BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
|
|
- Vera Kusuma
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma adalah penyakit heterogenous yang dapat menyerang dari semua usia dan faktor ekonomi, merupakan salah satu dari masalah kesehatan mayor di dunia (Global Initiative for Asthma, 2015), meskipun obat-obat baru dan evidence based guidelines telah berkembang di tahun-tahun terkini namun tidak ada perubahan besar pada morbiditas dan mortalitas asma (Schulz et al., 2001). NAEPP (National Asthma Education and Prevention Program) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik saluran pernafasan, dengan banyak sel dan elemen selular yang berperan. Inflamasi pada asma dapat menyebabkan episode berulang dari wheezing, sesak, chest thightness, dan batuk (Global Initiative for Asthma, 2015; National Asthma Education and Prevention Program, 2007). Gejala asma sebenarnya dapat diterapi dan dikontrol sehingga sebagian besar pasien dapat mencegah munculnya gejala sepanjang hari, mencegah serangan serius, dan dapat berakivitas (Mangunrejo et al., 2004). Eksaserbasi asma merupakan penyebab terbesar pasien masuk ke IGD (instalasi gawat darurat), dan kejadiannya di Amerika mencapai 67 dari 10,000 pada tahun 2002 (Lugogo dan MacIntyre, 2008). Eksaserbasi asma (serangan asma) adalah perburukan akut atau sub-akut pada gejala dan fungsi paru dari kondisi status asma pasien yang biasanya (Global Initiative for Asthma, 2015). 1
2 Studi dari Global Burden of Disease (GBD) 2010, menggambarkan bahwa asma merupakan penyakit yang terdistribusi global dan menjadi penyebab ari faktor risiko kesehatan yang tinggi (Institute for Health Metrics and Evaluation, 2013). Di Indonesia sendiri, data prevalensi asma secara pasti belum tersedia. Pada tahun 2007, pengamatan oleh Subdit Penyakit Kronik dan Degeneratif Lain di 5 propinsi di Indonesia (Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan) menunjukkan bahwa umumnya penanganan asma belum terlaksana dengan baik dan ketersediaan peralatan untuk penegakan diagnosa dan penatalaksanaan asma masih minimal (Departemen Kesehatan RI, 2009). Data SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) menyatakan bahwa asma termasuk 10 besar penyakit dengan angka morbiditas dan mortalitas tertinggi di Indonesia. Sejak tahun 1986, SKRT mengatakan asma dan PPOK (penyakit paru obstruktif kronik) menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) (Mangunrejo et al., 2004). Menurut RISKESDAS 2013, prevalensi asma di Indonesia sebanyak 4,5%, yang meningkat seiring bertambahnya usia dan prevalensinya sama antara perkotaan dan perdesaan. Salbutamol (suatu golongan short acting beta-2 agonist/ SABA), merupakan pilihan utama dalam menejemen eksaserbasi asma (Global Initiative for Asthma, 2015; Asthma Management Handbook, 2006). Dan dibandingkan teofilin (metilsantin) yang digunakan sebagai terapi tambahan dalam manajemen asma apabila efektivitas terapi belum optimal, peran metilsantin dalam menejemen eksaserbasi asma masih kontroversal karena metilsantin memiliki efektivitas bronkodilator yang lebih rendah dan risiko ADR (adverse drug 2
3 reaction) yang lebih besar daripada salbutamol (Global Initiative for Asthma, 2015; Xu, 2004). Teofilin pada pasien asma dapat mengurangi reaksi obstruksi jalan napas saluran nafas pada fase akhir dan responsif histamin serta mengurangi penurunan fungsi paru yang terjadi di malam hari (Weinberger dan Hendeles, 1996). Teofilin dosis kecil diketahui tidak hanya dapat merelaksasikan otot polos saluran napas, tetapi juga memiliki efek antiinflamasi dan imunomodulator, yang merupakan teori dasar untuk pengobatan asma (Xu, 2004). Teofilin dalam manajemen asma digunakan dalam dua bentuk yaitu oral (digunakan dalam asma stabil) dan intravena (digunakan dalam eksaserbasi asma). Pemberian teofilin melalui rute intravena dalam bentuk aminofilin, merupakan turunan teofilin dengan penambahan ethylenediamine yang menjadi kompleks garam larut air. Teofilin/aminofilin dilaporkan memiliki rentang terapeutik sempit sehingga berisiko menyebabkan terjadinya ADR (Shargel et al., 2012). Bukti mengenai kejadian ADR dari teofilin dan aminofilin telah banyak diungkap (Hart, 2000; Parasmeswaran, 2000; Fotinos dan Dodson, 2002; Makino et al., 2006 ; Tyagi et al., 2008) sehingga penggunaannya di luar negeri sudah ditinggalkan, namun di Indonesia, teofilin masih digunakan dalam terapi eksaserbasi asma. Di Indonesia, aminofilin/teofilin merupakan salah satu obat asma yang sering digunakan dalam penanganan eksaserbasi asma di rumah sakit dan puskesmas. Bahkan aminofilin termasuk dalam daftar DOEN (Daftar Obat Essensial Nasional) 2015 dan FORNAS (Formularium Nasional) 2015 yang dikeluarkan oleh Kementrian kesehatan Republik Indonesia. Di wilayah Surabaya dan sekitarnya, aminofilin dan teofilin dalam terapi asma akut masih banyak digunakan dalam terapi utama 3
4 eksaserbasi asma di rumah sakit (Arianti, 2009; Junaidi, 2006; Lorensia et al., 2011; Nuriah, 2012; Rahayu, 2009; Lorensia et al., 2012; Lorensia et al., 2013 a ; Lorensia dan Amalia, 2015). Efek dari ADR suatu obat dapat bersifat individual, termasuk juga efek pengobatan dengan teofilin dan salbutamol pada pengobatan asma. Faktor genetik merupakan salah satu faktor yang menyebabkan respons yang berbeda terhadap terapi asma (Tse et al., 2011), dan diperkirakan pengaruh dari genetik sebesar 20-95% terhadap efek suatu obat (Fenech dan Grech, 2011). Variabilitas interindividual kinetika distribusi dan eliminasi teofilin akan mengakibatkan terjadinya perbedaan kadar teofilin dalam plasma, menyebabkan konsekuensi klinis yang tidak bisa diprediksi akibat perbedaan respons terapi teofilin secara individual, yang dapat berupa dosis subterapetik atau dosis toksik (Hubeiz, 1983). Dengan fokus pada teofilin, akan diteliti lebih lanjut profil farmakogenetik orang Indonesia terkait dengan farmakokinetik teofilin, dalam hal ini adalah dalam proses metabolisme (Belle dan Singh, 2008). Diketahui bahwa efek CYP (sitokrom) P450 telah banyak diteliti dan dilaporkan terdapat banyak polimorfisme (Baba dan Yamaguchi, 2005; Uslu et al., 2010; Obase et al., 2003; Yasuda et al., 2008). Teofilin dimetabolisme oleh CYP P450, sehingga akan diamati profil farmakokinetik subjek penelitian terhadap CYP1A2 pada alel CYP1A2*1C, CYP1A2*1D, CYP1A2*1E, dan CYP1A2*1F (Baba dan Yamaguchi, 2005; Uslu et al., 2010; Obase et al., 2003; Yasuda et al., 2008). Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan Ras Asia cenderung merupakan poor metabolism untuk obat-obat tertentu sehingga lebih berisiko 4
5 mengalami adverse event, misalnya pada subjek Mongoloid memiliki sensitivitas obat lebih besar dibandingkan ras kaukasian pada penggunaan beberapa obat lain, seperti: propranolol (Zhou et al., 1989), codein (Yue et al., 1989), dan morfin (Zhou et al., 1990). Pada ras Asia di Indonesia, diketahui memiliki eliminasi teofilin yang relatif cepat (dua kali lipat) dibandingkan populasi negara lain, sehingga memerlukan pemberian dosis teofilin lebih sering (Hubeiz, 1983). Peran farmasis dalam penanganan asma, dapat menjadi strategi untuk mencegah dan mengontrol morbiditas dan mortalitas dengan cara memperbaiki outcomes (Abdelhamid et al., 2008; American Society of Health-System Pharmacists, 1996; Bootman, 2007; Corelli et al., 2009; Mill, 2005), serta mempengaruhi biaya kesehatan menjadi lebih cost-effective (Blix et al., 2004; Bootman dan Harrison, 1997; Bootman et al., 2005; Bootman, 2007) yang didukung dengan penelitian terdahulu yang menggambarkan biaya dalam pengobatan asma menjadi lebih besar bila pengobatan tidak optimal (Gazdik et al., 2001; Lorensia et al., 2013 b ). Penelitian lebih lanjut terkait keamanan (safety) dan efektivitas obat diperlukan agar dapat diketahui keuntungan dan kerugian penggunaan aminofilin/teofilin dan salbutamol dalam terapi eksaserbasi asma sehingga dilakukan risk-benefit assessment, untuk mendapatkan terapi eksaserbasi asma yang cepat dan tepat karena setidaknya satu eksaserbasi merupakan faktor risiko penting untuk eksaserbasi berulang pada penderita asma dan 80% dari total biaya yang ditanggung pasien adalah pengobatan asma di IGD (Dougherty dan Fahy, 2009). 5
6 Penilaian suatu adverse event terhadap probabilitasnya merupakan suatu ADR karena obat tertentu dapat menggunakan naranjo scale, yang merupakan kuesioner untuk memverifikasi probabilitas ADR dari total skor yang dikumpulkan (Naranjo et al., 1981). Naranjo Score merupakan algoritma untuk menilai ADR yang paling sering digunakan (Srinivasan dan Ramya, 2011). Di Indonesia, naranjo scale telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dan terlampir dalam formulir kuning pelaporan efek samping obat, karena Monitoring Efek Samping Obat (MESO) yang dilakukan di Indonesia bekerja sama dengan WHO Uppsala Monitoring Center (Collaborating Center for International Drug Monitoring) yang dimaksudkan untuk memonitor semua efek samping obat yang dijumpai pada penggunaan obat di Indonesia (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2012). Eksaserbasi asma perlu mendapat perhatian penting karena berisiko tinggi menyebabkan penderitaan bagi pasien dan keluarganya serta meningkatkan pengeluaran biaya sistem kesehatan substansial (Shen et al., 2011). Masalah sosial dan ekonomi dari eksaserbasi asma berkaitan dengan biaya langsung (direct cost) dari pelayanan kesehatan yang digunakan dan biaya tidak langsung (indirect cost) yang berkaitan dengan kehilangan produktivitas (Jackson et al., 2011). Oleh karena itu, studi mengenai risk-benefit assessment ini juga akan didukung dengan cost-effectiveness analysis (CEA) untuk menilai biaya langsung (direct cost) yang diperlukan (input) dan outcome klinis yang dihasilkan (output), dengan membandingkan perbedaan biaya (incremental costs) dan perbedaan efek (incremental effects) (PHARMAC, 2004; College voor Zorgverzerkeringen, 2006; 6
7 Bootman et al., 2005). Tahun 2003, suatu studi terhadap 401 pasien asma dewasa menunjukkan biaya total penyakit tahunan per orang (total per-person annual disease costs) rata-rata sebesar $ Biaya langsung sebesar 65% dan biaya tidak langsung (indirect cost) sekitar 35% dari total biaya yang digunakan dalam pengobatan (Foggs dan Chipps, 2008). 1. Perumusan Masalah Rumusan masalah utama adalah sebagai berikut: Bagaimana perbandingan penilaian risiko dan manfaat (risk-benefit assessment) antara terapi aminofilin dengan salbutamol pada eksaserbasi asma?. Berdasarkan keterangan di atas, dapat diuraikan menjadi rumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana perbandingan efikasi pada penggunaan aminofilin intravena dan salbutamol inhalasi pada eksaserbasi asma? b. Bagaimana perbandingan ADR pada penggunaan aminofilin intravena dan salbutamol inhalasi pada eksaserbasi asma? c. Bagaimana perbandingan cost-effectiveness penggunaan obat pada pasien eksaserbasi asma dengan penggunaan aminofilin intravena dan salbutamol inhalasi? Untuk mendukung pemabhasan terkait aminofilin (teofilin) maka diperlukan data pendukung berupa: i. Bagaimana profil polimorfisme CYP1A2 pada pasien eksaserbasi asma yang mendapatkan terapi aminofilin intravena? ii. Bagaimana kadar teofilin dalam darah pada pasien eksaserbasi asma setelah pemberian terapi aminofilin intravena selama 1 jam? 7
8 2. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai efikasi teofilin yang dibandingkan dengan salbutamol, yang merupakan terapi lini pertama dalam menejemen eksaserbasi asma (Global Initiative for Asthma, 2015), telah dikembangkan sejak lama namun memberikan hasil yang beragam (Hambleton dan Stone, 1979; Littenberg, 1988; Hart, 2000; Parasmeswaran et al., 2000; Fotinos dan Dodson, 2002; Travers et al., 2002; Roberts et al., 2003; Munro dan Jacobs, 2004; Nakano et al., 2006; Travers et al., 2012). Penelitian mengenai keamanan (safety) dari penggunaan teofilin/aminofilin di Indonesia sendiri masih belum ada. Beberapa penelitian mengenai penggunaan teofilin/aminofilin di rumah sakit menyatakan bahwa penggunaannya relatif aman dan ADR yang terjadi cenderung ringan (Junaidi, 2006; Arianti, 2009; Rahayu, 2009; Lorensia et al., 2011; Nuriah, 2012; Rahayu, 2009; Lorensia et al., 2012; Lorensia dan Amalia, 2015). Respon pasien asma terhadap terapi teofilin dipengaruhi oleh genetik (Tse et al., 2011), yang bersifat individual. Teofilin dimetabolisme oleh Cytochrome (CYP) P450 dan aktivitas enzim tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik yang bersifat interindividual. Hal ini juga didukung beberapa studi bahwa ada pengaruh genetik dalam metabolisme teofilin (Baba dan Yamaguchi, 2005; Uslu et al., 2010; Obase et al., 2003). Penelitian mengenai risk-benefit assessment pada asma dengan membandingkan terapi teofilin dan salbutamol belum ditemukan, namun penelitian mengenai risk terkait keamanan (safety) penggunaan dan benefit terkait 8
9 efektivitas dari terapi teofilin telah dilaporkan oleh beberapa penelitian sebelumnya (Burki, 1977; Goldstein dan Chervinsky, 2002; Ohta et al., 2004; Tyagi et al., 2007; Lee et al.; 2009). Tabel 1. Perbedaan Penelitian yang akan Dilakukan dengan Penelitian Sebelumnya No. Pembeda Penelitian Sebelumnya Penelitian ini 1. Perlakuan : aminofilin IV dibandingkan dengan salbutamol, epinephrine, atau bronkodilator lain (Littenberg, 1988). aminofilin iv dibandingkan dengan salbutamol IV (Hambleton dan Stone, 1979; Munro dan Jacobs, 2004) Kombinasi aminofilin IV dan salbutamol dibandingkan dengan salbutamol saja (Hart, 2000; Parasmeswaran et al., 2000; Munro dan Jacobs, 2004; Nakano et al., 2006; Travers et al., 2012), Aminofilin IV dibandingkan dengan LABA (Fotinos dan Dodson, 2002), Salbutamol IV dibandingkan dengan salbutamol nebulasi atau metilxanthin iv (Travers et al., 2002). 2. Metode : Efektivitas (Hambleton dan Stone, 1979; Littenberg, 1988; Parasmeswaran et al., 2000; Roberts et al., 2003; Munro dan Jacobs, 2004; Nakano et al., 2006; Lee et al., 2009; Travers et al., 2012), Keamanan (safety) (Hart, 2000, Ohta et al., 2004, Tyagi et al., 2007) Efektivitas dan keamanan teofilin oral dalam kombinasi dengan ipratropium (Burki, 1977). Efikasi (efficacy) dan keamanan (safety) doxofilin, teofilin, dan plasebo (Goldstein dan Chervinsky, 2002). 3. Subjek penelitian Keterangan: IV : intravena LABA : Long acting beta-2 agonist Membandingkan aminofilin intravena dengan salbutamol nebulasi Risk-benefit assessment dan Cost-effectiveness analysis : Pasien asma akut parah (Littenberg, 1988) Pasien asma akut Pasien COPD di Turki (Baba dan Yamaguchi, 2005; Uslu et al., 2010) Pasien asma di Jepang (Obase et al., 2003) di Indonesia 9
10 Penelitian ini berbeda dengan semua penelitian sebelumnya (Tabel 1) dalam aspek perlakuan, metode, dan subjeknya. Penelitian ini akan melihat perbedaan efikasi (efficacy) dan keamanan (safety) dari terapi asma dengan aminofilin dan salbutamol pada pasien asma yang mengalami eksaserbasi asma parah atau mengancam jiwa di rumah sakit di Surabaya. Penelitian ini juga akan melihat profil polimorfisme CYP1A2 pada pasien eksaserbasi asma yang mendapatkan terapi aminofilin intravena karena belum ada data mengenai genetik CYP1A2 pada pasien asma di Indonesia, serta profil kadar teofilin dalam darah pada pasien eksaserbasi asma setelah pemberian terapi aminofilin intravena selama 1 jam. Selain itu, juga melihat perbandingan cost-effectiveness penggunaan obat pada pasien asma dengan terapi aminofilin intravena dibandingkan dengan salbutamol nebulasi. Perbedaan semua penelitian dapat dilihat pada tabel Urgensi (Kepentingan) Penelitian Penelitian tentang Analisis Perbandingan Risiko dan Manfaat (Risk-Benefit Assessment) Penggunaan Aminofilin dan Salbutamol pada Pasien dengan Eksaserbasi Asma penting dan mendesak dilakukan karena beberapa alasan berikut: a. Asma masih merupakan salah satu dari masalah kesehatan mayor di dunia, akibat heterogenitas asma yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor (Global Initiative for Asthma, 2015). b. Aminofilin merupakan salah satu obat asma yang sering digunakan dalam penanganan eksaserbasi asma di rumah sakit, yang termasuk dalam daftar DOEN 2015 dan FORNAS 2015 namun tidak banyak direkomendasikan 10
11 pada pedoman internasional. Maka dengan dikembangkannya penelitian itu dapat memberikan masukan mengenai efektifitas dan keamanan (safety) penggunaan teofilin/aminofilin. c. Penelitian mengenai profil genetik terhadap penggunaan teofilin/aminofilin pada orang Indonesia masih sangat terbatas. Penelitian ini dapat mengembangkan informasi tentang profil genetic orang Indonesia terkait metabolism teofilin, yang mungkin dapat dikaitkan dengan efektifitas dan ADR teofilin d. Hasil riset risk-benefit assessment dan cost-effectiveness analysis terkait terapi teofilin/aminofilin, dapat menjadi masukan bagi rumah sakit dalam menetapkan penanganan eksaserbasi asma yang tepat dan efektif. f. Temuan riset ini dapat berkontribusi dalam pengembangan ilmu dan pembelajaran di bidang kesehatan (klinis) dan menjadi landasan untuk proses pengembangan ilmu farmasi terutama dalam analisa keamanan, efikasi, serta biaya pada pengobatan yang diterima pasien asma yang mengalami eksaserbasi. 11
12 B. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, tujuan penelitian utama adalah untuk mengetahui perbandingan penilaian risiko dan manfaat (risk-benefit assessment) antara terapi aminofilin dengan salbutamol pada eksaserbasi asma. Berdasarkan tujuan penelitian utama di atas, dapat diuraikan menjadi tujuan sebagai berikut: 1. Mengetahui perbandingan efikasi pada penggunaan aminofilin intravena dan salbutamol inhalasi pada eksaserbasi asma. 2. Mengetahui perbandingan ADR pada penggunaan aminofilin intravena dan salbutamol inhalasi pada eksaserbasi asma. 3. Mengetahui cost-effectiveness penggunaan obat pada pasien asma dengan penggunaan aminofilin intravena dan salbutamol inhalasi. Untuk mendukung pemabhasan terkait aminofilin (teofilin) maka diperlukan data pendukung berupa: a. Mengetahui profil polimorfisme CYP1A2 pada pasien eksaserbasi asma yang mendapatkan terapi aminofilin intravena. b. Mengetahui kadar teofilin dalam darah pada pasien eksaserbasi asma setelah pemberian terapi aminofilin intravena selama 1 jam. 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
DAFTAR ISI HALAMAN PERSETUJUAN... HALAMAN PERNYATAAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ARTI SINGKATAN... INTISARI... i ii iii vi xi xv xvi xvii xxi
Lebih terperinciBab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya
Bab I Pendahuluan Latar Belakang Penelitian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya reversibel,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BALAKANG. sedang berkembang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BALAKANG Asma merupakan penyebab mortilitas dan morbiditas kronis sedunia dan terdapat bukti bahwa prevalensi asma meningkat dalam 20 tahun terakhir. Prevalensi penyakit asma
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermiten yang bersifat reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu yang
Lebih terperinciDr. Masrul Basyar Sp.P (K)
Dr. Masrul Basyar Sp.P (K) Program Penatalaksanaan Asma 1. Edukasi 2. Monitor penyakit berkala (spirometri) 3. Identifikasi dan pengendalian pencetus 4. Merencanakan Terapi 5. Menetapkan pengobatan pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS)
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS) mengartikan Penyakit Paru Obstruktif Kronik disingkat PPOK sebagai penyakit yang ditandai dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease)
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit sistem pernapasan merupakan penyebab 17,2% kematian di dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease) 5,1%, infeksi pernapasan bawah
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba memerlukan tatalaksana segera dan kemungkinan
Lebih terperinciOrganisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan ada tiga bentuk diabetes mellitus, yaitu diabetes mellitus tipe 1 atau disebut IDDM (Insulin Dependent
BAB 1 PENDAHULUAN Hiperglikemia adalah istilah teknis untuk glukosa darah yang tinggi. Glukosa darah tinggi terjadi ketika tubuh memiliki insulin yang terlalu sedikit atau ketika tubuh tidak dapat menggunakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau COPD (Chronic
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau COPD (Chronic obstructive pulmonary disease) merupakan penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatanaliran udara di saluran
Lebih terperinci2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma
2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma penatalaksanaan asma terbaru menilai secara cepat apakah asma tersebut terkontrol, terkontrol sebagian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di negara maju. Sebagai contoh di Singapura 11,9% (2001), Taiwan 11,9% (2007), Jepang 13% (2005)
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL Penelitian ini dilakukan pada penderita asma rawat jalan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan Agustus-September 2016. Jumlah keseluruhan subjek yang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). Asma merupakan penyakit inflamasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa dekade
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asma adalah penyakit paru kronik yang sering terjadi di dunia. Data mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa dekade terakhir (Mchpee
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati berupa hambatan aliran udara yang progresif, ditandai dengan inflamasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang menderita asma hingga saat ini. Prevalensi asma di Indonesia tahun 2003
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 2013, WHO, (2013) memperkirakan terdapat 235 juta orang yang menderita asma hingga saat ini. Prevalensi asma di Indonesia tahun 2003 berdasarkan hasil survei
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Asma Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang terjadi di saluran pernafasan yang menyebabkan penyempitan pada saluran pernafasan tersebut (Nelson, 2007). Sedangkan menurut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Asma bronkial merupakan penyakit kronik tidak menular yang paling sering dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri berkorelasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN UKDW. pada masa bayi, balita maupun remaja (Sidhartani, 2007).
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma adalah penyakit paru kronik yang sering terjadi di dunia. Data mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa dekade terakhir (Mchpee and
Lebih terperincimenunjukkan 19,7% diderita oleh perempuan dewasa perkotaan, 13,1% lakilaki dewasa, dan 9,8% anak-anak. Anemia pada perempuan masih banyak ditemukan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anemia merupakan salah satu penyakit dengan penyebab multifaktorial, dapat dikarenakan reaksi patologis dan fisiologis yang bisa muncul sebagai konsekuensi dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai karakteristik keterbatasan aliran nafas yang persisten, bersifat progresif dan berkaitan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma merupakan penyakit heterogen dengan karakteristik adanya inflamasi saluran napas kronis. Penyakit ini ditandai dengan riwayat gejala saluran napas berupa wheezing,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. banyak terjadi di masyarakat adalah penyakit asma (Medlinux, (2008).
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejadian penyakit alergi akhir-akhir ini meningkat sejalan dengan perubahan pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun zat-zat yang ada di dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia (Kementerian Kesehatan, 2008).
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan kisaran usia 5-14 tahun (Gerald dkk, 2004). Prevalens asma di Indonesia belum
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, terdapat sekitar 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak
Lebih terperinciBAB I A. LATAR BELAKANG. morbiditas kronik dan mortalitas di seluruh dunia, sehingga banyak orang yang
BAB I A. LATAR BELAKANG Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) merupakan penyebab utama dari morbiditas kronik dan mortalitas di seluruh dunia, sehingga banyak orang yang menderita akibat PPOK. PPOK merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. baik di negara berkembang maupun di negara maju. Penyakit asma termasuk lima
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kasus asma meningkat secara dramatis selama lebih dari lima belas tahun baik di negara berkembang maupun di negara maju. Penyakit asma termasuk lima besar penyebab kematian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. termasuk kelompok gangguan saluran pernapasan kronik ini. Dalam beberapa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia tidak terkecuali di Indonesia. Walaupun penyakit asma mempunyai tingkat fitalitas yang rendah namun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati dengan beberapa efek
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati dengan beberapa efek ekstraparu yang signifikan dan berpengaruh terhadap keparahan penderita. Menurut GOLD (Global
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sering timbul dikalangan masyarakat. Data Report Word Healt Organitation
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah satunya adalah asma. Serangan asma masih merupakan penyebab utama yang sering timbul dikalangan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang biasanya progresif
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Definisi Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel inflamasi sehingga menimbulkan gejala yang berhubungan dengan luas inflamasi,
Lebih terperinciPENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT
PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT Faisal Yunus Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI - RS Persahabatan Jakarta PENDAHULUAN Asma penyakit kronik saluran napas Penyempitan saluran napas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada era modern saat ini, gaya hidup manusia masa kini tentu sudah
BAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era modern saat ini, gaya hidup manusia masa kini tentu sudah mengalami perubahan yang sangat besar. Saat ini orang cenderung memiliki gaya hidup
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menjadi menyempit karena meningkatnya prevalensi di negara-negara berpendapatan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi asma di berbagai negara sangat bervariasi, namun perbedaannya menjadi menyempit karena meningkatnya prevalensi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyebab mortalitas terbesar kelima di dunia dan menunjukkan peningkatan jumlah kasus di negara maju dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Asma bronkial merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma bronkial merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak maupun dewasa di negara berkembang maupun negara maju. Sejak dua dekade terakhir, dilaporkan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.1. Latar Belakang Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara diseluruh dunia. Meskipun penyakit
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. asma di dunia membuat berbagai badan kesehatan internasional. baik, maka akan terjadi peningkatan kasus asma dimasa akan datang.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang The Global Initiative For Asthma (GINA) menetapkan tanggal 1 Mei sebagai hari asma sedunia. Semakin meningkatnya jumlah penderita asma di dunia membuat berbagai badan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel
Lebih terperinciToksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis Kerusakan genetik Pertumbuhan tumor Kejadian cacat waktu lahir.
Uji Pra-Klinik Uji Pra-Klinik dimaksudkan untuk mengetahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan ataukah tetap aman dipakai. Karena itulah penelitian toksisitas merupakan cara potensial
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. menyerang lebih dari 25% populasi dewasa. (Smeltzer & Bare, 2001)
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah klasifikasi luas dari gangguan, yang mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema, dan asma. Penyakit Paru Obstruksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di Indonesia sering terdengar kata Transisi Epidemiologi atau beban ganda penyakit. Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks dalam pola kesehatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya terjangkit di negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global Initiatif for Asthma
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (noncommunicable
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan berubahnya tingkat kesejahteraan, pola penyakit saat ini telah mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya penyebab kematian yang semula
Lebih terperinciolahraga secara teratur, diet pada pasien obesitas, menjaga pola makan, berhenti merokok dan mengurangi asupan garam (Tedjasukmana, 2012).
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipertensi atau lebih dikenal dengan istilah tekanan darah tinggi merupakan suatu keadaan dimana seseorang mempunyai tekanan darah sistolik (TDS) 140 mmhg dan tekanan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kesehatan merupakan harta yang paling penting dalam kehidupan manusia. Kesehatan merupakan hak bagi setiap warga negara seperti yang telah diatur oleh undang-undang.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyakit jantung dan pembuluh darah telah menduduki peringkat pertama sebagai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau penyakit kardiovaskuler saat ini merupakan salah satu penyebab utama kematian di negara maju dan berkembang. Hasil penelitian Tim
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. batuk, mengi dan sesak nafas (Somatri, 2009). Sampai saat ini asma masih
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Asma telah di kenal sejak ribuan tahun lalu, para ahli mendefinisikan bahwa asma merupakan suatu penyakit obstruksi saluran nafas yang memberikan gejalagejala batuk,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. yang ditandai dengan pembatasan aliran udara yang irreversibel (Celli & Macnee,
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah keadaan progresif lambat yang ditandai dengan pembatasan aliran udara yang irreversibel (Celli & Macnee, 2004).
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang terbaru (2010), masih menempatkan Indonesia sebagai negara dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laporan Tuberkulosis (TB) dunia oleh World Health Organization (WHO) yang terbaru (2010), masih menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah pasien TB terbesar
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi dapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah suatu keadaan terdapatnya keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif. Penyakit ini
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Pengertian Asma Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan
Lebih terperinciFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG Pendahuluan asma merupakan proses inflamasi kronik dimana yang berperan adalah sel-sel inflamasi maupun struktural dari bronkus GINA 2010
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah salah satu penyakit dengan risiko
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah salah satu penyakit dengan risiko mortalitas dan morbiditas yang sangat tinggi di dunia. Sekitar 26 juta orang dewasa di Amerika
Lebih terperinciBAB 1 :PENDAHULUAN. masih merupakan masalah kesehatan utama yang banyak ditemukan di. hubungan status gizi dengan frekuensi ISPA (1).
BAB 1 :PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung hingga alveoli,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Premier Jatinegara, Sukono Djojoatmodjo menyatakan masalah stroke
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Stroke merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian khusus dan dapat menyerang siapa saja dan kapan saja, tanpa memandang ras, jenis kelamin, atau
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Gagal jantung adalah keadaan di mana jantung tidak mampu memompa darah untuk mencukupi kebutuhan jaringan melakukan metabolisme dengan kata lain, diperlukan peningkatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut data World Health Organization (WHO) 2012, bahwa Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit yang mengancam jiwa. Lebih dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara saluran nafas, dimana hambatan aliran udara saluran nafas
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu penyakit tidak menular (PTM) yang meresahkan adalah penyakit
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu penyakit tidak menular (PTM) yang meresahkan adalah penyakit jantung dan pembuluh darah. Berdasarkan laporan WHO tahun 2005, dari 58 juta kematian di dunia,
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. Pada tahun 2012, diperkirakan sebanyak 17,5 juta orang di dunia
BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pada tahun 2012, diperkirakan sebanyak 17,5 juta orang di dunia meninggal akibat penyakit kardiovaskuler dan 85% di antaranya meninggal karena serangan jantung dan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,
Lebih terperinciSTUDI KARAKTERISTIK PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) DI RSUD A.W SJAHRANIE SAMARINDA PERIODE JANUARI- DESEMBER 2014
STUDI KARAKTERISTIK PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) DI RSUD A.W SJAHRANIE SAMARINDA PERIODE JANUARI- DESEMBER 2014 Hardiana Sepryanti Palinoan, Risna Agustina, Laode Rijai Fakultas Farmasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan suatu istilah yang digunakan untuk sekelompok penyakit paru
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak di negara dengan pendapatan tinggi sampai rendah. 1 Menurut World Health Organization
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) atau kencing manis, disebut juga penyakit gula merupakan salah satu dari beberapa penyakit kronis yang ada di dunia (Soegondo, 2008). DM ditandai
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang besar di dunia luas dengan prevalensi, dan biaya yang tinggi. Penyakit ini
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan masalah kesehatan yang besar di dunia luas dengan prevalensi, dan biaya yang tinggi. Penyakit ini telah menjadi enam
Lebih terperinciDI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO
ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA PADA KELUARGA Tn. S DENGAN MASALAH ASMAPADA Ny. L DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO Karya Tulis Ilmiah Diajukan Sebagai Salah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. yang merugikan kesehatan, kususnya pada penderita asma.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini zaman semakin berkembang seiring waktu dan semakin memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. Saat ini tingkat ozon naik hingga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker paru merupakan penyebab kematian terbanyak di dunia akibat kanker, baik pada pria maupun wanita di dunia. Di seluruh dunia, kematian akibat kanker paru sendiri
Lebih terperinciUKDW BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan semakin majunya zaman, mulai timbul berbagai macam penyakit tidak menular, yang berarti sifatnya kronis, dan tidak menular dari orang ke orang. Empat jenis penyakit
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran darah yang dapat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran darah yang dapat menyebabkan kenaikan darah di atas nilai nomal. Prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5% pada
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma dan rinosinusitis adalah penyakit yang amat lazim kita jumpai di masyarakat dengan angka prevalensi yang cenderung terus meningkat selama 20-30 tahun terakhir.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. maju maupun di negara-negara sedang berkembang. berbagai sel imun terutama sel mast, eosinofil, limposit T, makrofag, neutrofil
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara-negara sedang berkembang. Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. kematian berasal dari PTM dengan perbandingan satu dari dua orang. dewasa mempunyai satu jenis PTM, sedangkan di Indonesia PTM
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara global Penyakit Tidak Menular (PTM) membunuh 38 juta orang setiap tahun. (1) Negara Amerika menyatakan 7 dari 10 kematian berasal dari PTM dengan perbandingan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Spirometri adalah salah satu uji fungsi paru yang dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) (Health Partners, 2011). Uji fungsi paru
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Infark miokard akut merupakan salah satu penyakit. yang tergolong dalam non-communicable disease atau
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Infark miokard akut merupakan salah satu penyakit yang tergolong dalam non-communicable disease atau penyakit tidak menular (PTM) yang kini angka kejadiannya makin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Penyebab
Lebih terperinciPENATALAKSANAAN ASMA MASA KINI
PENATALAKSANAAN ASMA MASA KINI Dr. Taufik SpP(K) Bagian Pulmonologi FKUA/RSUP Dr.M.Djamil Padang PENDAHULUAN Asma merupakan penyakit saluran nafas yang menjadi masalah kesehatan global saat ini. Kekerapannya
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan salah satu jenis dari penyakit tidak menular yang paling banyak ditemukan di masyarakat dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini kita telah hidup di zaman yang semakin berkembang, banyaknya inovasi yang telah bermunculan, hal ini
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini kita telah hidup di zaman yang semakin berkembang, banyaknya inovasi yang telah bermunculan, hal ini sangat memberi berbagai dampak, baik itu dampak positif
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyakit ISPA khususnya pneumonia masih merupakan penyakit utama penyebab
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit terbanyak yang diderita oleh anak-anak, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Penyakit ISPA
Lebih terperinciPrevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.
L/O/G/O Buku pedoman ASMA DEFINISI : Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.Boalemo 11,0% Riskesdas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini, berkembangnya kehidupan, terjadi perubahan pola struktur
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan epidemiologi kesehatan pada umumnya berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini, dapat dilihat dari sejarah ilmu epidemiologi itu sendiri,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati. Penyakit ini berhubungan dengan peningkatan respon inflamasi kronik pada jalan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. merupakan penyakit nomor satu penyebab kematian di Indonesia dan sekitar 20-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Prevalensi hipertensi atau tekanan darah di Indonesia cukup tinggi. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2001 menunjukkan bahwa 8,3% penduduk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli), dengan gejala batuk pilek yang disertai nafas sesak atau nafas cepat. Penyakit
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pneumonia merupakan salah satu infeksi berat penyebab 2 juta kematian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pneumonia merupakan salah satu infeksi berat penyebab 2 juta kematian anak usia di bawah 5 tahun di negara berkembang pada tahun 2011 (Izadnegahdar dkk, 2013).
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 2014). Pneumonia pada geriatri sulit terdiagnosis karena sering. pneumonia bakterial yang didapat dari masyarakat (PDPI, 2014).
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia merupakan penyakit infeksi saluran napas bawah akut pada parenkim paru. Pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hidup dan semakin tingginya penjanan faktor resiko, seperti faktor pejamu
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Lebih terperincidalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi.
BAB 1 PENDAHULUAN Infeksi pada Saluran Nafas Akut (ISPA) merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat. Adapun penyebab terjadinya infeksi pada saluran nafas adalah mikroorganisme, faktor lingkungan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. insektisida antikolinesterase, serta gangguan hepar dan gagal ginjal akibat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keracunan memiliki dampak negatif, baik terhadap kesehatan maupun sosial-ekonomi. Keracunan akut maupun kronis akan menimbulkan gangguan kesehatan, misalnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kecacatan. World Health Organization (WHO) memperkirakan, pada tahun 2020
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lebih dari 60 tahun arah pembangunan dibidang kesehatan selama ini menekankan terhadap pengendalian penyakit menular. Kondisi yang sepenuhnya belum tertanggulangi ini
Lebih terperinciM.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007.
Triya Damayanti M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, 2000. Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007. Ph.D. :Tohoku University, Japan, 2011. Current Position: - Academic
Lebih terperinci