Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Geologi Daerah Yogyakarta dan Sekitarnya II.1.1. Batuan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Geologi Daerah Yogyakarta dan Sekitarnya II.1.1. Batuan"

Transkripsi

1 7 Bab II Tinjauan Pustaka Dalam kajian pustaka ini akan dibahas geologi regional daerah penelitian, struktur sesar aktif, pengaruh sesar terhadap wilayah sekitarnya, pengertian gempa, periode predominan, faktor amplifikasi dan percepatan getaran tanah. Dalam bab ini juga akan dibahas mengenai analisis keputusan multikriteria, yang merupakan metoda yang digunakan dalam penelitian ini. II.1 Geologi Daerah Yogyakarta dan Sekitarnya Geologi daerah Yogyakarta dan sekitarnya terdapat pada Gambar 2.1., menurut Rahardjo et. al meliputi dua hal pokok yang mendasar yakni batuan dan struktur geologi. II.1.1. Batuan Batuan yang menyusun daerah penelitian terdiri atas dua kelompok batuan, yakni kelompok batuan prakuarter dan Kuarter (Soehaimi et. al., 2007). Kelompok batuan prakuarter terdiri atas Formasi Nanggulan, Kebo Butak, Semilir, Nglanggran, Sambipitu, Jonggrangan, Sentolo, Wonosari dan Kepek. Pada formasi-formasi tersebut dijumpai batuan sedimen laut di bagian bawah (tua) sedangkan bagian atas (muda) terdiri atas perselingan antara sedimen laut dan sedimen gunung api. Kelompok Kuarter terdiri atas endapan gunungapi Merapi, Merbabu dan Sumbing, produk gunung Merapi sekarang, endapan sungai, dan endapan beting pantai. Selain batuan tersebut di atas, di daerah ini dijumpai juga batuan terobosan berupa dasit, andesit dan diorit yang berumur Miosen. Daerah kerusakan gempabumi Yogyakarta umumnya terkonsentrasi pada daerah-daerah yang disusun oleh sedimen gunungapi Merapi yang berumur Kuarter. Selain itu daerah kerusakan dapat pula dijumpai di daerah-daerah yang disusun oleh batuan Holosen berupa endapan sungai dan gosong pantai. Daerah-daerah kerusakan yang terletak pada batuan prakuarter umumnya selain dikontrol oleh sifat fisik batuan yang telah lapuk, juga dikontrol oleh adanya sesar-sesar gempa.

2 8 Gambar 2.1. Peta geologi Yogyakarta dan sekitarnya (Rahardjo et. al., 1995)

3 9 II.1.2 Struktur geologi Ada tiga jenis struktur geologi akibat pergerakan kerak bumi yaitu, sesar, kekar dan lipatan. Sesar adalah retakan planar yang memotong dan menggeser batuan; sedangkan arah pergeserannya pada umumnya sejajar terhadap bidang retakan. Anderson (1951) berdasarkan atas arah gaya utamanya, membagi sesar menjadi tiga yaitu sesar normal (normal fault), sesar naik (thrust fault) dan sesar mendatar (strike slip fault). Sesar normal terbentuk jika arah gaya utama terbesar vertikal, sedangkan arah gaya utama menengah dan terkecil mendatar, sesar naik terjadi jika gaya utama terbesar dan menengah nisbi mendatar, sedangkan gaya utama terkecil vertikal, sedangkan sesar mendatar terbentuk jika gaya utama terbesar dan terkecil nisbi horizontal, serta gaya utama menengah nisbi vertikal. Gambar 2.2. Jenis sesar berdasarkan arah gayanya Ciri sesar dalam keadaan topografi adalah : Adanya pemisahan pada suatu bentuk yang menerus. Adanya lapisan yang hilang. Adanya pergeseran vertikal yang mengakibatkan adanya perpindahan secara vertikal yang ditandai oleh pelurusan sungai, faset segitiga, terputusnya kesinambungan pada bentuk-bentuk geologi, misalnya bentuk bentang alam yang sangat berlainan, perbedaan vegetasi dan lain-lain. Sedangkan pembelokan sungai secara tiba-tiba dapat menunjukkan arah pergeseran.

4 10 Sesar aktif adalah sesar yang aktif (bergerak sepanjang waktu) dalam waktu Kuarter (1,8 juta tahun). Sesar yang memotong batuan, pergerakannya diredam oleh gaya friksi batuan tersebut. Apabila gaya tersebut sudah melampaui kekuatan batuan, gaya tersebut akan dilepas dan dapat menimbulkan gempabumi. Sesar yang melalui batuan yang berumur lebih tua dari 1,8 juta tahun dan tidak menimbulkan adanya gempabumi disebut abandoned. Di lain fihak sesar yang memotong batuan yang berumur Holosen merupakan sesar paling aktif dan sesar paling berbahaya, karena dapat menimbulkan gempabumi yang besar. Pada daerah penelitian struktur kekar umumnya dapat dijumpai pada batu-batuan yang telah mengalami pensesaran, sedangkan struktur lipatan dijumpai berarah hampir barat laut - tenggara. Pada umumnya sistem lipatan ini bersifat miring ke arah utara. Struktur sesar di daerah ini mempunyai dua arah utama, yakni barat daya - timur laut dan barat laut tenggara. Dari kedua sistem sesar tersebut, struktur sesar yang terus berkembang dan dinyatakan aktif umumnya berarah barat daya - timur laut, sedangkan struktur sesar yang berarah barat laut - tenggara merupakan sesar utama yang berusia relatif lebih tua dibandingkan sesar-sesar yang berarah barat daya - timur laut (Soehaimi et. al., 2007). Sesar-sesar tersebut dijumpai berupa sesar naik pada mulanya dan kemudian berkembang menjadi sesar geser turun, dan bagian-bagian blok turun dapat diamati dari bentang alam di sekitar lajur sesar. Sesar utama yang berarah barat daya - timur laut merupakan sesar mendatar mengiri dan blok sebelah barat bergerak keselatan sedangkan blok sebelah timur bergerak ke utara. Sesar-sesar dengan mekanisme serupa dapat dijumpai di tempat di daerah ini, yakni sesar Opak, sesar Progo, sesar Sentolo dan sesar Bukit Manoreh. Lebih lanjut sesar utama (barat daya - timur laut) disebut sebagai sesar Opak yang terdiri atas empat cabang dan setiap cabangnya di kontrol oleh sistem bentang alam tektonik sesar dan kontak tektonik sesar. II.2 Seismisitas Zona sumber gempabumi Busur Sunda membentang sepanjang km mulai dari Andaman di baratlaut sampai ke Busur Banda di timur. Kemudian zona tersebut menerus ke Maluku dan akhirnya sampai ke Sulawesi Utara, dengan

5 11 penamaan yang berbeda-beda. Aktifnya gempabumi dalam lajur ini disebabkan daerahnya merupakan tempat penunjaman dan benturan dari berbagai lempeng kerakbumi samudera dan benua yang berbeda jenis dan kecepatannya (Kertapati, 2006). Di daerah Jawa Barat dan Jawa Timur penunjaman lempeng Samudera Hindia Australia relatif tegak lurus terhadap sumbu pulau Jawa, sehingga di Jawa berkembang pola sesar-sesar normal dan naik yang sejajar dengan busur pulau. Magnitudo gempabumi maksimum dari sistem penunjaman di daerah ini mencapai M max = 8,0 dengan perioda ulang sekitar 181 tahun (Haresh & Boen, 1996 dalam Kertapati, 2006). II.3 Periode Predominan Kondisi tanah setempat secara substansional mempengaruhi karakteristik gelombang gempa selama gempabumi terjadi. Endapan tanah lunak akan memperbesar frekuensi getaran tanah dan memperpanjang durasinya, sehingga akan menambah efek kerusakan yang ditimbulkannya. Gelombang seismik saat menjalar, terjebak dalam lapisan tanah lunak dan fenomena multi refleksi terjadi, menghasilkan getaran tanah yang sama dengan periode predominan. Periode tersebut dinamakan periode predominan tanah. Untuk menentukan periode predominan getaran tanah setempat dapat digunakan pengukuran mikrotremor (Nakamura, 1989). Dalam pengolahan data mikrotremor, penghitungan spektrum Fouriernya menggunakan algoritma Transformasi Fourier Cepat (Fast Fourier Transform - FFT). Metoda Nakamura, 1989, menerapkan rasio amplitudo fourier dari dua spektrum fourier horisontal dan satu vertikal dalam persamaan sebagai berikut: (2.1) Keterangan:

6 12 r(f) adalah rasio spektrum horisontal - vertikal (H/V), F NS, F EW and F UD adalah spektrum amplitudo fourier dalam arah Utara-Selatan, Timur-Barat dan vertikal. II.4 Faktor Amplifikasi Gelombang seismik (gempa) yang menjalar dari batuandasar (bedrock) ke permukaan bumi, kandungan frekuensi dan amplitudonya berubah saat melewati endapan tanah. Proses ini dapat menghasilkan percepatan yang besar terhadap struktur dan menimbulkan kerusakan yang parah, terutama saat frekuensi gelombang seismik sama dengan resonansi frekuensi struktur bangunan buatan manusia. Analisis respon tanah setempat membantu dalam penentuan efek kondisi tanah setempat pada amplifikasi gelombang seismik. Respon endapan tanah tergantung frekuensi, geometri dan sifat material lapisan tanah di atas batuandasar. Sehingga analisis respon tanah setempat merupakan bagian dasar dalam kajian bencana seismik dalam daerah tertentu. Diantara metoda empiris, rasio spektrum H/V merupakan metode yang paling populer. Analisis perkiraan respon setempat dengan rasio spektrum H/V dan metode lain telah dibandingkan dan dievaluasi oleh Field dan Jacob (1995), seperti persamaan (2.1) di atas. II.5 Percepatan Getaran Tanah Maksimum Suatu partikel dalam bumi saat terjadi gempabumi akan bergerak secara acak (tidak regular). Pergerakan ini dapat digambarkan perubahan posisi, kecepatan dan percepatannya sebagai fungsi waktu. Percepatan getaran tanah sangat berkaitan dengan gaya yang menahan struktur buatan manusia tetap kokoh berdiri saat terjadi gempa. Percepatan getaran tanah maksimum adalah percepatan maksimum yang terjadi pada partikel selama kejadian gerakan gempabumi. Dengan kata lain percepatan getaran tanah maksimum adalah nilai percepatan getaran tanah yang terbesar yang pernah terjadi di suatu tempat diakibatkan oleh gempabumi (Sri Brotopuspito et. al., 2006). Nilai percepatan getaran tanah maksimum dihitung berdasarkan magnitudo gempabumi yang pernah terjadi dan

7 13 jarak sumber gempabumi terhadap titik pengamatan, serta nilai periode predominan tanah di daerah tersebut. Salah satu metode perhitungan nilai percepatan getaran tanah maksimum adalah metode Kanai (1966, dalam Sri Brotopuspito, 2006) yang dirumuskan sebagai: (2.2) keterangan: a = nilai percepatan getaran tanah titik pengamatan (gal) Tg = periode predominan tanah titik pengamatan (detik) M = magnitudo gempa (SR) x = jarak hiposenter (km) II.6 Analisis Keputusan Multikriteria Multi obyek pada dasarnya merupakan sistem riil yang sering terjadi. Seringkali multi obyek berbenturan dengan obyek yang lainnya (seperti satu obyek memperbaiki, yang lainnya mungkin memburuk). Analisis dimensional dapat membantu para pembuat keputusan agar dapat mengambil keputusan yang lebih baik pada kondisi tersebut (Malczewski, 1999). Analisis keputusan multikriteria spasial dapat dipikirkan sebagai proses yang menggabungkan dan mentransformasikan data (input) spasial dan aspasial kedalam keputusan resultan (output). Hukum keputusan multikriteria didefinisikan sebagai hubungan antara peta masukan dan keluaran. Kerangka kerja dari analisis keputusan multikriteria spasial dapat diklasifikasikan ke dalam 3 fase (intelijen, desain dan pilihan) seperti terlihat pada gambar 2.3.

8 14 Gambar 2.3 Kerangka kerja analisis keputusan multikriteria spasial (Malczewski, 1999). Keputusan multikriteria menyediakan metodologi sebagai petunjuk pembuat keputusan melalui proses klarifikasi evaluasi kriteria (atribut dan/atau obyek) dan pendefinisian nilainya relevan terhadap situasi keputusan. Pembuatan keputusan spasial umumnya terdiri dari sejumlah besar evaluasi alternatif dalam basis multikriteria dan konflik, sehingga diperlukan metode identifikasi alternatif terbaik yang sistematis (klasifikasi atau ranking alternatif). Elemen utama analisis keputusan multikriteria spasial adalah sebagai berikut: Definisi masalah: Definisi masalah adalah situasi dimana individu atau group merasa ada perbedaan antara kondisi yang ada dan yang diinginkan. Evaluasi kriteria: Tahapannya terdiri dari: - Susunan objek secara konprehensif yang menggambarkan semua aspek yang relevan dengan masalah keputusan.

9 15 - Mengukur untuk mencapai objek tersebut, atau biasa disebut sebagai atribut. Atribut berhubungan dengan entitas geografi sehingga dapat direpresentasikan dalam bentuk peta-peta. Alternatif dan Pembatas Alternatif keputusan adalah alternatif tindakan yang harus dipilih oleh pembuat keputusan. Masing-masing alternatif keputusan spasial terdiri paling sedikit dua elemen dasar yaitu: aksi dan lokasi. Alternatif secara lengkap ditetapkan dengan menentukan nilai variabel keputusan. Bobot Kriteria Perbedaan kepentingan dalam keputusan multikriteria memerlukan informasi mengenai kepentingan relatif masing-masing kriteria. Biasanya dicapai dengan menentukan bobot masing-masing kriteria yang menunjukkan kepentingan relatif kriteria terhadap kriteria lain. Dalam kasus kriteria sebanyak n, susunan bobot didapatkan dengan cara sebagai berikut: W= (w 1, w 2,..., w n ) dimana wi = 0 and S w i = 1 Prosedur yang paling populer meliputi ranking, rating dan perbandingan berpasangan (Malczewski, 1999). Metoda Ranking Metoda ranking memiliki prosedur yang paling sederhana, setiap kriteria diranking sesuai pilihan pembuat keputusan seperti: - Ranking lurus (paling penting=1, penting kedua=2,...) atau - Ranking terbalik (paling tidak penting=1, setelah paling tidak penting=2,...) Keuntungan metoda ranking adalah penerapannya sederhana, dan kerugiannya pada saat jumlah kriteria yang digunakan lebih besar metoda menjadi kurang tepat. Metoda Rating

10 16 Metoda rating memerlukan pembuat keputusan memperkirakan bobot pada dasar penentuan skala yaitu skala 0 s/d 100. Metoda ini dimodifikasi kedalam bentuk prosedur perkiraan rasio sebagai berikut: Nilai 100 ditentukan untuk kriteria yang paling penting. Secara proposional bobot yang lebih kecil diberikan terhadap kriteria yang lebih rendah. Nilai masing-masing kriteria dibagi dengan nilai yang paling rendah. Rasio ini menggambarkan keinginan relatif perubahan dari tingkat yang rendah. Metoda perbandingan berpasangan Metoda ini terdiri dari perbandingan berpasangan dalam bentuk matrik dan menempatkan perbandingan berpasangan sebagai input dan hasil bobot relatif sebagai output. Bobot ditentukan dengan normalisasi vektor eigen pada nilai eigen maksimum rasio matrik. Metoda ini terdiri dari 3 langkah: - Membentuk matrik perbandingan - Menghitung bobot - Memperkirakan rasio konsistensi Aturan Keputusan Aturan keputusan membantu dalam menentukan alternatif yang dipilih. Aturan tersebut mengintegrasikan data dan informasi dalam alternatif dan pembuat keputusan kedalam keseluruhan kajian alternatif. Permasalahan pembuatan keputusan spasial terdiri dari susunan obyek dan atribut, atau keduanya. Terdapat sejumlah aturan keputusan yang dapat digunakan untuk menyelesaiakan masalah multikriteria. Tiga metoda multikriteria yang populer adalah metoda SAW, pendekatan fungsi nilai, dan AHP (Malczewski, 1999). Rekomendasi Akhir dari proses pembuatan keputusan adalah rekomendasi. Rekomendasi harus berdasarkan ranking alternatif dan analisis sensitifitas, termasuk didalamnya adalah alternatif terbaik, atau group alternatif.

11 17 II.6.1 Metoda SAW Metoda ini berdasarkan konsep pembobotan rata-rata. Pembuat keputusan secara langsung menentukan bobot kepentingan relatif pada masing-masing peta tematik. Total nilai masing-masing alternatif didapatkan dengan mengalikan bobot yang ditentukan untuk masing-masing atribut dan menjumlahkan hasil atributatribut tersebut. Saat skor keseluruhan semua alternatif dihitung, alternatif dengan nilai tertinggi akan dipilih (Thill, 1999, dalam Malczewski, 1999). Evaluasi aturan keputusan masing-masing alternatif, A i, seperti rumus sebagai berikut: A i =S j w j x ij (2.3) Dimana x ij adalah nilai alternatif ke i pada atribut ke j, dan bobot w j adalah normalisasi bobot (w j = 1). Bobot-bobot tersebut menunjukkan pentingnya atribut secara relatif. Alternatif yang paling dipilih diseleksi dengan mengidentifikasi nilai Ai maksimum A i (i=1,2,...,m). Langkah metoda SAW berbasis SIG dapat dirangkum seperti diagram gambar 2.4. Metoda ini dapat dioperasikan menggunakan sistem SIG. Teknik tumpang susun memberikan evaluasi atribut pada peta kriteria (peta masukan) yang dijumlahkan untuk menentukan atribut peta gabungan (peta keluaran). II.6.2 Metoda AHP AHP adalah metoda yang dikembangkan untuk menghasilkan ranking keputusan alternatif dengan struktur matematik. Ide awal adalah untuk mendapatkan bobot melalui perbandingan berpasangan alternatif masing-masing atribut. Tujuan metoda ini untuk mendapatkan bobot kuantitatif dari pernyataan kualitatif pada kepentingan kriteria relatif yang didapatkan dari perbandingan dari semua pasangan kriteria.

12 18 Mendefinisikan atribut dan alternatif Menentukan nilai bobot atribut Menentukan nilai ranking alternatif Normalisasi bobot Standardisasi ranking A i =S j w j x ij Mengevaluasi alternatif berdasarkan skor keseluruhan Gambar 2.4. Diagram alir metoda SAW AHP merupakan teori pengukuran yang menitikberatkan pada prioritas dominan perbandingan berpasangan elemen-elemen homogen yang sering disebut sebagai kriteria atau atribut. Metoda ini dikembangkan oleh Saaty pada tahun 1980, berdasarkan 3 prinsip: penguraian (decomposition), penilaian perbandingan (comparative judment), dan perpaduan prioritas-prioritas (Synthesis of Priorities). Prinsip penguraian menyatakan bahwa masalah keputusan diuraikan kedalam sebuah hirarki yang menangkap unsur awal permasalahan. Prinsip dari penilaian komparatip melakukan penilaian perbandingan-perbandingan menurut pasangan dari unsurunsur di dalam struktur hirarkis, berkenaan dengan induknya di dalam tingkat berikutnya yang lebih tinggi. Prinsip perpaduan prioritas-prioritas, mengambil masing-masing skala rasio prioritas-prioritas lokal di dalam berbagai tingkat

13 19 hirarki dan membangun sebuah gabungan susunan prioritas-prioritas untuk unsurunsur pada tingkat hirarki terendah (alternatif-alternatif) (Malczewski, 1999). Prosedur AHP meliputi 3 tahapan utama: mengembangkan hirarki AHP, membandingkan unsur keputusan pada basis berpasangan, dan membangun penilaian prioritas keseluruhan. Mengembangkan hirarki AHP: dalam pengembangan hirarki, tingkat yang paling tinggi adalah merupakan tujuan utama (goal) keputusan. Alternatifalternatif digambarkan dalam basis data SIG. Masing-masing layer mengandung nilai atribut yang ditentukan pada alternatif, dan masing-masing alternatif dihubungkan dengan atribut tingkatan yang lebih tinggi. Membandingkan unsur-unsur keputusan pada basis berpasangan: perbandingan berpasangan adalah alat perhitungan dasar dalam prosedur AHP. Prosedur tersebut terdiri dari 3 tahap: - Pengembangan matrik berpasangan masing-masing tingkatan hirarki, - Penghitungan bobot masing-masing unsur, - Perkiraan rasio konsistensi Dalam perhitungan bobot, penggunaan vektor eigen (eigen vector) sangat disarankan. Prinsip vektor eigen merupakan gambaran penting prioritas yang didapatkan dari matrik penilaian perbandingan berpasangan (Saaty, 2003). Membangun penilaian prioritas keseluruhan: tahap akhir adalah menjumlah bobot relatif tingkatan yang didapatkan dalam tahap kedua untuk menghasilkan bobot penguraian. Nilai keseluruhan R i alternatif ke i adalah jumlah total penilaian pada masingmasing tingkatan dan menghitung dengan persamaan berikut: R i =S k w k r ik (2.4) Keterangan: w k adalah vektor prioritas unsur ke k struktur hirarkis kriteria, S w k = 1; dan r ik adalah vektor prioritas yang didapatkan dari perbandingan alternatif pada

14 20 masing-masing kriteria. Alternatif yang paling disukai yaitu R i (i=1, 2, 3,...m) dengan nilai maksimum. Menyusun hirarki Menyusun matrik perbandingan berpasangan pada atribut Menyusun matrik perbandingan berpasangan pada atribut Menentukan nilai bobot atribut Menentukan nilai ranking alternatif Menentukan nilai bobot keseluruhan Menentukan nilai ranking keseluruhan Menentukan rasio konsistensi Konsisten? tidak ditolak ya Ri = S k w k x ik Mengevaluasi alternatif berdasarkan skor keseluruhan Gambar 2.5. Diagram alir metoda AHP

Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan Penelitian 21 Bab III Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian secara lengkap diberikan pada gambar 3.1. berikut: Persiapan Data Kegempaan Peta Geologi Katalog gempa Seismogram mikrotremor Data Geologi Pemisahan

Lebih terperinci

MIKROZONASI SEISMISITAS DAERAH YOGYAKARTA DAN SEKITARNYA TESIS JB. JANUAR HERRY SETIAWAN NIM :

MIKROZONASI SEISMISITAS DAERAH YOGYAKARTA DAN SEKITARNYA TESIS JB. JANUAR HERRY SETIAWAN NIM : MIKROZONASI SEISMISITAS DAERAH YOGYAKARTA DAN SEKITARNYA TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh JB. JANUAR HERRY SETIAWAN NIM :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Tektonik Indonesia (Bock, dkk., 2003)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Tektonik Indonesia (Bock, dkk., 2003) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak pada tiga pertemuan lempeng besar dunia yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Pasifik di bagian timur, dan Lempeng Eurasia di

Lebih terperinci

III. TEORI DASAR. A. Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik. akumulasi stress (tekanan) dan pelepasan strain (regangan). Ketika gempa terjadi,

III. TEORI DASAR. A. Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik. akumulasi stress (tekanan) dan pelepasan strain (regangan). Ketika gempa terjadi, 1 III. TEORI DASAR A. Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik Gempa bumi umumnya menggambarkan proses dinamis yang melibatkan akumulasi stress (tekanan) dan pelepasan strain (regangan). Ketika gempa

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Tanggal 27 Mei 2006 pukul 22.54.01 (UTC) atau pukul 05.54.01 (WIB) menjelang fajar kota Yogyakarta dan sekitarnya, termasuk di dalamnya wilayah Kabupaten Bantul,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Konsep dasar fenomena amplifikasi gelombang seismik oleh adanya

BAB III METODE PENELITIAN. Konsep dasar fenomena amplifikasi gelombang seismik oleh adanya BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metoda Mikrozonasi Gempabumi Konsep dasar fenomena amplifikasi gelombang seismik oleh adanya batuan sedimen yang berada di atas basement dengan perbedaan densitas dan kecepatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Vulkanologi dan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Vulkanologi dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi khususnya Bidang Mitigasi Gempabumi dan Gerakan Tanah, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gempa bumi yang terjadi di Pulau Jawa yang terbesar mencapai kekuatan 8.5 SR, terutama di Jawa bagian barat, sedangkan yang berkekuatan 5-6 SR sering terjadi di wilayah

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 84 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisa Hazard Gempa Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan software Ez-Frisk dan menghasilkan peta hazard yang dibedakan berdasarkan sumber-sumber gempa yaitu

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MIKROTREMOR BERDASARKAN ANALISIS SPEKTRUM, ANALISIS TFA (TIME FREQUENCY ANALYSIS) DAN ANALISIS SEISMISITAS PADA KAWASAN JALUR SESAR OPAK

KARAKTERISTIK MIKROTREMOR BERDASARKAN ANALISIS SPEKTRUM, ANALISIS TFA (TIME FREQUENCY ANALYSIS) DAN ANALISIS SEISMISITAS PADA KAWASAN JALUR SESAR OPAK Karakteristik Mikrotremor Berdasarkan (Umi Habibah) 93 KARAKTERISTIK MIKROTREMOR BERDASARKAN ANALISIS SPEKTRUM, ANALISIS TFA (TIME FREQUENCY ANALYSIS) DAN ANALISIS SEISMISITAS PADA KAWASAN JALUR SESAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Judul Penelitian. I.2. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Judul Penelitian. I.2. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Penelitian yang dilakukan mengambil topik tentang gempabumi dengan judul : Studi Mikrotremor untuk Zonasi Bahaya Gempabumi Daerah Surakarta Provinsi Jawa Tengah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan Indonesia termasuk dalam daerah rawan bencana gempabumi

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan Indonesia termasuk dalam daerah rawan bencana gempabumi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian Utara, dan lempeng

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta Seismisitas Indonesia (Irsyam et al., 2010 dalam Daryono, 2011))

Gambar 1. Peta Seismisitas Indonesia (Irsyam et al., 2010 dalam Daryono, 2011)) BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Berdasarkan tatanan tektoniknya, wilayah Indonesia merupakan daerah pertemuan antara tiga lempeng benua dan samudra yang sangat aktif bergerak satu terhadap

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar yang dijumpai di daerah penelitian adalah Sesar Naik Gunungguruh, Sesar Mendatar Gunungguruh, Sesar Mendatar Cimandiri dan Sesar Mendatar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara tektonik, Indonesia terletak pada pertemuan lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik, dan lempeng mikro Filipina. Interaksi antar lempeng mengakibatkan

Lebih terperinci

PEMETAAN BAHAYA GEMPA BUMI DAN POTENSI TSUNAMI DI BALI BERDASARKAN NILAI SESMISITAS. Bayu Baskara

PEMETAAN BAHAYA GEMPA BUMI DAN POTENSI TSUNAMI DI BALI BERDASARKAN NILAI SESMISITAS. Bayu Baskara PEMETAAN BAHAYA GEMPA BUMI DAN POTENSI TSUNAMI DI BALI BERDASARKAN NILAI SESMISITAS Bayu Baskara ABSTRAK Bali merupakan salah satu daerah rawan bencana gempa bumi dan tsunami karena berada di wilayah pertemuan

Lebih terperinci

Gempa atau gempa bumi didefinisikan sebagai getaran yang terjadi pada lokasi tertentu pada permukaan bumi, dan sifatnya tidak berkelanjutan.

Gempa atau gempa bumi didefinisikan sebagai getaran yang terjadi pada lokasi tertentu pada permukaan bumi, dan sifatnya tidak berkelanjutan. 1.1 Apakah Gempa Itu? Gempa atau gempa bumi didefinisikan sebagai getaran yang terjadi pada lokasi tertentu pada permukaan bumi, dan sifatnya tidak berkelanjutan. Getaran tersebut disebabkan oleh pergerakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Konsekuensi tumbukkan lempeng tersebut mengakibatkan negara

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL 3.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi zona fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 3.1). Pembagian zona yang didasarkan pada aspek-aspek fisiografi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat disimpulkan hal sebagai

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat disimpulkan hal sebagai BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN berikut: Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat disimpulkan hal sebagai 1. Pemetaan mikrozonasi amplifikasi gempabumi di wilayah Jepara dan sekitarnya dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lempeng Pasifik, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Hindia-Australia yang lazim

BAB I PENDAHULUAN. Lempeng Pasifik, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Hindia-Australia yang lazim 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan titik temu antara tiga lempeng besar dunia, yaitu Lempeng Pasifik, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Hindia-Australia yang lazim disebut Triple Junction.

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN

KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN 1950-2013 Samodra, S.B. & Chandra, V. R. Diterima tanggal : 15 November 2013 Abstrak Pulau Sumatera dan Pulau Jawa merupakan tempat yang sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Evolusi Struktur Geologi Daerah Sentolo dan Sekitarnya, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. I.2. Latar Belakang Proses geologi yang berupa

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.4

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.4 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.4 1. Garis yang menghubungkan tempat-tempat yang dilaui gempa pada waktu yang sama disebut.... mikroseista pleistoseista makroseista

Lebih terperinci

RESUME LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA PELAKSANAAN KEGIATAN APBD DINAS PERTAMBANGAN DAN ENERGI PROVINSI BANTEN T.A 2014

RESUME LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA PELAKSANAAN KEGIATAN APBD DINAS PERTAMBANGAN DAN ENERGI PROVINSI BANTEN T.A 2014 RESUME LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA PELAKSANAAN KEGIATAN APBD DINAS PERTAMBANGAN DAN ENERGI PROVINSI BANTEN T.A 2014 SEKSI AIR TANAH DAN GEOLOGI TATA LINGKUNGAN KEGIATAN PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN DATA

Lebih terperinci

Gb 2.5. Mekanisme Tsunami

Gb 2.5. Mekanisme Tsunami TSUNAMI Karakteristik Tsunami berasal dari bahasa Jepang yaitu dari kata tsu dan nami. Tsu berarti pelabuhan dan nami berarti gelombang. Istilah tersebut kemudian dipakai oleh masyarakat untuk menunjukkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Struktur Geologi Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan Lempeng Eurasia ke daratan Asia Tenggara dan merupakan bagian dari Busur Sunda.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB III. DASAR TEORI 3.1. Seismisitas Gelombang Seismik Gelombang Badan... 16

DAFTAR ISI. BAB III. DASAR TEORI 3.1. Seismisitas Gelombang Seismik Gelombang Badan... 16 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iii KATA PENGANTAR... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xv DAFTAR

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Daerah penelitian berada di Pulau Jawa bagian barat yang secara fisiografi menurut hasil penelitian van Bemmelen (1949), dibagi menjadi enam zona fisiografi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Analisis struktur sesar di daerah penelitian dilakukan dengan melakukan pengolahan data berupa kekar gerus, breksiasi, posisi stratigrafi, dan kelurusan

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR. 3.1 Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik. Seismologi adalah ilmu yang mempelajari gempa bumi dan struktur dalam bumi

BAB III TEORI DASAR. 3.1 Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik. Seismologi adalah ilmu yang mempelajari gempa bumi dan struktur dalam bumi 20 BAB III TEORI DASAR 3.1 Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik Seismologi adalah ilmu yang mempelajari gempa bumi dan struktur dalam bumi dengan menggunakan gelombang seismik yang dapat ditimbulkan

Lebih terperinci

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Yogyakarta, 21 September 2012 BAPPEDA DIY Latar Belakang UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; Seluruh

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan daerah yang rawan terhadap bencana gempabumi tektonik. Hal ini disebabkan karena Indonesia terletak pada kerangka tektonik yang didominasi oleh interaksi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Jawa barat dibagi atas beberapa zona fisiografi yang dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan aspek geologi dan struktur geologinya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibat tumbukan antara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum wilayah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan merupakan bukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Desa Pendoworejo berada pada ketinggian 100 hingga 475 mdpl. Pada peta

BAB I PENDAHULUAN. Desa Pendoworejo berada pada ketinggian 100 hingga 475 mdpl. Pada peta BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Desa Pendoworejo berada pada ketinggian 100 hingga 475 mdpl. Pada peta yang disusun oleh Novianto dkk. (1997), desa ini berada pada Satuan Geomorfologi Perbukitan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 bagian besar zona fisiografi (Gambar II.1) yaitu: Zona Bogor, Zona Bandung, Dataran Pantai Jakarta dan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terletak pada bagian utara gawir Pegunungan Selatan (lihat Gambar 1.1).

BAB I PENDAHULUAN. yang terletak pada bagian utara gawir Pegunungan Selatan (lihat Gambar 1.1). BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kompleks Struktur Geologi Trembono terdapat pada Perbukitan Nampurejo yang terletak pada bagian utara gawir Pegunungan Selatan (lihat Gambar 1.1). Sumosusastro (1956)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertemuan diantara tiga lempeng besar, yaitu lempeng pasifik, lempeng Indo-

BAB I PENDAHULUAN. pertemuan diantara tiga lempeng besar, yaitu lempeng pasifik, lempeng Indo- BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sulawesi terletak di bagian tengah wilayah kepulauan Indonesia dengan luas wilayah 174.600 km 2 (Sompotan, 2012). Pulau Sulawesi terletak pada zona pertemuan

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timurbarat (Van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

UNIT X: Bumi dan Dinamikanya

UNIT X: Bumi dan Dinamikanya MATERI KULIAH IPA-1 JURUSAN PENDIDIKAN IPA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FOTO YANG RELEVAN UNIT X: Bumi dan Dinamikanya I Introduction 5 Latar Belakang Pada K-13 Kelas VII terdapat KD sebagai

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA BARAT LAUT KEP. SANGIHE SULAWESI UTARA

ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA BARAT LAUT KEP. SANGIHE SULAWESI UTARA ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA BARAT LAUT KEP. SANGIHE SULAWESI UTARA ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA BUMI BARAT LAUT KEP. SANGIHE SULAWESI UTARA Oleh Artadi Pria Sakti*, Robby Wallansha*, Ariska

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

Berikut kerangka konsep kegiatan pembelajaran geografi kelas VI SD semester II pada KD mengenal cara cara menghadapi bencana alam.

Berikut kerangka konsep kegiatan pembelajaran geografi kelas VI SD semester II pada KD mengenal cara cara menghadapi bencana alam. Materi Ajar Mitigasi Bencana Tsunami Di Kawasan Pesisir Parangtritis ( K.D Mengenal Cara Cara Menghadapi Bencana Alam Kelas VI SD ) Oleh : Bhian Rangga J.R Prodi Geografi FKIP UNS Berikut kerangka konsep

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah

BAB 1 PENDAHULUAN. tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan dengan tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah penduduk lebih

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... 1 HALAMAN PENGESAHAN... ii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iii HALAMAN PERSEMBAHAN... iv KATA PENGANTAR... v INTISARI... vii ABSTRACT... viii DAFTAR ISI... ix DAFTAR

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. meruntuhkan bangunan-bangunan dan fasilitas umum lainnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. meruntuhkan bangunan-bangunan dan fasilitas umum lainnya. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gempa bumi merupakan fenomena alam yang sudah tidak asing lagi bagi kita semua, karena seringkali diberitakan adanya suatu wilayah dilanda gempa bumi, baik yang ringan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng India-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Ketiga lempeng tersebut bergerak dan saling bertumbukan

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi enam zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Gunungapi Kuarter 2. Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara

Lebih terperinci

Karakteristik mikrotremor dan analisis seismisitas pada jalur sesar Opak, kabupaten Bantul, Yogyakarta

Karakteristik mikrotremor dan analisis seismisitas pada jalur sesar Opak, kabupaten Bantul, Yogyakarta J. Sains Dasar 2014 3(1) 95 101 Karakteristik mikrotremor dan analisis seismisitas pada jalur sesar Opak, kabupaten Bantul, Yogyakarta (Microtremor characteristics and analysis of seismicity on Opak fault

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Data Gempa di Pulau Jawa Bagian Barat. lempeng tektonik, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo Australia, dan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Data Gempa di Pulau Jawa Bagian Barat. lempeng tektonik, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo Australia, dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Penelitian ini berjudul Analisa Sudut Penunjaman Lempeng Tektonik Berdasarkan Data Gempa di Pulau Jawa Bagian Barat. I.2. Latar Belakang Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''-

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''- 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Lokasi Penelitian Tempat penelitian secara administratif terletak di Gunung Rajabasa, Kalianda, Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''-

Lebih terperinci

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA .1 PETA TOPOGRAFI..2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA . Peta Topografi.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini,

Lebih terperinci

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya 5. Peta Topografi 5.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini, disamping tinggi rendahnya permukaan dari pandangan

Lebih terperinci

KAJIAN KERAWANAN GEMPABUMI BERBASIS SIG DALAM UPAYA MITIGASI BENCANA STUDI KASUS KABUPATEN DAN KOTA SUKABUMI

KAJIAN KERAWANAN GEMPABUMI BERBASIS SIG DALAM UPAYA MITIGASI BENCANA STUDI KASUS KABUPATEN DAN KOTA SUKABUMI KAJIAN KERAWANAN GEMPABUMI BERBASIS SIG DALAM UPAYA MITIGASI BENCANA STUDI KASUS KABUPATEN DAN KOTA SUKABUMI Bambang Sunardi 1, 2, Drajat Ngadmanto 1, Thomas Hardy 1, Pupung Susilanto 1, Boko Nurdiyanto

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN. Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Lebih terperinci

ANALISIS GSS (GROUND SHEAR STRAIN) DENGAN METODE HVSR MENGGUNAKAN DATA MIKROSEISMIK PADA JALUR SESAROPAK

ANALISIS GSS (GROUND SHEAR STRAIN) DENGAN METODE HVSR MENGGUNAKAN DATA MIKROSEISMIK PADA JALUR SESAROPAK Analisis Nilai GSS...(Yuni Setiawati) 132 ANALISIS GSS (GROUND SHEAR STRAIN) DENGAN METODE HVSR MENGGUNAKAN DATA MIKROSEISMIK PADA JALUR SESAROPAK ANALYSIS OF GSS (GROUND SHEAR STRAIN) USING HVSR METHOD

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOGRAFIS Jawa bagian barat secara geografis terletak diantara 105 0 00-108 0 65 BT dan 5 0 50 8 0 00 LS dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI PEAK GROUND ACCELERATION DAN INDEKS KERENTANAN SEISMIK BERDASARKAN DATA MIKROSEISMIK PADA DAERAH RAWAN GEMPABUMI DI KOTA BENGKULU

ANALISIS NILAI PEAK GROUND ACCELERATION DAN INDEKS KERENTANAN SEISMIK BERDASARKAN DATA MIKROSEISMIK PADA DAERAH RAWAN GEMPABUMI DI KOTA BENGKULU ANALISIS NILAI PEAK GROUND ACCELERATION DAN INDEKS KERENTANAN SEISMIK BERDASARKAN DATA MIKROSEISMIK PADA DAERAH RAWAN GEMPABUMI DI KOTA BENGKULU Yeza Febriani, Ika Daruwati, Rindi Genesa Hatika Program

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Daerah penelitian hanya berada pada area penambangan PT. Newmont Nusa Tenggara dan sedikit di bagian peripheral area tersebut, seluas 14 km 2. Dengan

Lebih terperinci

Pemodelan Gravity Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul Provinsi D.I. Yogyakarta. Dian Novita Sari, M.Sc. Abstrak

Pemodelan Gravity Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul Provinsi D.I. Yogyakarta. Dian Novita Sari, M.Sc. Abstrak Pemodelan Gravity Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul Provinsi D.I. Yogyakarta Dian Novita Sari, M.Sc Abstrak Telah dilakukan penelitian dengan menggunakan metode gravity di daerah Dlingo, Kabupaten Bantul,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Sebaran episenter gempa di wilayah Indonesia (Irsyam dkk, 2010). P. Lombok

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Sebaran episenter gempa di wilayah Indonesia (Irsyam dkk, 2010). P. Lombok 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gempabumi sangat sering terjadi di daerah sekitar pertemuan lempeng, dalam hal ini antara lempeng benua dan lempeng samudra akibat dari tumbukan antar lempeng tersebut.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian I.2. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian I.2. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Penelitian ini berjudul Hubungan Persebaran Episenter Gempa Dangkal dan Kelurusan Berdasarkan Digital Elevation Model di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta I.2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat merugikan manusia. Kebencanaan geologi mengakibatkan kerusakan infrastruktur maupun korban manusia,

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL II.1 Tektonik Regional Daerah penelitian terletak di Pulau Jawa yang merupakan bagian dari sistem busur kepulauan Sunda. Sistem busur kepulauan ini merupakan

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik Barat yang relatif bergerak ke arah baratlaut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng/kulit bumi aktif yaitu lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Euro-Asia di bagian utara dan Lempeng Pasifik

Lebih terperinci

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1. DAFTAR ISI COVER i HALAMAN PENGESAHAN ii HALAMAN PERNYATAAN iii KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI vi DAFTAR GAMBAR x DAFTAR TABEL xvi SARI xvii BAB I PENDAHULUAN 1 I.1. Latar Belakang 1 I.2. Rumusan Masalah

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode mikrozonasi dengan melakukan polarisasi rasio H/V pertama kali

BAB III METODE PENELITIAN. Metode mikrozonasi dengan melakukan polarisasi rasio H/V pertama kali BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode dan Desain Penelitian Metode mikrozonasi dengan melakukan polarisasi rasio H/V pertama kali dikembangkan oleh Nakamura (1989) dengan tujuan untuk mengetahui frekuensi

Lebih terperinci

POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA. Oleh : Hendro Murtianto*)

POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA. Oleh : Hendro Murtianto*) POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA Oleh : Hendro Murtianto*) Abstrak Aktivitas zona patahan Sumatera bagian tengah patut mendapatkan perhatian,

Lebih terperinci

SEISMISITAS VERSUS ENERGI RELEASE

SEISMISITAS VERSUS ENERGI RELEASE SEISMISITAS VERSUS ENERGI RELEASE (Studi Kasus Gempa Bumi per Segmen Patahan Wilayah SulSelBar tahun 2016-2017) Oleh : Marniati.S.Si,MT Firdaus Muhiddin.S.Si Seimisitas dan Energi Release Seismisitas adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lempeng tektonik kepulauan Indonesia terletak di pertemuan tiga lempeng utama yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Interaksi dari ke tiga lempeng tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dikepung oleh tiga lempeng utama (Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik),

BAB I PENDAHULUAN. dan dikepung oleh tiga lempeng utama (Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik), BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis, posisi Indonesia yang dikelilingi oleh ring of fire dan dikepung oleh tiga lempeng utama (Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik), lempeng eura-asia

Lebih terperinci

III. TEORI DASAR. gaya yang bekerja pada batuan melebihi batas kelenturannya. 1. Macam Gempa Bumi Berdasarkan Sumbernya

III. TEORI DASAR. gaya yang bekerja pada batuan melebihi batas kelenturannya. 1. Macam Gempa Bumi Berdasarkan Sumbernya III. TEORI DASAR A. Gempabumi Gempabumi adalah getaran seismik yang disebabkan oleh pecahnya atau bergesernya batuan di suatu tempat di dalam kerak bumi (Prager, 2006). Sedangkan menurut Hambling (1986)

Lebih terperinci

KAJIAN TREND GEMPABUMI DIRASAKAN WILAYAH PROVINSI ACEH BERDASARKAN ZONA SEISMOTEKTONIK PERIODE 01 JANUARI DESEMBER 2017

KAJIAN TREND GEMPABUMI DIRASAKAN WILAYAH PROVINSI ACEH BERDASARKAN ZONA SEISMOTEKTONIK PERIODE 01 JANUARI DESEMBER 2017 KAJIAN TREND GEMPABUMI DIRASAKAN WILAYAH PROVINSI ACEH BERDASARKAN ZONA SEISMOTEKTONIK PERIODE 01 JANUARI 2016 15 DESEMBER 2017 Oleh ZULHAM. S, S.Tr 1, RILZA NUR AKBAR, ST 1, LORI AGUNG SATRIA, A.Md 1

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.2 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona (Gambar 2.1), pembagian zona tersebut berdasarkan sifat-sifat morfologi dan tektoniknya (van

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pegunungan Selatan memiliki sejarah geologi yang kompleks dan unik sehingga selalu menarik untuk diteliti. Fenomena geologi pada masa lampau dapat direkonstruksi dari

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Paparan Sunda 2. Zona Dataran Rendah dan Berbukit 3. Zona Pegunungan

Lebih terperinci

S e l a m a t m e m p e r h a t i k a n!!!

S e l a m a t m e m p e r h a t i k a n!!! S e l a m a t m e m p e r h a t i k a n!!! 14 Mei 2011 1. Jawa Rawan Gempa: Dalam lima tahun terakhir IRIS mencatat lebih dari 300 gempa besar di Indonesia, 30 di antaranya terjadi di Jawa. Gempa Sukabumi

Lebih terperinci

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah menjadi beberapa zona fisiografi (Gambar 2.1), yaitu: 1. Dataran Aluvial Jawa bagian utara. 2. Antiklinorium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kaolin merupakan massa batuan yang tersusun dari mineral lempung dengan kandungan besi yang rendah, memiliki komposisi hidrous aluminium silikat (Al2O3.2SiO2.2H2O)

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH LAWELE DAN SEKITARNYA, KECAMATAN LASALIMU, KABUPATEN BUTON, SULAWESI TENGGARA

GEOLOGI DAERAH LAWELE DAN SEKITARNYA, KECAMATAN LASALIMU, KABUPATEN BUTON, SULAWESI TENGGARA GEOLOGI DAERAH LAWELE DAN SEKITARNYA, KECAMATAN LASALIMU, KABUPATEN BUTON, SULAWESI TENGGARA TUGAS AKHIR A Disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu Program Studi Teknik Geologi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia, lingkungan dan metode yang dapat digunakan untuk mengurangi

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia, lingkungan dan metode yang dapat digunakan untuk mengurangi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rekayasa gempa berhubungan dengan pengaruh gempa bumi terhadap manusia, lingkungan dan metode yang dapat digunakan untuk mengurangi pengaruhnya. Gempa bumi merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Indonesia Timur merupakan daerah yang kompleks secara geologi. Hingga saat ini penelitian yang dilakukan di daerah Indonesia Timur dan sekitarnya masih belum

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Propinsi Jawa Tengah secara geografis terletak diantara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan batas batas sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci