TINJAUAN PUSTAKA Dinamika Pertumbuhan Kota
|
|
- Yulia Johan
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 TINJAUAN PUSTAKA Dinamika Pertumbuhan Kota Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat dua pengertian kota, yaitu kota sebagai satuan sebagai satuan administratif dan kota sebagai satuan fungsional. Sebagai satuan administratif, kota adalah unit pemerintah lokal yang otonomi yang disebut Kotamadya dan setara dengan status hukum pemerintahan kota. Secara fungsional, kota didefinisikan sebagai unit pemerintahan terkecil yang memiliki kesetaraan dengan status desa atau kota yang fungsional berdasarkan karakteristiknya, dimana status desa/kelurahan yang dimilikinya dapat berubah sewaktu-waktu seiring dengan bertambah padatnya penduduk, berkurangnya kegiatan pertanian atau meningkatnya fasilitas dan pelayanan kota. Kota mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Pertumbuhan kota yang cepat telah membuat suatu wilayah mengalami perubahan fisik, sosial dan ekonomi yang cepat pula. Konsekuensi yang selalu mengikuti pertumbuhan kota ini adalah pertambahan jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk selalu diikuti dengan pertambahan kebutuhan rumah/tempat tinggal dan dan sejumlah kegiatan-kegiatan baru untuk mendukung perikehidupan dan penghidupan. Pertambahan kebutuhan rumah dan seluruh aktifitas pendukung kehidupan, simultan dengan kebutuhan tanah/ruang. Di sisi lain, terdapat keterbatasan lahan di perkotaan untuk memenuhi kebutuhan perumahan. Yang terjadi adalah proses pemadatan (densifikasi) permukiman di dalam kota (Rindarjono 2010), dan penambahan ruang yang dilakukan di lahan-lahan terbuka hingga ke daerah pinggiran kota atau sering pula disebut sebagai urban fringe atau daerah periurban (Yunus 2008). Perkembangan (fisik) ruang merupakan wujud spasial dari pertambahan penduduk baik sebagai akibat proses urbanisasi maupun proses pertumbuhan penduduk alamiah, yang mendorong terjadinya peningkatan pemanfaatan ruang serta perubahan fungsi lahan. Menurut Yunus (1999) meningkatnya jumlah penduduk perkotaan serta meningkatnya tuntutan kebutuhan kehidupan dalam aspek-aspek politik ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi, telah meningkatkan
2 10 kegiatan penduduk perkotaan. Peningkatan itu berakibat pada meningkatnya kebutuhan ruang untuk mengakomodasi fungsi/kegiatan perkotaan yang besar. Pemadatan pada kawasan permukiman perkotaan terjadi karena adanya upaya pengisian ruang-ruang kosong antar permukiman yang telah ada sebelumnya. Proses ini banyak ditemukan di dalam kota, di kawasan permukiman lama, dengan kondisi yang tidak teratur, baik segi arsitekturalnya, ukurannya maupun tata letaknya (Yunus 2008). Pola pembangunan seperti ini yang menyebar dan dibiarkan tidak beraturan di ruang-ruang kosong/ruang sisa dalam kota, semakin membebani pengelolaan kota. Di dalam proses permukiman informal inilah berlangsung urbanisasi penduduk yang secara terus menerus terakumulasi dan memadat memenuhi ruang-ruang sisa di kota. Oleh karena itu, kota yang banyak menerima dampak permukiman kumuh ini adalah kota yang paling banyak memiliki ruang-ruang sisa/marjinal dan membiarkan pemanfaatannya secara tidak terencana (Siregar 2011). Dampak pemadatan ruang di dalam kota oleh bangunan permukiman adalah menurunnya kualitas permukiman. Akibatnya di daerah perkotaan akan timbul daerah-daerah permukiman yang kurang layak huni dan padat yang selanjutnya disebut kumuh (Rindarjono 2010). Proses yang terjadi adalah berlangsungnya urbanisasi penduduk yang terus menerus, terakumulasi dan memadat memenuhi permukiman informal ini di ruang-ruang sisa (marjinal) di kota. Oleh karena itu, kota yang menerima dampak permukiman kumuh adalah kota yang paling banyak memiliki ruang-ruang marjinal/sisa dan membiarkan pemanfaatannya secara tidak terencana. Penambahan ruang di lahan-lahan terbuka hingga ke daerah pinggiran kota mengakibatkan bertambah luasnya lahan (dengan fungsi perkotaan) terbangun (urban built-up land). Ini merupakan gejala perluasan kota hingga ke daerah pinggiran kota. Menurut Yunus (2008), gejala ini merupakan pola perkembangan urban sprawl yang terjadi di luar batas kota (masuk wilayah kabupaten). Gejala perembetan kota ini dapat terlihat dari kenampakan fisik kota ke arah luar yang ditunjukan oleh terbentuknya zona-zona yang meliputi daerah-daerah: pertama, area yang melingkari sub urban dan merupakan daerah peralihan antara desa kota yang disebut dengan sub urban fringe, kedua area batas luar kota yang
3 11 mempunyai sifat-sifat mirip kota, disebut dengan urban fringe, dan ketiga adalah area terletak antara daerah kota dan desa yang ditandai dengan penggunaan tanah campuran yang disebut sebagai Rural-Urban-Fringe. Bintarto (1983) menjelaskan bahwa, peristiwa perembetan kenampakan fisik kota ke arah luar sebagai bentuk pemekaran kota memiliki karakteristik dengan arah pemekaran yang beraneka ragam, dan kekuatan pengaruh yang berbeda. Ada karakteristik yang pengaruhnya kuat dan ada pula yang lemah. Pernyataan ini diperkuat oleh Antrop (2000) dalam Busck et al. (2006), bahwa daerah yang mengalami urbanisasi mulai dari pusat kota hingga ke perdesaan, memiliki karakteristik yang berbeda-beda, dan karakteristiknya dapat dibedakan dari proses dan pola yang terbentuk. Sedangkan menurut Tacoli (2003), bahwa sebagai proses urbanisasi yang dinamis, bentuk transformasi di daerah pinggiran kota (peri-urban) tidak bersifat homogen (pola tidak seragam). Ada wilayah yang perkembangannya didominasi oleh perkembangan permukiman penduduk berpenghasilan menengah atas, sementara di wilayah lain ada yang didominasi oleh kawasan industri yang padat, ada juga wilayah yang perkembangannya didominasi oleh perkembangan perumahan murah (perumahan bagi penduduk yang berpenghasilan rendah), atau ada pula kawasan yang dikembangkan menjadi daerah penghasil produk pertanian hortikultura (sayur mayur/buah-buahan). Urban Sprawl Sejak pertama kali digulirkan oleh Whyte (1958) dalam Rahman et al. (2008), pengertian dan pemahaman istilah urban sprawl makin berkembang. Saat ini urban sprawl dipahami sebagai pertumbuhan kawasan metropolitan, yang menyebar, ditandai dengan perkembangan berbagai jenis pemanfaatan lahan di perbatasan yang jauh dari perkotaan, diikuti dengan pemadatan pada ruang-ruang kota berpola pemanfaatan yang sama (Rahman et al. 2008). Ewing 1997 dalam Terzi dan Kaya (2008); Downs 1999 dalam Terzi dan Kaya (2008); Galster et al dalam Terzi dan Kaya (2008); Malpezzi dan Guo 2001 dalam Terzi dan Kaya (2008) mendefinisikan urban sprawl sebagai bentuk perkembangan perkotaan yang ditandai dengan karakteristik kepadatan yang rendah,
4 12 perkembangan berpola lompat katak, perkembangan kawasan komersial berpola memita dan merupakan perkembangan yang diskontinu. Pendapat lain dinyatakan oleh Sudhira dan Ramachandra (2007), bahwa urban sprawl merupakan perkembangan yang tidak tertata yang mengakibatkan berkurangnya lahan pertanian dan ruang terbuka serta menurunnya kualitas lingkungan baik di dalam maupun di sekeliling kota. Pendapat Sudhira dan Ramachandra (2007) ini menegaskan pernyataan Bosselman (1968) dalam Rahman (2008) bahwa urban sprawl telah menyebabkan terjadinya perkembangan yang tidak efesiensi serta buruknya kualitas lingkungan baik di dalam kota maupun di daerah perdesaan. Sementara itu Angel et al mendeskripsikan urban sprawl sebagai suatu: (a) perluasan wilayah kota hingga menjauhi pusat; (b) penurunan kepadatan di perkotaan secara konstan dan sekaligus menunjukkan peningkatan konsumsi lahan oleh penduduk perkotaan; (c) proses suburbanisasi yang terus berlanjut sementara itu tetap menunjukkan peningkatan proporsi penduduk yang menetap dan bekerja di pusat kota metropolitan; (d) menurunnya keteraturan daerah terbangun di perkotaan dan meningkatnya jumlah ruang terbuka dengan luas yang mengecil; dan (e) peningkatan kepadatan perkotaan hingga ke daerah ekspansi perluasan kota. Urban sprawl ditandai dengan perkembangan pemanfaatan lahan dan peningkatan areal lahan terbangun yang tidak terkendali, terutama pada daerah marjinal di beberapa wilayah metropolitan (Li 2009). Hal ini dipertegas oleh Rahman et al. (2008) bahwa daerah perkotaan yang mengalami sprawl merupakan daerah yang mengalami perkembangan tak menentu sehingga tidak dapat menunjukkan sifatnya sebagai kawasan perkotaan dan tidak tepat pula menunjukkan sifat-sifat sebagai perdesaan. Menurut Spencer (1979) dalam Warsono (2006) proses perkembangan kota ke arah pinggiran yang cenderung alamiah, daripada terencana, merupakan suatu gejala sub-urbanisasi prematur dan tidak terencana, sehingga menciptakan perluasan kota yang liar dan tidak teratur, serta tidak terkendali, dan dalam literatur pola perkembangan yang demikian disebut sebagai gejala urban sprawl. Ditinjau dari aspek fisik, sprawl merupakan proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke wilayah pinggiran yang menyebabkan transformasi
5 13 fisik spasial (Yunus 2008). Proses transformasi fisik spasial ini dapat terjadi lebih dahulu dari proses transformasi sosio kultural, dan dapat pula terjadi sesudah terjadinya transformasi sosio kultural kedesaan menjadi bersifat kekotaan. Pola perkembangan urban sprawl adalah pola perkembangan yang tidak efisien (Djunaedi 2002; Bosselman 1968 dalam Rahman et al. 2008; Bento et al dalam Cymerman et al. 2011). Urban sprawl menjelaskan suatu keadaan antara desakan kebutuhan rumah, nilai lokasi yang tinggi, dan lemahnya pengendalian kawasan dari pemerintah (Zulkaidi 2007). Urban sprawl yang terjadi di daerah pinggiran kota merupakan kawasan yang berkembang secara tidak terencana (Korcelli 2008; Heripoerwanto 2009) sehingga pemerintah daerah (kabupaten) tidak siap menghadapi sprawl (Djunaedi 2002). Akibat yang terjadi adalah infrastruktur yang dibangun tidak dapat mengimbangi pesat dan kompleksnya pembangunan yang berlangsung akibat penyediaan tambahan kapasitas prasarana dan fasilitas lingkungan perkotaan serta sejumlah infrastruktur, tidak dapat dilakukan. Situasi yang menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan sejumlah prasarana dan fasilitas perkotaan disebabkan karena pengurangan investasi pemerintah pusat, atau gagalnya pemerintah untuk menghasilkan pendapatan di tingkat daerah (Tacoli 2003). Oleh karena itu Li (2009) dalam penelitiannya di Cina, menyimpulkan bahwa fenomena urban sprawl yang menunjukkan pertumbuhan melompat dan menyebar, bila tidak dikendalikan akan memperlambat proses perubahan. Dengan demikian pertumbuhan yang efisien dapat dilakukan melalui pengelolaan pertumbuhan kota serta pengaturan sistem investasi infrastruktur yang dapat meningkatkan kesejahteraan (Ding et al dalam Cymerman et al. 2011). Urban sprawl terjadi akibat sub-urbanisasi, yang dimulai dengan dua kegiatan utama yang saling berlomba, yakni pengembangan perumahan dan pembangunan jalan tol. Akibatnya nilai lahan suatu lokasi turut berpengaruh terhadap terjadinya perkembangan yang sprawl di daerah perdesaan. Menurut Bourne et al. (2003), nilai lahan di perdesaan di daerah peri-urban sangat ditentukan oleh kebutuhan perkotaan. Kawasan perdesaan menjadi pihak yang pasif (bukan penentu) dalam penggunaan ruangnya oleh kawasan perkotaan. Padahal situasi ini mengakibatkan kawasan perdesaan mengalami degradasi
6 14 lingkungan baik secara fisik, sosial maupun ekonomi. Hal ini dibuktikan oleh temuan Sajor (2007), bahwa perkembangan daerah peri-urban Bangkok di Thailand yang ditunjukkan oleh intensitas penggunaan lahan campuran (mixed land use) tinggi, menyebabkan menurunnya kualitas kehidupan bertani penduduknya. Keadaan ini tidak hanya terjadi di Thailand tetapi terjadi juga di Manila - Filipina dan Jakarta (Sajor 2007). Namun di sisi lain, pola pemanfaatan lahan campuran yang merupakan kombinasi permukiman dan sarana penghidupan (tempat bekerja) dalam satu kawasan peri-urban yang kompak, mampu mempersingkat jarak perjalanan antar aktifitas (Parker 1994 dalam Kim 2009). Peningkatan area lahan terbangun mengindikasikan intensitas penggunaan lahan campuran pada daerah pinggiran kota (peri-urban) yang mengalami perkembangan sprawl. Menurut Sajor (2007), jenis kegiatan perkotaan yang mendominasi peningkatan lahan terbangun adalah peningkatan jumlah kegiatan industri, pertumbuhan dan perkembangan kawasan perumahan terutama di koridor/jalur pergerakan primer yang menghubungkan dengan pusat kota. Sementara itu perkembangan perumahan sendiri memicu tumbuhnya sejumlah fasilitas penunjang seperti kawasan perdagangan, pasar swalayan (supermarket) dan toko serba ada. Akibatnya adalah menurunnya luas areal pertanian yang merupakan bentuk kegiatan utama penduduk perdesaan hingga 50%, karena perubahan pola pemanfaatan lahannya menjadi kawasan permukiman, kawasan industri, perdagangan, kawasan rekreasi dan kawasan pendidikan. Temuan ini mempertegas apa yang disampaikan oleh Sheehan (2001) dan Kombe (2005) dalam Chirisa (2009), bahwa urban sprawl sebagai hasil berbagai tekanan di daerah perluasan kota, dapat diklasifikasi menjadi dua bentuk perubahan yakni suburbanisasi permukiman (residential suburbanization) dan peri-urbanisasi (peri-urbanization). Kenyataan di atas menunjukkan bahwa daerah perkotaan memiliki pola pertumbuhan yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh proses atau bentuk perubahannya. Dalam teorinya Dietzel et al. (2005) dalam Wu et al. (2010) menyimpulkan bahwa pertumbuhan daerah perkotaan dapat dibedakan dari proses terjadinya, yaitu proses difusi dan peleburan. Proses difusi adalah proses pertumbuhan kota yang tersebar dari pusat kota hingga daerah pengembangan
7 15 (baru), sedangkan proses peleburan adalah proses pertumbuhan yang inkonsisten, yakni terjadinya perkembangan di luar wilayah kota, dan sekaligus pemadatan di pusat kota (Rindarjono 2010). Penjabaran berbagai konsep urban sprawl di atas, memberikan pemahaman konteks urban sprawl sebagai suatu fenomena pertumbuhan kota. Dengan demikian urban sprawl dapat dipahami lebih luas sebagai suatu: 1) proses pertumbuhan kawasan perkotaan; 2) pertumbuhan menyebar dan acak yang dipengaruhi oleh proses dan bentuk terjadinya pertumbuhan; 3) situasi perkembangan tidak tertata; 4) proses peningkatan lahan terbangun melalui pertumbuhan ke arah pinggiran kota (proses horizontal), dan pemadatan (fill in) di perkotaan (proses vertikal); 5) keadaan kepadatan bangunan rendah di daerah pinggiran namun tinggi di perkotaan; 6) situasi transformasi fisik spasial dari sifat kedesaan menjadi sifat kekotaan; 7) keadaan pemanfaatan lahan yang tidak terkendali dan peningkatan areal lahan terbangun di perdesaan; 8) pola pemanfaatan lahan yang dinamis dengan berbagai jenis penggunaan; 9) keadaan berkurangnya/hilangnya lahan pertanian; 10) perkembangan tidak dapat diimbangi dengan penyediaan infrastruktur; 11) pola perkembangan yang tidak efisien; 12) sprawl ditemukan di dalam kota dan di luar batas kota. Kawasan Permukiman dan Karakteristik yang Dimilikinya Sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 (UU No. 1/2011) tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang dimaksud dengan kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Sedangkan permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Adapun yang dimaksud dengan prasarana adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan hunian yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan bertempat tinggal yang layak, sehat, aman, serta nyaman, dan sarana adalah
8 16 fasilitas dalam lingkungan hunian yang berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa permukiman terdiri dari komponen: perumahan, jumlah penduduk, tempat kerja, sarana dan prasarana, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Kawasan permukiman mencakup lingkungan hunian dan tempat kegiatan pendukung, baik di perkotaan dan di perdesaan. Dengan demikian berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 (UU No. 26/2007) tentang Penataan Ruang serta Bagian Penjelasan Pasal 59 dan Pasal 61 UU No 1/2011, yang dimaksud dengan kawasan permukiman perkotaan dan kawasan permukiman perdesaan dapat dijabarkan sebagai berikut. Kawasan permukiman perkotaan adalah kawasan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan/tempat kerja yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi, yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Sedangkan yang dimaksud kawasan permukiman perdesaan adalah kawasan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan/tempat kerja yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi, yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.. Kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain. Menurut Jayadinata (1996), pada awalnya pola-pola permukiman atau perkampungan di pedesaan merupakan tempat kediaman (dormitory settlement) dari penduduk kampung di wilayah pertanian dan wilayah perikanan umumnya yang bekerja di luar kampung. Antar kampung dihubungkan oleh jalan dan terdapat ruang terbuka yang kecil, berbentuk segi empat seluas halaman rumah sebagai tempat bermain anak-anak, atau tempat orang dewasa bertemu pada sore hari untuk mengobrol atau merundingkan
9 17 sesuatu. Situasi berbeda terdapat di permukiman di daerah perkotaan yang umumnya didominasi oleh lingkungan hunian dengan bangunan yang teratur. Menurut Koestoer (1997), karakteristik kawasan permukiman perdesaan ditandai oleh ketidakteraturan bentuk fisik rumah. Pola permukiman perdesaan berkelompok, membentuk perkampungan yang letaknya tidak jauh dari sumber air. Jaringan jalan di lingkungan kampung tidak beraspal dan bentuknya tidak beraturan. Sedangkan wilayah permukiman di perkotaan yang sering disebut sebagai daerah perumahan, memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Artinya, sebagian besar rumah memiliki hadapan yang teratur ke arah jalan, merupakan bangunan permanen, berdinding tembok, dan dilengkapi dengan penerangan listrik. Jaringan jalannya-pun bertingkat mulai dari jalan raya, jalan penghubung hingga jalan lingkungan atau lokal. Namun, di tengah keteraturan permukiman perkotaan, ditemui wilayah perumahan penduduk kota yang termasuk dalam kelompok dengan karakteristik kawasan permukiman penduduk pedesaan, karena ditandai oleh ketidakteraturan bentuk fisik rumah. Perbedaan karakteristik kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan dipengaruhi oleh pola perkembangan permukiman yang terbentuk. Sebagaimana telah diuraikan pada subbab pertumbuhan kota, Tacoli (2003) dan Antrop (2000) dalam Busck et al. (2006) berpendapat bahwa pola perkembangan permukiman di perdesaan yang berada di pinggiran kota, tidak selalu seragam. Ada wilayah yang perkembangannya didominasi oleh perkembangan permukiman penduduk berpenghasilan menengah atas, sementara di wilayah lain ada yang didominasi oleh kawasan industri yang padat, ada juga wilayah yang perkembangannya didominasi oleh perkembangan perumahan murah (perumahan bagi penduduk yang berpenghasilan rendah), atau ada pula kawasan yang dikembangkan menjadi daerah penghasil produk pertanian hortikultura (sayur mayur/buah-buahan). Dan semua ini akan mempengaruhi pola permukiman yang terbentuk di suatu wilayah. Latar belakang perkembangan kawasan permukiman di perkotaan dan perdesaan juga berbeda-beda. Menurut Antrop (2004) dalam Busck et al. (2006) gambaran perubahan karakter kehidupan di perdesaan menjadi karakter perkotaan adalah gambaran dari proses yang kompleks. Masyarakat perkotaan dapat tinggal dan menetap di daerah perdesaan, menjadi penglaju ke tempat kerjanya di pusat
10 18 kota dan menikmati pelayanan fasilitas rekreasi di tempat yang lain. Semua dapat terjadi karena daerah pinggiran kota (peri-urban) menjadi penarik bagi masyarakat tertentu, terutama bagi mereka yang mencari hunian murah dan lingkungan yang baik (Berg dan Wintjes 2000 dalam Busck et al. 2006). Dan inilah yang menurut Bourne et al. (2003) melatarbelakangi peningkatan proses urbanisasi di perdesaan dan menjadikan kawasan perdesaan sebagai kawasan yang berciri perkotaan. Kondisi di atas menjelaskan kuatnya pengaruh perkotaan terhadap kawasan perdesaan. Menurut Tacoli (2003), kuatnya pengaruh tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan perdesaaan adalah karakteristik geografis, demografi seperti kepadatan penduduk dan persebaran penduduk, akses ke pemilikan lahan hingga karakteristik yang dapat menjelaskan ketersediaan prasarana transportasi dan kemudahan pergerakan dari kawasan tempat tinggal ke pusat kota, dimana pasar dan sejumlah pelayanan lainnya berada. Kajian teori di atas menyimpulkan bahwa proses pertumbuhan kota seiring dengan pertumbuhan yang disebabkan faktor alamiah serta migrasi penduduk ke kota, maupun perpindahan penduduk dari pusat kota ke daerah pinggiran, menunjukan proses yang alamiah yang tidak terencana. Perkembangan ini merupakan suatu gejala sub-urbanisasi (Rustiadi dan Panuju 1999) dan tidak terencana, sehingga menciptakan perluasan kota yang liar dan tidak teratur, serta tidak terkendali (Spencer 1979 dalam Warsono 2006). Sebagaimana dijelaskan oleh Jayadinata (1996); Koestoer (1997); Tacoli (2003) dan Antrop (2000) dalam Busck et al. (2006), bahwa kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain. Adapun beberapa karakteristik yang dapat membedakan pedesaan dengan perkotaan, adalah: a. Karakteristik pemanfaatan lahan (Bourne et al dalam Korcelli 2008). Karakteristik pemanfaatan lahan dapat digunakan untuk mengklasifikasi kawasan menjadi dua tipe berdasarkan bentuk pemanfaatan lahannya. Pertama, klasifikasi bentuk pemanfaatan lahan yang berkonotasi perkotaan ditunjukkan dengan bentuk pemanfaatan lahan non agraris, kedua klasifikasi bentuk pemanfaatan lahan perdesaan ditunjukkan dengan bentuk pemanfaatan lahan agraris. Bentuk pemanfaatan lahan non agraris adalah bentuk
11 19 pemanfaatan lahan yang berasosiasi dengan sektor kekotaan dan diklasifikasi sebagai kawasan permukiman (settlement built-up areas), sedangkan bentuk pemanfaatan lahan agraris khususnya daerah pertanian (vegetated area) berasosiasi dengan sektor kedesaan. b. Populasi (Bourne et al dalam Korcelli 2008; Pieser 1989 dalam Terzi dan Kaya 2008). Kota memiliki penduduk yang jumlahnya lebih besar dibandingkan desa, dengan demikian penduduk mempunyai pengaruh yang besar terhadap kebutuhan akan perumahan, dan akan berujung pada pola pembangunan perumahan yang terbentuk. c. Karakteristik bangunan (Rahman 2008; Terzi dan Kaya 2008) Suatu kota dapat dicirikan oleh dominasi fungsi bangunan yang berorientasi pada kegiatan kekotaan atau sektor non agraris. Tinjauan mengenai karakteristik bangunan tentang kepadatan bangunan dan jumlah bangunan pada suatu areal tertentu dapat menunjukkan perbedaan antara apa yang terdapat di daerah pedesaan dengan apa yang terdapat di bagian kota. d. Profil wilayah seperti struktur penduduk (Hall 1973 dalam Korcelli 2008). Perbedaan lain karakteristik perkotaan dengan perdesaan terdapat pada struktur kependudukan yakni mata pencaharian. Di desa, penduduk berada di sektor ekonomi primer yaitu bidang agraris, yang ditandai dengan keberadaan keluarga petani. Kehidupan ekonomi terutama tergantung pada usaha pengelolaan tanah untuk keperluan pertanian, peternakan dan termasuk juga perikanan darat. Sebaliknya kota merupakan pusat kegiatan sektor ekonomi sekunder yang meliputi bidang industri, disamping sektor ekonomi tersier sehingga di sana tidak akan ditemukan keluarga petani. Pola Kawasan Permukiman Lingkungan permukiman merupakan bagian dari lingkungan kota yang mempunyai pola-pola perkembangan yang spesifik (Setyohadi 2007). Untuk pertama kali dasar teori berbagai pola persebaran permukiman desa dan kota diperkenalkan oleh Christaller pada tahun 1933, yang kemudian dikenal dengan
12 20 Central Place Theory (Clark 1982). Atas dasar lokasi, Christaller merumuskan tujuh (7) tipe permukiman yang berbeda ukuran dan luas berdasarkan jumlah penduduk dan jarak rata-rata. Penyebaran tersebut kadang-kadang bergerombol atau berkelompok dan kadang-kadang terpisah jauh satu sama lain. Teori ini menjelaskan bahwa pemusatan adalah hal yang alami dalam perkembangan suatu tempat dan akan diikuti dengan terbentuknya pola permukiman. Menurut Christaller (1933) dalam Herbert dan Thomas (1982), pola permukiman yang baik adalah yang dibentuk atas prinsip penyediaan pelayanan kepada penduduk, dengan menempatkan aktifitas pada permukiman yang luasnya meningkat dan lokasinya terletak pada simpul-simpul jaringan heksagonal. Jadi lokasi kegiatan yang melayani kebutuhan penduduk harus berada di pusat (tempat yang sentral). Perkembangan teori Central Place Theory diawali oleh temuan Lösch di Negara Bagian Iowa, Amerika Serikat (Clark 1982), dan diikuti oleh temuantemuan lain oleh Berry dan Garrison (1958), Saey (1973) dan Beavon (1977) dalam (Herbert dan Thomas 1982). Lösch merumuskan empat tipe permukiman yang lebih sesuai dengan karakteristik wilayah Iowa, dan temuan ini membuktikan bahwa perkembangan dan pembentukan kota merupakan wujud dari ekspresi masyarakat yang hidup di dalamnya. Kenyataan ini dipertegas oleh Kostof (1991) dalam Putra (2006), bahwa perwujudan spasial fisik kota merupakan hasil kolektif perilaku budaya masyarakatnya serta pengaruh kekuasaan tertentu yang melatarbelakanginya. Disamping itu, faktor sejarah kehidupan kota, baik itu sejarah secara fisik ataupun ideologis, kondisi sosial politik dan kondisi pemerintahannya, kondisi karakteristik lingkungan dan datangnya pengaruh dari luar, serta akibat perkembangan penduduk dan proses urbanisasi juga berkontribusi pada terjadinya perubahan bentuk dan struktur suatu kota (Kostof 1991 dalam Putra 2006). Bentuk perkembangan kota yang sering dijumpai dapat merupakan sebagian, keseluruhan ataupun gabungan pola garis, memusat, bercabang, melingkar, berkelompok, pola geometris dan organisme hidup. Menurut Kostof (1991) dalam Putra (2006) pola kota dapat dibagi dalam tiga bentuk, yaitu organik, diagram dan grid. Pola kota organik merupakan pola yang berkembang secara spontan, dipengaruhi oleh masyarakatnya, tidak terencana, pola tidak
13 21 teratur (irregular) atau non geometrik, dan berorientasi pada alam. Pola kota diagram berkembang dipengaruhi oleh sistem sosial, politik, kekuasaan dan sistem kepercayaan, yang bertujuan untuk mengawasi/mengorganisir sistem masyarakatnya. Sedangkan pola grid adalah pola kota yang mengutamakan efisiensi dan nilai ekonomis serta lebih teratur, sehingga lebih mudah dan terarah pengorganisasiannya. Deskripsi Korcelli (2008) dari temuan European Spatial Planning Observation Network (ESPON), menjelaskan empat pola permukiman yang teridentifikasi dari berbagai tipologi perkotaan di Eropa. Keempat pola tersebut dikenal sebagai monocentric, polycentric, sprawl dan sparsely populated (rural) sebagaimana tersaji dalam Gambar 2. Sumber: ESPON (2004) dalam Korcelli (2008) Gambar 2 Pola morfologi permukiman. Penelitian-Penelitian Terdahulu Terkait Topik Penelitian Penelitian-penelitian mengenai kawasan permukiman telah banyak dilakukan. Besarnya perhatian tersebut terutama tertuju pada berbagai permasalahan yang diakibatkan oleh proses pertumbuhan kota yang berakibat meningkatnya kebutuhan perumahan dan menyebabkan perubahan fisik, misal
14 22 perubahan tata guna lahan, demografi, keseimbangan ekologis serta kondisi sosial ekonomi. Beberapa hasil penelitian yang terkait dan menjadi referensi bagi penelitian ini disajikan dalam Tabel 1 berikut. Tabel 1 Beberapa hasil penelitian terdahulu No Pustaka Judul Kata kunci Kesimpulan 1 Busck et al. (2006) 2 Chirisa (2009) 3 Korcelli (2008) 4 Rindarjono (2010) Land system changes in the context of urbanisation: Examples from the peri-urban area of Greater Copenhagen. Peri-urban dynamics and regional planning in Africa: Implications for building healthy cities Review of Typologies of European Rural- Urban Region. Perkembangan Permukiman Kumuh di Kota Semarang Tahun Sajor (2007) Mixed land use and equity in water governance in periurban Bangkok 6 Warsono (2006) Perkembangan Permukiman Pinggiran Kota pada Koridor jalan Kaliurang Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman. Perubahan pola guna lahan, multifunctionality, urbanisasi tersamar, strukturisasi pertanian Peri-urbanitas, public health, metropolitanisasi, komunitas Tipologi wilayah desa - kota, karakteristik, morfologi permukiman. Perkembangan permukiman, permukiman kumuh, pendekatan spasial Lingkungan, equity in water, pemekaran wilayah metropolitan Pertumbuhan, suburban, tipologi, kelompok, permukiman. Perubahan pola penggunaan lahan sangat dipengaruhi proses perubahan sosial-ekonomi dan dan daerah hijau (ecological) dari sistem lahan. Perubahan pola interaksi pusat kota dengan daerah peri-urbannya menyebabkan peningkatan demand lahan, perubahan struktur sosial dan persebaran populasi yang tidak beraturan. Teridentifikasi tiga tipologi wilayah kotadesa, dengan karakteristiknya. Proses densifikasi permukiman akan diikuti oleh infilling process. Pemekaran wilayah metropolitan menunjukkan intensitas penggunaan lahan campuran tinggi. Akibatnya distribusi air tidak merata dan kualitas kehidupan bertani menurun. Dihasilkan faktor-faktor dominan yang mempengaruhi perkembangan tipologi kelompok-kelompok permukiman.
15 23 Tabel 1 (lanjutan) No Pustaka Judul Kata kunci Kesimpulan 7 Webster dan Theeratham (2004) 8 Zulkaidi et al. (2007) Policy Coordination, Planning and Infrastructure Provision: A Case Study of Thailand Dampak Pengembangan Lahan Skala Besar Terhadap Pasar Lahan dan Transformasi Periurban Kota Jakarta Infrastruktur; struktur, pelaku dan proses. Pengembangan lahan skala besar, dinamika pasar lahan, dinamika kependudukan. Pentingnya peningkatan infrastuktur di wilayah peri-peri kota (periurban) Thailand. Pengembangan lahan skala besar (kasus BSD) berpengaruh terhadap dinamika dan proses transformasi di daerah pinggiran kota.
PENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Pada kota-kota metropolitan, perkembangan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan meluasnya kegiatan ekonomi perkotaan. Tingginya pertumbuhan penduduk
Lebih terperinciKARAKTERISASI KAWASAN PERMUKIMAN PERKOTAAN DAN PERDESAAN DI WILAYAH TANGERANG KUSMALINDA MADJID
KARAKTERISASI KAWASAN PERMUKIMAN PERKOTAAN DAN PERDESAAN DI WILAYAH TANGERANG KUSMALINDA MADJID SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Lebih terperinciIDENTIFIKASI KARAKTERISTIK URBAN SPRAWL DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR
IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK URBAN SPRAWL DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : ROSITA VITRI ARYANI L2D 099 449 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2005 ABSTRAKSI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pemicu munculnya permasalahan lingkungan baik biotik, sosial, kultural,
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan spasial kota yang tidak terkendali diyakini akan menjadi pemicu munculnya permasalahan lingkungan baik biotik, sosial, kultural, ekonomi pada masa yang
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP VI.1. Temuan Studi
BAB VI PENUTUP Pada bab terakhir ini dipaparkan beberapa hal sebagai bagian penutup, yakni mengenai temuan studi, kesimpulan, rekomendasi, kelemahan studi serta saran studi lanjutan. VI.1. Temuan Studi
Lebih terperinciKAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KECAMATAN UMBULHARJO, KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR
KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KECAMATAN UMBULHARJO, KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR Oleh : YUSUP SETIADI L2D 002 447 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebagai Negara berkembang mirip dengan Negara lainnya. Pertumbuhan
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pola pertumbuhan kota dan tingkat urbanisasi yang terjadi di Indonesia sebagai Negara berkembang mirip dengan Negara lainnya. Pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peran pertumbuhan kawasan perkotaan sangat besar dalam persebaran dan pergerakan penduduk. Keberadaan berbagai kegiatan ekonomi sekunder dan tersier di bagian wilayah
Lebih terperinciPENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR
PENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR Oleh: NUR ASTITI FAHMI HIDAYATI L2D 303 298 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1.
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Proses pembangunan di Indonesia terus bergulir dan ekspansi pemanfaatan ruang terus berlanjut. Sejalan dengan ini maka pengembangan lahan terus terjadi dan akan berhadapan
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR. Perkembangan fisik kota merupakan konsekuensi dari peningkatan jumlah
1 BAB I PENGANTAR I.1 Latar Belakang Perkembangan fisik kota merupakan konsekuensi dari peningkatan jumlah penduduk dan segala aktivitasnya di suatu wilayah kota. Peningkatan jumlah penduduk tersebut dapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung dalam beberapa tahun terakhir ini telah mengalami
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota Bandung dalam beberapa tahun terakhir ini telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Perkembangan yang dimaksud terlihat pada aspek ekonomi dan sosial
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. waktu. Kota tidak bersifat statis, akan tetapi selalu bergerak, berkembang dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota akan selalu mengalami perkembangan fisik seiring dengan perubahan waktu. Kota tidak bersifat statis, akan tetapi selalu bergerak, berkembang dan berubah. Seperti
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kebutuhan ruang. penambahan penduduk di kota-kota besar pada umumnya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Salah satu isu yang perlu mendapat perhatian saat ini adalah menyangkut fenomena daerah pinggiran kota dan proses perubahan spasial, serta sosial di daerah ini. Berawal
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Lingkungan permukiman merupakan bagian dari lingkungan binaan merupakan bagian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lingkungan permukiman merupakan bagian dari lingkungan binaan merupakan bagian pula dari lingkungan hidup. Menyadari adanya hubungan timbal balik antara permukiman
Lebih terperinciEVALUASI STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PERUMAHAN MELALUI PENDEKATAN URBAN REDEVELOPMENT DI KAWASAN KEMAYORAN DKI JAKARTA TUGAS AKHIR
EVALUASI STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PERUMAHAN MELALUI PENDEKATAN URBAN REDEVELOPMENT DI KAWASAN KEMAYORAN DKI JAKARTA TUGAS AKHIR Oleh : MANDA MACHYUS L2D 002 419 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. heterogen dan materialistis di bandingkan dengan daerah belakangnya.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata ekonomi,sosial
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Perwilayahan adalah usaha untuk membagi bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula (Hadi Sabari Yunus, 1977).
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. arah perubahan struktural desa-kota diharapkan dapat berlangsung secara seimbang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan dan pertumbuhan suatu daerah terkait dengan interaksi yang terjadi dengan daerah-daerah sekitarnya. Interaksi tersebut membentuk tatanan yang utuh dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana telah disepakati oleh para pakar mengenai wilayah perkotaan,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagaimana telah disepakati oleh para pakar mengenai wilayah perkotaan, bahwa penduduk perkotaan dari waktu ke waktu cenderung meningkat jumlah dan proporsinya. Hal
Lebih terperinciBAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI
BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI Jawa Barat Bagian Utara memiliki banyak potensi baik dari aspek spasial maupun non-spasialnya. Beberapa potensi wilayah Jawa Barat bagian utara yang berhasil diidentifikasi
Lebih terperinciKAJIAN PERUBAHAN SPASIAL KAWASAN PINGGIRAN KOTA SEMARANG DITINJAU DARI RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) TAHUN
KAJIAN PERUBAHAN SPASIAL KAWASAN PINGGIRAN KOTA SEMARANG DITINJAU DARI RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) TAHUN 2010 2015 Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Latar belakang penelitian ini dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Latar belakang penelitian ini dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama adalah latar belakang fomal, bagian kedua adalah latar belakang material. Penjelasan
Lebih terperinciKINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D
KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D 306 007 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008 ABSTRAK
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran
METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Salah satu kebutuhan lahan terbesar di perkotaan adalah bagi penyediaan sarana hunian penduduk. Perkembangan pola permukiman sangat dipengaruhi oleh sumberdaya yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan data dipersiapkan dalam rangka upaya untuk mencapai tujuan dan ciri perjuangan nasional dengan mengkaji dan memperhitungkan implikasinya dalam berbagai
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu kota pada mulanya berawal dari suatu pemukiman kecil, yang secara spasial mempunyai lokasi strategis bagi kegiatan perdagangan (Sandy,1978). Seiring dengan perjalanan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Feri Susanty Spesial, Tahun 2007, 6). Populasi dan permintaan penduduk terhadap hunian yang semakin
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.1.1 Latar Belakang Pemilihan Proyek Tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan dasar dan pokok manusia. Oleh karena itu, kebutuhan akan hunian sangat penting dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seiring perjalanan waktu, baik dimensi kenampakan fisik maupun non fisiknya.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu kawasan (wilayah) akan selalu bertumbuh dan berkembang dinamis seiring perjalanan waktu, baik dimensi kenampakan fisik maupun non fisiknya. Perubahan(evolusi)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan kota yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk dan aktivitas kota menuntut pula kebutuhan lahan yang semakin besar. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya tingkat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terkait dengan pertumbuhan kota lainnya adalah unsur penduduk.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota dalam perjalanannya selalu tumbuh dan berkembang, dan salah satu penyebab terjadinya pertumbuhan dan perkembangan kota adalah adanya pertumbuhan ekonomi. Dengan
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar belakang
PENDAHULUAN Latar belakang Pertumbuhan ekonomi yang pesat di ibukota berdampak pada peningkatan jumlah penduduk dan dinamika penggunaan lahan. Pertumbuhan sektor perdagangan, jasa dan industri mendominasi
Lebih terperinciPERAN DEVELOPER DALAM PENYEDIAAN RUMAH SEDERHANA DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: IKE ISNAWATI L2D
PERAN DEVELOPER DALAM PENYEDIAAN RUMAH SEDERHANA DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: IKE ISNAWATI L2D 001 431 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2006 ABSTRAK
Lebih terperinciANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta)
ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta) TUGAS AKHIR Oleh: SUPRIYANTO L2D 002 435 JURUSAN PERENCANAAN
Lebih terperinciMODEL RUTE ANGKUTAN UMUM PENUMPANG DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) (Studi Kasus: Kota Semarang) TUGAS AKHIR
MODEL RUTE ANGKUTAN UMUM PENUMPANG DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) (Studi Kasus: Kota Semarang) TUGAS AKHIR Oleh : NUGROHO HARIMURTI L2D 003 364 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS
Lebih terperinciFAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JENIS PENGGUNAAN LAHAN PESISIR SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: ARI KRISTIANTI L2D
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JENIS PENGGUNAAN LAHAN PESISIR SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: ARI KRISTIANTI L2D 098 410 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
Lebih terperinciPOLA PERGERAKAN KOMUTER BERDASARKAN PELAYANAN SARANA ANGKUTAN UMUM DI KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI TUGAS AKHIR
POLA PERGERAKAN KOMUTER BERDASARKAN PELAYANAN SARANA ANGKUTAN UMUM DI KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI TUGAS AKHIR Oleh: NOVI SATRIADI L2D 098 454 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia. Lahan sebagai ruang untuk tempat tinggal manusia dan sebagian orang memanfaatkan lahan sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan dengan pertambahan aktivitas yang ada di kota, yaitu khususnya dalam kegiatan sosial-ekonomi. Pertumbuhan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dua dekade akhir abad 20 dan memasuki millenium ke-3 wacana pembangunan wilayah di Indonesia ditandai dengan membesarnya fenomena metropolitanisasi. Sampai tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset sosial, ekonomi, dan fisik. Kota berpotensi memberikan kondisi kehidupan yang sehat dan aman, gaya hidup
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Yogyakarta merupakan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian utama di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pertumbuhan ekonomi Kota Yogyakarta pertahun untuk
Lebih terperinciANALISIS KONDISI DAN PENYEBAB DISPARITAS PEMANFAATAN RUANG KOTA PEKANBARU YANG TERPISAH OLEH SUNGAI SIAK TUGAS AKHIR
ANALISIS KONDISI DAN PENYEBAB DISPARITAS PEMANFAATAN RUANG KOTA PEKANBARU YANG TERPISAH OLEH SUNGAI SIAK TUGAS AKHIR Oleh: JEKI NURMAN L2D 099 429 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS
Lebih terperinciAPLIKASI PENATAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG KOTA SESUAI KEBIJAKAN PEMERINTAH. Budiman Arif 1
APLIKASI PENATAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG KOTA SESUAI KEBIJAKAN PEMERINTAH Budiman Arif 1 PENDAHULUAN Indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih menghadapi permasalahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan suatu kota yang disebabkan oleh bertambahnya jumlah penduduk, pembangunan infrastruktur, dan aktivitas ekonomi yang terus meningkat menyebabkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Melihat perkembangan penduduk dan kota, urbanisasi yang tinggi dan tuntutan perumahan dan permukiman serta sarana dan prasarana yang memadai maka pusat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota senantiasa mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu. Pada perkembangannya, kota dapat mengalami perubahan baik dalam segi fungsi maupun spasial. Transformasi
Lebih terperinciKAJIAN FENOMENA URBANISME PADA MASYARAKAT KOTA UNGARAN KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR
KAJIAN FENOMENA URBANISME PADA MASYARAKAT KOTA UNGARAN KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: YUNITAVIA SRI ANAWATI L2D 001 465 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGIRO
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Dari asal katanya, geografi berasal dari kata geo yang berarti bumi, dan graphein yang berarti lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30).
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perlunya perumahan dan pemukiman telah diarahkan pula oleh Undang-undang Republik
BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG I.1.1. Latar Belakang Eksistensi Proyek Pemukiman dan perumahan adalah merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh manusia. Perumahan dan pemukiman tidak hanya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses berkembangnya suatu kota baik dalam aspek keruangan, manusia dan aktifitasnya, tidak terlepas dari fenomena urbanisasi dan industrialisasi. Fenomena seperti
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah
II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
Lebih terperinciEVALUASI PEMANFAATAN RUANG DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR
EVALUASI PEMANFAATAN RUANG DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR Oleh: YUSUF SYARIFUDIN L2D 002 446 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2007
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Urbanisasi merupakan titik awal perubahan atau perkembangan sebuah kota yang ditandai dengan laju pertumbuhan kawasan urban. Laju pertumbuhan ini merupakan tolok ukur
Lebih terperinciBAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
163 BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 8.1 Kesimpulan 8.1.1 Menjawab Pertanyaan Penelitian dan Sasaran Penelitian Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini dihasilkan pengetahuan yang dapat menjawab
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan adalah upaya memajukan, memperbaiki tatanan, meningkatkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan adalah upaya memajukan, memperbaiki tatanan, meningkatkan sesuatu yang sudah ada. Kegiatan pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
Lebih terperinciANALISIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STATISTIK LOGISTIK BINER DALAM UPAYA PENGENDALIAN EKSPANSI LAHAN TERBANGUN KOTA YOGYAKARTA
ANALISIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STATISTIK LOGISTIK BINER DALAM UPAYA PENGENDALIAN EKSPANSI LAHAN TERBANGUN KOTA YOGYAKARTA Robiatul Udkhiyah 1), Gerry Kristian 2), Chaidir Arsyan Adlan 3) 1,2,3) Program
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi dapat menjadi masalah yang cukup serius bagi kita apabila pemerintah tidak dapat mengatur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk yang berlangsung dengan pesat telah. menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama di
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk yang berlangsung dengan pesat telah menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama di wilayah perkotaan. Salah satu aspek
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang pendahuluan yang merupakan bagian
1 BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas tentang pendahuluan yang merupakan bagian awal dari penelitian. Pendahuluan adalah awal suatu cara untuk mengetahui suatu masalah dengan cara mengumpulkan
Lebih terperinciIDENTIFIKASI FAKTOR FAKTOR PENYEBAB PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PERMUKIMAN MENJADI KOMERSIAL DI KAWASAL KEMANG JAKARTA SELATAN TUGAS AKHIR
IDENTIFIKASI FAKTOR FAKTOR PENYEBAB PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PERMUKIMAN MENJADI KOMERSIAL DI KAWASAL KEMANG JAKARTA SELATAN TUGAS AKHIR Oleh : ASTRIANA HARJANTI L2D 097 432 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH
Lebih terperinciKOEKSISTENSI DUALISME EKONOMI DI KAWASAN METROPOLITAN MAMMINASATA
PLANO MADANI VOLUME 6 NOMOR 1, APRIL 2017, 97-107 2017 P ISSN 2301-878X - E ISSN 2541-2973 KOEKSISTENSI DUALISME EKONOMI DI KAWASAN METROPOLITAN MAMMINASATA Yan Radhinal 1, Ariyanto 2 ¹ Perencanaan Pengembangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina dan dikembangkan
Lebih terperinciDAMPAK KEBERADAAN PERMUKIMAN SOLO BARU TERHADAP KONDISI EKONOMI, SOSIAL DAN FISIK PERMUKIMAN SEKITARNYA
DAMPAK KEBERADAAN PERMUKIMAN SOLO BARU TERHADAP KONDISI EKONOMI, SOSIAL DAN FISIK PERMUKIMAN SEKITARNYA TUGAS AKHIR Oleh : Hari Adi Agus Setyawan L2D 098 434 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH & KOTA FAKULTAS
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Aktifitas kegiatan di perkotaan seperti perdagangan, pemerintahan, persaingan yang kuat di pusat kota, terutama di kawasan yang paling
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aktifitas kegiatan di perkotaan seperti perdagangan, pemerintahan, pemukiman semakin lama membutuhkan lahan yang semakin luas. Terjadi persaingan yang kuat di pusat kota,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan hunian sudah menjadi hal yang pokok dalam menjalankan kehidupan, terlebih lagi dengan adanya prinsip sandang, pangan, dan papan. Kehidupan seseorang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Pemahaman Judul dan Tema
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkotaan dengan kompleksitas permasalahan yang ada di tambah laju urbanisasi yang mencapai 4,4% per tahun membuat kebutuhan perumahan di perkotaan semakin meningkat,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pemakaian energi karena sumbernya telah menipis. Krisis lingkungan sangat mempengaruhi disiplin arsitektur di setiap
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Arsitek pada jaman ini memiliki lebih banyak tantangan daripada arsitekarsitek di era sebelumnya. Populasi dunia semakin bertambah dan krisis lingkungan semakin menjadi.
Lebih terperinciDISTRIBUSI SPASIAL PERUMAHAN DAN PUSAT PELAYANAN DIKAWASAN PINGGIRAN KOTA KECAMATAN KOTO TANGAH KOTA PADANG ABSTRACT
DITRIBUI PAIAL PERUMAHAN DAN PUAT PELAYANAN DIKAWAAN PINGGIRAN KOTA KECAMATAN KOTO TANGAH KOTA PADANG Wina Aprilia 1 Erna Juita 2 Afrital Rezki 1. Mahasiswa Program tudi Pendidikan Geografi TKIP PGRI umatera
Lebih terperinciPERTUMBUHAN KOTA DI AKSES UTAMA KAWASAN INDUSTRI: Studi kasus SIER, Surabaya. Rully Damayanti Universitas Kristen Petra, Surabaya
PERTUMBUHAN KOTA DI AKSES UTAMA KAWASAN INDUSTRI: Studi kasus SIER, Surabaya Rully Damayanti Universitas Kristen Petra, Surabaya rully@petra.ac.id Abstrak 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Setelah lebih dari
Lebih terperinci: Pendekatan ekologi terhadap tata guna lahan. b. Pemakaian Lahan Kota Secara Intensif
MINGGU 7 Pokok Bahasan Sub Pokok Bahasan : Pendekatan ekologi terhadap tata guna lahan : a. Permasalahan tata guna lahan b. Pemakaian Lahan Kota Secara Intensif Permasalahan Tata Guna Lahan Tingkat urbanisasi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Kota Surabaya sebagai ibu kota Propinsi Jawa Timur merupakan salah satu
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Surabaya sebagai ibu kota Propinsi Jawa Timur merupakan salah satu kota industri terbesar di Indonesia. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kegiatan perdagangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kota berkembang dari tempat-tempat pemukiman yang sangat sederhana hingga
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota sebagai salah satu kenampakan di permukaan bumi, menurut sejarahnya kota berkembang dari tempat-tempat pemukiman yang sangat sederhana hingga timbullah
Lebih terperinciPerubahan Regional (Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah)
Perubahan Regional (Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah) Permalahan : Persebaran (distribusi) dan kesenjangan (disparitas) penduduk yang terlalu besar antara desa dengan kota dapat menimbulkan berbagai
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Seiring dengan perkembangan waktu selalu disertai dengan peningkatan
102 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Seiring dengan perkembangan waktu selalu disertai dengan peningkatan jumlah penduduk perkotaan serta meningkatnya tuntutan kebutuhan hidup dalam aspek-aspek
Lebih terperinciVII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK
VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK Ketidakmerataan pembangunan yang ada di Indonesia merupakan masalah pembangunan regional dan perlu mendapat perhatian lebih. Dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN TA Latar Belakang PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN SUNGAI GAJAH WONG DI YOGYAKARTA
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dinamika dalam sebuah kota tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan yang membawa kemajuan bagi sebuah kota, serta menjadi daya tarik bagi penduduk dari wilayah lain
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar kota di Negara Indonesia tumbuh dan berkembang pada kawasan pesisir. Setiap fenomena kekotaan yang berkembang pada kawasan ini memiliki karakteristik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini kota-kota besar di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Antara lain disebabkan adanya peluang kerja dari sektor industri dan perdagangan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di suatu wilayah mengalami peningkatan setiap tahunnya yang dipengaruhi oleh banyak faktor, mulai dari kelahiran-kematian, migrasi dan urbanisasi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara manusia dan masyarakatnya, dengan alam, dan dengan
digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan antara manusia dan masyarakatnya, dengan alam, dan dengan unsur-unsur buatan yang diolah dan dibuat dari alam sudah ada sejak lahirnya peradaban
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA. Keserasian Kawasan. Perumahan. Pemukiman. Pedoman.
No.42, 2008 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA. Keserasian Kawasan. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 11/PERMEN/M/2008 TENTANG PEDOMAN KESERASIAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kawasan perkotaan cenderung mengalami pertumbuhan yang dinamis (Muta ali, 2011). Pertumbuhan populasi selalu diikuti dengan pertumbuhan lahan terbangun sebagai tempat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak ketiga di dunia. Hal ini setara dengan kedudukan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak ketiga di dunia. Hal ini setara dengan kedudukan Indonesia sebagai negara termiskin ketiga di dunia. Pertambahan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Peraturan Perumahan dan Kawasan Permukiman Peraturan terkait dengan perumahan dan kawasan permukiman dalam studi ini yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 11 tentang Perumahan dan Kawasan
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan usaha untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu bahwa bumi dan air
Lebih terperinciSTUDI MANAJEMEN ESTAT PADA KAWASAN SUPERBLOK MEGA KUNINGAN, JAKARTA (Studi Kasus: Menara Anugrah dan Bellagio Residences) TUGAS AKHIR
STUDI MANAJEMEN ESTAT PADA KAWASAN SUPERBLOK MEGA KUNINGAN, JAKARTA (Studi Kasus: Menara Anugrah dan Bellagio Residences) TUGAS AKHIR Oleh: DIAN RETNO ASTUTI L2D 004 306 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Populasi Penduduk Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia Tahun
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota sebagai pusat pelayanan memberikan banyak dampak pada perkembangan kota, salah satunya adalah sebagai faktor penarik penduduk untuk melakukan urbanisasi. Menurut
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kota Depok telah resmi menjadi suatu daerah otonom yang. memiliki pemerintahan sendiri dengan kewenangan otonomi daerah
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Depok telah resmi menjadi suatu daerah otonom yang memiliki pemerintahan sendiri dengan kewenangan otonomi daerah beserta dengan perangkat kelengkapannya sejak penerbitan
Lebih terperinciA. LATAR BELAKANG PENELITIAN
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Indonesia adalah negara agraris dimana mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai penguat
Lebih terperinciKAJIAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DI KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR
KAJIAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DI KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: HENDRA WIJAYA L2D 307 014 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2009 i ABSTRAK
Lebih terperinciUrbanisasi dalam Perencanaan Wilayah
Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah Permalahan : Persebaran (distribusi) dan kesenjangan (disparitas) penduduk yang terlalu besar antara desa dengan kota dapat menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. besar, dimana kondisi pusat kota yang demikian padat menyebabkan terjadinya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan perkotaan sekarang ini terasa begitu cepat yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang semakin tinggi. Hal ini terutama terjadi di kotakota besar, dimana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan bagian dari bentang alam ( landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, hidrologi, dan bahkan keadaan
Lebih terperinciPOLA SPASIAL DISTRIBUSI MINIMARKET DI KOTA KOTA KECIL
POLA SPASIAL DISTRIBUSI MINIMARKET DI KOTA KOTA KECIL TUGAS INDIVIDU Oleh: MUHAMMAD HANIF IMAADUDDIN (3613100050) JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penduduk perkotaan, perubahan sosial ekonomi dan tuntutan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan kota secara fisik berlangsung dinamis sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk perkotaan, perubahan sosial ekonomi dan tuntutan kebutuhan ruangnya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam pemenuhannya masih sulit dijangkau terutama bagi penduduk berpendapatan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perumahan merupakan kebutuhan masyarakat yang paling mendasar, dan dalam pemenuhannya masih sulit dijangkau terutama bagi penduduk berpendapatan rendah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya faktor penarik suatu perkotaan dan faktor pendorong dari kawasan perdesaan menjadikan fenomena urbanisasi kerap terjadi di kota-kota di Indonesia. Harapan untuk
Lebih terperinci