BAB 1 Tinjauan Pustaka
|
|
- Djaja Widjaja
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB 1 Tinjauan Pustaka 2.1. Materialisme Definisi Belk (1985) mendefinisikan materialisme sebagai bagian dari ciri kepribadian yang dimiliki setiap orang. Di kemudian hari, Richins dan Dawson memperluas konsep Belk dan mendefinisikan materialisme sebagai nilai individu yang menganut pentingnya kepemilikan benda, kompetisi, dan pendapatan keuntungan sebagai kesejahteraan manusia (Beutel & Marini, 1995; Richins & Dawson, 1992). Sifat dan perilaku yang condong pada nilai materialisme disebut dengan materialistik Dimensi Richins dan Dawson (1992) menyatakan bahwa materialisme mencakup 3 dimensi yaitu sebagai berikut: (1) acquisition centrality, yaitu nilai yang menganggap bahwa penting untuk memiliki materi guna mencapai tujuan hidup, (2) happiness, yaitu kepemilikan sebagai keharusan untuk mencapai kepuasan dan kesejahteraan dalam hidup, (3) success, yaitu kepercayaan bahwa kesuksesan seseorang dinilai dari materi-materi yang mereka miliki Faktor Penyebab Ada beberapa faktor yang menyebabkan materialisme (Kasser, Ryan, Couchman, & Sheldon, 2004). Yang pertama, insecurity adalah kecenderungan individu untuk mengatasi rasa cemas dan ragu tentang perasaan berharga, mengatasi tantangan secara efektif, dan perasaan aman terhadap dunia yang sulit diprediksi; dengan cara memiliki materi-materi dalam rangka mengatasi perasaan tidak aman (insecurity) tersebut. Nilai materialisme individu juga dapat timbul karena keterpaparan terhadap model dan nilai materialisme, dalam bentuk pesan-pesan implisit dan eksplisit yang menampilkan pentingnya uang dan kepemilikan. Gaya hidup yang materialistik pada anggota keluarga dan teman sebaya, juga yang ditampilkan oleh media, menimbulkan materialisme pada individu.
2 Terakhir, pengiklanan dan penyebaran kapitalisme juga dapat menyebabkan materialisme. Iklan-iklan yang terpengaruh oleh kapitalisme memperlihatkan model-model yang dapat menimbulkan perasaan inferioritas. Oleh karena itu, individu yang terpengaruh akan berusaha mengurangi rasa inferioritas itu dengan cara memiliki uang atau materi-materi lainnya yang ditampilkan oleh iklan tersebut Dampak yang ditimbulkan Kasser dkk., (2004) mencatat bahwa orientasi individu materialistik yang mengarah kepada kepemilikan, uang, citra diri, dan status dilaporkan memiliki kesejahteraan subjektif yang lebih rendah. Mereka juga memaparkan bahwa remaja yang materialistik memiliki aktualisasi diri dan vitalitas yang lebih rendah, demikian juga dengan kecenderungan lebih banyak untuk mengalami depresi dan kecemasan. Ada tiga hal yang menjadi dampak dari materialisme menurut Kasser dkk., (2004), yaitu competence, relatedness, dan autonomy. Individu yang materialistik mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan akan perasaan kompeten. Materialisme dihubungkan dengan rendahnya self-esteem dan narsisistik. Orang yang materialistik juga sering membandingkan dirinya dengan orang lain sehingga dapat menimbulkan perasaan buruk terhadap diri sendiri. Pada akhirnya, individu akan menjadi semakin materialistik, padahal riset menyatakan bahwa tujuan-tujuan yang bersifat materialistik berefek kecil dalam meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraan. Hubungan interpersonal antara individu-individu yang materialistik relatif singkat dan ditandai dengan reaksi emosi yang ekstrim dan konflik, bukan dengan kepercayaan dan kebahagiaan. Terakhir, autonomy adalah perasaan bahwa individu memiliki pilihan, kepemilikan, dan keterlibatan yang mendalam terhadap aktivitas individu tersebut Kesulitan dalam Regulasi Emosi Definisi Regulasi emosi (Gratz & Roemer, 2004) adalah kemampuan untuk mengatur emosi yang dialami agar individu dapat mengontrol perilaku yang timbul yang impulsif, tidak pantas, dan tidak sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, individu yang mengalami kesulitan dalam regulasi emosi kurang mampu mengatur emosi yang sedang dialaminya.
3 Dimensi Menurut Gratz dan Roemer (2004), ada empat dimensi yang merefleksikan regulasi emosi, yaitu: Kesadaran dan pemahaman terhadap emosi, melibatkan pengawasan dan evaluasi pengalaman emosi sebagai cara untuk memodifikasi emosi dan perilaku. Dimensi ini diturunkan menjadi awareness dan clarity sebagai faktor yang mempengaruhi regulasi emosi. Penerimaan emosi. Individu perlu menerima emosi yang dialami daripada mengontrol respon emosi yang timbul. Dimensi ini diturunkan menjadi nonacceptance sebagai faktor yang mempengaruhi regulasi emosi. Kemampuan untuk terlibat dalam perilaku yang berorientasi pada tujuan dan untuk menahan diri dari perilaku impulsif saat mengalami emosi negatif. Dimensi ini diturunkan menjadi goal sebagai faktor yang mempengaruhi regulasi emosi. Akses ke strategi regulasi emosi yang efektif. Kemampuan ini dibutuhkan agar individu dapat mengatur respon emosi yang sesuai dengan tujuan dan tuntutan situasi. Dimensi ini diturunkan menjadi strategy sebagai faktor yang mempengaruhi regulasi emosi. Dari dimensi yang dijelaskan pada sebelumnya, Gratz dan Roemer (2004) menurunkan 6 faktor regulasi emosi yang menjadi dimensi pada alat ukur Difficulties in Emotional Regulation Scale (DERS), yaitu sebagai berikut: Nonacceptance of Emotional Responses (nonacceptance), adalah kecenderungan untuk memiliki emosi negatif tambahan sebagai respon atas emosi negatif diri, atau reaksi penolakan atas distress diri sendiri. Difficulties Engaging in Goal-Directed Behavior (goals), adalah kesulitan dalam berkonsentrasi dan menyelesaikan tugas saat mengalami emosi negatif. Impulse Control Difficulties (impulse), adalah kesulitan dalam mengontrol perilaku diri sendiri saat mengalami emosi negatif. Lack of Emotional Awareness (awareness), adalah kurangnya kecenderungan untuk menyadari dan mengakui emosi.
4 Limited Access to Emotional Regulation Strategies (strategies), adalah kepercayaan bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan individu untuk mengelola emosi saat sedang kesal. Lack of Emotional Clarity (clarity), adalah kurangnya tingkat kejelasan dan pengetahuan individu terhadap emosi yang sedang dialami Dampak kesulitan dalam regulasi emosi Individu yang mengalami kesulitan dalam regulasi emosi rentan mengalami gangguan-gangguan psikopatologis seperti gangguan suasana hati, gangguan kecemasan, borderline personality disorder, depresi, substance use disorder, eating disorders, dan somatoform disorders (Berking & Wupperman, 2012; Gross, 2008). Selain itu, kesulitan dalam regulasi emosi juga mempengaruhi individu dalam populasi normal, yaitu produktivitas kerja, hubungan interpersonal, dan perasaan nyaman terhadap diri sendiri (Gross & Munoz, 1995). Kemampuan untuk mengembangkan, mempertahankan, dan mengekspresikan emosi positif, serta kemampuan untuk menangani emosi negatif adalah hal yang penting dalam berbagai pekerjaan. Hubungan yang sukses seringkali ditandai dengan pola interaksi yang stabil sehingga suatu hubungan menjadi memuaskan dan bertahan lama (American Psychiatric Association, 1994, dalam Gross & Munoz, 1995). Terakhir, individu yang merasa nyaman terhadap dirinya sendiri saat sendirian akan mengurangi kecenderungan akan hubungan yang merusak atau praktik pengelolaan emosi yang tidak sehat (seperti penggunaan zat-zat terlarang) Masalah Kesehatan Mental Definisi WHO (2013) mendefinisikan kesehatan mental sebagai keadaan sejahtera dimana individu mampu menyadari potensinya sendiri, mampu mengatasi tekanan kehidupan yang normal, mampu bekerja secara produktif, dan mampu untuk berkontribusi bagi masyarakat. Oleh karena itu, individu yang mengalami masalah kesehatan mental, kurang menyadari potensinya sendiri, kurang mampu mengatasi tekanan kehidupan yang normal, kurang mampu bekerja secara produktif, dan kurang mampu untuk berkontribusi bagi masyarakat. Bagi Veit dan Ware (1983), konsep kesehatan mental lebih luas daripada
5 disabilitas dan gangguan. Kesehatan mental (Ware, Snow, Kosinki, & Gandek, 1993, dalam Marques, Pais-Ribeiro, & Lopez, 2011) diindikasikan oleh dua konstruk utama, yaitu indikator psychological distress (seperti rendahnya gejala anxiety, depresi, dan lain-lain) dan kehadiran indikator psychological well-being (seperti tingginya perasaan semangat, minat, dan kesenangan dalam hidup) Dimensi Veit dan Ware (1983) menyatakan bahwa kesehatan mental terdiri atas dua dimensi, yakni Psychological Distress dan Psychological Well-Being. Di dalam masing-masing dimensi terdapat subdimensi-subdimensi sebagai berikut: Psychological Distress a) Anxiety, yaitu kecemasan berlebihan pada aspek-aspek kehidupan. b) Depression, yaitu perasaan tertekan yang sering muncul. c) Loss of behavioral/emotional control, yaitu kontrol terhadap perilaku, pemikiran, dan perasaan. Psychological Well-Being a) General positive affect, yaitu sikap positif secara umum terhadap dunia Faktor penyebab masalah kesehatan mental Penyebab masalah kesehatan mental berasal dari berbagai faktor. WHO (2012) menyebutkan bahwa kesehatan mental seseorang tidak hanya ditentukan berdasarkan atribut individu, namun juga keadaan sosioekonomi tempat individu berinteraksi dengan orang lain, dan lingkungan yang lebih luas tempat individu hidup. Pertama, atribut dan perilaku individu berkaitan dengan hal-hal dalam individu seperti kemampuan untuk menghadapi pemikiran dan perasaan serta menangani tekanan. Contohnya adalah self-esteem, kematangan kognitif dan emosional, kesulitan dalam berkomunikasi, penyakit medis, dan penggunaan obat-obatan. Kedua, keadaan sosial dan ekonomis menyatakan bahwa kapasitas individu untuk membangun dan mengembangkan sangat dipengaruhi oleh keberadaan sosial, seperti keluarga, teman, lingkungan sekolah, dan lingkungan kerja. Contohnya adalah rasa
6 kesepian, konflik keluarga, pemaparan terhadap kekerasan/pelecehan, pendapatan yang rendah, kemiskinan, kegagalan sekolah/kerja, dan tekanan dari tempat kerja. Ketiga, faktor lingkungan meliputi lingkungan sosiokultural dan geopolitik yang lebih luas yang juga dapat mempengaruhi status kesehatan mental individu, rumah tangga, atau komunitas. Contohnya adalah akses yang buruk ke pelayanan dasar, ketidakadilan, diskriminasi, ketidaksetaraan sosial/gender, serta pemaparan terhadap peperangan atau bencana alam Dampak yang Ditimbulkan Individu yang mengalami masalah kesehatan mental rentan untuk mengalami disabilitas secara ekonomi, personal distress, disfungsi, dan juga kematian (Kring dkk., 2013; Smetanin, Stiff, Briante, Adair, Ahmad, & Khan, 2011).
7 2.4. Kerangka Berpikir 1.1 Bagan Keterkaitan Antar Variabel Penelitian yang dilakukan melibatkan variabel materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi sebagai variabel prediktor, serta masalah kesehatan mental sebagai variabel kriteria. Pada subbab ini, akan dijelaskan peran materialisme terhadap masalah kesehatan mental, dan peran kesulitan dalam regulasi emosi terhadap masalah kesehatan mental, serta peran kedua variabel secara simultan terhadap masalah kesehatan mental. Menurut WHO, masalah kesehatan mental individu dipengaruhi oleh tiga tingkatan faktor, yaitu faktor yang berasal dari dalam individu, faktor yang berasal dari keadaan sosial tempat tinggal individu, dan faktor lingkungan yang berasal dari lingkup yang lebih luas seperti negara. Materialisme adalah nilai yang ada di dalam individu, yang dipengaruhi oleh keadaan sosial dan faktor lingkungan (dalam konteks penelitian ini adalah kehidupan urban) sehingga dapat mempengaruhi masalah kesehatan mental individu yang tinggal di Jakarta. Regulasi emosi sendiri merupakan faktor yang penting dan berasal dari dalam individu sehingga individu yang tidak mampu meregulasi
8 emosinya dapat mengalami masalah kesehatan mental sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk mengatasi tekanan dan perbedaan (WHO, 2012) Peneliti mengajukan materialisme sebagai prediktor yang berperan terhadap masalah kesehatan mental karena materialisme adalah nilai sehingga mencakup salah satu faktor individu yang mempengaruhi masalah kesehatan mental (WHO, 2012). Salah satu dimensi dari Materialisme adalah Happiness, yaitu kepuasan dan kesejahteraan hidup yang akan dicapai dengan memiliki uang dan materi (Richins & Dawson, 1992). Kepuasan yang dimaksudkan di sini secara definisi sejajar dengan dimensi Psychological Well-Being pada Kesehatan Mental yang mengukur kesejahteraan psikologis pada individu (Davies dkk., 1998). Individu yang materialistik menekankan kepemilikan uang dan materi sebagai syarat untuk bahagia. Oleh karena itu, saat individu yang materialistik tidak memiliki uang dan/atau benda materi, individu tidak akan merasa bahagia. Individu juga tidak pernah merasa cukup karena selalu membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain sehingga menjadi tidak bahagia (Kasser dkk., 2004). Sebagai tambahan, Kasser dkk. (2004) menyatakan bahwa individu yang materialistik memiliki self-esteem yang rendah sehingga perasaan kompeten individu cenderung kurang. Self-esteem yang rendah ini akan menimbulkan perasaan buruk terhadap diri sendiri dan mengakibatkan masalah kesehatan mental. Acquisition Centrality dan Success adalah dua dimensi yang ada pada materialisme selain happiness. Kedua dimensi (Richins & Dawson, 1992) ini menitikberatkan pentingnya benda-benda materi sebagai sesuatu yang harus dimiliki agar individu dapat mencapai tujuan hidup (acquisition centrality) dan menunjukkan betapa suksesnya individu (success). Padahal, WHO (2013) menyebutkan bahwa individu yang sehat secara mental adalah individu yang menyadari potensinya. Uang dan benda-benda materi seharusnya diperlakukan sebagai salah satu alat yang membantu individu dalam mengembangkan potensinya, bukanlah sebagai satu-satunya alat yang dapat mencapai tujuan, atau bahkan tolok ukur dari kesuksesan itu sendiri. Nilai yang menyimpang terhadap benda-benda materi ini akan menimbulkan anxiety pada individu karena individu akan terus membandingkan dirinya dengan orang lain dalam hal materi. Beberapa penelitian yang menghubungkan kesehatan mental dan materialisme telah dijalankan. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa nilai materialisme yang tinggi
9 berkaitan dengan tingkat kesejahteraan yang rendah karena adanya kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan psikologi yaitu autonomy, competence, dan relatedness, bilamana tiga hal tersebut menjadi dampak dari materialisme (Unanue dkk., 2014). Penelitian yang diadakan oleh Zukauskas dan Zukauskiene (2013) menunjukkan bahwa kesejahteraan subjektif berkorelasi dengan pendapatan, bahwa semakin tinggi pendapatan, semakin rendah kesejahteraan individu yang turut berpengaruh pada kesehatan mental individu tersebut. Berbagai penelitian lain yang mengaitkan materialisme dengan masalah kesehatan mental menemukan bahwa individu yang materialistik memiliki subjective well-being yang lebih rendah (Bauer dkk., 2012; Karabati & Cemalcilar, 2010; Kasser, 2003; Siang & Talib, 2012). Adapun, kesejahteraan adalah salah satu aspek yang membentuk kesehatan mental. Berkaitan dengan distress, aspek lain dalam kesehatan mental, Smith (2010) mengaitkan antara materialisme dengan kesejahteraan dan gejala depresi. Melalui disertasi Smith (2010) yang dijalankan selama 12 tahun, dilaporkan bahwa individu dengan nilai materialisme yang tinggi juga menunjukkan gejala depresi yang juga tinggi. Variabel prediktor kedua yang diasumsikan turut berperan dalam kesehatan mental adalah kesulitan dalam regulasi emosi. Seperti halnya materialisme, variabel ini termasuk dalam faktor dari dalam individu yang turut berpengaruh dalam masalah kesehatan mental individu. Dalam masalah kesehatan mental, ada subdimensi loss of behavioral/emotional control yaitu perasaan sulit untuk mengontrol perilaku dan emosi. Subdimensi ini berkaitan langsung dengan kesulitan dalam regulasi emosi karena individu yang tidak mampu mengelola emosinya cenderung tidak dapat mengontrol perilaku yang timbul sehingga perilaku individu menjadi impulsif (impulse). Individu yang mengalami kesulitan dalam regulasi emosi akan mengalami hambatan dalam mengontrol emosi dan perilaku. Selanjutnya kurangnya kontrol tersebut akan menimbulkan kesulitan bagi individu karena emosi dan perilaku yang timbul tidak sesuai dengan tujuan individu tersebut dan tuntutan situasi (goal). Kurangnya kesadaran (awareness) dan penerimaan terhadap emosi diri sendiri (nonacceptance) juga akan menimbulkan distress karena individu yang menolak emosinya cenderung menyalahkan diri sendiri. Hal ini, ditambah dengan kurangnya strategi individu untuk meregulasi emosi (strategy), akan membuat individu tersebut tidak mampu mengatasi distress. Padahal,
10 salah satu syarat kesehatan mental adalah individu mampu mengatasi distress yang dialami. Dengan kata lain, kesulitan dalam regulasi emosi adalah variabel yang lebih luas dari subdimensi loss of behavioral/emotional control karena dalam kesulitan meregulasi emosi, terdapat juga goal, awareness, nonacceptance, dan strategy seperti yang dijabarkan diatas. Hal ini didukung dengan penelitian Berking dan Wupperman (2012) bahwa kurangnya kemampuan untuk mengatasi emosi berkorelasi dengan masalah kesehatan mental seperti depresi, borderline personality disorder, substance-use disorders, eating disorders, somatoform disorders, and gejala-gejala psikopatologi lainnya. Gross dan Munoz (1995) juga menyatakan bahwa regulasi emosi penting bagi setiap individu untuk dapat bekerja secara efektif, membangun hubungan yang memuaskan dan berjangka panjang, dan terbebas dari praktik regulasi emosi yang tidak sehat (seperti substance abuse dan tindakan merusak diri lainnya) Hipotesis 1. Ho = Materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi tidak berperan secara signifikan terhadap masalah kesehatan mental. H1 = Materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi berperan secara signifikan terhadap masalah kesehatan mental. 2. Ho = Materialisme tidak berperan secara signifikan terhadap masalah kesehatan mental. H1 = Materialisme berperan secara signifikan terhadap masalah kesehatan mental. 3. Ho = Kesulitan dalam regulasi emosi tidak berperan secara signifikan terhadap masalah kesehatan mental. H1 = Kesulitan dalam regulasi emosi berperan secara signifikan terhadap masalah kesehatan mental.
BAB 1 Simpulan, Diskusi, dan Saran
BAB 1 Simpulan, Diskusi, dan Saran Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian ini, diskusi dan limitasi dari kesimpulan penelitian, serta saran bagi penelitian mendatang maupun saran praktis bagi
Lebih terperinciPERAN MATERIALISME DAN KESULITAN DALAM REGULASI EMOSI TERHADAP MASALAH KESEHATAN MENTAL PENDUDUK JAKARTA
PERAN MATERIALISME DAN KESULITAN DALAM REGULASI EMOSI TERHADAP MASALAH KESEHATAN MENTAL PENDUDUK JAKARTA Sharron Rani Agias Fitri Bina Nusantara, sharron.ellen93@gmail.com ABSTRAK Masalah kesehatan mental
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan berisikan teori-teori mengenai variabel-variabel, teori subjek penelitian yang akan diteliti dan juga kerangka berpikir. Teori variabel akan terdiri dari teori
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Materialisme 2.1.1. Pengertian Materialisme Menurut (Richins& Dawson, 1992) yang dimaksud dengan materialisme ialah sekumpulan keyakinan tentang pentingnya kepemilikan di dalam
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mental Emosional 2.1.1 Definisi Mental Emosional Mental adalah pikiran dan jiwa, sedangkan emosi adalah suatu ekspresi perasaan, atau dapat juga diartikan sebagai sebuah afek
Lebih terperinciBAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Bab ini akan membahas mengenai kesimpulan untuk menjawab pertanyaan penelitian, diskusi mengenai hasil penelitian dan saran yang dapat
Lebih terperinciPerkembangan Sepanjang Hayat
Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
13 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pendahuluan Sebagai sumber referensi empirik, penelitian ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian tersebut dilakukan oleh Naomi dan Mayasari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penderita skizofrenia dapat ditemukan pada hampir seluruh bagian dunia. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock dan Sadock,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prostitusi merupakan fenomena yang tiada habisnya. Meskipun telah dilakukan upaya untuk memberantasnya dengan menutup lokalisasi, seperti yang terjadi di lokalisasi
Lebih terperinciProsiding Psikologi ISSN:
Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Studi Deskriptif Mengenai Regulasi Emosi pada Guru di SLB ABCD X Kota Bandung Descriptive Study of Emotion Regulation of Teachers in SLB ABCD X Kota Bandung 1 Aulia
Lebih terperinci5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri
Lebih terperinciKesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi
Modul ke: Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konsep Kebahagiaan atau Kesejahteraan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan memiliki rasa kesedihan. Kebahagiaan memiliki tujuan penting di dalam kehidupan manusia. Setiap individu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Setiap individu seringkali dihadapkan pada kesulitan-kesulitan dan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap individu seringkali dihadapkan pada kesulitan-kesulitan dan tantangan-tantangan dalam menjalani kehidupannya. Tantangan tersebut akan dihadapi pada setiap
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Weiten & Lloyd (2006) menyebutkan bahwa personal adjustment adalah
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Personal Adjustment 1. Definisi Personal Adjustment Weiten & Lloyd (2006) menyebutkan bahwa personal adjustment adalah sebuah proses psikologis yang dijalani seseorang yang mengakibatkan
Lebih terperinciPENGANTAR PSIKOLOGI KLINIS DITA RACHMAYANI, S.PSI., M.A
PENGANTAR PSIKOLOGI KLINIS DITA RACHMAYANI, S.PSI., M.A Demonologi Trephination Cairan Tubuh Tritmen Exorcism Ilmu Sihir Munculnya RSJ Sebelum Abad 17 Abad 17-awal 18 Lighter Witmer, lulus Doktoral Abnormalitas
Lebih terperinciBab 1. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang
Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Menurut BNN (Badan Narkotika Nasional) data mengenai individu yang menyalahgunakan narkoba di Indonesia pada tahun 2015 sebesar 5,1 juta orang. Setiap tahunnya data
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada abad ke-21 berupaya menerapkan pendidikan yang positif
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan pada abad ke-21 berupaya menerapkan pendidikan yang positif dengan menerapkan psikologi positif dalam pendidikan. Psikologi positif yang dikontribusikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya berdasarkan cara berpakaian, cara berjalan, cara duduk, cara bicara, dan tampilan
Lebih terperinciBAB II. Tinjauan Pustaka
BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai
BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai sektor kehidupan semakin pesat, sebagai dampak dari faktor kemajuan di bidang teknologi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 2014, remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut WHO, remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-19 tahun. Menurut Peraturan Mentri Kesehatan RI Nomor 25 tahun 2014, remaja adalah penduduk dalam rentang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gereja merupakan sebuah institusi yang dibentuk secara legal dan berada di bawah hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebelum revolusi industri, yang bertanggung jawab mencari uang untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarga adalah laki-laki, sedangkan seorang perempuan dewasa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hidupnya, menurut beberapa tokoh psikologi Subjective Well Being
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Subjective Well Being dari Russell (2008) adalah persepsi manusia tentang keberadaan atau pandangan subjektif mereka tentang pengalaman hidupnya, menurut beberapa
Lebih terperinciRATIONAL EMOTIVE BEHAVIOUR THERAPY (REBT) UNTUK MENINGKATKAN REGULASI EMOSI PADA REMAJA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TESIS NILA ANGGREINY
RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOUR THERAPY (REBT) UNTUK MENINGKATKAN REGULASI EMOSI PADA REMAJA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TESIS Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Magister Psikologi Profesi Oleh NILA ANGGREINY
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu pasti melewati segala peristiwa dalam kehidupan mereka. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh setiap individu dapat beragam, dapat berupa peristiwa yang menyenangkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepanjang rentang kehidupannya individu mempunyai serangkaian tugas perkembangan yang harus dijalani untuk tiap masanya. Tugas perkembangan tersebut terbentang
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Anak-anak seharusnya memiliki kecendrungan mengembangkan self esteem yang tinggi daripada orang dewasa, karena mereka kurang begitu perduli terhadap atribusi dirinya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Depresi merupakan salah satu masalah psikologis yang sering terjadi pada masa remaja dan onsetnya meningkat seiring dengan meningkatnya usia (Al- Qaisy, 2011). Depresi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Music Engagement untuk Meregulasi Emosi 1. Defenisi Music engagement untuk meregulasi emosi adalah keterlibatan individu dengan musik yang bertujuan untuk mengelola dan mengarahkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Dukungan Sosial 2.1.1 Definisi Persepsi dukungan sosial adalah cara individu menafsirkan ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan peristiwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. SD dan SMP, kemudian dilanjutkan ke jenjang SMA dan perguruan tinggi. Untuk
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dunia pendidikan merupakan tonggak penting pembangunan manusia. Melalui pendidikan, dapat dibentuk sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dalam pengetahuan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika seseorang tersebut merasa sehat dan bahagia, mampu menghadapi tantangan hidup serta dapat menerima
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Setiap individu memiliki harapan untuk bahagia dalam kehidupan perkawinannya. Karena tujuan perkawinan
Lebih terperinciBAB 3 METODE PENELITIAN
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Variabel Penelitian & Hipotesis 3.1.1. Variabel Penelitian & Definisi Operasional Dalam penelitian ini, variabel-variabel yang akan diuji adalah: 1. Variable (X): Materialisme
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological
15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan yang bahagia. Harapan akan kebahagiaan ini pun tidak terlepas bagi seorang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap individu baik laki-laki maupun perempuan pada dasarnya mendambakan kehidupan yang bahagia. Harapan akan kebahagiaan ini pun tidak terlepas bagi seorang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang menginginkan hidupnya sejahtera dan orang selalu berusaha untuk mendapatkan kesejahteraan tersebut tetapi pandangan seseorang mengenai hidup sejahtera
Lebih terperinciBAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Simpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan masing-masing dimensi pada psychological
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berkembang dan berkualitas agar mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan berkembangnya zaman, diharapkan sumber daya manusia semakin berkembang dan berkualitas agar mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan perkembangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan memasuki tahap epidemis dengan beberapa sub-populasi beresiko
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah HIV di Indonesia telah berkembang dari sejumlah kasus kecil HIV dan memasuki tahap epidemis dengan beberapa sub-populasi beresiko tinggi yang memiliki angka
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI A. Motivasi 1. Defenisi Motivasi Pintrich & Schunk (2002) mendefenisikan motivasi sebagai proses yang mengarahkan pada suatu tujuan, yang melibatkan adanya aktivitas dan berkelanjutan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar penyakit
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar penyakit yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh (WHO, 2015). Menurut National
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. sehat, serta mampu menangani tantangan hidup. Secara medis, kesehatan jiwa
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan jiwa adalah bagian dari kesehatan secara menyeluruh, bukan sekedar terbebas dari gangguan jiwa, tetapi pemenuhan kebutuhan perasaan bahagia, sehat, serta
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Normative Social Influence 2.1.1 Definisi Normative Social Influence Pada awalnya, Solomon Asch (1952, dalam Hogg & Vaughan, 2005) meyakini bahwa konformitas merefleksikan sebuah
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Penelitian kuantitatif menurut Sugiyono (2009) adalah metode berlandaskan pada filsafat positivism,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Masalah kesehatan jiwa tidak lagi hanya berupa gangguan jiwa yang berat
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kesehatan jiwa tidak lagi hanya berupa gangguan jiwa yang berat termasuk penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif lain (NAPZA), tetapi juga meliputi berbagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa mengalami masa peralihan dari remaja akhir ke masa dewasa awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih dituntut suatu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Individu dapat mencapai tujuan hidup apabila merasakan kebahagian, kesejahteraan, kepuasan, dan positif terhadap kehidupannya. Kebahagiaan yang dirasakan oleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penggunaan berbagai macam jenis obat dan zat adiktif atau yang biasa disebut
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan berbagai macam jenis obat dan zat adiktif atau yang biasa disebut narkoba dewasa ini cukup meningkat terutama di kalangan generasi muda. Morfin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja dapat dipandang sebagai suatu masa dimana individu dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai meninggalkan kebiasaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO masa remaja merupakan masa peralihan dari masa. anak-anak ke masa dewasa. Masa remaja adalah masa perkembangan yang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut WHO masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Masa remaja adalah masa perkembangan yang paling penting, karena pada masa ini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan sepanjang hidup, artinya secara fisik individu akan terus tumbuh namun akan berhenti
Lebih terperinciLAPORAN PENELITIAN PERILAKU BERHUTANG DENGAN PERASAAN SENANG PADA MAHASISWA
LAPORAN PENELITIAN PERILAKU BERHUTANG DENGAN PERASAAN SENANG PADA MAHASISWA Oleh : Mohamad Iksan NIS : 151095156 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN BUDAYA UNIVERSITAS GAJAYANA MALANG 2015
Lebih terperinciBab I Pendahuluan. di Indonesia ialah budaya korea. Budaya korea disebut juga Hallyu atau "Korean
Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah Pada zaman globalisasi saat ini, salah satu budaya yang masih berkembang di Indonesia ialah budaya korea. Budaya korea disebut juga Hallyu atau "Korean Wave" adalah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan lebih jauh mengenai teori-teori yang menjelaskan mengenai pengertian Kemampuan Memecahkan Masalah sosial dan rasa Humor, faktorfaktor yang mempengaruhi
Lebih terperinciBAB 2 Tinjauan Pustaka
BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Problematic Internet Use Problematic Internet use (PIU) didefinisikan sebagai cara penggunaan internet yang menyebabkan penggunanya memiliki gangguan atau masalah secara psikologis,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang pada umumnya ditandai dengan perubahan fisik, kognitif, dan psikososial, tetapi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia terutama para peneliti. Hal ini dikarenakan semuanya menginginkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses menjadi tua dalam kehidupan selalu menjadi pergumulan bagi manusia terutama para peneliti. Hal ini dikarenakan semuanya menginginkan adanya keabadiaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam berita akhir-akhir ini terlihat semakin maraknya penggunaan narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan berdampak buruk terhadap
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Konsumtif 2.1.1 Definisi Perilaku Konsumtif Menurut Fromm (1995) perilaku konsumtif merupakan perilaku yang ditandai oleh adanya kehidupan berlebihan dan menggunakan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. kecanduan internet merupakan ketergantungan psikologis pada internet, apapun
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kecanduan Internet Kandell (dalam Panayides dan Walker, 2012) menyatakan bahwa kecanduan internet merupakan ketergantungan psikologis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Salah satu cara mencerdaskan kehidupan bangsa adalah dengan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu cara mencerdaskan kehidupan bangsa adalah dengan dilaksanakannya pendidikan formal. Dilihat berdasarkan prosesnya pendidikan formal dilakukan secara
Lebih terperinciBAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang
BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang RI Nomor 34 tahun 2004, Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hanya membekali siswa dengan kemampuan akademik atau hard skill,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memiliki peran penting dalam kemajuan suatu bangsa, termasuk di Indonesia. Pendidikan kejuruan, atau yang sering disebut dengan Sekolah Menengah Kejuruan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan hidup manusia dialami dalam berbagai tahapan, yang dimulai dari masa kanak-kanak, remaja dan dewasa. Dalam setiap tahapan perkembangan terdapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja merupakan masa penting dalam kehidupan dimana remaja menjalani sejumlah transisi termasuk perubahan fisik dan emosional. Masa ini rentan dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN Bab I merupakan bab perkenalan, di dalamnya dipaparkan mengenai; latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Fakultas Psikologi merupakan salah satu fakultas unggulan di Universitas
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fakultas Psikologi merupakan salah satu fakultas unggulan di Universitas X. Hal ini terlihat dari jumlah pendaftar yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Lebih terperinciRISET TAHUN Hubungan antara subjective well-being dengan motif penggunaan kartu debit pada konsumen lanjut usia.
RISET TAHUN 2010 Judul Penelitian Hubungan antara subjective well-being dengan motif penggunaan kartu debit pada konsumen lanjut usia Topik Penelitian Perilaku Ekonomi Hubungan antara kebutuhan menurut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia. Manusia dapat menjalankan berbagai macam aktivitas hidup dengan baik bila memiliki kondisi kesehatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2014), terlebih bagi individu yang sudah bekerja dan hanya memiliki latar belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketatnya tingkat persaingan dalam dunia pekerjaan, menuntut individu untuk mengejar pendidikan hingga tingkat yang lebih tinggi (Utami & Kusdiyanti, 2014), terlebih
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan dalam masa transisi itu remaja menjajaki alternatif dan mencoba berbagai pilihan sebagai
Lebih terperinciABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa
ABSTRAK Halusinasi adalah gangguan jiwa pada individu yang dapat ditandai dengan perubahan persepsi sensori, dengan merasakan sensasi yang tidak nyata berupa suara, penglihatan, perabaan, pengecapan dan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Konsep Psychological Well Being Konsep psychological well being sendiri mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal. Sampai saat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan koloni terkecil di dalam masyarakat dan dari keluargalah akan tercipta pribadi-pribadi tertentu yang akan membaur dalam satu masyarakat. Lingkungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Layanan bimbingan pada dasarnya upaya peserta didik termasuk remaja untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi termasuk masalah penerimaan diri. Bimbingan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan pengambilan keputusan pembelian tanpa rencana atau impulsive buying.
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembelian kompulsif dewasa ini menjadi salah satu topik yang menarik bagi sejumlah peneliti dibidang konsumsi maupun bidang pemasaran karena dianggap sebagai akibat
Lebih terperinciPERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL
PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DEWASA DAN LANSIA PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL Oleh: Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si Yulia Ayriza, Ph.D STABILITAS DAN PERUBAHAN ANAK-DEWASA TEMPERAMEN Stabilitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti Asuhan adalah suatu lembaga usaha sosial yang mempunyai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Panti Asuhan adalah suatu lembaga usaha sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan sosial kepada anak terlantar dengan melaksanakan penyantunan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup individu, yaitu suatu masa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup individu, yaitu suatu masa dimana individu telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA RASA BERSYUKUR DAN SUBJECTIVE WELL BEING PADA PENDUDUK MISKIN DI DAERAH JAKARTA
HUBUNGAN ANTARA RASA BERSYUKUR DAN SUBJECTIVE WELL BEING PADA PENDUDUK MISKIN DI DAERAH JAKARTA Ayu Redhyta Permata Sari 18511127 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GUNADARMA 2015 Latar belakang masalah -Keterbatasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada tahun-tahun terakhir terjadi perubahan yang semakin pesat dalam berbagai sektor kehidupan. Perubahan tersebut terjadi sebagai dampak dari kemajuan di
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang selalu hidup berkelompok, bersamasama,
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang selalu hidup berkelompok, bersamasama, saling berhubungan atau berkomunikasi, dan saling mempengaruhi. Hidupnya selalu
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme berdasarkan eksplorasi terhadap sikap hidup orang-orang yang memandang diri mereka sebagai tidak materialistis.
Lebih terperinciMODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)
MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 03 MK61112 Aulia Kirana,
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA MASYARAKAT MISKIN DI BANTARAN SUNGAI BENGAWAN SOLO JEBRES SURAKARTA.
HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA MASYARAKAT MISKIN DI BANTARAN SUNGAI BENGAWAN SOLO JEBRES SURAKARTA Naskah Publikasi Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan terhadap golongan pelajar ini dapat menyebabkan pola tidur-bangun. berdampak negatif terhadap prestasi belajarnya.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mahasiswa kedokteran merupakan golongan dewasa muda yang unik, yang memiliki komitmen akademik dan gaya hidup yang dapat berimbas pada kebiasaan tidurnya dan mengakibatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang baik maka tidak tersedia modal untuk melangkah ke depan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kesehatan adalah komponen dalam hidup yang sangat penting, tanpa kesehatan yang baik maka tidak tersedia modal untuk melangkah ke depan ataupun untuk melakukan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Problematic Internet Use 2.1.1 Definisi Problematic Internet Use Awal penelitian empiris tentang penggunaan internet yang berlebihan ditemukan dalam literatur yang dilakukan
Lebih terperinci