ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO"

Transkripsi

1 ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: A Sediyo Adi Nugraha NIM: E FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2011

2 HALAMAN PENGESAHAN

3 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah di ajukan untuk memperoleh gelar kesajarnaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah di tulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Surakarta, Agustus 2011 Sediyo Adi Nugroho

4 LEMBAR PERSEMBAHAN Ku Persembahkan segala Hidup hanya untuk Allah SWT atas Anugerah dan Hidayah yang telah diberikan-nya kepada Hamba... Terima Kasih kepada Orang Tua dan Seluruh Keluarga atas segala bimbingannya untuk mencapai suatu KEBERHASILAN dalam suatu KEHIDUPAN... PEREMPUAN yang telah merubah segala sesuatu tentang diri-kyu atas segala PANDANGAN dan HIDUP di DUNIA ini,... CAHAYA yang selalu MENERANGAI KEHIDUPAN yang kini aku JALANI,... AKU sangat Ber-SYUKUR atas Ia ada di dalam HIDUP-kyu ini...

5 ABSTRAK Kelembaban tanah permukaan merupakan keadaan dimana tanah terisi oleh air baik itu sebagian atau seluruh pori - pori. Citra Landsat 7 ETM+ adalah salah satu media yang dapat digunakan untuk mengetahui keadaan kelembaban tanah permukaan dengan melihat dari nilai spektral terhadap hasil pengolahan. Kelembaban tanah permukaan sangat berguna untuk berbagai kepentingan seperti pertumbuhan vegetasi, sumber daya air, dan peringatan awal kekeringan. Tujuan penelitian yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana keadaan kelembaban tanah permukaan di wilayah dataran. Wilayah dataran memiliki keadaan penutup lahan/penggunaan lahan yang beraneka ragam sehingga kelembaban tanah permukaan di wilayah dataran berbeda pula. Kelembaban tanah permukaan diperoleh dari ekstraksi citra Landsat 7 ETM+ dengan menghubungkan dua faktor dari kerapatan vegetasi dan temperatur permukaan. Kelembaban tanah permukaan diketahui dengan menggunakan metode penginderaan jauh dan analisis data secara statistik. Metode Penginderaan jauh yang digunakan berupa transformasi dengan pendekatan melalui indeks kekeringan dari transformasi TVDI (Temperature-Vegetation Dryness Index). Transformasi TVDI diperoleh dengan menghasilkan transformasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan transformasi Surface Temperature. Penutup lahan diperoleh melalui klasifikasi Multispektral dan digunakan sebagai analisis dalam hasil kelembaban tanah permukaan di wilayah dataran. Analisis kelembaban tanah permukaan diperoleh dengan mengetahui nilai spektral, hasil kerja lapangan, dan hasil laboratorium. Hasil dari penelitian diperoleh bahwa pengukuran kelembaban tanah permukaan di lapangan dengan nilai spektral dari hasil transformasi memiliki hubungan yang berbanding terbalik dan hal itu sesuai teori dasar. Kelembaban tanah permukaan di wilayah dataran memiliki perbedaan di setiap penggunaan lahan. Perbedaan kelembaban tanah permukaan itu terlihat dari pengukuran kelembaban tanah permukaan secara langsung. Kelembaban tanah permukaan divisualisasikan dalam sebuah Peta dengan lima kelas yaitu kelas sangat basah, basah, sedang, kering, dan sangat kering.

6 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat melalui serangkaian pemrosesan dalam penelitian Skripsi yang berjudul Analisis Kelembaban Tanah Permukaan Melalui Citra Landsat 7 ETM+ Di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo. Penelitian Skripsi disusun untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh derajat Strata (S-1) Geografi. Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan Skripsi telah merepotkan banyak pihak yang dengan sukarela memberikan bantuan baik moril maupun materiil sehingga Penelitian Skripsi berjalan lancar sesuai dengan harapan penulis. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Drs. Priyono, M.Si., selaku dekan Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta 2. DR. Ir. Imam Hardjono, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik di Fakultas Geografi Muhammadiyah Surakarta. 3. Drs. H. Kuswaji Dwi Prioyono, M.Si., Agus Anggoro Sigit, S.Si., M.Sc., dan Ir. Taryono, M.Si., selaku dosen pembimbing Skripsi dan penguji yang telah memberikan saran serta masukkan terhadap kesempurnaan penulisan Skripsi ini. 4. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang selalu memberikan motivasi dan semangat serta berdoa untuk keberhasilan anaknya. 5. Seluruh keluarga yang berada di Lampung dan Yogyakarta atas bantuannya sewaktu mengalami kesulitan dan kebimbangan dalam menyelesaikan Penelitian Skripsi. 6. Dear Aisah Hasanudin yang telah memberikan semangatnya dan dukungan sewaktu penulis mengalami kebimbangan dalam Penelitian Skripsi.

7 7. Seluruh karyawan Fakultas Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta yang telah memberikan informasi dan bantuan selama penyusunan Skripsi ini. 8. Semua teman teman Transfer Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan Jauh dalam kebersamaannya sukses selalu sampai berjumpa kembali. 9. Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan dorongan moral, material, dan spiritual selama proses penyusunan Skripsi. Akhir kata penulis menyadari bahwa penelitian Skripsi masih jauh dari sempurna, karena sesungguhnya ketidaksempurnaan itu sendiri adalah sifat dasar manusia. Namun demikian, penulis berharap semoga Skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pihak lain. Surakarta, Agustus 2011 Sediyo Adi Nugroho

8 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i PERNYATAAN... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii LEMBAR PERSEMBAHAN... iv ABSTRAK... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR PETA... xii DAFTAR RUMUS... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ilmiah Praktis Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya Telaah Pustaka Teknologi Penginderaan Jauh... 6 A. Interaksi Tenaga Elektromagnetik dengan Vegetasi... 8 B. Interaksi Tenaga Elektromagnetik dengan Air... 9 C. Interaksi Tenaga Elektromagnetik dengan Tanah Kelembaban Tanah Permukaan Faktor faktor yang mempengaruhi Kelembaban Tanah Regim Kelembaban Tanah Sistem Satelit Landsat 7 ETM A. Karakteristik Spasial B. Karakteristik Spektral C. Karakteristik Radiometrik D. Karakteristik Produk Aplikasi Penginderaan Jauh Thermal Transformasi Indeks Vegetasi (NDVI) Temperature-Vegetation Dryness Index (TVDI) Penelitian Sebelumnya Kerangka Pemikiran Metode Penelitian Alat dan Bahan Penelitian Alat Penelitian Bahan Penelitian Pengumpulan Data Tahap Penelitian... 33

9 1.8. Diagram Alir Batasan Operasional BAB II. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN Letak dan Luas Daerah Penelitian Iklim Curah Hujan Suhu Tanah Air Tanah BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengolahan Data Citra Landsat 7 ETM Pengisian Gap Citra Landsat 7 ETM Restorasi Citra Landsat 7 ETM Pemrosesan Citra Landsat 7 ETM Klasifikasi Multispektral Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Aplikasi Penginderaan Jauh Thermal Temperature-Vegetation Dryness Index (TVDI) Penyadapan Nilai Spektral dan Pengambilan Sampel Lapangan Pembahasan dan Analisis Data Hubungan Nilai Spektral dengan Kelembaban Tanah Permukaan di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo Hubungan Kelembaban Tanah Permukaan terhadap Kerapatan Vegetasi dan Temperatur Permukaan di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo Hubungan Kelembaban Tanah Permukaan dengan Penggunaan Lahan di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo Pengaruh Warna Tanah dan Jenis Tanah Terhadap Kelembaban Tanah Permukaan di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo Faktor Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kualitas Hasil Penelitian Kelembaban Tanah Permukaan di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo Uji Ketelitian Citra BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 96

10 DAFTAR TABEL No Tabel Judul Tabel Halaman 1.1. Karakteristik Satelit Landsat 1 hingga Landsat Range Spektral ETM Karakterisitik dan Kemampuan Aplikasi Setiap Saluran (Band) Landsat Karakteristik level Landsat 7 ETM Konstanta kalibrasi satuan thermal Landsat Penelitian sebelumnya Luas Wilayah Kabupaten Purworejo dirinci per Kecamatan Tahun Curah Hujan Rata rata 10 Tahun di Kabupaten Purworejo Faktor Koreksi Suhu Udara Stasiun Penakar Hujan di Kabupaten Purworejo Jenis Tanah di Kabupaten Purworejo Hasil Koreksi Radiometrik Citra Landsat 7 ETM+ (Citra telah sesuai dengan daerah Penelitian) Hasil Koreksi Geometrik Citra Landsat 7 ETM Hasil Klasifikasi Penutuplahan Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo Korelasi antara Nilai Piksel dengan Kelembaban Tanah Permukaan di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo Regresi linier sederhana antara TVDI dengan NDVI di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo Regresi linier sederhana antara TVDI dengan TS di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo Kelembaban Tanah Permukaan pada Penggunaan Lahan di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo Perbandingan Jenis Penggunaan Lahan Terhadap Kerapatan Vegetasi dan Temperatur Permukaan di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo Korelasi antara Kadar Air Laboratorium dengan Kelembaban Tanah Permukaan Lapangan di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo Uji Ketelitian Hasil Kelembaban Tanah Permukaan Uji Ketelitian Hasil Kerapatan Vegetasi Uji Ketelitian Hasil Interpretasi Penutup Lahan... 90

11 DAFTAR GAMBAR No Gambar Judul Gambar Halaman 1.1. Karakteristik Respon Spektral Vegetasi Hijau Karakteristik Penyerapan Radiasi Elektromagnetik Oleh Air Laut Pantulan Tanah Geluh Pasiran (sandy loam) dan Tanah Gambut (peat) Kering Klasifikasi Lapisan Tanah Menurut Ilmu Tanah dan Ilmu Hidrologi Hubungan Umum Tekstur Tanah dengan Kelembaban Tanah Bagian Pengendali Kelembaban Berdasarkan Pada Kelas Ukuran Partikel Sapuan Satelit Landsat 7 ETM Orbit Sun Synchronous Garis Vegetasi dan Garis Tanah Konsep Ruang TS/NDVI Karakteristik Spektral Tanah Pada Bagian Spektrum Inframerah dan Tampak Diagram Alir Penelitian Lokasi Titik Kendali dalam Koreksi Geometrik Citra Hubungan Garis Linier antara TVDI dengan Kelembaban Tanah Lapangan Hubungan Garis Linier antara NDVI dengan Temperatur di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo... 74

12 DAFTAR PETA No Peta Judul Peta Halaman 2.1. Peta Administrasi Kabupaten Purworejo Skala 1: Peta Kemiringan Lereng Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo Skala 1: Peta Tanah Kabupaten Purworejo Skala 1: Peta Citra Landsat 7 ETM+ Kabupaten Purworejo Skala 1: Peta Citra Landsat 7 ETM+ Band Thermal Kabupaten Purworejo Skala 1: Peta Citra Penutup Lahan Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo Skala 1: Peta Citra Kerapatan Vegetasi Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo Skala 1: Peta Citra Temperatur Permukaan Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo Skala 1: Peta Citra Kelembaban Tanah Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo Skala 1: Peta Citra Titik Survei Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo Skala 1:

13 DAFTAR RUMUS No Rumus Judul Rumus Halaman 1.0. Persamaan Ekstraksi Temperatur Persamaan Nilai Radiansi Spektral Persamaan Nilai Radiansi Spektral (lebih sederhana) Persamaan Nilai Temperatur Radian Persamaan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Persamaan Temperature-Vegetation Dryness Index (TVDI) Persamaan Logika Pengisian Gap Citra... 51

14 DAFTAR LAMPIRAN No Lampiran Judul Lampiran Halaman 1 Foto Lapangan... L-1 2 Pengambilan Sampel untuk Laboratorium... L-4 3 Hasil Koreksi GCP Image to Image... L-7 4 Header Citra Landsat 7 ETM+ Tahun L-8 5 Header Citra Landsat 7 ETM+ Tahun L-12 6 Hasil Pengujian Laboratorium... L-16

15 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelembaban tanah adalah air yang mengisi sebagian atau seluruh pori pori tanah yang berada di atas water table (Jamulya dan Suratman, 1993). Definisi yang lain menyebutkan bahwa kelembaban tanah menyatakan jumlah air yang tersimpan di antara pori pori tanah. kelembaban tanah sangat dinamis, hal ini disebabkan oleh penguapan melalui permukaan tanah, transpirasi dan perkolasi (Suyono dan Sudarmadil, 1997). Kelembaban tanah memiliki peranan yang penting bagi pemerintah untuk mengetahui informasi seperti potensi aliran permukaan dan pengendali banjir, kegagalan erosi tanah dan kemiringan lereng, manajemen sumber daya air, geoteknik, dan kualitas air. Kelembaban tanah merupakan salah satu variabel kunci pada perubahan dari air dan energi panas di antara permukaan dan atmosfer melalui evaporasi dan transpirasi (Arnold, 1999). Informasi kelembaban tanah juga dapat dipergunakan untuk manajemen sumber daya air, peringatan awal kekeringan, penjadwalan irigasi, dan perkiraan cuaca (Arnold, 1999). Selain itu, kelembaban tanah penting bagi para pakar pertanian. Defisit dalam kelembaban dapat menuju pada kelayuan tanaman dan tindakan perbaikan tepat pada waktunya melalui irigasi dapat menyelamatkan tanaman pertanian (Lo, 1996). Pertumbuhan vegetasi memerlukan tingkat kelembaban tanah tertentu. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa kelembaban tanah pada tingkat tertentu dapat menentukan bentuk tata guna lahan. Peristiwa kekeringan yang terjadi di suatu daerah juga lebih banyak berkaitan dengan berapa besar tingkat kelembaban yang ada di dalam tanah daripada jumlah kejadian hujan yang turun di tempat tersebut. Namun demikian, perlu juga diketahui bahwa tingkat kelembaban tanah yang tinggi dapat menimbulkan permasalahan dalam hal kegiatan pemanenan hasil pertanian atau kehutanan yang menggunakan alat alat mekanik (Asdak, 2004). Karakteristik spektral merupakan sebagai besaran terukur yang dimiliki suatu obyek pada satu atau beberapa julat panjang gelombang (Reeves, 1975 dalam Indrawati, 2001), atau merupakan himpunan nilai rata rata pantulan atau

16 radiasi dari suatu kenampakan pada suatu julat panjang gelombang dan pada umumnya nilai pantulan atau radiasi bersifat khusus nilai irradiansinya apabila suatu obyek diindera (Slater, 1980 dalam Indrawati, 2001). Pantulan spektral ini akan memberikan kenampakan yang berbeda beda pada setiap obyek yang tampak di permukaan bumi dan sekaligus dalam setiap hasil perekaman tersebut memiliki nilai spektral yang dapat diolah secara digital untuk memberikan informasi yang baru, hanya teknologi penginderaan jauh yang dapat melakukannya. Informasi kelembaban tanah dari data penginderaan jauh merupakan informasi yang penting untuk mendukung kegiatan pertanian, banjir, dan kekeringan, dan erosi tanah karena kandungan kelembaban dari setiap jenis tanah berbeda beda baik itu kadar air yang terkandung maupun kecepatan infiltrasi, karena akan berpengaruh untuk keadaan tanah dalam menyimpan ketersedian air untuk musim kemarau. Ketersedian air dalam tanah dipengaruhi keadaan topografi sekitar dan kemiringan lereng serta banyak sedikitnya vegetasi yang menutupi daerah tersebut. Setiap jenis tanah, tergantung tekstur dan penyebaran pori pori tanah, memperlihatkan variasi karakteristik kelembaban tanah. Tekstur tanah biasanya mengacu pada jumlah fraksi tanah yang dikandungnya. Sedangkan kecenderungan butir butir tanah membentuk gumpalan tanah atau menunjukan keremahan tanah dalam hal ini menandakan struktur tanah. Struktur tanah dipengaruhi oleh tekstur tanah, bahan organik, dan cacing tanah. Tanah pasir atau berpasir tidak mempunyai struktur (Asdak, 2004). Sifat fisik tanah ini berperan dalam hal kemampuannya menyimpan air, misalnya pada tanah berpasir kapasitas menyimpan air sangat rendah, sehingga tanaman akan segera menghabiskan persediaan air dan akan menjadi kering lebih cepat daripada tanaman yang tumbuh pada tanah lempung. Jadi besar kecilnya kemampuan tanah untuk menyimpan air ini akan menentukan kandungan kelembaban tanahnya (Hoffer, 1978 dalam Kusworo, 1998). Kontribusi kelembaban tanah dalam suatu bidang akan berpengaruh dalam hasil yang akan diberikan, seperti pada Kabupaten Purworejo yang sebagian besar lahan digunakan untuk pertanian. Kabupaten Purworejo memiliki lahan seluas

17 ,77 ha yang dimana sebagian lahan tersebut dipergunakan untuk pertanian seperti sawah irigasi sekitar ,14 ha (26,75%) dan sawah tadah hujan sekitar 2949,83 ha (2,85%) selebihnya dipergunakan untuk lahan bukan sawah sekitar ,80 ha (70,40%). Untuk tanah pertanian perubahan kondisi kandungan kelembaban tanah perlu diperhatikan apakah sangat kering pada musim kemarau atau sangat basah pada musim penghujan, sehingga nantinya keadaan tanah dapat digunakan untuk tingkat produktivitas yang optimal serta dapat mempertahankan komoditi produksi pangan. Mengetahui perbedaan kelembaban tanah permukaan dapat membantu mengoptimalkan pengelolaan tanah dalam suatu penggunaan lahan, sehingga produktifitas dapat dipertahankan. Selain itu, keadaan iklim sekarang tidak menentu karena dipengaruhi oleh perubahan cuaca yang sangat cepat dan sulit untuk mengetahui kapan musim kemarau ataupun musim penghujan sehingga memiliki dampak pada hampir seluruh bidang. Perkembangan teknologi penginderaan jauh dapat digunakan untuk mengetahui suatu kawasan yang mengalami perubahan lingkungan akibat dari kemajuan teknologi itu sendiri. Kabupaten Purworejo merupakan kawasan yang berada pada jalur lintas selatan Pulau Jawa. Keberadaan jalur jalan tersebut dimungkinkan memiliki dampak positif maupun negatif untuk daerah daerah yang dilewati dan memungkinkan banyak terjadinya perubahan penggunaan lahan yang dapat mempengaruhi kondisi dari keadaan tanah terutama kelembaban tanah. Kondisi wilayah Kabupaten Purworejo hampir sebagian besar berupa dataran rendah dengan luas ,33 ha (49,88%) yang dikelilingi oleh relief bergelombang hingga bergunung dan keadaan kemiringan lereng yang beraneka macam dengan luas ,44 ha (50,12%). Keadaan medan tersebut mempengaruhi perbedaan kondisi kelembaban tanah permukaan terutama ketersedian air yang dipengaruhi dari topografi, iklim, dan curah hujan serta jenis tanah untuk kandungan air tanah. Wilayah dataran Kabupaten Purworejo sebagian besar penggunaan lahannya berupa: sawah, permukiman, dan tegalan yang dimungkinkan kelembaban tanah berbeda beda. Sawah memiliki potensi tergenang oleh air yang diakibatkan dari keadaan cuaca dan kandungan kelembaban tanah yang jenuh air sehingga pengelolaan sawah pada musim

18 kemarau dan hujan memiliki perbedaan kelembaban tanah. Musim kemarau tanah sawah akan mengering dan kandungan kelembaban tanah kecil hanya tanaman tertentu yang dapat tumbuh dengan masa tertentu. sedangkan saat musim hujan tanah sawah yang kering tersebut akan dialiri oleh air dan masuk kedalam tanah melalui rekahan rekahan tanah sehingga akan menjadi lembab, tetapi jika terus menerus mendapat aliran air maka tanah sawah tersebut akan terhanyut ataupun tergenang oleh air. Keadaan tersebut akan berbeda dengan penggunaan lahan untuk tegalan dan permukiman dimana air sebagian besar menjadi air limpasan dibandingkan air masuk kedalam tanah. Selain itu, keadaan curah hujan Kabupaten Purworejo bervariasi dari yang tertinggi hingga yang terendah yang di mana keadaan curah hujan dipengaruhi oleh iklim Indonesia yang tropis dengan curah hujan bercukupan. Kondisi iklim yang tidak menentu (anomali) tersebut akan sulit mengetahui perubahan musim sehingga kelembaban tanah permukaan dapat digunakan sebagai indikator untuk membantu mengetahui daerah daerah yang berpotensi mengalami bencana akibat kandungan kelembaban tanah yang tinggi ataupun rendah seperti banjir dan erosi (Arnold, 1999). Jenis tanah yang tersebar di Kabupaten Purworejo beragam yang meliputi alluvial, regosol, dan latosol yang menyebar merata di Kabupaten Purworejo di mana setiap jenis tanah memiliki karakterisitik yang berbeda dalam penyerapan air dan limpasan permukaan sebagai faktor yang menentukan kadar air dalam tanah. Berdasarkan keadaan tersebut wilayah Kabupaten Purworejo dimungkinkan memiliki kandungan/tingkat kelembaban tanah permukaan yang bervariasi yang diakibatkan dari kegiatan manusia/alamiah. Teknologi Penginderaan Jauh yang diolah menggunakan suatu transformasi (algoritma) dapat memberikan informasi baru mengenai kelembaban tanah permukaan. Kelembaban tanah yang dapat dideteksi oleh penginderaan jauh adalah kelembaban tanah dengan kedalaman beberapa cm (kurang dari 5 cm) dari permukaan tanah (Andersen, 2001). Informasi nilai spektral tersebut diperoleh dengan mengekstrak citra daerah penelitian seperti liputan vegetasi dan suhu permukaan dengan citra yang direkam pada tahun yang tidak terlalu jauh dengan waktu penelitian. Penginderaan Jauh memiliki kelebihan dalam beberapa hal

19 dalam pengukuran seperti: data dapat berupa data digital, informasi bisa menjangkau daerah yang sulit dicapai serta daerah dimana ketersedian dan kualitas hidrologi terbatas, pengukuran mencakup daerah yang terdistribusi berarti cakupan daerah studi menjadi luas serta cocok untuk skala regional besar, dan berpotensi untuk mengukur beberapa variabel (temperatur permukaan, kelembaban tanah, dan liputan vegetasi) (Andersen, 2001). Sistem Informasi Geografis membantu sebagai vektorize data data administrasi, jalan, sungai, hingga parameter yang lain dan menyajikan layout pada citra hasil transformasi supaya dapat memecahkan masalah tersebut Perumusan Masalah Dari uraian di atas timbul permasalahan: 1. Bagaimanakah hubungan nilai spektral dengan kelembaban tanah permukaan di wilayah dataran Kabupaten Purworejo? 2. Bagaimanakah hubungan kelembaban tanah permukaan terhadap liputan vegetasi dan temperatur permukaan di wilayah dataran Kabupaten Purworejo? 3. Bagaimanakah hubungan kelembaban tanah permukaan dengan penggunaan lahan di wilayah dataran Kabupaten Purworejo? Untuk itu, maka diperlukan penelitian yang terarah untuk mengetahui kemampuan penginderaan jauh, terutama dengan menggunakan citra satelit untuk mengkaji kelembaban tanah permukaan terutama di wilayah dataran Kabupaten Purworejo. Dengan pertimbangan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

20 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui hubungan nilai spektral dengan kelembaban tanah permukaan di Kabupaten Purworejo. 2. Mengetahui hubungan kelembaban tanah permukaan terhadap liputan vegetasi dan temperatur permukaan di Kabupaten Purworwejo 3. Menganalisis hubungan antara kelembaban tanah permukaan dengan Penggunaan Lahan di wilayah dataran Kabupaten Purworejo Kegunaan Penelitian Ilmiah : 1. Menyelesaikan salah satu syarat kelulusan pada Program Sarjana Strata 1 (S-1) Fakultas Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2. Sebagai dasar pertimbangan dalam penelitian sejenis atau sebagai bahan rujukan dalam pembuatan peta kelembaban tanah Praktis : 1. Menambah pemahaman dan pengetahuan untuk penulis serta pembaca terhadap aplikasi dari data citra satelit Landsat 7 ETM+ yang digunakan untuk mendeteksi kelembaban tanah permukaan. 2. Hubungan kelembaban tanah permukaan di wilayah dataran khususnya di Kabupaten Purworejo yang di mana diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam suatu studi evapotranspirasi vegetasi dan pengelolan sumber daya air Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya Telaah Pustaka Teknologi Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh (Remote Sensing) sering disingkat inderaja, adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak

21 langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand, Kiefer, dan Chipman 2004). Data penginderaan jauh (citra) menggambarkan obyek di permukaan bumi relatif lengkap, dengan ujud dan letak obyek yang mirip dengan ujud dan letak di permukaan bumi dalam liputan yang luas. Citra penginderaan jauh adalah gambaran suatu obyek, daerah, atau fenomena, hasil rekaman pantulan dan atau pancaran obyek oleh sensor penginderaan jauh, dapat berupa foto atau data digital (Purwadhi dan Sanjoto, 2008). Teknologi penginderaan jauh satelit merupakan penginderaan jauh nonfotografik, yang merupakan pengembangan dari penginderaan jauh fotografik atau fotogrametri. Sebelum tahun 1960 penginderaan jauh fotografik yang dikenal dengan istilah foto udara (FU), dan digunakan istilah penginderaan jauh karena sudah menambah ke penginderaan jauh di luas sistem fotografik (Sutanto, 1986). Konsep dasar penginderaan jauh terdiri atas beberapa elemen atau komponen, meliputi sumber tenaga, atmosfer, interaksi tenaga dengan obyek di permukaan bumi, sensor, sistem pengolahan data, dan berbagai penggunaan data. Sistem penginderaan jauh dimulai dari perekaman obyek permukaan bumi. Tenaga dalam penginderaan jauh merupakan tenaga penghubung yang membawa data tentang obyek ke sensor, dapat berupa bunyi, daya magnetik, gaya berat, dan tenaga elektromagnetik, namun tenaga yang digunakan dalam penginderaan jauh untuk mengindera bumi adalah tenaga elektromagnetik. Tenaga elektromagnetik bagi sistem pasif barasal dari matahari, perjalanan tenaga radiasi matahari melalui atmosfer, dan berinteraksi dengan benda di permukaan bumi. Tenaga radiasi matahari tidak semua sampai di permukaan bumi karena sebagian diserap, dihamburkan di atmosfer. Tenaga yang sampai di permukaan bumi sebagian dipantulkan dan atau dipancarkan oleh permukaan bumi, dan direkam oleh sensor penginderaan jauh. Sensor untuk melakukan perekaman data memerlukan tenaga sebagai medianya. Sensor tersebut dapat dipasang dalam wahana pesawat terbang maupun satelit. Sensor satelit merekam permukaan bumi, dikirimkan ke stasiun penerima data di bumi. Stasiun bumi menerima data permukaan bumi dari satelit dan direkam dalam pita magnetik dalam bentuk digital. Rekaman data diproses di

22 laboratorium pengolahan data hingga berbentuk citra penginderaan jauh, dan didistribusikan ke berbagai pengguna. A. Interaksi Tenaga Elektromagnetik dengan Vegetasi Pantulan spektral vegetasi bervariasi pada masing masing panjang gelombang. Gambar 1.1 menunjukan kurva karakteristik respon spektral vegetasi hijau. Pada panjang gelombang tampak mata, pigmentasi (zat pewarna daun) mendominasi respon spektral vegetasi. Pada panjang gelombang inframerah dekat pantulan vegetasi naik dengan jelas sebab daun menyerap tenaga sangat sedikit dan pada daerah inframerah menengah air menyerap tenaga, khususnya pada panjang gelombang 1,4 µm, 1,9 µm, dan 2,7 µm air menyerap tenaga dengan kuat (Hoffer, 1978 dalam Kusworo, 1998). Gambar 1.1. Karakteristik respon spektral vegetasi hijau (Hoffer, 1978 dalam Kusworo, 1998) Daun disusun dari lapisan zat organik yang bertekstur serat, di dalamnya terdapat pigmen, sel sel yang diisi air dan rongga udara. Pigmentasi, struktur fisiologi dan kandungan air mempengaruhi pantulan, penyerapan, dan transmisi dari daun (Curran, 1985 dalam Kusworo, 1998). Daun hijau (sehat) cenderung lebih banyak memantulkan dan meneruskan tenaga elektromagnetik spektrum inframerah dekat, tetapi sedikit menyerap tenaga

23 pada spektrum tersebut. Kencenderungan ini mengakibatkan spektrum inframerah dekat sangat sensitif terhadap perubahan tingkat kerapatan daun lebar, karena sebagian dari tenaga spektrum inframerah akan kembali dipantulkan oleh permukaan daun di bawahnya. B. Interaksi Tenaga Elektromagnetik dengan Air Sebagian besar gelombang elektromagnetik yang jatuh ke air tidak direfleksikan, tetapi diabsorpsi dan ditransmisikan (Gambar 1.2.). Pada panjang gelombang tampak mata, tenaga elektromagnetik yang diserap sedikit dan sebagian besar ditransmisikan. Tiga faktor yang paling berperan dalam membedakan pantulan tenaga elektromagnetik pada air adalah kedalaman air, materi dalam air, dan kekerasan permukaan air (ada tidaknya gelombang riak di permukaan air). Pada air dangkal beberapa radiasi direfleksikan dari dasar tubuh air. untuk material yang melayang di dalam air ada tiga jenis yang paling umum, yaitu sedimen anorganik, tannin (hasil dekomposisi humus), dan klorofil. Efek material anorganik (debu dan lempung) menahan hamburan dan pantulan pada spektrum tampak mata. Tannin mengakibatkan pantulan spektrum biru turun dan pantulan spektrum merah naik. Klorofil mengakibatkan pantulan spektrum hijau naik, pantulan spektrum biru dan merah turun. Kekasaran permukaan air dapat juga mengakibatkan variasi pantulan. Jika permukaan halus tenaga dipantulkan specular dari permukaannya, sehingga akan memberikan pantulan sangat tinggi atau sangat rendah, tergantung posisi sensor terhadap arah sinar. Jika permukaan sangat kasar, maka akan menaikan pancaran pada permukaan yang ada gilirannya akan menaikan pantulan (Curran, 1985 dan Hoffer, 1987 dalam Kusworo, 1998). C. Interaksi Tenaga Elektromagnetik dengan Tanah Sebagian besar radiasi jatuh ke permukaan bumi akan dipantulkan atau diserap dan hampir tidak ada yang ditransmisikan. Sifat pantulan tanah mempunyai korelasi positif dengan panjang gelombang, dengan kata lain semakin besar panjang gelombangnya semakin naik pantulan tenaga elektromagnetik oleh

24 tanah khususnya pada panjang gelombang antara 0,4 µm dan 1,0 µm (Gambar 1.3.). Gambar 1.2. Karakteristik penyerapan radiasi elektromagnetik oleh air laut (Curran, 1985 dalam Kusworo, 1998) Hoffer (1978) dalam Kusworo (1998) mengatakan bahwa ada lima karakteristik tanah yang mempengaruhi sifat pantulannya, yaitu: kandungan air, kandungan bahan organik, tekstur, struktur, dan oksida besi. Faktor faktor ini saling berhubungan seperti tekstur berhubungan dengan struktur dan kemampuan menahan air. Tekstur lempung cenderung mempunyai struktur yang kuat dan cenderung tinggi kemampuan menahan air atau kelembaban tanahnya. Tekstur pasir cenderung mempunyai struktur remah dan cenderung rendah untuk menahan air. Pada spektrum tampak mata terutama pada saluran merah (0,6 0,7 µm) dan saluran inframerah (0,72 3,00 µm) kelembaban tanah mempunyai korelasi negatif dengan pantulan permukaan tanah, dengan kata lain kenaikan kelembaban tanah akan mengurangi pantulan permukaan tanah (Jensen, 1983 dan Curran, 1985 dalam Kusworo, 1998). Kandungan bahan organik mempunyai korelasi positif dengan rona tanah merah dan kemampuan menahan air. Akibatnya kenaikan kandungan bahan organik dalam tanah akan mengurangi reflektansi tanah.

25 Gambar 1.3. Pantulan tanah geluh pasiran (sandy loam) dan tanah gambut (peat) kering (Curran, 1985 dalam Kusworo, 1998) Oksidasi besi menyebabkan tanah berwarna merah karat. Oksida besi mampu merefleksikan sinar merah (0,6 0,7 µm) dan menyerap sinar hiaju (0,5 0,6 µm) (Obhukov, 1964 dan Curran, 1985 dalam Kusworo, 1998) Kelembaban Tanah Permukaan Kelembaban tanah adalah air yang mengisi sebagian atau seluruh pori pori tanah yang berada di atas water table (Jamulya dan Suratman, 1993). Dari seluruh air hujan di daerah tropis, sekitar 75 % persen dari air hujan tersebut masuk ke dalam tanah dalam bentuk kelembaban tanah, pada tanah tidak jenuh dan sebagai air tanah pada tanah jenuh atau tanah berbatu. Untuk memahami peranan tanah dalam kaitannya dengan terbentuknya kelembaban tanah perlu terlebih dahulu diulas tentang klasifikasi lapisan tanah. Lapisan tanah dapat diklasifikasikan menjadi dua zona (daerah) utama, yaitu zona aerasi (daerah atau tepatnya ruangan di dalam tanah yang memungkinkan udara bebas bergerak) dan zona jenuh (Groundwater area). Garis tinggi permukaan tanah (graoundwater table) memisahkan kedua zona tersebut seperti tampak pada Gambar 1.4 Sistem perakaran kebanyakan tanaman pada umumnya terbatas pada zona aerasi karena adanya gerakan udara (terutama oksigen) di zona tersebut sehingga memungkinkan tanaman dapat tumbuh dengan baik.

26 Sesuai dengan tujuan studi yang mengacu pada tanah bagian permukaan yang merupakan bagian dari profil tanah, maka kelembaban tanah permukaan (surface soil) tidak lepas pengaruhnya dari kelembaban tanah pada lapisan di bawahnya (sub soil). Berdasarkan gaya terikatnya kelembaban tanah dibedakan menjadi tiga yaitu: 1) kelembaban fisis, 2) kelembaban kimiawi, dan 3) kelembaban biologi. Tanah betapun kering sebetulnya mengandung air pula. air ini terdapat di dalam pori pori tanah baik posi mikro ataupun makro, dan ditemukan butir butir sebagai selaput air. Tanah yang tidak mengandung kelembaban higroskopis sama sekali disebut tanah kering mutlak yang diperoleh dengan memanaskan contoh tanah sampai suhu mencapai 110 C. Beberapa mineral tertentu dalam zarrah tanah memiliki ikatan air dalam senyawa senyawa mineral disebut air hidrat (air kristal / air hablur / aqua), inilah yang disebut kelembaban kimiawi. Ketiga macam kelembaban tersebut (kelembaban higrokopis, kelembababan kering mutlak, dan kelembaban kimiawi) tidak dapat dimanfaatkan oleh tumbuh tumbuhan. Kelembaban tanah permukaan secara fisika diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu: 1) kelembaban tanah higroskopik, air yang terjerap dari uap air di atmosfer akibat gaya tarik menarik dengan permukaaan zarrah (terikat oleh gaya hidroskopik ), 2) kelembaban tanah kapiler, terikat oleh gaya tegangan muka berupa selaput berkesambungan disekeliling zarrah dan didalam ruang (pori) kapiler, dibedakan lagi menjadi : kapasitas maksimum kelembaban kapiler, titik kapiler lento (atau lambat), kapasitas kapiler optimum (kapasistas air lapang), dan 3) kelembaban gravitasi, tidak terikat oleh tanah melainkan teratus bebas oleh gaya berat. Besar gaya ikat tergantung dari kelengkungan permukaan kelembaban kapiler itu. Atau pada keadaan di tanah, gaya ini tergantung dari jumlah dan ruang kapiler (Baver, 1956 dalam Jamulya dan Suratman, 1993) Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kelembaban Tanah Permukaan Komponen tanah yang mempengaruhi kelembaban tanah permukaan adalah ketersedian air di dalam tanah tersebut. Ketersediaan air di dalam tanah

27 tergantung pada kemampuan tanah menahan air ini akan mempengaruhi kelembaban tanah permukaan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kelembaban tanah permukaan adalah tekstur tanah, struktur tanah, kandungan bahan organik, dan kedalaman solum tanah. Gambar 1.4. Klasifikasi lapisan tanah menurut ilmu tanah dan ilmu hidrologi (diadaptasi dari Hewlett, 1982 dalam Asdak, 2004) Tesktur tanah biasanya mengacu pada jumlah fraksi tanah yang dikandunganya. Pengaruh tekstur tanah terhadap kemampuan menahan air terlihat pada Gambar 1.5. Ada empat golongan tekstur yang utama, yaitu pasir, geluh, debu, dan lempung. Semakin halus tekstur tanahnya, semakin tinggi pula kemampuan tanah dalam menahan air. Struktur tanah adalah kecenderungan butir butir tanah membentuk gumpalan tanah atau menunjukan keremahan tanah. Struktur tanah dipengaruhi oleh tekstur tanah, bahan organik, tipe mineral serta kegiatan biologis, terutama kegiatan biologis jamur dan cacing tanah. Struktur tanah yang lepas lepas dan gembur akan mempunyai kemampuan yang rendah dalam mengikat air, sehingga kandungan airnya rendah pula. Sedangkan struktur tanah gumpal biasanya memiliki kemampuan yang kuat untuk menahan air. Kadar bahan organik akan mempengaruhi struktur tanah dan selanjutnya mempengaruhi porositas tanah. Bahan organik mampu mengikat

28 tanah berstruktur gembur atau lepas lepas menjadi tanah tanah berstruktur kuat dan gumpal. Dengan demikian akan mengurangi porositas tanah dan meningkatkan kemampuan mengikat air. Gambar 1.5. Hubungan umum tekstur tanah dengan kelembaban tanah (adaptasi dari Buckman, 1982, dalam Restu, 1990) Kedalaman solum tanah mempengaruhi kemampuan tanah dalam menahan air. Tanah yang lebih dalam akan lebih tinggi kemampuannya dalam menahan air dibanding dengan tanah yang lebih tipis. Tanah yang dangkal biasanya berstruktur gembur dan mudah tereosi, selain itu biasanya bervegetasi jarang sehingga faktor pendukung penahan air berkurang. Sejumlah faktor lainnya seperti tumbuhan dan iklim mempunyai pengaruh yang berarti terhadap sejumlah air di dalam tanah. Penyerapan air oleh akar tumbuhan dan kemampuan menghasilkan bahan organik merupakan faktor yang mempengaruhi kelembaban tanah permukaan. Temperatur dan kelembaban udara merupakan variabel perubahan iklim berpengaruh terhadap kelembaban tanah permukaan Regim Kelembaban Tanah Tanah memiliki berbagai jenis yang setiap jenis tanah tersebut memiliki karakteristik yang berbeda beda dan berada pada keadaan dan tempat yang berbeda pula. Lapisan tanah yang berbeda - beda mempengaruhi pembentukan tanah permukaan yang dimana pada tanah permukaan tersebut mengalami

29 berbagai proses kimia, fisika, dan biologis sehingga akan berpengaruh terhadap kelembaban tanah walaupun tidak secara langsung. Regim kelembaban tanah didasarkan pada kondisi kelembaban tanah dalam pengendali kelembaban tanah (Gambar 1.6). Batas atas dari bagian dalam kelembaban tanah adalah kedalaman di mana 2,5 cm air akan melembabkan tanah kering, tetapi tidak kering udara dalam 24 jam. Batas bawahnya adalah kedalaman penetrasi 7,5 cm air dalam tanah kering dalam waktu 48 jam. Kedalaman ini tidak termasuk retakan retakan besar yang terbuka di atas permukaan tanah. Bagian bagian kelembaban bervariasi menurut tekstur dan untuk sebagian besar tanah lempung, bagian pengendali kelembaban ini ditemui di antara kedalam cm (Foth, 1995). Gambar 1.6. Bagian pengendali kelembaban berdasarkan pada kelas ukuran partikel (Data dari Ikawa, 1978 dalam Foth, 1995) Sistem Satelit Landsat 7 ETM+ Kenampakan bumi disediakan dalam mission satelit berawak dan pada awalnya satelit meteorology mendorong perkembangan program satelit teknologi sumberdaya bumi atau ERST, Earth Resources Technology Satellities. Program ini dikembangkan oleh NASA di Amerika, dan secara resmi diubah menjadi program Landsat pada tahun 1975 untuk membedakanya dari program satelit kelautan Sesaat. Landsat merupakan satelit tak berawak pertama yang dirancang

30 secara spesifik untuk memperoleh data sumber daya bumi dalam basis yang sistematik dan berulang. Landsat 7 dikontrol oleh USGS, yang telah mengambil alih dari EOSAT. Landsat yang telah mengorbit hingga saat ini adalah Landsat generasi ke tujuh (Landsat 7). Landsat 7 dengan sensor ETM+ (Enhanced Thematic Mapper Plus), yang diluncurkan pada tanggal 15 April 1999 ternyata hanya dapat beroperasi secara normal hingga bulan Mei Satelit tersebut telah mengalami kerusakan pada Scan Line Correktor (SLC), sehingga untuk sementara transmisi data dari satelit dihentikan. Stasiun Bumi Internasional (IGS=International Ground Station) mulai bulan Mei 2003, menghentikan perekaman data Landsat dan USGS (United States Geological Survey) berusaha memperbaiki kerusakan dengan operasi SLC cadangan. Namun usaha tersebut tidak berhasil, dan diputuskan bahwa kerusakan SLC adalah kerusakan permanen. Oleh karena itu mulai bulan November 2003 telah dilakukan pengiriman transmisi lagi dengan model SLC-OFF, sehingga gambarnya tidak sempurna (Purwadhi dan Sanjoto, 2008). A. Karakteristik Spasial Landsat TM, yang keduanya memiliki resolusi 30 meter. Satu layar penuh mencakup luasan 185 km 2, sehingga sensor dapat mencakup daerah yang besar di permukaan bumi. Sapuan perekaman Landsat 7 ETM+ dapat kita lihat pada Gambar 1.7. dan Gambar 1.8. yang merupakan orbit sun synchronous pada Landsat 7 ETM+ sebagai berikut: Gambar 1.7. Sapuan Satelit Landsat 7 ETM+ Sumber:

31 Gambar 1.8. Orbit Sun Synchronous Sumber: Spesifikasi satelit Landsat 1 hingga 7 dapat dilihat pada Tabel 1.1. serta jaringan di seluruh dunia yang dapat menerima data Landsat 7 ETM+. Tabel 1.1. Karakteristik Satelit Landsat 1 hingga Landsat 7 Karakteristik Landsat 1, 2, 3 Landsat 4, 5 Landsat 7 Orbit Sinkron matahari Sinkron matahari Sinkron matahari Ketinggian ( ) km 705 km 705 km Sudut Inklinasi 99,1ᵒ 98,2ᵒ 98,2ᵒ Sensor/ saluran spektral (band/µm) RBV MSS Band 1: 0,475 0,575 Band 2: 0,58 0,68 Band 3: 0,69 0,89 Band 4 Band 5 Band 6 Band 7 MSS TM Band 4: 0,50-0,60 Band 5: 0,60 0,70 Band 6: 0,70 0,80 Band 7: 0,80 1,10 Band 1: 0,45 0,52 Band 2: 0,52 0,60 Band 3: 0,63 0,69 Band 4: 0,76 0,90 Band 5: 1,55 1,75 Band 6: 10,4 12,5 Band 7: 2,08 2,35 TM dan ETM+ Band 1: 0,45 0,52 Band 2: 0,52 0,60 Band 3: 0,63 0,69 Band 4: 0,76 0,90 Band 5: 1,55 1,75 Band 6: 10,4 12,5 Band 7: 2,08 2,35 Band 8: 0,52 0,90 (Pankromatik) Resolusi Spasial 80 m 30 m dan 120 (band 6) 30 m dan 15 m (band 8) Cakupan 185 km x 185 km 185 km x 185 km 185 km x 185 km Pengulangan Rekaman 18 hari 16 hari 16 hari Sumber: Purwadhi dan Sanjoto, 2008

32 B. Karakteristik Spektral Citra Landsat TM dan Landsat ETM+ memiliki persamaan, di mana keduanya memiliki ukuran piksel sebesar 30 meter. Bagaimanapun citra Landsat ETM+ memiliki band pankromatik yang mampu menghasilkan citra pankromatik dengan resolusi 15 meter. Hal ini memungkinkan untuk meghasilkan citra multispektral pankromatik yang dipertajam (citra gabungan pankromatik dan multispektral dengan resolusi spektral 7 band dan resolusi spasial 30 meter) tanpa merektifikasi citra yang satu ke citra lainnya. Hal ini disebabkan citra pankromatik dan multispektral direkam degan sensor yang sama sehingga bisa diregister secara otomatis. Citra Landsat 7 juga memiliki band thermal yang dipertajam. Band pada ETM+ berguna untuk mengkaji air, pemilihan jenis vegetasi, pengukuran kelembaban tanah dan tanaman, perbedaan awan, salju, dan es, serta mengidentifikasi jenis batuan. Sama dengan Landsat TM, Landsat ETM+ bisa digunakan untuk penerapan daerah perkotaan, akan tetapi dengan resolusi spektral yang lebih tinggi akan lebih sesuai jika digunakan untuk membuat karakteristik alami suatu bentang alam. Spektral Panjang Gelombang (micro-m) Tabel 1.2. Range Spektral ETM+ Ukuran IFOV (micro-r) Instanteneaous Geometric FOV (m) Ukuran Jarak Obyek Nominal (Resolusi Spasial) (m) Panchromatic 0,522 0,90 18,5 x 21,3 13 x ,45 0, 52 42, ,52 0,60 42, ,63 0,69 42, ,76 0,90 42, ,55 1,75 42, ,4 12,5 85, ,08 2,35 42, Sumber: http//landsat7.isgs.gov diakses tanggal 22 Agustus 2005 Landsat 7 ETM+ dirancang untuk mengumpulkan, menyaring, dan mendeteksi radiasi dari bumi dalam petak seluas 185 km yang melewatinya. Viewing Swath dihasilkan oleh rata rata system Oscillating Mirror yang menyapu melewati jalur sebagimana bidang pandang sensor bergerak maju

33 Tabel 1.3. Karakterisitik dan Kemampuan Aplikasi Setiap Saluran (Band) Landsat Saluran/ band (µm) Saluran 4 (0,50 0,60) Saluran 5 (0,60 0,70) Saluran 6 (0, 70 0,80) Saluran 7 (0,80 1,10) Landsat MSS Aplikasi/ Penggunaan - Tanggap tubuh air dan penetrasi tubuh air. - Mendeteksi muatan sendimen - Puncak pantulan vegetasi subur/ tidak, identifikasi tanaman - Kontras penampakan vegetasi dan bukan vegetasi - Membantu identifikasi penutup lahan, kenampakan alam dan budaya - Tanggap terhadap biomasa vegetasi - Kontras tanaman, tanah, air - Tanggap perbedaan antara tanah, air, vegetasi - Membantu menentukan kondisi kelembaban tanah - Kandungan air tanaman Landsat 5 TM dan Landsat 7 ETM+ Saluran/ Aplikasi/ Penggunaan band (µm) Saluran 1 TM = ETM+ (0,45 0,52) Saluran 2 (0,52 0,60) (LS 5 TM) (0,53 0,61) (LS 7 ETM+) Saluran 3 TM = ETM+ (0,63 0,69) Saluran 4 TM = ETM+ (0,78 0,90) Saluran 5 TM = ETM+ (1,55 1,75) Saluran 6 TM=ETM+ (10,4 12,5) Saluran 7 TM (2,08 2,35) ETM+ (2,09 2,35) Saluran 8 ETM+ (0,50 0,90) LS 5 TM tidak ada saluran pankromatik - Tanggap penetrasi air - Mendukung analisis sifat khas lahan, tanah, vegetasi - Mengindera puncak pantulan vegetasi - Menekankan perbedaan vegetasi dan nilai kesuburan - Memisahkan vegetasi - Serapan klorofil dan memperkuat kontras vegetasi/ bukan vegetasi - Tanggap biomasa vegetasi - Identifikasi dan kontras tanaman, tanah, air - Menentukan jenis vegetasi dan kandungan airnya - Menentukan kelembaban tanah - Deteksi suhu obyek - Analisis gangguan vegetasi - Perbedaan kelembaban tanah - Pemisahan formasi batuan - Analisis bentuk lahan - Pemetaan planimetrik - Identifikasi permukiman - Kontras bentang alam dan budaya - Identifikasi kenampakan geologi Sumber: Landsat handbook, 1986 dan Program Landsat 7, 1998 dalam Purwadhi dan Sajonto, 2008

34 sepanjang jalur yang disebabkan pergerakan satelit. Data dari ETM+ merupakan output dalam dua channel yang masing masing pada 75Mbps. Data dari tiap band bisa dipilih untuk menghasilkan ouput yang lebih tinggi atau lebih rendah. Band 6 muncul dikedua channel, dengan kata di channel 1 berada dalam High Gain dan data di channel 2 berada dalam Low Gain. Sensor ETM+ ditambah dengan dua sistem model kalibrasi untuk gengguan radiasi matahari Dual Mode Solar Calibrator System dengan penambahan lampu kalibrasi untuk fasilitas koreksi geometrik. Istilah lain yang umum digunakan untuk resolusi spasial adalah medan pandang sesaat (Intantenous Filed of View /IFOV), seperti yang disajikan pada Tabel 1.2. Tiap band pada Landsat memiliki ukuran tersendiri, karakteristik spektral terkait dengan panjang gelombang yang digunakan untuk mendeteksi obyek obyek yang ada di permukaan bumi. Semakin sempit julat (range) panjang gelombang yang digunakan maka, semakin tinggi kemampuan sensor itu dalam membedakan obyek, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.3. C. Karakteristik Radiometrik Sensor ETM+ menggunakan panjang gelombang dari spektrum tampak mata sampai spektrum inframerah. Secara radiometrik, sensor ETM+ memiliki angka 256 digital (8 bit) yang memungkinkan pengamatan terhadap perubahan kecil pada besaran radiometrik dan peka terhadap perubahan hubungan antar band. D. Karakteristik Produk Produk keluaran satelit Landsat 7 ETM+ ini dibagi menjadi 3 level produk dengan masing masing keterangan yaitu pada Tabel 1.4. Citra Landsat 7 ETM+ yang digunakan berada pada level 1G menggunakan proyeksi Universal Transverse Mercator.

35 Tabel 1.4. Karakteristik level Landsat 7 ETM+ LEVEL KARAKTERISTIK 0R Level ini dapat dikatakan sebagai data mentahnya Landsat 7 di mana dalam data Landsat belum mengalami koreksi radiometrik dan koreksi geometrik 1R Produk level ini adalah level O-R yang telah mengalami koreksi radiometrik 1G Produk pada level ini adalah level 1-G yang telah mengalami koreksi geometrik dan radiometrik. Dan pada proyeksi tertentu, yang terdapat 7 pilihan proyeksi yang bisa digunakan yaitu: Universal Transverse Mercator Polyconic Transverse Mercator Polar Stereografik Hotine Oblique Mercator A Space Oblique Mercator Sumber: http//landsat7.isgs.gov diakses tanggal 22 Agustus Aplikasi Penginderaan Jauh Thermal Lillesand dan Kiefer 1997 dalam Aryanto, 2006, dalam Remote Sensing and Image Interpretation menyinggung tentang hukum pergeseran Wien bahwa, pancaran energi maksimum dari suatu benda hitam bertemperatur 300ᵒK akan terjadi pada julat panjang gelombang 8 14 µm. Temperatur ambient dari permukaan bumi adalah sekitar 300ᵒK, sehingga penginderaan jauh di permukaan bumi menggunakan sensor thermal akan lebih bermanfaat bila memakai julat panjang gelombang tersebut. Landsat 7 ETM+ dengan sensor thermal beroperasi pada panjang gelombang 10,4 12,5 µm pada saluran 6. Ekstraksi tempertatur permukaan berdasarkan citra thermal, untuk mendapatkan nilai variasi suhu di permukaan bumi, dengan menyimpulkan adanya keterkaitan antara suhu pancaran (Trad), suhu kinetik (Tkin), dan koefisien emisivitas seperti yang digunakan pada persamaan berikut (Curran, 1985, Lillesand dan Kiefer, 1997, dan sutanto,1986 dalam Aryanto, 2006). Trad = ϵ 1/4. Tkin (1.0) Persamaan diatas. mengungkapkan kenyataan bahwa setiap suhu setiap obyek tertentu, suhu pancaran yang direkam oleh sensor penginderaan jauh juga

36 akan lebih kecil daripada suhu kinetiknya. Nilai piksel yang tercatat oleh sensor merupakan fungsi dari kemampuan bit koding dari sensor dalam mengubah pancaran spektral obyek, dengan pancaran spektral obyek merupakan fungsi dari temperatur radiannya. Dengan perhitungan untuk memperoleh nilai radiansi spektral sembarang piksel digunakan formula sebagai berikut: Lλ = L Max L Min (QCAL Max QCAL Min) x (QCAL QCAL Min) + L Min (1.1) Atau dapat juga dituliskan juga: Lλ = G x QCAL + B (1.2) Keterangan: Lλ = spektral radiance pada sensor (W/m 2.sr.µm) QCAL = nilai piksel trkalibrasi dalam nilai digital (ND) QCAL Min = nilai terkalibrasi minimum, berkaitan dengan L Min = 1 (produk LPGS/EOS Data Gateway) = 0 (produk NLAPS/Earth Explorer) QCAL Max = nilai piksel terkalibrasi maksimum, berkaitan dengan L Max = 255 L Min = spektral radiance yang diskalakan terhadap QCAL Min (W/m 2.sr.µm) L Max = spektral radiance yang diskalakan terhadap QCAL Max (W/m 2.sr.µm) G = gain (W/m 2.sr.µm) B = bias/offset (W/m 2.sr.µm) Untuk bisa mentransformasikan nilai pancaran spektral ke dalam bentuk nilai temperatur radian (Trad) maka setiap piksel dapat dihitung berdasarkan nilai radiansi spektral dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: Trad = K 2 / ln [(K 1 /Lλ)+1] (1.3)

37 Keterangan: Trad = temperatur radian (K) piksel yang dianalisis K 1, K 2 = konstanta kalibrasi dari tabel Lλ = spektral radiance pada sensor (W/m 2.sr.µm) Agar lebih jelasnya terhadap konstanta kalibrasi satuan thermal Landsat dapat dilihat pada Tabel 1.5 Tabel 1.5. Konstanta kalibrasi satuan thermal Landsat Satelit K 1 K 2 Sumber (Wcm -2 sr-lum -1 ) (Wcm -2 sr-lum -1 ) Landsat 7 ETM+ 666, ,71 Irish (2000) Sumber: Irish, Transformasi Indeks Vegetasi Indeks vegetasi adalah merupakan suatu algoritma yang diterapkan terhadap citra yang biasanya digunakan terhadap multisaluran, untuk menonjolkan aspek kerapatan vegetasi ataupun aspek lain yang terkait dengan kerapatan biomassa, Leaf Area Indeks (LAI), konsentrasi klorofil dan sebagainya. Secara praktis, indeks vegetasi ini merupakan satu transformasi matematis yang melibatkan beberapa saluran sekaligus, dan menghasilkan citra baru yang lebih representatif dalam menyajikan fenomena vegetasi (Danoedoro, 1996). Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) merupakan kombinasi antara teknik penisbahan dengan teknik pengurangan citra. Transformasi NDVI merupaan salah satu produk standar NOAA (National Oceanic and Atsmospheric Administration), satelit cuaca yang berorbit polar namun memberi perhatian khusus pada fenomena global vegetasi. Berbagai penelitian mengenai perubahan liputan vegetasi di benua Afrika menggunakan transformasi ini (Tucker, 1986 dalam Danoedoro, 1996). Formulasinya adalah sebagai berikut: NDVI = (1.4) (saluran inframerahdekat saluran merah) (saluran inframerahdekat + saluran merah)

38 Gambar 1.9. Garis vegetasi dan garis tanah (Richardson dan Weigand, 1977 dalam Danoedoro, 1996) Temperature-Vegetation Dryness Index (TVDI) TVDI merupakan indeks kekeringan berdasarkan parameter empirik dari hubungan antara temperatur permukaan dan NDVI. Indeks tersebut dikaitkan dengan kelembaban tanah dan diperoleh hanya berdasarkan input dari informasi satelit penginderaan jauh (Sandholt et al, 2002 dalam X Yang et al, 2008). Temperatur permukaan di plot terhadap NDVI yang di mana pada sisi atas sebelah kiri didefinisikan sebagai sisi kering hingga ke bawah adalah sisi basah. Vegetasi hijau yang bertambah pada sumbu x (NDVI) maka akan mempengaruhi temperatur permukaan maksimum sehingga akan mengalami penurunan. Untuk kondisi kering, hubungan negatif didefiniskan oleh sisi atas, yang merupakan batas atas temperatur permukaan untuk jenis permukaan tertentu. Konsep ruang TS/NDVI dapat dilihat pada Gambar 1.10.

39 Gambar Konsep ruang TS/NDVI (Lambin dan Ehrlich, 1996, dan Sandholt et al, 2002 dalam X Yang et al, 2008) Suatu permukaan basah, temperatur permukaan akan menjadi rendah, sebaliknya jika permukaan kering, termperatur permukaan akan meningkat. Temperatur permukaan mengalami peningkatan relatif lebih signifikan pada daerah dengan NDVI rendah, yang merupakan tanah kosong atau vegetasi jarang. Sedangkan pada daerah dengan NDVI tinggi peningkatan temperatur permukaan (TS) semakin sempit range-nya. Formula untuk menghitung nilai TVDI adalah: Keterangan: Ts Tsmin TVDI = (1.5) a+b NDVI - Tsmin Tsmin = temperatur permukaan minimum pada segitiga, menandakan sisi basah Ts NDVI = temperatur permukaan yang diamati pada suatu piksel = nilai indeks vegetasi yang diamati a, b = parameter yang mendefinisikan model linear sisi kering (Tsmax = a+bndvi) Tsmax = temperatur permukaan maksimum yang diamati untuk setiap nilai NDVI

40 Parameter a dan b diperoleh berdasarkan pixel dari suatu area yang cukup besar untuk merepresentasikan keseluruhan rentang dari unsur kelembaban permukaan, dari basah hingga kering, dan dari tanah kosong hingga permukaan bervegetasi penuh. Nilai TVDI berkisar antara 0 hingga 1. Nilai 1 menyatakan sisi kering (ketersediaan air terbatas) dan 0 menyatakan sisi basah (evapotranspirasi maksimum dan ketersediaan air tak terbatas). Untuk mendapatkan nilai TVDI, beberapa data harus dihasilkan terlebih dahulu dari citra, yaitu temperatur dan NDVI. Hubungan segitiga dapat dimodelkan setelah data diekstrak dari citra. Informasi ini di gunakan dalam algoritma yang kemudian digunakan kembali dalam citra berdasarkan hitungan pixel per pixel (Witter, 2004 dalam Nashrullah dkk, 2008) Penelitian Sebelumnya Hardy (1980), melakukan survei untuk penentuan kandungan kelembaban tanah dengan menggunakan metode penginderaan jauh. Penelitian dilakukan dengan menggunakan penisbahan (ratioing) band - band pada citra landsat MSS antara saluran 5 dengan gabungan antara saluran ( ). Dalam daerah spektrum inframerah pantulan dekat dan spektrum tampak (visible), macam macam variasi tanah terbuka (bare soil) mempunyai peningkatan reflektivitas sejalan dengan peningkatan panjang gelombang. Gambar Karakterisitik spektral tanah pada bagian spektrum inframerah dan tampak (Barret dan Curtis, 1976 dalam Hardy, 1980)

41 Dalam diagram tersebut di atas menunjukan sifat sifat pantulan yang berbeda dari jenis jenis tanah yang berbeda (tipe tanah), di samping itu juga menunjukan penurunan pantulan yang sejalan dengan peningkatan kandungan kelembaban tanah. Perbedaan signal gelombang elektromagnetik dari suatu site yang sama disebabkan oleh adanya perbedaan kelembaban tanah, tetapi juga di sebabkan oleh perbedaan elevasi matahari dan kondisi atmosfer. Hasil penelitian tersebut dengan menggunakan data digital Landsat MSS (Multispectral Scanner), diperoleh nilai koefisien determinasi (r 2 )=0,74 bagi tanah terbuka (bare soil) dan r 2 =0,88 bagi tanah bervegetasi. Di sini tampak bahwa bagi tanah bervegetasi, variasi kecerahan data digital MSS sangat sedikit dengan kelembaban tanah, kecuali dalam hal tanah bervegetasi dengan vegetasi hijau yang subur. Kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil penelitian tersebut adalah adanya koreksi yang tinggi dalam penentuan (determinasi) kandungan kelembaban tanah dengan pantulan spektral tanah baik pada tanah terbuka maupun pada tanah bervegetasi. Yang et al (2008) dalam penelitiannya bertujuan untuk mengetahui hubungan antara NDVI dan EVI (Enhanced Vegetation Index) terhadap TVDI. Penelitian dilakukan dengan modifikasi metode segitiga antara NDVI, TS, dan TVDI untuk estimasi kelembaban tanah pada citra resolusi tinggi yaitu MODIS. Modifikasi dilakukan dengan melakukan perubahan data input dari transformasi NDVI dengan transformasi EVI. Modifikasi metode segitiga TVDI dengan EVI dan NDVI memiliki hasil yang berbeda dan saling mendukung untuk estimasi kelembaban tanah permukaan. Gabungan hasil NDVI dan hasil EVI dapat mengetahui estimasi kelembaban tanah permukaan dalam kondisi yang berbeda. Hubungan TVDI-EVI tersebut dapat mengetahui tingkat kelembaban tanah permukaan pada kedalaman 10 cm. Terdapat hubungan antara TVDI dengan data hujan yang dapat membuat kondisi kelembaban tanah permukaan menigkat.

42 Tabel 1.6. menjelaskan mengenai perbedaan penelitian penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian penelitian sebelumnya membuktikan bahwa data penginderaan jauh dapat memberikan informasi yang berhubungan dengan kelembaban tanah walaupun hal tersebut sangat terbatas. Hal itu dilihat dari nilai spektral pada data penginderaan jauh (Citra) maupun menggunakan suatu transformasi untuk mengekstrak informasi tentang kelembaban tanah. Penelitian tersebut menegaskan bahwa kelembaban tanah sangat dipengaruhi dari struktur tanah dan tekstur tanah dari masing masing jenis tanah yang memiliki dampak dalam hasil akhirnya. Dari penelitian sebelumnya hal yang diperoleh untuk penelitian ini berupa keterbatasan ekstraksi citra dalam memberikan hasil mengenai kelembaban tanah permukaan. Keterbatasan itu berasal dari keadaan spektral citra. Selain itu, jenis tanah merupakan faktor yang mempengaruhi kadar kelembaban tanah permukaan Kerangka Penelitian Pengukuran kelembaban tanah permukaan ini dapat memanfaatkan citra penginderaan jauh menggunakan citra satelit Landsat 7 ETM+. Walaupun untuk mengetahui kelembaban tanah perlu dilakukan ekstraksi dari hubungan antara NDVI dan temperatur permukaan (TS). Proses pengolahan data pada citra Landsat 7 ETM+ dengan menyusun komposit warna kemudian memotong citra Landsat 7 EMT+ sesuai dengan daerah penelitian yakni Kabupaten Purworejo. Citra yang digunakan dalam penelitian memiliki gap tetapi khusus untuk wilayah dataran yang merupakan wilayah penelitian gap yang terjadi tidak terlalu banyak maksimal hanya 3 piksel. Pengisian gap citra atau sekitar 2700 meter persegi (m 2 ) (dari 3 piksel) tidak mempengaruhi kualitas citra sehingga dapat diasumsikan bahwa citra Landsat 7 ETM+ yang digunakan memiliki kualitas data diatas 80 %. Pemotongan citra dilakukan pada citra komposit dan pada citra dengan band 6 (thermal), kemudian dilakukan koreksi radiometrik dan geometrik pada citra dengan level 1G. Citra level IG akan dikoreksi menggunakan peta RBI digital untuk citra komposit dan koreksi geometrik image to image untuk citra band 6.2 (thermal).

43 Tabel 1.6. Penelitian Sebelumnya Penulis Hardy (1980) Yang et al (2008) Sediyo Adi Nugroho (2011) Judul Tujuan Survey of Methods for the Determination of soil Moisture Content by Remote Sensing Methods. Mengetahui sifat sifat pantulan dari tipe tanah yang berbeda dan kandungan kelembaban tanah. Modified Triangle Method To Estimate Soil Moisture Status With Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (Modis) Products. Mengetahui tingkat kelembaban tanah permukaan dengan formula EVI. Metode Penginderaan Jauh (penisbahan), Analisis. Penginderaan Jauh (Formula EVI, NDVI, dan Hasil yang dicapai Koreksi yang tinggi dalam penentuan (determinasi) kandungan kelembaban tanah dengan pantulan spektral tanah baik pada tanah terbuka maupun pada tanah bervegetasi. TVDI)/modifikasi metode segitiga, Analisis. Gabungan hasil NDVI dan hasil EVI dapat mengetahui estimasi kelembaban tanah permukaan dalam kondisi yang berbeda. Hubungan TVDI-EVI tersebut dapat mengetahui tingkat kelembaban tanah permukaan pada kedalaman 10 cm. TVDI dengan data hujan dapat membuat kondisi kelembaban tanah permukaan menigkat. Analisis Kelembaban Tanah Permukaan melalui Citra Landsat 7 ETM+ di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo. 1. Mengetahui hubungan nilai spektral dengan kelembaban tanah permukaan di Kabupaten Purworejo. 2. Mengetahui hubungan kelembaban tanah permukaan terhadap liputan vegetasi dan temperatur permukaan di Kabupaten Purworwejo 3. Menganalisis hubungan antara kelembaban tanah permukaan dengan penggunaan lahan di wilayah dataran Kabupaten Purworejo. Penginderaan Jauh (Formula NDVI, TS, dan TVDI), Analisis

44 Teknik pengolahan citra menggunakan transformasi spektral untuk memperoleh liputan vegetasi, temperatur permukaan, dan indeks kekeringan (kelembaban tanah permukaan). Liputan vegetasi akan memperlihatkan keadaan yang memiliki kerapatan vegetasi yang rendah hingga tinggi dan digunakan untuk data pemasukan dalam transformasi akhir (TVDI). Informasi temperatur permukaan menggunakan transformasi nilai digital kemudian diolah kembali menjadi nilai radian pada band 6 (thermal). Informasi indeks kekeringan dari hasil transformasi akan dikelompokan menjadi lima kelas dengan menggunakan hasil ekstraksi NDVI dan temperatur permukaan sebagai output hasil transformasi TVDI. Penutup lahan diperoleh dengan proses klasifikasi penutup lahan menggunakan metode Supervised Classification (Maximum Likelihood), yang dimana nantinya hasil dari penutup lahan untuk mengetahui tutupan lahan daerah dataran terdapat berbagai jenis penutup lahan yang nantinya akan dilakukan analisis mengenai hubungan penutup/penggunaan lahan daerah dataran terhadap kelembaban tanah permukaan dengan melihat berdasarkan beberapa variabel yang mempengaruhi spektral tanah seperti tekstur tanah, struktur tanah, premeabilitas tanah, kadar air tanah, kadar unsur hara, dan konsistensi tanah agar data dan keadaan lapangan didapatkan hasil yang baik. Hasil transformasi akan dilakukan cek lapangan untuk membuktikan nilai spektral dari hasil transformasi tersebut memiliki keterkaitan atau tidak dengan keadaan di lapangan walaupun keadaan di lapangan dipengaruhi oleh cuaca dan iklim yang sering sekali berubah serta liputan vegetasi dan suhu permukaan di lapangan yang dapat mempengaruhi nilai kadar kelembaban tanah permukaan itu sendiri. Keadaan daerah penelitian tersebut diharapkan tidak terlalu memiliki perbedaan yang terlalu signifikan sehingga akan memberikan hasil yang maksimal dalam analisis.

45 1.7. Metode Penelitian Alat dan Bahan Penelitian Alat Penelitian : 1. Perangkat keras komputer yang digunakan untuk pemrosesan dan pengolahan data dengan spesifikasi: HD Acer CineCrystal TM LED LCD. - Processor Intel Core 2 Duo processor T GHz. - Intel GMA 4500MHD. - 2 GB DDR3 Memory GB HDD. 2. Microsoft Windows 7 Ultimate, digunakan sebagai sistem informasi dalam pengolahan, pemrosesan, hingga output data. 3. Software ENVI 4.5 digunakan untuk pengolahan data citra penginderaan jauh. 4. Software ErMapper 7.0. digunakan untuk pengisian gap dan komposit citra. 5. Software ArcGIS digunakan untuk pembuatan peta (vektorize dan layout). 6. Software SPSS v digunakan untuk melakukan analisis statistik. 7. Soil Moisture Tester digunakan untuk mengukur kelembaban tanah. 8. GPS Garmin, digunakan untuk menentukan titik lokasi survay lapangan. 9. Kamera digital digunakan untuk dokumentasi survei lapangan Bahan Penelitian 1. Citra Landsat 7 ETM+ (SLC_OFF) path 120, row 65, perekaman jam 02:41:35 (+GMT) tanggal 19 Februari 2011, level 1G, liputan awan 23%, dan dipotong sesuai dengan daerah penelitian (Kabupaten Purworejo), dengan masing masing memiliki format *.Geotiff dengan nama file masing masing sebagai berikut: - L _ _B10 - L _ _B20 - L _ _B30

46 - L _ _B40 - L _ _B50 - L _ _B61 - L _ _B62 - L _ _B70 - L _ _B80 2. Citra Landsat 7 ETM+ (SLC_ON) path 120, row 65, perekaman jam 02:36:47 (+GMT) tanggal 20 Mei 2003, level IG, liputan awan 4%, dan dipotong sesuai dengan daerah penelitian (Kabupaten Purworejo), dengan masing masing memiliki format *.Geotiff dengan nama file masing masing sebagai berikut: - L _ _B10 - L _ _B20 - L _ _B30 - L _ _B40 - L _ _B50 - L _ _B61 - L _ _B62 - L _ _B70 - L _ _B80 3. Peta Rupabumi Indonesia digital lembar Wadas lintang skala 1:25.000, lembar Bruno skala 1:25.000, lembar Kepil skala 1:25.000, lembar Prembun skala 1:25.000, lembar Kutoarjo skala 1:25.000, lembar Purworejo skala 1:25.000, lembar Mirit skala 1:25.000, lembar Ngombol skala 1:25.000, lembar Bagelan skala 1:25.000, lembar Temon skala 1:25.000, lembar Mungkid skala 1:25.000, dan lembar Sendang Agung skala 1: Peta Administrasi Kabupaten Purworejo Skala 1: Peta Jenis Tanah Kabupaten Purworejo Skala 1: Peta Kemiringan Lereng Kabupaten Purworejo Skala 1:

47 Pengumpulan Data Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan yaitu berupa: 1. Citra Landsat 7 ETM+ (SLC_OFF) scene Jawa Tengah, pada path/row 120/65, sumber: http//glovis.usgs.gov. 2. Citra Landsat 7 ETM+ (SLC_ON) scene Jawa Tengah, pada path/row 120/65, sumber: 3. Peta Rupabumi Indonesia Digital, sumber: BAPPEDA Kabupaten Purworejo. Dari data peta Rupabumi Indonesia nantinya digunakan sebagai data acauan untuk koreksi geometrik. 4. Peta Administrasi Kabupaten Purworejo Skala 1: , sumber BAPPEDA Kabupaten Purworejo sebagai batasan daerah penelitian. 5. Peta Tanah Kabupaten Purworejo Skala 1: , sumber BAPPEDA Kabupaten Purworejo sebagai faktor dalam pengambilan sampel. 6. Peta Kemiringan Lereng Kabupaten Purworejo Skala 1: , sumber BAPPEDA Kabupaten Purworejo sebagai pembatas penelitian di wilayah dataran Tahapan Penelitian Pada penelitian ini terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan sebagai berikut: 1. Tahap persiapan. a) Perolehan dan pengembangan ide penelitian. b) Pengumpulan landasan teori. c) Pembuatan proposal penelitian. d) Studi peta dan citra. e) Mempersiapkan alat dan bahan penelitian yang berupa alat tulis, kondisi hardware dan software pada komputer sehingga dapat lancar dalam pegolahan, pemrosesan, dan penyajian, dan soil moisture tester untuk survei lapangan.

48 2. Pemilihan daerah penelitian Kabupaten Purworejo merupakan kabupaten yang masih banyak memiliki lahan pertanian yang bervariasi baik dari hasil perkebunan maupun persawahan yang cukup luas dengan keadaan topografi yang cukup bervariasi berupa: wilayah pantai, dataran rendah, hingga pegunungan sehingga dapat memiliki tingkat kelembaban tanah permukaan yang berbeda beda seperti pada daerah dataran yang dimana memiliki berbagai macam penggunaan lahan yang akan memberikan kelembaban tanah permukaan berbeda satu penggunaan lahan dengan penggunaan lahan yang lain. Keadaan kerapatan vegetasi dan temperatur permukaan yang bervariasi di setiap penggunaan lahan mempengaruhi kelembaban tanah permukaan, jika terdapat nilai kelembaban tanah permukaan yang sama yang menyebabkan keadaan tersebut ialah cepat lambatnya evapotranspirasi dari setiap penggunaan lahan. Wilayah dataran merupakan daerah penelitian dimana untuk kelembaban tanah sulit terlihat karena keadaan topografi lebih datar dibandingkan perbukitan serta aksesibilitas wilayah dataran lebih mudah dijangkau sehingga jika keadaan kelembaban tanah permukaan wilayah dataran baik (memiliki hubungan yang signifikan dengan lapangan) maka keadaan di daerah perbukitan akan mudah untuk diidentifikasi dengan melihat beberapa variabel yang mempengaruhi kelembaban tanah di perbukitan. Selain itu, keadaan alam yang tidak menentu dalam hal iklim dan cuaca yang saat ini terjadi merupakan faktor yang dapat memberikan kontribusi kelembaban tanah permukaan dan berdampak pada lahan pertanian untuk sekarang ini. 3. Pemrosesan data dan Analisis Data a) Penyusunan citra komposit dan pengisian gap citra. Penyusunan citra untuk Landsat 7 ETM+ dilakukan untuk mendapatkan nilai piksel pengganti yang telah hilang atau rusak secara permanen dari sistem Satelit Landsat 7 ETM+ agar pengolahaan dapat dilakukan dan hasil akan lebih maksimal. Pengisian gap dilakukan dengan menggunakan suatu formula (algorithm) agar citra sebagai pengisi dan yang di isi bertampalan.

49 b) Pemotongan citra sesuai dengan daerah penelitian. Batasan administrasi sangat penting untuk penelitian agar mengetahui hingga daerah mana yang terjangkau dalam penelitian sehingga tidak melebihi ataupun terlalu membias dengan penelitian yang dilakukan. Oleh karena itu, citra sebagai data yang akan diolah perlu dilakukan pemotongan dengan batas administrasi atau penelitian yang dilakukan dan lebih spesifik daerah yang diteliti baik dari kenampakan topografi dan keadaan lingkungan yang dapat dikenali dengan lebih baik. c) Restorasi citra Landsat 7 ETM+ Restorasi (pemulihan/pemugaran) citra merupakan prosedur operasi yang dilakukan untuk memperoleh data permukaan bumi sesaui dengan yang aslinya (tanpa distorsi). Citra hasil perekaman sensor penginderaan jauh mengalami berbagai distorsi yang disebabkan oleh gerakan sensor, faktor media antara, dan faktor obyek itu sendiri, sehingga perlu dibetulkan dan dipulihkan kembali. Prosedur ini biasa disebut operasi pengolahan data awal (pre-processing operation) atau pra pengolahan citra yang meliputi berbagai koreksi yaitu koreksi radiometrik, koreksi geometrik, dan koreksi atmosferik. d) Klasifikasi Multispektral (Maximum Likelihood) Klasifikasi multispektral bertujuan untuk mengelompokkan obyek yang memiliki karakteristik spektral yang sama pada suatu area agar mudah untuk memperoleh informasi. Klasifikasi ini dilakukan pada citra satelit Landsat 7 ETM+ yang dimana citra merupakan citra yang tergolong multispektral. Metode yang digunakan untuk melakukan klasifikasi multispektral ialah klasifikasi terselia (supervised) dengan klasifikasi Maximum Likelihood. Klasifikasi supervised merupakan strategi klasifikasi terbimbing dengan cara mengevaluasi kuantitatif varian maupun korelasi pola tanggapan spektral pada saat mengklasifikasikan pixel yang tidak dikenal. Klasifikasi dilakukan dengan cara mengambil sampel dari nilai piksel dari setiap obyek yang tampak untuk setiap penutup lahan Hasil klasifikasi perlu dilakukan uji ketelitian untuk mengetahui seberapa baik metode yang digunakan.

50 e) Transformasi Indeks Vegetasi. Vegetasi merupakan faktor dalam mempengaruhi kelembaban tanah permukaan sehingga diperlukan untuk mengetahui keadaan kerapatan vegetasi di daerah penelitian. Vegetasi diperoleh dengan melakukan ekstraksi citra dengan suatu transformasi khusus seperti yang telah dijelaskan pada halaman sebelumnya. Transformasi yang ada akan memiliki hasil rentang dari -1 hingga 1 yang menunjukan ada sampai tidak ada vegetasi di daerah penelitian. Kerapatan vegetasi akan dikelaskan menjadi lima kelas untuk mengetahui persebaran dan mempermudah dalam melakukan analisis maupun uji ketelitian. f) Temperatur permukaan. Temperatur merupakan faktor yang paling mempengaruhi kelembaban tanah permukaan dalam evaporasi dan evapo-transpirasi. Temperatur diperoleh dengan suatu transformasi khusus (dijelaskan pada halaman sebelumnya) dan diperlukan pengolahan yang bertahap untuk memperoleh dalam temperatur derajat (ᵒ) Celcius, pendekatan dalam mengetahui kebenaran dalam pengolahan yang dilakukan akan dibandingkan dengan data sekunder walaupun akan memiliki perbedaan temperatur permukaan. g) TVDI (Temperature-Vegetation Dryness Index) Kelembaban tanah permukaan merupakan sesuatu yang sulit untuk terlihat dari data citra sehingga diperlukan pendekatan untuk memperoleh kelembaban tanah permukaan dengan kerapatan vegetasi dan temperatur permukaan. Pengolahan kelembaban tanah permukaan menggunakan transformasi khusus dengan melihat keadaan vegetasi dan temperatur permukaan sehingga akan memperlihatkan keadaan lapangan secara keseluruhan, tetapi diperlukan uji ketelitian yang baik dengan melihat beberapa faktor yang mempengaruhi kelembaban tanah permukaan baik secara internal maupun eksternal. h) Analisis Data Analisis data pada penelitian digunakan untuk mengetahui hubungan antara hasil dari transformasi berupa kelembaban tanah permukaan dilihat dari nilai spektral pengolahan data. Sampel diambil dilapangan dan di cek laboratorium dari variabel variabel yang berhubungan dengan nilai spektral dan

51 penutup lahan/penggunaan lahan di wilayah dataran Kabupaten Purworejo untuk hasil masksimal dan memperoleh kesimpulan dalam penelitian. Analisis dilakukan secara statistik dan hanya sebagai pernyataan dalam memperkirakan suatu hubungan dari variabel maupun faktor yang digunakan dalam penelitian. Selain itu juga akan dilihat bagaimana analisis wilayah secara spasial dari kelembaban tanah permukaan. 4. Survei lapangan Survei lapangan dilakukan setelah memperoleh hasil akhir dari pemrosesan citra komposit. Hal ini dilakukan untuk menguji kebenaran/kevalidan dari data yang telah diolah apakah memiliki keterkaitan hampir sama atau sangat berbeda dengan kenampakan obyek di lapangan. Survei menggunakan citra komposit dibantu dengan peta Rupabumi Indonesia digital dan GPS untuk mempermudah menemukan lokasi dari pengambilan sampel di lapangan dan melakukan plot lokasi pengambilan sampel. Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel ialah dengan cara bertingkat dan tertimbang (Stratified purposive sampling) dimana bertingkat berdasarkan klasifikasi dan terimbang dengan melihat penutup lahan/penggunaan lahan dan keadaan tanah. Citra komposit memiliki kenampakan visual cukup baik untuk mempresentasikan daerah tetapi sulit untuk menemukan obyek sebagai pengambilan sampel. Oleh karena itu peta Rupabumi Indonesia digital membantu dalam hal kenampakan obyek karena memiliki skala yang besar 1: dan toponimi yang jelas. 5. Tahap Ahir Tahap akhir yang dilakukan merupakan tahap perbaikan yang dimana dilakukan setelah survei lapangan terhadap keadaan di lapangan. Selain itu, melakukan analisis dengan melihat hubungan antara kelembaban tanah permukaan terhadap penutup lahan/penggunaan lahan dan hasil cek tanah secara laboratorium untuk memperoleh data yang valid dengan melihat unsur unsur variabel yang berhubungan dengan nilai spektral, sehingga akan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik. Setelah itu, dilakukan proses mencetak hasil akhir dalam bentuk peta untuk lebih memudahkan dalam penyajian terhadap tingkat kelembaban tanah permukaan dari nilai spektral. Peta citra kelembaban tanah permukaan akan disajikan dalam bentuk gradasi warna dari keadaan tanah yang sangat basah hingga sangat kering.

52 1.8. Diagram Alir Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2011 Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2003 Peta Administrasi Kab.Purworejo Skala 1: Pengisian Gap citra dan Komposit citra Digitasi Pemotongan citra (Cropping) Koreksi Radiometrik Koreksi Geometrik Peta Jenis Tanah Peta Kemiringan Lereng Kab Purworejo Skala 1: Transformasi NDVI Band Thermal (6.2.) Klasifikasi Multispektral (Maximum Likelihood) Digitasi Klasifikasi NDVI Peta Citra Liputan Vegetasi Transformasi nilai digital ke nilai radiance Transformasi nilai radiance ke nilai radian (Kelvin) Klasifikasi Penutup Lahan Peta Citra Penutup Lahan Transformasi nilai radian (Kelvin) kenilai radian (Celcius) Klasifikasi Temperatur Permukaan derajat Celcius Peta Citra Temperatur derajat Celcius Pemilihan daerah sampel berdasarkan klasifikasi TVDI dan penggunaan lahan Sampling Survey Lapangan Transformasi TVDI Klasifikasi Transformasi TVDI Pengambilan sampel tanah Pengukuran kelembaban tanah di laboratorium Pengukuran kelembaban tanah di lapangan Peta Citra Kelembaban Tanah Permukaan Analisis hasil transformasi kelembaban tanah permukaan terhadap Penggunaan lahan di wilayah dataran Kabupaten Purworejo Gambar Diagram Alir Penelitian Sumber: Peneliti

53 1.9. Batasan Operasional Data Digital : Data yang ditampilkan, direkam, dan disimpan dalam notasi biner (Jensen, 1986 dalam Indrawati 2001). Kandungan Air Tanah (kadar lengas tanah) : Presentasi air yang dikandung oleh tanah atas dasar berat kering mutlak tanah (pemanasan 105ᵒC - 110ᵒC) atau berdasarkan volume tanah (Sintala Arsyad, 1989). Kelembaban Tanah Permukaan : Air yang mengisi pori pori horison atau lapisan tanah teratas (top soil dalam Kusworo, 1998). Kelembaban Tanah : Air yang mengisi sebagian atau seluruh pori pori tanah yang berada di atas watertable / muka fraktik (Jamulya dan Suratman Woro S, 1993). Nilai Spektral : Nilai digital pada komputer untuk pemrosesan secara digital yang merupakan nilai dari energi yang dipantulkan dan diemisikan dari permukaan bumi dan dicatat oleh sensor penginderaan jauh (Jensen, 1986 dalam Indrawati, 2001). Pantulan (reflektansi) : Perbandingan antara tenaga yang dipantulkan oleh obyek terhadap seluruh tenaga yang diterima oleh obyek tiap satuan luas (Sutanto, 1986). Pantulan Spektral : Perbandingan radiasi spektral obyek dengan radiasi yang datang ke obyek pada suatu julat panjang gelombang (Slater, 1980 dalam Indrawati, 2001). Peta Citra (Peta Foto) : Kenampakan permukaan bumi disajikan dalam bentuk citra (sekumpulan informasi yang berasal dari sensor, perolehan tidak secara kontak langsung dengan obyek permukaan bumi ditempat pengamatan). Bayangan permukaan bumi dapat diperoleh melalui foto udara, radar serta sensor airborne lainnya dan citra satelit ( diakses tanggal 12 April 2011, pukul WIB). Piksel : Dua dimensional elemen gambar yang merupakan elemen terkecil pada citra digital yang tidak dapat dibagi lagi (Jensen, 1996 dalam Indrawati, 2001). Temperatur Radian : Konsentrasi aliran radian pada benda, dapat diukur dengan radiasi elektromagnetik pada panjang gelombang inframerah thermal (Sabins, 1987).

54 BAB II DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN 2.1. Letak dan Luas Daerah Penelitiasn Secara geografis Kabupaten Purworejo merupakan wilayah yang terletak di pesisir Samudera Hindia di bagian selatan Pulau Jawa pada koordinat 7 32 LS sampai dengan 7 54 LS dan BT sampai dengan BT. Posisi astronomis tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Purworejo terletak pada daerah beriklim tropis basah, yang dicirikan dengan curah hujan dan suhu yang tinggi. Kisaran suhu pada daerah ini berkisar antara 16,67 C-30,87 C dengan kelembaban yang tinggi pula berkisar antara 70% hingga 90%. Bersama dengan beberapa Kabupaten lainnya, Kabupaten Purworejo mempunyai posisi di bagian selatan Propinsi Jawa Tengah sebagai mata rantai jalur transportasi selatan Pulau Jawa. Lokasi tersebut mempunyai pengaruh yang sangat strategis karena proyeksi ke depan perkembangan transportasi akan bergeser ke selatan mengimbangi jalur utara yang mulai jenuh. Disamping itu lokasi Kabupaten Purworejo juga menghubungkan dua node (titik) perekonomian Pulau Jawa yaitu Yogyakarta di bagian timur dan Cilacap di bagian barat. Jalur tengah yang menghubungkan wilayah utara dan selatan Jawa melalui jalur Purworejo-Magelang-Semarang juga mendukung posisi Kabupaten Purworejo makin berpotensi untuk berkembang. Luas wilayah Kabupaten Purworejo adalah 1.034,82 km 2 dan dapat dibedakan menjadi daerah dataran di bagian selatan dan daerah perbukitan hingga pegunungan di bagian utara dan timur wilayah Kabupaten. Adapun untuk daerah dataran dengan range ketinggian 0-25m dpal mempunyai proporsi mencapai 40% sedangkan daerah perbukitan hingga pegunungan dengan range ketinggian 25m 1.064m dengan proporsi mencapai 60% (RTRW Kabupaten Purworejo Tahun 2009). Kabupaten Purworejo berbatasan langsung dengan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di bagian timur dan secara rinci batas-batas wilayah administratif adalah sebagai berikut :

55 Sebelah utara : Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Magelang Sebelah timur : Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Sebelah selatan : Samudera Hindia Sebelah barat : Kabupaten Kebumen Secara administratif Kabupaten Purworejo terdiri menjadi 16 Kecamatan yang selanjutnya terinci menjadi 469 desa dan 25 kelurahan sebagaimana tertera pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Luas Wilayah Kabupaten Purworejo dirinci per Kecamatan Jumlah Jumlah Luas wilayah No Kecamatan Desa Kelurahan (km 2 % ) 1 Grabag 32-64,92 6,27 2 Ngombol 57-55,27 5,34 3 Purwodadi 40-53,96 5,21 4 Bagelen 17-63,76 6,16 5 Kaligesing 21-74,73 7,22 6 Purworejo ,72 5,09 7 Banyuurip ,08 4,36 8 Bayan ,21 4,18 9 Kutoarjo ,59 3,63 10 Butuh 41-46,08 4,45 11 Pituruh 49-77,42 7,48 12 Kemiri 40-92,05 8,89 13 Bruno ,43 10,49 14 Gebang ,86 6,94 15 Loano 21-53,65 5,18 16 Bener 28-94,08 9,09 Jumlah , Sumber: Kabupaten Purworejo Dalam Angka Tahun 2007.

56

57

58 2.2. Iklim Deskripsi mengenai iklim untuk Kabupaten Purworejo lebih dibatasi pada deskripsi mengenai curah hujan dan suhu, dengan pertimbangan bahwa kedua unsur iklim tersebut sangat dominan dengan kerawanan wilayah terhadap beberapa ancaman bencana khususnya kejadian banjir, kekeringan dan longsoran. Disamping itu aktifitas sektor pertanian yang menjadi sektor basis bagi masyarakat sangat dipengaruhi oleh kedua unsur iklim tersebut, khususnya curah hujan (RTRW Kabupaten Purworejo Tahun 2009) Curah hujan Pada Tabel 2.2. menunjukkan data curah hujan pada stasiun-stasiun curah hujan di Kabupaten Purworejo. Curah hujan merupakan salah satu elemen utama dalam menentukan iklim di suatu wilayah. Hujan dengan intensitas tinggi merupakan salah satu pemicu (trigger factor) terjadinya bencana yaitu banjir dan longsor lahan di Kabupaten Purworejo. Sementara itu jika curah hujan rendah disertai suhu yang tinggi akan berakibat pada bencana kekeringan. Pada musim penghujan yang terjadi pada bulan Oktober sampai dengan April, curah hujan mempunyai intensitas yang tinggi. Sedangkan pada bulan Mei sampai dengan September terjadi musim kemarau dengan curah hujan yang relatif rendah. Data curah hujan di Kabupaten Purworejo menunjukkan angka yang bervariasi dengan rentang yang panjang antara 12 mm/tahun hingga mm/tahun. Tabel 2.2. dapat memberikan beberapa informasi mengenai besarnya curah hujan rata - rata bulanan dalam kisaran waktu 10 tahun terakhir, curah hujan bulan terkering, curah hujan bulan terbasah, bulan basah dan bulan kering di Kabupaten Purworejo. Bulan basah adalah bulan dengan rerata curah hujan lebih dari 200 mm sedangkan bulan kering mempunyai rerata curah hujan kurang dari 100mm (RTRW Kabupaten Purworejo Tahun 2009) Suhu Pada stasiun penakar hujan di Kabupaten Purworejo belum terdapat sarana pengukur suhu, sehingga data suhu udara rerata bulanan di Kabupaten Purworejo

59 dapat diperhitungkan menggunakan faktor ketinggian tempat. Hasil perhitungan koreksi suhu udara sebagaimana hasil penelitian Strategi Penanganan Daerah Rawan Bencana di Kabupaten Purworejo dapat dilihat pada Tabel 2.3. No Stasiun Tabel 2.2. Curah Hujan Rata rata 10 Tahun di Kabupaten Purworejo Bulan ke CH Rerata Jumlah Max Min BB BK 1 Banyuasin Banyuurip Bener Jrakah Gunung Butak Guntur Kaligesing Kedung Putri Ngasinan Ngombol Maron Purwodadi Purworejo Cengkawak Jogoboyo Loning Grabag Wareng Bruno Rebug Pekatingan Sokogelap Kedunggupit Kalimeneng Pituruh Katerban Kutoarjo Sawangan Watujagir Sumber : Dinas Pengairan Kabupaten Purworejo Tahun 2000 s/d Pada Tabel 2.3. dapat diketahui bahwa suhu maksimum rata-rata di Kabupaten Purworejo adalah 25,93 C hingga 30,87 C, sedangkan rata-rata suhu minimum 16,67 C hingga 21,81 C pada ketinggian antara 200 m dpal sampai dengan lebih dari 400 m dpal.

60 2.3. Tanah Tabel 2.3. Faktor Koreksi Suhu Udara Stasiun Penakar Hujan di Kabupaten Purworejo Ketinggian (m Rata-rata Suhu Rata-rata Suhu Min No. dpal) Max ( C) ( C) ,87 21, ,64 20, ,17 17,95 4. > ,93 16,67 Sumber : Dokumen Strategi Penanganan Daerah Rawan Bencana di Kabupaten Purworejo. Jenis tanah merupakan klasifikasi yang dilakukan untuk membedakan karakter tanah berdasar pada sifat-sifat fisik dan kimia tanah berdasar unsur hara yang dikandungnya. Untuk keperluan kesesuaian lahan dalam kegiatan budidaya, maka jenis tanah merupakan faktor penentu yang perlu diketahui. Secara garis besar Kabupaten Purworejo terbagi menjadi 3 wilayah dengan jenis tanah yang berbeda, yaitu : 1. Jenis tanah alluvial Tanah alluvial mempunyai agihan sebesar 31,9% di wilayah Kabupaten Purworejo. Untuk keperluan pertanian, jenis tanah ini mempunyai produktifitas rendah sampai dengan tinggi. Disamping untuk budidaya pertanian tanah jenis ini juga dimanfaatkan untuk pengembangan permukiman. 2. Jenis tanah Regosol Tanah regosol mempunyai produktifitas rendah sampai dengan tinggi dengan agihan sebesar 5,03%. Tanah jenis ini banyak dimanfaatkan masyarakat Kabupaten Purworejo untuk keperluan pertanian dan perkebunan. 3. Jenis Tanah Latosol Tanah jenis Latosol mendominasi wilayah Kabupaten Purworejo dengan agihan sebesar 63,07%. Dengan produktifitas sedang hingga tinggi, jenis tanah ini merupakan tanah pertanian yang relatif baik. Adapun secara lebih rinci agihan tanah di Kabupaten Purworejo dapat dilihat pada Tabel 2.4.

61 Tabel 2.4. Macam Tanah di Kabupaten Purworejo No. Macam Tanah Luas (Ha) % Agihan Lokasi Konsosiasi Alluvial Hidromorf dan Latosol Coklat Kemerahan Asosiasi Alluvial Kelabu dan Alluvial Coklat Kekuningan 2.221,45 2, ,71 18,19 Asosiasi Gley Humus dan Alluvial Kelabu ,23 11,56 Kompleks Latosol Coklat Tua dan Latosol Coklat Kemerahan 7.703,43 7,44 Aosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Coklat Tua 9.809,47 9,48 Kompleks Latosol Merah Kuning dan Latosol Coklat Tua ,37 46,15 Ngombol, Grabag Pituruh, Kemiri, Butuh, Kutoarjo, Bayan, Gebang, Grabag, Ngombol, Banyuurip, Purwodadi, Purworejo Bagelen,Ngombol, Pituruh, Butuh, Kutoarjo, Grabag Bayan, Banyuurip, Ngombol, Kemiri, Purwodadi, Loano, Purworejo, Kaligesing, Bagelen Bener, Gebang, Loano, Bayan, Purworejo, Banyuurip, Ngombol, Purwodadi Bruno, Pituruh, Kemiri, Gebang, Bener, Loano, Butuh, Kutoarjo, Bayan 7. Konsosiasi Regosol Coklat 2.698,16 2,61 Grabag, Ngombol, Purwodadi 8. Konsosiasi Regosol Kelabu 2.508,17 2,42 Grabag, Ngombol, Purwodadi Jumlah , Kabupaten Purworejo Sumber : Dokumen Strategi Penanganan Daerah Rawan Bencana Air Tanah Kondisi hidrogeologi merupakan faktor utama penentu keberadaan air tanah di suatu wilayah. Secara umum keberadaan air tanah dalam suatu akuifer ditentukan oleh beberapa hal, yaitu tekstur dan struktur batuan penyusun akuifer. Material dengan karakter yang belum terkonsolidasi dari bahan sedimen klastik akan memiliki porositas intergranuler, sehingga air tanah akan berada di dalam ruang antar butir. Berbeda dengan batuan yang sifatnya masif dan keras, maka akan didapatkan kekar-kekar yang rapat dengan struktur bercelah dan porositas pada retakan yang ada. Pada struktur ini maka air tanah akan mengisi pada celahcelah retakan. Sedangkan pada batuan yang bersifat mudah larut seperti pada batuan karst, porositas akan berada pada rongga-rongga yang ada sehingga air tanah akan bergerak melalui rongga-rongga atau saluran-saluran.

62

63 Pada akuifer ruang antarbutir, air tanah berada dan bergerak di dalam serta melalui ruang-ruang antar butiran tanah dan batuan sehingga aliran yang terjadi termasuk aliran rembesan. Sedangkan pada akuifer bercelah air tanah, air tanah mengalir melalu retakan-retakan, rekahan-rekahan, serta celah-celah batuan sehingga akan mengalir menjadi aliran bertipe rembesan dan kompleks. Berdasarkan agihan batuan penyusun, tipe dan karakteristik hidrolikanya, maka akuifer di Kabupaten Purworejo dapat dibedakan menjadi empat, yaitu : akuifer Purworejo, akuifer Bener, akuifer Bruno dan akuifer Kaligesing. Akifer Purworejo terbentuk oleh 2 kelompok batuan yang tidak resisten yakni alluvium endapan sungai dan limpahan banjir pada bagian tengah, serta alluvium pematang pantai yang berada pada bagian selatan Kabupaten Purworejo. Ditinjau dari mekanisme pelolosan air tanahnya, maka akuifer Purworejo termasuk dalam tipe akuifer ruang antar butir karena mengalirkan air tanahnya melalui ruang-ruang antara butir-butir tanah/batuan. Akuifer Purworejo diperkirakan memiliki ketebalan mencapai 200 meter. Ditinjau dari produktifitasnya, akuifer tipe ini memiliki produktifitas yang tergolong sedang, dengan variasi debit mata-air antara 2-5,5 m 3 /detik. Akuifer Bener termasuk tipe akuifer ruang antarbutir yang tersusun oleh material alluvium endapan sungai dan limpahan banjir dengan pola penyebaran setempat dan tidak meluas. Material utama penyusun akuifer ini meliputi pasir, kerikil, lanau dan lempung. Produktifitas akuifer Bener tergolong sedang-tinggi dengan debit mata air 2-28,5 liter/detik. Pada bagian utara wilayah Purworejo terdapat akuifer Bruno yang tersusun atas batupasir, breksi, konglomerat dan lava. Berbeda dengan kedua akuifer terdahulu, akuifer Bruno termasuk dalam tipe akuifer bercelah dengan aliran air tanah tipe rembesan atau kompleks. Produktifitas akuifer ini tergolong rendahtinggi dengan debit 0,08-46 (liter/detik). Akuifer ini mempunyai sebaran yang luas mendominasi wilayah utara Kabupaten Purworejo. Akuifer Kaligesing berlokasi di bagian timur wilayah Kabupaten Purworejo, dengan sebaran yang relatif luas. Tipe akuifer ini adalah bercelah

64 dengan aliran air tanah tipe rembesan atau kompleks. Produktifitas aliran mata air tergolong rendah-sedang dengan debit berkisar antara 0,02-9 liter/detik. Air tanah bergerak mengikuti gaya gravitasi sehingga akan mengalir dari wilayah perbukitan dan pegunungan di bagian utara dan timur Kabupaten Purworejo menuju ke arah selatan. Ditinjau dari aspek topografi, maka aliran air tanah akan mengalir seiring dengan pola kontur topografinya atau dari wilayah Kecamatan Loano dan Kaligesing di bagian timur menuju ke arah barat di wilayah Kecamatan Gebang, Purworejo dan Bagelen. Arah aliran selanjutnya berbelok arah ke selatan bertemu dengan aliran dari arah utara yaitu dari wilayah Kecamatan Bruno, Gebang, Bener, Pituruh, Kemiri dan selanjutnya bersama-sama menuju ke arah selatan menuju Samudera Hindia melewati wilayah Kecamatan Butuh, Kutoarjo, Bayan, Banyuurip, Purworejo, Grabag, Ngombol dan Purwodadi (RTRW Kabupaten Purworejo Tahun 2009).

65 BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan pada bab bab sebelumnya, penelitian dilakukan untuk mengkaji nilai spektral data citra Landsat 7 ETM+ terhadap kelembaban tanah permukaan serta hubunganya dengan kerapatan vegetasi, temperatur permukaan, dan pengaruh penggunaan lahan dengan kelembaban tanah permukaan Pengolahan Data Citra Landsat 7 ETM Pengisian Gap Citra Landsat 7 ETM+ Pengisian Gap perlu dilakukan karena citra Landsat 7 ETM+ telah mengalami kerusakan pada Scan Line Corecctor sejak tahun Citra Landsat 7 ETM+ setelah tahun 2003 tidak lagi memiliki data perekaman yang sempurna sehingga dipengisian kembali data citra yang hilang akibat kerusakan penting. Citra Landsat 7 ETM+ tahun 2011 telah mengalami keruskan dan data perekaman di daerah penelitian kurang sempurna. Gap citra Landsat 7 ETM+ dapat diperbaiki dengan mengisi data dari perekaman citra Landsat 7 ETM+ yang masih sempurna. Pengisian Gap citra berguna untuk memperoleh data perekaman yang sempurna dari citra Landsat 7 ETM+ yang telah rusak. Proses dalam pengisian Gap citra menggunakan suatu persamaan logika agar data citra Landsat 7 ETM+ yang rusak dapat terisi oleh data citra Landsat 7 ETM+ yang sempurna. Persamaan 3.1. digunakan untuk proses pengisian Gap data citra Landsat 7 ETM+. Pengisian data citra Landsat 7 ETM+ harus dilakukan dengan teliti karena berpengaruh untuk nilai spektral dari masing masing citra Landsat 7 ETM+. Perbedaan nilai spektral dari data yang diisi pasti ada tetapi diharapkan tidak berbeda jauh dengan nilai spektral dari data citra Landsat 7 ETM+ yang akan diisi. Jika perbedaan nilai spektral sangat besar maka akan berpengaruh dalam pemrosesan dan pengolahan data citra Landsat 7 ETM+. Seperti ditunjukan pada Gambar 3.1. dan Gambar 3.2. hasil citra yang telah dilakukan pengisian Gap di daerah penelitian if (i1 > 1) then i1 else i2 (3.1.)

66

67

68 Retorasi Citra Landsat 7 ETM+ Restorasi atau perbaikan citra dilakukan setelah citra Landsat 7 ETM+ memiliki data yang sempurna dan telah terpotong sesuai daerah penelitian. Restorasi citra bertujuan untuk memperoleh data citra yang lebih baik dikarenakan adanya kesalahan kesalahan pada citra. Kesalahan citra dapat disebabkan karena adanya hamburan cahaya matahari maupun awan dan dapat diperbaiki dengan koreksi radiometrik. Kesalahan citra akibat bergesernya posisi permukaan bumi baik secara sistematis maupun non-sistematis dari geometri citra diperbaiki dengan koreksi geometrik. A. Koreksi Radiometrik Metode koreksi geometrik cukup sederhana dan mudah, dengan pengurangn nilai spektral pada citra hasil koreksi sebesar nilai biasnya. Nilai bias diketahui dengan melihat nilai statistik citra maupun dari histogram setiap saluran citra Landsat 7 ETM+. Tabel 3.1. terlihat hasil koreksi radiometrik dari masing masing saluran untuk citra Landsat 7 ETM+. Citra Landsat 7 ETM+ merupakan citra dengan level 1G yang telah terkoreksi radiometrik dan geometrik. Karena telah terkoreksi radiometrik sejak data diperoleh maka koreksi radiometrik tidak perlu dilakukan sampai dua kali. Nilai bias (nilai piksel minimum) telah menunjukan nilai minimal nol ( 0 ) dan tidak semua mengalami koreksi radiometrik hanya pada saluran saluran tertentu seperti: saluran 4, 5, 6, dan 7. Tabel 3.1. Hasil Koreksi Radiometrik Citra Landsat 7 ETM+ Band Nilai Piksel (Min) Nilai Piksel (Max) Band Band Band Band Band Band 6 (Thermal) Band Sumber: Citra Landsat 7 ETM+ Path/Row 120/65 Koreksi radiometrik hanya berguna untuk mengurangi nilai hamburan citra dari gangguan atmosfer tetapi untuk gangguan atmosfer lainnya berupa serapan tidak dapat diperbaiki dengan metode penyesuain histogram.

69 B. Koreksi Geometrik Koreksi geometrik dilakukan untuk memperoleh posisi koordinat citra Landsat 7 ETM+ dimana letal obyek sama dengan letak di peta. Koreksi geometrik dilakukan secara presisi dengan meningkatkan ketelitian geometrik melalui titik kendali atau Ground Control Point (GCP). Koordinat untuk titik kendali dalam koreksi geometrik sebanyak 30 titik (Gambar 3.3.) dengan nilai kesalahan 0,27. Tabel 3.2. memperlihatkaan letak dan posisi titik sampel untuk titik kendali dengan besar kecilnya kesalahan dari tiap titik kendali. Penyimpangan geometrik yang terjadi dari kesalahan sebesar 8,1 meter (0,27 x 30 m). Jarak dari penyimpangan itu perlu diperhatikan dalam mengetahui posisi obyek di lapangan. Sedangkan untuk koreksi geometrik pada citra Landsat 7 ETM+ band thermal menggunakan metode image to image. Metode ini berdasar dari hasil koreksi citra sebelumnya yang digunakan sebagai presisi untuk koreksi citra band thermal. Koreksi untuk band thermal menggunakan citra dikarenakan untuk lebih mudah mengetahui posisi obyek. Band thermal memiliki resolusi yang berbeda sebesar 60 m x 60 m sehingga akan sulit jika dikoreksi melalui peta. Koordinat untuk titik kendali sama sebanyak 30 titik dengan nilai kesalahan 0,25. Jarak penyimpangan terjadi sebesar 15 meter (0,25 x 60 m) yang besarnya kesalahan dipengaruhi dari besarnya resolusi spasial yang dimiliki citra band thermal. Gambar 3.3. Lokasi Titik Kendali dalam Koreksi Geometrik Citra.

70 Tabel 3.2. Hasil Koreksi Geometrik Citra Landsat 7 ETM+ Map X Map Y Image X Image Y Predict X Predict Y Error X Error Y RMS # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # Total RMS Error 0.27 Sumber: Hasil Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ Path/Row 120/ Pemrosesan Citra Landsat 7 ETM Klasifikasi Multispektral Klasifikasi multispektral menggunakan metode Maximum Likelhood dimana klasifikasi dilakukan dengan cara mengevaluasi kuantitatif varian maupun korelasi pola tanggapan spektral pada saat mengklasifikasikan nilai piksel yang tidak dikenal (Purwadhi dan Sajanto, 2008). Klasifikasi bertujuan untuk mendapatkan informasi penutup lahan di daerah penelitian. Tahap awal yang dilakukan dengan mengambil training area dimana sampel tersebar secara

71 normal. Setiap sampel dari training area dikelaskan menjadi satu kelas dengan penamaan penutuplahan. Klasifikasi penutup lahan dibagi menjadi beberapa kelas seperti: Lahan terbangun, lahan terbangun bervegetasi, tanah basah, tanah bervegetasi rendah, tanah bervegetasi sedang, tanah kering, tanah tidak bervegeteasi, tubuh air, dan vegetasi. Klasifikasi penutuplahan divisualisasikan dengan bentuk peta (Gambar 3.4.) supaya lebih dapat memastikan batasan wilayah maupun kenampakan penutuplahan disetiap Kecamatan dan mengetahui luasan dari penutup lahan di wilayah dataran Kabupaten Purworejo. Selain itu hasil klasifikasi untuk penutuplahan dapat dilihat pada Tabel 3.3. dengan jumlah dari masing masing penutuplahan. Penutup lahan lahan terbangun merupakan keadaan tempat permukiman yang digunakan sebagai tempat unyuk beraktifitas dari seluruh penduduk yang ada di wilayah dataran Kabupaten Purworejo. Lahan terbangun yang paling banyak terdapat di Kecamatan Purworejo sebesar 379,18 ha karena Kecamatan tersebut merupakan Ibukota Kabupaten. Selain Kecamatan Purworejo daerah yang kedua terbanyak ialah Kecamatan Ngombol dimana Kecamatan tersebut merupakan daerah yang dekat dengan Kecamatan Kutoarjo. Lahan terbangun untuk Kecamatan Ngombol sebesar 276,59 ha. Lahan terbangun bervegetasi merupakan permukiman yang bukan sebagai pusat dari aktifitas penduduk melainkan permukiman pedesaan dengan halaman yang bervegetasi bermacam macam. Lahan terbangun bervegetasi yang paling dominan berada di Kecamatan Grabag sebesar 2.793,48 ha. Kenampakan yang kedua berada di Kecamatan Butuh sebesar 2.361,61 ha. Lahan terbangun bervegetasi hampir berada di semua Kecamatan di wilayah dataran Kabupaten Purworejo. Tanah basah merupakan kenampakan dari keadaan tanah yang tergenang oleh air dan bukan tubuh air. Tanah basah juga merupakan kenampakan dari keadaan lahan pertanian terutama sawah. Kenampakan yang paling dominan berada di Kecamatan Butuh sebesar 853,82 ha dan yang kedua berada di Kecamatan Grabag sebesar 754,26 ha. Berbeda dengan tanah kering yang merupakan kenampakan dari tanah yang sulit untuk digunakan sebagai lahan pertanian. Tanah kering berada di daerah pinggiran pantai di wilayah dataran

72 Kabupaten Purworejo dan pada tanah kering hampir seluruh tanah merupakan pasir. Tanah kering yang paling dominan berada di Kecamatan Grabag sebesar 133,78 ha. Penutup lahan tanah tidak bervegetasi merupakan lahan pertanian yang belum ditanami oleh padi maupun adanya rumut rumput liar yang tumbuh. Tanah tidak bervegetasi nantinya dapat digunakan untuk lahan pertanian dan berbeda dengan tanah kering yang sulit atau hanya daerah terntentu yang dapat digunakan untuk pertanian ataupun tempat tumbuh tanaman. Tanah tidak bervegetasi yang paling dominan berada di Kecamatan Ngombol sebesar 1.719,91 ha dan tempat yang terbanyak kedua berada di Kecamatan Purwodadi sebesar 988,49 ha. Tanah bervegetasi rendah merupakan kenampakan lahan pertanian yang berupa sawah dengan tanaman yang tumbuh berupa padi muda. Padi yang baru di tanaman memiliki keadaan renggang antara satu dengan yang lainnya sehingga akan tampak lebih sedikit dibandingkan dengan tanah tidak bervegetasi. Tanah bervegetasi rendah dominan berada di Kecamatan Ngombol sebesar 1.872,55 ha dan Kecamatan Banyuurip sebesar 1.828,65 ha. Tanah bervegetasi sedang merupakan kenampakan dari lahan pertanian yang berupa sawah dengan dengan tanaman yang tumbuh berupa padi yang dewasa dan hampir panen. Sehingga tanah bervegetasi sedang dapat dikatakan merupakan lahan pertanian yang ada di wilayah dataran. Tanah bervegetasi sedang yang paling dominan berada di Kecamatan Pituruh sebesar 687,17 ha dan Kecamatan Butuh sebesar 289,91 ha. Berbeda dengan vegetasi yang merupakan kenampakan dari tanaman yang sejenis yang berada di wilayah dataran dan dan letaknya berada hampir diseluruh wilayah walaupun kenampakannya tidak terlalu dominan. Vegetasi berada di Kecamatan Grabag sebesar 265,94 ha dan Kecamatan Kemiri sebesar 234,61 ha kedua Kecamatan tersebut merupakan yang paling dominan untuk kenampakan vegetasi. Penutup lahan terakhir berupa tubuh air yang merupakan kali jati yang berada di Kecamatan Grabag sebesar 154,6 ha dan kali bogowonto di Kecamatan Purwodadi sebesar 108,25 ha. Kenampakan tubuh air berada di seluruh wilayah dataran yang merupakan aliran aliran sungai.

73 Kec PL Lahan Terbangun (ha) Tabel 3.3. Hasil Klasifikasi Penutuplahan Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo Lahan Terbangun Bervegetasi (ha) Tanah Basah (ha) Tanah Bervegetasi Rendah (ha) Tanah Bervegetasi Sedang (ha) Tanah Kering (ha) Tanah Tidak Bervegetasi (ha) Tubuh Air (ha) Vegetasi (ha) Hektare (ha) Total Kilometer Persegi (km 2 ) Bagelen 35,12 917,56 385,83 369,27 82,16 1,08 43,51 23,26 248, ,12 21,06 Banyuurip 228, ,81 201, ,65 229,68 4,77 267,52 47,98 138, ,74 48,09 Bayan 132, ,49 215, ,42 74,96 5,49 209,64 32,44 188, ,01 42,37 Butuh 105, ,31 853,82 954,28 289,91 4,23 74,37 54,53 204, ,5 49,02 Gebang 40, ,29 479,58 460,71 25,14 0,72 4,96 6, ,33 27,55 Grabag 241, ,48 754, ,86 240,63 133,78 444,31 154,6 265, ,26 67,50 Kaligesing 0 1,63 0,81 0, ,96 3,71 0,03 Kemiri 52, ,5 478,86 389,46 172,73 0,8 5,44 13,72 234, ,05 32,97 Kutoarjo 200, ,18 406,31 975,92 142,03 4,41 197,22 30,41 94, ,06 35,34 Loano 1,73 15,81 20,79 7,6 0,73 0,33 2,83 4,2 54,02 0,54 Ngombol 276, ,42 165, ,55 164,91 56, ,91 92,17 36, ,92 59,07 Pituruh 47, ,81 365, ,27 687,17 1,89 89,07 33,73 119, ,58 41,20 Purwodadi 157, ,87 267,6 1791,3 218,46 31,54 988,49 108,25 164, ,44 55,73 Purworejo 379, ,63 402,09 937,08 69,95 5,76 31,92 26,16 208, ,44 35,66 Total 1.898, , , , ,46 250, ,69 626, , ,18 516,18 Sumber: Hasil Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+

74

75 Hampir dari seluruh Kecamatan memiliki luasan akan penutuplahan tetapi terdapat satu Kecamatan yang sangat sedikit memiliki penutup lahan. Kecamatan Kaligesing merupakan Kecamatan dengan jumlah penutuplahan yang sedikit. Hal itu dikarenakan daerah penelitian untuk Kecamatan Kaligesing hanya sedikit sekali di wilayah dataran Kabupaten Purworejo. Sehingga nilai nol ( 0 ) bukan berarti bahwa Kecamatan Kaligesing tidak memiliki hanya tidak termasuk kedalam daerah penelitian Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Kerapatan vegetasi merupakan kenampakan yang bertujuan untuk mengkelompokan vegetasi berdasarkan pantulan saluran merah dan saluran inframerah dekat. Nilai spektral untuk kerapatan vegetasi 1 menunjukan banyak vegetasi tumbuh, sedangkan -1 menunjukan sangat sedikit vegetasi tumbuh. Hasil kerapatan vegetasi citra Landsat 7 ETM+ diketahui nilai spektral -0,513 dan 0,546 dengan rata rata 0,101. Nilai -0,513 menunjukan bahwa vegetasi daerah penelitian khususnya wilayah dataran memiliki vegetasi yang tumbuh dengan intensitas kanopi yang kecil. Nilai 0,546 menunjukan vegetasi memiliki tutupan kanopi besar. Keadaan vegetasi seperti itu terlihat dengan dilakukan kerja lapangan di daerah penelitian. Kerapatan vegetasi di wilayah dataran tampak beraneka ragam terlihat pada Gambar 3.5. Kerapatan vegetasi dikelaskan menjadi lima kelas untuk masing masing kerapatan yang berbeda beda agar lebih mudah untuk dikenali dan dilakukan pengecekan lapangan. Vegetasi yang telah diproses dengan transformasi khusus memiliki beberapa faktor yang mempengaruhi pemrosesan seperti keadaaan vegetasi itu sendiri sewaktu direkam oleh citra satelit karena dapat mempengaruhi nilai spektral yang ada. Selain itu hanya band inframerah dekat dan band merah yang lebih maksimal menangkap kenampakan vegetasi. Kelas kerapatan sangat rendah diartikan tidak memiliki vegetasi karena berada di daerah aliran sungai ataupun genangan air dan lahan pertanian yang tergenang oleh air. Kenampakan tersebut diyakinkan dengan pengecekan lapangan di kali bogowonto yang merupakan sungai besar dan berbatasan langsung terhadap air

76

77 laut tetapi untuk aliran - aliran sungai kecil memiliki kerapatan vegetasi yang bervariasi. Kelas kerapatan rendah merupakan aliran sungai kecil dan merupakan lahan pertanian dengan tanaman padi yang baru tanam maupun tegalan yang tidak banyak ditanami dengan keadaan tutupan kanopi kecil. Kelas kerapatan sedang merupakan tanaman padi dengan keadaan hampir siap panen karena kanopi yang dimiliki satu dengan yang lain rapat, tetapi memiliki pantulan spektral kurang tinggi. Kurangnya pantulan spektral akibat pengaruh tanaman padi yang sudah mulai berwarna kuning. Keadaan lahan pertanian dari kelas kerapatan rendah hingga kelas kerapatan sedang berpotensi cepat berubah dari keadaan vegetasi. Pengecekan lapangan dilakukan untuk mengetahui keadaan tersebut dan sebagian masih sesuai dengan hasil pemrosesan, walaupun beberapa sisi dari kerapatan vegetasi berbeda tetapi tidak terlalu signifikan. Kelas kerapatan tinggi ialah vegetasi di sekitar permukiman masyarakat karena banyak permukiman memiliki halaman yang luas dan tutupan kanopi lebat. Kenampakan dari permukiman lebih didominasi oleh vegetasi disekitarnya karena penyerapan vegetasi terhadap pantulan spektral lebih tinggi pada band inframerah dekat dan band merah. Kelas kerapatan sangat tinggi merupakan dominan dari perbukitan, tetapi pada penelitian yang dilakukan perbukitan tidak terlalu difokuskan. Beberapa tempat terdapat kerapatan vegetasi yang tampak homogen dengan vegetasi tinggi dan tutupan kanopi besar sehingga sangat sedikit sekali cahaya matahari dapat menembus hingga ke permukaan tanah Aplikasi Penginderaan Jauh Thermal Sistem thermal dalam penginderaan jauh dapat memberikan informasi temperatur permukaan suatu daerah. Temperatur permukaan yang dihasilkan oleh citra Landsat 7 ETM+ memiliki kesalahan disebabkan dari gangguan atmosfer saat perekaman. Temperatur permukaan itu dapat dikoreksi dengan melihat data pembanding untuk daerah penelitian supaya perbedaan tinggi rendah temperatur terlihat.

78 Temperatur permukaan berdasarkan pengolahan data citra Landsat 7 ETM+ memiliki temperatur minimum 19 C dan maksimum 34 C. Hasil temperatur permukaan dari pengolahan masih dipengaruhi keadaan citra dan kenampakan permukaan bumi. Citra satelit saat melakukan perekaman memantulkan sinar dari beberapa objek permukaan bumi kembali ke citra satelit dan membuat data perekaman lebih dari keadaan yang sebenarnya. Keadaan tersebut memerlukan data pembanding yang baik untuk temperatur permukaan agar diketahui kisaran temperatur yang dihasilkan berbeda jauh atau tidak. Jika dilakukan pengecekan di lapangan temperatur permukaan akan berbeda yang dipengaruhi oleh keadaan iklim dan cuaca saat pengecekan lapangan dan keadaan tersebut berbeda ketika citra merekam permukaan bumi (daerah penelitian). Data pembanding diperoleh menyebutkan bahwa keadaan temperatur permukaan dengan ketinggian lebih kurang 200 di atas permukaan laut (dpal) berkisar antara C. Perbedaan temperatur permukan dengan hasil pengolahan dikarenakan pengukuran temperatur yang berbeda bulan dan hari. Temperatur permukaan di daerah dataran memiliki kisaran lebih kurang sama terlihat pada Gambar 3.6. Daerah yang memiliki temperatur permukaan tinggi berada di daerah pantai. Daerah pantai memiliki tanah yang dominan pasir dan memiliki kemampuan menghamburan sinar datang sehingga akan terlihat lebih panas saat perekaman dilakukan. Hal itu dipengaruhi dari ukuran partikelnya dan ditunjang keadaan yang dekat dengan air laut sehingga temperatur permukaan berada diatas 27 C, walaupun tidak dominan berada disepanjang pantai karena terpengaruh dari vegetasi yang tumbuh disekitarnya. Temperatur permukaan untuk daerah permukiman tidak berbeda dengan daerah pantai karena ditunjang keadaan permukiman yang padat dengan temperatur berada diatas 28 C. Daerah lahan pertanian keadaan temperatur permukaan sering berubah ubah dikarenakan aspek vegetasi. Perbedaan ada atau tidak ada vegetasi tidak berbeda jauh karena vegetasi yang tumbuh tidak terlalu memiliki kanopi yang besar sehingga temperatur permukaan dari lahan pertanian berada diantara C.

79

80 Temperature-Vegetation Dryness Index (TVDI) Kelembaban tanah permukaan merupakan indeks kekeringan yang diperoleh dari faktor kerapatan vegetasi dan temperatur permukaan. Kelembaban tanah permukaan dari data citra Landsat 7 ETM+ diketahui dengan melihat nilai spektral dan mengacu dengan teori dasar. Nilai spektral data citra Landsat 7 ETM+ memiliki nilai minimum 0,002 menunjukan bahwa kadar kelembaban tanah sangat melimpah, sedangkan nilai maksimum 1,000 menunjukan kadar kelembaban tanah permukaan tidak ada. Setiap nilai spektral akan mempresentasikan keadaan kelembaban tanah permukaan di daerah penelitian. Nilai spektral sangat basah memiliki rentang nilai 0 0,2, basah berada di rentang nilai 0,2 0,4, sedang berada di rentang 0,4 0,6, kering memiliki rentang 0,6 0,8, dan sangat kering berada di rentang nilai spektral 0,8 1. Nilai spektral itu mempresentasikan dari kelas kelas kelembaban tanah permukaan yang telah dihasilkan dari metode penginderaan jauh. Kelembaban tanah permukaan wilayah dataran Kabupaten Purworejo dikelaskan menjadi lima kelas yaitu kelas kelembaban sangat basah, kelas kelembaban basah, kelas kelembaban sedang, kelas kelembaban kering, dan kelas kelembaban sangat kering. Setiap kelas kelembaban tanah permukaan ditampilkan dalam sebuah peta (Gambar 3.7.). Kelas kelembaban sangat basah merupakan daerah yang memiliki kapasitas air sangat banyak seperti kali jali. Kelas sangat basah sangat jarang ditemukan di daerah dataran kecuali dengan keadaan air yang tergenang dan dapat diasumsikan jika kelembaban tanah sangat basah dominan berarti daerah tersebut pernah mengalami banjir atau tergenang di permukaan sehingga air yang meresap kedalam tanah sangat lama. Kelas kelembaban basah sangat banyak ditemukan di Kecamatan Banyuurip, Kecamatan Purwodadi, Kecamatan Ngombol, Kecamatan Purworejo, Kecamatan Grabag, dan Kecamatan Pituruh menyebar dari wilayah timur hingga sedikit ke arah barat. Kelas kelembaban basah merupakan kenampakan dari penggunaan lahan padi yang terdapat genangan air sebagai media tumbuh tanaman padi yang telah ditanam cukup lama (hampir panen) maupun lahan yang baru ditanam padi sehingga dipastikan tanah lebih dari lembab.

81

82 Kelas kelembaban sedang dan kelas kelembaban kering banyak meliputi daerah permukiman dari wilayah bagian utara hingga wilayah selatan dari Kabupaten Purworejo. Keadaan yang membedakan dari kedua kelas tersebut ialah vegetasi yang tumbuh. Kelas kelembaban sedang memiliki tumbuhan yang menutup tanah dari sinar matahari. Sinar matahari tidak terlalu menembus secara langsung ke tanah walaupun pada saat tertentu sinar matahari langsung menyinari, sedangkan untuk kelas kelembaban kering tumbuhan yang tumbuh sangat jarang dan berupa belukar. Kelas kelembaban sangat kering terlihat berada di daerah pantai Kabupaten Purworejo. Pada peta (Gambar 3.7.) menunjukan persebaran yang sangat sedikit dikarenakan dengan melihat tekstur yang ada berupa pasir. Daya serap pasir sangat cepat walaupun terdapat vegetasi yang tumbuh berpengaruh sedikit banyak dari air yang diserap. Kelas sangat kering merupakan kenampakan dimana daerah merupakan lahan yang sangat sedikit vegetasi tumbuh dan mendapat sinar matahari secara langsung saat cuaca cerah tanpa awan maupun saat keadaan hujan. Hasil pemrosesan dengan transformasi TVDI menghasilkan keadaan kelembaban tanah permukaan saat perekaman citra itu dilakukan. Kelembaban tanah permukaan untuk penelitian ini masih belum dapat digunakan untuk jangka waktu panjang, sehingga dibutuhkan data time series dari pemrosesan kelembaban tanah permukaan dari bulan kering ke bulan basah ataupun bulan basah ke bulan kering. Data tersebut akan menunjukan perbedaan bagaimana kelembaban tanah permukaan saat musim penghujan dan musim kemarau. Tetapi dalam pemrosesan kelembaban tanah permukaan hasil yang telah diperoleh dapat dijadikan sebagai data pendukung untuk mengetahui keadaan kelembaban tanah permukaan dan hasil tersebut merupakan pengolahan pada musim penghujan. Perbedaan tersebut akan diketahui seberapa signifikan penuruan dan kenaikan kelembaban tanah permukaan. Sehingga tanah akan lebih maksimal untuk pengolahan baik dalam bidang pertanian maupun non-pertanian.

83 3.2. Hasil Penyadapan Nilai Spektral dan Pengambilan Sampel Lapangan Penyadapan nilai spektral dari hasil pengolahan data citra Landsat 7 ETM+ ditentukan untuk memilih lokasi titik sampel. Titik sampel ditentukan berdasarkan kriteria kelembaban tanah permukaan, kerapatan vegetasi, dan temperatur permukaan dari masing - masing nilai spektral. Selain itu, aksesibilitas dan jenis tanah menjadi faktor pendukung untuk memperoleh sampel yang diinginkan. Jumlah titik sampel yang ditentukan untuk penelitian sebanyak 33 titik sampel dengan 11 sampel untuk uji laboratorium seperti pada Gambar 3.8. Penyadapan nilai spektral juga digunakan untuk analisis statistik terhadap hubungan kelembaban tanah permukaan dengan kerapatan vegetasi, temperatur permukaan, dan penggunaan lahan. Pengambilan sampel tanah pada lokasi titik titik sampel telah ditentukan, selanjutnya melakukan pengecekan dengan kerja lapangan. Kerja lapangan dilakukan selama 4 hari dengan pertimbangan bahwa lingkungan saat itu tidak jauh berbeda dengan waktu perekaman. Pengukuran kelembaban tanah permukaan dilakukan pada penggunaan lahan dari nilai spektral kelembaban tanah permukaan. Sampel yang berupa kenampakan penggunaan lahan permukiman padat sulit untuk mengambil contoh tanah. Tanah daerah permukiman memiliki keadaan tanah sangat keras (padat) tetapi pengukuran kelembaban tanah permukaan secara langsung dapat dilakukan. Pengukuran kelembaban tanah permukaan dilapangan dilakukan dengan Soil Moisture Tester. Alat pengukuran tersebut dapat mengukur kelembaban tanah permukaan < 10 cm dan secara langsung terbaca kadar kelembaban tanah permukaan.informasi kelembaban tanah permukaan berupa kadar kelembaban tanah permukaan dicek secara langsung dilapangan. Selain kadar kelembaban tanah permukaan informasi lainnya berupa warna tanah, tekstur tanah, struktur tanah, dan kadar kelembaban tanah permukaan secara laboratorium.

84

85 Kelembaban Tanah Lapangan (%) 3.3. Pembahasan dan Analisis Data Hubungan Nilai Spektral dengan Kelembaban Tanah Permukaan di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo. Kelembaban tanah permukaan memiliki nilai spektral terlebih tanah sendiri memiliki nilai pantulan spektral jika direkam. Pantulan spektral dipengaruhi dari beberapa faktor diantaranya tekstur tanah, ukuran partikel tanah, dan kandungan bahan organik dari tanah. Faktor faktor tersebut diperhitungkan untuk mengetahui keadaan tanah saat dilakukan interpretasi. Pada penelitian yang dilakukan menggunakan transformasi yang menggabungkan dua variabel berbeda sehingga faktor - faktor nilai spektral sedikit banyak berkurang dalam penggunaan transformasi yang dilakukan. Hubungan keadaan kelembaban tanah permukaan di lapangan dapat digambarkan dengan sebuah garis linier seperti pada Gambar 3.9. dimana dalam garis linier tersebut memiliki hubungan yang berbanding terbalik antara nilai spektral hasil transformasi dengan kelembaban tanah permukaan lapangan di wilayah dataran Kabupaten Purworejo TVDI (Nilai Piksel) Gambar 3.9. Hubungan Garis Liner antara TVDI dengan Kelembaban Tanah Lapangan

86 Gambar 3.9. memperlihatkan bahwa nilai kelembaban tanah permukaan di lapangan saat pengukuran sebesar 100% dan paling rendah ialah 0%. Nilai kelembaban tanah permukaan tersebut diikuti dengan kenaikan nilai spektral yang berarti tidak memiliki ketersedian air didalam tanah dalam keadaan tertentu dari permukaan. Nilai TVDI semakin besar akan memberikan penurukan dari kelembaban tanah permukaan. Nilai spektral yang dimiliki saat pengolahan merupakan interpretasi dari keadaan di lapangan yang sangat kering hingga sangat basah. Grafik nilai piksel (spektral) 0 merupakan daerah yang memiliki ketersedian air yang sangat melimpah seperti sungai ataupun daerah genangan air. Nilai piksel 0,8 hingga 1 merupakan gambaran dari keadaan kelembaban tanah yang sangat kering dengan ketersedian air sangat kecil sekali. Nilai piksel 0,4 0,6 dapat diinpretasikan bahwa di lapangan sedang. Keadaan sedang dari kelembaban tanah sulit diartikan karena jika memiliki kandungan air dapat masuk ke dalam kelembaban tanah basah dan jika sinar matahari langsung menyinari maka memiliki kelembaban tanah kering sehingga kelembaban tanah sedang merupakan proses dari penyerapan air ke dalam tanah. Kelembaban tanah sangat dipengaruhi dari jenis tanah karena mempengaruhi gerak kelembaban tanah permukaan itu sendiri untuk masuk kedalam tanah. Setiap tanah memiliki waktu yang berbeda beda dalam pergerakan air kedalam tanah. Oleh karena itu, dalam pengecekan terdapat perbedaan dengan hasil pengolahan dikarenakan data citra yang digunakan merupakan bulan Februari. Bulan februari sebagian besar telah melakukan masa panen untuk daerah lahan pertanian sawah sehingga banyak tanah sawah yang perlu diistirahatkan untuk dapat dipergunakan lagi. Pengecekan lapangan dilakukan tiga (3) bulan setelahnya walaupun sebagian besar masih cocok dari hasil pengolahan citra. Keadaan dari nilai piksel dan kelembaban tanah permukaan yang membuktikan bahwa telah sesuai dan membenarkan teori dasar. Nilai piksel 1 menggambarkan keadaan tanah yang tidak atau kurang memiliki kadar air hingga nilai 0 yang memiliki kadar air yang melimpah di dalam tanah maupun berada di atas tanah (Witter, 2004 dalam Nashrullah dkk, 2008). Terdapat beberapa anomali

87 dalam hasil pengolahan untuk menghasilkan nilai piksel. Anomali yang ada diantaranya kenampakan awan yang memiliki kandungan air sangat banyak dan mudah untuk dideteksi oleh citra dalam pengolahan dibandingkan dengan tanah yang menyimpan kadar air. Kenampakan tersebut dapat dikurangi dengan menghilangkan (tresholding) kenampakan awan terlebih dahulu untuk memperoleh nilai piksel yang mempresentasikan kelembaban tanah di lapangan. Hubungan antara nilai piksel dengan kelembaban tanah permukaan diperkuat dengan analisis statistik Correlations (Tabel 3.4.). Metode korelasi sederhana merupakan salah satu cara untuk mengetahui seberapa besar hubungan keduanya saling mempengaruhi. Tabel 3.4. Korelasi antara Nilai Piksel dengan Kelembaban Tanah Permukaan di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo Correlations Citra Lapangan Citra Pearson Correlation ** Sig. (2-tailed).000 N Lapangan Pearson Correlation ** 1 Sig. (2-tailed).000 N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Sumber: Hasil Pengolahan Data Statistik Citra Landsat 7 ETM+ dan Kerja Lapangan Tahun 2011 Korelasi dari nilai piksel hasil pengolahan dengan kelembaban tanah permukaan memiliki nilai korelasi ( r ) = dari 27 sampel yang dapat digunakan. Nilai korelasi tersebut menunjukan angka negatif berarti bahwa semakin besar nilai piksel maka di ikuti dengan penurunan kadar kelembaban tanah permukaan di lapangan atau dapat dikatakan hubungan keduanya tak searah (Gambar 3.8.). Korelasi dari kedua hubungan tersebut sangat kuat karena hampir mendekati nilai 1 dengan tingkat signifikan yang kuat. Metode korelasi yang digunakan merupakan metode Pearson Product Moment untuk mengukur

88 Temperatur Permukaan (TS) hubungan dari dua variabel. Hasil analisis statistik tersebut dapat menggambarkan bahwa pengolahan menggunakan data citra Landsat 7 ETM+ masih sangat baik /akurat untuk pengukuran kelembaban tanah walaupun terbatas dari keadaan faktor yang mempengaruhi di dalam pengolahan Hubungan Kelembaban Tanah Permukaan Terhadap Kerapatan Vegetasi dan Temperatur Permukaan di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo. Vegetasi dan temperatur permukaan merupakan dua faktor yang menentukan kelembaban tanah permukaan dalam proses evaporasi dan evapotranpirasi. Keadaan vegetasi dan temperatur diperlihatkan dari proses yang telah dilakukan dan dapat lebih dipahami dengan memperlihatkan Gambar yang dapat ditunjukan bahwa dalam vegetasi telah dibatasi dengan nilai minimun menjadi nol (0). Pembatasan nilai piksel tersebut digunakan untuk lebih obyektif karena nilai piksel dibawah nol dalam vegetasi diartikan merupakan nilai nol itu sendiri yang berarti kerapatan vegetasi tidak terlalu lebat dalam area tertentu Kerapatan Vegetasi (NDVI) Gambar Hubungan Garis Linier antara NDVI dengan Temperatur di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo

89 Gambar jelas menunjukan hasil yang hampir sama dengan gambar 1.10 dimana sumbu Y tersebut merupakan temperatur permukaan dan sumbu X merupakan kerapatan vegetasi. Garis linier merperlihatkan arah hubungan yang berbanding terbalik. Hubungan itu berarti bahwa semakin besar temperatur permukaan maka vegetasi yang tumbuh semakin kecil, sebaliknya semakin banyak vegetasi yang tumbuh maka temperatur permukaan kecil. Temperatur permukaan terlihat pada gambar bahwa nilai tertinggi dengan suhu 34 C dan kerapatan vegetasi yang paling tinggi berada pada nilai piksel 0,54 (tutupan kanopi lebat). Jadi hubungan kerapatan vegetasi dan temperatur permukaan terbukti mempengaruhi kelembaban tanah permukaan dan hal tersebut merupakan sesuai dengan teori dasar yang ada. Tabel 3.5. Regresi linier sederhana antara TVDI dengan NDVI di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo Model Summary Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate a a. Predictors: (Constant), NDVI Model Coefficients a Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients B Std. Error Beta 1 (Constant) NDVI a. Dependent Variable: TVDI Sumber: Hasil Pengolahan Data Statistik Tahun 2011 t Sig. Analisis statistik untuk mengetahui pengaruh dari kerapatan vegetasi terhadap kelembaban tanah permukaan salah satunya menggunakan metode regresi linier sederhana yang terlihat pada Tabel 3.5. Coefficients. Nilai signifikan 0,01 < 0,05 dalam tabel Coefficients artinya memiliki hubungan dan hubungan tersebut kuat. Selain itu juga memiliki persamaan regersi yaitu Y = 0,425+0,668X dimana konstanta 0,425 memiliki arti jika NDVI nilainya 0 maka untuk output (Y) nilainya akan negatif yaitu 0,425. Sedangkan koefisien regresi sebesar 0,668 maksudnya ialah NDVI mengalami kenaikan 1% maka hasil output (Y)

90 mengalami kenaikan sebesar 0,668%. Tabel Model Summary menunjukan seberapa besar pengaruh (R Square) NDVI terhadap kelembaban tanah permukaan yang terlihat pada hasil analisis statistik yaitu 0,357 atau 35,7%. Nilai tersebut berarti bahwa NDVI mempengaruhi kelembaban tanah permukaan sebesat 35,7% dan sisanya 64,3% dipengaruhi oleh faktor yang lain selain NDVI. Selain itu nilai korelasi ( r ) = 0,598 membuktikan NDVI dengan kelembaban tanah permukaan memiliki hubungan searah yang artinya bahwa semakin tinggi tingkat kerapatan vegetasi maka memberi pengaruh yang tinggi pula terhadap kadar kelembaban tanah permukaan dan hubungan keduanya sedang. Dari analisis tersebut dapat terlihat bahwa banyak faktor yang mempengaruhi kelembaban tanah dan temperatur permukaan. Salah satu dari faktor tersebut karena NDVI bukan yang paling dominan dalam mempengaruhi kelembaban tanah permukaan. Analisis statistik untuk temperatur permukaan dengan kelembaban tanah permukaan dapat terlihat dari keadaan kerapatan vegetasi. Selain itu dapat terlihat dari data suhu permukaan pada Tabel 2.3. dimana wilayah dataran berada di suhu 21,81 30,87 C. Keadaan suhu permukaan tersebut maka wilayah dataran memiliki keadaan vegetasi yang tidak terlalu banyak terlebih di daerah pantai dengan keadaan tanah yang dominan merupakan pasir. Temperatur permukaan tersebut akan lebih mempercepat proses evaporasi dan proses evapotranspirasi karena temperatur itu sangat panas. Temperatur tidak akan selalu kosntan bisa turun maupun naik sehingga temperatur merupakan faktor yang tidak bisa diatur baik menambah atau mengurangi dalam mempengaruhi kadar kelembaban tanah permukaan. Oleh karena itu, hanya beberapa faktor tertentu yang dapat dirubah untuk mengatur kadar kelembaban tanah permukaan seperti vegetasi. Keadaan temperatur permukaan dilihat dari analisis statistik dimana analisis tersebut hanya untuk mengetahui seberapa besar kontribusi terhadap kadar kelembaban tanah permukaan dari pengolahan yang dilakukan. Tabel 3.6. Regresi linier sederhana antara TVDI dengan TS di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo Model Summary Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate a a. Predictors: (Constant), TS Sumber: Hasil Pengolahan Data Statistik Tahun 2011

91 Tabel 3.6. Model Summary menampilkan seberapa besar pengaruh (R Square) tamperatur permukaan terhadap kelembaban tanah permukaan yaitu 0,346 atau 34,6%. Temperatur permukaan dan kerapatan vegetasi merupakan faktor dengan pengaruh yang hampir sama terhadap kadar kelembaban tanah permukaan. Total pengaruh keduanya sebesar 70,3% serta sisanya 29,7% merupakan faktor internal dari tanah itu sendiri dalam mempengaruhi kadar kelembaban tanah permukaan. Nilai korelasi ( r ) = 0,588 membuktikan memiliki kekuatan hubungan sedang dan memiliki pengaruh yang searah terhadap kelembaban tanah permukaan. Hal ini menunjukan keadaan yang sama dengan kerapatan vegetasi oleh karena itu, mengetahui kerapatan vegetasi dapat pula mengetahui keadaan temperatur permukaan dengan melihat tingkat kerapatan dan tutupan kanopi dari vegetasi yang tumbuh Hubungan antara Kelembaban Tanah Permukaan dengan Penggunaan Lahan di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo. Kelembaban tanah permukaan memiliki perbedaan dengan setiap penutup lahan atau penggunaan lahan di wilayah dataran. Hal itu terlihat dari hasil analisis statistik tetapi setiap penggunaan lahan memiliki rata rata dan jika kadar kelembaban tanah permukaan melebihi dari keadaan rata rata berarti terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keadaan tersebut. Tabel 3.7. Kelembaban Tanah Permukaan pada Penggunaan Lahan di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo Descriptive Statistics N Range Min Max Mean Std. Deviation Permukiman Sawah Campuran Tanaman Tegalan Belukar Lahankosong Tubuhair Sumber: Hasil Kerja Lapangan Tahun 2011

92 Tabel 3.7. Descriptive Statistics terlihat bahwa dari 33 sampel telah dilakukan pengukuran pada penggunaan lahan. Sampel lahan sawah paling banyak dilakukan dikarenakan sebagian besar wilayah dataran dipergunakan untuk penggunaan lahan persawahan. Setiap kadar kelembaban tanah diharapkan mewakili penggunaan lahan yang ada di wilayah dataran walaupun tidak semua jenis penggunaan lahan belum teridentifikasi. Kelembaban tanah permukaan pada tegalan sebesar 87,5% dan hanya terdapat 1 sampel dimana letak tegalam hampir sebagian besar berada di dekat aliran sungai. Tegalan memiliki keadaan tanah permukaan cepat mengalami kerut terlihat dengan adanya retakan retakan tanah tetapi kandungan air didalamnya banyak (basah) karena dekat dengan aliran sungai terlebih keadaan vegetasi yang rendah hingga cahaya matahari selalu menyinari permukaan tanah tersebut. Sehingga dapat dipastikan bahwa kelembaban tanah permukaan untuk daerah tegalan yang disekitar aliran sungai berada diatas 80%. Kelembaban tanah untuk belukar sekitar 12,5% dan merupakan penggunaan lahan yang ditumbuhi oleh vegetasi yang liar. Sebagian besar belukar terdapat di daerah dekat pantai atau aliran sungai jali bagian selatan dengan keadaan tanah yang berupa pasir. Selain itu belukar tidak terlalu membutuhkan banyak penyerapan air sehingga tumbuh didaerah dengan kelembaban tanah yang kering hingga sangat kering. Kelembaban tanah permukaan untuk tubuh air dapat dipastikan bahwa memiliki kandungan air paling besar yaitu 100%. Hal itu dapat langsung terlihat seperti di kali jati dan kali bogowonto yang selalu pasang dan jarang sekali surut dan hanya mempengaruhi keadaan sekitarnya seperti vegetasi dan tanah. Kelembaban tanah permukaan untuk tanaman dalam hal ini merupakan tanaman jagung,tebu, cabai, dan semangka. Sampel yang dilakukan untuk pengukuran sebanyak 2 sampel tetapi dapat memberikan keadaan untuk semua kelembaban tanah permukaan pada tanaman di wilayah dataran. Hampir seluruh tanaman tersebut berada di sebelah selatan Kabupaten Purworejo dan media tanah yang digunakan hampir menyerupai pasir dan memiliki partikel untuk meloloskan air sangat besar. Tanaman tersebut jika ditanam menggunakan media tanah seperti pasir mempunyai kandungan kelembaban tanah dari keadaan kering hingga sangat

93 kering. Kandungan air tanah pasir tidak akan melebihi dari 30%. Oleh karena itu, tanaman tersebut terus dilakukan penyiraman untuk mempertahankan kandungan air didalam tanah dan jika panen tanah diistiratkan dan menjadi lahan kosong dan banyak sekali sisa sisa pemanenan dengan membakar lahan tersebut. Lahan kosong sulit untuk didefinisikan bagaimana keadaan yang dimaksud dengan lahan kosong. Lahan kosong tidak sepenuhnya berupa tanah lapang tanpa tumbuhan melainkan terdapat vegetasi yang tumbuh dilihat dari letak dan keberadaan lahan kosong. Jika lahan kosong berada disekitar daerah pantai dan benar benar tidak dimanfaatkan berarti keadaan internal tanah di lahan kosong tersebut memang belum dapat dioptimalkan. Sebaliknya jika lahan kosong merupakan lahan yang tadinya digunakan sebagai tempat untuk melakukan aktifitas seperti pertanian maka lahan tersebut hanya diistirahatkan hal seperti itu sulit untuk diketahui kadar kelembaban tanah yang sesungguhnya. Sampel dari lahan kosong menunjukan bahwa lahan kosong sebagian besar berada di daerah yang sulit terjangkau oleh aktifitas manusia. Kadar kelembaban tanah permukaan lahan kosong berada pada keadaan sangat kering dengan vegetasi yang tumbuh sangat jarang. Keadaan lahan kosong berbeda jika berada di dekat lahan permukiman karena memiliki kelembaban tanah permukaan yang berbeda dengan cakupan vegetasi yang rendah. Kelembaban tanah permukaan untuk penggunaan lahan permukiman dan campuran memiliki keterkaitan karena identifikasi penggunaan lahan campuran merupakan keadaan vegetasi yang tumbuh di sekitar permukiman itu sendiri dengan berbagai macam vegetasi dan bukan merupakan untuk pertanian. Kelembaban tanah dari penggunaan lahan campuran konstan yaitu 50% dan termasuk kelembaban tanah kering. Penggunaan lahan campuran merupakan vegetasi yang tumbuh tidak terlalu tinggi dan menyebar sehingga cahaya matahari dapat masuk ke permukaan tanah dan didukung keadaan temperatur permukaan yang panas untuk mempercepat evaporasi dan evapotranspirasi. Permukiman sendiri memiliki kelembaban tanah rata rata yaitu 64,5% dan termasuk sedang. Lingkungan sekitar dari permukiman mempengaruhi kelembaban tanah permukaan itu sendiri karena dengan keadaan permukiman yang padat dipastikan

94 memiliki kelembaban tanah permukaan kering. Tanah yang disekitar permukiman sulit menyerap air dan sebagian besar menjadi limpasan permukaan dan cepat mengalami evaporasi. Sebaliknya jika permukiman memiliki keadaan lingkungan dengan vegetasi minimal sedang akan memberikan pengaruh besar untuk kelembaban tanah permukaan karena tanah lebih lama mengalami proses evaporasi sehingga air memiliki waktu untuk masuk kedalam partikel partikel tanah dengan waktu yang berbeda beda. Keadaan tersebut akan membuat lingkungan permukiman bisa memiliki kelembaban tanah permukaan basah bukan berarti akan tergenang air. Penggunaan lahan terakhir merupakan sawah dengan tanaman utama padi. Melihat bahwa untuk wilayah dataran memiliki beberapa jenis tanah seperti alluvial, regosol, dan latosol. Semua jenis tanah tersebut akan berpengaruh untuk semua penggunaan lahan tetapi untuk sawah lebih berperan banyak terutama kelembaban tanah permukaan. Sawah memiliki beberapa tahap dalam pengolahan maupun masa penanaman padi. Jika sawah dalam tahap penanaman maka keadaan tanah sawah akan berbeda dikarenakan saat pengolahan tanah dengan cara dibajak akan membuat keadaan tanah berubah dari profil tanahnya. Selanjutnya dilakukan pengairan dan jika keadaan tersebut terekam oleh citra maka tampak seperti tubuh air ataupun memiliki kelembaban tanah yang sangat basah terlebih tidak ada tanaman yang tumbuh. Sawah akan memiliki perbedaan lagi jika telah ditanam padi dan tumbuh hingga menjadi padi muda. Keadaan kelembaban tanah permukaan akan berbeda pula karena padi lebih banyak menyerap air dan dapat menjadi kelembaban tanah kering hingga sedang tetapi hal tersebut dapat berlaku jika petani tidak melakukan pengairan. Jika sawah telah masuk masa panen maka keadaan kelembaban tanah permukaan lebih berbeda karena padi telah dipanen dan tanah yang dibawahnya digunakan untuk pijakan dalam memanen. Pijakan tersebut mempengaruhi kelembaban tanah permukaan terlebih temperatur permukaan akan lebih dominan karena evaporasi lebih besar dan kelembaban tanah permukaan sawah bisa menjadi kering. Sebagian tanah sawah merupakan tanah yang dapat lebih lama menahan air dipermukaan. Jika ada masukan air akan lebih lama tertampung sehingga sawah kosong bisa menjadi genangan dan hal

95 tersebut dapat membantu pemulihan dari tanah sawah untuk dilakukan pengolahan kembali. Perbedaan kelembaban tanah permukaan di setiap penggunaan lahan dipengaruhi dari vegetasi yang tumbuh disekitar dan temperatur permukaan, untuk keadaan permukiman maupun lahan yang tidak dipergunakan untuk lahan pertanian. Sebaliknya untuk lahan pertanian terutama sawah dipengaruhi oleh perilaku petani terhadap lahan sawah dan jenis tanah. Sebagian besar sawah berada di tanah alluvial, dan tanah latosol walaupun terdapat di tanah regosol yang didominasi oleh pasir. Tanah sawah regosol tersebut tidak murni ditanam pada media tanah seperti pasir melainkan ada pembentukan profil tanah dengan menambahkan tanah yang sama dengan tanah sawah yang seharunya. Sehingga sawah dapat tumbuh untuk kelembaban tanah permukaan dan memiliki siklus yang hampir sama dengan tanah aluvial dan latosol. Peranan vegetasi dan temperatur permukaan dalam mempengaruhi kelembaban tanah permukaan di setiap penggunaan lahan dapat dikenali dengan melihat Tabel 3.8. Keadaan vegetai dengan temperatur permukaan memiliki keterkaitan dan tidak langsung mempengaruhi kelembaban tanah permukaan itu sendiri. Secara spasial analisis kewilayahan kelembaban tanah permukaan dapat terlihat dari persebaran kelembaban tanah permukaan terhadap batas batas kenampakan yang lain seperti kerapatan vegetasi, temperatur permukaan, dan penggunaan lahan. Semua itu dihubungkan melalui batas batas dari hasil pemrosesan terutama batas daerah penelitian. Sehingga akan diketahui bagaimana keadaan dari tanah tersebut secara keseluruhan, karena hanya dengan spasial yang dapat menggabungkan hal itu. Tabel 3.8. memperlihatkan bagaimana keadaan kerapatan vegetasi yang tumbuh serta kelembaban tanah permukaan dari setiap penggunaan lahan yang ada. Terlihat bahwa tidak seluruh vegetasi memiliki hubungan yang berbanding terbalik tetapi juga terdapat keadaan vegetasi yang memiliki temperatur yang hampir sama dengan klasifikasi kerapatan vegetasi. Temperatur permukaan dapat dikatakan sangat rendah hingga tinggi dilihat dari hasil pengolahan yang dilakukan dengan melihat temperatur permukaan dan persebaran suhu dari data yang telah ada.

96 Tabel 3.8. Perbandingan Jenis Penggunaan Lahan Terhadap Kerapatann Vegetasi dan Temperatur Permukaan di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo. No Jenis Penggunaan Lahan Kerapatan Vegetasi Temperatur Permukaan Keterangan 1 Sawah Sedang - rendah Rendah - sedang Objek sawah memiliki temperatur rendah sedang walaupun keadaan vegetasi sedang rendah dikarenakan sawah memperlihatkan keadaan vegetasi yang berbeda beda. 2 Tegalan Sangat rendah - sedang Tinggi - rendah Tegalan paling banyak ditanam dekat aliran sungai dengan variasi tanaman yang berbeda beda. 3 Lahan Kosong Sangat rendah Tinggi Kerapatan vegetasi berbanding terbalik dengan temperatur prmukaan. 4. Tanaman Sedang - rendah Sedang - tinggi Tanaman dipengaruhi dari keadaan tanah dan vegetasi yang tumbuh. 5. Belukar Rendah Tinggi Kerapatan vegetasi berbanding terbalik dengan temperatur permukaan. 6. Campuran Sedang - tinggi Sedang - rendah Dipengaruhi dari vegetasi yang ada dan objek yang tampak selain vegetasi. 7. Permukiman Rendah - sedang Sangat - Tinggi Dipengaruhi dari bangunan yang lebih dominan dibandingkan dengan vegetasi yang ada. 8. Tubuh air Sangat rendah Rendah Tubuh air memiliki temperatur permukaan yang hampir sama dengan kerapatan vegetasi. Sumber: Hasil Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ dan Kerja lapangan Tahun 2011.

97 Pengaruh Warna Tanah dan Jenis Tanah Terhadap Kelembaban Tanah Permukaan di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo. Hasil uji laboratorium dan pengukuran di lapangan dari 11 sampel yang mewakili keadaan jenis tanah terdapat 6 jenis warna tanah. Warna tanah coklat hitam kekuningan terdapat pada sampel 1, 4, 6, 10, dan 11. Warna tanah coklat terdapat pada sampel 3 dan 9. Warna tanah coklat gelap terdapat pada sampel 2. Warna tanah sangat gelap coklat keabuan terdapat pada sampel 5. Warna tanah sangat hitam keabuan terdapat pada sampel 7. Terakhir warna tanah coklat keabuan gelap terdapat pada sampel 8. Dsitribusi sampel terdapat pada semua jenis tanah yang ada di Kabupaten Purworejo yaitu alluvial dengan sampel 1, 2, 3, 4, 6, 9, 10, dan 11, latosol dengan sampel 5, dan regosol dengan sampel 7 dan 8. Warna tanah yang sama tidak selalu memiliki kadar kelembaban tanah permukaan yang sama, selain itu juga terdapat keadaan drainase tanah yang berbeda pula dari setiap warna tanah karena drainase tanah mempengaruhi keaadan tanah untuk melakukan proses infiltrasi. Tanah alluvial sebagian besar di wilayah dataran Kabupaten Purworejo memiliki keadaan drainase tanah yang sangat lambat hingga lambat dan jenis tanah tersebut dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Keaadan drainase yang buruk tersebut menyebabkan warna tanah akan tampak coklat walaupun demikian tanah akan menyerap air. Waktu yang dibutuhkan air terserap oleh tanah cukup lama karena faktor tekstur tanah dari alluvial berupa geluh lempungan dengan partikel lempungan sangat rapat dan sulit untuk meloloskan air. Hal ini menyebabkan kelembaban tanah permukaan untuk jenis tanah alluvial sulit untuk mencapai keadaan kering (keadaan tidak terdapat air) pada lahan yang digunakan sebagai pertanian. Uji laboratorium memperlihatkan keadaan itu dengan rata rata nilai kadar air melebihi nilai 7%. Keadaan kering tanah terjadi akibat faktor temperatur permukaan yang terus melakukan proses evaporasi dan saat tanah belum dipergunakan untuk pertanian, tetapi jika tidak maka tanah alluvial lebih berpotensi untuk cepat tergenang air. Tanah latosol memiliki keadaan drainase tanah sedang sehingga warna tanah masih tampak coklat. Penutup lahan berupa lahan pertanian yang dominan

98 dari jenis tanah tersebut. Tanah latosol juga berpotensi untuk tergenang oleh air pada lahan pertanian. Kelembaban tanah permukaan untuk tanah latosol yang dipergunakan untuk lahan pertanian lebih banyak masuk kedalam kelas basah. Tanah latosol yang bukan untuk pertanian akan lebih cepat kering hal tersebut dipengaruhi dari keadaan drainase tanah latosol yang berbeda cepat atau lambatnya dalam meresap air. Tanah regosol di wilayah dataran Kabupaten Purworejo berada di selatan dan langsug berbatasan dengan pantai. Tanah regosol memiliki dominasi tekstur pasir dengan sistem drainase yang sangat cepat sehingga warna tanah pada regosol lebih cerah dibandingkan pada tanah alluvial dan latosol dengan warna keabuan. Drainase yang sangat cepat mempengaruhi kelembaban tanah permukaan sehingga air sangat sedikit sekali terikat oleh partikel partikel tanah pasir dan hampir keseluruhan meloloskan air langsung masuh ke dalam tanah yang lebih dalam. Warna tanah dan jenis tanah yang telah dilakukan uji laboratorium menunjukan bahwa kedua faktor tersebut mempengaruhi kelembaban tanah permukaan dan nilai spektral. Hal ini diperkuat dengan analisis statistik yang menunjukan nilai kadar air pengujian laboratorium dengan pengukuran langsung di lapangan memiliki hubungan yang sangat kuat (Tabel 3.9.). Tabel 3.9. Korelasi antara Kadar Air Laboratorium, Kelembaban Tanah Permukaan, dan Nilai Spetral di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo. Correlations Laboratorium Spektral Lapangan Laboratorium Pearson Correlation *.951 ** Sig. (2-tailed) N Spektral Pearson Correlation * ** Sig. (2-tailed) N Lapangan Pearson Correlation.951 ** ** 1 Sig. (2-tailed) N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Sumber: Hasil Pengolahan Data Statistik dan Kerja Lapangan Tahun 2011

99 Tabel 3.9. memperlihatkan korelasi ( r ) sebesar 0,951 artinya bahwa memiliki hubungan selaras antara kadar air laboratorium dengan pengukuran kelembaban tanah permukaan dilapangan dengan signifikan yang sangat bagus. Kadar air laboratorium dengan nilai spektral memiliki tingkat hubungan baik dan tingkat signifikan yang baik pula dengan nilai korelasi ( r ) sebesar -0,711. Nilai korelasi tersebut artinya kadar air laboratorium maupun pengukuran di lapangan memiliki hubungan yang sama dan sesuai dengan teori dasar yang ada. Pengujian laboratorium memiliki keakuratan data yang dihasilkan dalam tahap baik karena dalam pengujian laboratorium dipengaruhi banyak faktor seperti waktu pengambilan sampel hingga saat dilakukan pengujian laboratorium memiliki jeda waktu dan dipastikan kadar air yang terkandung didalam tanah telah mengalami penguapan walaupun tidak terlalu banyak Faktor Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kualitas Hasil Penelitian Kelembaban Tanah Permukaan di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo. Faktor faktor yang mempengaruhi hasil kualitas penelitian dapat berupa faktor yang meningkatkan kualitas hasil penelitian berguna untuk mengatasi keadaan data yang diperoleh kurang maksimal terhadap kualitas data. Sebaliknya faktor yang memiliki pengaruh untuk mengurangi kualitas data baik langsung maupun tidak langsung dan berpengaruh terhadap kualitas dari penelitian. Faktor yang dapat mempengaruhi tersebut diantaranya berupa sistem penginderaan jauh itu sendiri, faktor kerja lapangan, dan faktor internal tanah. Ketiga faktor tersebut secara tidak langsung telah mempengaruhi dari hasil penelitian yang dilakukan. Sistem penginderaan jauh memiliki peran dimana data yang digunakan merupakan hasil dari pengolahan sistem penginderaan jauh. Faktor yang mempengaruhi hasil penelitian dari sistem penginderaan jauh tersebut ialah atmosfer, resolusi spasial, dan sistem geometrik citra itu sendiri. Atmosfer merupakan lapisan yang ada di permukaan bumi. Pengaruhnya terhadap perekaman citra sangat dipertimbangkan karena berpengaruh terhadap intensitas

100 dan komposisi spektral dari sistem sensor penginderaan jauh. Keadaan atmosfer dipengaruhi dari keadaan iklim lokal disekitarnya yang cepat berubah ubah setiap waktunya sehingga mempengaruhi kondisi atmosfer itu sendiri. Kondisi atmosfer yang memberikan gejala terhadap perekaman sensor dengan serapan dan hamburan atmosfer berdampak pada signal obyek dan reflektansi spektral. Dampak tersebut menyebabkan perbedaan antara kondisi kenyataan dengan gambaran yang direkam. Hamburan merupakan penyebaran arah radiasi oleh partikel partikel di atmosfer yang tidak dapat diperkirakan. Besar kecil hamburan terletak dari panjang dan pendek gelombang elegtromagnetik seperti citra Landsat ETM+ saluran 1, 2, dan 3 merupakan daerah dengan hamburan yang kecil karena panjang gelombang yang pendek. Semakin panjang gelombang maka hamburan dari partikel - partikel akan semakin kecil dikarenakan kondisi untuk menembus atmosfer berkurang. Sedangkan serapan oleh atmosfer merupakan kendala yang besar bila ketinggian semakin besar, karena kendala merupakan fungsi jarak (Sutanto, 1986). Hamburan dan serapan atmosfer sangat berpengaruh terhadap distorsi nilai spektral yang cukup besar sehingga menyebabkan nilai obyek asli akan berbeda dengan saar perekaman. Keadaan distorsi tersebut dapat dikurangi dengan melakukan koreksi radiometrik. Koreksi tersebut hanya mengurangi dan nilai spektral obyek tetap tidak akan sama dengan aslinya, oleh karena itu hal ini juga dapat mempengaruhi kualitas data. Distorsi geometrik citra merupakan keadaan perbedaan ketinggian, ketegakan, dan kecepatan saat sensor melakukan perekaman. Distorsi menyebabkan pergeseran letak obyek dimana seharunya merupakan kenampakan tanah tanah terbuka dapat mengalami pergeseran letak piksel. Akibat yang terjadi dalam pembacaan nilai piksel bukan merupakan dari obyek yang dimaksud. Distorsi geometrik dapat dikurangi dengan melakukan koreksi geometrik, tetapi hal ini masih memiliki kesalahan saat plotting (resampling) dan mempengaruhi keadaan kualitas data itu sendiri. Resolusi spasial merupakan faktor ketiga dalam sistem penginderaan jauh. Resolusi dari citra Landsat 7 ETM+ saluran 1 hingga saluran 7 kecuali saluran 6 dan saluran 8 sebesar 30 m x 30 m. Besarnya luasan resolusi spasial

101 tersebut dapat diketahui bahwa dalam satu luasan resolusi spasial memiliki kenampakan berbagai macam obyek dalam satu piksel citra Landsat 7 ETM+. Campuran obyek obyek yang berbeda sangat berpengaruh untuk nilai spektral obyek dimana dalam nilai spektral tanah juga banyak dipengaruhi nilai spektral obyek lainnya. Hal ini juga berpengaruh dalam pengolahan penutup lahan yang dilakukan karena luasan obyek masing masing lahan di Indonesia sangat beraneka ragam dan setiap luasan lahan yang ada kecil. Kesalahan juga dapat berasal dari manusia (human error) yang berakibat mengurangi kualitas data yang diambil. Faktor kerja lapangan memiliki peran dalam mempengaruhi kualitas hasil penelitian seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa terdapat perbedaan waktu dari data yang diperoleh dengan waktu pengecekan lapangan. Perbedaan waktu yang tidak terlalu terpaut jauh dari data yang diperoleh yaitu tiga bulan. Perbedaan waktu yang tidak terlalu jauh tersebut seharunya tidak mempengaruhi keadaan kondisi di lapangan untuk cepat berubah. Perbedaan waktu tersebut di ikuti dengan perubahan cuaca dan iklim yang sangat tajam dari hari ke hari sehingga sulit diprediksi. Perubahan cuaca dan iklim tersebut sedikit banyak mempengaruhi dari kondisi lahan yang mengalami perubahan di permukaannya. Kendala yang lain berupa pelaksaan kerja lapangan yang berupa perbedaan waktu pengukuran kelembaban, pemetaan plot titik sampel, dan penancapan alat ukur kelembaban tanah permukaan. Pemetaan plot titik sampel dilakukan dengan melihat keadaan satu piksel dan pengambilan plot tersebut dilakukan pada luasan 3 piksel x 3 piksel untuk mengurangi perbedaan posisi koordinat di lapangan. Pembacaan alat dilakukan sebanyak tiga kali dalam luasan 1 m x 1 m untuk mengetahui persebaran kelembaban tanah yang lebih merata. Walaupun demikian keadaan di lapangan belum tentu sesuai dengan keadaan pada saat perekaman berlangsung, keadaan tersebut mengurangi kualitas data yang diperoleh. Faktor internal tanah merupakan faktor yang paling berpengaruh untuk kelembaban tanah permukaan. Faktor tanah sangat kompleks seperti kandungan

102 bahan organik, tekstur, dan struktur. Kandungan kelembaban tanah permukaan berpengaruh erat dengan tekstur tanah baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mempengaruhi air dalam masuk kedalam tanah. Kandungan bahan organik itu sendiri mempengaruhi warna tanah yang berdampak pada serapan atmosfer. Walaupun tanah memiliki warna yang sama tetapi kandungan kelembaban tanah tidak harus sama. Partikel partikel tanah mempengaruhi keadaan tanah dalam pantulan nilai spektral karena partikel yang halus akan memiliki pantulan spektral tanah yang besar dibandingkan dengan partikel yang kasar karena akan membias ke segala arah Uji Ketelitian Citra Uji ketelitian citra merupakan hal yang perlu dilakukan sebagai hasil perbandingan antara hasil interpretasi dengan keadaan sebenarnya dilapangan. Parameter yang digunakan sebagai hasil akan dilakukan cek/kerja lapangan berupa penutup lahan, kerapatan vegetasi, dan kelembaban tanah permukaan. Uji ketelitian menggunakan suatu metode yaitu metode Short (Sutanto, 1986). Uji ketelitian dilakukan untuk melihat seberapa baik data dari penginderaan jauh dapat menyajikan informasi dan mengetahui kemampuan dari seorang interpreter itu sendiri (Tabel 3.10, 3.11., 3.12). Sangat penting untuk dilakukan dalam penelitian yang hasil dan data sebagian besar diperoleh dari data citra penginderaan jauh. Hasil dari uji penelitian terhadap setiap parameter dapat diketahui seberapa baik hasil pengolahan data citra penginderaan jauh, seperti yang terlihat pada beberapa tabel uji ketelitian yang telah dilakukan. Citra yang digunakan untuk uji ketelitian memiliki perbedaan waktu 3 bulan dari saat citra melakukan perekaman walaupun tidak terpaut jauh tetapi keadaan sebenarnya dari daerah penelitian cepat berubah. Parameter - parameter yang dilakukan uji ketelitian memiliki hasil dengan rata rata nilai diatas 70%. Nilai dari uji ketelitian tersebut dapat dikatakan baik walaupun masih dapat untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Faktor yang mempengaruhi dari kerja lapangan untuk uji ketelitian itu sendiri dipengaruhi dari resolusi spasial citra Landsat 7 ETM+ dengan keadaan posisi

103 yang memiliki pergeseran terhadap ploting point yang ada. Selain itu keadaan lapangan sendiri yang cepat berubah untuk parameter tertentu seperti kerapatan vegetasi. Faktor terakhir dari kesalahan saat interpretasi yang dilakukan oleh interpreter itu sendiri masih memerlukan pengalaman yang lebih untuk mengenali objek objek tertentu dari citra dengan resolusi yang sedang. Tabel Uji Ketelitian Hasil Kelembaban Tanah Permukaan Kelas A B C D E Jumlah Sampel Sampel Benar A B C D E Jumlah Sumber: Hasil Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ dan kerja lapangan tahun 2011 Keterangan: A = Kelas Sangat Basah D = Kelas Kering B = Kelas Basah C = Kelas Sedang E = Kelas Sangat Kering Jumlah Sampel Benar Ketelitian = Total Sampel 25 = x 100% 33 x 100% = 75,76% Tabel Uji Ketelitian Hasil Kerapatan Vegetasi Kelas A B C D E Jumlah Sampel Sampel Benar A B C D E Jumlah Sumber: Hasil Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ dan kerja lapangan tahun 2011 Keterangan: A = Kelas Sangat Tinggi D = Kelas Rendah B = Kelas Tinggi C = Kelas Sedang E = Kelas Sangat Rendah

104 Jumlah Sampel Benar Ketelitian = Total Sampel 24 = x 100% 33 = 72,73% x 100% Tabel Uji Ketelitian Hasi Interpretasi Penutup Lahan Jumlah Sampel Kelas A B C D E F G H I Sampel Benar A B C D E F G H I Jumlah Sumber: Hasil Interpretasi Citra Landsat 7 ETM+ dan kerja lapangan tahun 2011 Keterangan: A = Lahan Terbangun F = Tanah Tidak Bervegetasi B = Lahan Terbangun Bervegetasi C = Tanah Basah D = Tanah Bervegetasi Rendah E = Tanah Bervegetasi Sedang G = Tubuh Air H = Tanah Kering I = Vegetasi Jumlah Sampel Benar Ketelitian = Total Sampel 35 = x 100% 45 = 77,78% x 100%

105 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan 1. Kelembaban tanah permukaan memiliki korelasi yang negatif dengan nilai spektral dan tingkat hubungan yang sangat kuat ditunjukan dengan nilai korelasi dari keduanya ( r ) sebesar -0, Kelembaban tanah permukaan dipengaruhi sebagain besar oleh kerapatan vegetasi dan temperatur permukaan dengan total pengaruh 70,3% dan keadaan tersebut dapat terlihat jika kerapatan vegetasi lebat maka kelembaban tanah permukaan dalam keadaan basah dan sebaliknya jika kerapatan vegetasi rendah dengan temperatur permukaan tinggi maka kelembaban tanah permukaan dalam keadaan kering. 3. Penggunaan lahan memiliki kadar kelembaban tanah permukaan yang berbeda beda seperti permukiman dengan kelembaban tanah rata rata sedang yaitu 64,5%, lahan kosong, tanaman, campuran dan belukar termasuk pada kelembaban tanah kering hingga sangat kering berkisar antara 10 50%, tegalan, sawah, dan tubuh air termasuk dalam kelembaban tanah permukaan basah hingga sangat basah sebesar lebih dari 80%. Seluruh penggunaan lahan tersebut dipengaruhi dari faktor eksternal dan internal tanah dalam mempengaruhi kelembaban tanah permukaan. 4. Warna tanah gelap memiliki keadaan kelembaban tanah permukaan dengan kandungan air yang banyak, sedangkan untuk warna tanah cerah akan sebaliknya memiliki kandungan air yang sedikit tetapi dengan melihat jenis tanah dengan macam tanahnya. Oleh karena itu, kadar kelembaban tanah permukaan dapat diketahui dengan melihat dari keadaan warna tanah dan drainase tanah.

106 4.2. Saran 1. Akan lebih baik untuk kualitas penelitian jika keadaan cuaca dan iklim dalam keadaan normal sesuai siklus musin hujan dan musin kemarau terlebih dengan pengecekan lapangan yang sesuai dengan keadaan saat perekeman data citra. 2. Penelitian akan sangat baik jika hasil dan analisis dapat dilakukan secara intensif dengan luasan yang dijadikan sampel melihat keadaan topografi yang berbeda dalam area tertentu sehingga akan dapat diketahui lebih pasti faktor faktor yang berpengaruh dalam kelembaban tanah permukaan baik eksternal maupun internal.

107 DAFTAR PUSTAKA Aksi Agraris Kanisius, Tanah dan Pertanian. Yogyakarta: Kanisius Andersen, J.A., Distributed Hydrological Modelling and Application of Remote Sensing. Data, Tesis, Environment & Resources DTU, Technical University of Denmark, Denmark, 44 hal. Arnold, James E., Soil Mouisture /landprocess/lp_home.html, diakses tanggal 19 April 2010, pukul 13:27 WIB. Chay Asdak, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Erwin Hardika Putra, Penginderaan Jauh dengan ER-Mapper. Yogyakarta: Graha Ilmu. Evri Dwi Aryanto, Pemetaan Digital Temperatur Permukaan Kota Semarang Tahun 2002 Menggunakan Citra Landsat 7 ETM+. Tugas Akhir. Fakultas Geografi, UGM, Yogyakarta. Foth, Henry D., Fundamental of Soil Science. (diterjemahkan oleh Endang Dwi Purbayanti, dkk., diedit oleh Sri Andani B. Hudoyo, 1995). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hardy, Survey of Methods for the Determination of soil Moisture Content by Remote Sensing Methods. Remote Sensing Aplication in Agriculture and Hidrology. Proceedings of A Seminar Heldat the joint Research Centre of the Comission of the European Communities. In the Frame Work of the ISPRA Courses/ISPRA (Varesar)/Italy. AA. Balkeme/Rotterdam: ISPRA Courses. Hen Restu, Penggunaan Data Digital SPOT Multispektral untuk Kelembaban Tanah Permukaan di Sekitar Waduk Jombor Kabupaten Klaten. Yogyakarta: Skripsi, Fakultas Geografi, UGM. Peta Citra, diakses tanggal 12 April 2011, pukul WIB The Landsat Program, diakses tanggal 22 Agustus 2005, pukul 11:00 WIB.

108 Orbit Sun Synchronous, diakses tanggal 27 bulan April 2010, pukul 14:35 WIB. Satelit Landsat 7 ETM+, diakses tanggal 27 bulan April 2010, pukul 14:35 WIB. Irish, Landsat 7 Science Data User Handbook. National Aeronautics and Space Administration: diakses tanggal 16 Agustus 2005, pukul 22:10 WIB. Jamulya dan Suratman Woro Suprojo, Pengantar Geografi Tanah. Yogyakarta: Diktat Kuliah, Fakultas Geografi, UGM. Kurniawan Albert, SPSS: Serba Serbi Analisis Statistika Dengan Cepat dan Mudah. JASAKOM. Kusworo, Estimasi Agihan Salinitas Tanah Dalam Kaitannya Dengan Kelembaban Tanah Permukaan Pada Data Digital Landsat TM Multispektral Daerah Dataran Aluvial Pantai Brebes Jawah Tengah. Skripsi. Fakultas Geografi, UGM, Yogyakarta. Like Indrawati, Karakteristik Pantulan Spektral Kandungan Kelembaban Tanah Permukaan Pada Data Digital Multispektral Landsat Thematic Mapper Di Sebagian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Geografi, UGM, Yogyakarta. Lillesand, Thomas M. Kiefer, Ralph W, and Chipman, Jonathan W, Remote Sensing and Image Interpretation. University of Wiscosin Madison. Lo, C.P., Penginderaan Jauh Terapan. Jakarta: UI-Press. Mul Mulyani Sutedjo dan A.G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Tanah. Jakarta: Rineka Cipta Nashrullah, S. Darmawan, S. Hadi, F. Budi Harto, A. Wikantika, K., Analisis Kelembaban Tanah Dengan Landsat ETM+ Menggunakan Metode TVDI. Bandung: PIT MAPIN XVII. Projo Danoedoro, Pengolahan Citra Digital:Teori dan Aplikasinya dalam Bidang Penginderaan Jauh. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.

109 Purwadhi, Sri Hardiyanti dan Sanjoto, Tjaturahono Budi, Pengantar Interpretasi Citra Penginderaan Jauh. LAPAN-UNNES. Raharjo Beni, Mengolah Citra Landsat 7 ETM+ SLC-OFF. diakses tanggal 7 bulan Mei 2010, pukul 14:14 WIB. Sabins, Jr., Floyd F., Remote Sensing-Priciple and Interpretation, Second Edition. New York: W.H. Freeman and Company. Sarwono Hardjowigeno dan Luthfi Rayes, TANAH SAWAH: Karakteristik, Kondisi, dan Permasalahan Tanah Sawah di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing. Sintala Arsyad, Konsentrasi Tanah dan Air. Bogor: Penerbit ITB. Stanislaus S. Uyanto, Pedoman Analisis Data Dengan SPSS. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sutanto, Penginderaan Jauh Jilid I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Suyono dan Sudarmadil, Hidrologi Dasar. Yogyakarta: Diktat Kuliah, Fakultas Geografi, UGM. Su Ritohardoyo, Penggunaan dan Tata Guna Lahan. Yogyakarta: Bahan Kuliah. X.Yang, J.J. Wu, P.J. Shi, F. Yan, Modified Triangle Method To Estimate Soil Moisture Status With Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (Modis) Products. The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Vol. XXXVII. Part B8. Beijing 2008, pp

110

111 Foto Lapangan Hasil Penelitian Kelembaban Tanah Foto Basah (Sawah baru tanam) Basah (Lahan sawah mau tanam) Basah (Padi Muda) Kering (Sawah kering) Sedang (Permukiman) Kering (Permukiman) Kering (Tanaman Jagung) Sangat Kering (Belukar)

112 Sangat Basah (Sungai Jali) Kering (Lahan yang telah dipanen) Sangat Kering (Lahan Kosong) Kering (Tanaman Jeruk) Kerapatan Vegetasi Sedang (Tegalan) Kerapatan Sangat Tinggi Kerapatan Tinggi

113 Kerapatan Sedang Kerapatan Rendah Kerapatan Sangat Rendah

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelembaban tanah adalah air yang mengisi sebagian atau seluruh pori pori tanah yang berada di atas water table

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelembaban tanah adalah air yang mengisi sebagian atau seluruh pori pori tanah yang berada di atas water table 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelembaban tanah adalah air yang mengisi sebagian atau seluruh pori pori tanah yang berada di atas water table (Jamulya dan Suratman, 1993). Definisi yang lain menyebutkan

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM PEMETAAN TEMATIK BERBASIS CITRA PENGINDERAAN JAUH

LAPORAN PRAKTIKUM PEMETAAN TEMATIK BERBASIS CITRA PENGINDERAAN JAUH LAPORAN PRAKTIKUM PEMETAAN TEMATIK BERBASIS CITRA PENGINDERAAN JAUH Pengaruh Nilai Emisi terhadap Suhu Permukaan pada Citra Penginderaan Jauh Dosen Pengampu: Prima Widayani, S.Si., M.Si. Di buat oleh:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pemukiman dan kebutuhan prasarana dan sarana. Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT Tujuan: Mahasiswa dapat mengidentifikasi objek yang ada pada citra landsat Mahasiswa dapat mendelineasi hasil interpretasi citra landsat secara teliti Mahasiswa dapat

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelembaban tanah adalah air yang mengisi sebagian atau seluruh pori pori tanah yang berbeda diatas watertable (Jamulya dan Suratman, 1993). Kelembaban tanah merupakan

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jagung Jagung merupakan tanaman yang dapat hidup di daerah yang beriklim sedang sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat membutuhkan sinar matahari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 08 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh (inderaja) adalah cara memperoleh data atau informasi tentang objek atau

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 09 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK Menggunakan sensor nonkamera atau sensor elektronik. Terdiri dari inderaja sistem termal,

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN PERTANIAN SAWAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN (IPL) DI KABUPATEN WONOSOBO

ANALISIS POTENSI LAHAN PERTANIAN SAWAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN (IPL) DI KABUPATEN WONOSOBO ANALISIS POTENSI LAHAN PERTANIAN SAWAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN (IPL) DI KABUPATEN WONOSOBO HAL AMAN JUDUL Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Diajukan Oleh : Gandes Hamranani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K 5410012 PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. 23 LAMPIRAN 23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

Pemanfaatan Citra Landsat 7 ETM+ untuk Menganalisa Kelembaban Hutan Berdasarkan Nilai Indeks Kekeringan (Studi Kasus : Hutan KPH Banyuwangi Utara)

Pemanfaatan Citra Landsat 7 ETM+ untuk Menganalisa Kelembaban Hutan Berdasarkan Nilai Indeks Kekeringan (Studi Kasus : Hutan KPH Banyuwangi Utara) Pemanfaatan Citra Landsat 7 ETM+ untuk Menganalisa Kelembaban Hutan Berdasarkan Nilai Indeks Kekeringan (Studi Kasus : Hutan KPH Banyuwangi Utara) Abstrak Kelembaban tanah merupakan salah satu variabel

Lebih terperinci

EVALUASI RENCANA TATA RUANG WILAYAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN

EVALUASI RENCANA TATA RUANG WILAYAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN EVALUASI RENCANA TATA RUANG WILAYAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Diajukan Oleh : YOGA

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan tubuh alam yang menyelimuti permukaan bumi dan merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi makhluk hidup. Tanah mempunyai kemampuan untuk mendukung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan Menurut Santosa (1986), kepadatan penduduk kota yang cukup tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktifitas dan panas metabolisme

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA 1. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Suhu permukaan merupakan salah satu parameter yang utama dalam seluruh interaksi antara permukaan darat dengan atmosfer. Suhu permukaan darat merupakan contoh fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

KADAR AIR TANAH ( Laporan Praktikum Ilmu Tanah Hutan ) Oleh. Ferdy Ardiansyah

KADAR AIR TANAH ( Laporan Praktikum Ilmu Tanah Hutan ) Oleh. Ferdy Ardiansyah KADAR AIR TANAH ( Laporan Praktikum Ilmu Tanah Hutan ) Oleh Ferdy Ardiansyah 1314151022 JURUSAN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2014 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Dokuchnev

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis adalah sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan posisi geografis diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera

Lebih terperinci

Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi. Diajukan Oleh : Mousafi Juniasandi Rukmana E

Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi. Diajukan Oleh : Mousafi Juniasandi Rukmana E PEMODELAN ARAHAN FUNGSI KAWASAN LAHAN UNTUK EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI OPAK HULU Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL 4.1 Pengolahan Awal Citra ASTER Citra ASTER diolah menggunakan perangkat lunak ER Mapper 6.4 dan Arc GIS 9.2. Beberapa tahapan awal yang dilakukan yaitu konversi citra.

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung Letak lintasan sepeda gunung di HPGW disajikan dalam Gambar 5. Ciricirinya disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Keadaan plot penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRACT... xiii

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki iklim tropis, serta tidak lepas dari pengaruh angin muson barat maupun angin muson timur. Dalam kondisi normal, angin muson barat

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL GEOGRAFI UMS 2016 Farid Ibrahim, Fiqih Astriani, Th. Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana; Perbandingan Ekstraksi

SEMINAR NASIONAL GEOGRAFI UMS 2016 Farid Ibrahim, Fiqih Astriani, Th. Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana; Perbandingan Ekstraksi PERBANDINGAN EKSTRAKSI BRIGHTNESS TEMPERATUR LANDSAT 8 TIRS TANPA ATMOSPHERE CORRECTION DAN DENGAN MELIBATKAN ATMOSPHERIC CORRECTION UNTUK PENDUGAAN SUHU PERMUKAAN Farid Ibrahim 1, Fiqih Atriani 2, Th.

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta DAS penelitian

Gambar 1. Peta DAS penelitian Gambar 1. Peta DAS penelitian 1 1.1. Proses Penentuan Model Kemiringan Lereng Kemiringan lereng ditentukan berdasarkan informasi ketinggian dan jarak pada data DEM yang berbasis raster (piksel). Besarnya

Lebih terperinci

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono I. PENGANTAR Penginderaan jauh adalah ilmu dan teknik untuk memperoleh informasi

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan oleh: Disusun oleh : Gani Ahmad Pratama NIM :E

SKRIPSI. Diajukan oleh: Disusun oleh : Gani Ahmad Pratama NIM :E PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD UNTUK PEMETAAN ZONASI DAERAH RAWAN KEBAKARAN KECAMATAN DEPOK, KABUPATEN SLEMAN DENGAN MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI Diajukan oleh: Disusun oleh : Gani

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

SUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi

SUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi MATA KULIAH : SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) PERIKANAN KODE MK : M10A.125 SKS : 2 (11) DOSEN : SYAWALUDIN ALISYAHBANA HRP, S.Pi, MSc. SUB POKOK BAHASAN DEFINIS DAN PENGERTIAN TENAGA UNTUK PENGINDERAAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

EVALUASI LAHAN UNTUK KAWASAN LINDUNG DAN BUDIDAYA DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI KABUPATEN KARANGANYAR, JAWA TENGAH

EVALUASI LAHAN UNTUK KAWASAN LINDUNG DAN BUDIDAYA DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI KABUPATEN KARANGANYAR, JAWA TENGAH EVALUASI LAHAN UNTUK KAWASAN LINDUNG DAN BUDIDAYA DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI KABUPATEN KARANGANYAR, JAWA TENGAH SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

JENIS CITRA

JENIS CITRA JENIS CITRA PJ SENSOR Tenaga yang dipantulkan dari obyek di permukaan bumi akan diterima dan direkam oleh SENSOR. Tiap sensor memiliki kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik. Kepekaannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunung Sinabung terus menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanologi. Awan hitam dan erupsi terus terjadi, 5.576 warga dievakuasi. Evakuasi diberlakukan setelah pada

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO Risma Fadhilla Arsy Abstrak : Penelitian di Daerah Aliran Sungai Oyo ini bertujuan mengesktrak parameter

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Oleh : Hernandi Kustandyo (3508100001) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Ekosistem mangrove adalah salah satu obyek yang bisa diidentifikasi

Lebih terperinci

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.16 Teras sungai pada daerah penelitian. Foto menghadap timur. 4.2 Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai September 2011 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan

Lebih terperinci

θ t = θ t-1 + P t - (ETa t + Ro t ) (6) sehingga diperoleh (persamaan 7). ETa t + Ro t = θ t-1 - θ t + P t. (7)

θ t = θ t-1 + P t - (ETa t + Ro t ) (6) sehingga diperoleh (persamaan 7). ETa t + Ro t = θ t-1 - θ t + P t. (7) 7 Persamaan-persamaan tersebut kemudian dikonversi menjadi persamaan volumetrik (Persamaan 5) yang digunakan untuk mendapatkan nilai kadar air tanah dalam % volume. 3.3.5 Pengukuran Curah Hujan dan Tinggi

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan zat yang tidak dapat dipisahkan dari makhluk hidup di kehidupan sehari-harinya. Zat tersebut sangatlah dibutuhkan ketersediannya di berbagai waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan maupun daerah semak belukar tetapi kemudian dibudidayakan. Sebagai tanaman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

HUBUNGAN TANAH - AIR - TANAMAN

HUBUNGAN TANAH - AIR - TANAMAN MINGGU 2 HUBUNGAN TANAH - AIR - TANAMAN Irigasi dan Drainasi Widianto (2012) TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Memahami sifat dan karakteristik tanah untuk menyediakan air bagi tanaman 2. Memahami proses-proses aliran

Lebih terperinci

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission A. Satelit Landsat 8 Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi Landsat yang untuk pertama kali menjadi

Lebih terperinci

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI Arif Supendi, M.Si MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI STANDAR KOMPETENSI Memahami pemanfaatan citra penginderaan jauh ( PJ ) dan Sistem Informasi Geografi KOMPETENSI DASAR Menjelaskan

Lebih terperinci

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini*

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* PENENTUAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DENGAN INDEX VEGETASI NDVI BERBASIS CITRA ALOS AVNIR -2 DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI KOTA YOGYAKARTA DAN SEKITARNYA Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* Abstrak:

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F14104021 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 1 PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu 1. Penelitian sejenis mengenai Kajian Kebutuhan Air Irigasi Pada Jaringan Irigasi sebelumnya pernah ditulis oleh (Oktawirawan, 2015) dengan judul Kajian

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT RAWAN KEKERINGAN LAHAN SAWAH DENGAN PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2014

ANALISIS TINGKAT RAWAN KEKERINGAN LAHAN SAWAH DENGAN PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2014 ANALISIS TINGKAT RAWAN KEKERINGAN LAHAN SAWAH DENGAN PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2014 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup tinggi di dunia khususnya Indonesia memiliki banyak dampak. Dampak yang paling mudah dijumpai adalah kekurangan lahan. Hal

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Mulsa terhadap Bobot Isi Pengamatan bobot isi dilakukan setelah pemanenan tanaman kacang tanah. Pengaruh pemberian mulsa terhadap nilai bobot isi tanah disajikan

Lebih terperinci