BAB 4 PEMBAHASAN. Bab 4 ini akan membahas setiap pengambilan keputusan yang dilakukan di Bab 3 disertai dengan alasan dan logika berpikirnya.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 4 PEMBAHASAN. Bab 4 ini akan membahas setiap pengambilan keputusan yang dilakukan di Bab 3 disertai dengan alasan dan logika berpikirnya."

Transkripsi

1 BAB 4 PEMBAHASAN Bab 4 ini akan membahas setiap pengambilan keputusan yang dilakukan di Bab 3 disertai dengan alasan dan logika berpikirnya. 4.1 Pembahasan Pemodelan Runner Turbin Penggunaan Pro/Engineer Wildfire 3.0 Seperti telah dibahas pada Bab 3, runner ini dibuat secara reverse dan forward engineering yang berarti dibuat dengan cara menduplikasi suatu produk, komponen-komponennya, atau subassembly-nya yang telah ada sebelumnya tanpa melanggar hak paten atau hak cipta yang telah ada, lalu bagian-bagian lainnya diubah sesuai dengan rancangan yang diinginkan. Dengan demikian sumber pemodelan ini bisa berasal dari model runner serupa yang pernah ada sebelumnya. Selanjutnya model tersebut dimodifikasi dengan sebuah software. Alasan digunakannya software Pro/Engineer Wildfire 3.0 dalam pemodelan runner (pemodifikasian model) adalah: Model dalam Pro/Engineer Wildfire 3.0 adalah model tiga dimensi solid yang memberikan visualisai yang jelas mengenai volume dan permukaannya. Pro/Engineer Wildfire 3.0 ini memiliki karakteristik parametrik yang berarti bentuk dan ukuran model 3D yang dibuat dapat diatur dari atributatribut (dimensi dan constraint) yang dimiliki oleh fitur pembentuknya. Pro/Engineer Wildfire 3.0 juga memiliki karakteristik asosiatif yang berarti mampu meneruskan suatu proses desain ke proses lainnya yang berhubungan. Jadi ketika fitur suatu model yang merupakan suatu acuan berubah maka fitur yang mengacu padanya pun akan berubah Konsep Pemodelan Runner Turbin Runner ini dibuat dengan cara menduplikasi runner turbin Francis serupa, yaitu yang memiliki kecepatan spesifik yang sama dengan runner PLTA Sawi Dago ini. Desain rancangan untuk PLTA Sawi Dago ini sudah didapat 60

2 berdasarkan hasil perhitungan dari segi konversi dengan mempertimbangkan head, debit, putaran, kecepatan spesifik dan sebagainya (perhitungan ini tidak termasuk dalam cakupan bahasan tugas akhir ini). Rancangan ini memberikan dimensi-dimensi utama runner seperti diameter ring, diameter cone, tinggi cone dan posisi sudu pada runner. Ini merupakan sumber bagi forward engineering. Hal pertama dalam duplikasi ini adalah menskalakan runner turbin yang serupa tersebut agar ukurannya mendekati runner turbin PLTA Sawi Dago ini (kegiatan reverse engineering). Selanjutnya bagian cone dan ring dibuat ulang sesuai dengan rancangan dengan berbagai perintah yang terdapat pada Pro/Engineer Wildfire 3.0 (kegiatan forward engineering). Setelah selesai dengan ring dan cone, beralih ke sudunya. Sudu yang masih tertinggal harus disesuaikan lagi posisinya. Namun, hal ini tidak menjadi masalah, hanya dengan menduplikasi bentuk airfoil dari sudu tersebut lalu diposisikan sesuai dengan rancangan (kegiatan reverse engineering) Pengetesan Model Runner Turbin Model runner yang sudah dimodifikasi sesuai dengan desain rancangan ini pada akhirnya harus diuji apakah bisa menghasilkan daya keluaran yang diinginkan atau tidak. Pengujian ini dilakukan dengan software Fluent. Namun pengujian ini tidak termasuk dalam ruang lingkup kajian tugas akhir ini karena proses pengujian membutuhkan pengetahuan tersendiri. Jika hasil pengujian membuktikan model ini berhasil mencapai daya output yang sesuai, berarti model runner ini sudah benar dan siap dipakai. Tugas akhir ini membahas tentang pembuatan cetakan untuk wax pattern dengan produknya adalah sudu, maka dari model runner ini diambil model sebuah sudu untuk selanjutnya diproses untuk membuat cetakannya. 4.2 Pembahasan Pemodelan Cetakan untuk Wax Pattern Sudu Turbin Penggunaan Space-E/Modeler Version 4.2 Banyak software yang menyediakan kemampuan untuk memodelkan sebuah cetakan, namun untuk penulisan TA ini, penulis mencoba 2 jenis software saja yaitu Pro/Mold yang terintegrasi dengan Pro/Engineer Wildfire 3.0 dan Space-E/Modeler Version 4.2. Perbandingan antara kedua software tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut. 61

3 Tabel 4.1 Perbandingan Pro/Mold dengan Space-E Modeler Version 4.2 Kriteria Space-E Modeler Version 4.2 Pro/Mold Model Tiga dimensi permukaan (3D surface) Tiga dimensi solid (3D solid) Karakteristik Tidak parametrik dan tidak Parametrik dan asosiatif sehingga asosiatif sehingga tidak memungkinkan dilakukannya memungkinkan modifikasi modifikasi Sifat produk yang Berbentuk kumpulan permukaan Berbentuk solid yang berarti diimpor ke dalam dimana setiap permukaan produk produk hanya dinyatakan sebagai software dinyatakan sebagai sebuah item sebuah item saja tersendiri Pemosisian produk Dapat dilakukan pada software ini Harus dilakukan di Pro/Engineer Kemudahan dalam Mudah (user interface) Sulit, rumit penggunaan perintah yang ada Pembuatan parting Secara manual sehingga Bisa otomatis dan manual. line dan parting memberikan fleksibilitas bagi Secara otomatis akan surface desainer, didukung dengan memberikan ketidakleluasaan perintah-perintah yang mudah bagi desainer dan jika secara digunakan manual akan rumit dan sulit karena perintah-perintah yang sulit digunakan Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut dan pengalaman pribadi, maka dipilihlah software Space E Modeler Version 4.2 dengan segala fleksibilitas dan kemudahan yang dimilikinya Konsep Pemodelan Cetakan Di dalam sebuah cetakan terdapat rongga cetak yaitu rongga tempat pembentukan cairan yang dituang dalam cetakan (dalam kasus ini adalah wax) menjadi produk (wax pattern). Rongga cetak dibentuk oleh [14]: Bagian berongga (cekungan) yang disebut juga cavity. Bagian yang menonjol (inti) yang disebut core. 62

4 Dalam Space-E/Modeler, model yang akan dicor diterjemahkan menjadi benda berongga yang terdiri dari permukaan-permukaan sehingga dapat ditentukan permukaan mana yang akan menjadi permukaan core dan permukaan mana yang akan menjadi cavity. Lalu dengan pemodelan benda kerja dan parting surface dapat dibuat cetakan bagian core dan cetakan bagian cavity Pembahasan Pemosisian Sudu dalam Cetakan Proses ini memakan waktu yang paling lama. Model sudu yang tersedia dipanggil ke dalam Space-E dan di sini sudu diputar-putar terhadap suatu datum (untuk kasus ini, datumnya berupa sumbu koordinat XYZ) sehingga posisinya nanti di dalam cetakan harus: Tidak menimbulkan undercut. Membutuhkan material benda kerja yang paling minimum Posisi Sudu Tidak Undercut Undercut adalah suatu kondisi yang akan mempersulit proses pengeluaran produk dari cetakan, yang diakibatkan oleh pemosisian yang salah. Undercut ini juga akan mempersulit proses pemesinan cetakan tersebut karena ada bagian yang tidak terjangkau pahat. Lebih jelasnya lihat ilustrasi pada Gambar 4.1. Gambar 4.1a memperlihatkan produk yang akan dibuat cetakannya. Terdapat 2 pilihan cetakan untuk mengecor benda tersebut yaitu cetakan seperti Gambar 4.1 b dan Gambar 4.1c. Jika menggunakan cetakan Gambar 4.1b, maka akan terjadi undercut, rongga cetak membesar ke bawah (taper angle negatif terhadap arah bukaan cetakan) sehingga ada bagian yang tidak terjangkau pahat. Akibatnya rongga cetak itu tidak bisa dibuat dengan proses pemesinan (misal end milling) dan juga dengan cetakan seperti ini, produk coran tidak dapat dkeluarkan dengan mulus. Dengan memilih parting line yang lain dan parting surface yang lain seperti yang didapat pada Gambar 4.1c, akan didapat cetakan yang tidak menimbulkan undercut. Rongga cetak mengecil ke bawah (taper angle positif terhadap arah bukaan cetakan) sehingga bisa dilakukan proses pemesinan dengan mudah dan juga produk dapat dikeluarkan dari cetakannya dengan mudah. 63

5 a b c Gambar 4.1 Ilustrasi untuk undercut a. Produk yang akan dibuat cetakannya b. Cetakan yang mengalami undercut c. Cetakan yang tidak mengalami undercut Untuk mengecek terjadi tidaknya undercut, model dapat dicek dengan menggunakan perintah Info/Measure-Check Taper Angle of Face. Perintah ini akan mengukur sudut dari sebuah permukaan terhadap arah bukaan cetakan (yaitu arah Z). Untuk menyatakan arah bukaan cetakan, harus mendefinisikan azimuth dan elevation pada dialog box check taper angle of face seperti Gambar 4.2. Gambar 4.2 Dialog box check taper angle of face Pada kolom azimuth masukkan sudut revolusi arah bukaan pada bidang XY. Pada kolom elevation masukkan sudut antara arah bukaan terhadap bidang XY. Untuk kasus pengecekan undercut, arah bukaan sama dengan sumbu Z, sehingga azimuth = 0 0 dan elevation = Lalu pilih permukaan sudu yang dihitung taper angle-nya. Klik di beberapa tempat pada permukaan tersebut dan akan keluar nilai taper angle-nya. Sebagai perbandingan antara model yang diposisikan tidak undercut dan model yang diposisikan undercut, akan diberikan 2 buah model seperti dapat 64

6 dilihat pada Tabel 4.2. Baris nomor 1 masing-masing memperlihatkan sudu yang sudah diputar-putar sehingga didapat posisi sedemikian rupa. Arah bukaan cetakan masing-masing adalah sumbu Z. Baris nomor 2 memperlihatkan nilai taper angle sebuah permukaan pada sudu. Permukaan ini baik di model 1 ataupun model 2 memberikan nilai taper angle yang positif. Berarti permukaan ini tidak menimbulkan undercut pada arah bukaan catakan. pada sebuah sisi. Baris 3 memperlihatkan nilai taper angle permukaan lain pada sudu. Dapat dilihat bahwa nilai taper angle permukaan ini untuk model 1 memberikan nilai yang positif, berarti permukaan ini tidak menimbulkan undercut terhadap arah bukaan cetakan bagi model 1. Namun, pada model 2, permukaan ini memberikan nilai taper angle yang negatif sehingga permukaan ini tidak bisa diletakkan pada arah bukaan ini. Untuk menyelesaikan masalah ini, bisa dengan memutar-mutar kembali sudu sehingga bisa didapat seperti model 1, atau dengan cara mengalihkan permukaan ini ke arah bukaan sebaliknya. Pengecekan taper angle of face ini juga dilakukan pada permukaan-permukaan lain sekeliling sudu. Baris nomor 4 pada Tabel 4.2 memberikan ilustrasi kemungkinan permukaan untuk core dan cavity. Permukaan bawah ditambah dengan permukaan sekeliling yang memiliki nilai taper angle yang positif ditinggalkan sebagai core, sedangkan permukaan atas ditambah dengan permukaan sekeliling yang memiliki nilai taper angle negatif dibawa sebagai cavity. 65

7 Tabel 4.2 Perbandingan Model 1 dan 2 Dari Segi Undercut No. Model 1 Model 2 Keterangan 1 Masing-masing model sudu sudah diposisikan. 2 Pengecekan taper angle of face pada sebuah permukaan. Permukaan yang ini di kedua model memberikan nilai taper angle yang positif. 66

8 Tabel 4.2 Perbandingan Model 1 dan 2 Dari Segi Undercut (lanjutan) No. Model 1 Model 2 Keterangan 3 Pengecekan taper angle of face pada permukaan lain. Pada model 1, permukaan ini memberi nilai taper angle yang positif. Namun, pada model 2, permukaan ini memberikan nilai taper angle yang negatif. 4 Kemungkinan bentuk core dan cavity pada masing-masing model 67

9 Posisi Sudu Menghabiskan Material Benda Kerja Paling Minimum Selain jangan menimbulkan undercut, sudu juga harus diposisikan sedemikian sehingga hanya memerlukan material benda kerja yang paling minimum. Hal ini dilakukan dalam rangka menekan biaya material. Bandingkan Gambar 4.3a dan Gambar 4.3b. a Gambar 4.3 Ilustrasi material benda kerja (kotak hijau) a. Material benda kerja untuk model 1 b. Material benda kerja untuk model 2 b Gambar 4.3a memperlihatkan material benda kerja yang diperlukan untuk sudu yang diposisikan seperti model 1 sedangkan Gambar 4.3b memperlihatkan material benda kerja yang diperlukan untuk sudu yang diposisikan seperti model 2. Walaupun sama-sama tidak undercut tetapi jelas terlihat bahwa posisi nomor 1 lebih baik dari segi penghematan material benda kerja yang diperlukan Pembahasan Pengaplikasian Shrinkage pada Sudu Jika dilihat lagi proses investment casting pada tinjauan pustaka bab 2.1.1, maka dalam proses investment casting terjadi 2 kali penyusutan. Pertama ketika wax diinjeksikan pada cetakan, maka ketika wax mengeras akan terjadi penyusutan. Kedua ketika logam cair dituang ke dalam ceramic mold, maka ketika logam mengeras akan terjadi penyusutan juga. Jadi untuk didapat sudu hasil coran dengan ukuran yang sesuai dengan model harus mempertimbangkan kedua penyusutan tersebut. Logikanya adalah agar hasil coran setelah menyusut sesuai dengan model maka ceramic mold harus sedikit diperbesar. Besar ceramic mold ini bergantung 68

10 dari ukuran wax pattern. Wax pattern ini dibuat dengan cara diinjeksikan ke dalam cetakan, sedangkan wax juga mengalami penyusutan. Jadi ukuran cetakan harus diperbesar dengan mempertimbangkan penyusutan logam cair dan penyusutan wax. Tidak ada referensi yang pasti mengenai besar penyusutan dari logam cair dan wax ini. Namun, berdasarkan pengalaman perusahaan investment casting PT X, besar penyusutan ini dapat diperkirakan tergantung dari material logam yang akan dicor dan material wax yang dia miliki. Kali ini material sudu dibuat dari cast stainless steel G-X5 CrNi 13 4 (AISI CA-6 NM) dengan komposisi kimianya adalah seperti Tabel 4.3 berikut. Tabel 4.3 Komposisi kimia material AISI CA-6 NM [15] C Mn P S Si Cr Ni Mo Others Material wax yang dimiliki PT X tidak diketahui dengan pasti (rahasia perusahaan) hanya diketahui bahwa wax berbasis paraffin. Berdasarkan pengalaman perusahaan investment casting (PT X tersebut), besar penyusutan yang harus diterapkan untuk mengkompensasi penyusutan wax dan logam adalah sebesar 2,9 %. Sehingga model sudu untuk membuat ringga cetakan harus diperbesar 1,029 kali Pembahasan Pembuatan Model Benda Kerja Setelah didapat posisi benda kerja yang sekiranya memakan benda kerja paling minimum, lalu benda kerja diberikan ketebalan dari sudut-sudut sudu terluar sebesar kurang lebih 1 inchi untuk menahan tekanan injeksi yang nantinya diberikan pada cetakan ini. Untuk permukaan atas dan bawah diberi ketebalan kurang lebih 1,5 inci dari sudut-sudut terdalam untuk keperluan pencekaman. Diambil besar benda kerja 360mm x 250 mmx 150 mm Pembahasan Pemodelan Model Core dan Cavity Model core dan cavity selanjutnya dibuat dengan perintah-perintah di dalam Space-E/Modeler Version 4.2. Langkah-langkah pembuatannya dapat dilihat pada bab dan

11 4.3 Pembahasan Perencanaan Proses Pemesinan dengan Space-E/CAM Setelah didapat model cetakan dari Space-E/Modeler, model ini bisa diimpor ke Space-E/CAM untuk dibuat perencanaan proses pemesinannya. Dan setelah perencanaan selesai, maka output dari proses ini adalah G-Code yang dapat digunakan pada mesin NC milling Penggunaan Space-E/CAM Untuk merencanakan sebuah proses pemesinan dan mensimulasikan proses tersebut, dapat digunakan berbagai jenis software, diantaranya Pro/NC yang merupakan bagian dari Pro/Engineer, Space-E/CAM yang terintegrasi pada Space-E/Modeler dan masih banyak lagi. Pemilihan software Space-E/CAM sebagai perencana proses pemesinan kali ini semata-mata didasarkan pada kepraktisan bagi penulis. Model cetakan dibuat dengan Space-E/Modeler dan model ini dapat langsung diimpor ke Space- E/CAM tanpa perlu media penerjemah Pembahasan Perencanaan Proses Pemesinan Core Pendefinisian Awal pada Space-E/CAM untuk Core Pendefinisian awal meliputi model core yang akan dimesin, benda kerja awal, informasi mengenai spesifikasi mesin NC milling yang nantinya akan digunakan. Langkah-langkah ini sudah dijelaskan dengan baik pada subbab Benda kerja yang digunakan terbuat dari material dural (paduan aluminium dengan tembaga, magnesium dan mangan [16]). Aluminium sangat umum digunakan untuk pembuatan cetakan untuk wax pattern. Aluminium ini merupakan bahan yang ekonomis, mudah untuk dimesin, memiliki konduktivitas termal yang baik, beratnya cukup ringan, tetapi cukup kuat (Sy = 450 MPa) untuk menahan tekanan dan temperatur penginjeksian wax (temperatur kerja C dan tekanan kerjanya berkisar antara 275 kpa-10,3 MPa [1]). 70

12 Pendefinisian Proses-Proses Pemesinan Core Sebenarnya banyak kombinasi proses pemesinan yang dapat digunakan untuk membuat cetakan core ini. Namun yang disajikan oleh penulis pada kesempatan ini hanyalah kombinasi akhir yang didapat oleh penulis yang dirasa paling baik. Kriteria baik yang diambil penulis didasarkan pada: Kombinasi proses pemesinan tersebut akan menghasilkan profil permukaan core yang paling mendekati profil permukaan model. Kombinasi proses pemesinan tersebut lazim dan aman digunakan untuk dilakukan di mesin NC yang bersangkutan (First MCV 300). Penulis meminta pertimbangan dari operator mesin tersebut mengenai beberapa parameter yang biasa diaturnya. Hasilnya adalah penulis merancang suatu kombinasi proses pemesinan untuk core yang terdiri dari 8 buah proses pemesinan, yang digolongkan menjadi 3 kategori operasi yaitu roughing, semi finishing dan finishing. Masing-masing proses perlu didefinisikan parameternya, pahatnya, area pemesinannya dan post processor yang digunakan. Langkah-langkah pendefinisian masing-masing proses dapat dilihat pada subbab Pada bagian ini akan dibahas alasan pemilihan jumlah proses dan alasan pengambilan keputusan beberapa parameter Operasi Roughing pada Core Roughing adalah proses pemesinan dengan kondisi pemesinan yang diatur sedemikian rupa sehingga memiliki laju penghasilan geram yang besar. Operasi roughing kali ini hanya terdiri dari satu proses saja yaitu proses contour roughing. Proses ini adalah proses pemakanan cepat untuk membentuk kontur. Parameter-parameter penting yang diambil dalam proses contour roughing ini adalah: Pahat yang digunakan adalah pahat roughing 20 mm, karena di bengkel pembuatan cetakan ini, pahat roughing yang tersedia dan lazim dipakai adalah pahat tersebut. Pahat ini bermata potong 4. Kecepatan putaran spindel harus diatur agar mencapai kecepatan potong yang optimum untuk benda kerja aluminium dengan menggunakan pahat HSS, yaitu sebesar m/menit [17]. Berdasarkan hasil pertimbangan 71

13 dari operator mesin yang sudah berpengalaman, biasanya digunakan putaran spindel sebesar = 2000 rpm. Lalu penulis menganalisa saran tersebut dengan cara menghitung kecepatan potong yang terjadi. Jika kecepatan potong melebihi range, akan terjadi kegagalan pada pahat (umurnya menjadi pendek) dan jika kecepatan potongnya terlalu rendah mengakibatkan ketidakefisienan (berhubungan dengan waktu dan biaya). Hasil perhitungan adalah sebagai berikut: π d n v = 1000 π v = 1000 v = 125,66 m / menit Ternyata masuk dalam range yang disarankan sehingga putaran spindel digunakan 2000 rpm. Kecepatan makan harus diatur agar mencapai nilai yang optimum untuk benda kerja aluminium dengan menggunakan pahat HSS. Nilai optimum ini diperoleh berdasarkan gerak makan per gigi yang direkomendasikan sebesar 0,02-0,2 mm/gigi [5]. Gerak makan yang kecil akan menghasilkan permukaan yang halus, sedangkan gerak makan yang besar menghasilkan permukaan yang cenderung kasar. Jika dikombinasikan dengan nilai spindel, maka berdasarkan rumus kecepatan makan, f z v f = v f = f z z n (dengan z = jumlah mata potong pahat = 4) z n akan didapat nilai kecepatan makan yang berkisar antara mm/menit. Kecepatan makan yang kecil akan menyebabkan waktu l pemesinan menjadi lama ( t c = v t f, untuk l t yang sama maka v f yang lebih besar akan menghasilkan waktu pemesinan yang lebih singkat), walaupun permukaan pemesinan yang dihasilkan akan halus. Kecepatan makan yang terlalu besar akan menghasilkan permukaan yang kasar. Berdasarkan hasil pertimbangan dari operator mesin yang sudah berpengalaman, biasanya digunakan kecepatan makan sekitar

14 mm/menit (berarti gerak makan per gigi 0,125 per gigi). Penulis menerimanya karena masuk dalam range yang diijinkan. Pemilihan operasi milling digunakan climb milling karena operasi milling jenis ini akan menghasilkan permukaan yang lebih halus dan juga lebih produktif. Pemilihan Z-pitch (kedalaman potong per kontur) akan berpengaruh pada kontur permukaan. Semakin besar kedalaman potong maka kontur permukaan akan makin kasar (profil bentuk permukaan menyimpang jauh dari model) dan semakin kecil kedalaman potong, kontur permukaan yang diperoleh akan makin halus (profil bentuk permukaan lebih mendekati model). Karena roughing hanya bertujuan untuk memakan benda kerja dengan cepat, digunakan kedalaman potong yang besar. Namun, kedalaman potong maksimum yang dapat dicapai bergantung pada getaran yang akan timbuln dan kekuatan pahat, maka berdasarkan pertimbangan dari operator yang berpengalaman kedalaman potong maksimum per kontur sebesar 1 mm. Pemilihan XY pitch atau jarak langkah pahat pada bidang XY akan mempengaruhi kehalusan permukaan arah XY. Makin besar akan menghasilkan permukaan yang kasar sedangkan nilai yang kecil akan menghasilkan permukaan yang lebih halus namun proses pemesinan menjadi lebih lama. Berdasarkan pertimbangan dari operator yang berpengalaman, untuk operasi roughing dengan diameter pahat 20mm, XY pitch sebesar 15 mm. Penentuan tolerance yaitu toleransi bentuk kontur sebesar 0,1 mm dengan harapan perbedaan bentuk kontur tidak lebih besar dari 0,1 mm. Penentuan thickness yaitu toleransi perbedaan kedalaman kontur sebesar 0,5 mm dengan pertimbangan bahwa 0,5 mm sisanya ini akan dihabiskan secara bertahap dengan proses pemesinan selanjutnya. Setelah semua pendefinisian selesai, jalankanlah simulasi proses pemesinannya, dan setelah simulasi selesai dapat dilihat hasil dari proses contour roughing ini, seperti pada Gambar 4.4. Modelnya berwarna-warni sesuai dengan indeks warna yang membandingkan hasil proses pemesinan dengan model yang 73

15 akan dicapai. Warna hijau menunjukkan bahwa antara hasil pemesinan sudah sama dengan model. Warna biru menunjukkan kelebihan hasil pemesinan terhadap model. Semakin tua warna birunya berarti kelebihan material semakin banyak. Warna merah menunjukkan proses pemesinan mencungkil permukaan benda kerja. Semakin tua warna merahnya berarti semakin banyak material yang tercungkil. Gradien warna ini diset per 0,5 mm. Gambar 4.4 Hasil contour roughing pada core Dapat dilihat bahwa masih banyak bagian yang berwarna biru tua. Kontur permukaan atau profil bentuk permukaannya berarti masih jauh dari model. Maka dari itu diperlukan operasi selanjutnya untuk membenarkan profil bentuk permukaannya Operasi Semi Finishing pada Core Karena kontur permukaan core ini rumit, maka dari proses contour roughing didapat profil bentuk permukaan yang masih menyimpang jauh dari profil bentuk permukaan model. Jika langsung diproses finishing, maka akan terlalu banyak material yang harus dibuang. Padahal pada proses finishing pahatnya kecil, hal ini selain memakan waktu yang lama juga merusak pahat. Maka dari itu proses semi finishing diperlukan untuk mempersiapkan permukaan yang siap untuk diproses finishing. 74

16 Operasi semi finishing kali ini terdiri dari empat proses yaitu proses contour finishing tahap satu dan dua lalu dilanjutkan dengan parallel finishing tahap satu dan dua. Berikut adalah pembahasan masing-masing operasi tersebut Contour Finishing Tahap Satu pada Core Contour finishing adalah proses pemesinan untuk membenarkan profil bentuk permukaan (kontur) dari sebuah benda kerja yang sudah memiliki profil awal. Target pemesinannya adalah profil-profil permukaan pada benda kerja yang bentuknya masih menyimpang dari model. Karena kontur permukaan core ini rumit, maka parameter-parameter harus diubah sedikit demi sedikit. Parameter-parameter yang diambil: Pahat yang digunakan adalah pahat flat endmill 16 mm, dengan 4 mata potong. Kecepatan putaran spindel tetap 2000 rpm, berarti kecepatan potong sebesar 100,53 m/menit. Kecepatan makan dipertahankan 1000 mm/menit berdasar pertimbangan dari operator demi optimasi waktu pemesinan, berarti gerak makan per gigi 0,125 mm/gigi. Pemilihan operasi milling digunakan combination karena operasi jenis ini akan memudahkan program untuk mengatur gerak pahat dalam menghabiskan profil-profil yang tidak sesuai. Pemilihan Z-pitch (kedalaman potong per kontur) akan berpengaruh pada kontur permukaan, sehingga nilainya diperkecil menjadi 0,8 mm. Penentuan tolerance yaitu toleransi bentuk kontur sebesar 0,05 mm dengan harapan perbedaan bentuk kontur tidak lebih besar dari 0,05 mm. Penentuan thickness yaitu toleransi perbedaan kedalaman kontur sebesar 0,3 mm dengan pertimbangan bahwa 0,3 mm sisanya ini akan dihabiskan secara bertahap dengan proses pemesinan selanjutnya. Setelah semua pendefinisian selesai, jalankanlah simulasi proses pemesinannya, dan setelah simulasi selesai dapat dilihat hasil dari proses contour finishing tahap satu ini, seperti pada Gambar 4.5. Dapat dilihat masih terdapat 75

17 bagian berwarna biru dan biru tua. Kontur permukaan masih banyak yang menyimpang dari model perlu operasi lagi. Gambar 4.5 Hasil contour finishing tahap satu pada core Contour Finishing Tahap Dua pada Core Karena hasil dari proses contour finishing tahap satu masih belum memuaskan dilakukan lagi proses contour finishing tahap dua. Target pemesinannya masih profil-profil permukaan pada benda kerja yang bentuknya masih menyimpang dari model. Karena kontur permukaan core ini rumit, maka parameter-parameter harus diubah sedikit demi sedikit. Parameter-parameter yang diambil: Pahat yang digunakan adalah pahat flat endmill 12 mm dengan 4 mata potong. Kecepatan putaran spindel tetap 2000 rpm, berarti kecepatan potong sebesar 75,39 m/menit. Kecepatan makan dipertahankan 1000 mm/menit berdasar pertimbangan dari operator demi optimasi waktu pemesinan, berarti gerak makan per gigi 0,125 mm/gigi. Pemilihan operasi milling digunakan combination karena operasi jenis ini akan memudahkan program untuk mengatur gerak pahat dalam menghabiskan profil-profil yang tidak sesuai. Pemilihan Z-pitch (kedalaman potong per kontur) akan berpengaruh pada kontur permukaan, sehingga nilainya diperkecil lagi menjadi 0,5 mm. 76

18 Penentuan tolerance yaitu toleransi bentuk kontur sebesar 0,05 mm dengan harapan perbedaan bentuk kontur tidak lebih besar dari 0,05 mm. Penentuan thickness yaitu toleransi perbedaan kedalaman kontur sebesar 0,3 mm dengan pertimbangan bahwa 0,3 mm sisanya ini akan dihabiskan secara bertahap dengan proses pemesinan selanjutnya. Setelah semua pendefinisian selesai, jalankanlah simulasi proses pemesinannya, dan setelah simulasi selesai dapat dilihat hasil dari proses contour finishing tahap dua ini, seperti pada Gambar 4.6. Gambar 4.6 Hasil contour finishing tahap dua pada core Dapat dilihat kontur yang didapat sudah hamper mendekati profil bentuk permukaan model, tapi masih memerlukan proses selanjutnya Parallel Finishing Tahap Satu pada Core Hasil dari proses contour finishing tahap satu dan dua akan menghasilkan benda kerja yang memiliki profil permukaan dengan bentuk yang hampir benar. Namun, kekasaran profil permukaannya masih jauh dari kekasaran profil permukaan model yang diinginkan. Untuk itu langkah selanjutnya adalah proses parallel finishing. Target pemesinannya adalah seluruh permukaan benda kerja, sehingga selain memperbaiki kekasaran, kontur pun akan ikut diperhalus. Parameter-parameter yang diambil: 77

19 Pahat yang digunakan adalah pahat ball endmill 10 mm. Pahat ini bermata potong 2. Pahat dengan ujung ball akan menghasilkan jejak pemesinan yang lebih rapi. Ini sangat cocok untuk proses semi finishing tahap akhir. Kecepatan putaran spindel dinaikkan menjadi 3000 rpm, sehingga kecepatan potong sebesar 94,24 m/menit. Kecepatan makan dipertahankan 1000 mm/menit berdasar pertimbangan dari operator demi optimasi waktu pemesinan, berarti gerak makan per gigi 0,16 mm/gigi. Pemilihan operasi milling digunakan combination karena operasi jenis ini akan mempercepat pemakanan. Pemilihan XY pitch atau jarak langkah pahat pada bidang XY akan sangat mempengaruhi kehalusan permukaan arah XY. Nilai ini ditentukan berdasarkan ketinggian sisa hasil pemakanan pahat yang tidak boleh lebih dari 0,1 mm Penentuan tolerance yaitu toleransi bentuk kontur diperkecil menjadi 0,01 mm dengan harapan perbedaan bentuk kontur tidak lebih besar dari 0,01 mm. Penentuan thickness yaitu toleransi perbedaan kedalaman kontur tidak diubah yaitu 0,3 mm dengan pertimbangan bahwa 0,3 mm sisanya ini akan dihabiskan secara bertahap dengan proses pemesinan selanjutnya. Setelah semua pendefinisian selesai, jalankanlah simulasi proses pemesinannya, dan setelah simulasi selesai dapat dilihat hasil dari proses parallel finishing tahap satu ini, seperti pada Gambar 4.7. Dapat dilihat permukaan luar sudah hijau, kecuali bagian depan, sedangkan bagian rongga masih terdapat bagian berwarna biru. Diperlukan operasi pemesinan lagi untuk menghaluskan permukaannya. 78

20 Gambar 4.7 Hasil parallel finishing tahap satu pada core Parallel Finishing Tahap Dua pada Core Hasil dari proses parallel finishing tahap satu masih kurang memuaskan sehingga dilakukan proses parallel finishing tahap dua untuk mendapatkan permukaan yang lebih halus agar lebih mendekati kekasaran profil permukaan model. Parameter-parameter yang diambil: Pahat yang digunakan adalah pahat ball endmill 8 mm. Pahat ini bermata potong 2. Pahat dengan ujung ball akan menghasilkan jejak pemesinan yang lebih rapi, sangat cocok untuk proses semi finishing tahap akhir. Kecepatan putaran spindel tetap 3000 rpm, sehingga kecepatan potong sebesar 75,39 m/menit. Kecepatan makan dipertahankan 1000 mm/menit berdasar pertimbangan dari operator demi optimasi waktu pemesinan berarti gerak makan per gigi 0,16 mm/gigi. Pemilihan operasi milling digunakan combination karena operasi jenis ini akan mempercepat pemakanan. Pemilihan XY pitch atau jarak langkah pahat pada bidang XY akan sangat mempengaruhi kehalusan permukaan arah XY. Nilai ini ditentukan berdasarkan ketinggian sisa hasil pemakanan pahat yang tidak boleh lebih dari 0,1 mm. 79

21 Penentuan tolerance yaitu toleransi bentuk kontur tetap 0,01 mm dengan harapan perbedaan bentuk kontur tidak lebih besar dari 0,01 mm. Penentuan thickness yaitu toleransi perbedaan kedalaman kontur diperkecil menjadi 0,1 mm dengan pertimbangan bahwa 0,1 mm sisanya ini akan dihabiskan secara bertahap dengan proses pemesinan selanjutnya. Setelah semua pendefinisian selesai, jalankanlah simulasi proses pemesinannya, dan setelah simulasi selesai dapat dilihat hasil dari proses parallel finishing tahap dua ini, seperti pada Gambar 4.8. Gambar 4.8 Hasil parallel finishing tahap dua pada core Dapat dilihat permukaan luar sudah hijau semua walaupun jejak pemakanan pahat masih terlihat. Namun, bagian rongga masih terdapat bagian berwarna biru. Diperlukan operasi pemesinan lagi untuk menghaluskan permukaannya Operasi Finishing pada Core Karena kontur permukaan sudah hampir mencapai final, maka saatnyalah dilakukan proses finishing. Proses ini bertujuan untuk mendapatkan permukaan yang halus dan menjangkau semua pojok yang tidak terjangkau oleh pahat-pahat sebelumnya. Oleh karena itu ukuran pahat yang digunakan pun lebih kecil dari proses semi finishing atau proses roughing. Operasi finishing kali ini terdiri dari tiga proses yaitu proses parallel finishing tahap tiga yang dilanjutkan dengan proses rest cutting tahap satu dan dua. Berikut penjelasannya satu persatu. 80

22 Parallel Finishing Tahap Tiga pada Core Hasil dari proses parallel finishing tahap dua menghasilkan benda kerja dengan kekasaran profil permukaan yang lebih mendekati model, tetapi diinginkan untuk menyempurnakan kekasaran profil permukaan agar lebih mendekati kekasaran profil permukaan model dan juga untuk menjangkau rongga cetak yang belum termesin. Maka, langkah selanjutnya adalah proses parallel finishing tahap tiga. Parameter-parameter yang diambil: Pahat yang digunakan adalah pahat ball endmill 6 mm. Pahat ini bermata potong 2. Pahat dengan ujung ball akan menghasilkan jejak pemesinan yang lebih rapi. Ini cocok untuk proses finishing tahap akhir. Kecepatan putaran spindel dinaikkan menjadi 4000 rpm, sehingga kecepatan potong sebesar 75,39 m/menit. Kecepatan makan dipertahankan 1000 mm/menit berdasar pertimbangan dari operator demi optimasi waktu pemesinan berarti gerak makan per gigi 0,125 mm/gigi. Pemilihan operasi milling digunakan combination karena operasi jenis ini akan mempercepat pemakanan. Pemilihan XY pitch atau jarak langkah pahat pada bidang XY akan sangat mempengaruhi kehalusan permukaan arah XY. Nilai ini ditentukan berdasarkan ketinggian sisa hasil pemakanan pahat yang tidak boleh lebih dari 0,005 mm. Penentuan tolerance yaitu toleransi bentuk kontur tetap 0,01 mm dengan harapan perbedaan bentuk kontur tidak lebih besar dari 0,01 mm. Penentuan thickness yaitu toleransi perbedaan kedalaman kontur diperkecil menjadi 0 mm dengan harapan tidak ada lagi perbedaan ketinggian dengan model. Setelah semua pendefinisian selesai, jalankanlah simulasi proses pemesinannya, dan hasil dari proses parallel finishing tahap tiga ini seperti pada Gambar 4.9. Dapat dilihat permukaan luar sudah hijau sempurna. Namun, bagian rongga masih terdapat bagian berwarna biru. Diperlukan operasi pemesinan lagi untuk menghaluskan permukaannya. 81

23 Gambar 4.9 Hasil parallel finishing tahap tiga pada core Rest Cutting Tahap Satu pada Core Proses parallel finishing tahap tiga masih menyisakan area-area pada rongga cetak yang tidak terjangkau. Untuk itu langkah selanjutnya adalah proses rest cutting yang bertujuan untuk menghabiskan sisa-sisa yang tidak termakan oleh proses sebelumnya. Idenya adalah dengan menggunakan pahat yang lebih kecil lagi sehingga dapat menjangkau semua bagian. Parameter-parameter yang diambil: Pahat yang digunakan adalah pahat ball endmill 4 mm. Pahat ini bermata potong 2. Pahat dengan diameter kecil diharapkan dapat membentuk profil sudut-sudut pada rongga cetak. Kecepatan putaran spindel tetap 4000 rpm, sehingga kecepatan potong sebesar 50,26 m/menit. Terjadi ketidakoptimuman (kurang maksimal). Namun, hal ini tidak apa-apa karena terbentur pada batasan kecepatan spindel. Berdasarkan pertimbangan operator yang berpengalaman, putaran spindel lebih dari 4000 rpm terkadang menimbulkan getaran. Kecepatan makan dipertahankan 1000 mm/menit berdasar pertimbangan dari operator demi optimasi waktu pemesinan berarti gerak makan per gigi 0,125 mm/gigi. Pemilihan operasi milling digunakan climb milling dengan tujuan menghasilkan permukaan yang lebih halus. 82

24 Pemilihan XY pitch atau jarak langkah pahat pada bidang XY akan sangat mempengaruhi kehalusan permukaan arah XY. Nilai ini ditentukan dengan jejak yang konstan senilai 0,2 mm. Penentuan tolerance yaitu toleransi bentuk kontur tetap 0,01 mm dengan harapan perbedaan bentuk kontur tidak lebih besar dari 0,01 mm. Penentuan thickness yaitu toleransi perbedaan kedalaman kontur diperkecil menjadi 0 mm dengan harapan tidak ada lagi perbedaan ketinggian dengan model. Setelah semua pendefinisian selesai, jalankanlah simulasi proses pemesinannya, dan setelah simulasi selesai dapat dilihat hasil dari proses rest cutting tahap satu ini, seperti pada Gambar Menunjukkan sedikit perubahan pada hasil pemesinan. Karena kurang maksimal, perlu dilakukan lagi proses rest cutting dengan pahat yang lebih kecil. Gambar 4.10 Hasil rest cutting tahap satu pada core Rest Cutting Tahap Dua pada Core Proses rest cutting tahap satu masih tetap menyisakan area-area pada rongga cetak yang tidak terjangkau. Untuk itu langkah selanjutnya adalah proses rest cutting dengan menggunakan pahat yang lebih kecil lagi. Parameter-parameter yang diambil: 83

25 Pahat yang digunakan adalah pahat ball endmill 2 mm. Pahat ini bermata potong 2. Pahat dengan diameter kecil diharapkan dapat membentuk profil sudut-sudut pada rongga cetak. Kecepatan putaran spindel tetap 4000 rpm, sehingga kecepatan potong sebesar 25,13 m/menit. Terjadi ketidakoptimuman (kurang maksimal). Namun, hal ini tidak apa-apa karena terbentur pada batasan kecepatan spindel. Berdasarkan pertimbangan operator yang berpengalaman, putaran spindel lebih dari 4000 rpm terkadang menimbulkan getaran. Kecepatan makan dipertahankan 1000 mm/menit berdasar pertimbangan dari operator demi optimasi waktu pemesinan berarti gerak makan per gigi 0,125 mm/gigi. Pemilihan operasi milling digunakan climb milling dengan tujuan menghasilkan permukaan yang lebih halus. Pemilihan XY pitch disamakan sebesar 0,2 mm. Penentuan tolerance yaitu toleransi bentuk kontur tetap 0,01 mm dengan harapan perbedaan bentuk kontur tidak lebih besar dari 0,01 mm. Penentuan thickness yaitu toleransi perbedaan kedalaman kontur diperkecil menjadi 0 mm dengan harapan tidak ada lagi perbedaan ketinggian dengan model. Setelah semua pendefinisian selesai, jalankanlah simulasi proses pemesinannya, dan setelah simulasi selesai dapat dilihat hasil dari proses rest cutting tahap dua ini, seperti pada Gambar Memperlihatkan hasil akhir dari proses pemesinan core ini. Semua sudut sudah terjangkau. Hanya ada bagian-bagian minor yang masih berwarna biru, namun besar perbedaannya kurang dari 0,3 mm. Hal ini sangat wajar terjadi mengingat untuk barang cetakan seperti ini tidak dibutuhkan ketelitian yang berorde mikron. 84

26 Gambar 4.11 Hasil rest cutting tahap dua pada core Pembahasan Perencanaan Proses Pemesinan Cavity Pendefinisian Awal pada Space-E/CAM untuk Cavity Pendefinisian awal meliputi model cavity yang akan dimesin, benda kerja awal, informasi mengenai spesifikasi mesin CNC milling yang nantinya akan digunakan. Langkah-langkah ini sudah dijelaskan dengan baik pada subbab Benda kerja yang digunakan terbuat dari material dural (paduan aluminium dengan tembaga, magnesium dan mangan) sama seperti untuk core Pendefinisian Proses-Proses Pemesinan Cavity Seperti halnya untuk kasus pembuatan core, sebenarnya banyak kombinasi proses pemesinan yang dapat digunakan untuk membuat cetakan cavity ini. Namun yang disajikan oleh penulis pada kesempatan ini hanyalah kombinasi akhir yang didapat oleh penulis yang dirasa paling baik. Hasilnya adalah penulis merancang suatu kombinasi proses pemesinan untuk cavity yang terdiri dari 4 buah proses pemesinan yang digolongkan menjadi 3 kategori operasi yaitu roughing, semi finishing dan finishing. Masing-masing proses perlu didefinisikan parameternya, pahatnya, area pemesinannya dan post processor yang digunakan. Langkah-langkah pendefinisian masing-masing proses dapat dilihat pada bab Pada bagian ini akan dibahas alasan pemilihan jumlah proses dan alasan pengambilan keputusan beberapa parameter. 85

27 Operasi Roughing pada Cavity Sama seperti halnya pada pemesinan untuk core, roughing pada cavity adalah proses pemesinan dengan kondisi pemesinan yang diatur sedemikian rupa sehingga memiliki laju penghasilan geram yang besar. Operasi roughing kali ini hanya terdiri dari satu proses saja yaitu proses contour roughing, yaitu proses pemakanan cepat untuk membentuk kontur. Parameter-parameter penting yang diambil dalam proses contour roughing pad cavity ini beserta alasan-alasannya sama persis dengan proses pemesinan roughing pada core, maka dari itu di sini hanya dicantumkan besar dari parameter-parameter saja. Pahat yang digunakan adalah pahat roughing 20 mm. Pahat ini bermata potong 4. Kecepatan putaran spindel sebesar = 2000 rpm, berarti kecepatan potong sebesar 125,6 m/menit. Kecepatan makan 1000 mm/menit (berarti gerak makan per gigi 0,125 per gigi). Pemilihan operasi milling digunakan climb milling agar permukaan yang dihasilkan lebih halus dan metode ini juga lebih produktif. Pemilihan Z-pitch (kedalaman potong per kontur) akan berpengaruh pada kontur permukaan. Diambil nilai maksimum yang bisa ditahan mesin yaitu sebesar 1 mm. Pemilihan XY pitch atau jarak langkah pahat pada bidang XY akan mempengaruhi kehalusan permukaan arah XY. Untuk operasi roughing dengan diameter pahat 20mm, XY pitch diambil sebesar 15 mm. Penentuan tolerance yaitu toleransi bentuk kontur sebesar 0,1 mm dengan harapan perbedaan bentuk kontur tidak lebih besar dari 0,1 mm. Penentuan thickness yaitu toleransi perbedaan kedalaman kontur sebesar 0,5 mm dengan pertimbangan bahwa 0,5 mm sisanya ini akan dihabiskan secara bertahap dengan proses pemesinan selanjutnya. Setelah semua pendefinisian selesai, jalankanlah simulasi proses pemesinannya, dan setelah simulasi selesai dapat dilihat hasil dari proses roughing ini, seperti pada Gambar

28 Gambar 4.12 Hasil contour roughing pada cavity Dapat dilihat bahwa masih banyak bagian yang berwarna biru. Kontur permukaan atau profil bentuk permukaannya berarti masih jauh dari model. Tapi bila dibandingkan dengan proses contour roughing pada core maka pada cavity ini, contour roughing sudah memberikan hasil yang lumayan, hal ini diakibatkan kontur cavity yang tidak terlalu rumit. Tetapi tetap diperlukan operasi selanjutnya untuk membenarkan profil bentuk permukaannya Operasi Semi Finishing pada Cavity Karena kontur permukaan cavity ini tidak terlalu rumit, maka dari proses contour roughing didapat profil bentuk permukaan yang sudah mendekati profil bentuk permukaan model. Namun demikian, perlu diproses semi finishing terlebih dahulu sebelum diproses finishing agar material yang harus dibuang tidak terlalu banyak. Cara ini lebih aman dan tidak merusak pahat finishing nantinya. Maka dari itu proses semi finishing diperlukan untuk mempersiapkan permukaan yang siap untuk diproses finishing. Operasi semi finishing kali ini terdiri dari satu proses saja yaitu proses contour finishing yaitu proses pemesinan untuk membenarkan profil bentuk permukaan (kontur) dari sebuah benda kerja yang sudah memiliki profil awal. Target pemesinannya adalah profil-profil permukaan pada benda kerja yang bentuknya masih menyimpang dari model. Parameter-parameter yang diambil: 87

29 Pahat yang digunakan adalah pahat flat endmill 16 mm. Pahat ini bermata potong 4. Kecepatan putaran spindel tetap 2000 rpm, berarti kecepatan potong sebesar 100,53 m/menit. Kecepatan makan dipertahankan 1000 mm/menit berdasar pertimbangan dari operator demi optimasi waktu pemesinan, berarti gerak makan per gigi 0,125 mm/gigi. Pemilihan operasi milling digunakan combination karena operasi jenis ini akan memudahkan program untuk mengatur gerak pahat dalam menghabiskan profil-profil yang tidak sesuai. Pemilihan Z-pitch (kedalaman potong per kontur) akan berpengaruh pada kontur permukaan, sehingga nilainya diperkecil menjadi 0,8 mm. Penentuan tolerance yaitu toleransi bentuk kontur sebesar 0,05 mm dengan harapan perbedaan bentuk kontur tidak lebih besar dari 0,05 mm. Penentuan thickness yaitu toleransi perbedaan kedalaman kontur sebesar 0,3 mm dengan pertimbangan bahwa 0,3 mm sisanya ini akan dihabiskan secara bertahap dengan proses pemesinan selanjutnya. Setelah semua pendefinisian selesai, jalankanlah simulasi proses pemesinannya, dan setelah simulasi selesai dapat dilihat hasil dari proses contour finishing ini, seperti pada Gambar Gambar 4.13 Hasil contour finishing pada cavity 88

30 Dapat dilihat hanya tersisa bagian yang berwarna biru muda, berarti bisa langsung dilakukan proses finishing. Kontur permukaan dapat langsung diperbaiki dengan proses finishing selanjutnya Operasi Finishing pada Cavity Karena kontur permukaan sudah hampir mencapai final, maka saatnyalah dilakukan proses finishing. Proses ini bertujuan untuk mendapatkan permukaan yang halus dan menjangkau semua pojok-pojok yang tidak terjangkau oleh pahatpahat sebelumnya. Oleh karena itu ukuran pahat yang digunakan pun lebih kecil dari proses semi finishing atau proses roughing. Namun dalam kasus cavity ini tidak dibutuhkan pahat yang sangat kecil seperti halnya pada kasusu pemesinan core. Hal ini diakibatkan kontur cavity yang lebih sederhana dan tidak memiliki sudut-sudut rongga cetak. Operasi finishing kali ini terdiri dari dua proses yaitu proses parallel finishing tahap satu dan tahap dua. Berikut penjelasannya satu persatu Parallel Finishing Tahap Satu pada Cavity Hasil dari proses contour finishing akan menghasilkan benda kerja yang memiliki profil permukaan dengan bentuk yang hampir benar. Namun, kekasaran profil permukaannya masih cukup jauh dari kekasaran profil permukaan model yang diinginkan. Untuk itu langkah selanjutnya adalah proses parallel finishing. Target pemesinannya adalah seluruh permukaan benda kerja, sehingga selain memperbaiki kekasaran, kontur pun akan ikut diperhalus. Parameter-parameter yang diambil: Pahat yang digunakan adalah pahat ball endmill 10 mm. Pahat ini bermata potong 2. Pahat dengan ujung ball akan menghasilkan jejak pemesinan yang lebih rapi, sangat cocok untuk proses semi finishing tahap akhir. Kecepatan putaran spindel dinaikkan menjadi 3000 rpm, sehingga kecepatan potong sebesar 94,24 m/menit. Kecepatan makan dipertahankan 1000 mm/menit berdasar pertimbangan dari operator demi optimasi waktu pemesinan, berarti gerak makan per gigi 0,16 mm/gigi. 89

31 Pemilihan operasi milling digunakan combination karena operasi jenis ini akan mempercepat pemakanan. Pemilihan XY pitch atau jarak langkah pahat pada bidang XY akan sangat mempengaruhi kehalusan permukaan arah XY. Nilai ini ditentukan berdasarkan ketinggian sisa hasil pemakanan pahat yang tidak boleh lebih dari 0,05 mm. Penentuan tolerance yaitu toleransi bentuk kontur diperkecil menjadi 0,01 mm dengan harapan perbedaan bentuk kontur tidak lebih besar dari 0,01 mm. Penentuan thickness yaitu toleransi perbedaan kedalaman kontur tidak diubah yaitu 0,1 mm dengan pertimbangan bahwa 0,1 mm sisanya ini akan dihabiskan secara bertahap dengan proses pemesinan selanjutnya. Setelah semua pendefinisian selesai, jalankanlah simulasi proses pemesinannya, dan setelah simulasi selesai dapat dilihat hasil dari proses parallel finishing tahap satu ini, seperti pada Gambar Gambar 4.14 Hasil parallel finishing tahap satu pada cavity Dapat dilihat permukaan sudah hijau, hanya tersisa bagian lekukan di sebelah kanan yang masih berwarna biru muda. Diperlukan operasi pemesinan lagi untuk menghaluskan permukaannya dan menghabiskan sisa di daerah lekukan. 90

32 Parallel Finishing Tahap Dua pada Cavity Hasil dari proses parallel finishing tahap satu masih kurang memuaskan sehingga dilakukan proses parallel finishing tahap dua untuk mendapatkan permukaan yang lebih halus demi mendapatkan kekasaran profil permukaan yang semirip mungkin dengan model. Parameter-parameter yang diambil: Pahat yang digunakan masih pahat ball endmill 10 mm. Pahat ini bermata potong 2. Sudah dicoba dengan pahat yang lebih kecil, namun hasil simulasi tidak memberikan perbedaan pada kontur, berarti masalah bukan pada ukuran pahat, tetapi pada parameter lainnya. Kecepatan putaran spindel tetap 3000 rpm, sehingga kecepatan potong sebesar 75,39 m/menit. Kecepatan makan dipertahankan 1000 mm/menit berdasar pertimbangan dari operator demi optimasi waktu pemesinan berarti gerak makan per gigi 0,16 mm/gigi. Pemilihan operasi milling digunakan combination karena operasi jenis ini akan mempercepat pemakanan. Pemilihan XY pitch atau jarak langkah pahat pada bidang XY akan sangat mempengaruhi kehalusan permukaan arah XY. Parameter ini mengatur jejak pemesinan. Nilai ini ditentukan berdasarkan ketinggian sisa hasil pemakanan pahat yang tidak boleh lebih dari 0,002 mm. Penentuan tolerance yaitu toleransi bentuk kontur tetap 0,01 mm dengan harapan perbedaan bentuk kontur tidak lebih besar dari 0,01 mm. Penentuan thickness yaitu toleransi perbedaan kedalaman kontur diperkecil menjadi 0 mm dengan harapan didapat dimensi akhir yang sesuai dengan model. Setelah semua pendefinisian selesai, jalankanlah simulasi proses pemesinannya, dan setelah simulasi selesai dapat dilihat hasil dari proses parallel finishing tahap dua ini, seperti pada Gambar Didapat seluruh permukaan berwarna hijau, berarti seluruh permukaan sudah mencapai profil permukaan model. Beberapa lokasi minor memang masih berwarna biru muda. Namun setelah dicek ternyata penyimpangannya di bawah 91

33 0,3 mm. Hal ini sangat wajar terjadi mengingat untuk barang cetakan seperti ini tidak dibutuhkan ketelitian yang berorde mikron. Gambar 4.15 Hasil parallel finishing tahap dua pada cavity 4.4 Pembuatan G-Code Setelah selesai melakukan simulasi proses pemesinan, kegiatan selanjutnya adalah menghasilkan G-Code yang dapat dibaca oleh mesin NC milling First MCV 300. Dalam setiap tahapan proses pemesinan, pasti didefinisikan post processor yang akan digunakan untuk proses pemesinan tersebut. Mesin NC milling yang akan digunakan adalah First MCV 300 dengan post processornya Fanuc Series Oi-MC. Post processor ini termasuk default untuk Space-E/CAM. Dengan perintah calculation, maka Space-E/CAM akan men-generate G-Code yang siap untuk digunakan. G-Code dari proses-proses pemesinan pada core dapat dilihat pada Lampiran C-1 hingga Lampiran C-8. Adapun G-Code dari proses-proses pemesinan pada cavity dapat dilihat pada Lampiran D-1 hingga Lampiran D Pembuatan Core dan Cavity Seperti telah disinggung di bagian atas, core dan cavity ini akan dibuat dengan mesin NC milling First MCV 300. Mesin ini berada di UPT Tegal, LIK Takaru. Gambar 4.16 memperlihatkan foto mesin NC milling tersebut. 92

34 Gambar 4.16 Mesin NC milling First MCV 300 Mesin ini mempunyai 3 sumbu yaitu sumbu X, Y dan Z. Post processor yang digunakan pada mesin NC milling ini adalah Fanuc Oi-MC. Pahat-pahat yang dipakai dalam proses pemesinan dengan NC milling ini dapat dilhat pada Gambar Gambar 4.17 Pahat-pahat yang digunakan Hasil pemesinan dengan menggunakan mesin NC milling ini adalah seperti yang ditunjukkan pada Gambar Gambar 4.18a adalah cetakan core dan Gambar 4.18b adalah cetakan cavity. 93

35 a b Gambar 4.18 Core dan cavity hasil pemesinan dengan NC milling a. Cetakan bagian core b. Cetakan bagian cavity Dapat dilihat bahwa sisi-sisi dari cetakan core dan cavity tersebut berlebih. Hal ini disebabkan ukuran material benda kerja yang lebih besar daripada yang direncanakan di Space-E/CAM. Namun hal ini tidak masalah, dengan menggunakan mesin milling manual seperti yang ada di Laboratorium Teknik Produksi Institut Teknologi Bandung (Gambar 4.19) kelebihan material pada cetakan tersebut dapat dipangkas. Gambar 4.19 Mesin milling manual di Lab. Teknik Produksi - ITB Hasilnya akan didapat cetakan core dan cavity yang rapi seperti terlihat pada Gambar Setelah itu, dibuat lubang injeksi dengan menggunakan mesin bor. Ukuran dari lubang injeksi tergantung dari perusahaan pembuat wax pattern (dalam kasus ini yaitu PT X). Hasilnya dapat dilihat pada Gambar

36 a Gambar 4.20 Core dan cavity yang sudah dirapikan dengan milling manual a. Cetakan bagian core b. Cetakan bagian cavity b a b Gambar 4.21 Core dan cavity yang sudah diberi lubang untuk injeksi a. Cetakan bagian core b. Cetakan bagian cavity Setelah itu dilakukan proses pengamplasan pada sekeliling luar cetakan sehingga penampilannya akan lebih menarik. Lalu diberi pemegang agar mudah untuk dibawa, lihat Gambar Gambar 4.22 Cetakan akhir 95

BAB 3 STUDI KASUS. Gambar 3.1 Diagram Alir Pembuatan Cetakan untuk wax pattern START. Pemodelan runner turbin Francis dengan Pro/Engineer Wildfire 3.

BAB 3 STUDI KASUS. Gambar 3.1 Diagram Alir Pembuatan Cetakan untuk wax pattern START. Pemodelan runner turbin Francis dengan Pro/Engineer Wildfire 3. BAB 3 STUDI KASUS Seperti telah dijelaskan pada tinjauan pustaka, salah satu tahap dalam investment casting adalah pembuatan wax pattern. Wax ini akan diijeksikan ke sebuah cetakan, dimana pembuatan cetakan

Lebih terperinci

PEMBUATAN CETAKAN UNTUK WAX PATTERN PADA INVESTMENT CASTING SUDU RUNNER TURBIN FRANCIS. Koko Suherman

PEMBUATAN CETAKAN UNTUK WAX PATTERN PADA INVESTMENT CASTING SUDU RUNNER TURBIN FRANCIS. Koko Suherman PEMBUATAN CETAKAN UNTUK WAX PATTERN PADA INVESTMENT CASTING SUDU RUNNER TURBIN FRANCIS TUGAS SARJANA Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik Oleh Koko Suherman 13103035

Lebih terperinci

BAB 3 RANCANGAN DAN PELAKSANAAN PERCOBAAN

BAB 3 RANCANGAN DAN PELAKSANAAN PERCOBAAN BAB 3 RANCANGAN DAN PELAKSANAAN PERCOBAAN 3.1 Instalasi Alat Percobaan Alat yang digunakan untuk melakukan percobaan adalah mesin CNC 5 axis buatan Deckel Maho, Jerman dengan seri DMU 50 evolution. Dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Proses Pemesinan Milling dengan Menggunakan Mesin Milling 3-axis

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Proses Pemesinan Milling dengan Menggunakan Mesin Milling 3-axis BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan proses serta teknik pemotongan logam (metal cutting) terus mendorong industri manufaktur semakin maju. Ini terlihat

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Metodologi merupakan tahapan-tahapan penelitian yang dilakukan oleh penulis untuk penyusunan karya ilmiah. Tahapan tersebut diperlukan agar penulisan dapat secara urut, sistematis

Lebih terperinci

BAB IV SIMULASI DAN ANALISIS CETAKAN RING, CONE DAN BLADE

BAB IV SIMULASI DAN ANALISIS CETAKAN RING, CONE DAN BLADE BAB IV SIMULASI DAN ANALISIS CETAKAN RING, CONE DAN BLADE Hasil perancangan cetakan sistem penambah dan sistem saluran pada bab III yang menghasilkan model cetakan dalam proses pengecoran belum dapat dipastikan

Lebih terperinci

MODUL PRAKTIKUM CNC II MASTERCAM LATHE MILLING

MODUL PRAKTIKUM CNC II MASTERCAM LATHE MILLING UNIVERSITAS RIAU MODUL PRAKTIKUM CNC II MASTERCAM LATHE MILLING LABORATORIUM CAD/CAM/CNC JURUSAN TEKNIK MESIN Disusun oleh: Tim Praktikum CNC II (Dedy Masnur, M. Eng., Edi Fitra,) JOB LATHE I. Gambar Kerja

Lebih terperinci

tiap-tiap garis potong, dan mempermudah proses pengeditan. Pembuatan layer dapat

tiap-tiap garis potong, dan mempermudah proses pengeditan. Pembuatan layer dapat BAB IV PEMBAHASAN Setelah melalui beberapa percobaan untuk mendapatkan metode yang efektif dalam merancang replika tulang patella dengan ketelitian bentuk yang mendekati tulang patella aslinya maka diantara

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Gambar 3.1 Baja AISI 4340

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Gambar 3.1 Baja AISI 4340 26 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Bahan 3.1.1 Benda Kerja Benda kerja yang digunakan untuk penelitian ini adalah baja AISI 4340 yang telah dilakukan proses pengerasan (hardening process). Pengerasan dilakukan

Lebih terperinci

BAB 3 PROSES FRAIS (MILLING)

BAB 3 PROSES FRAIS (MILLING) BAB 3 PROSES FRAIS (MILLING) 66 Proses pemesinan frais adalah proses penyayatan benda kerja dengan alat potong dengan mata potong jamak yang berputar. Proses penyayatan dengan gigi potong yang banyak yang

Lebih terperinci

PROSES FREIS ( (MILLING) Paryanto, M.Pd.

PROSES FREIS ( (MILLING) Paryanto, M.Pd. PROSES FREIS ( (MILLING) Paryanto, M.Pd. Jur.. PT. Mesin FT UNY Proses pemesinan freis (milling) adalah penyayatan benda kerja menggunakan alat dengan mata potong jamak yang berputar. proses potong Mesin

Lebih terperinci

PROSES BUBUT (Membubut Tirus, Ulir dan Alur)

PROSES BUBUT (Membubut Tirus, Ulir dan Alur) MATERI PPM MATERI BIMBINGAN TEKNIS SERTIFIKASI KEAHLIAN KEJURUAN BAGI GURU SMK PROSES BUBUT (Membubut Tirus, Ulir dan Alur) Oleh: Dr. Dwi Rahdiyanta, M.Pd. Dosen Jurusan PT. Mesin FT-UNY 1. Proses membubut

Lebih terperinci

BUKU 3 PROSES FRAIS (MILLING) Dr. Dwi Rahdiyanta

BUKU 3 PROSES FRAIS (MILLING) Dr. Dwi Rahdiyanta BUKU 3 PROSES FRAIS (MILLING) Dr. Dwi Rahdiyanta JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2010 1 Proses pemesinan frais adalah proses penyayatan benda kerja dengan

Lebih terperinci

ANALISIS UMUR PAHAT DAN BIAYA PRODUKSI PADA PROSES DRILLING TERHADAP MATERIAL S 40 C

ANALISIS UMUR PAHAT DAN BIAYA PRODUKSI PADA PROSES DRILLING TERHADAP MATERIAL S 40 C ANALISIS UMUR PAHAT DAN BIAYA PRODUKSI PADA PROSES DRILLING TERHADAP MATERIAL S 40 C 1 Azwinur, 2 Taufiq 1 Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Negeri Lhokseumawe Jl. Banda Aceh-Medan Km.280 Buketrata Lhokseumawe.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian pemesinan dilaksanakan di PT.T2C Asia. Adapun waktu penelitiannya mulai dari Mei 2015. 3.2 Metode Penelitian Metode awal yang digunakan

Lebih terperinci

Momentum, Vol. 12, No. 1, April 2016, Hal. 1-8 ISSN , e-issn

Momentum, Vol. 12, No. 1, April 2016, Hal. 1-8 ISSN , e-issn Momentum, Vol. 12, No. 1, April 2016, Hal. 1-8 ISSN 0216-7395, e-issn 2406-9329 PENGARUH ARAH PEMAKANAN DAN SUDUT PERMUKAAN BIDANG KERJA TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN MATERIAL S45C PADA MESIN FRAIS CNC

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Proses Pemesinan Untuk membuat suatu alat atau produk dengan bahan dasar logam haruslah di lakukan dengan memotong bahan dasarnya. Proses pemotongan ini dapat dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan mesin frais (milling) baik untuk keperluan produksi. maupun untuk kaperluan pendidikan, sangat dibutuhkan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan mesin frais (milling) baik untuk keperluan produksi. maupun untuk kaperluan pendidikan, sangat dibutuhkan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi, Penggunaan mesin frais (milling) baik untuk keperluan produksi maupun untuk kaperluan pendidikan, sangat dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB IV SIMULASI PROSES PERMESINAN

BAB IV SIMULASI PROSES PERMESINAN BAB IV SIMULASI PROSES PERMESINAN Setelah dilakukan penentuan dimesin cetakan, maka selanjutnya dilakukan proses permesinannya. Untuk mensimulasikan proses permesinan cetakan botol digunakan perangkat

Lebih terperinci

SOAL LATIHAN 1 TEORI KEJURUAN PEMESINAN

SOAL LATIHAN 1 TEORI KEJURUAN PEMESINAN SOAL LATIHAN 1 TEORI KEJURUAN PEMESINAN OLEH: TIM PEMESINAN SMK PGRI 1 NGAWI CONTACT PERSON: HOIRI EFENDI, S.Pd. 085736430673 1. Gambar berikut yang menunjukkan proyeksi orthogonal. A. D. B. E. C. 2. Gambar

Lebih terperinci

SMK PGRI 1 NGAWI TERAKREDITASI: A

SMK PGRI 1 NGAWI TERAKREDITASI: A TEKNIK PEMESINAN SMK PGRI 1 NGAWI TERAKREDITASI: A Jl. Rajawali No. 32, Telp./Faks. : (0351) 746081 Ngawi. Homepage: 1. www.smkpgri1ngawi.sch.id 2. www.grisamesin.wordpress.com Facebook: A. Kecepatan potong

Lebih terperinci

Mesin Milling CNC 8.1. Proses Pemotongan pada Mesin Milling

Mesin Milling CNC 8.1. Proses Pemotongan pada Mesin Milling Mesin Milling CNC Pada prinsipnya, cara kerja mesin CNC ini adalah benda kerja dipotong oleh sebuah pahat yang berputar dan kontrol gerakannya diatur oleh komputer melalui program yang disebut G-Code.

Lebih terperinci

BAB III PEMILIHAN BAHAN DAN PROSES MANUFAKTUR CRUISE CONTROL

BAB III PEMILIHAN BAHAN DAN PROSES MANUFAKTUR CRUISE CONTROL BAB III PEMILIHAN BAHAN DAN PROSES MANUFAKTUR CRUISE CONTROL III.1 Pemilihan Bahan dan Proses Manufaktur Cruise Control Versi Magnetic Clutch III.1.1 Pemilihan Bahan Cruise Control Versi Magnetic Clutch

Lebih terperinci

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 TEKNIK PEMESINAN

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 TEKNIK PEMESINAN SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 TEKNIK PEMESINAN BAB II PEMESINAN BUBUT B. SENTOT WIJANARKA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN 2016 BAB 2 PROSES BUBUT(TURNING)

Lebih terperinci

PENGARUH TEKNIK PENYAYATAN PAHAT MILLING PADA CNC MILLING 3 AXIS TERHADAP TINGKAT KEKASARAN PERMUKAAN BENDA BERKONTUR

PENGARUH TEKNIK PENYAYATAN PAHAT MILLING PADA CNC MILLING 3 AXIS TERHADAP TINGKAT KEKASARAN PERMUKAAN BENDA BERKONTUR 81 JTM Vol. 05, No. 2, Juni 2016 PENGARUH TEKNIK PENYAYATAN PAHAT MILLING PADA CNC MILLING 3 AXIS TERHADAP TINGKAT KEKASARAN PERMUKAAN BENDA BERKONTUR Irawan Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan dunia robotika yang semakin meningkat, bentuk desain dan fungsi robot pun semakin bervariasi. Pada umumnya komponen rangka dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Industri manufaktur sudah semakin maju seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan penemuan proses dan teknik pemotongan logam (metal cutting). Ini terlihat

Lebih terperinci

B. Sentot Wijanarka, Teknik Pemesinan Dasar, BAB 2

B. Sentot Wijanarka, Teknik Pemesinan Dasar, BAB 2 BAB 2 PROSES BUBUT(TURNING) Tujuan : Setelah mempelajari materi ajar ini mahasiswa memilikim kompetensi: 1. Dapat merencanakan proses pemesinan pembuatan poros lurus dengan menggunakan mesin bubut 2. Dapat

Lebih terperinci

Gambar 2.1 Sumbu-sumbu pada mesin NC [9]

Gambar 2.1 Sumbu-sumbu pada mesin NC [9] 2 PMSI MULTI IS D SISTM CM 2.1 Pemesinan C Multi xis Proses pemesinan dengan teknologi NC (numerical control) telah dikenal luas pemakaiannya pada saat ini. lectronics Industries ssociation (I) mendefinisikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengujian Kedataran Meja Menggunakan Spirit Level Dengan Posisi Horizontal Dan Vertikal. Dari pengujian kedataran meja mesin freis dengan menggunakan Spirit Level

Lebih terperinci

ANALISA PERBANDINGAN PEMAKAIAN RISER RING DAN CROWN PADA PENGECORAN VELG TIPE MS 366 DENGAN UJI SIMULASI MENGGUNAKAN CAE ADSTEFAN

ANALISA PERBANDINGAN PEMAKAIAN RISER RING DAN CROWN PADA PENGECORAN VELG TIPE MS 366 DENGAN UJI SIMULASI MENGGUNAKAN CAE ADSTEFAN ANALISA PERBANDINGAN PEMAKAIAN RISER RING DAN CROWN PADA PENGECORAN VELG TIPE MS 366 DENGAN UJI SIMULASI MENGGUNAKAN CAE ADSTEFAN Oleh: M.Nawarul Fuad Shibu lijack LATAR BELAKANG Fungsi velg sebagai roda

Lebih terperinci

Bab II Teori Dasar Gambar 2.1 Jenis konstruksi dasar mesin freis yang biasa terdapat di industri manufaktur.

Bab II Teori Dasar Gambar 2.1 Jenis konstruksi dasar mesin freis yang biasa terdapat di industri manufaktur. Bab II Teori Dasar Proses freis adalah proses penghasilan geram yang menggunakan pahat bermata potong jamak (multipoint cutter) yang berotasi. Pada proses freis terdapat kombinasi gerak potong (cutting

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH CUTTING SPEED DAN FEEDING RATE MESIN BUBUT TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN BENDA KERJA DENGAN METODE ANALISIS VARIANS

ANALISIS PENGARUH CUTTING SPEED DAN FEEDING RATE MESIN BUBUT TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN BENDA KERJA DENGAN METODE ANALISIS VARIANS ANALISIS PENGARUH CUTTING SPEED DAN FEEDING RATE MESIN BUBUT TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN BENDA KERJA DENGAN METODE ANALISIS VARIANS Rakian Trisno Valentino Febriyano 1), Agung Sutrisno ), Rudy Poeng 3)

Lebih terperinci

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 TEKNIK PEMESINAN

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 TEKNIK PEMESINAN SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 TEKNIK PEMESINAN BAB III PEMESINAN FRAIS B. SENTOT WIJANARKA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN 2016 BAB 3 PROSES

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Turbin blade [Gandjar et. al, 2008]

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Turbin blade [Gandjar et. al, 2008] BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses produksi pembuatan suatu produk manufaktur yang ada didunia hampir seluruhnya memerlukan proses pemesinan. Contoh produk yang memerlukan proses pemesinan adalah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian sekaligus pengambilan data dilakukan di Laboratorium Produksi dan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian sekaligus pengambilan data dilakukan di Laboratorium Produksi dan III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Penelitian sekaligus pengambilan data dilakukan di Laboratorium Produksi dan Laboratorium Metrologi Universitas Lampung serta Laboratorium Material ITB Bandung

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Material Jurusan Teknik Mesin Universitas Lampung. Adapun bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah :

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Material Jurusan Teknik Mesin Universitas Lampung. Adapun bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah : BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Proses Produksi dan Laboratorium Material Jurusan Teknik Mesin Universitas Lampung. B. Bahan Adapun bahan yang

Lebih terperinci

TORSI ISSN : Jurnal Teknik Mesin Universitas Pendidikan Indonesia Vol. IV No. 1 Januari 2006 Hal

TORSI ISSN : Jurnal Teknik Mesin Universitas Pendidikan Indonesia Vol. IV No. 1 Januari 2006 Hal PENGARUH PROSES PEMOTONGAN END MILL TERHADAP HASIL POTONG Dalmasius Ganjar Subagio*) INTISARI PENGARUH PROSES PEMOTONGAN END MILL TERHADAP HASIL POTONG. Telah dilaksanakan penelitian terhadap perbedaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pentingnya proses permesinan merupakan sebuah keharusan. mesin dari logam. Proses berlangsung karena adanya gerak

BAB I PENDAHULUAN. Pentingnya proses permesinan merupakan sebuah keharusan. mesin dari logam. Proses berlangsung karena adanya gerak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pentingnya proses permesinan merupakan sebuah keharusan dalam industri manufaktur terutama untuk pembuatan komponenkomponen mesin dari logam. Proses berlangsung karena

Lebih terperinci

Aplikasi Cairan Pelumas Pada Pengeboran Pelat ASTM A1011 Menggunakan Mata Bor HSS

Aplikasi Cairan Pelumas Pada Pengeboran Pelat ASTM A1011 Menggunakan Mata Bor HSS Jurnal Mechanical, Volume 5, Nomor 2, September 214 Aplikasi Cairan Pelumas Pada Pengeboran Pelat ASTM A111 Menggunakan Mata Bor HSS Arinal Hamni, Anjar Tri Gunadi, Gusri Akhyar Ibrahim Jurusan Teknik

Lebih terperinci

Materi 4. Menulis Program CNC di Mesin Frais CNC (membuka, menulis, dan mengedit program CNC)

Materi 4. Menulis Program CNC di Mesin Frais CNC (membuka, menulis, dan mengedit program CNC) Materi 4 Menulis Program CNC di Mesin Frais CNC (membuka, menulis, dan mengedit program CNC) Tujuan Setelah mempelajari materi 4 ini mahasiswa memiliki kompetensi : Menjelaskan dasar-dasar program CNC

Lebih terperinci

ANALISIS PEMOTONGAN RODA GILA (FLY WHEEL) PADA PROSES PEMESINAN CNC BUBUT VERTIKAL 2 AXIS MENGGUNAKAN METODE PEMESINAN KERING (DRY MACHINING)

ANALISIS PEMOTONGAN RODA GILA (FLY WHEEL) PADA PROSES PEMESINAN CNC BUBUT VERTIKAL 2 AXIS MENGGUNAKAN METODE PEMESINAN KERING (DRY MACHINING) ANALISIS PEMOTONGAN RODA GILA (FLY WHEEL) PADA PROSES PEMESINAN CNC BUBUT VERTIKAL 2 AXIS MENGGUNAKAN METODE PEMESINAN KERING (DRY MACHINING) IRVAN YURI SETIANTO NIM: 41312120037 PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Mulai. Studi Pustaka. Persiapan Spesimen dan Peralatan. Permesinan dengan Kondisi Permesinan Kering dan Basah

BAB III METODE PENELITIAN. Mulai. Studi Pustaka. Persiapan Spesimen dan Peralatan. Permesinan dengan Kondisi Permesinan Kering dan Basah BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Diagram Alir Penelitian Mulai Studi Pustaka Persiapan Spesimen dan Peralatan Permesinan dengan Kondisi Permesinan Kering dan Basah Permesinan dengan Pemakaian Jenis Pahat

Lebih terperinci

III. KEGIATAN BELAJAR 3 PEMBUATAN POLA DAN INTI. Setelah pembelajaran ini mahasiswa mampu menjelaskan pembuatan pola dan inti pada proses pengecoran.

III. KEGIATAN BELAJAR 3 PEMBUATAN POLA DAN INTI. Setelah pembelajaran ini mahasiswa mampu menjelaskan pembuatan pola dan inti pada proses pengecoran. III. KEGIATAN BELAJAR 3 PEMBUATAN POLA DAN INTI A. Sub Kompetensi Pembuatan pola dan inti dapat dijelaskan dengan benar B. Tujuan Kegiatan Pembelajaran Setelah pembelajaran ini mahasiswa mampu menjelaskan

Lebih terperinci

PERANCANGAN PENGECORAN KONSTRUKSI CORAN DAN PERANCANGAN POLA

PERANCANGAN PENGECORAN KONSTRUKSI CORAN DAN PERANCANGAN POLA KONSTRUKSI CORAN DAN PERANCANGAN POLA Arianto Leman S., MT Disampaikan dalam : PELATIHAN PENGEMBANGAN RINTISAN PENGECORAN SKALA MINI BAGI GURU-GURU SMK DI YOGYAKARTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI

Lebih terperinci

INTEGRASI SISTEM INTERAKTIF DALAM SISTEM OPERASI MESIN BUBUT CNC UNTUK PENDIDIKAN

INTEGRASI SISTEM INTERAKTIF DALAM SISTEM OPERASI MESIN BUBUT CNC UNTUK PENDIDIKAN INTEGRASI SISTEM INTERAKTIF DALAM SISTEM OPERASI MESIN BUBUT CNC UNTUK PENDIDIKAN Susilo Adi Widyanto Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedharto, SH, Kampus Tembalang,

Lebih terperinci

PROSES PEMBUBUTAN LOGAM. PARYANTO, M.Pd.

PROSES PEMBUBUTAN LOGAM. PARYANTO, M.Pd. PROSES PEMBUBUTAN LOGAM PARYANTO, M.Pd. Jur.. PT. Mesin FT UNY Proses bubut adalah proses pemesinan untuk menghasilkan bagian-bagian mesin (komponen) berbentuk silindris yang dikerjakan dengan menggunakan

Lebih terperinci

MODUL 7 PROSES PENGECORAN LOGAM

MODUL 7 PROSES PENGECORAN LOGAM MODUL 7 PROSES PENGECORAN LOGAM Materi ini membahas tentang pembuatan besi tuang dan besi tempa. Tujuan instruksional khusus yang ingin dicapai adalah (1) Menjelaskan peranan teknik pengecoran dalam perkembangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi yang sangat pesat mendorong terciptanya suatu produk baru dengan kualitas yang baik. Dalam dunia industri manufaktur, terdapat banyak kendala

Lebih terperinci

BUKU 2 PROSES BUBUT (TURNING) ALAN ANDIKA PRIYATAMA, M.Pd

BUKU 2 PROSES BUBUT (TURNING) ALAN ANDIKA PRIYATAMA, M.Pd BUKU 2 PROSES BUBUT (TURNING) ALAN ANDIKA PRIYATAMA, M.Pd PEMERINTAH KABUPATEN PURBALINGGA DINAS PENDIDIKAN SMK NEGERI 3 PURBALINGGA 2014 1 PRAKATA DEMI MASA Masa tersulit adalah saat roda pertama kali

Lebih terperinci

MATERI KULIAH PROSES PEMESINAN KERJA BUBUT KOMPLEKS Ulir, Tirus, Eksentrik dan Benda Panjang

MATERI KULIAH PROSES PEMESINAN KERJA BUBUT KOMPLEKS Ulir, Tirus, Eksentrik dan Benda Panjang Kegiatan Belajar MATERI KULIAH PROSES PEMESINAN KERJA BUBUT KOMPLEKS Ulir, Tirus, Eksentrik dan Benda Panjang Dwi Rahdiyanta FT-UNY Membubut Komplek : Ulir, Tirus, Eksentrik, dan Membubut Benda a. Tujuan

Lebih terperinci

BAB III METODE PERANCANGAN. base gantungan baju multifungsi adalah sebagai berikut :

BAB III METODE PERANCANGAN. base gantungan baju multifungsi adalah sebagai berikut : BAB III METODE PERANCANGAN Metode perancangan merupakan langkah-langkah yang dijadikan pedoman dalam melakukan perancangan agar memperoleh hasil yang lebih baik dan memperkecil kesalahan kesalahan yang

Lebih terperinci

Kecepatan potong Kecepatan makan Kedalaman potong. Kekasaran Permukaan

Kecepatan potong Kecepatan makan Kedalaman potong. Kekasaran Permukaan Kecepatan potong Kecepatan makan Kedalaman potong Kekasaran Permukaan Kombinasi Parameter Respon Optimum Single Respon Multi Respon V vf a F Ra LPM Sifat mampu mesin yang baik. Kekerasan 170 210 HB. Kekerasannya

Lebih terperinci

Jurnal Flywheel, Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN :

Jurnal Flywheel, Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN : ANALISIS SIMULASI PENGARUH SUDUT CETAKAN TERHADAP GAYA DAN TEGANGAN PADA PROSES PENARIKAN KAWAT TEMBAGA MENGGUNAKAN PROGRAM ANSYS 8.0 I Komang Astana Widi Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri,

Lebih terperinci

ANALISA KEKERASAN MATERIAL TERHADAP PROSES PEMBUBUTAN MENGGUNAKAN MEDIA PENDINGIN DAN TANPA MEDIA PENDINGIN

ANALISA KEKERASAN MATERIAL TERHADAP PROSES PEMBUBUTAN MENGGUNAKAN MEDIA PENDINGIN DAN TANPA MEDIA PENDINGIN ANALISA KEKERASAN MATERIAL TERHADAP PROSES PEMBUBUTAN MENGGUNAKAN MEDIA PENDINGIN DAN TANPA MEDIA PENDINGIN Denny Wiyono Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin Polnep Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

Materi 3 Seting Benda Kerja, Pahat, dan Zero Offset Mesin Bubut CNC Tujuan :

Materi 3 Seting Benda Kerja, Pahat, dan Zero Offset Mesin Bubut CNC Tujuan : Materi 3 Seting Benda Kerja, Pahat, dan Zero Offset Mesin Bubut CNC Tujuan : Setelah mempelajari materi 3 ini mahasiswa memilki kompetensi melakukan seting benda kerja, pahat dan zerro offset mesin bubut

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Data Data yang diperlukan dalam penelitian Aplikasi New High Speed Machining Roughing Strategy Pada Mesin CNC YCM EV1020A antara lain: 1. Jurnal dan penelitian yang berkaitan

Lebih terperinci

Parameter Pemotongan pada Proses Pembubutan

Parameter Pemotongan pada Proses Pembubutan Materi 1 Parameter Pemotongan pada Proses Pembubutan Yang dimaksud dengan parameter pemotongan pada proses pembubutan adalah, informasi berupa dasar-dasar perhitungan, rumus dan tabel-tabel yang mendasari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 HASIL SOFTWARE Tampilan untuk program konversi khusus untuk kasus general_revolution dapat dilihat pada gambar dibawah ini : Gambar 4.1 Tampilan program konversi Pada jendela

Lebih terperinci

Materi 3. Seting Alat potong, Benda Kerja, dan Zero Offset pada Mesin Frais CNC

Materi 3. Seting Alat potong, Benda Kerja, dan Zero Offset pada Mesin Frais CNC Materi 3 Seting Alat potong, Benda Kerja, dan Zero Offset pada Mesin Frais CNC Tujuan : Setelah mempelajari materi 3 ini mahasiswa memiliki kompetensi: Memasang benda kerja di mesin frais CNC Memilih alat

Lebih terperinci

BAB 6 MENGENAL PROSES BUBUT (TURNING)

BAB 6 MENGENAL PROSES BUBUT (TURNING) BAB 6 MENGENAL PROSES BUBUT (TURNING) Teknik Pemesinan 143 Proses bubut adalah proses pemesinan untuk menghasilkan bagianbagian mesin berbentuk silindris yang dikerjakan dengan menggunakan Mesin Bubut.

Lebih terperinci

Pengembangan laser..., Ahmad Kholil, FT UI, 2008

Pengembangan laser..., Ahmad Kholil, FT UI, 2008 i. Membuat lintasan untuk setiap layer. Lintasan dibuat dengan terlebih dahulu menentukan titik x sesuai dengan hatch space yang telah ditentukan sebelumnya. j. Mengurutkan titik potong berdasarkan arah

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. 6.1 Kesimpulan

BAB VI PENUTUP. 6.1 Kesimpulan BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa Mesin CNC router dengan 3 axis dapat dipakai untuk membuat sebuah benda berbentuk 3 dimensi. Hanya saja diperlukan proses

Lebih terperinci

Studi Pengaruh Besar Arus dan Arc On-Time Pada Electrical Discharge Machining (EDM) Sinking

Studi Pengaruh Besar Arus dan Arc On-Time Pada Electrical Discharge Machining (EDM) Sinking Studi Pengaruh Besar dan Arc On-Time Pada Electrical Discharge Machining (EDM) Sinking Terhadap Kekasaran Permukaan Benda Kerja dan Keausan Elektroda Roche Alimin, Juliana Anggono, Rinto Hamdrik Jurusan

Lebih terperinci

PEMBUATAN ADAPTER MILLING CNC MENGGUNAKAN CNC FANUC SERIES OI MATE TC BERBASIS SOFTWARE

PEMBUATAN ADAPTER MILLING CNC MENGGUNAKAN CNC FANUC SERIES OI MATE TC BERBASIS SOFTWARE PEMBUATAN ADAPTER MILLING CNC MENGGUNAKAN CNC FANUC SERIES OI MATE TC BERBASIS SOFTWARE Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah membuat desain dan mendapatkan

Lebih terperinci

KEGIATAN BELAJAR : Membuat Program di Mesin Bubut CNC

KEGIATAN BELAJAR : Membuat Program di Mesin Bubut CNC MODUL CNC- 4 Oleh: Dwi Rahdiyanta FT-UNY KEGIATAN BELAJAR : Membuat Program di Mesin Bubut CNC A. Tujuan umum pembelajaran Setelah mempelajari materi ini peserta didik diharapkan akan mampu melakukan pemrograman

Lebih terperinci

OPTIMASI PARAMETER PEMESINAN TANPA FLUIDA PENDINGIN TERHADAP MUTU BAJA AISI Jl. Jend. Sudirman Km 3 Cilegon,

OPTIMASI PARAMETER PEMESINAN TANPA FLUIDA PENDINGIN TERHADAP MUTU BAJA AISI Jl. Jend. Sudirman Km 3 Cilegon, OPTIMASI PARAMETER PEMESINAN TANPA FLUIDA PENDINGIN TERHADAP MUTU BAJA AISI 1045 Haryadi 1, Slamet Wiyono 2, Iman Saefuloh 3, Muhamad Rizki Mutaqien 4 1,2,3,4 Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Proses Produksi Proses produksi adalah tahap-tahap yang harus dilewati dalam memproduksi barang atau jasa. Ada proses produksi membutuhkan waktu yang lama, misalnya

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI 2.1 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II DASAR TEORI 2.1 TINJAUAN PUSTAKA BAB II DASAR TEORI 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Elvys, (2015) menyatakan untuk memenuhi kebutuhan mesin perkakas CNC bagi workshop industri kecil dan atau sebagai media pembelajaran pada institusi pendidikan,

Lebih terperinci

Studi Eksperimental tentang Pengaruh Parameter Pemesinan Bubut terhadap Kekasaran Permukaan pada Pemesinan Awal dan Akhir

Studi Eksperimental tentang Pengaruh Parameter Pemesinan Bubut terhadap Kekasaran Permukaan pada Pemesinan Awal dan Akhir Studi Eksperimental tentang Pengaruh Parameter Pemesinan Bubut terhadap Kekasaran Permukaan pada Pemesinan Awal dan Akhir Agung Premono 1, a *, Triyono 1, R. Ramadhani 2, N. E. Fitriyanto 2 1 Dosen, Jurusan

Lebih terperinci

TUGAS PENGETAHUAN BAHAN TEKNIK II CETAKAN PERMANEN

TUGAS PENGETAHUAN BAHAN TEKNIK II CETAKAN PERMANEN TUGAS PENGETAHUAN BAHAN TEKNIK II CETAKAN PERMANEN Disusun Oleh Nama Anggota : Rahmad Trio Rifaldo (061530202139) Tris Pankini (061530200826) M Fikri Pangidoan Harahap (061530200820) Kelas : 3ME Dosen

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI PUTARAN SPINDEL DAN KEDALAMAN PEMOTONGAN TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN BAJA ST 60 PADA PROSES BUBUT KONVENSIONAL

PENGARUH VARIASI PUTARAN SPINDEL DAN KEDALAMAN PEMOTONGAN TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN BAJA ST 60 PADA PROSES BUBUT KONVENSIONAL PENGARUH VARIASI PUTARAN SPINDEL DAN KEDALAMAN PEMOTONGAN TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN BAJA ST 60 PADA PROSES BUBUT KONVENSIONAL Muhammad Sabil 1, Ilyas Yusuf 2, Sumardi 2, 1 Mahasiswa Prodi D-IV Teknik

Lebih terperinci

BAB II MESIN BUBUT. Gambar 2.1 Mesin bubut

BAB II MESIN BUBUT. Gambar 2.1 Mesin bubut BAB II MESIN BUBUT A. Prinsip Kerja Mesin Bubut Mesin bubut merupakan salah satu mesin konvensional yang umum dijumpai di industri pemesinan. Mesin bubut (gambar 2.1) mempunyai gerak utama benda kerja

Lebih terperinci

HSS PADA PROSES BUBUT DENGAN METODE TOOL TERMOKOPEL TIPE-K DENGAN MATERIAL St 41

HSS PADA PROSES BUBUT DENGAN METODE TOOL TERMOKOPEL TIPE-K DENGAN MATERIAL St 41 Tesis PEMODELAN TEMPERATUR PAHAT POTONG HSS PADA PROSES BUBUT DENGAN METODE TOOL TERMOKOPEL TIPE-K DENGAN MATERIAL St 41 Mochamad Mas ud 2107 201 007 Pembimbing Ir. Bambang Pramujati, MSc Eng., Ph.D Dr.

Lebih terperinci

TEORI MEMESIN LOGAM (METAL MACHINING)

TEORI MEMESIN LOGAM (METAL MACHINING) TEORI MEMESIN LOGAM (METAL MACHINING) Proses permesinan (machining) : Proses pembuatan ( manufacture) dimana perkakas potong ( cutting tool) digunakan untuk membentuk material dari bentuk dasar menjadi

Lebih terperinci

BEKERJA DENGAN MESIN BUBUT

BEKERJA DENGAN MESIN BUBUT BEKERJA DENGAN MESIN BUBUT STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA (SKKNI) BIDANG KOMPETENSI 1. KELOMPOK DASAR / FOUNDATION 2. KELOMPOK INTI 3. PERAKITAN (ASSEMBLY) 4. PENGECORAN DAN PEMBUATAN CETAKAN

Lebih terperinci

BEKERJA DENGAN MESIN BUBUT

BEKERJA DENGAN MESIN BUBUT 1 BEKERJA DENGAN MESIN BUBUT PENGERTIAN Membubut adalah proses pembentukan benda kerja dengan mennggunakan mesin bubut. Mesin bubut adalah perkakas untuk membentuk benda kerja dengan gerak utama berputar.

Lebih terperinci

BAB 3 REVERSE ENGINEERING GEARBOX

BAB 3 REVERSE ENGINEERING GEARBOX BAB 3 REVERSE ENGINEERING GEARBOX 3.1 Mencari Informasi Teknik Komponen Gearbox Langkah awal dalam proses RE adalah mencari informasi mengenai komponen yang akan di-re, dalam hal ini komponen gearbox traktor

Lebih terperinci

Optimasi Cutting Tool Carbide pada Turning Machine dengan Geometry Single Point Tool pada High Speed

Optimasi Cutting Tool Carbide pada Turning Machine dengan Geometry Single Point Tool pada High Speed ISBN 978-979-3541-50-1 IRWNS 2015 Optimasi Cutting Tool Carbide pada Turning Machine dengan Geometry Single Point Tool pada High Speed Badruzzaman a, Dedi Suwandi b a Jurusan Teknik Mesin,Politeknik Negeri

Lebih terperinci

BAB IIIPROSES PEMBUATAN MOLD GRAB RAIL K15A PROSES PEMBUATAN MOLD GRAB RAIL K15A

BAB IIIPROSES PEMBUATAN MOLD GRAB RAIL K15A PROSES PEMBUATAN MOLD GRAB RAIL K15A BAB IIIPROSES PEMBUATAN MOLD GRAB RAIL K15A PROSES PEMBUATAN MOLD GRAB RAIL K15A 3.1 Deskripsi Molding Injection Mold (cetakan) terdiri dari dua bagian pelat bergerak (core plate) dan pelat diam (cavity

Lebih terperinci

BAB 7 MENGENAL PROSES FRAIS (Milling)

BAB 7 MENGENAL PROSES FRAIS (Milling) BAB 7 MENGENAL PROSES FRAIS (Milling) 189 P roses pemesinan frais (milling) adalah proses penyayatan benda kerja menggunakan alat potong dengan mata potong jamak yang berputar. Proses penyayatan dengan

Lebih terperinci

BAB V PROSES PENGECORAN BAB V PROSES PENGECORAN

BAB V PROSES PENGECORAN BAB V PROSES PENGECORAN BAB V PROSES PENGECORAN Bertitik tolak pada cara kerja proses ini, maka proses pembuatan jenis ini dapat dibagi menjadi 2, yaitu: 1. Proses penuangan. 2. Proses pencetakan. Proses penuangan adalah proses

Lebih terperinci

SOAL LATIHAN 3 TEORI KEJURUAN PEMESINAN

SOAL LATIHAN 3 TEORI KEJURUAN PEMESINAN SOAL LATIHAN 3 TEORI KEJURUAN PEMESINAN OLEH: TIM PEMESINAN SMK PGRI 1 NGAWI CONTACT PERSON: HOIRI EFENDI, S.PD 085736430673 SOAL NAS: F018-PAKET A-08/09 1. Sebuah poros kendaraan terbuat dari bahan St

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Proses Produksi Jurusan Teknik

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Proses Produksi Jurusan Teknik III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Proses Produksi Jurusan Teknik mesin Universitas Lampung untuk proses milling (frais) specimen uji dan Laboratorium

Lebih terperinci

PEMROGRAMAN CNC. Program adalah sejumlah perintah dalam bentuk kode yang dipakai untuk mengendalikan mesin.

PEMROGRAMAN CNC. Program adalah sejumlah perintah dalam bentuk kode yang dipakai untuk mengendalikan mesin. PEMROGRAMAN CNC DEFINISI; Program adalah sejumlah perintah dalam bentuk kode yang dipakai untuk mengendalikan mesin. Permograman adalah pemberian sejumlah perintah dalam bentuk kode yang dimengerti oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan zaman, untuk mengoptimalkan nilai efisiensi terhadap suatu produk maka dimulailah suatu pengembangan terhadap material, dan para ahli mulai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Silinder liner adalah komponen mesin yang dipasang pada blok silinder yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Silinder liner adalah komponen mesin yang dipasang pada blok silinder yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Silinder liner adalah komponen mesin yang dipasang pada blok silinder yang berfungsi sebagai tempat piston dan ruang bakar pada mesin otomotif. Pada saat langkah kompresi

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. menggunakan bantuan aplikasi CAD (Computer-Aided Design) untuk. menggunakan komputer ini disebut sebagai mesin Computer based

Bab 1. Pendahuluan. menggunakan bantuan aplikasi CAD (Computer-Aided Design) untuk. menggunakan komputer ini disebut sebagai mesin Computer based Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan kemajuan teknologi, komputer digunakan untuk berbagai keperluan, baik sebagai sarana untuk membantu pekerjaan maupun sarana hiburan. Penggunaannya

Lebih terperinci

Toleransi& Implementasinya

Toleransi& Implementasinya Toleransi& Implementasinya Daftar Isi 1. Toleransi Linier... 3 a) Suaian-suaian (Fits)... 6 b) Jenis jenis Suaian... 6 c) Toleransi Khusus dan Toleransi Umum... 6 1) Toleransi Khusus... 6 2) Toleransi

Lebih terperinci

Simulasi Komputer untuk Memprediksi Besarnya Daya Pemotongan pada Proses Pembubutan Silindris

Simulasi Komputer untuk Memprediksi Besarnya Daya Pemotongan pada Proses Pembubutan Silindris Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin, SNTTM-VI, 2007 Jurusan Teknik Mesin, Universitas Syiah Kuala Simulasi Komputer untuk Memprediksi Besarnya Daya Pemotongan pada Proses Pembubutan Silindris Muhammad

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Dalam topik penelitian ini, ada beberapa hasil yang telah dicapai dalam penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan distribusi panas yang terjadi pada proses pemesinan.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan bahan dasar velg racing sepeda motor bekas kemudian velg tersebut diremelting dan diberikan penambahan Si sebesar 2%,4%,6%, dan 8%. Pengujian yang

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN EVAPORATOR Perencanaan Modifikasi Evaporator

BAB III PERANCANGAN EVAPORATOR Perencanaan Modifikasi Evaporator BAB III PERANCANGAN EVAPORATOR 3.1. Perencanaan Modifikasi Evaporator Pertumbuhan pertumbuhan tube ice mengharuskan diciptakannya sistem produksi tube ice dengan kapasitas produksi yang lebih besar, untuk

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Pembongkaran mesin dilakukan untuk melakukan pengukuran dan. Selain itu juga kita dapat menentukan komponen komponen mana yang

BAB III METODOLOGI. Pembongkaran mesin dilakukan untuk melakukan pengukuran dan. Selain itu juga kita dapat menentukan komponen komponen mana yang BAB III METODOLOGI 3.1 Pembongkaran Mesin Pembongkaran mesin dilakukan untuk melakukan pengukuran dan mengganti atau memperbaiki komponen yang mengalami kerusakan. Adapun tahapannya adalah membongkar mesin

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMEN PENGARUH VARIASI DIMENSI CIL DALAM (INTERNAL CHILL) TERHADAP CACAT PENYUSUTAN (SHRINKAGE) PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061

STUDI EKSPERIMEN PENGARUH VARIASI DIMENSI CIL DALAM (INTERNAL CHILL) TERHADAP CACAT PENYUSUTAN (SHRINKAGE) PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061 STUDI EKSPERIMEN PENGARUH VARIASI DIMENSI CIL DALAM (INTERNAL CHILL) TERHADAP CACAT PENYUSUTAN (SHRINKAGE) PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061 Oleh: NURHADI GINANJAR KUSUMA NRP. 2111106036 Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

PENGARUH PARAMETER PEMOTONGAN TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN PADA PROSES BUBUT BAJA AISI 1045

PENGARUH PARAMETER PEMOTONGAN TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN PADA PROSES BUBUT BAJA AISI 1045 PENGARUH PARAMETER PEMOTONGAN TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN PADA PROSES BUBUT BAJA AISI 1045 Yuni Hermawan Jurusan Teknik Mesin -Fakultas Teknik - Universitas Jember Email: yunikaka@yahoo.co.id ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH. pemesinan. Berikut merupakan gambar kerja dari komponen yang dibuat: Gambar 1. Ukuran Poros Pencacah

BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH. pemesinan. Berikut merupakan gambar kerja dari komponen yang dibuat: Gambar 1. Ukuran Poros Pencacah BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH A. Identifikasi Gambar Kerja Gambar kerja merupakan alat komunikasi bagi orang manufaktur. Dengan melihat gambar kerja, operator dapat memahami apa yang diinginkan perancang

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di tiga tempat, yaitu: 1. Pembuatan alat dan bahan di Laboratorium Proses Produksi Jurusan Teknik Mesin Universitas Lampung

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN CETAKAN RING, CONE DAN BLADE

BAB III PERANCANGAN CETAKAN RING, CONE DAN BLADE BAB III PERANCANGAN CETAKAN RING, CONE DAN BLADE Runner merupakan bagian dari turbin francis. Keberadaan runner dinilai sangat penting karena dibagian inilah sebuah usaha gerak akan diperoleh oleh sebuah

Lebih terperinci

BAB lll PROSES PEMBUATAN BOSS FRONT FOOT REST. Pada bab ini penulis menjelaskan tentang langkah kerja pembuatan benda

BAB lll PROSES PEMBUATAN BOSS FRONT FOOT REST. Pada bab ini penulis menjelaskan tentang langkah kerja pembuatan benda BAB lll PROSES PEMBUATAN BOSS FRONT FOOT REST 3.1 Langkah Proses Pembuatan Pada bab ini penulis menjelaskan tentang langkah kerja pembuatan benda kerja yang sebagian besar digambarkan dalam diagram alir,

Lebih terperinci