ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI SUMATERA SELATAN"

Transkripsi

1 ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI SUMATERA SELATAN BRILLIANT FAISAL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI SUMATERA SELATAN BRILLIANT FAISAL Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

3 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 26 April 1977 dari pasangan H. Bachsir Nanlay dan Hj. Fitriah, yang merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Tahun 1995, penulis berhasil lulus dari SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta dan pada tahun 1996 diterima di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur UMPTN dan menyelesaikan studi S1 tersebut pada Tahun Penulis merupakan staf di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan dan pada bulan Agustus tahun 2008 dinyatakan diterima di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah untuk melanjutkan studi magister dengan beasiswa pendidikan melalui program beasiswa dari Pusbindiklatren Bappenas. Penulis menikah dengan Fitri Agustriani pada tahun 2004 dan telah dikarunai seorang putri bernama Afifa Humaira (4,5 tahun).

4 PRAKATA Alhamdulillahirobbil a lamin dan puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-nya akhirnya penelitian ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berjudul Analisis Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan. Dalam penyusunan dan penyelesaian tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, MS, dan Bapak Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah, selaku pembimbing serta Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M. Agr sebagai Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dan masukan kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada Kepala Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan (Pusbindiklatren) BAPPENAS, Gubernur Sumatera Selatan, Dinas Kelautan dan Perikanan serta Badan Kepegawaian Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti tugas belajar, bantuan administrasi dan beasiswa yang diberikan selama ini. Terima kasih yang luar biasa kepada istri dan putriku beserta seluruh keluarga besar di Palembang, orang tua, mertua, saudara-saudaraku atas segala doa, pengertian, pengorbanan dan kesabaran serta tidak lupa kepada temanteman PWL angkatan 2008 atas dukungan morilnya selama ini. Semoga Allah SWT membalasnya dengan yang lebih baik Semoga karya ilmiah ini bisa berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Bogor, Maret 2010 Brilliant Faisa l

5 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Maret 2010 Brilliant Faisa l NIM. A

6 ABSTRACT BRILLIANT FAISAL. Disparity Analysis of Inter-region Development in South Sumatra Province. Under direction of SETIA HADI and MUHAMMAD ARDIANSYAH. Economic inequality in South Sumatra Province has been caused by mining activities, especially oil and gas. Meanwhile, in agriculture was still had been the dominant economic activity in South Sumatra, but rate of economic growth was slow. This study aims to determine the priority of development in coastal areas of South Sumatra based on disparity of inter-region development. The availability of public service facilities has been well developed in Palembang only, which caused imbalance of infrastructure between the capital city of the province and other districts, and also to the economic level. In order to decrease the development inequality in this province, South Sumatra Province is grouped into three clusters, namely: 1) urban, 2) agriculture-based industry, and 3) agriculture or mining; if Palembang city was not included in the grouping. Facilities of financial institution, the number of telephone subscribers, and land use for rice field, were the variables used to distinguish each cluster. Williamson index showed that the level of development disparity between regions in South Sumatra Province is still relatively high (0,65; with oil and gas). Meanwhile, districts / cities which has the mining sector were contributing positively to the total disparity, especially Musi Banyuasin. The Mining sector, secondary sector, and state forest area as estimators of the disparity has positively correlated, while the agricultural does not correlate (r = 0,98). On AHP result showed that local government apparatus preferred to the development of agriculture based processing industries as the main priority (0,349) for development in coastal areas. Keywords : imbalanced infrastructure, contributed sectors, processing industries, inter-region disparity

7 RINGKASAN BRILLIANT FAISAL. Analisis Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan. Dibimbing oleh SETIA HADI dan MUHAMMAD ARDIANSYAH. Masalah utama ketidakmerataan dalam konteks ekonomi di Provinsi Sumatera Selatan adalah menyangkut kegiatan produksi di sektor pertambangan, khususnya minyak dan gas (migas). Provinsi Sumatera Selatan merupakan daerah dengan kategori kesenjangan antar daerah yang rendah apabila sektor migas diabaikan. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini dilakukan melalui menggunakan pendekatan terhadap aktivitas perekonomian Provinsi Sumatera Selatan (PDRB ADHK 2000) dan hasil kuesioner terhadap aparatur pemerintah daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prioritas kebijakan pembangunan berdasarkan tingkat disparitas yang terjadi dan tipologi wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, terutama di kabupaten pesisir. Metode untuk mengetahui keunggulan komparatif suatu wilayah dianalisis dengan Location Quotient (LQ) masing-masing sektor di tiap kabupaten/kota terhadap Provinsi Sumatera Selatan. Metode untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah di tiap kabupaten/kota dianalisis dengan menggunakan entropi aktivitas perekonomian, tipologi Klassen dan analisis multivariat (klaster dan diskriminan). Metode untuk mengetahui tingkat disparitas antar wilayah dianalisis dengan menggunakan indeks Williamson dan indeks Theil serta analisis regresi berganda secara deskriptif sedangkan model prioritas pembangunan di wilayah pesisir dianalisis dengan menggunakan metode analytical hierarchy process (AHP). Provinsi Sumatera Selatan memiliki sektor-sektor perekonomian dengan nilai LQ>1 yang didominasi secara berturut-turut oleh sektor perdagangan (10 kabupaten), pertanian (9 kabupaten), bangunan (9 kabupaten) dan jasa (9 kabupaten). Nilai LQ>1 pada sektor pertanian ternyata tidak diikuti pada sektor industri, kecuali di Kabupaten Banyuasin. Kota Palembang yang sektor pertanian bukan sebagai sektor unggulan, memiliki nilai LQ>1 pada sektor industri pengolahan. Hal ini mengkondisikan bahwa sebagian besar hasil-hasil pertanian di suatu wilayah cenderung langsung dijual ke wilayah lainnya tanpa diolah terlebih dahulu. Sektor pertanian, bangunan dan perdagangan, hotel dan jasa; mampu berkembang secara komparatif antar kabupaten/kota. Perkembangan indeks entropi pada tahun 2003 hingga 2007 menunjukkan bahwa baik pada tingkat kabupaten/kota maupun pada tingkat provinsi memiliki nilai yang relatif tetap. Kondisi ini mengindikasikan tingkat perkembangan wilayah berdasarkan aktivitas perekonomian relatif masih rendah karena semakin beragamnya aktivitas belum tentu menunjukkan tingkat perkembangan wilayah yang tinggi, kecuali Kota Palembang sebagai wilayah yang maju dibandingkan wilayah lain akibat ketimpangan pembangunan yang terjadi cenderung terpusat di wilayah tersebut. Lebih lanjut, apabila Kota Palembang diabaikan maka pengelompokan wilayah di Provinsi Sumatera Selatan terdiri dari 3 (tiga) klaster, yaitu klaster perkotaan, klaster industri dan klaster pertanian atau pertambangan dengan variabel pembatasnya adalah jumlah pelanggan telepon, luas lahan sawah dan jumlah fasilitas lembaga keuangan.

8 Indeks Williamson dan Theil menghasilkan wilayah yang berperan dalam meningkatkan disparitas antar wilayah, seperti Kota Palembang dan Prabumulih serta Kabupaten Muara Enim dan Musi Banyuasin sedangkan wilayah lain, termasuk wilayah pesisir dengan aktivitas sektor pertanian sebagai sektor unggulan, memiliki peranan dalam menurunkan tingkat disparitas di Provinsi Sumatera Selatan. Hal ini diperkuat oleh dekomposisi disparitas yang berasal dari masing-masing kabupaten/kota. Aspek ekonomi (pendapatan wilayan) dan fisik (penggunaan lahan) menjadi faktor penduga penyebab terjadinya disparitas antar wilayah, dimana PDRB pertambangan dan penggalian serta PDRB sekunder berkorelasi positif termasuk hutan negara yang dianggap dapat menghambat pembangunan; sedangkan PDRB pertanian berkorelasi negatif terhadap disparitas. Pembangunan sektor industri pengolahan merupakan prioritas utama untuk dikembangkan di wilayah pesisir di Provinsi Sumatera Selatan, terutama yang terkait dengan sektor pertanian yang secara potensial masih memiliki luas lahan budidaya. Prioritas responden terhadap alternatif tujuan menghasilkan bobot kumulatif keseluruhan aspek sebesar 0,349. Selanjutnya berturut-turut diikuti sektor pertanian, perdagangan, hotel dan restoran, bangunan dan jasajasa di wilayah kabupaten pesisir Sumatera Selatan. Hal ini didasarkan kepada kemiripan tipologi wilayah di kabupaten pesisir, yakni Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Banyuasin. Walaupun tingkat perkembangan wilayahnya masih rendah namun mampu menurunkan disparitas yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan. Kata kunci : ketimpangan infrastruktur, kontribusi sektor, industri pengolahan, disparitas antar wilayah

9 Hak Cipta milik IPB, Tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencatumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dyah Retno Panuju, M.S

11 Judul Tesis Nama NRP : Analisis Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan : Brilliant Faisal : A Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Setia Hadi, M.S Ketua Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S Tanggal Ujian : 12 Februari 2010 Tanggal Lulus :

12 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Halaman 1.1. Latar Belakang Perumusan Masalah Kerangka Pemikiran Tujuan dan Manfaat Penelitian... 7 iii iv v 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ketimpangan Pembangunan Wilayah Pendapatan Regional Konsep dan Peranan Pengembangan Wilayah Pemanfaatan Analisa Spasial dalam Konsep Geografis Perwilayahan Penelitian Sebelumnya Mengenai Disparitas Antar Wilayah Proses Hirarki Analitik Dalam Pemilihan Prioritas Pembangunan Wilayah Pesisir METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Data Analisis Sektor Unggulan Wilayah Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah Analisis Disparitas Antar Wilayah Analytical Hierarchy Process (AHP) GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Kondisi Umum Provinsi Sumatera Selatan Kondisi Demografi Kondisi Perekonomian Kondisi Prasarana Wilayah Prasarana Listrik Prasarana Telekomunikasi Prasarana Air Bersih Arah dan Kebijakan Umum Pemerintahan HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Identifikasi Sektor-Sektor Unggulan di Provinsi Sumatera Selatan i

13 5.2. Tingkat Perkembangan Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan Perkembangan Diversivikasi Aktifitas Perekonomian Hirarki Wilayah Tipologi Wilayah Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan Hasil Analisis Indeks Williamson dan Indeks Theil Faktor-faktor Penyebab Disparitas Pembangunan Antar Wilayah Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir di Provinsi Sumatera Selatan Berdasarkan Sintesis Hasil Sebelumnya Prioritas Pembangunan Wilayah di Pesisir Sumatera Selatan Berdasarkan Persepsi Aparatur Pemerintah Daerah KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ii

14 DAFTAR TABEL Halaman 1. Jenis, Sumber, Cara Pengumpulan dan Analisis Data Penentuan Nilai Selang Kelas Hirarki Variabel yang digunakan Sebagai Faktor Penduga Penyebab Disparitas di Provinsi Sumatera Selatan Luas Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan Tahun Kontribusi Sektoral Berdasarkan PDRB ADHB (jutaan rupiah) Provinsi Sumatera Selatan Tahun Laju Pertumbuhan Per Sektor Perekonomian Berdasarkan Harga Konstan (persen) di Provinsi Sumatera Selatan Tahun Pendapatan per Kapita Berdasarkan Harga Konstan (ribuan rupiah) Provinsi Sumatera Selatan Tahun Nilai LQ Aktivitas Perekonomian Per Sektor di Kabupaten/kota, Provinsi Sumatera Selatan Tahun Perkembangan Indeks Entropi (PDRB sektoral) Tiap Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003, 2005 dan Variabel yang Mempengaruhi Tipologi Wilayah Berdasarkan Analisis Diskriminan di Provinsi Sumatera Selatan Faktor-Faktor Penduga Penyebab Terjadinya Disparitas di Provinsi Sumatera Selatan Matriks Sektor Unggulan, Entropi dan Jumlah Tenaga Kerja Sektoral di Wilayah Pesisir Provinsi Sumatera Selatan Tahun Luasan Areal Arahan Pola Pemanfatan Ruang di Kabupaten Pesisir (RTRWP ) iii

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka Pemikiran Peta Administrasi Provinsi Sumatera Selatan Diagram Hirarki Pemilihan Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir, Provinsi Sumatera Selatan Kerangka Analisis Penelitian Peta Tingkat Kepadatan Penduduk di Provinsi Sumatera Selatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tiap Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan Tahun Peta Hirarki Wilayah Provinsi Sumatera Selatan Tahun Hasil Analisis Klaster (tree clustering) Dengan Kota Palembang Peta Tipologi Provinsi Sumatera Selatan Dengan Kota Palembang Hasil Analisis Klaster (tree clustering) Tanpa Kota Palembang Peta Tipologi Provinsi Sumatera Selatan Tanpa Kota Palembang Perkembangan Indeks Williamson Dengan Migas dan Tanpa Migas di Provinsi Sumatera Selatan Tahun Kontribusi Kabupaten/Kota Terhadap Disparitas Total di Provinsi Sumatera Selatan ( ) Kontribusi Sektor Perekonomian Berdasarkan Terhadap Disparitas Total di Provinsi Sumatera Selatan (2005, 2007) Kontribusi Klaster Berdasarkan Aktivitas Perekonomian Terhadap Disparitas Total di Provinsi Sumatera Selatan ( ) Dekomposisi Sumber Disparitas Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan Diagram Bobot Prioritas Kriteria Terhadap Pembangunan Wilayah Pesisir di Provinsi Sumatera Selatan Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir untuk Sektor Unggulan Berdasarkan Aspek Pendapatan Wilayah Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir untuk Sektor Unggulan Berdasarkan Aspek Infrastruktur Wilayah Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir untuk Sektor Unggulan Berdasarkan Aspek Kesejahteraan Masyarakat Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir untuk Sektor Unggulan Berdasarkan Keseluruhan Aspek iv

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil analisis indeks Theil berdasarkan PDRB ADHK 2000 per kapita (ribuan rupiah) di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003 s.d Hasil analisis indeks Theil berdasarkan PDRB sektoral per tenaga kerja di Provinsi Sumatera Selatan tahun 2005 dan Hasil analisis indeks Williamson berdasarkan PDRB ADHK 2000 per kapita (ribuan rupiah) di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003 s.d Hasil analisis Entropi per sektor perekonomian tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan (2003, 2005, 2007) Variabel dan parameter yang digunakan dalam analisis Multivariat Matriks wilayah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan sintesis hasil penelitian Nilai mean masing-masing klaster berdasarkan hasil analisis K-mean clustering v

17 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang desentralisasi membuka peluang bagi daerah untuk dapat secara lebih baik dan bijaksana memanfaatkan potensi yang ada bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat daerah. Terdapat daerah-daerah yang dapat menangkap peluang ini dengan cepat dan berinisiatif untuk mengembangkannya, namun sebaliknya terdapat daerah lain yang masih terhambat oleh berbagai keterbatasan yang ada, seperti yang dinyatakan oleh Matsui (2005) bahwa hambatan paling besar seringkali muncul pada pemahaman yang terbatas terhadap desentralisasi oleh kapasitas wilayah dan pemerintah lokal sehingga malah mengakibatkan terjadinya kesenjangan wilayah. Selama ini, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menilai bahwa masalah utama ketidakmerataan dalam konteks ekonomi di Sumatera Selatan adalah menyangkut kegiatan produksi di sektor pertambangan, khususnya minyak dan gas (migas). Provinsi Sumatera Selatan merupakan daerah dengan kategori kesenjangan antar daerah yang rendah apabila sektor migas diabaikan. Kegiatan industri migas pada umumnya menggunakan tingkat teknologi yang relatif tinggi, sehingga penyerapan tenaga kerja daerah yang kebanyakan berketrampilan rendah menjadi sangat terbatas. Di lain pihak, kaitan antara kegiatan migas dengan kegiatan ekonomi lokal ternyata juga sangat kecil dan sebagian besar dari penerimaan yang diperoleh dari kegiatan tersebut mengalir keluar daerah. Implikasinya adalah dampak positif kegiatan produksi migas terhadap perekonomian lokal tidak begitu besar sebagaimana diharapkan. Indikasi ketidakmerataan pembangunan dapat dicermati juga dari adanya ketimpangan dalam hal distribusi pendapatan antar golongan pendapatan, antar wilayah dan antar sektor. Dua puluh persen penduduk dari golongan berpendapatan tinggi menyerap lebih dari 60 % dari total pendapatan, sedangkan 40 % masyarakat yang berpendapatan terendah hanya menguasai kurang dari 20 % dari total pendapatan. Selain itu, wilayah pedesaan memiliki tingkat pendapatan yang jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan pendapatan masyarakat yang tinggal didaerah perkotaan. Demikian juga halnya dengan masyarakat yang berada pada sektor industri dan jasa memiliki

18 pendapatan yang jauh lebih tinggi dibandingan dengan masyarakat yang berada pada sektor pertanian (BAPPENAS & UNSRI 2008). Menurut Anwar (2005), beberapa hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan yang menyebabkan ketimpangan (disparitas), diantaranya adalah : (1) perbedaan karakteristik limpahan sumberdaya alam. (2) perbedaan demografi. (3) perbedaan kemampuan sumberdaya manusia. (4) perbedaan potensi lokasi. (5) perbedaan dari aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan. (6) perbedaan dari aspek potensi pasar. Akibat faktor-faktor tersebut maka dalam suatu wilayah akan terdapat beberapa macam karakteristik wilayah yang bisa dilihat dari aspek kemajuannya, yaitu : 1) Wilayah Maju, wilayah yang telah berkembang yang biasanya dicirikan sebagai pusat pertumbuhan. Di wilayah ini terdapat pemusatan penduduk, industri, pemerintahan, dan sekaligus pasar yang potensial. Selain itu juga dicirikan oleh tingkat pendapatan yang tinggi, tingkat pendidikan dan kualitas sumberdaya manusia yang juga tinggi serta struktur ekonomi yang secara relatif didominasi oleh sektor industri dan jasa. 2) Wilayah Sedang Berkembang, wilayah yang sedang berkembang biasanya dicirikan oleh pertumbuhan yang cepat dan biasanya merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju, karena itu mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju. 3) Wilayah Belum Berkembang, wilayah yang belum berkembang dicirikan oleh tingkat pertumbuhan yang masih rendah, baik secara absolut maupun secara relatif namun memiliki potensi sumberdaya alam yang belum dikelola atau dimanfaatkan. Wilayah ini memiliki tingkat kepadatan penduduk yang masih rendah dengan tingkat pendidikan yang juga relatif rendah. 4) Wilayah Tidak Berkembang, wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh 2 (dua) hal, yakni : (a) wilayah tersebut memang tidak memiliki potensi baik potensi sumberdaya alam maupun potensi lokasi sehingga secara alamiah sulit berkembang dan tumbuh; dan (b) wilayah tersebut sebenarnya 2

19 memiliki potensi, baik sumberdaya alam atau lokasi maupun memiliki keduanya tetapi tidak dapat berkembang karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah yang lebih maju. Wilayah ini dicirikan oleh tingkat kepadatan penduduk yang jarang dan kualitas sumberdaya manusia yang rendah, tingkat pendapatan yang rendah, tidak memiliki infrastruktur yang lengkap, dan tingkat aksesibilitas yang rendah. Seiring dengan hal tersebut, dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Sumatera Selatan , pemerintah berupaya membentuk suatu wilayah prioritas dimana wilayah tersebut harus mendapat penanganan segera untuk mengoptimalkan fungsinya sesuai dengan potensi yang dimiliki ataupun mengurangi permasalahan yang terdapat di wilayah tersebut. Wilayah Prioritas yang terdapat di Provinsi Sumatera Selatan, yaitu : (a) Kawasan tertinggal, yaitu kawasan yang memiliki keterbatasan sumberdaya dan atau aksesibilitas sehingga tidak dapat memanfaatkan ataupun menangkap peluang ekonomi yang ada. Daerah yang dapat dikategorikan Kawasan Tertinggal antara lain : Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Ogan Komering Ulu Timur, Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, Lahat, Musi Rawas, Musi banyuasin dan Banyuasin; (b) Kawasan Kritis, yaitu kawasan yang karena kondisi geografis menyebabkan potensi untuk terjadinya bencana alam cukup besar. Kawasan ini umumnya terletak di wilayah yang mempunyai kemiringan lahan yang cukup besar serta daya dukung lahan yang labil. Daerah yang termasuk dalam katagori ini antara lain : Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Ogan Komering Ulu Timur, Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, Muara Enim, Lahat, Musi Banyuasin dan Banyuasin. Disamping itu kawasan yang termasuk dalam DAS Musi dan DAS Sugihan-Lalan; (c) Kawasan Andalan, merupakan kawasan yang secara ekonomi berpotensi untuk mendorong pertumbuhan wilayah. Kawasan Andalan yang ditetapkan di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan RTRWN adalah Palembang, Lubuk linggau, Muara Enim. Seiring dengan penetapan Kawasan Tanjung Api-Api sebagai kawasan Industri dan pelabuhan laut yang mempunyai prospek pengembangan pada masa yang akan datang maka didalam RTRW Provinsi Sumatera , Kawasan Tanjung Api-Api ditetapkan pula sebagai salah satu Kawasan Andalan Provinsi Sumatera Selatan; (d) Kawasan Metropolitan Palembang-Inderalaya-Pangkalan Balai-Sungsang, merupakan 3

20 kawasan terpadu yang perlu mendapat perhatian terutama bila dikaitkan dengan fungsi Palembang sebagai kota yang mempunyai daya tarik cukup besar bagi penduduk yang akan bermigrasi dari kota-kota sekitarnya. Program metropolitan dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan antara wilayah pusat dengan wilayah hinterland-nya sehingga secara bersama-sama dapat bersinergi untuk mendukung perkembangan wilayah yang saling menguntungkan; (e) Kawasan Tanjung Api-Api, merupakan kawasan yang terletak di pantai timur Provinsi Selatan dan akan dikembangkan 2 kegiatan utama, yaitu : Pelabuhan Laut serta kawasan industri. Kedua kegiatan ini diharapkan pada masa yang akan datang dapat menjadi pendorong pertumbuhan Provinsi Sumatera Selatan; (f) Kawasan segitiga pertumbuhan Palembang-Betung-Inderalaya (Patung Raya), merupakan kawasan yang mempunyai lokasi strategis untuk mendukung pertumbuhan Sumatera Selatan pada masa yang akan datang. (BAPPEDA 2006) 1.2 Perumusan Masalah Terjadinya ketimpangan antara wilayah di Provinsi Sumatera Selatan secara kasat mata dapat dilihat dari kualitas atau kuantitas infrastruktur termasuk pelayanannya karena keberadaan infrastruktur merupakan salah satu faktor pendukung dalam percepatan pembangunan. Kabupaten/kota yang berada di kawasan barat cenderung memiliki jumlah infrastruktur yang lebih baik dibandingkan dengan di kawasan timur sehingga wilayah tersebut relatif lebih maju sehingga aksesibilitas dari dan ke beberapa bagian wilayah dapat dilakukan dengan mudah, termasuk distribusi pemasaran hasil-hasil pertanian dan barang perekonomian lainnya dapat berjalan dengan lancar karena didukung moda transportasi yang memadai. Kondisi tersebut memiliki dampak yang positif terhadap harga barang kebutuhan sehari-hari. Sebaliknya, keterbatasan jumlah infrastruktur di kawasan timur Sumatera Selatan menyebabkan aksesibilitas menjadi sangat rendah dan bahkan menjadi sangat terisolasi karena hanya beberapa daerah saja yang dapat dijangkau dengan menggunakan angkutan sungai dengan kapasitas yang terbatas. Hal ini mengakibatkan pengiriman hasil-hasil produksi sektor pertanian untuk dibawa ke pasar menjadi sulit (Anonim 2007). Namun, Maryam (2001) mengemukakan bahwa berdasarkan ketimpangan ekonomi, antara daerah pesisir dengan daratan, terjadi pada hampir seluruh wilayah Indonesia yaitu Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Papua. Pendapatan per kapita daerah pesisir lebih tinggi daripada pendapatan perkapita 4

21 daerah daratan Indonesia, kecuali untuk Pulau Jawa sehingga secara makro, variabel yang berhubungan dengan ketimpangan antara daerah pesisir dengan daratan Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Papua maupun antara daerah pesisir pulau atau kelompok pulau tersebut berbeda-beda yang meliputi faktor aksesibilitas (ketersediaan pelabuhan laut SDA non kelautan (sektor pertambangan penggalian dan industri migas) industri pengolahan non migas dan persentase penduduk perkotaan. Selanjutnya, perkembangan ketimpangan ekonomi antara daerah pesisir dengan daratan Indonesia paska krisis ekonomi ( ) ketimpangan antara daerah daratan dengan pesisir semakin melebar. Perencanaan pembangunan wilayah memerlukan batasan-batasan operasional guna mengukur tingkat perkembangan wilayah. Peningkatan pertumbuhan ekonomi seringkali menjadi acuan suatu wilayah sebagai output dari kinerja pembangunan. Akan tetapi, seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi suatu wilayah mengakibatkan permasalahan-permasalahan baru yang seringkali terjadi, seperti menurunnya pendapatan, meningkatnya pengangguran yang berimplikasi terhadap kemiskinan sehingga terjadi kesenjangan (disparitas) dalam berbagai aspek. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan suatu indikator kinerja pembangunan yang memiliki fungsi dan analisa terhadap pembangunan di suatu wilayah. Ketimpangan juga sering terjadi secara nyata antara daerah kabupaten/ kota di dalam wilayah provinsi itu sendiri. Lebih lanjut dikatakan bahwa kesenjangan antar daerah terjadi sebagai konsekuensi dari pembangunan yang terkonsentrasi (Alisjahbana 2005). Penentuan batasan substansi dan representasi kesejahteraan menjadi perdebatan yang luas dan dalam proses perumusan seringkali ditentukan oleh perkembangan praktik kebijakan yang dipengaruhi oleh ideologi dan kinerja negara yang tidak lepas dari pengaruh dinamika pada tingkat global. Meskipun penentuan lingkup substansi kesejahteraan tidak mudah, namun berbagai penelitian sebelumnya mengenai kesejahteraan, menggunakan indikator output ekonomi per kapita sebagai proksi tingkat kesejahteraan, yaitu Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan. Pembangunan yang berimbang secara spasial menjadi penting karena dalam skala makro karena menjadi prasyarat bagi tumbuhnya perekonomian 5

22 nasional yang lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan. Mangiri (2000) menambahkan bahwa tujuan perencanaan ekonomi daerah adalah berusaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat di suatu daerah dengan misi umumnya adalah pemerataan pendapatan per kapita daerah. Berdasarkan informasi di atas, maka dapat dibuat perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Sektor perekonomian apakah sebenarnya yang menjadi sektor unggulan di tiap wilayah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan? 2. Bagaimana tingkat perkembangan wilayah tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan? 3. Berapa besar tingkat disparitas pembangunan antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan dan faktor-faktor apa yang menjadi penyebabnya? 4. Bagaimana persepsi aparatur pemerintah daerah terhadap prioritas pembangunan terutama di kawasan timur Provinsi Sumatera Selatan? 1.3 Kerangka Pemikiran Penetapan perencanaan dan pengembangan wilayah Sumatera Selatan merupakan tindak lanjut dari dokumen RTRW Provinsi Sumatera Selatan sehingga perlu dilakukan upaya untuk mengidentifikasi ketimpangan (disparitas) yang terjadi berdasarkan pendekatan aspek ekonomi guna mengetahui sektor-sektor perekonomian yang dapat menjadi sektor unggulan dan tingkat perkembangan wilayah tiap kabupaten/kota berdasarkan aspek ekonomi, fisik dan sosial. Hasil analisis terhadap proses pembangunan yang telah dilaksanakan di Provinsi Sumatera Selatan dilakukan untuk mengetahui tingkat disparitas pembangunan antar wilayah kabupaten/kota guna mengetahui tingkat ketimpangan yang ada. Selanjutnya, dengan menganalisis sektor-sektor aktivitas perekonomian di Provinsi Sumatera Selatan dan wilayah kabupaten/kota yang mengindikasikan terjadinya disparitas pembangunan di Provinsi Sumatera Selatan secara deskriptif; sedangkan dari analisis data terhadap persepsi pengembangan wilayah, terutama di pesisir dilakukan terhadap aparatur pemerintah daerah sehingga diharapkan diperoleh isu pengembangan wilayah. Bahasan penelitian terhadap perkembangan wilayah Provinsi Sumatera Selatan, dilihat berdasarkan beberapa indikator kinerja pembangunan wilayah, antara lain : (1) indikator berbasis tujuan, yaitu pertumbuhan terhadap nilai 6

23 produksi (PDRB) sebagai pendapatan wilayah; (2) indikator berbasis kapasitas, yaitu sumberdaya buatan dan sumberdaya manusia. Untuk mengamati ketersediaan sumberdaya buatan melalui pendekatan terhadap aspek fisik wilayah, antara lain penggunaan lahan dan jumlah fasilitas pelayananan umum sedangkan pemanfaatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai pendekatan terhadap sumberdaya manusia dan sebagai aspek sosial. Analisis data terhadap prioritas dan arahan kebijakan pembangunan wilayah, terutama di wilayah pesisir terhadap persepsi aparatur pemerintah daerah dapat dijadikan arahan dan prioritas pembangunan di wilayah pesisir yang dihasilkan mengacu kepada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Sumatera Selatan Tahun dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan sintesis hasil analisis sebelumnya. Secara umum, kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut, rencana penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi sektor-sektor unggulan tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan. 2. Menganalisis tingkat perkembangan wilayah di tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan. 3. Menganalisis tingkat disparitas pembangunan antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan dan mendeskripsikan penyebab terjadinya disparitas pembangunan tersebut. 4. Prioritas pembangunan wilayah, terutama di pesisir Sumatera Selatan berdasarkan persepsi oleh Pemerintah Daerah. Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu gambaran dan masukan mengenai strategi pembangunan berdasarkan prioritas dan arahan perencanaan di wilayah kabupaten, terutama di wilayah pesisir Provinsi Sumatera Selatan yang terkait dengan aspek ekonomi, fisik, dan sosial. 7

24 PROVINSI SUMATERA SELATAN EKONOMI FISIK SOSIAL RTRW DAN RPJPD PROVINSI SUMATERA SELATAN KETIMPANGAN PEMBANGUNAN SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN ANTAR WILAYAH KABUPATEN/KOTA TINGKAT PERKEMBANGAN ANTAR WILAYAH KABUPATEN/KOTA DISPARITAS ANTAR WILAYAH PERSPEPSI APARATUR TERHADAP PEMBANGUNAN DI KABUPATEN PESISIR PRIORITAS DAN ARAHAN PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR SUMATERA SELATAN Gambar 1. Kerangka Pemikiran. 8

25 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketimpangan Pembangunan Wilayah Beberapa faktor penyebab ketimpangan pembangunan antar wilayah sebagaimana yang dikemukakan Murty (2000), diantaranya adalah : 1. Faktor Geografis, suatu wilayah atau daerah yang sangat luas akan terjadi variasi pada keadaan fisik alam berupa topografi, iklim, curah hujan, sumberdaya mineral dan variasi spasial lainnya. 2. Faktor Historis, perkembangan masyarakat dan bentuk kelembagaan atau budaya serta kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja. 3. Faktor Politis, tidak stabilnya suhu politik sangat mempengaruhi perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang ragu untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi di suatu wilayah tidak akan berkembang. 4. Faktor Kebijakan, terjadinya kesenjangan antar wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor, dan lebih menekan pertumbuhan dan membangun pusatpusat pembangunan di wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar daerah. 5. Faktor Administratif, kesenjangan wilayah dapat terjadi karena kemampuan pengelola administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. 6. Faktor Sosial, masyarakat dengan kepercayaan-kepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung konservatif dan menghambat perkembangan ekonomi. Sebaliknya masyarakat yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. 7. Faktor Ekonomi, faktor ekonomi yang menyebabkan kesenjangan antar wilayah yaitu : a) Perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti: lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan;

26 b) Terkait akumulasi dari berbagai faktor. Salah satunya lingkaran kemiskinan, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, dan pemudian kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup rendah, efisiensi rendah dan jumlah pengangguran meningkat namun diwilayah yang maju, masyarakat maju, standar hidup tinggi, pendapatan semakin tinggi, tabungan semakin banyak yang pada akhirnya masyarakat semakin maju; c) Kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktifitas ekonomi seperti industri, perdagangan, perbankan, dan asuransi yang dalam ekonomi maju memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkosentrasi di wilayah maju; d) Terkait dengan distorsi pasar, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan ketrampilan tenaga kerja dan sebagainya. Lebih lanjut, menurut Anwar (2005) terjadinya kesenjangan yang semakin melebar pada akhirnya menimbulkan kerawanan-kerawanan finansial, ekonomi, sosial, dan politik yang pada gilirannya melahirkan krisis multidimensi yang sulit diatasi. Ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah/kawasan di satu sisi terjadi dalam bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi dan optimalnya sistem ekonomi. Disisi lain, potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Selain itu, ketidakseimbangan pembangunan juga menghasilkan struktur hubungan antar wilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah. Wilayah hinterland menjadi lemah akibat adanya pengurasan sumberdaya yang berlebihan (backwash) yang mempengaruhi aliran bersih dan akumulasi nilai tambah di pusat-pusat pembangunan secara masif dan berlebihan sehingga terjadi akumulasi nilai tambah di kawasan-kawasan pusat pertumbuhan. Sebaliknya, kemiskinan di wilayah perdesaan semakin meningkat yang pada akhirnya mendorong terjadinya migrasi penduduk dari desa ke kota, sehingga kota dan pusat-pusat pertumbuhan menjadi melemah akibat munculnya urbanisasi (Anwar 2005). Fenomena urbanisasi yang selama ini terjadi di Kota Palembang, dapat memperlemah perkembangan kota ini, yang dicirikan dengan berbagai bentuk permasalahan, seperti : munculnya daerah kumuh, banjir, tingginya angka 10

27 kemacetan dan kriminalitas. Hal ini mengakibatkan perkembangan wilayah perkotaan menjadi sarat dengan permasalahan-permasalahan sosial, lingkungan dan ekonomi yang semakin kompleks dan susah diatasi. Diduga sejak tahun 1980-an, yaitu sejak diterapkannya kebijakan pembangunan dengan penekanan pada sektor industri, kesenjangan wilayah di Indonesia makin membesar, baik antar sektor, antar pelaku ekonomi, maupun antar wilayah (Nurzaman 2002) Di Indonesia faktor-faktor penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antar provinsi atau wilayah, menurut Tambunan (2003), diantaranya adalah : 1) Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah Kosentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan atau disparitas pembangunan antar daerah. Daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat, sedangkan daerah dengan tingkat konsentarsi ekonomi rendah akan cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Todaro (2000) menambahkan bahwa, justifikasi mengenai adanya hubungan disparitas dengan pertumbuhan ekonomi yang positif hingga saat ini masih menjadi perdebatan karena terdapat lima alasan, yakni : (a) disparitas dan kemiskinan yang cukup besar dapat menciptakan kondisi dimana masyarakat miskin tidak dapat memperoleh kredit, tidak dapat membiayai anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang lebih baik, tidak ada kesempatan investasi fisik maupun moneter yang membuat anak-anak menjadi beban finansial bagi pemerintah. Secara bersamasama hal di atas menyebabkan pertumbuhan akan lebih rendah; (b) Berdasarkan kenyataannya bahwa pelaku bisnis, politisi, dan komunitas kalangan kaya lainnya diketahui banyak menghabiskan pendapatannya untuk mengimpor barang-barang mewah, emas (perhiasan), rumah mewah, sehingga tidak ada investasi pada sumber-sumber yang produktif; (c) Masyarakat dengan pendapatan rendah yang mana dimanifestasikan sebagai masyarakat yang memiliki tingkat kesehatan rendah, pendidikan rendah serta produktifitas yang juga rendah secara langsung dan tidak langsung akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lambat; 11

28 (d) Peningkatan tingkat pendapatan masyarakat miskin akan menstimulus keseluruhan peningkatan permintaan produk, yang pada akhirnya menciptakan kondisi pertumbuhan ekonomi yang semakin baik; dan (e) Disparitas pendapatan yang cukup lebar akan menjadi disinsentif dalam pembangunan ekonomi. 2) Alokasi Investasi Indikator lain yang juga menunjukkan pola serupa adalah distribusi investasi langsung, baik yang bersumber dari luar negeri (PMA) maupun dari dalam negeri (PMDN). Kurangnya investasi langsung di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut rendah, karena tidak ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri manufaktur. 3) Tingkat Mobilitas Faktor Produksi yang Rendah Antar Daerah Kurang lancarnya mobilitas faktor produksi seperti upah/gaji dan tingkat suku bunga atau tingkat pengembalian dari investasi langsung antar provinsi juga merupakan penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi regional. Relasi antara mobilitas faktor produksi dan perbedaan tingkat pembangunan atau pertumbuhan antar provinsi dapat dijelaskan dengan pendekatan analisis mekanisme pasar output dan pasar input. Perbedaan laju pertumbuhan ekonomi antar provinsi membuat terjadinya perbedaan tingkat pendapatan per kapita antar provinsi, dengan asumsi bahwa mekanisme pasar bersifat bebas, mempengaruhi mobilitas atau (re)alokasi faktor produksi antar provinsi. Jika perpindahan faktor produksi antar daerah tidak ada hambatan, maka pembangunan ekonomi yang optimal antar daerah akan tercapai dan semua daerah akan lebih baik. 4) Perbedaan Sumberdaya Alam Antar Provinsi Pembangunan ekonomi di daerah yang kaya sumberdaya alam akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan dengan daerah yang miskin sumberdaya alam. 5) Perbedaan Kondisi Demografis Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi regional di Indonesia juga disebabkan oleh perbedaan kondisi demografis antar provinsi, terutama dalam hal jumlah dan pertambahan penduduk, tingkat kepadatan penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat dan etos kerja. Faktor-faktor ini mempengaruhi tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi melalui sisi 12

29 permintaan dan sisi penawaran. Dari sisi permintaan, jumlah penduduk yang besar merupakan potensi besar bagi pertumbuhan pasar, yang berarti faktor pendorong bagi pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi. Dari sisi penawaran, jumlah populasi yang besar dengan pendidikan dan kesehatan baik, disiplin dan etos kerja yang tinggi merupakan aset penting bagi produksi. 6) Kurang Lancarnya Perdagangan Antar Provinsi Kurang lancarnya perdagangan antar daerah juga merupakan unsur yang turut menciptakan ketimpangan ekonomi regional di Indonesia. Ketidaklancaran tersebut disebabkan terutama oleh keterbatasan transportasi dan komunikasi. Perdagangan antar provinsi meliputi barang jadi, barang modal, input perantara, bahan baku, material-material lainnya untuk produksi dan jasa. Tidak lancarnya arus barang dan jasa antar daerah mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu provinsi. Pembangunan regional yang berimbang merupakan sebuah pertumbuhan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan kapabilitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak selalu berarti bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama, atau mempunyai tingkat industrialisasi yang sama, atau mempunyai pola ekonomi yang sama, atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama. Akan tetapi yang lebih penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian diharapkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah yang terlibat (Murty 2000). 2.2 Pendapatan Regional Pendapatan regional sering didefinisikan sebagai nilai produksi barangbarang dan jasa-jasa yang diciptakan dalam suatu perekonomian di dalam suatu wilayah selama satu tahun atau tingkat pendapatan masyarakat pada suatu wilayah analisis (Tarigan 2004). Tingkat pendapatan regional dapat diukur dari total pendapatan wilayah ataupun pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Beberapa istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan pendapatan regional, diantaranya adalah : 1) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), jumlah nilai tambah bruto (gross value added) yang timbul dari seluruh 13

30 sektor perekonomian di suatu wilayah atau propinsi. Pengertian nilai tambah bruto adalah nilai produksi (output) dikurangi dengan biaya antara (intermediate cost). Komponen-komponen nilai tambah bruto mencakup komponen-komponen faktor pendapatan (upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan), penyusutan dan pajak tidak langsung neto. Jadi dengan menghitung nilai tambah bruto dari dari masing-masing sektor dan kemudian menjumlahkannya akan menghasilkan produk domestik regional bruto (PDRB); 2) Produk Domestitk Regional Neto (PDRN), PDRN dapat diperoleh dengan cara mengurangi PDRB dengan penyusutan. Penyusutan yang dimaksud disini adalah nilai susut (aus) atau pengurangan nilai barang-barang modal (mesin-mesin, peralatan, kendaraan dan yang lain-lainnya) karena barang modal tersebut dipakai dalam proses produksi. Jika nilai susut barang-barang modal dari seluruh sektor ekonomi dijumlahkan, hasilnya merupakan penyusutan keseluruhan. Tetapi bila PDRN di atas dikurangi dengan pajak tidak langsung neto, maka akan diperoleh PDRN atas dasar biaya faktor. Ada tiga pendekatan untuk menghitung pendapatan regional dengan menggunakan metode langsung (Tarigan 2004), yaitu: 1. Pendekatan Pengeluaran; cara penentuan pendapatan regional dengan cara menjumlahkan seluruh nilai penggunaan akhir dari barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri. Kalau dilihat dari segi penggunaan maka total penyediaan atau produksi barang dan jasa itu digunakan untuk : konsumsi rumah tangga; konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari untung; konsumsi pemerintah; pembentukan modal tetap bruto (investasi); perubahan stok, dan ekspor neto (total ekspor dikurangi dengan total impor). 2. Pendekatan Produksi; perhitungan pendapatan regional berdasarkan pendekatan produksi dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai produksi yang diciptakan oleh tiap-tiap sektor produksi yang ada dalam perekonomian. Untuk menghitung pendapatan regional berdasarkan pendekatan produksi, maka pertama-tama yang harus dilakukan ialah menentukan nilai produksi yang diciptakan oleh tiap-tiap sektor di atas. Pendapatan regional diperoleh dengan cara menjumlahkan nilai produksi yang tercipta dari tiap-tiap sektor. 3. Pendekatan Penerimaan; pendapatan regional dihitung dengan cara menjumlahkan pendapatan faktor-faktor produksi yang digunakan dalam memproduksi barang-barang dan jasa-jasa. Jadi yang dijumlahkan adalah: upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan, dan pajak tidak langsung neto. 14

31 2.3 Konsep dan Peranan Pengembangan Wilayah Menurut Rustiadi et al. (2009), ada 6 (enam) jenis konsep wilayah, antara lain : (1) Konsep-konsep wilayah klasik, yang mendefinisikan wilayah sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik dimana komponen-komponen dari wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional; (2) Wilayah homogen, yaitu wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa bersifat heterogen. Pada umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh potensi sumberdaya alam dan permasalahan spesifik yang seragam. Dengan demikian konsep wilayah homogen sangat bermanfaat dalam penentuan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya dukung utama yang ada dan pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan masing-masing wilayah; (3) Wilayah nodal, menekankan perbedaan dua komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya. Konsep wilayah nodal diumpamakan sebagai suatu sel hidup yang mempunyai inti dan plasma. Inti adalah pusat-pusat pelayanan/pemukiman, sedangkan plasma adalah daerah belakang (hinterland); (4) Wilayah sebagai sistem, dilandasi atas pemikiran bahwa komponenkomponen di suatu wilayah memiliki keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain dan tidak terpisahkan; (5) Wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terdapatnya sifat-sifat tertentu pada wilayah baik akibat sifat alamiah maupun non alamiah sehingga perlu perencanaan secara integral; (6) Wilayah administratif-politis, berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada dalam satu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu. Perkembangan suatu wilayah secara alami ditentukan oleh karakter dari sumberdaya alam yang dimiliki oleh wilayah tersebut. Wilayah yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah relatif akan lebih maju dibanding dengan wilayah yang miskin sumberdaya, khususnya pada awal perkembangannya. 15

32 Lebih lanjut Rustiadi et al. (2009) menambahkan bahwa, dalam perkembangan wilayah yang menjadi indikator penting adalah tingkat interaksi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Wilayah-wilayah yang lebih berkembang pada dasarnya mempunyai tingkat interaksi yang lebih tinggi dibanding dengan wilayah lain yang belum berkembang. Interaksi itu sendiri terjadi karena adanya faktor aksesibilitas wilayah itu ke wilayah lain. Kemudahan akses ini menjadi faktor yang cukup penting dalam mendukung perkembangan suatu wilayah. Wilayah dengan akses yang lebih baik akan menyebabkan tingkat interaksi yang tinggi dengan wilayah lain sehingga menjadi lebih cepat berkembang. Faktor lain yang mendorong perkembangan wilayah adalah lokasinya yang berdekatan dengan pusat ekonomi atau pemerintahan. Lokasi yang dekat dengan pusat ekonomi atau pemerintahan umumnya akan lebih terpacu perkembangannya dibanding wilayah-wilayah yang relatif lebih jauh dan bisa jadi nantinya akan berkembang sebagai penyangga bagi wilayah pusat tersebut. Pada era otonomi daerah saat ini, maka salah satu konsep pengembangan wilayah yang perlu mendapat perhatian adalah pengembangan ekonomi wilayah. Oleh karena itu, konsep pengembangan ekonomi wilayah harus berorientasi pada pertumbuhan ekonomi wilayah dengan menggali potensi produk unggulan daerah (Tukiyat 2002). Perbedaan perkembangan suatu wilayah akan membentuk suatu struktur wilayah yang berhirarki, dimana wilayah yang telah maju cenderung akan cepat berkembang menjadi pusat aktifitas baik perekonomian maupun pemerintahan. Wilayah yang sumberdaya alamnya kurang mendukung akan relatif kurang berkembang dan cenderung menjadi wilayah hinterland. Keadaan ini diduga dapat menjadi faktor pendorong bagi sumberdaya manusia untuk bekerja ke wilayah yang lebih berkembang dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya. Oleh karena itu, semakin sulit bagi wilayah ini untuk berkembang karena telah mengalami kekurangan sumberdaya manusia. Pembangunan di wilayah pesisir seringkali memiliki hambatan, hal ini dijelaskan Budiharsono (2001), antara lain : 1. Indonesia merupakan negara kepulauan, dimana kegiatan-kegiatan pembangunan saat ini dipusatkan di bagian barat. Konsentrasi demikian menimbulkan isu pengembangan wilayah outer island yang dapat menyebabkan timbulnya berbagai masalah yang berdimensi wilayah. 16

33 2. Pembangunan masa lalu lebih menitikberatkan pada pembangunan daratan dari lautan, sehingga pembangunan pesisir relatif tertinggal. Masyarakat pesisir relatif lebih miskin dari wilayah daratan lainnya. Kondisi ini diperburuk dengan posisi politik nelayan yang relatif lemah dibanding dengan posisi lainnya. 3. Letak geografis Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh faktor geologis dan ekologis yang menyebabkan keragaman lingkungan. 4. Keragaman kultural menyebabkan adanya perbedaan persepsi terhadap pembangunan. 5. Sifat pembangunan politik di Indonesia yang diwarnai oleh kekuatan politik wilayah. Selain itu, kawasan pesisir dalam konteks ekonomi wilayah, memiliki posisi strategis di dalam struktur alokasi dan distribusi sumberdaya ekonomi sehingga dapat disebut sebagai wilayah yang memiliki locational rent yang tinggi. Nilai ekonomi kawasan pesisir, selain ditentukan oleh rent lokasi (locational rent), setidak-tidaknya juga mengandung tiga unsur rent lainnya, yakni : (1) ricardian rent, rent berdasarkan kekayaan dan kesesuaian sumberdaya yang dimiliki untuk berbagai penggunaan aktivitas ekonomi untuk berbagai aktivitas budidaya berdasarkan kesesuaiannya, seperti kesesuaian lahan tambak, kesesuaian fisik untuk pengembangan pelabuhan, dan sebagainya; (2) environmental rent, nilai atau fungsi kawasan yang didasarkan atas fungsinya di dalam keseimbangan lingkungan; dan (3) social rent, menyangkut manfaat kawasan untuk berbagai fungsi sosial (Rustiadi 2001) 2.4 Pemanfaatan Analisis Spasial dalam Konsep Geografis Perwilayahan Gunawan (1998) menerangkan bahwa analisis spasial lebih terfokus pada kegiatan investigasi pola-pola dan berbagai atribut atau gambaran di dalam studi kewilayahan dan dengan menggunakan permodelan berbagai keterkaitan untuk meningkatkan pemahaman dan prediksi atau peramalan. Kejadian geografis, dapat berupa sekumpulan obyek-obyek titik, garis atau areal yang berlokasi di ruang geografis dimana melekat suatu gugus nilai-nilai atribut. Dengan demikian, analisis spasial membutuhkan informasi baik berupa nilai-nilai atribut maupun lokasi-lokasi geografis obyek-obyek dimana atribut-atribut melekat di dalamnya. Aplikasi SIG sudah banyak digunakan untuk pengelolaan penggunaan lahan di sektor pertanian, perikanan dan kehutanan, serta pembangunan pemukiman penduduk dan fasilitasnya. Hanya dalam beberapa tahun penggunaan SIG telah 17

34 tersebar luas pada bidang ilmu lingkungan, perairan dan sosial ekonomi. SIG juga telah digunakan di bidang militer, pemodelan perubahan iklim global dan geologi. Lebih lanjut, Gunawan (1998) menambahkan bahwa, berbagai bentuk analisis spasial dapat dilakukan dengan menggunakan SIG termasuk di wilayah pesisir. Dalam kerangka konsep geografis, analisis spasial telah lama dikembangkan oleh para ahli geografi untuk memenuhi kebutuhan dalam memodelkan dan menganalisis data spasial dengan upaya memanipulasi data spasial ke dalam bentuk-bentuk dan mengekstrak pengertian-pengertian tambahan sebagai hasilnya. Analisis data spasial berbeda dengan spatial summarization of data untuk menciptakan fungsi dasar pengambilan informasi spasial secara selektif di suatu areal dengan pendekatan komputasi, tabulasi atau pemetaan dari berbagai statistik informasi yang dimaksudkan. Berdasarkan proses pengumpulan informasi kuantitatif yang sistematis, tujuan analisis spasial adalah : (1) Mendeskripsikan kejadian-kejadian di dalam ruangan geografis (termasuk deskripsi pola) secara cermat dan akurat; (2) Menjelaskan secara sistematik pola kejadian dan asosiasi antar kejadian atau obyek di dalam ruang, sebagai upaya meningkatkan pemahaman proses yang menentukan distribusi kejadian yang terobservasi; (3) Meningkatkan kemampuan melakukan prediksi atau pengendalian kejadian-kejadian di dalam ruang geografis. Berdasarkan atas aplikasinya, analisis spasial digunakan untuk tiga tujuan, yakni: (1) peramalan dan penyusunan skenario; (2) analisis dampak terhadap kebijakan; (3) penyusunan kebijakan dan desain (Fischer et al. 1996, diacu dalam Rustiadi et al. 2009). 2.5 Penelitian Sebelumnya Mengenai Disparitas Antar Wilayah Pembangunan wilayah, secara spasial tidak selalu merata sehingga seringkali ketimpangan pembangunan antar wilayah menjadi permasalahan serius bagi pemerintah. Mengukur ketimpangan hendaknya bersifat rasional untuk bisa membandingkan satu daerah dengan daerah lainnya karena tolak ukur ketimpangan pendapatan yang berasal dari pendapatan, pengeluaran, konsumsi (individu, kelompok) tidak sama halnya dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah yang menggunakan PDRB, PDRB per kapita, penduduk, luas wilayah, nilai ekspor, produksi dan lain sebagainya. Studi dan penelitian mengenai ketimpangan wilayah telah banyak dilakukan, beberapa diantaranya dengan melihat tingkat kesenjangan 18

35 pendapatan masyarakat dengan menggunakan indeks gini seperti studi yang dilakukan oleh Bappenas dan Unsri pada tahun 2008 di Provinsi Sumatera Selatan, namun hal tersebut belum cukup menggambarkan kondisi ketimpangan wilayah karena hanya melihat tingkat kesenjangan secara vertikal. Studi lainnya yang cukup menarik adalah seperti yang dilakukan Hadi (2001) mengenai disparitas ekonomi antar wilayah dengan membandingkan ketimpangan yang terjadi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia, sedangkan Noegroho dan Soelistianingsih (2007) menganalisis disparitas pendapatan kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi regional selama periode dengan menghitung nilai entropi total Theil dari daerah kaya dan miskin seperti yang pernah dilakukan sebelumnya oleh Fujita dan Hu (2001) yang melakukan studi dengan mendekomposisi disparitas wilayah menjadi disparitas dalam wilayah pengembangan dan antar wilayah dalam wilayah pengembangan. Selain itu, penggunaan metode analisis indeks Williamson dalam melihat ketimpangan-ketimpangan antar wilayah yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, telah banyak dimanfaatkan oleh beberapa peneliti, seperti Rahman (2009) menganalisis tingkat disparitas pembangunan antar wilayah yang terjadi di Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Timur dengan menguraikan faktorfaktor penyebabnya, sedangkan Gumilar (2009) melakukan hal yang sama dengan memfokuskan penelitiannya terhadap penentuan sektor basis yang potensial di wilayah pengembangan Garut Selatan, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. 2.6 Proses Hirarki Analitik dalam Pemilihan Prioritas Pembangunan Wilayah Pesisir Proses Hirarki Analitik (PHA) yang dikenal dengan Analytical Hierarchy Process (AHP), pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari University of Pittsburg Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Menurut Saaty (1993), PHA adalah suatu pendekatan keputusan yang dirancang untuk membantu dalam solusi permasalahan multi kriteria yang kompleks pada sejumlah daerah aplikasi. PHA pada dasarnya di desain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai set alternatif. Metode ini ditemukan untuk menjadi pendekatan praktis dan efektif yang dapat mempertimbangkan 19

36 keputusan yang kompleks dan tidak terstruktur. Kelebihan dari PHA adalah kemampuan jika dihadapkan pada situasi yang kompleks atau tidak terkerangka. Situasi ini terjadi jika data, informasi statistik dari masalah yang dihadapi sangat minim atau tidak ada sama sekali. Data yang diperlukan kalaupun ada hanyalah bersifat kualitatif yang mungkin didasari oleh persepsi, pengalaman, ataupun intuisi. Saaty (1993) mengemukakan bahwa tahapan dalam analisis data PHA adalah: (1) identifikasi sistem, (2) penyusunan struktur hirarki, (3) membuat matriks perbandingan/ komparasi berpasangan (pairwise comparison), (4) menghitung matriks pendapat individu, (5) menghitung pendapat gabungan, (6) pengolahan horisontal, (7) pengolahan vertikal, dan (8) revisi pendapat. Saaty (1993) menambahkan bahwa beberapa keuntungan menggunakan PHA sebagai alat analisis, antara lain : 1. Memberikan model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam persoalan yang tidak terstruktur. 2. Memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks. 3. Mampu menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier. 4. Mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemenelemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokan unsur yang serupa dalam setiap tingkat. 5. Memberikan suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk mendapatkan prioritas. 6. Melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas, 7. Menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif, 8. Mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka, 9. Tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari penilaian yang berbeda-beda, 10. Memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan. 20

37 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Sumatera Selatan (Gambar 2) dengan mengamati tingkat perkembangan wilayah berdasarkan indikator kinerja pembangunan wilayah, yaitu : 1) berbasis tujuan, yakni pemerataan terhadap pertumbuhan ekonomi (produktivitas sektor); 2) berbasis kapasitas wilayah yang terdiri dari kapasitas sumberdaya buatan (fisik) dan manusia (sosial) di tiap kabupaten/kota selama 3 (tiga) bulan dimulai dari bulan Agustus hingga November Gambar 2. Peta Administrasi Provinsi Sumatera Selatan. 3.2 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekunder, yakni melakukan studi kepustakan dari publikasi data-data statistik oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Dokumen-dokumen Perencanaan yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan sumber-sumber pustaka lain yang memiliki relevansi dengan topik penelitian, sedangkan pengumpulan data primer diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap

38 para responden dengan kriteria yang digunakan mengacu terhadap indikator kinerja pembangunan wilayah, dari aspek ekonomi (pendapatan wilayah), aspek fisik (infrastruktur wilayah) dan aspek sosial (masyarakat). Responden ditentukan secara sengaja berdasarkan pertimbangan bahwa responden yang bersangkutan memiliki kemampuan dan pemahaman yang baik terhadap perkembangan pembangunan di wilayah, terutama di pesisir Sumatera Selatan. Jumlah responden sebanyak 15 orang dari pejabat aparatur pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten di wilayah pesisir, masing-masing dari 5 instansi yang berbeda, antara lain Badan Perencanaan Daerah, Dinas Kehutanan, Dinas PU Bina Marga, Dinas Kelautan dan Perikanan serta Dinas Pendapatan Daerah. Jenis, sumber, cara pengumpulan dan analisis data berdasarkan tujuan yang ingin dicapai disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis, Sumber, Cara Pengumpulan dan Analisis Data. No Tujuan Data Sumber Data Analisis 1 Mengidentifikasi sektor unggulan tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan 1. PDRB tahun 2003,2005 dan 2007 ; BPS (sekunder) 1. LQ 2. Deskriptif 2 Menganalisis tingkat perkembangan wilayah tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan 1. PDRB tiap kabupaten tahun ; 2. PODES tahun Jumlah tenaga kerja sektoral tahun 2006 BPS (sekunder) 1. Entropi; 2. Skalogram 3. Analisis Mulitivariat (analisis klaster & diskriminan) 3 Menganalisis tingkat disparitas pembangunan antar wilayah dan mendefinisikan faktorfaktor penyebabnya 1. PDRB tiap kabupaten tahun ; 2. Jumlah Penduduk Sumsel dalam Angka IPM 2007 BPS (sekunder) 1. Indeks Williamson; 2. Indeks Theil; 3. Regresi Berganda 4. Deskriptif 4 Mengkaji strategi pembangunan dan pengembangan wilayah, terutama di pesisir Sumatera Selatan 1. Wawancara Responden (primer) 1. Sintesis hasil analisis sebelumnya 2. AHP 22

39 3.3 Metode Analisis Data Analisis Sektor Unggulan Wilayah Location Quotient (LQ) merupakan metode analisis yang umum digunakan di bidang ekonomi geografi. Secara umum, metode analisis ini digunakan untuk menunjukkan lokasi pemusatan aktifitas di suatu wilayah. Disamping itu, LQ juga bisa digunakan untuk mengetahui kapasitas ekspor perekonomian suatu wilayah serta tingkat kecukupan barang/jasa dari produksi lokal suatu wilayah. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah (1) kondisi geografis relatif seragam, (2) pola-pola aktifitas bersifat seragam, dan (3) setiap aktifitas menghasilkan produk yang sama sehingga bentuk persamaan dari LQ sebagai berikut : dimana : LQ ij = LQ ij = rasio persentase dari total aktifitas pada sub wilayah ke-i terhadap persentase aktifitas total terhadap wilayah yang diamati X ij X i. X.j X.. xij xi. x. j x.. = nilai PDRB di kabupaten/kota ke-i dan sektor ke-j = total PDRB tiap sektor di kabupaten/kota ke-i = total PDRB sektor ke-j di Provinsi Sumatera Selatan = total PDRB Provinsi Sumatera Selatan. Kriteria yang muncul dari perhitungan ini adalah: jika LQ > 1 ;sektor basis artinya komoditas j di daerah penelitian memiliki keunggulan komparatif, jika LQ = 1 ; sektor non basis artinya komoditas j di daerah penelitian tidak memiliki keunggulan, sehingga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan di wilayah bersangkutan. jika LQ < 1 ; sektor non basis: artinya komoditas j di daerah penelitian tidak dapat memenuhi kebutuhan daerahnya sendiri sehingga diperlukan pasokan dari luar daerah. Asumsi yang digunakan dalam menghitung sektor unggulan di suatu wilayah adalah terdapat sedikit variasi dalam pola pengeluaran secara geografi Analisis keunggulan komparatif di Provinsi Sumatera Selatan menggunakan data 23

40 PDRB (ADHK 2000) tiap sektor tahun 2003, 2005 dan 2007 guna melihat perkembangannya. Pengertian sektor basis (sektor unggulan) pada dasarnya harus dikaitkan dengan suatu bentuk perbandingan, baik itu perbandingan berskala internasional, regional maupun nasional. Dalam kaitannya dengan lingkup internasional, suatu sektor dikatakan unggul jika sektor tersebut mampu bersaing dengan sektor yang sama dengan negara lain. Sedangkan dengan lingkup nasional, suatu sektor dapat dikategorikan sebagai sektor unggulan apabila sektor di wilayah tertentu mampu bersaing dengan sektor yang sama yang dihasilkan oleh wilayah lain di pasar nasional atau domestik (Wijaya 1996) Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah Analisis Perkembangan Diversifikasi Sektor Ekonomi (entropy analysis) Analisis indeks entropi digunakan untuk melihat hirarki wilayah dengan mengukur tingkat perkembangan suatu wilayah dan melihat sektor-sektor perekonomian yang dominan dan berkembang pada wilayah tersebut. Data yang digunakan untuk menghitung indeks entropi adalah nilai PDRB tiap kabupaten/kota terhadap PDRB Provinsi Sumatera Selatan tahun 2003, 2005 dan Prinsip pengertian indeks entropi ini adalah semakin beragam aktifitas atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropi wilayah. Artinya wilayah tersebut semakin berkembang. Persamaan umum entropy ini adalah sebagai berikut : n S = P ij ln P n i= 1 j= 1 dimana : S = tingkat perkembangan P ij = X ij /ΣX ij atau proporsi sektor ke-i di kabupaten/kota ke-j S 0 (Untuk mengidentifikasi tingkat perkembangan terdapat ketentuan bahwa jika indeks S semakin tinggi maka tingkat perkembangan semakin tinggi); dengan S maks = Ln(banyaknya aktivitas x banyaknya wilayah) Sedangkan indeks entropi diperoleh dengan membagi nilai entropi (S) S dengan nilai entropi maksimumnya ( IE = ) dengan nilai IE berkisar antara 0 S maks (nol) sampai dengan 1 (satu) yang mengindikasikan tingkat keragaman suatu komponen aktivitas semakin berkembang (merata) dan begitu pula sebaliknya. ij 24

41 Analisis model entropi, menurut Saefulhakim (2006) merupakan salah satu konsep analisa yang dapat menghitung diversifikasi komponen aktivitas yang berguna untuk : (1) Memahami perkembangan suatu wilayah; (2) Memahami perkembangan atau kepunahan keanekaragaman hayati; (3) Memahami perkembangan aktifitas industri; (4) Memahami perkembangan aktifitas suatu sistem produksi pertanian dan lain-lain. Untuk mengetahui klasifikasi indeks entropi tiap kabupaten/kota dilakukan berdasarkan nilai hasil standar deviasi indeks entropi dan nilai rataannya. Nilai yang diperoleh digunakan untuk menentukan jumlah kelas, yakni rendah, sedang atau tinggi (Lampiran 4) Analisis Skalogram Secara umum, untuk melihat tingkat perkembangan hirarki di suatu wilayah terhadap wilayah lain yang dibatasi oleh administrasi kabupaten, terutama dalam hal sarana infrastruktur dengan menggunakan analisis skalogram. Penelitian ini menggunakan data Potensi Desa tahun 2006 dengan paramater yang diukur meliputi bidang sarana perekonomian, sarana komunikasi dan informasi, sarana kesehatan, sarana pendidikan terhadap jumlah penduduk tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan. Tahapan kegiatan pada analisis data dengan metode skalogram antara lain : (1) Melakukan pemilihan terhadap data yang bersifat kuantitatif; sehingga hanya yang data yang bersifat relevan saja yang digunakan; (2) Melakukan rasionalisasi data; (3) Melakukan seleksi terhadap data-data hasil rasionalisasi hingga diperoleh variabel untuk analisa skalogram yang mencirikan tingkat perkembangan masing-masing wilayah kabupaten/kota; (4) Melakukan standardisasi data terhadap variabel tersebut sebelum menentukan indeks perkembangan wilayah (IPW) di masingmasing kabupaten/kota, yakni dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Dimana : Z ij Y ij Min Y j Z ij Y ij min Std Dev = nilai baku untuk kabupaten/kota ke-i dan jenis sarana ke-j = jumlah sarana untuk kabupaten/kota ke-i dan jenis sarana ke-j = nilai minimum untuk jenis sarana ke-j Std. Dev = nilai standar deviasi IPW Y j 25

42 Setelah proses pembakuan selesai kemudian dilakukan penjumlahan nilai baku tersebut untuk setiap desa. Untuk melihat struktur wilayah dilakukan sortasi data dimana wilayah yang mempunyai nilai yang paling besar diletakkan di barisan atas dan fasilitas yang paling banyak berada di kolom kiri. Indeks Perkembangan Wilayah dikelompokkan ke dalam tiga kelas hirarki, yaitu hirarki I (tinggi), hirarki II (sedang), dan hirarki III (rendah). Penentuannya didasarkan pada nilai hasil standar deviasi IPW dan nilai rataannya. Nilai yang didapat untuk selang hirarki dan digunakan untuk menentukan kelas hirarki dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Penentuan Nilai Selang Kelas Hirarki. No. Kelas Nilai Selang (x) Tingkat Hirarki 1 Hirarki I X>[rataan + (St Dev. IPW)] Tinggi 2 Hirarki II rataan < X < (St Dev. IPW) Sedang 3 Hirarki III X < rataan Rendah Menurut Budiharsono (2001), metode ini mempunyai beberapa keunggulan, antara lain : (1) Memperlihatkan dasar diantara jumlah penduduk dan tersedianya fasilitas pelayanan; (2) Secara cepat dapat mengorganisasikan data dan mengenal wilayah; (3) Membandingkan pemukiman-pemukiman dan wilayah-wilayah berdasarkan ketersediaan fasilitas pelayanan; (4) Memperlihatkan hierarki pemukiman atau wilayah; (5) Secara potensial dapat digunakan untuk merancang fasilitas baru dan memantaunya Analisis Multivariat (Tipologi Wilayah) Analisa tipologi wilayah bertujuan untuk melihat karakteristik perkembangan wilayah berdasarkan indikator-indikator perkembangan wilayah, yaitu : aspek sosial, sarana dan prasarana wilayah serta aspek perekonomian dengan menggunakan Analisis Klaster dan Analisis Diskriminan. Analisis Klaster/kelompok (Cluster Analysis) Analisis kelompok merupakan salah satu teknik multivariat yang umumnya digunakan untuk mengelompokkan data ke dalam satu kelas yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang sama dan bertujuan untuk menemukan kelompok alami dari satu kumpulan data. Analisis kelompok ini dilakukan untuk tujuan : (1) menggali/eksplorasi data ; (2) mereduksi data menjadi kelompok data baru dengan jumlah lebih kecil atau dinyatakan dengan 26

43 pengkelasan (klasifikasi) data, (3) menggeneralisasi suatu populasi untuk memperoleh suatu hipotesis, (4) menduga karakteristik data-data. Metode ini menggunakan perbedaan atau jarak euclidean antara nilai objek sebagai dasar pengelompokannya untuk membentuk suatu klaster. Analisis kelompok dilakukan setelah variabel tersebut diatas distandarisasi terlebih dahulu agar memudahkan dalam pengelompokannya. Metode klaster memanfaatkan metode tree clustering (quick clustering), sedangkan untuk melihat variabel penjelas tiap kelompok dilakukan dengan menggunakan metode K-mean clustering, guna mengetahui anggota kelompok variabel pada masing-masing wilayah kabupaten/kota. Dikarenakan terbatasnya data selama penelitian, maka variabel yang digunakan meliputi aspek ekonomi wilayah (PDRB per kapita tiap sektor tahun 2006), aspek fisik wilayah (jumlah fasilitas dan penggunaan lahan) dari data PODES 2006 dan aspek sosial (jumlah tenaga kerja per sektor tahun 2006) yang terdiri dari 27 variabel (Lampiran 4) Analisis Diskriminan (Discriminant Function Analysis) Tujuan dilakukan analisis diskriminan pada penelitian ini adalah agar mampu disusun fungsi pembatas antar kelompok wilayah. Dengan adanya fungsi kelompok antar gerombol wilayah tersebut maka akan dapat diukur perubahan nilai-nilai peubah yang digunakan dalam menyusun fungsi tersebut. Berdasarkan asumsi bahwa S = (fj, j=1,2,,i), S adalah gugus kelompok dari wilayah yang belum diketahui sehingga klasifikasi sebelumnya akan diketahui jumlah kelompok serta anggota jenis wilayah dalam kelompok tersebut. Selanjutnya gugus S dapat dituliskan kembali menjadi S = (fjk, j=1,2,,k), k = 1,,K. (dengan asumsi jumlah kelompok adalah K). Analisis diskriminan menggunakan variabel-variabel dan unit analisis yang sama dengan analisis klaster, dengan kata lain merupakan analisis lanjutan dari analisis klaster yang berguna untuk mengetahui akurasi pengelompokan yang telah dilakukan sebelumnya. Selanjutnya hasil analisis klaster tersebut dihubungkan dengan batas administrasi menggunakan sistem informasi geografis untuk dapat mendeskripsikan pola atau variasi antar tipologi berdasarkan fasilitas wilayah. Selanjutnya hasil analisis skalogram dan tipologi wilayah dihubungkan dengan batas administrasi masing-masing kabupaten/kota, menggunakan sistem informasi geografis untuk dapat mendeskripsikan pola atau variasi antar tipologi. 27

44 3.3.3 Analisis Disparitas Antar Wilayah Disparitas yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan bersumber dari banyak hal, diantaranya yang diamati dalam penelitian ini adalah : 1) mengenai ketimpangan ekonomi dalam rangka pemerataan pertumbuhan (produktivitas perekonomian); 2) ketimpangan infrastruktur dengan membandingkan jumlah fasilitas dan prasarana wilayah; serta 3) ketimpangan sosial yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan dengan menggunakan data PDRB per kapita tahun , Potensi Desa tahun 2006 dan jumlah tenaga kerja sektoral tahun Analisis Indeks Williamson Indeks Williamson merupakan salah satu indeks yang digunakan dalam melihat disparitas yang terjadi antar wilayah dan lebih sensitif terhadap perubahan ketimpangan (Rahman 2009; Rustiadi et al. 2009; Portnov dan Felsenstein 2005). Indeks Williamson merupakan salah satu indeks yang paling sering digunakan untuk melihat disparitas antar wilayah secara horisontal. Williamson pada tahun 1975 mengembangkan suatu indeks dalam mengukur tingkat disparitas wilayah yang diformulasikan sebagai berikut (Rustiadi et al, 2007) : dimana : I w = Indeks Williamson I w = Y i = PDRB per kapita kabupaten/kota ke-i Y = Rata-rata PDRB per kapita provinsi ( Y Y ) i Y 2 p i p i = fi/n, dimana fi jumlah penduduk kabupaten/kota ke-i; dan n merupakan total penduduk Provinsi Sumatera Selatan. Indeks ini menggunakan nilai PDRB per kapita tiap kabupaten/kota. Indeks Williamson akan menghasilkan indeks yang lebih besar atau sama dengan nol. Jika Y i = Y maka akan dihasilkan indeks = 0, yang berarti tidak adanya ketimpangan ekonomi antar daerah. Indeks lebih besar dari 0 menunjukkan adanya ketimpangan ekonomi antar wilayah. Semakin besar indeks yang dihasilkan semakin besar tingkat ketimpangan antar kabupaten di suatu provinsi. 28

45 Menurut Rustiadi (2008), wilayah yang memiliki PDRB per kapita tinggi, dan jumlah penduduknya relatif kecil, tingkat kesenjangannya tidak terlalu tinggi. Namun, besaran PDRB per kapita suatu wilayah relatif moderat apabila dibandingkan dengan wilayah lain yang kecil dengan jumlah penduduknya relatif besar, sehingga akan menyebabkan kesenjangan secara keseluruhan Analisis Indeks Theil Selain indeks Wiliamson, untuk mendekomposisi total disparitas menjadi kontribusi disparitas oleh kabupaten/kota atau untuk melihat kontribusi disparitas oleh sektor perekonomian (disparitas parsial), digunakan indeks Theil yang pernah dilakukan oleh Fujita dan Hu (2001), dengan persamaan : dimana : I y i I N = = indeks Theil (disparitas total) y yi log x i= 0 i = PDRB kabupaten/kota ke-i / PDRB provinsi atau PDRB sektor ke-i / PDRB sektor ke-i provinsi x i = penduduk kabupaten/kota ke-i / penduduk provinsi atau jumlah tenaga kerja sektor ke-i / jumlah tenaga kerja sektor ke-i provinsi y i [log(y i /x i )] = disparitas parsial Selain itu, untuk mendekomposisi total disparitas wilayah menjadi disparitas antar wilayah (kawasan) atau disparitas dalam wilayah (antar kabupaten/kota) di Provinsi Sumatera Selatan, dengan menggunakan persamaan : i I = I g= 1 Y g I g I Y 0 2 = = Y log X g Yg g= 1 g g y i i S g I g = i S g yi y Y i g log Yg xi X g 29

46 dimana : I 0 = disparitas antar wilayah (kawasan) 2 Y g I g= 1 y i x i g = disparitas antar kabupaten/kota = PDRB kabupaten ke-i / PDRB provinsi; y g = jumlah y i = penduduk kabupaten ke-i / penduduk provinsi; x g = jumlah x i Manfaat dari pemakaian Indeks Theil adalah : (1) memungkinkan kita untuk membuat perbandingan selama kurun waktu tertentu; (2) Indeks ketimpangan entropi Theil juga dapat menyediakan pengukuran ketimpangan secara rinci dalam sub unit geografis selama periode tertentu; (3) mengkaji gambaran yang lebih rinci mengenai ketimpangan spasial, misalnya ketimpangan antar daerah dalam suatu provinsi dan antar sub unit daerah dalam suatu kawasan. Semakin besar nilai indeks Theil menunjukkan ketimpangan yang semakin membesar pula, demikian sebaliknya Analisis Penyebab Disparitas Antar Wilayah Kabupaten/kota Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas pembangunan antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan digunakan indikator yang dikelompokkan berdasarkan aspek ekonomi (pendapatan wilayah), fisik (penggunaan lahan) dan sosial (IPM) sebagai pendekatan terhadap terjadinya disparitas. Nilai dekomposisi dari disparitas total (2006) masing-masing kabupaten/kota digunakan sebagai variabel tujuan terhadap PDRB sektoral per kapita (2006), penggunaan lahan (2006) dan komponen IPM (2006) sebagai variabel bebas (Tabel 3). Penggunaan nilai dekomposisi tersebut karena dianggap sebagai pembentuk disparitas di Provinsi Sumatera Selatan. Tabel 3. Variabel yang Digunakan Sebagai Faktor Penduga Penyebab Disparitas di Provinsi Sumatera Selatan. Indikator Variabel 1 EKONOMI (pendapatan wilayah) PDRB sektor Pertanian 2 PDRB sektor Pertambangan 3 PDRB Sekunder 4 PDRB Tersier 5 FISIK (penggunaan lahan) Luas sawah 6 Luas non sawah 7 Luas kawasan terbangun 8 Luas hutan negara 9 SOSIAL (pembangunan manusia) Angka harapan hidup 10 Persentase melek huruf 11 Daya beli masyarakat Sumber : BPS 30

47 Fungsi yang terbentuk menyerupai persamaan regresi dengan komposisi disparitas tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan diduga dipengaruhi oleh variabel penggunaan lahan, produktivitas perekonomian dan angka harapan hidup, rasio melek huruf dan daya beli masyarakat tiap kabupaten/kota. Variabelvariabel yang memiliki nilai koefisien regresi terbesar, dianggap memiliki peranan penting dalam menyebabkan terjadinya disparitas wilayah di Provinsi Sumatera Selatan. Adapun bentuk persamaan umumnya adalah : Y= f(x 1,X 2,X 3,,X k ) atau : model regresi berganda dapat diturunkan menjadi : dimana : Y = X X i X i + Y = Nilai dekomposisi dari disparitas total tiap kabupaten/kota X i = Variabel bebas, terdiri dari PDRB per kapita, luas penggunaan lahan, komponen IPM i = Koefisien fungsi regresi = Residual Y merupakan variabel tujuan yang nilainya tergantung dari k variabel bebas x1,.xk; yang diasumsikan bahwa nilai variabel bebas diketahui dan nilai 0, 1,. k belum diketahui Analytical Hierarchy Process (AHP) Untuk mengetahui isu yang mengemuka sebagai suatu prioritas kebijakan pembangunan wilayah dan kaitannya dengan ketimpangan, terutama yang ada di wilayah pesisir, penelitian ini melakukan analisis dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) guna mendapatkan nilai skor yang diperlukan dengan melibatkan 15 responden pejabat aparatur dari instansiinstansi terkait, yakni Badan Perencanaan Daerah, Dinas Kehutanan, Dinas PU Bina Marga, Dinas Kelautan dan Perikanan serta Dinas Pendapatan Daerah lingkup provinsi dan kabupaten wilayah pesisir. Data perbandingan berpasangan antara masing-masing kriteria dan alternatif diperoleh dari masing-masing 1 (satu) orang dari unsur aparatur pejabat dari pemerintah daerah provinsi dan kabupaten yang berada di wilayah pesisir (administratif), yakni : Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Banyuasin. Tujuan utama yang ingin diperoleh dari penggunaan dari metode AHP ini adalah prioritas yang perlu dilakukan untuk pembangunan wilayah pesisir di 31

48 Provinsi Sumatera Selatan dengan menggunakan teknik pengambilan sampel responden secara purposive sampling, dengan kriteria bahwa responden memahami kebijakan pembangunan wilayah pesisir di Provinsi Sumatera Selatan agar jawaban yang diperoleh dapat mencerminkan kondisi yang lebih realistis dalam perumusan prioritas dan arahan kebijakan pembangunan. Kriteria yang dibentuk untuk prioritas pembangunan di wilayah pesisir Sumatera Selatan terhadap responden juga berdasarkan pendekatan dari indikator kinerja pembangunan wilayah, yaitu infrastruktur wilayah (jalan, fasilitas), pendapatan wilayah (PDRB) dan kesejahteraan masyarakat (penyerapan tenaga kerja dan pendapatan) sebagai indikator sosial sedangkan alternatif tujuan yang dipakai dalam model AHP merupakan sektor-sektor unggulan yang terdapat di kabupaten pesisir berdasarkan hasil analisis sebelumnya. Hirarki disusun berdasarkan kriteria dan alternatif yang dijadikan pertimbangan dalam pemilihan prioritas penggunaan sebagai tujuan (Gambar 3). Data perbandingan berpasangan antara masing-masing kriteria dan alternatif diperoleh dari 15 orang responden masing-masing 1 orang dari unsur aparatur pejabat dari pemerintah daerah provinsi dan kabupaten di wilayah pesisir tersebut. Tujuan PRIORITAS PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR SUMATERA SELATAN Kriteria PENDAPATAN WILAYAH INFRASTRUKTUR WILAYAH KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Alternatif PERTANIAN INDUSTRI PENGOLAHAN S BANGUNAN PRDG, HOTEL & RESTO JASA SEKTOR UNGGULAN Gambar 3. Diagram Hirarki Pemilihan Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir, Provinsi Sumatera Selatan. 32

49 Selanjutnya, alur proses dan analisis-analisis yang digunakan dalam penelitian ini, disajikan oleh Gambar 4. PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH PROVINSI SUMATERA SELATAN INFRASTRUKTUR WILAYAH PENDAPATAN WILAYAH SOSIAL DISPARITAS ANTAR WILAYAH ANALISIS INDEKS WILIAMSON; ANALISIS INDEKS THEIL; ANALISIS REGRESI BERGANDA; DESKRIPTIF IDENTIFIKASI SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS LOCATION QUESTION (LQ) ANALISI ENTROPI; ANALISIS SKALOGRAM DAN ANALISIS MULTIVARIAT PERSEPSI APARATUR DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR AHP PRIORITAS DAN ARAHAN PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR SUMATERA SELATAN Gambar 4. Kerangka Analisis Penelitian. 33

50 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Provinsi Sumatera Selatan Wilayah Provinsi Sumatera Selatan merupakan suatu wilayah bagian dari Pulau Sumatera yang mempunyai luas wilayah ± Ha. yang terletak pada Lintang Selatan dan Bujur Timur. Secara administratif, di sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Jambi, di sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Lampung, di disebelah barat berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dan sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kondisi topografi Provinsi Sumatera Selatan bervariasi, mulai dari wilayah berpantai, datar hingga bergunung. Di pantai Timur tanahnya terdiri dari rawarawa dan payau yang dipengaruhi oleh pasang surut. Vegetasinya berupa tumbuhan palmase dan kayu rawa (bakau). Wilayah barat merupakan dataran rendah yang luas. Lebih masuk ke dalam, wilayahnya semakin bergununggunung. Apabila dilihat dari kondisi geologi, susunan formasi batuan dan endapan di wilayah Provinsi Sumatera Selatan, antara lain : 1. Batuan Sedimen Formasi Lahat, terdiri dari batu lempung, serpih, dengan sisipan batu pasir halus sampai batu lanau gampingan. Formasi Palembang Anggota Tengah, terdiri dari perselingan batu lempung dengan serpih dan batu lanau, bersisipan batu pasir. Formasi Palembang Anggota Atas, terdiri dari batu lempung dan batu lanau tufaan dengan sisipan batubara. Formasi Palembang Anggota Bawah, terdiri dari tufa, tufa pasiran dan batu pasir tufaan yang mengandung batu apung. 2. Endapan Permukaan Aluvium (Qa), terdiri dari lempung yang berasal dari rombakan tufa, lanau, pasir, dan kerikil. Pelamparannya terdapat di wilayah Provinsi Sumatera Selatan bagian utara dan timur serta setempat-setempat. Endapan Rawa (Qs), terdiri dari lumpur, lanau, dan pasir, pada umumnya tufaan. Lamparannya cukup luas, yaitu di sekitar sungai.

51 Sedangkan berdasarkan kondisi hidrologinya, sumber air di Provinsi Sumatera Selatan berasal dari air permukaan dan air tanah. Adapun jenis air permukaan yang berada di Provinsi Sumatera Selatan adalah sungai, danau/rawa, tadah hujan. Air tanah sangat jarang dijumpai sebagai sumber mata air dan kalau pun ada debitnya kecil, umumnya kurang dari 1 lt/det dan tidak cukup memiliki prospek untuk dikembangkan karena dipengaruhi oleh keadaan musim (BAPPEDA 2006). Jenis-jenis tanah yang terbentuk di wilayah Provinsi Sumatera Selatan terdiri dari 11 jenis tanah, yaitu : 1. Organosol, terdapat di sepanjang pantai dan dataran rendah. 2. Litosol, yang tersebar di pinggiran pegunungan terjal Danau Ranau dengan Patahan di sepanjang Bukit Barisan. 3. Alluvial, terdapat di sepanjang Sungai Musi, Sungai Lematang, Sungai Ogan, Sungai Komering, dan Punggung Bukit Barisan. 4. Hidromorf, terdapat di dataran rendah Muara Enim dan Musi Rawas. 5. Humus, terdapat di sepanjang pantai dan dataran rendah. 6. Regosol, terdapat di sekeliling Pantai Timur, di pinggiran pegunungan terjal Danau Ranau dan Kerucut Vulkan. 7. Andosol, jens tanah ini terdapat di semua kerucut Vulkan muda dan tua, umumnya jenis tanah ini ditemui di wilayah dengan ketinggian lebih dari 100 m dpl. 8. Rendzina, terdapat di sekitar Kota Baturaja. 9. Latosol, penyebaran tanah ini umumnya terdapat di wilayah tanah kering. 10. Lateritik, terdapat dataran rendah di sekitar Martapura. 11. Podzolik, terdapat di dataran rendah dan di pegunungan Bukit Barisan. Wilayah Provinsi Sumatera Selatan memiliki kawasan bergambut seluas 1,4 juta ha atau 16,3 % dari luas wilayah. Dengan luasan seperti ini menjadikan Provinsi Sumatera Selatan sebagai provinsi terluas ke dua di Pulau Sumatera (setelah Riau) yang memiliki kawasan gambut. Kawasan gambut tersebut tersebar di 5 kabupaten, yaitu : Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin, Banyuasin, Musi Rawas, dan Muara Enim. Kabupaten Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin, dan Banyuasin merupakan kabupaten yang memiliki kawasan gambut terluas dengan rincian masing-masing ha, ha, dan ha. Kawasan gambut di Provinsi Sumatera Selatan memiliki ketebalan yang bervariasi antara cm atau termasuk kategori dangkal hingga dalam. 35

52 Namun demikian 96,8 %-nya termasuk gambut dangkal hingga sedang, sisanya 3,2 % atau ha merupakan gambut dalam yang sebarannya terdapat di Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Muara Enim, dan Kabupaten Ogan Komering Ilir. Berdasarkan Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung, bahwa gambut yang termasuk dalam kategori kawasan lindung apabila mempunyai ketebalan lebih dari 3 m. Sejak Tahun 2001 hingga 2003, wilayah administrasi Provinsi Sumatera Selatan yang semula terdiri atas enam (6) kabupaten dan satu (1) kota mengalami pemekaran. Sekarang Provinsi Sumatera Selatan terdiri dari 14 kabupaten/kota Pada Tahun 2007, Kabupaten Empat Lawang memekarkan wilayahnya dari Kabupaten Lahat dan pada pertengahan Tahun 2008 telah melakukan proses pemilihan kepala daerah. Ibukota Provinsi Sumatera Selatan berada di Kota Palembang, yang mempunyai luas wilayah ha atau 421,01 km 2 yang merupakan pusat pemerintahan, pendidikan, kebudayaan, bisnis dan industri. Tabel 4. Luas Wilayah Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan. No. Kabupaten/Kota Luas (Ha) % 1 Ogan Komering Ulu (OKU) ,10 2 OKU Selatan ,31 3 OKU Timur ,87 4 Ogan Komering Ilir (OKI) ,56 5 Ogan Ilir ,06 6 Muara Enim ,87 7 Lahat ,62 8 Musi Rawas ,94 9 Musi Banyuasin ,64 10 Banyuasin ,95 11 Palembang ,43 12 Prabumulih ,48 13 Pagar Alam ,67 14 Lubuk Linggau ,48 Provinsi Sumatera Selatan ,00 Sumber : BAPPEDA (2006) 36

53 4.2 Kondisi Demografi Perkembangan jumlah penduduk di 14 kabupaten/kota di Sumatera Selatan Tahun menunjukkan kenaikan. Pertumbuhan penduduk sebesar 1,72% per Tahun periode Pertambahan jumlah penduduk tersebut yang relatif tinggi jika dilihat dari beban pemerintah tentu berimplikasi diperlukannya penyediaan pelayanan publik yang mesti terus diperbaiki dan ditingkatkan. Pada sisi lain kondisi itu mencerminkan potensi SDM yang dapat dioptimalkan peranannya dalam kegiatan pembangunan daerah pada semua aspek. Sebaran jumlah penduduk yang ada dapat dijadikan acuan untuk memetakan program dan kegiatan perekonomian yang mampu menyerap tenaga kerja lokal untuk turut berperan dalam pembangunan. Jumlah penduduk Provinsi Sumatera Selatan pada Tahun 2007 sebanyak jiwa yang tersebar di sebelas kabupaten dan empat kota. Sejumlah 19,87 % atau jiwa dari total jumlah penduduk tersebut bermukim di ibu kota Provinsi (Palembang) sehingga kepadatan penduduknya sangat tinggi, sedangkan sekitar jiwa merupakan jumlah penduduk paling sedikit (rendah) yang dimiliki oleh Kota Pagar Alam, seperti yang disajikan di Gambar 5. Gambar 5. Peta Tingkat Kepadatan Penduduk di Provinsi Sumatera Selatan. 37

54 Tabel 5. Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan tahun No Kabupaten/Kota Ogan Komering Ulu (OKU) OKU Selatan OKU Timur Ogan Komering Ilir (OKI) Ogan Ilir Muara Enim Lahat Musi Rawas Musi Banyuasin Banyuasin Palembang Prabumulih Pagar Alam Lubuk Linggau Provinsi Sumatera Selatan Sumber : BPS Peningkatan jumlah penduduk Sumatera Selatan dapat menjadi pendorong maupun penghambat perkembangan ekonomi. Akan mendorong perkembangan ekonomi bila pertambahan penduduk memperbesar jumlah tenaga kerja yang meningkatkan pertambahan produksi dan perluasan pasar yang akan menaikkan tingkat kegiatan ekonomi. Dampak tidak menguntungkan dari pertumbuhan penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi terutama dihadapi oleh daerah yang kemajuan ekonominya belum tinggi tetapi telah menghadapi masalah kelebihan penduduk sehingga dapat menyebabkan ketidakseimbangan dengan faktor-faktor produksi lainnya. Implikasinya pertambahan penggunaan tenaga kerja tidak menimbulkan pertambahan output ataupun pertambahan tersebut sangat lambat dibanding pertambahan penduduk. 4.3 Kondisi Perekonomian Struktur perekonomian Provinsi Sumatera Selatan dapat dilihat dari kontribusi masing-masing sektor lapangan usaha terhadap PDRB ADHB (Tabel 5). Kontribusi terbesar masih sektor pertambangan dan penggalian, yaitu 28,51%; 26,12%; dan 24,94% masing-masing Tahun 2005, 2006, dan Kontribusi terbesar kedua, ketiga, dan keempat adalah sektor industri pengolahan, sektor pertanian, dan sektor perdagangan. Keempat sektor ini memberikan kontribusi total untuk Tahun 2005, 2006, dan 2007 masing-masing 38

55 sebesar 78,68%; 78,79%; dan 78% sehingga ada indikasi ketimpangan dalam peranan masing-masing aktivitas dari sektor-sektor perekonomian yang ada di Provinsi Sumatera Selatan. Ada perbedaan yang signifikan antara PDRB atas dasar harga berlaku dan konstan. Ini terlihat dari indeks implisit PDRB Sumatera Selatan untuk Tahun 2005, 2006, dan 2007 masing-masing sebesar 164,27; 183,72; dan 198,86. Peningkatan yang besar dari indeks implisit ini menunjukkan relatif tingginya celah inflatoir (inflationary gap). Hal ini memiliki kelemahan bahwa komoditi-komoditi perdagangan Sumatera Selatan sangat rentan terhadap gejolak harga, baik perdagangan domestik maupun perdagangan internasional (BAPPENAS & UNSRI 2008). Tabel 6. Kontribusi Sektoral Berdasarkan PDRB ADHB (jutaan rupiah) Provinsi Sumatera Selatan tahun Sektor-sektor Perekonomian 2003 % 2004 % 2005 % 2006 % 2007 % Pertanian , , , , ,27 Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih , , , , , , , , , , , , , , ,54 Bangunan , , , , ,13 Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan , , , , , , , , , , , , , , ,41 Jasa-Jasa , , , , ,77 Total 55, Sumber : BPS Pertumbuhan ekonomi sektoral di Provinsi Sumatera Selatan (Tabel 6) untuk tiap sektor-sektor perekonomian, relatif dominan mengalami peningkatan dengan sektor-sektor yang memiliki prospek cukup baik tumbuh relatif tinggi Tahun 2005, 2006, dan 2007, seperti sektor transportasi dan komunikasi masingmasing sebesar 11,56; 10,56, dan 14,32. Demikian pula, sektor jasa-jasa, keuangan, dan bangunan relatif pesat. Perkembangan pendapatan regional per kapita di Provinsi Sumatera Selatan cenderung mengalami pertumbuhan yang lambat. Hal ini terlihat dari 39

56 perkembangan Tahun 2005, 2006, dan 2007 masing-masing dengan migas ADHK sebesar Rp ,- ; Rp ,- dan Rp ,- sedangkan tanpa migas sebesar Rp ,-; Rp ,-, dan Rp ,-. Hal ini memperlihatkan bahwa percepatan pertumbuhan daya beli riil masyarakat masih relatif lambat (Tabel 7), namun demikian bahwa pada Tahun 2003 pendapatan per kapita dengan migas baru meningkat sedangkan tanpa migas peningkatan baru mulai terjadi pada Tahun Tabel 7. Laju Pertumbuhan Per Sektor Perekonomian Berdasarkan Harga Konstan (persen) di Provinsi Sumatera Selatan tahun Sektor-sektor Perekonomian Pertanian 4,75 4,94 5,88 6,44 6,48 Pertambangan dan Penggalian 3,29 0,75 0,42 0,36 0,25 Industri Pengolahan 4,63 6,14 4,75 5,30 5,70 Listrik, Gas dan Air Bersih 4,18 5,71 6,66 7,48 7,40 Bangunan 6,69 7,56 7,61 7,25 8,11 Perdagangan, Hotel dan Restoran 5,35 6,21 7,73 7,93 9,04 Transportasi dan Komunikasi 7,03 9,48 11,56 10,56 14,32 Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan 5,27 7,12 7,37 8,26 9,14 Jasa-Jasa 4,65 3,19 6,72 7,90 9,06 Sumber : BPS Tabel 8. Pendapatan Per Kapita Berdasarkan Harga Konstan (ribuan rupiah) Provinsi Sumatera Selatan Tahun Tahun Dengan Migas Tanpa Migas Sumber : BPS Kondisi Prasarana Wilayah Prasarana Listrik Secara umum kota-kota di Provinsi Sumatera Selatan sudah menikmati energi listrik yang dilayani oleh PT. PLN (Persero). Untuk sistem 40

57 ketenagalistrikan di rovinsi Sumatera Selatan tidak terlepas dari sistem ketenagalistrikan di Pulau Sumatera, karena semenjak Tahun 2004 sistem kelistrikan Sumatera Bagian Selatan (Provinsi Sumatera Selatan, Jambi, Lampung dan Bengkulu) sudah terinterkoneksi dengan sistem Sumatera bagian tengah (Provinsi Sumatera Barat dan Riau). Prasarana ketenagalistrikan PLN yang dimiliki oleh Provinsi Sumatera Selatan adalah 4 unit PLTU Batubara (dengan kapasitas terpasang 260,0 MW), 2 unit PLTU (Gas, HSD, Residu) dengan kapasitas terpasang 25,0 MW, 8 unit PLTG (207,7 MW), dan 4 unit PLTD Besar (37,9 MW) serta 47 unit PLTD isolated. Jaringan Tegangan Menengah (JTM) yang telah dibangun sepanjang 6.907,00 KMS dan Jaringan Tegangan Rendah (JTR) sepanjang 7.231,00 KMS Prasarana Telekomunikasi Prasarana telekomunikasi yang dibahas pada bagian ini, hanya meliputi prasarana telekomunikasi yang dikelola oleh PT. Telkom wilayah kerja Sumatera Bagian Selatan yang melayani wilayah Sumbagsel, yaitu Kandatel Palembang Ilir, Palembang Ulu, Baturaja, dan Lubuk Linggau. Jumlah pelanggan secara keseluruhan mencapai lebih jiwa. Seiring dengan perkembangan teknologi telekomunikasi, penyedia jaringan telekomunikasi tidak lagi dimonopoli oleh Telkom. Beberapa perusahaan swasta telah berpartisipasi khususnya di bidang penyediaan jaringan telekomunikasi seluler Prasarana Air Bersih Pada tepian sungai banyak penduduk yang masih memanfaatkan sungai sebagai sumber air bersih. Mereka mengambil air dari sungai kemudian diendapkan atau ditambahkan kaporit, kemudian langsung digunakan sebagai air untuk dimasak atau pada saat musim hujan mereka menampung air hujan untuk dijadikan air minum. Kebiasaan ini sudah terjadi secara turun menurun sejak dahulu. Sumber air non PDAM di beberapa kota di Provinsi Sumatera Selatan seperti Palembang, Sekayu, dan Kayuagung memang tidak banyak mempunyai alternatif lain. Sumur gali tidak bisa digunakan karena airnya terlalu asam, berwarna kecoklatan dan tidak layak untuk dikonsumsi. Hal ini disebabkan kondisi alamnya yang sebagian besar berupa rawa dan bergambut. Pada kotakota di Sumatera Selatan seperti Baturaja, Muara Enim, Lahat, Lubuk Linggau, sumur gali di beberapa lokasi masih bisa digunakan dan dimanfaatkan oleh penduduk. 41

58 4.5 Arah dan Kebijakan Umum Pemerintahan Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang melaksanakan pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan. Untuk mewujudkannya, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan telah menentukan visi dan misi kebijakan pembangunan, yaitu dengan visinya Sumatera Selatan Sejahtera dan Terdepan Bersama Masyarakat Cerdas dan Berbudaya. Sejahtera adalah keadaan dimana semua lapisan masyarakat secara menyeluruh dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (pangan, sandang dan papan) secara merata, serta memiliki rasa aman dan kepercayaan yang tinggi kepada pemerintah; Cerdas adalah sikap pikir profesional yang didasarkan pada landasan moral yang tinggi, kemampuan dan kecakapan dalam membaca situasi, menangkap dan mengolah peluang, serta merancang dan melaksanakan pemecahan masalah dalam semua situasi. Insan dan masyarakat yang cerdas akan selalu optimistis dan mampu memanfaatkan peluang untuk aktifitas yang produktif; dan Terdepan adalah keadaan yang menunjukkan tingkat penguasaan wawasan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks) yang tinggi, berkelanjutan, berada lebih baik dan menjadi acuan bagi daerah-daerah lain. Guna menjabarkan visi tersebut, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menetapkan misi pembangunan daerah yang digunakan sebagai arah kebijakan, antara lain : 1. Mengembangkan dan membina, serta menfasilitasi pembentukan sumber daya manuasia (SDM) Sumatera Selatan yang kreatif, produktif dan inovatif dan perduli melalui semua jalur dan jenjang pendidikan baik formal maupun informal. 2. Membangun pertanian pangan dan perkebunan berskala teknis dan ekonomis dengan infrastruktur yang cukup dan penerapan teknologi tepat guna. 3. Mendayagunakan sumber daya pertambangan dan energi (fosil dan terbarukan) dengan cerdas, arif dan bijaksana demi kepentingan masyarakat luas. 4. Membangun industri pengolahan dan manufaktur yang berdayasaing global dengan menciptakan nilai tambah potensial yang proposional dengan memperkokoh kemitraan hulu dan hilir, serta industri kecil, menengah dan besar. 42

59 5. Membangun dan menumbuhkembangkan pusat-pusat inovasi yang berbasis pada perguruan tinggi dan lembaga penelitian untuk meningkatkan nilai tambah dan produktifitas sektor ekonomi berkelanjutan. 6. Meningkatkan dan memeratakan pembangunan menuju kesejateraan yang bermartabat. 7. Membangun dan memperkuat jejaring kerjasama ekonomi (industri, perdagangan) dan kelembagaan (regional, nasional dan internasional). 8. Membangun pemerintah yang amanah (demokratis, keadilan, jujur dan bertanggungjawab serta akuntabel). 9. Mengembangkan dan membina budaya daerah yang berakat pada nilai-nilai luhur "Simbur Cahaya 43

60 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Sektor-Sektor Unggulan di Provinsi Sumatera Selatan Struktur ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh besarnya peranan sektor-sektor perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa. Struktur yang terbentuk dari nilai tambah yang diciptakan oleh masing-masing sektor yang menggambarkan ketergantungan suatu daerah terhadap kemampuan berproduksi dari masing-masing sektor. Secara umum, sektor-sektor perekonomian tersebut dibagi menjadi 9 (sembilan) sektor, yaitu : (1) Pertanian; (2) Pertambangan dan Penggalian; (3) Industri Pengolahan; (4) Listrik, Gas dan Air Bersih; (5) Bangunan; (6) Perdagangan, Hotel dan Restoran; (7) Pengangkutan dan Telekomunikasi; (8) Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; dan (9) Jasa lainnya. Hasil perhitungan LQ berdasarkan aktivitas sektor perekonomian tahun 2007 masing-masing kabupaten/kota, memperlihatkan bahwa sebagian besar sektor-sektor perekonomian di Provinsi Sumatera Selatan dengan nilai LQ>1, antara lain sektor perdagangan (10 kabupaten), pertanian (9 kabupaten), bangunan (9 kabupaten) dan jasa (9 kabupaten). Secara umum, sektor pertanian; bangunan; perdagangan, hotel dan restoran; keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; serta jasa lainnya mampu berkembang secara komparatif di Provinsi Sumatera Selatan sebagai sektor unggulan wilayah (Tabel 9). Sektor pertanian dengan besaran nilai LQ>1 ternyata tidak diikuti oleh besaran nilai LQ di sektor industri pengolahan, kecuali pada Kabupaten Banyuasin dan Kota Palembang. Pada sektor pertambangan dan penggalian, nilai LQ>1 hanya dimiliki oleh Kabupaten Muara Enim, Musi Rawas, Musi Banyuasin dan Prabumulih. Nilai LQ>1 untuk sektor listrik dan air minum dari seluruh kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Selatan hanya terdapat di Kota Palembang sedangkan Nilai LQ>1 pada sektor bangunan terdapat di beberapa kabupaten/kota, kecuali Kabupaten Ogan Komering Ulu, Muara Enim, Musi Rawas, Musi Banyuasin dan OKU Timur. Pada sektor perdagangan, nilai LQ>1 terdapat hampir di setiap kabupaten/kota, kecuali Kabupaten Muara Enim, Lahat, Musi Rawas dan Musi Banyuasin. Kota Palembang, Pagaralam dan Lubuk Linggau mempunyai nilai LQ>1 di sektor transportasi dan komunikasi sedangkan di sektor keuangan, nilai LQ>1 terdapat di beberapa kabupaten/kota,

61 seperti Kabupaten Lahat, OKU Selatan, Ogan Ilir dan Kota Palembang, Pagaralam serta Lubuk Linggau. Pada sektor jasa dengan nilai LQ>1 juga hampir terdapat di tiap kabupaten/kota, kecuali Kabupaten Ogan Komering Ilir, Banyuasin, Muara Enim, Musi Rawas dan Musi Banyuasin. Tabel 9. Nilai LQ Aktivitas Perekonomian Per Sektor Tiap Kabupaten/kota, di Provinsi Sumatera Selatan Tahun KABUPATEN/KOTA SEKTOR Tani Tbg Ind Ligas Bang Prdg Tran Keu Jasa OKI 2,42 0,06 0,50 0,11 1,84 1,23 0,28 0,67 0,98 Banyuasin 1,74 0,61 1,15 0,08 1,19 1,16 0,12 0,25 0,51 Palembang 0,04-2,26 2,92 1,09 1,50 2,97 1,82 1,55 OKU 1,58 0,88 0,57 0,40 0,93 1,11 0,40 0,99 1,10 Muara Enim 0,96 2,16 0,47 0,80 0,54 0,39 0,32 0,33 0,57 Lahat 1,75 0,86 0,48 0,26 1,12 0,79 0,47 1,15 1,22 Musi Rawas 1,91 1,44 0,47 0,16 0,52 0,31 0,09 0,43 0,79 Musi Banyuasin 0,70 2,44 0,45 0,05 0,53 0,48 0,06 0,32 0,37 OKU Selatan 1,73 0,07 0,59 0,23 1,85 1,73 0,24 1,21 1,47 OKU Timur 2,54 0,11 0,45 0,21 0,99 1,22 0,29 0,97 1,31 Ogan Ilir 1,64 0,22 0,65 0,29 1,92 1,54 0,36 1,11 1,28 Prabumulih 0,47 1,19 0,38 0,46 1,52 1,56 0,73 2,68 1,02 Pagaralam 1,98 0,06 0,07 0,35 1,63 1,57 1,02 1,67 1,80 Lubuk Linggau 0,34 0,05 0,44 0,94 3,10 1,78 1,64 3,58 2,28 Maks 2,54 2,44 2,26 2,92 3,10 1,78 2,97 3,58 2,28 Min 0,04 0,05 0,07 0,05 0,52 0,31 0,06 0,25 0,37 Rataan 1,42 0,83 0,69 0,62 1,39 1,16 0,73 1,30 1,18 Sumber : BPS Sumatera Selatan 2007 (diolah) Ket : Kab. Empat Lawang masih tergabung dengan Kab. Lahat (Kab. Induk) Tn Tbg Ind Ligas Bang : : : : : Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Gas Bangunan Prdg Tran Keu Jasa : : : : Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa. Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki sektor-sektor unggulan (nilai LQ>1) lebih dari 1 (satu) sektor dan berpeluang menjadi potensi daerah, secara umum dimiliki oleh tiap kabupaten/kota, kecuali Kabupaten Muara Enim dan Musi Banyuasin yang hanya memiliki 1 (satu) sektor unggulan, yakni sektor pertambangan dan penggalian. Semakin banyak jenis sektor unggulan (LQ>1), mengindikasikan suatu wilayah memiliki keberagaman aktivitas dan relatif mengindikasikan perkembangan wilayahnya tinggi, seperti Kota Palembang yakni 7 (tujuh) dari 9 (sembilan) sektor-sektor perekonomian (77,78%) dan Kota Pagaralam memiliki 6 (enam) dari 9 (sembilan) perekonomian (66,67%) sedangkan sisanya dimiliki oleh kabupaten/kota lainnya. 45

62 Lebih lanjut, aktivitas perekonomian yang mendekati nilai LQ=1; diharapkan berpeluang untuk menjadi potensi sektor unggulan pada wilayah masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan, sehingga peranan aktivitas sektor potensial tersebut nantinya dapat dikembangkan dan mampu meningkatkan keberagaman perekonomian yang relatif mengindikasikan majunya tingkat perkembangan suatu wilayah. Secara rinci, dapat dijelaskan mengenai indikasi sektor unggulan atau beberapa sektor perekonomian yang berpotensi berpeluang sebagai sektor unggulan di tiap kabupaten/kota, yakni : 1. Sektor Pertanian; dapat dikembangkan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Banyuasin, Muara Enim, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ulu (OKU), Lahat, Musi Rawas, OKU Selatan, OKU Timur, Ogan Ilir dan Kota Pagaralam. 2. Sektor Pertambangan dan Penggalian; dapat dikembangkan di Kabupaten Muara Enim, Musi Rawas, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ulu, Lahat dan Kota Prabumulih. 3. Sektor Industri Pengolahan; dapat dikembangkan di Kabupaten Banyuasin, Ogan Ilir dan Kota Palembang. 4. Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih; dapat dikembangkan di Kabupaten Muara Enim dan Kota Palembang, Lubuk Linggau. 5. Sektor Bangunan; dapat dikembangkan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Banyuasin, Ogan Komering Ulu (OKU), Lahat, OKU Selatan, OKU Timur, Ogan Ilir dan Kota Prabumulih, Pagaralam serta Lubuk Linggau. 6. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran; dapat dikembangkan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Banyuasin, Ogan Komering Ulu (OKU), Lahat, OKU Selatan, OKU Timur, Ogan Ilir dan Kota Palembang, Prabumulih, Pagaralam serta Lubuk Linggau. 7. Sektor Transportasi dan Telekomunikasi; dapat dikembangkan di Kota Palembang, Pagaralam, Prabumulih dan Lubuk Linggau. 8. Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; dapat dikembangkan di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Lahat, OKU Selatan, OKU Timur, Ogan Ilir dan Kota Palembang, Prabumulih, Pagaralam serta Lubuk Linggau. 9. Sektor Jasa Lainnya; dapat dikembangkan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Ogan Komering Ulu (OKU), Lahat, Musi Rawas, OKU Selatan, OKU Timur, Ogan Ilir, dan Kota Palembang, Prabumulih, Pagaralam serta Lubuk Linggau. Berdasarkan hasil analisis LQ masing-masing kabupaten/kota tersebut, dapat disimpulkan bahwa sektor pertanian, sektor bangunan yang merupakan 46

63 sektor sekunder serta sektor tersier lainnya (keuangan dan jasa) dapat diandalkan sebagai sektor perekonomian unggulan yang mampu bersaing secara komparatif di Provinsi Sumatera Selatan. Selain itu, laju pertumbuhan sektorsektor tersebut selama kurun waktu , cenderung terus mengalami peningkatan dan berbanding terbalik dengan sektor pertambangan dan penggalian yang cenderung menurun (Tabel 7). Oleh karena itu, semenjak diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah daerah perlu menetapkan prioritas pembangunan sektor perekonomian yang berdasarkan sektor-sektor unggulan di tiap kabupaten/kota akibat terbatasnya anggaran pembangunan. Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan oleh Suripto (2003) mengenai perlunya penetapan prioritas pengembangan di suatu wilayah, yakni sektor unggulan. Sektor pertanian yang merupakan sektor unggulan dan menjadi aktivitas perekonomian primer di Provinsi Sumatera Selatan, tidak diimbangi oleh aktivitas sektor perekonomian lainnya, terutama industri pengolahan. Hal ini relatif mengindikasikan bahwa sebagian besar hasil-hasil pertanian di suatu wilayah cenderung langsung dijual ke wilayah lain tanpa diolah terlebih dahulu sehingga tidak menghasilkan nilai tambah. Hal ini diakibatkan sektor pertanian cenderung menjadi aktivitas perekonomian yang kurang memiliki nilai tambah terhadap pendapatan wilayah sehingga kurang mendapat perhatian oleh pemerintah daerah yang lebih mengutamakan sektor yang dianggap lebih mampu meningkatkan pendapatan per kapita, terutama migas. Selain itu, semakin banyak jumlah aktivitas sektor perekonomian yang berkembang, relatif mengindikasikan meningkatnya aktivitas perekonomian yang potensial sehingga dapat dikembangkan menjadi sektor unggulan di tiap kabupaten/kota. Oleh karena itu, sektor pertanian hendaknya dapat dijadikan salah satu aspek daya saing suatu daerah yang diharapkan mampu meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Hal tersebut tercantum pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, pasal 45 ayat (1). 5.2 Tingkat Perkembangan Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan Untuk mengetahui perkembangan suatu wilayah, diperlukan suatu analisa mengenai pencapaian pembangunan melalui indikator-indikator kinerja bidang ekonomi, sosial dan bidang lain yang mempunyai keterkaitan. Pengembangan wilayah bertujuan untuk memacu perkembangan ekonomi dan sosial serta berperan dalam mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah. 47

64 Dalam penelitian ini, sebagai pendekatan untuk melihat tingkat perkembangan wilayah di Provinsi Sumatera Selatan digunakan metode analisis entropi terhadap sektor perekonomian (aspek pendapatan wilayah) dan analisis multivariat yang terdiri dari analisis klaster dan diskriminan terhadap PDRB per kapita tiap sektor (aspek pendapatan wilayah), penggunaan lahan dan fasilitas (aspek fisik wilayah) dan jumlah tenaga kerja (aspek sosial) Perkembangan Diversivikasi Aktifitas Perekonomian Tingkat perkembangan wilayah dengan aspek ekonomi berdasarkan hasil indeks entropi pada tahun 2003 hingga 2007 menunjukkan bahwa baik pada tingkat kabupaten/kota maupun pada tingkat provinsi memiliki nilai yang relatif tetap. Kondisi ini mengindikasikan bahwa selama kurun waktu tersebut proporsi keragaman sektor-sektor perekonomian tiap kabupaten/kota relatif stabil sehingga komposisi perkembangan sektor-sektor perekonomian di Provinsi Sumatera Selatan cenderung kurang mengalami banyak perkembangan. Pada tahun 2003, hasil analisis entropi total dari data aktifitas tiap sektor perekonomian di wilayah Provinsi Sumatera Selatan menunjukkan bahwa nilai entropi sebesar 3,58. Nilai entropi tersebut belum mencapai nilai entropi maksimum, karena dengan 9 (sembilan) komponen dari sektor-sektor perekonomian yang ada, seharusnya dapat dicapai nilai entropi maksimum sebesar 4,59. Namun demikian, nilai tersebut relatif mendekati nilai entropi maksimum sehingga dapat dinyatakan bahwa tingkat penyebaran aktifitas di seluruh wilayah Provinsi Sumatera Selatan relatif merata dan aktifitas sektor-sektor perekonomian yang relatif seragam. Hal yang sama juga terjadi pada tahun 2005 dan Pada tahun 2003, Tabel 10 menyajikan sebaran intensitas aktifitas tiap sektor perekonomian paling merata (peluang perkembangan seluruh aktifitas), secara proporsi terhadap perkembangan wilayah Sumatera Selatan adalah berturut-turut terdapat di Kota Palembang (0,76) atau sekitar 21,21 persen; Untuk Kabupaten Musi Banyuasin (0,55) atau sekitar 15,45 persen. Apabila dilihat berdasarkan nilai rataan dan standar deviasi indeks entropinya maka kedua wilayah tersebut dapat diklasifikasikan sebagai wilayah yang memiliki tingkat perkembangan yang tinggi; sedangkan untuk Kabupaten Muara Enim (0,44) atau sekitar 12,39 persen; dan Kabupaten Ogan Komering Ulu (0,41) atau sekitar 11,44 persen; dan tingkat perkembangan kedua wilayah tersebut dikategorikan sedang. Adapun wilayah kabupaten/kota lain sisanya hanya memiliki kontribusi di bawah 10 persen (tingkat perkembangannya rendah). 48

65 Selanjutnya, di tahun 2005, sebaran terbesar intensitas aktivitas tersebut masih terdapat di Kota Palembang (0,78) dan Kabupaten Musi Banyuasin (0,55) dengan masing-masing kontribusinya yang sedikit menurun 20,92 %; 14,73%; dan 11,81% yang diakibatkan pemekaran wilayah di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Ogan Komering Ulu. Lebih lanjut, tingkat perkembangan Kota Palembang dan Kabupaten Musi Banyuasin tetap dikategorikan tinggi, sedangkan untuk Kabupaten Ogan Komering Ulu intensitas aktivitasnya menurun akibat pemekaran wilayah yang terjadi, sehingga tingkat perkembangan wilayahnya menjadi ikut menurun, dari sedang menjadi rendah. Pada tahun 2007, kondisi tersebut tidak mengalami perubahan sehingga dapat dikatakan tingkat perkembangan wilayah di Provinsi Sumatera Selatan bersifat stabil dan kabupaten/kota dengan aktivitas perekonomian yang beragam atau aktivitas sektor yang konsentrasi memiliki tingkat perkembangan wilayah yang berkisar sedang-tinggi apabila dilihat berdasarkan nilai entropi total masing-masing kabupaten/kota, antara 0,41 sampai dengan 0,76. Tabel 10. Perkembangan Indeks Entropi (PDRB sektoral) Tiap Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003, 2005 dan PERKEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN/KOTA ENTROPI INDEKS ENTROPI INDEKS ENTROPI INDEKS TOTAL ENTROPI TOTAL ENTROPI TOTAL ENTROPI OKI 0,32 0,07 0,23 0,05 0,23 0,05 Banyuasin 0,30 0,07 0,31 0,06 0,31 0,06 Palembang 0,76 0,17 0,78 0,16 0,81 0,17 OKU 0,41 0,09 0,22 0,05 0,23 0,05 Muara Enim 0,44 0,10 0,44 0,09 0,45 0,09 Lahat 0,26 0,06 0,26 0,05 0,26 0,05 Musi Rawas 0,24 0,05 0,24 0,05 0,25 0,05 Musi Banyuasin 0,55 0,12 0,55 0,11 0,55 0,11 OKU Selatan - - 0,11 0,02 0,11 0,02 OKU Timur - - 0,17 0,03 0,17 0,04 Ogan Ilir - - 0,15 0,03 0,14 0,03 Prabumulih 0,13 0,03 0,12 0,03 0,12 0,03 Pagaralam 0,06 0,01 0,06 0,01 0,06 0,01 Lubuk Linggau 0,10 0,02 0,10 0,02 0,10 0,02 Maks 0,76 0,16 0,78 0,16 0,81 0,17 Min 0,06 0,01 0,06 0,01 0,06 0,01 Rataan 0,34 0,07 0,29 0,06 0,29 0,06 Std. Dev 0,21 0,04 0,20 0,04 0,21 0,04 Sumber : Hasil analisis Adapun wilayah dengan intensitas aktifitas paling tidak merata (adanya kecenderungan spefisikasi) di Provinsi Sumatera Selatan dimiliki oleh Kota 49

66 Pagaralam (0,06), Lubuk Linggau (0,09) dan Prabumulih (0,12) di tahun 2003; sedangkan pada tahun 2005, kondisi tersebut sedikit mengalami perubahan akibat terjadinya pemekaran wilayah, yaitu Kota Pagaralam (0,06), Lubuk Linggau (0,10) dan Kabupaten OKU Selatan (0,12). Selanjutnya, pada tahun 2007 kondisi tersebut juga tidak mengalami perubahan (Tabel 10). Apabila ditinjau dari jumlah aktivitasnya, nilai entropi tertinggi secara berturut-turut terjadi pada aktifitas di sektor pertambangan dan penggalian (0,78), pertanian (0,71) dan industri pengolahan (0,56), sebaliknya aktifitas yang relatif ada kecenderungan untuk terjadinya pemusatan lokasi adalah aktifitas sektor listrik, gas dan air bersih (0,03) di tahun Selanjutnya pada tahun 2005, wilayah dengan intensitas merata secara berturut-turut terjadi perubahan urutan, yakni terjadi pada aktifitas sektor pertanian (0,78), pertambangan dan penggalian (0,77) dan industri pengolahan (0,57) sedangkan aktifitas yang relatif ada kecenderungan untuk terjadinya pemusatan lokasi dan tidak mengalami perubahan, yakni aktifitas sektor listrik, gas dan air bersih (0,03). Pada tahun 2007, kondisi dengan intensitas merata di seluruh Provinsi Sumatera Selatan tetap dan tidak mengalami perubahan namun aktifitas yang relatif ada kecenderungan untuk terjadinya pemusatan lokasi menjadi bertambah, antara lain terjadi pada sektor transportasi dan keuangan (0,18) serta keuangan, jasa pemerintah dan persewaan sebesar 0,19; seperti yang disajikan pada Lampiran 4. Hasil analisis LQ dan entropi menunjukkan bahwa tingkat perkembangan wilayah berdasarkan pendapatan wilayah mencerminkan diversitas dari sektorsektor perekonomian di Provinsi Sumatera Selatan dan apabila dikaitkan dengan banyaknya jumlah sektor unggulan di tiap kabupaten/kota akan mengindikasikan bahwa semakin banyaknya sektor unggulan, tingkat perkembangan wilayah menjadi lebih tinggi, seperti yang dimiliki oleh Kota Palembang. Sedangkan nilai entropi total dari sektor-sektor unggulan tertentu, seperti yang dimiliki oleh Kabupaten Muara Enim dan Musi Banyuasin relatif mengindikasikan pertumbuhan ekonomi wilayahnya meningkat sehingga dapat dikategorikan sebagai wilayah dengan tingkat perkembangan wilayah yang tinggi atau sedang. Pemekaran wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) menjadi Kabupaten OKU Timur dan OKU Selatan pada Tahun 2004, tidak menyebabkan aktivitas perekonomian tersebar di kedua wilayah pemekaran bahkan di kabupaten induk, sehingga tidak mampu meningkatkan tingkat pertumbuhan 50

67 ekonomi yang berkorelasi terhadap tingkat perkembangan wilayahnya yang juga ikut menurun. Oleh karena itu, sektor pertanian sebagai prime mover perekonomian di Provinsi Sumatera Selatan memiliki kecenderungan keterkaitan hubungan yang relatif lebih kecil dengan sektor produksi atau ekonomi lainnya walaupun memberikan kontribusi yang dominan. Sektor industri dan sektor jasa diharapkan memiliki peran yang penting dalam memberikan multiplier effect terhadap kinerja perekonomian sehingga untuk meningkatkan efektivitas dan efiensi, pemerintah daerah perlu memperhatikan sektor unggulan wilayah dalam menentukan arah kebijakannya yang bertujuan untuk memberikan dampak yang optimal terhadap perekonomian Provinsi Sumatera Selatan secara keseluruhan. Pemerintah hendaknya perlu mengembangkan sektor pertanian ke arah industri yang cenderung memacu sektor pertanian untuk bekerja lebih optimal, selain tingkat penyerapan tenaga kerja akan meningkat signifikan baik dari sektor pertanian maupun industri. Dalam jangka panjang, dengan meningkatnya ketersediaan lapangan kerja maka tingkat kesejahteraan masyarakat ke depan akan cenderung lebih baik Hirarki Wilayah Gambaran karakteristik perkembangan suatu wilayah berdasarkan tingkat hirarki yang diperoleh dari jumlah fasilitas pelayanan di Provinsi Sumatera Selatan dengan menggunakan analisis skalogram melalui tersedianya kapasitas pelayanan umum, seperti sarana dan prasarana bidang pendidikan, kesehatan, perekonomian di masing-masing kabupaten/kota sehingga dapat diidentifikasi wilayah yang berfungsi sebagai pusat/inti dan wilayah hinterland-nya. Tingkat perkembangan suatu wilayah berdasarkan analisis skalogram dicerminkan oleh nilai indeks perkembangan wilayah (IPW) masing-masing kabupaten/kota sehingga semakin tinggi nilai IPW maka wilayah tersebut semakin berkembang dengan fasilitas pelayanan umum yang memadai. Hasil analisis skalogram dengan menggunakan data PODES pada tahun 2006, diperoleh nilai IPW berkisar antara 25,28 (Kabupaten OKU Selatan) sampai dengan 100,97 (Kota Palembang) sehingga hirarki wilayah menurut ketersediaan fasilitas pelayanan umum tersebut dapat di definisikan sebagai berikut : 1. Wilayah yang termasuk pada hirarki I merupakan wilayah dengan tingkat perkembangannya yang lebih tinggi/maju dibandingkan kabupaten/kota 51

68 lainnya dengan tingkat ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan umum yang memadai, terutama di bidang pendidikan menengah (SLTP dan SMU); bidang kesehatan (RS, RS Bersalin, tempat praktek dokter dan apotik); bidang perekonomian/perdagangan (hotel, restoran, lembaga keuangan dan mal); dan aksesibilitas terhadap informasi/telekomunikasi (warnet dan warpostel). Hal ini jelas menunjukkan bahwa struktur pusat pelayanan yang terkonsentrasi di pusat pertumbuhan, yakni Kota Palembang. Oleh karena itu, kegiatan pembangunan menjadi tidak merata dan mengakibatkan adanya indikasi terhadap ketimpangan antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan. Selain itu, berdasarkan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 74,3 pada tahun tersebut mengindikasikan bahwa pelayanan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang relatif lengkap. Kota Palembang merupakan satu-satunya dari 14 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki rata-rata lama sekolah sudah lebih dari 9,9 tahun (BAPPENAS dan UNSRI 2008), sehingga nilai IPM-nya dikategorikan paling tinggi bila dibandingkan dengan wilayah lainnya (Gambar 6). 2. Pada hirarki II, ditempati oleh kabupaten/kota dengan tingkat perkembangan wilayah yang sedang, yakni berkisar antara 48,50 sampai dengan 61,31. Kota Pagaralam (61,31); Kabupaten Ogan Komering Ulu (54,01); Kota Lubuk Linggau (53,10); Kabupaten OKU Timur (50,56) dan Kabupaten Musi Rawas (48,50) memiliki ketersediaan sarana dan prasarana serta jumlah fasilitas pelayanan umum relatif lebih rendah dibandingkan Kota Palembang. Hal ini juga ditunjukkan dengan variasi nilai IPM yang dikategorikan sedang, yakni berkisar antara 68,6 sampai dengan 71,5 di tahun 2006 (Gambar 6). 3. Wilayah yang termasuk pada hirarki III merupakan kabupaten/kota sisanya di Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki tingkat perkembangan wilayah yang rendah dengan variasi IPW antara 25,28 (OKU Selatan) sampai dengan 47,24 (Kota Prabumulih). Hal ini mengindikasikan ketersediaan sarana dan prasarana yang relatif rendah/kurang berkembang apabila dibandingkan dengan hirarki I, sehingga wilayah ini cenderung dikategorikan sebagai wilayah yang masih mengandalkan pada sektor pertanian atau cenderung lebih memperhatikan sektor yang terkonsentrasi, terutama pertambangan dan penggalian dengan migas, seperti yang 52

69 dialami oleh Kabupaten Musi Banyuasin, Muara Enim dan Kota Prabumulih sehingga kegiatan pembangunan sarana dan prasarana pelayanan umum masih menjadi kendala. 74,00 72,00 70,00 IPM 68,00 66,00 64,00 62,00 60, Palembang 73,60 74,30 74,30 Prabumulih 71,10 71,70 71,70 Pagar Alam 69,90 71,10 71,10 Ogan Komering Ulu 69,90 70,90 70,90 OKU Selatan 68,80 70,00 70,00 Ogan Komering Ilir 68,80 69,00 69,00 Muara Enim 68,70 69,10 69,10 Musi Banyuasin 68,70 69,00 69,00 Lahat 67,60 68,40 68,40 Banyuasin 67,20 68,10 68,10 Lubuk Linggau 66,30 68,00 68,00 Ogan Ilir 66,00 67,20 67,20 OKU Timur 65,40 67,50 67,50 Musi Rawas 65,00 65,60 65,60 Sumatera Selatan 68,36 69,28 69,28 TAHUN Gambar 6. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tiap Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan Tahun Indikator pembangunan manusia merupakan salah satu alat ukur yang dapat digunakan untuk menilai kualitas pembangunan manusia. Aktivitas pembangunan perekonomian daerah diharapkan berdampak pada kondisi fisik masyarakat yang tercermin dalam angka harapan hidup dan kemampuan daya beli, sedangkan dampak non-fisik dapat dilihat dari kualitas pendidikan masyarakat. Indeks pembangunan manusia merupakan indikator strategis yang banyak digunakan untuk melihat upaya dan kinerja program pembangunan 53

70 secara menyeluruh di suatu wilayah. Oleh karena itu, IPM dapat dianggap sebagai gambaran dari hasil program pembangunan yang telah dilakukan beberapa tahun sebelumnya sekaligus merupakan ukuran untuk melihat dampak kinerja pembangunan wilayah yang mempunyai dimensi yang sangat luas, karena memperlihatkan kualitas penduduk suatu wilayah dalam hal harapan hidup, intelelektualitas dan standar hidup layak. Sebaran hirarki wilayah di Provinsi Sumatera Selatan secara spasial disajikan oleh Gambar 7 dan dapat disimpulkan bahwa telah terjadi ketimpangan infrastruktur wilayah akibat terpusatnya pembangunan sarana dan prasarana serta pelayanan umum di Kota Palembang, sebagai wilayah inti terhadap kabupaten/kota lain. Gambar 7. Peta Hirarki Wilayah Provinsi Sumatera Selatan Tahun Oleh karena itu, pemerintah daerah hendaknya lebih menggiatkan pembangunan prasarana dasar, seperti sekolah, fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas perekonomian terutama memperbanyak dan memperbaiki pembangunan jumlah fasilitas pendidikan dasar menengah dalam rangka wajib belajar 9 tahun, jumlah rumah sakit daerah dan jumlah lembaga keuangan serta perdagangan (bank cabang pembantu dan mal) di kabupaten/kota yang selama ini masih kurang. Secara umum, pembangunan pusat-pusat perbelanjaan (mal) 54

71 dan lembaga keuangan (bank) bertujuan agar peredaran uang di suatu wilayah diharapkan lebih lama perputarannya atau berfungsi sebagai tabungan yang diharapkan dapat memicu dan memacu investasi domestik sehingga penyerapan sumberdaya oleh Kota Palembang sebagai wilayah pusat pembangunan dan perekonomian selama ini, tidak terus terjadi Tipologi Wilayah Analisis klaster dalam penentuan tipologi wilayah tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan bertujuan untuk mengelompokkan wilayah-wilayah tersebut ke dalam beberapa kelompok tertentu yang memiliki kemiripan aktivitas perekonomian, fasilitas pelayanan dan penggunaan lahan serta jumlah tenaga kerja sektoral; sehingga dapat mewakili kondisi perkembangan wilayah masingmasing kabupaten/kota. Dasar pengelompokan yang digunakan dalam analisis klaster adalah kemiripan atau jarak ketidakmiripan antara kabupaten yang satu dengan yang lain dalam beberapa variabel. Berdasarkan hasil analisis tree clustering dengan Kota Palembang, dari data Potensi Desa tahun 2006, data PDRB per kapita tahun 2006 dan tenaga kerja sektoral tahun 2006 menghasilkan sebanyak 4 tipe klaster dari 27 variabel tersebut yang disajikan oleh Gambar 8, dimana Kota Palembang sebagai klaster tersendiri. Lebih lanjut, berdasarkan hasil analisis K-mean clustering yang bertujuan untuk mengelompokkan variabel penciri tiap klaster dan dilakukan klasifikasi terhadap nilai mean masing-masing variabel tersebut menjadi 3 (tiga) kelas (Lampiran 7), sehingga tiap klaster dapat didefinisikan sebagai berikut : 1. Klaster Pertama yang hanya ditempati oleh Kota Palembang, dicirikan dengan nilai mean terhadap jumlah kepadatan penduduk dan jumlah fasilitas lembaga keuangan yang dikategorikan tinggi sehingga mengindikasikan aktivitas pelayanan perekonomian yang lebih baik bila dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya. Selain itu, nilai mean yang tinggi pada PDRB per kapita sektor sekunder dan tersier ternyata diikuti juga oleh jumlah tenaga kerja di sektor tersebut. Selanjutnya klaster pertama ini juga dapat dikategorikan sebagai kawasan metropolitan dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta jiwa seperti yang dijelaskan dalam UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (pasal 1 angka 26). Selain itu, dengan ditetapkannya Kota Palembang sebagai pusat pertumbuhan yang telah dilaksanakan semenjak era REPELITA sekaligus sebagai ibukota Provinsi Sumatera Selatan. Hal ini sesuai dengan 55

72 penerapan konsep pusat pertumbuhan di Indonesia yang telah ditetapkannya selama ini dalam REPELITA II - REPELITA IV untuk wilayah Pembangunan Utama B yang meliputi Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung dengan penetapan pusat pertumbuhan di Kota Palembang (Sjafrizal 2008), sehingga cenderung pusat pembangunan terus-menerus dilakukan dan mengakibatkan terjadinya ketimpangan pembangunan. Hal tersebut juga dapat dijelaskan dengan tingginya nilai mean untuk luas lahan non pertanian (kawasan terbangun). 2. Pada klaster kedua yang ditempati Kabupaten Ogan Komering Ilir, Banyuasin, OKU Timur dan Ogan Ilir, dicirikan oleh variabel dengan kategori nilai mean yang tinggi pada jumlah keluarga pertanian dan tenaga kerja pertanian. Selain itu, jumlah fasilitas industri yang diikuti oleh rasio jumlah tenaga kerja sekunder dan tersier serta luas lahan sawah mengindikasikan bahwa sumberdaya manusia sektor pertanian relatif masih tersedia walaupun nilai mean untuk PDRB per kapita sektor pertanian dikategorikan sedang. Hal ini diduga karena peranan sektor pertanian belum dioptimalkan oleh pemerintah daerah sebagai sektor unggulan. Oleh karena itu, klaster ini diharapkan dapat dikategorikan sebagai kawasan industri berbasis pertanian yang diikuti dengan tenaga kerja di sektor industri, bangunan dan perdagangan serta jasa lainnya karena memiliki nilai mean yang tinggi. Namun apabila dilihat dari nilai aktivitas perekonomian sektor industri pengolahan, hanya Kabupaten Banyuasin yang memiliki nilai LQ>1, yang mengindikasikan bahwa peranan sektor industri cenderung tidak seragam dan hanya terkonsentrasi pada wilayah tertentu. 3. Klaster Ketiga yang ditempati oleh Kabupaten Ogan Komering Ulu, Muara Enim, Lahat, Musi Banyuasin dan OKU Selatan yang dicirikan dengan nilai mean yang tinggi untuk jumlah tenaga kesehatan, luas lahan non sawah dan diikuti oleh jumlah tenaga kerja sektor pertanian yang disertai tingginya nilai mean untuk PDRB per kapita untuk sektor pertanian, pertambangan dan penggalian. Pada klaster ini dapat dikategorikan sebagai kawasan pertanian atau pertambangan dan penggalian 4. Kota Pagaralam, Prabumulih dan Lubuk Linggau yang berada pada klaster keempat dicirkan dengan tingginya nilai mean untuk jumlah keluarga yang berlangganan PLN, jumlah keluarga yang menggunakan telepon, jumlah 56

73 fasilitas informasi/komunikasi, jumlah fasilitas penjualan obat (apotik), dan jumlah fasilitas penginapan (hotel); sehingga klaster ini dapat dikategorikan sebagai kawasan perkotaan dibandingkan dengan wilayah lain. Tree Diagram for 14 Cases OGAN KOMERING ULU LAHAT MUSI RAWAS MUARA ENIM OKU SELATAN MUSI BANYUASIN OGAN KOMERING ILIR OKU TIMUR BANYUASIN OGAN ILIR PALEMBANG PRABUMULIH LUBUK LINGGAU PAGARALAM (Dlink/Dmax)*100 Gambar 8. Hasil Analisis Klaster (tree clustering) dengan Kota Palembang. Gambar 9. Peta Tipologi Provinsi Sumatera Selatan dengan Kota Palembang. 57

74 Analisis diskriminan tidak dapat dilakukan apabila terdapat klaster yang hanya terdiri dari 1 (satu) wilayah karena memiliki jarak ketidaksamaan atau kesamaan yang berbeda dengan wilayah lainnya, dengan kata lain jaraknya bernilai nol. Selanjutnya secara spasial, tipologi wilayah di Provinsi Sumatera Selatan yang disajikan pada Gambar 9. Apabila analisis klaster dilakukan tanpa mengikutsertakan Kota Palembang (Gambar 10), maka tipologi wilayah Provinsi Sumatera Selatan menghasilkan 3 (tiga) tiper klaster, yang terdiri dari : (1) Klaster Pertama, yang ditempati oleh Kota Pagaralam, Prabumulih dan Lubuk Linggau dengan kepadatan penduduk, jumlah keluarga yang berlangganan PLN, jumlah keluarga yang menggunakan telepon, jumlah fasilitas informasi/komunikasi, jumlah fasilitas penjualan obat (apotik), jumlah fasilitas penginapan (hotel) dan jumlah fasilitas lembaga keuangan dengan nilai mean-nya dikategorikan tinggi, yang mencirikan sebagai kawasan perkotaan. Hal ini diikuti dengan rendahnya kategori nilai mean untuk jumlah keluarga pertanian dan PDRB tersier serta kawasan terbangun (luas lahan non pertanian) yang memiliki nilai mean yang dikategorikan tinggi; (2) Klaster Kedua yang ditempati oleh Kabupaten Ogan Komering Ilir, Banyuasin, OKU Timur dan Ogan Ilir, dicirikan dengan variabel yang memiliki industri dengan kisaran kategori nilai mean sedang-tinggi; namun jumlah keluarga pertanian dan PDRB pertanian dengan nilai mean yang rendah. Selain itu, diikuti juga dengan luas lahan sawah dan jumlah tenaga kerja (sekunder dan tersier) yang dikategorikan tinggi. Oleh karena itu, klaster kedua diharapkan dapat dikategorikan sebagai kawasan industri berbasis pertanian yang diikuti dengan tenaga kerja di sektor industri, bangunan dan perdagangan serta jasa lainnya karena memiliki nilai mean yang tinggi. Namun apabila dilihat dari nilai aktivitas perekonomian sektor industri pengolahan, hanya Kabupaten Banyuasin yang memiliki nilai LQ>1. Hal ini mengindikasikan bahwa peranan sektor industri cenderung tidak seragam dan hanya terkonsentrasi pada wilayah tertentu; (3) Klaster Ketiga yang ditempati oleh Kabupaten Ogan Komering Ulu, Muara Enim, Lahat, Musi Banyuasin, Musi Rawas dan OKU Selatan yang dicirikan dengan tingginya nilai mean untuk rasio jumlah tenaga kesehatan, luas lahan non sawah yang diikuti dengan jumlah tenaga kerja sektor 58

75 pertanian dan keluarga pertanian, selain PDRB untuk sektor pertanian, pertambangan dan penggalian. Pada klaster ini dapat dikategorikan sebagai kawasan pertanian atau pertambangan dan penggalian. Tree Diagram for 13 Cases OGAN KOMERING ULU LAHAT MUSI RAWAS MUARA ENIM OKU SELATAN MUSI BANYUASIN OGAN KOMERING ILIR OKU TIMUR BANYUASIN OGAN ILIR PRABUMULIH LUBUK LINGGAU PAGARALAM (Dlink/Dmax)*100 Gambar 10. Hasil Analisis Klaster (tree clustering) Tanpa Kota Palembang. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis diskriminan diperoleh pengelompokan tipologi wilayah di Provinsi Sumatera Selatan dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel fasilitas, yakni jumlah keluarga yang berlangganan telepon dan jumlah fasilitas lembaga keuangan serta jumlah lahan sawah (Tabel 11). Selain itu, hasil analisis diskriminan menghasilkan ketepatan dalam pengelompokan wilayah di Provinsi Sumatera Selatan. Selanjutnya, pengelompokkan wilayah berdasarkan analisis klaster disajikan secara spasial di Gambar 11. Tabel 11. Variabel yang Mempengaruhi Tipologi Wilayah Berdasarkan Analisis Diskriminan di Provinsi Sumatera Selatan. Discriminant Function Analysis Summary (3 KLASTER) Step 3, N of vars in model: 3; Grouping: CLUSTER (3 grps) Wilks' Lambda:,01019 approx. F (6,16)=23,746 p<,0000 N=13 Wilks' Partial 1-Toler. F-remove (2,8) p-level Toler. Lambda Lambda (R-Sqr.) LhnSWH 0, , , , , , TELP 0, , , , , , FasLbKEU 0, , , , , , Sumber : Hasil analisis 59

76 Gambar 11. Peta Tipologi Provinsi Sumatera Selatan Tanpa Kota Palembang. Secara hirarki menurut batas administratif, Anwar (2005) menjelaskan bahwa hubungan fungsional antara tingkat (orde) wilayah yang mempunyai pusat ibukota provinsi yang merupakan orde pertama dengan ibukota kabupaten sebagai wilayah orde dua, ibukota kecamatan sebagai wilayah orde tiga dan desa sebagai wilayah orde empat. Kemudian apabila hirarki itu dibagi dua, maka sering pula pembagiannya menurut hubungan fungsional antara wilayah perkotaan (orde kesatu dan kedua) dengan wilayah belakangnya, yaitu perdesaan (orde ketiga dan keempat). Akan tetapi, pembangunan kota-kota yang hirarkis di Provinsi Sumatera Selatan, belum sepenuhnya terwujud sehingga belum dapat memberikan pelayanan yang efektif dan optimal bagi wilayah pengaruhnya. Keterkaitan antar kota-kota dan antar kota-desa yang berlangsung saat ini tidak semuanya saling mendukung dan sinergis. Masih banyak diantaranya yang berdiri sendiri atau bahkan saling merugikan. Dominasi Kota Palembang sebagai ibukota Provinsi Sumatera Selatan dan sebagai wilayah pusat pembangunan memiliki pengaruh yang besar terhadap ketimpangan pembangunan di kabupaten/kota lain, terutama pada ketersediaan fasilitas pelayanan umum, seperti sarana pendidikan, kesehatan dan fasilitas perekonomian. 60

77 5.3 Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan Untuk menganalisa tingkat disparitas pembangunan yang terjadi antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, penelitian ini menggunakan metode indeks Williamson dan dilanjutkan dengan menggunakan metode analisis indeks Theil yang bertujuan untuk mendekomposisi disparitas antar wilayah kabupaten/kota, seperti yang pernah dilakukan oleh Fujita dan Hu (2001) Hasil Analisis Indeks Williamson dan Indeks Theil Hasil analisis indeks Williamson dengan menggunakan data PDRB per kapita Tahun , atas dasar harga konstan (ADHK) 2000 dengan membandingkan peranan sektor migas terhadap tingkat disparitas di Provinsi Sumatera Selatan, menunjukkan bahwa tingkat disparitas antar wilayah selama kurun waktu tersebut tergolong tinggi apabila bergantung kepada PDRB sektor migas. Sebaliknya, aktivitas perekonomian wilayah yang tidak menggunakan peranan sektor migas relatif menurunkan (lebih rendah) tingkat disparitas di Provinsi Sumatera Selatan. 0,8000 0,7000 Indeks Williamson 0,6000 0,5000 0,4000 0,3000 0,2000 0,1000 0, SUMSEL (migas) 0,6263 0,6799 0,6660 0,6499 0,6344 SUMSEL (non migas) 0,3312 0,3795 0,3941 0,4036 0,4133 Tahun Gambar 12. Perkembangan Indeks Williamson Dengan Migas dan Tanpa Migas di Provinsi Sumatera Selatan tahun Gambar 12 menyajikan tingkat disparitas yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan dengan migas, mengalami peningkatan pada tahun 2004 yang kemudian cenderung menurun pada tahun Hal ini mengindikasikan bahwa peranan migas cenderung menurun karena merupakan sumberdaya yang tak terbarukan 61

78 sedangkan tingkat disparitas yang terjadi relatif lebih rendah dengan dengan kecenderungan meningkat tiap tahunnya apabila peranan sektor migas diabaikan. Guna mendekomposisi sumber disparitas yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan hasil analisis indeks Theil/disparitas total ( ), disparitas yang terjadi relatif stabil bahkan ada kecenderungan menurun tiap tahun. Pada tahun 2004 disparitas total cenderung mengindikasikan meningkatnya disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan dari 0,0711 menjadi 0,0721 (Gambar 13). 0,1200 0,1000 0,0800 0,0600 Indeks Theil 0,0400 0,0200 0,0000-0,0200-0, OKI -0,0226-0,0146-0,0144-0,0144-0,0144 OKU -0,0226 0,0014 0,0033 0,0033 0,0033 Banyuasin -0,0134-0,0126-0,0130-0,0132-0,0134 Lahat -0,0090-0,0092-0,0089-0,0087-0,0083 Musi Rawas -0,0055-0,0054-0,0053-0,0054-0,0052 Lubuklinggau -0,0032-0,0032-0,0032-0,0031-0,0031 Pagaralam -0,0024-0,0023-0,0023-0,0023-0,0023 OKU Selatan 0,0000-0,0069-0,0075-0,0074-0,0074 OKU Timur 0,0000-0,0129-0,0130-0,0129-0,0128 Ogan Ilir 0,0000-0,0079-0,0079-0,0079-0,0080 Prabumulih 0,0014 0,0013 0,0013 0,0012 0,0012 Muara Enim 0,0202 0,0194 0,0189 0,0191 0,0195 Palembang 0,0269 0,0294 0,0315 0,0335 0,0354 Musi Banyuasin 0,1013 0,0957 0,0913 0,0861 0,0806 Sumatera Selatan 0,0711 0,0721 0,0708 0,0679 0,0652 Tahun Gambar 13. Kontribusi Kabupaten/Kota Terhadap Disparitas Total di Provinsi Sumatera Selatan ( ). 62

79 Lebih lanjut, apabila dilakukan dekomposisi disparitas berdasarkan nilai indeks Theil (disparitas total), kabupaten/kota berperan dalam meningkatkan atau mengurangi tingkat disparitas di Provinsi Sumatera Selatan. Secara umum, selama kurun waktu tersebut, Kota Palembang, Kabupaten Musi Banyuasin, Muara Enim, dan Prabumulih berkontribusi positif terhadap meningkatnya disparitas total; sehingga dapat disimpulkan bahwa sumber utama disparitas di Provinsi Sumatera Selatan berasal dari ketimpangan antar wilayah kabupaten/kota. Apabila ditinjau dari aktivitas sektor perekonomian, hasil dekomposisi dari indeks Theil menunjukkan bahwa sektor pertanian lebih berperan dalam menurunkan tingkat disparitas total dibandingkan sektor lain di Provinsi Sumatera Selatan. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian yang dominan dan sebagai sektor unggulan, diharapkan mampu mengurangi tingkat disparitas yang terjadi (Gambar 14); sedangkan sektor pertambangan dan penggalian yang terkonsentrasi di wilayah tertentu relatif meningkatkan disparitas total,yang diikuti ketimpangan pada sektor industri pengolahan dan sektor sekunder lainnya. 0,500 0,400 0,300 Indeks Theil 0,200 0,100 0,000-0,100-0, Tani -0,099-0,100 Tbg 0,396 0,459 Ind 0,091 0,107 Ligas 0,003 0,002 Bang 0,023 0,032 Prdg 0,000 0,012 Trans -0,003 0,000 Keu 0,036 0,029 Jasa -0,007-0,010 Tahun Gambar 14. Kontribusi Sektor Perekonomian Terhadap Disparitas Total di Provinsi Sumatera Selatan (2005 dan 2007). 63

80 Selanjutnya, apabila ditinjau melalui peranan masing-masing kelompok wilayah dari hasil analisis klaster sebelumnya, menunjukkan bahwa klaster yang memiliki aktivitas perekonomian industri pengolahan berbasis pertanian, seperti Kabupaten Ogan Komering Ilir, Banyuasin, Ogan Ilir dan OKU Timur memberikan kontribusi negatif terhadap disparitas total di Provinsi Sumatera Selatan. Selain itu, klaster perkotaan turut berperan dalam menurunkan disparitas total dengan indikasi bahwa keberadaan Kota Pagaralam yang memiliki sektor pertanian sebagai salah satu aktivitas perekonomian unggulan wilayah dibandingkan dengan kota lainnya (Gambar 15). 0,060 Indeks Theil 0,040 0,020 0,000-0,020-0,040-0, Klaster 1 0,042 0,033 0,026 Klaster 2-0,049-0,049-0,050 Klaster 3 0,050 0,050 0,051 Klaster 4-0,004-0,005-0,006 Tahun Gambar 15. Kontribusi Klaster Berdasarkan Aktivitas Perekonomian Terhadap Disparitas Total di Provinsi Sumatera Selatan ( ). Selain itu, berdasarkan RTRW Provinsi Sumatera Selatan yang membagi wilayahnya menjadi 2 (dua) kawasan, yakni Kawasan Barat dan Timur (wilayah pesisir) memperlihatkan bahwa dekomposisi sumber disparitas yang utama berasal dari ketimpangan antar wilayah atau kabupaten/kota, sebesar 82,94 persen sedangkan disparitas antar wilayah pengembangan (kawasan) hanya berpartisipasi rata-rata sebesar 17,06 persen (Gambar 16). Hal ini sesuai dengan hasil analisis sebelumnya yang mengindikasikan bahwa ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan disebabkan oleh masing-masing kabupaten/kota itu sendiri. Disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan analisis terhadap pendapatan wilayah tiap kabupaten/kota menunjukkan ketimpangan yang terjadi akibat tidak meratanya aktivitas perekonomian. Hal ini disebabkan peranan Kota Palembang yang memiliki hampir seluruh sektor-sektor 64

81 perekonomian unggulan dengan tingkat perkembangan wilayah yang tinggi dan mencerminkan bahwa aktivitas di Kota Palembang sangat beragam sedangkan wilayah lain relatif seragam bahkan terkonsentrasi. Selain itu, wilayah yang relatif mengandalkan sektor pertambangan dan penggalian, terutama dengan sektor migas mengindikasikan bahwa telah terjadi disparitas ekonomi di Provinsi Sumatera Selatan, seperti Kabupaten Musi Banyuasin dan Muara Enim. Menurut (Portnov dan Felsentein, 2005), penggunaan metode Indeks Williamson dalam pengukuran disparitas atau ketimpangan antar wilayah, relatif memperlihatkan sedikit kekurangan selain Indeks Gini apabila dibandingkan dengan metode lainnya, seperti : Indeks Atkison, Hoover Coefficient dan Coulter Coefficient. 0,08 0,06 Indeks Theil 0,04 0,02 0, ANTAR KAWASAN 0,0164 0,0106 0,0107 0,0108 0,0108 ANTAR WILAYAH KAB/KOTA 0,0547 0,0615 0,0601 0,0572 0,0544 TOTAL 0,0711 0,0721 0,0708 0,0679 0,0652 Tahun Gambar 16. Dekomposisi Sumber Disparitas Wilayah Provinsi Sumatera Selatan Faktor-faktor Penyebab Disparitas Pembangunan Antar Wilayah Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, dilakukan pendekatan analisis untuk mengetahui faktor-faktor penyebabnya, yaitu dengan menggunakan regresi berganda. Adapun variabel tujuan yang digunakan adalah dekomposisi dari indeks Theil tiap kabupaten/kota dan variabel penjelas lain yang dianggap memiliki hubungan terhadap disparitas antar wilayah, antara lain berupa aspek ekonomi 65

82 (PDRB per sektor); aspek fisik penggunaan lahan (rasio luas sawah, non sawah, hutan negara, kawasan terbangun terhadap luas wilayah kabupaten/kota); serta aspek pembangunan manusia (komponen IPM) yang digunakan sebagai pendekatan terhadap ketersediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan serta kesejahteraan masyarakat. Karena keterbatasan data, analisis ini menggunakan data pada tahun Faktor-faktor yang dianggap berpengaruh sebagai penyebab terjadinya disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, berdasarkan hasil analisi regresi berganda adalah : (1) PDRB per kapita sektor pertambangan dan penggalian; (2) PDRB per kapita sektor pertanian; dan (3) PDRB per kapita sektor sekunder, sebagai aspek ekonomi wilayah sedangkan (4) disparitas berdasarkan aspek fisik wilayah, yakni luas hutan negara, ikut mempengaruhi disparitas antar wilayah yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan (Tabel 12). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin meningkatnya kontribusi PDRB sektor pertambangan dan penggalian serta PDRB sektor sekunder akan meningkatkan disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, disamping luasan hutan negara yang relatif membatasi wilayah kabupaten/kota dalam melakukan aktivitas pembangunan fisik. Lebih lanjut, persamaan regresi berganda yang dihasilkan dapat dituliskan sebagai berikut : Y=-0,021+0,763[GDP_Tbg]+0,442[GDP_sek]+0,256[Hut_Neg]- 0,194[GDP_Tani] dimana : Y = Nilai dekomposisi disparitas kabupaten/kota dari indeks Theil X 1 ;X 2 ;X 4 = PDRB sektoral (X 1 = PDRB pertambangan dan penggalian; X 2 = PDRB sekunder; dan X 4 =PDRB pertanian) X 3 = Penggunaan lahan (hutan negara) Tabel 12. Faktor-faktor Penduga Penyebab Terjadinya Disparitas di Provinsi Sumatera Selatan. Regression Summary for Dependent Variable: Komp_Disparitas (DATA REG 1) R=, R²=, Adjusted R²=, F(5,8)=56,760 p<,00000 Std.Error of estimate:,00544 Beta Std.Err. B Std.Err. t(8) p-level Intercept -0, , , , GDP_TBG 0, , , , , , GDP_SEK 0, , , , , , HUT_NEG 0, , , , , , GDP_TANI -0, , , , , , Sumber : Hasil analisis 66

83 Wilayah dengan konsentrasi terhadap aktivitas perekonomian tertentu, seperti sektor pertambangan dan penggalian cenderung menganggap sektor lain kurang memiliki nilai tambah terhadap pendapatan domestiknya sehingga menyebabkan keragaman aktivitas di suatu wilayah menjadi rendah dan akhirnya meningkatkan ketimpangan. Selanjutnya, luas hutan negara, seperti : cagar alam, hutan lindung dan taman nasional dianggap berpotensi menghambat kemampuan suatu wilayah dan seringkali membatasi kepala daerah yang memiliki kapasitas sebagai pengambil keputusan dalam pembangunan, juga menyebabkan ketimpangan dalam pengembangan wilayah. Hal tersebut sebenarnya dapat diatasi melalui pemanfaatan kawasan hutan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.43/Menhut-II/2008 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan hutan oleh pihak pemerintah daerah dan pihak swasta dengan kewajiban mengganti kompensasi berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atau dengan mengganti dengan lahan lain untuk dijadikan hutan. Akan tetapi, penggantian kompensasi tersebut (PNBP) tidak memiliki kontribusi langsung terhadap peningkatan pendapatan domestik di wilayah tersebut. Penyebab terjadinya disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan relatif lebih disebabkan oleh aspek pendapatan wilayah (sektor perekonomian). Kabupaten Musi Banyuasin dan Muara Enim yang memiliki pendapatan domestik sektor pertambangan yang tinggi namun tidak diikuti oleh sektor lain menyebabkan meningkatnya disparitas total. Walaupun tingkat perkembangan wilayahnya dikategorikan tinggi berdasarkan hasil analisis LQ dan entropi, namun hasil analisis skalogram menempatkan kedua wilayah tersebut termasuk wilayah dengan fasilitas pelayanan yang rendah (Hirarki III), sehingga mengindikasikan sebagai wilayah yang kurang berkembang. Nilai PDRB per kapita yang tinggi di suatu wilayah ternyata tidak mencerminkan tingginya tingkat perkembangan wilayah, terutama infrastruktur. Hal ini berbeda dengan Sjafrizal (2008) yang menyatakan bahwa guna mengurangi disparitas, perlu adanya pengembangan pusat pertumbuhan secara tersebar dengan menganut konsep konsentrasi dan desentralisasi sehingga terjadi penyebaran kegiatan pembangunan. Akan tetapi, aktivitas perekonomian yang terkonsentrasi cenderung mengakibatkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, seperti yang terjadi pada kedua kabupaten tersebut. 67

84 Lebih lanjut, ketimpangan pembangunan antar wilayah juga ditandai dengan rendahnya aksesibilitas pelayanan sarana dan prasarana ekonomi, yakni fasiltas lembaga keuangan yang berperan sebagai sarana investasi di suatu wilayah. Hal ini dijelaskan oleh Tambunan (2003) yang menyatakan bahwa distribusi investasi yang tidak merata dapat dianggap sebagai salah satu faktor utama yang mengakibatkan terjadinya kesenjangan pembangunan atau pertumbuhan ekonomi dalam dan antar provinsi. Kurangnya kegiatan investasi pada suatu wilayah dapat membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan per kapita masyarakat di wilayah tersebut rendah, karena tidak ada kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri pengolahan terutama yang terkait dengan sektor pertanian. Peranan fasilitas lembaga keuangan di daerah bertujuan sebagai prasarana penyerap investasi masih sangat terbatas dan secara umum lokasinya berada di ibukota kabupaten atau di beberapa ibukota kecamatan. Selain itu, jumlah keluarga yang memanfaatkan fasilitas informasi dan telekomunikasi (telepon) masih terkonsentrasi di wilayah perkotaan seperti Kota Pagaralam, Prabumulih dan Lubuk Linggau ikut berperan dalam meningkatkan ketimpangan pembangunan. Kabupaten/kota yang memiliki sektor pertanian sebagai salah satu sektor unggulan, relatif mampu dalam mengurangi disparitas total di Provinsi Sumatera Selatan, terutama kegiatan pertanian yang diikuti dengan keterkaitan sistem produksi lain, seperti industri pengolahan pertanian dan peningkatan aktivitas perdagangan. Masih tersedianya luas lahan pertanian, menunjukkan bahwa penggunaan lahan persawahan menjadi indikator wilayah yang berbasis pertanian. Oleh karena itu, aspek ekonomi wilayah lebih berperan dalam meningkatkan atau menurunkan ketimpangan antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, sehingga diperlukan upaya pemerataan sektor-sektor perekonomian dengan memberi prioritas pembangunan terhadap sektor unggulan masingmasing kabupaten/kota. Hasil sintesis analisis sebelumnya menunjukkan bahwa, Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Banyuasin termasuk wilayah di kawasan timur (pesisir) dan berperan dalam mengurangi disparitas antar wilayah selama kurun waktu Selain itu, kedua wilayah ini dikategorikan sebagai wilayah dengan tingkat perkembangan yang rendah. Lebih lanjut, tipologi wilayah kedua kabupaten ini 68

85 memiliki kemiripan, antara lain : aktivitas sektor pertanian yang merupakan sektor unggulan dengan luas lahan sawah yang dikategorikan tinggi dan PDRB pertanian di kedua wilayah ini masih tergolong rendah walaupun disertai ketersediaan sejumlah industri yang tinggi. Keberadaan sektor industri, diharapkan mampu menggerakkan sektor-sektor terkait lainnya sehingga memerlukan prioritas pembangunan (Lampiran 6). 5.4 Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir di Provinsi Sumatera Selatan Berdasarkan Sintesis Hasil Sebelumnya Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan pembangunan daerah adalah aspek ekonomi, seperti yang jelaskan oleh Arsyad (1999) bahwa pembangunan ekonomi daerah merupakan proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Sumatera Selatan ( ), terdapat 7 sasaran yang akan dicapai dalam upaya memantapkan dan menegaskan arah pembangunan ekonomi yang diinginkan. Ketujuh sasaran tersebut adalah (i) Pertumbuhan Ekonomi, (ii) Struktur Ekonomi, (iii) Pemantapan Sektor Unggulan Provinsi, (iv) Pemantapan Surplus Neraca Perdagangan Daerah, (v) Penurunan angka pengangguran, (vi) Kesenjangan Pendapatan, dan (vii) Kualitas sumberdaya manusia. Indikasi yang diharapkan, terutama pada sasaran kedua dan ketiga, Pemerintah Provinsi menginginkan pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan yang ditargetkan harus pula didukung oleh pertumbuhan nilai tambah sektor primer yang sejalan dengan visi Sumatera Selatan sebagai salah satu lumbung pangan nasional. Pertumbuhan tersebut juga harus didukung dengan pertumbuhan sektor manufaktur dan sektor jasa yang ada di Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan dari hasil analisis sektor unggulan, tingkat perkembangan wilayah dan disparitas antar wilayah sebelumnya, menunjukkan bahwa semakin beragamnya aktivitas perekonomian tidak menjamin disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, karena pemerataan aktivitas perekonomian secara umum tidak mencerminkan tingkat perkembangan wilayah. Sektor pertanian yang berada di wilayah perdesaan di tiap kabupaten, dianggap berperan dalam mengurangi disparitas antar wilayah. Pembangunan fasilitas sarana infrastruktur 69

86 yang terkait dengan pertanian hendaknya lebih dioptimalkan, seperti pembangunan irigasi yang bertujuan meningkatkan produksi dan infrastruktur jalan guna mempercepat mobilisasi produk-produk pertanian dari hulu ke hilir. Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Banyuasin selama kurun waktu , tingkat perkembangan wilayahnya relatif masih rendah namun mampu berperan dalam mengurangi tingkat disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan sehingga memerlukan prioritas pembangunan terhadap sektor-sektor unggulan yang ada dengan memperhatikan potensi wilayah (Tabel 13 dan Lampiran 6). Ketersediaan jumlah tenaga kerja yang mendominasi pada sektor pertanian, industri pengolahan, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa, patut dipertimbangkan oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan dan lebih memfokuskan pengembangan terhadap sektor-sektor tersebut di wilayah pesisir sebagai arahan alternatif. Keterkaitan antar sektor perekonomian unggulan di Provinsi Sumatera Selatan apabila dilihat dari besaran nilai entropinya maka peranan sektor unggulan sangat diperlukan mengingat pentingnya peranan sektor-sektor tersebut terhadap sektor lainnya sebagai penggerak terhadap penyebaran aktivitas yang semakin beragam karena menurut Rustiadi (2001) bahwa kawasan pesisir dalam konteks ekonomi wilayah, memiliki posisi strategis di dalam struktur alokasi dan distribusi sumberdaya ekonomi. Tabel 13. Matriks Sektor Unggulan, Entropi dan Jumlah Tenaga Kerja Sektoral di Wilayah Pesisir Provinsi Sumatera Selatan Tahun KABUPATEN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN OKI Tani Tbg Ind Ligas Bang Prdg Tran Keu Jasa LQ 2,42 0,06 0,50 0,11 1,84 1,23 0,28 0,67 0,98 ENTROPI 0,0912 0,006 0,0235 0,0003 0,0336 0,0401 0,0046 0,0083 0,0211 TENAGA KERJA BANYUASIN LQ 1,74 0,61 1,15 0,08 1,19 1,16 0,12 0,25 0,51 ENTROPI 0,0931 0,0513 0,0601 0,0003 0,0314 0,0507 0,0031 0,0049 0,0164 TENAGA KERJA Sumber : Hasil analisis Ket : Tn Tbg Ind Ligas Bang : : : : : Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Gas Bangunan Prdg Tran Keu Jasa : : : : Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa. 70

87 Perumusan suatu kebijakan dihasilkan dari analisis terhadap berbagai alternatif sehingga diperoleh alternatif terbaik berdasarkan masalah, kebutuhan atau adanya aspirasi tertentu. Kebijakan merupakan suatu produk yang dipandang sebagai suatu kumpulan atau rekomendasi, dan sebagai suatu proses. Lebih lanjut, kebijakan juga dipandang sebagai suatu cara yang bertujuan untuk mengetahui apa yang diharapkan, yaitu program dan mekanisme dalam mencapai produknya, seperti yang dijelaskan oleh Dunn (2003) bahwa perumusan suatu kebijakan perlu dilandasi dengan argumen-argumen karena argumen kebijakan (policy argument) yang merupakan sarana untuk melakukan perdebatan mengenai isu-isu kebijakan publik Selain itu, dalam perencanaan pembangunan di wilayah pesisir hendaknya lebih mempertimbangkan aspek keberlanjutan yang dapat dicapai dengan memperhatikan keberlanjutan baik dari aspek infrastruktur, ekonomi maupun sosial (masyarakat). Pembangunan di wilayah pesisir, memerlukan arahan dalam rangka pengembangan, terutama pengembangan di sektor industri pengolahan yang berbasis pertanian. Tabel 14. Luasan Areal Arahan Pola Pemanfatan Ruang di Kabupaten Pesisir (RTRWP ). KWS. LINDUNG KWS. BUDIDAYA PERTANIAN PEMANFAATAN RUANG (Ha) KWS. BUDIDAYA NON PERTANIAN Sumber : BAPPEDA (2006) Banyuasin KABUPATEN OKI Hutan Lindung , ,00 Hutan Suaka Alam , ,00 Sempadan Pantai ,43 0,00 Sempadan Sungai , ,96 Pertanian Lahan Basah , ,27 Pertanian Lahan Kering , ,71 Perkebunan , ,35 Perikanan Darat 0, ,06 Hutan Produksi , ,00 Hutan Produki Terbatas 0, ,00 APL , ,04 Permukiman , ,61 Pertambangan ,31 0,00 Kws. Pelabuhan ,00 0,00 Ketersediaan lahan budidaya eksisting dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sumatera Selatan yang dimiliki oleh 71

88 Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kabupaten Banyuasin relatif memilik kapasitas yang mampu berkontribusi terhadap menurunnya tingkat disparitas di Provinsi Sumatera Selatan. Potensi lahan budidaya, terutama pertanian lahan basah dan perkebunan (Tabel 14), memerlukan prioritas dalam melaksanakan pembangunan di wilayah pesisir Provinsi Sumatera Selatan yang berbasis terhadap sektor-sektor unggulan yang dimiliki oleh kabupaten tersebut. 5.5 Prioritas Pembangunan Wilayah Pesisir Sumatera Selatan Berdasarkan Persepsi Aparatur Pemerintah Daerah Prioritas pembangunan pembangunan wilayah pesisir di Provinsi Sumatera Selatan dengan menggunakan metode AHP (Analytical Hierachy Process) sehingga prioritas yang dihasilkan akan bersifat konsisten dengan teori, logis, dan transparan. Dengan tuntutan yang semakin tinggi berkaitan dengan transparansi, AHP akan sangat cocok digunakan untuk penyusunan prioritas kebijakan publik berdasarkan persepsi masing-masing aparatur pemerintah daerah, yakni Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Pemerintah Kabupaten Banyuasin. Hasil perbandingan berpasangan terhadap ketiga kriteria yang digunakan menghasilkan bobot prioritas tertinggi pada kriteria infrastruktur wilayah sebesar 0,460 terhadap tujuan, selanjutnya berturut-turut 0,355 untuk kriteria kesejahteraan masyarakat dan 0,186 untuk pendapatan wilayah (Gambar 17). Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut penilaian kumulatif dari para responden (expert judgement), dalam pembangunan wilayah pesisir di Provinsi Sumatera Selatan, aspek infrastruktur wilayah merupakan aspek utama (prioritas pertama) yang harus diperhatikan. Gambar 17. Diagram Bobot Prioritas Kriteria Terhadap Pembangunan Wilayah Pesisir di Provinsi Sumatera Selatan. Selanjutnya berturut-turut aspek kesejahteraan masyarakat (prioritas ke-2) dan pendapatan wilayah (prioritas ke-3). Kecilnya nilai inkonsistensi (< 0,1) yang 72

89 menunjukkan bahwa pengisian skala perbandingan berpasangan antar kriteria yang dilakukan oleh responden telah memenuhi syarat dan konsisten. Berdasarkan penilaian aspek pendapatan wilayah yang dipertimbangkan dalam pembangunan di wilayah pesisir Sumatera Selatan, sektor unggulan yang dipilih sebagai prioritas pertama adalah sektor pertanian dengan bobot prioritas sebesar 0,396. Kemudian berturut-turut diikuti prioritas ke-2 dan seterusnya oleh sektor pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran, jasa-jasa dan bangunan (Gambar 18). Nilai inkonsistensi (0,02) juga menunjukkan pengisian skala perbandingan berpasangan antar sektor unggulan yang dilakukan oleh responden telah memenuhi syarat dan konsisten. Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut penilaian para responden, berdasarkan aspek pendapatan wilayah (PDRB), pembangunan di wilayah pesisir sektor unggulan yang dipilih adalah sektor pertanian. Hal tersebut dapat dimaklumi karena responden umumnya memahami bahwa sektor pertanian merupakan aktivitas perekonomian primer di Sumatera Selatan dan ketersediaan lahannya masih memiliki potensi untuk dikembangkan. Sektor pertanian mampu berkontribusi terhadap pendapatan domestik wilayah pesisir walaupun pada kenyataannya, sektor pertambangan dengan migas relatif lebih dipertimbangkan oleh pemerintah daerah yang memiliki kecenderungan memilih sektor ini karena masih dianggap sebagai penyumbang pendapatan daerah terbesar di Sumatera Selatan. Gambar 18. Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir Untuk Sektor Unggulan Berdasarkan Pendapatan Wilayah. Analisis prioritas pembangunan wilayah pesisir untuk jenis sektor-sektor perekonomian unggulan berdasarkan aspek infrastruktur wilayah yang dipertimbangkan menghasilkan sektor industri pengolahan sebagai sektor unggulan yang memperoleh prioritas pertama dengan bobot prioritas sebesar 73

90 0,357. Kemudian berturut-turut diikuti prioritas ke-2 dan seterusnya oleh sektor pertanian, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa-jasa (Gambar 19). Nilai inkonsistensi (0,01) juga menunjukkan pengisian skala perbandingan berpasangan antar sektor unggulan yang dilakukan oleh responden telah memenuhi syarat dan konsisten. Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut penilaian para responden yang berdasarkan aspek infrastruktur wilayah (jalan dan fasilitas), sektor industri pengolahan memerlukan kegiatan pembangunan infrastruktur yang paling diutamakan di wilayah pesisir karena selain mampu meningkatkan aksesibilitas distribusi dari lokasi produksi ke lokasi industri dan pemasaran sekaligus memperbaiki dan memperbanyak fasilitas-fasilitas penunjang guna mempercepat proses-proses hasil produk olahan. Gambar 19. Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir Untuk Sektor Unggulan Berdasarkan Aspek Infrastruktur Wilayah. Selanjutnya, analisis prioritas pembangunan wilayah pesisir untuk jenis sektor-sektor perekonomian unggulan berdasarkan aspek kesejahteraan masyarakat yang dipertimbangkan menghasilkan sektor pertanian sebagai prioritas pertama dengan bobot prioritas sebesar 0,368. Kemudian berturut-turut diikuti prioritas ke-2 dan seterusnya oleh sektor industri pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran, jasa-jasa dan bangunan (Gambar 20). Nilai inkonsistensi (0,01) juga menunjukkan pengisian skala perbandingan berpasangan antar sektor unggulan yang dilakukan oleh responden telah memenuhi syarat dan konsisten. Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut penilaian para responden, berdasarkan aspek kesejahteraan masyarakat (tenaga kerja dan pendapatan), pembangunan dan pengembangan sektor pertanian di wilayah pesisir merupakan sektor unggulan paling baik untuk dilakukan. Hal ini disebabkan oleh 74

91 banyaknya jumlah tenaga kerja yang sangat dibutuhkan pada sektor pertanian namun tidak banyak memerlukan tingkat keterampilan yang tinggi. Selain itu, sektor pertanian dinilai mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dalam skala rumah tangga karena tidak memerlukan input modal yang terlalu besar. Gambar 20. Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir Untuk Sektor Unggulan Berdasarkan Aspek Kesejahteraan Masyarakat Apabila ditinjau dari keseluruhan aspek/kriteria yang dipertimbangkan dalam pembangunan di wilayah pesisir Sumatera Selatan, ternyata pembangunan untuk sektor industri pengolahan merupakan prioritas pertama dengan bobot kumulatif keseluruhan aspek sebesar 0,349. Selanjutnya berturutturut diikuti sektor pertanian, perdagangan, hotel dan restoran, bangunan dan jasa-jasa (Gambar 21). Hasil tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan dari keseluruhan aspek baik aspek pendapatan wilayah (PDRB), infrastruktur wilayah (jalan dan fasilitas), dan kesejahteraan masyarakat (penyerapan tenaga kerja dan pendapatan) maka pengembangan aktivitas sektor industri pengolahan merupakan prioritas pembangunan utama di wilayah pesisir Sumatera Selatan. Gambar 21. Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir Untuk Sektor Unggulan Berdasarkan Keseluruhan Aspek. 75

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang desentralisasi membuka peluang bagi daerah untuk dapat secara lebih baik dan bijaksana memanfaatkan potensi yang ada bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas

Lebih terperinci

ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI SUMATERA SELATAN BRILLIANT FAISAL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah 7 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Wilayah

TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Wilayah 7 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah Wilayah menurut UU No. 26 tahun 2007 adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Sektor-Sektor Unggulan di Provinsi Sumatera Selatan Struktur ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh besarnya peranan sektor-sektor perekonomian dalam memproduksi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketimpangan Pembangunan Wilayah

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketimpangan Pembangunan Wilayah 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketimpangan Pembangunan Wilayah Beberapa faktor penyebab ketimpangan pembangunan antar wilayah sebagaimana yang dikemukakan Murty (2000), diantaranya adalah : 1. Faktor Geografis,

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Penerapan desentralisasi di Indonesia sejak tahun 1998 menuntut daerah untuk mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki secara arif dan bijaksana agar peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembangunan Ekonomi Regional Pertumbuhan ekonomi merupakan unsur penting dalam proses pembangunan wilayah yang masih merupakan target utama dalam rencana pembangunan di samping

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK Ketidakmerataan pembangunan yang ada di Indonesia merupakan masalah pembangunan regional dan perlu mendapat perhatian lebih. Dalam

Lebih terperinci

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. wilayah telah dilaksanakan oleh beberapa peneliti yaitu :

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. wilayah telah dilaksanakan oleh beberapa peneliti yaitu : BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai pertumbuhan ekonomi dan disparitas pendapatan antar wilayah telah dilaksanakan oleh beberapa peneliti yaitu : Penelitian

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah pada periode

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain berupa kesenjangan pendapatan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Fenomena Kesenjangan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya makin kaya sedangkan

Lebih terperinci

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA Andi Tabrani Pusat Pengkajian Kebijakan Peningkatan Daya Saing, BPPT, Jakarta Abstract Identification process for

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Berdasarkan sisi perekonomian secara makro, Jawa Barat memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP. pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka

BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP. pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP 2.1.Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005 2025 merupakan kelanjutan perencanaan dari tahap pembangunan sebelumnya untuk mempercepat capaian tujuan pembangunan sebagaimana

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pembangunan

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pembangunan 8 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pembangunan Istilah pembangunan dan pengembangan banyak digunakan dalam hal yang sama, yang dalam Bahasa Inggrisnya development. Namun berbagai kalangan cenderung untuk menggunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi daerah sudah dilaksanakan sejak tahun 2001. Keadaan ini telah memberi kesadaran baru bagi kalangan pemerintah maupun masyarakat, bahwa pelaksanaan otonomi tidak bisa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan Menurut Rustiadi et al. (2009) proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematis dan berkesinambungan untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi Daerah sebagai wujud dari sistem demokrasi dan desentralisasi merupakan landasan dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang berkeadilan, merata, dan inklusif. Kebijakan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kota Batu Provinsi Jawa Timur) FATCHURRAHMAN ASSIDIQQI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS Studi Kasus Kawasan Kedungsapur di Provinsi Jawa Tengah DYAH KUSUMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi ialah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi ialah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Pemerataan pembangunan ekonomi merupakan hasil yang diharapkan oleh seluruh masyarakat bagi sebuah negara. Hal ini mengingat bahwa tujuan dari pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. mengedepankan dethronement of GNP, pengentasan garis kemiskinan,

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. mengedepankan dethronement of GNP, pengentasan garis kemiskinan, 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Paradigma pembangunan modern memandang suatu pola yang berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional yang berfokus pada peningkatan Produk Domestik Regional Bruto

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada

I. PENDAHULUAN. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan peningkatan kesempatan kerja. Pendekatan pertumbuhan ekonomi banyak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada dasarnya pembangunan ekonomi ditujukan untuk mengatasi kemiskinan, penggangguran, dan ketimpangan. Sehingga dapat terwujudnya masyarakat yang sejahtera, makmur,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

Sumatera Selatan. Jembatan Ampera

Sumatera Selatan. Jembatan Ampera Laporan Provinsi 169 Sumatera Selatan Jembatan Ampera Jembatan Ampera adalah sebuah jembatan di Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia. Jembatan Ampera, yang telah menjadi semacam lambang kota,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Masalah pokok dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Masalah pokok dalam pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola setiap sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Kata Pengantar..

DAFTAR ISI. Kata Pengantar.. DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar.. Daftar Isi. Daftat Tabel. Daftar Gambar i-ii iii iv-vi vii-vii BAB I PENDAHULUAN 1 I.1. Latar Belakang. 1 I.2. Dasar Hukum...... 4 I.3. Tujuan..... 5 I.4. Manfaat......

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Konsep pengembangan wilayah mengandung prinsip pelaksanaan kebijakan desentralisasi dalam rangka peningkatan pelaksanaan pembangunan untuk mencapai sasaran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep Otonomi Daerah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan desentralisasi adalah penyerahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang Analisis struktur perekonomian kota Depok sebelum dan sesudah otonomi daerah UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh: HARRY KISWANTO NIM F0104064 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi di definisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang

BAB I PENDAHULUAN. dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerataan pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia sudah lama dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang ingin dijadikan kenyataan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama negara berkembang. Pembangunan ekonomi dicapai diantar anya dengan melakukan usaha-usaha untuk meningkatkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Ekonomi Pembangunan Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional yang kondisi-kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat

Lebih terperinci

Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo. Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo. Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 i Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan ekonomi yang handal. Pembangunan ekonomi diharapkan dapat meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan ekonomi yang handal. Pembangunan ekonomi diharapkan dapat meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi dalam suatu negara sangat penting, karena pembangunan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan ekonomi yang handal dan mandiri. Pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

Kata kunci : jumlah alumni KKD, opini audit BPK, kinerja pembangunan daerah.

Kata kunci : jumlah alumni KKD, opini audit BPK, kinerja pembangunan daerah. HERTANTI SHITA DEWI. Kinerja Pembangunan Daerah : Suatu Evaluasi terhadap Kursus Keuangan Daerah. Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI dan BAMBANG JUANDA. Sejak diberlakukan otonomi daerah di bidang keuangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus dilaksanakan dengan berpedoman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK ANISAH, Analisis Prospek Pengembangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi selama ini, telah banyak menimbulkan masalah pembangunan yang semakin besar dan kompleks, semakin melebarnya

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi menunjukkan proses pembangunan yang terjadi di suatu daerah. Pengukuran pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat pada besaran Pendapatan Domestik

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH DALAM KAITANNYA DENGAN DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI KABUPATEN PURWAKARTA AI MAHBUBAH

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH DALAM KAITANNYA DENGAN DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI KABUPATEN PURWAKARTA AI MAHBUBAH STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH DALAM KAITANNYA DENGAN DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI KABUPATEN PURWAKARTA AI MAHBUBAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap Negara mempunyai tujuan dalam pembangunan ekonomi termasuk Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan meningkatnya pembangunan

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2)

EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2) EKO-REGIONAL, Vol 1, No.1, Maret 2006 EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2) 1) Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakteristik potensi wilayah baik yang bersifat alami maupun buatan, merupakan salah satu unsur yang perlu diperhatikan dalam proses perencanaan pembangunan. Pemahaman

Lebih terperinci

ANALISIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI PROVINSI JAWA TIMUR: PENDEKATAN SEKTORAL DAN REGIONAL SUKMA DINI MIRADANI

ANALISIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI PROVINSI JAWA TIMUR: PENDEKATAN SEKTORAL DAN REGIONAL SUKMA DINI MIRADANI ANALISIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI PROVINSI JAWA TIMUR: PENDEKATAN SEKTORAL DAN REGIONAL SUKMA DINI MIRADANI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan nasional merupakan gambaran umum yang memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies) dalam rangka menyeimbangkan pembangunan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 20 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada awalnya ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita, dengan asumsi pada saat pertumbuhan dan pendapatan perkapita tinggi,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS IIV.1 Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Ngawi saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi lima tahun ke depan perlu mendapat

Lebih terperinci

ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI ACEH DENGAN PENDEKATAN INDEKS KETIMPANGAN WILLIAMSON PERIODE TAHUN

ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI ACEH DENGAN PENDEKATAN INDEKS KETIMPANGAN WILLIAMSON PERIODE TAHUN ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI ACEH DENGAN PENDEKATAN INDEKS KETIMPANGAN WILLIAMSON PERIODE TAHUN 2008-2011 INCOME DISPARITY ANALYSIS AMONG DISTRICTS IN ACEH PROVINCE USING INDEX

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis statistik Perekonomian Daerah, sebagai gambaran umum untuk situasi perekonomian Kota

Lebih terperinci

DUKUNGAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN PADA KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH TERTENTU DI INDONESIA

DUKUNGAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN PADA KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH TERTENTU DI INDONESIA DUKUNGAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN PADA KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH TERTENTU DI INDONESIA Oleh Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Indonesia memiliki cakupan wilayah yang sangat luas, terdiri dari pulau-pulau

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN WAROPEN

IDENTIFIKASI SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN WAROPEN IDENTIFIKASI SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN WAROPEN Muhammad Fajar Kasie Statistik Sosial BPS Kab. Waropen Abstraksi Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui deskripsi ekonomi Kabupaten Waropen secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan beberapa daerah perkotaan mempunyai pola. baik di daerah pedesaan dan perkotaan. Dualisme kota dan desa yang terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan beberapa daerah perkotaan mempunyai pola. baik di daerah pedesaan dan perkotaan. Dualisme kota dan desa yang terdapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dan beberapa daerah perkotaan mempunyai pola perekonomian yang cenderung memperkuat terjadinya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang bermuara kepada

Lebih terperinci

SUB SEKTOR PERTANIAN UNGGULAN KABUPATEN TASIKMALAYA SELAMA TAHUN

SUB SEKTOR PERTANIAN UNGGULAN KABUPATEN TASIKMALAYA SELAMA TAHUN SUB SEKTOR PERTANIAN UNGGULAN KABUPATEN TASIKMALAYA SELAMA TAHUN 2005-2014 Sri Hidayah 1) Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Uniersitas Siliwangi SriHidayah93@yahoo.com Unang 2) Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

Analisis Pengembangan Wilayah Kecamatan sebagai Pusat Pertumbuhan dan Pusat Pelayanan di Kabupaten Banyuwangi

Analisis Pengembangan Wilayah Kecamatan sebagai Pusat Pertumbuhan dan Pusat Pelayanan di Kabupaten Banyuwangi Analisis Pengembangan Wilayah Kecamatan sebagai Pusat Pertumbuhan dan Pusat Pelayanan di Kabupaten (Analysis of Regional Development SubDistricts as The Economic Growth and of Service Center in ) Vika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penelitian Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang melibatkan pembentukan institusi baru, pembangunan industri alternatif, perbaikan

Lebih terperinci