TINGKAT EMISI ACUAN HUTAN (FOREST REFERENCE EMISSION LEVEL) PROVINSI SUMATERA SELATAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINGKAT EMISI ACUAN HUTAN (FOREST REFERENCE EMISSION LEVEL) PROVINSI SUMATERA SELATAN"

Transkripsi

1 TINGKAT EMISI ACUAN HUTAN (FOREST REFERENCE EMISSION LEVEL) PROVINSI SUMATERA SELATAN Penyusun: Herwin Purnomo, Arief Dermawan Prasetyo, Silvan Adri Rahmana, Muara Laut Tarigan, Syamsuddin, Pernando Sinabutar, Hengki Siahaan, Muh Bambang Prayitno, Zulfikhar, Lulu Yuningsih, Erta Heptiana, Neneng H. Leliana, Edi Cahyono, Teddy Rusolono, Tatang Tiryana, Judin Purwanto, Hendi Sumantri, Berthold Haasler DINAS KEHUTANAN PROVINSI SUMATERA SELATAN 2017

2 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL...iii DAFTAR GAMBAR...iv DAFTAR LAMPIRAN... vii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Ruang Lingkup Areal REDD Aktifitas REDD Jenis Cadangan Karbon dan Gas Emisi Periode Waktu FREL Definisi Hutan Deforestasi Degradasi hutan Lahan gambut Tingkat emisi acuan hutan (FREL) Sistematika Dokumen METODOLOGI Kerangka Pemikiran Data yang Digunakan Penutup Lahan Faktor emisi dan Serapan CO2e Analisis Data Analisis Perubahan Penutup Lahan Penghitungan Stok Hutan Penghitungan Emisi Penyusunan FREL KONDISI HUTAN Luas Hutan dan Penutupan Lahan Cadangan Karbon PERUBAHAN TUTUPAN HUTAN Deforestasi Degradasi Hutan Dekomposisi Gambut Kebakaran Gambut Reforestasi TINGKAT EMISI ACUAN HUTAN Emisi Deforestasi Emisi Degradasi Hutan Emisi Dekomposisi Gambut Emisi Kebakaran Gambut Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan i

3 5.5 Serapan Emisi dari Reforestasi FREL Provinsi Sumatera Selatan KESIMPULAN DAN REKOMENDASI DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan ii

4 DAFTAR TABEL Tabel 1. Luas areal REDD+ menurut kabupaten dan wilayah KPH di Provinsi Sumatera Selatan. 3 Tabel 2. Kelas-kelas penutup lahan dalam peta penutup lahan... 7 Tabel 3. Faktor emisi deforestasi dan degradasi hutan untuk penyusunan FREL Sumatera Selatan... 8 Tabel 4. Matriks transisi faktor emisi dekomposisi gambut (MoEF 2016)... 9 Tabel 5. Faktor emisi kebakaran gambut berdasarkan frekuensi kebakarannya... 9 Tabel 6. Faktor serapan emisi untuk reforestasi... 9 Tabel 7. Emisi tahunan historis ( ) dan proyeksinya ( ) dari deforestasi, degradasi hutan, dan dekomposisi gambut di Provinsi Sumatera Selatan Tabel 8. Emisi tahunan historis kotor dan bersih ( ) serta proyeksinya ( ) dari deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut, kebakaran gambut, dan reforestasi di Provinsi Sumatera Selatan Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan iii

5 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Hutan alam tahun 1990 (areal REDD+) di Provinsi Sumatera Selatan... 2 Gambar 2. Kerangka pemikiran dalam penyusunan FREL Provinsi Sumatera Selatan... 6 Gambar 3. Gambar 4. Analisis spasial perubahan penutup lahan (Tahap 1), penentuan areal-areal deforestasi dan degradasi hutan (Tahap 2), dan perhitungan emisi deforestasi dan degradasi hutan (Tahap 3) (sumber: adaptasi dari MoEF 2016) Analisis spasial perubahan penutup lahan gambut (Tahap 1), penentuan arealareal dekomposisi gambut (Tahap 2), dan perhitungan emisi dekomposisi gambut (Tahap 3) (sumber: adaptasi dari MoEF 2016) Gambar 5. Konsep reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan Gambar 6. Luas hutan menurut tipe ekosistemnya di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Gambar 7. Sebaran sisa hutan alam pada tahun 2015 menurut fungsi kawasan hutan Gambar 8. Sebaran sisa hutan alam pada tahun 2015 menurut wilayah kabupaten/kota Gambar 9. Sebaran sisa hutan alam pada tahun 2015 menurut wilayah KPH Gambar 10. Cadangan karbon pada biomassa atas permukaan tanah (BAP), kayu mati (KYM), serasah (SRS), biomassa bawah permukaan tanah (BBP), dan tanah (TNH) di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Gambar 11. Cadangan karbon pada biomassa atas permukaan tanah (BAP), kayu mati (KYM), serasah (SRS), biomassa bawah permukaan tanah (BBP), dan tanah (TNH) pada berbagai tipe hutan di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Gambar 12. Luas deforestasi tahunan di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Gambar 13. Total luas deforestasi menurut fungsi kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 14. Sebaran spasial deforestasi pada tiap fungsi kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Gambar 15. Total luas deforestasi pada tiap kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 16. Sebaran spasial deforestasi pada tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Gambar 17. Total luas deforestasi pada Areal Penggunaan Lain (APL) dan wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 18. Sebaran spasial deforestasi pada tiap wilayah KPH di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Gambar 19. Luas degradasi hutan tahunan di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Gambar 20. Total luas deforestasi hutan menurut fungsi kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 21. Total luas degradasi hutan pada tiap kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan iv

6 Gambar 22. Total luas degradasi hutan pada Areal Penggunaan Lain (APL) dan wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 23. Luas hutan alam primer di lahan gambut yang mengalami dekomposisi menjadi hutan sekunder dan penutup lahan lainnya di Provinsi Sumatera Selatan dalam periode Gambar 24. Luas kebakaran gambut di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun Gambar 25. Luas kebakaran gambut pada tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun Gambar 26. Luas kebakaran gambut pada wilayah KPH dan non-kph (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun Gambar 27. Luas reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 28. Luas reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan pada tiap kabupaten/ kota di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 29. Luas reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan pada tiap wilayah KPH dan non-kph (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 30. Emisi historis tahunan ( ) dari deforestasi di Provinsi Sumatera Selatan (dalam satuan Mt CO2e/th = Juta ton CO2e/th) Gambar 31. Emisi tahunan deforestasi pada tiap fungsi kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 32. Emisi tahunan deforestasi pada tiap kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 33. Emisi tahunan deforestasi pada wilayah KPH dan non-kph (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 34. Emisi historis tahunan ( ) dari degradasi hutan di Provinsi Sumatera Selatan (dalam satuan Mt CO2e/th = Juta ton CO2e/th) Gambar 35. Emisi tahunan degradasi hutan pada tiap fungsi kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 36. Emisi tahunan degradasi hutan pada tiap kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 37. Emisi tahunan degradasi hutan pada wilayah KPH dan non-kph (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 38. Emisi historis tahunan ( ) dari dekomposisi gambut di Provinsi Sumatera Selatan (dalam satuan Mt CO2e/th = Juta ton CO2e/th) Gambar 39. Emisi tahunan dekomposisi gambut pada tiap fungsi kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 40. Emisi tahunan dekomposisi gambut pada tiap kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 41. Emisi tahunan dekomposisi gambut pada wilayah KPH dan non-kph (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 42. Emisi historis tahunan ( ) dari kebakaran lahan gambut di Provinsi Sumatera Selatan (dalam satuan Mt CO2e/th = Juta ton CO2e/th) Gambar 43. Emisi tahunan kebakaran lahan gambut pada tiap kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan v

7 Gambar 44. Emisi tahunan kebakaran lahan gambut pada wilayah KPH dan non-kph (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 45. Serapan emisi historis tahunan ( ) dari reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan di Provinsi Sumatera Selatan (dalam satuan Mt CO2e/th = Juta ton CO2e/th) Gambar 46. Serapan emisi tahunan dari reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan pada tiap kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 47. Serapan emisi tahunan dari reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan pada tiap wilayah KPH dan non-kph (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 48. Emisi tahunan historis ( ), rata-rata emisi tahunan ( ), proyeksi emisi ( ), dan emisi aktual ( ) dari deforestasi, degradasi hutan, dan dekomposisi gambut di Provinsi Sumatera Selatan Gambar 49. Emisi tahunan historis ( ), rata-rata emisi tahunan ( ), proyeksi emisi ( ), dan emisi aktual ( ) dari deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut, kebakaran gambut, dan reforestasi di Provinsi Sumatera Selatan Gambar 50. Perbandingan rata-rata emisi tahunan dari deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut, kebakaran gambut, dan reforestasi di Provinsi Sumatera Selatan Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan vi

8 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Luas deforestasi dan degradasi hutan pada tiap fungsi kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Luas deforestasi dan degradasi hutan pada tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Luas deforestasi dan degradasi hutan pada tiap wilayah KPH dan non-kph (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Luas dekomposisi lahan gambut pada tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Luas dekomposisi lahan gambut pada tiap wilayah KPH dan non-kph (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Luas areal kebakaran lahan gambut pada tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Luas areal kebakaran lahan gambut pada tiap wilayah KPH dan non-kph (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Luas areal reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan pada tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Luas areal reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan pada tiap wilayah KPH dan non-kph (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Lampiran 10. Emisi tahunan dari deforestasi, degradasi hutan, dan dekomposisi gambut pada tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Lampiran 11. Emisi tahunan dari deforestasi, degradasi hutan, dan dekomposisi gambut pada tiap wilayah KPH dan non-kph (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Lampiran 12. Emisi kebakaran lahan gambut pada tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Lampiran 13. Emisi kebakaran lahan gambut pada tiap wilayah KPH dan non-kph (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Lampiran 14. Serapan emisi dari reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan pada tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Lampiran 15. Serapan emisi dari reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan pada tiap wilayah KPH dan non-kph (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan vii

9 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Republik Indonesia memiliki komitmen yang kuat terhadap dunia internasional untuk berpartisipasi dalam mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca (GRK). Dalam kerangka Kyoto Protocol, pemerintah Republik Indonesia telah mentargetkan pengurangan emisi sebesar 26% melalui upaya sendiri atau 41% dengan bantuan internasional. Bahkan pada COP 21 tahun 2015, pemerintah Republik Indonesia telah menyatakan kesanggupannya untuk berkontribusi dalam penurunan emisi untuk periode sebesar 29% melalui upaya sendiri atau 41% melalui kerjasama internasional. Dalam upaya pencapaian target pengurangan emisi GRK tersebut, pada tingkat nasional pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK). Selain itu, melalui Peraturan Presiden No. 71 tahun 2011 pemerintah telah mengembangkan sistem inventarisasi GRK untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan untuk pelaporan kegiatan pengurangan GRK di Indonesia. Pada tingkat internasional, pemerintah Indonesia juga berperan aktif untuk menggalang kerjasama penurunan emisi GRK dengan negara lain melalui mekanisme REDD+ (Reducing Emission from Deforestation, Forest Degradation, Sustainable Management of Forest, Enhancement of Forest Carbon Stock, and Forest Conservation). REDD+ merupakan mekanisme pembayaran berbasis hasil/kinerja (result-based payment) dalam pengurangan emisi GRK di sektor kehutanan dan lahan gambut. Implementasi REDD+ memerlukan tingkat emisi acuan hutan (Forest Reference Emission Level, selanjutnya disebut FREL). Pada tahun 2016, Indonesia telah menyusun dan mengirim dokumen FREL nasional ke UNFCCC, yang kemudian dinilai dan disetujui oleh UNFCCC. FREL nasional merupakan tingkat emisi CO2 acuan untuk mengukur kinerja dari suatu wilayah/negara dalam melakukan implementasi REDD+, yang hanya mencakup aktifitas deforestasi dan degradasi hutan (DD) serta dampaknya (termasuk di lahan gambut). Pada periode , rata-rata tingkat emisi di Indonesia mencapai Mt CO2e/tahun dari deforestasi dan 58.0 Mt CO2e/tahun dari degradasi hutan (MoEF 2016). Diperkirakan tingkat emisi pada tahun 2020 akan mencapai Mt CO2e karena ada peningkatan emisi dari dekomposisi gambut. Walaupun kinerja pengurangan emisi dalam mekanisme REDD+ diukur pada tingkat nasional, namun implementasi kegiatan-kegiatan pengurangan emisi dilaksanakan pada tingkat sub-nasional (provinsi). Oleh karena itu, selain FREL nasional perlu juga disusun dan ditetapkan FREL sub-nasional sebagai acuan dalam alokasi kegiatan dan anggaran dalam pengurangan emisi di tingkat provinsi. Kegiatan-kegiatan pengurangan emisi di tiap provinsi kemungkinan berbedabeda sesuai dengan karakteristik wilayah serta tingkat deforestasi dan degradasi hutannya. Strategi dan rencana aksi pengurangan emisi tersebut sangat dimungkinkan tidak hanya terbatas pada upaya-upaya pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, melainkan juga pada upayaupaya peningkatan penyerapan karbon dari areal-areal yang sudah dikonversi seperti hutan tanaman dan perkebunan. Strategi dan rencana aksi penurunan emisi seperti itu perlu dilakukan oleh pemerintah daerah yang sebagian besar sumberdaya hutannya telah mengalami deforestasi tinggi pada masa lalu. Provinsi Sumatera Selatan termasuk salah satu provinsi yang telah mengalami deforestasi tinggi, dimana areal hutannya telah dikonversi menjadi penggunaan lain seperti hutan tanaman dan perkebunan. Kawasan hutan di Sumatera Selatan sebagian besar (41%) hanya tersisa di empat kabupaten, yaitu: Banyuasin, Musi Banyuasin, Musi Rawas, dan Musi Rawas Utara, sedangkan kawasan hutan di 12 kabupaten/kota lainnya sudah mengalami deforestasi. Hal ini berarti bahwa upaya penurunan emisi melalui pencegahan deforestasi dan degradasi hutan kurang relevan untuk Sumatera Selatan, karena kawasan hutan di sebagian besar wilayahnya (12 kabupaten lainnya) sudah mengalami deforestasi dan beralih fungsi ke penggunaan lahan lainnya. Untuk Provinsi Sumatera Selatan upaya-upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan hanya mungkin dilakukan pada wilayah-wilayah yang masih memiliki tutupan hutan. Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 1

10 Padahal, sebagian besar wilayah di Sumatera Selatan memiliki tutupan hutan yang sudah sangat rendah akibat deforestasi pada masa lalu, sehingga upaya-upaya penurunan emisi yang lebih relevan dilakukan adalah peningkatan penyerapan karbon dari areal-areal yang telah berubah fungsi (misalnya areal perkebunan dan hutan tanaman). Sehubungan dengan hal tersebut, Provinsi Sumatera Selatan memandang perlu untuk menyusun FREL sub-nasional yang tidak hanya memuat tingkat emisi acuan dari deforestasi dan degradasi hutan melainkan juga dari aktifitas REDD+ lainnya, khususnya peningkatan cadangan karbon hutan (enhancement of forest cabon stocks) yang belum diperhitungkan dalam FREL nasional. Selain itu, pilihan-pilihan upaya mitigasi dan skenario-skenario pengurangan emisi perlu dirumuskan dalam FREL sub-nasional agar sesuai dengan karakteristik wilayah dan arah pembangunan di Provinsi Sumatera Selatan. 1.2 Tujuan FREL Provinsi Sumatera Selatan disusun untuk menentukan tingkat emisi acuan dari deforestasi, degradasi hutan, dan kebakaran hutan dan lahan, baik yang terjadi di tanah mineral maupun di tanah gambut, yang terjadi di wilayah Provinsi Sumatera Selatan. FREL Sumatera Selatan tersebut dimaksudkan sebagai acuan dalam implementasi kegiatan-kegiatan pengurangan emisi melalui mekanisme REDD+ dan mekanisme insentif lainnya. 1.3 Ruang Lingkup Areal REDD+ Mengacu pada dokumen FREL nasional (MoEF 2016), cakupan areal untuk FREL Provinsi Sumatera Selatan (selanjutnya disebut areal REDD+) adalah semua areal di tanah mineral dan gambut yang pada tahun 1990 tertutup oleh hutan alam (natural forests), baik hutan alam primer maupun hutan alam sekunder, tanpa memperhatikan status kawasan hutan yang ditunjuk oleh Kementerian Kehutanan pada tahun 2013 (MoEF 2016). Luas areal REDD+ di Provinsi Sumatera Selatan adalah 2,144,349 ha atau sekitar 24,5% dari total wilayah provinsi (Gambar 1). Gambar 1. Hutan alam tahun 1990 (areal REDD+) di Provinsi Sumatera Selatan Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 2

11 Areal REDD+ tersebut merupakan areal hutan lahan kering primer seluas 298,462 ha, hutan lahan kering sekunder seluas 740,559 ha, hutan mangrove primer seluas 136,160 ha, hutan mangrove sekunder seluas 68,660 ha, hutan rawa primer seluas 18,354 ha, dan hutan rawa sekunder seluas 882,155 ha. Berdasarkan jenis tanahnya, areal REDD+ tersebut terdapat di tanah gambut seluas 697,578 ha dan tanah mineral seluas 1,446,771 ha. Berdasarkan administratif pemerintahan, areal REDD+ tersebut mencakup 17 kabupaten, sedangkan berdasarkan pengelola kawasan hutan mencakup 24 wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH, Tabel 1). Tabel 1. Luas areal REDD+ menurut kabupaten dan wilayah KPH di Provinsi Sumatera Selatan No. Kabupaten Luas (ha) No. Wilayah KPH Luas (ha) 1 Banyuasin 361,328 1 KPHL Banyuasin 50,853 2 Empat Lawang 28,752 2 KPHL Bukit Balai 11,161 3 Lahat 65,668 3 KPHL Bukit Cogong - 4 Lubuklinggau - 4 KPHL Bukit Dingin 14,215 5 Muara Enim 66,306 5 KPHL Bukit Nanti 34,122 6 Musi Banyuasin 566,148 6 KPHL Dempo 18,566 7 Musi Rawas 142,569 7 KPHL Lahat 18,356 8 Musi Rawas Utara 238,639 8 KPHL Mekakau 30,135 9 Ogan Ilir KPHL Ogan Ulu 50, Ogan Komering Ilir 441, KPHL Okus 45, Ogan Komering Ulu 58, KPHL Peraduan Gistang 16, Ogan Komering Ulu Selatan 129, KPHP Benakat Semangus 84, Ogan Komering Ulu Timur 15, KPHP Lakitan - 14 Pagar Alam 18, KPHP Lalan Mendis 228, Palembang KPHP Lalan Sembilang 60, Penukal Abab Lematang Ilir 11, KPHP Lempuing Prabumulih - 17 KPHP Martapura 12,873 Total areal 2,144, KPHP Meranti 166, KPHP Mesuji Hilir 16, KPHP Rawas 61, KPHP S. Batang Riding 87, KPHP S.Lumpur 277, KPHP Saka KPHP Suban Jeriji 3,398 Jumlah areal KPH 1,291,168 Jumlah areal non-kph & APL 853,181 Total areal 2,144,349 Catatan: tanda koma (,) menyatakan ribuan dan tanda titik (.) menyatakan desimal Aktifitas REDD+ Aktifitas REDD+ yang dicakup dalam dokumen FREL Provinsi Sumatera Selatan ini mencakup pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, baik pada tanah mineral maupun tanah gambut. Hal ini konsisten dengan cakupan aktifitas dalam FREL Nasional (MoEF 2016) yang hanya memperhitungkan deforestasi dan degradasi hutan sesuai dengan ketersedian data aktifitas (yakni penutup lahan) pada tingkat nasional. Namun di Provinsi Sumatera Selatan, perubahan tutupan hutan (forest cover) juga disebabkan oleh kebakaran hutan, terutama di lahan gambut yang umumnya terjadi setiap tahun di berbagai wilayah Sumatera Selatan sehingga dapat menyebabkan peningkatan emisi GRK (khususnya CO2). Selain karena kebakaran hutan, emisi dari lahan gambut juga dapat terjadi karena adanya dekomposisi tanah gambut. Oleh karena itu, dokumen FREL ini juga mencakup perhitungan emisi dari kebakaran dan dekomposisi gambut. Adapun emisi dari kebakaran pada lahan mineral diasumsikan sudah tercakup dalam perhitungan emisi dari deforestasi untuk menghindari terjadinya perhitungan emisi ganda (double counting). Selain aktifitas yang menyebabkan peningkatan emisi, mekanisme REDD+ memungkinkan pemberian insentif finansial dari aktifitas-aktifitas yang bersifat penyerapan emisi (emission Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 3

12 removal), yaitu peningkatan cadangan karbon hutan (forest carbon stocks), konservasi hutan (forest conservation), dan pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management). Perhitungan serapan emisi dari ketiga aktifitas REDD+ tersebut memerlukan ketersediaan data aktifitas dan faktor emisi yang lebih rinci, sehingga belum dicakup dalam FREL nasional (MoEF 2016). Keterbatasan data aktifitas terkait konservasi hutan dan pengelolaan hutan lestari juga terjadi di Provinsi Sumatera Selatan, sehingga dalam dokumen FREL ini hanya diperhitungkan aktifitas peningkatan cadangan karbon. Di Sumatera Selatan, banyak areal REDD+ yang dikonversi menjadi areal-areal hutan tanaman industri dan perkebunan yang berpotensi menyerap emisi Jenis Cadangan Karbon dan Gas Emisi Cadangan karbon hutan tersimpan dalam lima sumber penyimpanan (carbon pools): biomassa atas permukaan tanah, biomassa bawah permukaan tanah, kayu mati, serasah, dan tanah (IPCC 2006). Perubahan penutup lahan dapat menyebabkan hilangnya cadangan karbon pada sebagian atau seluruh sumber penyimpangan karbon tersebut. Dalam dokumen FREL ini, diasumsikan bahwa deforestasi menyebabkan kehilangan semua (total lost) cadangan karbon pada biomassa atas permukaan tanah, kayu mati, dan serasah akibat adanya pembersihan lahan (land clearing) pada saat konversi areal hutan menjadi penggunaan lain. Untuk degradasi hutan, perhitungan emisi didasarkan atas kehilangan sebagian (partial lost) cadangan karbon pada biomassa atas permukaan, kayu mati, dan serasah akibat perubahan tutupan hutan primer menjadi hutan sekunder, baik pada lahan kering, mangrove, maupun gambut. Adapun cadangan karbon pada biomassa di bawah permukaan tanah dan pada tanah mineral dan gambut diasumsikan tetap sehingga tidak diperhitungkan sebagai sumber emisi dari deforestasi. Namun emisi dari dekomposisi tanah gambut tetap diperhitungkan sebagai sumber emisi lain. Perhitungan emisi deforestasi dan degradasi hutan yang mencakup ketiga sumber cadangan karbon tersebut berbeda dengan FREL nasional yang hanya memperhitungkan cadangan karbon pada biomassa atas permukaan tanah sesuai dengan ketersediaan data pada tingkat nasional (MoEF 2016). Hal ini dimaksudkan untuk menghitung tingkat emisi yang lebih komprehensif dan akurat yang didukung oleh ketersediaan data faktor emisi lokal dari hasil survei cadangan karbon di wilayah Provinsi Sumatera Selatan (Tiryana et al. 2016). Sebagaimana halnya FREL nasional, jenis emisi yang diperhitungkan dalam dokumen FREL ini adalah emisi gas karbon dioksida (CO2). Dibanding jenis gas rumah kaca lainnya, misalnya metana (CH4), nitrogen dioksida (NO2), dan hidroflorokarbon (HFC), karbon dioksida (CO2) merupakan komponen gas terbesar penyumbang emisi GRK dari sektor perubahan lahan dan kehutanan (MoEF 2016) Periode Waktu FREL FREL Provinsi Sumatera Selatan ini disusun berdasarkan analisis data historis perubahan penutup lahan pada periode sesuai dengan FREL nasional. Periode waktu yang digunakan untuk menganalisis emisi historis tersebut dianggap lebih menggambarkan dinamika pengelolaan hutan di Indonesia (MoEF 2016). Adapun proyeksi emisi mencakup periode tahun Emisi aktual yang terjadi pada periode di Provinsi Sumatera Selatan digunakan sebagai pembanding hasil proyeksi emisi berdasarkan data emisi historis tersebut. 1.4 Definisi Dalam dokumen FREL Provinsi Sumatera Selatan ini digunakan istilah hutan, deforestasi, degradasi hutan, lahan gambut, dan tingkat emisi acuan hutan (FREL) dengan definisi sebagai berikut (MoEF 2016): Hutan Secara formal, hutan didefinisikan sebagai hamparan lahan dengan luasan lebih dari 0.25 hektar yang ditumbuhi pohon-pohonan dengan tinggi lebih dari 5 meter dengan penutupan tajuk sekurang-kurangnya 30%. Namun dalam praktiknya, areal hutan ditetapkan berdasarkan hasil interpretasi visual citra satelit dengan menggunakan definisi operasional bahwa luas minimum areal poligon yang dideliniasi sebagai hutan pada peta skala 1:50,000 adalah 0.25 cm 2 yang setara dengan luas areal 6.25 ha. Berdasarkan definisi operasional tersebut, areal hutan dalam konteks Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 4

13 REDD+ merupakan hutan alam yang diklasifikasikan menjadi enam kelas, yaitu: hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, hutan rawa primer, dan hutan rawa sekunder Deforestasi Deforestasi didefinisikan dalam dokumen FREL ini sebagai konversi dari penutup lahan (land cover) berupa hutan alam menjadi penutup lahan lainnya yang hanya terjadi satu kali pada suatu areal/wilayah tertentu. Definisi operasional tersebut mengacu kepada Peraturan Menteri Kehutanan No. 30/2009 yang mendefinisikan deforestasi sebagai perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia Degradasi hutan Degradasi hutan didefinisikan dalam dokumen ini sebagai perubahan dari kelas-kelas hutan alam (mencakup hutan lahan kering primer, hutan mangrove primer, dan hutan rawa gambut primer) menjadi kelas-kelas hutan sekunder. Definisi tersebut merupakan definisi operasional dari Peraturan Menteri Kehutanan No. 30/2009 yang menyatakan bahwa degradasi hutan merupakan penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon selama periode tertentu akibat kegiatan-kegiatan manusia Lahan gambut Lahan gambut didefinisikan sebagai areal dengan akumulasi bahan-bahan organik yang terdekomposisi tidak sempurna, air jenuh dengan kandungan karbon paling sedikit 12%, dan dengan kedalaman lapisan yang kaya karbon setidaknya 50 cm (Wahyunto et al. 2014, Agus et al. 2011, dan SNI dalam MoEF 2016) Tingkat emisi acuan hutan (FREL) Dalam dokumen ini, tingkat emisi acuan (Forest Reference Emission level, FREL) didefinisikan sebagai suatu proyeksi emisi gas karbon dioksida (CO2) yang digunakan sebagai acuan dalam membandingkan tingkat emisi aktual pada suatu waktu di masa mendatang. patokan (benchmark). Tingkat emisi acuan (FREL), yang dinyatakan dalam satuan ton CO 2e (karbon dioksida ekuivalen) per tahun, digunakan sebagai suatu patokan (benchmark) dalam menilai kinerja penerapan mekanisme REDD Sistematika Dokumen Dokumen FREL ini terdiri dari 6 bab dan beberapa lampiran. Bab 1 menjelaskan latar belakang dan tujuan penyusunan FREL Provinsi Sumatera Selatan beserta ruang lingkupnya dan definisi dari istilah-istilah yang digunakan dalam dokumen ini. Bab 2 menjelaskan metode yang digunakan dalam perhitungan data aktivitas (perubahan penutup lahan), penentuan faktor emisi, perhitungan emisi dan serapan emisi, serta penyusunan tingkat emisi acuan (FREL). Hasil analisis data berdasarkan metodologi yang dijelaskan pada Bab 2 tersebut diuraikan pada Bab 3 5. Dalam Bab 3 dijelaskan kondisi umum hutan di Provinsi Sumatera Selatan terkait dengan luas hutan, penutupan lahan, dan cadangan karbonnya pada periode Bab 4 memaparkan hasil analisis data perubahan tutupan hutan akibat deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut, kebakaran gambut, dan reforestasi. Dalam Bab 5 dijelaskan bahwa perubahan tutupan lahan tersebut menyebabkan terjadinya emisi, baik dari deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut, maupun kebakaran gambut, serta peningkatan serapan emisi dari reforestasi pada periode Berdasarkan emisi historis, pada Bab 5 tersebut dijelaskan bahwa tingkat emisi acuan (FREL) di Provinsi Sumatera Selatan dapat dinyatakan sebagai FREL 3D (yaitu tingkat emisi acuan dari deforestasi, degradasi hutan, dan dekomposisi gambut seperti halnya FREL Nasional) dan sebagai FREL 3D+KR (yaitu tingkat emisi acuan dari deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut, kebakaran gambut, dan reforestasi). Bab 6 memaparkan sintesis dari temuan-temuan penting dalam penyusunan FREL ini disertai dengan rekomendasi terkait prioritas rencana aksi mitigasi penurunan emisi di Provinsi Sumatera Selatan. Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 5

14 2 METODOLOGI 2.1 Kerangka Pemikiran Penyusunan FREL diawali dengan penentuan areal REDD+ Provinsi Sumatera Selatan (Gambar 2). Sebagaimana dijelaskan pada Bab 1, areal REDD+ adalah seluruh areal di tanah mineral dan gambut yang pada tahun 1990 merupakan hutan alam yang luasnya mencapai 2,144,349 ha. Pada areal REDD+ tersebut selanjutnya dilakukan analisis perubahan penutup lahan (land cover change analysis) dengan menggunakan peta penutupan lahan untuk periode Dari hasil analisis tersebut diperoleh data dan informasi mengenai luas dan sebaran areal-areal deforestasi, degradasi hutan, kebakaran lahan/gambut, dan areal-areal reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan pada tiap kabupaten dan wilayah KPH di Sumatera Selatan. Emisi dari deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut, dan kebakaran hutan/lahan gambut dihitung berdasarkan luas areal (activity data) pada setiap periode dan faktor emisi (emission factor) yang sesuai dengan kondisi penutupan lahan di Sumatera Selatan. Selain emisi, juga diperhitungkan potensi serapan karbon dari areal-areal yang mengalami deforestasi atau degradasi hutan pada suatu periode, tetapi kemudian menjadi areal-areal reforestasi (dalam dokumen FREL ini berupa Hutan Tanaman Industri) yang dapat meningkatkan cadangan karbon hutan pada periode berikutnya. Emisi yang terjadi dalam periode dianggap sebagai emisi historis, yang nilai rata-rata emisinya merupakan tingkat emisi hutan acuan (Forest Reference Emission Level, FREL) untuk periode Secara rinci, prosedur penyusunan FREL tersebut diuraikan lebih lanjut di bawah ini. Gambar 2. Kerangka pemikiran dalam penyusunan FREL Provinsi Sumatera Selatan 2.2 Data yang Digunakan Data yang digunakan dalam penyusunan FREL Provinsi Sumatera Selatan terdiri dari data penutup lahan (activity data) serta faktor emisi CO2 (emission factor) dan faktor serapan emisi CO2 (emission removal factor). Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 6

15 2.2.1 Penutup Lahan Data penutup lahan yang digunakan adalah peta penutup lahan (land cover map) dan petapeta penunjang lainnya, yaitu peta lahan gambut, peta kebakaran hutan, peta kawasan hutan, peta wilayah administrasi kabupaten, dan peta wilayah KPH. Peta penutup lahan diperoleh dari Direktorat Planologi dan Tata Kelola Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Peta tersebut terdiri dari 23 kelas penutup lahan (land cover class), termasuk enam kelas penutup lahan yang dikategorikan sebagai hutan alam, yang dihasilkan melalui teknik penafsiran secara visual pada citra satelit Landsat (Tabel 2). Peta penutup lahan yang digunakan mencakup data deret waktu (time series data) selama 25 tahun, yaitu tahun: 1990, 1996, 2000, 2003, 2006, 2009, 2011, 2012, 2013, 2014, dan Peta penutup lahan digunakan untuk membangkitkan data tutupan hutan serta data aktivitas deforestasi, degradasi hutan, dan reforestasi. Tabel 2. Kelas-kelas penutup lahan dalam peta penutup lahan No. Kelas penutup lahan Singkatan Kategori 1 Hutan lahan kering primer Hp Hutan alam 2 Hutan lahan kering sekunder Hs Hutan alam 3 Hutan mangrove primer Hmp Hutan alam 4 Hutan mangrove sekunder Hms Hutan alam 5 Hutan rawa primer Hrp Hutan alam 6 Hutan rawa sekunder Hrs Hutan alam 7 Hutan tanaman Ht Hutan tanaman 8 Semak/Belukar B Non-hutan 9 Perkebunan Pk Non-hutan 10 Belukar rawa Br Non-hutan 11 Pertanian lahan kering Pt Non-hutan 12 Pertanian Lahan Kering & Semak Pc Non-hutan 13 Sawah Sw Non-hutan 14 Savana S Non-hutan 15 Tambak Tb Non-hutan 16 Rawa Rw Non-hutan 17 Permukiman Pm Non-hutan 18 Pelabuhan Udara/Laut Bdr Non-hutan 19 Transmigrasi Tr Non-hutan 20 Tanah terbuka T Non-hutan 21 Pertambangan Tm Non-hutan 22 Tubuh air Air Non-hutan 23 Awan Aw Non-hutan Peta lahan gambut yang digunakan dalam FREL ini bersumber dari Peta Lahan Gambut Indonesia yang diterbitkan BBSDLP (Balai Besar Sumberdaya Lahan dan Pertanian), Departemen Pertanian tahun Peta Lahan Gambut berskala 1: dan dipublikasikan dalam Web GIS Satu-Peta di Peta lahan gambut bersama dengan peta penutup lahan digunakan untuk membangkitkan data aktivitas lahan gambut yang terdegradasi. Peta wilayah provinsi dan kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan bersumber dari Bappeda Provinsi Sumatera Selatan. Peta tersebut juga telah digunakan untuk penyusunan Peta RTRWP Provinsi Sumatera Selatan. Sedangkan Peta Wilayah KPH bersumber dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. Peta ini digunakan untuk mengelompokkan hasil penyusunan FREL kedalam wilayah-wilayah kabupaten dan KPH untuk keperluan mitigasi pengurangan emisi di tingkat kabupaten dan KPH. Peta kebakaran hutan dan lahan gambut Provinsi Sumatera Selatan diperoleh dari hasil analisis spasial kejadian kebakaran melalui citra Landsat pada periode 2006, 2008, 2009, 2014 dan 2015 yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. Informasi dari peta ini digunakan untuk mengetahui luas kejadian kebakaran pada lahan gambut. Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 7

16 2.2.2 Faktor emisi dan Serapan CO2e Selain data aktivitas (perubahan penutup lahan), diperlukan juga faktor emisi untuk deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut, dan kebakaran gambut serta faktor serapan emisi untuk reforestasi. Dalam dokumen FREL ini digunakan faktor emisi lokal (Tier 3) untuk deforestasi dan degradasi hutan berdasarkan hasil survei cadangan karbon pada berbagai tipe penutup lahan di Sumatera Selatan (Tiryana et al. 2016). Sesuai cakupan pool karbon yang digunakan dalam FREL ini, faktor emisi deforestasi dan degradasi hutan mencakup biomassa atas permukaan tanah, serasah, dan kayu mati seperti tercantum pada Tabel 3. Tabel 3. Faktor emisi deforestasi dan degradasi hutan untuk penyusunan FREL Sumatera Selatan Penutup lahan Cadangan karbon (ton/ha) Faktor emisi (ton CO 2 e/ha) BAP SRS KYM Total Deforestasi Degradasi Hutan lahan kering primer Hutan lahan kering sekunder Hutan mangrove primer Hutan mangrove sekunder Hutan rawa primer Hutan rawa sekunder BAP = Biomassa atas permukaan, SRS = Serasah, KYM = Kayu mati Faktor emisi deforestasi diperoleh dari konversi cadangan karbon menjadi karbon dioksida ekuivalensi (CO2e) dengan tetapan 3.67 (44/12), yang berarti bahwa 1 ton cadangan karbon (yang tersimpan pada BAP, SRS, dan KYM) berasal dari penyerapan gas CO2 sebanyak 3.67 ton. Cadangan karbon diduga dari biomassa atas permukaan tanah, serasah, dan kayu mati dengan asumsi bahwa 1 ton biomassa menyimpan cadangan karbon sebanyak 0.47 ton (IPCC 2006). Adapun faktor emisi degradasi hutan dihitung dari selisih antara CO2e hutan primer dan hutan sekunder, baik pada hutan lahan kering, hutan mangrove, maupun hutan rawa. Sebagai contoh, faktor emisi dari degradasi hutan lahan kering primer menjadi hutan lahan kering sekunder adalah ton CO2e/ha (Tabel 3). Untuk menghitung emisi dekomposisi gambut, digunakan faktor emisi dekomposisi gambut seperti yang digunakan dalam FREL Nasional (MoEF 2016). Tabel 4 menyajikan nilainilai faktor emisi dekomposisi gambut dalam bentuk matriks transisi untuk menghitung emisi dekomposisi yang terjadi akibat perubahan suatu penutup lahan gambut pada periode tertentu menjadi penutup lahan gambut lainnya pada periode berikutnya. Diagonal matriks transisi tersebut menyatakan nilai-nilai emisi dekomposisi gambut pada penutup lahan tertentu, sedangkan nilai-nilai di atas dan di bawahnya menyatakan nilai-nilai faktor emisi dekomposisi pada penutup lahan yang berubah. Misalnya, faktor emisi dekomposisi gambut untuk hutan lahan kering sekunder (Hs) adalah 19 tco2e/th sedangkan untuk pertanian lahan kering (Pt) adalah 51 tco2e/th. Dengan mengasumsikan bahwa proses dekomposisi berlangsung secara perlahan-lahan dari suatu periode (P1) ke periode berikutnya (P2), maka nilai faktor emisi dekomposisi gambut pada suatu tipe penutup lahan pada P2 (di luar diagonal matriks transisi) merupakan rata-rata nilai faktor emisi dekomposisi dari tipe penutup lahan pada periode P1 dan tipe penutup lahan pada periode P2. Sebagai contoh, perubahan dari Hs pada P1 menjadi Pt pada P2 memiliki faktor emisi sebesar 35 tco2e/th, yang merupakan nilai rata-rata dari faktor emisi Hs (19 tco2e/th) dan faktor emisi Pt (51 tco2e/th). Penjelasan lebih lanjut mengenai faktor emisi dekomposisi gambut tersebut dapat dilihat pada dokumen FREL Nasional (MoEF 2016). Faktor emisi (FE) kebakaran gambut ditentukan berdasarkan hasil penelitian Konecny et al. (2016) seperti disajikan pada Tabel 5. Dalam perhitungan emisi, nilai FE yang digunakan disesuaikan dengan frekuensi kejadian kebakaran di suatu areal tertentu dimana semakin sering areal tersebut terbakar (misal hingga empat kali) maka nilai FE-nya semakin kecil. Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 8

17 Periode 1 Tabel 4. Matriks transisi faktor emisi dekomposisi gambut (MoEF 2016) Penutup Periode 2 lahan 1Hp 2Hs 3Hmp 4Hms 5Hrp 6Hrs 7Ht 8B 9Pk 10Br 11Pt 12Pc 13Sw 14S 15Tb 16Rw 17Pm 18Bdr 19Tr 20T 21Tm 22Air 23Aw 1Hp Hs Hmp Hms Hrp Hrs Ht B Pk Br Pt Pc Sw S Tb Rw Pm Bdr Tr T Tm Air Aw Tabel 5. Faktor emisi kebakaran gambut berdasarkan frekuensi kebakarannya Parameter Frekuensi kebakaran Sumber kebakaran gambut 1 kali 2 kali 3 kali 4 kali pustaka Kedalaman terbakar (cm) Konecny et al. (2016) Luas areal (ha) Bobot isi (g/cm3) Konecny et al. (2016) Faktor pembakaran Konecny et al. (2016) FE CO 2 -C (g/kg) IPCC (2014) Berat bahan bakar tersedia (t dm/ha) Konecny et al. (2016) FE CO 2 -C (t C/ha) FE CO 2 -CO 2 (t CO 2 /ha) Untuk menghitung potensi serapan emisi CO2 dari areal-areal reforestasi digunakan faktor serapan emisi seperti tercantum pada Tabel 6. Areal-areal reforestasi diasumsikan berasal dari areal-areal deforestasi pada 7 tipe hutan (yang tidak memiliki cadangan karbon awal karena berupa tanah kosong), sehingga memiliki faktor serapan emisi yang sama dengan faktor emisi untuk hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, dan hutan tanaman. Tabel 6. Faktor serapan emisi untuk reforestasi Penutup lahan Cadangan karbon (ton/ha) Faktor serapan emisi BAP SRS KYM Total (ton CO 2 e/ha) Hutan lahan kering primer Hutan lahan kering sekunder Hutan mangrove primer Hutan mangrove sekunder Hutan rawa primer Hutan rawa sekunder Hutan tanaman BAP = Biomassa atas permukaan, SRS = Serasah, KYM = Kayu mati Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 9

18 2.3 Analisis Data Analisis Perubahan Penutup Lahan Untuk memperoleh data perubahan penutup lahan pada periode , dilakukan analisis spasial peta penutup lahan antar dua periode seperti terlihat pada Gambar 3 Tahap 1. Pada tahap awal, peta penutup lahan tahun 1990 (LC 90) di-overlay-kan dengan peta penutup lahan tahun 1996 (LC 96). Hasil overlay kedua peta tersebut (LC 90-96) kemudian di-overlay-kan lagi dengan peta penutup lahan tahun 2000 (LC 00) sehingga diperoleh data perubahan penutup lahan hingga tahun 2000 (LC ). Analisis spasial seperti itu terus dilakukan hingga tahun 2012, sehingga diperoleh peta perubahan penutup lahan untuk 7 periode: , , , , , , Peta perubahan penutup lahan tersebut dianalisis lebih lanjut untuk memperoleh data luas areal hutan, luas deforestasi, dan luas degradasi hutan pada setiap periode. Untuk menghitung luas areal deforestasi dan degradasi hutan dilakukan analisis spasial lebih lanjut dengan menandai (masking) areal-areal yang bukan hutan alam (non-natural forest, non-nf) pada peta penutup lahan periode berikutnya untuk membentuk Peta Hutan Alam 1990 (Natural Forest 1990, NF 1990) seperti terlihat pada Gambar 3 Tahap 2. Areal-areal deforestasi pada suatu periode dihitung berdasarkan peta NF 1990 dengan peta non-nf pada periode berikutnya. Sebagai contoh, deforestasi pada periode dihitung berdasarkan layer peta NF 1990 dan non-nf Untuk periode , deforestasi dihitung berdasarkan layer peta NF 1990 dan non-nf 1996 dan Adapun luas areal degradasi hutan diperoleh dari pertampalan (overlaying) antara layer peta hutan alam primer dengan hutan alam sekunder pada tahun yang berurutan. Gambar 3. Analisis spasial perubahan penutup lahan (Tahap 1), penentuan areal-areal deforestasi dan degradasi hutan (Tahap 2), dan perhitungan emisi deforestasi dan degradasi hutan (Tahap 3) (sumber: adaptasi dari MoEF 2016) Analisis spasial juga dilakukan untuk menentukan dan menghitung luas areal-areal dekomposisi gambut dengan cara meng-overlay-kan peta penutup lahan antar dua periode dengan peta lahan gambut seperti terlihat pada (Gambar 4). Sebagai contoh, peta penutup lahan tahun 1990 (LC 90), peta lahan gambut (Peatland), dan peta penutup lahan tahun 1996 (LC 96) di-overlay-kan satu sama lain sehingga diperoleh data perubahan penutup lahan gambut gambut pada periode (P+LC 90-96). Kemudian hasil overlay ketiga peta tersebut di-overlaykan lagi dengan peta penutup lahan pada periode berikutnya (misal LC 00) untuk memperoleh data perubahan penutup lahan gambut hingga periode tersebut (misal tahun ). Proses tersebut terus dilakukan untuk memperoleh data perubahan penutup lahan gambut hingga tahun 2012 (P+LC ). Berdasarkan peta perubahan penutup lahan gambut tersebut dianalisis Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 10

19 lebih lanjut untuk menghitung luas dekomposisi lahan gambut pada setiap periode (Gambar 4 Tahap 3). Gambar 4. Analisis spasial perubahan penutup lahan gambut (Tahap 1), penentuan areal-areal dekomposisi gambut (Tahap 2), dan perhitungan emisi dekomposisi gambut (Tahap 3) (sumber: adaptasi dari MoEF 2016) Perubahan lahan akibat kebakaran gambut dianalisis dengan menggunakan metode grid berdasarkan data hotspot (MoEF 2016). Dalam dokumen FREL ini digunakan data hotspot tahun dari Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan dan Lingkungan. Tidak semua data hotspot tahunan tersebut digunakan dalam analisis, melainkan dipilih hotspot-hotspot yang memiliki tingkat kepercayaan 80%. Kemudian data hotspot tersebut di-overlay-kan dengan peta raster dengan ukuran grid/pixel 1 x 1 km. Grid-grid tanpa data hotspot tidak diperhitungkan sebagai areal kebakaran. Namun grid-grid yang berisi minimal satu hotspot dianggap sebagai areal kebakaran dengan asumsi bahwa luas areal terbakar hanya 75% dari ukuran grid (7,500 ha). Peta areal-areal kebakaran tersebut kemudian di-overlay-kan dengan peta lahan gambut dari Kementerian Pertanian untuk memperoleh data luas kebakaran gambut pada setiap tahun. Selain deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut, dan kebaran gambut, perubahan penutup lahan di Provinsi Sumatera Selatan juga dimungkinkan karena adanya reforestasi yang berpotensi untuk meningkatkan cadangan karbon hutan. Oleh karena itu, analisis spasial juga dilakukan untuk menentukan dan menghitung luas areal-areal reforestasi pada setiap periode waktu. Hal itu dilakukan dengan meng-overlay-kan peta deforestasi pada suatu periode (misalnya Def 90 96, Gambar 3) dengan peta penutup lahan pada periode berikutnya (misalnya LC 2000). Dalam dokumen FREL ini, areal reforestasi didefinisikan sebagai areal deforestasi (kelas-kelas non-hutan) yang penutup lahannya kemudian berubah menjadi hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, atau hutan tanaman (Gambar 5). Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 11

20 Gambar 5. Konsep reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan Penghitungan Stok Hutan Stok hutan dicerminkan oleh luas hutan alam (primer dan sekunder) dan cadangan karbonnya yang masih tersisa pada periode tertentu: 1990, 1996,, Data luas hutan alam pada setiap periode tersebut diperoleh dari analisis perubahan penutup lahan (Gambar 3 Tahap 1). Sesuai dengan batasan areal REDD+, total luas hutan pada suatu periode (Lt, ha) merupakan penjumlahan luas dari keenam tipe hutan alam (Li, ha), yaitu: hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, hutan rawa primer, dan hutan rawa sekunder: L t n L (1) i 1 i Total cadangan karbon hutan pada suatu periode (Ct, ton) dihitung berdasarkan luas (Li, ha) dan nilai cadangan karbon (Ci, ton/ha) pada keenam tipe hutan tersebut (Tabel 3): n C L C (2) t i i i Penghitungan Emisi Emisi deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut, dan kebakaran gambut pada suatu periode (Et, ton CO2e) dihitung berdasarkan perkalian antara luas areal (A, ha) dan faktor emisi/serapan (EF, ton CO2e/ha; Tabel 3 6): Et A. EF (3) Nilai emisi dinyatakan dalam bentuk nilai rata-rata tahunan agar lebih mudah membandingkannya, yang kemudian diperinci menurut jenis tanah (gambut dan mineral), tipe penutup lahan, wilayah kabupaten/kota, dan wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Penyusunan FREL Tingkat acuan emisi hutan (FREL) disusun berdasarkan nilai-nilai emisi tahunan historis ( ). Berdasarkan cakupan emisinya, dalam dokumen ini FREL dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) FREL untuk deforestasi, degradasi hutan, dan dekomposisi gambut (selanjutnya disebut FREL 3D) dan 2) FREL untuk deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut, kebakaran gambut, dan reforestasi (selanjutnya disebut FREL 3D+KR). Penyajian tingkat emisi acuan hutan dalam bentuk FREL 3D sesuai dengan cakupan FREL Nasional yang hanya meliputi emisi deforestasi, degradasi hutan, dan dekomposisi gambut. Adapun FREL 3D+KR dimaksudkan untuk memberikan informasi yang lebih komprehensif tentang potensi emisi di Provinsi Sumatera Selatan, yang juga mencakup kebakaran gambut dan reforestasi yang belum diperhitungkan dalam FREL Nasional. Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 12

21 3 KONDISI HUTAN 3.1 Luas Hutan dan Penutupan Lahan Provinsi Sumatera Selatan secara keseluruhan memiliki luas 87, km 2 atau 8,742,117 ha (BPS-Sumsel 2016). Luas Provinsi Sumatera Selatan kira-kira 18.5% dari luas Pulau Sumatera (473,481 km 2 ) atau 4,55 % dari luas daratan Indonesia (1,922,570 km 2 ). Berdasarkan penutup lahan utamanya, Provinsi Sumatera Selatan dapat dibedakan atas lahan berpenutupan hutan dan lahan tidak berhutan. Berdasarkan kondisi penutupan hutannya, hutan di Provinsi Sumatera Selatan dapat dibedakan lagi atas hutan alam dan hutan tanaman. Luas tutupan hutan alami Provinsi Sumatera Selatan selama 25 tahun terakhir telah jauh berkurang (Gambar 6). Tutupan hutan alam pada tahun 1990 mencapai 2.14 juta hektar atau masih 25 % dari luas provinsinya, akan tetapi tutupan hutan pada tahun 2015 hanya tersisa seluas 0.84 juta ha atau tinggal 10% dari luas provinsinya. Jika dilihat periode waktu terjadi pengurangan luas hutannya, pengurangan hutan yang sangat tinggi terjadi pada periode dimana selama 5 tahun tersebut Provinsi Sumatera Selatan kehilangan hutan hingga 0.90 juta ha. Pada periode tersebut, khususnya tahun 1997, juga terjadi masa kemarau yang panjang sebagai dampak cuaca ekstrim El-Nino yang menyebabkan kebakaran hutan yang sangat masif di Sumatera Selatan. Gambar 6. Luas hutan menurut tipe ekosistemnya di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Sebagian besar tutupan hutan alam yang tersisa di Provinsi Sumatera Selatan berada di lahan mineral 796,140 ha (atau 90% dari luas total) sedangkan di lahan gambut hanya tersisa 86,788 ha (atau 10% dari luas total). Sedangkan berdasarkan tipe ekosistemnya, sisa hutan alam tersebut terdiri atas hutan lahan kering sekunder 38%, hutan lahan kering primer 34%, hutan mangrove sekunder 10%, hutan mangrove primer 9% dan hutan rawa sekunder 8%. Hutan primer yang masih tersisa dalam hamparan yang kompak berada di kawasan TN Kerinci Seblat, sedangkan hutan mangrove yang cukup sebagian besar luas berada di TN Sembilang. Sebagian besar tutupan hutan berada di kawasan hutan negara 778,684 ha (93%), dan dalam jumlah yang sedikit (7%) di luar kawasan hutan negara (Areal Penggunaan Lain). Berdasarkan fungsi hutannya (Gambar 7), sebagian besar tutupan hutan terkonsentrasi di fungsi hutan konservasi 394,728 ha (47%), hutan lindung 257,170 ha (31%), dan hutan produksi 126,886 ha (16%). Tutupan hutan alami yang luas dan kompak di hutan konservasi terutama di wilayah TN Kerinci Seblat dan TN Sembilang. Berdasarkan pembagian wilayah administrasi kabupaten/kota (Gambar 8), tutupan hutan alam paling luas berada di Kabupaten Banyuasin ha (22%), Kabupaten Musi Rawas Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 13

22 Utara ha (21%), dan Kabupaten Musi Banyuasin ha (11%). Sedangkan kabupaten/kota dengan luas hutan paling kecil adalah Palembang hanya 36 ha (0.004%). Namun jika dibandingkan dengan luas wilayah kabupaten/kotanya, kabupaten yang persentase tutupan hutannya masih tinggi adalah Musi Rawas Utara. Berdasarkan pembagian wilayah pengelolaan hutan kedalam Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH; Gambar 9), sebaran tutupan hutan alam yang masih luas berada di wilayah Non KPH/wilayah Hutan Konservasi (Taman Nasional, Suaka Alam) 454,689 ha (54%), KPHP Meranti 67,258 ha (8%), KPHL Ogan Ulu 47,031 ha (6%), KPHL Banyuasin 39,407 ha (5%). KPH yang paling sedikit tutupan hutan alamnya adalah KPHP Subanjeriji (0,01%), KPHP Saka, KPHP S. Batang Riding, dan KPHP Martapura tetapi memiliki tutupan hutan tanaman yang cukup luas. Dengan demikian tutupan hutan alam yang cukup luas berada di wilayah pengelolaan Hutan Konservasi dan Hutan Lindung, dan sedikit di Hutan Produksi. Gambar 7. Sebaran sisa hutan alam pada tahun 2015 menurut fungsi kawasan hutan Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 14

23 Gambar 8. Sebaran sisa hutan alam pada tahun 2015 menurut wilayah kabupaten/kota Gambar 9. Sebaran sisa hutan alam pada tahun 2015 menurut wilayah KPH Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 15

24 3.2 Cadangan Karbon Cadangan karbon hutan yang diperhitungkan dalam FREL Sumatera Selatan ini hanya mencakup biomassa atas permukaan tanah (BAP), serasah (SRS), dan kayu mati (KM) karena ketiga carbon pools secara langsung dipengaruhi oleh perubahan lahan (khususnya deforestasi, degradasi hutan, dan kebakaran hutan/lahan). Pada tahun 2015, total cadangan karbon hutan Provinsi Sumatera Selatan sebesar juta ton C (Gambar 10) atau 42% dari total cadangan karbon pada tahun 1990 ( juta ton C). Total cadangan karbon hutan pada tahun 2015 tersebut terdapat pada tanah mineral (78%), tanah mangrove (16%), dan tanah gambut (6%). Cadangan karbon pada tanah gambut relatif rendah karena hanya mencakup BAP, SRS, dan KM. Padahal, cadangan karbon terbesar pada hutan rawa gambut di Provinsi Sumatera Selatan terdapat pada tanah gambut (Tiryana et al. 2016), yang tidak diperhitungkan dalam dokumen FREL ini. Gambar 10. Cadangan karbon pada biomassa atas permukaan tanah (BAP), kayu mati (KYM), serasah (SRS), biomassa bawah permukaan tanah (BBP), dan tanah (TNH) di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Berdasarkan kepada tipe ekosistem hutannya (Gambar 11), total cadangan karbon hutan terbesar berada di ekosistem hutan lahan kering primer (17 39%), diiukuti oleh hutan lahan kering sekunder (35 38%), hutan mangrove primer (6 11%), hutan mangrove sekunder (2 6%), hutan rawa primer (0 3%), dan hutan rawa sekunder (6 35%). Cadangan karbon hutan mangrove dan rawa gambut yang relatif rendah tersebut disebabkan karena tidak memperhitungkan cadangan karbon tanah yang merupakan pool karbon terbesar pada ekosistem hutan mangrove dan hutan rawa gambut (Tiryana et al. 2016). Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 16

25 Gambar 11. Cadangan karbon pada biomassa atas permukaan tanah (BAP), kayu mati (KYM), serasah (SRS), biomassa bawah permukaan tanah (BBP), dan tanah (TNH) pada berbagai tipe hutan di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 17

26 4 PERUBAHAN TUTUPAN HUTAN 4.1 Deforestasi Total luas deforestasi Sumatera Selatan selama 25 tahun terakhir ( ) mencapai luas 1,336,595 hektar, atau rata-rata mencapai 53,464 hektar per tahun. Pada periode tersebut, deforestasi hutan alam yang sangat luar biasa terjadi pada kurun waktu dengan luas mencapai 0.95 juta hektar atau sekitar 236 ribu hektar per tahun (Gambar 12). Deforestasi yang terjadi pada periode tersebut sudah mencakup 70% dari total deforestasi Provinsi Sumatera Selatan. Deforestasi yang sangat tinggi pada periode ini dipicu oleh kejadian kebakaran hutan yang sangat masif pada tahun 1997 bersamaan dengan gejala cuaca ekstrim el Nino yang menyebabkan masa kemarau yang panjang di wilayah Sumatera dan wilayah Indonesia lainnya. Selain periode tersebut, laju rata-rata deforestasi Sumatera Selatan relatif kecil yaitu hanya ribu hektar per tahun (Gambar 12). Berdasarkan kondisi lahannya, rata rata deforestasi di tanah gambut mencapai luas 26,281 hektar per tahun (49%) sedangkan di tanah mineral mencapai 27,183 hektar per tahun (51%). Deforestasi di gambut yang sangat tinggi juga terjadi pada periode Gambar 12. Luas deforestasi tahunan di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Deforestasi yang terjadi di Sumatera Selatan selama periode sebagian besar terjadi di dalam kawasan hutan negara mencapai 1.05 juta hektar (atau 79 % dari luas keseluruhan, sedangkan deforestasi yang terjadi di luar kawasan hutan (Areal Penggunaan Lain, APL) hanya sebesar 0.28 juta hektar atau 21%. Menurut fungsi hutan, deforestasi di kawasan hutan sebagian besar terjadi di fungsi hutan produksi (82%) sedangkan dalam jumlah lebih kecil di hutan konservasi (10%) dan hutan lindung (8%) (Gambar 13, Gambar 14, dan Lampiran 1). Deforestasi yang tinggi di hutan produksi disebabkan adanya pembangunan hutan tanaman industri yang cukup luas di Sumatera Selatan. Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 18

27 Gambar 13. Total luas deforestasi menurut fungsi kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 14. Sebaran spasial deforestasi pada tiap fungsi kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Berdasarkan wilayah administrasi kabupaten/kota (Gambar 15, Gambar 16, dan Lampiran 2), tiga kabupaten dengan total deforestasi yang tinggi adalah Kabupaten Musi Banyuasin (19,611 ha per tahun), Kabupaten Ogan Komering Ilir (16,562 ha per tahun), dan Kabupaten Banyuasin (7,276 ha per tahun). Ketiga kabupaten tersebut menyumbang 81% dari total deforestasi Provinsi Sumatera Selatan. Deforestasi yang terjadi di tiga kabupaten di atas sebagian besar terjadi di lahan gambut (59%) dan sisanya di lahan mineral (51%). Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 19

28 Gambar 15. Total luas deforestasi pada tiap kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 16. Sebaran spasial deforestasi pada tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Menurut wilayah pengelolaan hutan (Gambar 17, Gambar 18, dan Lampiran 3), deforestasi rata-rata terbesar terjadi wilayah KPHP S. Lumpur (19%), KPHP Lalan Mendis (16%), KPHP Meranti (8%), dan KPHP Benakat Semangus (6%). Keempat KPH untuk tujuan produksi tersebut menyumbang 50% dari total 65% luas deforestasi pada 13 KPHP (total deforestasi 862,771 ha). Adapun deforestasi di KPHL (untuk tujuan lindung) relatif kecil, yaitu hanya 4% (total deforestasi 57,701 ha), sedangkan sebagian besar deforestasi lainnya terjadi di wilayah APL. Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 20

29 Gambar 17. Total luas deforestasi pada Areal Penggunaan Lain (APL) dan wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 18. Sebaran spasial deforestasi pada tiap wilayah KPH di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 21

30 4.2 Degradasi Hutan Hutan alam yang tersisa di Provinsi Sumatera Selatan sampai tahun 2015 dengan kondisi primer (relatif belum terganggu) seluas 362,191 ha (43% dari luas hutan alamnya), sementara pada tahun 1990 masih memiliki luas 452,976. ha (21.% dari luas hutan alamnya). Selama periode 25 tahun terakhir ( ), degradasi hutan dari hutan primer menjadi hutan sekunder mencapai luas 74,213 ha atau rata-rata 2,968 ha per tahun. Degradasi hutan alam ini berlangsung tanpa pola yang jelas bahkan pada periode terjadi degradasi hutan yang tertinggi sejak 25 tahun mencapai lebih 16.5 ribu hektar (Gambar 19). Jika dilihat sisa luas hutan alam tahun 1990 dan tahun 2015 yang relatif hanya berkurang sedikit, maka dapat diperkirakan degradasi hutan alam primer telah terjadi jauh sebelum tahun 1990 yaitu pada saat pemanfaatan hutan alam melalui ijin konsesi HPH masif dilakukan di Provinsi Sumatera Selatan. Gambar 19. Luas degradasi hutan tahunan di Provinsi Sumatera Selatan pada periode Degradasi hutan umumnya terjadi di tanah mineral 66,230 ha (89%) dan sebagian kecil di tanah gambut 7,983 ha (11%) (Gambar 20 dan Lampiran 1). Sedangkan berdasarkan wilayah hutannya, sebagian besar degradasi hutan terjadi di dalam kawasan hutan 66,507 ha (90%) dan selebihnya di luar kawasan hutan (Areal Penggunaan Lain (10%). Berdasarkan fungsi hutannya, degradasi hutan terjadi di Hutan Lindung (74%), Hutan Konservasi (19%) dan Hutan Produksi (6%). Degradasi hutan menurut wilayah kabupaten/kota sebagian besar terpusat di Kabupaten Banyuasin 53,391 ha (72%), dan dalam persentase yang lebih kecil di Kabupaten Musi Banyuasin (10%) dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (6%) (Gambar 21 dan Lampiran 2). Berdasarkan wilayah pengelolaan hutan, degradasi hutan terbesar terjadi di KPHL Banyuasin dengan luas mencapai 39,647 ha (53%), sedangkan di KPH lain relatif kecil (<5%). Degradasi di wilayah yang belum ada kesatuan pengelolaan hutannya dan di APL mencapai 27% (Gambar 22 dan Lampiran 3). Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 22

31 Gambar 20. Total luas deforestasi hutan menurut fungsi kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 21. Total luas degradasi hutan pada tiap kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 22. Total luas degradasi hutan pada Areal Penggunaan Lain (APL) dan wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 23

32 4.3 Dekomposisi Gambut Provinsi Sumatera Selatan memiliki lahan gambut seluas 1,262,385 hektar, atau sekitar 13.7% dari luas wilayah provinsinya. Luas lahan gambut pada wilayah yang dinyatakan masih memiliki tutupan hutan alam pada tahun 1990 adalah 697,578 hektar (55% dari luas total gambut) atau sekitar 33% dari luas total tutupan hutan alamnya. Wilayah lahan gambut ini adalah wilayah gambut yang diperhitungan dalam perhitungan emisi gambut yang dicakup dalam FREL Sumatera Selatan. Selama periode , luas hutan alam pada lahan gambut yang telah terdegradasi (menjadi areal non hutan alam) mencapai luas 654,483 ha atau telah berkurang 94% dari sisa hutan alam di gambut pada tahun 1990 (Gambar 23). Sampai dengan tahun 2015, hutan alam yang tersisa di lahan gambut hanya seluas 43,095 ha (6% dari luas gambut berhutan alam tahun 1990). Hutan gambut yang telah terdegradasi (termasuk hutan primer yang telah menjadi hutan sekunder) akan menghasilkan emisi karbon yang dihasilkan dari proses dekomposisi gambut karena menurunnya tinggi muka air gambut. Gambar 23. Luas hutan alam primer di lahan gambut yang mengalami dekomposisi menjadi hutan sekunder dan penutup lahan lainnya di Provinsi Sumatera Selatan dalam periode Menurut wilayah administrasi kabupaten (Lampiran 4), degradasi lahan gambut yang terluas terjadi di wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir (47% dari total), diikuti Kabupaten Musi Banyuasin (33%) dan Kabupaten Banyuasin (18%). Berdasarkan wilayah pengelolaan hutan, ada 5 KPH yang wilayah kerjanya termasuk lahan gambut (Lampiran 5). Degradasi lahan gambut tertinggi terjadi di wilayah KPHP Sungai Lumpur (29%), diikuti KPHP Lalan Mendis (21%) dan KPHP Sungai Batang Riding (12%). Gambut terdegradasi di wilayah yang belum ada pengelolaan hutannya mencakup areal seluas 221 ribu hektar (32% dari luas total gambut terdegradasi), wilayahnya mencakup hutan konservasi, sebagian hutan produksi dan Areal Penggunaan Lain. Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 24

33 4.4 Kebakaran Gambut Luas kebakaran di lahan gambut Provinsi Sumsel diprediksi dari jumlah titik panas (hotspot) yang dihasilkan dari satelit MODIS. Jumlah titik panas dalam setahun dari tahun (15 tahun) digunakan untuk membangkitkan sebaran luas kebakaran setiap tahun. Luas rata-rata kebakaran gambut selama periode tersebut adalah 44,383 ha/tahun, dengan luas yang bervariasi, terkecil 153 ha di tahun 2001 dan terluas 217 ribu ha pada tahun 2015 (Gambar 24). Perkiraan kebakaran gambut yang cukup luas tahun 2006 dan 2015 mewakili kejadian kebakaran saat cuaca ekstrim gejala El Nino. Kejadian kebakaran selama periode tersebut beberapa terjadi pada areal yang sebelumnya juga pernah terbakar. Gambar 24. Luas kebakaran gambut di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun Menurut wilayah administrasi kabupaten/kota (Gambar 25 dan Lampiran 6), sebagian besar kebakaran gambur terjadi di wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir (72%), dan selebihnya dalam luas yang jauh lebih kecil terjadi di Kabupaten Banyuasin (16%) dan Musi Banyuasin (6%). Kejadian kebakaran yang luas di Kabupaten OKI disebabkan kabupaten ini adalah kabupaten yang paling luas wilayah gambutnya. Menurut kesatuan pengelolaan hutannya (Gambar 26 dan Lampiran 7), kejadian kebakaran gambut sebagian besar terjadi di wilayah APL (areal penggunaan lain) dan sebagian kawasan hutan yang tidak ada pengelolaannya (36%), diikuti dengan KPHP S. Lumpur (31%), KPHP S. Batang Riding (18%) dan KPHP Lalan Mendis (10%). Dengan demikian kejadian kebakaran gambut sebagian besar juga terjadi di wilayah KPHP. Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 25

34 Gambar 25. Luas kebakaran gambut pada tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun Gambar 26. Luas kebakaran gambut pada wilayah KPH dan non-kph (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun Reforestasi Sejauh ini pembahasan yang terkait dengan data aktivitas di Provinsi Sumatera Selatan lebih banyak menekankan pada aktivitas berbasis lahan yang potensial menghasilkan emisi (kotor) GRK yang bersumber dari deforestasi, degradasi hutan, degradasi lahan gambut, dan kebakaran gambut. Belum disinggung data aktivitas dari hutan yang telah terdeforestasi apakah digantikan dengan bentuk tutupan vegetasi hutan kembali (reforestasi) yang dapat meningkatkan cadangan karbon hutan dan berfungsi sebagai penyerap (emisi) karbon (carbon sequestration). Peningkatan cadangan karbon yang diperhitungkan pada bagian ini adalah peningkatan cadangan karbon hutan dari kondisi penutup lahan bukan hutan (non hutan alam) meningkat cadangan karbonnya menjadi penutup lahan yang masuk kategori hutan (alam) sekunder dan hutan tanaman. Selama periode , luas lahan reforestasi yang sebelumnya telah Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 26

35 terdeforestasi adalah seluas 419,688 ha, atau rata-rata 16,788 per tahun. Luas reforestasi tersebut hanya sebesar 31% jika dibandingkan dengan luas hutan alam yang sebelumnya terdeforestasi. Peningkatan cadangan karbon melalui reforestasi bersumber dari pembangunan hutan tanaman 369,628 ha (88%) dan areal non hutan yang menjadi hutan sekunder 50,060 ha (12%) (Gambar 27). Gambar 27. Luas reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Reforestasi dalam bentuk hutan tanaman paling luas berada di wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir (68%) dan dalam luasan yang lebih kecil berada di Kabupaten Musi Banyuasin (21%) dan Banyuasin (9%) (Gambar 28 dan Lampiran 8). Gambar 28. Luas reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan pada tiap kabupaten/ kota di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Menurut wilayah pengelolaan hutannya, reforestasi terluas berada di KPHP S. Lumpur (38%), KPHP S. Batang Riding (17%), Areal Non KPH (19%), KPHP Lalan Mendis (9%), KPHP Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 27

36 Meranti (7%), dan KPH lain dalam luas yang lebih kecil (Gambar 29 dan Lampiran 9). Reforestasi tersebut sebagian besar adalah hutan tanaman jenis daur pendek (terutama akasia dan ekaliptus) pada areal ijin konsesi hutan tanaman. Gambar 29. Luas reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan pada tiap wilayah KPH dan non-kph (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 28

37 5 TINGKAT EMISI ACUAN HUTAN 5.1 Emisi Deforestasi Emisi tahunan deforestasi di Provinsi Sumatera Selatan selama periode umumnya relatif rendah (<12 Mt CO2e/th), kecuali pada tahun yang mencapai Mt CO2e/th (Gambar 30). Tingginya emisi deforestasi pada periode tersebut disebabkan karena laju deforestasi yang tinggi (236 ribu hektar per tahun) pada periode tersebut. Sebagian besar (57%) emisi deforestasi terjadi pada lahan mineral (rata-rata Mt CO2e/th), sedangkan sisanya (43%) terjadi pada lahan gambut (rata-rata 9.76 Mt CO2e/th). Secara keseluruhan, rata-rata emisi deforestasi pada periode sebesar Mt CO2e/th. Gambar 30. Emisi historis tahunan ( ) dari deforestasi di Provinsi Sumatera Selatan (dalam satuan Mt CO2e/th = Juta ton CO2e/th) Sebagian besar emisi (59%) dari deforestasi di Provinsi Sumatera Selatan terjadi di kawasan Hutan Produksi Tetap (HP, Gambar 31). Emisi deforestasi pada kawasan HP tersebut hampir tiga kali lebih besar dibanding emisi deforestasi pada Areal Penggunaan Lain (APL, 22%). Hal ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 22 tahun ( ) sebagian besar kawasan HP telah beralih fungsi menjadi areal-areal non-hutan. Emisi deforestasi di Provinsi Sumatera Selatan sebagian besar (78%) terjadi di tiga kabupaten, yaitu: Musi Banyuasin (37%), Ogan Komering Ilir (30%), dan Banyuasin (12%) (Gambar 32 dan Lampiran 10). Hal ini disebabkan karena laju deforestasi di ketiga kabupaten tersebut lebih tinggi dibanding 14 kabupaten lainnya. Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 29

38 Gambar 31. Emisi tahunan deforestasi pada tiap fungsi kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Gambar 32. Emisi tahunan deforestasi pada tiap kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Berdasarkan wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), emisi deforestasi yang relatif lebih besar (>1.5 MtCO2e/th) terjadi di KPHP S. Lumpur, KPHP Lalan Mendis, KPHP Meranti, dan KPHP Benakat Semangus (Gambar 33 dan Lampiran 11). Emisi deforestasi di KPHP S. Lumpur dan KPHP Lalan Mendis sebagian besar terjadi di lahan gambut, sedangkan emisi deforestasi di KPHP Meranti dan KPHP Benakat Semangus terjadi di lahan mineral. Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 30

39 Gambar 33. Emisi tahunan deforestasi pada wilayah KPH dan non-kph (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Emisi Degradasi Hutan Berbeda dengan emisi deforestasi, emisi degradasi hutan di Provinsi Sumatera Selatan sebagian besar terjadi pada periode (rata-rata 2.27 MtCO2e/th) dan periode (rata-rata 1.91 MtCO2e/th; Gambar 34). Hal ini menunjukkan bahwa pada dua periode tersebut banyak terjadi perubahan hutan alam primer menjadi hutan sekunder dibanding periode-periode lainnya. Pada periode dan sebelumnya sebagian besar emisi degradasi hutan terjadi pada lahan mineral, sedangkan pada periode sebagian besar emisi degradasi hutan terjadi pada lahan gambut. Secara umum, rata-rata emisi tahunan degradasi hutan di Provinsi Sumatera Selatan selama 22 tahun ( ) adalah 0.72 MtCO2e/th. Gambar 34. Emisi historis tahunan ( ) dari degradasi hutan di Provinsi Sumatera Selatan (dalam satuan Mt CO2e/th = Juta ton CO2e/th) Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 31

40 Sebagian besar emisi (51%) dari degradasi hutan terjadi pada kawasan Hutan Lindung (HL, Gambar 35) dan pada APL (25%). Pada kawasan HL, emisi terjadi karena penurunan cadangan karbon hutan alam primer menjadi hutan sekunder pada lahan mineral/kering. Pada APL, sebagian besar emisi terjadi karena adanya degradasi hutan alam primer menjadi hutan sekunder pada lahan gambut. Gambar 35. Emisi tahunan degradasi hutan pada tiap fungsi kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Dibanding kabupaten lainnya, Kabupaten Banyuasin, Musi Banyuasin, dan Ogan Komering Ilir memiliki emisi degradasi hutan lebih besar (Gambar 36 dan Lampiran 10). Bahkan 99% dari emisi degradasi hutan di Provinsi Sumatera Selatan terjadi di ketiga kabupaten tersebut. Emisi degradasi hutan pada lahan mineral terjadi di Kabupaten Banyuasin, Musi Banyuasin, dan Ogan Komering Ilir, sedangkan emisi degradasi hutan pada lahan gambut terjadi di Kabupaten Banyuasin dan Musi Banyuasin. Gambar 36. Emisi tahunan degradasi hutan pada tiap kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 32

41 Wilayah kesatuan pengelolaan hutan yang memiliki emisi degradasi hutan cukup besar adalah KPHL Banyuasin, KPHP Lalan Mendis, dan KPHP S. Lumpur (Gambar 37 dan Lampiran 11). Emisi degradasi hutan yang tinggi di KPHL Banyuasin menunjukkan bahwa hutan-hutan alam primer pada areal-hutan lindung telah banyak berubah menjadi hutan-hutan sekunder. Gambar 37. Emisi tahunan degradasi hutan pada wilayah KPH dan non-kph (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Emisi Dekomposisi Gambut Selain deforestasi dan degradasi hutan, lahan gambut mengalami proses dekomposisi yang menyebabkan terjadinya penambahan emisi CO2 dari waktu ke waktu. Emisi tahunan dari dekomposisi lahan gambut meningkat dua kali lipat dalam waktu 22 tahun, yaitu dari Mt CO2e/th pada periode menjadi Mt CO2e/th pada periode (Gambar 38). Peningkatan emisi tahunan tersebut dapat disebabkan karena semakin meluasnya lahan gambut yang mengering yang secara terus-menerus melepaskan emisi. Selama periode tersebut, rata-rata emisi tahunan dari dekomposisi gambut mencapai Mt CO2e/th. Gambar 38. Emisi historis tahunan ( ) dari dekomposisi gambut di Provinsi Sumatera Selatan (dalam satuan Mt CO2e/th = Juta ton CO2e/th) Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 33

42 Emisi dekomposisi gambut sebagian besar (60%) berasal dari kawasan Hutan Produksi Tetap (HP, Gambar 39). Adapun Areal Penggunaan Lain (APL) dan Hutan Konservasi (HK) menyumbang emisi dekomposisi gambut berturut-turut sebesar 20% dan 10% dari total emisi. Tingginya emisi dekomposisi gambut pada kawasan HP dimungkinkan karena kawasan hutan tersebut memiliki lahan gambut yang lebih luas dibanding kawasan hutan lainnya, yang kemudian mengalami deforestasi paling tinggi dalam periode Gambar 39. Emisi tahunan dekomposisi gambut pada tiap fungsi kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Hampir seluruh (99%) emisi dekomposisi gambut berasal dari tiga kabupaten, yaitu Ogan Komilir Ilir (OKI, 50%), Musi Banyuasin (MB, 30%), dan Banyuasin (BA, 18%; Gambar 40 dan Lampiran 10). Hal ini dimungkinkan karena ketiga kabupaten tersebut memiliki lahan gambut yang relatif lebih luas dibanding 14 kabupaten/kota lainnya. Ketiga kabupaten tersebut mengalami deforestasi yang lebih besar dibanding kabupaten-kabupaten lainnya, sehingga emisi dekomposisi gambut meningkat dari waktu ke waktu. Gambar 40. Emisi tahunan dekomposisi gambut pada tiap kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 34

43 Sebagian besar (68%) emisi dekomposisi gambut juga berasal dari tiga wilayah KPH, yaitu KPHP S. Lumpur (SL, 32%), KPHP Lalan Mendis (LM, 18%), dan KPHP S. Batang Riding (BR, 13%; Gambar 41 dan Lampiran 11). Ketiga wilayah KPH tersebut memiliki lahan gambut yang relatif lebih luas dibanding KPH-KPH lainnya, tetapi juga mengalami deforestasi paling tinggi yang menyebabkan peningkatan dekomposisi lahan-lahan gambut. Gambar 41. Emisi tahunan dekomposisi gambut pada wilayah KPH dan non-kph (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Emisi Kebakaran Gambut Kebakaran hutan dan lahan, khususnya pada lahan gambut, seringkali terjadi di Provinsi Sumatera Selatan sehingga menyebabkan peningkatan emisi CO2. Berdasarkan data kejadian kebakaran yang tersedia, emisi kebakaran gambut terbesar (41.83 Mt CO2e) terjadi pada tahun 2006 dan terendah (0.05 Mt CO2e) pada tahun 2001 (Gambar 4.2). Emisi tahunan kebakaran gambut berdasarkan 12 tahun kejadian ( ) mencapai 9.40 Mt CO2e/th. Gambar 42. Emisi historis tahunan ( ) dari kebakaran lahan gambut di Provinsi Sumatera Selatan (dalam satuan Mt CO2e/th = Juta ton CO2e/th) Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 35

44 Emisi kebakaran gambut sebagian besar (93%) berasal dari tiga kabupaten, yaitu Ogan Komering Ilir (OKI, 72%), Musi Banyuasin (MB, 14%), dan Banyuasin (BA, 7%; Gambar 4.3 dan Lampiran 12). Kabupaten-kabupaten tersebut memiliki lahan gambut yang relatif luas, sehingga lebih berpotensi mengalami kejadian kebakaran gambut dibanding kabupaten/kota lainnya. Gambar 43. Emisi tahunan kebakaran lahan gambut pada tiap kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Pada wilayah KPH, 54% dari total emisi kebakaran gambut berasal dari wilayah KPHP S. Lumpur (32%), KPHP S. Batang Riding (16%), dan KPHP Lalan Mendis (6%, Gambar 44 dan Lampiran 13). Ketiga wilayah KPH tersebut memiliki lahan gambut yang relatif lebih luas sehingga lebih berpotensi mengalami kebakaran dibanding wilayah KPH lainnya. Namun demikian, emisi kebakaran gambut yang cukup besar (42%) juga berasal dari areal-areal non- KPH dan APL. Gambar 44. Emisi tahunan kebakaran lahan gambut pada wilayah KPH dan non-kph (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Serapan Emisi dari Reforestasi Berbeda dengan kejadian-kejadian deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut, dan kebakaran gambut yang menyebabkan terjadinya emisi CO2, kegiatan reforestasi berpotensi untuk menyerap emisi CO2 (emission removal). Pada periode , , dan , reforestasi umumnya dilakukan pada lahan mineral yang mampu menyerap emisi sebesar Mt CO2e/th (Gambar 45). Kegiatan reforestasi paling banyak dilakukan pada periode dan , yang sebagian besar dilakukan pada lahan gambut, telah mampu Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 36

45 menyerap emisi sebesar Mt CO2e/th. Secara umum, rata-rata serapan emisi dari reforestasi pada periode adalah 3.60 Mt CO2e/th. Gambar 45. Serapan emisi historis tahunan ( ) dari reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan di Provinsi Sumatera Selatan (dalam satuan Mt CO2e/th = Juta ton CO2e/th) Kegiatan reforestasi banyak terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) yang mampu meningkatkan serapan emisi sebesar Mt CO2e/th (Gambar 46 dan Lampiran 14). Kegiatan-kegiatan reforestasi di kabupaten OKI tersebut umumnya dilakukan pada lahan gambut berupa pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang mencapai 272,379.6 ha. Reforestasi pada lahan mineral, khususnya melalui pembangunan HTI, umumnya dilakukan di Kabupaten Musi Banyuasin dan Banyuasin yang berturut-turut mampu meningkatkan penyerapan emisi sebesar dan Mt CO2e/th. Gambar 46. Serapan emisi tahunan dari reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan pada tiap kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan selama periode Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 37

46 Berdasarkan wilayah pengelolaan hutan, peningkatan serapan emisi melalui reforestasi sebagian besar (61%) terjadi di KPHP S. Lumpur (38%), KPHP Batang Riding (19%), dan KPHP Meranti (4%, Gambar 47 dan Lampiran 15). Kegiatan reforestasi di KPHP S. Lumpur dan KPHP Batang Riding mampu meningkatkan serapan emisi masing-masing sebesar Mt CO2e/th dan Mt CO2e/th, yang umumnya terjadi di lahan-lahan gambut. Adapun reforestasi di KPHP Meranti, yang dilakukan di lahan-lahan mineral, mampu meningkatkan serapan emisi sebesar Mt CO2e/th. Gambar 47. Serapan emisi tahunan dari reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan pada tiap wilayah KPH dan non-kph (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan selama periode FREL Provinsi Sumatera Selatan Secara umum emisi tahunan historis selama 22 tahun ( ) dari deforestasi, degradasi hutan, dan dekomposisi gambut meningkat dari suatu periode ke periode berikutnya dengan lonjakan emisi deforestasi terjadi pada periode (Gambar 48). Berdasarkan emisi tahunan historis dari deforestasi, degradasi hutan, dan dekomposisi gambut tersebut dapat ditetapkan bahwa tingkat emisi hutan acuan dari ketiga sumber emisi tersebut (FREL 3D) di Provinsi Sumatera Selatan adalah 41.1 Mt CO2e/th (Tabel 7). Sebagian besar emisi (54%) dalam FREL 3D berasal dari deforestasi (22.5 Mt CO2e/th), sedangkan sisanya berasal dari dekomposisi gambut (44%, 17.9 Mt CO2e/th) dan degradasi hutan (2%, 0.7 Mt CO2e/th). FREL dari deforestasi, degradasi hutan, dan dekomposisi gambut (FREL 3D) tersebut diproyeksikan tetap hingga tahun Proyeksi FREL 3D sebesar 41.1 MtCO2e/th tidak jauh berbeda dari rata-rata emisi aktual deforestasi, degradasi hutan, dan dekomposisi gambut pada periode sebesar 49.6 MtCO2e/th (Gambar 48). Hal ini menunjukkan bahwa FREL 3D tersebut dapat menjadi acuan bagi upaya-upaya pengurangan emisi deforestasi, degradasi hutan, dan dekomposisi gambut di Provinsi Sumatera Selatan. Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 38

47 Gambar 48. Emisi tahunan historis ( ), rata-rata emisi tahunan ( ), proyeksi emisi ( ), dan emisi aktual ( ) dari deforestasi, degradasi hutan, dan dekomposisi gambut di Provinsi Sumatera Selatan Tabel 7. Emisi tahunan historis ( ) dan proyeksinya ( ) dari deforestasi, degradasi hutan, dan dekomposisi gambut di Provinsi Sumatera Selatan Tahun Deforestasi (tco 2 e) Degradasi hutan (tco 2 e) Dekomposisi gambut (tco 2 e) Total emisi tahunan (tco 2 e) ,596, ,048 12,888,152 16,889, ,596, ,048 12,888,152 16,889, ,596, ,048 12,888,152 16,889, ,596, ,048 12,888,152 16,889, ,596, ,048 12,888,152 16,889, ,596, ,048 12,888,152 16,889, ,853, ,911 13,233, ,496, ,853, ,911 13,233, ,496, ,853, ,911 13,233, ,496, ,853, ,911 13,233, ,496, ,533, ,819,436 20,353, ,533, ,819,436 20,353, ,533, ,819,436 20,353, ,613,140 37,589 16,170,194 21,820, ,613,140 37,589 16,170,194 21,820, ,613,140 37,589 16,170,194 21,820, ,224,466 2,272,187 18,805,886 32,302, ,224,466 2,272,187 18,805,886 32,302, ,224,466 2,272,187 18,805,886 32,302, ,383,475 1,910,571 23,135,809 36,429, ,383,475 1,910,571 23,135,809 36,429, ,219,408-27,119,476 38,338, ,489, ,387 17,881,782 41,090, ,489, ,387 17,881,782 41,090, ,489, ,387 17,881,782 41,090, ,489, ,387 17,881,782 41,090, ,489, ,387 17,881,782 41,090, ,489, ,387 17,881,782 41,090, ,489, ,387 17,881,782 41,090, ,489, ,387 17,881,782 41,090,265 Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 39

48 Namun apabila emisi dari kebakaran gambut dan potensi serapan emisi dari reforestasi diperhitungkan dalam FREL (Tabel 8), maka tingkat emisi acuannya (FREL 3D+KR) meningkat menjadi 50.5 MtCO2e/th (jika dinyatakan dalam emisi kotor) atau 46.9 MtCO2e/th (jika dinyatakan dalam emisi bersih). Peningkatan emisi dalam FREL 3D+KR tersebut disebabkan karena adanya tambahan emisi kebakaran gambut (9.4 MtCO2e/th) dan penyerapan emisi dri reforestasi (3.6 MtCO2e/th). Tabel 8. Emisi tahunan historis kotor dan bersih ( ) serta proyeksinya ( ) dari deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut, kebakaran gambut, dan reforestasi di Provinsi Sumatera Selatan Tahun Def+Deg+Dek (tco 2 e) *) Kebakaran (tco 2 e) Serapan emisi (tco 2 e) **) Emisi kotor (tco 2 e) Emisi bersih (tco 2 e) ,889,427 - (2,527,423) 16,889,427 14,362, ,889,427 - (2,527,423) 16,889,427 14,362, ,889,427 - (2,527,423) 16,889,427 14,362, ,889,427 - (2,527,423) 16,889,427 14,362, ,889,427 - (2,527,423) 16,889,427 14,362, ,889,427 - (2,527,423) 16,889,427 14,362, ,496,651 - (695,348) 121,496, ,801, ,496,651 - (695,348) 121,496, ,801, ,496,651 - (695,348) 121,496, ,801, ,496,651 - (695,348) 121,496, ,801, ,353,573 53,787 (19,870) 20,407,359 20,387, ,353,573 16,252,840 (19,870) 36,606,413 36,586, ,353, ,299 (19,870) 21,324,871 21,305, ,820,924 12,275,304 (2,506,561) 34,096,228 31,589, ,820, ,510 (2,506,561) 22,251,434 19,744, ,820,924 41,829,729 (2,506,561) 63,650,653 61,144, ,302,539 1,252,385 (947,356) 33,554,925 32,607, ,302, ,487 (947,356) 33,140,026 32,192, ,302,539 10,362,277 (947,356) 42,664,816 41,717, ,429, ,595 (18,183,187) 36,537,450 18,354, ,429,855 13,801,792 (18,183,187) 50,231,646 32,048, ,338,884 14,659,069 (300,055) 52,997,954 52,697, ,090,265 9,402,839 (3,597,114) 50,493,104 46,895, ,090,265 9,402,839 (3,597,114) 50,493,104 46,895, ,090,265 9,402,839 (3,597,114) 50,493,104 46,895, ,090,265 9,402,839 (3,597,114) 50,493,104 46,895, ,090,265 9,402,839 (3,597,114) 50,493,104 46,895, ,090,265 9,402,839 (3,597,114) 50,493,104 46,895, ,090,265 9,402,839 (3,597,114) 50,493,104 46,895, ,090,265 9,402,839 (3,597,114) 50,493,104 46,895,990 *) Def = Deforestasi, Deg = Degradasi hutan, Dek = Dekomposisi gambut **) Tanda ( ) menunjukkan nilai negatif untuk menyatakan penyerapan emisi (emission removal ) dari reforestasi Berbeda dengan FREL 3D, proyeksi FREL 3D+KR sebesar 46.9 MtCO2e/th (emisi bersih) berbeda cukup jauh dibanding emisi bersih aktual pada periode yang rata-ratanya mencapai 74.7 MtCO2e/th (Gambar 49). Perbedaan emisi yang cukup besar (sekitar 38 MtCO2e/th) tersebut disebabkan karena kebakaran gambut pada tahun 2015 menghasilkan emisi yang cukup besar (57.6 MtCO2e/th; Gambar 49). Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 40

49 Gambar 49. Emisi tahunan historis ( ), rata-rata emisi tahunan ( ), proyeksi emisi ( ), dan emisi aktual ( ) dari deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut, kebakaran gambut, dan reforestasi di Provinsi Sumatera Selatan Tingkat emisi pada FREL 3D+KR (46.9 MtCO2e/th) sedikit lebih tinggi (5.8 MtCO2e/th) dibanding FREL 3D (41.1 MtCO2e/th). Hal ini disebabkan karena kebakaran gambut memberikan tambahan emisi sebesar 20%. Adapun serapan emisi dari reforestasi masih relatif rendah (3.6 MtCO2e/th, 8%) sehingga belum mampu mengimbangi peningkatan emisi khususnya emisi dari kebakaran gambut yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 41

50 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Dalam kurun waktu 22 tahun ( ), areal-areal hutan alam primer di Provinsi Sumatera Selatan telah mengalami perubahan tutupan hutan yang cukup drastis akibat deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut, kebakaran gambut, dan reforestasi (lihat Bab 4). Tutupan hutan alam telah berkurang seluas 1,34 juta hektar sampai tahun 2015 dari luas hutan alam 2,14 juta hektar di tahun Kejadian deforestasi dan degradasi hutan (termasuk gambut) sebagian besar terjadi di wilayah kawasan hutan (79%) dan sebagian kecil sisanya (21%) di luar kawasan hutan. Hampir 94% wilayah gambut (654,000 ha) telah terdegradasi dan akan terus menghasilkan emisi dan hanya tersisa 43,000 ha (6%) yang masih berupa hutan alam. Sebagian besar gambut yang terdegradasi berada di dalam kawasan hutan, khususnya di hutan produksi. Sampai tahun 2015, hutan alam yang masih tersisa seluas 839,236 ha, sebagian besar berada di kawasan hutan (93%), hanya 7% yang berada di APL. Dari sisa hutan alam tersebut sebagian besar berada di Hutan Konservasi dan Hutan Lindung (78%), dan sisanya di Hutan Produksi. Tidak seluruh hutan yang telah terdeforestasi menghasilkan areal yang produktif. Dari 1.4 juta hektar hutan alam yang terdeforestasi, yang menjadi areal produktif hutan tanaman 15%, areal perkebunan 14%, pertanian lahan kering 17%, dan 35% areal tanah terbuka dan semak (tidak/belum produktif). Masih terdapat cukup luas areal yang tidak produktif di dalam kawasan hutan. Perubahan tutupan hutan dalam kurun waktu 22 tahun di Provinsi Sumatera Selatan telah menyebabkan terjadinya emisi CO2 dari waktu ke waktu (lihat Bab 5). Sebagian besar emisi (48%) bersumber dari deforestasi yang menghasilkan emisi tahunan sebesar 22.5 Mt CO2e/th (Gambar 50). Sumber emisi lainnya yang cukup besar adalah dekomposisi dan kebakaran gambut yang masing-masing menghasilkan emisi tahunan sebesar 38% dan 206% dari keseluruhan emisi tahunan bersih (46.9 Mt CO2e/th). Degradasi hutan hanya menyumbang emisi tahunan sebesar 2%, sedangkan reforestasi hanya mampu mengurangi emisi tahunan sebesar 8% (Gambar 50). Gambar 50. Perbandingan rata-rata emisi tahunan dari deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut, kebakaran gambut, dan reforestasi di Provinsi Sumatera Selatan Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan 42

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Kalimantan Tengah

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Kalimantan Tengah Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Jawa Timur

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Jawa Timur Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Indonesia

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Indonesia Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Jawa Barat

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Jawa Barat Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Bali

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Bali Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Maluku

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Maluku Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di DKI Jakarta

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di DKI Jakarta Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Aceh

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Aceh Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Papua

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Papua Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Gorontalo

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Gorontalo Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Nusa Tenggara Timur

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Nusa Tenggara Timur Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Tenggara

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Tenggara Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Utara

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Utara Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Barat

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Barat Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif. RAD-GRK Provinsi Sumsel RAN-GRK SRAN-REDD+

Ringkasan Eksekutif. RAD-GRK Provinsi Sumsel RAN-GRK SRAN-REDD+ Ringkasan Eksekutif Upaya menekan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan dan lahan gambut di Provinsi Sumatera Selatan dilakukan terutama denganmengatasi deforetasi, degradasi hutan, dan perubahan

Lebih terperinci

National Forest Monitoring System untuk mendukung REDD+ Indonesia

National Forest Monitoring System untuk mendukung REDD+ Indonesia National Forest Monitoring System untuk mendukung REDD+ Indonesia IMAN SANTOSA T. Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Ditjen Planologi kehutanan Kementerian Kehutanan Workshop Sistem

Lebih terperinci

2018, No Carbon Stocks) dilaksanakan pada tingkat nasional dan Sub Nasional; d. bahwa dalam rangka melaksanakan kegiatan REDD+ sebagaimana dima

2018, No Carbon Stocks) dilaksanakan pada tingkat nasional dan Sub Nasional; d. bahwa dalam rangka melaksanakan kegiatan REDD+ sebagaimana dima No.161, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Perangkat REDD+. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.70/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

Perkiraan Sementara Emisi CO 2. di Kalimantan Tengah

Perkiraan Sementara Emisi CO 2. di Kalimantan Tengah B Perhitungan sederhana emisi CO 2 dari komponen deforestasi dan dekomposisi lahan gambut Desember, 2013 Perhitungan sederhana emisi CO 2 dari komponen deforestasi dan dekomposisi lahan gambut Penulis:

Lebih terperinci

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN oleh: Ruhyat Hardansyah (Kasubbid Hutan dan Hasil Hutan pada Bidang Inventarisasi DDDT SDA dan LH) Kawasan Hutan Hutan setidaknya memiliki

Lebih terperinci

Isi Paparan. REL Tanah Papua Tahun dari Sektor Kehutanan 6/22/ Roadmap Implementasi REDD+ di Tanah Papua 4.

Isi Paparan. REL Tanah Papua Tahun dari Sektor Kehutanan 6/22/ Roadmap Implementasi REDD+ di Tanah Papua 4. Oleh: Task Force Pembangunan Rendah Emisi Provinsi Papua dan Papua Barat Isi Paparan 1. Pendahuluan REL Tanah Papua Tahun 2001-2020 dari Sektor Kehutanan 3. Roadmap Implementasi REDD+ di Tanah Papua 4.

Lebih terperinci

DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT

DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT REFERENCE EMISSION LEVEL (REL) DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 1 Provinsi Kalimantan Timur 2014 REFERENCE EMISSION LEVEL (REL) DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI

Lebih terperinci

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. 1 Pokok bahasan meliputi latar belakang penyusunan IPCC Supplement, apa saja yang menjadi

Lebih terperinci

Rancangan Sampling Pengukuran Cadangan Karbon dan Keanekaragaman Flora di Sumatera Selatan

Rancangan Sampling Pengukuran Cadangan Karbon dan Keanekaragaman Flora di Sumatera Selatan Rancangan Sampling Pengukuran Cadangan Karbon dan Keanekaragaman Flora di Sumatera Selatan Biodiversity and Climate Change (BIOCLIME) Project Dipresentasikan pada: Pelatihan Pengukuran Cadangan Karbon

Lebih terperinci

5 LAJU HISTORIS KARBON SEKUESTRASI DAN LAJU EMISI CO 2 DI WILAYAH PESISIR

5 LAJU HISTORIS KARBON SEKUESTRASI DAN LAJU EMISI CO 2 DI WILAYAH PESISIR 5 LAJU HISTORIS KARBON SEKUESTRASI DAN LAJU EMISI CO 2 DI WILAYAH PESISIR Laju historis karbon sekuestrasi dan laju emisi CO 2 di wilayah pesisir yang dikaji pada bab ini merupakan hasil komparasi antara

Lebih terperinci

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM Ari Wibowo ariwibowo61@yahoo.com PUSLITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN SEMINAR NASIONAL

Lebih terperinci

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan Ruhyat Hardansyah, Maria C.L. Hutapea Subbidang Hutan dan Hasil Hutan Bidang Inventarisasi Daya Dukung dan daya Tampung

Lebih terperinci

RAD-GRK SEKTOR KEHUTANAN DAN LAHAN GAMBUT TINGKAT KABUPATEN/KOTA PROVINSI SUMATERA SELATAN

RAD-GRK SEKTOR KEHUTANAN DAN LAHAN GAMBUT TINGKAT KABUPATEN/KOTA PROVINSI SUMATERA SELATAN RAD-GRK SEKTOR KEHUTANAN DAN LAHAN GAMBUT TINGKAT KABUPATEN/KOTA PROVINSI SUMATERA SELATAN S ela m atk an H uta n S ela m atk an B um i S ela m atk an G e n er a si Y a ng A ka n Da tan g RAD-GRK Sektor

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA A. Capaian Kinerja Organisasi Untuk dapat mengukur keberhasilan dan implementasi Rencana Strategis Tahun 2013-2018 ditetapkan pengukuran kinerja yang mencakup penetapan indikator

Lebih terperinci

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon 1 Presentasi ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, memberikan pengantar tentang besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut. Bagian kedua membahas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks global emisi gas rumah kaca (GRK) cenderung meningkat setiap tahunnya. Sumber emisi GRK dunia berasal dari emisi energi (65%) dan non energi (35%). Emisi

Lebih terperinci

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep No.149, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN. Badan Pengelola. Penurunan. Emisi Gas Rumah Kaca. Kelembagaan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA

Lebih terperinci

OVERVIEW DAN LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN

OVERVIEW DAN LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN OVERVIEW DAN LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN 2012-2013 Tim Puspijak Disampaikan di Kupang, 16-17 Oktober 2014 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

Pemanfaatan Data PSP untuk Penetapan REL REDD+ Nasional

Pemanfaatan Data PSP untuk Penetapan REL REDD+ Nasional Pemanfaatan Data PSP untuk Penetapan REL REDD+ Nasional Teddy Rusolono Fakultas Kehutanan IPB/ WorkingGroup MRV BPREDD+ Disampaikan pada Pelatihan Verifikasi dan Updating data PSP untuk mendukung Sistem

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut www.greenomics.org KERTAS KEBIJAKAN Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut 21 Desember 2009 DAFTAR ISI Pengantar... 1 Kasus 1:

Lebih terperinci

LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN 2012

LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN 2012 LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN 2012 Disampaikan pada Lokakarya Strategi Monitoring PSP di Tingkat Provinsi Mataram, 7-8 Mei 2013 PUSAT PENELITIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Terdegradasinya keadaan hutan menyebabkan usaha kehutanan secara ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan usaha komoditi agribisnis lainnya, sehingga memicu kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan gambut merupakan salah satu tipe hutan yang terdapat di Indonesia dan penyebarannya antara lain di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi dan Pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. DIREKTORAT INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN TAHUN 2015 DEFORESTASI INDONESIA TAHUN 2013-2014

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Papua dengan luas kawasan hutan 31.687.680 ha (RTRW Provinsi Papua, 2012), memiliki tingkat keragaman genetik, jenis maupun ekosistem hutan yang sangat tinggi.

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR, DAN KRITERIA PEMETAAN BIOMASSA PERMUKAAN SKALA 1:250.000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ancaman perubahan iklim sangat menjadi perhatian masyarakat dibelahan dunia manapun. Ancaman dan isu-isu yang terkait mengenai perubahan iklim terimplikasi dalam Protokol

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

Republik Indonesia BUKU I: LANDASAN ILMIAH PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI DAN SERAPAN GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN

Republik Indonesia BUKU I: LANDASAN ILMIAH PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI DAN SERAPAN GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN Republik Indonesia BUKU I: LANDASAN ILMIAH PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI DAN SERAPAN GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN Republik Indonesia 2014 Penasehat Endah Murniningtyas, Deputi Bidang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN 2012

LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN 2012 LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN 2012 Disampaikan pada Lokakarya Strategi Monitoring PSP di Tingkat Provinsi Ambon, 27-28 Mei 2013 PUSAT PENELITIAN

Lebih terperinci

Inventarisasi Nasional Emisi dan Serapan Gas Rumah Kaca di Hutan dan Lahan Gambut Indonesia

Inventarisasi Nasional Emisi dan Serapan Gas Rumah Kaca di Hutan dan Lahan Gambut Indonesia Inventarisasi Nasional Emisi dan Serapan Gas Rumah Kaca di Hutan dan Lahan Gambut Indonesia Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi 2015 Inventarisasi Nasional

Lebih terperinci

National Forest Monitoring System

National Forest Monitoring System National Forest Monitoring System untuk mendukung REDD+ Indonesia IMAN SANTOSA T. Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Ditjen ij Planologi l ikh kehutanan Kementerian Kehutanan Workshop

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia, baik yang berupa manfaat ekonomi secara langsung maupun fungsinya dalam menjaga daya dukung lingkungan. Hutan

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam skenario BAU (Business As Usual) perdagangan karbon di indonesia, Kalimantan Tengah akan menjadi kontributor signifikan emisi gas rumah kaca di Indonesia

Lebih terperinci

Metode penghitungan perubahan tutupan hutan berdasarkan hasil penafsiran citra penginderaan jauh optik secara visual

Metode penghitungan perubahan tutupan hutan berdasarkan hasil penafsiran citra penginderaan jauh optik secara visual Standar Nasional Indonesia Metode penghitungan perubahan tutupan hutan berdasarkan hasil penafsiran citra penginderaan jauh optik secara visual ICS 65.020 Badan Standardisasi Nasional BSN 2014 Hak cipta

Lebih terperinci

Governors Climate & Forests Task Force. Provinsi Kalimantan Tengah Central Kalimantan Province Indonesia

Governors Climate & Forests Task Force. Provinsi Kalimantan Tengah Central Kalimantan Province Indonesia Governors limate & Forests Task Force Provinsi Kalimantan Tengah entral Kalimantan Province Indonesia Kata pengantar Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang, SH entral Kalimantan Governor Preface

Lebih terperinci

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

BAB II. PERENCANAAN KINERJA BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN 1 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP) MODEL LALAN KABUPATEN MUSI BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN Tesis Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra

Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra - Analisa titik deforestasi Riau, Sumatra- 16 Maret 2011 oleh Eyes on the Forest Diserahkan kepada : Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Unit

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.70/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN REDUCING EMISSIONS FROM DEFORESTATION AND FOREST DEGRADATION, ROLE

Lebih terperinci

BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun 2017

BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun 2017 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN POLICY BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun

Lebih terperinci

POTENSI STOK KARBON DAN TINGKAT EMISI PADA KAWASAN DEMONSTRATION ACTIVITIES (DA) DI KALIMANTAN

POTENSI STOK KARBON DAN TINGKAT EMISI PADA KAWASAN DEMONSTRATION ACTIVITIES (DA) DI KALIMANTAN POTENSI STOK KARBON DAN TINGKAT EMISI PADA KAWASAN DEMONSTRATION ACTIVITIES (DA) DI KALIMANTAN Asef K. Hardjana dan Suryanto Balai Besar Penelitian Dipterokarpa RINGKASAN Dalam rangka persiapan pelaksanaan

Lebih terperinci

INTEGRASI NFI KE DALAM SISTEM MONITORING KARBON HUTAN YANG AKAN DIBANGUN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

INTEGRASI NFI KE DALAM SISTEM MONITORING KARBON HUTAN YANG AKAN DIBANGUN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT INTEGRASI NFI KE DALAM SISTEM MONITORING KARBON HUTAN YANG AKAN DIBANGUN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Iman Santosa Tj. Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan Ditjen Planologi Kehutanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan perekonomian masyarakat maupun Negara. Bisa melalui

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan perekonomian masyarakat maupun Negara. Bisa melalui BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang dijalankan beriringan dengan proses perubahan menuju taraf hidup yang lebih baik. Dimana pembangunan itu sendiri dilakukan

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karbon Biomassa Atas Permukaan Karbon di atas permukaan tanah, meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA A. Capaian Kinerja Organisasi Untuk dapat mengukur keberhasilan dan implementasi Rencana Strategis Tahun 2013-2018 ditetapkan pengukuran kinerja yang mencakup penetapan indikator

Lebih terperinci

Lembar Fakta Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) Indonesia

Lembar Fakta Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) Indonesia Lembar Fakta Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) Indonesia Keenam sektor; Kehutanan, pertanian, pembangkit listrik, transportasi, bangunan dan semen bersama-sama dengan emisi yang berhubungan

Lebih terperinci

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut SUMBER DAYA AIR Indonesia memiliki potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha setelah Kanada (170 juta

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG STRATEGI DAN RENCANA AKSI PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR

Lebih terperinci

Sumatera Selatan. Jembatan Ampera

Sumatera Selatan. Jembatan Ampera Laporan Provinsi 169 Sumatera Selatan Jembatan Ampera Jembatan Ampera adalah sebuah jembatan di Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia. Jembatan Ampera, yang telah menjadi semacam lambang kota,

Lebih terperinci

BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN

BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR V TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS KESATUAN

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN GUNUNG PADANG KOTA PADANG

ANALISIS PERUBAHAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN GUNUNG PADANG KOTA PADANG ANALISIS PERUBAHAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN GUNUNG PADANG KOTA PADANG Rina Sukesi 1, Dedi Hermon 2, Endah Purwaningsih 2 Program Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang

Lebih terperinci

Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi grk

Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi grk Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi grk Aplikasi perhitungan grk di wilayah sumatera Aplikasi Perhitungan GRK di Wilayah Sumatera Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. 46/8/16/Th. XVII, 3 Agustus 215 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 214 PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 14,8 RIBU TON, CABAI RAWIT SEBESAR 3,87 RIBU

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Stok Karbon 4.1.1 Panai Jaya Data stok karbon yang digunakan pada kebun Panai Jaya berasal dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yulianti (2009) dan Situmorang

Lebih terperinci

Rumus Emisi CO 2. E = (Ea + Ebb + Ebo Sa) / Δt. Ea = Emisi karena terbakarnya jaringan dipermukaan tanah, misalnya pada waktu pembukaan lahan.

Rumus Emisi CO 2. E = (Ea + Ebb + Ebo Sa) / Δt. Ea = Emisi karena terbakarnya jaringan dipermukaan tanah, misalnya pada waktu pembukaan lahan. Mencuatnya fenomena global warming memicu banyak penelitian tentang emisi gas rumah kaca. Keinginan negara berkembang terhadap imbalan keberhasilan mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD)

Lebih terperinci

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan.

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan. BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi lingkungan yang ekstrim seperti tanah yang tergenang akibat pasang surut laut, kadar garam yang tinggi, dan tanah yang kurang stabil memberikan kesempatan

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan.

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor; Telp.: 0251 8633944; Fax: 0251 8634924; Email:

Lebih terperinci

Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar

Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar Oleh : Ir. HENDRI OCTAVIA, M.Si KEPALA DINAS KEHUTANAN PROPINSI SUMATERA BARAT OUTLINE Latar Belakang kondisi kekinian kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat yang masih memiliki nilai-nilai dan kultur tradisional. Sejak jaman dahulu, mereka tidak hanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cadangan Karbon Aliran karbon dari atmosfir ke vegetasi merupakan aliran yang bersifat dua arah, yaitu pengikatan CO 2 ke dalam biomasa melalui fotosintesis dan pelepasan CO

Lebih terperinci

Panduan Pengguna Untuk Sektor Kehutanan. Indonesia 2050 Pathway Calculator

Panduan Pengguna Untuk Sektor Kehutanan. Indonesia 2050 Pathway Calculator Panduan Pengguna Untuk Sektor Kehutanan Indonesia 2050 Pathway Calculator Daftar Isi 1. Ikhtisar Sektor Kehutanan Indonesia... 3 2. Asumsi... 7 3. Metodologi... 12 4. Hasil Pemodelan... 14 5. Referensi...

Lebih terperinci

Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan grk

Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan grk Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan grk Program : Pengelolaan Hutan Tanaman Judul RPI : Penelitian Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Koordinator RPI : Ir. Ari Wibowo,

Lebih terperinci

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan

Lebih terperinci

BABV. PENDEKATAN PENGUKURAN KEBERHASILAN RENCANA AKSI DAN SISTEM MONITORING

BABV. PENDEKATAN PENGUKURAN KEBERHASILAN RENCANA AKSI DAN SISTEM MONITORING BABV. PENDEKATAN PENGUKURAN KEBERHASILAN RENCANA AKSI DAN SISTEM MONITORING Sebagai suatu bahan negosiasi, aksi REDD+ mempunyai banyak isu yang terkait dengan lawas, skala spasial, pendekatan dan metode

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SUMBER EMISI SEKTOR KEHUTANAN KEBAKARAN HUTAN PENEBANGAN POHON PERUBAHAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN (LEGAL DAN ILLEGAL)

IDENTIFIKASI SUMBER EMISI SEKTOR KEHUTANAN KEBAKARAN HUTAN PENEBANGAN POHON PERUBAHAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN (LEGAL DAN ILLEGAL) LATAR BELAKANG KESEPAKATAN INTERNASIONAL (PROTOKOL KYOTO, COP 12 MONTREAL, COP 13 BALI, COP 15 DI COPENHAGEN, G-20 DI PITTBURG, DLL), ADANYA KESADARAN TERHADAP PERUBAHAN LINGKUNGAN (CLIMATE CHANGE), SEHINGGA

Lebih terperinci

Pengenalan perubahan penggunaan lahan oleh masyarakat pinggiran hutan. (Foto: Kurniatun Hairiah)

Pengenalan perubahan penggunaan lahan oleh masyarakat pinggiran hutan. (Foto: Kurniatun Hairiah) Pengenalan perubahan penggunaan lahan oleh masyarakat pinggiran hutan. (Foto: Kurniatun Hairiah) 4. Penghitungan dinamika karbon di tingkat bentang lahan Ekstrapolasi cadangan karbon dari tingkat lahan

Lebih terperinci

(RAD Penurunan Emisi GRK) Pemanasan Global

(RAD Penurunan Emisi GRK) Pemanasan Global PEMANASAN GLOBAL DAN PERUBAHAN IKLIM (RAD Penurunan Emisi GRK) Oleh : Ir. H. Hadenli Ugihan, M.Si Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumsel Pemanasan Global Pengaturan Perubahan Iklim COP 13 (2007) Bali menghasilkan

Lebih terperinci

TRAINING UPDATING DAN VERIFIKASI DATA PSP UNTUK MRV KARBON HUTAN

TRAINING UPDATING DAN VERIFIKASI DATA PSP UNTUK MRV KARBON HUTAN TRAINING UPDATING DAN VERIFIKASI DATA PSP UNTUK MRV KARBON HUTAN PUSAT LITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN BADAN LITBANG KEHUTANAN, Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610. PO BOX 272. Telp +622518633944;

Lebih terperinci