HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Penangkaran

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Penangkaran"

Transkripsi

1 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Penangkaran Dibentuknya suatu lembaga penangkaran harimau Sumatera di luar habitatnya didasari oleh kategori harimau Sumatera yang tergolong langka, sehingga dilakukan upaya untuk menyelamatkan harimau Sumatera dengan melakukan program penangkaran. Harimau Sumatera dikenal juga sebagai umbrella species, yang artinya dengan melindungi spesies tersebut spesies lainnya akan turut terdilindungi (Roberge dan Angelstam 2004). Upaya penangkaran harimau Sumatera dimulai pada tahun 1992 dengan terbentuknya lembaga penangkaran harimau Sumatera Perhimpunan Kebun Binatang se-indonesia (PKBSI) yang dipusatkan di Taman Safari Indonesia, dimulainya pencatatan studbook harimau Sumatera PKBSI dan pengelolaan penangkaran ex-situ. Tujuan utama konservasi ex-situ adalah menyokong keselamatan spesies satwaliar di habitat aslinya sehingga terhindar dari kepunahan. Konsevasi ex-situ merupakan suatu program yang berkomplemen dengan konservasi in-situ. Pelestarian ex-situ dan in-situ merupakan strategi yang saling melengkapi (Robinson 1992). Variasi genetik merupakan hal yang penting bagi populasi in-situ sehingga pengelolaan ex-situ dalam menunjang penyelamatan satwa in-situ sangat perlu mempertimbangkan mutu genetiknya. Sehingga hubungan kekerabatan antar individu dijaga serendah mungkin. Untuk mengurangi terjadinya kawin silang dalam (inbreeding) dalam penangkaran satwaliar maka dapat diambil langkah seperti mengambil bibit satwaliar dari populasi yang berbeda, melakukan tes heterozigositas dan melakukan pencatatan silsilah atau studbook (Sinaga 2004). Dalam setiap penangkaran biasanya dilakukan kegiatan pengelolaan kesehatan harimau. Setiap individu harimau Sumatera yang ada di kebun binatang sangat diperhatikan kesehatannya. Bagi harimau yang baru datang, baik dari alam ataupun dari kebun binatang lainnya harus melalui proses karantina dan pemeriksaan kesehatan umum. Perawatan harimau Sumatera harus mengikuti standar kesejahteraan hewan (kesrawan). Menurut Christie dan Dollinger (2007) syarat legal dalam pemeliharaan harimau berbeda pada tiap negara.

2 14 Untuk memelihara seekor harimau memerlukan tanah berpagar terbuka seluas 500 m² perpasang, sedangkan untuk betina yang memiliki anak harus memiliki kandang yang terpisah dari harimau jantan. Tinggi pagar yang diperlukan sekitar 3,5 m. Kandang harimau Sumatera harus dilengkapi dengan tempat untuk beristirahat, tempat minum, kandang tidur dan kandang latihan, saluran air yang baik, terdapat pohon untuk bernaung dan mengasah kuku, serta kolam untuk berenang. Untuk pengamanan, diperlukan pagar pembatas yang kuat dan biasanya dihubungkan dengan kawat listrik (Christie dan Dollinger 2007). Sinaga (2004) menyatakan bahwa, dalam penangkaran juga harus dilakukan pencatatan studbook untuk mengetahui asal usul satwa agar pengelolaan penangkaran dapat dilakukan dengan baik dan dapat mempertahankan sekurangkurangnya 90% genetik diversitas dari populasi. Pengelolaan perkawinan dapat dilakukan dengan variasi genetik tetap tinggi dan menghindari perkawinan silang. Selain itu untuk menunjang program konservasi harimau Sumatera dilakukan penampungan spermatozoa untuk diawetkan sehingga diharapkan suatu waktu dapat diinseminasikan kepada betina yang memerlukan. Sejak tahun 1995 Bank Sumber Plasma Nutfah dipusatkan di Taman Safari Indonesia. Berdasarkan studbook harimau Sumatera Regional dan Internasional sampai tahun 2007, Harimau sumatera tersebar di sebelas tempat di pulau Jawa, Bali dan Sumatera. Ke sebelas tempat tersebut adalah Bali Zoo, Taman Safari Bogor, Komplek Let Jen Norman Sasono, Taman Bundo Kanduang Bukittinggi, Ragunan Zoo, Yayasan Margasatwa Tamansari-Bandung, Kebun Binatang Taman Aneka Rimba Jambi, Yayasan Kebun Binatang Medan, Taman Wisata Satwa Taru Jugug, Kebun Binatang Surabaya, dan Kebun Binatang Gembira Loka. Jumlah harimau Sumatera terbanyak terdapat di Taman Safari Indonesia Bogor. Hal ini dikarenakan ditunjuknya Taman Safari Indonesia sebagai pusat dari lembaga Penangkaran harimau Sumatera (Tumbelaka 2007).

3 15 Tabel 1 Penyebaran Harimau Sumatera di Beberapa Penangkaran No Kebun Binatang Jantan Betina Total 1 Bali Zoo Taman Safari Indonesia Let Jen Norman Sasono Komplek Taman Bundo Kanduang Bukit Tinggi Ragunan Zoo Yayasan Margasatwa Tamansari-Bandung Kebun Binatang Aneka Rimba Jambi Yayasan Kebun Binatang Medan Taman Wisata Satwa Taru Jurug Kebun Binatang Surabaya Kebun Binatang Gembira Loka Sumber. Studbook Harimau sumatera regional tahun 2007 Pengelolaan kandang, pakan, kesehatan dan lingkungan memberikan pengaruh pada masa hidup harimau. Masa hidup harimau Sumatera yang ada di penangkaran lebih lama daripada yang hidup di alam. Menurut Macdonald (1986) harimau Sumatera yang ada di penangkaran bisa mencapai usia tahun. Dari data studbook (lampiran 2) tercatat harimau jantan yang memiliki usia paling lama adalah harimau dengan Nomor SB 883 yaitu 24 tahun dan harimau betina dengan nomor SB 876 yaitu selama 22 tahun. Pemasangan atau penjodohan juga memberikan kontribusi yang besar bagi penangkaran harimau Sumatera. Sebelum dipasangkan, biasanya harimau diperkenalkan terlebih dahulu satu sama lain dalam kandang yang diberi batas agar harimau tidak saling kontak fisik tetapi masih tetap bisa melihat dan mencium bau pasangannya. Hal yang paling penting dari penjodohan adalah memperhatikan kekerabatan. Menurut hasil penelitian Suharyo (2001) persyaratan yang ditentukan oleh Taman Safari Indonesia dalam menjodohkan harimau Sumatera adalah harimau yang dijodohkan harus bersal dari daerah yang berbeda, berumur lebih dari lima tahun, usianya hampir sama dan memiliki koefisien inbreeding yang rendah. Sementara itu hasil penelitian Andriyanto (2001) menyatakan bahwa harimau yang dikawinkan pada empat lembaga konservasi di Jawa (TSI, KB Gembiraloka, Ragunan dan KB Surabaya) berasal dari alam dan harimau hasil penangkaran.

4 16 Usaha yang dilakukan dalam pemilihan pasangan kawin tersebut tidak selamanya berhasil karena terkadang tidak ada saling ketertarikan antara pasangan kawin. Selain itu, perkawinan yang dilakukan melakukan perkawinan yang terkontrol dimana tidak setiap betina yang estrus harus dikawinkan dengan pejantan. Hal ini dipengaruhi oleh kapasitas atau daya dukung tempat di penangkaran. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan jumlah perkawinan setiap bulan di penangkaran. Status Reproduksi Status reproduksi hewan adalah kondisi reproduksi hewan pada saat tertentu yang meliputi jumlah anak perpasangan, jantan dan betina produktif serta musim kawin. Pada penangkaran, perkawinan harimau Sumatera dilakukan apabila telah mengalami dewasa kelamin (pubertas) dan betina menunjukkan gejala birahi. Pubertas adalah periode dalam kehidupan makhluk jantan dan betina dimana proses-proses reproduksi mulai terjadi, yang ditandai dengan kemampuan untuk pertama kalinya memproduksi benih (Partodihardjo 1980). Kematangan secara seksual harimau betina adalah pada usia 3-4 tahun, sedangkan harimau jantan pada usia 4-5 tahun. Smith (1994) mengatakan, usia produktif harimau jantan selama 2-6 tahun dan harimau betina kurang dari 6 tahun dan hidup sampai usia 15 tahun. Akan tetapi, dari data studbook (lampiran 1) diketahui bahwa harimau Sumatera yang hidup dipenangkaran masih produktif sampai usia 20 tahun. Tercatat harimau Sumatera betina di Kebun Binatang Bandung dengan nomor studbook 1051 dan harimau Sumatera jantan di Kebun Binatang Solo dengan nomor studbook 912 masih bisa kawin dan menghasilkan anak. Kemungkinan harimau yang hidup di penangkaran masih bisa bereproduksi sampai usia 25 tahun. Menurut Macdonald (1986) harimau yang ada dipenangkaran dapat hidup dalam usia tahun. Birahi adalah saat dimana hewan betina bersedia menerima pejantan untuk kopulasi. Kopulasi dapat menghasilkan kebuntingan dan selanjutnya menghasikan anak. Jika birahi pertama tidak menghasilkan kebuntingan maka akan nada birahi kedua, ketiga dan seterusnya sampai terjadi kebuntingan. Jarak antar satu birahi dengan birahi berikutnya disebut sikus birahi. Siklus birahi terdiri atas 4 fase yaitu

5 17 proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Estrus adalah fase terpenting dalam siklus birahi, karena dalam fase ini betina memperlihatkan gejala yang khusus untuk tiap jenis hewan dan dalam fase ini pula hewan betina mau menerima pejantan untuk kopulasi (Partodihardjo 1980). Menurut Seal et al (1987) saat birahi harimau betina terlihat lebih aktif, interaksi dengan perawat meningkat dan nafsu makan menurun. Pada hewan jantan, siklus birahi seperti pada betina tidak ada. Pada umumnya pejantan selalu bersedia menerima harimau betina untuk melakukan aktivitas reproduksi. Jika ada harimau jantan yang menolak untuk aktivitas reproduksi bisa jadi harimau jantan tersebut tidak normal atau mengalami kelainan-kelainan. Sistem kawin pada hewan didefinisikan sebagai jumlah pasangan kopulasi tiap individu dalam setiap musim kawin. Sistem kawin ini ada beberapa jenis, yaitu monogami, poligami dan poliandri. Monogami apabila jantan dan betina kawin hanya dengan satu pasangan per musim kawin, poligami jika jantan kawin dengan lebih dari satu betina per musim kawin dan poliandri jika betina kawin dengan lebih dari satu jantan per musim kawin (Goodenough et al 2010). Sistem perkawinan harimau Sumatera tergolong pada poligami dan poliandri karena dapat kawin dengan beberapa pasangan. Berdasarkan penulusuran studbook harimau Sumatera sampai tahun 2010 (lampiran 2), terdapat 44 pasang harimau Sumatera yang telah dikawinkan dengan jumlah pejantan sebanyak 33 ekor dan betina 34 ekor. Dari semua perkawinan yang terjadi, terlihat beberapa Harimau sumatera melakukan perkawinan dengan beberapa jantan atau betina yang berbeda. Hal in menunjukkan bahwa Harimau sumatera bukanlah hewan yang bersifat monogami.

6 18 Tabel 2 Jumlah anak per pasangan pada Harimau sumatera di penangkaran Lokasi No SB No SB Jumlah Anak Asal Asal Jantan Betina (ekor) TSI 1036 Tangkaran 1053 Tangkaran Tangkaran 1052 Tangkaran Tangkaran 1260 Tangkaran Tangkaran IN9969 Alam Alam 1017 Tangkaran Alam 1051 Tangkaran 8 Ragunan 905 Tangkaran 1264 Tangkaran Tangkaran 1270 Tangkaran Tangkaran 1266 Tangkaran Tangkaran 1343 Tangkaran Tangkaran 1348 Tangkaran 4 Bandung 942 Tangkaran 953 Tangkaran Tangkaran 953 Tangkaran Tangkaran 1190 Tangkaran Tangkaran 1191 Tangkaran 3 Solo 912 Tangkaran 943 Tangkaran 9 Surabaya 1035 Alam 1016 Tangkaran 2 Yogyakarta 954 Tangkaran 1018 Alam Tangkaran 1125 Tangkaran 1 Sumber: Studbook Harimau sumatera internasional tahun 2007 Status reproduksi dapat dilihat dari jumlah anak perpasangan. Tabel 2 menunjukkan, pada beberapa penangkaran seperti Taman Safari Indonesia, Taman Margasatwa Ragunan, Kebun Binatang Bandung, Solo, Surabaya, dan Yogyakarta ada 19 pasang harimau yang telah dikawinkan. Pasangan harimau Sumatera dengan nomor SB 942 dan SB 953 di Kebun Binatang Bandung merupakan pasangan harimau Sumatera yang memiliki jumlah anak paling banyak selama masa produktifnya yaitu 21 ekor. Sedangkan pasangan harimau Sumatera dengan nomor SB 1033 dan SB 953 memiliki jumlah anak 7 ekor selama masa produktifnya, sehingga harimau Sumatera betina dengan nomor SB 953 telah melahirkan 28 ekor anak selama masa produktifnya dari dua jantan yang berbeda. Harimau jantan dengan nomor SB 1033 melakukan perkawinan dengan empat betina yang berbeda dan telah menghasilkan 11 ekor anak. Harimau jantan dengan nomor SB 1265 telah menghasilkan 14 ekor anak selama masa produktifnya dari dua betina yang berbeda. Selain itu Harimau jantan SB 1101 (kelahiran tangkaran) yang dikawinkan dengan betina SB IN 9969 (kelahiran alam) memiliki jumlah

7 19 anak sebanyak 17 ekor selama masa produktifnya. Jumlah anak yang dilahirkan menunjukkan adanya hubungan antara reproduksi hewan dengan fekunditas dan litter size. Fekunditas merupakan kesuburan dari seekor hewan betina yang dilihat dari banyak dan seringnya anak yang dilahirkan (Yatim 1999). Tingginya tingkat fekunditas seekor harimau dilihat dari panjangnya masa produktif. Akan tetapi masa produktif seekor harimau betina tidak sepanjang masa produktif harimau jantan. Masa produktif harimau betina dipengaruhi oleh keterbatasan dalam memproduksi sel telur. Selain itu, harimau tidak pernah dikawinkan lagi sehingga tidak bereproduksi juga mempengaruhi masa produktif harimau betina. Berdasarkan data yang didapat dari studbook, harimau betina memiliki tingkat fekunditas berkisar antara 1-7 kali dalam melahirkan anak. Dari data yang didapatkan di studbook (lampiran 2), harimau betina dengan nomor SB 528 merupakan harimau dengan tingkat fekunditas yang tinggi, yaitu mampu melahirkan sebanyak 9 kali sepanjang hidupnya. Berdasarkan studbook, jumlah peristiwa kelahiran harimau Sumatera tidak mengikuti suatu pola reproduksi tertentu. Selain fekunditas, juga dapat dilihat banyaknya anak yang dilahirkan dalam satu kali kebuntingan atau disebut juga dengan litter size. Untuk harimau, rata-rata litter size adalah 3-4 seperti yang disebutkan dalam Triefeld (2007). Hasil penelitian Sagara (2011) didapatkan bahwa rata-rat litter size harimau Sumatera sebesar 2,1. Dari penelusuran data studbook (lampiran 2) didapatkan litter size harimau Sumatera antara 1-6 ekor dalam tiap kelahiran. Dimana harimau dengan nomor SB 887 merupakan harimau betina yang memiliki litter size paling tinggi yaitu mampu melahirkan 6 ekor anak dalam sekali kelahiran. Musim Kawin Mamalia sering menunjukkan variasi musiman dalam reproduksinya. Reproduksi musiman mamalia bergantung pada lingkungan. Kebanyakan kasus reproduksi musiman dipengaruhi oleh faktor makanan, iklim, curah hujan dan suhu. Perbedaan letak geografis atau garis lintang menunjukkan terjadinya

8 20 perbedaan iklim di suatu wilayah (Bronson 1998). Perbedaan iklim inilah yang mempengaruhi musim kawin pada mamalia. Iklim suatu daerah berkaitan erat dengan letak garis lintang dan ketinggiannya di muka bumi. Berdasarkan letak garis lintang dan ketinggian tersebut maka iklim dibagi menjadi dua yaitu iklim matahari dan iklim fisis. Iklim matahari didasarkan pada banyak sedikitnya sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi. Sedangkan iklim fisis adalah menurut keadaan atau fakta sesungguhnya di suatu wilayah muka bumi sebagai hasil pengaruh lingkungan alam yang terdapat di wilayah tersebut misalnya pengaruh lautan, daratan yang luas, relief muka bumi, angin dan curah hujan. Iklim matahari terdiri atas empat iklim yaitu iklim tropis, iklim subtropis, iklim sedang, dan iklim dingin (kutub). Pada daerah tropis, disinari matahari sepanjang tahun sedangkan pada daerah beriklim subtropis hanya disinari matahari pada bulan-bulan tertentu. Terdapat empat musim pada wilayah subtropis, yaitu musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin. Harimau tersebar di wilayah beriklim tropis dan subtropis. Indonesia sebagai habitat harimau Sumatera terletak di wilayah beriklim tropis ( Prawirowardoyo 1996). Dari penulusuran studbook harimau Sumatera sampai tahun 2010, dapat ditentukan bulan perkawinan berdasarkan bulan terjadinya kelahiran. Penghitungan bulan perkawinan dilihat dari bulan kelahiran anak dikurangi dengan rataan lama kebuntingan harimau Sumatera yang berkisar antara hari, atau lebih kurang tiga bulan (LIPI 1982). Dengan masa kebuntingan tersebut dapat diperkirakan kapan terjadinya perkawinan pada harimau Sumatera. Pada kajian ini penentuan waktu kawin berdasarkan tanggal lahir dikurangi rataan lama kebuntingan. Sehingga dapat diperkirakan kapan terjadinya perkawinan. Pada Tabel 3 dapat dilihat perkiraan bulan terjadinya perkawinan.

9 21 Tabel 3 Data kelahiran harimau Sumatera di penangkaran Bulan Kelahiran Jumlah Perkawinan Jumlah Induk (pasang) Jumlah Anak (ekor) April ,0 Mei ,5 Juni ,4 Juli ,3 Agustus ,5 September ,5 Oktober ,0 November ,5 Desember ,7 Januari ,6 Februari ,4 Maret ,4 Sumber: Studbook Harimau sumatera internasional tahun Rataan Jumlah Perkawinan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Bulan Gambar 2 Perkiraan perkawinan harimau Sumatera di penangkaran ex-situ berdasarkan bulan kelahiran (Sumber: Studbook harimau Sumatera sampai tahun 2010)

10 22 Jumlah Anak (Ekor) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Bulan Gambar 3 Jumlah anak yang dilahirkan tiap bulan di penangkaran ex-situ (Sumber: Studbook harimau Sumatera sampai tahun 2010) Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa pada harimau Sumatera yang ada pada lembaga konservasi di Indonesia, perkawinan terjadi sepanjang tahun. Perkawinan paling banyak terjadi di bulan Februari (17 pasang) dengan kelahiran anak sebanyak 42 ekor pada bulan Mei. Perkawinan paling sedikit terjadi pada bulan Mei (4 pasang) dengan kelahiran anak sebanyak 10 ekor pada bulan Agustus. Hal ini menunjukkan adanya korelasi antara bulan kelahiran dengan bulan perkawinan. Harimau Sumatera betina di Indonesia, hidup di daerah tropis yang hanya memiliki dua musim, dimana curah hujan merata sepanjang tahun yakni sekitar mm dan fluktuasi suhu berkisar antara 3-5 C (Sipayung 2004). Data menunjukkan bahwa perkawinan dapat berlangsung sepanjang tahun, sesuai dengan pernyataan Semiadi dan Nugraha (2006). Hal ini mendukung pernyataan Geptner et al (1992) yang menyatakan bahwa reproduksi nonsesasonal adalah karakteristik dari hewan tropis. Belum dapat dipastikan apakah setiap harimau Sumatera betina mengalami estrus berulang sepanjang tahun seperti pada sapi karena belum ada penelitian lebih lanjut mengenai hal ini. Mamalia yang hidup di daerah subtropis, contohnya harimau Benggala, memiliki musim kawin pada musim dingin dan musim semi. Dari hasil penelitian Saputra (2010) pada harimau Benggala frekuensi perkawinan tertinggi terjadi dari

11 23 bulan Januari sampai Maret. Hal ini ternyata serupa dengan harimau Sumatera yang hidup di Indonesia. Jumlah peristiwa kelahiran yang tinggi pada bulan tersebut menandakan adanya kecenderungan peningkatan jumlah estrus. Hasil penelitian Hidayani (2007) juga menyatakan bahwa harimau Sumatera yang hidup di daerah subtropis bagian utara (Eropa, Amerika Serikat, Asia Tengah, Asia Timur) mengalami perkawinan terbanyak pada musim dingin dan musim semi. Hewan yang hidup di daerah subtropis, termasuk ke dalam golongan hewan polyestrus bermusim atau seasonally polyestrus, yaitu hewan yang menunjukkan gejala birahi beberapa kali dalam satu musim kawin. Harimau Siberia merupakan contoh hewan dengan seasonally polyestrus (Senger 1999). Beberapa data yang diperoleh menunjukkan bahwa banyaknya perkawinan yang terjadi pada akhir musim hujan (daerah tropis) dan akhir musim dingin (daerah subtropis) dipengaruh oleh kondisi lingkungan. Pada daerah subtropis misalnya, perkawinan banyak terjadi di musim dingin agar anak tepat lahir di musim semi, dimana pada musim ini tanaman tumbuh dengan subur sehingga hewan herbivora yang merupakan hewan mangsa dari harimau juga banyak tersedia. Menurut beberapa analisa biologik, hewan yang hidup di daerah subtropis menyesuaikan diri dengan lingkungan. Dengan adanya musim kawin pada bulan-bulan tertentu dan lamanya masa bunting, maka anak-anak mereka akan lahir tepat pada waktu lingkungan dalam keadaan yang baik untuk hidup yaitu banyak makanan, udara tidak terlalu dingin atau terlalu panas (Partodihardjo 1980). Keseluruhan data yang diperoleh menunjukkan bahwa aspek utama untuk menunjang keberhasilan penangkaran adalah aspek reproduksi. Peningkatkan performa reproduksi sangat didukung oleh pengelolaan penangkaran yang baik meliputi pengaturan penjodohan, pemberian pakan yang tepat dan pengelolaan kesehatan. Sistem good husbandry juga dapat diterapkan seperti pengelolaan pakan, kandang dan lingkungan yang baik sehingga tercipta individu sehat yang memiliki kemampuan reproduksi yang baik pula.

KAJIAN MUSIM KAWIN HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) PADA LEMBAGA KONSERVASI DI INDONESIA ANDI EKA PUTRA

KAJIAN MUSIM KAWIN HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) PADA LEMBAGA KONSERVASI DI INDONESIA ANDI EKA PUTRA KAJIAN MUSIM KAWIN HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) PADA LEMBAGA KONSERVASI DI INDONESIA ANDI EKA PUTRA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 ABSTRAK ANDI EKA PUTRA.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Morfologi 3 TINJAUAN PUSTAKA Harimau Sumatera yang ditemukan di pulau Sumatera biasa juga disebut dengan harimau loreng. Hal ini dikarenakan warna kuning-oranye dengan garis hitam vertikal pada tubuhnya. Taksonomi

Lebih terperinci

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

Rini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK

Rini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK EVALUASI PRODUKTIVITAS ANAK DOMBA LOKAL MENGGUNAKAN RUMUS PRODUKTIVITAS MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI REPRODUKSI (Kasus di Peternakan Rakyat Desa Neglasari Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta) Rini

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pedesaan pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani, selain usaha pertaniannya, usaha peternakan pun banyak dikelola oleh masyarakat pedesaan salah satunya

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP Buletin Prakiraan Musim Kemarau 2016 i KATA PENGANTAR Penyajian prakiraan musim kemarau 2016 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diterbitkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat disamping publikasi

Lebih terperinci

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat UKURAN KRITERIA REPRODUKSI TERNAK Sekelompok ternak akan dapat berkembang biak apalagi pada setiap ternak (sapi) dalam kelompoknya mempunyai kesanggupan untuk berkembang biak menghasilkan keturunan (melahirkan)

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.2

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.2 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.2 1. Contoh pelestarian secara ex situ di Indonesia adalah... TN Lore Lindu SM Kutai Cagar Alam Nusa

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penerbitan publikasi prakiraan musim hujan ini.

KATA PENGANTAR. Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penerbitan publikasi prakiraan musim hujan ini. KATA PENGANTAR Penyajian Prakiraan Musim Hujan 2016/2017 di Provinsi Sumatera Selatan ditujukan untuk memberi informasi kepada masyarakat, disamping publikasi buletin agrometeorologi, analisis dan prakiraan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian mengenai teknik penangkaran dan analisis koefisien inbreeding jalak bali dilakukan di penangkaran Mega Bird and Orchid Farm (MBOF),

Lebih terperinci

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat Problem utama pada sub sektor peternakan saat ini adalah ketidakmampuan secara optimal menyediakan produk-produk peternakan, seperti daging, telur, dan susu untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat akan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk

I. PENDAHULUAN. Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Pariwisata telah menjadi bagian

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada peningkatan pendapatan, taraf hidup, dan tingkat pendidikan masyarakat yang pada akhirnya

Lebih terperinci

FASE-FASE BULAN DAN JARAK BUMI-BULAN PADA TAHUN 2014

FASE-FASE BULAN DAN JARAK BUMI-BULAN PADA TAHUN 2014 FASE-FASE BULAN DAN JARAK BUMI-BULAN PADA TAHUN 2014 Bulan mengelilingi Bumi dalam bentuk orbit ellips sehingga pada suatu saat Bulan akan berada pada posisi terdekat dari Bumi, yang disebut perigee, dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Parameter Curah Hujan model REMO Data curah hujan dalam keluaran model REMO terdiri dari 2 jenis, yaitu curah hujan stratiform dengan kode C42 dan curah hujan konvektif dengan

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) merupakan kelinci hasil persilangan dari Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB I PENDAHULUAN Pengaruh pemanasan global yang sering didengungkan tidak dapat dihindari dari wilayah Kalimantan Selatan khususnya daerah Banjarbaru. Sebagai stasiun klimatologi maka kegiatan observasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) bukan berasal dari New Zealand, tetapi dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN,

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 22 Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.330, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Pelestarian. Suaka. Kawasan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5798) PERATURAN

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki tingkat pertumbuhan pariwisata yang tinggi. Potensi wisata yang dimiliki Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persepsi Peternak Terhadap IB Persepsi peternak sapi potong terhadap pelaksanaan IB adalah tanggapan para peternak yang ada di wilayah pos IB Dumati terhadap pelayanan IB

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

BAB IV GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN BAB IV GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 4.1 Latar Belakang Perusahaan Taman Safari Indonesia II (TSI II) merupakan suatu wahana yang berkonsep kebun binatang modern, di mana jenis satwa ditempatkan di lokasi yang

Lebih terperinci

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp: (021) 7353018 / Fax: 7355262, Tromol Pos. 7019 / Jks KL, E-mail

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, namun sampai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. Rusa di Indonesia terdiri dari empat spesies rusa endemik yaitu: rusa sambar (Cervus unicolor),

Lebih terperinci

Anoa (Bubalus sp.) Fauna endemik sulawesi Populasi menurun Status endangered species IUCN Appendix I CITES. Upaya konservasi. In-situ.

Anoa (Bubalus sp.) Fauna endemik sulawesi Populasi menurun Status endangered species IUCN Appendix I CITES. Upaya konservasi. In-situ. Anoa (Bubalus sp.) Fauna endemik sulawesi Populasi menurun Status endangered species IUCN Appendix I CITES Upaya konservasi In-situ Ex-situ PENANGKARAN PERJALANAN 2015 ANOA BREEDING CENTER 2009 EKOLOGI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki Indeks Keanekaragaman Hayati(Biodiversity Index) tertinggi dengan 17% spesies burung dari total burung di dunia (Paine 1997). Sekitar 1598 spesies burung ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB). CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB). Peningkatan produktifitas ternak adalah suatu keharusan, Oleh karena itu diperlukan upaya memotivasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sehingga membutuhkan ketersediaan makanan yang memiliki gizi baik yang berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa, BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa, sebagian diantaranya dikategorikan langka, tetapi masih mempunyai potensi untuk ditangkarkan, baik

Lebih terperinci

Tinjauan Pasar Daging dan Telur Ayam. Informasi Utama :

Tinjauan Pasar Daging dan Telur Ayam. Informasi Utama : Nov 10 Des-10 Jan-11 Feb-11 Mar-11 Apr-11 Mei-11 Jun-11 Jul-11 Agust-11 Sep-11 Okt-11 Nop-11 Edisi : 11/AYAM/TKSPP/2011 Tinjauan Pasar Daging dan Telur Ayam Informasi Utama : Harga daging ayam di pasar

Lebih terperinci

Tinjauan Pasar Daging dan Telur Ayam

Tinjauan Pasar Daging dan Telur Ayam Sep-10 Okt-10 Nov 10 Des-10 Jan-11 Feb-11 Mar-11 Apr-11 Mei-11 Jun-11 Jul-11 Agust-11 Sep-11 Edisi : 9/AYAM/TKSPP/ Tinjauan Pasar Daging dan Telur Ayam Informasi Utama : Harga daging ayam di pasar domestik

Lebih terperinci

KONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI

KONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI KONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI priyambodo@fmipa.unila..ac.id #RIPYongki Spesies dan Populasi Species : Individu yang mempunyai persamaan secara morfologis, anatomis, fisiologis dan mampu saling

Lebih terperinci

Beberapa fakta dari letak astronomis Indonesia:

Beberapa fakta dari letak astronomis Indonesia: Pengaruh Letak Geografis Terhadap Kondisi Alam dan Flora Fauna di Indonesia Garis Lintang: adalah garis yang membelah muka bumi menjadi 2 belahan sama besar yaitu Belahan Bumi Utara dan Belahan Bumi Selatan.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung)

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sumba Timur terletak di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sumba Timur terletak di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur 25 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian Kabupaten Sumba Timur terletak di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kabupaten Sumba Timur terletak di antara 119 45 120 52 Bujur

Lebih terperinci

Bulan Basah (BB) : Bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan melebihi angka evaporasi).

Bulan Basah (BB) : Bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan melebihi angka evaporasi). 1. Klasifikasi Iklim MOHR (1933) Klasifikasi iklim di Indonesia yang didasrakan curah hujan agaknya di ajukan oleh Mohr pada tahun 1933. Klasifikasi iklim ini didasarkan oleh jumlah Bulan Kering (BK) dan

Lebih terperinci

STRUKTUR ONGKOS USAHA PETERNAKAN TAHUN 2014

STRUKTUR ONGKOS USAHA PETERNAKAN TAHUN 2014 No. 81/12/19/Th.II, 23 Desember 2014 STRUKTUR ONGKOS USAHA PETERNAKAN TAHUN 2014 TOTAL BIAYA PRODUKSI PER EKOR PER TAHUN DARI USAHA SAPI POTONG SEBESAR Rp5,7 JUTA, DAN USAHA AYAM KAMPUNG Rp73 RIBU A. SAPI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sudah dinyatakan punah pada tahun 1996 dalam rapat Convention on

BAB I PENDAHULUAN. sudah dinyatakan punah pada tahun 1996 dalam rapat Convention on BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa sekarang ini, jumlah populasi manusia semakin meningkat. Di Indonesia kepadatan penduduknya mencapai 200 juta jiwa lebih. Kebutuhan akan tempat dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang- I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah langka. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Nganjuk yang terletak pada propinsi Jawa Timur merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Nganjuk yang terletak pada propinsi Jawa Timur merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Nganjuk yang terletak pada propinsi Jawa Timur merupakan kota kecil yang sebagian besar penduduknya bercocok tanam. Luas Kabupaten Nganjuk adalah ± 122.433

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar 14 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan flora

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) Kambing PE pada awalnya dibudidayakan di wilayah pegunungan Menoreh seperti Girimulyo, Samigaluh, Kokap dan sebagian Pengasih (Rasminati,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kalimantan Selatan sebagai salah satu wilayah Indonesia yang memiliki letak geografis di daerah ekuator memiliki pola cuaca yang sangat dipengaruhi oleh aktifitas monsoon,

Lebih terperinci

ROMMY ANDHIKA LAKSONO. Agroklimatologi

ROMMY ANDHIKA LAKSONO. Agroklimatologi ROMMY ANDHIKA LAKSONO Agroklimatologi Gambar : Pembagian daerah iklim matahari A. Iklim Matahari Iklim matahari didasarkan pada banyak sedikitnya sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi. Pembagiannya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan produksi daging merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan sekaligus memajukan tingkat kecerdasan sumber daya manusia Indonesia.

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ). KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.1

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.1 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.1 1. Akar tumbuhan selalu tumbuh ke bawah. Hal ini dipengaruhi oleh... Cahaya matahari Tekanan udara

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN KEBUN BINATANG MEDAN. Sungai Babura yang bermuara di Selat Malaka.

BAB II GAMBARAN KEBUN BINATANG MEDAN. Sungai Babura yang bermuara di Selat Malaka. BAB II GAMBARAN KEBUN BINATANG MEDAN 2.1. Letak Geografis Medan Kotamadya Medan merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Kota ini merupakan wilayah yang subur di wilayah

Lebih terperinci

POLA PENGGUNAAN WAKTU OLEH ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii, LESSON 1827) DI TAMAN MARGA SAWTA RAGUNAN RIZKI KURNIA TOHIR E

POLA PENGGUNAAN WAKTU OLEH ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii, LESSON 1827) DI TAMAN MARGA SAWTA RAGUNAN RIZKI KURNIA TOHIR E POLA PENGGUNAAN WAKTU OLEH ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii, LESSON 1827) DI TAMAN MARGA SAWTA RAGUNAN RIZKI KURNIA TOHIR E34120028 Dosen Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA PROGRAM STUDI KONSERVASI BIODIVERSITAS

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 8 eigenvalue masing-masing mode terhadap nilai total eigenvalue (dalam persen). PC 1 biasanya menjelaskan 60% dari keragaman data, dan semakin menurun untuk PC selanjutnya (Johnson 2002, Wilks 2006, Dool

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. Bahwa berdasarkan Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya

Lebih terperinci

POLA PENGGUNAAN RUANG OLEH ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii, LESSON 1827) DI TAMAN MARGA SAWTA RAGUNAN RIZKI KURNIA TOHIR E

POLA PENGGUNAAN RUANG OLEH ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii, LESSON 1827) DI TAMAN MARGA SAWTA RAGUNAN RIZKI KURNIA TOHIR E POLA PENGGUNAAN RUANG OLEH ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii, LESSON 1827) DI TAMAN MARGA SAWTA RAGUNAN RIZKI KURNIA TOHIR E34120028 Dosen Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA PROGRAM STUDI KONSERVASI BIODIVERSITAS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN SIMPANAN *) BANK UMUM POSISI NOVEMBER 2011

PERTUMBUHAN SIMPANAN *) BANK UMUM POSISI NOVEMBER 2011 Nop-06 Feb-07 Mei-07 Agust-07 Nop-07 Feb-08 Mei-08 Agust-08 Nop-08 Feb-09 Mei-09 Agust-09 Nop-09 Feb-10 Mei-10 Agust-10 Nop-10 Feb-11 Mei-11 Agust-11 PERTUMBUHAN SIMPANAN *) BANK UMUM POSISI NOVEMBER 2011

Lebih terperinci

CH BULANAN. Gambar 3. Curah hujan bulanan selama percobaan lapang

CH BULANAN. Gambar 3. Curah hujan bulanan selama percobaan lapang BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Agroklimat Wilayah Penelitian Dari hasil analisis tanah yang dilakukan pada awal penelitian menunjukan bahwa tanah pada lokasi penelitian kekurangan unsur hara

Lebih terperinci

Rata-rata Harga Gabah Menurut Kualitas, Komponen Mutu dan HPP di Tingkat Petani di Indonesia,

Rata-rata Harga Gabah Menurut Kualitas, Komponen Mutu dan HPP di Tingkat Petani di Indonesia, Rata-rata Menurut Kualitas, Komponen Mutu dan HPP di Tingkat Petani di Indonesia, 2012-2016 / Bulan Giling Kualitas (Rp/Kg) Kadar Air (%) Kadar Hampa/Kotoran (%) Panen Giling Panen Giling Panen HPP 1)

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI. Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT. Nohanamian Tambun

TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI. Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT. Nohanamian Tambun TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI SUMBER AIR BERSIH PDAM JAYAPURA Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT Nohanamian Tambun 3306 100 018 Latar Belakang Pembangunan yang semakin berkembang

Lebih terperinci

Perkembangan Pariwisata Provinsi Jawa Timur Agustus 2017

Perkembangan Pariwisata Provinsi Jawa Timur Agustus 2017 Perkembangan Pariwisata Provinsi Jawa Timur Agustus No. 65/10/35/Th. XV, 2 Oktober BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TIMUR Perkembangan Pariwisata Provinsi Jawa Timur Agustus Jumlah Wisman di Jawa Timur

Lebih terperinci

Pertumbuhan Simpanan BPR dan BPRS

Pertumbuhan Simpanan BPR dan BPRS Pertumbuhan Simpanan BPR dan BPRS Semester I Tahun 2015 Divisi Statistik, Kepesertaan, dan Premi Penjaminan Direktorat Penjaminan dan Manajemen Risiko DAFTAR ISI Jumlah BPR/BPRS Peserta Penjaminan Grafik

Lebih terperinci

DAMPAK KEKERINGAN DAN GANGGUAN ASAP AKIBAT EL NINO 2015 TERHADAP PERFORMA TANAMAN KELAPA SAWIT DI BAGIAN SELATAN SUMATERA

DAMPAK KEKERINGAN DAN GANGGUAN ASAP AKIBAT EL NINO 2015 TERHADAP PERFORMA TANAMAN KELAPA SAWIT DI BAGIAN SELATAN SUMATERA DAMPAK KEKERINGAN DAN GANGGUAN ASAP AKIBAT EL NINO 2015 TERHADAP PERFORMA TANAMAN KELAPA SAWIT DI BAGIAN SELATAN SUMATERA Nuzul Hijri Darlan, Iput Pradiko, Muhdan Syarovy, Winarna dan Hasril H. Siregar

Lebih terperinci

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan 3.3.2 Pengolahan Data Pengolahan data terdiri dari dua tahap, yaitu pendugaan data suhu Cikajang dengan menggunakan persamaan Braak (Djaenuddin, 1997) dan penentuan evapotranspirasi dengan persamaan Thornthwaite

Lebih terperinci

7. PEMBAHASAN UMUM. Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agt Sep Okt Nop Des. Gambar 21 Ukuran testis walet linchi selama 12 bulan

7. PEMBAHASAN UMUM. Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agt Sep Okt Nop Des. Gambar 21 Ukuran testis walet linchi selama 12 bulan 7. PEMBAHASAN UMUM Morfologi Gonad dan Kelenjar Mandibularis Walet Linchi Dari hasil pengamatan selama 12 bulan terhadap perubahan morfologi yang terjadi pada gonad jantan dan betina. Tampak perubahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 11 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati baik flora dan fauna yang sangat tinggi, salah satu diantaranya adalah kelompok primata. Dari sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia tergolong dalam 10 negara megadiversitas dunia yang memiliki keanekaragaman paling tinggi di dunia (Mackinnon dkk dalam Primack dkk, 2007:454). Keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi lokal. Sapi ini tahan terhadap iklim tropis dengan musim kemaraunya (Yulianto

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS IKLIM INDONESIA Pengertian Iklim Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

PLASMA NUTFAH. OLEH SUHARDI, S.Pt.,MP

PLASMA NUTFAH. OLEH SUHARDI, S.Pt.,MP PLASMA NUTFAH OLEH SUHARDI, S.Pt.,MP Sejak berakhirnya konvensi biodiversitas di Rio de Jenairo, Brasil, 1992, plasma nutfah atau sumber daya genetik tidak lagi merupakan kekayaan dunia di mana setiap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung proses-proses ekologis di dalam ekosistem. Kerusakan hutan dan aktivitas manusia yang semakin meningkat

Lebih terperinci

Klasifikasi Iklim. Klimatologi. Meteorology for better life

Klasifikasi Iklim. Klimatologi. Meteorology for better life Klasifikasi Iklim Klimatologi Klasifikasi?? Unsur-unsur iklim tidak berdiri sendiri tetapi saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Terdapat kecenderungan dan pola yang serupa apabila faktor utama

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang cukup banyak dan tersebar luas di wilayah pedesaan. Menurut Murtidjo (1993), kambing Kacang memiliki

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Usaha Ternak Sapi Perah

KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Usaha Ternak Sapi Perah II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Usaha Ternak Sapi Perah Perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia tidak terlepas dari sejarah perkembangannya dan kebijakan pemerintah sejak zaman Hindia Belanda. Usaha

Lebih terperinci

PRESENSI DOSEN DIPEKERJAKAN KOPERTIS WILAYAH V

PRESENSI DOSEN DIPEKERJAKAN KOPERTIS WILAYAH V Pangkat/Gol. : Perguruan Tinggi : Universitas Ahmad Dahlan Jabatan Fungsional : Bulan : Januari 2014 No. HARI TANGGAL DATANG PULANG. DATANG PULANG 1 Rabu 01-Jan-14 Libur Libur Libur 2 Kamis 02-Jan-14 1.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami

I. PENDAHULUAN. mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kupu-kupu merupakan serangga yang memiliki keindahan warna dan bentuk sayap sehingga mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami

Lebih terperinci

Oleh : Rodo Lasniroha, Yuniarti K. Pumpun, Sri Pratiwi S. Dewi. Surat elektronik :

Oleh : Rodo Lasniroha, Yuniarti K. Pumpun, Sri Pratiwi S. Dewi. Surat elektronik : PENANGKAPAN DAN DISTRIBUSI HIU (APPENDIX II CITES) OLEH NELAYAN RAWAI DI PERAIRAN SELATAN TIMOR CATCH AND DISTRIBUTION OF SHARKS (APPENDIX II CITES) BY LONGLINE FISHERMEN IN SOUTH WATER OF TIMOR Oleh :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma nutfah nasional Indonesia, hasil domestikasi dari banteng liar beratus-ratus tahun yang lalu.

Lebih terperinci

FASE-FASE BULAN DAN JARAK BUMI-BULAN PADA TAHUN 2015

FASE-FASE BULAN DAN JARAK BUMI-BULAN PADA TAHUN 2015 FASE-FASE BULAN DAN JARAK BUMI-BULAN PADA TAHUN 2015 adalah benda langit yang mengorbit Bumi. Karena sumber cahaya yang terlihat dari Bumi adalah pantulan sinar Matahari, bentuk yang terlihat dari Bumi

Lebih terperinci

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid.

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid. TAMBAHAN PUSTAKA Distribution between terestrial and epiphyte orchid. Menurut Steeward (2000), distribusi antara anggrek terestrial dan epifit dipengaruhi oleh ada atau tidaknya vegetasi lain dan juga

Lebih terperinci

2013, No.6 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan: 1. Pemberdayaan Peternak adalah segala upaya yang dila

2013, No.6 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan: 1. Pemberdayaan Peternak adalah segala upaya yang dila No.6, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Peternak. Pemberdayaan. Hewan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5391) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu HASIL DAN PEMBAHASAN Manajemen Pemeliharaan Komponen utama dalam beternak puyuh baik yang bertujuan produksi hasil maupun pembibitan terdiri atas bibit, pakan serta manajemen. Penelitian ini menggunakan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGGARA MARET 2015

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGGARA MARET 2015 No. 02/05/Th. VI, 4 Mei 2015 PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGGARA MARET 2015 Nilai ekspor Sulawesi Tenggara pada bulan Maret 2015 tercatat US$ 15,96 juta atau mengalami penurunan sebesar 67,60

Lebih terperinci