BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI INTERVENSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI INTERVENSI"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI INTERVENSI A. Intervensi Sebagai Bagian Dari Hukum Internasional Bangsa-bangsa di dunia ini sering berusaha untuk menyelaraskan pandanganpandangan mereka satu sama lain.usaha untuk menjelaskan ditandai dengan saling tercapainya kompromi antara berbagai kepentingan yang dimulai oleh bangsa-bangsa di dunia ini, dengan kata lain mereka berusaha sejauh mungkin menhindari friksi atau pergeseran antara kekuatan yang mereka miliki.namun upaya manusia disatu pihak tidak selamanya menemui jalan seperti apa yang mereka inginkan,bahkan terdapat perbedaan pandangan dan sikap yang menurut masing-masing pihak dirasakan cukup fundamental sehinggat tidak pernah tercapai adanya persesuaian.pada akhirnya terjadilah pertentangan dalam skala yang tinggi dan berakhir dengan konflik. Salah satu cara yang dapat dilakukan agar suatu Negara memenuhi kehendak Negara lain adalah dengan mengadakan campur tangan dalam urusan internal suatu Negara, 16 misalnya keberadaan suatu Negara terancam dengan adanya masalah yang timbul di dalam Negara tersebut, sedang penyelesaian masalahnya dianggap tidak dapat diterima dan berbeda penanganannya oleh pihak lain sehingga terdapat perbedaan sikap dan pandangan.akibatnya akan dilakukan penyelesaian yang subjektif(menurut kebenaran sendiri) yaitu dengan campur tangan atau intervensi tersebut agar diakui 16 Parry and Grant, Encyclopaedic Dictionary of International Law, Oceana Publication, Inc., New York 1986, hlm

2 kehendaknya dan sekaligus menanamkan pengaruhnya dari Negara yang melakukan campur tangan tersebut.pada akhirnya intervensi tersebut dapat dilaksanakan dengan kekerasan,yang sudah jelas dapat menimbulkan peperangan yang berlarut-larut sertan mengorbankan banyak biaya dan kerugian lainnya. Intervensi merupakan salah satu bentuk turut campur dalam urusan Negara lain yang bersifat diktatorial, mempunyai fungsi sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional. Dikatakan salah satunya karena hukum internasional mengenal beberapa cara penyelesaian persengketaan internasional secara paksa, yaitu: Restorsion (pembalasan setimpal), 2. Reprisal (pembalasan setimpal), 3. Pasific blockade (blokade damai), 4. Intervensi. Intervensi dapat diartikan sebagai turut campurnya sebuah Negara dalam urusan dalam negeri Negara lain dengan menggunakan kekuatan atau ancaman kekuatan, sedangkan intervensi kemanusiaan diartikan sebagai intervensi yang dilakukakan oleh komunitas internasional untuk mengurangi pelanggaran hak asasi manusia dalam sebuah Negara, walaupun tindakan tersebut melanggar kedaulatan Negara tersebut. 18 berikut: Selain itu, DR. Wirjono Prodjodikoro, SH. Memberi pengertian intervensi sebagai Dalam hukum internasional intervention tidak berarti luas sebagai segala bentuk campur tangan Negara asing dalam urusan satu negara, melainkan berarti sempit, yaitu 17 Dr. Ali Sastroamidjojo, SH., Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Batara, Jakarta 1971, hal Bryan A. Garner ed., Black s Law Dictionary, Seventh Edition, Book 1, West Group, ST. Paul, Minn, 1999, hlm. 826.

3 suatu campur tangan negara asing yang bersifat menekan dengan alat kekerasan (force) atau dengan ancaman melakukan kekerasan, apabila keinginannya tidak terpenuhi. 19 Sementara itu Oppenheim Lauterpacht mengatakan bahwa intervensi sebagai campur tangan secara diktator oleh suatu negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara atau mengubah keadaan, situasi atau barang di negeri tersebut. 20 Menurut J.G. Starke, ada tiga tipologi dalam melihat sebuah intervensi Negara terhadap Negara lain, yaitu: 1. Intervensi Internal, yaitu intervensi yang dilakukan sebuah Negara dalam urusan dalam negeri Negara lain. 2. Intervensi Eksternal, yaitu intervensi yang dilakukan sebuah Negara dalam urusan luar negeri sebuah Negara dengan Negara lain. Contoh: keterlibatan Italia dalam mendukung Jerman pada Perang Dunia Kedua. 3. Intervensi Punitive, yaitu intervensi sebuah Negara terhadap Negara lain sebagai balasan atas kerugian yang diderita oleh Negara tersebut. 21 Intervensi menimbulkan perdebatan karena berhadapan langsung dengan prinsipprinsip umum dalam hukum internasional, yaitu Prinsip Kedaulatan Negara dan Prinsip non-intervensi Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH., Azaz-azaz Hukum Publik Internasional, PT. Pembimbing Masa, Jakarta 1967, hal Huala Adolf, Aspek-Aspek negara dalam hukum internasional, cet ketiga, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta 1988, hal Pasal 2 (1) dan Pasal 2 (4) Piagam PBB

4 Dengan melihat pembahasan diatas, terlihat bahwa pengaturan mengenai penyelesaian masalah atau persengketaan internasional dengan jalan turut campurnya Negara lain yang bukan salah satu pihak yang bersengketa, telah mempunyai aturanaturan yang menjadi bagian dari hukum internasional. B. Intervensi yang Diperbolehkan dan Tidak Diperbolehkan Suatu sengketa internasional dapat menjadi suatu akibat atau menimbulkan akibat lain terhadap Negara lain. Dari pihak lain ini, biasanya menimbulkan reaksi yang dapat merupakan usaha menyelesaikan permasalahan secara damai atau merupakan suatu tindakan unilateral yang bersifat kekerasan. Intervensi bersangkut-paut dan selalu dan selalu menyinggung kepada kedaulatan suatu Negara. Bila campur tangan itu hanya sekedar sugesti diplomatik, hal ini bukanlah suatu masalah atau belum dianggap suatu pelanggaran terhadap kedaulatan suatu Negara. Intervensi harus sampai pada tingkat dimana kedaulatan suatu Negara dalam pelaksanaannya diambil alih oleh Negara. Ini merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum internasional, namun di sisi lain hukum internasional memberikan membolehkan tindakan tersebut dengan syarat bahwa timbulnya suatu keadaan atau hal tertentu yang merupakan ancaman bahaya bagi perdamaian dan keamanan dunia dan juga merupakan pelanggaran bagi hukum internasional dan memungkinkan untuk timbulnya perang. Hal ini seperti diungkapkan oleh Dr. Ali Sastroamijojo, SH, yaitu: Intervensi itu meskipun bisa dijalankan sewaktu-waktu dalam taraf perkembangan persengketaan antar Negara, tetapi lazimnya dijalankan pada saat kalau antara pihak yang bersengketa akan meletus peperangan. Jadi bila demikian,

5 intervensi dalam hal ini bermaksud untuk mencegah meletusnya peperangan, artinya tidak untuk memihak salah satu dari pihak yang bersengketa. 23 Suatu tindakan intervensi yang diperbolehkan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu intervensi yang berdasarkan suatu hak dan tindakan lain yang walaupun tidak berdasarkan suatu hak namun diizinkan oleh hukum internasional. Seperti yang dikatakan oleh L. Oppenheim, yaitu: That intervention, as a rule, forbidden by international law, which protect the international personality of the state, there is no doubt, on the other hand, there is just a little doubt, that this rule has exception, for there are intervention which take place by right, and there are other which, although they do not take place by right, are nevertheless permited by international law. 24 Sarjana lain berpendapat bahwa intervensi bukanlah hak dari suatu Negara, melainkan sanksi dari hak-hak yang dimiliki oleh Negara-negara. 25 Jadi dapat dikatakan bahwa intervensi merupakan suatu law enforcement yang dalam hal-hal tertentu pelaksanaannya diberikan kepada Negara tertentu. Terlepas dari apakah suatu intervensi merupakan suatu hak atau merupakan suatu delegasi wewenang dari hukum internasional, suatu Negara dapat melakukan tindakan intervensi dengan beberapa alasan. J.G Starke beranggapan bahwa tindakan intervensi Negara atas kedaulatan Negara lain belum tentu merupakan suatu tindakan yang melanggar hukum. Ia berpendapat bahwa terdapat kasus-kasus tertentu dimana tindakan intervensi dapat dibenarkan menurut hukum internasional. Adapun tindakan intervensi tersebut adalah: Intervensi kolektif yang ditentukan dalam Piagam PBB. 23 Ali Sastroamidjoyo, op.cit hal Oppenheim Lauterpacht, International Law and Treaties, Longmans, London 1952 hal J.L Brierly, Hukum Bangsa-Bangsa, Bhratara, Jakarta 1963, hal J.G Starke, Op.cit hal.137

6 2. Untuk melindungi hak dan kepentingan, serta keselamatan warga negaranya di Negara lain. 3. Pembelaan diri. Jika intervensi dibutuhkan segera setelah adanya sebuah serangan bersenjata (armed attack). Syarat-syarat pembelaan diri adalah: langsung (instant), situasi yang mendukung (overwhelming situation), tidak ada cara lain (leaving no means), tidak ada waktu untuk menimbang (no moment of deliberation). 27 Syaratsyarat ini diadopsi dari kasus kapal Caroline. 4. Berhubungan dengan Negara protektorat atas dominionnya. 5. Jika Negara yang akan diintervensi dianggap telah melakukan pelanggaran berat atas hukum internasional. Pelaksanaan dari intervensi yang disebutkan di atas, disamping tidak menjadi ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik, juga harus mendapat izin atau tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam Piagam PBB. Maka untuk ini suatu intervensi harus mendapat izin dari PBB melalui Dewan Keamanan. Izin ini berbentuk rekomendasi yang berisikan pertimbanganpertimbangan terhadap keadaan yang menjadi alasan tindakan intervensi dan apakah intervensi itu diperlukan terhadap keadaan-keadaan tersebut Diadopsi dari kasus kapal Caroline (1837) yaitu kasus dimana Inggris membakar kapal pemberontak Kanada yang sedang berlayar di wilayah perairan Amerika Serikat. Sumber: avalon.law.yale.edu, diakses tanggal 14 November Bab VII Piagam PBB, Pasal 39, 41, dan 51

7 Intervensi kemanusiaan mendapatkan legitimasinya menurut para pendukungnya berdasarkan penafsiran atas Pasal 2 (4) Piagam PBB. 29 Pasal 2 (4) bukanlah sebuah larangan yang absolut, melainkan sebuah batasan agar sebuah intervensi tidak melanggar kesatuan wilayah (territorial integrity), kebebasan politik ( political independence) dan tidak bertentangan dengan tujuan PBB (in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations). Menurut hasil penelitian D Amato, kesatuan wilayah dimaksudkan jika sebuah Negara kehilangan wilayahnya secara permanen sedangkan dalam intervensi kemanusian, pihak yang melakukan intervensi tidak mengambil wilayah Negara lain secara permanen, tindakan tersebut hanya untuk memulihkan hak asasi manusia. 30 Intervensi kemanusiaan tidak melanggar kebebasan politik sebuah Negara. Tindakan tersebut hanya bertujuan untuk memulihkan hak asasi manusia pada suatu Negara. Setiap Negara dan penduduknya tetap memiliki kebebasan politik. Berdasarkan asumsi ini intervensi kemanusiaan tidak melanggar Piagam PBB. Pasal 51 Piagam PBB juga mengatur salah satu bentuk intervensi. Dimana intervensi ini dilakukan atas nama PBB atau secara kolektif dengan tujuan self defence terhadap suatu keadaan yang timbul yang membahayakan perdamaian atau merusak perdamaian atau merupakan suatu agresi. Jadi dapat disimpulkan bahwa di bawah naungang PBB, suatu intervensi dengan tujuan pembelaan diri terhadap suatu serangan 29 Yoram Dinstein, War, Aggression and Self-Defence, Second Edition, Cambridge University Press, Australia, 1994, hlm Anthony D Amato, There is no Norm of Intervention or Non Intervention in International Law, International Legal Theory, ASIL, 2001, hlm.20.

8 yang membahayakan perdamaian atau merusak perdamaian atau merupakan suatu agresi dan ini adalah salah satu manifestasi dari tujuan utama PBB. Bentuk lain dari suatu intervensi yang diperbolehkan adalah blokade dalam waktu damai. Intervensi ini dijalankan oleh suatu Negara untuk memaksa Negara lain menepati kewajibannya menurut perjanjian yang dibuat dengan Negara yang menjalankan intervensi. 31 Blokade dalam waktu damai sekiranya hanya dapat dijalankan menurut hukum internasional, apabila penyelesaian sengketa dengan jalan perundingan telah dilakukan tetapi menemui jalan buntu. Suatu intervensi haruslah bersifat memaksa atau dengan kekerasan. Sifat inilah yang membedakan lembaga intervensi dengan tindakan campur tangan lainnya. Intervensi dijalankan secara lebih aktif terhadap urusan dalam dan luar negeri suatu Negara, dan intervensi dapat begitu luas sehingga mencakup tindakan-tindakan militer. Suatu tindakan intervensi yang tidak diperbolehkan dengan alasan apapun dan sesungguhnya tidak ada alasan apapun yang dapat dibuat sebagai pembenaran yaitu suatu intervensi yang nyata-nyata akan menimbulkan atau akan lebih membuat suatu keadaan menjadi lebih memburuk. Tindakan intervensi ini bukanlah untuk memberi jalan keluar menuju suatu perdamaian. J.G. Starke mengatakan intervensi ini dengan istilah subversive intervention dan yang dimaksud dengan intervensi ini adalah: 31 Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai,dimuat di diakses tanggal 14 November 2011.

9 Yang mengacu kepada propaganda atau kegiatan lainnya yang dilakukan oleh suatu Negara dengan tujuan untuk mendorong terjadinya revolusi atau perang saudara di Negara lain. 32 Larangan seperti ini juga ditemukan dalam kompromi antara berbagai kepentingan yang dimulai oleh bangsa-bangsa di dunia ini. Dengan kata lain mereka berusaha sejauh mungkin menghindari friksi atau pergesekan antar kekuatan yang mereka miliki. Penggunaan paksaan ekonomi atau tekanan psikologi tidak dapat dijadikan rujukan, namun penggunaan paksaan tersebut tetap dilarang dalam Pasal Jessup menyatakan bahwa pelarangan kekerasan bersenjata (use of force) yang dinyatakan dalam Pasal 2 (4) tidaklah absolute, jika penggunaan kekerasan tersebut tidak mengancam kesatuan wilayah atau kebebasan politik dari suatu Negara. Syarat tersebut dapat menghindari dari batasan yang digunakan dalam kalimat pertama pasal tersebut. Selanjutnya harus dapat dipastikan bahwa tindakan tersebut tidak melanggar tujuan dari PBB. 34 Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Higgins, kekerasan bersenjata (use of force) yang dilarang menurut hukum internasional adalah ketika keinginan Negara untuk bermusuhan ditambah dengan aktifitas militer. 35 Menurutnya setiap negara bisa menggunakan kekerasan bersenjata (use of force) untuk menyelamatkan asset nasionalnya dalam kerangka pertahanan diri (self defence) jika kerugian yang dihadapi tampak nyata (imminent), namun hal tersebut dapat dilakukan 32 J.G. Starke, Op.cit hal Goodrich dan Hambro, Charter of The United Nations Commentary and Documents, World Peace Foundation Boston, 1949, hlm Philip C. Jessup, A Modern Law of Nation An Introduction-, The MacMillan Company, New York, 1951, hlm Rosalyn Higgins, Problem and Process International Law and How We use it, Oxford University Press, England 1994, hlm. 246

10 jika Negara yang berdaulat tidak mampu melindungi kepentingan Negara lain. Hal ini terpenuhi dalam kasus Entebbe. 36 C. Sebab-Sebab Suatu Negara Melakukan Intervensi Tindakan Negara-negara dalam melakukan intervensi kemanusiaan sering didasari alasan bahwa telah terjadi tragedy kemanusiaan yang luar biasa sehingga dapat mengancam kedamaian dan keamanan internasional yang merupakan tujuan dari dibentuknya PBB. 37 Atas dasar itulah mengapa beberapa Negara mengartikan ahwa intervensi yang mereka lakukan tidak melanggar ketentuan hukum internasional. Perkembangan dalam hukum internasional juga telah mengindikasikan bahwa hak asasi manusia merupakan salah satu isu penting dan universal sehingga perlindungan terhadap hak-hak tersebut harus diutamakan dalam hubungan antar Negara. Indikasinya dapat terlihat dengan lahirnya Universal Declaratioan of Human Rights (1948), International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) Pada awal penerimaan dan pemberlakuan hak asasi manusia, tiap-tiap Negara memiliki perbedaan yang mendasar. Perbedaan yang cukup besar adalah mengenai universalitas hak asasi manusia itu sendiri. Namun, dalam Deklarasi Wina 1993, tiap-tiap Negara telah berkomitmen bahwa setiap hak asasi manusia itu bersifat universal 36 Intelijen Israel Diduga Otak Pembajakan di Uganda sumber: antaranews.com, diakses pada tanggal 14 November Piagam PBB, Pasal 1 ayat 1

11 (universal), tidak dapat dipisahkan (indivisible), saling ketergantungan (interdependence), dan saling terkait (interrelated). 38 Komitmen masyarakat internasional atas perlindungan hak asasi manusia dewasa ini dapat dikatakn sudah melampaui batas territorial (wilayah). Argumen tersebut sangat jelas jika dilihat dari sejarah peradaban manusia dan hubungan antar Negara. Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Negara terhadap penduduknya telah memberikan pelajaran berharga bahwa kewenangan Negara atas penduduknya harus dibatasi. Pembatasan tersebut tidak dilihat sebagai pemangkasan kedaulatan Negara, namun merupakan sebuah tindakan pencegahan agar Negara tidak dapat bertindak sesuka hatinya. Kelanjutan pembatasan wewenang itu di lain pihak akan menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat internasional untuk meningkatkan kerjasamanya dalam hal perlindungan dan penghormatan atas nama kemanusiaan. Bila suatu intervensi itu dilakukan dengan tujuan lain yang dilarang oleh hukum internasional, maka motivasi Negara yang melakukan intervensi diukur dari sudut kepentingan Negara yang mengintervensi. 39 Suatu Negara akan memandang secara sepihak, apakah salah satu kepentingan dari negaranya akan terganggu dengan adanya kerusuhan dalam satu Negara atau antara dua Negara. Maka untuk membela kepentingan itu suatu Negara akan turut campur dan bentuk dari turut campur itu mungkin akan lebih bergantung pada kemauan dari Negara yang mengintervensi. Jadi jelaslah alasan-alasan 38 Deklarasi Wina, 1993, Pasal 5 39 Kepentingan ini dapat mencakup banyak hal, misalnya: kepentingan ekonomi, politik, pertahanan, keamanan, dan mungkin paduan dari kepentingan-kepentingan tersebut.

12 untuk tindakan intervensi dalam dunia internasional hanya digerakkan oleh pertimbangan-pertimbangan sepihak dari Negara yang bersangkutan. Dengan asumsi tersebut, maka penerapan doktrin intervensi kemanusiaan dalam hukum internasional menjadi sangat penting. Terutama jika dilihat bahwa peristiwaperistiwa di dunia saat ini cukup banyak memperlihatkan bahwa pelanggaran atas hak asasi manusia dalam yurisdiksi domestik kerap terjadi. D. Beberapa Praktik Intervensi Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional Praktek negara dalam melakukan intervensi dapat ditemukan pada intervensi Amerika Serikat terhadap Vietnam yang terjadi pada tahun Intervensi ini dilakukan karena adanya permintaan dari pemerintah Vietnam Selatan. Pada awalnya pihak Amerika Serikat hanya mengirimkan penasihat militer, namun kemudian diikuti dengan pengiriman beberapa bataliyon dan divisi angkatan bersenjata. Pengiriman ini adalah untuk memberantas dan menindas NLF (National Front for the Liberation of South Vietnam) yang berada di wilayah Vietnam Utara. 40 Pada tahun 1991, pasukan koalisi Amerika Serikat, Inggris dan Perancis melakukan intervensi terhadap Irak. Koalisi tersebut menyambut Resolusi Dewan Keamanan PBB 688 yang mengutuk tindakan pemerintahan Irak kepada suku Kurdi. Dalam resolusi tersebut dewan keamanan tidak menyebutkan sebuah tindakan bersenjata 40 Earl L. Tilford, Setup: What the Air Force did in Vietnam and Why. Maxwell Air Force Base AL: Air University Press1991, hal.89

13 kolektif maupun intervensi menggunakan kekerasan senjata. Namun, beberapa bulan kemudian tiga negara tersebut melakukan operasi Safe Hands di Irak Utara dengan alasan kemanusiaan. Sekjen PBB, Perez de Cuellar, menyebutkan bahwa operasi tersebut dapat melanggar kedaulatan Irak, apabila tidak ada izin dari pemerintahan Irak atau otorisasi dari dewan keamanan. 41 Namun, Sekjen PBB juga mengungkapkan pentingnya tindakan atas dasar tujuan moral dan kemanusiaan. Untuk melegalisasi tindakan koalisi tersebut, akhirnya, Irak memberikan izinnya kepada PBB untuk mengirim bantuan kemanusiaan di Irak Utara. Kasus tersebut dapat dijadikan contoh intervensi kemanusiaan. Seperti apa yang dikatakan pemerintah Inggris, bahwa intervensi yang dilakukan di Irak Utara memang pada kenyataannya tidak diberikan mandat oleh PBB. Namun, PBB bertindak di Irak Utara berdasarkan prinsip intervensi kemanusiaan yang diatur dalam hukum kebiasaan internasional. 42 Praktek intervensi kemanusiaan yang terjadi di Irak juga terjadi di Yugoslavia dan Somalia pada tahun Meskipun, dewan keamanan mempunyai legitimasi untuk menggunakan kekuatan bersenjata berdasarkan bab VII Piagam PBB, namun yang terjadi adalah bahwa negara atau sekelompok negara melakukan sebuah intervensi dengan alasan kemanusiaan dan kemudian di legitimasi oleh resolusi dewan keamanan. Untuk menganalisa intervensi kemanusiaan tersebut, menurut Dinstein harus dilihat beberapa keadaan yang merupakan sebuah pengecualian; Pertama, kekuatan pasukan koalisi bertindak pada saat tindakan permusuhan telah diberhentikan sementara melalui gencatan 41 Michael Byers, War Law: Understanding International Law and Armed Conflict. Douglas & McIntyre 2005 hal Eric Adjei, The Legalitiy of Humanitarian Intervention, Tesis, University of Georgia, 2005, hlm. 58

14 senjata. Kedua, resolusi dewan keamanan mendasari putusannya bahwa tindakan yang terjadi merupakan sebuah ancaman terhadap keamanan dan perdamaian internasional Yoram Dinstein, Op.Cit, hlm. 89

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL 1 BATASAN SENGKETA INTERNASIONAL Elemen sengketa hukum internasional : a. mampu diselesaikan oleh aturan HI b. mempengaruhi kepentingan vital negara c. penerapan HI

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan 99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki

Lebih terperinci

SENGKETA INTERNASIONAL

SENGKETA INTERNASIONAL SENGKETA INTERNASIONAL HUKUM INTERNASIONAL H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si Indonesia-Malaysia SENGKETA INTERNASIONAL Pada hakikatnya sengketa internasional adalah sengketa atau perselisihan yang terjadi antar

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP INTERVENSI PIHAK ASING ATAS KONFLIK INTERNAL LIBYA BERDASARKAN RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB SKRIPSI

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP INTERVENSI PIHAK ASING ATAS KONFLIK INTERNAL LIBYA BERDASARKAN RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB SKRIPSI TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP INTERVENSI PIHAK ASING ATAS KONFLIK INTERNAL LIBYA BERDASARKAN RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat syarat

Lebih terperinci

PENGAKUAN. Akibat: Permasalahan: Pasal 3, Deklarasi Montevideo 1933: politik suatu negara, bebas dari pengakuannya oleh negara lain.

PENGAKUAN. Akibat: Permasalahan: Pasal 3, Deklarasi Montevideo 1933: politik suatu negara, bebas dari pengakuannya oleh negara lain. PENGAKUAN Iman Prihandono, SH., MH., LL.M Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga E-Mail: iprihandono@unair.ac.id Blog: imanprihandono.wordpress.com Pasal 3, Deklarasi Montevideo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara di dalam urusan internal negara lain. Hal ini dikaitkan dengan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. negara di dalam urusan internal negara lain. Hal ini dikaitkan dengan prinsip BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Internasional secara tegas melarang intervensi yang dilakukan suatu negara di dalam urusan internal negara lain. Hal ini dikaitkan dengan prinsip kedaulatan negara

Lebih terperinci

BAGIAN KEDUA NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL BABV EKSISTENSI NEGARA DALAM MASYARAKATINTERNASIONAL

BAGIAN KEDUA NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL BABV EKSISTENSI NEGARA DALAM MASYARAKATINTERNASIONAL BAGIAN KEDUA NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL BABV EKSISTENSI NEGARA DALAM MASYARAKATINTERNASIONAL A. Negara sebagai Subyek Hukuin Internasional 1. Pengertian Negara: - H Kelsen = Negara adalah identik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh I Komang Oka Dananjaya Progam Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The

Lebih terperinci

Pada umumnya hukum internasional membedakan sengketa internasional atas sengketa yang

Pada umumnya hukum internasional membedakan sengketa internasional atas sengketa yang A. PENDAHULUAN Pada umumnya hukum internasional membedakan sengketa internasional atas sengketa yang bersifat politik dan sengketa yang bersifat hukum. Sengketa politik adalah sengketa dimana suatu negara

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si

H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si PASAL 3, DEKLARASI MONTEVIDEO 1933: Keberadaan politik suatu negara, bebas dari pengakuannya oleh negara lain. PERMASALAHAN: 1. Recognition is a political act with legal consequences.

Lebih terperinci

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 10, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PENGAKUAN. AKIBAT: PERMASALAHAN: PASAL 3, DEKLARASI MONTEVIDEO 1933: POLITIK SUATU NEGARA, BEBAS DARI PENGAKUANNYA OLEH NEGARA LAIN

PENGAKUAN. AKIBAT: PERMASALAHAN: PASAL 3, DEKLARASI MONTEVIDEO 1933: POLITIK SUATU NEGARA, BEBAS DARI PENGAKUANNYA OLEH NEGARA LAIN PENGAKUAN. AKIBAT: PERMASALAHAN: PASAL 3, DEKLARASI MONTEVIDEO 1933: POLITIK SUATU NEGARA, BEBAS DARI PENGAKUANNYA OLEH NEGARA LAIN PENGAKUAN Iman Prihandono, Prihandono, SH., MH., LL.M Departemen Hukum

Lebih terperinci

BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memberikan argumentasi terhadap penyelesaian sengketa internasional secara damai

Lebih terperinci

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace Pasal 2 (3) dari Piagam PBB - Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa sehingga perdamaian, keamanan dan keadilan internasional tidak

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. I/No. 4/Agustus/2013

Lex et Societatis, Vol. I/No. 4/Agustus/2013 INTERVENSI PIHAK ASING DALAM PENYELESAIAN KONFLIK INTERNAL SUATU NEGARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL 1 Oleh : Ardiyah Leatemia 2 ABSTRAK Hukum adalah serangkaian peraturan yang hadir ditengah-tengah masyarakat

Lebih terperinci

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions)

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Fakta dan Kekeliruan April 2009 DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Kekeliruan 1: Bergabung dengan Konvensi Munisi Tandan (CCM) menimbulkan ancaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada hukum internasional tidak ada badan-badan seperti legislatif, eksekutif dan

BAB I PENDAHULUAN. pada hukum internasional tidak ada badan-badan seperti legislatif, eksekutif dan BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Perbedaan utama hukum internasional dan hukum nasional adalah pada hukum nasional ada kekuasaan/organ yang berwenang memaksa hukum dan memberi sanksi kalau terjadi

Lebih terperinci

Hukum Internasional. Pertemuan XXXIV. Malahayati, S.H., LL.M. (c) 2014 Malahayati 1

Hukum Internasional. Pertemuan XXXIV. Malahayati, S.H., LL.M. (c) 2014 Malahayati 1 Hukum Internasional Pertemuan XXXIV Malahayati, S.H., LL.M. (c) 2014 Malahayati 1 Topik Istilah dan Pengertian Ruang Lingkup Hubungan HI dengan Hukum Nasional Subjek Hukum Internasional Sumber Hukum Internasional

Lebih terperinci

S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH INTERNASIONAL STATUS MATA KULIAH KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 PRASYARAT : SEMESTER SAJIAN : SEMESTER 7

S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH INTERNASIONAL STATUS MATA KULIAH KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 PRASYARAT : SEMESTER SAJIAN : SEMESTER 7 1 S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL : WAJIB STATUS MATA KULIAH KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 PRASYARAT : SEMESTER SAJIAN : SEMESTER 7 B. DESKRIPSI

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL MELALUI KEKUATAN BERSENJATA OLEH PERSERIKATAN BANGSA- BANGSA DALAM MENJAGA PERDAMAIAN DUNIA MELDA THERESIA S

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL MELALUI KEKUATAN BERSENJATA OLEH PERSERIKATAN BANGSA- BANGSA DALAM MENJAGA PERDAMAIAN DUNIA MELDA THERESIA S PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL MELALUI KEKUATAN BERSENJATA OLEH PERSERIKATAN BANGSA- BANGSA DALAM MENJAGA PERDAMAIAN DUNIA MELDA THERESIA S 080200220 A. ABSTRAK International relations that happened

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Alan Kusuma Dinakara Pembimbing: Dr. I Gede Dewa Palguna SH.,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial Hak Lintas Damai di Laut Teritorial A. Laut Teritorial HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL (KAJIAN HISTORIS) Laut teritorial merupakan wilayah laut yang terletak disisi luar dari garis-garis dasar (garis

Lebih terperinci

HAM dan Hukum Ekonomi Internasional

HAM dan Hukum Ekonomi Internasional HAM dan Hukum Ekonomi Internasional Oleh : Kelompok 10 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran HAM dan Hk. Ekonomi Internasional Perhatian terhadap hubungan antara HAM dengan Hk. Ekonomi Int l muncul karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perang etnis menurut Paul R. Kimmel dipandang lebih berbahaya dibandingkan perang antar negara karena terdapat sentimen primordial yang dirasakan oleh pihak yang bertikai

Lebih terperinci

Kepentingan Amerika Serikat Membantu Uganda Memerangi LRA Dengan. Recovery Act

Kepentingan Amerika Serikat Membantu Uganda Memerangi LRA Dengan. Recovery Act Kepentingan Amerika Serikat Membantu Uganda Memerangi LRA Dengan Terlibat Dalam Lord's Resistance Army Disarmament and Northern Uganda Recovery Act Lord s Resistance Army (LRA) suatu kelompok pemberontak

Lebih terperinci

Pengantar Memahami Hak Ekosob. M. Dian Nafi PATTIRO-NZAID

Pengantar Memahami Hak Ekosob. M. Dian Nafi PATTIRO-NZAID Pengantar Memahami Hak Ekosob M. Dian Nafi PATTIRO-NZAID Manusia dan Perjuangan Pemajuan Hak Asasinya Semua manusia memperjuangkan hak hidup layak. Agama menginspirasi perjuangan manusia itu. Berbagai

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

BAB III. PENUTUP. internasional dan merupakan pelanggaran terhadap resolusi-resolusi terkait

BAB III. PENUTUP. internasional dan merupakan pelanggaran terhadap resolusi-resolusi terkait BAB III. PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan apa yang telah disampaikan dalam bagian pembahasan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut. Dewan Keamanan berdasarkan kewenangannya yang diatur

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN CHARTER OF THE ASSOCIATION OF SOUTHEAST ASIAN NATIONS (PIAGAM PERHIMPUNAN BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

ANALISIS YURIDIS HUKUMAN MATI TERHADAP TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) DI MALAYSIA DARI SUDUT PANDANG HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL

ANALISIS YURIDIS HUKUMAN MATI TERHADAP TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) DI MALAYSIA DARI SUDUT PANDANG HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL ANALISIS YURIDIS HUKUMAN MATI TERHADAP TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) DI MALAYSIA DARI SUDUT PANDANG HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL Oleh: Made Arik Tamaja I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Hukum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM Pengertian Mengenai Embargo Senjata. telah dibuat, yaitu misalnya dengan pemberian

BAB II TINJAUAN UMUM Pengertian Mengenai Embargo Senjata. telah dibuat, yaitu misalnya dengan pemberian BAB II TINJAUAN UMUM 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Embargo Senjata 1.1.1 Pengertian Mengenai Embargo Senjata Dalam dunia internasional, negara sering terlibat dalam sengketa yang berujung pada pemberian hukuman

Lebih terperinci

: Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit :

: Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit : RESENSI BUKU Judul : Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit : Bahasa : Inggris Jumlah halaman : x + 478 Tahun penerbitan : 2012 Pembuat resensi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

PERANAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM PROSES PENYELESAIAN KONFLIK INTERNASIONAL

PERANAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM PROSES PENYELESAIAN KONFLIK INTERNASIONAL PERANAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM PROSES PENYELESAIAN KONFLIK INTERNASIONAL Danial Abstract In particular, to solve the international conflicts, the Security Council of the United

Lebih terperinci

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL 1.0 Pendahuluan Hukum internasional, pada dasarnya terbentuk akibat adanya hubungan internasional. Secara spesifik, hukum internasional terdiri dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. dilakukanlah penelitian hukum normatif dengan melacak data-data sekunder

BAB III PENUTUP. dilakukanlah penelitian hukum normatif dengan melacak data-data sekunder BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari pertanyaan utama dalam penulisan hukum / skripsi ini, dilakukanlah penelitian hukum normatif dengan melacak data-data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM HUMANITER MENGENAI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI PERSONIL MILITER YANG MENJADI TAWANAN PERANG

TINJAUAN HUKUM HUMANITER MENGENAI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI PERSONIL MILITER YANG MENJADI TAWANAN PERANG TINJAUAN HUKUM HUMANITER MENGENAI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI PERSONIL MILITER YANG MENJADI TAWANAN PERANG Oleh: Ivan Donald Girsang Pembimbing : I Made Pasek Diantha, I Made Budi Arsika Program

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA Oleh Grace Amelia Agustin Tansia Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

SATUAN ACARA PERKULIAHAN 3 SATUAN ACARA PERKULIAHAN A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH :KAPITA SELEKTA HUKUM INTERNASIONAL STATUS MATA KULIAH : WAJIB KONSENTRASI KODE MATA KULIAH : PRASYARAT : JUMLAH SKS : 2 SKS SEMESTER

Lebih terperinci

Deklarasi Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkan Agama...

Deklarasi Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkan Agama... DEKLARASI PENGHAPUSAN SEMUA BENTUK INTOLERANSI DAN DISKRIMINASI BERDASARKAN AGAMA ATAU KEPERCAYAAN (Diumumkan oleh resolusi Sidang Perserikatan Bangsa- Bangsa No. 36/55 pada tanggal 25 Nopember 1981) -

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah/Pengertian Tentang Organisasi Internasional 1. Pengertian organisasi internasional Organisasi internasional adalah suatu proses; organisasi internasional juga menyangkut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hakikat serta keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa serta

BAB 1 PENDAHULUAN. hakikat serta keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa serta BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat serta keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa serta merupakan anugerah Nya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menyatakan bahwa permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. yang menyatakan bahwa permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penelitian ini dilatarbelakangi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. India dan Pakistan merupakan dua negara yang terletak di antara Asia

BAB I PENDAHULUAN. India dan Pakistan merupakan dua negara yang terletak di antara Asia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah India dan Pakistan merupakan dua negara yang terletak di antara Asia Tengah dan Asia Tenggara yang terlingkup dalam satu kawasan, yaitu Asia Selatan. Negara-negara

Lebih terperinci

PERANAN MORAL DALAM SISTEM POLITIK INTERNASIONAL YANG ANARKI

PERANAN MORAL DALAM SISTEM POLITIK INTERNASIONAL YANG ANARKI PERANAN MORAL DALAM SISTEM POLITIK INTERNASIONAL YANG ANARKI A. Manusia, Politik dan Moral. Manusia adalah mahluk yang bermoral. Hal ini menjadi sesuatu yang mulai kabur dan berubah dalam hal keilmuan,

Lebih terperinci

HUBUNGAN HUKUM NASIONAL DENGAN HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Setelah mempelajari Bab ini, Anda diharapkan mampu:

HUBUNGAN HUKUM NASIONAL DENGAN HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Setelah mempelajari Bab ini, Anda diharapkan mampu: BAB IV HUBUNGAN HUKUM NASIONAL DENGAN HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat menunjukkan hubungan hukum nasional dengan hukum internasional SASARAN

Lebih terperinci

PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. Oleh: Ida Ayu Karina Diantari

PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. Oleh: Ida Ayu Karina Diantari PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA Oleh: Ida Ayu Karina Diantari Putu Tuni Cakabawa Landra Made Maharta Yasa Program Kekhususan Hukum Internasional

Lebih terperinci

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Menilai dari jumlah korban sipil dan penyebaran teror terhadap warga sipil terutama rakyat Gaza yang dilakukan oleh Israel selama konflik sejak tahun 2009 lalu

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN. Kebijakan nuklir..., Tide Aji Pratama, FISIP UI., 2008.

BAB 5 KESIMPULAN. Kebijakan nuklir..., Tide Aji Pratama, FISIP UI., 2008. BAB 5 KESIMPULAN Kecurigaan utama negara-negara Barat terutama Amerika Serikat adalah bahwa program nuklir sipil merupakan kedok untuk menutupi pengembangan senjata nuklir. Persepsi negara-negara Barat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Konflik Hizbullah-Israel dimulai dari persoalan keamanan di Libanon dan Israel yang telah

I. PENDAHULUAN. Konflik Hizbullah-Israel dimulai dari persoalan keamanan di Libanon dan Israel yang telah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik Hizbullah-Israel dimulai dari persoalan keamanan di Libanon dan Israel yang telah terjadi atau mempunyai riwayat yang cukup panjang. Keamanan di wilayah Libanon

Lebih terperinci

HAM KEWARGANEGARAAN. Hak Asasi Manusia FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

HAM KEWARGANEGARAAN. Hak Asasi Manusia FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN KEWARGANEGARAAN HAM Hak Asasi Manusia Disusun oleh : Lanny Ariani (125100601111013) Khanza Jasmine (125100601111015) Budi Satriyo (125100601111017) Avia Intan Rafiqa (125100601111019) FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM

Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM Oleh Asep Mulyana Hak atas informasi atau right to know merupakan hak fundamental yang menjadi perhatian utama para perumus DUHAM. Pada 1946, majelis umum Perserikatan

Lebih terperinci

Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional 1

Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional 1 Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional 1 Oleh: Yanyan Mochamad Yani, Ph.D. 2 Secara harfiah hak asasi manusia (HAM) dapat dimaknakan sebagai hakhak yang dimiliki seseorang karena keberadaannya sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional 19 BAB II TINJAUAN UMUM 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional 1.1.1 Pengertian Subjek Hukum Internasional Secara umum subyek hukum diartikan sebagai pendukung / pemilik hak dan kewajiban.

Lebih terperinci

KOMENTAR UMUM no. 08

KOMENTAR UMUM no. 08 1 KOMENTAR UMUM no. 08 KAITAN ANTARA SANKSI EKONOMI DENGAN PENGHORMATAN TERHADAP HAK- HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Komite Persatuan Bangsa-bangsa untuk Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya E/C.12/1997/8

Lebih terperinci

TUGAS KONSTITUSI MATERI MUATAN KONSTITUSI DAN ISI KONSTITUSI

TUGAS KONSTITUSI MATERI MUATAN KONSTITUSI DAN ISI KONSTITUSI TUGAS KONSTITUSI MATERI MUATAN KONSTITUSI DAN ISI KONSTITUSI KELOMPOK II : IIS FAIZAH HASRI (1212011148) IKA NURSANTI (1212011149) INNES G G (1212011152) JULIA SILVIANA (1212011161) LIDIA MAHARANI PURBA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB.

BAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada Februari 2003, Iran mengumumkan program pengayaan uranium yang berpusat di Natanz. Iran mengklaim bahwa program pengayaan uranium tersebut akan digunakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human rights atau Hak Asasi Manusia menjadi pembahasan penting setelah perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah hak

Lebih terperinci

HAK AZASI MANUSIA. Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri. Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM

HAK AZASI MANUSIA. Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri. Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM HAK AZASI MANUSIA Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri Latar Historis dan Filosofis (1) Kepentingan paling mendasar dari setiap warga negara adalah perlindungan terhadap hak-haknya sebagai manusia.

Lebih terperinci

Budi Mulyana, Pengamat Hubungan Internasional

Budi Mulyana, Pengamat Hubungan Internasional Budi Mulyana, Pengamat Hubungan Internasional Pemerintah Indonesia melayangkan nota protes ke Kedubes Amerika Serikat setelah koran terkemuka di Australia Sydney Morning Herald, Selasa (29/10), menyebut

Lebih terperinci

Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet

Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet Oleh Asep Mulyana Revolusi teknologi informasi yang ditandai oleh kehadiran Internet telah mengubah pola dan gaya hidup manusia yang hidup di abad modern,

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh Pande Putu Swarsih Wulandari Ni Ketut Supasti Darmawan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL. A. Sejarah Perkembangan Penyelesaian Sengketa Internasional

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL. A. Sejarah Perkembangan Penyelesaian Sengketa Internasional 28 BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL A. Sejarah Perkembangan Penyelesaian Sengketa Internasional Dalam realita, hubungan-hubungan internasional yang dilakukan

Lebih terperinci

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL Oleh Ngakan Kompiang Kutha Giri Putra I Ketut Sudiartha Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa Bangsa selanjutnya disebut PBB merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa Bangsa selanjutnya disebut PBB merupakan suatu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perserikatan Bangsa Bangsa selanjutnya disebut PBB merupakan suatu organisasi internasional yang dibentuk sebagai pengganti Liga Bangsa Bangsa selanjutnya

Lebih terperinci

POKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL

POKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL Seri Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 POKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL Rudi. M Rizki, SH, LLM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

Materi Bahasan. n Pengertian HAM. n Generasi HAM. n Konsepsi Non-Barat. n Perdebatan Internasional tentang HAM.

Materi Bahasan. n Pengertian HAM. n Generasi HAM. n Konsepsi Non-Barat. n Perdebatan Internasional tentang HAM. Hak Asasi Manusia Cecep Hidayat cecep.hidayat@ui.ac.id - www.cecep.hidayat.com Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Materi Bahasan Pengertian HAM. Generasi

Lebih terperinci

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Perangkat Ratifikasi International Committee of the Red Cross 19 Avenue de la Paix, 1202 Geneva, Switzerland T +41 22 734 6001 F+41 22 733 2057 www.icrc.org KETAATAN

Lebih terperinci

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Pasal 2 (3) dari Piagam PBB Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI TENTANG HAK ANAK TENTANG KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI TENTANG HAK ANAK TENTANG KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA 1 PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI TENTANG HAK ANAK TENTANG KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Pada tanggal 25 Mei 2000 Negara-negara Pihak

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah memproklamasikan Kosovo sebagai Negara merdeka, lepas dari Serbia. Sebelumnya Kosovo adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan-hubungan internasional pada hakikatnya merupakan proses

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan-hubungan internasional pada hakikatnya merupakan proses 10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan-hubungan internasional pada hakikatnya merupakan proses perkembangan hubungan antar negara yang diadakan oleh negara-negara baik yang bertetangga ataupun

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN SPANYOL MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN SECARA RESIPROKAL ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 Konvensi Wina 1969 terdiri dari dua bagian, yaitu bagian Pembukaan/Konsideran (Preambule) dan bagian isi (Dispositive), serta Annex dan dilengkapi dengan dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengantarkan negara-negara terhadap banyaknya perubahan, misalnya seperti

BAB I PENDAHULUAN. mengantarkan negara-negara terhadap banyaknya perubahan, misalnya seperti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia internasional yang sangat panjang telah berhasil mengantarkan negara-negara terhadap banyaknya perubahan, misalnya seperti semakin banyaknya

Lebih terperinci

Resolusi yang diadopsi tanpa mengacu pada komite Pertanyaan dipertimbangkan oleh Dewan Keamanan pada pertemuan 749 dan750, yang diselenggarakan pada 30 Oktober 1956 Resolusi 997 (ES-I) Majelis Umum, Memperhatikan

Lebih terperinci

SEJARAH HAK AZASI MANUSIA

SEJARAH HAK AZASI MANUSIA SEJARAH HAK AZASI MANUSIA Materi Perkuliahan Hukum dan HAM ke-2 FH Unsri URGENSI SEJARAH HAM Kepentingan paling mendasar dari setiap warga negara adalah perlindungan terhadap hak-haknya sebagai manusia.

Lebih terperinci

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap manusia dan bersifat Universal B. Jenis jenis HAM -Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penderitaan. Manusia diciptakan bersuku suku dan berbangsa bangsa untuk saling

BAB I PENDAHULUAN. penderitaan. Manusia diciptakan bersuku suku dan berbangsa bangsa untuk saling BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya semua manusia mendambakan untuk hidup dalam suasana damai, tenteram, dan sejahtera, bahkan tak satupun makhluk hidup ini yang suka akan penderitaan.

Lebih terperinci

Pidato Dr. R.M Marty M. Natalegawa, Menlu RI selaku Ketua ASEAN di DK PBB, New York, 14 Februari 2011

Pidato Dr. R.M Marty M. Natalegawa, Menlu RI selaku Ketua ASEAN di DK PBB, New York, 14 Februari 2011 Pidato Dr. R.M Marty M. Natalegawa, Menlu RI selaku Ketua ASEAN di DK PBB, New York, 14 Februari 2011 Senin, 14 Februari 2011 PIDATO DR. R.M MARTY M. NATALEGAWA MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA SELAKU

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI DISUSUN OLEH : Sudaryanto, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG TAHUN 2011 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Hukum Perjanjian

Lebih terperinci

INSTRUMEN INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA

INSTRUMEN INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA INSTRUMEN INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA HAM MERUPAKAN BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL SUMBER HUKUM INTERNASIONAL: (Pasal 38.1 Statuta Mahkamah Internasional) Konvensi internasional; Kebiasaan internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu

Lebih terperinci

EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Diajukan Guna Memenuhi Sebahagian Persyaratan Untuk Memperoleh

Lebih terperinci

BUKU AJAR (BAHAN AJAR) HAK MENYATAKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM SECARA BEBAS DAN BERTANGGUNG JAWAB. Oleh : I Gede Pasek Eka Wisanjaya SH, MH

BUKU AJAR (BAHAN AJAR) HAK MENYATAKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM SECARA BEBAS DAN BERTANGGUNG JAWAB. Oleh : I Gede Pasek Eka Wisanjaya SH, MH BUKU AJAR (BAHAN AJAR) HAK MENYATAKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM SECARA BEBAS DAN BERTANGGUNG JAWAB Oleh : I Gede Pasek Eka Wisanjaya SH, MH FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA 2013 HAK MENYATAKAN PENDAPAT DI

Lebih terperinci