Pelaksanaan Penelitian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Pelaksanaan Penelitian"

Transkripsi

1 21 Bab III Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian secara lengkap diberikan pada gambar 3.1. berikut: Persiapan Data Kegempaan Peta Geologi Katalog gempa Seismogram mikrotremor Data Geologi Pemisahan data geologi Titik data Seismisitas Metoda Kanai Rasio Spektrum Fourier (H/V) Data Struktur Data Sebaran Batuan Titik data percepatan getaran tanah Titik data Periode Predominan Titik data Faktor Amplifikasi Pemilihan sesar Pengelompokan berdasarkan umur Interpolasi (Krigging) Interpolasi (Krigging) Interpolasi (Krigging) Layer Zona Sesar Layer Kelompok Batuan Layer percepatan getaran tanah Layer Periode Predominan Layer Faktor Amplifikasi Perhitungan Nilai Bobot & Ranking menggunakan Metoda SAW Perhitungan Nilai Bobot & Ranking menggunakan Metoda AHP Peta Mikrozonasi menggunakan Metoda SAW Peta Mikrozonasi menggunakan Metoda AHP Analisis Gambar 3.1 Alur kerja penelitian III.1 Persiapan Dalam penelitian ini, data masukan, metoda perolehan data dan langkah-langkah untuk mendapatkan kriteria yang digunakan dalam analisis akan dibahas lebih lanjut. Data yang digunakan dalam penelitian dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok yaitu:

2 22 - Data Geologi - Data Kegempaan Atribut kelompok batuan, zona sesar, faktor amplifikasi, percepatan getaran tanah maksimum dan periode predominan tanah ditentukan dan digunakan dalam analisis untuk mendapatkan peta mikrozonasi seismisitas. Dengan menggunakan peta geologi akan didapatkan data kelompok batuan dan zona sesar, sedangkan data percepatan getaran tanah maksimum dihitung dari data periode predominan tanah dan data kegempaan setempat. Data periode predominan dan faktor amplifikasi dihasilkan dari survei mikrotremor di daerah penelitian. III.2 Data Masukan III.2.1 Peta topografi Peta topografi yang digunakan adalah produksi Bakosurtanal dengan skala 1 : , proyeksi Universal Transverse Mercator (UTM) dan ellipsoid World Geodetic System 1984 (WGS84). Peta tersebut digunakan sebagai peta dasar dan untuk mendapatkan ketinggian titik pengukuran mikrotremor di daerah penelitian. III.2.2 Data geologi Data Geologi di daerah penelitian berdasarkan Peta Geologi Lembar Yogyakarta skala 1 : (Rahardjo, et. al., 1995 dan Soehaimi et al., 2007) yang diterbitkan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (sekarang Pusat Survei Geologi). III Kelompok batuan Batuan di daerah penelitian dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut: Aluvium (Qa) Bagian ini merupakan bagian yang paling muda, terdiri dari kerakal, pasir, lanau dan lempung sepanjang sungai yang besar dan dataran pantai. Endapan Gunungapi Merapi muda (Qmi)

3 23 Terdiri dari tuf, abu, breksi, agromerat dan leleran lava tak terpisahkan. Hasil pelapukannya membentuk lereng bagian bawah dan dataran yang meluas di sebelah selatan terutama terdiri dari endapan aluvium rombakan gunungapi yang terkerjakan kembali oleh alur-alur, berasal endapan semula di lereng bagian atas. Endapan gunungapi Merapi muda ini tersingkap di sebagian besar daerah penelitian. Formasi Sentolo (Tmps) Terdiri dari batugamping dan batupasir napalan. Bagian bawah formasi ini terdiri dari konglomerat alas yang ditumpuki oleh napal tufan dengan sisipan tuf kaca. Batuan ini ke arah atas berangsur-angsur berubah menjadi batugamping berlapis bagus yang kaya akan Foraminifera. Pringgoprawiro (1968) dan Darwin Kadar (1975) dalam Rahardjo, 1995 mengambil kesimpulan bahwa umur formasi ini berkisar antara awal Miosen sampai Pliosen dengan ketebalan berkisar 950 m. Formasi Wonosari (Tmwl) Batugamping terumbu, kalkarenit dan kalkarenit tufan. Di bagian selatan batugamping terumbu yang masif terdapat pada suatu topografi kars. Pada tempat sebelah utara dekat hulu kali Urang, batugamping berfosil yang keras dan sarang berwarna abu-abu muda dengan struktur bioherma berselang-seling dengan kalkarenit berwarna abu-abu muda yang mengandung struktur silang siur (oleh penduduk setempat batuan ini dimanfaatkan untuk alas bangunan). Ketebalan formasi ini diperkirakan 800 m. Umur formasi Wonosari mempunyai kisaran maksimum dari Miosen Tengah sampai Pliosen Awal. Formasi Kepek (Tmpk) Napal dan batugamping berlapis. Formasi ini setara dengan formasi Wonosari. Formasi Sambipitu (Tms) Tuf, serpih, batulanau, batupasir, dan konglomerat. Terdapat pula tuf batuapung, batulanau tufan yang sebagian bersifat gampingan. Bagian bawah formasi ini tersusun oleh beberapa urutan breksi yang ke arah atas berubah menjadi batupasir

4 24 tufan dan serfih bersifat gampingan. Ketebalan diperkitan 150 m dan secara cepat formasi ini menipis ke arah selatan. Umur Formasi ini berkisar Miosen Bawah. Formasi Nglanggran (Tmn) Breksi gunungapi, breksi aliran, aglomerat, lava dan tuf. Breksi yang pejal dan berlapis tersingkap dengan baik di tebing lembah Kali Oyo. Pada bagian singkapan ini terdapat tuf dengan perlapisan bersusun. Sebagian besar satuan ini telah melapuk menjadi tanah berwarna coklat kemerahan. Ketebalan pada bukit di baratdaya Patuk antara 500 sampai 750 m tetapi di sepanjang Kali Oyo dan di selatannya, ketebalannya jauh lebih besar. Formasi Semilir (Tmse) Perselingan antara breksi-tuf, breksi batuapung, tuf dasit dan tuf andesit serta batulempung tufan. Tuf berwarna abu-abu cerah yang terdapat pada bagian tengah dari formasi ini secara jelas memberikan serat berwarna putih, dan satuan ini dapat dijejaki pada jarak yang jauh ke arah timur (Boths, 1929 dalam Rahardjo, 1995). Ketebalan formasi ini diperkiran m. Untuk menyederhanakan batuan yang menyusun daerah penelitian dibagi kedalam dua kelompok batuan, yakni kelompok batuan prakuarter dan Kuarter. Kelompok batuan prakuarter merupakan bagian dari batuan lebih tua di daerah ini terdiri atas Formasi Semilir, Nglanggran, Sambipitu, Wonosari dan Sentolo. Kelompok batuan Kuarter terdiri atas endapan gunungapi Merapi Muda dan aluvium.

5 25 Gambar 3.2. Geologi daerah penelitian (Rahardjo et. al., 1995) III Zona sesar Struktur geologi yang dapat diamati di daerah ini terdiri atas struktur kekar, lipatan, dan sesar. Dalam penelitian ini struktur geologi hanya ditekankan pada struktur sesarnya. Di daerah penelitian yang dikategorikan sebagai sesar aktif

6 26 Gambar 3.3 Zona sesar gempa di daerah penelitian adalah sesar Opak yang memanjang dari Parangtritis hingga ke Prambanan (Soehaimi. et. al., 2007) Zona sesar di sekitar sesar aktif disebut sebagai zona sesar gempa. Zona tersebut dibatasi oleh titik-titik yang dihubungkan dengan garis lurus. Lebar zona sesar

7 27 gempa bervariasi, tetapi dapat dirata-rata sekitar 2 km (California Geological Survey, 2008). III.2.3. Data kegempaan III Data seismisitas Berdasarkan data seismik atau kegempaan di Jawa Tengah dan sekitarnya dari tahun (NEIC-USGS, 2008), wilayah Jawa bagian tengah memiliki seismisitas yang relatif rendah dibandingkan dengan seismisitas baik di Jawa bagian barat maupun Jawa bagian timur. Studi ilmiah yang telah dilakukan di berbagai negara menunjukkan bahwa daerah subdaksi dengan wilayah tanpa gempa atau jarang gempa yang dikenal dengan istilah low seismicity, justru berpotensi akan terjadi gempa yang merusak, karena diperkirakan akumulasi tegangan (strain) akibat proses subdaksi yang berjalan terus di daerah low seismicity sudah mengalami batas maksimum. Data gempa di wilayah sekitar daerah penelitian yang dipakai dalam penelitian ini ditampilkan pada gambar 3.4. Gambar 3.4 Peta seismisitas daerah Jawa bagian tengah dan sekitarnya

8 28 III Data periode predominan Pengukuran mikrotremor menggunakan sensor tiga komponen tipe L4C-3D dan datalogger 4 chanel sebagai perekam dan penyimpan data. Masing-masing titik pengukuran direkam selama 1 menit (6.000 data pada interval sampling 100 Hz). Gambar 3.5 Titik pengukuran mikrotremor di daerah penelitian

9 29 Pengukuran mikrotremor dilakukan di 159 titik pengukuran yang tersebar di daerah penelitian. Seismogram hasil pengukuran tiap titik dibagi kedalam 5 bagian (segmen) dengan durasi masing-masing bagian sepanjang 11,24 dt. Bagian seismogram tersebut dipilih/diseleksi sehingga didapatkan 5 bagian seismogram dengan gangguan (noise) minimal (Gambar 3.6). Waktu (detik) Gambar 3.6. Seismogram hasil pengukuran mikrotremor Penghitungan spektrum fourier menggunakan algoritma transformasi fourier cepat. Dengan menggunakan metoda Nakamura, 1989, yang menerapkan rasio amplitudo fourier dari dua spektrum fourier horisontal dan satu vertika l, didapatkan spektrum H/V. Setelah mendapatkan spektrum H/V kelima bagian, selanjutnya dirata-rata sebagai spektrum H/V titik setempat. Periode puncak dari spektrum H/V menunjukkan periode predominan titik pengukuran setempat (Gambar 3.7). Titik pengukuran ditumpangsusunkan pada peta dijital daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Metoda Krigging digunakan dalam interpolasi spasial untuk ploting data pengukuran pada peta. Interpolasi menggunakan metoda Krigging karena fleksibel, mempunyai model untuk dipadankan dan mempunyai toleransi

10 30 kesalahan (error) cukup lebar. Titik data dan peta periode predominan di daerah penelitian ditunjukkan pada gambar 3.8 dan Spekturm H/V Amplitudo Frekuensi (Hz) sample1 sample2 sample3 sample4 sample5 Amplitudo Spektrum H/V final Frekuensi (Hz) final Gambar 3.7 Rasio spektrum H/V pada titik 7 Variasi nilai titik data periode predominan tanah dibagi kedalam 4 zona sebagai berikut (Japan Road Association, 1980): Zone 1 (batuan dan tanah keras) : T < 0,2 detik Zone 2 (tanah keras) : 0,2 = T < 0,4 detik Zone 3 (tanah sedang/medium) : 0,4 = T < 0,6 detik Zone 4 (tanah lunak) : T = 0,6 detik Terlihat bahwa periode predominan panjang (T > 0,6 detik) ditemui di bagian selatan daerah penelitian tepatnya di kecamatan Kretek dan Imogiri, periode predominan antara 0,4 hingga 0,6 detik juga dijumpai pada bagian selatan daerah penelitian yaitu kecamatan Kretek, Pundong, Bambanglipuro, Pandak, dan Sewon. Semakin ke utara nilai titik data periode predominan semakin pendek.

11 31 Gambar 3.8 Variasi nilai titik data periode predominan di daerah penelitian III Data faktor amplifikasi Pengolahan data faktor amplifikasi sama dengan data periode predominan. Nilai titik data faktor amplifikasi diambil dari nilai rata-rata ketinggian puncak

12 32 Gambar 3.9 Peta periode predominan hasil interpolasi spektrum hasil transformasi fourier cepat. Variasi nilai titik data faktor amplifikasi (fa) daerah penelitian dibagi kedalam 4 zona sebagai berikut (komunikasi pribadi dengan A. Ratdomopurbo, 2008): Zona 1 (Amplifikasi rendah) : fa < 3 Zona 2 (Amplifikasi sedang) : 3 = fa < 6

13 33 Zona 3 (Amplifikasi tinggi) : 6 = fa < 9 Zona 4 (Amplifikasi sangat tinggi) : fa = 9 Variasi nilai titik data faktor amplifikasi dan peta faktor amplifikasi dapat dilihat pada gambar 3.10 dan gambar Nilai faktor amplifikasi lebih dari atau sama dengan 9 dijumpai di bagian selatan daerah penelitian yaitu di Kecamatan Sanden, Kretek dan Panggang. Gambar Variasi nilai titik data faktor amplifikasi di daerah penelitian

14 34 Gambar Peta faktor amplifikasi hasil interpolasi III Data percepatan getaran tanah maksimum Percepatan getaran tanah maksimum dalam penelitian ini dihitung dengan metoda Kanai. Hasil evaluasi perhitungan percepatan getaran tanah dalam kurun waktu

15 35 Gambar Variasi titik data percepatan getaran tanah maksimum 35 tahun (1973 hingga 2008) dan gempa Yogyakata tahun 1943, didapatkan bahwa kejadian gempabumi Yogyakarta tanggal 27 Mei 2006 menghasilkan nilai percepatan getaran tanah yang paling besar. Dengan demikian maka nilai percepatan getaran tanah akibat gempa tersebut dipakai sebagai salah satu atribut

16 36 dalam penelitian ini. Pusat gempabumi yang dipakai dalam penelitian ini adalah pusat gempabumi dari NEIC, USGS yang dipublikasikan beberapa saat setelah terjadi gempa yaitu di Muara Kali Opak, yang sudah diacu pada beberapa beberapa tulisan ilmiah, bukan pusat gempa hasil revisi yang berlokasi sebelah timur Kecamatan Imogiri, tepatnya pada koordinat 7,96º LS dan 110,45º BT, kedalaman 12 km dan kekuatan 6,3 Mw. Seperti pada periode predominan, metoda Kriging digunakan dalam interpolasi spasial pada perhitungan data percepatan getaran tanah. Variasi nilai titik data percepatan getaran tanah daerah penelitian dibagi kedalam 5 zona sebagai berikut (U.S. Geological Survey, 2008): Zona 1 (Tidak menimbulkan kerusakan) : a < 0,04 g Zona 2 (Potensi kerusakan sangat ringan-ringan) : 0,04 = a < 0,15 g Zona 3 (Potensi kerusakan sedang) : 0,15 = a < 0,34 g Zona 4 (Potensi kerusakan berat) Zona 5 (Potensi kerusakan sangat berat) : 0,34 = a < 0,65 g : a = 0,65 g Gambar 3.12 dan 3.13 memperlihatkan variasi nilai titik data dan peta percepatan getaran tanah maksimum. Pada gambar 3.13, percepatan getaran tanah = 0,65 g dijumpai di daerah tenggara daerah penelitian yaitu di kecamatan Panggang, Imogiri, Pleret, Banguntapan dan Piyungan. Nilai percepatan 0,15 0,34 g tersebar di bagian selatan daerah penelitian meliputi kecamatan Kretek, Bambanglipuro, Pundong serta daerah sebelah utaranya yaitu kecamatan Sewon, Kasihan dan sebagian kecamatan di Kota Yogyakarta. Nilai percepatan getaran tanah 0,34 0,65 g dijumpai di sebagian besar daerah penelitian menyebar ke arah timurlaut dan sebagian ke arah baratdaya. III.3 Metoda SAW Dalam metoda SAW, nilai bobot dan ranking ditentukan dalam atribut dan alternatif masing-masing atribut, menurut tingkat kepentingan relatif kriteria/atribut dalam peta mikrozonasi, yang disebut sebagai evaluasi kriteria.

17 37 Gambar 3.13 Peta percepatan getaran tanah maksimum hasil interpolasi Dalam menentukan nilai bobot dan ranking, digunakan kebalikan atribut bobot dan ranking. Untuk nilai bobot, penghitungan dimulai dari yang paling tidak penting dengan nilai 1, selanjutnya setelah paling tidak penting dengan nilai 2, dan kriteria paling penting dengan nilai 10. Dengan cara yang sama nilai

18 38 ranking ditentukan dari nilai alternatif paling tidak penting dengan nilai 1 dan paling penting 5. III.3.1 Menentukan nilai bobot dan ranking Hasil penentuan nilai bobot dan ranking atribut berdasarkan pada penilaian ditunjukkan pada tabel 3.1. Pada tabel 3.1 tersebut terlihat bahwa yang diidentifikasikan sebagai atribut yang paling penting adalah kriteria zona sesar, diikuti oleh faktor amplifikasi, percepatan getaran tanah maksimum, periode predominan dan kelompok batuan. Penentuan nilai bobot dan ranking didasarkan pada hasil konsultasi dengan ahli geologi dan ahli kegempaan. Tablel 3.1. Penentuan nilai bobot dan ranking atribut dan alternatif ATRIBUT BOBOT ALTERNATIF RANKING Zona sesar 9 Sesar aktif 5 Sesar tidak aktif 1 fa = 9 5 Faktor amplifikasi (fa) 6 6 = fa <9 3 3 = fa < 6 2 Percepatan getaran tanah maksimum (a maks ) 5 fa < 3 1 a maks = 0,65 g 5 0,34 g = a maks < 0,65 g 4 0,15 g = a maks < 0,34 g 3 0,04 g = a maks < 0,15 g 2 a maks < 0,04 1 T = 0,6 5 Periode predominan (T) 4 0,4 = T < 0,6 4 0,2 = T < 0,4 2 T < 0,2 detik 1 Kelompok batuan 3 Kuarter 5 prakuarter 1

19 39 Pada saat penentuan nilai bobot, atribut zona sesar diberikan nilai bobot yang terbesar karena zona sesar gempa merupakan daerah yang paling berbahaya terkena dampak gempabumi karena tepat pada zona sumber gempa. Faktor amplifikasi ditempatkan pada posisi kedua karena nilai faktor amplifikasi merupakan faktor pembesaran sinyal gempa. Percepatan getaran tanah maksimum juga penting mengingat nilai percepatan getaran tanah wajib diperhitungkan dalam pembuatan suatu struktur bangunan. Periode predominan ditempatkan pada urutan keempat dan kelompok batuan pada urutan terakhir. III.3.2 Standardisasi nilai bobot dan ranking Nilai ranking alternatif distandardisasi dengan membagi nilai ranking alternatif dengan nilai maksimum dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: X ij = X ij / X jmaks Dimana X ij adalah nilai ranking yang distandardisasi untuk alternatif ke i atribut ke j. X ij adalah nilai ranking awal, dan X jmaks adalah nilai ranking maksimum atribut ke j. Nilai bobot dinormalisasi dengan membagi tiap bobot dengan jumlah seluruh bobot. Jumlah nilai bobot yang telah dinormalisasi sama dengan 1. Nilai ranking yang distandardisasi dan nilai bobot yang dinormalisasi ditunjukkan pada Tabel 3.2. III.3.3 Skor keseluruhan poligon berdasarkan metoda SAW Skor keseluruhan poligon dalam pembuatan peta mikrozonasi seismisitas di daerah penelitian, digunakan metoda tumpangsusun atribut. Tiap poligon keluaran peta mikrozonasi (M i ) dihitung dengan persamaan sebagai berikut: M i = S j w j x ij Keterangan: x ij adalah nilai ranking alternatif ke i pada atribut ke j dan w j adalah normalisasi bobot atribut ke j. Kemudian nilai normalisasi bobot ditentukan pada tiap atribut

20 40 dan dikalikan dengan nilai nlormalisasi ranking alternatif pada atribut tersebut. Akhirnya penjumlahan skor keseluruhan dihitung. III.4 Metoda AHP Struktur hirarki yang digunakan dalam pembuatan peta mikrozonasi seismisitas diberikan pada gambar Untuk menerapkan prinsip ini, dalam penentuan nilai bobot dilakukan pengkajian perbandingan berpasangan masing-masing atribut dengan atribut yang lain. Sedangkan dalam penentuan nilai ranking, dilakukan pengkajian perbandingan berpasangan alternatif dengan alternatif yang lain dalam peta tematik yang sama. Tabel 3.2. Nilai normalisasi bobot dan ranking ATRIBUT BOBOT RANKING ALTERNATIF (Normalisasi) (Standarsisasi) Zona sesar 0,3333 Sesar aktif 1 Sesar tidak aktif 0,2 fa = 9 1 Faktor amplifikasi (fa) 0, = fa <9 0,6 3 = fa < 6 0,4 fa < 3 0,2 a maks = 0,65 g 1 0,34 g = a maks < 0,65 g 0,8 Percepatan getaran 0,1852 0,15 g = a maks < 0,34 g 0,6 tanah maksimum (a maks ) 0,04 g = a maks < 0,15 g 0,4 a maks < 0,04 0,2 T = 0,6 1 Periode predominan (T) 0,1482 0,4 = T < 0,6 0,8 0,2 = T < 0,4 0,4 T < 0,2 detik 0,2 Kelompok batuan 0,1111 Kuarter 1 prakuarter 0,2

21 41 Dalam menentukan nilai bobot dan ranking pada atribut dan alternatif pada masing-masing peta tematik dalam metoda AHP, digunakan prinsip penilaian komparatif dari Saaty, 2004, seperti disajikan dalam tabel 3.3. Sama seperti pada metoda SAW, penentuan matrik perbandingan berpasangan untuk menentukan nilai bobot dan ranking pada metoda AHP juga didasarkan pada hasil konsultasi dengan ahli geologi dan ahli kegempaan. Tabel 3.3. Penilaian komparatif dari skala dasar nilai absolut untuk menentukan nilai bobot/ranking (Saaty, 2004) Bobot/Ranking Definisi 1 Sama pentingnya dibanding yang lain 3 Moderat pentingnya dibanding yang lain 5 Kuat pentingnya dibanding yang lain 7 Sangat kuat pentingnya dibanding yang lain 9 Ekstrim pentingnya dibanding yang lain 2, 4, 6, 8 Nilai diantara dua penilaian yang berdekatan Reciprokal Jika kriteria i memiliki salah satu angka di atas ketika dibandingkan kriteria j, maka j memiliki nilai kebalikannya ketika dibanding kriteria i

22 42 Zona sesar Sesar tidak aktif Sesar aktif fa < 3 Faktor amplifikasi 3 = fa < 6 6 = fa <9 fa = 9 Peta mikrozonasi seismisitas Percepatan getaran tanah maksimum a maks < 0,04 g 0,04 = a maks < 0,15 g 0,15 = a maks < 0,34 g 0,34 = a maks < 0,6 5 g a maks = 0.65 g T < 0,2 detik Periode predominan 0,2 = T < 0,4 detik 0,4 = T < 0,6 detik T = 0,6 detik Kelompok batuan Kuarter prakuarter Gambar Struktur hirarki yang digunakan dalam persiapan peta mikrozonasi seismisitas

23 43 III.4.1 Menentukan nilai bobot Matrik perbandingan berpasangan untuk menentukan nilai bobot pada kriteriakriteria diberikan dalam tabel 3.4. Tabel 3.4. Tabel perbandingan berpasangan untuk menentukan nilai bobot Sesar Faktor amplifikasi Percepatan getaran tanah maksimum Periode predominan Kelompok batuan Sesar 1 4/1 5/1 6/1 7/1 Faktor amplifikasi 1/4 1 2/1 3/1 4/1 Percepatan getaran tanah maksimum Perioda predominan Kelompok batuan 1/5 1/2 1 2/1 3/1 1/6 1/3 1/2 1 2/1 1/7 1/4 1/3 1/2 1 III.4.2 Menentukan nilai ranking Dalam penentuan nilai ranking alternatif masing-masing atribut, matrik perbandingan berpasangan dibuat secara terpisah untuk masing-masing atribut yang disajikan secara lengkap pada tabel C.1. C.5. di lampiran C. III.4.3 Untuk Menentukan nilai bobot dan ranking keseluruhan mendapatkan nilai bobot/ranking keseluruhan, dilakukan dengan penyelesaian vektor eigen. Prinsip penyelesaian vektor eigen adalah sebagai berikut: 1. Perhitungan untuk mendapatkan bobot/ranking dengan mengembangkan matrik berpasangan melalui iterasi. 2. Nilai pada baris dijumlahkan dan dinormalisasi 3. Perhitungan diulang hingga perbedaan/selisih nilai normalisasi pada baris antara dua perhitungan cukup kecil (mendekati nol).

24 44 Dengan menerapkan metoda di atas, nilai bobot atribut dan nilai ranking alternatif masing-masing atribut keseluruhan akan didapatkan. Hasil perhitungan nilai bobot dan ranking diberikan pada tabel 3.5. III.4.4 Rasio konsistensi Rasio konsistensi dihitung untuk mengetahui perbandingan berpasangan konsisten atau tidak. Rasio konsistensi (CR) didesain jika CR < 0,10 rasio mengidentifikasikan tingkat konsistensi yang masuk akal, namun seandainya CR = 0,1, mengindikasikan penilaian yang tidak konsisten. Dalam perhitungan rasio konsistensi, diperlukan vektor penjumlahan bobot, vektor konsistensi, lamda (?), indeks konsistensi (Cl) dan indeks ketidakkonsistenan acak (RI). Tahapan perhitungan rasio konsistensi secara lengkap sebagai berikut: - Vektor penjumlahan bobot dihitung dengan mengalikan bobot atribut/alternatif baris pertama dengan kolom pertama dari matrik perbandingan berpasangan awal, ditambah bobot atribut/alternatif baris kedua dengan kolom kedua matrik perbandingan berpasangan awal hingga perkalian atribut/alternatif baris ke n dengan kolom ke n dari matrik perbandingan berpasangan awal. - Vektor konsistensi dihitung dengan cara membagi vektor penjumlahan bobot dengan nilai bobot yang telah didapatkan sebelumnya. - Perhitungan konsistensi indeks (Cl) berdasarkan pengukuran bahwa? selalu lebih besar atau sama dengan jumlah atribut/alternatif (n) dan? = n jika matrik perbandingan merupakan matrik yang konsisten, sehingga? n - dapat dipertimbangkan sebagai ukuran tingkat ketidakkonsistenan. Cl dapat dinormalisasi dengan cara berikut: CI = (? n ) / (n 1) - Indeks ketidakkonsistenan acak (RI) seperti pada tabel C.6. (Malczewski, 1999) yang diadop dari Saaty, 1980 (lampiran C). - Rasio konsistensi (CR) didapatkan dengan persamaan sebagai berikut: CR = CI / RI Perhitungan rasio konsistensi dalam menentukan nilai bobot atribut pada penelitian ini secara lengkap disajikan pada tabel 3.6., sedangkan perhitungan

25 45 rasio konsistensi nilai ranking alternatif masing-masing atribut diberikan pada tabel C.7. sampai dengan tabel C.11. pada lampiran C. Table 3.5. Perhitungan nilai bobot dan ranking. Kriteria Bobot Kelas Ranking Zona sesar Sesar aktif 0, Sesar tidak aktif 0,1168 Faktor amplifikasi (fa) fa = 9 0, = fa <9 0, = fa < 6 0,1043 fa < 3 0,0583 Percepatan getaran tanah a maks = 0,65 g 0,3865 maksimum (a maks ) 0,34 = a maks < 0,6 5 g 0, ,15 = a maks < 0,34 g 0,1046 0,04 = a maks < 0,15 g 0,0645 a maks < 0,04 g 0,0446 Periode predominan T = 0,6 detik 0,5270 0,4 = T < 0,6 detik 0, ,2 = T < 0,4 detik 0,1001 T < 0,2 detik 0,0636 Kelompok batuan Kuarter 0, prakuarter 0,1667 Tabel 3.6. Vektor penjumlahan bobot dan konsistensi nilai bobot yang ditentukan dalam atribut/alternatif Vektor Vektor penjumlahan bobot konsistensi Sesar Faktor amplifikasi Percepatan getaran tanah maksimum Periode predominan Kelompok batuan

26 46? = 26,1185/ 5 = 5,2237; CI = (5,2237 5)/(5 1) = 0,0559 RI= 1,12; CR = 0,0559 / 1,12 = 0,0499 (konsisten) Dari pengukuran perhitungan rasio konsistensi, semua matrik perbandingan berpasangan yang digunakan untuk pembuatan peta mikrozonasi seismisitas merupakan matrik perbandingan berpasangan yang konsisten. III.4.5 Skor keseluruhan poligon berdasarkan metoda AHP Perhitungan skor keseluruhan poligon dalam peta mikrozonasi seismisitas dengan menggunakan metoda AHP dibuat dengan cara yang sama dengan metoda SAW. Tiap poligon keluaran peta mikrozonasi (M i ) dihitung dengan persaman sebagai berikut: M i = S j w j x ij Keterangan: x ij w j = nilai ranking alternatif ke i pada atribut ke j = nilai bobot atribut ke j yang telah dinormalisasi Selanjutnya nilai bobot tiap atribut yang telah dinormalisasi dikalikan dengan nilai ranking alternatif yang telah distandarisasi. Akhirnya jumlah keseluruhan perkaliannya dihitung.

Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Geologi Daerah Yogyakarta dan Sekitarnya II.1.1. Batuan

Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Geologi Daerah Yogyakarta dan Sekitarnya II.1.1. Batuan 7 Bab II Tinjauan Pustaka Dalam kajian pustaka ini akan dibahas geologi regional daerah penelitian, struktur sesar aktif, pengaruh sesar terhadap wilayah sekitarnya, pengertian gempa, periode predominan,

Lebih terperinci

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Stratigrafi regional Pegunungan Selatan dibentuk oleh endapan yang berumur Eosen-Pliosen (Gambar 3.1). Menurut Toha, et al. (2000) endapan

Lebih terperinci

Hasil dan Analisis. gambar 4.1 dan 4.2. Semakin tinggi skor totalnya menunjukkan tingkat bahaya gempabumi semakin tinggi.

Hasil dan Analisis. gambar 4.1 dan 4.2. Semakin tinggi skor totalnya menunjukkan tingkat bahaya gempabumi semakin tinggi. 47 Bab IV Hasil dan Analisis IV.1 Peta Mikrozonasi Seismisitas Berdasarkan Metoda SAW Dari hasil perhitungan skor keseluruhan poligon-poligon dihasilkan peta mikrozonasi. Peta mikrozonasi seismisitas tersebut

Lebih terperinci

MIKROZONASI SEISMISITAS DAERAH YOGYAKARTA DAN SEKITARNYA TESIS JB. JANUAR HERRY SETIAWAN NIM :

MIKROZONASI SEISMISITAS DAERAH YOGYAKARTA DAN SEKITARNYA TESIS JB. JANUAR HERRY SETIAWAN NIM : MIKROZONASI SEISMISITAS DAERAH YOGYAKARTA DAN SEKITARNYA TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh JB. JANUAR HERRY SETIAWAN NIM :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), kepadatan penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta terutama di Kabupaten Sleman mencapai 1.939 jiwa/km 2. Di

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Tanggal 27 Mei 2006 pukul 22.54.01 (UTC) atau pukul 05.54.01 (WIB) menjelang fajar kota Yogyakarta dan sekitarnya, termasuk di dalamnya wilayah Kabupaten Bantul,

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL II.1 FISIOGRAFI DAN MORFOLOGI Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah dibagi menjadi lima zona yang berarah timur-barat (van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Propinsi Jawa Tengah secara geografis terletak diantara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan batas batas sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1. DAFTAR ISI COVER i HALAMAN PENGESAHAN ii HALAMAN PERNYATAAN iii KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI vi DAFTAR GAMBAR x DAFTAR TABEL xvi SARI xvii BAB I PENDAHULUAN 1 I.1. Latar Belakang 1 I.2. Rumusan Masalah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh van Bemmelen, (1949) dibagi menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunungapi Kuarter,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MIKROTREMOR BERDASARKAN ANALISIS SPEKTRUM, ANALISIS TFA (TIME FREQUENCY ANALYSIS) DAN ANALISIS SEISMISITAS PADA KAWASAN JALUR SESAR OPAK

KARAKTERISTIK MIKROTREMOR BERDASARKAN ANALISIS SPEKTRUM, ANALISIS TFA (TIME FREQUENCY ANALYSIS) DAN ANALISIS SEISMISITAS PADA KAWASAN JALUR SESAR OPAK Karakteristik Mikrotremor Berdasarkan (Umi Habibah) 93 KARAKTERISTIK MIKROTREMOR BERDASARKAN ANALISIS SPEKTRUM, ANALISIS TFA (TIME FREQUENCY ANALYSIS) DAN ANALISIS SEISMISITAS PADA KAWASAN JALUR SESAR

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Judul Penelitian. I.2. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Judul Penelitian. I.2. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Penelitian yang dilakukan mengambil topik tentang gempabumi dengan judul : Studi Mikrotremor untuk Zonasi Bahaya Gempabumi Daerah Surakarta Provinsi Jawa Tengah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Tektonik Indonesia (Bock, dkk., 2003)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Tektonik Indonesia (Bock, dkk., 2003) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak pada tiga pertemuan lempeng besar dunia yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Pasifik di bagian timur, dan Lempeng Eurasia di

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Paparan Sunda 2. Zona Dataran Rendah dan Berbukit 3. Zona Pegunungan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Daerah penelitian berada di Pulau Jawa bagian barat yang secara fisiografi menurut hasil penelitian van Bemmelen (1949), dibagi menjadi enam zona fisiografi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Vulkanologi dan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Vulkanologi dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi khususnya Bidang Mitigasi Gempabumi dan Gerakan Tanah, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Evolusi Struktur Geologi Daerah Sentolo dan Sekitarnya, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. I.2. Latar Belakang Proses geologi yang berupa

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan Indonesia termasuk dalam daerah rawan bencana gempabumi

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan Indonesia termasuk dalam daerah rawan bencana gempabumi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian Utara, dan lempeng

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) 3.2.2.1 Penyebaran Satuan batuan ini menempati 2% luas keseluruhan dari daerah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian baratlaut. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Jawa barat dibagi atas beberapa zona fisiografi yang dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan aspek geologi dan struktur geologinya.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wisata Pantai Parangtritis yang merupakan pantai selatan Pulau Jawa masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. wisata Pantai Parangtritis yang merupakan pantai selatan Pulau Jawa masih menjadi BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Peningkatan jumlah wisatawan di Desa Parangtritis selama tahun 2011 hingga 2015 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan objek wisata Pantai

Lebih terperinci

MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO

MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO Oleh : Akhmad Hariyono POLHUT Penyelia Balai Taman Nasional Alas Purwo Kawasan Taman Nasional Alas Purwo sebagian besar bertopogarafi kars dari Semenanjung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gempa bumi yang terjadi di Pulau Jawa yang terbesar mencapai kekuatan 8.5 SR, terutama di Jawa bagian barat, sedangkan yang berkekuatan 5-6 SR sering terjadi di wilayah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Struktur Geologi Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan Lempeng Eurasia ke daratan Asia Tenggara dan merupakan bagian dari Busur Sunda.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disebutkan oleh Surono, dkk (1992), penyusun Formasi Wonosari-Punung berupa

BAB I PENDAHULUAN. Disebutkan oleh Surono, dkk (1992), penyusun Formasi Wonosari-Punung berupa BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Formasi Wonosari-Punung secara umum tersusun oleh batugamping. Disebutkan oleh Surono, dkk (1992), penyusun Formasi Wonosari-Punung berupa batugamping, batugamping

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. FISIOGRAFI Geologi regional P.Obi ditunjukkan oleh adanya dua lajur sesar besar yang membatasi Kep.Obi yaitu sesar Sorong-Sula di sebelah utara dan sesar Sorong Sula mengarah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Berdasarkan kesamaan morfologi dan tektonik, Van Bemmelen (1949) membagi daerah Jawa Timur dan Madura menjadi tujuh zona, antara lain: 1. Gunungapi Kuarter

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar 1).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar 1). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lokasi Daerah Penelitian Lokasi daerah penelitain berada di pulau Jawa bagian barat terletak di sebelah Utara ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah 15 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Daerah Bangunjiwo yang merupakan lokasi ini, merupakan salah satu desa di Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta. Berdasarkan Peta Geologi Lembar Yogyakarta,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL A. Fisiografi yaitu: Jawa Bagian Barat terbagi menjadi 4 zona fisiografi menurut van Bemmelen (1949), 1. Zona Dataran Aluvial Utara Jawa 2. Zona Antiklinorium Bogor atau Zona Bogor

Lebih terperinci

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA INTERPRETASI PERGERAKAN SESAR OPAK PASCA GEMPA YOGYAKARTA 2006 MELALUI PENDEKATAN STUDI GEOMORFOLOGI TEKTONIK PADA DAERAH WONOLELO DAN SEKITARNYA, KECAMATAN PLERET, KABUPATEN BANTUL, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

PROSPEKSI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH KELUMPANG DAN SEKITARNYA KABUPATEN MAMUJU, PROPINSI SULAWESI SELATAN

PROSPEKSI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH KELUMPANG DAN SEKITARNYA KABUPATEN MAMUJU, PROPINSI SULAWESI SELATAN PROSPEKSI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH KELUMPANG DAN SEKITARNYA KABUPATEN MAMUJU, PROPINSI SULAWESI SELATAN Oleh : Nanan S. Kartasumantri dan Hadiyanto Subdit. Eksplorasi Batubara dan Gambut SARI Daerah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

ANALISIS GSS (GROUND SHEAR STRAIN) DENGAN METODE HVSR MENGGUNAKAN DATA MIKROSEISMIK PADA JALUR SESAROPAK

ANALISIS GSS (GROUND SHEAR STRAIN) DENGAN METODE HVSR MENGGUNAKAN DATA MIKROSEISMIK PADA JALUR SESAROPAK Analisis Nilai GSS...(Yuni Setiawati) 132 ANALISIS GSS (GROUND SHEAR STRAIN) DENGAN METODE HVSR MENGGUNAKAN DATA MIKROSEISMIK PADA JALUR SESAROPAK ANALYSIS OF GSS (GROUND SHEAR STRAIN) USING HVSR METHOD

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Foto 24. A memperlihatkan bongkah exotic blocks di lereng gunung Sekerat. Berdasarkan pengamatan profil singkapan batugamping ini, (Gambar 12) didapatkan litologi wackestone-packestone yang dicirikan oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Penelitian Secara geografis, kabupaten Ngada terletak di antara 120 48 36 BT - 121 11 7 BT dan 8 20 32 LS - 8 57 25 LS. Dengan batas wilayah Utara adalah Laut Flores,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL 2.1. TINJAUAN UMUM Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya dibagi menjadi tiga mendala (propinsi) geologi, yang secara orogen bagian timur berumur lebih tua sedangkan bagian

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian barat. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Van Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

BAB 2 TATANAN GEOLOGI

BAB 2 TATANAN GEOLOGI BAB 2 TATANAN GEOLOGI Secara administratif daerah penelitian termasuk ke dalam empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sinjai Timur, Sinjai Selatan, Sinjai Tengah, dan Sinjai Utara, dan temasuk dalam

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografi, Pulau Jawa berada dalam busur kepulauan yang berkaitan dengan kegiatan subduksi Lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Eurasia dan terjadinya jalur

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geomorfologi Secara fisiografis, Jawa Tengah dibagi menjadi enam satuan, yaitu: Satuan Gunungapi Kuarter, Dataran Aluvial Jawa Utara, Antiklinorium Bogor - Serayu Utara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Geografis Daerah Penelitian Wilayah konsesi tahap eksplorasi bahan galian batubara dengan Kode wilayah KW 64 PP 2007 yang akan ditingkatkan ke tahap ekploitasi secara administratif

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi 3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur pada satuan ini mengacu pada referensi. Satuan ini diendapkan pada lingkungan kipas aluvial. Analisa lingkungan pengendapan ini diinterpretasikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah Padang dan sekitarnya terdiri dari batuan Pratersier, Tersier dan Kwarter. Batuan

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Kabupaten Tanggamus 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus Secara geografis wilayah Kabupaten Tanggamus terletak pada posisi 104 0 18 105 0 12 Bujur Timur dan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Nodul siderite Laminasi sejajar A B Foto 11. (A) Nodul siderite dan (B) struktur sedimen laminasi sejajar pada Satuan Batulempung Bernodul. 3.3.1.3. Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan

Lebih terperinci

STUDI POTENSI GERAKANTANAH DAERAH TANJUNGSARI DAN SEKITARNYA KECAMATAN NGUNTORONADI KABUPATEN WONOGIRI PROPINSI JAWA TENGAH

STUDI POTENSI GERAKANTANAH DAERAH TANJUNGSARI DAN SEKITARNYA KECAMATAN NGUNTORONADI KABUPATEN WONOGIRI PROPINSI JAWA TENGAH STUDI POTENSI GERAKANTANAH DAERAH TANJUNGSARI DAN SEKITARNYA KECAMATAN NGUNTORONADI KABUPATEN WONOGIRI PROPINSI JAWA TENGAH I Putu Putrawiyanta 1, Miftahussalam 2, Dwi Indah Purnamawati 3 1,2,3 Teknik

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Pegunugan Tigapuluh 4. Kepulauan

Lebih terperinci

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Bab III Geologi Daerah Penelitian Bab III Geologi Daerah Penelitian Foto 3.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Blok Patahan dilihat dari Desa Mappu ke arah utara. Foto 3.5 Lembah Salu Malekko yang memperlihatkan bentuk V; foto menghadap ke

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal dari peta topografi dan citra satelit,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 bagian besar zona fisiografi (Gambar II.1) yaitu: Zona Bogor, Zona Bandung, Dataran Pantai Jakarta dan

Lebih terperinci

Evaluasi Ringkas Geologi Waduk Penjalin

Evaluasi Ringkas Geologi Waduk Penjalin Evaluasi Ringkas Geologi Waduk Penjalin LITOLOGI Susunan litologi disekitar Waduk Penjalin didominasi batuan hasil gunung api maupun sedimen klastik dengan perincian sebagai berikut : Gambar 1 : Peta geologi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator 32 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Daerah Penelitian 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian Daerah yang digunakan sebagai tempat penelitian merupakan wilayah sub DAS Pentung yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Cekungan Kutai pada bagian utara dibatasi oleh tinggian Mangkalihat dengan arah barat laut tenggara, di bagian barat dibatasi

Lebih terperinci

Pemodelan Gravity Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul Provinsi D.I. Yogyakarta. Dian Novita Sari, M.Sc. Abstrak

Pemodelan Gravity Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul Provinsi D.I. Yogyakarta. Dian Novita Sari, M.Sc. Abstrak Pemodelan Gravity Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul Provinsi D.I. Yogyakarta Dian Novita Sari, M.Sc Abstrak Telah dilakukan penelitian dengan menggunakan metode gravity di daerah Dlingo, Kabupaten Bantul,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan metode peninjauan U-Pb SHRIMP. Smyth dkk., (2005) menyatakan dari

BAB I PENDAHULUAN. dengan metode peninjauan U-Pb SHRIMP. Smyth dkk., (2005) menyatakan dari BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Formasi Semilir merupakan salah satu formasi penyusun daerah Pegunungan Selatan Pulau Jawa bagian timur. Dalam distribusinya, Formasi Semilir ini tersebar dari bagian

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan bentang alam yang ada di permukaan bumi dipengaruhi oleh proses geomorfik. Proses geomorfik merupakan semua perubahan baik fisik maupun

Lebih terperinci

Lampiran 1 Lokasi, altitude, koordinat geografis dan formasi geologi titik pengambilan sampel bahan induk tuf volkan Altitude

Lampiran 1 Lokasi, altitude, koordinat geografis dan formasi geologi titik pengambilan sampel bahan induk tuf volkan Altitude LAMPIRAN 30 31 Kode Tuf Volkan TV-1a TV-1b TV-1c Lampiran 1 Lokasi, altitude, koordinat geografis dan formasi geologi titik pengambilan sampel bahan induk tuf volkan Altitude Koordinat Lokasi Formasi Geologi

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi pada peta topografi, citra

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

STUDI KERENTANAN SEISMIK TANAH TERHADAP FREKUENSI ALAMI BANGUNAN DI KOTA PALU BERDASARKAN ANALISIS DATA MIKROTREMOR

STUDI KERENTANAN SEISMIK TANAH TERHADAP FREKUENSI ALAMI BANGUNAN DI KOTA PALU BERDASARKAN ANALISIS DATA MIKROTREMOR STUDI KERENTANAN SEISMIK TANAH TERHADAP FREKUENSI ALAMI BANGUNAN DI KOTA PALU BERDASARKAN ANALISIS DATA MIKROTREMOR Mauludin Kurniawan 1* Kirbani Sri Brotopuspito 2 Agung Setianto 3 1 Magister Geo-Informasi

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan 3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27 Lintang Selatan dan 110º12'34 - 110º31'08 Bujur Timur. Di IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Luas masing-masing Kelas TWI di DAS Cimadur. Lampiran 2. Luas Kelas TWI dan order Sungai Cimadur

Lampiran 1. Luas masing-masing Kelas TWI di DAS Cimadur. Lampiran 2. Luas Kelas TWI dan order Sungai Cimadur LAMPIRAN 63 64 Lampiran 1. Luas masing-masing Kelas TWI di DAS Cimadur No. Kelas TWI Luas Area Ha % 1 1 1 0,007 2 2 20987 99,830 3 3 34 0,163 Luas Total 21022 100 Lampiran 2. Luas Kelas TWI dan order Sungai

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timurbarat (Van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebelah utara dan Lempeng India-Australia di bagian selatan. Daerah ini sangat

BAB I PENDAHULUAN. sebelah utara dan Lempeng India-Australia di bagian selatan. Daerah ini sangat 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pegunungan Selatan merupakan suatu daerah di bagian selatan Pulau Jawa yang berbatasan langsung dengan zona subduksi antara Lempeng Eurasia di sebelah utara dan

Lebih terperinci

PEMETAAN INDEKS KERENTANAN SEISMIK KOTA PADANG SUMATERA BARAT DAN KORELASINYA DENGAN TITIK KERUSAKAN GEMPABUMI 30 SEPTEMBER 2009

PEMETAAN INDEKS KERENTANAN SEISMIK KOTA PADANG SUMATERA BARAT DAN KORELASINYA DENGAN TITIK KERUSAKAN GEMPABUMI 30 SEPTEMBER 2009 PEMETAAN INDEKS KERENTANAN SEISMIK KOTA PADANG SUMATERA BARAT DAN KORELASINYA DENGAN TITIK KERUSAKAN GEMPABUMI 30 SEPTEMBER 2009 Saaduddin 1, Sismanto 2, Marjiyono 3 1 Prodi Teknik Geofisika, Jurusan Teknik

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), jumlah penduduk di

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), jumlah penduduk di BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), jumlah penduduk di Kecamatan Salaman mencapai 68.656 jiwa dengan kepadatan penduduk 997 jiwa/km 2. Jumlah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 9 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Kegiatan penelitian dilakukan di salah satu tambang batubara Samarinda Kalimantan Timur, yang luas Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebesar 24.224.776,7

Lebih terperinci

EKSPLORASI UMUM ENDAPAN BESI DI KABUPATEN MUARA ENIM, PROVINSI SUMATERA SELATAN

EKSPLORASI UMUM ENDAPAN BESI DI KABUPATEN MUARA ENIM, PROVINSI SUMATERA SELATAN EKSPLORASI UMUM ENDAPAN BESI DI KABUPATEN MUARA ENIM, PROVINSI SUMATERA SELATAN Oleh : Wahyu Widodo dan Bambang Pardiarto (Kelompok Kerja Penelitian Mineral) Sari Kegiatan eksplorasi umum endapan besi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara, Zona Antiklinorium Bogor,

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 17 IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Bogor Bogor dengan luasan total 273.930,153 ha terdiri dari kabupaten dan kotamadya, yang masing masing memiliki beberapa kecamatan. Kotamadya Bogor terdiri dari

Lebih terperinci