IV. BAHAN DAN METODE 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. BAHAN DAN METODE 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian"

Transkripsi

1 IV. BAHAN DAN METODE 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Proyek Pembangunan Bendungan Jatigede di Kabupaten Sumedang dan DAS Waduk Jatigede, Propinsi Jawa Barat yang berada Daerah Aliran Sungai Cimanuk dan didukung dengan hasil-hasil dari pelaksanaan Pembangunan di beberapa proyek pembangunan bendungan lainnya. Daerah Aliran Sungai Cimanuk dengan luas wilayah km 2, mempunyai curah hujan tahunan rata-rata mm dan potensi air permukaan rata-rata sebesar 7,43 milyar m 3 /tahun. Di hilir lokasi Bendungan Jatigede telah dibangun Bendung Rentang dengan sistem irigasi seluas ha, yang terletak di wilayah Kabupaten Majalengka, Cirebon, Indramayu yang sepenuhnya tergantung ketersediaan air di Sungai Cimanuk. Fluktuasi debit di Sungai Cimanuk yang tercatat di Bendung Rentang sangat besar. Debit maksimum di musim hujan adalah sebesar m 3 /detik dan debit minimum di musim kemarau sebesar 4 m 3 /detik, sehingga rasio antara debit maksimum dan debit minimum adalah 1:251, padahal rasio untuk DAS kritis sekitar 1:50. Laju sedimentasi kondisi awal rencana sesuai uraian di Bab III adalah sebesar 5,32 mm/tahun, termasuk laju sedimentasi kritis karena di atas ambang 5,0 mm/tahun. DAS Waduk Jatigede terletak di bagian hulu DAS Cimanuk, seluas lebih kurang 1460 km 2, berada di wilayah Kabupaten Garut dan Sumedang. DAS Waduk Jatigede mempunyai lahan kritis seluas ha, atau sekitar 28 % dari luas DAS yang terbagi menjadi 11 sub DAS. Lokasi Bendungan Jatigede berada di Desa Cijeungjing, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang, yang dapat ditempuh dari kota Bandung melalui Sumedang dengan jarak sekitar 90 km dan dapat juga ditempuh dari kota Cirebon ke arah Barat melewati Kadipaten dengan jarak sekitar 75 km. Lokasi penelitian berada di DAS Cimanuk. DAS Waduk Jatigede merupakan bagian hulu DAS Cimanuk (Gambar 26). 65

2 66 Bendungan Jatigede Gambar 26. Lokasi penelitian (BBWS 2009) 4.2. Rancangan Penelitian Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara: 1. Studi literatur. 2. Pengumpulan data sekunder. Data sekunder dikumpulkan dari laporan dan dokumen serta publikasi yang diterbitkan oleh instansi terkait seperti Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk- Cisanggarung, Pemerintah Kabupaten Sumedang, Bappeda Propinsi Jawa Barat dan Badan Pusat Statistik (BPS). 3. Pengumpulan data primer. Data primer dikumpulkan dari lokasi penelitian di Bendungan Jatigede.

3 67 Data primer diperoleh dari pengukuran yang dilakukan di lapangan (seperti data curah hujan, laju sedimentasi, banjir dan kekeringan), hasil pelaksanaan pembebasan tanah dan pemindahan situs di lapangan (data pembebasan tanah, relokasi penduduk, situs budaya, penggantian lahan, ganti rugi tegakan, reboisasi), dampak di lapangan. Data sekunder diperoleh dari publikasi Pemerintah Propinsi dan Kabupaten terkait berupa sistem dan kebijakan, data data dan analisis dari pelaksanaan pembangunan. Data-data sekunder dari negara lain yang terkait dengan penelitian diadopsi untuk memberikan wawasan yang lebih luas. Jenis-jenis data yang digunakan, baik data primer maupun sekunder adalah : 1. Pembebasan lahan penduduk. Data-data primer yang digunakan adalah dasar peraturan pembebasan tanah, luas pembebasan tanah, lokasi desa dan kecamatan, biaya pembebasan tanah dan masalah masalah pada pembebasan tanah. 2. Pengadaan lahan pengganti kawasan hutan. Data-data primer yang digunakan adalah dasar peraturan penggunaan kawasan hutan dan pengadaan lahan pengganti, jenis penggunaan kawasan hutan, luas lahan kawasan hutan yang digunakan berdasarkan jenis penggunaannya, lokasi lahan kawasan hutan dan jenis penggunaanya dan masalah-masalah dalam proses pengadaan lahan pengganti. 3. Relokasi (resettlement) Orang Terkena Dampak (OTD). Data-data yang digunakan terkait ini adalah data-data primer luas lahan asal dan desa-desa asal OTD, jumlah KK OTD yang berhak direlokasi dan masalahmasalahnya. 4. Sedimentasi. Data-data sekunder yang digunakan terkait ini adalah laju sedimentasi, volume sedimen dan jangka waktu sedimentasi, luas lahan kritis dan tutupan lahan, tata guna lahan, penanganan sedimentasi dan masalahnya. 5. Kuantitas air. Data-data primer dan sekunder yang digunakan adalah curah hujan dalam rentang tahun tertentu, debit sungai dalam rentang tahun tertentu, kebutuhan air untuk berbagai fungsi bendungan dan pola operasi air waduk.

4 68 Dalam analisis data, pada tahap awal dilakukan penentuan para pemangku kepentingan (stake holder) yang terkait dengan perencanaan pembangunan bendungan. Dari hasil telaahan di lapangan terdapat lima kelompok stake holder. Stake holder pertama adalah Pemerintah Pusat. Yang dimaksud dengan Pemerintah Pusat adalah Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kehutanan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmingrasi, Kementerian Perumahan Rakyat, Bappenas dan Kementerian Keuangan; Termasuk dalam stake holder kesatu adalah pengusaha/kontraktor, konsultan perencana dan konsultan supervisi. Stake holder kedua adalah Pemerintah Daerah yaitu Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Sumedang serta; Pemerintah Kabupaten Majalengka, Indramayu dan Cirebon sebagai Kabupaten penerima manfaat. Stake holder ketiga adalah masyarakat diluar masyarakat penerima manfaat termasuk di sini adalah masyarakat di daerah genangan di Kabupaten Sumedang, khususnya masyarakat di lima kecamatan, yaitu kecamatan Jatigede, Jatinunggal, Cisitu, Wado dan Darmaraja, masyarakat di DAS Waduk Jatigede yang berada di Kabupaten Garut dan Sumedang. Stake holder keempat adalah pengguna air yaitu petani dan masyarakat pemanfaat fungsi bendungan di Kabupaten Cirebon, Indramayu dan Kota Cirebon. Stake holder kelima adalah Lembaga Swadaya Masyarakat termasuk di sini adalah kalangan akademisi. Analisis kebutuhan masing-masing stake holder diuraikan dalam Tabel 12. Tabel 12. Analisis Kebutuhan Stake Holder No. Stake Holder 1. Pemerintah Pusat 2. Masyarakat di hulu dan di daerah genangan Kebutuhan Tercapainya rencana pembebasan tanah Relokasi permukiman yang lancar Pelaksanaan pembangunan yang minim konflik dan dampak Pencapaian fungsi bendungan yang optimal Penggantian kawasan hutan yang dipakai beserta tegakannya. Reboisasi kawasan hutan pengganti Pembebasan lahan yang sesuai dengan kesepakatan harga yang menguntungkan Pemindahan situs budaya yang ada Dampak lingkungan yang rendah 3. Pengguna air Penyelesaian pembangunan tepat waktu Pencapaian fungsi bendungan sesuai rencana 4. LSM/ Akademisi 5. Pemerintah Daerah Masyarakat tidak dirugikan akibat pembangunan Program relokasi permukiman berjalan lancar Ikut berperan dalam menangani masalah sosial-budaya dan teknis Melakukan studi pembangunan Relokasi permukiman yang lancar. Tidak terjadi pelanggaran hukum dalam pembebasan tanah, pemindahan situs dan pelaksanaan pembangunan

5 Sistem Penunjang Keputusan (Decision Support System) Sistem menurut Gordon (1989) dipandang sebagai suatu agregasi atau kumpulan objek-objek yang terangkai dalam interaksi dan kesalingbergantungan yang teratur. Dilihat dari sudut pandang tujuan yang ingin dicapai, sistem merupakan sekumpulan elemen-elemen yang berada dalam keadaan yang saling berhubungan untuk tujuan yang sama. Tahapan analisa sistem hingga pemodelan sistem dapat dilakukan dalam berbagai tahapan sesuai Gambar 27. Mulai Analisa Kebutuhan Formulasi Permasalahan Identifikasi Sistem Pemodelan Sistem Memuaskan Tidak ya Implementasi Memuaskan ya Tidak Selesai Gambar 27. Tahapan analisis sistem ( Eriyatno 1998 ).

6 70 1. Analisa Kebutuhan dari stake holder dan faktor-faktor dalam sistem; 2. Formulasi permasalahan yang ada; 3. Identifikasi sistem; 4. Pemodelan sistem yang diverifikasi dan jika tidak memuaskan harus mengulang proses identifikasi dan pemodelan sistem; 5. Implementasi model yang diverifikasi dan jika tidak memuaskan harus mengulang proses identifikasi, pemodelan dan implementasi sistem. Turban (1990) dan Turban & Aronson (2001) menyebutkan bahwa konsep Sistem Penunjang Keputusan (SPK) muncul pertama kali pada awal tahun 1970-an oleh Scott-Morton. Mereka mendefinisikan sebagai suatu sistem interaktif berbasis komputer yang dapat membantu para pengambil keputusan dalam menggunakan data dan model untuk memecahkan persoalan yang bersifat tidak terstruktur. Berdasarkan definisi tersebut, dapat diindikasikan empat karakteristik utama dari SPK, yaitu : 1. SPK menggabungkan data dan model menjadi satu bagian; 2. SPK dirancang untuk membantu para pengambil keputusan dalam proses pengambilan keputusan dari masalah yang bersifat semi struktural (atau tidak terstruktur); 3. SPK lebih cenderung dipandang sebagai penunjang penilaian manajer dan sama sekali bukan untuk menggantikannya; 4. Teknik SPK dikembangkan untuk meningkatkan efektivitas dari pengambil keputusan. Secara umum SPK terdiri dari tiga komponen, yaitu : 1. Manajemen data, didalamnya adalah database yang berisi data yang berhubungan dengan sistem yang diolah menggunakan perangkat lunak yang disebut sistem manajemen basis data; 2. Manajemen model, yaitu paket perangkat lunak yang terdiri dari model finansial, statistikal, ilmu manajemen atau model kuantitatif lain yang menyediakan kemampuan sistem analisis; 3. Subsistem dialog, yaitu subsistem yang menghubungkan pengguna dengan perintah-perintah dalam SPK. Pada penelitian ini, data-data yang dikumpulkan dalam sistem manajemen basis data yaitu pembebasan tanah penduduk, relokasi penduduk, penggantian kawasan hutan, pemindahan situs budaya, kuantitas air dan

7 71 sedimentasi. Sedangkan submodel yang ada dalam sistem manajemen basis model yaitu sub model sedimentasi dan sub model keseimbangan air (water balance) dari model perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan. Gambar 28 mendeskripsikan SPK dari Model Perencanaan Pembangunan Bendungan yang Berkelanjutan dengan Sistem Manajemen Basis Datanya. DATA MODEL Sistem Manajemen Basis Data Sistem Manajemen Basis Model DATA DEBIT INFLOW DATA KEBUTUHAN AIR SUB MODEL SEDIMENTASI DATA HIDROLOGI DATA SEDIMENTASI DATA TEKNIS BENDUNGAN DATA HASIL KAJIAN TEKNIS PENGADAAN TANAH DATA TUTUPAN LAHAN DAN JENIS TANAH SUB MODEL KESEIMBANGAN AIR (WATER BALANCE) SISTEM PENGOLAHAN TERPUSAT SISTEM MANAJEMEN DIALOG PENGGUNA Gambar 28. Sistem Penunjang Keputusan (Marimin 2004)

8 Tahapan Penelitian Pada tahap awal dilakukan kajian berdasarkan pustaka terkait dengan penelitian untuk menyusun dua sub model. Dua sub model dari model perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan, yaitu : (i) sub model sedimentasi yang terjadi di dalam waduk yang mempengaruhi umur layanan bendungan dan (ii) sub model keseimbangan air (water balance) yaitu pemodelan terhadap keseimbangan kuantitas air terhadap ketersediaan air, kebutuhan air dan pengaruh penguapan di waduk dalam pola operasi operasi waduk. Selanjutnya dilakukan kajian pengadaan tanah dalam perencanaan optimal pelaksanaan pembangunan bendungan, yaitu : (i) penggantian tanah kawasan hutan yang terpakai dalam pembangunan, (ii) pembebasan tanah milik penduduk yang terpakai dalam pembangunan, dan (iii) pemindahan orang terkena dampak dari daerah genangan. Masalah pembebasan tanah, relokasi penduduk dan situs budaya tidak akan dimasukan ke dalam sub model, tetapi akan dilakukan pengkajian teknis untuk mencari rekomendasi penanganan yang paling tepat menanganinya berdasarkan kajian data sekunder serta kajian pustaka yang ada. Pada sub model sedimentasi juga dilakukan pengkajian pustaka terhadap faktor sedimentasi serta perubahan tata guna lahan dalam Daerah Aliran Sungai Cimanuk Hulu yang merupakan DAS Waduk Jatigede. Pada sub model ini akan dilakukan kajian pustaka terhadap data-data terkait dengan sedimentasi di Daerah Aliran Sungai Cimanuk hulu dengan menggunakan data-data sekunder dari berbagai bendungan di Indonesia. Pendekatan sistem dilakukan dengan menilai analisis kebutuhan, memformulasi permasalahan dan mengidentifikasi sistem. Kemudian disusun strukturisasi sub model sedimentasi pada DAS Waduk Jatigede untuk memprediksi kondisi sedimentasi di waduk dan laju sedimentasi di masa datang serta pengaruhnya terhadap fungsi bendungan dengan model dinamik. Variabel-variabel yang menjadi keluaran dari sub model sedimentasi dalam kondisi dinamik (kondisi di mana terjadi perubahan nilai sesuai dengan umur layanan bendungan) adalah volume sedimen, volume tampungan, luas areal waduk, elevasi waduk dan daya dukung tampungan terhadap fungsi fungsi bendungan. Terdapat tiga kondisi yang ditinjau dalam sub model sedimentasi sesuai dengan laju sedimentasi yang terjadi pada masing-masing kondisi. Kondisi pertama yaitu kondisi sesuai rencana awal, yaitu kondisi di mana laju

9 73 sedimentasi diperoleh berdasarkan penelitian yang dilakukan pada saat dilakukan Pekerjaan Review Desain Bendungan Jatigede. Kondisi kedua yaitu kondisi terkini yang merupakan kondisi dengan laju sedimentasi terkini yang diperoleh dengan menggunakan Peta Digital topografi pada DAS Waduk Jatigede, Peta Jenis Tanah DAS Cimanuk, Peta Tutupan Lahan dan Data hujan. Kondisi ke tiga adalah kondisi dengan fungsi optimal, di mana laju sedimentasi dihitung dengan cara trial and error sehingga daya dukung terhadap fungsi bendungan mencapai kondisi paling optimal. Metode yang digunakan untuk menghitung laju sedimentasi adalah metode USLE. Sub model sedimentasi nantinya dapat dikaitkan dengan sub model keseimbangan air. USLE adalah suatu model erosi yang dirancang untuk memprediksi erosi rata-rata jangka panjang dari erosi lembar (sheet erosion) atau alur di bawah keadaan tertentu. USLE juga bermanfaat untuk tanah tempat bangunan dan penggunaan non pertanian, tetapi juga dapat memprediksi pengendapan dan tidak memperhitungkan hasil sedimen dari erosi parit, tebing sungai dan dasar sungai. USLE dikembangkan di National Runoff dan Soil Loss Data Centre yang didirikan tahun 1954 oleh The Science and Education Administration Amerika Serikat (dahulu namanya Agricultural Research Service) bekerja sama dengan Universitas Purdue (Wischmeier dan Smith, 1978). Proyek-proyek penelitian Federal dan Negara Bagian menyumbangkan lebih dari petak-tahun data erosi dan aliran permukaan untuk analisis statistik. Persamaan USLE adalah sebagai berikut : A = R.K.L.S.C.P Dimana A adalah banyaknya tanah tererosi dalam ton/ha/tahun (laju erosi); R adalah faktor curah hujan dan aliran permukaan; K adalah faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per indeks erosi hujan (R) untuk suatu jenis tanah; L adalah faktor panjang lereng; S adalah faktor kecuraman lereng; C adalah faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman; P adalah faktor tindakantindakan khusus konservasi tanah (pengolahan dan penanaman menurut kontur, penanaman dalam strip, guludan,teras). Penjelasannya yaitu R sangat dipengaruhi oleh kekuatan energi dan kekuatan perusak hujan, sedangkan kemungkinan erosi tanah ditentukan oleh K sebagai sifat tanah dan faktor pengelolaan tanah yang terdiri dari cara pengelolaan lahan di mana terdapat faktor panjang lereng L dan kemiringan lereng S serta faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah P, lainnya

10 74 oleh faktor pengelolaan tanaman C. Erosi yang dihasilkan dari metode USLE masih merupakan erosi yang terjadi di dalam DAS dan belum dapat dipergunakan langsung sebagai erosi yang masuk ke waduk. Istilah erosi dalam penelitian ini mengacu pada erosi yang terjadi di dalam DAS, sedangkan erosi yang masuk ke dalam waduk melalui sungai diistilahkan sebagai sedimen. Untuk mengkonversi erosi yang terjadi di dalam DAS dipakai suatu Sediment Delivery Ratio (SDR) yang merupakan rasio dari erosi yang terjadi di dalam DAS dengan sedimen yang masuk ke sungai. Dalam penelitian ini dipakai Metode Robinson dalam Arsyad, S (2010), di mana dengan luas DAS Waduk Jatigede km 2 diperoleh nilai SDR sebesar 8,44 %. Jadi dari erosi yang terjadi di dalam DAS Waduk Jatigede hanya 8,44 % yang mengalir ke dalam waduk melalui Sungai Cimanuk sebagai sedimen Untuk distribusi sedimen di dalam waduk digunakan metode Area Reduction yang diperkenalkan oleh Lara dan Sanders (1970) karena pada metode ini sedimen tidak akan terdistribusi sepenuhnya pada daerah tampungan sedimen yang disebut dead storage tetapi akan menyebar mulai dari elevasi dasar hingga mencapai luasan nol pada muka air normal, dengan konsekuensi terjadi pengurangan luas asal waduk akibat luasan sedimen yang ada. Penyebaran sedimen tersebut terutama dipengaruhi oleh faktor tipe waduk. Sedangkan metode Trap Efficiency, yang menjadi dasar penentuan elevasi dead storage pada elevasi m, menganggap elevasi sedimen akan merata pada elevasi tertentu dan areanya terfokus pada elevasi dead storage. Perhitungan metode area reduction dapat diuraikan dengan urutan sebagai berikut : (i) hitung berat jenis awal sedimen, (ii) hitung berat jenis sedimen pada T tahun (Wt), (iii) hitung volume sedimen pada T tahun dgn rumus : Vt = Inflow sedimen x T x efisiensi Brune/Wt Di mana efisiensi Brune dapat ditarik dari perhitungan di Bab III, (iv) tentukan tipe waduk dengan nilai m kemudian dapatkan kurva desain distribusi sedimen yg sesuai, (v) hitung nilai F ploting dengan rumus : F = (S-Vh)/(H.Ah) Perhitungan nilai F ploting ini untuk menentukan elevasi sedimen, dengan S adalah volumen sedimen saat T; Vh adalah tampungan waduk pada elevasi h kondisi original; H adalah kedalaman sampai dasar waduk kondisi original; Ah adalah luas permukaan waduk pada elevasi h kondisi original, (vi) plot nilai F ploting yang diperoleh pada grafik hubungan F standar dengan relative depth (p) yang diperoleh sesuai dengan tipe waduk, dan tentukan nilai relative depth pada perpotongan

11 75 garis F ploting dengan kurva F standar dan nilai yang diperoleh adalah nilai po, (vii) kalikan nilai po dengan H, sehingga diperoleh ketinggian sedimen dari dasar waduk, (viii) buat kurva distribusi sedimen dengan menghubungkan antara elevasi waduk original, kapasitas tampungan original, kedalaman relatif (relative depth), luas relatif (relative area), sediment area, volume sedimen, luas baru area waduk dan kapasitas baru waduk. Rumus untuk luas relatif sedimen dengan p adalah kedalaman relatif yang diukur dari dasar waduk, untuk tipe waduk, tipe II adalah : a = 2,487 x p 0,57 x (1-p) 0,41 Perlu diperhatikan untuk luas daerah sedimen (sediment area), dengan ketentuan bahwa elevasi sedimen dipakai dari hasil sebelumnya (proses nomor vii), sejak elevasi tersebut ke dasar waduk, baik area sedimen maupun volume sedimen bernilai sama dengan kondisi original. Elevasi sedimen adalah elevasi di mana hanya ada volume sedimen tanpa ada tampungan airnya. Perhitungan sedimen area dari elevasi sedimen ke atas (ke FSL), nilai diperoleh dengan perbandingan nilai relative area nilai atas kolom dengan nilai bawah kolom dikalikan nilai area kondisi original. Contohnya (1,068/1,059)x554,1 = 559 dan seterusnya. Untuk volume sedimen juga perlu diperhatikan, dengan ketentuan bahwa elevasi sedimen dipakai dari hasil sebelumnya (proses nomor vii), sejak elevasi tersebut ke dasar waduk, baik area sedimen maupun volume sedimen bernilai sama dengan kondisi original. Perhitungan dimulai dari atas. Volume sedimen total di elevasi FSL sama dengan volume sedimen total. Perhitungan berikutnya dihitung berdasarkan perbandingan bentuk distribusi sedimen, dari FSL ke elevasi di bawahnya bentuknya segitiga dan bentuk selanjutnya jajaran genjang. Contohnya Elevasi FSL +651,05 m, elevasi di bawahnya + 649,22 m (selisih elevasi = 1,83 m). Volume sedimen di FSL adalah 330,085 juta m 3. Sediment area di elevasi FSL = 0,0 m 2 sedangkan di elevasi +649,22 adalah 282,9 ha. Volume sedimen dari elevasi FSL ke elevasi adalah (282,9 x m 2 x 1,83 m)/2 = maka volume sedimen di El = 327,498 juta m 3. Untuk elevasi berikutnya di + 646,18 m, selisih tinggi 3,04 m, sedimen area = 412,3 ha. Bentuk yang dibentuk oleh volume sedimen antara el +649,22 m ke + 646,22 m adalah jajaran genjang. Volume sedimen yang ada di antara kedua elevasi adalah (282,9+412,3)/2 x10000 x 3,04 = m 3, sehingga volume sedimen di elevasi + 646,22 m adalah 327,498 juta m3 10,567 juta m 3 =

12 m 3. Selanjutnya dapat dihitung versi revisi untuk Area tampungan dan Volume tampungan waduk dengan mengurangkan sedimen area dan volume sedimen terhadap area dan volume tampungan original di elevasi tertentu. Gambar 29 memberikan gambaran pendekatan sistem analisis model sedimentasi. Pendekatan sistem dimulai dengan menganalisa kebutuhan volume waduk untuk mencapai daya dukung optimal terhadap fungsi, serta laju sedimentasi yang terjadi atau laju sedimentasi maksimal yang dibutuhkan. Selanjutnya diformulasikan masalah yang timbul untuk mencapai kebutuhan volume waduk yang mempunyai daya dukung optimal terhadap fungsi bendungan. Identifikasi sistem dilakukan dengan mengidentifikasikan variabel variabel yang menentukan dalam proses sedimentasi dan selanjutnya dapat disusun sub model matematis untuk menganalisis sub model sedimentasi. Sedangkan Gambar 30 menampilkan diagram sebab akibat model dinamik sedimentasi sesuai metoda USLE. Di mana faktor-faktor jenis tanah, curah hujan, jenis tanaman, kemiringan lereng dan panjang lereng mempengaruhi besaran sedimentasi/erosi yang terjadi. Erosi akan semakin besar jika faktor hujan dan faktor aliran permukaan (run off) membesar, demikian sebaliknya, erosi akan berkurang jika faktor hujan dan aliran permukaan menurun. Kebijakan pengendalian sedimentasi antara lain dapat berupa tindakan konservasi dalam mempengaruhi kemiringan lereng dan perlindungan massa tanah yang ada. Kebijakan yang lain adalah memperbaiki tutupan lahan yang memberi dampak mengurangi koefisien aliran permukaan (run off coeficient) sehingga mengurangi kecepatan aliran air dan mengurangi tenaga air dalam mengakibat erosi dan lebih lanjut mengurangi laju sedimentasi yang terjadi. Terdapat lingkaran A dan lingkaran B yang menunjukkan keterkaitan dengan sub model keseimbangan air (water balance).

13 77 METODE PENDEKATAN SISTEM Analisis Kebutuhan Formulasi Permasalahan Identifikasi Sistem MULAI Strukturisasi sub model sedimentasi Observasi, pengolahan data primer dan sekunder serta referensi Menentukan prioritas alternatif kebijakan dan memperkirakan kondisi keberlanjutan sedimentasi di masa datang Model Dinamik Gambar 29. Pendekatan sistem sub model sedimentasi (Hasil penelitian) Keterkaitan A dengan sub model keseimbangan air adalah aliran permukaan akan mempengaruhi besarnya debit sungai, semakin besar run off maka semakin besar debit sungai yang mengalir ke waduk. Keterkaitan B dengan sub model keseimbangan air adalah dengan tampungan waduk, semakin besar sedimentasi maka tampungan waduk akan berkurang. Dinamika dalam sub model sedimentasi hanya ditinjau terhadap waktu umur layanan. Dinamika dalam jumlah penduduk terhadap laju sedimentasi tidak terkait secara langsung, pertambahan jumlah penduduk biasanya terkait dengan jumlah kebutuhan air terutama kebutuhan air baku. Suplai air baku dari Bendungan Jatigede didesain sebesar liter per detik untuk kebutuhan air baku di Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu, jika terjadi peningkatan kebutuhan lebih besar dari suplai yang didesain maka harus dibangun bendungan atau sumber air lainnya. Undang undang nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang telah mengatur porsi luasan kawasan hutan minimal sebesar 30% dari luas DAS, di mana dengan besaran minimal ini kelestarian DAS lebih memenuhi syarat keberlanjutan. Peningkatan luasan hutan akan menekan koefisien run off, berarti menurunkan aliran permukaan, meningkatkan aliran bawah tanah (sub flow),

14 78 menekan laju sedimentasi, menekan rasio Q maks dan Q min yang berarti peningkatan kualitas DAS. Porsi luasan hutan di DAS Waduk Jatigede berdasarkan data tahun 1991 berkisar 22,76% dan diperkirakan luasan hutan tersebut berkurang pada saat ini. Kebijakan penyediaan tanah pengganti atau kompensasi terhadap penggunaan kawasan hutan memang tepat, karena jika tidak diganti akan mengakibatkan pengurangan kawasan hutan. Penyediaan lahan pengganti/ kompensasi diutama pada DAS dimana kawasan hutan berada agar tidak terjadi penurunan kualitas DAS. Lahan terbuka yang tidak dimanfaatkan juga dapat diberdayakan dengan merubahnya menjadi kawasan hutan. Diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah kabupaten yang berada di hulu dan pemerintah kabupaten yang berada di hilir dalam DAS, pemerintah propinsi dan pemerintah pusat untuk meningkatkan tutupan lahan dan membangun bangunan pengendali sedimen. Pembagian peran antar instansi pemerintah dengan melibatkan pemangku kepentingan lainnya seperti akademisi, masyarakat yang tinggal di dalam DAS baik di hulu maupun hilir, masyarakat pengguna air dan LSM, akan dapat meningkatkan kualitas DAS.

15 79 Tipe Tanah K em ir i- ngan le re n g D am pak jenis tanam an D asar tanah yang tergerus D am pak kem iringan lereng Konservasi T a n a h D am pak ketersediaan tana h T anah norm al terg eru s oeh air T anah terg eru s per unit air T ren huja n G am b ar 30. Diagram S u b M o d e l Dinam ik S e diment asi S e diment a si / Erosi D am pak a lira n air R un off I mple m en tasi kebijakan pengenda lian erosi B A

16 80 Pada sub model water balance akan dilakukan kajian terhadap faktorfaktor ketersediaan air, kebutuhan air, fungsi-fungsi bendungan dan pola operasi waduk dengan menggunakan data-data dari Daerah Aliran Sungai Waduk Jatigede. Pendekatan sistem yang dilakukan dengan menilai analisis kebutuhan sistem, yaitu tercapainya fungsi optimal bendungan berarti tingginya keandalan ketersediaan air, mengformulasi permasalahan yang muncul untuk mencapai kebutuhan, dan mengidentifikasi sistem berupa penentuan variabel-variabel yang mempengaruhi sistem. Lalu disusun strukturisasi model keseimbangan air (water balance) di waduk untuk memprediksi kondisi ketersediaan air dan kebutuhan air di masa datang, berupa model matematis. Analisis lebih lanjut menggunakan data-data yang ada serta menggunakan pendekatan model dinamik dengan dinamika terhadap umur layanan serta faktor laju sedimentasi maka dapat ditentukan prioritas alternatif kebijakan dan perkiraan kondisi keberlanjutan keseimbangan air di masa datang. Pendekatan sistem sub model keseimbangan air disajikan pada Gambar 31 dan sub model dinamik keseimbangan air disajikan Gambar 32. METODA PENDEKATAN SISTEM Analisis Kebutuhan Formulasi Permasalahan Identifikasi Sistem MULAI Strukturisasi sub model water balance Observasi, pengolahan data primer dan sekunder dan referensi Menentukan prioritas alternatif kebijakan dan memperkirakan kondisi keberlanjutan water balance di masa datang Model Dinamik Gambar 31. Pendekatan sistem sub model keseimbangan air (Hasil penelitian) Pada Gambar 32 diagram sub model dinamik untuk keseimbangan air (water balance) ditampilkan bagaimana sub flow (aliran air bawah tanah) dan run

17 81 off (aliran permukaan) menjadi sumber air bagi aliran sungai atau debit inflow di mana di dalam waduk dipengaruhi hujan yang turun dan penguapan, selanjutnya tampungan waduk dimanfaatkan untuk berbagai fungsi bendungan. Jumlah kebutuhan dipengaruhi oleh penghematan air yang dapat dilakukan. Implementasi kebijakan pengelolaan keseimbangan air dalam DAS akan mempengaruhi kualitas DAS. Kualitas DAS yang baik akan memperbaiki kandungan air tanah sehingga menstabilkan debit sub flow (aliran air tanah) dan menurunkan koefisien run off (aliran permukaan) sehingga rasio Q maks dan Q min akan menjadi lebih baik (menurun di bawah 50) serta laju sedimentasi menurun menjadi di bawah 5 mm/tahun, menjadi kondisi sub kritis (2 < laju sedimentasi 5 mm/tahun) atau menjadi normal dengan laju sedimentasi 2,0 mm/tahun. Lingkaran A dan lingkaran B menunjukkan hubungan sub model keseimbangan air dengan sub model sedimentasi. Rumus dasar atau persamaan yang digunakan pada sub model keseimbangan air di waduk adalah : I O E = S Dimana I adalah inflow dalam m 3 /detik, O adalah outflow dalam m 3 /detik, E adalah evaporasi (=penguapan) dalam mm/hari atau juta m 3 dan S adalah perubahan tampungan waduk dalam juta m 3. Terdapat empat kondisi yang menjadi kajian pada sub model keseimbangan air, yaitu (i) kondisi sesuai rencana awal, di mana tidak ada perubahan alokasi debit inflow yang masuk ke Waduk Jatigede dan laju sedimentasi awal sesuai hasil pengukuran saat desain dibuat (ii) kondisi terkini, terdapat perubahan alokasi debit inflow akibat dibangunnya Bendung Leuwigoong dan laju sedimentasi terkini (iii) kondisi optimal, terdapat perubahan alokasi debit inflow akibat Bendung Leuwigoong, laju sedimentasi maksimal yang diijinkan serta penghematan pemakaian air irigasi dan (iv) kondisi dengan pengendalian laju sedimentasi dari sedimentasi yang terjadi saat ini hingga akhir umur layanan dan terjadi perubahan alokasi debit inflow.

18 82 B asin I mpact of conservation land cover P enguapan di perm ukaan waduk Irigasi / PLTA S u b flow Aliran Sungai T am pu ngan waduk Air baku B D e bit Lingkungan R un Off A H u jan di perm ukaan waduk R a in f a ll Trend G am b ar 32. Diagram S u b M o d e l Dinam ik K eseim b angan air ( d ynam ic b y tim e) Penga ruh Efisie nsi P em enuh an kebutuhan air Im ple m entasi kebijkan pengen d a lia n

19 Analisa Dinamik Analisa dinamik merupakan salah satu teknik yang menitikberatkan pada analisa karakteristik struktur sistem yang dipetakan secara nyata. Analisa ini digunakan untuk menganalisa suatu proses serta hal-hal yang berkaitan dengan perumusan strategi di masa mendatang. Struktur suatu sistem dijelaskan dengan jalan menentukan pengaruh hubungan sebab akibat antara-antara faktor-faktor yang ada. Pada analisa sub model/model digunakan untuk memperkirakan kondisi yang terjadi jika suatu kebijakan terpilih digunakan. Analisa dinamik digunakan pada kedua sub model digunakan dalam penelitian ini, yaitu sub model sedimentasi dan sub model keseimbangan air pada semua kondisi yang digunakan pada masing masing sub model. Nilai dinamik dalam ke dua model hanya ditinjau terhadap waktu. Nilai dinamik terhadap jumlah penduduk tidak dilakukan karena yang dipertimbangkan untuk fungsi irigasi adalah target luasan sawah yang harus diairi pada Musim Tanam I dan Musim Tanam II seluas ha dan seluas ha pada Musim Tanam III. Untuk fungsi air baku targetnya adalah debit outflow untuk suplai ke Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu sebesar liter/detik. Sedangkan untuk fungsi PLTA, sesuai rencana awal, yang dipertimbangkan adalah debit outflow sebesar 73.0 m3/detik dan keandalan 95 % serta produksi listrik sebesar 590 GWh per tahun. Dalam Bab V akan terungkap bahwa debit outflow dan keandalan sesuai itu sulit tercapai sehingga produksi energi dalam kasus Bendungan Jatigede tidak menjadi prioritas, terutama karena fungsi utama bendungan adalah untuk irigasi dan penyediaan air baku Diagram Input- Output Diagram Input-Output (Gambar 33) disusun untuk memetakan faktor-faktor yang mempengaruhi model perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan dalam kelompok input yang terdiri dari input terkontrol, input tak terkontrol dan input lingkungan dan kelompok output dalam output yang diinginkan dan output yang tidak diinginkan. Jika tercapai kondisi output yang tidak diinginkan maka harus dilakukan evaluasi terhadap input terkontrol. Gambar 33 menggambarkan diagram input-output model perencanaan bendungan yang berkelanjutan.

20 84 INPUT LINGKUNGAN 1. UU no. 32/2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan. 2. UU no. 7/2004 Tentang Sumber Daya Air. 3. UU no. 26/2007 Tentang Penataan Ruang. 4. UU no. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. 5. UU no. 5/1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. 6. UU no. 41/1999 Tentang Kehutanan. INPUT TAK TERKONTROL 1. Perubahan iklim. 2. Pergantian musim. 3. Kondisi geologi. 4. Kondisi ekonomi - sosial - budaya regional. OUTPUT YANG DIINGINKAN 1. Minimalisasi peningkatan. 2. Meningkatkan kesejahteraan. 3. Mengoptimalkan daya dukung tampungan dan fungsi bendungan. 4. Pemeliharaan ekosistem DAS waduk. 5. Minimalisasi konflik dan dampak. MODEL PERENCANAAN PEMBANGUNAN BENDUNGAN YANG BERKELANJUTAN INPUT TERKONTROL 1. Kebijakan Pemerintah. 2. Koordinasi kelembagaan. 3. Perencanaan pembangunan. 4. Penegakan hukum. OUTPUT YANG TIDAK DIINGINKAN 1. Tidak tercapainya kelayakan ekonomi pembangunan yang direncanakan. 2. Konflik antara pemerintah dan masyarakat yang terkena dampak. 3. Terjadinya bencana akibat dampak. 4. Penurunan kualitas lingkungan hidup. 5. Penurunan kesejahteraan masyarakat. EVALUASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN Gambar 33. Diagram Input Output

21 Diagram sebab akibat perencanaan pembangunan bendungan Diagram sebab akibat atau causal loop adalah loop (hubungan) sebab akibat dari berbagai faktor-faktor dalam model kebijakan perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan. Hubungan tersebut ditandai dengan hubungan positif (+) jika hubungan antar faktor memiliki trend positif yang berarti peningkatan nilai faktor yang satu akan meningkatkan nilai faktor yang lain, di lain hal hubungan akan ditandai negatif (-) jika hubungan antar faktor memiliki trend negatif yang berarti peningkatan nilai faktor yang satu akan menurunkan nilai faktor yang lain. Causal loop dan penentuan faktor-faktor yang berpengaruh dalam model merupakan bagian dari tahapan identifikasi sistem (Gambar 34). Kelancaran pelaksanaan pembangunan bendungan akan dipengaruhi oleh proses pembebasan tanah di daerah genangan waduk, bendungan, bangunan pelengkap dan fasilitas lainnya, pembebasan tanah baik milik penduduk maupun tanah yang dimiliki oleh Kementerian Kehutanan/ Perum Perhutani. Relokasi permukiman yang menjadi kewajiban Pemerintah dalam kasus Bendungan Jatigede sebagai akibat Permendagri nomor 15/1975 yang menjadi dasar pengadaan tanah tahun juga menjadi hal yang penting mempengaruhi kelancaran pelaksanaan. Pencapaian fungsi optimal bendungan dipengaruhi terutama oleh sedimentasi, keseimbangan air di dalam DAS, kualitas air serta penataan ruang dalam DAS terutama yang terkait dengan target DAS ideal dengan luasan kawasan hutan minimal 30 %. Penataan ruang juga terkait dengan pembebasan tanah milik dan tanah kehutanan karena Ijin Penetapan Lokasi yang dikeluarkan oleh Bupati harus mengacu kepada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten, juga karena pengadaan lahan pengganti/kompensasi dalam penggunaan kawasan hutan harus dapat meningkat kualitas tutupan lahan DAS bendungan. Tanda negatif (-) yang menghubungkan dua atribut di dalam Gambar 34 berarti hubungan di antara atribut berbanding terbalik, jika atribut pertama nilainya meningkat maka nilai atribut ke-dua akan menurun. Tanda positif (+) di antara dua atribut, berarti hubungan kedua atribut berbanding lurus, jika nilai atribut pertama meningkat maka nilai atribut ke-dua juga akan meningkat. Kelancaran pelaksanaan pembangunan bendungan dan pencapaian fungsi optimal bendungan menjadi parameter utama pembangunan bendungan yang

22 86 berkelanjutan. Keberhasilan mencapai target pada kedua parameter yang direncanakan akan berarti pencapaian pembangunan bendungan yang berkelanjutan. Beberapa faktor di dalam causal loop seperti kualitas air dan penataan ruang yang juga berpengaruh terhadap pencapaian fungsi optimal bendungan tidak dibahas secara khusus di dalam penelitian ini. Penataan ruang tidak dibahas dengan pertimbangan bahwa pembangunan bendungan sudah harus masuk dalam RTRW Kabupaten atau Propinsi, sehingga aspek tata ruang sudah dievaluasi dan memenuhi syarat penataan ruang wilayah. Sedangkan kualitas air berpengaruh terhadap pencapaian fungsi optimal khususnya untuk suplai air baku, namun dengan pertimbangan, kompleksitas masalah kualitas air jika dimasukkan dalam penelitian dan menimbang bahwa kualitas air baku di DAS Waduk Jatigede dapat memenuhi ambang baku pada saat tertentu namun pada kali lain di atas ambang, tetapi masih dapat ditanggulangi dengan proses pengolahan yang lebih intensif, maka masalah kualitas air tidak termasuk dalam kajian penelitian ini. Untuk memberikan gambaran perbandingan kualitas air di daerah hulu dan hilir Bendungan Jatigede dan perbandingan nilainya terhadap Baku Mutu Air Kelas 1 dari Peraturan Pemerintah nomor 82/2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Pada Tabel 13 dan Tabel 14, disajikan kualitas air sungai Cimanuk yang diobservasi oleh Puslitbang Air (2002) pada tiga kali kesempatan yaitu pada bulan September 2002 dan November 2002 dan Desember 2002, di empat lokasi, dua lokasi di hulu Bendungan Jatigede yaitu di Bayongbong dan Sukamantri, dua lokasi lainnya di hilir Bendungan Jatigede di Tomo dan Kertasemaya. Tabel 13.Kualitas air di hulu Bendungan Jatigede (Puslitbang Air 2005) Baku mutu air Lokasi Bayongbong Sukamantri kelas 1 Tanggal 12/09/ /12/ /09/ /12/2002 (nilai maksimum) ph 7,78 6,62 7,56 6,88 9 DO (mg/l) 6,22 0,67 4,68 6,39 6 (minimum) BOD (mg/l) COD (mg/l) SS (mg/l) E.Coli x 10^5 3 0,05 1 0,1 0,1 Debit (m3/det) 2,64 4,8 3,35 8,56

23 87 Membandingkan hasil tersebut dengan Baku Mutu Air Kelas 1, tampak bahwa pada pengambilan sampel di bulan September 2002 hasil pada item yang diambil cenderung memenuhi persyaratan baku mutu. Sedangkan hasil pada bulan November dan Desember 2002, hasil yang kurang baik terdapat pada nilai BOD, COD dan E coli, ini berarti perlu pengolahan air baku yang lebih intensif untuk menjadi air minum. Tabel 14. Kualitas air di hilir Bendungan Jatigede (Puslitbang Air 2005) Lokasi Tomo Kertasemaya Baku mutu air kelas 1 Tanggal 13/09/ /11/ /09/ /11/2002 Maksimum Ph 8,01 7,42 7,91 6,95 9 DO (mg/l) 8 5,56 6,42 4,81 6 (minimum) BOD (mg/l) COD (mg/l) SS (mg/l) E.Coli x 10^5 2, ,1 Debit (m3/det) ,67 43, Analisis Keberlanjutan Analisis keberlanjutan dilakukan dalam rangka melakukan penilaian terhadap tingkat keberlanjutan dari kondisi yang ada, yaitu kondisi eksisting dan kondisi ke depan yang lebih baik. Analisis terhadap tingkat keberlanjutan dilakukan dengan menggunakan metode penilaian cepat multi disiplin (multi disciplinary rapid appraisal), yaitu Multi Dimensional Scaling (MDS) dengan perangkat lunak Rapfish, Kavanagh (2001). Data yang digunakan untuk analisis adalah data primer dan sekunder. Acuan penilaian indeks keberlanjutan menurut Rapfish adalah (i) jika indeks bernilai 25 termasuk dalam kategori buruk, (ii) 25 < nilai indeks 50 termasuk dalam kategori kurang, (iii) 50 < nilai indeks 75 termasuk dalam kategori cukup dan (iv) 75 < nilai indeks 100 termasuk dalam kategori baik Keterkaitan Antar Tahapan Penelitian Keterkaitan antar tahapan penelitian mulai dari penyusunan dan analisis sub model sedimentasi, sub model keseimbangan air dan kajian teknis pengadaan tanah serta analisis keberlanjutan dapat disusun sebagaimana disajikan dalam Gambar 35. Analisis pada sub model sedimentasi dimulai dengan penentuan laju sedimentasi dengan cara pengukuran sedimen pada

24 88 kondisi rencana awal. Perhitungan laju sedimentasi terkini dengan menggunakan beberapa informasi terkait mengenai DAS Waduk Jatigede seperti peta jenis tanah, peta tutupan lahan, data hujan, peta digital topografi dengan skala 1: dan diolah dengan menggunakan program Sistim Informasi Geografis. Laju sedimentasi maksimal untuk kondisi optimal irigasi serta pengendalian laju sedimentasi bertahap diperhitungkan dengan cara Trial dan Error. Selanjutnya dilakukan penentuan distribusi sedimen selama umur layanan pada masingmasing kondisi selama umur layanan dengan metode area reduction. Kemudian ditentukan daya dukung tampungan terhadap fungsi bendungan selama umur layanan bendungan. Untuk sub model keseimbangan air, dimulai dengan penentuan ketersediaan air dari data debit bulanan atau curah hujan. Ketersediaan air pada masing-masing kondisi tidak berbeda, kecuali ada perubahan alokasi inflow seperti pada Bendungan Jatigede terdapat perubahan alokasi inflow akibat dibangunnya Bendung Leuwigoong. Selanjutnya ditentukan kebutuhan air dari fungsi bendungan yang direncanakan. Untuk fungsi irigasi pada bendungan sejak awal biasanya sudah ditentukan target luasan areal irigasi yang diairi selama umur layanan, demikian halnya dengan air baku juga sudah ditentukan target suplai air baku, untuk PLTA tidak jauh berbeda sudah ada target produksi energi dari kapasitas pembangkit listrik yang terpasang. Selanjutnya ditentukan keandalan ketersediaan air untuk berbagai fungsi dan pola operasi waduk selama umur layanan bendungan. Penetuan pengaruh sedimentasi terhadap keandalan ketersediaan air dan pola operasi waduk merupakan titik temu antara sub model sedimentasi dan sub model keseimbangan air. Hasil ini akan menjadi masukan bagi penyusunan rekomendasi kebijakan untuk pencapaian keberlanjutan perencanaan pembangunan bendungan setelah digabungkan dengan hasil dari kajian teknis pengadaan tanah. Kajian teknis pengadaan tanah dimulai dengan penentuan atau identifikasi permasalahan pengadaan tanah. Dilanjutkan dengan penentuan alternatif solusi masalah pengadaan tanah. Lalu dilakukan simulasi dari alternatif solusi yang ada dalam proses pengadaan tanah untuk menentukan solusi terbaik. Hasil ini diintegrasikan dengan hasil sub model sedimentasi dan sub model keseimbangan air untuk menyusun rekomendasi kebijakan bagi pencapaian perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan.

25 89 Analisis keberlanjutan kondisi perencanaan pembangunan bendungan, dengan studi kasus Bendungan Jatigede, dimulai dengan menentukan nilai indeks keberlanjutan dari kondisi eksisting saat perencanaan pembangunan bendungan dibuat. Idealnya indeks keberlanjutan eksisting telah mencapai nilai indeks keberlanjutan yang cukup, hal ini mengindikasikan perencanaan pembangunan bendungan sudah berkelanjutan. Namun, jika indeks keberlanjutan masih kurang, maka hasil dari sub model sedimentasi, sub model keseimbangan air dan kajian teknis pengadaan tanah, dalam bentuk rekomendasi kebijakan dapat digunakan untuk meningkatkan nilai indeks keberlanjutan eksisting untuk mencapai keberlanjutan. Dengan memperhatikan atribut atau sektor kunci dari proses analisis keberlanjutan serta hasil dari sub model sedimentasi, sub model keseimbangan air dan kajian teknis pengadaan tanah, rekomendasi kebijakan dapat diuraikan lagi dalam bentuk implementasi rekomendasi kebijakan untuk perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan. Jika implementasi dilaksanakan dengan benar maka pembangunan bendungan yang berkelanjutan dapat diwujudkan. Gambar 35 menyajikan gambaran keterkaitan tahapan tahapan penelitian yang telah diuraikan Metode Jalur Kritis (Critical Path Method) Critical Path Method (CPM) atau metode jalur kritis adalah teknik pemodelan proyek yang dikembangkan di akhir tahun 1950-an oleh Morgan R. Walker dan James E. Kelley Junior. Mereka berdua memiliki hubungan bersejarah dalam pengembangan CPM di tahun Kelley memunculkan istilah critical path (jalur kritis) kepada para pengembang Program Evaluation and Review Technique (PERT) yang dikembangkan pada waktu yang sama oleh Booz Allen Hamilton dan US Navy. CPM banyak digunakan pada segala bentuk proyek termasuk konstruksi, penerbangan, pertahanan dan pengembangan piranti lunak. Dalam CPM, titik titik kegiatan dihubungkan satu sama lain dengan garis panah. Titik titik kegiatan dapat disusun berurutan maupun paralel. Di titik kegiatan terdapat informasi nomor urutan kegiatan, waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan tersebut dan total kumulatif waktu hingga kegiatan tersebut. Jalur kritis adalah jalur waktu paling lama yang tidak boleh mengalami keterlambatan.

26 90 Pemindahan Situs Dampak Konstruksi Pelaksanaan Pembangunan Bendungan Pembebasan tanah kehutanan Relokasi Pemukiman Keseimbangan Air Penataan Ruang Fungsi Optimal Bendungan Pembebasan tanah milik Kualitas Air Sedimentasi Gambar 34. Diagram Sebab Akibat (Causal Loop)

27 Model Perencanaan Pembangunan Bendungan yang Berkelanjutan Analisa Keberlanjutan kondisi perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede Sub Model Sedimentasi Sub Model Keseimbangan Air Kajian Teknis Pengadaan Tanah Penentuan Laju Sedimentasi dari : data pengukuran sedimen, perhitungan kondisi terkini serta Trial dan Error utk kondisi optimal Penentuan Ketersediaan air dari data debit bulanan Penentuan/identifikasi permasalahan pengadaan tanah Indeks Keberlanjutan Kondisi Eksisting dalam pembangunan Bendungan Jatigede (skenario pesimis) Penentuan distribusi sedimen selama umur layanan dengan metode Area Reduction Penentuan Kebutuhan air untuk berbagai fungsi bendungan dan perubahan alokasi air Penentuan alternatif solusi masalah pengadaan tanah RekomendasiKebijakan untuk pencapaian keberlanjutan perencanaan pembangunan bendungan Penentuan daya dukung tampungan terhadap fungsi bendungan selama umur layanan Penentuan keandalan ketersediaan air utk berbagai fungsi dan pola operasi waduk dengan rumus keseimbangan air Simulasi dari alternatif solusi yang ada untuk penentuan solusi terbaik Penentuan pengaruh sedimentasi terhadap keandalan ketersediaan dan pola operasi waduk selama umur layanan RekomendasiKebijakan untuk pencapaian keberlanjutan perencanaan pembangunan bendungan Indeks Keberlanjutan yang mungkin ditingkatkan untuk keberlanjutan perencanaan pembangunan bendungan (skenario optimis) Implementasi Rekomendasi Kebijakan perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan Pembangunan bendungan yang berkelanjutan Gambar 35. Keterkaitan antar tahapan penelitian 91

VI. ANALISIS KEBERLANJUTAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN BENDUNGAN

VI. ANALISIS KEBERLANJUTAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN BENDUNGAN 185 VI. ANALISIS KEBERLANJUTAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN BENDUNGAN 6.1. Umum Perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede dapat dievaluasi status keberlanjutannya dan diperbaiki agar

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DESEMBER, 2014 KATA PENGANTAR Sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 21/PRT/M/2010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air (SDA) bertujuan mewujudkan kemanfaatan sumberdaya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan kebutuhan pokok bagi makhluk hidup termasuk manusia. Keberadaan air baik kualitas maupun kuantitas akan berpengaruh pada kehidupan manusia. Sistem penyediaan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI Rancangan Penulisan

BAB III METODOLOGI Rancangan Penulisan BAB III METODOLOGI 3.1. Tinjauan Umum Metodologi penelitian adalah semacam latar belakang argumentatif yang dijadikan alasan mengapa suatu metode penelitian dipakai dalam suatu kegiatan penelitian. Metodologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tank Model Penerapan Tank Model dilakukan berdasarkan data harian berupa data curah hujan, evapotranspirasi dan debit aliran sungai. Data-data tersebut digunakan untuk menentukan

Lebih terperinci

2015 ANALISA PENGISIAN AWAL WADUK (IMPOUNDING) PADA BENDUNGAN JATIGEDE

2015 ANALISA PENGISIAN AWAL WADUK (IMPOUNDING) PADA BENDUNGAN JATIGEDE BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bendungan adalah sebuah bangunan air yang berfungsi sebagai penangkap air dan menyimpannya di musim penghujan waktu air sungai mengalir dalam jumlah besar. Waduk merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air permukaan (water surface) sangat potensial untuk kepentingan kehidupan. Potensi sumber daya air sangat tergantung/berhubungan erat dengan kebutuhan, misalnya untuk

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional INACID Mei 2014, Palembang Sumatera Selatan

Prosiding Seminar Nasional INACID Mei 2014, Palembang Sumatera Selatan No Makalah : 1.17 EROSI LAHAN DI DAERAH TANGKAPAN HUJAN DAN DAMPAKNYA PADA UMUR WADUK WAY JEPARA Dyah I. Kusumastuti 1), Nengah Sudiane 2), Yudha Mediawan 3) 1) Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

DEFt. W t. 2. Nilai maksimum deficit ratio DEF. max. 3. Nilai maksimum deficit. v = max. 3 t BAB III METODOLOGI

DEFt. W t. 2. Nilai maksimum deficit ratio DEF. max. 3. Nilai maksimum deficit. v = max. 3 t BAB III METODOLOGI v n t= 1 = 1 n t= 1 DEFt Di W t 2. Nilai maksimum deficit ratio v 2 = max DEFt Dt 3. Nilai maksimum deficit v = max { } DEF 3 t BAB III METODOLOGI 24 Tahapan Penelitian Pola pengoperasian yang digunakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah maupun masyarakat mengandung pengertian yang mendalam, bukan hanya berarti penambahan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Solehudin, 2015 Kajian Tingkat Bahaya Erosi Permukaandi Sub Daerah Aliran Sungai Cirompang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Solehudin, 2015 Kajian Tingkat Bahaya Erosi Permukaandi Sub Daerah Aliran Sungai Cirompang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jumlah manusia yang menghuni permukaan bumi kian hari kian meningkat, tetapi kondisi tersebut berlaku sebaliknya dengan habitat hidup manusia, yaitu lahan.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Erosi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Erosi 3 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Erosi Erosi berasal dari bahasa latin erodere yang berarti menggerogoti atau untuk menggali. Istilah erosi ini pertama kali digunakan dalam istilah geologi untuk menggambarkan

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan kegiatan memperbaiki, memelihara, dan melindungi keadaan DAS, agar dapat menghasilkan barang dan jasa khususnya, baik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah yang berfungsi sebagai daerah resapan, daerah penyimpanan air, penampung air hujan dan pengaliran air. Yaitu daerah dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1. Laporan Tugas Akhir Kinerja Pengoperasian Waduk Sempor Jawa Tengah dan Perbaikan Jaringan Irigasinya

BAB I PENDAHULUAN I-1. Laporan Tugas Akhir Kinerja Pengoperasian Waduk Sempor Jawa Tengah dan Perbaikan Jaringan Irigasinya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Waduk adalah suatu bangunan yang berfungsi untuk melestarikan sumberdaya air dengan cara menyimpan air disaat kelebihan yang biasanya terjadi disaat musim penghujan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

BAB II METODOLOGI 2.1 Bagan Alir Perencanaan

BAB II METODOLOGI 2.1 Bagan Alir Perencanaan BAB II METODOLOGI 2.1 Bagan Alir Perencanaan Gambar 2.1. Gambar Bagan Alir Perencanaan 2.2 Penentuan Lokasi Embung Langkah awal yang harus dilaksanakan dalam merencanakan embung adalah menentukan lokasi

Lebih terperinci

Studi Optimasi Operasional Waduk Sengguruh untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air

Studi Optimasi Operasional Waduk Sengguruh untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air Tugas Akhir Studi Optimasi Operasional Waduk Sengguruh untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air Oleh : Sezar Yudo Pratama 3106 100 095 JURUSAN TEKNIK SIPIL Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II STUDI PUSTAKA II - 1 BAB II STUDI PUSTAKA 2.1. Sedimentasi Keandalan suatu waduk didefinisikan oleh Lensley (1987) sebagai besarnya peluang bahwa waduk tersebut mampu memenuhi kebutuhan yang direncanakan sesuai dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Distribusi bendungan besar di dunia (Icold 2005).

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Distribusi bendungan besar di dunia (Icold 2005). I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bendungan besar menurut kriteria International Commission on Large Dams (ICOLD) adalah bendungan dengan tinggi tanggul 15 m dan tampungan minimal 500.000 m 3, atau tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan penelitian dari Nippon Koei (2007), Bendungan Serbaguna

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan penelitian dari Nippon Koei (2007), Bendungan Serbaguna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan penelitian dari Nippon Koei (2007), Bendungan Serbaguna Wonogiri merupakan satu - satunya bendungan besar di sungai utama Bengawan Solo yang merupakan sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Wilayahnya meliputi bagian hulu, bagian hilir, bagian pesisir dan dapat berupa

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Wilayahnya meliputi bagian hulu, bagian hilir, bagian pesisir dan dapat berupa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) berfungsi sebagai penampung air hujan, daerah resapan, daerah penyimpanan air, penangkap air hujan dan pengaliran air. Wilayahnya meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Evaluasi Ketersediaan dan Kebutuhan Air Daerah Irigasi Namu Sira-sira.

BAB I PENDAHULUAN. Evaluasi Ketersediaan dan Kebutuhan Air Daerah Irigasi Namu Sira-sira. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketersediaan air (dependable flow) suatu Daerah Pengaliran Sungai (DPS) relatif konstan, sebaliknya kebutuhan air bagi kepentingan manusia semakin meningkat, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1) A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Cisangkuy merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu yang terletak di Kabupaten Bandung, Sub DAS ini

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan Danau Singkarak terletak di dua kabupaten yaitu KabupatenSolok dan Tanah Datar. Kedua kabupaten ini adalah daerah penghasil berasdan menjadi lumbung beras bagi Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejalan dengan hujan yang tidak merata sepanjang tahun menyebabkan persediaan air yang berlebihan dimusim penghujan dan kekurangan dimusim kemarau. Hal ini menimbulkan

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PENGGUNAAN AIR IRIGASI DI DAERAH IRIGASI RENTANG KABUPATEN MAJALENGKA. Hendra Kurniawan 1 ABSTRAK

OPTIMALISASI PENGGUNAAN AIR IRIGASI DI DAERAH IRIGASI RENTANG KABUPATEN MAJALENGKA. Hendra Kurniawan 1 ABSTRAK OPTIMALISASI PENGGUNAAN AIR IRIGASI DI DAERAH IRIGASI RENTANG KABUPATEN MAJALENGKA Hendra Kurniawan 1 1 Program Studi Magister Teknik Sipil, Universitas Trisakti, Jl. Kyai Tapa No. 1 Jakarta ABSTRAK Sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan waduk Jatigede merupakan strategi pemerintah untuk. mengatasi kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim penghujan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan waduk Jatigede merupakan strategi pemerintah untuk. mengatasi kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim penghujan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan waduk Jatigede merupakan strategi pemerintah untuk mengatasi kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim penghujan khususnya di daerah Pantura

Lebih terperinci

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2014 KEMENHUT. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Evaluasi. Monitoring. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 61 /Menhut-II/2014 TENTANG MONITORING

Lebih terperinci

TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1

TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1 TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1 Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta I Jl. Surabaya 2 A, Malang Indonesia 65115 Telp. 62-341-551976, Fax. 62-341-551976 http://www.jasatirta1.go.id

Lebih terperinci

STUDI PENGARUH SEDIMENTASI KALI BRANTAS TERHADAP KAPASITAS DAN USIA RENCANA WADUK SUTAMI MALANG

STUDI PENGARUH SEDIMENTASI KALI BRANTAS TERHADAP KAPASITAS DAN USIA RENCANA WADUK SUTAMI MALANG STUDI PENGARUH SEDIMENTASI KALI BRANTAS TERHADAP KAPASITAS DAN USIA RENCANA WADUK SUTAMI MALANG Suroso, M. Ruslin Anwar dan Mohammad Candra Rahmanto Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Brawijaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang meliputi semua benda penyusun biosfer (atmosfer, tanah dan batuan induk, topografi, air, tumbuhtumbuhan dan binatang),

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Tugas Akhir

BAB III METODOLOGI. Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Tugas Akhir III-1 BAB III METODOLOGI 3.1. Tinjauan Umum Metodologi yang digunakan dalam penyusunan Tugas Akhir dapat dilihat pada Gambar 3.1. Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Tugas Akhir III-2 Metodologi dalam perencanaan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Daerah Aliran Sungai 1. Wilayah Administrasi Sub-DAS Serayu untuk bendungan ini mencakup wilayah yang cukup luas, meliputi sub-das kali Klawing, kali Merawu, Kali Tulis

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada umumnya tujuan dari dibangunnya suatu waduk atau bendungan adalah untuk melestarikan sumberdaya air dengan cara menyimpan air disaat kelebihan yang biasanya terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Embung merupakan bangunan air yang menampung, mengalirkan air menuju hilir embung. Embung menerima sedimen yang terjadi akibat erosi lahan dari wilayah tangkapan airnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I 1.1. Latar Belakang Pembukaan lahan untuk perumahan dan pemukiman pada daerah aliran sungai (DAS) akhir-akhir ini sangat banyak terjadi khususnya pada kota-kota besar, dengan jumlah dan pertumbuhan

Lebih terperinci

dilakukan pemeriksaan (validasi) data profil sungai yang tersedia. Untuk mengetahui

dilakukan pemeriksaan (validasi) data profil sungai yang tersedia. Untuk mengetahui 55 4.2 Validasi Data Profil Sungai Sebelum dilakukan pengujian model sistem polder Pluit pada program, maka harus dilakukan pemeriksaan (validasi) data profil sungai yang tersedia. Untuk mengetahui validasi

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. Jika dirumuskan dalam suatu persamaan adalah sebagai berikut : R=.(3.1) : curah hujan rata-rata (mm)

BAB III LANDASAN TEORI. Jika dirumuskan dalam suatu persamaan adalah sebagai berikut : R=.(3.1) : curah hujan rata-rata (mm) BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Curah hujan wilayah Menurut Triatmodjo (2010) stasiun penakar hujan hanya memberikan kedalaman hujan di titik di mana stasiun tersebut berada, sehingga hujan pada suatu luasan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 )

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 ) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi Pada umumnya ketersediaan air terpenuhi dari hujan. Hujan merupakan hasil dari proses penguapan. Proses-proses yang terjadi pada peralihan uap air dari laut ke

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pengembangan sumber daya air merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang berbagai sektor pembangunan seperti pertanian, industri, penyediaan sumber energi disamping

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan DAS di Indonesia telah dimulai sejak tahun 70-an yang diimplementasikan dalam bentuk proyek reboisasi - penghijauan dan rehabilitasi hutan - lahan kritis. Proyek

Lebih terperinci

TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 10/PRT/M/2015 TANGGAL : 6 APRIL 2015 TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR BAB I TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN

Lebih terperinci

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan Pendahuluan 1.1 Umum Sungai Brantas adalah sungai utama yang airnya mengalir melewati sebagian kota-kota besar di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Sungai

Lebih terperinci

ABSTRAK Faris Afif.O,

ABSTRAK Faris Afif.O, ABSTRAK Faris Afif.O, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, November 2014, Studi Perencanaan Bangunan Utama Embung Guworejo Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Dosen Pembimbing : Ir. Pudyono,

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Diagram Alir Studi

Gambar 2.1. Diagram Alir Studi 2.1. Alur Studi Alur studi kegiatan Kajian Tingkat Kerentanan Penyediaan Air Bersih Tirta Albantani Kabupaten Serang, Provinsi Banten terlihat dalam Gambar 2.1. Gambar 2.1. Diagram Alir Studi II - 1 2.2.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 I-1 BAB I 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali merupakan bagian dari Satuan Wilayah Sungai (SWS) Pemali-Comal yang secara administratif berada di wilayah Kabupaten Brebes Provinsi Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah dirancang dan dibangun sebelumnya. Sumberdaya Air oleh PT. Indra Karya Consulting Engineer pada tahun 2013

BAB I PENDAHULUAN. yang telah dirancang dan dibangun sebelumnya. Sumberdaya Air oleh PT. Indra Karya Consulting Engineer pada tahun 2013 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Alam merupakan suatu siklus yang berproses, pada suatu kondisi tertentu sangat sulit untuk memperkirakan suatu peristiwa geologi terjadi, namun di sisi lain gejala

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS SEDIMEN DAN VOLUME KEHILANGAN AIR PADA EMBUNG

BAB V ANALISIS SEDIMEN DAN VOLUME KEHILANGAN AIR PADA EMBUNG V-1 BAB V ANALISIS SEDIMEN DAN VOLUME KEHILANGAN AIR PADA EMBUNG 5.1. Analisis Sedimen dengan Metode USLE Untuk memperkirakan laju sedimentasi pada DAS S. Grubugan digunakan metode Wischmeier dan Smith

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat

Lebih terperinci

Bab ini berhubungan dengan bab-bab yang terdahulu, khusunya curah hujan dan pengaliran air permukaan (run off).

Bab ini berhubungan dengan bab-bab yang terdahulu, khusunya curah hujan dan pengaliran air permukaan (run off). BAB VII. EROSI DAN SEDIMENTASI A. Pendahuluan Dalam bab ini akan dipelajari pengetahuan dasar tentang erosi pada DAS, Nilai Indeks Erosivitas Hujan, Faktor Erodibilitas Tanah, Faktor Tanaman atau Faktor

Lebih terperinci

3 BAB III METODOLOGI

3 BAB III METODOLOGI 3 BAB III METODOLOGI 3.1 SURVEY LAPANGAN Lokasi survey meliputi ruas saluran Banjarcahyana mulai dari outlet PLTA Tapen sampai dengan Bangunan BBC-8a (got miring) dimana rencana PLTA Siteki akan dibangun.

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Erosi adalah proses terkikis dan terangkutnya tanah atau bagian bagian tanah oleh media alami yang berupa air. Tanah dan bagian bagian tanah yang terangkut dari suatu

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ABSTRAK UCAPAN TERIMA KASIH

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ABSTRAK UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ABSTRAK i UCAPAN TERIMA KASIH ii DAFTAR ISI iii DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR TABEL viii BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Rumusan Masalah 2 1.3 Tujuan Penelitian 3 1.4 Manfaat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Deskripsi Wilayah Studi 1. Letak dan Luas Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Jepara dan Daerah Tangkapan Hujan Waduk Way Jepara secara geografis terletak pada 105 o 35 50 BT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari tentang terjadinya, pergerakan dan distribusi air di bumi, baik di atas maupun di bawah permukaan bumi, tentang sifat fisik,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI MULAI IDENTIFIKASI MASALAH PENGUMPULAN DATA PENENTUAN LOKASI EMBUNG

BAB III METODOLOGI MULAI IDENTIFIKASI MASALAH PENGUMPULAN DATA PENENTUAN LOKASI EMBUNG 73 BAB III METODOLOGI 3.1 BAGAN ALIR PERENCANAAN Penerapan secara sistematis perlu digunakan untuk menentukan akurat atau tidaknya langkah-langkah yang diambil dalam suatu perencanaan. Bangunan embung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan sumber air yang dapat dipakai untuk keperluan makhluk hidup. Dalam siklus tersebut, secara

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3. 1. Desain Penelitian Pengoperasian waduk harus disusun sesuai karakteristik sistem daerah yang ditinjau, oleh karena itu diperlukan pemahaman terhadap karakteristik sistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

Prasarana/Infrastruktur Sumber Daya Air

Prasarana/Infrastruktur Sumber Daya Air Prasarana/Infrastruktur Sumber Daya Air Kegiatan Pengembangan Sumber Daya Air Struktural: Pemanfaatan air Pengendalian daya rusak air Pengaturan badan air (sungai, situ, danau) Non-struktural: Penyusunan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas DAS/ Sub DAS Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS) yang dijadikan objek penelitian adalah Stasiun Pengamatan Jedong yang terletak di titik 7 59

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut berasal dari perairan Danau Toba. DAS Asahan berada sebagian besar di wilayah Kabupaten Asahan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Keaslian Penelitian... 4

DAFTAR ISI Keaslian Penelitian... 4 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR PETA... xiv INTISARI... xv ABSTRAK...

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR (PSDA) Dosen : Fani Yayuk Supomo, ST., MT ATA 2011/2012

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR (PSDA) Dosen : Fani Yayuk Supomo, ST., MT ATA 2011/2012 PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR (PSDA) Dosen : Fani Yayuk Supomo, ST., MT ATA 2011/2012 1. PENGERTIAN Waduk dibangun dengan membendung ( Impounding ) sebagian dari aliran permukaan (run-off) pada daerah pengaliran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat manusia. Pengertian lahan dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998), yaitu : Lahan merupakan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Daftar Lampiran...

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Daftar Lampiran... DAFTAR ISI Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Daftar Lampiran... i ii iii vi ix xi xiii xii BAB I. PENDAHULUAN... 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah memproyeksikan

BAB I PENDAHULUAN. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah memproyeksikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah memproyeksikan jumlah penduduk Indonesia tahun 2010-2035. Proyeksi jumlah penduduk ini berdasarkan perhitungan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1.1 Lokasi Geografis Penelitian ini dilaksanakan di waduk Bili-Bili, Kecamatan Bili-bili, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Waduk ini dibangun

Lebih terperinci

Gambar 3. 1 Wilayah Sungai Cimanuk (Sumber : Laporan Akhir Supervisi Bendungan Jatigede)

Gambar 3. 1 Wilayah Sungai Cimanuk (Sumber : Laporan Akhir Supervisi Bendungan Jatigede) 45 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini direncanakan di wilayah anak anak sungai Cimanuk, yang akan dianalisis potensi sedimentasi yang terjadi dan selanjutnya dipilih

Lebih terperinci

STUDI PERENCANAAN BANGUNAN UTAMA EMBUNG GUWOREJO DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN AIR BAKU DI KABUPATEN KEDIRI

STUDI PERENCANAAN BANGUNAN UTAMA EMBUNG GUWOREJO DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN AIR BAKU DI KABUPATEN KEDIRI STUDI PERENCANAAN BANGUNAN UTAMA EMBUNG GUWOREJO DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN AIR BAKU DI KABUPATEN KEDIRI Alwafi Pujiraharjo, Suroso, Agus Suharyanto, Faris Afif Octavio Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bendungan atau dam adalah konstruksi yang dibangun untuk menahan laju air menjadi waduk, danau, atau tempat rekreasi. Seringkali bendungan juga digunakan untuk mengalirkan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN... ii KATA PENGANTAR... iii PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR PETA... xii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan berpengaruh pada pemanfaatan sumberdaya lahan dalam jumlah besar untuk memenuhi ketersediaan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian

TINJAUAN PUSTAKA. secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai Sungai merupakan jaringan alur-alur pada permukaan bumi yang terbentuk secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian hilir. Air hujan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi dan Neraca air Menurut Mori (2006) siklus air tidak merata dan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi (suhu, tekanan atmosfir, angin, dan lain-lain) dan kondisi

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Merden Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.3 menunjukan bahwa luas DTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya alam meliputi sumber daya lahan, hutan, air, dan mineral.

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya alam meliputi sumber daya lahan, hutan, air, dan mineral. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya alam meliputi sumber daya lahan, hutan, air, dan mineral. Sumber daya alam ini mempunyai peranan penting dalam kelangsungan hidup manusia sehingga

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Opak Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.1 menunjukan bahwa luas

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sub DAS Cikapundung

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sub DAS Cikapundung BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Sub DAS Cikapundung yang merupakan salah satu Sub DAS yang berada di DAS Citarum Hulu. Wilayah Sub DAS ini meliputi sebagian Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Irigasi Jatiluhur terletak di Daerah Aliran Sungai Citarum Provinsi Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI TPLA DAN METODOLOGI PENELITIAN

BAB III DESKRIPSI TPLA DAN METODOLOGI PENELITIAN BAB III DESKRIPSI TPLA DAN METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sejarah Singkat Balai Pusdalisbang Provinsi Jawa Barat Pusdalisbang (Pusat Data Dan Analisa Pembangunan) adalah unsur pelaksanaan Tugas Teknik Badan

Lebih terperinci