BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia adalah dengan menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP Pasal 1, ayat 15) dikemukakan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Pengembangan KTSP perlu didukung oleh iklim pembelajaran yang kondusif bagi terciptanya suasana yang aman, nyaman dan tertib, sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dengan tenang dan menyenangkan (enjoyable learning). Iklim yang demikian akan mendorong terwujudnya proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan bermakna; yang lebih menekankan pada belajar mengetahui (learning to know), belajar berkarya (learning to do), belajar menjadi diri sendiri (learning to be) dan belajar hidup bersama secara harmonis (learning to live together). Suasana tersebut akan memupuk tumbuhnya kemandirian dan berkurangnya ketergantungan di kalangan warga sekolah, bersifat adaptif dan proaktif serta memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, dan berani mengambil resiko), tidak saja bagi peserta didik, tetapi juga guru dan pimpinannya (Mulyasa, 2006:33). Conpolat (Intan Pulungan, 2008:1) menyatakan bahwa sebagian besar materi ilmu kimia tergolong abstrak, sehinggga ilmu kimia dipelajari dengan cara penyederhanaan dari kebanyakan objek yang ada di dunia ini. Pembahasannya tidak hanya sekedar dengan pemecahan soal-soal yang terdiri dari angka-angka (soal numerik) melainkan juga menyertakan penjelasan-penjelasan tentang fenomena kimiawi yang terkandung di dalamnya. Hasil pengamatan Intan Pulungan (Intan Pulungan, 2008:1) di lapangan dalam proses pendidikan IPA menunjukkan beberapa kendala, antara lain kurangnya partisipasi guru dalam merancang dan menerapkan metode yang relevan dengan situasi kelas dan masih 1

2 2 banyak peserta didik yang terpaksa menghafal materi pembelajaran karena penjelasan guru tidak membantu peserta didik untuk mendeskripsikan kimia secara benar. Pembelajaran di sekolah secara umum masih menggunakan model pembelajaran yang berorientasi pada pemrosesan informasi. Model pembelajaran yang berorientasi pada pemrosesan informasi menekankan pada peningkatan kemampuan peserta didik dalam memproses informasi (Sutiman dan Eli Rohaeti, 2007:33). Model pembelajaran yang berorientasi pada pemrosesan informasi memiliki kelemahan seperti kurangnya sikap saling mendorong terhadap teman untuk meraih sukses secara akademis. Seringkali, para peserta didik mampu melakukan pekerjaan yang luar biasa dalam menjelaskan gagasan-gagasan yang sulit dengan menerjemahkan bahasa yang digunakan guru ke dalam bahasa peserta didik sehingga peserta didik dapat lebih mudah memahami materi pembelajaran. Guru perlu mengkombinasikan berbagai model pembelajaran dan memvariasinya dari satu pertemuan ke pertemuan yang lain sehingga para peserta didik dapat saling membantu dalam belajar dan saling mendorong satu sama lain untuk meraih sukses secara akademis. Pengetahuan dibentuk oleh peserta didik secara aktif, tidak harus menunggu informasi yang diberikan guru. Peserta didik harus dijadikan pusat dalam proses pembelajaran. Guru berperan sebagai mediator dan fasilitator dalam pembelajaran. Untuk mendukung hal tersebut, para ahli pendidikan telah mengembangkan berbagai model pembelajaran yang lebih berpusat pada peserta didik dengan model pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai hasil belajar berupa prestasi akademik, toleransi, menerima keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial. Untuk mencapai hasil belajar itu model pembelajaran kooperatif menuntut kerja sama dan interdependensi peserta didik dalam struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur reward-nya (Agus Suprijono, 2009 : 61). Salah satu jenis model pembelajaran kooperatif adalah tipe Two Stay Two Stray (TSTS). Pembelajaran kooperatif tipe TSTS, atau dua tinggal dua tamu, merupakan pembelajaran kooperatif yang memberi kesempatan kepada kelompok untuk membagi hasil dan informasi kepada kelompok lain. Hal ini dilakukan karena banyak kegiatan belajar yang diwarnai dengan kegiatan-kegiatan individu. Peserta

3 3 didik bekerja sendiri pada saat proses pembelajaran berlangsung dan tidak diperbolehkan melihat pekerjaan peserta didik lain. Padahal dalam kenyataan hidup di luar sekolah, kehidupan dan kerja manusia saling bergantung satu dengan yang lainnya. Model pembelajaran kooperatif tipe TSTS cocok diterapkan di SMA, karena peserta didik SMA cenderung menyukai berkelompok. Selain itu, model ini juga dapat menumbuhkan aktivitas peserta didik berupa membaca materi, berdiskusi antar teman, membagi hasil dan informasi kepada kelompok lain, mencari jawaban dari masalah yang timbul, mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas. Hal inilah yang menjadi dasar pemilihan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS untuk diterapkan pada peserta didik SMA kelas X. Aktivitas belajar peserta didik diharapkan dapat efektif untuk meningkatkan prestasi belajar peserta didik. Dalam penelitian ini aktivitas belajar kimia peserta didik diungkap melalui angket aktivitas belajar kimia. Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 1 Wonosari karena sekolah tersebut mempunyai lingkungan pendidikan yang kondusif dari segi fisik maupun proses pembelajaran. Sarana dan prasarana yang tersedia cukup lengkap guna mendukung proses pembelajaran. Berdasarkan observasi di SMA Negeri 1 Wonosari, selama ini guru di kelas menggunakan model pembelajaran yang berorientasi pada pemrosesan informasi dengan metode ceramah dan latihan soal. Proses pembelajaran kimia menjadi monoton dan peserta didik kurang terarah pada kegiatan belajar bersama, sehingga peserta didik kurang terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran, hanya menerima apa yang disampaikan oleh guru dan dapat menjemukan apabila penyajian materi pembelajaran kurang menarik terlebih materi yang melibatkan operasi matematika seperti konsep redoks, serta prestasi belajar kimia peserta didik pun menjadi rendah. Prestasi belajar merupakan hasil dari proses pembelajaran yang dapat diketahui dari tes prestasi belajar. Berdasarkan analisis Baharuddin (2008, tentang kesulitan peserta didik kelas 1 MAN Babakan Ciwaringin Cirebon dalam mempelajari reaksi reduksi oksidasi (redoks) melalui skema pemecahan masalah, ternyata bahwa peserta didik mengalami kesulitan belajar reaksi redoks. Kesulitan belajar yang dialami peserta didik antara lain kesulitan menyetarakan jumlah atom

4 4 yang mengalami perubahan muatan dan menentukan zat yang dioksidasi atau direduksi. Selain itu peserta didik juga mengalami kesulitan dalam menentukan oksidator atau reduktor, serta mengidentifikasi bilangan oksidasi masing-masing unsur. Kesulitan belajar tersebut diharapkan dapat diatasi dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS. Hal ini sesuai dengan penelitian Denis Yulyaningtyas (2010, yang menemukan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar peserta didik. Menurut Ausubel (Ratna Wilis Dahar, 1996:117) faktor yang paling penting yang mempengaruhi hasil belajar adalah apa yang telah diketahui oleh peserta didik. Materi pokok baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan materi pokok yang telah ada dalam struktur kognitif peserta didik agar terjadi belajar bermakna. Oleh karena itu, dalam penelitian ini pengetahuan awal peserta didik dikendalikan secara statistik. Materi pembelajaran yang diambil dalam penelitian ini yaitu perkembangan konsep redoks, bilangan oksidasi, tata nama menurut IUPAC, serta penerapan redoks dalam kehidupan sehari-hari. Konsep redoks kelas X semester II mengandung konsep kimia dan operasi matematika yang perlu pemahaman sehingga diduga materi redoks lebih sesuai dipelajari menggunakan pembelajaran model kooperatif tipe TSTS. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah yaitu: 1. Anggapan bahwa kimia itu abstrak dan sulit dimengerti menyebabkan aktivitas dan prestasi belajar kimia peserta didik rendah. 2. Model pembelajaran yang berorientasi pada pemrosesan informasi memiliki kelemahan seperti kurangnya sikap saling mendorong satu sama lain untuk meraih sukses secara akademis. 3. Penyajian materi pembelajaran di sekolah kurang menarik dan kurang melibatkan aktivitas belajar peserta didik. 4. Penerapan model pembelajaran di sekolah saat ini belum memperhatikan faktor perkembangan peserta didik.

5 5 5. Peserta didik mengalami kesulitan belajar reaksi redoks, antara lain kesulitan menyetarakan jumlah atom yang mengalami perubahan muatan dan menentukan zat yang dioksidasi atau direduksi, menentukan oksidator atau reduktor, serta mengidentifikasi bilangan oksidasi masing-masing unsur. C. Pembatasan Masalah Mengingat ruang lingkup permasalahan penelitian cukup luas, perlu diberikan batasan masalah antara lain: 1. Yang dimaksud dengan peserta didik dalam penelitian ini adalah siswa SMA pada umumnya dan khususnya siswa kelas X semester 2 di SMA Negeri 1 Wonosari tahun ajaran 2010/ Materi pembelajaran dalam penelitian ini adalah Reaksi Redoks untuk peserta didik kelas X semester Aktivitas belajar kimia peserta didik diungkap dengan menggunakan angket aktivitas belajar kimia peserta didik. 4. Prestasi belajar kimia peserta didik diungkap dengan menggunakan tes prestasi belajar kimia berupa soal objektif mengenai Reaksi Redoks. 5. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dinyatakan efektif apabila aktivitas dan prestasi belajar kimia peserta didik yang mengikuti pembelajaran kimia dengan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS lebih baik (ada perbedaan yang signifikan dan positif) dibandingkan dengan peserta didik yang mengikuti pembelajaran kimia tanpa menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS. 6. Pengetahuan awal peserta didik dikendalikan secara statistik. Pengetahuan awal ini berupa nilai UAS murni kimia peserta didik kelas X semester 1. D. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi, masalah yang diteliti dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah ada perbedaan aktivitas belajar kimia antara peserta didik yang mengikuti pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dengan peserta didik yang mengikuti pembelajaran tidak dengan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS?

6 6 2. Apakah ada perbedaan prestasi belajar kimia antara peserta didik yang mengikuti pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dengan peserta didik yang mengikuti pembelajaran tidak dengan TSTS, jika pengetahuan awal kimia peserta didik dikendalikan secara statistik? E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1. Perbedaan aktivitas belajar kimia antara peserta didik yang mengikuti pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dengan peserta didik yang mengikuti pembelajaran tidak dengan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS. 2. Perbedaan prestasi belajar kimia antara peserta didik yang mengikuti pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dengan peserta didik yang mengikuti pembelajaran tidak dengan TSTS, jika pengetahuan awal kimia peserta didik dikendalikan secara statistik. F. Kegunaan Penelitian 1. Memberikan gambaran kepada guru kimia dalam merancang pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS sebagai salah satu pilihan model dalam pembelajaran kimia. 2. Memberikan alternatif bagi guru kimia tentang model pembelajaran yang dapat digunakan. 3. Membiasakan peserta didik untuk bekerja sama dan ketergantungan positif antar peserta didik.