STAATSBLAD TAHUN 1927 NOMOR 346

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STAATSBLAD TAHUN 1927 NOMOR 346"

Transkripsi

1 22 STAATSBLAD TAHUN 1927 NOMOR 346 MASIH BERLAKUKAH DEWASA INI? DAPATKAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA MEMBENTUK UNDANG-UNDANG SEMACAM ITU? L-- Oleh: A. Hamid S. Attamimi Pendahuluan 1. Staatsblad tahun 1927 nomor 346 merupakan sebuah Ordonnantie (sengaja ditulis dalam ejaan Belanda untuk memperoleh penekanan arti) dan berisi ketentuan yang lebih kurang menetapkan bahwa kecuali apabila dalam Ordonnantie ditentukan lain maka dalam Regeringsverordening dapat ditentukan hukuman terhadap pelanggaran ketentuannya berupa kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima ratus gulden baik dengan disertai perampasan barang-barang tertentu ataupun tidak. Staatsblad tersebut memberikan kewenangan secara "blangko" kepada pembuat Regeringsverordening (yakni Gubernur Jenderal) untuk kalau perlu mencantumkan sanksi pidana dengan batas hukuman seperti tersebut di at as meskipun Ordonnantie yang bersangkutan langsung dengan Regeringsverordening itu tidak menyebutkan sesuatu sanksi pidana terhadap pelanggaran ketentuannya. Dengan perkataan lain meskipun keputusan yang dibuat oleh Gubernur Jenderal bersama-sama Dewan Rakyat ("Volksraad") berupa Ordonnantie tidak mencantumkan sesuatu sanksi pidana baik karena "lupa" maupun karena memang sanksi pidana itu dianggap tidak perlu Gubernur J enderal diberi kewenangan mencantumkan sanksi pidana dimaksud apabila ia pada suatu waktu (kapanpun juga) membuat Regeringsverordening yang bersangkutan dengan Ordonnantie tersebut.. 2. Dewasa ini ada pihak-pihak yang mempunyai maksud untuk membentuk sebuah Undang-undang yang akan menggantikan kedudukan Staatsblad terse but dengan menganalogikan ketentuan-ketentuannya sehingga akan mengandung ketentuan yang berbunyi lebih kurang: "kecuali apabila dalam sebuah Undang-un dang ditentukan lain maka dalam sebuah Peraturan Pemerintah dapat dicantumkan sanksi pidana berupa kurungan selama-lamanya... bulan atau denda sebanyak-banyaknya... rupiah baik dengan disertai perampasan barang-barang tertentu ataupun tidak" (meskipun Undangundang yang bersangkutan dengan Peraturan Pemerintah itu tidak mencantumkan sesuatu sanksi pidana). Maka dalam tulisan singkat ini akan dicoba dibahas apakah pembentukan Undang-undang semacam itu dapat dibenarkan oleh Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Sudah tentu sebelumnya akan dicoba dibahas terlebih dahulu apakah menurut ketentuan peralih-

2 Staatsblad an berbagai konstitusi kita Staatsb1ad tersebut dewasa ini masih mempunyai kekuatan daya 1aku atau tidak. Staatsblad masih berlaku a tau tidak? 3. Mengenai ap akah Staatsb1ad dewasa ini masih berlaku ataukah tidak di da1am lingkungan teoritisi dan praktisi perundang-undangan terdapat dua pendapat yang pertama menganggap bahwa Staatsb1ad tersebut masih berlaku dan ya;}g kedua menganggap sudah tidak ber1aku 1agi. Yang pertama mendasarkan pertimbangannya pada ketentuan-ketentuan peralihan berbagai konstitusi kita baik UUD Konstitusi R.I.S. maupun UUD Sementara Pada waktu kita mu1ai merdeka UUD 1945 sudah menetapkan dalam Aturan Peralihan Pasal II bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih 1angsung ber- 1aku se1am a be1um diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar J adi se1ama periode pertama berlakunya UUD 1945 ( ) Staatsb1ad terse but masih berlaku karena memang be1um ada penggantinya y ang dibuat menurut UUD Kemudian ketika UUD 1945 diganti o1eh Konstitusi Republik Indonesia Serikat (R.I.S.) kita me1ihat juga adanya ketentuan peralihan dalam Konstitusi terse but se- bagaimana tercantum dalam Pasal 192 ayat (1) yang berisi ketentuan bahwa peraturan-peraturan undangundang dan ketentuan-ketentuan tat a usaha yang sudah ada pada saat Konstitusi R.I.S. m u1ai berlaku tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Repub1ik Indonesia Serikat sendiri se1ama dan se- kedar peraturan-peraturan daa ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut ditambah atau diubah o1eh Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tat a usaha atas kuasa Konstitusi R.I.S. J adi Staatsb1ad tersebut se1ama periode berlakunya Konstitusi R.I.S. masih tetap berh: ku karena memang be1um ada penggantinya. Kemudian ketika Konstitusi R.I.S. diganti o1eh Undang-Undang Dasar Sementara 1950 kita melihat juga adanya ketentuan pera1ihan serupa sebagaimana y ang terdapat dalam Konstitusi R.I.S. (lihat Pasal 142 UUDS 1950);perbedaan hanya da1am redaksi yang 1ebih baik. Maka dengan ketentuan peralihan yang terdapat dalam UUDS 1950 itu Staatsb1ad se1arna periode ber1akunya UUDS 1950 m asih tetap berlaku karena memang belum ada Undang-undang yang menggantinya. Dan akhirnya ketika kita pada tahun 1959 kern bali kepada UUD 1945 kita melihat 1agi Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang memungkinkan masih tetap berlakunya segala peraturan yang ada se1ama be1um diadakan yang baru menurut UUD Maka berdasarkan aturan-aturan peralihan dari berbagai konstitusi yang pernah berlaku dalam Negara Republik Indonesia tersebut dewasa ini Staatsb1ad tahun 1927 nomor 346 itu masih tetap berlaku. Pendapat yang kedua yakni yang berkesimpu1an bahwa Staatsb1ad dewasa ini sudah tidak mempunyai daya 1aku 1agi mendasarkan pada pertim bangan berikut. Dengan mengindahkan Aturan Peralihan Pasal II UUD maka benar1ah pendapat orang yang mengatakan bahwa dalam periode sebe1um Konstitusi R.I.S. Uakni ) Staatsb1ad masih Januari 1984

3 24 Hukum dan Pembangunan berlaku karena UUD 1945 tidak "berbicara" secara terperinci tentang ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pembentukan suatu Undang-undang Peraturan Pemerintah dan sanksi pidana. Dan apabila kemudian Ordonnantie disamakan tingkat berlakunya dengan Undang-un dang dan Regeringsverordening disamakan tingkat berlakunya dengan Peraturan Pemerintah maka perlu diperhatikan hubungan Undang-undang dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam Konstitusi R.I.S. khususnya yang menyangkut sanksi pidana. Pasal 141 ayat (1) Konstitusi R.I.S. berbunyi : "Peraturan-peraturan penjalankan Undang-undang ditetapkan oleh Pemerintah. Namariya ialah Peraturan Pemerintah". Dan ayat (2)berbunyi: "Peraturan Pemerintah dapat mengancamkan hukuman-hukuman atas pe1anggaran aturan-aturannya. Batas-batas hukuman yang akan ditetapkan diatur dengan Undang-undang Federal". Selanjutnya mengenai hubungan Undang-undang dengan Peraturan Pemerintah kita perlu memperhatikan juga UUDS 1950 Pasal 98 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi hampir sarna benar dengan Konstitusi R.I.S. Pasal 141 ayat (1) dan ayat (2) dengan perbedaan hanya pada kata-kata "penjalankan" diganti "penye1enggara". Oleh karena sanksi pidana dalam Peraturan Pemerintah batas-batasnya harus ditetapkan dengan Undang-undang maka Staatsb1ad tahun 1927 nomor 346 sudah tidak. berlaku 1agi dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam Konstitusi R.I.S. dan UUDS 1950 terse but. Dari uraian di atas je1aslah bahwa dengan adanya ketentuan dalam Konstitusi R.I.S. yang kemudian di- ulangi lagi dalam UUDS 1950 maka pendapat yang kedua nampaknya yang benar; Staatsblad sudah tertutup daya lakunya. Konstitusi R.I.S. menyebutkan dengan je1as bahwa untuk dapat dicantumkan dalam Peraturan Pemerintah sanksi pidana itu harus tegas disebutkan batas hukumannya dalam Undang-undang. Kita tidak dapat menggunakan Ketentuan Peralihan Konstitusi R.I.S. untuk mem berlakukan Staatsb1ad tersebut karen a Batang Tubuh Konstitusi sudah mengaturnya dengan je1as. Lagi pula Undang-undang bukan1ah Ordonnan tie meski Ordonnantie disamakan tingkat berlakunya dengan Undang-undang! J adi berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 Staatsb1ad 1927 no. 346 hanya dapat berlaku sampai tibanya Konstitusi R.I.S. Untuk se1anjutnya dengan kekuatan aturan-aturan peralihan 1ainnya baik dari Konstitusi R.I.S. atau dari UUDS 1950 maupun dari UUD 1945 yang kemudian berlaku 1agi itu Staatsblad terse but tidak dapat "hidup" kembali.. Mungkinkah kita mejlibuat Undang-Undang "Blangko" semacam Staatsblad ? 4. Terlepas dari masalah apakah Staatsb1ad 1927 no. 346 dewasa ini masih. berlaku atau tidak dalam pikiran kita mungkin timbu1 pertanyaan lain: apakah kita dapat membentuk sebuah Undang-undang "b1angko" semacam ;CaatSblad 1927 no. yang memberikan kewenangan bagi Peraturan Pemerintah untuk membuat sanksi pidana (meskipun terbatas) apabila Undang-undang yang merupakan "induk"nya tidak memuat sanksi pidana baik secara sengaja memang tidak bermaksud

4 .. Staatsblad mencantumkan sanksi pidana maupun karena "lupa" tidak mencantumkannya? Di sini kita berhadapan dengan masalah yang perlu dikupas tersendiri. Marilah kita melihat pertamatama apa sebenarnya yang dimaksudkan oleh Konstitusi R.I.S. dan UUDS 1950 ketika keduanya berbicara tentang "batas-batas hukuman" yang harus "diatur dengan Undangundang". Apakah kat a "Undang-undang" dalam Konstitusi R.I.S. dan UUDS 1950 itu ialah suatu Undangundang dengan ketentuan hukuman (yang terbatas) yang dapat dipergunakan kemudian hari bagi setiap Peraturan Pemerintah sebagai sumber untuk mencantumkan sanksi pidana di dalamnya meskipun Undang-un dang yang berkaitan lang-. sung dengan pembentukan Peraturan Pemerintah itu tidak mencantumkan sesuatu sanksi pidana? Apakah Undang-undang yang dimaksudkan itu ialah Undang-undang yang bersangku t langsung saja dengan Peraturan Pemerintah dimaksud? Logemann dalam bukunya "Het staatsrecht van Indonesie" (terbitan 1954 halaman 90) berpendapat bahwa Undang-undang serupa itu dapat satu untuk semua Peraturan Pemerintah yang akan dibuat kemudian. Ia mengatakan pada tahun 1954 "deze wet is er nog niet " sambi! mempersoalkan mengenai berlakunya Staatsblad dengan mengatakan "tenzij men op grond van het overgangsrecht (artikel 142 der grondwet) aanneemt dat nog van Macht is de ordonnantie in Indisch Staatsblad ". 5. Di negeri Belanda sendiri kita melihat perkem bangan yang menarik dengan adanya apa yang disebut Meerenberg-arrest. Pada tahun 1818 ada sebuat Wet yang mengancam- kan sanksi pidana bagi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan A 1gemene Maatregelen van Bestuur (Wet itu disebut "blanket-wet"). Pada tahun 1878 pengurus sebuah lembaga rumah sakit gila Meerenberg dituntut karena melakukan pelanggaran terhadap ketentuan suatu Algemeen Maatregel van Bestuur tahun 1877 yang tidak bersandar pada suatu Wet. MakaHoge Raad dengan arrestnya tanggal 13 J anuari 1879 menegaskan bahwa Wet tanggal 6 Maret 1818 itu tidak dapat dianggap memberikan kewenangan umum ("algemeen") dan tidak terbatas ("onbepaald ") kepada pihak eksekutif melainkan hanya dapat diartikan memberikan kewenangan kepada Raja untuk membuat ketentuan-ketentuan khusus dan tertentu ("bijzonder aangewezen") berdasarsuatu Wet y ang terhadap pelanggaran-pelanggarannya dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan ketentuan dalam Wet terse but ("dat ook de wet van 6 Maart 1818 in artikel 1 niet kan geacht worden een algemene en onbepaalde bevoegheid aan het uitvoerende gezag te verlenen maar aileen kan worden opgevat in die zin dat zij voor al de gevallen waarin enige wet aan de Koning de bevoegdheid verleent om de daarbij bijzonder aangewezen bepalingen te m aken aan de overtreding dier bepalingen eene voor al de in het artikel genoemde stralfen verbindt'~. Arrest Roge Raad ini tidak membenarkan adanya ketentuan "blangko" dalam Wet yang dapat diartikan memberikan kewenangan secara u mum dan tidak terbatas ("algemeen en onbepaald") kepada Raja yang membuat Algemene Maatregelen van Bestuur (A.M.v.B.). 6. Arrest Roge Raad mengenai peristiwa Meerenberg terse but menurut Januari 1984

5 26 Hukum dan Pembangunan Koopmans dalam bukunya "Compendium van het Staatsrecht" (Cetak.en kedua 1976 halaman 125) menjadi sangat penting karen a dua alasan: yang pertama dalam "motivering"-~ya yangmengandung interprestasi sistematik dengan menghadapkan kekuasaan legislatif dengan kekuasaan eksekutif dan yang kedua dalam kesimpulannya yang berisi di satu pihak Raja hanya boleh mengatur dengan A.M.v.B. hal-hal yang menurut Grondwet telll1asuk dalam bidangnya dan di lain pihak pembuat Wet berwenang mengatur di bidang lain-lainnya dengan pengertian bahwa pembuat Wet dapat mendelegasikan pengaturannya lebih lanjut kepada Kroon. (A.M.v.B. hanyalah meng~ndung segi "uitvoering" atau eksekutif). Dengan demikian interpretasi terhadap Pasal ;'7 Grondwet menurut Koopmans menjadi jelas: a) adanya A.M.v.B. dimungkinkan bagi bidangbidang yang menumt Grondwet termasuk dalam kewenangan Raja; b) Wet dapat menyerahkan pengaturan ketentuan-ketentuannya lebih lanjut kepada A.M.v.B.; dan c) A.M.v.B. yang mengandung sanksi pidana selalu harus memperoleh campur-tangan dari pembuat Wet ("Steeds interventie van de wetgever vereist "). Bagaimanakah "interventie van de wetgever" itu harus diterapkan? Satu kali untuk semua A.M.v.B. atau tiap-tiap kali untuk masingmasing A.M.v.B.? Pendapat Thorbecke (yang diikuti oleh Oud sebagaimarla terlihat dalam bukunya "Het constitutioneel recht van het koninkrijk der Nederlanden" jilid II cetakan kedua 1970 halaman 205) mehyimpulkan: "Elke algemeene maatregel van bestuur rust op eene wet die er het onderwerp en gebied van be- paalt". (Jadi tiap A.M.v.B. harus berdasar suatu Wet yang menentukan materi dan ruang lingkupnya). Tambahan lagi menurutkranenburg dalam bukunya "Het Nederlandsch staatsrecht" jilid I cetakan keenam 1947 halaman 100 konsep Staatscommissie untuk mengubah Grondwet setelah Meerenberg-arrest tersebut berbunyi: "De grenzen van de. te bepalen straf worden bij die wet geregeld". (Perhatikan kata-kata "die wet" (Wet bersangkutan); jadi batas hukuman yang akan dian~ camkan dalam A.M.v.B. harus diatur Wet yang bersangkutanitu sendiri!). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa di Negeri Belanda sendiri setelah peristiwa Meerenberg orang tiqak berkehendak lagi membuat "blanket-wet" yang dapat secara terus-menerus dan dalam keadaan apapun juga memberikan kewenangan yang "blangko" kepada Raja untuk membuat A.M.v.B. dengan sanksi pidana berdasar Wet terse but. Hubungan Peraturan Pemerintah dan Undang-undang 7. Sekarang mari kita lihat apa hakekat Peraturan Pemerintah dalam hubungannya dengan Undang-undang dilihat dari sistem ketatanegaraan kita. Pertama-tarna perlu kit a catat bahwa kata "Pernerintah" pada istilah Peraturan Pernerintah tidak sarna artinya apabila dilihat dari berbagai konstitusi yang pernah ada dan yang berlaku di negara kita. Menurut UUD 1945 Pernerintah ialah Presiden sedangkan menurut Konstitusi R.I.S. dan UUDS 1950 Pemerintah ialah Presiden dan Menterirnenteri bersama-sama dengan catatan bahwa Presiden tidak dapat diganggu-gugat dan Menteri-menteri

6 Staatsblad baik bersama-sama maupun masingmasing bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Mengingat dewasa ini kita berada di bawah UUD 1945 maka pada hakekatnya Peraturan Pemerintah ialah peraturan yang dibuat oleh Presiden yang khusus untuk "menjalankan" Undang-undang ataupun untuk "menyelenggarakan" Undang-undang yang berarti untuk mengatur lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang. (karena itu Peraturan Pemerintah selalu bersifat "regelgeving" dan bukan "beschikking"). Selanjutnya mari kita perhatikan apabila Pemerintah ialah Presiden. maka kegiatan memerintah dalam arti yang formal menurut Georg Jellinek dalam "Algemeine Staatslehre" (cetakan ulang tahun 1966 dari edisi ketiga halaman 613) mengandung kekuasaan mengatur dan kekuasaan menetapkan/memutus. Apakah Peraturan Pemerintah sarna dengan produk hukum yang bersumber pada kekuasaan mengatur yang ada pada Presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan negara? Dengan perkataan lain apakah Peraturan Pemerintah sarna dengan "peraturan Presiden" yang bias a kita sebut Keputusan Presiden yang berisi peraturan? 8. Peraturan Pemerintah menurut Batang Tubuh UUD 1945 dan Penjelasannya ialah (peraturan) untuk menjalankan Undang-undang. Meskipun ditetapkan oleh Presiden namun Peraturan Pemerintah bukanlah Keputusan Presiden biasa yang berisi peraturan. Sebabnya ialah karena Peraturan Pemerintah merupakan "kelanjutan" Undang-undang yang berada dalam lingkup "pouvoir legislative" yang diserahkan penetapannya kepada Presiden sedangkan Keputusan Presiden yang berisi peraturan berada dalam lingkup "pouvoir executive" sematam ata. J adi jelaslah nama "Peraturan Pemerintah" mengandung kaitan yang erat sekali dengan Undang-undang. Peraturan Pemerintah tidak dapat ditetapkan tanpa adanya Undang-undang yang mendahuluinya karena ia diadakan untuk menjalank an Undang-undang. Tetapi Keputusan Presiden yang berisi peraturan selalu dapat diadakan meskipun tidak ada Undang-un'dang yang mendahuluinya asalkan materi muatannya bukan materi muatan Undang-undang. (Keputusan Presiden semacam itu selalu diperlukan untuk menjalankan roda pemerintahan). Peraturan Pemerintah bukan reo geringsverordening 9. Apabila benar penggunaan istilah Peraturan Pemerintah terpengaruh oleh terjemahan Regeringsverordening zaman Hindia Belanda bagaimanakah catatan-catatan kita mengenai Regeringsverordening? Samakah sifat Peraturan Pemerintah dan Regeringsverordening? Logemann dalam "Staatsrecht van Nederlands Indie" (1947) yang merupakan "college-aantekeningen "-nya selama mengajar di Rechtshoogeschool Jakarta (Batavia) menyebutkan bahwa Regeringsverordening merupakan suatu lembaga yang "gelap" dalam ketatanegaraan Hindia Belanda ("een duistere figuur in het Indische staatsrecht"). Namun ia dapat memastikan bahwa dengan menunjuk kepada Pasal81 Indische Staatsregeling Regeringsverordening adalah bentuk kewenangan mengatur dari Gubernur J enderal yang tidak berdiri sendiri ("een onzelfstandige verordeningsbevoegdheid"). Seianjutnya ia mengatakan tentang J anuarl 1984

7 28 Hukum dan Pembangunan tidak mungkinnya sesuatu Regeringsverordening yang berdiri sendiri ("een zeljstandige regeringsverordening sarna dengan Peraturan Pemerintah dewasa ini? Apabila dilihat riwayatnya maka lembaga Regeringsverirdening baru timbul dalam Indische Staatsregeling yang seluruh teksnya diundangkan kembali dan berlaku 1 J anuari 1926 yang sebelumnya dikenal dengan nama Regeeringsreglement (p?njangnya: Reglement op het beleid der Regeering van Ned. Indie). Dalam Regeringsreglement tidak ada lembaga Regeringsverordening. Peraturan-peraturan pelaksanaan pada waktu itu dilakukan dengan Keputusan Gubernur Jende- ral atau Gouvernementsbesluit. Tetapi dengan adanya 1.S. selain diperkenalkan lem baga baru yang disebut Regeringsverordening lembaga Gouvernementsbesluit masih tetap dipertahankan. J adi apabila 1.S. Pasal 81 ayat (l) menentukan bahwa Gubernur Jenderal dapat menetapkan Regeringsverordening yang berisi peraturan yang mengikat umum ("algemene regelingen ") untuk melaksanakan Wet A.M. v.b. dan Ordonnantie tentunya lembaga itu bukan lembaga yang "gelap" ataupun kabur seperti dikatakan Logemann; diadakannya lembaga itu tentu ada tujuannya. Nampaknya diciptakannya lembaga Regeringsverordening dimaksudkan agar Gubernur J enderal selain bersarna-sarna Volksraad dapat membentuk Ordonnantie ia juga secara sendiri dapat membentuk jenis "algemene verordening" yang lain. Sebagai "algemene verordening" yang mengandung peraturan yang dapat mengikat ke luar secara umum Regeringsverordening tidak hanya untuk "menjalankan" Wet dan A.M. v.b. di Hindia Belanda melainkan juga untuk "menjalankan" Ordonnatie. Gubernur Jenderal dapat mengatur lebih lanjut dan menyesuaikan pelaksanaan Wet A.M. v.b. dan (Ordonnantie sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda dengan menggunakan Regeringsverordening. Oleh karena itu dapatlah dimengerti apabila Staatsblad yang berinduk pada pasal 81 ayat (2) I.S. itu memungkinkan dicantumkannya sanksi pidana dalam Regeringsverordening (meskipun sanksi pidana itu bersifat terbatas) karen a Regeringsverordening dibuat tanpa perlu persetujuan badan perwakilan atau dewan rakyat (Volksraad). Kesim- pulan kita Regeringsverordening memang jenis perundang-undangan khusus yang bersifat "algemene verordening" yang dapat mengikat ke luar secara umum yang berguna bukan hanya untuk "menjalankan" Wet A.M. v.b. dan Ordonnantie melainkan juga sebagai "alat" bagi pemerintah Hindia Belanda untuk menjalankan kebijaksanaannya yang berdasarkan "un dang-un dang dasar" Hindia Belanda (1.S. ) dapat mencantumkan sendiri sanksi pidana (meski terbatas). Sanksi pidana dalam peraturan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat) 10. Negara modern yang berdasar atas hukum atau disebvt juga "moderne Rechtsstaat" (sebaiknya tidak diterjemahkan secara harfiyah dengan "negara hukum" mengingat dengan teijemahan itu tidak "terasa" bahwa negara berdasar atas hukum!) tumbuh karena perlawanan terhadap absolutisme yang tampil de-

8 Staatsblad ngan ciri-ciri berupa otoritarisme dan totalitarisme. Dasar Rechtsstaat" yang utama ialah kedaulatan rakyat kekuasaan negara yang berdasarkan atas hukum dan konstitusionalisme. Apabila pada Rousseau kedaulatan rakyat terwujud dalam I I r volonte generale yang memformulasikan hukum dalam undang-undang bagi rakyat maka rakyat sebagai pembentuk adalah organ yang tertinggi dalam negara. Pada Rousseau undang-undang adalah "la raison humaine manifestle par la volonte generale ". (Lihat Bohtlingk/ Logemann Het wetsbegrip in Nedermann Het wetsbegrip in Nederland 1966 halaman 16). Dalam perkembangannya sejak undangundang dianggap identik dengan "la raison humaine" yang selalu mengandung kebenaran sampai dewasa ini yang "mensekularisasikan" undang-undang sebagai "de door de wetgever vastgestelde algemene rechtsregel die naar buiten werkt" (aturan hukum yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang berlaku umum dan 'mengikat ke luar) maka undang-undang selalu dibentuk oleh atau dengan persetujuan rakyat atau badan perwakilannya. Selain itu wawasan konstitusionalisme juga menyebabkan kekuasaan pihak pemerintahan menjadi tidak tak terbatas. Hak hidup hak. milik/kekayaan dan hak kebebasan rakyat dilindungi dalam konstitusi atau undang-undang dasar. Hak-hak rakyat tidak dapat dirampas dan dikurangi tanpa persetujuan rakyat sendiri. Konstitusionalisme menjamin semua itu. 11. Negara modern Republik Indonesia dalam undang-undang dasarnya secara tegas menyatakan diri sebagai negara yang berdasar atas hukum (RechtsStaat) dan pemerintahannya berdasar sistem konstitusi atau konstitusionalisme. Oleh karena itu kita tidak dapat berkesimpulan lain kecuali bahwa dalam Negara Republik Indonesia sanksi pidana yang dapat merampas dan mengurangi hak hidup hak milik/kekayaan dan hak ke be basan rakyat haruslah dituangkan dalam Undang-undang yang dibentuk oleh atau dengan persetujuan rakyat atau badan perwakilannya. Dengan perkataan lain sanksi pidana dalam sistem perundang-undangan Rechtsstaat Republik Indonesia haruslah dalam bentuk atau atas kuasa Undangundang foiillal. Jenis peraturan perundang-undangan lain di bawah Un dang-un dang hanya dapat mencantumkan sanksi pidana sebagai delegasian dari Undang-undang. Peraturan Pemerintah sebagai jenis peraturan perundang-undangan yang berfungsi "menjalankan" atau mengatur lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang dapat memperoleh delegasian semua materi muatan Undang-undang tennasuk sanksi pidananya. Bahkan Peraturan Pemerintah dapat "menj'alankan" atau mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-undang meskipun Undang-undang yang bersangkutan tidak " memintanya" secara tegas-tegas. 12. Setelah mengikuti uraian di at as maka kini timbul pertanyaan pada kita: dapatkah kita dewasa ini membentuk sebuah Undang-undang khusus yang memuat ketentuan sanksi pidana yang dapat didelegasikan kepada semua I'eraturanperaturan Pemerintah yang akan datang di kemudian hari kapanpun juga waktunya meskipun nanti ternyata Undang-undang yang akan menjadi "induk" Peraturan-peratur- J anuari 1984

9 30 an Pemerintah itu sendiri memang sengaja tidak bermaksud untuk menclultumkan sesuatu sanksi pidana sedikitpun juga terhadap pe1anggaran ketentuan-ketentuannya? Penyediaan Undang-undang dengan sanksi pidana secara '.b1angko" semacam itu akan memungkinkan pihak pemerintahan memilih menurut pertimbangannya sendiri baik untuk menggunakannya maupun untuk tidak menggunakannya apabila ia sekali waktu perlu menetapkan Peraturan Pemerintah dari suatu Undang-undang yang tidak memuat sesuatu sanksi pidana. Da1am menghadapi keadaan yang demikian Negara kita akan kehilangan dua sendi utamanya sekaligus: sendi negara yang.berdasar atau hukum dan sendi pemerintahan yang berdasar atas sistem konstitusi. Da1am keadaan demikian pilihan untuk mencantumkan sanksi pidana dalam Peraturan Pemerintah tidak 1agi di- dasarkan at as sendi yang murni dari wawasan Rechtsstaat dan wawasan konstitusionalisme. Penutup 13. Sebagai penutup sebaiknya diajukan kesimpu1an-kesimpu1an dari uraian yang agak panjang di atas ini sebagai berikut. 1) Staatsb1ad tahun 1927 nomor 346 hanya diadakan di negara jajahan Hindia Be1anda; gagasan semacam itu di negara induknya sendiri Negeri Be1anda sudah lama ditinggalkan. 2) Berdasarkan Aturan Peralihan Pasa1 II UUD 1945 Staatsb1ad hanya berlaku sampai dengan berfungsinya Konstitusi R.I.S. mengingat konstitusi ini te1ah menetapkan secara tegas bahwa batas hukuman bagi HUkum dan Pembangunan Peraturan Pemerintah harus dicantumkan dalam Undang-undang (federal) sedangkan Staatsb1ad yang berwujud Ordonanntie bukan1ah Undangundang (federal). 3) Meskipun dengan berlakunya kembali UUD 1945 UUDS 1950 tidak berlaku 1agi namun ketentuan-ketentuan UU DS 1950 yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dapat dianggap sebagai konvensi ketatanegaraan yang dapat terus berlaku termasuk ketentuannya yang menetapkan bahwa batas hukuman bagi Peraturan Pemerintah harus dicantumkan dalam Undang-undang se1ama tidak bertentangan dengan atau dibuat peraturan baru berdasarkan UUD ) Peraturan Pemerintah menurut UUD 1945 ada1ah peraturan perundang-undangan de1egasian khusus untuk menjalankan Undang-undang sehingga karenanya perlu atau tidaknya pembentukan Peraturan Pemerintah yang mengandung sanksi pidana tergantung pada ketentuan sanksi pidana Undang-undang yang bersangku tan. 5) Sanksi pidana termasuk ~e tentuan-ketentuan lain yang terdapat dalam suatu Undangundang dapat dide1egasikan kepada Peraturan Pemerintah mengingat Peraturan Pemerintah merupakan peraturan perundang-undangan de1egasian. Tetapi de1egasi ("het overdragen ") kewenangan bukan- 1ah atribusi ( "het scheppen ") dari padanya.

10 Staatsblad ) Membuat suatu Undang-undang yang semata-mata berisi sanksipidana dengan maksud agar sewaktu-waktu dapat didelegasikan kepada Peraturanperaturan Pemerintah yang akan dibentuk kemudian pada masa datang kapanpun juga meskipun Undang-undang yang bersangkutan dengan pembentukan Peraturan- peraturan Pemerintah itu tidak bennaksud mengancamkan sanksi pidana sedikitpun juga terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuannya adalah bertentangan dengan sendisendi Negara Republik Indonesia yakni sendi wawasan Rechtsstaat dan sendi wawasan konstitusionalisme yang ditegaskan dalam UUD '" SHAYHA THIHAK He "I.J -:::;> ~ ".. R.D-( c<. " 1". \. '- ( -/.- I / ~ij~ \_ ~... ~ 1 ' !4 I > -~ A!-;JN SAYA T UNTurSIAPA YANG B lk/n eei-iar NN.'A S AYA/ 1' t /'(' ~ ~ f.~. ~ 11..II Januari 1984

SEJARAH HUKUM INDONESIA

SEJARAH HUKUM INDONESIA SEJARAH HUKUM INDONESIA GAMBARAN SEJARAH HUKUM INDONESIA ADAT VOC 1622-1799 AB RR IS JEPANG UUD 45 170845 RIS 1949 UUDS 1950 UUD 45 1959 SAAT INI INGGRIS SBL BLD PENJAJAHAN BELANDA SEBELUM BELANDA Hukum

Lebih terperinci

Sinkronisasi horizontal..., Irfan Huzairin, FH UI, 2010.

Sinkronisasi horizontal..., Irfan Huzairin, FH UI, 2010. rendah) ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi untuk selanjutnya pembentukan norma hukum ini berakhir pada suatu norma dasar yang paling tinggi sehingga menjadi nomr dasar tertinggi dari keseluruhan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PEMANGGILAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PADA SUATU PERSEROAN TERBATAS MENURUT

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PEMANGGILAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PADA SUATU PERSEROAN TERBATAS MENURUT 53 BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PEMANGGILAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PADA SUATU PERSEROAN TERBATAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS A. Analisa Hukum Mengenai Keharusan

Lebih terperinci

SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA SHINTA HAPPY YUSTIARI, S.AP, MPA

SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA SHINTA HAPPY YUSTIARI, S.AP, MPA SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA SHINTA HAPPY YUSTIARI, S.AP, MPA SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA SUMBER PENELITIAN SEJARAH DOKUMEN / ARSIP BENDA / PRASASTI PELAKU SEJARAH SISTEM PRA KEMERDEKAAN PENJAJAHAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 1981 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 18 TAHUN 1972 TENTANG PERUSAHAAN UMUM LISTRIK NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 ISSN 0216-8537 9 77 0 21 6 8 5 3 7 21 12 1 Hal. 1-86 Tabanan Maret 2015 Kampus : Jl. Wagimin No.8 Kediri - Tabanan - Bali 82171 Telp./Fax. : (0361) 9311605 KEWENANGAN PRESIDEN

Lebih terperinci

KEWARGANEGARAAN KONSTITUSI, KONSTITUSIONALISME DAN RULE OF LAW. Modul ke: 05Fakultas FASILKOM. Program Studi Teknik Informatika

KEWARGANEGARAAN KONSTITUSI, KONSTITUSIONALISME DAN RULE OF LAW. Modul ke: 05Fakultas FASILKOM. Program Studi Teknik Informatika KEWARGANEGARAAN Modul ke: 05Fakultas Nurohma, FASILKOM KONSTITUSI, KONSTITUSIONALISME DAN RULE OF LAW S.IP, M.Si Program Studi Teknik Informatika Abstraksi dan Kompetensi ABSTRAKSI = Memahami pengertian

Lebih terperinci

BAB II. Prosedur Pengajuan Grasi Kepada Presiden Baik Tahap I. Maupun Tahap II

BAB II. Prosedur Pengajuan Grasi Kepada Presiden Baik Tahap I. Maupun Tahap II BAB II Prosedur Pengajuan Grasi Kepada Presiden Baik Tahap I Maupun Tahap II A. Sejarah Penerapan Grasi Pemberian grasi atau pengampunan pada mulanya di zaman kerajaan absolut di Eropa adalah berupa anugerah

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN)

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN) HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN) Oleh: M. Guntur Hamzah gunturfile@gmail.com SEJARAH PERADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN) DI INDONESIA Masa Penjajahan dan Pendudukan Masa Kemerdekaan 1 Masa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DARURAT (UUDRT) NOMOR 20 TAHUN 1950 (20/1950) TENTANG PEMERINTAHAN JAKARTA RAYA. Presiden Republik Indonesia Serikat,

UNDANG-UNDANG DARURAT (UUDRT) NOMOR 20 TAHUN 1950 (20/1950) TENTANG PEMERINTAHAN JAKARTA RAYA. Presiden Republik Indonesia Serikat, UNDANG-UNDANG DARURAT (UUDRT) NOMOR 20 TAHUN 1950 (20/1950) TENTANG PEMERINTAHAN JAKARTA RAYA Presiden Republik Indonesia Serikat, Menimbang: a. bahwa untuk memenuhi penetapan dalam Pasal 50 Konstitusi

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1954 TENTANG UNDANG-UNDANG TENTANG PENETAPAN UNDANG-UNDANG DARURAT NO. 11 TAHUN 1952 TENTANG PERUBAHAN DAN PENAMBAHAN DARI "ORDONNANTIE OP DE VENNOOTSCHAPSBELASTING 1925" YANG

Lebih terperinci

Mengingat: pasal 97, 131 dan 142 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia:

Mengingat: pasal 97, 131 dan 142 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia: Bentuk: Oleh: UNDANG-UNDANG (UU) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1956 (1/1956) Tanggal: 7 PEBRUARI 1956 (JAKARTA) Sumber: LN 1956/2; TLN NO. 941 Tentang: PENETAPAN "UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK

Lebih terperinci

Sejarah Tata Hukum Dan Poliik di Indonesia

Sejarah Tata Hukum Dan Poliik di Indonesia Sejarah Tata Hukum Dan Poliik di Indonesia PRA KEMERDEKAAN 1. Masa Vereenigde Oosindische Compagnie (1602-1799) Pada masa ini bermula dari hak isimewa yang diberikan oleh pemerintah Belanda kepada VOC

Lebih terperinci

GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA

GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA Fitriani Ahlan Sjarif Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jalan Prof. Djoko Soetono, Depok

Lebih terperinci

SUMBER- SUMBER KEWENANGAN. (Totok Soeprijanto, widyaiswara Pusdiklat PSDM )

SUMBER- SUMBER KEWENANGAN. (Totok Soeprijanto, widyaiswara Pusdiklat PSDM ) SUMBER- SUMBER KEWENANGAN. (Totok Soeprijanto, widyaiswara Pusdiklat PSDM ) Penerapan asas negara hukum oleh pejabat administrasi terikat dengan penggunaan wewenang kekuasaan. Kewenangan pemerintah ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO.13 TAHUN 1992 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO.13 TAHUN 1992 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO.13 TAHUN 1992 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting

Lebih terperinci

BAB. IV POLITIK HUKUM

BAB. IV POLITIK HUKUM BAB. IV POLITIK HUKUM I. PENGERTIAN POLITIK HUKUM POLITIK H U K U M CARA MENENTUKAN TUJUAN YANG AKAN DICAPAI DENGAN DIBUAT DAN DIBERLAKUKANNYA HUKUM CARA MENENTUKAN STRATEGI YANG DIPILIH UNTUK MENCAPAI

Lebih terperinci

BAB III SUMBER HUKUM

BAB III SUMBER HUKUM BAB III SUMBER HUKUM A. Pengertian Sumber Hukum Adapun yang dimaksud dengan sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebelum dapat melakukan pembentukan Undang-Undang hukum pidana baru, perlu

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 8 TAHUN 1959 TENTANG PENAMBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 22 TAHUN 1958 TENTANG PENETAPAN SEMUA BANK BELANDA DIBAWAH PENGUASAAN PEMERINTAH DAN PEMBENTUKAN BADAN PENGAWAS BANK-BANK

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH SISTEMATIKA TEKNIK PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DAN KERANGKA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1953 TENTANG PENETAPAN "UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG LARANGAN UNTUK MEMPERGUNAKAN DAN MEMASUKKAN DALAM PEREDARAN UANG PERAK LAMA, YANG DIKELUARKAN BERDASARKAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA [LN 1999/66, TLN 3843]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA [LN 1999/66, TLN 3843] UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA [LN 1999/66, TLN 3843] BAB XI KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 65 Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1951 TENTANG MENGUBAH DAN MENAMBAH LEBIH LANJUT "ALGEMENE BEPALINGEN TER UITVEORING VAN DE POSTORDONNANTIE 1935" (POSTVERORDENING 1935, STAATSBLAD

Lebih terperinci

BAB II PEDOMAN PENETAPAN IZIN GANGGUAN. Di dalam kamus istilah hukum, izin (vergunning) dijelaskan sebagai

BAB II PEDOMAN PENETAPAN IZIN GANGGUAN. Di dalam kamus istilah hukum, izin (vergunning) dijelaskan sebagai BAB II PEDOMAN PENETAPAN IZIN GANGGUAN A. Pengertian Perizinan Di dalam kamus istilah hukum, izin (vergunning) dijelaskan sebagai perkenaan/izin dari pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan yang pada

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 74, 1985 (ENERGI. Perusahaan Negara. Prasarana. Listrik. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

Presiden Republik Indonesia,

Presiden Republik Indonesia, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1953 TENTANG MENGUBAH DAN MENAMBAH LEBIH LANJUT "ALGEMEENE BEPALINGEN TER UITVOERING VAN DE POSTORDONNANTIE 1935" (POSTVERORDENING 1935, STAATSBLAD

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MENGUBAH DAN MENAMBAH LEBIH LANJUT "ALGEMEENE BEPALINGEN TER UITVOERING VAN DE POSTORDONNANTIE 1935" (POSTVERORDENING 1935, STAATSBLAD 1934 NOMOR 721) Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1953 tanggal 5 Maret

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1954 TENTANG PENETAPAN UNDANG-UNDANG DARURAT NO. 11 TAHUN 1952 TENTANG PENGUBAHAN DAN PENAMBAHAN DARI "ORDONNANTIE OP DE VENNOOTSCHAPSBELASTING 1925" YANG

Lebih terperinci

Menimbang : Bahwa pelanggaran-pelanggaran dalam atau berdasarkan:

Menimbang : Bahwa pelanggaran-pelanggaran dalam atau berdasarkan: UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1958 TENTANG PENAMBAHAN UNDANG-UNDANG DARURAT NO. 7 TAHUN 1955 (LEMBARAN-NEGARA TAHUN 1955 NO. 27) TENTANG PENGUSUTAN, PENUNTUTAN DAN PERADILAN TINDAK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1985 TENTANG P E R I K A N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1985 TENTANG P E R I K A N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1985 TENTANG P E R I K A N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa perairan yang merupakan bagian terbesar wilayah

Lebih terperinci

NOMOR 15 TAHUN 1985 TENTANG KETENAGALISTRIKAN

NOMOR 15 TAHUN 1985 TENTANG KETENAGALISTRIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1985 TENTANG KETENAGALISTRIKAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA a. bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

Pertemuan ke-3 Pembentukkan UUPA dan Pembangunan Hukum Tanah Nasional. Dr. Suryanti T. Arief SH.,MKn.,MBA

Pertemuan ke-3 Pembentukkan UUPA dan Pembangunan Hukum Tanah Nasional. Dr. Suryanti T. Arief SH.,MKn.,MBA Pertemuan ke-3 Pembentukkan UUPA dan Pembangunan Hukum Tanah Nasional Dr. Suryanti T. Arief SH.,MKn.,MBA FUNGSI UUPA 1. Menghapuskan dualisme, menciptakan unifikasi serta kodifikasi pada hukum (tanah)

Lebih terperinci

Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1

Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1 Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1 Hamdan Zoelva 2 Pendahuluan Negara adalah organisasi, yaitu suatu perikatan fungsifungsi, yang secara singkat oleh Logeman, disebutkan

Lebih terperinci

FAIQ TOBRONI, SHI., MH

FAIQ TOBRONI, SHI., MH FAQ TOBRON, SH., MH Sejarah dan Upaya Pembaharuan Hukum Pidana SEJARAH HUKUM PDANA Prof. Mr. J. E. Jonkers mengatakan orang-orang Belanda yang dengan melewati lautan dan samudra luas memiliki jalan untuk

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 1953 TENTANG PENETAPAN "UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG LARANGAN UNTUK MEMPERGUNAKAN DAN MEMASUKKAN DALAM PEREDARAN UANG PERAK LAMA, YANG DIKELUARKAN BERDASARKAN " INDISCHE MUNTWET

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1960 TENTANG PEMBUBARAN PANITYA UNTUK MENYELESAIKAN URUSAN PEMULIHAN HAK

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1960 TENTANG PEMBUBARAN PANITYA UNTUK MENYELESAIKAN URUSAN PEMULIHAN HAK NOMOR 12 TAHUN 1960 TENTANG PEMBUBARAN PANITYA UNTUK MENYELESAIKAN URUSAN PEMULIHAN HAK PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa telah tiba saatnya untuk membubarkan Panitya Untuk Menyelesaikan Urusan Pemulihan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1957 TENTANG PENYALURAN PERUSAHAAN-PERUSAHAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1957 TENTANG PENYALURAN PERUSAHAAN-PERUSAHAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1957 TENTANG PENYALURAN PERUSAHAAN-PERUSAHAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk kepentingan bimbingan dan pengawasan perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 83 TAHUN 1958 TENTANG PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 83 TAHUN 1958 TENTANG PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 83 TAHUN 1958 TENTANG PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan-peraturan penerbangan yang berlaku di wilayah Republik Indonesia pada

Lebih terperinci

Indonesia Jakarta, FH. UI, hal Muh. Kusnadi dan Ha y Ibrahim, 1980, Pengantar Tata Hukum

Indonesia Jakarta, FH. UI, hal Muh. Kusnadi dan Ha y Ibrahim, 1980, Pengantar Tata Hukum PENGERTIAN HTN A. Istilah Hukum Tata Negara Indonesia yang membicarakan masalah-masalah Hukum Tata Negara yang berlaku pada saat sekarang di Indonesia disebut sebagai Hukum Tata Negara Positif, hal ini

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1951 TENTANG MENGUBAH DAN MENAMBAH LEBIH LANJUT "ALGEMENE BEPALINGEN TER UITVEORING VAN DE POSTORDONNANTIE 1935" (POSTVERORDENING 1935, STAATSBLAD

Lebih terperinci

Sistem Pemerintahan Negara Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen

Sistem Pemerintahan Negara Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen Sistem Pemerintahan Negara Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Dalam perkembangan dunia dan ilmu pengetahuan dan teknologi memasuki abad 21, hukum di Indonesia mengalami perubahan

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 15 TAHUN 1985 (15/1985) Tanggal: 30 DESEMBER 1985 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 15 TAHUN 1985 (15/1985) Tanggal: 30 DESEMBER 1985 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 15 TAHUN 1985 (15/1985) Tanggal: 30 DESEMBER 1985 (JAKARTA) Sumber: LN 1985/74; TLN NO. 3317 Tentang: KETENAGALISTRIKAN Indeks: ENERGI.

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT, UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA SERIKAT NOMOR 25 TAHUN 1950 TENTANG HAK PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PEGAWAI-PEGAWAI REPUBLIK INDONESIA SERIKAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT, Menimbang:

Lebih terperinci

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. A. PANCASILA DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM 1. Penegakan Hukum Penegakan hukum mengandung makna formil sebagai prosedur

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1964 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1963 TENTANG TELEKOMUNIKASI (LEMBARAN NEGARA TAHUN 1963 NOMOR 66) MENJADI

Lebih terperinci

MATERI UUD NRI TAHUN 1945

MATERI UUD NRI TAHUN 1945 B A B VIII MATERI UUD NRI TAHUN 1945 A. Pengertian dan Pembagian UUD 1945 Hukum dasar ialah peraturan hukum yang menjadi dasar berlakunya seluruh peraturan perundangan dalam suatu Negara. Hukum dasar merupakan

Lebih terperinci

BAB 3 ANALISIS SISTEM BERJALAN Sejarah Mahkamah Pelayaran Republik Indonesia

BAB 3 ANALISIS SISTEM BERJALAN Sejarah Mahkamah Pelayaran Republik Indonesia BAB 3 ANALISIS SISTEM BERJALAN 3.1 Gambaran Ilustrasi Organisasi 3.1.1 Sejarah Mahkamah Pelayaran Republik Indonesia Secara geografis Negara Republik Indonesia terletak pada posisi yang cukup strategis

Lebih terperinci

HUHUNGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DENGAN HADAN PEMERIKSA KEUANGAN *

HUHUNGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DENGAN HADAN PEMERIKSA KEUANGAN * 533 HUHUNGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DENGAN HADAN PEMERIKSA KEUANGAN * oleh : Dedi Soemardi llalam membicarakan masalah keuangan Regura. ada dua lembaga tinggi negara yang mempun)'ai peransn penting yaitu

Lebih terperinci

Asas asas Hukum Tata Negara

Asas asas Hukum Tata Negara Asas asas Hukum Tata Negara MAKALAH Dibuat untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Pengantar Hukum Indonesia di Bawah Bimbingan Dosen Ibu. Mas Anienda TF, SH, M.Hum Oleh : KELOMPOK 8 KELAS A PROGRAM STUDI ILMU

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Instrumen Pemerintahan 1. Regeling Perbuatan pemerintah yang dilakukan dalam bentuk mengeluarkan peraturan atau regling, dimaksudkan dengan tugas hukum yang diemban pemerintah

Lebih terperinci

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia MEMUTUSKAN

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia MEMUTUSKAN 1 UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1951 TENTANG PENETAPAN UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG PERUBAHAN ORDONANSI PAJAK PERALIHAN 1944, ORDONANSI PAJAK UPAH DAN ORDONANSI PAJAK KEKAYAAN 1932 (UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HUKUM APOTEK DARURAT Undang-Undang Darurat Nomor 5 Tahun 1958 Tanggal 4 Oktober 1958 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEDUDUKAN HUKUM APOTEK DARURAT Undang-Undang Darurat Nomor 5 Tahun 1958 Tanggal 4 Oktober 1958 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEDUDUKAN HUKUM APOTEK DARURAT Undang-Undang Darurat Nomor 5 Tahun 1958 Tanggal 4 Oktober 1958 Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1. Bahwa Undang-undang No.4 tahun 1953 (Lembaran-Negara 1953 No.19)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DARURAT (UUDRT) NOMOR 17 TAHUN 1950 (17/1950) TENTANG HUKUM ACARA PIDANA PADA PENGADILAN TENTARA. Presiden Republik Indonesia Serikat,

UNDANG-UNDANG DARURAT (UUDRT) NOMOR 17 TAHUN 1950 (17/1950) TENTANG HUKUM ACARA PIDANA PADA PENGADILAN TENTARA. Presiden Republik Indonesia Serikat, UNDANG-UNDANG DARURAT (UUDRT) NOMOR 17 TAHUN 1950 (17/1950) TENTANG HUKUM ACARA PIDANA PADA PENGADILAN TENTARA Menimbang : Presiden Republik Indonesia Serikat, 1. bahwa perlu mengadakan peraturan tentang

Lebih terperinci

*85 UNDANG-UNDANG (UU) 1946 No. 1 (1/1946) HUKUM PIDANA. Hal Undang-undang hukum pidana. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

*85 UNDANG-UNDANG (UU) 1946 No. 1 (1/1946) HUKUM PIDANA. Hal Undang-undang hukum pidana. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Copyright (C) 2000 BPHN UU 1/1946, UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA *85 UNDANG-UNDANG (UU) 1946 No. 1 (1/1946) HUKUM PIDANA. Hal Undang-undang hukum pidana. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sebelum

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA. Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, bentuk republik telah

BAB II KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA. Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, bentuk republik telah BAB II KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Sistem Pemerintahan Indonesia Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, bentuk republik telah dipilih sebagai bentuk pemerintahan,

Lebih terperinci

Reposisi Peraturan Desa dalam Kajian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 & Undang-undang No. 12 Tahun 2011

Reposisi Peraturan Desa dalam Kajian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 & Undang-undang No. 12 Tahun 2011 REPOSISI PERATURAN DESA DALAM KAJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 1 Oleh : Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum 2 Pendahuluan Ada hal yang menarik tentang

Lebih terperinci

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; Memutuskan :

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; Memutuskan : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1958 TENTANG MENYATAKAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1946 REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA UNTUK SELURUH WILAYAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

NOTARIS TIDAK BERWENANG MEMBUAT SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT), TAPI BERWENANG MEMBUAT AKTA KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (AKMHT)

NOTARIS TIDAK BERWENANG MEMBUAT SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT), TAPI BERWENANG MEMBUAT AKTA KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (AKMHT) NOTARIS TIDAK BERWENANG MEMBUAT SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT), TAPI BERWENANG MEMBUAT AKTA KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (AKMHT) Pasal 15 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang

Lebih terperinci

Pasal 97 jo Pasal 89 dan Pasal 117 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia;

Pasal 97 jo Pasal 89 dan Pasal 117 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia; Bentuk: Oleh: UNDANG-UNDANG (UU) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1954 (1/1954) Tanggal: 29 DESEMBER 1953 (JAKARTA) Sumber: LN 1954/8; TLN NO. 496 Tentang: PENETAPAN UNDANG-UNDANG DARURAT NO.

Lebih terperinci

Macam-macam konstitusi

Macam-macam konstitusi Macam-macam konstitusi C.F Strong, K.C. Wheare juga membuat penggolongan terhadap konstitusi. Menurutnya konstitusi digolongkan ke dalam lima macam, yaitu sebagai berikut: 1. 1. 1. konstitusi tertulis

Lebih terperinci

Kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Yang Mulia Hakim Majelis, atas permintaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia dalam perkara sengketa wewenang antara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1985 (FINEK. PAJAK. AGRARIA. Bangunan. Ekonomi. Uang. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

KEKELIRUAN PEMBERIAN NAMA RUU TENTANG KUHP Oleh: Agus Suharsono * Naskah diterima: 10 Agustus 2016; disetujui: 13 Oktober 2016

KEKELIRUAN PEMBERIAN NAMA RUU TENTANG KUHP Oleh: Agus Suharsono * Naskah diterima: 10 Agustus 2016; disetujui: 13 Oktober 2016 KEKELIRUAN PEMBERIAN NAMA RUU TENTANG KUHP Oleh: Agus Suharsono * Naskah diterima: 10 Agustus 2016; disetujui: 13 Oktober 2016 Alinea empat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 disebutkan, maka disusunlah Kemerdekaan

Lebih terperinci

POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDASARI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN *

POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDASARI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN * POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDASARI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN * Oleh: Dra. Hj. IDA FAUZIAH (Wakil Ketua Badan Legislasi DPR) A. Pendahuluan Dalam Pasal

Lebih terperinci

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,

Lebih terperinci

SMP. 1. Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara 2. Susunan ketatanegaraan suatu negara 3. Pembagian & pembatasan tugas ketatanegaraan

SMP. 1. Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara 2. Susunan ketatanegaraan suatu negara 3. Pembagian & pembatasan tugas ketatanegaraan JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMP VIII (DELAPAN) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) KONSTITUSI YANG PERNAH BERLAKU A. Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia Konstitusi (Constitution) diartikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara Kesejahteraan sebagaimana yang dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea IV yang mana tujuan Negara Indonesia

Lebih terperinci

Aji Wicaksono S.H., M.Hum. Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK

Aji Wicaksono S.H., M.Hum. Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK Modul ke: Konstitusi dan Rule of Law Pada Modul ini kita akan membahas tentang pengertian, definisi dan fungsi konstitusi dan Rule of Law mekanisme pembuatan konstitusi dan undang-undang serta fungsi,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KEDUDUKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM MEMUTUS PERKARA PERDATA DI LINGKUNGAN PENGADILAN AGAMA

BAB IV ANALISIS KEDUDUKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM MEMUTUS PERKARA PERDATA DI LINGKUNGAN PENGADILAN AGAMA BAB IV ANALISIS KEDUDUKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM MEMUTUS PERKARA PERDATA DI LINGKUNGAN PENGADILAN AGAMA Pembahasan mengenai analisis data mengacu pada data-data sebelumnya,

Lebih terperinci

Hukum Administrasi Negara

Hukum Administrasi Negara Hukum Administrasi Negara ASAS-ASAS HUKUM ADMINISTRASI NEGARA SUMBER-SUMBER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA KEDUDUKAN HAN DALAM ILMU HUKUM Charlyna S. Purba, S.H.,M.H Email: charlyna_shinta@yahoo.com Website:

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. OLEH : SRI HARININGSIH, SH.,MH

MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. OLEH : SRI HARININGSIH, SH.,MH MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. OLEH : SRI HARININGSIH, SH.,MH 1 MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.

Lebih terperinci

HUKUM TERTULIS Adalah hukum yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kehidupan bersama manusia dalam masyarakat

HUKUM TERTULIS Adalah hukum yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kehidupan bersama manusia dalam masyarakat HUKUM TERTULIS Adalah hukum yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kehidupan bersama manusia dalam masyarakat agar dapat berjalan tertib dan teratur PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Adalah peraturan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. Dalam Wikipedia, K. C. Wheare menyatakan bahwa undang-undang atau

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. Dalam Wikipedia, K. C. Wheare menyatakan bahwa undang-undang atau 9 II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konsep Undang-Undang Dalam Wikipedia, K. C. Wheare menyatakan bahwa undang-undang atau konstitusi adalah keseluruhan sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (3) yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (3) yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (3) yaitu tentang Pertahanan dan Keamanan, Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1958 TENTANG KEDUDUKAN HUKUM APOTEK DARURAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1958 TENTANG KEDUDUKAN HUKUM APOTEK DARURAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1958 TENTANG KEDUDUKAN HUKUM APOTEK DARURAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : 1. Bahwa Undang-undang No.4 tahun 1953 (Lembaran-Negara 1953

Lebih terperinci

INSTRUMEN PEMERINTAH

INSTRUMEN PEMERINTAH INSTRUMEN PEMERINTAH Dibuat untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Hukum Administrasi Negara KELOMPOK 8 KELAS A PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL "VETERAN" JAWA TIMUR

Lebih terperinci

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 62 BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 3.1. Kekuatan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

DISKUSI MATA KULIAH GEMAR BELAJAR PENGETAHUAN PERUNDANG-UNDANGAN. I. ISTILAH dan PENGERTIAN ILMU PERUNDANG-UNDANGAN.

DISKUSI MATA KULIAH GEMAR BELAJAR PENGETAHUAN PERUNDANG-UNDANGAN. I. ISTILAH dan PENGERTIAN ILMU PERUNDANG-UNDANGAN. ILMU PENGETAHUAN PERUNDANG-UNDANGAN selasa, 4 Maret 206 DISKUSI MATA KULIAH GEMAR BELAJAR PENGETAHUAN PERUNDANG-UNDANGAN Pembicara :Doli (204) Sudarman (204) Pemateri :Shania (206) Bintar (206) Moderator

Lebih terperinci

e. Senat diharuskan ada, sedangkan DPR akan terdiri dari gabungan DPR RIS dan Badan Pekerja KNIP;

e. Senat diharuskan ada, sedangkan DPR akan terdiri dari gabungan DPR RIS dan Badan Pekerja KNIP; UUDS 1950 A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Sementara 1950 (UUDS) Negara Republik Indonesia Serikat yang berdiri pada 27 Desember 1949 dengan adanya Konferensi Meja Bundar, tidak dapat bertahan lama di

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1954 TENTANG PELAKSANAAN PENGAWASAN TERHADAP ORANG ASING YANG BERADA DI INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1954 TENTANG PELAKSANAAN PENGAWASAN TERHADAP ORANG ASING YANG BERADA DI INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1954 TENTANG PELAKSANAAN PENGAWASAN TERHADAP ORANG ASING YANG BERADA DI INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa perlu diadakan peraturan

Lebih terperinci

========================================= KTP Pada Zaman Hindia Belanda

========================================= KTP Pada Zaman Hindia Belanda Penyelenggaraan Catatan Sipil pada jaman Pemerintah Hindia Belanda ditangani oleh Lembaga Burgerlijk Stand atau disingkat BS yang artinya Catatan Kependudukan/Lembaga Catatan Sipil. =========================================

Lebih terperinci

MATA UANG. INDISCE MUNTWET PENGHENTIAN. PENETAPAN SEBAGAI UNDANG-UNDANG.

MATA UANG. INDISCE MUNTWET PENGHENTIAN. PENETAPAN SEBAGAI UNDANG-UNDANG. Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 27 TAHUN 1953 (27/1953) Tanggal: 18 DESEMBER 1953 (JAKARTA) Sumber: LN 1953/77; TLN NO. 482 Tentang: Indeks: PENETAPAN "UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

MENANTI JANJI MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

MENANTI JANJI MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT 336 MENANTI JANJI MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT Oleh : Ujang Bahar S.H...". Di dalam Naskah Garis-garis Besar Haluan Negara yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Garis-Garis Besar Haluan Negara Tap.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

SISTEM PERADILAN INDONESIA

SISTEM PERADILAN INDONESIA 404 SISTEM PERADILAN INDONESIA ~ Oleh: Subekti 1. Sistem peradilan kita digolongkan dalam apa yang dinamakan "sistem kontinental': yang ditandai dengan adanya lembaga kasasi o1eh badan pengadilan tertinggi.

Lebih terperinci

Presiden Republik Indonesia,

Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG DARURAT (UUDRT) NOMOR 37 TAHUN 1950 (37/1950) TENTANG PERUBAHAN PAJAK PERALIHAN 1944, ORDONANSI PAJAK DAN UPAH DAN ORDONANSI PAJAK KEKAYAAN 1932 Presiden Republik Indonesia, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Balai Harta Peninggalan merupakan

Lebih terperinci

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 1. Menimbang: Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan perundang undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional

Lebih terperinci

Bab IV Penutup BAB IV PENUTUP

Bab IV Penutup BAB IV PENUTUP BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN. 1. Pengaturan negara hukum di dalam tiap UUD terdapat perbedaan terutama perumusan dalam UUD 1945 dengan UUD 1945 amandemen. Pengaturan negara hukum dalam UUD 1945 di atur

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 37/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 37/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 37/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1950 TENTANG SURAT PERJALANAN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1950 TENTANG SURAT PERJALANAN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1950 TENTANG SURAT PERJALANAN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Bahwa dianggap perlu menetapkan peraturan tentang pemberian

Lebih terperinci

Presiden Republik Indonesia, Mengingat: Pasal 97 ayat 1 jo. Pasal 89 dan Pasal 109 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;

Presiden Republik Indonesia, Mengingat: Pasal 97 ayat 1 jo. Pasal 89 dan Pasal 109 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia; UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1953 TENTANG PENETAPAN "UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG PENGHENTIAN BERLAKUNYA "INDISCHE MUNTWET 1912" DAN PENETAPAN PERATURAN BARU TENTANG MATA UANG" (UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1950 TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN PENGADILAN KEJAKSAAN DALAM LINGKUNGAN PERADILAN KETENTARAAN

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1950 TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN PENGADILAN KEJAKSAAN DALAM LINGKUNGAN PERADILAN KETENTARAAN UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1950 TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN PENGADILAN KEJAKSAAN DALAM LINGKUNGAN PERADILAN KETENTARAAN Presiden Republik Indonesia Serikat, Menimbang : 1.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1953 TENTANG BANK TABUNGAN POS. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1953 TENTANG BANK TABUNGAN POS. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 1953 TENTANG BANK TABUNGAN POS Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Postpaarbank orodnnantie (Sataatblad 1934 No. 653) yang telah dirubah beberapa kali, terakhir

Lebih terperinci

BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Taufik Effendy. Abstrak

BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Taufik Effendy. Abstrak BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Taufik Effendy Abstrak Perancang peraturan perundang-undangan mempunyai tugas utama untuk berkomunikasi melalui tulisan mengenai objek yang akan dituangkan dalam peraturan

Lebih terperinci

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2 HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana hakikat dari tindak pidana ringan dan bagaimana prosedur pemeriksaan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG DARURAT NOMOR 9 TAHUN 1956 TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH OTONOM KOTA-KOTA KECIL DALAM LINGKUNGAN DAERAH PROPINSI SUMATERA UTARA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-undang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG (UU) 1947 Nomer. 40. ) (40/1947) HUKUM DISIPLIN TENTARA. Menyesuaikan peraturan-peraturan Hukum Disiplin Tentara (Staatsblad 1934, No. 168) dengan keadaan sekarang. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci