PENGARUH EFEKTIFITAS HERBISIDA DIURON 500 g/l SC DALAM PENGENDALIAN GULMA PADA TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH EFEKTIFITAS HERBISIDA DIURON 500 g/l SC DALAM PENGENDALIAN GULMA PADA TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L)"

Transkripsi

1 PENGARUH EFEKTIFITAS HERBISIDA DIURON 500 g/l SC DALAM PENGENDALIAN GULMA PADA TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L) DICKY NURFAUZI MUSTOPA A DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 RINGKASAN DICKY NURFAUZI MUSTOPA. Pengaruh Efektifitas Herbisida Diuron 500 g/l SC dalam Pengendalian Gulma pada Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L). (Dibimbing oleh HARIYADI). Percobaan ini dilakukan untuk menguji efikasi herbisida diuron dengan bahan aktif diuron 500 g/l terhadap gulma pada budidaya tanaman tebu yang disimpulkan berdasarkan analisis statistik data biomassa spesies gulma sasaran dan data persentase penutupan gulma. Penelitian dilaksanakan di PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang terletak di blok Cidangdeur, desa Pasirbungur, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang, Jawa Barat, pada bulan Desember 2010 sampai Maret Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap teracak (RKLT) dengan satu faktor. Penelitian ini menggunakan Enam perlakuan dengan Empat ulangan. Adapun perlakuan yang diberikan adalah : (P1) diuron 500 g/l SC dengan dosis 0.5 l/ha, (P2) diuron 500 g/l SC dengan dosis 1.0 l/ha, (P3) diuron 500 g/l SC dengan dosis 2.0 l/ha, (P4) diuron 500 g/l SC dengan dosis 3.0 l/ha, (P5) Penyiangan Manual, (P6) Kontrol. Berdasarkan hasil analisis vegetasi sebelum aplikasi herbisida diuron 500 g/l SC didapatkan empat spesies gulma dominan yaitu Cleome rutidosperma, Borreria alata, Digitaria adscendens, dan Brachiaria distachya. Spesies gulma lain sebelum aplikasi herbisida adalah Cynodon dactylon, Urena lobata, Cyperus rotundus, dan Croton monanthogynus. Pada akhir pengamatan dilakukan analisis vegetasi akhir yang memberikan gambaran umum tentang dominansi gulma setelah aplikasi herbisida. Herbisida diuron 500 g/l SC dengan dosis l/ha efektif dalam mengendalikan gulma pada pertanaman tebu hingga 10 MSA. Secara umum berdasarkan hasil analisis statistik, rata-rata diantara perlakuan herbisida dengan dosis 0.5 l/ha, 1.0 l/ha, 2.0 l/ha, dan 3.0 l/ha tidak berbeda tingkat pengendaliannya terhadap pertumbuhan gulma. Sehingga aplikasi herbisida dengan dosis 0.5 l/ha lebih efektif untuk diaplikasikan karena dengan dosis 0.5 l/ha sudah mampu mengendalikan pertumbuhan gulma dan berbeda nyata dengan

3 perlakuan kontrol dan penyiangan manual. Selama percobaan tidak ditemukan gejala keracunan pada perlakuan dosis l/ha, namun pada perlakuan dengan dosis 3.0 l/ha menunjukan skoring keracunan ringan atau tidak terlalu membahayakan.

4 Influence Effectiveness Diuron 500 g/l SC Herbicide Growth of Weed on Sugar Cane (Saccharum officinarum L) Dicky Nurfauzi Mustopa 1, Hariyadi 2 1 Mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB (A ) 2 Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB Abstract The experiment was conducted to test the efficacy of Diuron 500 g/l SC herbicide of weeds in sugar cane cultivation is inferred based on statistical analysis of the target weed species biomass data. The experiment was conducted at PT. PG. PG Rajawali II Unit. Subang is located in block Cidangdeur, Pasirbungur village, District Purwadadi, Subang regency, West Java, in January 2011 to March Experimental design used in this study was a randomized complete randomized design (RKLT) with one factor. This study used six treatments with four replications. The treatment given is: (P1) Diuron 500 g/l SC with a dose of 0.5 l/ha, (P2) Diuron 500 g/l SC with a dose of 1.0 l/ha, (P3 Diuron 500 g/l SC with a dose of 2.0 l/ha, (P4) Diuron 500 g/l SC at a dose of 3.0 l/ha, (P5) Manual Weeding, (P6) Control. Diuron 500 g/l SC herbicide effectively suppress weed growth by 10 MSA. In statistical calculations, the average herbicide treatment with a dose of 0.5 l/ha, 1.0 l/ha, 2.0 l/ha, and 3.0 l/ha showed no significant difference in controlling weed growth. So that the herbicide application with a dose of 0.5 l/ha is more effective to apply for a dose of 0.5 l/ha was able to control weed growth and significantly different from control treatment. During the trial found no symptoms of poisoning at treatment doses of l/ha, but on treatment with a dose of 3.0 l / ha showed mild toxicity scoring or not too harmful. Keywords : Herbicide, Diuron, Weeds, Sugar cane.

5 PENGARUH EFEKTIFITAS HERBISIDA DIURON 500 g/l SC DALAM PENGENDALIAN GULMA PADA TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L) Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor DICKY NURFAUZI MUSTOPA A DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

6 ii LEMBAR PENGESAHAN Judul Nama NIM : PENGARUH EFEKTIFITAS HERBISIDA DIURON 500 g/l SC DALAM PENGENDALIAN GULMA PADA TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L) : DICKY NURFAUZI MUSTOPA : A Menyetujui, Dosen pembimbing Dr. Ir. Hariyadi, MS NIP Mengetahui, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr. NIP Tanggal lulus :

7 iii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Subang, Propinsi Jawa Barat pada tanggal 1 Mei Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Ruhiman, BSW dan Ibu Yayah Komariah. Tahun 2001 penulis lulus dari SDN Tanjungjaya, kemudian pada tahun 2004 penulis menyelesaikan studi di SMP N 1 Tanjungsiang, Subang. Selanjutnya penulis lulus dari SMA N 1 Tanjungsiang pada tahun Tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI sebagai mahasiswa pada Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB. Tahun 2008 hingga 2011 penulis aktif di berbagai organisasi mahasiswa. Tahun 2008 sebagai anggota kegiatan seni musik dan paduan suara Agriasuara dan MAX, tahun 2008/2009 menjadi wakil ketua umum forum kemahasiswaan Kabupaten Subang, dan sebagai koordinator wilayah Bogor pada organisasi mahasiswa Subang seluruh Indonesia. Selanjutnya penulis pada tahun 2008/2009, menjadi anggota Himagron (Himpunan Mahasiswa Agronomi) Faperta IPB, dan menjadi ketua kegiatan OSPEK mahasiswa baru angkatan 45 yang dikenal dengan nama MPD (Masa Perkenalan Departemen) Agronomi dan Hortikultura dengan nama kegiatannya adalah SEMAI 45.

8 iv KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan hidayah sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian pengujian efikasi herbisida diuron 500 g/l SC ini dilaksanakan terdorong oleh keinginan untuk mengetahui pengaruh efektifitas herbisida terhadap pertumbuhan gulma pada tanaman tebu (Saccharum officinarum L) dan efek toksisitasnya bagi tanaman tebu. Penelitian dilaksanakan di lahan tanaman tebu PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang yang terletak di blok Cidangdeur, desa Pasirbungur, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Penulis menyampaikan terimakasih kepada Dr. Ir. Hariyadi, MS. yang telah memberi bimbingan dan pengarahan selama kegiatan penelitian dan penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada teknisi kebun yang telah memberikan bantuan selama pelaksanaan penelitian. Kepada kedua orang tua yang telah memberikan dorongan yang tulus baik moril maupun materil, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya. Semoga hasil penelitian ini berguna bagi yang memerlukan. Bogor, Juli 2011 Penulis

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Percobaan... 3 Hipotesis... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Ekologi gulma... 4 Persaingan Gulma dan Tanaman Tebu... 5 Penggunaan Herbisida... 6 Herbisisida Pra Tumbuh... 7 Diuron... 8 Aplikasi Herbisida BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian Pelaksanaan Penelitian Pengamatan HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Gulma Dominan Persentase Penutupan Gulma Bobot Kering Gulma Bobot Kering Gulma Total Bobot Kering Gulma Daun Lebar Total Bobot Kering Gulma Rumput Bobot Kering Gulma Cleome rutidosperma Bobot Kering Gulma Borreria alata Bobot Kering Gulma Digitaria adcendens Bobot Kering Gulma Brachiaria distachya Fitotoksisitas pada Tanaman Tebu Perbandingan dengan Pengendalian Mekanis Pembahasan Umum KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN vi vii viii

10 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Rekapitulasi Sidik Ragam pada Tiap Waktu Pengamatan Nisbah Jumlah Dominansi (NJD) Gulma Sebelum Aplikasi Herbisida Nisbah Jumlah Dominansi (NJD) Gulma Setelah Aplikasi Herbisida Data Curah Hujan Selama Percobaan Pengaruh Pengendalian Gulma terhadap Persentase Penutupan Gulma Pengaruh Perlakuan Pengendalian Gulma terhadap Bobot Kering Gulma Total Pengaruh Perlakuan Pengendalian Gulma terhadap Bobot Kering Gulma Daun Lebar Pengaruh Perlakuan Pengendalian Gulma terhadap Bobot Kering Gulma Rumput Pengaruh Perlakuan Pengendalian Gulma terhadap Bobot Kering Gulma Cleome rutidosperma Pengaruh Perlakuan Pengendalian Gulma terhadap Bobot Kering Gulma Borreria alata Pengaruh Perlakuan Pengendalian Gulma terhadap Bobot Kering Gulma Digitaria adscendens Pengaruh Perlakuan Pengendalian Gulma terhadap Bobot Kering Gulma Brachiaria distachya Data Nilai Rata-rata Tingkat Skoring Toksisitas pada Tanaman Tebu Perbandingan Biaya antara Penyiangan Manual dengan Perlakuan Herbisida dengan Beberapa Dosis.. 46

11 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Rumus Bangun Herbisida Diuron Kondisi Lahan Percobaan di PG. Rajawali 2 Unit Subang Gambar Gulma Dominan Grafik Persentase Penutupan Gulma Grafik Bobot Kering Gulma Total Grafik Bobot Kering Gulma Daun Lebar Grafik Bobot Kering Gulma Rumput Grafik Bobot Kering Gulma Cleome rutidosperma Regresi Pengaruh Perlakuan Herbisida Antara Dosis dengan Bobot Kering Gulma Cleome rutidosperma Grafik Bobot Kering Gulma Borreria alata Regresi Pengaruh Perlakuan Herbisida Antara Dosis dengan Bobot Kering Gulma Borreria alata Grafik Bobot Kering Gulma Digitaria adscendens Regresi Pengaruh Perlakuan Herbisida Antara Dosis dengan Bobot Kering Gulma Digitaria adscendens Grafik Bobot Kering Gulma Brachiaria distachya Regresi Pengaruh Perlakuan Herbisida Antara Dosis dengan Bobot Kering Gulma Brachiaria distachya Grafik Tingkat Skoring Toksistas pada Tanaman Tebu... 44

12 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Sidik Ragam Persentase Penutupan Gulma Total Sidik Ragam Bobot Kering Gulma Total Sidik Ragam Bobot Kering Total Gulma Daun Lebar Sidik Ragam Bobot Kering Total Gulma Rumput Sidik Ragam Bobot Kering Total Gulma Cleome rutidosperma Sidik Ragam Bobot Kering Total Gulma Borreria alata Sidik Ragam Bobot Kering Total Gulma Digitaria adscendens Sidik Ragam Bobot Kering Total Gulma Brachiaria distachya Perbandingan Pertumbuhan Gulma pada Setiap Petak Perlakuan pada 2 MSA Perbandingan Pertumbuhan Gulma pada Setiap Petak Perlakuan pada 12 MSA Perbandingan Tingkat Toksisitas pada Tanaman Tebu dari Setiap Perlakuan Dosis Herbisida pada 6 MSA Denah Satuan Petak Perlakuan dan Pengambilan Contoh Gulma serta Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L) Denah Petak Lahan dengan Enam Perlakuan dan Empat Ulangan Data Curah Hujan PT. PG. Rajawali II Unit Subang... 65

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman tebu (Saccharum officinarum L) adalah suatu komoditi perkebunan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Menurut Notojoewono dalam Rahmawati (1994) tebu semula dikatakan berasal dari India di sekitar Sungai Gangga, dan ada lagi yang mengatakan dari Kepulauan Pasifik Selatan atau Irian. Permintaan tebu sebagai bahan baku gula pasir semakin meningkat. Pada tahun 2007 total kebutuhan gula di Indonesia mencapai 2.6 juta ton, sedangkan produksi gula hanya 2.1 juta ton (Zainudin, 2007). Produksi hablur (gula) pada tahun meningkat 7.97 % per tahun (produktivitas meningkat 4.01 % per tahun) sedangkan pada tahun turun 2.16 % per tahun (produktivitas menurun 2.58 % per tahun). Luas areal perkebunan tebu dari tahun ke tahun semakin meningkat, estimasi luas areal perkebunan tebu pada tahun 2011 adalah sebesar ha, dan estimasi produksi tebunya sebesar ton (Deptan, 2010). Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk gula pasir, maka peningkatan produksi tebu perlu dilakukan dan semua permasalahan dalam usaha budidaya tebu dapat diatasi, termasuk di dalamnya tindakan pengendalian terhadap gulma sebagai jasad pengganggu yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman tebu. Kemajuan pertanian dewasa ini secara langsung ataupun tidak langsung dapat memacu pertumbuhan gulma, seperti penanaman dalam baris, jarak tanam yang lebar, mekanisasi, pengairan, dan pemberian bahan-bahan kimia seperti pupuk. Keadaan suhu yang relatif tinggi, cahaya matahari melimpah, dan curah hujan yang cukup di daerah tropik, juga mendorong gulma untuk tumbuh subur. Akibatnya gulma menjadi masalah dalam budidaya tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan khusunya dalam hal ini perkebunan tebu. Permasalahan yang ditimbulkan oleh adanya gulma diantaranya adalah dengan adanya penurunan produksi yang diakibatkan oleh adanya persaingan dalam pengambilan unsur hara, air, sinar matahari, dan ruang hidup antara gulma dan tanaman yang dibudidayakan. Mengingat masalah gulma ini merupakan suatu masalah yang sangat penting dalam usaha pertanian khususnya dalam budidaya

14 2 tanaman tebu, maka selalu dicari alternatif pemecahan masalah pengendalian gulma yang tidak dapat dilakukan hanya mengandalkan tenaga manusia dengan penyiangan secara manual. Pengendalian gulma menggunakan senyawa kimia akhir-akhir ini sangat diminati, terutama untuk lahan pertanian yang cukup luas. Senyawa kimia yang digunakan untuk megendalikan gulma sering disebut dengan nama herbisida. Herbisida merupakan alat yang canggih dalam pengendalian gulma serta memberikan keuntungan lebih dalam pemakaiannya. Salah satu pertimbangan yang penting dalam pemakaian herbisida adalah untuk mendapatkan pengendalian yang selektif, yaitu mematikan gulma, tetapi tidak merusak tanaman budidaya. Oleh karena itu perlu dosis konsentrasi dan jenis herbisida yang tepat pada tanaman, supaya kelebihan dan kesalahan pemakaian herbisida dapat dihindari. Dalam hal ini perlu pemahaman tentang fisiologi dari tumbuhan dan herbisida itu sendiri. Fisiologi herbisida dengan sendirinya akan mengungkapkan hubungan herbisida mulai dari masuknya ke dalam tubuh tumbuhan sehubungan dengan proses-proses yang mendukung metabolisme itu dan dampak yang diakibatkan. Perkembangan teknologi yang semakin pesat mendorong manusia untuk berusaha mendapatkan herbisida-herbisida yang baru untuk meningkatkan pengendalian gulma dengan cara efisien dan efektif. Salah satu bahan aktif herbisida yang sering digunakan dalam pertanaman tebu adalah diuron. Diuron mempunyai kemampuan untuk menahan pencucian karena daya larutnya yang rendah dalam air, sehingga persistensi diuron dalam tanah cukup lama yaitu sekitar 2-3 bulan (Tjitrosoedirdjo et al., 1984). Herbisida yang diujikan dalam penelitian ini adalah herbisida yang memiliki kandungan bahan aktif diuron 500 g/l dengan beberapa dosis konsentrasi yang berbeda pada setiap perlakuan yang dibandingkan dengan perlakuan kontrol atau tanpa perlakuan herbisida dan penyiangan manual.

15 3 Tujuan Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah untuk menguji efikasi herbisida diuron 500 g/l SC terhadap pengendalian gulma pada budidaya tanaman tebu yang disimpulkan berdasarkan analisis statistik data biomassa spesies gulma sasaran dan persen penutupan gulma. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Penggunaan herbisida diuron 500 g/l SC dengan dosis tertentu dapat mengendalikan gulma pada tanaman tebu secara efisien. 2. Tidak ada pengaruh toksisitas herbisida diuron 500 g/l SC terhadap pertumbuhan tanaman tebu.

16 TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Gulma Masalah gulma timbul pada suatu jenis tumbuhan atau sekelompok tumbuhan mulai mengganggu aktifitas manusia baik kesehatannya maupun kesenangannya. Istilah gulma bukanlah istilah yang ilmiah, melainkan istilah yang sederhana yang sudah merupakan milik masyarakat (Sastroutomo, 1990). Secara umum, masyarakat mempunyai konsepsi yang sangat luas tentang apa yang dinamakan dengan gulma atau tanaman pengganggu. Gulma bukan hanya termasuk ke dalam golongan tumbuhan yang merugikan manusia dalam beberapa hal, tetapi juga merupakan jenis tumbuhan yang tidak bermanfaat atau belum diketahui manfaatnya. Pakar-pakar ekologi cenderung melihat gulma sebagai tumbuhan yang mempunyai kemampuan khusus untuk menguasai lahan-lahan yang telah mengalami gangguan manusia. Atau dalam bahasa ilmiahnya gulma adalah tumbuhan pioner dari suksesi sekunder terutama pada lahan-lahan pertanian (Sastroutomo, 1990). Gulma yang tumbuh pada areal tanaman budidaya akan sangat merugikan tanaman pokoknya. Kerugian ini dapat berupa penurunan hasil, mempersulit pekerjaan pemeliharaan, mempersulit panen, memperbesar biaya produksi dan dapat sebagai sarang hama dan penyakit (Yakup, 2002). Cara yang paling sederhana dan biasa digunakan untuk mengelompokan gulma adalah berdasarkan habitatnya. Ada beberapa kelompok gulma yang penting yaitu gulma agrestal atau segetal, ruderal, gulma padang rumput, gulma air, gulma hutan, dan gulma lingkungan (Sastroutomo, 1990). Penelitian ini lebih mengarah pada kelompok gulma agrestal atau segetal. Agrestal merupakan kelompok gulma yang berada pada lahan pertanian atau di tanah-tanah yang mengalami pengolahan, termasuk di dalamnya adalah gulma-gulma tanaman pangan, kebun sayur, buah-buahan, dan perkebunan. Guna kepentingan praktis agrestal biasanya secara sederhana dibagi menjadi gulma semusim dan gulma menahun. Gulma menahun biasanya memiliki daya reproduksi vegetatatif yang tinggi, sedangkan gulma semusim daya reproduksinya hanya bergantung pada biji (Sastroutomo, 1990). Pembagian lain

17 5 dari agrestal adalah menjadi gulma berdaun lebar (dikot) dan gulma berdaun sempit (monokot) yang dibagi lagi menjadi rerumputan (Gramineae) dan tekitekian (Cyperaceae). Dalam penelitian ini akan lebih difokuskan kapada efikasi herbisida diuron 500 g/l SC terhadap ketiga golongan gulma tersebut. Persaingan Gulma dan Tanaman Tebu Masalah gulma yang timbul diakibatkan karena adanya persaingan antara gulma dan tanaman budidaya. Persaingan akan terjadi bila timbul interaksi antar lebih dari satu tumbuhan. Interaksi adalah peristiwa saling tindak antar tumbuhan tersebut. Kompetisi berasal dari kata competere yang berarti mencari atau mengejar sesuatu yang secara bersamaan dibutuhkan oleh lebih dari satu pencari. Persaingan timbul dari 3 reaksi tanaman pada faktor fisik dan pengaruh faktor yang dimodifikasikan pada pesaing-pesaingnya (Moenandir, 1993). Soedarsan dkk. dalam Agustanti (2006) mencatat adanya tujuh jenis gulma penting pada pertanaman tebu yang hampir semuanya terdiri dari jenis rerumputan (5), satu teki, dan satu jenis gulma berdaun lebar. Jenis-jenis gulma yang tumbuh di pertanaman tebu sangat ditentukan oleh cara pengolahan tanah dan macam tanaman budidayanya. Pada tanaman tebu, gulma akan bersaing dalam hal mendapatkan air, zat hara (pupuk), sinar matahari dan ruang gerak pertumbuhan tebu. Kadang-kadang ada jenis gulma yang mengeluarkan racun yang dapat mempengaruhi perkembangan dan pertunasan tebu. Supaya tumbuh lebih baik, tebu memerlukan masa bebas gulma antara dua sampai dengan tiga bulan setelah tanam, karena pada masa tersebut dianggap kritikal dalam pembentukan tunas (Sembodo, 1992). Kerugian pada tebu akibat persaingan tersebut terutama pada bobot tebunya, besarnya kerugian akibat gulma ini sangat bervariasi tergantung dari macam spesies gulma dan kerapatannya (Murwandono, 1984). Gulma yang tumbuh pada tanaman tebu menjadi kendala untuk mencapai produksi yang tinggi. Keberadaan gulma pada tanaman tebu dapat menurunkan produksi sebesar % (Kuntohartono, 1998). Keragaman macam gulma dikelompokan berdasarkan umur dan cara berkembangbiaknya. Mengingat masalah gulma ini merupakan suatu masalah yang sangat penting dalam usaha pertanian khususnya dalam budidaya tanaman

18 6 tebu, maka selalu dicari alternatif pemecahan masalah pengendalian gulma yang tidak dapat dilakukan hanya mengandalkan tenaga manusia dengan penyiangan secara manual. Pengendalian gulma menggunakan senyawa kimia akhir-akhir ini sangat diminati, terutama untuk lahan pertanian yang cukup luas. Senyawa kimia yang dipergunakan untuk pengendalian gulma sering disebut herbisida (Yakup, 2002). Penggunaan Herbisida Pada dasarnya ada enam macam metode pengendalian gulma, yaitu mekanis, kultur teknis, fisik, biologis, kimia, dan terpadu. Pengendalian dengan herbisida yang termasuk pengendalian secara kimia adalah upaya dan cara yang sering digunakan petani dalam mengendalikan gulma. Pada saat sekarang penggunaan herbisida tidak hanya terdiri dari satu jenis saja melainkan dapat berupa gabungan dari dua atau tiga jenis herbisida. Herbisida merupakan alat yang canggih dalam proses pegendalian gulma di tanaman perkebunan. Menurut Tjitrosoedirdjo et al. (1984), pengendalian dengan menggunakan herbisida memiliki beberapa keuntungan yaitu penggunaan tenaga kerja yang lebih sedikit dan lebih mudah serta cepat dalam pelaksanaan pengendalian. Herbisida dapat dikelompokan berdasarkan sifat kimia, sifat selektifitas, dan berdasarkan cara pengendaliannya (Yakup, 2002). Salah satu pertimbangan penting dalam pemakaian herbisida adalah untuk mendapatkan pengendalian yang selektif, yaitu mematikan gulma tetapi tidak mengakibatkan kerusakan terhadap tanaman budidaya. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan tentang dosis dan konsentrasi yang optimum pada tanaman, supaya kelebihan pemakaian herbisida dapat dihindari (Yakup, 2002). Berdasarkan waktu aplikasi, biasanya herbisida diaplikasikan berdasarkan oleh stadia pertumbuhan dari tanaman maupun gulma. Manusia akan berusaha mengendalikan gulma dengan cara yang efektif dan efisien, maka dari itu manusia akan berusaha mengembangkan herbisidaherbisida baru. Perlakuan yang berulangkali dapat mengakibatkan resistensi tumbuhan terhadap herbisida. Bila herbisida tersisa dalam tubuh tumbuhan sampai saat panen maka ada residu dalam tubuh tumbuhan dan yang tersisa dalam tanah

19 7 menjadi residu dalam tanah yang dapat mempengaruhi pertumbuhan berikutnya. Absorpi herbisida, yang berarti herbisida diserap oleh tumbuhan dan masuk dalam tubuhnya secara difusi, osmosis, imbibisi dan lain-lain. Absorpi herbisida akan serupa dengan absorpsi nutrisi, sehingga perlu diingat adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya (Moenandir, 1990). Fisiologi herbisida dengan sendirinya akan mengungkapkan hubungan herbisida mulai dari masuknya ke dalam tubuh tumbuhan sehubungan dengan proses-proses yang mendukung metabolisme itu dan dampak yang diakibatkan. Herbisida Pra Tumbuh Peersaingan antara gulma dengan tanaman pokok dapat dicegah sedini mungkin dan untuk melindungi tanaman pokok dari gangguan gulma maka tindakan pengendalian gulma yang tepat adalah dengan menggunakan herbisida pra tumbuh (Sujarwadi, 1994). Lintasan utama masuknya herbisida ke dalam tubuh tumbuhan ialah akar atau batang yang sedang muncul, untuk aplikasi lewat tanah dan batang atau daun untuk aplikasi lewat atas tanah. Dengan demikian herbisida harus masuk terlebih dahulu ke dalam jaringan tumbuhan sebelum terjadi respon biologis. Laju masuknya herbisida ke dalam tubuh tumbuhan tergantung dari stadia perkembangan tumbuhan pada saat aplikasi. Herbisida dapat diaplikasikan ke dalam beberapa kategori. Klasifikasi ini dapat didasarkan pada tipe gulma yang akan dikendalikan, waktu aplikasi, dan bagaimana cara aplikasinya (Tjitrosoedirdjo et al., 1984). Berdasarkan waktu aplikasinya, herbisida dibedakan menjadi herbisida pra kultivasi yang diaplikasikan sebelum tanah diolah dan sebelum ada tanaman, herbisida pra tanam yang diaplikasikan sebelum tanam, sesudah tanah diolah, herbisida pra tumbuh yang diaplikasikan sebelum tanaman tumbuh (muncul), dan herbisida pasca tumbuh yang diaplikasikan setelah tanaman tumbuh dan muncul, demikian pula gulmanya (Moenandir, 1990). Dalam percobaan yang dilakukan lebih difokuskan kepada jenis herbisida pra tumbuh yaitu herbisida diuron 500 g/l SC. Herbisida pra tumbuh bekerja dengan cara mematikan biji-biji gulma yang akan berkecambah di dalam maupun diatas permukaan tanah. Sebagian besar biji

20 8 gulma yang mampu tumbuh terletak di lapisan olah, yaitu lapisan antara cm (Sujarwadi, 1994). Agar dapat merata ke seluruh gulma sasaran, herbisida pra tumbuh memerlukan teknik pengolahan tanah yang baik pada areal yang akan diaplikasikan dan tekstur tanah yang gembur serta tidak berbongkah-bongkah. Untuk mengaplikasikan jenis herbisida pra tumbuh perlu diperhatikan jenis pelarutnya. Aplikasi herbisida pra tumbuh memerlukan cukup banyak pelarut (Barus, 2003). Karena jika kadar air rendah dapat mengurangi efisiensi dan efektivitas pengendalian gulma. Herbisida pra tumbuh akan efektif kerjanya di dalam tanah apabila herbisida tersebut dapat mencapai kedalaman sampai beberapa cm di dalam tanah. Apabila hanya mencapai kurang lebih 1-2 cm, maka pada umumnya hanya akan membunuh biji-biji tumbuhan pengganggu yang setahun (annual) saja. Herbisida pra tumbuh mampu mengendalikan gulma sejak awal, karena kompetisi sejak awal inilah yang banyak menyebabkan kerugian pada tanaman yang akan dibudidayakan. Menurut Kearney dalam Sujarwadi (1994) persistensi herbisida pra tumbuh dalam tanah ditentukan oleh jenis herbisida, kadar air tanah, jumlah liat, suhu tanah, pencucian dan penguapan, kandungan bahan organik, serta kegiatan mikroorganisme. Diuron Masing-masing jenis herbisida memiliki beberapa bahan aktif yang terkandung, diantaranya adalah diuron. Diuron merupakan bahan aktif herbisida yang merupakan jenis herbisida yang diaplikasikan melalui tanah. Herbisida golongan ini merupakan herbisida yang sistemik yang disemprotkan ke tanah, kemudian diserap oleh akar dan ditranslokasikan bersama aliran transpirasi sampai ke side of action pada jaringan daun yang menghambat proses pada photosystem II pada fotosintesis (Yakup, 2002). Diuron merupakan herbisida dari turunan urea. Herbisida ini merupakan herbisida yang selektif dan proses pengendaliannya melalui tanah, walaupun ada beberapa yang lewat daun. Herbisida ini merupakan jenis herbisida yang sistemik, yang menyerang bagian tubuh gulma dan nantinya akan ditranslokasikan ke seluruh tubuh gulma tersebut. Herbisida ini biasanya diabsorbsi melalui akar dan

21 9 ditranslokasikan ke daun melalui batang. Nama kimia dari herbisida diuron adalah 3-(3,4-dichlorophenyl)-1,1-dimethylurea (Gambar 1). O Cl NH C N CH 3 CH 3 Cl 3-(3,4-dichlorophenyl)-1,1-dimethylurea Gambar 1. Rumus Bangun Herbisida Diuron Didalam tubuh tumbuhan diuron mengalami degradasi, terutama melalui pelepasan gugus metil. Herbisida diuron menghambat reaksi Hill pada fotosintesis, yaitu dalam fotosistem II. Dengan demikian pembentukan ATP dan NADPH terganggu (Tjitrosoedirdjo et al., 1984). Kebanyakan herbisida yang berasal dari golongan urea seperti halnya diuron ini lebih cepat diserap melalui akar tumbuhan dan dengan segera ditranslokasikan ke bagian atas tumbuhan (daun dan batang) melalui system apoplastik. Ada dua hal yang menyebabkan diuron tetap berada di permukaan tanah dalam waktu yang relatif agak lama yaitu: (1) tidak mudah larut dalam air sehingga diuron mempunyai kemampuan untuk bertahan dari pencucian dan (2) tingkat absorbsi yang tinggi oleh koloid tanah (Agustanti, 2006). Biasanya jenis herbisida yang memiliki bahan aktif diuron banyak digunakan untuk pengendalian gulma pada tanaman tebu, kapas, karet, teh, dan sebagainya. Tingkat toksisitas diuron sangat tinggi untuk kecambah tumbuhan pengganggu. Dalam keadaan murni diuron akan berupa kristal putih, tidak menguap, tidak mudah terbakar, dan tidak berbau, akan meleleh pada suhu C, larut dalam air pada suhu 25 0 C sebanyak 42 ppm dan tahan terhadap dekomposisi (Agustanti, 2006). Gejala toksisitas yang ditimbulkan oleh herbisida diuron biasanya tergantung pada jenis tumbuhan itu sendiri. Gejala yang timbul biasanya terjadi kematian yang diawali dari ujung daun kemudian apabila ujung daun telah mati,

22 10 maka tidak akan terjadi turgor lagi. Setelah gejala tersebut timbul akan disusul dengan timbulnya khlorosis yang biasanya akan diikuti oleh pertumbuhan yang lambat dan kematian yang mendadak. Biasanya herbisida yang diaplikasikan melalui tanah disemprotkan mengelilingi tanaman pokok atau disemprotkan diantara barisan untuk meningkatkan selektivitas herbisida dan mengurangi biaya pengendalian gulma. Aplikasi Herbisida Cara aplikasi penting dalam penentuan derajat keberhasilan pengendalian gulma, seperti aplikasi yang mengurangi kontak dengan tanaman budidaya dan memperbanyak kontak dengan gulma, ialah dalam alur, setempat, langsung dan lain-lain. Cara terbaik adalah semprotan terarah dengan menggunakan gugusan non selektif dan kontak ke dalam herbisida yang selektif (Moenandir, 1990). Menurut Barus (2003), aplikasi herbisida dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang terdapat pada gulma itu sendiri yaitu faktor pertumbuhan gulma. Faktor eksternal adalah faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi keefektifan dan efisiensi aplikasi herbisida, misalnya curah hujan, angin, sinar matahari (cahaya), temperatur, dan kelemababan udara. Curah hujan dapat menyebabkan bahan aktif herbisida tercuci, angin yang kencang dapat menerbangkan butiran-butiran larutan herbisida dan sinar matahari yang terik dapat menyebabkan terjadinya penguapan larutan herbisida yang diaplikasikan. Waktu aplikasi mempunyai pengaruh juga dalam aktifitas herbisida. Berdasarkan faktor internalnya, waktu aplikasi herbisida yang paling tepat adalah pada saat gulma masih muda dan belum memasuki pertumbuhan generatif. Pada fase ini, penyerapan bahan aktif herbisida yang diaplikasikan dapat berlangsung lebih efektif. Herbisida pra tumbuh dirancang untuk gugusan yang dapat diabsorbsi dalam tanah, yang akan tetap tinggal pada lapisan tanah di permukaan. Peralatan yang benar, nozel yang tepat, kecepatan jalan semprot, penetapan lebar semprotan dan sebagainya, perlu mendapat pertimbangan yang matang sebelum mengadakan aplikasi. Alat yang digunakan untuk melaksanakan penyemprotan disebut dengan

23 11 sprayer yang berfungsi untuk memecah cairan atau larutan menjadi butiranbutiran dengan ukuran yang efektif dan mendistribusikannya secara merata pada permukaan yang dilindungi (Harefa, 1997). Ukuran butiran semprot yang merata pada target dan jumlah butiran tidak kurang dari 20 butir/cm 2 adalah indikasi suatu semprotan yang berhasil (Harefa, 1997). Ukuran tetesan ditentukan oleh volume semprotan, dan ukuran serta bentuk nozel. Menurut Harefa (1997) pada keadaan berangin, tetesan semprotan dengan ukuran besar akan menjadi berguna, dengan ketentuan perlu volume yang lebih tinggi (herbisida kontak). Sedangkan jumlah volume yang lebih rendah dibutuhkan untuk herbisida translokasi atau sistemik. Diusahakan dapat meningkatkan efisiensi kerja dan mendapatkan efikasi pemberantasan setinggi mungkin. Menurut Sutiyoso (1988) aplikasi herbisida harus dengan pengalaman disertai dengan latihan, maka diharapkan bisa dikuasai teknik aplikasi yang jauh lebih baik.

24 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Kegiatan penelitian dilaksanakan di lahan tanaman tebu PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang yang terletak di blok Cidangdeur, desa Pasirbungur, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Perusahaan ini memiliki pabrik dengan jarak sekitar 22 km kearah Utara kota Subang dan 12 km kearah Selatan dari Kecamatan Sukamandi, dengan ketinggian m dpl, dan rata-rata curah hujan sebesar mm per tahun. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2010 sampai Maret Bahan dan Alat Bahan Bahan yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini adalah klon tebu yang sering digunakan di perkebunan PG. Rajawali II, dan herbisida diuron 500 g/l SC yang telah diperiksa kadar bahan aktifnya oleh laboratorium Batan dan disegel. Alat Alat yang digunakan adalah sprayer knapsack semi automatik dengan nozel T-jet sebagai alat penyemprot herbisida yang digunakan, ember, gelas ukur, pengaduk, timbangan, spidol, oven, dan kuadran dengan ukuran 0.5 m x 0.5 m. Metode Penelitian Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap teracak (RKLT) dengan satu faktor. Penelitian ini menggunakan enam perlakuan dengan empat ulangan. Perlakuan pertama adalah menggunakan herbisida dengan dosis 0.5 l/ha, perlakuan kedua dengan dosis 1.0 l/ha, perlakuan ketiga menggunakan dosis 2.0 l/ha, perlakuan keempat menggunakan dosis 3.0 l/ha. Perlakuan kelima tidak menggunakan herbisida tetapi dengan cara penyiangan manual dengan teknik babat dempes, yang dilakukan sekali pada pengamatan enam minggu setelah aplikasi (6 MSA). Perlakuan keenam merupakan kontrol yang digunakan sebagai pembanding tanpa penyiangan dan perlakuan apapun.

25 13 Model rancangan yang digunakan adalah : Y ijk = µ + τ i + β j + ε ij Keterangan : Y ijk = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j µ = Rataan umum τ i β j ε ij = Pengaruh perlakuan ke-i = Pengaruh kelompok ke-j = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j Pengolahan data dilakukan dengan metode analisis ragam. Apabila perlakuan menunjukan pengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut terhadap perbedaan nilai rata-rata pada kepercayaan 5 % dengan prosedur uji yang sesuai dengan rancangan percobaan. Satuan petak terdiri atas gulma yang terdapat pada lima guludan tebu atau dengan luas 7 m x 10 m. Jarak antar satuan petak perlakuan adalah satu barisan tebu di dalam barisan dan jarak antar setiap petak ulangan adalah satu guludan tebu. Penentuan tata letak satuan perlakuan di dalam suatu kelompok dilakukan sedemikian rupa sehingga sebaran gulma relatif merata. Pelaksanaan Penelitian Analisis vegetasi dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan aplikasi untuk mengetahui jenis gulma yang dominan. Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan alat kuadrat berukuran 0.5 m x 0.5 m, dengan mengambil contoh gulma secara sistematis pada areal disekitar areal bercobaan yang diasumsikan memiliki kondisi lahan yang sama dengan lahan percobaan. Sebelum melakukan aplikasi herbisida, terlebih dahulu dilakukan pembagian petak percobaan yang disesuaikan berdasarkan perlakuan yang akan diberikan yang semuanya berjumlah 24 petak percobaan. Setiap petak berukuran 7 m x 10 m dengan jarak antar ulangan adalah 1.3 m dan jarak antara petak dalam satu ulangan adalah 0.5 m. Kondisi pertanaman yang harus diperhatikan yaitu pertumbuhan tanamannya yang relatif seragam dimana umur tanaman tebu pada saat aplikasi adalah berumur lima hari. Kondisi gulma di lokasi percobaan pada saat aplikasi terlihat masih belum tumbuh atau hanya sekitar 5 % gulma yang sudah tumbuh di

26 14 petak percobaan tersebut. Cara aplikasi herbisida dan alat yang digunakan disesuaikan dengan sifat fisik, cara kerja dan bentuk formulasi herbisida yang diuji. Untuk formulasi yang larut dalam air, digunakan alat semprot punggung semi automatik (semi automatik knapsack sprayer) dan nozel T-jet dengan tekanan 1 kg/cm 2 (15-20 psi). Aplikasi herbisida yang diuji dilakukan hanya satu kali, waktunya adalah setelah tanah diolah sempurna dan telah ditanami namun kondisi gulma di lahan percobaan belum tumbuh. Pengamatan Pengamatan gulma 1. Jumlah contoh Jumlah contoh yang digunakan adalah data contoh biomassa gulma pada setiap satuan petak perlakuan, diamati sebanyak dua kuadran per petak perlakuan, menggunakan metode kuadrat berukuran 0.5 m x 0.5 m. Letak petak kuadrat ditetapkan secara sistematis. 2. Waktu pengambilan contoh Pengambilan contoh pada saat sebelum aplikasi dilakukan dengan cara pengambilan gulma untuk data biomassa kerapatan dan frekuensi dilakukan sebelum aplikasi, dimaksudkan untuk menganalisis vegetasi menggunakan teknik sum dominance ratio (SDR) yaitu proses perhitungan jumlah dominansi gulma yang ada di sekitar areal percobaan tersebut. Pengambilan contoh setelah aplikasi dilakukan dengan cara pengambilan contoh gulma untuk data biomasa dan untuk data persentase penutupan gulma yang dilakukan 2 minggu sekali setelah aplikasi, dilakukan selama 3 bulan, berarti terdapat 6 kali pengamatan yaitu pada 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 MSA. Kemudian pada akhir pengamatan dilakukan juga pengambilan contoh gulma untuk analisis vegetasi akhir pada 12 MSA. 3. Cara pengambilan contoh Contoh gulma yang diambil adalah gulma sasaran yang menjadi target herbisida yang diuji yang diperoleh menggunakan teknik pelemparan alat kuadran berukuran 0.5 m x 0.5 m sebanyak dua kuadran per petak perlakakuan. Gulma yang masih segar dipotong tepat setinggi permukaan tanah, kemudian dipisahkan setiap spesies. Selanjutnya gulma tersebut dikeringkan dalam oven pada

27 15 temperatur 80 0 C selama 48 jam atau sampai mencapai bobot kering konstan, kemudian ditimbang untuk menghitung biomassa gulma. Proses pengovenan dan penimbangan contoh gulma dilakukan di Laboratorium Pasca Panen, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB. Kemudian untuk pengamatan persentase penutupan gulma dilakukan secara visual terhadap setiap petak perlakuan yang nantinya akan dinilai dalam satuan persen (%) pada 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 MSA. Pengamatan tebu 1. Jumlah contoh Jumlah contoh tanaman tebu untuk pengamatan fitotoksisitas adalah sebanyak 10 tanaman dalam satuan petak perlakuan dan ditentukan sacara acak. 2. Fitotoksisitas Tingkat keracunan dinilai secara visual terhadap populasi kultivar dalam satuan petak perlakuan, diamati pada 4, 6, dan 8 minggu setelah aplikasi (MSA). Skoring keracunan yang diberikan sebagai berikut : 0 = Tidak ada keracunan, 0 5% bentuk atau warna daun dan atau pertumbuhan tanaman tebu tidak normal. 1 = Keracunan ringan, >5 20% bentuk atau warna daun dan atau pertumbuhan tanaman tebu tidak normal. 2 = Keracunan sedang, > 20 50% bentuk atau warna daun dan atau pertumbuhan tanaman tebu tidak normal. 3 = Keracunan berat, > 50 75% bentuk atau warna daun dan atau pertumbuhan tanaman tebu tidak normal. 4 = Keracunan sangat berat, > 75% bentuk atau warna daun dan atau pertumbuhan tanaman tebu tidak normal. Kriteria efikasi 1. Efektifitas herbisida yang diuji dibandingkan dengan perlakuan penyiangan manual dan kontrol.

28 16 2. Efikasi herbisida yang diuji disimpulkan berdasarkan analisis statistik data biomassa spesies gulma sasaran dan persen penutupan gulma. 3. Sebagai data penunjang adalah keracunan dan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tebu.

29 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Perusahaan PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang terletak di blok Cidangdeur, desa Pasirbungur, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Perusahaan ini memiliki pabrik dengan jarak sekitar 22 km kearah Utara kota Subang dan 12 km kearah Selatan dari Kecamatan Sukamandi. Lokasi ini dipilih sebagai tempat pabrik karena 75 % areal kebun tebu terletak didaerah ini sehingga akan lebih melancarkan proses transportasi tebu ke pabrik. Secara geografis, kedudukan PG. Rajawali II Unit Subang dan areal perkebunannya terletak diantara BT sampai BT dan LS sampai LS, dengan ketinggian m di atas permukaan laut. Daerah PG. Subang merupakan daerah datar sampai bergelombang dengan kemiringan 3-10%. Jenis tanah pada areal perkebunan ini umumnya merupakan tanah latosol merah. Berdasarkan SK menteri No. 68/Menteri-X/1978 tanggal 14 Oktober 1978 pengelolaan PG. Subang yang terdiri dari kebun Pasir Bungur, Pasir Muncang, dan Manyingsal sepenuhnya diserahkan kepada PT. Perkebunan XIV. Pada tahun 1981, dimulailah pembangunan fisiknya yang ditegaskan dalam surat menteri pertanian No. 667/KPTS/8/1981 tertanggal 11 Agustus Giling pertama PG. Subang adalah pada tanggal 3 Juli 1984 dan berakhir tanggal 18 Oktober 1984, dengan total tebu sejumlah kuintal dari keseluruhan jumlah tebu kuintal. Pada saat pabrik berdiri atau produksi belum lancar, tebu PG. Subang digiling di PG lain di PTP XIV. Penelitian Kondisi pertanaman tebu pada awal dimulainya penelitian di areal percobaan terlihat cukup baik (Gambar 2). Aplikasi herbisida dilaksanakan pada tanggal 19 Desember 2010, pada pagi hari yang diperkirakan tidak turun hujan atau maksimal turun hujan 6 jam setelah aplikasi. Aplikasi dilakukan pada pagi hari untuk menghindari penguapan herbisida oleh sinar matahari yang dapat mengurangi efektifitas herbisida yang diaplikasikan.

30 18 Selama penelitian berlangsung, tingkat curah hujan di sekitar areal perkebunan tidak terlalu tinggi bila dibandingkan dengan tingkat curah hujan bulan-bulan sebelumnya. Namun tingkat curah hujan yang terjadi di sekitar areal perkebunan akan mempengaruhi populasi gulma yang ada. Pengaruh tersebut dapat berupa peningkatan pertumbuhan kembali gulma (re-growth) dan mempercepat pertumbuhan biji gulma. Menurut Tjitrosoedirdjo et al. (1984), bahwa pemakaian herbisida pra tumbuh kurang efektif saat kurang hujan karena herbisida tersebut memerlukan kelembaban tanah untuk mengaktifkan senyawanya. Gambar 2. Kondisi Lahan Percobaan di PG Rajawali II Unit Subang

31 19 Tabel 1. Rekapitulasi Sidik Ragam pada Tiap Waktu Pengamatan Waktu Peubah Pengamatan (MSA) PPG BKT BKRT BKDT BKD BKB BKCL BKBR 2 ** ** tn ** tn * ** tn 4 ** ** tn ** tn ** ** tn 6 ** ** tn ** tn * ** tn 8 ** ** tn ** tn tn ** tn 10 ** ** tn ** * tn ** tn 12 tn tn tn tn tn tn tn * Keterangan: * = Berpengaruh nyata pada taraf 5 % BKBR = Bobot Kering Brachiaria distachya ** = Berpengaruh nyata pada taraf 1 % PPG = Persentase Penutupan Gulma + = Berpengaruh nyata pada taraf 10 % BKT = Bobot Kering Gulma Total tn = Tidak berpengaruh nyata BKRT = Bobot Kering Rumput Total BKD = Bobot Kering Digitaria adscendes BKDT = Bobot Kering Daun Lebar Total BKB = Bobot Kering Borreria alata BKCL= Bobot Kering Cleome rutidosperma Gulma Dominan Vegetasi gulma menggambarkan perpaduan berbagai jenis gulma disuatu wilayah atau daerah. Suatu tipe vegetasi menggambarkan suatu daerah dari segi penyebaran gulma yang ada baik secara ruang maupun waktu. Vegetasi gulma dapat diketahui dengan melakukan suatu teknik yang dinamakan anilisis vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan sebelum dan sesudah aplikasi herbisida untuk mengetahui jenis gulma dominan di lahan percobaan. Spesies gulma dominan ditunjukan oleh besarnya Nisbah Jumlah Dominansi (NJD) dalam % pada areal percobaan. Nisbah Jumlah Dominansi merupakan rata-rata jumlah kerapatan nisbi, nilai frekuensi nisbi, dan nilai berat kering nisbi gulma yang diperoleh dari hasil analisis vegetasi pada areal percobaan. Data-data yang diperoleh dari analisis vegetasi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Analisis vegetasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah analisis kuantitatif. Hasil analisis vegetasi gulma sebelum aplikasi herbisida diuron 500 g/l SC disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan hasil analisis vegetasi sebelum apikasi herbisida diuron 500 g/l SC didapatkan empat spesies gulma dominan yaitu Cleome rutidosperma, Borreria alata, Digitaria adscendens, dan Brachiaria distachya (Gambar 3). Spesies gulma lain

32 sebelum aplikasi herbisida adalah Cynodon dactylon, Urena lobata, Cyperus rotundus, dan Croton monanthogynus. Tabel 2. Nisbah Jumlah Dominansi (NJD) Gulma Sebelum Aplikasi Herbisida. No Jenis Gulma NJD (%) 1 Cleome rutidosperma Borreria alata Digitaria adscendens Brachiaria distachya Gulma lain Analisis vegetasi juga dilakukan pada akhir percobaan untuk mengetahui apakah ada perubahan dari jumlah gulma yang dominan ketika sebelum aplikasi dengan setelah aplikasi herbisida. Hasil analisis vegetasi akhir pada 12 Minggu Setelah Aplikasi (MSA) disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Nisbah Jumlah Dominansi (NJD) Gulma Setelah Aplikasi Herbisida. No Jenis Gulma NJD (%) 1 Borreria alata Cleome rutidosperma Digitaria adscendens Brachiaria distachya Gulma lain Hasil analisis vegetasi akhir yang dilakukan pada lahan percobaan memberikan gambaran umum tentang dominansi gulma setelah aplikasi herbisida. Data yang didapatkan pada Tabel 3 menunjukan bahwa terjadi perubahan dominansi gulma yang terjadi pada akhir percobaan setelah aplikasi herbisida. Hal ini terlihat dari perubahan dominansi gulma Cleome rutidosperma yang digantikan oleh gulma Borreria alata pada akhir percobaan. Pada Tabel 3 dapat dilihat juga bahwa terjadi penurunan nilai NJD pada gulma Cleome rutidosperma, dan gulma Borreria alata yang merupakan gulma daun lebar. Sedangkan nilai NJD pada gulma Digitaria adscendens, dan Brachiaria distachya yang tergolong gulma rumput mengalami peningkatan. Hal ini menunjukan bahwa herbisida diuron 500 g/l SC yang memiliki bahan aktif diuron 500 g/l lebih efektif untuk mengendalikan gulma golongan

33 21 daun lebar. Adanya peningkatan nilai NJD dari beberapa spesies gulma dari golongan rumput menunjukan bahwa herbisida diuron 500 g/l SC kurang efektif dalam mengendalikan gulma rumput seperti Digitaria adscendens dan Brachiaria distachya. Moenandir (1990) menyatakan bahwa ada empat peranan penting yang mempengaruhi keselektifan ialah peran-peran tumbuhan, herbisida, lingkungan, dan cara aplikasi. Gambar 3. Cleome rutidosperma (kiri atas), Digitaria adscendens (kiri bawah), bawah) Borreria alata (kanan atas), Brachiaria distachya (kanan Perbedaan jenis gulma yang terdapat pada areal pertanaman, menunjukan beda kepekaan terhadap herbisida yang sangat ditentukan oleh faktor dalam dan faktor luar. Perbedaan yang terjadi dari pengaruh faktor dalam adalah karena setiap jenis gulma akan memiliki respon morfologi dan fisiologi yang berbeda

34 22 terhadap efek herbisida yang diberikan. Selain jenis gulma dan sifat herbisida, faktor lingkungan yang merupakan faktor luar juga sangat berpengaruh terhadap efektifitas suatu herbisida. Barus (2003) menyatakan bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi efektifitas herbisida yang diaplikasikan adalah cahaya, suhu, curah hujan, kandungan bahan faktor, kelembaban, dan ph. Curah hujan yang terjadi di sekitar areal penelitian disaat penelitian berlangsung cukup tinggi. Curah hujan yang cukup tinggi tersebut dapat menyebabkan berkurangnya konsentrasi herbisida tersebut yang terkandung di dalam tanah yang terbawa oleh erosi tanah dan pencucian. Moenandir (1990) menyatakan bahwa herbisida yang diformulasikan dalam bentuk minyak atau emulsi sedikit dipengaruhi hujan dibandingkan dengan yang diformulasikan dalam bentuk larutan air. Hal ini dapat mempengaruhi efektivitas herbisida yang diaplikasikan. Data curah hujan selama percobaan terdapat pada Tabel 4. Tabel 4. Data Curah Hujan Selama Percobaan Bulan Curah Hujan (mm/bulan) Desember Januari Februari Maret Sumber : PT. PG. Rajawali II Unit Subang Curah hujan merupakan suatu faktor lingkungan yang juga erat kaitannya dengan tingkat kelembaban tanah. Semakin tinggi curah hujan maka akan semakin tinggi tingkat kelembaban tanah. Kelembaban tanah nantinya akan mempengaruhi tingkat proses pengecambahan gulma yang ada dalam tanah. Semakin tinggi tingkat kelembaban tanah maka akan semakin membantu proses pengecambahan gulma yang ada dalam tanah. Persentase Penutupan Gulma Persentase penutupan gulma (PPG) merupakan suatu nilai yang menunjukan seberapa besar vegetasi gulma tersebut menutupi areal pertanaman. Nilai persentase penutupan gulma yang di peroleh dari pengamatan pada

35 23 penelitian ini adalah secara visual terhadap penutupan gulma hasil pertumbuhan potensi gulma yang ada dalam tanah. Aplikasi herbisida dengan beberapa perlakuan yang diberikan menunjukan bahwa perlakuan pengendalian memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap persentase penutupan gulma pasa 2, 4, 6, 8, dan 10 MSA. Sedangkan pengamatan pada 12 MSA tidak menunjukan perbedaan yang nyata terhadap perlakuan herbisida yang diberikan. Hal ini diakibatkan karena faktor lingkungan dan juga konsentrasi herbisida yang hanya memiliki efektifitas pengendalian sampai 10 MSA. Hasil dari perhitungan sidik ragam persentase penutupan gulma disajikan pada Lampiran 1. Aplikasi herbisida diuron 500 g/l SC dengan beberapa perlakuan dosis ternyata memberikan respon yang nyata hingga 10 MSA, akan tetapi pengaruh ulangan yang diberikan tidak menunjukan berbeda nyata. Pada pengamatan 12 MSA tidak menunjukan perbedaan yang nyata dari setiap perlakuan herbisida dengan kontrol dan penyiangan manual, hal ini dikarenakan konsentrasi herbisida sudah menurun pada lapisan tanah. Penyebab penurunan konsentrasi herbisida dalam tanah adalah karena pencucian, diserap oleh tumbuhan, mengalami penguraian dan mengalami perpindahan fisik (Zaenudin, 1986). Kemudian faktor lain adalah karena pada pengamatan 12 MSA ada beberapa petak percobaan yang rusak akibat ada proses turun tanah yang dilakukan oleh Karyawan Harian Lepas (KHL) yang tidak mengetahui bahwa petak tersebut merupakan petak percobaan. Adapun beberapa petak percobaan yang rusak pada pengamatan 12 MSA adalah petak 0.5 l/ha (ulangan 1), 1.0 l/ha (ulangan 2), penyiangan manual (ulangan 3), 3.0 l/ha (ulangan 4). Hasil dari uji perbedaan pengaruh antar perlakuan yang diberikan terhadap persentase penutupan gulma dapat dilihat pada Tabel 5 dengan bentuk grafiknya pada Gambar 4. Hasil yang didapat dari pengamatan persen penutupan gulma setiap waktu pengamatan menunjukan tingkat persentase penutupan gulma terkecil terjadi pada petak percobaan dengan dosis perlakuan herbisida 3.0 l/ha sebesar 6.25 pada saat 2 MSA, kemudian dengan dosis 2.0 l/ha sebesar 9.25 pada 2 MSA. Diantara perlakuan dosis 2.0 l/ha dan dosis 3.0 l/ha tidak memiliki perbedaan yang nyata dalam persen penutupan gulma secara perhitungan statistik, kecuali pada

36 pengamatan 4 MSA yang menunjukan perbedaan. Pada perlakuan diantara dosis 0.5 l/ha, dan 1.0 l/ha terdapat perbedaan yang nyata pada taraf 5 % hingga pengamatan pada 8 MSA, sedangkan pada 10 MSA, dan 12 MSA tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Tabel 5. Pengaruh Pengendalian Gulma terhadap Persentase Penutupan Gulma Perlakuan Dosis Kontrol - Manual - Diuron 500 g/l SC Diuron 500 g/l SC Diuron 500 g/l SC Diuron 500 g/l SC Keterangan : 0.5 l/ha 1.0 l/ha 2.0 l/ha 3.0 l/ha Minggu Setelah Aplikasi (MSA) (%) a a a a a a a a a b a ab b b b c b ab c c c d b ab 9.25 d d cd d c ab 6.25 d e d d c b Angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji duncan. Gambar 4. Grafik Persentase Penutupan Gulma Perlakuan herbisida diuron 500 g/l SC dengan dosis 0.5 l/ha sudah cukup untuk menurunkan persentase penutupan gulma dibandingkan dengan perlakuan Kontrol dan Penyiangan manual, sedangkan penambahan herbisida ke tingkat dosis yang lebih tinggi mampu menekan persentase penutupan gulma lebih tinggi dari mulai 2 MSA hingga 10 MSA. Perlakuan herbisida diuron 500 g/l SC dengan

37 25 dosis 2.0 l/ha dan 3.0 l/ha secara umum memberikan hasil yang lebih baik dalam menekan pertumbuhan gulma. Namun bila dilihat dari segi efisiensi biaya dan toksisitas terhadap tanaman budidaya, penggunaan herbisida diuron 500 g/l SC dengan dosis 0.5 l/ha lebih efisien diaplikasikan karena sudah mampu menekan pertumbuhan gulma dibandingkan perlakuan kontrol. Grafik persentase penutupan gulma diatas, menunjukan bahwa formulasi herbisida yang diberikan tampak menunjukan hasil yang cenderung lebih baik pada tingkat dosis yang lebih tinggi. Semakin tinggi dosis yang digunakan akan senderung semakin baik menekan pertumbuhan gulma. Namun nantinya akan berpengaruh pada tingkat toksisitas dan dampak lingkungan serta efisiensi biaya apabila dosis yang digunakan terlalu banyak. Jumlah dari konsentrasi herbisida dapat menentukan terjadinya hambatan atau pemacauan pada suatu pertumbuhan, pada umumnya dengan semakin meningkatnya konsentrasi maka akan semakin meningkat pula penekanannya (Moenandir, 1990). Gambar 3 menunjukan bahwa terjadi penurunan tingkat persentase penutupan gulma pada pengamatan 8 MSA untuk beberapa perlakuan khususnya perlakuan penyiangan manual. Perlakuan penyiangan manual dilakukan setelah pengamatan 6 MSA, sehingga pada saat 8 MSA terjadi penurunan. Namun terjadi peningkatan kembali pada 10 MSA dan kembali mengalami penurunan ketika 12 MSA yang diakibatkan terjadi kerusakan petak percobaan penyiangan manual pada blok ulangan tiga. Dari Gambar 3 terlihat bahwa semua perlakuan memiliki persentase penutupan gulma (PPG) terendah pada 2 MSA. Untuk perlakuan kontrol dan perlakuan herbisida dosis 3.0 l/ha mengalami peningkatan terus hingga 12 MSA, sedangkan untuk pelakuan penyiangan manual, 0.5 l/ha, 1.0 l/ha, dan 2.0 l/ha mengalami penurunan pada 8 MSA. Bobot Kering Gulma Bobot Kering Gulma Total Bobot kering gulma total merupakan jumlah bobot kering gulma secara keseluruhan pada setiap petak perlakuan dan setiap ulangan. Penentuan berat kering gulma total dilakukan dengan cara menimbang tiap spesies gulma yang telah dioven yang merupakan hasil pengambilan sampel gulma setiap perlakuan

38 dan setiap ulangan. Hasil sidik ragam bobot kering gulma total diperlihatkan pada Lampiran 2. Perlakuan herbisida diuron 500 g/l SC dengan beberapa dosis berpengaruh sangat nyata pada 2, 4, 6, 8, dan 10 MSA. Pengaruh dari perlakuan terhadap bobot kering gulma total ditunjukan pada Tabel 6 dan gambar grafiknya pada Gambar 5. Tabel 6. Pengaruh Perlakuan Pengendalian Gulma terhadap Bobot Kering Gulma Total Perlakuan Dosis Kontrol - Minggu Setelah Aplikasi (MSA) (g/0.25m 2 ) (8.40) 2.95 a (136.5) a (61.75) 7.88 a (56.22) 7.53 a (91.04) 9.59 a (139.07) a Manual - (6.46) 2.62 a (50.57) 7.00 b (48.30) 6.98 b (44.32) 6.66 ab (46.23) 6.83 bc (74.57) 7.76 a Diuron 500 g/l SC Diuron 500 g/l SC Diuron 500 g/l SC Diuron 500 g/l SC 0.5 l/ha 1.0 l/ha 2.0 l/ha 3.0 l/ha (2.37) 1.80 b (1.09) 1.43 b (0.26) 1.11 b (0.59) 1.21 b (27.96) 4.99 c (6.54) 2.66 d (7. 57) 2.73 d (4.55) 2.15 d (19.78) 4.14 cd (16.89) 4.41 c (11.60) 3.29 de (5.29) 2.43 e (39.20) 6.25 abc (22.60) 4.79 bcd (18.35) 4.36 cd (15.1) 3.68 d (55.05) 7.40 bc (64.47) 7.91 b (36.73) 6.03 cd (23.69) 4.89 d (69.95) 7.52 a (55.88) 6.76 a (56.00) 7.53 a (45.13) 6.09 a Keterangan : - Angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji duncan. - Angka dalam kurung merupakan data asli, sedangkan angka di luar kurung merupakan data hasil transformasi (x+1) Dilihat dari hasil perhitungan statistik bahwa perlakuan herbisida pada dosis 0.5 l/ha efektif menekan gulma hingga 6 MSA, kemudian pada 8, 10, dan 12 MSA nilai bobot kering gulma total dari perlakuan herbisida dengan dosis 0.5 l/ha tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol dan penyiangan manual. Secara perhitungan statistik dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan yang nyata dalam menekan pertumbuhan gulma total diantara perlakuan dosis 2.0 l/ha dan 3.0 l/ha, namun dari setiap perlakuan dapat dilihat bahwa perlakuan herbisisda diuron 500 g/l SC dengan dosis 3.0 l/ha lebih besar menekan pertumbuhan gulma secara total. Bobot kering gulma total terendah terdapat pada perlakuan herbisida dengan dosis

39 l/ha pada 2 MSA sebesar 0.26 gram, dan bobot kering gulma total tertinggi terdapat pada perlakuan Kontrol pada pengamatan 12 MSA sebesar gram. Secara umum dari setiap perlakuan terjadi peningkatan bobot kering gulma total yang sangat drastis pada 4 MSA, kemudian setelah itu tingkat bobot kering gulma total mengalami pertumbuhan yang konstan dan stabil hingga 8 MSA. Tidak terjadi perubahan bobot kering gulma total yang signifikan pada setiap perlakuan pada pengamtan 4 MSA hingga 8 MSA kecuali perlakuan Kontrol. Setelah pengamatan pada 8 MSA terjadi penigkatan bobot kering gulma total pada setiap perlakuan hingga pengamatan 12 MSA. Sastroutomo (1990) menyatakan bahwa secara umum hampir semua biji gulma yang ada dalam tanah berkecambah dalam waktu yang relatif singkat (2 minggu). Rata-rata perkecambahan gulma dimulai setelah 2 minggu dan meningkat jumlahnya setelah 2 bulan (8 MSA). Gambar 5. Grafik Bobot Kering Gulma Total Berdasarkan perhitungan statistik, secara umum perlakuan herbisida dengan dosis 0.5 l/ha lebih efektif dan efisien diaplikasikan dari segi biaya dan toksisitas bila dibandingkan dengan perlakuan dosis yang lebih tinggi. Karena diantara perlakuan herbisida dengan dosis 5.0 l/ha, 1.0 l/ha, 2.0 l/ha, dan 3.0 l/ha tidak menunjukan perbedaan yang nyata dari hasil bobot kering gulma total. Sehingga diambil dosis yang paling rendah untuk efisiensi biaya dan dengan dengan dosis 0.5 l/ha sudah mampu menekan pertumbuhan gulma yang berbeda nyata dengan perlakuan kontrol.

40 28 Hasil pengamatan yang dapat dilihat pada Gambar 5 menunjukan bahwa jumlah bobot kering gulma total mengalami peningkatan yang signifikan pada setiap perlakuan setelah pengamatan pada 8 MSA, namun ada juga yang setelah 10 MSA. Hal ini menunjukan bahwa herbisida diuron 500 g/l SC memiliki efektifitas pengendalian hingga 8-10 MSA. Bobot Kering Gulma Daun Lebar Total Gulma daun lebar merupakan jenis gulma dengan ciri utama adalah ukuran daunnya yang memiliki lebar yang tidak berbeda jauh dengan panjang daunnya. Daun-daun gulma berdaun lebar dibentuk pada meristem apikal dan sangat sensitif terhadap khemikelia. Pada permukaan daun terutama permukaan bawah terdapat stomata yang memungkinkan cairan masuk. Meristem apikal dari gulma berdaun lebar adalah bagian batang yang terbentuk sebagai bagian terbuka yang sensitif terhadap perlakuan kimia (Yakup, 2002). Gulma berdaun lebar cenderung untuk dapat menurunkan hasil panenan yang lebih besar jika dibandingkan dengan gulma rerumputan atau sejenisnya (Sastroutomo, 1990). Lampiran 3 menunjukan hasil sidik ragam bobot kering gulma daun lebar total. Dari tabel dapat dilihat bahwa aplikasi herbisisda diuron 500 g/l SC memberikan pengaruh yang sangat nyata pada 2, 4, 6, 8, dan 10 MSA. Pada pengamatan 12 MSA menunjukan tidak ada perbedaan yang nyata antara setiap perlakuan herbisida dengan perlakuan Kontrol dan penyiangan manual, hal ini disebabkan efektifitas herbisida diuron 500 g/l SC sudah semakin menurun yang diakibatkan terjadinya penurunan konsentrasi herbisida dalam tanah karena pencucian, diserap oleh tumbuhan, mengalami penguraian dan mengalami perpindahan fisik. Pengaruh perlakuan pengendalian gulma terhadap bobot kering gulma daun lebar total disajikan pada Tabel 7. Herbisida diuron 500 g/l SC efektif menekan bobot kering gulma daun lebar total hingga 10 MSA. Secara umum perlakuan herbisida dengan dosis 3.0 l/ha dapat lebih besar menekan pertumbuhan gulma daun lebar dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Namun secara perhitungan statistik perlakuan herbisida dengan dosis 0.5 l/ha, 1.0 l/ha, 2.0 l/ha, dan 3.0 l/ha tidak berbeda efektifitasnya dalam mengendalikan gulma daun lebar total, dapat dilihat dari perhitungan statistik pada Tabel 7. Bobot kering gulma daun lebar total terendah terdapat pada

41 petak percobaan dengan aplikasi herbisida dengan dosis 2.0 l/ha, dan 3.0 l/ha pada pengamatan 2 MSA, dan bobot kering gulma daun lebar total tertinggi terdapat pada pengamatan 4 MSA dengan perlakuan Kontrol. Tabel 7. Pengaruh Perlakuan Pengendalian Gulma terhadap Bobot Kering Gulma Daun Lebar Perlakuan Dosis Kontrol - Minggu Setelah Aplikasi (MSA) (g/0.25m 2 ) (4.33) 2.30 a (132.6) a (58.94) 6.22 a (42.97) 6.62 a (77.17) 8.83 a (81.95) 9.05 a Manual - (4.22) 2.13 a (49.19) 6.89 b (45.20) 6.73 a (40.59) 6.40 a (42.50) 6.54 b (43.98) 6.01 a Diuron 500 g/l SC Diuron 500 g/l SC Diuron 500 g/l SC Diuron 500 g/l SC 0.5 l/ha 1.0 l/ha 2.0 l/ha 3.0 l/ha (0.81) 1.31 b (0.46) 1.18 b (0.00) 1.00 b (0.00) 1.00 b (15.91) 3.63 c (3.64) 2.01 cd (5.35) 2.27 cd (0.44) 1.17 d (13.88) 3.77 b (14.44) 3.56 b (9.41) 2.84 b (4.05) 2.13 b (34.33) 5.77 ab (20.81) 4.62 cb (15.94) 4.08 cb (12.03) 3.17 c (46.06) 6.71 b (42.87) 6.49 b (32.15) 5.69 b (14.06) 3.78 c (54.03) 6.65 a (34.11) 5.35 a (38.56) 6.26 a (30.30) a Keterangan : - Angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji duncan. - Angka dalam kurung merupakan data asli, sedangkan angka di luar kurung merupakan data hasil transformasi (x+1) Gambar 6. Grafik Bobot Kering Gulma Daun Lebar

42 30 Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa bobot kering gulma terendah terjadi pada 2 MSA dan terjadi peningkatan yang sangat besar pada 4 MSA terutama pada perlakuan Kontrol, hal ini diakibatkan karena proses pengovenan sampel gulma yang kurang baik pada saat penghitungan bobot kering gulma total. Dari pengamatan 4 MSA hingga 8 MSA tidak menunjukan perubahan peningkatan bobot kering gulma daun lebar yang begitu signifikan. Setelah pengamatan 8 MSA baru terlihat peningkatan bobot kering gulma daun lebar yang signifikan. Bobot Kering Gulma Rumput Rumput merupakan suatu golongan gulma yang memiliki ciri-ciri dengan memiliki batang bulat atau pipih dan berongga. Golongan gulma jenis rumput memiliki kesamaan dengan golongan teki, yaitu sama-sama memiliki daun yang sempit, tetapi dari sudut pengendalian terutama responnya terhadap herbisisda berbeda. Berdasarkan dari bentuk masa pertumbuhannya, gulma rumput dibedakan menjadi rumput semusim (annual) dan tahunan (perennial). Dilihat dari segi vegetasi, rumput semusim biasanya tumbuh melimpah tetapi kurang menimbulkan masalah dibandingkan dengan rumput tahunan. Dari hasil analisis vegetasi yang dilakukan pada petak percobaan didapat beberapa jenis gulma rumput, diantaranya adalah Digitaria adscendens, Brachiaria distachya, dan Cynodon dactylon. Hampir semua jenis rerumputan adalah jenis C4, maka pengaruh kompetisinya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan gulma berdaun lebar, dapat dijelaskan sebagai akibat dari pertumbuhannya yang menyebar luas dengan daun yang tumbuh horizontal yang membuatnya semakin kompetitif akan cahaya. Dari 10 jenis gulma penting di dunia, 8 di antaranya adalah jenis rerumputan atau teki-tekian (Sastroutomo, 1990). Hasil dari sidik ragam bobot kering gulma rumput total dapat dilihat pada Lampiran 4. Dari Lampiran tersebut dapat dilihat bahwa aplikasi herbisida diuron 500 g/l SC tidak memberikan pengaruh yang nyata dari mulai pengamatan pertama yaitu 2 MSA hingga akhir pengamatan (12 MSA). Pengaruh perlakuan pengendalian gulma terhadap bobot kering gulma rumput total dapat dilihat pada Tabel 8 dan grafiknya pada Gambar 7. Pada pengamatan mulai dari 2 MSA hingga 10 MSA tidak menunjukan jumlah bobot

43 kering gulma rumput yang begitu besar. Hal ini disebabkan karena dari mulai awal analisis vegetasi memang sudah menunjukan bahwa petak percobaan didominasi oleh gulma daun lebar. Aplikasi herbisida diuron 500 g/l SC dengan beberapa dosis tidak menunjukan perbedaan yang nyata untuk menekan pertumbuhan gulma dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan penyiangan manual. Bobot kering gulma rumput total terendah terdapat pada perlakuan herbisida dengan dosis 2.0 l/ha pada pengamatan 2 MSA sebesar 0.26 gram, dan bobot kering gulma rumput total tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol pada pengamatan 12 MSA sebesar gram. Tabel 8. Pengaruh Perlakuan Pengendalian Gulma terhadap Bobot Kering Gulma Rumput Perlakuan Dosis Kontrol - Minggu Setelah Aplikasi (MSA) (g/0.25m 2 ) (3.58) 2.06 a (3.95) 2.27 ab (2.81) 1.81 a (13.25) 3.41 a (13.86) 3.69 ab (57.13) 7.46 a Manual - (2.16) 1.90 a (1.52) 1.73 b (3.09) 1.97 a (3.73) 2.23 a (3.72) 2.21 b (30.59) 5.17 ab Diuron 500 g/l SC Diuron 500 g/l SC Diuron 500 g/l SC Diuron 500 g/l SC 0.5 l/ha 1.0 l/ha 2.0 l/ha 3.0 l/ha (1.56) 1.68 a (0.64) 1.46 a (0.26) 1.31 a (0.59) 1.40 a (12.04) 3.42 a (2.90) 2.02 ab (2.08) 1.82 b (3.21) 1.88 ab (3.01) 2.07 a (5.34) 2.44 a (2.19) 1.80 a (1.15) 1.59 a (4.87) 2.38 a (1.39) 1.62 a (2.41) 1.92 a (3.01) 1.95 a (8.99) 3.18 ab (20.90) 4.55 a (4.58) 2.11 b (9.52) 3.31 ab (15.92) 3.83 b (21.76) 4.44 ab (17.44) 4.32 ab (14.84) 3.74 b Keterangan : - Angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji duncan. - Angka dalam kurung merupakan data asli, sedangkan angka di luar kurung merupakan data hasil transformasi (x+1.5) Dari Gambar 7 dilihat bahwa pertumbuhan bobot kering gulma rumput dari mulai 2 MSA hingga 10 MSA tidak menunjukan perbedaan yang signifikan. Namun pada pengamatan 12 MSA terjadi peningkatan bobot kering gulma rumput total yang sangat tinggi terutama pada perlakuan kontrol yang mencapai empat kali lipat dari bobot kering pada pengamatan sebelumnya (10 MSA). Hal ini

44 32 disebabkan selain karena konsentrasi herbisida yang telah berkurang akibat pencucian dalam tanah, juga karena rata-rata perkecambahan gulma khususnya gulma rumput dimulai setelah 2 minggu dan meningkat jumlahnya setelah 2 bulan (8 MSA). Gambar 7. Grafik Bobot Kering Gulma Rumput Bobot Kering Gulma Cleome rutidosperma Hasil sidik ragam bobot kering gulma Cleome rutidosperma dapat dilihat pada Lampiran 5. Dari Lampiran 5 dapat dilihat bahwa aplikasi herbisida diuron 500 g/l SC dapat memberikan pengaruh yang sangat nyata pada 2, 4, 6, 8, dan 10 MSA, namun tidak berpengaruh nyata pada pengamatan 12 MSA. Pengaruh perlakuan pengendalian gulma terhadap bobot kering gulma Cleome rutidosperma dapat dilihat pada Tabel 9 dan grafiknya pada Gambar 8. Secara umum perlakuan herbisida diuron 500 g/l SC dengan dosis 3.0 l/ha menunjukan hasil terbaik dalam menekan pertumbuhan bobot kering gulma Cleome rutidosperma dari mulai pengamatan pada 2 MSA hingga pengamatan pada 12 MSA. Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa bobot kering gulma Cleome rutidosperma terkecil terjadi pada perlakuan herbisida dengan dosis 2.0 l/ha dan dosis 3.0 l/ha pada pengamatan 2 MSA yang menunjukan belum terdapat gulma Cleome rutidosperma di sekitar petak percobaan pada perlakuan dosis tersebut. Kemudian bobot kering gulma Cleome rutidosperma tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol pada 4 MSA yaitu sebesar gram.

45 Berdasarkan perhitungan statistik pada Tabel 9, menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada taraf 5 % antara perlakuan kontrol dan penyiangan manual, kemudian antara perlakuan penyiangan manual dan perlakuan herbisida diuron 500 g/l SC dengan dosis 0.5 l/ha menunjukan perbedaan yang nyata dari mulai pengamatan 2 MSA hingga 8 MSA, pada pengamatan 10 MSA dan 12 MSA tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Perbandingan diantara perlakuan herbisida dengan dosis 0.5 l/ha, 1.0 l/ha, 2.0 l/ha, dan 3.0 l/ha tidak menunjukan perbedaan yang nyata secara perhitungan statistik, namun sangat berbeda nyata bila perlakuan herbisida dengan dosis tersebut dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan penyiangan manual. Tabel 9. Pengaruh Perlakuan Pengendalian Gulma terhadap Bobot Kering Gulma Cleome rutidosperma Perlakuan Dosis Kontrol - Minggu Setelah Aplikasi (MSA) (g/0.25m 2 ) (3.71) 2.16 a (97.22) 9.70 a (48.30) 6.92 a (22.56) 4.82 a (44.58) 6.74 a (15.56) 3.67 a Manual - (3.81) 2.01 a (44.56) 6.58 b (39.95) 6.32 a (28.53) 5.33 a (25.01) 4.98 ab (20.77) 4.22 a Diuron 500 g/l SC Diuron 500 g/l SC Diuron 500 g/l SC Diuron 500 g/l SC 0.5 l/ha 1.0 l/ha 2.0 l/ha 3.0 l/ha (0.81) 1.31 b (0.17) 1.08 b (0.00) 1.00 b (0.00) 1.00 b (15.24) 3.47 c (3.46) 1.97 cd (2.87) 1.76 cd (0.00) 1.00 d (13.13) 3.63 b (12.51) 3.10 bc (7.82) 2.42 bc (3.72) 2.04 c (11.07) 3.42 b (10.68) 3.34 b (5.28) 2.26 bc (2.96) 1.68 c (29.46) 5.45 ab (32.88) 5.43 ab (15.66) 3.99 b (0.733) 1.27 c (22.94) 4.46 a (19.54) 4.14 a (24.51) 4.88 a (8.52) 2.81 a Keterangan : - Angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji duncan. - Angka dalam kurung merupakan data asli, sedangkan angka di luar kurung merupakan data hasil transformasi (x+1) Pada petak percobaan perlakuan herbisida diuron 500 g/l SC dengan dosis 3.0 l/ha dan dosis 2.0 l/ha belum menunjukan adanya pertumbuhan gulma Cleome rutidosperma pada saat pengambilan sampel gulma dengan metode kuadran pada 2 MSA. Pada saat pengamatan 4 MSA baru didapat adanya gulma Cleome

46 34 rutidosperma untuk petak percobaan dengan perlakuan dosis 2.0 l/ha pada saat pengambilan sampel untuk perhitungan bobot kering. Namun untuk perlakuan herbisida dengan dosis 3.0 l/ha masih belum terdapat pertumbuhan gulma Cleome rutidosperma pada pengamatan 4 MSA dalam proses pengambilan sampel untuk menghitung bobot kering. Hal ini menunjukan bahwa penggunaan herbisida diuron 500 g/l SC dengan dosis 3.0 l/ha lebih memberikan pengaruh dalam menekan pertumbuhan dan perkecambahan gulma Cleome rutidosperma dibandingkan perlakuan dengan dosis 2.0 l/ha. Namun bila dilihat dari segi efektifitas dan efisiensi biaya, perlakuan herbisida dengan dosis 0.5 l/ha lebih efisien diaplikasikan karena sudah mampu menekan pertumbuhan gulma bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan penyiangan manual. Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa perlakuan herbisida diuron 500 g/l SC dengan beberapa dosis yang diberikan memiliki tingkat bobot kering gulma Cleome rutidosperma yang jauh lebih kecil dan satabil bila dibandingkan dengan pelakuan kontrol dan penyiangan manual. Secara umum terjadi peningkatan bobot kering gulma Cleome rutidosperma total setelah 8 MSA pada setiap perlakuan. Pada akhir pengamatan yaitu 12 MSA terjadi penurunan tingkat bobot kering gulma Cleome rutidosperma total pada hampir semua perlakuan kecuali perlakuan dosis 2.0 l/ha dan 3.0 l/ha. Hal ini disebabkan karena tingkat dominansi gulma pada setiap petak percobaan telah didominasi oleh gulma jenis rumput pada akhir pengamatan (12 MSA). Gambar 8. Grafik Bobot Kering Gulma Cleome rutidosperma

47 BK Cleome rutidosperma 35 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 y = -0,832x + 4,527 R² = Diuron 500 g/l Linear (Diuron 500 g/l) Dosis Gambar 9. Regresi Pengaruh Perlakuan Herbisida Antara Dosis dengan Bobot Kering Gulma Cleome rutidosperma Dari hasil regresi menunjukan bahwa herbisida diuron 500 g/l SC efektif menekan bobot kering gulma Cleome rutidosperma. Hasil regresi menunjukan bahwa semakin tinggi dosis cenderung memberikan bobot kering yang lebih rendah (Gambar 9). Bobot Kering Gulma Borreria alata Hasil sidik ragam bobot kering gulma Borreria alata dapat dilihat pada Lampiran 6. Dari Lampiran 6 dapat dilihat bahwa aplikasi herbisida diuron 500 g/l SC memberikan pengaruh yang nyata pada 2 MSA, dan 6 MSA, sedangkan pada 4 MSA perlakuan tersebut memberikan pengaruh yang sangat nyata. Pada 8, 10, dan 12 MSA perlakuan herbisida tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata pada bobot kering gulma Borreria alata total. Pengaruh perlakuan pengendalian gulma terhadap bobot kering gulma Borreria alata dapat dilihat pada Tabel 10 dan grafiknya pada Gambar 10. Aplikasi herbisida diuron 500 g/l SC efektif menekan bobot kering gulma Borreria alata hingga 6 MSA. Secara umum perlakuan herbisida diuron 500 g/l SC dengan dosis 1.0 l/ha memberikan hasil yang lebih besar dalam menekan bobot kering gulma Borreria alata. Namun secara perhitungan statistik yang ditunjukan pada Tabel 10 diantara perlakuan herbisida dengan dosis 0.5 l/ha, 1.0 l/ha, 2.0 l/ha, dan 3.0 l/ha tidak mempunyai perbedaan yang nyata terhadap nilai bobot kering total gulma Borreria alata. Artinya adalah keempat dosis tersebut hampir memiliki efektifitas yang sama dalam menekan bobot kering total gulma

48 Borreria alata hingga 6 MSA. Setelah 6 MSA baru terlihat peningkatan bobot kering total gulma Borreria alata yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol dan penyiangan manual. Tabel 10. Pengaruh Perlakuan Pengendalian Gulma terhadap Bobot Kering Gulma Borreria alata Perlakuan Dosis Kontrol - Minggu Setelah Aplikasi (MSA) (g/0.25m 2 ) (0.62) 1.26 a (32.98) 5.20 a (10.64) 3.16 a (17.07) 4.20 a (25.18) 5.09 a (41.81) 6.40 a Manual - (0.41) 1.17 ab (4.49) 2.16 b (5.25) 2.30 ab (11.23) 3.25 a (16.42) 4.12 ab (15.92) 3.62 a Diuron 500 g/l SC Diuron 500 g/l SC Diuron 500 g/l SC Diuron 500 g/l SC 0.5 l/ha 1.0 l/ha 2.0 l/ha 3.0 l/ha (0.06) 1.00 b (0.00) 1.00 b (0.00) 1.00 b (0.00) 1.00 b (0.68) 1.27 b (0.18) 1.08 b (2.47) 1.77 b (0.41) 1.15 b (0.74) 1.27 b (1.53) 1.44 b (1.58) 1.51 b (0.42) 1.18 b (23.37) 4.51 a (5.64) 2.53 a (8.16) 2.73 a (9.07) 2.88 a (15.35) 3.10 b (7.97) 2.89 b (8.86) 3.10 b (13.34) 3.68 ab (30.98) 5.10 a (12.05) 3.27 a (13.04) 3.67 a (16.02) 3.68 a Keterangan : - Angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji duncan. - Angka dalam kurung merupakan data asli, sedangkan angka di luar kurung merupakan data hasil transformasi (x+1) Dapat dilihat pada Tabel 10 bahwa perlakuan herbisida diuron 500 g/l SC dengan dosis 1.0 l/ha, 2.0 l/ha, dan 3.0 l/ha tidak menunjukan terdapat gulma Borreria alata pada saat pengambilan sampel gulma dalam kuadran pada pengamatan 2 MSA. Tingkat bobot kering gulma total Borreria alata tertinggi terdapat pada perlakuan Kontrol pada pengamatan 12 MSA sebesar gram. Dari Gambar 10 dapat dilihat bahwa bobot kering gulma Borreria alata terendah ditunjukan pada 2 MSA dan meningkat hingga akhir pengamatan. Perlakuan herbisida dengan dosis 1.0 l/ha mempunyai nilai bobot kering gulma Borreria alata terendah dibandingkan dengan perlakuan herbisida dosis lainnya dan perlakuan kontrol. Pada perlakuan kontrol terjadi penurunan nilai bobot kering gulma Borreria alata pada 6 MSA, kemudian setelah itu terus naik hingga

49 BK Borreria alata 37 akhir pengamatan. Secara umum, mulai terjadi peningkatan jumlah bobot kering gulma Borreria alata yang signifikan setelah 6 MSA, yang dapat dilihat dari bentuk grafik pada Gambar 10. Gambar 10. Grafik Bobot Kering Gulma Borreria alata 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 y = -0,369x + 3,126 R² = Dosis diuron 500 g/l Linear (diuron 500 g/l) Gambar 11. Regresi Pengaruh Perlakuan Herbisida Antara Dosis dengan Bobot Kering Gulma Borreria alata Dari hasil regresi menunjukan bahwa herbisida diuron 500 g/l SC efektif menekan bobot kering gulma Borreria alata. Hasil regresi menunjukan bahwa semakin tinggi dosis cenderung memberikan bobot kering yang lebih rendah (Gambar 11). Bobot Kering Gulma Digitaria adscendens Sidik ragam bobot kering gulma Digitaria adscendens dapat dilihat pada Lampiran 7. Dari Lampiran 7 dapat dilihat bahwa aplikasi herbisida diuron 500 g/l SC tidak memberikan pengaruh yang nyata kecuali pada pengamatan 10 MSA yang menunjukan perbedaan yang nyata pada taraf 5 %. Pada Tabel 11 disajikan

50 pengaruh perlakuan pengendalian gulma terhadap bobot kering gulma Digitaria adscendens. Secara umum herbisida diuron 500 g/l SC merupakan herbisida yang biasanya digunakan untuk mengendalikan gulma-gulma daun lebar. Sehingga aplikasi herbisida tersebut pada percobaan ini dengan beberapa ukuran dosis tidak menunjukan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan gulma Digitaria adscendens yang merupakan jenis gulma dari golongan rumput yang ada di sekitar areal percobaan. Tabel 11. Pengaruh Perlakuan Pengendalian Gulma terhadap Bobot Kering Gulma Digitaria adscendens Perlakuan Dosis Kontrol - Minggu Setelah Aplikasi (MSA) (g/0.25m 2 ) (2.81) 1.79 a (2.21) 1.66 a (1.70) 1.45 a (7.93) 2.18 a (1.22) 1.40 b (33.06) 5.74 a Manual - (1.36) 1.52 a (1.22) 1.48 a (2.57) 1.65 a (0.45) 1.19 a (0.21) 1.09 b (25.99) 4.73 ab Diuron 500 g/l SC Diuron 500 g/l SC Diuron 500 g/l SC Diuron 500 g/l SC 0.5 l/ha 1.0 l/ha 2.0 l/ha 3.0 l/ha (1.03) 1.31 a (0.28) 1.13 a (0.26) 1.11 a (0.59) 1.21 a (8.92) 2.65 a (1.83) 1.51 a (1.02) 1.34 a (3.21) 1.70 a (1.07) 1.40 a (2.01) 1.52 a (1.90) 1.55 a (0.00) 1.00 a (2.02) 1.62 a (0.30) 1.12 a (0.41) 1.17 a (2.01) 1.59 a (2.49) 1.70 b (1.04) 1.32 b (0.91) 1.29 b (6.69) 2.74 a (8.40) 2.73 b (5.88) 2.47 b (16.67) 4.16 ab (13.63) 3.52 ab Keterangan : - Angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji duncan. - Angka dalam kurung merupakan data asli, sedangkan angka di luar kurung merupakan data hasil transformasi (x+1) Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa perlakuan herbisida yang memberikan pengaruh dalam menekan bobot kering gulma Digitaria adscendens paling rendah adalah pada perlakuan herbisida diuron 500 g/l SC dengan dosis 2.0 l/ha. Tabel 11 menunjukan bahwa nilai bobot kering terkecil terjadi pada perlakuan herbisida diuron 500 g/l SC dengan dosis 2.0 l/ha pada 2 MSA dan nilai bobot kering total terbesar terjadi pada perlakuan kontrol pada 12 MSA.

51 BK Digitaria adscendens 39 Grafik rata-rata bobot kering total gulma Digitaria adscendens pada Gambar 12 menunjukan nilai peningkatan dan penurunan yang stabil kecuali untuk perlakuan Kontrol dan herbisida dengan dosis 0.5 l/ha, dan tidak begitu besar nilai bobot kering dari setiap perlakuan bila dibandingkan dengan nilai bobot kering gulma yang lainnya pada 2 MSA hingga 10 MSA. Namun pada pengamatan 12 MSA mulai terlihat peningkatan nilai bobot kering yang begitu signifikan dari setiap perlakuan terutama untuk perlakuan kontrol dan perlakuan penyiangan manual. Gambar 12. Grafik Bobot Kering Gulma Digitaria adscendens 2,25 2,2 2,15 2,1 2,05 2 1,95 1,9 y = 0,116x + 1,862 R² = Dosis diuron 500 g/l Linear (diuron 500 g/l) Gambar 13. Regresi Pengaruh Perlakuan Herbisida Antara Dosis dengan Bobot Kering Gulma Digitaria adscendens

52 40 Dari hasil regresi pada Gambar 13 menunjukan bahwa herbisida diuron 500 g/l SC kurang efektif menekan bobot kering gulma Digitaria adscendens. Hasil regresi menunjukan bahwa semakin tinggi dosis cenderung memberikan bobot kering yang lebih tinggi. Bobot Kering Gulma Brachiaria distachya Hasil sidik ragam bobot kering gulma Brachiaria distachya dapat dilihat pada Lampiran 8. Dari Lampiran 8 dapat dilihat bahwa aplikasi herbisida diuron 500 g/l SC tidak memberikan pengaruh yang sangat nyata pada 2 MSA hingga 10 MSA, namun pada 12 MSA terlihat ada pengaruh yang nyata pada taraf 5 %. Pengaruh perlakuan pengendalian gulma terhadap bobot kering gulma Brachiaria distachya dapat dilihat pada Tabel 12 dan bentuk grafiknya dapat dilihat pada Gambar 14. Secara perhitungan statistik perlakuan herbisida diuron 500 g/l SC dengan dosis 0.5 l/ha, 1.0 l/ha, 2.0 l/ha, dan 3.0 l/ha tidak berbeda tingkat efektifitasnya dalam menekan pertumbuhan gulma Brachiaria distachya. Tabel 12 menunjukan bahwa secara perhitungan statistik tidak menunjukan perbedaan yang nyata antara setiap perlakuan dari mulai pengamatan 2 MSA hingga 10 MSA, dan peningkatan serta penurunan nilai bobot kering gulma Brachiaria distachya terlihat stabil. Namun ketika memasuki 12 MSA terlihat adanya perbedaan yang nyata pada taraf 5 %, yang diakibatkan karena nilai bobot kering gulma Brachiaria distachya pada perlakuan kontrol meningkat drastis. Hal ini diakibatkan karena semakin menurunnya dominansi gulma-gulma daun lebar seperti Cleome rutidosperma seiring berjalannya pengamatan, sehingga memberikan ruang bagi gulma-gulma rumput seperti Brachiaria distachya untuk meningkatkan populasinya, seperti yang ditunjukan pada hasil analisis vegetasi akhir yang menunjukan adanya peningkatan dominansi gulma rumput seperti Brachiaria distachya pada pengamatan 12 MSA.

53 Tabel 12. Pengaruh Perlakuan Pengendalian Gulma terhadap Bobot Kering Gulma Brachiaria distachya Perlakuan Dosis Kontrol - Minggu Setelah Aplikasi (MSA) (g/0.25m 2 ) (0.77) 1.25 a (1.73) 1.48 a (0.34) 1.13 a (4.03) 2.01 a (11.38) 3.19 ab (24.06) 4.50 a Manual - (0.33) 1.13 a (0.30) 1.13 a (0.52) 1.20 a (3.28) 1.96 a (3.51) 2.03 ab (4.50) 2.09 abc Diuron 500 g/l SC Diuron 500 g/l SC Diuron 500 g/l SC Diuron 500 g/l SC 0.5 l/ha 1.0 l/ha 2.0 l/ha 3.0 l/ha (0.00) 1.00 a (0.13) 1.06 a (0.00) 1.00 a (0.00) 1.00 a (3.11) 1.67 a (1.07) 1.36 a (0.98) 1.32 a (0.00) 1.00 a (1.95) 1.56 a (2.85) 1.73 a (0.00) 1.00 a (0.23) 1.10 a (2.84) 1.63 a (1.09) 1.33 a (0.84) 1.27 a (1.00) 1.33 a (6.50) 2.56 ab (19.86) 4.16 a (3.30) 1.69 b (2.83) 1.89 ab (6.43) 2.34 abc (15.88) 3.78 ab (0.76) 1.25 c (1.19) 1.35 bc Keterangan : - Angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji duncan. - Angka dalam kurung merupakan data asli, sedangkan angka di luar kurung merupakan data hasil transformasi (x+1) Grafik rata-rata bobot kering gulma Brachiaria distachya pada Gambar 14 menunjukan bahwa terjadi perubahan tingkat bobot kering dari setiap perlakuan yang stabil pada pengamatan 2 MSA hingga 8 MSA, namun ketika memasuki 10 MSA mulai terlihat peningkatan bobot kering gulma Brachiaria distachya yang signifikan terutama pada perlakuan kontrol dan perlakuan herbisida dengan dosis 1.0 l/ha yang memiliki tingkat bobot kering gulma Brachiaria distachya teringgi ketika pengamatan 10 MSA mengalahkan perlakuan kontrol. Namun memasuki pengamatan 12 MSA, banyak perlakuan herbisida dari bebrapa dosis mengalami sedikit penurunan tingkat bobot kering gulma Brachiaria distachya, sedangkan untuk perlakuan kontrol dan penyiangan manual tetap mengalami peningkatan. Hasil regresi menunjukan bahwa semakin tinggi dosis cenderung memberikan bobot kering yang lebih rendah (Gambar 15).

54 BK Brachiaria distachya 42 Gambar 14. Grafik Bobot Kering Gulma Brachiaria distachya 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 y = -0,459x + 2,641 R² = Dosis diuron 500 g/l Linear (diuron 500 g/l) Gambar 15. Regresi Pengaruh Perlakuan Herbisida Antara Dosis dengan Bobot Kering Gulma Brachiaria distachya Fitotoksisitas pada Tanaman Tebu Salah satu pertimbangan yang penting dalam pemakaian herbisida adalah untuk mendapatkan pengendalian yang selektif, yaitu mematikan gulma, tetapi tidak merusak tanaman budidaya. Respon beberapa jenis tumbuhan yang berbeda pada satu jenis herbisida dengan dosis yang sama akan berbeda pula. Hal ini diakibatkan karena letak kegiatan herbisida itu pada masing-masing tumbuhan juga berbeda ataupun lama beradanya herbisida itu dalam tumbuhan yang berbeda (persistensi). Kemantapan beradanya herbisida dan letak kegiatannya dalam tubuh tumbuhan mempunyai hubungan yang erat dengan keselektifannya, penetrasi, dan translokasinya untuk mencapai sasaran. Laju masuknya herbisida ke dalam tubuh

55 43 tumbuhan tergantung dari stadia perkembangan tumbuhan pada saat aplikasi. Bagian tubuh tumbuhan di bawah dan diatas permukaan tanah diliputi suatu membran yang disebut dengan kutikula yang terdiri dari membran benda mati, non-seluler, dan lipoida yang merupakan penghalang utama masuknya herbisida (Moenandir, 1990). Pengamatan toksisitas herbisida diuron 500 g/l SC pada tanaman tebu yang dilakukan secara visual dengan memberikan skoring pada setiap tingkat keracunan tidak menunjukan adanya keracunan pada tanaman tebu dari setiap perlakuan dosis herbisida kecuali untuk perlakuan dengan dosis 3.0 l/ha. Perlakuan herbisida diuron 500 g/l SC dengan dosis 3.0 l/ha menunjukan adanya keracunan ringan pada tanaman tebu. Pengamatan dalakukan sebanyak 3 kali pengamatan yaitu pada 4, 6, dan 8 MSA. Tidak adanya tingkat keracunan yang berarti pada tanaman tebu menunjukan bahwa tanaman tebu mampu memetabolisme komponenkomponen yang terdapat pada herbisida diuron 500 g/l SC pada dosis perlakuan yang diberikan pada percobaan ini. Data rata-rata tingkat toksisitas pada tanaman tebu dapat dilihat pada Tabel 13 dan grafiknya pada Gambar 16. Tingkat rata-rata skoring toksisitas yang tertinggi terjadi pada perlakuan herbisida diuron 500 g/l SC dengan dosis 3.0 l/ha yang termasuk kedalam tingkat keracunan yang ringan dengan nilai rata-rata skoring sebesar 1.12, sedangkan terendah adalah pada perlakuan dosis 0.5 l/ha dengan nilai 0.46 yang menunjukan tidak adanya keracunan. Perbandingan tingkat keracunan berdasarkan penampakan nekrosis dapat dilihat pada Lampiran 11. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor termasuk pengaruh tingkat dosis yang diberikan yang dapat menyebabkan herbisida diuron 500 g/l SC dapat bersifat selektif. Menurut Yakup (2002), menyatakan bahwa penghambatan atau pemacuan pertumbuhan suatu tumbuhan ditentukan oleh dosis/konsentrasi herbisida tersebut. Suatu herbisida pada dosis atau konsentrasi tertentu dapat bersifat selektif, tetapi bila dosis/konsentrasi dinaikan atau diturunkan berubah menjadi tidak selektif. Menurut Moenandir (1990) menyatakan bahwa gejala fitotoksik utama dari herbisida golongan urea termasuk jenis diuron adalah dalam daun. Gejala akut bila konsentrasi tinggi dalam daun muncul dalam beberapa hari, dengan

56 mula-mula berwarna hijau muda dan akhirnya nekrosis. Bila perlakuan herbisida melebihi dosis yang direkomendasikan juga bisa menyebabkan terjadinya klorosis pada daerah disekitar tulang dan urat daun yang akan menimbulkan warna kekuningan pada daun kemudian akan diikuti oleh pertumbuhan anakan yang melambat (Agustanti, 2006). Tabel 13. Data Nilai Rata-rata Tingkat Skoring Toksisitas pada Tanaman Tebu No Perlakuan Rata-rata tingkat Skoring Keracunan 4 MSA 6 MSA 8 MSA Rata-rata l/ha 0,47 0,45 0,47 0, l/ha 0,72 0,80 0,77 0, l/ha 0,45 0,60 0,57 0, l/ha 1,12 1,10 1,15 1,123 Untuk menghindari keracunan tebu akibat adanya aplikasi herbisida, harus diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi selektifitas herbisida tersebut. Adapun faktor-faktor yang ikut berperan dalam menentukan selektifitas herbisida adalah peranan tumbuhan, peranan herbisida (termasuk dosis), peranan lingkungan, dan peranan cara aplikasi (Yakup, 2002). Dilihat dari tingkat skoring keracunan dan dari efektifitas pengendalian gulma, perlakuan herbisida diuron 500 g/l SC dengan dosis 0.5 l/ha merupakan perlakuan yang lebih efisien dan efektif dalam menekan pertumbuhan gulma dan selektifitas terhadap keracunan pada tanaman tebu. 44 Gambar 16. Grafik Tingkat Skoring Toksistas pada Tanaman Tebu

57 45 Perbandingan dengan Pengendalian Mekanis Program pengendalian gulma yang tepat untuk memperoleh hasil yang memuaskan perlu dipikirkan terlebih dahulu. Pengetahuan biologis dari gulma (daur hidup) dan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan gulma sangat mendukung dalam program ini. Pengetahuan mengenai cara gulma berkembangbiak, menyebar, dan bereaksi dengan perubahan lingkungan dan cara gulma tumbuh pada keadaan yang berbeda-beda sangat penting untuk menentukan program pengendalian agar bisa efisien dan efektif baik dari segi biaya, waktu, dan tenaga kerja. Pengendalian mekanis merupakan suatu teknik pengendalian yang bertujuan untuk menekan pertumbuhan gulma dengan cara merusak bagian-bagian sehingga gulma tersebut mati atau pertumbuhannya terhambat. Teknik pengendalian mekanis ini lebih banyak memanfaatkan kekuatan fisik atau mekanik. Praktek pengendalian secara mekanis ini biasanya dilakukan secara tradisional dengan tangan, alat sederhana, sampai penggunaan alat berat yang lebih madern. Cara ini umumnya cukup baik dilakukan pada berbagai jenis gulma setahun, tetapi pada kondisi tertentu juga efektif bagi gulma-gulma tahunan (Yakup, 2002). Pengendalian mekanis merupakan cara yang relatif tua dan masih banyak dilakukan meskipun secara ekonomis bisa lebih mahal dibandingkan caracara yang lain. Adapun beberapa teknik pengendalian mekanis yang biasa dilakukan adalah dengan pengolahan tanah, penyiangan, pencabutan, pembabatan, pembakaran, dan penggenangan. Pengendalian mekanis yang menjadi salah satu perlakuan pada percobaan ini adalah dengan penyiangan secara manual yang dilaksanakan pada pengamatan 6 MSA dengan menggunakan peralatan tradisional seperti kored dan sabit. Penyiangan manual biasanya membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dibandingkan dengan pengendalian secara kimia menggunakan herbisida. Penyiangan manual yang dilakukan dalam percobaan ini membutuhkan waktu rata-rata 25 menit/70 m 2 menggunakan peralatan tradisional seperti kored dan sabit dengan teknik babat dempes, yang berarti bila dirata-ratakan untuk 1 ha membutuhkan waktu sekitar jam atau sekitar 9 HOK (1 HOK = 7 jam). Sedangkan untuk perlakuan herbisida menggunakan alat sprayer knapsack semi

58 automatik dengan nozel T-jet, yang menggunakan volume somprot 400 l/ha, dan memiliki nozel output sebesar 0.8 l/menit, memerlukan waktu penyemprotan ratarata 3.5 menit/70 m 2 atau sekitar 8.33 jam/ha (1.5 HOK). Pengendalian secara mekanis selain memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan pengendalian secara kimia, juga memerlukan tenaga kerja yang banyak dan biaya yang lebih besar untuk membayar tenaga kerja tersebut. PT. PG. Rajawali II memiliki standar upah untuk karyawan harian lepas yaitu rata-rata Rp /HOK. Sedangkan untuk harga herbisida diuron 500 g/l SC yang diujikan dalam percobaan ini diperkirakan mempunyai harga jual sekitar Rp /liter. Perbandingan biaya yang dikeluarkan antara perlakuan penyiangan manual dengan perlakuan herbisida ditunjukan pada Tabel 14. Tabel 14. Perlakuan Perbandingan Biaya antara Perlakuan Penyiangan Manual dengan Perlakuan Herbisida dengan Beberapa Dosis Jumlah HOK Upah KHL (Rp) Biaya herbisida (Rp) Biaya Total (Rp) Penyiangan Manual 9 HOK /HOK Diuron 500 g/l SC (dosis 0.5 l/ha) 1.5 HOK /HOK Diuron 500 g/l SC (dosis 1.0 l/ha) 1.5 HOK /HOK Diuron 500 g/l SC (dosis 2.0 l/ha) 1.5 HOK /HOK Diuron 500 g/l SC (dosis 3.0 l/ha) 1.5 HOK /HOK Keterangan : Biaya Total = (HOK x Upah KHL) + Biaya herbisida Perbandingan tingkat kemampuan untuk menekan pertumbuhan gulma antara perlakuan penyiangan manual dengan perlakuan herbisida juga menunjukan bahwa perlakuan herbisida atau pengendalian secara kimia memiliki hasil yang lebih baik untuk menekan pertumbuhan gulma dibandingkan dengan perlakuan penyiangan manual atau secara mekanis. Terlihat pada pengamatan 8 MSA setelah dilakukannya penyiangan manual pada 6 MSA, menunjukan bahwa perlakuan penyiangan manual memiliki nilai bobot kering gulma yang lebih besar dibandingkan perlakuan herbisida pada semua dosis yang diujikan (Tabel 6). 46

59 47 Pembahasan Umum Perlakuan formulasi herbisida diuron 500 g/l SC pada semua tingkat dosis pada percobaan ini efektif mengendalikan gulma hingga 10 MSA. Aplikasi herbisida diuron 500 g/l SC memberikan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan kontrol dan penyiangan manual dalam menekan bobot kering gulma total, gulma daun lebar, dan gulma dominan dari jenis daun lebar. Sedangkan untuk gulma dari golongan rumput dan gulma dominan dari jenis rumput tidak menunjukan perbedaan yang nyata antara setiap perlakuan herbisida dengan perlakuan kontrol. Daya berantas herbisida diuron 500 g/l SC terlihat lebih baik pada gulma golongan daun lebar dibandingkan dengan gulma golongan rumput. Diuron merupakan jenis herbisida berspektrum luas, namun diuron lebih baik mengendalikan gulma dari golongan daun lebar (Thomson dalam Agustanti, 2006). Herbisida diuron 500 g/l SC yang digunakan dalam percobaan ini efektif dalam mengendalikan gulma sasaran. Hal ini diduga oleh kandungan bahan aktif yang cukup tinggi terkandung dalam herbisida yang diaplikasikan. Meonandir (1988) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi herbisida yang diterima oleh gulma akan meningkatkan penekanan herbisida terhadap gulma. Hasil perhitungan regresi linear dari setiap gulma dominan menunjukan bahwa semakin tinggi dosis cenderung memberikan bobot kering yang lebih rendah. Akobundu (1984) menyatakan bahwa herbisida yang diformulasikan dalam bentuk cair diharapkan untuk lebih efektif dari formulasi padat karena molekul-molekul herbisida dalam formulasi ini lebih halus dan lebih mudah untuk diserap oleh tumbuhan serta partikel tanah. Herbisida diuron 500 g/l SC merupakan jenis herbisida yang memiliki formulasi dalam bentuk cair yang juga diduga turut membantu partikel herbisida diserap kedalam tubuh tumbuhan. Perlakuan herbisidia diuron 500 g/l SC dengan dosis 3.0 l/ha memberikan hasil yang terbaik dalam menekan pertumbuhan gulma, namun efeknya menimbulkan keracunan ringan pada tanaman tebu bila dibandingkan dengan perlakuan herbisida dengan dosis yang lebih rendah. Secara umum berdasarkan perhitungan statistik, perlakuan herbisida diuron 500 g/l SC diantara dosis 0.5 l/ha, 1.0 l/ha, 2.0 l/ha, dan 3.0 l/ha tidak menunjukan perbedaan dalam menekan

60 48 pertumbuhan gulma. Hal ini dapat disimpulkan bahwa perlakuan herbisida diuron 500 g/l SC dengan dosis 0.5 l/ha lebih efektif digunakan dalam menekan pertumbuhan gulma bila dibandingkan dengan perlakuan lain pada percobaan ini. Karena dengan dosis 0.5 l/ha sudah mampu menekan pertumbuhan gulma dan berbeda nyata dengan perlakuan kontrol. Dari semua dosis herbisida yang digunakan pada percobaan ini, hanya perlakuan herbisida dengan dosis paling tinggi yaitu 3.0 l/ha yang menunjukan adanya keracunan ringan pada tanaman tebu pada pengamatan 4, 6, dan 8 MSA. Menurut Rochecouste (1967) herbisida diuron secara umum tidak beracun saat diaplikasikan pada tanaman tebu dengan dosis yang direkomendasikan, meskipun herbisida ini mengenai permukaan daun tanaman tebu, tetapi tidak akan menimbulkan gejala keracunan. Perlakuan pengendalian secara kimia mengunakan herbisida pada percobaan ini menunjukan bahwa penggunaan herbisida lebih efisien dan efektif dari segi penekanan pertumbuhan gulma, waktu, biaya, dan tenaga kerja bila dibandingkan dengan perlakuan penyiangan manual. Perlakuan penyiangan manual menunjukan tingkat bobot kering gulma yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol. Namun pengendalian secara mekanis seperti pengolahan tanah penting dilakukan karena efektifitas herbisida akan lebih baik pada tanah yang telah diolah. Bila tanah telah diolah, biasanya biji gulma akan terangkat ke permukaan tanah dan dapat dikendalikan dengan lebih baik.

61 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Herbisida diuron 500 g/l SC dengan dosis l/ha efektif dalam mengendalikan gulma pada pertanaman tebu hingga 10 MSA. Secara umum berdasarkan hasil analisis statistik, rata-rata diantara perlakuan herbisida dengan dosis 0.5 l/ha, 1.0 l/ha, 2.0 l/ha, dan 3.0 l/ha tidak berbeda tingkat pengendaliannya terhadap pertumbuhan gulma. Sehingga aplikasi herbisida dengan dosis 0.5 l/ha lebih efektif untuk diaplikasikan karena dengan dosis 0.5 l/ha sudah mampu mengendalikan pertumbuhan gulma dan berbeda nyata dengan perlakuan kontrol dan penyiangan manual. Selama percobaan tidak ditemukan gejala keracunan pada perlakuan dosis l/ha, namun pada perlakuan dengan dosis 3.0 l/ha menunjukan skoring keracunan ringan atau tidak terlalu membahayakan. Saran Perlu dilakukan uji percobaan terlebih dahulu sebelum dilakukan aplikasi herbisida untuk mengetahui teknik yang tepat dalam pengambilan sampel gulma yang mewakili luasan gulma yang akan diambil, sehingga nilai koefisien keragamannya tidak akan terlalu tinggi.

62 DAFTAR PUSTAKA Agustanti, V. M. F Studi Keefektifan Herbisida Diuron dan Ametrin untuk Mengendalikan Gulma pada Pertanaman Tebu (Saccharum officinarum L.). Skripsi. Departemen Agronomi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 55 hal. Akobundu, I. O Weed Science in The Tropics : Principles and Practices. A Wiley Interscience Publications. John Wiley and Sons. London 265 p. Barus, E Pengendalian Gulma di Perkebunan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 103 hal. Deptan Luas areal dan produksi perkebunan seluruh Indonesia menurut pengusahaan. www. ditjenbun.deptan.go.id. html. 2 mei Harefa, T Pengaruh Tekanan, Panjang Selang, dan Dosis Herbisida terhadap Jumlah dan Ukuran Diameter Butiran pada Alat Semprot (Sprayer) Bertenaga Traktor Tangan. Skripsi. Teknologi Pertanian, IPB. Bogor. 86 hal. Kuntohartono, T Pengendalian gulma terpadu sebagai upaya mengurangi ketergantungan akan herbisida impor. Gula Indonesia 23 (1) : Moenandir, J Persaingan Tanaman Budidaya dengan Gulma. Rajawali Press. Jakarta. 101 hal. Moenandir, J Fisiologi Herbisida. Rajawali Press. Jakarta. 143 halaman. Moenandir, J Pengantar Ilmu dan Pengendalian Gulma. Rajawali Press. Jakarta. 100 halaman. Murwandono Survey Gulma di Proyek Gula Camming. Prosiding Pertemuan Teknis Tengah Tahunan II Lahan Kering di Luar Jawa. Balai Penelitian Perusahaan Perkebunan Gula. Pasuruan. Halaman 124. Rahmawati, G Analisis Tebu Tertinggal di Kebun pada Pabrik Gula Subang, Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor. 122 hal. Rouchecouste, E Weed Control in Sugarcane : Research and Application Mauritius Sugar Industry Research. Reduit. Mauritius. 117 p. Sastroutomo, S. S Ekologi Gulma. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 254 hal. Sembodo, D.R.J Dinamika Populasi Gulma dan Persistensi Herbisida Pra Tumbuh pada Tanah Podsolik Merah Kuning Pertanaman Tebu karena Pemberian Dolomit. Tesis. Program Pasca Sarjana, IPB. Bogor. 78 hal.

63 51 Sujarwadi Studi Penetapan Persistensi Herbisida Ametryne, Diuron, dan Paraquat dengan Pemberian Blotong pada Tanah Latosol Darmaga dengan Metode Uji Hayati (Bioassay). Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian, IPB. Bogor. 65 hal. Sutiyoso, S Penggunaan Herbisida di Lahan Kering. Dalam Prosiding Seminar HIGI-UNILA. Hal Tjitrosoedirdjo, S., I. H. Utomo dan J. Wiroatmodjo Pengelolaan Gulma di Perkebunan. Kerjasama Biotrop Bogor Gramedia. Jakarta. 225 hal. Yakup, Y.S Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 159 halaman. Zainudin, L Produksi Gula Tahun [6 November 2011]

64 52 Lampiran 1. Sidik Ragam Persentase Penutupan Gulma Total Parameter (MSA) Sumber Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F KK (%) Ulangan tn Perlakuan ** Galat Total Ulangan Perlakuan ** Galat Total Ulangan tn Perlakuan ** Galat Total Ulangan tn Perlakuan ** Galat Total Ulangan tn Perlakuan ** Galat Total Ulangan tn Perlakuan tn Galat Total Keterangan : - ** = Berpengaruh nyata pada taraf 1 % - * = Berpengaruh nyata pada taraf 5 % - + = Berpengaruh nyata pada taraf 10 % - tn = Tidak berpengaruh nyata

65 53 Lampiran 2. Sidik Ragam Bobot Kering Gulma Total Parameter (MSA) Sumber Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F KK (%) Ulangan tn Perlakuan ** Galat Total Ulangan Perlakuan ** Galat Total Ulangan ** Perlakuan ** Galat Total Ulangan tn Perlakuan ** Galat Total Ulangan * Perlakuan ** Galat Total Ulangan tn Perlakuan tn Galat Total Keterangan : - ** = Berpengaruh nyata pada taraf 1 % - * = Berpengaruh nyata pada taraf 5 % - + = Berpengaruh nyata pada taraf 10 % - tn = Tidak berpengaruh nyata

66 54 Lampiran 3. Sidik Ragam Bobot Kering Total Gulma Daun Lebar Parameter (MSA) Sumber Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F KK (%) Ulangan tn Perlakuan ** Galat Total Ulangan tn Perlakuan ** Galat Total Ulangan * Perlakuan ** Galat Total Ulangan tn Perlakuan ** Galat Total Ulangan * Perlakuan ** Galat Total Ulangan tn Perlakuan tn Galat Total Keterangan : - ** = Berpengaruh nyata pada taraf 1 % - * = Berpengaruh nyata pada taraf 5 % - + = Berpengaruh nyata pada taraf 10 % - tn = Tidak berpengaruh nyata

67 55 Lampiran 4. Sidik Ragam Bobot Kering Total Gulma Rumput Parameter (MSA) Sumber Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F KK (%) Ulangan tn Perlakuan tn Galat Total Ulangan tn Perlakuan tn Galat Total Ulangan tn Perlakuan tn Galat Total Ulangan tn Perlakuan tn Galat Total Ulangan tn Perlakuan tn Galat Total Ulangan tn Perlakuan tn Galat Total Keterangan : - ** = Berpengaruh nyata pada taraf 1 % - * = Berpengaruh nyata pada taraf 5 % - + = Berpengaruh nyata pada taraf 10 % - tn = Tidak berpengaruh nyata

68 56 Lampiran 5. Sidik Ragam Bobot Kering Total Gulma Cleome rutidosperma Parameter (MSA) Sumber Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F KK (%) Ulangan tn Perlakuan ** Galat Total Ulangan Perlakuan ** Galat Total Ulangan ** Perlakuan ** Galat Total Ulangan tn Perlakuan ** Galat Total Ulangan Perlakuan ** Galat Total Ulangan tn Perlakuan tn Galat Total Keterangan : - ** = Berpengaruh nyata pada taraf 1 % - * = Berpengaruh nyata pada taraf 5 % - + = Berpengaruh nyata pada taraf 10 % - tn = Tidak berpengaruh nyata

69 57 Lampiran 6. Sidik Ragam Bobot Kering Total Gulma Borreria alata Parameter (MSA) Sumber Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F KK (%) Ulangan tn Perlakuan * Galat Total Ulangan tn Perlakuan ** Galat Total Ulangan tn Perlakuan * Galat Total Ulangan * Perlakuan tn Galat Total Ulangan tn Perlakuan tn Galat Total Ulangan tn Perlakuan tn Galat Total Keterangan : - ** = Berpengaruh nyata pada taraf 1 % - * = Berpengaruh nyata pada taraf 5 % - + = Berpengaruh nyata pada taraf 10 % - tn = Tidak berpengaruh nyata

70 58 Lampiran 7. Sidik Ragam Bobot Kering Total Gulma Digitaria adscendens Parameter (MSA) Sumber Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F KK (%) Ulangan tn Perlakuan tn Galat Total Ulangan tn Perlakuan tn Galat Total Ulangan tn Perlakuan tn Galat Total Ulangan tn Perlakuan tn Galat Total Ulangan tn Perlakuan * Galat Total Ulangan tn Perlakuan tn Galat Total Keterangan : - ** = Berpengaruh nyata pada taraf 1 % - * = Berpengaruh nyata pada taraf 5 % - + = Berpengaruh nyata pada taraf 10 % - tn = Tidak berpengaruh nyata

71 59 Lampiran 8. Sidik Ragam Bobot Kering Total Gulma Brachiaria distachya Parameter (MSA) Sumber Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F KK (%) Ulangan tn Perlakuan tn Galat Total Ulangan tn Perlakuan tn Galat Total Ulangan tn Perlakuan tn Galat Total Ulangan tn Perlakuan tn Galat Total Ulangan tn Perlakuan tn Galat Total Ulangan tn Perlakuan * Galat Total Keterangan : - ** = Berpengaruh nyata pada taraf 1 % - * = Berpengaruh nyata pada taraf 5 % - + = Berpengaruh nyata pada taraf 10 % - tn = Tidak berpengaruh nyata

72 60 Lampiran 9. Perbandingan Pertumbuhan Gulma pada Setiap Petak Perlakuan pada 2 MSA Dosis 0.5 l/ha Dosis 1.0 l/ha Dosis 2.0 l/ha Dosis 3.0 l/ha Kontrol Penyiangan Manual

73 61 Lampiran 10. Perbandingan Pertumbuhan Gulma pada Setiap Petak Perlakuan pada 12 MSA Dosis 0.5 l/ha Dosis 1.0 l/ha Dosis 2.0 l/ha Dosis 3.0 l/ha Kontrol Penyiangan Manual

74 62 Lampiran 11. Perbandingan Tingkat Toksisitas pada Tanaman Tebu dari Setiap Perlakuan Dosis Herbisida pada 6 MSA Dosis 0.5 l/ha Dosis 1.0 l/ha Dosis 2.0 l/ha Dosis 3.0 l/ha

TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Gulma

TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Gulma TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Gulma Masalah gulma timbul pada suatu jenis tumbuhan atau sekelompok tumbuhan mulai mengganggu aktifitas manusia baik kesehatannya maupun kesenangannya. Istilah gulma bukanlah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Kegiatan penelitian dilaksanakan di lahan tanaman tebu PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang yang terletak di blok Cidangdeur, desa Pasirbungur, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Perusahaan PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang terletak di blok Cidangdeur, desa Pasirbungur, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Perusahaan ini memiliki

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di lahan pertanaman tebu Kecamatan Natar, Kabupaten

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di lahan pertanaman tebu Kecamatan Natar, Kabupaten 30 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di lahan pertanaman tebu Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan dan Laboratorium Gulma, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

METODELOGI PERCOBAAN. Penelitian ini dilakukan di Desa Hajimena, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung

METODELOGI PERCOBAAN. Penelitian ini dilakukan di Desa Hajimena, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung III. METODELOGI PERCOBAAN 3. 1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Hajimena, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan dan Laboratorium Ilmu Gulma Universitas Lampung. Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu komoditas penting

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu komoditas penting I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu komoditas penting sebagai bahan pembuatan gula yang sudah menjadi kebutuhan industri dan rumah

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Universitas Lampung (Unila),

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Universitas Lampung (Unila), III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Universitas Lampung (Unila), Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan dan Laboratorium Ilmu Gulma Universitas

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di lahan perkebunan PTPN VII Unit Usaha Way Galih

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di lahan perkebunan PTPN VII Unit Usaha Way Galih 18 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di lahan perkebunan PTPN VII Unit Usaha Way Galih dan Laboratorium Gulma Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari bulan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tebu adalah tanaman jenis rumput-rumputan yang ditanam untuk bahan baku gula.

TINJAUAN PUSTAKA. Tebu adalah tanaman jenis rumput-rumputan yang ditanam untuk bahan baku gula. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Tebu Tebu adalah tanaman jenis rumput-rumputan yang ditanam untuk bahan baku gula. Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah beriklim tropis. Tanaman ini termasuk jenis

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada areal perkebunan kopi menghasilkan milik Balai

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada areal perkebunan kopi menghasilkan milik Balai III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada areal perkebunan kopi menghasilkan milik Balai Pengkajian dan Teknologi Pertanian di Kecamatan Natar Lampung Selatan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Lahan Penelitian Bataranila Lampung Selatan dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Lahan Penelitian Bataranila Lampung Selatan dan 21 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Lahan Penelitian Bataranila Lampung Selatan dan Laboratorium Gulma Fakultas Pertanian Universitas Lampung, yaitu pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di lahan kering dengan kondisi lahan sebelum pertanaman adalah tidak ditanami tanaman selama beberapa bulan dengan gulma yang dominan sebelum

Lebih terperinci

Lampiran 1. Sidik Ragam Persentase Penutupan Gulma Total

Lampiran 1. Sidik Ragam Persentase Penutupan Gulma Total LAMPIRAN Lampiran 1. Sidik Ragam Persentase Penutupan Gulma Total Parameter Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Nilai F Pr > F KK (MSA) Bebas Kuadrat Tengah (%) Ulangan 3 19.50000 0.50000 9.7** 0.00 Perlakuan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP),

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), 17 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), kebun percobaan Natar, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan dengan

Lebih terperinci

STUDI KEEFEKTIVAN HERBISIDA DIURON DAN AMETRIN UNTUK MENGENDALIKAN GULMA PADA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.

STUDI KEEFEKTIVAN HERBISIDA DIURON DAN AMETRIN UNTUK MENGENDALIKAN GULMA PADA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L. STUDI KEEFEKTIVAN HERBISIDA DIURON DAN AMETRIN UNTUK MENGENDALIKAN GULMA PADA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) LAHAN KERING Oleh Vience Maria Fransisca Agustanti A 341010 PROGRAM STUDI AGRONOMI

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN HERBISIDA KONTAK TERHADAP GULMA CAMPURAN PADA TANAMAN KOPI

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN HERBISIDA KONTAK TERHADAP GULMA CAMPURAN PADA TANAMAN KOPI 1 EFEKTIVITAS PENGGUNAAN HERBISIDA KONTAK TERHADAP GULMA CAMPURAN PADA TANAMAN KOPI Oleh NUR AYSAH NIM. 080500129 PROGRAM STUDI BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN POLITEKNIK PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit mempunyai nilai ekonomi yang sangat penting bagi

I. PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit mempunyai nilai ekonomi yang sangat penting bagi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman kelapa sawit mempunyai nilai ekonomi yang sangat penting bagi kehidupan manusia yang dapat memenuhi kebutuhan akan minyak nabati. Tanaman lain yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum) merupakan sayuran rempah yang tingkat

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum) merupakan sayuran rempah yang tingkat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bawang merah (Allium ascalonicum) merupakan sayuran rempah yang tingkat konsumsinya cukup tinggi di kalangan masyarakat. Hampir pada setiap masakan, sayuran ini selalu

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di areal perkebunan kelapa sawit Desa Mujimulyo, Kecamatan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di areal perkebunan kelapa sawit Desa Mujimulyo, Kecamatan III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di areal perkebunan kelapa sawit Desa Mujimulyo, Kecamatan Natar, Lampung Selatan dan di Laboratorium Gulma, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman yang dibudidayakan secara

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman yang dibudidayakan secara I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman yang dibudidayakan secara luas di Indonesia. Tebu sendiri adalah bahan baku dalam proses pembuatan gula. Dalam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ciparay, pada ketinggian sekitar 625 m, di atas permukaan laut dengan jenis tanah

BAB III METODE PENELITIAN. Ciparay, pada ketinggian sekitar 625 m, di atas permukaan laut dengan jenis tanah BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Percobaan Penelitian dilaksanakan di lahan sawah Sanggar Penelitian, Latihan dan Pengembangan Pertanian (SPLPP) Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencapai kurang lebih 1 tahun. Di Indonesia tebu banyak dibudidayakan di Pulau

I. PENDAHULUAN. mencapai kurang lebih 1 tahun. Di Indonesia tebu banyak dibudidayakan di Pulau I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tebu adalah tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah iklim tropis. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Cikabayan-University Farm IPB, Darmaga Bogor. Areal penelitian bertopografi datar dengan elevasi 250 m dpl dan curah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan tanaman pangan semusim yang termasuk golongan rerumputan

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan tanaman pangan semusim yang termasuk golongan rerumputan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Padi merupakan tanaman pangan semusim yang termasuk golongan rerumputan berumpun. Umur tanaman padi mulai dari benih sampai bisa dipanen kurang lebih 4 bulan.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani dan Ekologi Tanaman Jagung (Zea mays L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Botani dan Ekologi Tanaman Jagung (Zea mays L.) TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Ekologi Tanaman Jagung (Zea mays L.) Tanaman jagung merupakan tanaman asli benua Amerika yang termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays L. Taksonomi tanaman

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Margahayu Lembang Balai Penelitian Tanaman Sayuran 1250 m dpl mulai Juni 2011 sampai dengan Agustus 2012. Lembang terletak

Lebih terperinci

Uji Efikasi Herbisida Pratumbuh untuk Pengendalian Gulma Pertanaman Tebu (Saccharum officinarum L.)

Uji Efikasi Herbisida Pratumbuh untuk Pengendalian Gulma Pertanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) Uji Efikasi Herbisida Pratumbuh untuk Pengendalian Gulma Pertanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) Efficacy Trial of Pre Emergence Herbicides to Control Weeds in Sugarcane (Saccharum officinarum L.) Plantation

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sumber kalori yang relatif murah. Kebutuhan akan gula meningkat seiring dengan

I. PENDAHULUAN. sumber kalori yang relatif murah. Kebutuhan akan gula meningkat seiring dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Selain itu, gula juga merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat dan sumber kalori yang

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

IV. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN IV. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 4.1. Sejarah Umum PG. Subang PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang terletak di blok Cidangdeur, Desa Pasirbungur, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang, Jawa Barat, dengan posisi

Lebih terperinci

Studi efektivitas herbisida oksifluorfen 240 gl -1 sebagai pengendali gulma pada budidaya bawang merah (Allium ascalonicum L.)

Studi efektivitas herbisida oksifluorfen 240 gl -1 sebagai pengendali gulma pada budidaya bawang merah (Allium ascalonicum L.) 46 Jurnal Kultivasi Vol. 15(1) Maret 2016 Umiyati, U. Studi efektivitas herbisida oksifluorfen 240 gl -1 sebagai pengendali gulma Efectivity study of oxyfluorfen 240 gail -1 herbicide as weed controling

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman industri penting penghasil

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman industri penting penghasil I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman industri penting penghasil minyak masak, bahan industri, maupun bahan bakar (biodiesel). Perkebunan kelapa

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat 16 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor mulai bulan Desember 2009 sampai Agustus 2010. Areal penelitian memiliki topografi datar dengan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di kebun Balai Pengkajian Teknologi Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di kebun Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kebun Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Kebun Percobaan Natar, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan dan di

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Y ijk = μ + U i + V j + ε ij + D k + (VD) jk + ε ijk

BAHAN DAN METODE. Y ijk = μ + U i + V j + ε ij + D k + (VD) jk + ε ijk 12 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai Februari-Agustus 2009 dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan, Dramaga, Bogor. Areal penelitian bertopografi datar dengan jenis tanah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara agraris yang artinya pertanian memegang

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara agraris yang artinya pertanian memegang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Negara Indonesia merupakan negara agraris yang artinya pertanian memegang peranan penting pada perekonomian nasional. Sub sektor perkebunan mempunyai peranan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2010 sampai dengan bulan Agustus 2010. Bertempat di salah satu kebun tebu di Kelurahan Cimahpar Kecamatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan dan sumber protein

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan dan sumber protein I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan dan sumber protein nabati yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Biji kedelai digunakan sebagai

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 20 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lahan pertanaman padi sawah di Desa Cijujung, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada bulan Februari

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Y ij = + i + j + ij

BAHAN DAN METODE. Y ij = + i + j + ij 11 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm IPB Darmaga Bogor pada ketinggian 240 m dpl. Uji kandungan amilosa dilakukan di

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 10 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Umum Penelitian ini dilakasanakan pada bulan Januari sampai Juni 2010. Selama penelitian berlangsung suhu udara rata-rata berkisar antara 23.2 o C-31.8 o C. Curah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam

I. PENDAHULUAN. Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor Karet Indonesia selama 20 tahun terakhir terus menunjukkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. daun-daun kecil. Kacang tanah kaya dengan lemak, protein, zat besi, vitamin E

II. TINJAUAN PUSTAKA. daun-daun kecil. Kacang tanah kaya dengan lemak, protein, zat besi, vitamin E 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah Kacang tanah tumbuh secara perdu setinggi 30 hingga 50 cm dan mengeluarkan daun-daun kecil. Kacang tanah kaya dengan lemak, protein, zat besi, vitamin E

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat 10 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilakukan di lahan sawah Desa Situgede, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor dengan jenis tanah latosol. Lokasi sawah berada pada ketinggian tempat 230 meter

Lebih terperinci

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO Sejumlah faktor iklim dan tanah menjadi kendala bagi pertumbuhan dan produksi tanaman kakao. Lingkungan alami tanaman cokelat adalah hutan tropis. Dengan demikian curah hujan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang terkait erat dengan jarak tanam dan mutu benih. Untuk memenuhi populasi

TINJAUAN PUSTAKA. yang terkait erat dengan jarak tanam dan mutu benih. Untuk memenuhi populasi TINJAUAN PUSTAKA Sistem Jarak Tanam Salah satu faktor penentu produktivitas jagung adalah populasi tanaman yang terkait erat dengan jarak tanam dan mutu benih. Untuk memenuhi populasi tanaman tersebut,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Percobaan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Percobaan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB, Cikarawang, Bogor. Waktu pelaksanaan penelitian dimulai dari bulan Oktober 2010 sampai dengan Februari 2011.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seorang ahli botani bernama Linnaeus adalah orang yang memberi nama latin Zea mays

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seorang ahli botani bernama Linnaeus adalah orang yang memberi nama latin Zea mays BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Tanaman Jagung Seorang ahli botani bernama Linnaeus adalah orang yang memberi nama latin Zea mays untuk spesies jagung (Anonim, 2007). Jagung merupakan tanaman semusim

Lebih terperinci

Efektivitas Herbisida IPA Glifosat 486 SL Untuk Pengendalian Gulma Pada Budidaya Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) Belum Menghasilkan

Efektivitas Herbisida IPA Glifosat 486 SL Untuk Pengendalian Gulma Pada Budidaya Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) Belum Menghasilkan Efektivitas Herbisida IPA Glifosat 486 SL Untuk Pengendalian Gulma Pada Budidaya Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) Belum Menghasilkan Effectiveness of Herbicide Glyphosate IPA 486 SL For Weed

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit adalah salah satu sumber utama minyak nabati di

I. PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit adalah salah satu sumber utama minyak nabati di I. PENDAHULUAN I.I Latar Belakang dan Masalah Tanaman kelapa sawit adalah salah satu sumber utama minyak nabati di Indonesia. Peluang pengembangan tanaman kelapa sawit di Indonesia sangat besar dikarenakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman karet (Hevea brasiliensis [Muell.] Arg.) berasal dari Brazil, Amerika

I. PENDAHULUAN. Tanaman karet (Hevea brasiliensis [Muell.] Arg.) berasal dari Brazil, Amerika 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman karet (Hevea brasiliensis [Muell.] Arg.) berasal dari Brazil, Amerika Selatan, pertama kali ada di Indonesia sebagai tanaman koleksi yang ditanam

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian 15 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung Desa Muara Putih Kecamatan Natar Lampung Selatan

Lebih terperinci

EFIKASI HERBISIDA PRATUMBUH METIL METSULFURON TUNGGAL DAN KOMBINASINYA DENGAN 2,4-D, AMETRIN, ATAU DIURON TERHADAP GULMA PADA PERTANAMAN TEBU

EFIKASI HERBISIDA PRATUMBUH METIL METSULFURON TUNGGAL DAN KOMBINASINYA DENGAN 2,4-D, AMETRIN, ATAU DIURON TERHADAP GULMA PADA PERTANAMAN TEBU EFIKASI HERBISIDA PRATUMBUH METIL METSULFURON TUNGGAL DAN KOMBINASINYA DENGAN 2,4-D, AMETRIN, ATAU DIURON TERHADAP GULMA PADA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) LAHAN KERING Nico Alfredo, Nanik

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di kebun milik petani di desa Muara Putih, Kecamatan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di kebun milik petani di desa Muara Putih, Kecamatan 23 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kebun milik petani di desa Muara Putih, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan dan Laboratorium Gulma Fakultas

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor. Sejarah lahan sebelumnya digunakan untuk budidaya padi konvensional, dilanjutkan dua musim

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di rumah plastik Laboratorium Lapang Terpadu Natar

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di rumah plastik Laboratorium Lapang Terpadu Natar 15 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di rumah plastik Laboratorium Lapang Terpadu Natar Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Kecamatan Natar, Kabupaten

Lebih terperinci

Pengendalian Gulma di Lahan Pasang Surut

Pengendalian Gulma di Lahan Pasang Surut Pengendalian Gulma di Lahan Pasang Surut Penyusun E. Sutisna Noor Penyunting Arif Musaddad Ilustrasi T. Nizam Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP Badan Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Umum Percobaan ini dilakukan mulai bulan Oktober 2007 hingga Februari 2008. Selama berlangsungnya percobaan, curah hujan berkisar antara 236 mm sampai dengan 377 mm.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan 9 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Desa Situ Gede Kecamatan Bogor Barat, Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2009 Februari 2010. Analisis tanah dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan komoditas

I. PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan komoditas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan komoditas perkebunan primadona Indonesia. Di tengah krisis global yang melanda dunia saat ini, industri

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan waktu penelitian. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto,

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan waktu penelitian. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto, III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto, Kasihan, Bantul dan di Laboratorium Penelitian Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

METODOLOGI Waktu dan Tempat Metode Pelaksanaan Kerja Praktek Langsung di Kebun

METODOLOGI Waktu dan Tempat Metode Pelaksanaan Kerja Praktek Langsung di Kebun METODOLOGI Waktu dan Tempat Kegiatan magang ini dilaksanakan sejak tanggal 14 Februari 2008 hingga tanggal 14 Juni 2008 di perkebunan kelapa sawit Gunung Kemasan Estate, PT Bersama Sejahtera Sakti, Minamas

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian 18 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung di Desa Muara Putih Kecamatan Natar Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan yang

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan yang banyak dibudidayakan di dunia, termasuk di Indonesia. Tanaman jagung selain digunakan

Lebih terperinci

Pada mulsa eceng gondok dan alang-alang setelah pelapukan (6 MST), bobot gulma naik dua kali lipat, sedangkan pada mulsa teki dan jerami terjadi

Pada mulsa eceng gondok dan alang-alang setelah pelapukan (6 MST), bobot gulma naik dua kali lipat, sedangkan pada mulsa teki dan jerami terjadi PEMBAHASAN Sebagian besar perubahan jenis gulma pada setiap perlakuan terjadi pada gulma golongan daun lebar, sedangkan golongan rumput relatif tetap pada 3 MST dan 6 MST. Hal ini diduga dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PEMUPUKAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) DI PERKEBUNAN RUMPUN SARI ANTAN I PT SUMBER ABADI TIRTASENTOSA, CILACAP, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN PEMUPUKAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) DI PERKEBUNAN RUMPUN SARI ANTAN I PT SUMBER ABADI TIRTASENTOSA, CILACAP, JAWA TENGAH PENGELOLAAN PEMUPUKAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) DI PERKEBUNAN RUMPUN SARI ANTAN I PT SUMBER ABADI TIRTASENTOSA, CILACAP, JAWA TENGAH Oleh SUER SEPWAN ANDIKA A24052845 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman hias merupakan salah satu produk hortikultura yang saat ini mulai

I. PENDAHULUAN. Tanaman hias merupakan salah satu produk hortikultura yang saat ini mulai 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tanaman hias merupakan salah satu produk hortikultura yang saat ini mulai banyak diminati oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari fungsi tanaman hias yang kini

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo

TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo 3 TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo Padi gogo adalah budidaya padi di lahan kering. Lahan kering yang digunakan untuk tanaman padi gogo rata-rata lahan marjinal yang kurang sesuai untuk tanaman. Tanaman padi

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Tanaman tebu dalam dunia tumbuh-tumbuhan memiliki sistematika sebagai berikut : Kelas : Angiospermae Subkelas : Monocotyledoneae Ordo : Glumaceae Famili : Graminae

Lebih terperinci

PENGARUH APLIKASI HERBISIDA AMETRIN DAN 2,4-D DALAM MENGENDALIKAN GULMA TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.)

PENGARUH APLIKASI HERBISIDA AMETRIN DAN 2,4-D DALAM MENGENDALIKAN GULMA TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) 72 JURNAL PRODUKSI TANAMAN Vol. 1 No. 2 MEI-2013 ISSN: 2338-3976 PENGARUH APLIKASI HERBISIDA AMETRIN DAN 2,4-D DALAM MENGENDALIKAN GULMA TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) THE EFFECT OF HERBICIDE

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar Hasil Uji t antara Kontrol dengan Tingkat Kematangan Buah Uji t digunakan untuk membandingkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dunia. Jagung menjadi salah satu bahan pangan dunia yang terpenting karena

I. PENDAHULUAN. dunia. Jagung menjadi salah satu bahan pangan dunia yang terpenting karena 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan salah satu tanaman serealia yang tumbuh hampir di seluruh dunia. Jagung menjadi salah satu bahan pangan dunia yang terpenting karena mempunyai kandungan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Suhu min. Suhu rata-rata

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Suhu min. Suhu rata-rata BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengamatan Selintas 4.1.1. Keadaan Cuaca Lingkungan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman sebagai faktor eksternal dan faktor internalnya yaitu genetika

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Alat dan Bahan Metode Percobaan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Alat dan Bahan Metode Percobaan 11 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Penelitian dilaksanakan di Kebun Jagung University Farm IPB Jonggol, Bogor. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah, Departemen Tanah, IPB. Penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Unit Lapangan Pasir Sarongge, University Farm IPB yang memiliki ketinggian 1 200 m dpl. Berdasarkan data yang didapatkan dari Badan Meteorologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia seharihari,

I. PENDAHULUAN. Karet merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia seharihari, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Karet merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia seharihari, hal ini terkait dengan mobilitas manusia dan barang yang memerlukan komponen

Lebih terperinci

PENGUJIAN LAPANGAN EFIKASI HERBISISDA TIGOLD 10 WP (pirizosulfuron etil 10%) TERHADAP GULMA PADA BUDIDAYA PADI SAWAH

PENGUJIAN LAPANGAN EFIKASI HERBISISDA TIGOLD 10 WP (pirizosulfuron etil 10%) TERHADAP GULMA PADA BUDIDAYA PADI SAWAH PENGUJIAN LAPANGAN EFIKASI HERBISISDA TIGOLD 10 WP (pirizosulfuron etil 10%) TERHADAP GULMA PADA BUDIDAYA PADI SAWAH Uum Umiyati 1*, Ryan Widianto 2, Deden 3 1. Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran

Lebih terperinci

Gambar 1. Lahan pertanian intensif

Gambar 1. Lahan pertanian intensif 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Penggunaan Lahan Seluruh tipe penggunaan lahan yang merupakan objek penelitian berada di sekitar Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm, IPB - Bogor. Deskripsi

Lebih terperinci

TEBU. (Saccharum officinarum L).

TEBU. (Saccharum officinarum L). TEBU (Saccharum officinarum L). Pada awal abad ke-20 Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor gula nomor dua terbesar di dunia setelah Kuba, namun pada awal abad ke-21 berubah menjadi negara pengimpor

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Jumlah Dominansi (NJD). a. Analisis vegetasi sebelum Aplikasi. Hasil analisis vegetasi menunjukan bahwa sebelum dilakukan aplikasi, atau pemberian herbisida glifosat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tanah Awal Seperti umumnya tanah-tanah bertekstur pasir, lahan bekas tambang pasir besi memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Hasil analisis kimia pada tahap

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi 24 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Unit Percobaan Natar, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pada musim tanam pertama penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai

BAHAN DAN METODE. Pada musim tanam pertama penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Pada musim tanam pertama penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai September 2012 oleh Septima (2012). Sedangkan pada musim tanam kedua penelitian dilakukan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Ubi jalar yang ditanam di Desa Cilembu Kabupaten Sumedang yang sering dinamai Ubi Cilembu ini memiliki rasa yang manis seperti madu dan memiliki ukuran umbi lebih besar dari

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca PT. ASABI, Sentul Rest Area Jalan Tol Jagorawi Km 35 Desa Kedungmangu Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor. Analisis stomata

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu dan Laboratorium Ilmu

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu dan Laboratorium Ilmu III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu dan Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan dilaksanakan dari bulan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada 5 o 22 10 LS dan 105 o 14 38 BT dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat, yaitu pembibitan di Kebun Percobaan Leuwikopo Institut Pertanian Bogor, Darmaga, Bogor, dan penanaman dilakukan di

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAHAN DAN METODE

PENDAHULUAN BAHAN DAN METODE PENDAHULUAN Tebu ialah tanaman yang memerlukan hara dalam jumlah yang tinggi untuk dapat tumbuh secara optimum. Di dalam ton hasil panen tebu terdapat,95 kg N; 0,30 0,82 kg P 2 O 5 dan,7 6,0 kg K 2 O yang

Lebih terperinci

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH Oleh Baiq Wida Anggraeni A34103024 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas 17 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Lampung Desa Muara Putih Kecamatan Natar Lampung Selatan dengan titik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia, jagung (Zea mays L.) merupakan sumber bahan pangan penting setelah beras. Peranan jagung tidak hanya sebagai bahan makanan pokok, namun juga merupakan bahan

Lebih terperinci

PEMELIHARAAN TANAMAN JAGUNG

PEMELIHARAAN TANAMAN JAGUNG PEMELIHARAAN TANAMAN JAGUNG Oleh : Elly Sarnis Pukesmawati, SP.,MP. I. PENDAHULUAN Latar Belakang Jagung sebagai tanaman pangan di Indosesia, menduduki urutan kedua setelah padi. Namun Jagung mempunyai

Lebih terperinci

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung.

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung. I. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung. Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2010 sampai dengan panen sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubikayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan tanaman pangan potensial masa

I. PENDAHULUAN. Ubikayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan tanaman pangan potensial masa 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubikayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan tanaman pangan potensial masa depan karena mengandung karbohidrat sehingga dapat dijadikan alternatif makanan

Lebih terperinci

METODE PERCOBAAN. Tempat dan Waktu. Alat dan Bahan

METODE PERCOBAAN. Tempat dan Waktu. Alat dan Bahan 12 METODE PERCOBAAN Tempat dan Waktu Percobaan dilakukan di lahan petani di Dusun Jepang, Krawangsari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Lokasi berada pada ketinggian 90 m di

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Agustus 2010. Penelitian dilakukan di lahan percobaan NOSC (Nagrak Organic S.R.I. Center) Desa Cijujung,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Karakteristik Lokasi Penelitian Tebu transgenik IPB 1 dan isogenik PS 851 ditanam di Kebun Percobaan PG Djatirorto PTPN XI, Jawa Timur. Secara administrasi, lokasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Jagung (Zea Mays L.) Jagung (Zea mays L) adalah tanaman semusim dan termasuk jenis rumputan/graminae yang mempunyai batang tunggal, meski terdapat kemungkinan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung di Desa Muara Putih Kecamatan Natar Kabupaten Lampung

Lebih terperinci