupun industri pangan tertentu hingga saat ini masih harus dipenuhi melalui impor. Kondisi inilah yang hingga sekarang menimbulkan berbagai polemik, mengapa Indonesia harus mengimpor garam sementara sumber 50

61 Perdagangan Garam di Dalam Negeri daya yang diperlukan untuk memproduksi garam di Indonesia melimpah (Boenarco, 2012). Dalam upaya mendorong perkembangan industri garam di dalam negeri khususnya garam rakyat pemerintah menerbitkan beberapa kebijakan terkait tata niaga garam impor. Kebijakan ini dilakukan dalam rangka melindungi garam rakyat, dan bertujuan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani sehingga mampu meningkatkan produksi dan produktivitas garam. Beberapa kebijakan yang telah dirilis oleh pemerintah menyebutkan bahwa impor garam dilakukan oleh importir produsen non iodisasi, importir garam iodisasi dan importir terdaftar serta importir terdaftar umum. Struktur industri garam beryodium di Indonesia berdasarkan direktori industri dari Kementerian Perindustrian (2016) menunjukkan struktur yang kompetitif dengan jumlah lebih dari 150 perusahaan. Namun dalam realitasnya, hanya beberapa perusahaan yang menguasai pasar garam bahan baku konsumsi di Indonesia. Penguasaan struktur pasar garam beryodium oleh beberapa perusahaan diperkuat oleh adanya kebijakan pemerintah sebelumnya yang menunjuk 10 perusahaan Importir Produsen (IP) untuk mengimpor garam yaitu PT. Garam (Persero), PT. Garindo Sejahtera Abadi, PT. Sumatraco, PT. Budiono, PT. Susanti Megah, PT. Unichem, PT. Sumatera Palm Raya, PT. Surya Mandiri Utama, PT. Graha Reksa Manunggal dan PT. Saltindo Perkasa (Biro Umum dan Humas Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2004). Kesepuluh perusahaan inilah yang secara normatif harus menyerap garam rakyat sebesar 50% sebelum mendapat izin melakukan impor garam. Selain IP garam beryodium, IP non iodisasi juga melakukan impor garam untuk kebutuhan industrinya selain Importir Terdaftar (IT) yang juga melakukan impor garam. Secara struktur industri, IP non iodisasi dapat teridentifikasi dengan mudah karena pelaku usahanya hanya beberapa perusahaan. Berdasarkan data dari Direktorat Jasa Kelautan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Perikananan dan Kelautan (2015), ada 10 IP non iodisasi yaitu PT. Indah Kiat Pulp and Paper, PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, PT. Asahimas Chemical, PT. Riau Andalan Pulp and Paper, PT. Lontar Papyrus Pulp and Paper, PT. Toba Pulp and Paper, PT. Tanjung Enim Pulp and Paper, PT. Pindodeli Pulp and Paper Mils dan PT. Pakerin. Selain kedua pelaku industri pengguna bahan baku garam tersebut, IT juga melakukan importasi garam sebagai bahan penolong industri seperti yang disebutkan sebelumnya. Banyaknya pelaku importir garam mengindikasikan adanya kemudahan dalam melakukan impor garam. Selain hal tersebut, klasifikasi garam yang diimpor juga sangat sulit dibedakan peruntukannya 51

62 Nugroho Ari Subekti kecuali garam yang digunakan untuk industri farmasi dan CAP. Kondisi ini semakin diperparah dengan fakta yang terjadi bahwa terdapat dua izin sekaligus yang bisa diperoleh yaitu sebagai IP dan IT yang memungkinkan terjadinya penyimpangan garam yang seharusnya untuk industri menjadi untuk konsumsi. Tujuan utama pemerintah dalam rangka melindungi industri garam rakyat menjadi bumerang karena ketidakmampuan pemerintah mengawasi tata niaga garam impor. Banyaknya pelaku importir tidak serta merta meningkatkan penyerapan garam rakyat. Ketiadaan sanksi tegas bagi IP iodisasi yang tidak melakukan kewajiban penyerapan garam rakyat menjadi kendala dalam penegakan kebijakan tersebut. Kondisi ini diperburuk dengan berubahnya status Perusahaan Negara Garam menjadi Perusahaan Persero PT. Garam (Persero) Garam berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun Perubahan bentuk institusi ini berdampak pada tidak adanya lagi kemampuan pemerintah dalam mengatur tentang produksi dan distribusi atau pemasaran garam. Menurut penelitian yang dilakukan Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri (2012) dengan sampel 5 perusahaan garam terbesar di Jawa Timur, menemukan fakta bahwa tidak ada rantai distribusi yang bersifat eksklusif. Secara normatif, mereka menyatakan tidak ada halangan baik dalam bentuk aturan maupun perjanjian antar mereka dalam melakukan distribusi garam. Dengan kata lain tidak ada satu perusahaan yang menguasai atau memonopoli distribusi garam dalam negeri. Namun berdasarkan analisis Rochwulaningsih (2013) walaupun ada banyak importir produsen dan importir terdaftar, dalam kenyataanya distribusi bahan baku garam di Indonesia hanya dikuasai oleh beberapa importir produsen. Kondisi ini diperkuat dengan temuan KPPU pada tahun 2005 terkait kartel garam bahan baku di Sumatra Utara yang dilakukan empat IP di Indonesia yaitu PT. Garam, PT. Budiono, PT. Garindo, PT. Graha Reksa, dan PT. Sumatera Palm. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengakui ada 7 begal garam yang mengendalikan harga garam di Indonesia (finance. detik.com, 2015). Meskipun kasus yang ditangani tahun 2005 oleh KPPU sedikit berbeda, namun diyakini pelanggaran yang terjadi di tahun tersebut kemungkinan masih berkaitan dengan indikasi kartel garam yang terjadi saat ini (2016) dengan pelaku yang sebagian besar adalah pemain lama. Berdasarkan fenomena-fenomena yang terjadi, secara umum struktur pasar garam di Indonesia cenderung berbentuk oligopoli. Dengan struktur pasar yang oligopolistik berdampak pada penguasaan pasar garam yang kuat sehingga diindikasikan menimbulkan praktek kartel di dalamnya. Tiga modus praktek kartel menurut KPPU (kkpnews.kkp.go.id, 2015) yaitu: 1) 52

63 Perdagangan Garam di Dalam Negeri Pengambilan marjin keuntungan yang berlipat karena disparitas harga garam impor yang jauh lebih murah dibandingkan dengan garam lokal; 2) Pembelian garam petani hanya oleh sekelompok usaha yang menekan harga garam petani lokal; 3) Kombinasi dari modus pertama dan kedua yaitu dengan memasukkan garam impor ke pasar garam lokal sehingga harga garam lokal tertekan turun. Modus ketiga dilakukan untuk menyiasati peraturan yang mewajibkan IP untuk menyerap garam lokal. 4.3 Pola Pemasaran dan Distribusi Garam Secara umum, kelembagaan utama yang terlibat dalam rantai pasokan garam dari hulu ke hilir adalah petani garam, PT. Garam, importir, distributor, sub-distributor, agen, sub agen, pedagang grosir, supermarket/swalayan, dan pedagang eceran.pada tulisan ini pola pemasaran dan distribusi garam yang diambil pada empat wilayah di Indonesia yang diharapkan dapat memberikan gambaran pola pemasaran dan distribusi garam di wilayah Indonesia. Keempat daerah terpilih dalam tulisan diharapkan dapat memotret pola pemasaran dan distribusi pada sentra pasar di Indonesia dengan membandingkan keempat daerah tersebut dengan kelembagaan rantai pasokan secara nasional. Keempat wilayah tersebut yang pertama adalah Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang merupakan representasi daerah sentra produksi di Pulau Sumatra dan bisa mewakili kawasan barat Indonesia. Kedua adalah Propinsi Jawa Timur yang merupakan daerah sentra produksi terbesar garam di Indonesia dan mewakili pulau Jawa. Ketiga adalah Propinsi Nusa Tenggara Barat yang merupakan salah satu daerah sentra produksi garam di kawasan timur Indonesia. Keempat adalah Propinsi Sulawesi Tengah yang merupakan representasi daerah bukan sentra produksi di Indonesia. Keempat daerah yang dipilih merupakan hasil survei yang dilakukan oleh BPS tahun Dua kerangka sampel yang digunakan dalam survei BPS adalah kerangka sampel pedagang dan kerangka sampel produsen. Kerangka sampel pedagang dan produsen mengacu pada Sensus Ekonomi tahun 2006 yaitu perusahaan perdagangan menengah dan besar dan direktori industri skala besar dan sedang. Namun demikian, BPS menghadapi kendala dalam survei khususnya terkait dengan responden perusahaan sebagai produsen yang tidak memberikan respons sehingga BPS mempublikasikan hasil survei dengan mengasumsikan perusahaan berfungsi sebagai pedagang. Berdasarkan data tersebut juga empat daerah yang diangkat dalam buku ini untuk menguraikan rantai distribusi secara umum belum bisa memotret dua sisi rantai distribusi garam yaitu rantai distribusi garam bahan baku dan rantai distribusi garam olahan. 53

64 Nugroho Ari Subekti Kelembagaan Rantai Pasokan Nasional Rantai pasokan perdagangan garam secara nasional menunjukkan pola yang kompleks sebagaimana tampak pada Gambar 4.1. Seluruh fungsi usaha perdagangan terlibat dalam rantai distribusi perdagangan garam, termasuk di dalamnya importir yang mendistribusikan garam dari luar negeri ke Indonesia. Kelembagaan utama yang terlibat dalam rantai pasokan garam dari hulu ke hilir adalah petani garam, PT. Garam, importir, pengumpul, pedagang besar, produsen garam beryodium, distributor, sub distributor, pedagang eceran dan konsumen. Berdasarkan analisis lapangan dari Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri (2012), rantai pasokan perdagangan garam dibedakan menjadi dua yaitu sisi sentra produksi yang merujuk pada garam bahan baku dan sentra pasar yang merujuk pada garam olahan. Garam Lokal Petani Garam Sentra Produksi/ Garam Bahan Baku Sentra Pasar/ Garam Olahan Perkebunan/Pupuk PabrikPenyamakankulit Ladang PT. Garam Gudang Pedagang Besar Pengumpul Pengecer Konsumen Akhir Garam Impor Pabrik Garam Beryodium Distributor Sub- Distributor Importir Prod. Garam Importir Industri Kimia (CAP) Pabrik Sendiri Gudang PT Garam Industri Kimia Skala Menengah Pabrik Makanan Pengeringan Ikan Perminyakan Gambar 4.1 Pola Distribusi Perdagangan Garam Nasional. Sumber: Puska PDN (2012) Sumber garam bahan baku di Indonesia berasal dari garam lokal yang dihasilkan oleh petani garam (garam rakyat) dan ladang PT. Garam, sedangkan bahan baku garam yang berasal dari luar diimpor oleh importir 54

65 Perdagangan Garam di Dalam Negeri produsen garam beryodium dan importir produsen non yodium. Kebutuhan garam bagi industri Chlor Alkali Plant (CAP) dan farmasi dilakukan oleh importir produsen itu sendiri karena mempunyai spesifikasi yang sangat spesifik dan industri pengolahan di dalam negeri belum bisa menghasilkan garam dengan spesifikasi yang dibutuhkan oleh garam kedua industri tersebut. Pada sentra produksi, garam bahan baku domestik yang dihasilkan oleh garam rakyat akan diserap oleh pengumpul, pedagang besar, PT. Garam dan sebagian akan masuk ke pabrik garam beryodium. Untuk garam yang dihasilkan oleh PT. Garam akan disalurkan ke pedagang besar, pabrik garam beryodium dan sebagian disimpan sebagai stok di gudang PT. Garam dan sebagai garam bahan baku bagi unit produksi garam olahan PT. Garam. Sementara itu, garam bahan baku dari impor akan diserap oleh pedagang besar, masuk ke gudang PT. Garam, dan masuk ke pabrik garam beryodium. Dua industri pengolahan yaitu pabrik garam beryodium dan industri kimia menjadi sentral pengolahan garam bahan baku menjadi garam olahan yang siap digunakan sebagai bahan konsumsi langsung atau sebagai bahan penolong industri lainnya. Produksi garam beryodium selanjutnya akan diserap oleh distributor dan disalurkan ke rantai di bawahnya hingga konsumen serta industri makanan dan minuman. Untuk garam olahan non yodium akan disalurkan ke industri-industri sebagai bahan penolong produksi mereka melalui distributor ataupun langsung dari importir garam bahan baku Kelembagaan Rantai Pasokan di Aceh Lembaga usaha perdagangan dan jenis pedagang di Aceh memperlihatkan bahwa terdapat beberapa elemen di dalam rantai pasok yang meliputi produsen, distributor, agen, sub agen, pedagang grosir, pedagang eceran dan konsumen akhir yang terbagi menjadi dua yaitu kegiatan usaha lainnya dan rumah tangga (BPS, 2015). 8,4% 17,2% 72,6% 0,8% Kegiatan Usaha Lainnya Produsen Distributor Agen Sub Agen Pedagang Grosir 5,1% 8,2% 74,7% Pedagang 100% 4,3% Gambar 4.2 Pola Distribusi Perdagangan Garam di Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Sumber: BPS (2015) 5,6% 24,6% Rumah Tangga Bahan baku pembuatan garam diperoleh produsen dari wilayah Aceh sendiri dan dari wilayah Sumatera Utara khususnya Kota Medan yang dipasok dari daerah lain melalui Pelabuhan Belawan (BPS, 2015). Propinsi 55

66 Nugroho Ari Subekti Daerah Istimewa Aceh tidak melakukan impor garam dalam proses produksi garam. Dibandingkan dengan pola distribusi garam nasional, pola distribusi perdagangan garam di Aceh relatif memiliki rantai yang cukup panjang untuk mencapai konsumen akhir. Di Aceh, rantai pasok garam terpanjang harus melewati lima elemen rantai pasok sebelum sampai ke konsumen akhir yaitu kegiatan usaha lainnya dan rumah tangga. Pada rantai pasok yang terpanjang, pendistribusian garam ke konsumen akhir dikuasai dua elemen rantai pasok yaitu pedagang grosir dan pedagang eceran. Pedagang grosir akan menyalurkan garam ke pedagang eceran sebesar 74,4% dan sebesar 24,6% langsung ke rumah tangga, dan sisanya ke kegiatan usaha lainnya. Selain dari pedagang grosir, pedagang eceran mendapatkan garam dari agen dan sub agen yang selanjutnya akan memasarkan seluruhnya ke konsumen rumah tangga. Sementara rantai pasok terpendek adalah dari distributor ke konsumen rumah tangga, namun jumlahnya sangat kecil (4,3%). Dengan jumlah pasokan yang sedikit, harga garam yang disalurkan ke konsumen dari distributor akan mengikuti harga jual dari pedagang eceran dan pedagang grosir. 56

67 Perdagangan Garam di Dalam Negeri Kelembagaan Rantai Pasokan di Jawa Timur Dari pola distribusi yang terbentuk di Jawa Timur, penyaluran garam di Jawa Timur sangat merepresentasikan kegiatan pola distribusi garam secara nasional. Ini terlihat dari kompleksitas penyaluran garam dari produsen hingga ke konsumen akhir yang melibatkan berbagai elemen rantai pasok. Selain itu, dilihat dari sisi bahan baku, produsen di Jawa Timur memperoleh garam bahan baku selain dari produsen dalam negeri, garam bahan baku juga diperoleh dari garam yang diimpor langsung. Di tingkat konsumen akhir, garam juga tidak hanya disalurkan ke konsumen rumah tangga namun juga ke kegiatan usaha lainnya dan ke industri pengolahan garam. Impor Produsen 39,8% Distributor Sub Distributor 0,2% Agen 0,1% 20,9% 29,6% Sub Agen 1,35% 30,2% 73,8% 0,03% 30,1% 2,8% Pedagang Grosir 0,07% 81,3% Supermarket/ Swalayan 71,3% Pedagang Eceran 40,2% 29,8% 0,12% Industri Pengolahan 2,5% 7,1% 1,7% Kegiatan Usaha Lainnya 0,07% 5,2% 26,3% 15% Rumah tangga 72% 0,1% 18.6% Gambar 4.2 Pola Distribusi Perdagangan Garam di Propinsi Jawa Timur. Sumber: BPS (2015) Tidak seperti pola distribusi garam di daerah lain seperti Aceh, terlihat pola distribusi perdagangan garam di Propinsi Jawa Timur sangat dikuasai oleh distributor dan sub distributor. Dari 100% garam yang dikuasai distributor, hampir sepertiganya diperuntukkan untuk industri pengolahan, sementara 57

68 Nugroho Ari Subekti sisanya akan dibagikan ke sub distributor dan pedagang eceran. Dari dua elemen rantai distribusi ini, garam akan disalurkan ke konsumen rumah tangga dan ke kegiatan usaha lainnya. Sedikit berbeda dengan pola distribusi nasional, di Jawa Timur, pedagang grosir dan pedagang eceran memegang peranan penting dalam distribusi garam ke konsumen akhir khususnya rumah tangga. Dengan penguasaan garam hampir 70% di kedua lembaga ini, maka harga garam sangat ditentukan oleh kedua lembaga ini. Namun demikian, dari sisi penguasaan garam, pedagang eceran mempunyai keuntungan yaitu sumber pasokan garam di Jawa Timur tidak hanya tergantung pada pedagang grosir. Hampir 70% pasokan garam didapatkan dari rantai distribusi sebelum pedagang grosir yaitu sub distributor dan distributor. Sehingga dari sisi marjin keuntungan yang diperoleh, pedagang eceran kemungkinan mempunyai persentase yang lebih besar dari pedagang grosir Kelembagaan Rantai Pasokan di Nusa Tenggara Barat (NTB) Di NTB sebagai salah satu sentra produksi garam di kawasan timur Indonesia, bahan baku garam seluruhnya berasal dari produsen lokal. Pola distribusi di NTB juga jauh lebih sederhana dibandingkan dengan daerah Aceh maupun Jawa Timur. Secara umum, jalur penjualan hasil produksi garam di NTB dimulai dari produsen ke pedagang grosir sebagai pedagang besar, pedagang eceran, dan terdapat konsumen akhir yaitu kegiatan usaha lainnya dan rumah tangga. 55,3% 30,9% Kegiatan Usaha Lainnya Produsen Pedagang Grosir Pedagang Eceran 70,1% 0,9% 29,1% 13,9% Rumah Tangga Gambar 4.2 Pola Distribusi Perdagangan Garam di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Sumber: BPS (2015) Rantai distribusi di NTB boleh dikatakan pendek karena hanya ada dua elemen rantai pasok di dalamnya yaitu pedagang grosir dan pedagang eceran. Pedagang grosir menjadi awal perdagangan garam yang menjual barang dagangannya ke pedagang eceran (55,27%), industri pengolahan (30,88%), 58

69 Perdagangan Garam di Dalam Negeri dan ke rumah tangga (13,85%). Pedagang grosir juga menjadi elemen rantai pasok yang menjadi distributor bagi industri pengolahan. Pada pola distribusi perdagangan garam di NTB terlihat bahwa pedagang grosir memiliki peran yang sangat penting dalam distribusi garam ke dua elemen konsumen akhir yaitu kegiatan usaha lainnya dan rumah tangga. Hal ini terindikasi dari persentase penyaluran ke kedua elemen tersebut yang menyentuh 45%, sementara sisanya dipasok ke pedagang eceran. Jadi secara umum dalam pembentukan harga di tingkat konsumen akhir, kemungkinan besar dua lembaga rantai pasok ini akan mempunyai peranan yang sama besar Kelembagaan Rantai Pasokan di Sulawesi Tengah Pola dan jalur distribusi garam di Sulawesi Tengah secara umum menunjukkan karakteristik yang hampir serupa dengan pola distribusi garam di NTB. Namun, ada perbedaan mendasar dalam pola distribusi garam di Sulawesi Tengah yaitu daerah ini bukan merupakan sentra produksi garam. Kondisi ini berdampak pada pengadaan garam yang berasal dari daerah lain sehingga elemen rantai pasok pertama diawali dari distributor. Dari distributor, garam dijual ke pedagang eceran sebesar 90% dan ke rumah tangga sebesar 10%. Distributor mendapatkan pasokan garam dari distributor lainnya sehingga rumah tangga sangat tergantung pada pasokan garam yang berasal dari pedagang eceran. 33,3% 90,2% Distributor Pedagang Grosir Pedagang Eceran 66,7% Rumah Tangga 90% 10% 9,8% Gambar 4.2 Pola Distribusi Perdagangan Garam di Propinsi Sulawesi Tengah. Sumber: BPS (2015) Pedagang grosir merupakan elemen rantai pasok selanjutnya yang mendistribusikan garam ke pedagang eceran sebesar 90,18% dan ke rumah tangga sebesar 9,82%. Sama dengan pola distribusi di NTB, pedagang pengecer juga menjual ke pedagang pengecer lainnya sebanyak sepertiga dan sisanya disalurkan ke konsumen akhir yaitu rumah tangga. Di sisi lain distributor juga memegang peran dalam distribusi garam secara langsung ke konsumen akhir. 59

70 Nugroho Ari Subekti Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) Nasional Tabel 4.1 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) Uraian Pedagang Pedagang PB + PE Besar Eceran (PB) (PE) Rata-rata Nilai Penjualan (000 Rp) Rata-rata Nilai Pembelian (000 Rp) Rata-rata MPP (000 Rp) Rasio Marjin (%) 24,8 18,9 23,7 Sumber: BPS (2015) Berdasarkan hasil survei BPS 2015 marjin perdagangan dan pengangkutan nasional adalah seperti pada Tabel 4.1. Berdasarkan Tabel 4.1, diperoleh informasi bahwa rata-rata MPP untuk lembaga usaha yang termasuk kategori Pedagang Besar (PB) garam adalah sekitar Rp 181,58 juta dengan rasio marjin sebesar 24,80%, artinya PB mengambil keuntungan rata-rata sebesar 24,80%. Rata-rata MPP untuk lembaga usaha yang termasuk kategori Pedagang Eceran (PE) Garam adalah sekitar Rp 31,88 juta dengan rasio marjin sebesar 18,98%, artinya PE mengambil keuntungan rata-rata sebesar 18,98%. Jika digabung, rata-rata Marjin Perdagangan dan Pengangkutan untuk PB dan PE adalah sekitar Rp 107,77 juta dengan rasio marjin sebesar 23,74%, artinya pedagang garam mengambil keuntungan rata-rata sebesar 23,74%. Jadi secara umum marjin keuntungan yang diambil PB cenderung lebih besar dari PE. Dengan karakteristik PB yang secara teori jumlah pemainnya jauh lebih sedikit dari pedagang kategori PE, kondisi ini mengindikasikan bahwa tingkat keuntungan hanya menjadi monopoli pedagang dengan kategori PB MPP di Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tabel 4.2 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) di Propinsi Daerah Istimewa Aceh Uraian Pedagang Pedagang PB + PE Besar Eceran (PB) (PE) Rata-rata Nilai Penjualan (000 Rp) Rata-rata Nilai Pembelian (000 Rp) Rata-rata MPP (000 Rp) Rasio Marjin (%) 16,8 33,3 16,9 Sumber: BPS (2015) 60

71 Perdagangan Garam di Dalam Negeri Rata-rata MPP untuk elemen rantai pasok yang termasuk ketegori PB garam adalah sekitar Rp 20,93 juta dengan rasio marjin sebesar 16,79% (Tabel 4.2). Hal ini dapat diartikan bahwa PB mengambil keuntungan ratarata sebesar 16,79%. Sementara untuk rata-rata MPP untuk elemen rantai pasok yang termasuk kategori PE garam adalah sekitar Rp 2,25 juta dengan rasio marjin sebesar 33,33%. Ini berarti PE mengambil keuntungan rata-rata sebesar 33,33% atau hampir dua kali lipat dibandingkan lembaga usaha yang dikategorikan PB. Secara rata-rata gabungan (PB dan PE), nilai yang didapat sekitar Rp 18,73 juta dengan rasio marjin sebesar 16,90%. Sehingga, kedua lembaga usaha tersebut mengambil keuntungan rata-rata sebesar 16,90%. Secara sederhana, MPP di Aceh menunjukkan fakta yang sudah seharusnya terjadi dalam suatu perdagangan yaitu PE akan memiliki marjin keuntungan yang lebih besar. Kondisi ini terjadi karena berdasarkan fakta antara lain: 1) Rantai pasokan garam sebelum ke PE melewati beberapa rantai yang tiap rantai akan mengambil keuntungan; 2) Volume penjualan PE yang mempunyai karakteristik eceran dan volumenya kecil; dan 3) PE jumlahnya lebih banyak dibandingkan elemen rantai pasok sebelumnya. Kondisi rantai pasok di Aceh secara umum terlihat lebih baik dibandingkan dengan kondisi rantai pasok di tingkat nasional. Tingkat marjin yang diperoleh cenderung tersebar pada elemen rantai pasok dengan kategori PE MPP di Jawa Timur Tabel 4.3 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) di Propinsi Jawa Timur Uraian Pedagang Pedagang PB + PE Besar Eceran (PB) (PE) Rata-rata Nilai Penjualan (000 Rp) Rata-rata Nilai Pembelian (000 Rp) Rata-rata MPP (000 Rp) Rasio Marjin (%) 52,5 15,4 52,4 Sumber: BPS (2015) Berdasarkan Tabel 4.3, di Jawa Timur lembaga usaha yang termasuk kategori kategori PB garam MPP yang diperoleh adalah sekitar Rp 728,78 juta dengan rasio marjin sebesar 52,48%. Atau dengan kata lain, PB mengambil keuntungan rata-rata sebesar 52,48%. Sementara untuk lembaga usaha yang termasuk kategori PE garam, didapatkan MPP sebesar Rp 607 ribu dengan rasio marjin sebesar 15,36%. Artinya keuntungan rata-rata yang diambil PE sebesar 15,36% jauh lebih kecil jika dibandingkan PB. Kondisi ini berbeda 61

72 Nugroho Ari Subekti dengan marjin keuntungan yang diambil PE di Aceh yang dua kali lebih besar dibandingkan PB. Sebagai representasi pola distribusi dan pemasaran garam tingkat nasional, Jawa Timur memiliki kemiripan temuan marjin perdagangan dan pengangkutan di tingkat nasional. Marjin keuntungan yang diambil PB di Jawa Timur memiliki nilai lebih tinggi dari PE. Fenomena ini juga dapat mengindikasikan bahwa, PB di Jawa Timur kemungkinan hanya dikuasai oleh beberapa pemain dengan penguasaan pasar yang sangat besar sehingga mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga garam Nusa Tenggara Barat (NTB) Tabel 4.4 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) di Propinsi Nusa Tenggara Barat Uraian Pedagang Pedagang PB + PE Besar Eceran (PB) (PE) Rata-rata Nilai Penjualan (000 Rp) Rata-rata Nilai Pembelian (000 Rp) Rata-rata MPP (000 Rp) Rasio Marjin (%) 78,5 22,6 77,5 Sumber: BPS (2015) Tabel 4.4 menunjukkan informasi bahwa rata-rata MPP PB garam adalah sekitar Rp 293,24 juta dengan rasio marjin sebesar 78,50%. Dengan kata lain, PB mengambil keuntungan rata-rata sebesar 78,50%. Sementara, ratarata MPP untuk kategori PE garam adalah sekitar Rp 1,20 juta dengan rasio marjin sebesar 22,56%, sehingga keuntungan yang diambil PE rata-rata sebesar 22,56%. Jadi, rata-rata MPP untuk kedua lembaga tesebut (PB dan PE) adalah sekitar Rp 131,00 juta dengan rasio marjin sebesar 77,52%, yang berarti di tingkat pedagang garam keuntungan yang diambil rata-rata sebesar 77,52%. Serupa dengan kondisi di Jawa Timur atau di tingkat nasional, marjin keuntungan yang diperoleh elemen distribusi dengan kategori PB di Nusa Tenggara Barat juga jauh lebih tinggi dibanding elemen distribusi kategori PE. Namun demikian, fenomena di NTB sedikit berbeda karena pola distribusi ke konsumen akhir. PB memiliki keuntungan yang lebih besar karena selain memasok ke PE, PB juga memasok langsung ke konsumen akhir seperti industri pengolahan dan rumah tangga. Sementara PE hanya memasok ke rumah tangga, meskipun dari jumlah memiliki persentase yang cukup besar sebesar 70%. 62

73 Perdagangan Garam di Dalam Negeri MPP di Sulawesi Tengah Tabel 4.5 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) di Propinsi Sulawesi Tengah Uraian Pedagang Pedagang PB + PE Besar Eceran (PB) (PE) Rata-rata Nilai Penjualan (000 Rp) Rata-rata Nilai Pembelian (000 Rp) Rata-rata MPP (000 Rp) Rasio Marjin (%) 9,5 6,4 8,7 Sumber: BPS (2015) Tabel 4.5 menunjukkan bahwa rata-rata MPP untuk PB garam sebesar Rp 2,98 juta dengan rasio marjin sebesar 9,46%, yang berarti bahwa keuntungan yang diambil PB rata-rata sebesar 9,46%. Sementara untuk MPP kategori PE garam adalah sebesar Rp 446 ribu dengan rasio marjin sebesar 6,42%, yang berarti rata-rata keuntungan yang diambil PE sebesar 6,42% sehingga jika digabung, rata-rata MPP (PB dan PE) adalah sebesar Rp 1,50 juga dengan rasio marjin sebesar 8,74%, yang berarti keuntungan yang diambil pedagang garam rata-rata sebesar 8,74%. Berdasarkan deskripsi MPP yang ada, rasio marjin yang diambil oleh PB dan PE di Sulawesi Tengah cenderung berbeda dari tiga wilayah sebelumnya. Sebagai daerah yang murni mengandalkan pasokan garam dari daerah lain, perbandingan rasio marjin yang didapat dari PB dan PE tidak memiliki perbedaan yang besar seperti di daerah lain. Sekilas terlihat angka yang cukup besar di PB dan PE, namun demikian jika dilihat dari struktur elemen rantai distribusi yang berkecimpung di dalamnya, maka angka tersebut tidak akan jauh berbeda. secara teori pelaku kategori PB akan lebih sedikit dibandingkan dengan pelaku kategori PE. Dengan nilai persentase yang tidak memiliki gab yang terlalu besar, kemungkinan marjin yang diambil kedua elemen tersebut tidak berbeda secara signifikan. 4.4 Kebijakan Garam Nasional Peraturan atau kebijakan garam di tingkat nasional pada dasarnya bertujuan untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan masyarakat atau konsumen dan sekaligus juga menumbuhkembangkan kegiatan usaha di bidang garam. Untuk mencapai tujuan tersebut berbagai kebijakan telah dibuat dan diimplementasikan yang mencakup penumbuhan iklim usaha yang kondusif, pembinaan dan pengembangan yang dilakukan secara sinergi dan saling mendukung antar lintas sektoral dan regional. 63

74 Nugroho Ari Subekti Disamping itu kebijakan untuk pemenuhan kebutuhan garam nasional telah dilakukan baik untuk kebutuhan konsumsi maupun untuk industri seperti dalam pelaksanaan stok nasional garam pada tahun 1977 sampai dengan 1993 (Puska PDN, 2012). Kebijakan tersebut dilakukan pemerintah dengan menunjuk PN Garam sebagai pemegang stok nasional garam dengan membeli garam rakyat. Disatu sisi kebijakan tersebut bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani garam dengan cara meningkatkan kualitas, membantu pemasaran, stabilisasi stok dan harga garam serta melindungi petani garam dari pengijon, tengkulak dan sebagainya. Disisi lain, kepentingan konsumen dapat terpenuhi dengan terjaganya ketersediaan kebutuhan akan garam. Kebijakan ini memberikan hasil yang cukup menggembirakan bagi petani karena harga di tingkat petani relatif menguntungkan. Namun dipihak pengelola yaitu pemerintah, pengelolaan stok garam memerlukan ketersediaan dana yang tidak sedikit. Dalam pengelolaannya ternyata, perputaran dana yang terbentuk menunjukkan kinerja yang tidak menggembirakan ditambah kondisi administrasi keuangan pemerintah pada dekade 90-an mulai menunjukkan kinerja yang menurun. Kondisi tersebut memaksa pemerintah menghentikan kebijakan stok dan Tim pelaksanaan stok nasional dibubarkan (Puska PDN, 2012). Pada awal tahun 1990-an juga, Indonesia dihadapkan pada Kampanye internasional untuk memerangi Iodine Deficiency Disorder (IDD) atau Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKI). Serangkaian pertemuan internasional terkait dengan hal tersebut secara otomatis mendorong pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Beryodium. Kebijakan ini mengatur garam yang dapat diperdagangkan untuk keperluan konsumsi manusia atau ternak, pengasinan ikan atau bahan penolong industri pangan. Jenis garam yang digunakan adalah garam beryodium yang telah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan terlebih dahulu diolah melalui proses pencucian dan iodisasi. Garam beryodium juga wajib dikemas dan diberi label sesuai dengan keputusan Surat Keputusan (SK) Menteri Perindustrian No. 77/M/SK/1995 dan telah dirubah menjadi Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 42/M-IND/PER/11/2005 tentang persyaratan teknis pengolahan, pengemasan, dan pelabelan garam beriodium. Berdasarkan kebijakan ini, pengadaan garam beryodium harus memenuhi beberapa syarat antara lain: 1. Garam yang dapat diperdagangkan untuk keperluan konsumsi manusia atau ternak, pengasinan ikan atau bahan penolong industri pangan adalah garam beryodium yang telah memenuhi SNI. 2. Garam beryodium yang diperdagangkan wajib dikemas dan diberi label (Wahyuni, 2007). 64

75 Perdagangan Garam di Dalam Negeri Kebijakan garam beryodium yang sudah dikeluarkan pemerintah berdasarkan laporan dari UNICEF (Boenarco, 2012) menyebutkan bahwa sekitar 70% populasi Indonesia telah mendapatkan asupan yodium secara cukup dibandingkan tahun 1990an yang hanya sekitar 20-30%. Namun demikian, tidak hanya dampak positif yang dinikmati oleh konsumen. Persyaratan yang komplek terkait dengan produksi garam beryodium mengakibatkan biaya produksi garam meningkat. Sebagai imbasnya, untuk mendapatkan garam yang berkualitas dengan standar yang tinggi cara instan yang dilakukan adalah dengan melakukan impor garam. Kebutuhan akan garam konsumsi semakin mendorong meningkatnya impor garam yang berujung pada tertekannya produksi garam domestik. Untuk melindungi keberadaan garam nasional, pemerintah telah merilis beberapa kebijakan yang berhulu pada Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 360/MPP/Kep/5/2004 terkait dengan tata niaga impor garam. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan secara khusus bertujuan untuk menstimulasi produksi garam nasional khususnya garam rakyat. Selain itu, jatuhnya harga garam setiap musim panen raya garam menjadi latar belakang diberlakukannya kebijakan tersebut (Wahyuni, 2007). Sebagai komoditas yang dalam proses produksinya sangat tergantung oleh kondisi iklim, pemerintah juga menerbitkan peraturan yang bertujuan untuk melindungi petani garam dari anomali cuaca yang terjadi pada waktu itu. Dengan bergesernya masa panen yang terjadi pada tahun 2004, pemerintah juga meresponnya dengan mengeluarkan beberapa kebijakan lanjutan seperti Surat Keputusan (SK) Menperindag No. 422/MPP/Kep/6/2004 tentang tentang masa panen garam rakyat tahun 2004 yang berlangsung mulai 1 Agustus hingga 31 Oktober Dalam kebijakan tersebut, secara detil ditetapkan ketentuan larangan impor garam selama periode tertentu yaitu: 1) satu bulan sebelum musim panen raya garam rakyat; 2) selama panen raya garam rakyat; 3) dan dua bulan setelah masa panen raya garam rakyat. Pada tahun 2005, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 20/M-DAG/PER/9/2005 tentang ketentuan impor garam yang diikuti dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44/M-DAG/PER/10/2007 yang merupakan perubahan peraturan sebelumnya yang secara khusus mengatur siapa yang boleh melakukan impor garam. Importir yang boleh melakukan impor garam dibagi menjadi dua yaitu importir garam iodisasi dan non idodisasi dan hanya boleh mengimpor di luar masa panen garam rakyat. Kebijakan tata niaga impor garam itu diperbaharui lagi dengan Permendag No. 58/M-DAG/PER/9/2012 tanggal 4 September Jo Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 88/M-DAG/PER/10/2015. Terkait dengan perbaikan harga dasar garam rakyat telah diatur melalui Peraturan 65

76 Nugroho Ari Subekti Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri No. 02/DAGLU/PER/5/2011, bahwa harga garam rakyat di tingkat pengumpul atau collecting point (kondisi curah di atas truk) yang harus dibeli oleh IP untuk KP1 minimal Rp 750/Kg dan KP2 minimal Rp 550/Kg (Kemendag, 2012b). Dalam rangka memberi kepastian harga, sebenarnya pemerintah telah merilis Undang-Undang No. 9 tahun 2011 Junto Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang, yang dilanjutkan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 70 tahun 2014 Junto Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2007 mengenai Pelaksanaan Sistem resi gudang. Berdasarkan peraturan inilah lahir satu jenis Resi Gudang baru di Indonesia, dimana resi gudang bukan hanya sekedar bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang, melainkan dapat berfungsi sebagai surat berharga yang dapat diperdagangkan baik secara domestik maupun internasional, juga dapat dijadikan bukti penyerahan barang dalam kontrak derivatif yang dilakukan dalam suatu kontrak berjangka yang diperdagangkan dalam bursa berjangka. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 08/M-DAG/ PER/02/2013 ada sepuluh komoditas yang bisa diresigudangkan yaitu Gabah, Beras, Jagung, Kopi, Kakao, Lada, Karet, Rumput Laut, Rotan dan Garam. Namun hingga saat ini, hanya lima komoditas yang bisa dilakukan resi gudang. Dan menurut rencana, di akhir tahun 2016, garam akan menjadi salah satu komoditas yang didorong dapat diresigudangkan. Untuk mewujudkan hal tersebut, Kementerian Perdagangan akan bekerja sama dengan Kementerian Kalautan dan Perikanan (KKP) dan PT. Garam (Persero) (Tribunbisnis, 2016) Sejalan dengan program deregulasi dari pemerintah, ketentuan tentang impor garam diperbarui lagi di akhir tahun 2015 yaitu dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125/M-DAG/PER/12/2015. Semangat dari kebijakan ini adalah untuk mendorong peningkatan daya saing nasional dengan salah satunya menyederhanakan proses perizinan di bidang perdagangan khususnya impor garam industri. Namun demikian, praktisi pergaraman khususnya petani garam merasa kebijakan tersebut tidak mendukung perbaikan peningkatan kinerja garam domestik khususnya garam rakyat. Menurut mereka,ada tiga hal perubahan fundamental dalam kebijakan ini yang berbeda dengan kebijakan sebelumnya yaitu: 1) Tidak adanya kewajiban bagi IP untuk menyerap garam rakyat dengan persentase 50% dari total produksi; 2) Tidak ada harga pembelian pemerintah (HPP); dan 3) Tidak ada periode pembatasan waktu impor (Detik, 2016). Kebijakan tersebut cukup banyak mendapat perhatian karena kebijakan sebelumnya yang mewajibkan IP untuk menyerap garam rakyat tidak cukup berhasil. Terkait dengan harga, kebijakan sebelumnya yang mengatur tentang HPP garam juga kecenderungan dilanggar IP karena pada realitasnya, IP 66

77 Perdagangan Garam di Dalam Negeri menyerap garam dengan harga di bawah HPP. Anjloknya harga garam rakyat juga terkait dengan lemahnya pengawasan terkait masuknya garam impor ke pasar garam konsumsi. Fenomena lemahnya law enforcement dari kebijakan sebelumnya serta longgarnya kebijakan yang terbaru, mendorong rasa kekhawatiran dari pelaku garam rakyat jika kebijakan ini akan membawa dampak yang lebih buruk kepada masa depan industri garam rakyat. Melihat fakta-fakta dan fenomena-fenomena yang telah terjadi, kekhawatiran para pelaku industri garam rakyat tersebut menjadi wajar. Namun demikian, jika kita telaah lebih dalam lagi terkait dengan kebijakan tersebut (Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125/M-DAG/PER/12/2015 tentang Impor Garam) maka akan ditemukan hal-hal baik secara eksplisit dan implisit sangat mendukung perkembangan industri garam rakyat. Sebagai contoh adalah, pengaturan impor garam yang secara tegas diatur hanya garam industri yang dilakukan oleh Importir Produser. Sementara, garam impor untuk garam bahan baku konsumsi hanya dapat diimpor dalam kondisi tertentu (gagal panen) dan hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berkecimpung dalam bisnis garam setelah mendapat rekomendasi dari kementerian pembinanya. Secara implisit industri garam konsumsi mau tidak mau harus menggunakan garam bahan baku yang dihasilkan oleh petani garam yang diasumsikan lebih dari cukup dalam memenuhi kebutuhan garam bahan baku konsumsi. Dari semua kebijakan tata niaga garam yang telah dirilis dan dijalankan oleh pemerintah secara umum belum mendapatkan hasil sesuai yang diinginkan khususnya terkait tata niaga garam rakyat. Kondisi ini menurut Rochwulaningsih (2013) karena kebijakan yang telah ada hanya mengatur tata niaga garam impor, sementara yang menyangkut garam rakyat hanya diselipkan menjadi bagian kecil dari kebijakan tersebut. Dengan kata lain, hingga saat ini belum pernah ada kebijakan yang secara khusus dan otonom mengatur tentang tata niaga garam rakyat. Isu garam rakyat hingga saat ini masih terus hangat dan menjadi komoditas pencetak uang bagi pemburu rente. 67

78 Nugroho Ari Subekti 4.4 Penutup Rantai distribusi suatu barang dimulai dari produsen hingga ke konsumen yang pada akhirnya akan menggambarkan suatu pola distribusi. Setiap elemen yang terbentuk dalam rantai distribusi mempunyai peran yang sangat penting dalam perekonomian masyarakat antara lain sebagai katalisator antara produsen dan konsumen serta dapat memberikan nilai tambah bagi pelakunya. Secara normatif, rantai distribusi yang baik adalah suatu gabungan elemen-elemen pelaku distribusi yang mampu membangun suatu mekanisme pergerakan barang dari produsen ke konsumen secara kontinyu dengan biaya yang efisien dan dapat mensejahterakan seluruh pelaku di dalamnya. Permasalahan utama dari komoditas garam dalam negeri adalah tidak seimbangnya antara pasokan dan kebutuhan. Selain itu, kualitas garam yang dihasilkan secara umum belum bisa memenuhi kebutuhan industri dalam negeri. Selain faktor ketergantungan pada cuaca, keterbatasan penerapan teknologi dan lahan menjadi hambatan utama dalam peningkatan kuantitas dan kualitas produksi garam. Komoditas garam yang cenderung bersifat musiman menjadikan komoditas ini sangat rentan pada tekanan harga pada waktu masa panen. Harga cenderung akan menurun drastis ketika masa panen, namun tidak akan membaik ketika tidak musim garam. Perbaikan kebijakan yang mendukung industri garam perlu dilakukan untuk menjamin semua kepentingan pelaku komoditas garam di dalam negeri. Kebijakan penetapan harga garam di tingkat petani diharapkan dapat mendorong kualitas garam yang dihasilkan oleh petani garam. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah juga mendorong peningkatan produksi garam nasional dengan program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR). Kebijakan ini secara nyata telah meningkatkan tingkat produksi garam rakyat secara signifikan di berbagai daerah sentra industri garam di Indonesia. Rantai distribusi yang terlalu panjang juga menjadikan komoditas garam tidak efisien. Ini terlihat dari tidak meratanya marjin biaya dan pendapatan di berbagai tingkat rantai distribusi. Penguatan peran PT. Garam sebagai kepanjangan tangan pemerintah untuk memotong panjangnya rantai distribusi menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan efisiensi rantai distribusi garam di Indonesia. Diperlukan kebijakan yang lebih ketat terkait dengan pengawasan impor garam industri agar tidak terjadi perembesan garam di pasar garam konsumsi. Dan yang terakhir, diperlukan suatu kebijakan yang secara khusus mengatur tentang tata niaga garam rakyat. 68

79 Perdagangan Garam di Dalam Negeri DAFTAR PUSTAKA: Badan Pusat Statistik. (2015). Distribusi Perdagangan Komoditi Garam Indonesia. Diunduh tanggal 31 Januari 2016 dari Biro Umum dan Humas Departemen Perindustrian dan Perdagangan. (2004) Impor Garam Dilarang, mulai 1 Juli sampai 31 Desember Diunduh tanggal 15 Januari 2016dari go.id/artikel/544/impor-garam-dilarang,-mulai-1-juli-sampai-31- Desember Boenarco, I. S. (2012). Kebijakan Impor Garam Indonesia ( ): Implikasi Liberalisasi Perdagangan Terhadap Sektor Pergaraman Nasional. Universitas Indonesia. Diunduhtanggal 15 Januari 2016 dari Detik Finance. (22 September 2015). KPPU: Kartel Garam Sudah Sejak 2006, kok Baru Ribut Sekarang? Diunduhtanggal 29 Februari 2016 dari Detik Finance. (30 Maret 2016). Gubernur Jatim Keberatan Permendag 125 Tentang Impor Garam. Diunduh tanggal 29 Februari 2016 dari gubernur-jatim-keberatan-permendag-125-tentang-impor-garam. Direktorat Jasa Kelautan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut. (2016). Peningkatan Kualitas Garam Menuju Swasembada Garam Nasional. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tidak dipublikasikan. Fathuddin dan Heriansah. (2014). Analisis Tata Niaga Garam Untuk Pengembangan Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Pangkep. Diunduh tanggal 15 Januari 2016dari images/jbd_v5n2_1.pdf. Kompas. (27 Januari 2016). Harga Garam Masih Anjlok diunduh tanggal 31 Januari 2016 dari Garam-Masih-Anjlok. Kemala, G. W. R. (2013). Analisis Faktor-faktor yang memengaruhi Impor Garam Indonesia (dari Negara Mitra Dagang Australia, India, Selandia Baru, dan Cina). Institut Pertanian Bogor. Diunduh tanggal 15 Januari 2016dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. (23 September 2015). Importir Lakukan 3 Modus Kartel Garam. Diunduh tanggal 29 Februari 2016dari kkpnews.kkp.go.id/index.php/importir-lakukan-3-modus-kartelgaram/. 69

80 Nugroho Ari Subekti Kementerian Perindustrian. (2014). Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 88/M-IND/PER/10/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian No 134/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Garam Tahun Diunduh tanggal 29 Februari 2016dari go.id. Kementerian Perindustrian. (2016) Direktori Perusahaan Industri Garam Beryodium. Diunduh tanggal 29 Februari 2016dari go.id/direktori-perusahaan?what=garam+yodium&prov=0. Kementerian Perdagangan. (2005). Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Garam. Diunduh tanggal 29 Februari 2016dari aspx?file= Permendag+No+20+Tahun+2005.pdf&type=policy. Kementerian Perdagangan. (2007). Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44/M-DAG/PER/10/2007 tentang Perubahan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Garam. Diunduh tanggal 29 Februari 2016dari ews.kemendag.go.id/download.aspx?file=permendag+no+44+ Tahun+2007.pdf&type=policy. Kementerian Perdagangan. (2012a). Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58/M-DAG/PER/9/2012 tentang tentang Ketentuan Impor Garam Diunduh tanggal 29 Februari 2016dari go.id/files/peraturan/147.pdf. Kementerian Perdagangan. (2012b). Lindungi Petani, Pemerintah Hentikan Impor Garam Konsumsi Jelang Panen Raya. Diunduh tanggal 29 Februari 2016dari jakarta-lindungi-petani-pemerintah-hentikan-impor-garamkonsumsi-jelang-panen-ra-id pdf. Kementerian Perdagangan. (2015). Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125/M-DAG/PER/12/2015 tentang tentang Ketentuan Impor Garam. Diunduh tanggal 30 April 2016dari regulasi/2016/01/29/125m-dagper id pdf. Keputusan Presiden 69 Tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Beryodium. Diunduh tanggal 29 Februari 2016dari pusatdata/downloadfile/lt4e96608ccda48/parent/ Komisi Pengawas Persaingan Usaha. (2005). Putusan Perkara Nomor: 10/ KPPU-L/2005. Diunduh tanggal 29 Februari 2016 dari kppu.go.id/docs/putusan/putusan_garam.pdf. Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri. (2012). Penerapan Supply Chain Management untuk Meningkatkan Efisiensi dan Efektifitas Distribusi pada Kasus Garam. Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Jakarta. 70

81 Perdagangan Garam di Dalam Negeri Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1991 Tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (PERUM) Garam Menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO). Diunduhtanggal 29 Februari 2016 darihttp:// ews.kemendag.go.id/download.aspx?file=pp+no+12+tahun pdf&type=policy. Rochwulaningsih, Y. (2013). Tata Niaga Garam Rakyat dalam Kajian Struktural. Jurnal Sejarah CITRA LEKHA Vol XVII, No. 1 Februari 2013: Diunduh tanggal 15 Januari 2016dari Syarifudin, A. (2013). Kebijakan Garam Nasional: Dilema Potensi dan Permasalahan Produksidiunduh tanggal 1 Februari 2016 dari shalifijarresearchcenter.wordpress.com. Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 77/M/SK/1995 tentang Pengolahan, Pengemasan dan Pelabelan Garam Beriodium diunduh dari Kepmenperin_77_1995.pdf. Tribunbisnis. (1 Juni 2016). Gandeng Kementerian, Bappepti Wujudkan Sistem Resi Gudang Garam. Diundah tanggal 16 Juni 2016 dari tribunnews.com/bisnis/2016/06/01/gandeng-kementerian-bappebtiwujudkan-sistem-resi-gudang-garam. Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 42/M-IND/ PER/11/2005 tentang Pengolahan, Pengemasan dan Pelabelan Garam Beriodium diunduhtanggal 29 Februari 2016 dari pom.go.id/showpdf.php?u=439. Wahyuni, R. T. (2007). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Output Industri Garam Beryodium di Indonesia. Institut Pertanian Bogor. 71

82 Nugroho Ari Subekti 72

83 Perdagangan Luar Negeri Garam BAB V PERDAGANGAN LUAR NEGERI GARAM Aziza Rahmaniar Salam 5.1 Pendahuluan Indonesia masih mengandalkan pemenuhan sebagian besar kebutuhan garam dari impor. Impor garam Indonesia pada tahun 2014 mencapai 2,3 juta ton dari total kebutuhan yang mencapai 3,53 juta ton setiap tahunnya sebagaimana yang telah disampaikan pada bab sebelumnya (BPS, 2016). Kondisi pergaraman Indonesia saat ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi pada masa sebelum Indonesia merdeka, dimana saat itu Indonesia merupakan eksportir garam. Hal ini menunjukkan bahwa garam sejak dulu merupakan komoditas strategis yang menjadi perhatian dan kepentingan pemerintah yang berkuasa. Namun sejak Indonesia merdeka, yang terjadi justru merupakan kebalikannya yaitu garam tidak lagi dipandang sebagai komoditas strategis. Kebutuhan akan garam ini seharusnya sudah mulai dapat dipenuhi dari dalam negeri, mengingat selama ini walaupun Indonesia mengimpor garam namun juga mengekspor garam (Rochwulaningsih, 1989). Direktur Utama PT. Garam (Persero) menyampaikan setidaknya ada 3 penyebab mengapa Indonesia masih menjadi negara importir garam (Sutianto, 2015b). Pertama, masa panen dan pengolahan garam di Indonesia relatif sangat singkat dan sederhana. Akibatnya, kualitas garam Indonesia menjadi sangat rendah. Selain itu, petani garam yang mayoritas masih tradisional tidak melakukan beberapa tahapan pengolahan garam, utamanya tahapan refinery guna menaikkan kualitas garam. Berbeda dengan garam yang diproduksi oleh industri pengolahan garam yang melakukan beberapa tahap untuk memperoleh garam kualitas tinggi (high grade). Australia melakukan pengolahan garam dengan beberapa tahapan skala industri modern. Masa panen yang lama, skala industri yang modern dengan teknologi pengolahan yang modern juga serta lahan pengolahan yang luas yang mencapai ribuan hektar membuat garam produksi Australia lebih banyak dan berkualitas. Kendala kedua adalah teknologi. Indonesia belum memiliki teknologi pengolahan (refinery) untuk garam yang berkualitas rendah. Refinery diperlukan untuk menaikkan kualitas garam agar sesuai kebutuhan industri makanan minuman yang selama ini masih impor. Kendala ketiga adalah kesulitan mencari lahan baru. Indonesia memerlukan tambahan lahan baru di tepi pantai yang relatif luas, minimal hektar yang tidak terpisah-pisah. Selama ini lahan yang ada secara total cukup luas bahkan belum dimaksimalkan tetapi berada pada lokasi yang 73

84 Aziza Rahmaniar Salam terpisah-pisah, atau tidak berada dalam satu lokasi. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan merencanakan membuka lahan baru di Nusa Tenggara Timur tetapi masih terkendala pembebasan lahan. Tujuan lahan baru ini seluas 13 ribu hektar adalah untuk memproduksi garam industri yang kebutuhannya sekitar 2,2 juta ton per tahun. Diharapkan strategi ekstensifikasi ini dapat menutupi seluruh kebutuhan garam industri secara bertahap dengan estimasi dalam hektar (ha) tambak garam mampu memproduksi sekitar ton per tahun (Khayam, 2015). Pemilihan lokasi pembukaan tambak baru di NTT, dinilai sangat tepat karena wilayah ini memiliki masa kemarau yang jauh lebih panjang dibandingkan daerah lainnya sekitar 8,5 bulan atau mendekati lamanya masa kemarau di Australia yaitu selama 11 bulan. Diharapkan pembukaan tambak garam baru sebanyak ha tersebut bisa menutup kebutuhan impor garam industri yang kriteria dan kualitasnya lebih tinggi dari garam konsumsi. 5.2 Perkembangan Ekspor Impor Dalam Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) 2012, garam masuk dalam heading yaitu garam (termasuk garam meja dan garam didenaturalisasi) dan natrium khlorida murni, dalam larutan air atau mengandung tambahan bahan anti-caking atau free-flowing maupun tidak. Garam ini terbagi atas 5 pos tarif dalam level 10 digit yaitu (garam meja), (garam batu), (air laut, yaitu air laut dari laut terdalam yang digunakan sebagai bahan baku kosmetik), (lain-lain yang mengandung natrium khlorida paling sedikit 94,7% dihitung dari basis kering), dan (lain-lain selain garam meja, garam batu dan air laut). Indonesia walau merupakan negara kepulauan namun hingga saat ini masih merupakan negara importir garam, utamanya garam industri. Ekspor garam Indonesia hanya 0,26 % dibandingkan impor pada tahun 2014, dimana kondisi ini tidak banyak berubah jika dilihat dari data tahun 2010 sampai 2014 walau sempat terjadi sedikit kenaikan ekspor garam pada tahun Jika dilihat dari sisi nilai, eskpor Indonesia selama tahun mengalami fluktuasi namun cenderung menurun sebesar 4,9 per tahunnya, pada 2014 ekspor Indonesia mencapai USD 0,54 juta atau 2,55 ribu ton. Namun jika dilihat dari sisi volume, mengalami peningkatan sebesar 8,5% setiap tahunnya Dari 2,06 ribu ton pada tahun 2010 menjadi 2,55 ribu ton pada tahun Impor garam Indonesia baik dilihat dari sisi nilai maupun volume mengalami penurunan sebesar 5,76% dan 2,16% setiap tahunnya. Dari sisi neraca, baik dari sisi nilai maupun volume cenderung mengalami penurunan. 74

85 Perdagangan Luar Negeri Garam Pada tahun 2014, impor Indonesia mencapai USD 104,35 juta atau 2.268,2 ribu ton. Harga satuan ekspor jauh diatas harga satuan impor. Harga satuan ekspor garam Indonesia pada tahun 2014 mencapai USD 0,21/Kg dan harga satuan impor mencapai USD 0,05/Kg. Hal ini mengindikasikan bahwa harga garam impor jauh lebih murah dibandingkan harga garam yang diekspor (Tabel 5.1). Tabel 5.1 Perkembangan Nilai dan Volume Ekspor Impor Garam Indonesia Nilai (USD Juta) Tren (%) Ekspor 0,53 0,67 1,16 0,43 0,54-4,15 Impor 218,37 292,89 215,05 177,33 208,55-5,77 Neraca -217,84-292,22-213,89-176,90-208,02 Volume (Ribu Ton) Tren (%) Ekspor 2,06 1,92 2,64 2,85 2,55 8,50 Impor 4.166, , , , ,27-2,17 Neraca , , , , ,73 NILAI SATUAN (USD/Kg) Tren (%) Ekspor 0,26 0,35 0,44 0,15 0,21-11,66 Impor 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05-3,68 Sumber: BPS (2015) Tabel 5.2 Perkembangan Volume Ekspor Garam Indonesia HS 10 digit (Ribu Ton) Tren Kode HS Deskripsi Pangsa (%) (%) Garam meja 1,54 1,64 2,33 2,64 2,35 14,19 92, Lain-lain, mengandung natrium 0, ,03 25,74 1,02 klorida paling sedikit 94,7% dihitung dari basis kering Air laut 0,47 0,28 0,28 0,20 0,17 (21,08) 6, Lain-lain 0,02-0,03 0, ,04 Sumber: BPS (2015), diolah Dilihat dari BTKI, HS merupakan produk garam yaitu garam meja dan HS merupakan lain-lain selain garam meja dan garam batu serta selain air laut yang mengandung natrium klorida paling sedikit 94,7% dihitung dari basis kering. Garam meja ini mendominasi ekspor garam Indonesia akan produk garam, dimana pada tahun 2014 mencapai 92% dari total ekspor Indonesia akan produk garam. Namun jika dilihat dari sisi pertumbuhan, HS (produk lain-lain selain garam meja dan air laut yang mengandung natrium klorida paling sedikit 94,7%) memiliki 75

86 Aziza Rahmaniar Salam pertumbuhan paling tinggi, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 25,7% per tahun. Pada tahun 2014, ekspor garam meja ini mencapai 2,35 ribu ton. Negara yang menjadi tujuan utama ekspor garam meja Indonesia adalah Timor Timur dengan pangsa sebesar 35,57% atau 1,66 ribu ton, diikuti oleh Filipina dengan pangsa 13,27% atau 0,62 ribu ton dan Jepang sebesar 0,43% atau 0,02 ribu ton. Sepuluh negara tujuan utama ekspor Garam Meja Indonesia tahun 2014 adalah sebagai berikut (Tabel 5.3): Tabel 5.3 Perkembangan Volume Ekspor Garam Meja Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan (Ribu Ton) NO Negara Volume : Ribu Ton Pangsa (%) 1 Timor Timur 0,51 0,83 1,42 1,94 1,66 35,57 2 Filipina 0,74 0,78 0,71 0,62 0,62 13,27 3 Jepang 0,07 0,02 0,04 0,04 0,02 0,43 4 Malaysia 0, ,00 0,01 0,19 5 Papua Nugini 0, ,03 0,01 0,12 6 Singapura 0,00 0,00 0,02 0,01 0,00 0,09 7 Korea Selatan ,00 0,00 0,04 8 Australia 0,00-0,00 0,00 0,00 0,02 9 Italia - - 0,00 0,00 0,00 0,00 10 UEA - 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Sub Total 1,52 1,63 2,19 2,64 2,32 49,73 Lainnya 0,02 0,01 0,13 0,00 0,03 0,54 Sumber: BPS (2015), diolah Dilihat dari sisi impor, jenis garam yang banyak diimpor adalah HS (lain-lain yang mengandung natrium khlorida paling sedikit 94,7% dihitung dari basis kering) dengan pangsa impor pada tahun 2014 sebesar 99,9 % atau mencapai 2,3 ton dari total impor Garam Indonesia (Tabel 5.4). Tabel 5.4 Perkembangan Volume Impor Garam Indonesia HS 10 digit (Ton) Tren Kode HS Deskripsi Pangsa (%) (%) Garam meja 32,4000 0,5560 5,4420 0,5260 1, ,20 0, Lain-lain, mengandung natrium klorida paling sedikit 94,7% dihitung dari basis kering 2.083, , , ,284, 2.267,112-2,17 99, Air laut 1,1530 0,8440 0,9080 0, , Lain-lain 23,98 114,38 10,471,64 643,69 1,046,67 152,95 0,04615 Sumber: BPS (2015), diolah Berdasarkan negara asal impor (Tabel 5.6), untuk impor garam yang mengandung natrium khlorida paling sedikit 94,7%, didominasi dari Belanda dengan pangsa 49,06% atau 1.174, 46 ribu ton diikuti Australia sebesar 76

87 Perdagangan Luar Negeri Garam 22,19% atau 531,33 ribu ton dan India dengan pangsa sebesar 16,62% atau 398,01 ribu ton. Dilihat dari negara asal impornya, yang mengalami peningkatan impor ke Indonesia paling tinggi adalah Belanda sebesar 141,6%, diikuti Jerman dan Australia dengan peningkatan impor masingmasing sebesar 20,3 % dan 0,23 %. Data dari Direktorat Impor Kementerian Perdagangan (2016) menunjukkan berdasarkan perijinan impor yang dikeluarkan, impor terbesar adalah perijinan untuk impor garam industri dan sejak tahun tidak ada perijinan impor garam untuk garam konsumsi. Tabel 5.5 Data Realisasi Impor Garam, (RibuTon) No Jenis Garam Garam Iodasi/Garam Konsumsi 88,5 99,8 597,6 923,8 495, Garam Non Iodasi/ Garam Industri 1.542, , , , , , ,6 Total 1.630, , , , , , ,6 Sumber: KSO Sucofindo Surveyor (2016) D 2 Tabel 5.6 Perkembangan Volume Impor Garam (Yang Mengandung Natrium Klorida Paling Sedikit 94,7%) Indonesia Berdasarkan Negara Asal Impor (Ribu Ton) Tren No Negara Volume : Ribu Ton Pangsa (%) (%) 1 Belanda 49,22 72,40 765,52 861,08 1,174,46 141,59 49,06 2 Australia 472,96 744,82 775,16 603,60 531,33 0,23 22,19 3 India 491,80 955,91 637,26 472,36 398,01 (10,67) 16,62 4 Amerika Serikat - 5,50 79,61 73,40 92,37 3,86 5 Jerman 388,79 1,13 56,17 150,73 84,69 20,28 3,54 6 Selandia Baru - 37,50 55,69 50,25 65,20 2,72 7 Jepang 20,16 0,12 0,74-23,96 1,00 8 RRT 0,12 0,15 0,79-23,96 1,00 9 Hongkong 0,2 0,121 0,148 0,074 0,140 (8,10) 0,01 Sub Total 1.423, , , , ,13 13,16 100,00 Lainnya 206,61 451,66 413,01 0,09-0,00 Sumber: BPS (2015), diolah 5.3 Peta Perdagangan Internasional Data Trade Map (2015) menunjukkan bahwa pada tahun 2014 Indonesia hanya menempati urutan ke 86 sebagai negara pengekspor garam. Negara pengekspor utama garam dilihat dari sisi volume adalah Chili, dengan pangsa ekspor ke dunia pada tahun 2014 sebesar 17,99% atau 9,9 miliar ton. Urutan berikutnya adalah Meksiko dengan pangsa 16,34% atau setara dengan 9 miliar ton dan Kanada sebesar 10,46% atau 5,7 miliar ton. Sepuluh negara utama pengekspor garam menguasai pasar ekspor dunia sebesar 77%, sisanya disuplai oleh negara-negara lainnya termasuk Indonesia. 77

88 Aziza Rahmaniar Salam Lainnya 23% Chili 18% Belarusia 2% Bahama 3% RRT 3% Ukraina 3% Jerman 5% Belanda 8% India 9% Kanada 10% Meksiko 16% Gambar 5.1 Negara Utama Pengekspor Garam (Volume) Tahun Sumber: Trade Map (2015), diolah Namun jika dilihat dari sisi nilai ekspor, negara pengekspor garam terbesar tahun 2014 adalah Belanda dengan pangsa ekspor 12% atau senilai USD 0,32 miliar, diikuti Jerman dan Chili dengan pangsa ekspor sebesar 7% dan 6% atau setara dengan USD 0,199 miliar dan USD 0,198 miliar. Sepuluh negara utama pengekspor garam menguasai 60% pasar, 40% sisanya dipenuhi oleh negara-negara lainnya termasuk Indonesia yang menempati urutan ke-89. Belanda sebagai negara pengekspor garam terbesar di dunia (Salt Partners, 2016) memiliki 4 perusahaan yang menghasilkan garam yaitu Akzo Nobel, Frisia Zout, Solvay Chemicals, dan Esco-European Salt Company, dimana sumber utama garam di Belanda adalah berasal dari pertambangan (Ezco Salt, 2016). Akzo Nobel memproduksi garam berdasarkan pada teknologi garam vakum. Bahan baku utama yang digunakan adalah air garam mentah dan energi (steam dan listrik). Akzo Nobel memiliki produksi tahunan sekitar 6 juta ton garam. Esco-European Salt Company, yang memiliki beberapa pabrik di Eropa memproduksi beberapa jenis garam seperti garam dapur, garam farmasi, garam industri dan garam untuk diet, serta menghasilkan juga water softening yang banyak digunakan dalam proses industri. Gambar 5.2 Negara Utama Pengekspor Garam (Nilai) Tahun Sumber: Trade Map (2015), diolah 78

89 Perdagangan Luar Negeri Garam Dilihat dari nilai impor, negara pengimpor terbesar pada tahun 2014 adalah Amerika Serikat dengan pangsa impor sebesar 15% atau USD 0,589 Juta. Urutan ke-2 adalah Jepang dengan pangsa 11% (USD 0,43 Juta) dan ke-3 adalah RRT dengan pangsa 9% (USD 0,341 Juta). Indonesia menempati urutan ke-10 negara pengimpor garam terbesar di dunia dengan pangsa 3% atau dengan nilai impor sebesar USD 0,104 Juta pada tahun Gambar 5.3 Negara Utama Pengimpor Garam (Nilai) Tahun Sumber: Trade Map (2015), diolah 5.4. Harga Internasional Hingga saat ini belum ada harga referensi internasional untuk garam sebagaimana komoditas lainnya seperti kelapa sawit dan timah. Masingmasing negara baik negara pengekspor maupun pengimpor menentukan sendiri. Sebagai contoh, data dari Puska Daglu (2016) menunjukkan bahwa Jerman sebagai salah satu negara pengekspor garam utama pada tahun 2014, harga garam yodium pada periode April 2016 sebesar USD 1,4/Kg atau Rp /Kg. Adapun untuk garam tanpa yodium (salt plain) sebesar USD 1,61/Kg atau sekitar Rp /Kg. Untuk Amerika Serikat, harga garam per Kg adalah Rp Harga garam di Indonesia pada periode yang sama yaitu April 2016 sebesar Rp 7.799/Kg. Harga garam di Indonesia tergolong rendah jika dibandingkan dengan Australia yang mencapai Rp /Kg, Jerman (Rp ) dan Malaysia atau Singapura yang mencapai Rp /Kg dan Rp /Kg. Namun harga garam Indonesia masih diatas India, Filipina, Thailand bahkan RRT yang posisinya sama seperti Indonesia yaitu sebagai pengekspor sekaligus pengimpor garam. 79

90 Aziza Rahmaniar Salam Tabel 5.7 Harga Garam di Berbagai Negara No. Negara Rp/Kg Ekspor ke Dunia 2015 (Juta Ton) 1 Australia ,01 2 Jerman ,13 3 Amerika Serikat ,95 4 Kanada ,99 5 Singapura ,003 6 Malaysia ,03 7 Indonesia ,004 8 India ,49 9 RRT ,31 10 Filipina , Thailand ,12 Sumber: Puska Daglu (2016), diolah dari berbagai sumber Harga garam Australia yang relatif cukup mahal dibandingkan India, RRT, dan Thailand, namun impor garam terbesar Indonesia salah satunya berasal dari Australia. Hal ini karena yang diimpor dari Australia adalah garam dengan kualitas tinggi yang dibutuhkan oleh industri makanan minuman, farmasi dan pertambangan. Secara kualitas memang garam dari Australia lebih baik dibandingkan kualitas garam dari India (Saad S dalam Suhendra, 2011). Alasan memilih Australia antara lain karena 1) Merupakan produsen terbesar dengan lokasi yang terdekat dari Indonesia, 2) Kualitas garam Australia yang baik disebabkan proses periode produksi garam lebih lama daripada Indonesia yakni mencapai 3-4 bulan dan dilakukan secara beberapa tahap dengan skala industri modern, dan 3) Memiliki puluhan ribu hektar untuk produksi garam sehingga persediaan garamnya cukup banyak (Sutianto, 2015a). Harga garam Australia yang mencapai Rp per kilogram, sangat mahal dibandingkan dengan harga garam di negara lain, tetapi jika dilihat dari jumlah garam yang di ekspor, Australia jauh dibawah India dan RRT. India memiliki jumlah garam yang jauh lebih banyak dan harga yang murah karena saat ini khusus untuk tujuan ekspor, India memiliki lebih dari hektar lahan garam (Suhana, 2016). Harga garam India yang murah menjadikan India sebagai salah satu negara pengekspor garam utama di dunia. Secara kualitas garam Indonesia tidak kalah bahkan lebih bagus dari India, tetapi Indonesia belum mampu mengekspor sebanyak India. India sangat serius dalam upaya penambahan kuantitas garam. Salah satu hal yang dilakukan pemerintah India pada penambak garam adalah pemberian asuransi dan beasiswa pada anak penambak garam. Hal ini membuat para penambak garam India tidak dipusingkan lagi dengan masalah biaya. Pemerintah India 80

91 Perdagangan Luar Negeri Garam juga menyediakan fasilitas fisik untuk menunjang kegiatan produksi seharihari, termasuk alat keselamatan kerja dan akses jalan menuju tambak garam. 5.5 Daya Saing Garam Indonesia Garam Indonesia mempunyai daya saing yang rendah. Dari hasil perhitungan dengan menggunakan Revealed Comparative Advantage (RCA), menunjukkan daya saingnya dibawah 1 atau tidak berdaya saing. Kenapa daya saing Indonesia rendah? Hal ini dikarenakan karena kualitas yang rendah sehingga ekspor garam Indonesia rendah. Perhitungan RCA adalah menggunakan data total ekspor garam dibandingkan dengan total ekspor Indonesia dan total ekspor garam dunia. RCA untuk Garam Indonesia dari tahun 2011 sampai 2014 adalah sebagai berikut: Tabel 5.8 Daya Saing Garam Indonesia No Tahun Indeks RCA , , , ,0231 Sumber: Trade Map (2015), diolah Adapun tiga negara utama ekportir garam yaitu Belanda, Kanada dan Jerman, mempunyai RCA cukup tinggi yaitu hingga mencapai 4, hal ini dikarenakan penggunaan teknologi yang tinggi dan masa pembuatan garam yang cukup lama sehingga kualitas garam baik dan meningkatkan nilai dan kuantitas ekspor. Perhitungan RCA untuk Belanda, Kanada dan Jerman adalah sebagai berikut: Tabel 5.9 Daya Saing 3 Negara Utama Pengekspor Garam Negara Tahun Indeks RCA Belanda , , , ,123 Kanada , , , ,036 Jerman , , , ,922 Sumber: Trade Map (2015), diolah 81

92 Aziza Rahmaniar Salam 5.6 Regulasi Impor Garam di Indonesia Regulasi impor yang dijelaskan dalam bagian ini adalah regulasi mengenai importasi garam yang dikeluarkan sejak terjadinya krisis moneter di Indonesia pada tahun 1997.Regulasi mengenai garam yang ada sebelum tahun 1997 mengatur mengenai program produksi garam dalam negeri, mutu garam dan penunjukkan PT. Garam. Tujuan dari dikeluarkannya regulasi mengenai importasi garam adalah melindungi usaha garam Indonesia dan memenuhi kebutuhan konsumen akan garam. Pada tahun 1997 melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 230/MPP/Kep/7/1997 Tentang Barang Yang Diatur Tata Niaga Impornya, dimana dalam peraturan ini disebutkan bahwa alasan impor adalah karena kualitas garam dalam negeri dianggap kurang memenuhi syarat dan harganya mahal serta kualifikasi garam untuk industri belum dapat dipenuhi dari dalam negeri (Boenarco, 2012).Proses importasi garam telah diatur dengan dikeluarkannya berbagai peraturan impor garam yang pada dasarnya bertujuan untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan masyarakat atau konsumen dan sekaligus juga menumbuhkembangkan kegiatan usaha di bidang garam. Kebijakan importasi garam juga mengatur mengenai ijin importasi untuk importir produsen yang menggunakan garam sebagai bahan baku industri dan tidak dapat diperjualbelikan secara bebas. Regulasi mengenai tata niaga garam berikutnya adalah Surat Keputusan (SK) Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 360/MPP/Kep/5/2004 tentang Ketentuan Impor Garam, dimana dalam peraturan ini mengatur bahwa yang dimaksud dengan garam adalah senyawa kimia yang komponen utamanya mengandung natrium klorida dan mengandung senyawa air, magnesium, kalsium, sulfat dan bahan tambahan yodium, anti-caking atau free-flowing maupun tidak, yaitu Garam meja HS ; Garam tambang, tidak diproses, padatan atau larutan air, yaitu HS dan HS ; Garam lainnya, yaitu HS , HS dan HS ; dan Lain-lain, yaitu HS , hanya dapat diimpor oleh Importir (IT) Garam. Importasi dilarang dilakukan dalam masa 1 (satu) bulan sebelum panen raya garam rakyat, selama panen raya garam rakyat dan 2 (dua) bulan setelah panen raya garam rakyat. Pengaturan selanjutnya adalah Peraturan Menteri Perdagangan RI (Permendag RI) No. 20/MDAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Garam jo. Permendag No. 44/MDAG/PER/10/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 20/M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Garam. Dalam Peraturan ini mengatur mengenai Importir Garam Iodisasi, 82

93 Perdagangan Luar Negeri Garam Importir Garam Non Iodisasi, Importir Terdaftar Garam, kewajiban untuk membeli garam rakyat dan proses verifikasi untuk importasi garam. Kondisi garam rakyat yang semakin terpuruk, membuat pemerintah mengambil langkah strategis dengan menerapkan kebijakan tata niaga impor garam melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 58/M-DAG/ PER/9/2012 tanggal 4 September 2012.Permendag ini mengatur bahwa garam yang dapat diimpor adalah garam konsumsi dan garam industri. Garam konsumsi adalah garam dengan kadar NaCl paling sedikit 94,7% dan yang dimaksud dengan garam industri adalah garam dengan kadar NaCl paling sedikit 97%. Untuk dapat melakukan importasi garam baik garam konsumsi maupun garam industri, importir harus memiliki izin sebagai Importir Produsen (IP) garam konsumsi dan Importir Produsen (IP) garam industri. Izin sebagai importir produsen ini harus diajukan kepada Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan dengan menyertakan: 1. Fotocopy surat izin usaha industri/tanda daftar industri/izin usaha lain yang setara. 2. NPWP, API-P 3. Rencana kebutuhan dalam 1 tahun dan 4. Rekomendasi dari Kementerian Perindustrian Setiap importasi yang dimaksud harus melalui verifikasi yang dilakukan oleh surveyor yang telah ditunjuk oleh pemerintah, dimana yang diverifikasi meliputi jenis, volume, pos tarif atau nomor HS, uraian, negara dan pelabuhan muat, waktu pengapalan dan pelabuhan tujuan. Importasi dapat dilakukan oleh industri yang memiliki IP garam konsumsi. Pada tahun 2015, pemerintah melakukan berbagai perubahan sebagai amanah dari debirokratisasi dan deregulasi, dimana salah satu peraturan yang direvisi adalah Permendag No. 58 Tentang Ketentuan Impor Garam. Hasil dari revisi atas Permendag tersebut adalah Permendag No. 125 Tahun 2015 Tentang Ketentuan Impor Garam, Permendag No. 125 Tahun 2015 ini berlaku sejak 1 April 2016, namun ditunda sampai 1 Juni 2016 melalui Permendag No. 23 Tahun Adapun pokok perubahan dalam Permendag No. 125 Tahun 2015 adalah sebagai berikut: 83

94 Aziza Rahmaniar Salam Tabel 5.10 Pokok Perubahan Permendag No. 58/2012 Menjadi Permendag No. 125/2015 No. Pokok Perubahan Permendag No. 58/2012 Permendag No 125/ Definisi Garam konsumsi: Kadar NaCl paling sedikit 94,7% Garam industri: kadar NaCl paling sedikit 97% Garam konsumsi: Kadar NaCl paling sedikit 94,7% sampai dengan <97% Garam industri: kadar NaCl paling sedikit 97% 2 Instrumen Perizinan IP Garam Konsumsi dan IP Garam IndustriDiajukan kepada Dirjen Daglu Persetujuan Impor (PI) Garam Industri diajukan secara online kepada Koordinator Pelaksana UPTP I 3 Persyaratan dokumen Perizinan Fotocopy Surat Izin Usaha Industri/Tanda Daftar Industri/Izin usaha lain yang setara NPWP, API-P Rencana kebutuhan dalam 1 tahun Rekomendasi Kementerian Perindustrian IUI, API-P Surat pernyataan yang memuat keterangan mengenai rencana impor sesuai kebutuhan riil industri dan penyerapan garam produksi petambak garam dan tidak untuk diperjualbelikan/dipindahtangankan 4 Rekomendasi Kementerian Perindustrian Tidak ada rekomendasi 5 Impor Garam Konsumsi 6 Verifikasi oleh Surveyor IP Garam Konsumsi Jenis, Volume, Pos TArif atau No HS, Uraian, Negara dan Pelabuhan Muat, Waktu Pengapalan dan Pelabuhan Tujuan Dilakukan oleh BUMN yang bergerak dibidang pergaraman dan hanya dapat diimpor saat gagal panen raya yang menyebabkan stok Garam Konsumsi tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri dan kebutuhan Garam Konsumsi melebihi ketersediaan Garam Konsumsi di dalam negeri serta berdasarkan rekomendasi dari KKP. Penambahan data atau keterangan mengenai spesifikasi 7 Kuota Impor Diatur untuk impor garam konsumsi 8 Waktu Impor IP Garam Konsumsi tidak dapat mengimpor pada masa sebelum panen, panen raya dan setelah panen raya Tidak diatur Tidak diatur 9 Penyerapan Garam rakyat penyerapan garam petani oleh importir sedikitnya 50% dari kapasitas total produksi perusahaan Tidak diatur Sumber: Pusat Humas Kemendag (2016), diolah 84

95 Perdagangan Luar Negeri Garam Permendag yang baru tersebut, tidak mengatur tentang pengaturan masa impor garam dan juga pengaturan harga garam seperti yang ada dalam permendag sebelum. Kedua hal tersebut yang menjadi keberatan pelaku garam khususnya petani karena dikhawatirkan akan merugikan petani khususnya ketika masa panen garam yang umumnya ketersediaan garam yang berlimpah menyebabkan harga rendah. Namun demikian, ketentuan mengenai tidak adanya pengaturan masa impor garam pada Permendag No. 125/2015 bukan berarti pada waktu menjelang panen raya, saat panen raya dan sesudah panen raya, garam konsumsi dapat diimpor. Pasal 11 Permendag 125 menyebutkan bahwa jika terjadi gagal panen garam sehinga stok garam konsumsi tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi garam di dalam negeri, pemerintah dapat menugaskan BUMN yang bergerak dibidang penggaraman untuk melakukan impor garam konsumsi. Hal ini menyiratkan bahwa kebutuhan garam konsumsi dapat dipenuhi sepenuhnya dari dalam negeri, dan impor yang dapat dilakukan oleh BUMN hanya dapat dilakukan jika gagal panen raya garam. Disini menunjukkan bahwa Permendag 125 melindungi garam yang dihasilkan petambak garam yang ditujukan untuk konsumsi dalam negeri. Selain melalui peraturan, terdapat juga wacana pemerintah untuk memisahkan kode HS garam dalam sistem perdagangan internasional antara garam konsumsi dan garam industri. Namun hal ini masih menjadi diskusi karena perubahan HS dilakukan setiap lima tahun sekali, dan apabila terlaksana, pemisahan ini baru akan terjadi di tahun Jika terjadi pemisahan HS garam konsumsi industri dan konsumsi yang dibedakan karena kandungan NaCl maka diperlukan uji laboratorium untuk dapat membedakannya karena secara kasat mata tidak dapat dilakukan sehingga ini mempengaruhi waktu penyerahan barang impor. 5.7 Penutup Indonesia yang semula eksportir garam, saat ini merupakan negara pengimpor walaupun masih ada sebagian kecil garam yang diekspor. Hal ini menunjukkan adanya peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan industri garam nasional dan meningkatkan kualitas garam yang dihasilkan. Rendahnya daya saing garam Indonesia memerlukan perhatian yang serius baik dari pemerintah maupun produsen garam. Peningkatan penguasaan teknologi produksi menjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan guna meningkatkan kualitas yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing garam Indonesia sehingga dapat bersaing di pasar internasional. Diperlukan berbagai kebijakan pemerintah yang dapat mendukung peningkatan daya saing dan perlindungan terhadap produsen lokal. 85

96 Aziza Rahmaniar Salam Program pemerintah untuk dapat menyediakan lahan tambak garam dengan luas dan lokasi yang tidak terpecah-pecah yang direncanakan di Nusa Tenggara Timur, sebaiknya dapat segera direalisasikan, ditunjang dengan penyediaan teknologi produksi yang modern diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan daya saing maupun jumlah garam Indonesia sehingga ke depan Indonesia mampu menjadi negara pengekspor garam. DAFTAR PUSTAKA Akzonobel. (2016). Company Profile. Diunduh pada 11 Maret 2016 melalui Badan Pusat Statistik (BPS). (2016). Data Ekspor dan Impor Garam Indonesia. Jakarta. Boenarco. I.S. (2012) Kebijakan Impor Garam Indonesia ( ): Implikasi Liberalisasi Perdagangan Terhadap Sektor Pergaraman Nasional (Tesis). Jakarta Univeritas Indonesia. Diunduh pada tanggal 26 Mei 2016 melalui ib.ui.ac.id/file?file=digital/ t pdf. Esco Salt. Company Profile. Diunduh pada 11 Maret 2016 melalui esco-salt.com/water_softening.html?&l=1. Kementerian Perdagangan. (2004). Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan No360/MPP/Kep/5/2004. Diunduh pada 11 Mei 2016 melalui MPP_360_04.htm. Kementerian Perdagangan. (2007). Permendag No. 44/MDAG/ PER/10/2007. Diunduh pada 11 Mei 2016 melalui https: // search?q=permendag+no.+ 44%2FMDAG%2FPER%2F10%2F2007&oq= Permendag+No.+44%2 FMDAG%2FPER%2F10%2F2007 &aqs=chrome..69i57.299j0j4&sourceid=chrome&ie=utf-8. Kementerian Perdagangan. (2012). Permendag No. 58/M-DAG/PER/9/2012. Diunduh pada 11 Mei 2016 melalui search?q= Permendag +No.+44%2FMDAG%2FPER%2 F10%2F2007&oq=Permendag+No.+ 44%2FMDAG%2FPER% 2F10%2F2007&aqs=chrome..69i57.299j0j4&sourceid= chrome&ie=utf-8#q=permendag+no. +58%2FM- DAG%2FPER%2F9%2F2012. Khayam. M. (2015). Pemerintah Dorong Pembukaan Lahan Garam Industri. Gatra.com. Diunduh pada 9 Mei 2016 melalui com/ekonomi/industri/ pemerintah-dorong-pembukaanlahan-garam-industri. Pusat Humas Kementerian Perdagangan. (2016). Jakarta. 86

97 Perdagangan Luar Negeri Garam Rochwulaningsih. Y. (2012). Pendekatan Sosiologi Sejarah pada Komoditas Garam Rakyat: dari Ekspor Menjadi Impor, diunduh pada 26 April 2016 dari view/1840/1989. Rochwulaningsih. Y. (2013). Tata Niaga Garam Rakyat Dalam Kajian Struktural. Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Volume XVII No 1 Februari 2013 : Salt Partners. (2016) Company Profile. Diunduh pada 11 Maret 2016 melalui Suhana. (2016). Soal Garam, Indonesia Bisa Belajar Dari India. Diunduh pada 11 Mei 2016 melalui kompas.com/read/ 2016/01/12/ /Soal.Garam.Indonesia.Bisa.Belajar.dari. India Suhendra. (2011). Berkualitas Buruk, Garam India Tetap Laris di Indonesia. Diunduh pada 11 Mei 2016 melalui read/2011/08/08/085512/ /4/berkualitas-buruk-garam-indiatetap-laris-di-indonesia. Sutianto., F.D. (2015a). RI Impor Garam Industri dari Australia Hingga China. Detik Finance. Diunduh pada 27 April 2016 melalui detik.com/read/2015/09/22/092142/ /4/ri-impor-garamindustri-dari-australia-hingga-china. Sutianto., F.D. (2015b). Kenapa Sih Indonesia Masih Impor Garam?. Detik Finance. Diunduh pada 13 Januari 2016 melalui com/read/2015/09/22/081257/ /4/ kenapa-sih-indonesiamasih-impor-garam. Trade Map. (2015). Data Ekspor dan Impor Data Dunia. Trade Map. (2016). Data Ekspor dan Impor Data Dunia. 87

98 Aziza Rahmaniar Salam 88

99 Peluang dan Tantangan Komoditas Garam di Indonesia BAB VI PELUANG DAN TANTANGAN KOMODITAS GARAM DI INDONESIA Aditya P. Alhayat 6.1 Pendahuluan Dari segi proses produksi, garam sebenarnya komoditas yang sederhana. Garam dapat dibuat dengan hanya menguapkan air laut memanfaatkan sinar matahari, melalui penambangan batuan garam (rock salt), ataupun diperoleh dari sumur air garam (brine) (Rositawari, Taslim, dan Soetrisnanto, 2013). Proses pembuatan garam dapat dilakukan dengan tanpa melibatkan teknologi yang komplek. Namun demikian, permasalahan garam di Indonesia relatif kompleks. Bagi sebagian masyarakat tentu tidak bisa menerima suatu kenyataan bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki sumber daya air laut melimpah dan menjadi salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, ternyata masih impor garam dalam jumlah yang tidak sedikit. Garam merupakan salah satu potret ironis industri Indonesia, di satu sisi potensi garam yang tinggi mengingat Indonesia merupakan negara bahari, namun di sisi lain produksi garam Indonesia masih sangat rendah (Manadiyanto, 2010). Garam juga dianggap sebagai produk strategis karena manfaat kegunaannya. Garam bukan hanya sekedar digunakan sebagai penyedap rasa untuk konsumsi rumah tangga, namun juga dimanfaatkan sebagai bahan baku industri makanan dan minuman, tekstil, kertas, kimia, farmasi, hingga untuk pengeboran minyak bumi. Selain itu, meskipun importasi garam telah diatur, namun dalam implementasinya seringkali mengundang pro dan kontra, yaitu dari industri yang memanfaatkan garam sebagai bahan baku dan Kementerian Perindustrian selaku unit pembina dengan petani garam yang didukung oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dalam bab ini akan diulas lebih detil mengenai permasalahan atau tantangan pengembangan garam di Indonesia. Selain itu, dibahas pula mengenai prospek dan peluang yang dapat dimanfaatkan oleh stakeholder terkait. Kebijakan pergaraman terkini juga menjadi salah satu topik bahasan dalam bab ini. 6.2 Peluang Pergaraman di Indonesia dan Dunia Kebutuhan Domestik Garam Terus Meningkat Kebutuhan garam dalam negeri yang besar dan terus meningkat dari tahun ke tahun merupakan salah satu penyebab utama mengapa pasar garam 89

100 Aditya P. Alhayat domestik Indonesia sangat prospektif saat ini dan masa depan. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan/KKP (2016a), total kebutuhan garam nasional tahun 2015 mencapai 3,7 juta ton, mengalami peningkatan 16,2% dibandingkan kebutuhan garam nasional tahun 2011 dengan volume sebesar 3,2 juta ton. Apabila dihitung secara rata-rata menggunakan metode Compound Annual Growth Rate (CAGR), maka pertumbuhan kebutuhan garam nasional periode mencapai 3,8% per tahun. Dengan asumsi rata-rata pertumbuhan , kebutuhan domestik untuk tahun 2019 diperkirakan mencapai 4,4 hingga 4,6 juta ton. Tabel 6.1 Realisasi dan Proyeksi Kebutuhan Garam Nasional (Dalam Ribu Ton) Keterangan Tahun * Total Kebutuhan 3.750, ,9 Garam Konsumsi 1.303, ,3 a. Rumah Tangga 647,6 780,9 b. Industri Pengasinan Ikan 655,5 790,4 Garam Industri 2.447,2 2,989,8 a. Industri CAP dan Farmasi 1.797, ,6 b. Industri Non-CAP 140,3 218,5 c. Industri Aneka Pangan 509,6 614,5 Keterangan: * Diproyeksikan secara linier menggunakan Compound Annual Growth Rateperiode Sumber: KKP (2015a dan 2016a) dan hasil olah data penulis Peningkatan kebutuhan garam didukung oleh peningkatan garam konsumsi serta peningkatan garam industri. Sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 88/M-IND/PER/10/2014 tentang Perubahan atas Permenperin No. 134/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan (Roadmap) Pengembangan Klaster Industri Garam, KKP mengelompokkan garam konsumsi terdiri dari garam untuk keperluan rumah tangga (dapur) dan industri pengasinan ikan. Salah satu hal yang mendasari kategori garam konsumsi adalah kandungan NaCl paling sedikit 94% Sementara itu, garam aneka pangan diklasifikasikan ulang ke dalam garam industri. Dengan demikian, garam industri terbagi menjadi garam untuk keperluan industri Chlor Alkali Plant (CAP) dan farmasi, industri non-cap (perminyakan, kulit, tekstil, sabun, dan lainnya), dan industri aneka pangan. Dalam kategori garam industri, kadar NaCl untuk garam industri adalah paling sedikit 97% dihitung dari basis kering. Untuk konsumsi rumah tangga, permintaan garam diperkirakan konstan pada angka 750 hinga 780 ribu ton. Hal tersebut didasarkan pada data KKP 90

101 Peluang dan Tantangan Komoditas Garam di Indonesia (2015a) yang mencatat jumlah konsumsi garam rumah tangga yang konstan selama , yaitu pada kisaran 732 ribu ton hingga 747 ribu ton 2. Meskipun garam untuk industri aneka pangan dan pengasinan ikan masingmasing belum sebesar konsumsi rumah tangga, namun pertumbuhan permintaannya relatif tinggi. Dengan menggunakan metode perhitungan CAGR, industri aneka pangan selama periode tumbuh 17,3% per tahun, sedangkan industri pengasinan ikan tumbuh 12,4% per tahun. Permintaan garam untuk pengasinan ikan diperkirakan meningkat seiring dengan melimpahnya pasokan ikan laut karena kebijakan Pemerintah Indonesia yang gencar memberantas illegal, unreported, unregulated fishing. Konsumsi garam industri terbesar digunakan untuk industri CAP dan farmasi dengan pangsa mencapai 90% dari kebutuhan garam industri dan diperkirakan terus meningkat dengan pertumbuhan 7,9% per tahun. Industri CAP yang merupakan industri kimia dasar menghasilkan bahan baku utama untuk 500 industri hilir dan berfungsi sebagai katalisator industrialisasi di Indonesia dengan kontribusi pembayaran pajak sebesar Rp1,5 triliun per tahun (Sindo News, 2015). Seiring dengan pertumbuhan perekonomian Indonesia dan penguatan perekonomian global, kebutuhan garam untuk bahan baku industri tentu akan semakin meningkat. Pada tahun 2014, kebutuhan garam industri di Indonesia mencapai 2,1 juta ton (KKP, 2015a). Untuk tahun 2016, Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) memperkirakan kebutuhan garam industri meningkat menjadi 2,3 juta ton (Kontan, 2015a). Dengan demikian, permintaan garam industri diproyeksikan meningkat kurang lebih 5% per tahun Usaha Garam Rakyat Menjadi Sumber Pendapatan Masyarakat Pesisir Seperti diketahui bersama bahwa industri garam merupakan industri rakyat karena melibatkan banyak tenaga kerja dan menjadi sumber andalan pendapatan masyarakat pesisir ketika hasil melaut kurang memadai. Berdasarkan perhitungan KKP (2015c), usaha garam rakyat mampu menyerap tenaga kerja baru pada tahun 2014 sebanyak orang.bahkan pada tahun sebelumnya, penyerapan tenaga kerja baru di bidang penggaraman mencapai orang.jumlah orang yang terlibat pada usaha garam rakyat meliputi buruh tambak produksi, kuli pengangkut, serta pengepul. Target pendapatan petambak garam di tahun 2014 adalah sebesar Rp 2 juta, realisasi hingga bulan Desember 2014 adalah Rp 2,9 juta atau 145,00% dari target. Apabila dibandingkan dengan nilai estimasi pendapatan rata-rata per 1 Data konsumsi garam rumah tangga dikritisi oleh Faisal Basri karena jumlah konsumsi rumah tangga relatif sama selama periode yaitu sekitar 700 ribu ton. Namun, pada tahun 2014, konsumsi garam rumah tangga turun drastis sehingga menimbulkan pertanyaan apakah masyarakat diet makan garam (Medan Bisnis, 2015). 91

102 Aditya P. Alhayat KK/bulan untuk kelompok PUGAR 2013 sebesar Rp 2,82 juta pendapatan tahun 2014 mengalami kenaikan sebesar 2,86%. Peningkatan ini dikarenakan oleh kenaikan harga di tahun 2014 lebih baik dari 2013 yaitu rata-rata sebesar Rp 900/kg dibandingkan dengan tahun 2013 rata-rata sebesar Rp 500/kg (KKP, 2015c). Namun demikian jika dibandingkan laju kenaikan pendapatan petambak garam KK/bulan tersebut tidak setinggi laju kenaikan harga ratarata/kg yang persentasinya mencapai 80%. Pada tahun 2014, rata-rata pendapatan petambak garam mencapai Rp 2,9 juta, mengalami peningkatan 2,86% dibandingkan tahun 2013 yang nilainya sebesar Rp 2,82 juta. Rata-rata pendapatan tersebut dihitung dari jumlah pendapatan petambak garam penerima PUGAR per-kepala Keluarga (KK) selama musim panen dibagi lama bulan produksi (KKP, 2015c). Apabila dilihat berdasarkan kabupaten/kota sebagaimana terlihat pada Tabel 6.2, pendapatan petambak garam sangat bervariasi. Rata-rata pendapatan tertinggi diterima petambak di Kota Surabaya yaitu sebesar Rp 71,1 juta permusim dan pendapatan terendah diterima petambak di Sumba Timur yaitu sebesar Rp 0,7 juta per musim. Tabel 6.2 Pendapatan Rata-rata Petambak Garam Tahun 2014 (Rp/musim) No. Kab./Kota Pendapatan No. Kab./Kota Pendapatan Rata-rata Rata-rata 1 Aceh Besar Sumenep Aceh Timur Karangasem Aceh Utara Buleleng Pidie Lombok Barat Karawang Lombok Tengah Indramayu Lombok Timur Cirebon Sumbawa Brebes Bima Demak Kota Bima Jepara Manggarai Pati Nagekeo Rembang Ende Tuban Alor Lamongan Sumba Timur Gresik Kupang Kota Surabaya Timor Tengah Utara Pasuruan Kota Palu Kota Pasuruan Takalar Probolinggo Jeneponto Bangkalan Selayar Sampang Pangkep Pamekasan Total Sumber: KKP (2015c) 92

103 Peluang dan Tantangan Komoditas Garam di Indonesia Peluang Investasi untuk Garam Industri masih Prospektif Besarnya kebutuhan garam domestik khususnya garam industri merupakan peluang investor domestik maupun asing untuk masuk ke industri ini. Salah satu investor asing yang berminat berinvestasi di sektor ini adalah PT. Cheetham Salt Indonesia yang merupakan perusahaan jaringan Cheetham Salt Ltd asal Australia. Sementara itu, daerah favorit yang menjadi target investasi industri garam adalah Nusa Teggara Timur (NTT). Areal penggaraman di Nagekeo, NTT merupakan lokasi terbaik untuk pengembangan garam industri di Indonesia, karena selain lahan yang tersedia cukup luas, kondisi air laut dan curah hujan juga sangat mendukung usaha tersebut. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila PT. Cheetham Salt Indonesia tertarik mendirikan industri pengolahan garam di lokasi tersebut dengan luas lahan yang dibutuhkan sekitar hetare (ha) (Antara News, 2014). Apabila terealisasi, maka produksi awal atas investasi tersebut ditaksir mencapai 150 ribu ton per tahun dengan kapasitas terpasang mencapai 200 ribu ton per tahun (Bisnis, 2015) yang tentu saja berpotensi mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap garam impor. Namun demikian, rencana investasi di Nagekeo menghadapi masalah pembebasan lahan yang serius.sejak tahun 2011 hingga sekarang, PT. Cheetham harus berjuang untuk pembebasan lahan di NTT (Kontan, 2015c). Dari hektar lahan yang akan dikelola oleh PT. Cheetham sekitar 776 ha merupakan lahan eks HGU, sedangkan sekitar 300 ha sisanya merupakan lahan hak transmigrasi yang dikelola koperasi dan akan dikelola dengan sistem sewa melalui kesepakatan antara perusahaan dan masyarakat. Kejelasan status lahan masih terkendala untuk lahan eks HGU yang akan dialihnamakan kepada 276 nama warga sekitar yang akan diberikan sertifkat, yaitu seluas 231 ha. Sementara itu, 545 ha eks HGU telah diberikan hak pakainya kepada Pemerintah Daerah Nagekeo (Bisnis, 2015a). Permasalahan lahan juga menjadi permasalahan utama yang masih dihadapi dalam pembangunan industri nasional sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis Kementerian Perindustrian Belum terselesaikannya pembebasan lahan di Nagakeo, Nusa Tenggara Timur sangat menghambat rencana investasi industri garam di wilayah tersebut (Kemenperin, 2015). Untuk mengatasi permasalahan lahan yang belum tuntas, PT. Cheetham berencana membangun pabrik dalam skala kecil pada lahan yang telah dibebaskan dengan bekerja sama dengan koperasi garam setempat dengan jumlah penyerapan tenaga kerja langsung ditaksir mencapai 200 orang. Proyek tersebut dimaksudkan agar masyarakat menerima manfaat atas kehadiran investasi PT. Cheetam, sehingga turut melancarkan target akhir yaitu 93

104 Aditya P. Alhayat pembangunan industri garam di Nagekeo seluas 1000 ha. Untuk mendukung pembangunan pabrik tersebut, PT. Cheetham telah mengalokasikan dana sebesar USD 30 juta yang ditargetkan beroperasi pada akhir 2016 (Kontan, 2015c). 6.3 Permintaan Garam di Pasar Dunia yang Terus Meningkat Transparancy Market Research (2015) memprediksi bahwa permintaan garam global terus mengalami peningkatan hingga tahun Sementara itu, PR Newswire (2014) juga memprediksikan hal yang serupa dengan angka yang lebih jelas, yaitu peningkatan rata-rata sebesar 1,5% per tahun hingga 2018 mencapai 324 juta ton. Faktor utama yang menentukan peningkatan prediksi permintaan garam dunia adalah tingginya permintaan garam untuk keperluan industri kimia, khususnya chlor-alkali.pr Newswire (2014) menyebutkan bahwa industri kimia merupakan pasar terbesar bagi komoditi garam, mencapai kurang lebih 60% dari permintaan dunia di tahun Tingginya pangsa pasar permintaan garam dunia juga didokumentasikan oleh IHS (2013) dimana produsen kimia menyerap lebih dari setengah permintaan garam dunia, diikuti dengan segmen konsumsi garam untuk pencair es (14%), garam untuk keperluan makanan (12%), serta untuk keperluan lainnya (19%). Pasar garam dunia dapat pula dikelompokkan berdasarkan wilayah sesuai dengan kegunaan garam dan perkembangan industrinya (Transparancy Market Research, 2015).Berdasarkan wilayah geografis, pasar garam dibagi menjadi Asia Pasifik, Eropa, Amerika Utara, dan Lainnya. Asia Pasifik merupakan pasar terbesar garam dunia yang diproyeksikan semakin meningkat seiring dengan berkembangnya industri kimia yang membutuhkan garam sebagai bahan baku. Permintaan garam untuk industri makanan di kawasan Asia Pasifik juga diprediksi meningkat yang didorong oleh besarnya jumlah penduduk RRT dan India.Pasar Amerika menempati peringkat kedua pasar garam dunia yang utamanya digunakan untuk keperluan mencairkan es dan salju (deicing) mengingat wilayah tersebut mengalami musim dingin. Negara Amerika Utara yang memiliki permintaan garam tinggi adalah Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko.Sementara itu, pasar Eropa diproyeksikan terus meningkat yang juga kebanyakan digunakan dengan keperluan mencairkan es. 6.4 Peluang Ekspor Garam Tetap Terbuka Peluang ekspor garam tetap terbuka, khususnya untuk garam meja. Meskipun Indonesia termasuk sebagai salah satu importir terbesar garam di dunia, namun BPS (2015) juga mencatat adanya ekspor garam dari Indonesia.Hal ini setidaknya mengindikasikan bahwa peluang Indonesia 94

105 Peluang dan Tantangan Komoditas Garam di Indonesia untuk menjadi eksportir garam terbuka lebar. Namun dengan catatan bahwa jenis garam yang potensial untuk diekspor merupakan kategori garam meja (HS ), dan bukan merupakan garam industri dengan kadar NaCl yang tinggi. Selama periode , Indonesia rata-rata mampu mengekspor garam sebesar 2,3 ribu ton per tahun. Sementara itu, impor garam rata-rata pada periode tersebut mencapai 2,2 juta ton per tahun (BPS, 2015). Dengan demikian, volume ekspor garam Indonesia hanya sebesar 0,1% dari total kuantitas garam yang diimpor. Namun apabila dilihat secara spesifik pada jenis garam meja, Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan. Pada tahun 2015, surplus neraca perdagangan garam meja mencapai USD 0,4 juta, lebih rendah dibandingkan tahun 2014 yang mencapai USD 0,5 juta. Dari sisi volume, rata-rata ekspor garam meja Indonesia ke dunia periode mencapai 2,1 ribu ton per tahun, sedangkan rata-rata impornya hanya sebesar 1,9 ton per tahun. Pada tahun 2015, Indonesia banyak mengekspor garam meja ke Timor Timur, Filipina, dan Malaysia dengan pangsa volume ekspor kumulatif ketiga negara tersebut sebesar 96,1%. 95

106 Aditya P. Alhayat Salah satu kemungkinan alasan mengapa garam meja Indonesia banyak diekspor ke Negara-negara berkembang seperti Timor Leste dan Filipina karena garam merupakan bahan makanan yang mudah digunakan sebagai media untuk penambahan zat gizi tertentu (fortifikasi). Fortifikasi garam beryodium umum digunakan untuk menanggulangi gangguan kesehatan akibat kekurangan zat yodium.kekurangan yodium dapat berakibat pada keguguran pada ibu hamil, lahir mati dan cacat bawaan pada janin, gondok, kretin/cebol, serta keterbelakangan mental pada anak dan remaja (Pratama, 2012). Peluang ekspor garam meja ini bisa menjadi salah satu alternatif solusi atas produksi garam rakyat yang tidak sepenuhnya dapat diserap oleh industri domestik, terutama karena persyaratan kadar NaCl yang sangat tinggi. Meskipun Indonesia termasuk sebagai salah satu importir terbesar garam di dunia, namun BPS juga mencatat adanya ekspor garam dari Indonesia. Hal ini setidaknya mengindikasikan bahwa peluang Indonesia untuk menjadi eksportir garam terbuka lebar. Namun dengan catatan bahwa jenis garam yang potensial untuk diekspor merupakan kategori garam meja (HS ), dan bukan merupakan garam industri dengan kadar NaCl yang tinggi. 6.5 Tantangan Pergaraman di Indonesia Pemenuhan Pasar Garam Nasional oleh Produsen Domestik Terkendala pada Sisi Produksi Faktor Cuaca Menentukan Produksi Garam Tingginya permintaan garam domestik tidak bisa diimbangi oleh produksi garam lokal, bahkan total produksi garam yang dihasilkan oleh petani tambak (garam rakyat) dan PT. Garam berfluktuasi setiap tahunnya.jumlah produksi garam domestik tahun 2012 mengalami peningkatan dibandingkan 2011, namun turun di tahun 2013 dan naik kembali di tahun 2014 (KKP, 2015a). Produksi yang berfluktuasi tersebut tentu kontras apabila disandingkan dengan luas tambak garam rakyat yang tiap tahunnya cenderung meningkat, mengingat garam rakyat merupakan penghasil terbesar garam domestik. Berdasarkan Data KKP (2015b), luas tambak garam rakyat di tahun 2011 sebesar 20,1 ribu hektar dan terus meningkat menjadi 23,4 ribu hektar di tahun Salah satu penyebab utama mengapa peningkatan luas tambak tidak sejalan dengan jumlah produksi adalah faktor cuaca. Proses produksi garam melibatkan proses penguapan air laut yang telah dialirkan pada lahan-lahan tambak garam. Selain harus didukung oleh radiasi sinar matahari yang memadai, terjadinya evaporasi air garam juga harus didukung oleh kondisi iklim mikro pada areal penggaraman, yang meliputi angin, curah hujan, 96

107 Peluang dan Tantangan Komoditas Garam di Indonesia suhu, kelembaban, serta durasi penyinaran matahari (Kumala, 2012). Studi empiris yang dilakukan oleh Adiraga dan Setiawan (2014) menggunakan data produksi garam di Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati menunjukkan bahwa jumlah curah hujan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap jumlah produksi garam. Semakin berkurangnya jumlah curah hujan, maka jumlah produksi garam semakin tinggi. Sementara itu berdasarkan penelitian yang sama, luas tambak dan jumlah petani garam tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah produksi garam. Dampak iklim terhadap produksi garam bukan hanya berdampak pada penurunan kuantitas produksi garam, tetapi juga mempengaruhi ketersediaan sarana dan prasarana produksi garam yang pada akhirnya dapat turut mempengaruhi kesejahteraan petambak garam (Kurniawan dan Azizi, 2012). Kondisi cuaca yang terkadang tidak menentu dan sulit diprediksi menyebabkan petambak harus meresponnya melalui strategi adaptasi tertentu. Dengan demikian, petambak tetap akan memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Seperti yang terlihat pada Tabel 6.3, saat curah hujan tinggi, petani cenderung lebih memilih untuk menunda atau berhenti produksi (tidak melakukan adaptasi). Karena bila proses produksi tetap dilanjutnya, hasil produksi tidak maksimal bahkan biaya produksi yang telah dikeluarkan tidak mampu ditutupi oleh hasil penjualan saat panen. Angin yang terlalu kencang akan merusak kincir angin yang biasa digunakan petambak tradisional untuk mengangkat air laut dari penampungan ke dalam tambak garam maupun dapat merusak gudang penampungan sementara. Perbaikan kincir angin dan gudang tentu akan menambah biaya yang membebani petambak. Kekhawatiran terbesar dari dampak cuaca adalah ketika gelombang pasang menenggelamkan tambak garam (berkurangnya lahan produksi) serta merusak infrastruktur jalan yang biasa digunakan untuk mengakses tambak. Tabel 6.3 Dampak Iklim terhadap Produksi Garam dan Adaptasi Petambak No. Iklim Dampak Adaptasi 1 Hujan Produksi turun Tidak ada 2 Angin dan puting beliung Hancurnya kincir angin dan Perbaikan kincir angin gudang dan gudang 3 Gelombang pasang Hancurnya tambak Perbaikan tambak garam, penanaman mangrove, penggunaan sak garam Tenggelamnya sebagian Dibiarkan dan dibuat tambak dan munculnya sertifikat untuk tambak-tambak baru tambak-tambak baru Sumber: Kurniawan dan Azizi (2012) 97

108 Aditya P. Alhayat Kualitas Garam Lokal dapat Memenuhi Standar Industri, namun dalam Jumlah Terbatas Adanya mismatch antara kebutuhan/permintaan dengan produksi mengakibatkan produsen garam lokal terutama petambak tidak diuntungkan dengan potensi pasar garam domestik yang besar. Mayoritas produksi garam domestik dihasilkan oleh petambak rakyat, sedangkan sebagian besar permintaan garam domestik berasal dari industri. Namun demikian, kualitas garam yang dihasilkan petambak tidak seluruhnya bisa memenuhi standar yang dibutuhkan sebagai bahan baku industri. Kandungan NaCl pada garam rakyat umumnya tidak dapat mencapai kadar 97% seperti yang disyaratkan oleh industri sehingga peruntukannya hanya sebagai garam konsumsi rumah tangga atau untuk industri dengan basis teknologi yang sederhana, seperti industri pengasinan ikan atau industri makanan skala rumah tangga. Selain kadar NaCl yang tinggi, kualitas garam yang dibutuhkan oleh industri juga mensyaratkan batas maksimal kandungan logam berat seperti kalsium dan magnesium yang tidak boleh melebihi 400 ppm untuk industri aneka pangan, ambang batas maksimal 200 ppm serta kadar air yang rendah untuk industri chlor alkali plan (Gatra, 2015). Kualitas garam lokal yang dihasilkan terutama oleh petambak garam (garam rakyat) tidak seragam. Oleh karena itu, garam yang dijual oleh petani tambak umumnya digolongkan ke dalam beberapa kelas sesuai dengan kualitasnya. Kualitas pertama (KW1) adalah garam dengan tingkat NaCl antara 95% - 98%, kualitas kedua (KW2) mengandung NaCl antara 90% - 95%, dan kualitas ketiga (KW3) berkadar NaCl kurang dari 90% (LPPM ITB, 2016). Sebagai tambahan informasi, persentase jumlah produksi garam rakyat KW1 dibandingkan total produksi pada tahun 2014 baru mencapai 31,04% (KKP, 2015c). Serupa dengan data KKP, Ketua Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) menyatakan bahwa persentase garam rakyat kualitas KW1 sebesar 30%, KW2 sebesar 30%, dan KW3 sebanyak 60% (Bisnis, 2015c). Dengan batas bawah kadar NaCl pada garam KW1 yang lebih rendah dari persyaratan garam industri (NaCl minimal 97%) maka jumlah garam rakyat yang memenuhi persyaratan kualitas industri tentu kurang dari 30%. Untuk meningkatkan kualitas garam menjadi kualitas yang lebih tinggi diperlukan proses pencucian. Hal ini dikarenakan garam yang dipanen tercampur dengan tanah dan kotoran baik disebabkan oleh bahan baku air laut yang sudah terkontaminasi ataupun pada saat proses produksi yang kurang baik. Namun demikian, proses pencucian garam menimbulkan biaya yang tidak sedikit sehingga kebanyakan garam hasil panen dijual tanpa proses lebih lanjut. Dikarenakan kualitas garam domestik yang belum mampu 98

109 Peluang dan Tantangan Komoditas Garam di Indonesia memenuhi persyaratan industri, maka garam industri harus diimpor dari luar negeri Faktor Lain yang Mengakibatkan Produktivitas Garam Lokal Rendah Faktor cuaca yang dikombinasikan dengan teknik pengolahan yang relatif sederhana/tradisional mengakibatkan produktivitas garam di Indonesia tergolong rendah. Sistem teknologi yang digunakan dalam pembuatan garam di Indonesia mayoritas masih mengandalkan penguapan air laut menggunakan sinar matahari pada areal tambak (di atas tanah). Meskipun demikian, terdapat beberapa daerah yang memproduksi garam dengan cara memasak karena kondisi tanah yang berpori (porous) seperti propinsi Aceh dan Bali (Nofiyenti, 2011). Dengan menggunakan teknik produksi garam secara tradisional, produktivitas garam rakyat hanya berkisar 60 ton/ hektar per musim (BPPP Tegal, 2016). Sementara itu, produktivitas garam oleh PT. Garam tidak lebih dari 70 ton/hektar (Kabar Bisnis, 2013). Dengan kata lain, produktivitas garam domestik hanya berkisar 60 ton/hektar hingga 70 ton/hektar. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan Australia yang dapat hasilkan garam sebanyak 350 ton/hektar (Detik Finance, 2015a). Produksi garam di Australia telah menggunakan teknologi maju dengan lahan tambak garam yang luas sehingga dapat dilakukan produksi secara masif dengan skala keekonomian yang terjaga. Sentra produksi garam di Indonesia tersebar dari Aceh hingga Nusa Tenggara Timur. Dengan kondisi geografis yang berbeda, produktivitas lahan garam menjadi beragam. Secara total, luas areal penggaraman rakyat lebih luas dibandingkan arael penggaraman PT. Garam. Namun, luas lahan tambak petani relatif kecil rata-rata kurang dari 3 hektar, dimiliki oleh pribadi dan terpencar. Sementara itu, PT. Garam memiliki lahan penggaraman yang relatif terpusat yang berlokasi di Pulau Madura. PT. Garam memiliki luas areal penggaraman sebesar hektar yang terletak di Sampang seluas kurang lebih hektar, Pamekasan 980 hektar, Sumenep I hektar, dan Sumenep II 640 hektar (Kontan, 2015b) Penghasilan Petani Garam Tidak Menentu Usaha penggaraman dapat menjadi sumber penghasilan masyarakat, khususnya yang berdomisili di pesisir pantai.namun demikian, besarnya jumlah penghasilan usaha garam sedikitnya ditentukan oleh berapa faktor utama, yaitu: luas tambak, masa dan waktu panen, kualitas, dan model pemasaran (Kurniawan, Suryono, dan Saleh, 2014). Semakin luas areal 99

110 Aditya P. Alhayat tambak yang dimiliki petani, umumnya juga akan memperoleh pendapatan yang lebih besar. Luas lahan garam juga menjadi suatu indikator kemampuan ekonomi dan status sosial petani tambak.petani yang memiliki tambak garam relatif luas biasanya memiliki kemampuan finansial yang memadai sehingga dapat mempekerjakan penggarap tambak.hal ini tentu berbeda dengan petani dengan kepemilikan lahan tambak sempit yang harus turut serta langsung menggarap lahan tambaknya. Menurut Heriansah dan Fathuddin (2014), untuk luas tambak sekitar satu hektar mempekerjakan tiga sampai empat orang, sedangkan pada luas tambak empat hingga lima hektar memerlukan pekerja sejumlah lima hingga enam orang. Di samping itu, sebagaimana hasil studi Kurniawan, Suryono, dan Saleh (2014) menyebutkan bahwa komponen terbesar pengeluaran usaha garam terletak pada sewa lahan yang nilainya mencapai lima hingga sepuluh juta rupiah per hektar setiap tahunnya. Apabila petani memiliki tambak sendiri tentu akan mengurangi biaya usaha garam karena tidak perlu sewa lahan. Penghasilan petani garam rakyat di Indonesia tidak menentu karena sangat tergantung dari faktor alam.apabila musim kemarau panjang maka potensi penghasilan petani semakin tinggi karena frekuensi panen garam semakin banyak.selain itu, sinar matahari yang cukup merupakan salah satu prasyarat untuk menghasilkan garam yang berkualitas.semakin tinggi kualitas garam semakin besar harga jualnya sehingga berpotensi meningkatkan penghasilan. Namun demikian, untuk mendapatkan kristal garam dengan kadar NaCl 95% diperlukan waktu panen sedikitnya enam hingga delapan hari (Heriansah dan Fathuddin, 2014). Dengan demikian, diperlukan cuaca yang mendukung dan waktu yang cukup untuk satu kali siklus produksi garam. Pemasaran garam rakyat umumnya dilakukan melalui pedagang perantara (pengelup/tengkulak).pada tingkat inilah sebenarnya harga garam terbentuk dan secara langsung menentukan penghasilan petani garam. Namun demikian, seringkali harga yang diberikan pedagang perantara lebih rendah dari harga patokan pemerintah dan petani tidak memiliki alternatif jalur pemasaran karena telah terjerat hutang. Para petani garam banyak yang terjerat hutang oleh pedagang perantara dengan sistem ijon karena memerlukan dana sebagai modal kerja awal sehingga memiliki keterikatan untuk menjual hasil panen garam kepada mereka dengan harga yang ditentukan secara sepihak (Heriansah dan Fathuddin, 2014). Dengan demikian, marjin pemasaran lebih banyak dinikmati oleh pedagang perantara daripada petani garam karena harga jual ke industri yang jauh lebih tinggi dibandingkan harga beli dari petani garam. Pentingnya kualitas garam untuk menunjang perbaikan penghasilan tidak sepenuhnya mampu dipahami oleh pelaku usaha garam rakyat.pemilik lahan 100

111 Peluang dan Tantangan Komoditas Garam di Indonesia garam berkeyakinan bahwa kualitas garam berpengaruh pada keuntungan, sedangkan tenaga penggarap lahan garam pesimis bahwa kualitas garam menguntungkan bagi mereka (Kurniawan, Suryono, dan Saleh, 2014).Tidak responsifnya penggarap lahan garam terhadap kualitas garam kemungkinan disebabkan oleh sikap pragmatis bahwa semakin cepat garam dipanen semakin cepat pula penggarap lahan garam mendapatkan penghasilan dari usaha garam.selain itu, tenaga penggarap hanya memiliki hak memproduksi garam sedangkan pemilik lahan yang lebih berhak menentukan harga dan menentukan kepada siapa hasil panen garam dijual.meskipun pada akhirnya pedagang perantaralah yang lebih kuasa dalam menentukan harga Posisi Daya Tawar Petani Garam Lemah Pasar garam lokal di Indonesia memiliki kecenderungan bersifat oligopsoni (Antara News, 2015).Hal ini berarti bahwa terdapat sedikit pembeli yaitu perusahaan besar pengolahan garam dan terdapat banyak sekali penjual yaitu petani garam.praktek oligopsoni merugikan petani secara langsung karena menekan harga penjualan garam di tingkat petani, terlebih ketika musim panen terjadi. Dengan alasan suplai garam melimpah maupun kualitas garam yang rendah, pembeli dapat menekan petani garam dengan menawarkan harga murah. Seringkali petani garam juga tidak memiliki pilihan selain menerima harga yang rendah tersebut. Hal ini dikarenakan upaya untuk meningkatkan kadar kualitas garam, baik dengan memperlama waktu panen maupun proses pencucian, tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan oleh petani. Apalagi bila petani membutuhkan uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari, tentu petani garam akan memilih menjual hasil panen garam apa adanya. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan pengimpor garam diduga melakukan kartel dengan indikasi keuntungan yang mereka terima mencapai Rp 2,25 triliun per tahun (Antara News, 2015). Praktek oligopoli yang dilakukan importir akan melemahkan daya beli konsumen karena harga garam impor sebagai bahan baku industri semakin mahal yang berujung pada mahalnya output. Selain itu, praktek nakal importir garam juga terbongkar dengan ditangkapnya direktur pada salah satu perusahan importir garam karena melakukan penyuapan agar kuota impornya tidak berkurang (Berita Satu, 2015). Permasalahan pergaraman nasional menjadi lebih kompleks karena PT. Garam selaku Badan Usaha Milik Negera (BUMN) yang bergerak pada industri garam memiliki peran yang belum optimal.pt Garam melakukan produksi garam konsumsi sehingga langsung bersaing dengan petani garam yang masih menggunakan teknis tradisional (Detik Finance, 2015b). PT. Garam seharusnya fokus pada produksi garam industri, atau setidaknya menyerap 101

112 Aditya P. Alhayat garam petani untuk selanjutnya diproses lebih lanjut menjadi garam industri. Uniknya, penggarap areal tambak yang dimiliki PT. Garam juga melibatkan petani secara perseorangan dengan sistem sewa.terlebih pada Oktober 2015, PT. Garam menaikkan harga sewa lahan dengan sangat tinggi sehingga semakin memberatkan bagi petani di tengah produksi yang terbatas.sewa lahan di ring I meningkat dari Rp 1,5 juta menjadi Rp 3 juta per tahun; ring II naik dari Rp 1 juta menjadi Rp 2 juta; ring III semula Rp 750 ribu menjadi Rp 1,5 juta; dan ring IV dari Rp 500 ribu menjadi Rp 1 juta (Tempo, 2015). 6.6 Kebijakan Pemerintah untuk Mengembangkan Industri Garam Lokal Sebagaimana tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) , Pemerintah Indonesia ingin mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik, salah satunya dengan peningkatan kedaulatan pangan. Sasaran kedaulatan pangan mencakup barang-barang kebutuhan pokok masyarakat maupun yang menyangkut kepentingan rakyat seperti padi, kedelai, daging sapi, gula, ikan, dan garam.khusus sasaran kedaulatan sektor garam, produksi garam ditargetkan memenuhi konsumsi garam rumah tangga (Bappenas, 2014). Dalam Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan , produksi garam rakyat ditargetkan meningkat dari 3,3 juta ton di tahun 2015 menjadi 4,5 juta ton di tahun 2019 (KKP, 2015d). Meskipun target peningkatan produksi garam untuk mendukung kedaulatan pangan dirumuskan dalam sasaran pembangunan , namun usaha untuk mewujudkan swasembada garam telah dimulai sejak tahun 2011 melalui program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) yang dijalankan oleh Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP). Program tersebut fokus pada empat isu strategis yaitu: (1) isu kelembagaan yang menyebabkan rendahnya kuantitas dan kualitas garam rakyat; (2) isu permodalan yang menyebabkan para petambak garam terutama dalam kategori kecil dan penggarap menjadi terjerat pada bakul, tengkulak dan juragan; (3) isu regulasi yang menyebabkan lemahnya keberpihakan dan proteksi pemerintah pada sektor garam rakyat, sehingga usaha garam rakyat menjadi tidak prospektif dan marketable; dan (4) isu tata niaga garam rakyat yang sangat liberalistik dengan tidak adanya penetapan standar kualitas dan harga dasar garam rakyat, sehingga terjadi deviasi harga yang sangat tinggi di tingkat produsen petambak garam dan pelaku pasar, serta terjadinya penguasaan kartel perdagangan garam di tingkat lokal (KKP, 2015d). Pada awalnya, bantuan progam PUGAR berupa bantuan langsung mandiri.petambak garam rakyat menerima uang tunai (modal) dan sarana 102

113 Peluang dan Tantangan Komoditas Garam di Indonesia produksi yang digunakan untuk mengurangi beban biaya produksi (Rohman, 2014). Namun sejak tahun 2015, pola bantuan diubah dalam bentuk infrastruktur untuk petani garam, yaitu infrastruktur jalan di area lahan tambak garam atau infrastruktur saluran air (Koran Kabar, 2015). Selain itu, bantuan program diberikan dalam bentuk alat produksi dan sarana budidaya, seperti media isolator sebagai alas tambak (Bisnis, 2015b). KKP menerapkan skema baru untuk lebih mengembangkan usaha garam rakyat sejalan dengan perubahan nama program dari Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (Pugar) menjadi Pengembangan Usaha Garam Rakyat (Pugar). Selain peningkatan produksi, pemerintah juga mendorong peningkatan kualitas garam rakyat menjadi garam industri untuk keperluan kimia dan farmasi.bantuan alas tambak yang dulunya berupa geoisolator diganti dengan geomembrane karena lebih tebal sehingga sarana produksi tersebut dapat digunakan lebih lama.dengan demikian, kualitas garam yang baik dapat terus terjaga dan produktivitasnya dapat ditingkatkan dari 60 ton per hektar menjadi 100 ton per hektar (KKP, 2016b). Peningkatan kualitas garam dan produktivitas petani garam akan membantu petani garam mendapatkan pendapatan yang lebih baik sehingga kesejahteraannya pun meningkat. Untuk memberikan kepastian hukum dalam perlindungan dan pemberdayaan petambak garam serta nelayan dan pembudidaya ikan. Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam dan telah mendapatkan persetujuan DPR pada Maret 2016 (WikiDPR, 2016). Adapun tujuan spesifik yang ingin dicapai dalam perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam adalah: (1) menyediakan prasarana dan sarana yang dibutuhkan dalam mengembangkan usaha; (2) memberikan kepastian usaha yang berkelanjutan; (3) meningkatkan kemampuan, kapasitas, dan kelembagaan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam serta penguatan kelembagaan dalam menjalankan usaha yang mandiri, produktif, maju, modern, dan berkelanjutan serta mengembangkan prinsip kelestarian lingkungan; (4) menumbuhkembangkan sistem dan kelembagaan pembiayaan yang melayani kepentingan usaha; (5) melindungi dari risiko bencana alam dan perubahan iklim; dan (6) memberikan perlindungan hukum dan keamanan di laut (DPR, 2016). 6.7 Penutup Pasar garam Indonesia sangat prospektif yang ditandai dengan tingginya kebutuhan garam dalam negeri, terutama sebagai bahan baku industri. Namun demikian, peluang tersebut belum dapat sepenuhnya dimanfaatkan oleh petani garam rakyat sebagai produsen terbesar garam domestik.kendala 103

114 Aditya P. Alhayat yang dihadapi petani garam diantaranya produksi garam masih banyak dilakukan secara tradisional, bergantung pada faktor cuaca, serta kualitas garam yang belum memenuhi standar industri.selain itu, lahan penggaraman yang terpisah-pisah menyebabkan skala keekonomian produksi garam tidak tercapai.terlebih, daya tawar petani garam relatif lemah dibandingkan pembeli/pengepul garam mengakibatkan harga penjualan hasil panen garam rendah.kondisi sosial ekonomi petani garam membuat posisinya semakin dilematis.petani garam sebenarnya sudah tahu dan paham bahwa harga jual garam yang baik ditentukan oleh kualitas garam.namun, terkadang upaya peningkatan kualitas garam tidak sebanding dengan biaya yang harus ditanggung, apalagi kebutuhan harian keluarga yang sulit untuk ditundatunda lagi. Potensi besar usaha garam di Indonesia telah menarik investor untuk mendirikan pabrik pengolahan garam berkualitas industri.apabila investasi sektor ini terealisasi, importasi garam industri tentu dapat ditekan. Namun, pembangunan industri garam terkendala masalah pembebasan lahan. Sebagai gambaran, PT. Cheetham Salt Indonesia harus berjuang selama enam tahun untuk mendapatkan lahan penggaraman sekaligus tempat mendirikan pabrik pengolah garam. Untuk meningkatkan produksi garam rakyat dari segi kuantitas maupun kualitas, Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menjalankan program pemberdayaan dan pengembangan usaha garam rakyat (PUGAR). Bahkan, perlindungan kepada petambak garam diupayakan untuk diwujudkan secara legal formal melalui suatu Undang-Undang.Namun, kebijakan pemerintah bidang pergaraman saat ini masih terlihat parsial dan belum padu.kkp lebih memihak pada usaha garam rakyat dan Kemenperin mendukung kepentingan industri, sementara Kemendag sebagai pihak penengah yang mengelola tata niaga (importasi) garam belum menjalankan perannya dengan baik.untuk mendukung pengambilan kebijakan, hal yang paling penting adalah tersedianya data produksi dan konsumsi garam yang valid dan reliable. Data tersebut harusnya berasal dari sumber yang sama dan dikeluarkan oleh institusi yang netral seperti Badan Pusat Statistik (BPS). Dengan demikian, alokasi impor garam benar-benar mencerminkan kebutuhan industri yang tidak mampu diproduksi oleh usaha garam rakyat. Informasi kadar garam yang digunakan untuk tiap-tiap industri pengguna juga akan bermanfaat bagi dalam rangka menyeraskan permintaan industri dengan produksi garam rakyat. Bisa jadi bahwa permintaan garam yang besar untuk keperluan industri tidak seluruhnya mengharuskan kadar NaCl yang tinggi (97%). Pengawasan dalam realisasi impor juga penting agar praktek suap alokasi impor garam tidak kembali terulang. 104

115 Peluang dan Tantangan Komoditas Garam di Indonesia DAFTAR PUSTAKA Adiraga, Y. dan Setiawan, A. H. (2014). Analisis Dampak Perubahan Curah Hujan, Luas Tambak Garam dan Jumlah Petani Garam Terhadap Produksi Usaha Garam Rakyat di Kecamatan Juwana Kabupaten Pati Periode Diponegoro Journal Of Economics, Vol. 3 (1), pp Antara News. (2014, November 16).Nagekeo Terbaik untuk Garam Industri di Indonesia.Diunduh tanggal 2 Maret 2016 dari com/berita/464595/nagekeo-terbaik-untuk-garam-industri-diindonesia. Antara News. (2015, Agustus 11). Pelaku kartel garam untuk Rp2,25 triliun setiap tahun. Diunduh tanggal 16 Februari 2016 dari antaranews.com/berita/511836/pelaku-kartel-garam-untuk-rp225- triliun-setiap-tahun. Berita Satu. (2015, September 13). Tersangka Suap Kuota Impor Garam Akhirnya Ditahan. Diunduh tanggal 16 Februari 2016 dari Bisnis. (2015a, April 15). Nasib Investasi Garam Cheetham Di NTT Masih Terkatung-katung. Diunduh tanggal 3 Maret 2016 dari bisnis.com/read/ /99/422954/nasib-investasi-garamcheetham-di-ntt-masih-terkatung-katung. Bisnis. (2015b, April 1). Skema Bantuan Pugar Berubah, Petani Garam Cirebon Tetap Kurang Puas. Diunduh tanggal 4 Maret 2016 dari Bisnis. (2015c, Mei 28).Pembatasan Impor Garam Bakal Ganggu Kinerja Industri.Diunduh tanggal 24 Mei 2016 dari com/read/ /257/438264/pembatasan-impor-garam-bakalganggu-kinerja-industri. BPPP Tegal (2016).Masalah dan Kendala Produksi Garam Rakyat.Diunduh tanggal 16 Februari 2016 dari php/artikel/98-artikel/artikel-pegaraman/188-masalah-dan-kendalaproduksi-garam-rakyat. Badan Pusat Statistik (BPS). (2015).Perkembangan Ekspor dan Impor Garam Indonesia. Sistem Informasi Statistik Ekspor Impor, Pusat Data dan Informasi Perdagangan, Kementerian Perdagangan. Detik Finance.. (2015a, Oktober 7). RI Punya Garis Pantai Panjang Tapi Impor Garam, Ini Penyebabnya. Diunduh tanggal 15 Februari 2016 dari 105

116 Aditya P. Alhayat Detik Finance. (2015b, Oktober 7). Faisal Basri Kritik BUMN Garam. Diunduh tanggal 29Januari 2016 dari 7/210546/ /1036/faisal-basri-kritik-bumn-garam. DPR. (2016). Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.Diunduh tanggal 4 Maret 2016 dari go.id/doksileg/proses2/rj pdf. Gatra. (2015, April 20). Hingga Akhir 2015, Kebutuhan Garam Nasional 2,6 Juta Ton. Diunduh tanggal 15 Februari 2016 dari com/ekonomi/industri/ hingga-akhir-2015,-kebutuhangaram-nasional-2,6-juta-ton. Heriansah dan Fathuddin. (2014). Analisis Tata Niaga Garam untuk Pengembangan Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Pangkep. Jurnal Balik Diwa, Vol. 5 (2): pp his. (2013, September). Chemical Economics Handbook: Sodium Chloride. Diunduh tanggal 28 Maret 2016 dari sodium-chloride-chemical-economics-handbook.html. Kabar Bisnis. (2013, Januari 8).KKP Kecewa Berat dengan Produktivitas PT Garam.Diunduh tanggal 16 Februari 2016 dari com/read/ /kkp-kecewa-berat-dengan-produktivitas-ptgaram. Kementerian Kelatuan dan Perikanan (KKP). (2015a). Neraca Garam Nasional Tahun Tidak dipublikasikan. Kementerian Kelatuan dan Perikanan (KKP). (2015b). Luas Tambak Garam Rakyat Berdasarkan Kabupaten/Kota PUGAR Tahun Tidak dipublikasikan. Kementerian Kelatuan dan Perikanan (KKP). (2015c). Laporan Kinerja Kementerian Kelatuan dan Perikanan Tahun 2014.Diunduh tanggal 17 Februari 2016 darihttp://kkp.go.id/assets/uploads/2015/03/lakip- KKP-2014.pdf. Kementerian Kelatuan dan Perikanan (KKP).(2015d). Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 25/PERMEN- KP/2015 Tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun Diunduh tanggal 3 Maret 2016 dari Kementerian Kelatuan dan Perikanan (KKP). (2016a). Peningkatan Kualitas Garam Menuju Swasembada Garam Nasional.Tidak dipublikasikan. Kementerian Kelatuan dan Perikanan (KKP).(2016b). Buku Laporan Kinerja Satu Tahun KKP pada Tahun 2015.Diunduh tanggal 3 Maret 2016 dari 106

117 Peluang dan Tantangan Komoditas Garam di Indonesia Kementerian Perindustrian (Kemenperin). (2015). Rencana Strategis Kementerian Perindustrian Diunduh tanggal 2 Maret 2016 dari Kontan (2015a, Desember 17). Kebutuhan Garam Industri 2016 Naik 2,3 Juta ton. Diunduh tanggal 11 Februari 2016 dari co.id/news/kebutuhan-garam-industri-2016-naik-23-juta-ton. Kontan (2015b, Juli 27). PT Garam kejar produksi ton. Diunduh tanggal 15 Februari 2016 dari Kontan (2015c, Desember 22). Investasi Cheetham Terganjal Lahan Garam. Diunduh tanggal 3 Maret 2016 dari investasi-cheetham-terganjal-lahan-garam. Koran Kabar (2015, Juni 13).KKP Ubah Pola Bantuan Pugar.Diunduh tanggal 4 Maret 2016 dari Kumala, A. R. (2012). Analisis Pengaruh Curah Hujan terhadap Produktivitas Garam (Studi Kasus: Pegaraman I Sumenep, PT.Garam (Persero)). Skripsi: Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kurniawan, B. A., Suryono, A. dan Saleh, C. (2014). Implementasi Program Dana Bantuan Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) Dalam Rangka Pengembangan Wirausaha Garam Rakyat (Studi Pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumenep). Wacana, Vol 17 (3): pp Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM ITB) (2016). Peningkatan Kualitas dan Produksi Industri Garam Rakyat. Diunduh tanggal 12 Februari 2016 dari laporanpengabdian/peningkatan-kualitas-dan-produksi-industrigaram-rakyat. Manadiyanto. (2010). Dukungan Kebijakan dan Peranan Pemerintah dalam Menuju Swasembada Garam. Policy Brief, Vol. 1 (3). Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Medan Bisnis. (2015, Desember 17). Faisal Basri: Data Produksi dan Konsumsi Garam Tak Jelas. Diunduh tanggal 4 Maret 2016 dari medanbisnisdaily.com/news/read/2015/12/17/205324/faisal-basridata-produksi-dan-konsumsi-garam-tak-jelas/#.vtjppea8niu. 107

118 Aditya P. Alhayat Nofiyenti, E. (2011). Analisis Kalium Iodat dalam Garam Dapur.Skripsi. ProgramEkstensi Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Medan. PR Newswire. (2014, Desember).World Salt Market.Diunduh tanggal 28 Maret 2016 dari Pratama, R. (2012). Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) di Masyarakat. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Binawan, Jakarta. Rohman, T. (2014).Analisis Usaha Tani Garam Rakyat dan Kinerja Kelembagaan KUGAR (Kelompok Usaha Garam Rakyat) di Kabupaten Sampang. Skripsi: Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Jember. Rositawari, A. L., Taslim, C. M. dan Soetrisnanto, D. (2013). Rekristalisasi Garam Rakyat dari Daerah Demak untuk Mencapai SNI Garam Industri. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri, Vol. 2 (4), pp Sindo News. (2015, November 20). Industri Minta Pemerintah Tidak Menutup Impor Garam. Diunduh tanggal 11 Februari 2016 dari sindonews.com/read/ /34/industri-minta-pemerintah-tidakmenutup-impor-garam Tempo. (2015, Oktober 7). Sewa Lahan Naik, Petani Protes PT Garam. Diunduh tanggal 17 Februari 2016 dari read/news/2015/10/07/ /sewa-lahan-naik-petani-protespt-garam. Transparency Market Research. (2015). Sodium Chloride Market - Global Industri Analysis, Size, Share, Trends and Forecast Diunduh tanggal 1 April 2016 dari transparencymarketresearch.com/sodium-chloride-market.html. WikiDPR. (2016). UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Diunduh tanggal 25 Mei 2016 dari 108

119 Tata Niaga dan Manisnya Garam di Indonesia BAB VII TATA NIAGA DAN "MANISNYA" GARAM DI INDONESIA Zamroni Salim 7.1 Pendahuluan Indonesia masih bergantung pada garam impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya, khususnya kebutuhan untuk industri. Produksi garam Indonesia masih rendah dan sebagian besar masih tergantung pada impor (Manadiyanto, 2010; Sucofindo, 2011; Setywati, 2014; Republika, 2015). Dari data statistik terlihat bahwa impor garam mencapai sekitar 69,70% (impor sebesar 2,3 ton dari total kebutuhan yang mencapai 3,75 ton tahun 2015) (KKP, 2016). Ketergantungan yang tinggi tersebut tidak terlepas dari permasalahan yang ada dalam industri dan perdagangan garam di Indonesia. Bab VII merupakan benang merah dari sejumlah bab yang sudah ditulis sebelumnya. Seperti telah diuraikan dalam beberapa bab sebelumnya, produksi garam nasional, dari sisi jumlah, belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dari sisi kualitas komoditas garam juga belum mampu memenuhi kualitas sesuai yang dinginkan oleh pasar (khususnya industri) yang menjadikan garam sebagai salah satu bahan bakunya. Beberapa permasalahan terkait dengan kinerja produksi garam, kualitas garam dan usaha petani garam dalam menghasilkan garam telah diulas di Bab II - Bagian Produksi. Isu menonjol yang disajikan dalam Bab II tersebut adalah masalah rendahnya produksi dan produktivitas, serta kualitas garam yang dihasilkan oleh petani. Permasalahan tersebut tentu saja tidak terlepas dari teknik produksi dan tingkat teknologi yang digunakan (yang pada umumnya masih sederhana) (Setywati, 2014). Dalam Bab III secara garis besar membahas isu penting dalam aspek konsumsi garam. Dalam bab ini, isu menarik yang dikaji adalah masalah kualitas garam rakyat yang dinilai belum mampu memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh dunia industri, meskipun pihak petani melalui koperasi mengatakan bahwa mereka mampu meningkatkan kualitas asalkan pihak industri menentukan spesifikasi secara jelas 3. Pemenuhan kebutuhan garam industri yang berasal dari impor, dengan alasan (stigma) kualitas garam rakyat yang rendah, akan cenderung menyebabkan garam rakyat yang tidak akan pernah diminati oleh industri pengguna, termasuk industri yang melakukan pengolahan garam rakyat. Dalam kenyataanya, ada sejumlah perusahaan domestik yang mampu mengolah garam rakyat menjadi garam 3 Focus Group Discussion, BPPP, Kementerian Perdagangan, 18 Mei

120 Zamroni Salim dengan kualitas yang lebih baik 4. Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya garam rakyat bisa diproses lebih lanjut menjadi garam yang lebih baik dengan teknologi tertentu. Bab IV membahas aspek perdagangan garam di dalam negeri. Salah satu isu mendasar yang diulas adalah masalah yang terkait dengan struktur pasar yang berbentuk oligopoli (bila dilihat dari sisi supply garam, khususnya garam industri yang berasal dari impor). Sementara itu, bila dilihat dari supply garam rakyat, struktur pasar yang ada lebih berbentuk oligopsoni dimana hanya ada sejumlah kecil pembeli (perusahaan swasta termasuk PT Garam) yang menyerap garam rakyat. Kondisi struktur pasar yang berbentuk oligopsoni dan oligopoli ini tentu saja tidak menguntungkan bagi masyarakat secara umum, baik itu petani maupun pengguna garam (industri) - dalam hal ini adalah industri pemakai yang salah satunya adalah industri makanan dan minuman. Bab V mengkaji perdagangan luar negeri. Dalam bab ini dijelaskan bagimana posisi Indonesia di dalam perdagangan dunia, baik sebagai importir maupun eksportir. Sebagai eksportir, Indonesia bisa dikatakan hanya pemain kecil yang dalam posisi tawar-menawar harga bisa diabaikan (bukan penentu harga di pasar internasional). Sebagai importir, Indonesia mampu menyerap sekitar 3% garam dunia tahun 2014 (Trade Map, 2016). Sementara itu, Bab VI menguraikan peluang yang bisa dimiliki dan tantangan yang akan dihadapi di Indonesia terkait dengan industri garam nasional, tidak hanya dari sisi produksi, tetapi juga distribusi, konsumsi dan perdagangan. Terkait dengan prospek yang ada dalam industri garam nasional, Bab VI telah menjelaskan bahwa peluang investasi terbuka lebar termasuk bagi investor asing, mengingat Indonesia mempunyai daerah pantai yang luas. Kendala yang dihadapi petani garam selama ini, khususnya masalah teknologi dan ketergantungan musim, tentu bisa diatasi dengan kehadiran pengusaha swasta (baik nasional maupun asing). 7.2 Manisnya Garam Impor Dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan oleh tim penulis, terlontar dari salah seorang narasumber yang menyebutkan bahwa Garam itu manis, bukan asin. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam industri garam nasional ada pemain yang ingin memperoleh manisnya garam, terutama garam impor. Adanya sejumlah pemain ini tentu akan mempersulit upaya pemerintah untuk memperbaiki dan membangun industri garam menjadi industri nasional yang kuat yang memberikan keuntungan ekonomi secara nasional, sekaligus memberikan keuntungan bagi petani garam itu sendiri. 4 Sebagai contoh adalah PT. Susanti Megah yang memperoleh bahan baku dari garam rakyat. 110

121 Tata Niaga dan Manisnya Garam di Indonesia Berbagai langkah sudah dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki sektor garam nasional (yang secara detil bisa dilihat di beberapa bab sebelumnya), namun demikian, industri garam masih carut marut. Beberapa pelaku dalam sektor garam nasional, baik petani, maupun pengguna mengeluhkan permasalahan garam di Indonesia. Petani (melalui koperasi) merasa bahwa stok garam mereka belum bisa terserap oleh pasar, termasuk oleh PT. Garam, yang menurut mereka memperoleh dana dari pemerintah untuk melakukan pembelian garam rakyat (Tempo, 2016). Sementara itu, pengguna garam (khususnya industri makanan dan minuman) tidak mempermasalahkan ada pengaturan perdagangan garam, asalkan mereka tetap bisa memperoleh garam dengan kualitas yang memenuhi standar produksi makanan dan minuman. Lebih lanjut, pihak pengguna menjelaskan bahwa dalam penataan industri garam nasional, untuk melindungi satu pihak dengan menghancurkan pihak lainnya. Struktur pasar garam nasional, khususnya sisi supply (dari impor) - pada usaha non-produksi (non-petani) yang bergerak di jalur distribusi, pemasaran dan impor yang berbentuk oligopoli, memang dekat dengan kolusi. Secara teoritis, struktur pasar oligopoli memungkinkan pelaku di dalamnya bisa melakukan kolusi, baik kolusi dalam bentuk pengaturan harga, pengontrolan distribusi (pengeluaran garam dari gudang penampungan), maupun arus garam yang melalui jalur impor. Impor garam, selama ini hanya bisa dilakukan oleh sepuluh perusahan importir garam, salah satunya adalah PT. Garam. Sebagai negara dengan konsumen yang besar, pasar Indonesia juga menarik bagi investor baik domestik atau asing untuk masuk ke industri garam. Penjelasan lebih lengkap ada dalam Bab VI. Daerah yang menarik bagi investor (asing) adalah Nusa Tenggara Timur (NTT) (Tempo, 2015). Perusahaan swasta yang masuk ke hulu industri garam harus mampu menghasilkan garam dengan kualitas yang bisa memenui persyaratan industri pengguna, yang selama ini memang menjadi penyerap utama garam industri. 7.3 Produksi, Perdagangan dan Posisi Tawar Garam Rakyat Target peningkatan produksi garam nasional adalah sebesar 3,3 juta ton (2015) meningkat menjadi 4,5 juta ton di tahun 2019 (KKP, 2015). Target tersebut salah satunya akan dicapai dengan melakukan program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) yang dilakukan oleh Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP). Namun demikian, program tersebut tidak akan memberikan dampak perbaikan pada industri garam nasional, khususnya petani garam apabila sistm distribusi dan perdagangannya tidak segera diperbaiki atau kondisinya masih seperti sekarang ini. 111

122 Zamroni Salim Produksi garam Indonesia, merupakan produksi yang dilakukan oleh petani garam, meski sebagian diantaranya di produksi oleh perusahaan seperti PT. Garam (meskipun pada dasarnya juga dilakukan oleh petani garam). Kondisi ini tentu bisa berakibat pada masalah rendahnya produktivitas, total produksi yang rendah dan juga kualitas garam yang kurang bisa memenuhi persyaratan yang diminta oleh industri (Efendy, et al., 2016). Sebagai dampaknya, kebutuhan garam untuk industri hanya bisa dipenuhi oleh impor. Garam rakyat dengan kualitas relatif rendah ini juga dipaksa bersaing dengan garam impor di pasar dalam negeri, yang mengakibatkan posisi tawar petani garam yang rendah. Harga yang tidak fair ini berdampak, salah satunya, pada menurunnya minat petani garam untuk berproduksi dan meningkatkan kualitas garam (Kompas, 2016). Padahal, seperti diuraikan dalam Bab VI, bahwa industri garam merupakan industri rakyat yang menyerap banyak tenaga kerja buruh tambak produksi, kuli pengangkut, serta pengepul (KKP, 2015). Menurunnya minat mereka, berarti pula meningkatnya jumlah pengangguran di Indonesia. Struktur pasar garam nasional yang cenderung bersifat oligopsoni bila dilihat dari sisi supply garam rakyat, juga memperlemah posisi tawar petani. Seperti diuraikan dalam Bab VI, struktur oligopsoni akan merugikan petani terutama saat musim panen tiba. Pada sisi impor, struktur pasar yang ada adalah oligopoli, karena hanya beberapa perusahaan yang bisa melakukan impor dan hanya mereka yang bisa memasok garam untuk kebutuhan industri pengguna. Posisi tawar petani garam dalam rantai produksi dan pemasaran adalah lemah. Dari sisi produksi, banyak petani garam yang tidak memiliki lahan sendiri. Mereka menyewa lahan (di tambak) yang pada musim tertentu (musim kemarau) tidak untuk budidaya ikan, biasanya pada musim panas sekitar bulan Juli Oktober. Sewa lahan tambak tidak dilakukan dengan sistem pembayaran uang tunai, tetapi mereka melakukan dalam bentuk bagi hasil. Bagi hasil ini bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya. Dari sisi pemasaran, petani garam juga lemah, karena adanya kebutuhan yang mendesak sehinga mereka cenderung langsung menjual garamnya saat panen, dan cenderung tidak mempunyai posisi tawar yang kuat dalam menentukan harga (karena besarnya tuntutan untuk memperoleh uang pada saat panen untuk memenuhi kebutuhan mereka). 7.4 Tata Niaga Garam, Perlukah? Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk meningkatkan daya tawar petani garam. Beberapa diantaranya adalah 112

123 Tata Niaga dan Manisnya Garam di Indonesia tata niaga yang mengatur pelarangan impor satu bulan sebelum panen raya, semasa panen raya dan dua bulan setelahnya, termasuk tata niaga yang menyangkut harga garam dengan kualitas tertentu (BAB V), sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri No. 02/ DAGLU/PER/5/2011, yang diperbaharui dengan Permendag No.58/M-DAG/ PER/9/2012 tanggal 4 September 2012 dan revisi kembali melalui Permendag No. 125 Tahun 2015 tanggal 29 Desember 2015 Tentang Ketentuan Impor Garam. Untuk mendorong produksi dan produktivitas sekaligus melindungi usaha garam rakyat, pemerintah sudah beberapa kali mengeluarkan kebijakan. Beberapa diantaranya adalah Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) No. 360/MPP/Kep/5/2004, diperbarui dengan Permendag No. 58/M-DAG/PER/9/2012 yang mengatur tata niaga garam impor. Tidak efektifnya berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah karena masalah penegakan hukum (law enforcement) dan pengawasan yang lemah di lapangan. Salah satu indikator dari kelemahan penegakan hukum tersebut adalah masih carut marutnya industri garam nasional, indikasi kartel dalam tata niaganya dan juga masih belum berpihaknya industri garam bagi kesejahteraan petani garam dan juga. Diskursus mengenai perlunya pengaturan tata niaga dengan penentuan harga dasar (floor price) maupun harga atas/plafon (ceiling price) masih terus mengemuka. Satu sisi tata niaga seperti ini bisa menjamin harga yang lebih baik bagi petani, namun disisi lain, kebijakan ini juga bisa menciptakan distorsi pasar yang menyebabkan terganggunya arus distribusi garam yang bisa berdampak pada membanjirnya atau langkanya garam di pasar dalam negeri. Kebijakan harga minimal garam pada titik pengumpul memberikan tekanan pada posisi tawar petani garam terhadap pengumpul. Petani garam cenderung tidak bisa memperoleh harga yang layak mendekati harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Sementara itu, bila tata niaga garam dilepas, dan tidak mengenal kuota (impor), pada satu sisi akan menciptakan efisiensi ekonomi secara nasional; namun di sisi lain, bisa mengganggu atau bahkan mematikan petani garam, terutama bila jumlah garam impor tidak terkendali. Tata niaga masih diperlukan untuk mengatur industri garam di Indonesia dengan sejumlah perbaikan dan adanya keberpihakan pemerintah yang nyata. Diperlukan keberpihakan pemerintah untuk meningkatkan minat produksi petani garam. Kebijakan bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang ada selama ini baik menyangkut produksi, kualitas hasil produksi maupun pemasaran/tata niaga. Ketidakpastian harga menjadi salah satu masalah utama. Masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengeluarkan 113

124 Zamroni Salim kebijakan tata niaga dengan penentuan harga pada level pengumpul. Harga yang lebih fair, dan stabil harus bisa diberikan kepada petani garam. Kebijakan pemerintah yang bisa mengontrol impor garam pada masamasa panen juga harus tetap dilakukan. Selama ini memang sudah ada kebijakan impor, kapan harus impor, tetapi dalam pelaksanaannya impor datang justru di saat panen raya, yang cenderung membuat harga garam pada tingkat petani menjadi lebih rendah. Langkah bijak yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah mewajibkan importir melakukan impor sesuai kuota dengan sistem lelang terbuka, wajib menyerap garam rakyat, menambah jumlah perusahaan yang bisa melakukan impor sehingga perebutan impor kuota lebih kompetitif. Selain itu juga diperlukan adanya kewajiban transparansi publik bagi para importir terkait dengan jumlah kuota yang mereka perolehnya dan besarnya serapan garam rakyat yang bisa dilakukan oleh mereka. Langkah lain yang bisa dilakukan adalah dengan menggerakkan industri pengolah garam rakyat (sekarang ini jumlahnya masih sangat terbatas) yang mampu mengolah garam rakyat menjadi garam yang bisa memenuhi persyaratan minimum yang ditetapkan oleh dunia industri. Dengan adanya industri pengolah ini tentu akan memberikan jaminan pasar dan harga yang lebih baik bagi petani garam. Selain itu untuk melengkapi kebijakan yang terkait dengan perdagangan, pemerintah perlu memperhatikan jalur distribusi fisik garam yang sering bermasalah termasuk sarana dan prasarana/ infrastruktur di daerah penghasil garam. Perbaikan infrastruktur ini akan memberikan manfaat terhadap kelancaran distribusi garam dari areal tambak garam ke jalur distribusi berikutnya. Perbaikan ini juga bermanfaat secara luas bagi masyarakat di daerah penghasil garam secara umum. DAFTAR PUSTAKA Efendy, M., Heryanto, A., Sidik, R. F., & Muhsoni, F. F. (2016). Perencanaan Usaha Korporatisasi Usaha Garam Rakyat. Jakarta: Sekretariat Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan. BPPP, Kementerian Perdagangan. (2016). Focus Group Discussion (18 Mei 2016). Kementerian Kelatuan dan Perikanan (KKP). (2015). Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 25/PERMEN- KP/2015 Tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun Diunduh tanggal 3 Maret 2016 dari 114

125 Tata Niaga dan Manisnya Garam di Indonesia Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2016). Peningkatan Kualitas Garam Menuju Swasembada Garam Nasional. Bahan Paparan Kementerian Kelautan Dan Perikanan. Kompas (27 Januari 2016) Harga Garam Masih Anjlok diunduh dari print.kompas.com/baca/2016/01/27/harga-garam-masih-anjlok. Manadiyanto. (2010). Dukungan Kebijakan dan Peranan Pemerintah dalam Menuju Swasembada Garam. Policy Brief, Vol. 1 (3). Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Republika. (2015, 21 Desember). Kualitas Rendah, Penyebab Ribuan Ton Garam Petani tak Laku. Diakses 23 April 2016 dari republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/12/21/nzpncn282-kualitasrendah-penyebab-ribuan-ton-garam-petani-tak-laku. Setywati, Endang. (2014). Integrating and Strengthening of National Salt Industry Policy through Value Chain Management Upgrading. The Journal of African & Asian Local Government Studies, Vol. 3, No. 2 (2014). Sucofindo. (2011). Produksi Garam Lokal Rendah. Diakses tanggal 11 Maret 2016 dari Tempo. (2015, 7 Juni). Lima Daerah di NTT Akan Produksi Garam Industri. Diakses 3 Mei 2016 dari news/2015/06/07/ /lima-daerah-di-ntt-akan-produksigaram-industri. Tempo. (2016, 29 Maret). PT Garam akan Borong Garam Rakyat Rp 202 Miliar. Diakses tanggal 5 Mei 2016 dari news/2016/03/29/ /pt-garam-akan-borong-garam-rakyatrp-202-miliar. Trade Map. (2016). Data Ekspor dan Impor Data Dunia. 115

126 Bunga Rampai Info Komoditi Garam INDEKS A anionic surfactants, 49 anti-caking, 90, 101 ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature (AHTN), 12, 38 atas dasar basis kering (adbk), 13, 46 B Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI), 90 Brine, 109 C Caustic Soda, 48, 49, 58 Centrifuge, 16 Chlor Alkali Plan (CAP), 2, 119 collecting point, 81 Compound Annual Growth Rate (CAGR), 110 Crushing, 16, 28 crystallization column, 17 D Demand, 12 Drying, 16, 28 E Elektrodialisa, 17 F free-flowing, 90, 101 Focus Group Discussion (FGD), 37, 135 G Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), 40, 131 Geomembrane, 33, 125 H High Density Polyetylene (HDPE), 33 I Impurities, 14 Importir Produsen (IP), 63, 102 Importir Terdaftar (IT), 64 Iodine Deficiency Disorder (IDD), 79 K Kelompok Usaha Kelautan dan Perikanan (KUKP) L law enforcement, 82, 138 M Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP), 73, 74 mean sea level (msl), 16 mismatch, 119 multiplier effect, 5 N natrium klorida (NaCl), 52, 92, 94, 101 O Oligopsoni, 123, 134, 137 Oligopoli, 65, 123, 134, 136 P Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR), 31, 83, 124, 125, 131, 136 Pengembangan Usaha Garam Rakyat (PUGAR), 85, 125, 127, 129 R Refinery, 88, 89 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), 124 Revealed Comparative Advantage (RCA), 99 Rock salt, 12, 109 Roadmap, 43, 110 S Salt Lake, 11, 17 Saponification, 49 Sea Water, 12 Sleving, 17 Standar Nasional Indonesia (SNI), 52, 79 Supply, 7, 12, 86, 123, 134, 136, 137 T table salt, 12 U Universal Salt Iodization (USI), 55 W washing plant, 16 water treatment, 1, 14, 15, 44 water softening, 96 World Custom Organization (WCO), 12 World Health Organization (WHO), 55,

127 Bunga Rampai Info Komoditi Garam BIOGRAFI SINGKAT PENULIS Zamroni Salim Zamroni Salim adalah peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi (P2E), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak Zamroni memperoleh gelar S1 Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan dari Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya; Gelar S2 diperoleh dari Massey University, New Zealand untuk bidang perdagangan internasional, tahun 2003; dan Gelar PhD diperoleh dari the Graduate School of International Development (GSID), Nagoya University, Jepang tahun 2009 dalam bidang international economic and development. Area penelitian yang menjadi bidang kajian adalah regionalism, economic integration and development, ASEAN and East Asian Studies. Aktif sebagai anggota Dewan Editor di beberapa jurnal ilmiah seperti: Indonesia Economic and Business Studies (RIEBS), dan Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan (BILP)-Kementerian Perdagangan. Zamroni Salim juga merupakan peneliti senior pada the Habibie Center (THC) sejak Selain melakukan penelitian, yang bersangkutan juga menjadi tenaga pengajar di Department of International Relations, President University, Cikarang Indonesia. Ernawati Munadi Ernawati Munadi adalah ahli ekonomi internasional dengan pengalaman lebih dari 10 tahun baik di tingkat lokal, maupun nasional sebagai Konsultan, Dosen dan Peneliti. Ernawati memulai karir profesionalnya sebagai Konsultan sejak tahun 2006, ketika bergabung dengan Proyek Bantuan Perdagangan Indonesia (ITAP) di bawah naungan USAID, sebagai ahli di bidang Ekonomi Perdagangan. Pada bulan Oktober 2008, dipromosikan sebagai Trade Economist/Senior Team Leader dalam proyek yang sama. Sejak itu penulis bekerja sebagai konsultan di berbagai proyek yang dibiayai oleh organisasi internasional seperti Bank Dunia, AusAid, USAID, dan Uni Eropa. Hingga kini masih aktif menjadi dosen di Universitas Wijaya Kusuma. Keahliannya adalah dampak liberalisasi perdagangan pada permintaan ekspor Indonesia hingga model analisis transmisi siklus bisnis dari Indonesia dan Amerika Serikat. Dalam 5 tahun terakhir Ernawati mengembangkan keahlian di bidang perijinan perdagangan (trade license) dan kebijakan bukan tarif (non-tariff measures). Tulisannya telah banyak diterbitkan diberbagai jurnal penelitian baik nasional maupun internasional. Ernawati memperoleh gelar S1 di bidang Agronomi Pertanian dari Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya; gelar Master 117

128 Bunga Rampai Info Komoditi Garam di bidang Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor, Indonesia pada tahun 1997; dan gelar Ph.D di bidang Ekonomi Internasional dari Universitas Putra Malaysia pada tahun Septika Tri Ardiyanti Septika Tri Ardiyanti adalah statistisi pada Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan sejak tahun Septika memperoleh gelar S1 Jurusan Statistika dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) pada tahun 2010 dan gelar S2 Master of Applied Economics dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura tahun Penulis juga banyak mengikuti berbagai pelatihan yang diselenggarakan di dalam dan luar negeri terkait metode pengolahan data dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian di bidang perdagangan. Penulis saat ini aktif dalam kegiatan penelitian baik yang diselenggarakan oleh BPPP maupun pada proyek penelitian kerjasama antara Kementerian Perdagangan dengan lembaga internasional seperti European Indonesia Trade Cooperation Facility (EU-TCF) dan World Bank. Beberapa tulisannya di bidang Ekonomi Perdagangan (Economics of Trade) juga telah diterbitkan pada jurnal ilmiah nasional yaitu pada Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan (BILP) Kementerian Perdagangan. Steven Raja Ingot Steven Raja Ingot adalah calon peneliti pada Pusat Pengkajian Kerjasama Perdagangan Internasional, Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan sejak tahun Steven memperoleh gelar S1 Jurusan Manajemen dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta pada tahun Saat ini Steven menekuni area penelitian bidang multilateral, kerjasama perdagangan Internasional. Titis Kusuma Lestari Titis Kusuma Lestari adalah statistisi pada Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan sejak tahun Titis memperoleh gelar S1 Jurusan Statistika dari Universitas Brawijaya pada tahun Selain menekuni bidang pengolahan data, Titis juga tertarik dengan dunia penelitian, khususnya yang berhubungan dengan kebijakan ekspor impor. 118

129 Bunga Rampai Info Komoditi Garam Nugroho Ari Subekti Nugroho Ari Subekti adalah calon peneliti pada Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan sejak tahun Ari memperoleh gelar S1 Jurusan Ilmu Ekonomi dan Study Pembangunan (IESP), Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro Semarang pada tahun Gelar Master of Science in Applied Economics didapatkan dari program double degree antara Institut Pertanian Bogor dan University of Adelaide, Australia. Saat ini Ari menekuni analisis di bidang barang pokok dan barang penting serta logistik. Aziza Rahmaniar Salam Aziza Rahmaniar Salam adalah peneliti pada Pusat Pengkajian Kerjasama Perdagangan Internasional, Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan sejak tahun Aziza memperoleh gelar S1 Jurusan Tehnik Industri dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur pada tahun 2001 dan gelar S2 Magister Manajemen dari Universitas Airlangga Surabaya pada tahun Area penelitian yang ditekuni adalah perdagangan luar negeri dan kerjasama perdagangan internasional, baik yang dilaksanakan oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) maupun kerjasama dengan Dikti dan Ristek. Tulisannya banyak diterbitkan dalam berbagai jurnal nasional diantaranya Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan (BILP) Kementerian Perdagangan, Jurnal Standardisasi BSN dan Jurnal Administrator Borneo. Aziza juga aktif dalam organisasi profesi peneliti HIMPENINDO. Aditya Paramita Alhayat Aditya Paramita Alhayat adalah peneliti pada Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan sejak tahun Aditya mendapatkan gelar S1 Ilmu Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta pada tahun 2006 dan gelar S2 Master of Science in International Economics and Business dari University of Groningen, Belanda pada tahun 2013 melalui beasiswa StuNed. Saat ini Aditya menekuni area penelitian bidang perdagangan luar negeri. Area lain yang menjadi minat penelitiannya adalah trade remedies (anti-dumping, anti-subsidi, dan safeguards) serta kebijakan non-tarif. 119

130 Bunga Rampai Info Komoditi Garam 120

PRODUKSI GARAM INDONESIA

PRODUKSI GARAM INDONESIA PRODUKSI GARAM IDOESIA o A 1.1 eraca Garam asional eraca garam nasional merupakan perbandingan antara kebutuhan, produksi, ekspor, dan impor komoditas garam secara nasional dalam suatu periode tertentu.

Lebih terperinci

KEBUTUHAN GARAM INDUSTRI NASIONAL. Hotel Santika Bogor Senin : 7 November 2016

KEBUTUHAN GARAM INDUSTRI NASIONAL. Hotel Santika Bogor Senin : 7 November 2016 KEBUTUHAN GARAM INDUSTRI NASIONAL Hotel Santika Bogor Senin : 7 November 2016 OUTLINE I. PENDAHULUAN II. III. IV. KONDISI SAAT INI PERMASALAHAN PROGRAM AKSI I. PENDAHULUAN 1. Industri garam merupakan industri

Lebih terperinci

PENGUATAN KEMITRAAN INDUSTRI PENGGUNA DAN PETANI GARAM. Disampaikan : Ir. M. Zainal Alim, MM

PENGUATAN KEMITRAAN INDUSTRI PENGGUNA DAN PETANI GARAM. Disampaikan : Ir. M. Zainal Alim, MM PENGUATAN KEMITRAAN INDUSTRI PENGGUNA DAN PETANI GARAM Disampaikan : Ir. M. Zainal Alim, MM PENDAHULUAN 1. Garam merupakan komoditas penting yaitu kebutuhan pokok masyarakat yang termasuk dalam kategori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan juga termasuk produk yang tidak memiliki subtitusi (Suhelmi et al.,

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan juga termasuk produk yang tidak memiliki subtitusi (Suhelmi et al., BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Garam merupakan komoditas yang keberadaannya sangat penting dan belum ada produk tertentu yang dapat menggantikannya berdasarkan aspek fungsi dan kegunaannya. Garam

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN R.I

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN R.I SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN R.I. PADA ACARA ACARA PENYERAPAN GARAM LOKAL DI JAWA TIMUR OLEH ASOSIASI INDUSTRI PENGGUNA GARAM INDONESIA SAMPANG, 17 APRIL 2015 Yang Terhormat : 1. BupatiKabupatenSampang;

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengusahaan Garam di Indonesia

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengusahaan Garam di Indonesia 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengusahaan Garam di Indonesia Menurut Raharjo (1984), secara prinsip garam diproduksi dengan tiga cara. Cara pertama yaitu menambang batu garam (shaft mining). Cara ini hampir sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemerintah memiliki peran vital untuk memajukan sumberdaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemerintah memiliki peran vital untuk memajukan sumberdaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah memiliki peran vital untuk memajukan sumberdaya petani agar kesejahteraan petani semakin meningkat. Petani dapat meningkatan produksi pertanian dengan menyediakan

Lebih terperinci

Zainul Hidayah. Dosen Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura ABSTRAK

Zainul Hidayah. Dosen Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura ABSTRAK PEMODELAN DINAMIKA SISTEM EFEKTIVITAS PROGRAM PEMBERDAYAAN USAHA GARAM RAKYAT DI PESISIR SELAT MADURA (STUDI KASUS KONVERSI LAHAN GARAM TRADISIONAL MENJADI LAHAN GARAM GEOMEMBRAN) Zainul Hidayah Dosen

Lebih terperinci

WALIKOTA PASURUAN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN GARAM KONSUMSI BERIODIUM

WALIKOTA PASURUAN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN GARAM KONSUMSI BERIODIUM WALIKOTA PASURUAN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN GARAM KONSUMSI BERIODIUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PASURUAN, Menimbang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Garam merupakan komoditas vital yang berperan penting dalam kehidupan sehari-hari untuk dikonsumsi maupun untuk kegiatan industri. Permintaan garam terus meningkat seiring

Lebih terperinci

PENGGUNAAN ZAT ADITIF RAMSOL DALAM MENINGKATKAN MUTU GARAM RAKYAT

PENGGUNAAN ZAT ADITIF RAMSOL DALAM MENINGKATKAN MUTU GARAM RAKYAT PENGGUNAAN ZAT ADITIF RAMSOL DALAM MENINGKATKAN MUTU GARAM RAKYAT 1 Mahfud E, 2 Rahmad F. Sidik, 1 Haryo T 1 Prodi Ilmu Kelautan UTM, 2 Prodi TIP UTM e-mail: mahfudfish@gmail.com Abstrak Garam merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia terbentang sepanjang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia terbentang sepanjang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia terbentang sepanjang 3.977 mil diantara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik terdiri dari luas daratan 1.91

Lebih terperinci

Analisis Mutu Garam Tradisional di Desa Siduwonge Kecamatan Randangan Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo

Analisis Mutu Garam Tradisional di Desa Siduwonge Kecamatan Randangan Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo Nikè:Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 3, Nomor 1, Maret 2015 Analisis Mutu Garam Tradisional di Desa Siduwonge Kecamatan Randangan Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo Nanang Kasim Pakaya,

Lebih terperinci

KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT

KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT I. Perumusan Masalah Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang optimal membutuhkan sebuah pemahaman yang luas dimana pengelolaan SDA harus memperhatikan aspek

Lebih terperinci

MENUJU SATU DATA GARAM NASIONAL. Oleh : Dra. Marlina Kamil, MM Direktur Sta5s5k Industri, Badan Pusat Sta5s5k

MENUJU SATU DATA GARAM NASIONAL. Oleh : Dra. Marlina Kamil, MM Direktur Sta5s5k Industri, Badan Pusat Sta5s5k MENUJU SATU DATA GARAM NASIONAL Oleh : Dra. Marlina Kamil, MM Direktur Sta5s5k Industri, Badan Pusat Sta5s5k PENDAHULUAN 1 Garam merupakan komoditas yang sangat pen3ng baik untuk konsumsi maupun industri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. China Germany India Canada Australia Mexico France Brazil United Kingdom

I. PENDAHULUAN. China Germany India Canada Australia Mexico France Brazil United Kingdom 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia salah satu negara dari sebelas negara produsen garam. Pencapaian jumlah produksi pada tahun 2009 sebanyak 1.4 juta ton, jauh dibandingkan dengan Cina yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu negara maritim terbesar dunia dengan luas laut 70 % dari total luas

BAB I PENDAHULUAN. salah satu negara maritim terbesar dunia dengan luas laut 70 % dari total luas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi alam sebagai penghasil garam. Secara geografis, Indonesia kaya akan sumber daya mineral. Indonesia juga merupakan salah satu negara maritim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki luas daerah perairan seluas 5.800.000 km2, dimana angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah perairan tersebut wajar

Lebih terperinci

Kedaulatan Pangan dan Pengembangan Ekonomi Maritim Berbasis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Kedaulatan Pangan dan Pengembangan Ekonomi Maritim Berbasis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil REKRISTALISASI AIR TUA GARAM SEBAGAI SALAH SATU UPAYA DIVERSIFIKASI PRODUK GARAM RAKYAT Dr. Bagiyo Suwasono 1, Ali Munazid MT 1, Prof. Dr. Sapto J. Poerwowidagdo 2 1. Fakultas Teknik & Ilmu Kelautan, FTIK

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

ISSN OUTLOOK KAPAS 2015 OUTLOOK KAPAS

ISSN OUTLOOK KAPAS 2015 OUTLOOK KAPAS ISSN 1907-1507 OUTLOOK KAPAS 2015 OUTLOOK KAPAS Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian 2015 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian i 2015 OUTLOOK KAPAS

Lebih terperinci

MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 42/M-IND/PER/11/2005 TENTANG PENGOLAHAN,

MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 42/M-IND/PER/11/2005 TENTANG PENGOLAHAN, MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 42/M-IND/PER/11/2005 TENTANG PENGOLAHAN, PENGEMASAN DAN PELABELAN GARAM BERIODIUM MENTERI PERINDUSTRIAN

Lebih terperinci

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula. V. EKONOMI GULA 5.1. Ekonomi Gula Dunia 5.1.1. Produksi dan Konsumsi Gula Dunia Peningkatan jumlah penduduk dunia berimplikasi pada peningkatan kebutuhan terhadap bahan pokok. Salah satunya kebutuhan pangan

Lebih terperinci

1. Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Perikanan 2. Tenaga Pengajar di jurusan Teknologi Hasil Perikanan Universitas Negeri Gorontalo

1. Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Perikanan 2. Tenaga Pengajar di jurusan Teknologi Hasil Perikanan Universitas Negeri Gorontalo 1 ANALISIS MUTU GARAM TRADISIONAL DI DESA SIDUWONGE KECAMATAN RANDANGAN KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO Nanang Kasim Pakaya, Rieny Sulistijowati, Faiza A Dali ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui

Lebih terperinci

Ekonomi Pertanian di Indonesia

Ekonomi Pertanian di Indonesia Ekonomi Pertanian di Indonesia 1. Ciri-Ciri Pertanian di Indonesia 2.Klasifikasi Pertanian Tujuan Instruksional Khusus : Mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri pertanian di Indonesia serta klasifikasi atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi dunia akan semakin besar seiring dengan pesatnya perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap terpenuhi agar roda

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sumber daya kelautan berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja dan pendapatan penduduk.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Strategi pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis dan agroindustri pada dasarnya menunjukkan arah bahwa pengembangan agribisnis merupakan suatu upaya

Lebih terperinci

PUBLIKASI MEDIA KERJASAMA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DENGAN BADAN PUSAT STATISTIK

PUBLIKASI MEDIA KERJASAMA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DENGAN BADAN PUSAT STATISTIK PUBLIKASI MEDIA KERJASAMA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DENGAN BADAN PUSAT STATISTIK MEDIA ON-LINE http://www.surabaya.tribunnews.com KKP-BPS Garap Pendataan Garam Nasional SURYA Online, SURABAYA-Kementerian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 83 V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 5.1. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia Tebu merupakan tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tujuan penanaman tebu adalah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim dan termasuk negara ke 2 dengan garis pantai terpanjang di dunia. Indonesia selama ini juga dikenal sebagai negara penghasil garam

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN. A. Gambaran Umum Kecamatan Batangan. Kabupaten Pati. Kecamatan Batangan terletak di ujung timur dari

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN. A. Gambaran Umum Kecamatan Batangan. Kabupaten Pati. Kecamatan Batangan terletak di ujung timur dari BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN A. Gambaran Umum Kecamatan Batangan 1. Kecamatan Batangan Batangan adalah salah satu kecamatan dari 21 kecamatan yang ada di Kabupaten Pati. Kecamatan Batangan terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat

BAB I PENDAHULUAN. komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber daya kelautan berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja dan pendapatan penduduk.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Purwadany Samuel Pouw, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Purwadany Samuel Pouw, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbesar di dunia, dengan sekitar 13.487 pulau, yang terbentang sepanjang 5.210 Km dari Timur ke Barat sepanjang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi

I. PENDAHULUAN. Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi perekonomian nasional, termasuk di dalamnya agribisnis. Kesepakatan-kesepakatan pada organisasi

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA EKSPOR 5 KOMODITAS PERKEBUNAN UNGGULAN INDONESIA TAHUN

ANALISIS KINERJA EKSPOR 5 KOMODITAS PERKEBUNAN UNGGULAN INDONESIA TAHUN ANALISIS KINERJA EKSPOR 5 KOMODITAS PERKEBUNAN UNGGULAN INDONESIA TAHUN 2012-2016 Murjoko Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret email: murjoko@outlook.com Abstrak Indonesia merupakan negara yang

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA RAFINASI DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI AGRO KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN JAKARTA, OKTOBER 2013

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA RAFINASI DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI AGRO KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN JAKARTA, OKTOBER 2013 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA RAFINASI DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI AGRO KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN JAKARTA, OKTOBER 2013 OUTLINE V PENUTUP III II I PENDAHULUAN PERKEMBANGAN INDUSTRI MAKANAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan yang tidak terbatas, sementara factor-faktor produksi yang tersedia

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan yang tidak terbatas, sementara factor-faktor produksi yang tersedia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum masalah yang dihadapi masyarakat adalah mengenai kebutuhan yang tidak terbatas, sementara factor-faktor produksi yang tersedia terbatas dari segi kuantitas

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam dan memiliki wilayah yang cukup luas. Hal ini yang membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian di Indonesia merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Sektor pertanian secara potensial mampu memberikan kontribusi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :42/M-IND/PER/11/2005 TENTANG PENGOLAHAN, PENGEMASAN DAN PELABELAN GARAM BERIODIUM

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :42/M-IND/PER/11/2005 TENTANG PENGOLAHAN, PENGEMASAN DAN PELABELAN GARAM BERIODIUM PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :42/M-IND/PER/11/2005 TENTANG PENGOLAHAN, PENGEMASAN DAN PELABELAN GARAM BERIODIUM MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa

Lebih terperinci

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan agribisnis nasional diarahkan untuk meningkatkan kemandirian perekonomian dan pemantapan struktur industri nasional terutama untuk mendukung berkembangnya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG GARAM KONSUMSI BERYODIUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG GARAM KONSUMSI BERYODIUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG GARAM KONSUMSI BERYODIUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatan kesehatan dan kecerdasan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tapioka Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung tapioka mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri.

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia. hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia. hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878. V. GAMBARAN UMUM 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia Luas lahan robusta sampai tahun 2006 (data sementara) sekitar 1.161.739 hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.874

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Minyak nabati merupakan salah satu komoditas penting dalam perdagangan minyak pangan dunia. Tahun 2008 minyak nabati menguasai pangsa 84.8% dari konsumsi minyak pangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang mempunyai iklim tropis, berpeluang besar bagi pengembangan budidaya tanaman buah-buahan, terutama buah-buahan tropika.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang subur dan memiliki kekayaan alam yang melimpah. Hal ini dikarenakan Indonesia berada di wilayah tropis. Sehingga berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beras/padi. Komoditas yang memiliki nama lain Zea mays merupakan sumber

BAB I PENDAHULUAN. beras/padi. Komoditas yang memiliki nama lain Zea mays merupakan sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung adalah salah satu komoditas yang penting di Indonesia setelah beras/padi. Komoditas yang memiliki nama lain Zea mays merupakan sumber pangan penduduk yang tersebar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah) 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Selain Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur menempati posisi tertinggi

Lebih terperinci

Pe n g e m b a n g a n

Pe n g e m b a n g a n Potensi Ekonomi Kakao sebagai Sumber Pendapatan Petani Lya Aklimawati 1) 1) Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman 9 Jember 68118 Petani kakao akan tersenyum ketika harga biji kakao

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertanian merupakan kegiatan pengelolaan sumber daya untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku untuk industri, obat ataupun menghasilkan sumber energi. Pertanian merupakan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA KELOMPOK I KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA TOPIK : PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI AGRO DAN KIMIA MELALUI PENDEKATAN KLASTER KELOMPOK INDUSTRI HASIL HUTAN DAN PERKEBUNAN, KIMIA HULU DAN

Lebih terperinci

Perkembangan Ekspor Impor Provinsi Jawa Timur

Perkembangan Ekspor Impor Provinsi Jawa Timur BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TIMUR Perkembangan Ekspor Impor Provinsi Jawa Timur A. Perkembangan Ekspor Ekspor Jawa Timur Sebesar USD 1,73 Miliar, Turun 11,39 persen Nilai Ekspor Jawa Timur mencapai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumput laut merupakan salah satu komoditas yang paling potensial dikembangkan di Indonesia dan juga merupakan salah satu produk unggulan pemerintah dalam mencapai visi pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi masyarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat (Sugiarti, 2003).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris yang subur tanahnya dan berada di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris yang subur tanahnya dan berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris yang subur tanahnya dan berada di daerah tropis karena dilalui garis khatulistiwa. Tanah yang subur dan beriklim tropis

Lebih terperinci

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG GARAM KONSUMSI BERYODIUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS,

BUPATI KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG GARAM KONSUMSI BERYODIUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, BUPATI KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG GARAM KONSUMSI BERYODIUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kesehatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor strategis dalam pembangunan perekonomian nasional seperti dalam hal penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perdagangan antar negara akan menciptakan pasar yang lebih kompetitif dan mendorong pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi. Kondisi sumber daya alam Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketersediaan bahan pangan adalah ketersediaan bahan pangan secara fisik di suatu wilayah dari segala sumber, baik itu produksi domestik, perdagangan dan bantuan. Ketersediaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha perkebunan merupakan usaha yang berperan penting bagi perekonomian nasional, antara lain sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi petani, sumber

Lebih terperinci

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL.

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL. ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL Peneliti: Fuat Albayumi, SIP., M.A NIDN 0024047405 UNIVERSITAS JEMBER DESEMBER 2015

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan kebutuhan yang paling utama bagi makhluk hidup. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan kebutuhan yang paling utama bagi makhluk hidup. Manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan kebutuhan yang paling utama bagi makhluk hidup. Manusia dan makhluk hidup lainnya sangat bergantung dengan air demi mempertahankan hidupnya. Air yang

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA APRIL 2015

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA APRIL 2015 BADAN PUSAT STATISTIK No. 48/05/Th. XVIII, 15 Mei PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA APRIL A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR APRIL MENCAPAI US$13,08 MILIAR Nilai ekspor Indonesia April mencapai US$13,08

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR : 2 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR : 2 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR : 2 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN PEREDARAN GARAM NON YODIUM DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia 58 V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH 5.1. Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia Bawang merah sebagai sayuran dataran rendah telah banyak diusahakan hampir di sebagian besar wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

Volume 5, No. 2, Oktober 2012 ISSN:

Volume 5, No. 2, Oktober 2012 ISSN: EFEKTIFITAS ADITIF NONKIMIA DALAM MEMPERCEPAT PROSES KRISTALISASI DAN MENINGKATKAN KUALITAS PRODUKSI GARAM RAKYAT DI MADURA Haryo Triajie 1, Insafitri 1 1 Program Studi Ilmu Kelautan, Universitas Trunojoyo

Lebih terperinci

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015 Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional Kementerian Perindustrian 2015 I. LATAR BELAKANG 2 INDUSTRI AGRO Industri Agro dikelompokkan dalam 4 kelompok, yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.504 pulau dengan 13.466 pulau bernama, dari total pulau bernama, 1.667 pulau diantaranya berpenduduk dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia sangat tinggi. Menurut Amang

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia sangat tinggi. Menurut Amang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang jumlah penduduknya 255 juta pada tahun 2015, dengan demikian Indonesia sebagai salah satu pengkonsumsi beras yang cukup banyak dengan

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENGOLAH GARAM RAKYAT SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR INDONESIA

TEKNOLOGI PENGOLAH GARAM RAKYAT SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR INDONESIA TEKNOLOGI PENGOLAH GARAM RAKYAT SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR INDONESIA Bagiyo Suwasono 1, Ali munazid 1 dan Sapto J. Poerwowidagdo 2 1 Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan, Jalan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia. Selain

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia. Selain 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia memiliki wilayah laut sangat luas 5,8 juta km 2 yang merupakan tiga per empat dari keseluruhan wilayah Indonesia. Di dalam wilayah laut tersebut terdapat

Lebih terperinci

Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Industri Pengolahan Tahun 2016

Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Industri Pengolahan Tahun 2016 Ringkasan Eksekutif Perkembangan Ekspor dan Impor Industri Pengolahan Bulan Oktober 2016 A. Pertumbuhan Ekspor Impor Industri Pengolahan 12.000 10.000 8.000 6.000 4.000 2.000 0 Perkembangan Nilai Ekspor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas laut mencapai 5,8 juta km 2 dan panjang garis pantai mencapai 95.181 km, serta jumlah pulau sebanyak 17.504 pulau (KKP 2009).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlebih, yang bisa mendatangkan suatu devisa maka barang dan jasa akan di ekspor

BAB I PENDAHULUAN. berlebih, yang bisa mendatangkan suatu devisa maka barang dan jasa akan di ekspor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semakin berkembangnya perdagangan bebas ini, persaingan bisnis global membuat masing-masing negera terdorong untuk melaksanakan perdagangan internasional. Perdagangan

Lebih terperinci

Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai

Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai Sebagai salah satu tanaman penghasil protein nabati, kebutuhan kedelai di tingkat lokal maupun nasional masih cenderung sangat tinggi. Bahkan sekarang ini kedelai

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia Komoditi perkebunan Indonesia rata-rata masuk kedalam lima besar sebagai produsen dengan produksi tertinggi di dunia menurut Food and agriculture organization (FAO)

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan Indonesia sebagai komoditas khusus (special product) dalam forum perundingan Organisasi Perdagangan

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai merupakan komoditas strategis di Indonesia karena kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia setelah beras dan jagung. Komoditas ini mendapatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan minyak bumi dan gas alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris yang beriklim tropis dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat cerah. Hortikultura

Lebih terperinci

APLIKASI KINCIR ANGIN SAVONIUS UNTUK PENGAIRAN TAMBAK GARAM

APLIKASI KINCIR ANGIN SAVONIUS UNTUK PENGAIRAN TAMBAK GARAM APLIKASI KINCIR ANGIN SAVONIUS UNTUK PENGAIRAN TAMBAK GARAM Zilman Syarif1, Duma Pabiban2 Abstrak : Sentra produksi garam di Provinsi NTT adalah di Kabupaten Kupang, Nagekeo dan Ende. Tahun 2011 melalui

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. potensial. Berdasarkan hasil analisis ekonomi, komoditas ini memiliki nilai

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. potensial. Berdasarkan hasil analisis ekonomi, komoditas ini memiliki nilai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wijen (Sesamum indicum L.) merupakan komoditas perkebunan rakyat yang potensial. Berdasarkan hasil analisis ekonomi, komoditas ini memiliki nilai ekonomi tinggi dan multi

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. Katalog BPS :

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. Katalog BPS : BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Katalog BPS : 9302008.53 KINERJA PEREKONOMIAN NUSA TENGGARA TIMUR 2013 KINERJA PEREKONOMIAN NUSA TENGGARA TIMUR 2013 Anggota Tim Penyusun : Pengarah :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 41,91 (42,43) 42,01 (41,60) 1,07 (1,06) 12,49 (12,37) 0,21 (0,21) 5,07 (5,02) 20,93 (20,73) 6,10 (6,04) 0,15 (0,15) (5,84) 1,33 (1,35)

I. PENDAHULUAN 41,91 (42,43) 42,01 (41,60) 1,07 (1,06) 12,49 (12,37) 0,21 (0,21) 5,07 (5,02) 20,93 (20,73) 6,10 (6,04) 0,15 (0,15) (5,84) 1,33 (1,35) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu bidang produksi dan lapangan usaha yang paling tua di dunia yang pernah dan sedang dilakukan oleh masyarakat. Sektor pertanian adalah sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, menganut sistem perekonomian terbuka, di mana lalu

Lebih terperinci

Kinerja Ekspor Non-migas Awal 2011: Memberikan Sinyal Positif yang Berlanjut untuk Mencapai Target 2011

Kinerja Ekspor Non-migas Awal 2011: Memberikan Sinyal Positif yang Berlanjut untuk Mencapai Target 2011 SIARAN PERS Pusat HUMAS Kementerian Perdagangan Gd. I Lt. 2, Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta 10110 Telp: 021-3860371/Fax: 021-3508711 www.kemendag.go.id Kinerja Ekspor Non-migas Awal 2011: Memberikan

Lebih terperinci

REKOMENDASI KEBIJAKAN PANEL KELAUTAN DAN PERIKANAN NASIONAL (PANELKANAS)

REKOMENDASI KEBIJAKAN PANEL KELAUTAN DAN PERIKANAN NASIONAL (PANELKANAS) REKOMENDASI KEBIJAKAN PANEL KELAUTAN DAN PERIKANAN NASIONAL (PANELKANAS) BALAI BESAR PENELITIAN BADAN LITBANG KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2014 RINGKASAN PENGENDALIAN HARGA

Lebih terperinci

Analisis Perkembangan Industri

Analisis Perkembangan Industri JUNI 2017 Analisis Perkembangan Industri Pusat Data dan Informasi Juni 2017 Pendahuluan Membaiknya perekonomian dunia secara keseluruhan merupakan penyebab utama membaiknya kinerja ekspor Indonesia pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang digilib.uns.ac.id 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura adalah segala hal yang berkaitan dengan buah, sayuran, bahan obat nabati, dan florikultura termasuk di dalamnya jamur, lumut, dan tanaman

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. KATALOG BPS :

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. KATALOG BPS : BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. KATALOG BPS : Katalog BPS : 9302008.53 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR KINERJA PEREKONOMIAN NUSA TENGGARA TIMUR 2013 KINERJA PEREKONOMIAN

Lebih terperinci