ANALISIS KINERJA EKONOMI DAN POTENSI KEUANGAN DAERAH KOTA BOGOR SEBELUM DAN SELAMA DESENTRALISASI FISKAL OLEH DHINTA RACHMAWATI H

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS KINERJA EKONOMI DAN POTENSI KEUANGAN DAERAH KOTA BOGOR SEBELUM DAN SELAMA DESENTRALISASI FISKAL OLEH DHINTA RACHMAWATI H"

Transkripsi

1 ANALISIS KINERJA EKONOMI DAN POTENSI KEUANGAN DAERAH KOTA BOGOR SEBELUM DAN SELAMA DESENTRALISASI FISKAL OLEH DHINTA RACHMAWATI H DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 RINGKASAN DHINTA RACHMAWATI. Analisis Kinerja Ekonomi dan Potensi Keuangan Daerah Kota Bogor Sebelum dan Selama Desentralisasi Fiskal (dibimbing oleh BAMBANG JUANDA). Pelaksanaan otonomi daerah berimplikasi pada penerapan desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan wewenang pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pada masa otonomi daerah, pengelolaan dan pembangunan daerah merupakan wewenang pemerintah daerah. Pelaksanaan otonomi daerah mendorong pemerintah daerah untuk menggali potensi keuangan daerah secara optimal serta memiliki keleluasaan dalam mengelola perekonomian daerah. Potensi keuangan daerah sangat berkaitan erat dengan kinerja ekonomi daerah. Kemampuan pengelolaan daerah oleh pemerintah daerah diuji pada masa desentralisasi fiskal. Pemerintah daerah diharapkan mampu menetapkan kebijakan yang tepat, baik dari sisi potensi keuangan maupun kinerja ekonomi daerah, sehingga meningkatkan pembangunan daerah. Kondisi geografis dapat menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan perekonomian suatu wilayah. Kota Bogor memiliki letak geografis yang sangat strategis, yaitu berdekatan dengan ibukota Negara. Pelaksanaan otonomi daerah mendorong pemerintah Kota Bogor untuk meningkatkan pendapatan dan perekonomian daerah. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah, total pendapatan daerah mengalami peningkatan yang pesat dan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil. Penelitian ini bertujuan menganalisis kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah Kota Bogor sebelum dan selama desentralisasi fiskal. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data time series dari tahun 1993 hingga tahun 2007 yang diperoleh dari beberapa instansi terkait. Analisis dilakukan dengan metode Two Stage Least Square (2SLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa PDRB Kota Bogor pada masa desentralisasi fiskal mengalami peningkatan, akan tetapi laju pertumbuhan ekonomi daerah pada masa itu relatif rendah dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Potensi keuangan daerah Kota Bogor semakin meningkat pada masa desentralisasi fiskal. Peningkatan potensi keuangan terjadi pada seluruh komponen pendapatan daerah. Peningkatan pendapatan daerah sebagian besar disumbangkan oleh dana perimbangan yang terdiri dari dana bagi hasil dan dana transfer untuk mendukung pelaksanaan pemerintahan daerah. Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, maka kebijakan yang bisa diambil oleh pemerintah sebagai bahan pertimbangan adalah meningkatkan pendapatan daerah terutama yang berasal dari komponen PAD. Selain itu, pemerintah daerah diharapkan dapat meningkatkan perekonomian daerah dengan cara meningkatkan pengeluaran pembangunan sehingga investasi daerah pun akan meningkat.

3 ANALISIS KINERJA EKONOMI DAN POTENSI KEUANGAN DAERAH KOTA BOGOR SEBELUM DAN SELAMA DESENTRALISASI FISKAL OLEH DHINTA RACHMAWATI H Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

4 Judul Skripsi : Analisis Kinerja Ekonomi dan Potensi Keuangan Daerah Kota Bogor Sebelum dan Selama Desentralisasi Fiskal Nama : Dhinta Rachmawati NIM : H Menyetujui, Dosen Pembimbing, Dr. Ir. Bambang Juanda, MS NIP Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Rina Oktaviani, Ph.D NIP Tanggal Lulus :

5 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, Agustus 2009 Dhinta Rachmawati H

6 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Dhinta Rachmawati dilahirkan pada tanggal 20 Agustus 1987 di Bogor. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, dari pasangan Mulyoto Achlan dan Lien Nurlaeni. Pendidikan dasar penulis ditempuh di SDN Polisi V Bogor, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun Selanjutnya, penulis melanjutkan ke SMU Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun kedua di IPB, penulis diterima pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif pada berbagai kepanitiaan. Penulis pernah menjadi Tim Pengajar Assoy (Klub Belajar Ilmu Ekonomi) dan ikut serta di berbagai kepanitiaan acara. Selain itu, penulis juga aktif dalam kegiatan menulis. Beberapa prestasi yang sempat diraih oleh penulis selama menjadi mahasiswa IPB antara lain sebagai juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah Universitas Sebelas Maret dan juara II Pemikiran Kritis Mahasiswa Bidang Kewirausahaan Tingkat Nasional.

7 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul Analisis Kinerja Ekonomi dan Potensi Keuangan Daerah Kota Bogor Sebelum dan Selama Desentralisasi Fiskal. Penelitian ini mengkaji kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah pada masa sebelum dan selama desentralisasi fiskal, khususnya Kota Bogor. Skripsi ini merupakan hasil karya yang tercipta karena bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada: (1). Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing penulis baik secara teknis maupun teoritis selama proses penyusunan skripsi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. (2). Dr. Wiwiek Rindayati selaku dosen penguji yang telah bersedia menguji hasil skripsi ini. Semua saran dan kritik merupakan hal yang sangat berharga dalam perbaikan skripsi ini. (3). Syamsul Hidayat Pasaribu, M.Si selaku komisi pendidikan. Terima kasih atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini. (4). Orang tua tercinta, Ayahanda Mulyoto Achlan dan ibunda Lien Nurlaeni atas doa, motivasi dan kasih sayang sehingga penulis tetap bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini. (5). Saudara-saudara penulis: Teguh Darmawan, Adhitya Alisyahbana, Irma Suryani, Dessy Tresna dan keponakanku tersayang Nazya Destya Alisyahbana atas doa dan dukungannya. (6). Tofan Randy Wijaya atas doa, motivasi, dukungan dan pengertian yang selalu diberikan kepada penulis selama enam tahun. (7). Teman-teman satu bimbingan: Annisa Irdhania, A laa dan Iqbal Valiri atas motivasi, doa, dan kesediaannya dalam membantu penulis.

8 (8). Riri, Tanjung, Etty, Lina, Yuli, Secha, Ristia, Rininta, Meirisa, Diana, Merlynda dan teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 42 lainnya atas kebersamaannya selama tiga tahun. (9). Seluruh staf Dinas Pendapatan Daerah, Kantor Arsip Daerah, Badan Pusat Statistik Kota Bogor dan instansi terkait lainnya atas bantuannya selama penulis mencari data dan informasi mengenai Kota Bogor. (10). Seluruh staf Fakultas Ekonomi dan Manajemen dan staf Departemen Ilmu Ekonomi yang telah membantu kelancaran administrasi selama penulis menjalani pendidikan. (11). Selain itu, penulis juga berterimakasih kepada seluruh pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain yang membutuhkan. Bogor, Agustus 2009 Dhinta Rachmawati H

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup... 7 II. TINJAUAN PUSTAKA Desentralisasi Fiskal Kinerja Ekonomi Daerah Konsumsi Rumah Tangga Investasi Daerah Pengeluaran Pemerintah Potensi Keuangan Daerah Sumber-Sumber Penerimaan Daerah Pendapatan Asli Daerah Pajak Daerah Retribusi Daerah Bagian Laba Bersih Perusahaan Daerah Dana Transfer Dana Bagi Hasil Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus Pinjaman Daerah Hasil Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran... 23

10 2.7. Hipotesis III. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Estimasi Model Identifikasi Model Metode Analisis Metode Deskriptif Metode Estimasi Metode Two-Stage Least Square (2SLS) Uji Kriteria Statistik Uji Kriteria Ekonometrika IV. GAMBARAN UMUM Lokasi dan Geografi Kota Bogor Pertumbuhan Penduduk Tinjauan Perekonomian Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor Pendapatan Perkapita Kota Bogor V. PEMBAHASAN Kinerja Ekonomi Daerah Kota Bogor Komponen Kinerja Ekonomi Daerah Konsumsi Rumah Tangga Investasi Daerah Pengeluaran Pemerintah Pendapatan Daerah Kota Bogor Perkembangan Komponen Pendapatan Daerah Kota Bogor Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah Kota Bogor Potensi Keuangan Daerah Pajak Daerah Retribusi Daerah Laba Perusahaan Daerah... 82

11 Dana Bagi Hasil Dana Transfer VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 99

12 DAFTAR TABEL No. Halaman 1.1. Total Pendapatan Daerah Kota Bogor Tahun Identifikasi Model Jumlah Penduduk Kota Bogor Tahun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor Tahun Pendapatan Perkapita Kota Bogor Tahun Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga Kota Bogor Model Dugaan Konsumsi Rumah Tangga Kota Bogor Pertumbuhan Investasi Daerah Kota Bogor Model Dugaan Investasi Daerah Kota Bogor Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah Kota Bogor Model Dugaan Pengeluaran Pemerintah Daerah Kota Bogor Perkembangan Pajak Daerah Kota Bogor Model Dugaan Pajak Daerah Kota Bogor Perkembangan Retribusi Daerah Kota Bogor Model Dugaan Retribusi Daerah Kota Bogor Perkembangan Laba Perusahaan Daerah Kota Bogor Model Dugaan Laba Perusahaan Daerah Kota Bogor Perkembangan Dana Bagi Hasil Kota Bogor Model Dugaan Dana Bagi Hasil Kota Bogor Perkembangan Dana Transfer Kota Bogor Model Dugaan Dana Transfer Kota Bogor... 90

13 DAFTAR GAMBAR No. Halaman 2.1. Hubungan Investasi dan Suku Bunga Riil Bagan Alur Pemikiran Bagan Alir Model Kinerja Ekonomi dan Potensi Keuangan Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor Tahun Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Bogor Tahun Perkembangan Konsumsi Rumah Tangga Pola Hubungan antara Pendapatan Disposabel (Yd) dan Konsumsi Rumah Tangga (CT) Perkembangan Investasi Daerah Pola Hubungan antara Pertumbuhan PDRB (G_PDRB) dan Investasi Daerah (I) Pola Hubungan antara Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah (G_DE) dan Investasi Daerah (I) Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Pola Hubungan antara PDRB dan Pengeluaran Pemerintah (G) Pola Hubungan antara Pendapatan Asli Daerah (LOR) dan Pengeluaran Pemerintah (G) Total Pendapatan Daerah Kota Bogor Tahun Perkembangan Komponen Pendapatan Daerah Kota Bogor Tahun Perkembangan Komponen Pendapatan Asli Daerah Kota Bogor Tahun Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah Kota Bogor Pola Hubungan antara PDRB per Kapita (PDRBC) dan Pajak Daerah (TAX) Pola Hubungan antara Populasi (POP) dan Pajak Daerah (TAX) Pola Hubungan antara Jumlah Wisatawan (REC) dan Retribusi Daerah (NTAX) Pola Hubungan antara Inflasi (INF) dan Retribusi Daerah (NTAX) Pola Hubungan antara PDRB per Kapita (PDRBC) dan Retribusi

14 Daerah (NTAX) Pola Hubungan antara PDRB per Kapita (PDRBC) dan Laba Perusahaan Daerah (PRFT) Pola Hubungan antara Jumlah Kendaraan Bermotor (VEH) dan Dana Bagi Hasil (SHR) Pola Hubungan antara PDRB per Kapita (PDRBC) dan Dana Bagi Hasil (SHR) Pola Hubungan antara Peningkatan Pengeluaran Pemerintah (K_LTE) dan Dana Transfer (TRSF) Pola Hubungan antara Populasi (POP) dan Dana Transfer (TRSF) Pola Hubungan antara PDRB per Kapita (PDRBC) dan Dana Transfer (TRSF)... 92

15 DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Estimasi Output dari Persamaan Konsumsi Rumah Tangga Estimasi Output dari Persamaan Investasi Daerah Estimasi Output dari Persamaan Pengeluaran Pemerintah Daerah Estimasi Output dari Persamaan Pajak Daerah Estimasi Output dari Persamaan Retribusi Daerah Estimasi Output dari Persamaan Laba Perusahaan Daerah Estimasi Output dari Persamaan Dana Bagi Hasil Estimasi Output dari Persamaan Dana Transfer

16 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejarah pembangunan ekonomi nasional menunjukkan bahwa sebelum pelaksanaan desentralisasi fiskal, Indonesia menganut sistem pemerintahan yang terpusat (sentralistis). Pada sistem pemerintahan ini, pemerintah pusat memiliki dominasi yang sangat besar dalam hal merencanakan dan menetapkan prioritas pembangunan di daerah. Kebijakan dan tugas umum pemerintahan serta implementasi pembangunan di daerah merupakan wewenang dan tanggungjawab pemerintah pusat. Penyelenggaraan pemerintahan yang terpusat menyebabkan kurangnya keterlibatan dan peran serta pemerintah daerah dalam mengambil keputusan untuk pembangunan daerah sehingga menimbulkan ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat serta panjangnya birokrasi pelayanan publik. Pemerintah daerah tidak lagi memiliki kemandirian karena pemerintah daerah harus menunggu setiap keputusan dari pemerintah pusat. Pada era sentralisasi, pembangunan nasional lebih di dominasi oleh pemerintah pusat. Upaya pembangunan yang sentralistik ini ternyata tidak menghasilkan pembangunan yang merata, tidak optimalnya pembangunan daerah dan terjadi ketimpangan antar wilayah. Ketimpangan antar wilayah yang terjadi baik dari segi pendapatan daerah maupun pertumbuhan ekonomi. Menurut Hasugian (2006), ketimpangan pendapatan daerah terjadi di propinsi Jawa Barat. Pendapatan asli daerah (PAD) perkotaan cenderung lebih besar daripada PAD

17 daerah kabupaten. Kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah perkotaan berkisar antara 15 hingga 32 persen sedangkan daerah kabupaten berkisar antara 1 hingga 25 persen. Kontribusi PAD terhadap pendapatan daerah terbesar terjadi di Kota Bandung sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Tasikmalaya. Ketimpangan antar daerah ini tentu saja akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat antar daerah. Dasar pemikiran penyelenggaraan desentralisasi fiskal tercantum dalam UU Otonomi Daerah yang terdiri dari UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pada tahun 2001, kerangka pembangunan nasional yang dilaksanakan di Indonesia mulai diarahkan untuk mendorong terjadinya pembangunan daerah secara merata melalui desentralisasi fiskal. Hal ini diharapkan dapat memacu terjadinya pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan daerah, meningkatkan potensi keuangan daerah serta kinerja ekonomi daerah secara optimal. Pemberlakuan peraturan desentralisasi fiskal yang tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menegaskan mengenai konsekuensi otonomi daerah yang menyebabkan pelaksanaan wewenang pemerintahan dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Penyerahan wewenang pelaksanaan pemerintahan ini dilakukan dengan tujuan untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran

18 Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta untuk menciptakan persaingan yang sehat antar daerah dan mendorong timbulnya inovasi. Pada masa desentralisasi fiskal, pengelolaan dan pembangunan daerah lebih dititikberatkan pada pemerintah daerah. Pada masa desentralisasi fiskal, proses pembangunan daerah disesuaikan dengan potensi daerah sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan pembangunan daerah tersebut. Desentralisasi fiskal merupakan bagian penting dari otonomi daerah. Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan yang leluasa bagi pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah secara optimal. Sumber penerimaan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan pendapatan daerah lainnya yang sah. Sumber-sumber pendapatan tersebut dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk membiayai pembangunan daerah. Selain itu, dengan terciptanya potensi keuangan daerah yang optimal dan diiringi dengan pengelolaan daerah yang efektif dan efisien, maka pemerintah daerah dapat meningkatkan kinerja perekonomian daerah secara optimal pula. Kota Bogor merupakan salah satu Kota di Propinsi Jawa Barat yang mengalami peningkatan total pendapatan daerah yang tajam sejak pelaksanaan desentralisasi fiskal. Total pendapatan daerah Kota Bogor pada periode mengalami peningkatan secara berkala (Tabel 1.1). Pada tahun 2001, total pendapatan daerah yang diperoleh Kota Bogor sebesar ,15 juta rupiah dan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya hingga sebesar ,38 juta rupiah pada tahun Kondisi ini cukup menunjukkan bahwa pemerintah

19 daerah Kota Bogor telah memanfaatkan kewenangan yang dimilikinya untuk meningkatkan pendapatan daerah secara optimal pada masa desentralisasi fiskal. Tabel 1.1. Total Pendapatan Daerah Kota Bogor Tahun Tahun Total Pendapatan Daerah (Juta Rupiah) Pertumbuhan (%) , ,15 24, ,33 25, ,59 9, ,94 12, ,02 31, ,38 20,07 Sumber : BPS Kota Bogor, (diolah). Pendapatan daerah yang meningkat seharusnya dapat dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah untuk pengeluaran yang produktif atau dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak. Keberhasilan pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah seharusnya diimbangi oleh peningkatan kinerja ekonomi daerah untuk membangun daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang bertempat tinggal dan bermatapencaharian di Kota Bogor. Upaya peningkatan potensi keuangan daerah merupakan amanat UU Otonomi Daerah yang sangat terkait dengan kinerja ekonomi daerah. Kinerja ekonomi daerah dicerminkan oleh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan laju pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2001, PDRB Kota Bogor sebesar ,21 juta rupiah dan terus meningkat hingga sebesar ,18 juta rupiah. Laju pertumbuhan ekonomi Kota Bogor selama desentralisasi fiskal mengalami peningkatan setiap tahunnya, yaitu berkisar antara 5,68 persen hingga 6,12 persen. Kinerja ekonomi daerah yang baik akan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Hal ini merupakan tujuan dari

20 desentralisasi fiskal yang dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan potensi keuangan dan kinerja ekonomi daerahnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Berdasarkan pemaparan diatas, maka penulis bermaksud melakukan penelitian dengan judul : Analisis Kinerja Ekonomi dan Potensi Keuangan Daerah Kota Bogor Sebelum dan Selama Desentralisasi Fiskal Perumusan Masalah Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999, dijelaskan bahwa sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, termasuk tugas dalam rangka desentralisasi bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam UU tersebut dijelaskan pula bahwa untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri, yang didukung oleh perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta antara propinsi dan kabupaten atau kota yang merupakan prasyarat dalam sistem pemerintahan daerah (Saragih, 2003). Pelaksanaan otonomi daerah diiringi dengan desentralisasi fiskal atau pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pelimpahan kewenangan ini memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk menggali potensi keuangan daerah secara optimal serta mengelola perekonomian daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal dimanfaatkan oleh pemerintah Kota Bogor untuk meningkatkan pendapatan daerah. Hal ini tercermin dari total pendapatan daerah

21 Kota Bogor yang meningkat dari tahun ke tahun selama desentralisasi fiskal berlangsung. Potensi keuangan daerah sangat berkaitan erat dengan kinerja ekonomi daerah. Oleh karena itu diperlukan perumusan masalah untuk menganalisis lebih lanjut mengenai kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah Kota Bogor sebelum dan selama desentralisasi fiskal. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : (1). Bagaimanakah kinerja ekonomi daerah Kota Bogor sebelum dan selama desentralisasi fiskal serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja ekonomi daerah Kota Bogor? (2). Bagaimanakah potensi keuangan daerah Kota Bogor sebelum dan selama desentralisasi fiskal serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi potensi keuangan daerah Kota Bogor? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah sebelum dan selama desentralisasi fiskal. Secara khusus, tujuan penelitian ini bertujuan untuk menjawab perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : (1). Menganalisis kinerja ekonomi daerah Kota Bogor sebelum dan selama desentralisasi fiskal serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja ekonomi daerah Kota Bogor.

22 (2). Menganalisis potensi keuangan daerah Kota Bogor sebelum dan selama desentralisasi fiskal serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi potensi keuangan daerah Kota Bogor Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat, baik bagi para akademisi, lembaga pemerintahan maupun bagi masyarakat Bogor pada khususnya. Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : (1). Bagi penulis, menambah pemahaman mengenai ilmu yang telah diperoleh selama kuliah dan dapat diaplikasikan secara nyata. (2). Bagi para pengambil keputusan, dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan dan masukan sebelum membuat keputusan untuk meningkatkan kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah, khususnya kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah Kota Bogor. (3). Bagi para akademisi dan pembaca pada umumnya, memperoleh informasi untuk melakukan penelitian lain yang berkaitan dengan penelitian ini Ruang Lingkup Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah menganalisis kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah sebelum dan selama desentralisasi fiskal. Ruang lingkup wilayah kajian adalah daerah tingkat II dimana Kota Bogor sebagai unit analisis. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah asumsi perekonomian tertutup dimana kinerja ekonomi daerah tercermin dari konsumsi

23 rumah tangga, investasi daerah dan pengeluaran pemerintah. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder PDRB menurut pengeluaran, akan tetapi data yang tersedia di daerah adalah PDRB menurut lapangan usaha. Oleh karena itu, pengeluaran rutin pemerintah daerah digunakan sebagai proxy pengeluaran pemerintah sedangkan investasi daerah menggunakan data investasi yang telah terealisasi. Untuk data konsumsi rumah tangga merupakan sisa dari PDRB setelah dikurangi pengeluaran rutin pemerintah dan investasi daerah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dari tahun 1993 hingga Selama periode penelitian, terdapat perubahan luas wilayah Kota Bogor yang terjadi pada tahun 1995, namun hal ini tidak termasuk dalam ruang lingkup penelitian. Data dana transfer yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penjumlahan dari dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Penelitian ini menggunakan metode two stage least square. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program E-Views 4.1 dan Minitab. Selain itu, referensi penelitian diperoleh dari perpustakaan IPB, perpustakaan BPS, tesis pascasarjana IPB, jurnal-jurnal dan referensi lainnya yang mendukung penelitian.

24 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Desentralisasi Fiskal Pengertian desentralisasi fiskal secara jelas dijabarkan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 pasal 1 dan UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 1 butir 5 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan kedua UU Otonomi Daerah tersebut, dijelaskan bahwa desentralisasi fiskal merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). UU Otonomi Daerah pun menegaskan bahwa dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah propinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Wewenang daerah kabupaten dan kota sebagai daerah otonom, sudah diatur secara jelas di dalam Pasal 11 ayat 1 dan 2 UU Nomor 22 Tahun 1999 dengan secara tegas disebutkan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertahanan, koperasi, dan tenaga kerja (Saragih, 2003). Prinsip pemberian otonomi kepada pemerintah daerah pada dasarnya adalah untuk membantu pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Otonomi daerah umumnya diikuti dengan kebijakan desentralisasi

25 fiskal. Menurut Rasyid dalam Saragih (2003), tujuan utama dari kebijakan desentralisasi adalah di satu pihak dalam rangka mendukung kebijakan makro nasional yang bersifat strategis dan di lain pihak dengan desentralisasi kewenangan pemerintahan ke daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Selain itu, otonomi daerah bertujuan untuk : (1). Mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kuat dengan memberdayakan pelaku dan potensi ekonomi daerah, (2). Mempercepat pembangunan pedesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat terutama petani dan nelayan melalui penyediaan prasarana, pembangunan sistem agribisnis, industri kecil dan kerajinan rakyat, pengembangan kelembagaan, penguasaan teknologi dan pemanfaatan sumber daya alam, (3). Meningkatkan kualitas sumber daya manusia di daerah sesuai dengan potensi dan kepentingan daerah melalui penyediaan anggaran pendidikan yang memadai, (4). Meningkatkan pembangunan di seluruh daerah berlandaskan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah Kinerja Ekonomi Daerah Kinerja ekonomi daerah menggambarkan kondisi perekonomian daerah yang tercermin dari PDRB dan laju pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitian ini, hubungan ekonomi regional dan keuangan daerah dicoba didekatkan dengan menggunakan analisis makroekonomi dalam sistem ekonomi tertutup. Kondisi

26 perekonomian suatu daerah tercermin dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dalam asumsi perekonomian tertutup, suatu Negara atau daerah tidak melakukan perdagangan dengan Negara atau daerah lain. Perekonomian tertutup memiliki tiga penggunaan untuk barang dan jasa yang dihasilkannya. Tiga komponen PDRB ini ditunjukkan dalam identitas pos pendapatan, sebagai berikut: Y = C + I + G (2.1) Y = PDRB = C + I + G (2.2) Model tersebut memiliki arti rumah tangga mengkonsumsi sebagian output perekonomian, perusahaan dan rumah tangga menggunakan sebagian output untuk investasi dan pemerintah membeli sebagian output untuk kepentingan publik. Oleh karena itu dalam perekonomian tertutup, PDRB dialokasikan di antara ketiga penggunaan tersebut Konsumsi Rumah Tangga Rumah tangga menerima pendapatan dari tenaga kerja dan modal yang mereka miliki, membayar pajak kepada pemerintah, dan kemudian memutuskan berapa banyak dari pendapatan selama pajak digunakan untuk konsumsi dan berapa banyak yang ditabung. Pendapatan yang diterima rumah tangga sama dengan output perekonomian Y. Sedangkan pendapatan yang dapat dibelanjakan merupakan pendapatan selama dikurangi pajak atau disebut sebagai disposable income. Kita asumsikan tingkat konsumsi bergantung secara langsung pada tingkat disposable. Semakin tinggi pendapatan disposabel, maka semakin tinggi pula tingkat konsumsi rumah tangga.

27 Y T = S + C (2.3) Yd = S + C (2.4) C = a + byd, 0 < b < 1 (2.5) S = a + (1-b)Yd (2.6) Model (2.5) di atas menyatakan bahwa konsumsi adalah fungsi dari disposable income. Hubungan antara konsumsi dan disposable income disebut fungsi konsumsi. Kecenderungan mengkonsumsi marjinal (marginal propensity to consume, MPC) adalah jumlah perubahan konsumsi ketika pendapatan disposabel meningkat satu satuan mata uang. Nilai MPC berkisar antara nol dan satu, sehingga jika terjadi kenaikan pendapatan disposabel sebesar satu rupiah, maka akan meningkatkan konsumsi kurang dari satu rupiah dan sisanya akan digunakan untuk menabung. Nilai penjumlahan MPC dan MPS (marginak propensity to save) adalah satu. Oleh karena itu, tingkat konsumsi tidak hanya dipengaruhi oleh disposable income, tetapi juga dipengaruhi oleh suku bunga. Peningkatan suku bunga akan mendorong masyarakat untuk menabung dan mengurangi tingkat konsumsinya Investasi Daerah Baik perusahaan maupun rumah tangga membeli barang-barang investasi. Jumlah barang-barang yang diminta bergantung pada tingkat bunga yang mengukur biaya dari dana yang digunakan untuk membiayai investasi. Agar proyek investasi menguntungkan, hasilnya harus melebihi biayanya. Jika suku

28 bunga meningkat, lebih sedikit proyek investasi yang menguntungkan, dan jumlah barang-barang investasi yang diminta akan turun. Tingkat suku bunga riil adalah tingkat suku bunga nominal yang telah dikoreksi untuk menghilangkan pengaruh inflasi. Tingkat suku bunga riil mengukur biaya pinjaman yang sebenarnya dan menentukan jumlah investasi. Secara ringkas, model yang mengaitkan investasi pada tingkat suku bunga riil adalah sebagai berikut : I = I(r) (2.7) Jika suku bunga riil naik, maka investasi akan turun. Fungsi investasi ini ditunjukkan pada gambar di bawah ini : suku bunga riil R 1 R 2 I 1 I 2 investasi Sumber : Mankiw, 2003 Gambar 2.1. Hubungan Investasi dan Suku Bunga Riil I(r) Pengeluaran Pemerintah Pembelian pemerintah atau belanja pemerintah adalah komponen ketiga dari permintaan terhadap barang dan jasa. Menurut Dornbusch (1997), pengeluaran pemerintah adalah pembelian pemerintah atas barang dan jasa, yang mencakup pengeluaran untuk pertahanan nasional, pembuatan jalan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan gaji pegawai negeri.

29 Pengeluaran pemerintah adalah semua pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah sehubungan dengan operasionalnya dan dalam hal mana pemerintah menerima balas jasa langsung darinya seperti membayar gaji PNS dan ABRI. Jumlah pengeluaran pemerintah dipengaruhi oleh proyeksi jumlah pajak yang diterima, tujuan ekonomi yang ingin dicapai, dan pertimbangan politik dan keamanan (Putong, 2003) Potensi Keuangan Daerah Potensi keuangan daerah adalah kekuatan yang ada di suatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan tertentu. Pengertian keuangan daerah dalam PP Nomor 105 Tahun 2000 adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam kerangka APBD. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 78 ayat 1 menegaskan bahwa penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dan DPRD dibiayai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Hal ini berarti bahwa dana APBD diperuntukkan bagi pelaksanaan tugas pemerintahan daerah, termasuk tugas dan wewenang penyelenggaraan pemerintahan yang sudah dilimpahkan atau didesentralisasikan pusat ke daerah. Menurut Saragih (2003), keuangan daerah merupakan bagian penting dalam pelaksanaan otonomi daerah atau desentralisasi, khususnya dalam kaitannya dengan kebijakan desentralisasi fiskal. Ada tiga bentuk pertanggungjawaban pengelolaan (manajemen) keuangan (daerah) jika dilihat dari

30 aspek kewenangan yang dimiliki oleh pemda dalam hal keuangan daerah, yaitu sebagai berikut : (1). Pertanggungjawaban dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi. (2). Pertanggungjawaban dalam kerangka tugas pembantuan. (3). Pertanggungjawaban dalam kerangka tugas dekonsentrasi Sumber-Sumber Penerimaan Daerah Pendapatan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah tidak hanya bersumber dari APBN, tetapi juga berasal dari sumber-sumber pendapatan sendiri yang digali dari potensi daerah. Selama ini, sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, baik propinsi, kabupaten dan kota berdasarkan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sumber pendapatan daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana transfer, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah Pendapatan Asli Daerah Pendapatan asli daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Bratakusumah, 2004). Pedapatan asli daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, Potensi PAD adalah kekuatan yang ada di suatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan

31 PAD. Penerimaan PAD bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba dari BUMN, dan lain-lain PAD yang sah Pajak Daerah Pengertian pajak daerah yang dijelaskan dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Berdasarkan pemaparan tersebut ditegaskan bahwa pajak daerah merupakan iuran wajib yang dapat dipaksakan kepada setiap orang (wajib pajak) tanpa kecuali dan diperuntukan bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Jenis pajak daerah dibagi atas dua wilayah, yaitu pajak daerah propinsi dan pajak daerah kabupaten atau kota. Jenis pajak daerah propinsi terdiri atas pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor. Sedangkan jenis pajak daerah kabupaten atau kota terdiri atas 6 (enam) jenis, yaitu : pajak hotel dan restoran, pajak penerangan jalan, pajak reklame, pajak hiburan, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C dan pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan Retribusi Daerah Pengertian retribusi daerah dijelaskan dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan UU tersebut, retribusi

32 daerah merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Menurut Saragih (2003), perbedaan antara pajak daerah dan retribusi daerah tidak hanya didasarkan atas objeknya, tetapi juga perbedaan atas pendekatan tarif. Oleh sebab itu, tarif retribusi bersifat fleksibel sesuai dengan tujuan retribusi dan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah masing-masing untuk melaksanakan atau mengelola jenis pelayanan publik di daerahnya. Semakin efisien pengelolaan pelayanan publik di suatu daerah, maka semakin kecil tarif retribusi yang dikenakan. Jenis retribusi daerah menurut UU Nomor 34 Tahun 2000 terdiri atas retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perizinan tertentu Bagian Laba Bersih Perusahaan Daerah Laba bersih perusahaan daerah merupakan keuntungan bersih yang diperoleh oleh perusahaan daerah atau BUMD atas jasa dan layanan yang telah diberikan oleh perusahaan tersebut. Posisi perusahaan daerah di era otonomi daerah sebenarnya sangat penting dan strategis sebagai salah satu institusi milik daerah dalam meningkatkan penerimaan PAD. Pembinaan dan pengembangan BUMD merupakan wewenang pemerintah daerah atas restu DPRD. Memang dalam tahap awal otonomi daerah, tidak banyak yang dapat diharapkan dengan kehadiran BUMD untuk menambah kas daerah selama BUMD tersebut rugi terus. Kendati kekayaan BUMD terpisah dari

33 kekayaan daerah dalam APBD, tetapi bisa saja pemda sewenang-wenang melakukan ekspansi usaha BUMD dengan menggunakan dana APBD. Hal inilah yang dapat menyebabkan kebangkrutan keuangan daerah, termasuk krisis anggaran daerah. Oleh karena itu, pengelolaan keuangan BUMD harus terpisah dan dilakukan secara professional sebagaimana perusahaan swasta lainnya (Saragih, 2003) Dana Transfer Dana transfer merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintahan daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah, yaitu terutama peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Dana transfer terdiri dari dana otsus, dana penyesuaian dan dana perimbangan. Dalam UU Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dijelaskan bahwa dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus Dana Bagi Hasil Dana bagi hasil merupakan alokasi yang pada dasarnya memperhatikan potensi daerah penghasil. Dana bagi hasil merupakan bagian dari dana perimbangan dimana sumber penerimaannya berasal dari pajak dan sumber daya alam. Dana bagi hasil yang diperoleh pemerintah daerah berasal dari pemerintah pusat dan propinsi. Dana bagi hasil yang bersumber dari pemerintah pusat terdiri

34 atas : Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan atas hak tanah dan bangunan dan penerimaan Sumber Daya Alam. Selain itu, dana bagi hasil yang berasal dari propinsi terdiri atas : pajak kendaraan bermotor (PKB) atau bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) serta pajak pemanfaatan air bawah tanah dan pajak pemanfaatan air permukaan Dana Alokasi Umum Alokasi dana pusat ke daerah dalam bentuk dana alokasi umum ini merupakan transfer yang bersifat block grants. Di samping itu, kebijakan DAU merupakan instrumen penyeimbang fiskal antar daerah karena tidak semua daerah mempunyai struktur dan kemampuan fiskal yang sama. Oleh karena itu, dana alokasi umum berfungsi sebagai faktor pemerataan fiskal antara daerah-daerah serta memperkecil kesenjangan kemampuan fiskal atau keuangan antar daerah (Saragih, 2003). Dana alokasi umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Bratakusumah dan Solihin, 2004) Dana Alokasi Khusus Dana alokasi khusus adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu dan bertujuan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus daerah. Pengalokasian

35 dana alokasi khusus memperhatikan ketersediaan dana dalam APBN, yang berarti bahwa besaran dana alokasi khusus tidak dapat dipastikan setiap tahunnya. Dana alokasi khusus digunakan khusus untuk membiayai investasi pengadaan dan/atau peningkatan dan/atau perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang. Pengelolaan dana alokasi khusus kepada daerah ditetapkan oleh Menteri Keuangan selama memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri teknis terkait dan instansi yang membidangi perencanaan pembangunan nasional. Pemeriksaan atas penggunaan dana alokasi khusus oleh daerah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Bratakusumah dan Solihin, 2004) Pinjaman Daerah Pinjaman daerah adalah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang dicatat dan dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dana pinjaman merupakan pelengkap dari sumber-sumber penerimaan daerah yang ada dan ditujukan untuk membiayai pengadaan prasarana daerah atau harta tetap lain yang berkaitan dengan kegiatan yang bersifat meningkatkan penerimaan yang dapat digunakan untuk mengembalikan pinjaman, serta memberikan mufakat bagi pelayanan masyarakat. Selain itu, daerah dimungkinkan pula melakukan pinjaman dengan tujuan lain, seperti mengatasi masalah jangka pendek yang berkaitan dengan arus kas Daerah (Bratakusumah dan Solihin, 2004).

36 Besarnya pinjaman daerah perlu disesuaikan dengan kemampuan daerah, karena dapat menimbulkan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Derah tahuntahun berikutnya yang cukup besar sehingga perlu didukung dengan keterampilan perangkat daerah dalam mengelola pinjaman daerah. Jenis pinjaman daerah ini dapat bersumber dari pinjaman dalam negeri maupun luar negeri. Pinjaman daerah dari dalam negeri bersumber dari pemerintah pusat, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, masyarakat dan sumber lainnya sedangkan pinjaman daerah dari luar negeri dapat berupa pinjaman bilateral atau multilateral Hasil Penelitian Terdahulu Hermani (2007) meneliti tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian di Kabupaten Brebes dan Kota Tegal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan desentralisasi fiskal dari aspek kinerja fiskal, kinerja perekonomian dan tingkat kemiskinan. Di samping itu, penelitian tersebut menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal, kinerja perekonomian dan tingkat kemiskinan, serta dampaknya terhadap kinerja fiskal, kinerja perekonomian dan tingkat kemiskinan di Kabupaten Brebes dan Kota Tegal. Penelitian ini menggunakan model simultan dengan metode analisis 2-SLS (Two Stages Least Square). Secara umum penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa desentralisasi fiskal meningkatnya kinerja fiskal dan kinerja perekonomian daerah serta menurunnya tingkat kemiskinan daerah. Hasugian (2006) menganalisis mengenai kinerja keuangan daerah dan kemiskinan di Kabupaten dan Kota Propinsi Jawa Barat sebelum dan sesudah

37 desentralisasi fiskal. Metode analisis yang dilakukan adalah analisis deskriptif dan analisis regresi dengan menggunakan metode panel data. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah kinerja keuangan daerah dari sisi penerimaan daerah menunjukkan bahwa tingkat kemandirian daerah yang semakin rendah sesudah implementasi desentralisasi fiskal. Keuangan daerah dari sisi pengeluaran daerah menunjukkan bahwa pengeluaran rutin selama desentralisasi fiskal meningkat. Laju dan profil kemiskinan di Kabupaten atau Kota di Propinsi Jawa Barat sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal menunjukkan kenaikan dan penurunan jumlah penduduk miskin. Hakki (2008) menganalisis mengenai penerimaan pajak dan retribusi daerah sebelum dan pada masa otonomi daerah di Kota Bogor. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif untuk mengetahui perkembangan penerimaan dan komponen PAD Kota Bogor selama tahun dan metode analisis komponen utama untuk mengetahui faktor-faktor utama yang mempengaruhi penerimaan pajak dan retribusi daerah. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah penerimaan Kota Bogor lebih didominasi oleh bagian dana perimbangan sepanjang tahun Selain itu, hasil analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pajak dan retribusi daerah menunjukkan bahwa pajak daerah dipengaruhi oleh tingkat inflasi. Retribusi daerah dipengaruhi oleh variabel tingkat inflasi, uji kendaraan bermotor, dan jumlah pengunjung objek wisata. Yuliati (2002) menganalisis mengenai potensi keuangan daerah, derajat desentralisasi fiskal dan dampaknya terhadap kinerja ekonomi daerah di

38 Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, dan Kota Tegal. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis dan mengevaluasi hubungan kinerja ekonomi dan potensi keuangan pemerintah daerah, dampak derajat desentralisasi fiskal, dan perilaku pemerintah kabupaten/kota dalam rangka implementasi otonomi daerah sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 22 dan UU No. 25 Tahun Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis 2-SLS (Two Stages Least Square). Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian tersebut antara lain kinerja ekonomi daerah lebih didorong oleh kecenderungan mengkonsumsi dibanding investasi; potensi keuangan pemerintah daerah berkaitan erat dengan kinerja ekonomi daerah; kebijakan desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan mempengaruhi kinerja ekonomi dan potensi keuangan pemerintah daerah; dampak derajat desentralisasi fiskal terhadap pengeluaran pembangunan infrastruktur publik tidak dapat netral dari pengaruh faktor lain; dan dalam proses penyusunan APBD terdapat indikasi adanya bias kepentingan dari pihak-pihak yang terlibat yang dapat mengarah kepada terjadinya inefisiensi dan inefektifitas alokasi anggaran akibat kurang optimalnya penerapan disiplin dan prioritas anggaran Kerangka Pemikiran Otonomi daerah diatur dalam UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 dan diperbaharui kembali dalam UU Nomor 32 dan 33 Tahun Pelaksanaan otonomi darah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk mengelola, mengatur dan memanfaatkan sumber keuangan daerah dalam rangka meningkatkan kinerja

39 perekonomian daerah. Hal ini yang menjadi acuan dalam mengembangkan kerangka pemikiran yang digunakan dalam melakukan analisis potensi keuangan dan kinerja ekonomi daerah. Kerangka pemikiran dibuat untuk menganalisis kinerja ekonomi dan potensi keuangan Kota Bogor. Analisis kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah dilakukan secara deskriptif dan permodelan dugaan dalam model simultan. Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui kondisi kinerja ekonomi daerah sebelum dan selama desentralisasi fiskal, untuk mengetahui perkembangan dan kontribusi masing-masing komponen APBD terhadap total pendapatan daerah serta untuk mengetahui tingkat kemampuan keuangan daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal ditujukan untuk meningkatkan kinerja ekonomi daerah. Pemerintah daerah diberikan keleluasaan dalam mengelola perekonomian daerah. Indikasi dari kemajuan perekonomian daerah adalah tingkat pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto. Kinerja ekonomi Kota Bogor dinilai berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang ditinjau dari konsumsi rumah tangga masyarakat Kota Bogor, investasi daerah dan pengeluaran pemerintah daerah. Potensi keuangan daerah sangat berkaitan erat dengan kinerja ekonomi daerah. Identifikasi potensi keuangan daerah yang baik tercermin oleh anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Potensi keuangan daerah tercermin dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dana perimbangan. Komponen PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah dan laba usaha daerah sedangkan dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil dan dana transfer. Kewenangan yang

40 dimiliki pemerintah daerah pada masa desentralisasi fiskal akan mendorong pemerintah daerah menetapkan berbagai kebijakan untuk mengoptimalkan potensi keuangan daerah dalam rangka meningkatkan total pendapatan daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal diharapkan dapat meningkatkan kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah. Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah diuji pada era desentralisasi fiskal. Penetapan kebijakan yang tepat dalam mengelola kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah diharapkan mampu menciptakan pembangunan daerah.

41 Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal Undang-undang No. 22 dan 25 Tahun 1999 Undang-undang No. 32 dan 33 Tahun 2004 Kewenangan Pemerintah Daerah Keuangan Daerah Kinerja Ekonomi Daerah Analisis Deskriptif Potensi Keuangan Daerah Produk Domestik Regional Bruto Mengetahui kinerja ekonomi Mengetahui perkembangan dan kontribusi masing-masing komponen pendapatan daerah Mengetahui tingkat kemampuan keuangan daerah Pajak Retribusi Laba Perusahaan Daerah Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak Dana Transfer Konsumsi Ruamah Tangga Investasi Daerah Pengeluaran Pemerintah Keterangan : = Alur Penelitian = Ruang Lingkup Analisis Simultan = Ruang Lingkup Analisis Deskriptif Pembangunan Daerah Gambar 2.1. Bagan Alur Pemikiran

42 I t-1 SBRt G_DEt It Ydt G_PDRBt INF Ct PDRBt Gt LORt SBt PRFTt OTHt POPt PDRBCt WTRt PRFT t-1 TAXt HTLt TRSFt K_LOSHRt SHRt NTAXt RECt K_LTEt VEHt NTAX t-1 DDF PSYt LTRt BOt : Variabel eksogen : Variabel endogen Gambar 2.2. Bagan Alir Model Kinerja Ekonomi dan Potensi Keuangan

43 2.7 Hipotesis Secara teori potensi keuangan daerah berkaitan erat dengan kinerja ekonomi. Pelaksanaan desentralisasi fiskal mendorong peningkatan potensi keuangan dan kinerja ekonomi daerah. Oleh karena itu, hipotesis dibangun untuk melihat pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah. Kinerja perekonomian suatu daerah dalam sistem perekonomian tertutup dapat dilihat dari produk domestik regional bruto (PDRB) suatu daerah yang dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga, investasi daerah serta pengeluaran pemerintah. Setiap komponen ekonomi daerah dipengaruhi oleh berbagai variabel dengan hubungan sebagai berikut : (a). Tingkat konsumsi rumah tangga di daerah dipengaruhi oleh disposable income, populasi, tingkat suku bunga dan dummy desentralisasi. Variabel disposable income, populasi dan dummy desentralisasi berpengaruh positif terhadap tingkat konsumsi rumah tangga sedangkan tingkat suku bunga berpengaruh negatif terhadap tingkat konsumsi rumah tangga. Semakin tinggi suku bunga maka kecenderungan marginal untuk konsumsi berkurang sedangkan kecenderungan menabung meningkat sehingga konsumsi rumah tangga akan berkurang. (b). Investasi daerah dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pembangunan, investasi tahun lalu, tingkat suku bunga dan dummy desentralisasi fiskal. Variabel pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pembangunan, investasi daerah tahun lalu dan dummy desentralisasi akan berpengaruh positif terhadap tingkat investasi di daerah sedangkan variabel

44 suku bunga dan inflasi berpengaruh negatif terhadap tingkat investasi di daerah. (c). Pengeluaran pemerintah daerah dipengaruhi oleh PDRB, pendapatan asli daerah, inflasi dan dummy desentralisasi. Variabel PDRB, pendapatan asli daerah dan dummy desentralisasi berpengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah sedangkan tingkat inflasi akan berpengaruh negatif terhadap pengeluaran pemerintah daerah. Peningkatan kinerja ekonomi daerah diduga akan meningkatkan prndapatan per kapita. Pendapatan per kapita merupakan ukuran kemampuan membayar pajak dan pungutan lainnya sehingga peningkatan pendapatan per kapita ini diduga akan meningkatkan potensi keuangan daerah. Potensi keuangan daerah yang dapat diperoleh oleh pemerintah daerah bersumber dari pajak, retribusi, laba bersih perusahaan daerah, dana bagi hasil pajak dan bukan pajak serta dana transfer. Setiap komponen penerimaan tersebut akan dipengaruhi oleh berbagai variabel dengan hubungan sebagai berikut : (a). Pajak daerah dipengaruhi oleh PDRB per kapita, populasi, inflasi, jumlah kamar hotel, dan dummy desentralisasi fiskal. Hubungan antara variabelvariabel penjelas dengan pajak daerah diharapkan berpengaruh positif. (b). Retribusi daerah dipengaruhi oleh PDRB per kapita, inflasi, pendapatan retribusi tahun lalu, jumlah pengunjung tempat wisata dan dummy desentralisasi fiskal. Hubungan antara variabel-variabel penjelas dengan retribusi daerah diharapkan berpengaruh positif.

45 (c). Laba bersih perusahaan daerah dipengaruhi oleh PDRB per kapita, suku bunga, jumlah konsumsi air minum, laba perusahaan daerah tahun lalu dan dummy desentralisasi fiskal. Keseluruhan variabel penjelas tersebut diharapkan berpengaruh positif terhadap laba bersih perusahaan daerah. (d). Dana bagi hasil pajak dan bukan pajak dipengaruhi oleh PDRB per kapita, inflasi, jumlah kendaraan bermotor dan dummy desentralisasi fiskal. Keseluruhan variabel penjelas tersebut diharapkan berpengaruh positif terhadap dana bagi hasil pajak dan bukan pajak. (e). Dana transfer dipengaruhi oleh PDRB per kapita, jumlah pendapatan daerah sendiri, jumlah pengeluaran pemerintah, populasi dan dummy desentralisasi fiskal. Jika asumsi transfer adalah stimulatif maka hubungan kapasitas penerimaan transfer dengan semua variabel penjelasnya diharapkan positif. Jika asumsi transfer adalah untuk substitutif maka hubungan kapasitas transfer dengan tingkat pendapatan per kapita, populasi, total pengeluaran pemerintah daerah dan dummy desentralisasi diharapkan positif sedangkan hubungan pendapatan daerah sendiri diharapkan negatif.

46 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor, dengan pertimbangan bahwa Kota Bogor memiliki letak geografis yang sangat strategis. Letaknya yang berdekatan dengan ibukota Negara merupakan potensi yang strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa serta perkembangan sektor industri, perdagangan, transportasi, komunikasi dan pariwisata. Letak yang strategis ini menyebabkan Kota Bogor memiliki potensi keuangan daerah yang cukup tinggi dan diharapkan mampu memiliki kinerja perekonomian yang baik untuk menunjang pembangunan daerah. Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari hingga Juli 2009 yang meliputi kegiatan pengumpulan data dan literatur, pengolahan data, analisis data, hingga penulisan hasil penelitian dalam bentuk skripsi Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk time series data selama periode 1993 hingga Data yang dikumpulkan untuk menunjang penelitian ini, antara lain: total pendapatan daerah, pengeluaran pembangunan daerah, PDRB Kota Bogor, jumlah penduduk, inflasi, pajak, retribusi, laba bersih perusahaan daerah, dana bagi hasil, dana transfer, jumlah wisatawan dan data lainnya yang menunjang penelitian ini. Data sekunder yang digunakan berasal dari : Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Bogor, dan instansi terkait lainnya.

47 3.3. Estimasi Model Model merupakan penjelasan sederhana dari dunia nyata dimana setiap kegiatan ekonomi yang akan dianalisis terangkum dalam model tersebut. Model dugaan yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada model penelitian Yuliati (2002). Model dugaan yang digunakan untuk menganalisis kinerja ekonomi suatu daerah antara lain model dugaan konsumsi rumah tangga, investasi daerah dan pengeluaran pemerintah daerah. Sedangkan model model dugaan yang digunakan untuk menganalisis potensi keuangan daerah, antara lain model dugaan pajak daerah, retribusi daerah, laba bersih perusahaan daerah, dana bagi hasil pajak dan bukan pajak serta dana transfer. Model-model tersebut dipengaruhi oleh berbagai variabel seperti yang tergambar pada model dibawah ini : (1). Kinerja Ekonomi Daerah Model Dugaan Konsumsi Rumah Tangga C t = a 0 + a 1 Yd t + a 2 POP t + a 3 SB t + a 4 DDF + µ 1 (3.1) Parameter estimasi yang diharapkan a 1, a 2, a 4 > 0; a 3 < 0 Model Dugaan Investasi Daerah I t =b 0 +b 1 G_PDRB t + b 2 G_DE t + b 3 I t-1 + b 4 SBR t + b 5 DDF +µ 2 (3.2) Parameter estimasi yang diharapkan b 1, b 2, b 3, b 5 > 0; b 4 < 0 Model Dugaan Pengeluaran Pemerintah Daerah G t = c 0 + c 1 PDRB t + c 2 LOR t + c 3 INF t + c 4 DDF + µ 3 (3.3) Parameter estimasi yang diharapkan c 1, c 2, c 4 > 0; c 3 < 0 (2). Potensi Keuangan Daerah Model Dugaan Pajak Daerah

48 TAX t =d 0 +d 1 PDRBC t +d 2 POP t +d 3 INF t +d 4 HTL +d 5 DDF +µ 4 (3.4) Parameter estimasi yang diharapkan d 1, d 2, d 3, d 4, d 5 > 0 Model Dugaan Retribusi Daerah NTAX t =e 0 +e 1 PDRBC t +e 2 REC t +e 3 INF t +e 4 NTAX t-1 +e 5 DDF+µ 5 (3.5) Parameter estimasi yang diharapkan e 1, e 2, e 3, e 4, e 5 > 0 Model Dugaan Laba Bersih Perusahaan Daerah PRFT t =f 0 +f 1 PDRBC t +f 2 SB t +f 3 WTR t +f 4 PRFT t-1 +f 5 DDF+µ 6 (3.6) Parameter estimasi yang diharapkan f 1, f 2, f 4, f 3, f 5 > 0 Model Dugaan Dana Bagi Hasil Pajak atau Bukan Pajak SHR t =g 0 +g 1 PDRBC t +g 2 INF t +g 3 VEH t +g 4 DDF + µ 7 (3.7) Parameter estimasi yang diharapkan g 1, g 2, g 3, g 4 > 0 Model Dugaan Dana Transfer TRSF t = h 0 + h 1 PDRBC t + h 2 K_LOSHR t + h 3 K_LTE t + h 4 POP t + h 5 DDF + µ 8 (3.8) Asumsi substitutif, hipotesisnya adalah h 1, h 3, h 4, h 5 > 0; h 2 < 0 Asumsi stimulatif, hipotesisnya adalah h 1, h 2, h 3, h 4, h 5 > 0 (3). Model-model identitas a. Model Pendapatan Asli Daerah LOR t = TAX t + NTAX t + PRFT t + OTH t (3.9) b. Model Total Penerimaan Pemerintah Daerah LTR t = PSY t + LOR t + SHR t + TRSF t + BO t (3.10) c. Model Product domestic Regional Bruto (PDRB) PDRB t = C t + I t + G t (3.11)

49 d. Model Pendapatan per Kapita PDRBC = (3.12) dimana : e. Model Pendapatan disposable Yd = PDRB t - TAX t (3.13) BO t C t DDF : Pendapatan lainnya yang sah (juta rupiah), : Konsumsi rumah tangga (juta rupiah), : Dummy desentralisasi fiskal (0=sebelum desentralisasi fiskal, 1=selama desentralisasi fiskal), G t : Pengeluaran pemerintah daerah (juta rupiah), G_DE t : Pertumbuhan pembangunan pemerintah daerah (%), G_PDRB t : Pertumbuhan ekonomi daerah (%), HTL I t I t-1 : Jumlah kamar hotel (unit), : Investasi daerah (juta rupiah), : Investasi daerah tahun lalu (juta rupiah), INF t : Inflasi daerah (%), K_LOSHR t : Peningkatan pendapatan daerah sendiri, LOR + SHR (juta rupiah), K_LTE t LOR t LTR t OTH t PDRB t : Peningkatan pengeluaran pemerintah (juta rupiah), : Pendapatan asli daerah (juta rupiah), : Total pendapatan daerah (juta rupiah), : Pendapatan asli daerah lainnya yang sah (juta rupiah), : Produk Domestik Regional Bruto (juta rupiah/tahun),

50 PDRBC t POP t PRFT t PRFT t-1 PSY t NTAX t NTAX t-1 REC t SB t SBR t SHR t TAX t TRSF t VEH t : Produk Domestik Regional Bruto per kapita (juta rupiah/kapita), : Populasi (orang), : Laba bersih perusahaan daerah (juta rupiah/tahun), : Laba bersih perusahaan daerah tahun lalu (juta rupiah/tahun), : Perhitungan sisa tahun lalu (juta rupiah), : Retribusi daerah (juta rupiah), : Retribusi daerah tahun lalu (juta rupiah), : Jumlah pengunjung tempat wisata (orang), : Suku bunga (% / tahun), : Suku bunga riil (% / tahun), : Bagi hasil pajak dan bukan pajak (juta rupiah), : Pajak daerah (juta rupiah), : Dana transfer yang terdiri atas DAU dan DAK (juta rupiah), : Jumlah kendaraan bermotor (unit), WTR t : Jumlah konsumsi air minum (m 3 ), Yd t : Pendapatan disposable (juta rupiah) Identifikasi Model Model yang digunakan dalam model ini adalah model persamaan simultan. Peubah-peubah yang ada dalam model persamaan simultan dapat digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu : (1). Endogenous variable, yaitu peubah-peubah yang nilainya ditentukan dalam model,

51 (2). Predetermined variable, yaitu peubah yang nilainya ditentukan di luar model. Predetermined variable digolongkan lagi menjadi dua, yaitu endogenous variable (peubah eksogen) dan lagged endogenous variable. Sebelum melakukan pendugaan terhadap model model simultan, terlebih dahulu dilakukan identifikasi terhadap model tersebut. Fungsi dari identifikasi model adalah untuk mengetahui apakah model tersebut dapat diduga atau tidak. Gujarati (1978), menyatakan untuk menilai identifiabilitas (dapat diidentifikasikannya) suatu persamaan struktural, orang bias menerapkan teknik persamaan bentuk yang direduksi, tetapi prosedur yang memakan waktu ini dapat dihindarkan dengan mengambil jalan baik ke kondisi ordo (order condition) atau kondisi tingkat identifikasi. Setelah melakukan identifikasi model, maka dapat ditentukan metode estimasi yang akan digunakan dalam mengestimasi model. Prinsip umum identifikasi tersebut adalah : (1). Exactly identified : jika (K - M) = (G - 1), (2). Over identified : jika (K - M) > (G - 1), (3). Unidentified : jika (K - M) < (G - 1), dimana : K M = jumlah semua variabel yang terdapat dalam model, = jumlah variabel endogen dan eksogen yang dimasukkan dalam suatu persamaan, G = jumlah persamaan yang ada dalam sistem persamaan simultan. Hasil identifikasi model dapat digunakan sebagai petunjuk dalam memilih jenis metode pendugaan yang akan digunakan. Model simultan dikatakan

52 teridentifikasi dengan tepat (exactly identified) jika diperoleh pendugaan parameter yang khas (unik) (Juanda, 2009). Suatu model simultan yang berada dalam kondisi exactly identified, metode pendugaan yang tepat untuk digunakan adalah Indirect Least Square (ILS). Suatu model simultan dikatakan over identified jika diperoleh dugaan parameter model struktural yang tidak khas (lebih dari satu nilai) dari model reduced form. Suatu model simultan yang berada dalam kondisi over identified, metode pendugaan yang digunakan adalah Two Stage Least Square (2SLS). Dalam 2SLS, peubah endogen diganti dengan nilai dugaannya sendiri dengan memperhitungkan seluruh peubah-peubah eksogen, sehingga metode ini mengasumsikan bahwa peubah-peubah eksogen dalam model telah diketahui secara lengkap. Metode 2SLS dapat juga ditertapkan pada kasus exactly identified. Jika metode OLS dipaksakan untuk menduga sistem model simultan, maka akan menghasilkan nilai pendugaan yang bias dan tidak konsisten. Tabel 3.1. Identifikasi Model Nama model K M G K-M G-1 Kategori Konsumsi Rumah Tangga Investasi Daerah Pengeluaran Pemerintah Daerah Pajak Daerah Retribusi Daerah Laba Bersih Perusahaan Daerah Dana Bagi Hasil Dana Transfer Over identified Over identified Over identified Over identified Over identified Over identified Over identified Over identified

53 Karena seluruh model dugaan tersebut termasuk ke dalam kategori over identified, maka pendugaan parameternya dapat dilakukan dengan metode 2SLS (Two Stage Least Square). Metode 2SLS diterima sebagai pendekatan model tunggal yang paling penting untuk mendugamodel yang bersifat over identified dan menggambarkan pemakaian yang bersifat lebih umum Metode Analisis Metode Deskriptif Metode deskriptif dilakukan untuk mengetahui kinerja ekonomi daerah, mengetahui perkembangan dan kontribusi masing-masing komponen pendapatan daerah dan mengetahui tingkat kemampuan keuangan daerah. Analisis kinerja ekonomi dilakukan untuk mengetahui perkembangan kondisi perekonomian Kota Bogor sedangkan potensi keuangan daerah tercermin dari komponen pendapatan daerah yang terdiri dari PAD, dana bagi hasil dan dana transfer. Masing-masing komponen tersebut memiliki kontribusi yang berbeda terhadap total pendapatan daerah. Tingkat kemampuan keuangan daerah menggambarkan besarnya presentase kontribusi pendapatan daerah sendiri (PAD dan dana bagi hasil) terhadap total pendapatan daerah. Indikator tersebut menggunakan data time series untuk mengetahui perkembangan kontribusinya dari segi besaran dan presentasenya. Tingkat kemampuan keuangan daerah merupakan salah satu indikator dari tingkat keberhasilan suatu daerah melakukan kewenangan desentralisasi fiskal pada masa desentralisasi fiskal ini. Kemampuan daerah

54 merupakan kemampuan kabupaten/kota dalam membiayai urusan-urusan rumah tangganya khususnya yang berasal dari pendapatan daerahnya sendiri Metode Estimasi Metode Two-Stage Least Square (2SLS) Menurut Juanda (2009), metode Kuadrat Terkecil Dua-Tahap (2SLS) merupakan suatu prosedur untuk menduga parameter model struktural yang overidentified. Metode ini menggunakan informasi yang tersedia dari spesifikasi model sistem model simultan untuk memperoleh dugaan yang unik untuk masingmasing parameter struktural. Tahapan-tahapan metode 2SLS adalah sebagai berikut : (1). Lakukan pendugaan koefisien bentuk tereduksi untuk semua peubah endogen dengan menggunakan metode OLS, (2). Menduga koefisien strukturalnya dengan menggunakan dugaan peubah endogen yang diperoleh pada langkah pertama. Pada metode 2SLS, peubah endogen diganti dengan nilai dugaannya sendiri dengan memperhitungkan seluruh peubah-peubah eksogen, sehingga metode ini mengasumsikan bahwa peubah-peubah eksogen dalam model telah diketahui secara lengkap. Metode 2SLS dapat juga diterapkan pada kasus exactly identified Uji Kriteria Statistik (uji F, uji t, dan R 2 ) Pengujian kriteria statistik diperlukan untuk melihat korelasi antar variabel model, yaitu dengan menggunakan uji t, uji F dan R 2.

55 (1). Uji t Uji t dilakukan pada masing-masing parameter untuk melihat tingkat signifikansi variabel bebas, artinya apakah variabel bebas berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel tak bebas. Perbandingan antara nilai t-statistik dengan nilai t-tabel dapat menunjukan daerah atau wilayah penolakan. Selain itu, uji ini digunakan untuk melihat keabsahan dari hipotesis dan membuktikan bahwa koefisien regresi dalam model secara statistik signifikan atau tidak. Hipotesis : H 0 : β i = 0 dimana i = 1, 2, 3,., n H 1 : β i 0 β = dugaan parameter Statistik uji yang dilakukan dalam uji-t adalah sebagai berikut : t-hitung = (3.14) dimana : b B Sb = Koefisien regresi parsial sampel, = Koefisien regresi parsial populasi, = Simpangan baku koefisien dugaan. Hasil t-hitung tersebut dibandingkan dengan t-tabel. Kriteria uji yang digunakan dalam melakukan uji t adalah sebagai berikut : t-hitung > t α/2(n-k), maka tolak H 0, t-hitung < t α/2(n-k), maka terima H 0. Jika t-hitung > t-tabel maka tolak H 0, kondisi ini memiliki arti bahwa variabel yang digunakan berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas (endogen) pada taraf nyata α. Sedangkan apabila t-hitung < t-tabel maka terima H 0, kondisi

56 ini berarti bahwa varibel yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas pada taraf nyata α. (2). Uji F Uji F dilakukan terhadap model penduga untuk melihat pengaruh variabel bebas (eksogen) terhadap variabel tak bebas (endogen) secara keseluruhan dengan menggunakan pengujian F-hitung. Selain itu, uji F juga dilakukan untuk mengetahui apakah model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Hipotesis yang digunakan dalam uji F adalah sebagai berikut : H0 : β0 = β1 = β2 = = βi = 0, artinya tidak ada satu pun variabel-variabel bebas dalam model yang berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas H1 : minimal salah satu βi 0, artinya paling sedikit ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas dimana : i = , n β = dugaan parameter Statistik uji yang dilakukan dalam uji-f adalah sebagai berikut : F-hitung = (3.15) dimana : R 2 = koefisien determinasi,

57 n K = banyaknya data, = jumlah koefisien regresi dugaan. Hasil dari F-hitung tersebut lalu dibandingkan dengan F-tabel. Kriteria uji yang dilakukan dalam melakukan uji F adalah sebagai berikut : F-hitung > F α(k-1, n-k), maka tolak H 0, F-hitung < F α(k-1, n-k), maka terima H 0. Jika hasil F-hitung > F-tabel maka tolak H 0, kondisi ini memiliki arti bahwa minimal ada satu variabel bebas dalam model yang berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. Sedangkan jika F-hitung < F-tabel maka terima H 0, kondisi ini memiliki arti bahwa tidak ada satu pun variabel yang berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. (3). Uji Koefisien Determinasi (R 2 ) dan Adjusted R 2 Koefisien determinasi (R 2 ) dan Adjusted R 2 digunakan untuk melihat sejauhmana variabel bebas mampu menerangkan keragaman variabel tak bebasnya dan untuk melihat seberapa kuat variabel yang dimasukkan ke dalam model dapat menerangkan model tersebut. Gujarati (2003) menyatakan bahwa terdapat dua sifat R 2, yaitu : (a). Merupakan besaran non-negatif, (b). Batasnya adalah 0 R 2 1. Jika R 2 bernilai 1 berarti adanya suatu kecocokan sempurna, sedangkan jika R 2 bernilai 0 berarti tidak ada hubungan antara variabel tak bebas dengan variabel bebasnya. Nilai koefisien determinasi dapat dihitung sebagai berikut : R 2 = (3.16)

58 dimana : ESS = jumlah kuadrat yang dijelaskan (explained sum square), TSS = jumlah kuadrat total (total sum square). Besaran R 2 tersebut dikenal sebagai koefisien determinasi (sampel) dan merupakan besaran yang paling lazim digunakan untuk mengukur kebaikan suai (goodness of fit) garis regresi. Secara verbal, R 2 mengukur proporsi (bagian) atau prosentase total varians dalam Y yang dijelaskan oleh model regresi Uji Kriteria Ekonometrika Dalam menggunakan metode regresi dapat ditemukan beberapa permasalahan yang dihadapi, yaitu masalah autokorelasi, heteroskedastisitas dan multikolinieritas. (1). Uji Autokorelasi Menurut Gujarati (1978), autokorelasi merupakan korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (seperi dalam data deret waktu) atau ruang (seperti dalam data cross-sectional). Autokorelasi akan menyebabkan parameter koefisien regresi tidak bias, konsisten, mempuanyai standar eror yang lebih kecil dari nilai yang sebenarnya sehingga nilai statistik ujit tinggi (overestimate) dan penduga OLS menjadi tidak efisien lagi. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dapat menggunakan metode gambar atau dengan menggunakan uji Durbin-Watson untuk data time series. Hipotesis yang digunakan dalam uji Durbin-Watson adalah sebagai berikut : H 0 : tidak terdapat autokorelasi

59 H 1 : terdapat autokorelasi Untuk menguji ada tidaknya autokorelasi, dapat dilihat dari nilai statistik Durbin-Watson (DW) dengan perhitungan sebagai berikut : DW e t e e t 2 t ˆ (3.17) Aturan penggunaan statistik Durbin-Watson adalah sebagai berikut : (1). 4-d L < DW < 4 artinya tolak H 0 ; ada autokorelasi negatif, (2). 4-d u < DW < 4-d L artinya tidak terdeteksi autokorelasi, (3). d u < DW < 4-d u artinya terima H 0 ; tidak terdapat autokorelasi, (4). d u < DW < d L artinya tidak terdeteksi autokorelasi, (5). 0 < DW < d L artinya tolak Ho; ada autokorelasi positif. Menurut Juanda (2009), jika dalam model regresi ada peubah bebas yang merupakan peubah lag respons, maka nilai statistik uji DW sering mendekati dua meskipun ada autokorelasi. Statistik uji yang digunakan adalah statistik Durbin h untuk menguji autokorelasi. Durbin telah menunjukkan bahwa statistik-h mendekati sebaran normal baku, sehingga keputusan ada tidaknya autokorelasi dapat menggunakan tabel normal baku (z). Statistik Durbih h dapat didefinisikan sebagai berikut : dimana : h : Statistik Durbin h, DW T h 1 (3.18) 2 1 T Var( ˆ ) 2 DW : Durbin Watson,

60 T : Jumlah pengamatan, Var (β 2 ) : Dugaan ragam dari koefisien peubah lag respons (Y t-1 ). (2). Uji Heteroskedastisitas Suatu model dikatakan baik apabila memenuhi asumsi homoskedastisitas (tidak terjadi heteroskedastisitas) atau memiliki ragam error yang sama. Heteroskedastisitas adalah suatu penyimpangan asumsi dalam bentuk varians gangguan estimasi yang dihasilkan oleh estimasi yang tidak bernilai konstan. Heteroskedastisitas tidak merusak sifat ketidakbiasan dan konsistensi dari penaksir tetapi penaksir yang dihasilkan tidak lagi mempunyai varians minimum (efisien). Menurut Gujarati (1993), jika terjadi heteroskedastisitas maka akan berakibat sebagai berikut : a. Estimasi dengan menggunakan OLS tidak akan memiliki varians yang minimum atau estimator tidak efisien, b. Prediksi (nilai Y untuk X tertentu) dengan estimator dari data yang sebenarnya akan mempunyai varians yang tinggi, sehingga prediksi menjadi tidak efisien, c. Tidak dapat diterapkannya uji nyata koefisien atau selang kepercayaan dengan menggunakan formula yang berkaitan dengan nilai varians. Untuk memeriksa keberadaan heteroskedastisitas salah satunya dapat ditunjukkan dengan White-Heteroskedasticity Test, dimana tidak perlu asumsi normalitas dan relatif mudah. Hipotesis : H 0 : γ = 0 (homoskedastisitas),

61 H 1 : γ 0 (heteroskedastisitas). Kriteria uji yang digunakan untuk melihat adanya heteroskedastisitas adalah sebagai berikut : a. Apabila nilai probability Obs*R-squared-nya > taraf nyata yang digunakan maka hipotesis H 0 diterima yang berarti tidak terdapat gejala heteroskedastisitas pada model, b. Apabila nilai probability Obs*R-squared-nya < taraf nyata yang digunakan maka hipotesis H 0 ditolak yang berarti terdapat gejala heteroskedastisitas pada model. Solusi dari masalah ini adalah mencari transformasi model asal sehingga model yang baru akan memiliki error-term dengan varians yang konstan. (3). Uji Multikolinieritas Istilah multikolinieritas mula-mula ditemukan oleh Ragnar Frisch. Multikolinieritas adalah adanya hubungan linear yang sempurna atau pasti diantara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan dari model regresi. Konsekuensi dari terjadinya multikolinieritas adalah koefisien regresi menjadi tidak dapat ditaksir dan nilai standard error setiap koefisien regresi menjadi tidak terhingga. Gujarati (1993) mengemukakan tanda-tanda adanya multikolinieritas adalah : a. Tanda tidak sesuai dengan yang diharapkan, b. R-squared-nya tinggi tetapi uji individu tidak banyak bahkan tidak ada yang nyata, c. Korelasi sederhana antara variabel individu tinggi (r ij tinggi),

62 d. R 2 < r ij menunjukkan adanya masalah multikolinieritas. Untuk memperbaiki dari masalah multikolinieritas menurut Gujarati (1993) adalah sebagai berikut : a. Menggunakan extraneous atau informasi sebelumnya, b. Mengkombinasikan data cross-sectional dan data deretan waktu, c. Meninggalkan variabel yang sangat berkorelasi, d. Mentransformasikan data, e. Mendapatkan tambahan data baru.

63 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Lokasi dan Geografi Kota Bogor Kota Bogor merupakan salah satu kota yang terdapat pada provinsi Jawa Barat. Kota Bogor memiliki letak geografis yang sangat strategis. Kota Bogor terletak diantara BT BT dan LS LS serta mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190 meter, maksimal 350 meter dengan jarak dari ibukota ± 60 km. Letaknya yang berdekatan dengan ibukota Negara merupakan potensi yang strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa serta perkembangan sektor industri, perdagangan, transportasi, komunikasi dan pariwisata. Pada tahun 1995, luas wilayah Kota Bogor mengalami perubahan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1995 tentang perubahan wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor dan Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor yang dijabarkan lebih lanjut dalam Inmendagri Nomor 30 Tahun 1995 dan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat II Jawa Barat Nomor 32 Tahun 1995, tentang pengaturan lebih lanjut penetapan batas wilayah kotamadya Daerah Tingkat II Bogor dan Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor. Pelaksanaan serah terima wilayah dalam rangka perubahan batas wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor dan Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor dilaksanakan pada tanggal 24 Agustus Semenjak pelaksanaan serah terima tersebut, luas wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor berubah menjadi 118,50 km². Jumlah penduduk yang awalnya dipadati oleh orang pada

64 tahun 1994 menjadi orang pada tahun Secara administratif, Kota Bogor terbagi menjadi 6 Kecamatan dan 68 kelurahan. Batas-batas wilayah Kota Bogor adalah sebagai berikut : 1. Sebelah Selatan : Kecamatan Cijeruk dan kecamatan Caringin Kabupaten Bogor 2. Sebelah timur : Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor. 3. Sebelah Utara : Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Bojong Gede dan Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor. 4. Sebelah barat : Kecamatan Kemang dan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor Pertumbuhan Penduduk Pada masa desentralisasi fiskal ini, keberhasilan pembangunan daerah sangat ditentukan oleh partisipasi masyarakatnya dalam proses pembangunan daerah. Jumlah penduduk di suatu daerah akan sangat mempengaruhi pembangunan daerah tersebut. Semakin besar jumlah penduduk akan memacu pembangunan ekonomi suatu daerah secara maksimal, namun hal tersebut perlu diiringi dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang memadai. Jumlah penduduk Kota Bogor sepanjang tahun mengalami peningkatan setiap tahunnya (Tabel 4.1). Pada tahun 2000, jumlah penduduk Kota Bogor tercatat sebanyak jiwa dan terus bertambah hingga jiwa pada tahun 2007.

65 Tabel 4.1. Jumlah Penduduk Kota Bogor Tahun Tahun Jumlah Penduduk (jiwa) Laju Pertumbuhan (%) , , , , , , ,76 Sumber : BPS Kota Bogor, (diolah) Tinjauan Perekonomian Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian di suatu daerah serta untuk mengkaji dan mengevaluasi perekonomian adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan laju pertumbuhan ekonomi. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sendiri menurut pengertian produksi adalah jumlah nilai produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi dalam suatu wilayah pada suatu jangka waktu tertentu. Perhitungan PDRB dilakukan dalam dua cara, yaitu PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga tiap tahun dan menunjukkan pendapatan yang mungkin dapat dinikmati oleh penduduk suatu daerah. Perhitungan PDRB atas dasar harga konstan merupakan PDRB yang dinilai atas dasar harga tetap suatu tahun tertentu dan dapat digunakan untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan maupun sektoral dari tahun ke tahun.

66 Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor Kemampuan produksi atau kinerja ekonomi Kota Bogor tercermin dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan, tingkat inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor disajikan dalam dua perhitungan, yaitu PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan. Sebagaimana terlihat pada Tabel 4.2, perekonomian Kota Bogor yang tercermin melalui Produk Domestik Regional Bruto, perekonomian Kota Bogor sepanjang tahun mengalami laju pertumbuhan sekitar 6 persen per tahunnya sedangkan tingkat inflasi yang terjadi sepanjang tahun berkisar antara 6,62-18,14 persen. Tingkat inflasi Kota Bogor sempat mengalami peningkatan sebesar 18,14 persen pada tahun Tabel 4.2. Produk Domestik Regional (PDRB) Kota Bogor Tahun Tahun PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (Jutaan Rupiah) PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Inflasi (%) Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) (Jutaan Rupiah) , ,93 7,8 6, , ,91 18,14 6, , ,71 6,62 6, , ,18 9,75 6,08 Sumber : BPS Kota Bogor, Pendapatan Perkapita Kota Bogor Pendapatan perkapita merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi pendapatan perkapita suatu daerah, maka tingkat kesejahteraan penduduk daerah tersebut akan meningkat.

67 Tabel 4.3. Pendapatan Perkapita Kota Bogor Tahun Tahun Pendapatan Perkapita Harga Berlaku (Rupiah) Harga Konstan Tahun 2000 (Rupiah) , , , , , , , , , , , ,00 Sumber : BPS Kota Bogor, Pendapatan perkapita Kota Bogor, baik berdasarkan harga berlaku maupun berdasarkan harga konstan sepanjang tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2002, pendapatan perkapita Kota Bogor berdasarkan harga berlaku sebesar ,01 rupiah dan terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 2007 sebesar ,00 rupiah. Untuk melihat tingkat kesejahteraan Kota Bogor secara riil dapat dilihat dari pendapatan per kapita berdasarkan harga konstan. Pada tahun 2002, pendapatan per kapita berdasarkan harga konstan sebesar ,40 rupiah dan terus mengalami peningkatan hingga sebesar ,00 rupiah pada tahun Peningkatan pendapatan perkapita ini mencerminkan peningkatan kesejahteraan masyarakat Kota Bogor.

68 Juta Rupiah V. PEMBAHASAN 5.1. Kinerja Ekonomi Daerah Kota Bogor Pelaksanaan desentralisasi fiskal diharapkan dapat mendorong perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan keleluasaan untuk meningkatkan perekonomian daerah berdasarkan karakteristik daerahnya. Kondisi perekonomian daerah tercermin dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan dan laju pertumbuhan ekonomi. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor tercermin pada gambar di bawah ini : PDRB Sumber : BPS Kota Bogor, (diolah). Gambar 5.1. Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor Tahun Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa PDRB Kota Bogor berdasarkan harga konstan tahun 2000, sepanjang tahun 1993 hingga 2007 mengalami peningkatan. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal, PDRB Kota Bogor berkisar antara ,65 juta rupiah hingga ,24 juta rupiah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal sejak tahun 2001 diharapkan dapat mendorong perekonomian daerah. Pada tahun 2001, PDRB Kota Bogor sebesar ,21

69 LPE dalam % juta rupiah dan terus meningkat hingga sebesar juta rupiah pada tahun LPE Sumber : BPS Kota Bogor, (diolah). Gambar 5.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Bogor Tahun Laju pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 1993 hingga 2007 mengalami fluktuasi. Pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi pada tahun 1995 dimana pada saat itu terjadi perluasan wilayah Kota Bogor sehingga meningkatkan PDRB Kota Bogor sebesar 64,86 persen. Di sisi lain, laju pertumbuhan ekonomi terendah terjadi pada saat krisis ekonomi tahun 1998, yaitu sebesar -3,48 persen. Sepanjang tahun 2001 hingga 2007 laju pertumbuhan ekonomi Kota Bogor relatif stabil dan mengalami sedikit peningkatan setiap tahunnya, yaitu berkisar antara 5,68 persen hingga 6,12 persen. Jika dibandingkan dengan sebelum desentralisasi fiskal, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi selama desentralisasi fiskal relatif lebih rendah dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi sebelum desentralisasi fiskal sebesar 12,52 persen sedangkan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi selama desentralisasi fiskal sebesar 5,98 persen. Oleh karena itu, diduga kondisi perekonomian Kota Bogor selama desentralisasi fiskal relatif menurun.

70 Juta Rupiah Komponen Kinerja Ekonomi Daerah Tidak hanya laju pertumbuhan ekonomi, kinerja ekonomi daerah pun dapat dianalisis dengan menggunakan PDRB atas dasar harga konstan. Kinerja ekonomi daerah yang dianalisis dalam model dugaan ini menggunakan pendekatan makroekonomi dengan asumsi perekonomian tertutup sehingga kinerja ekonomi daerah tercermin dari konsumsi rumah tangga, investasi daerah dan pengeluaran pemerintah Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga merupakan output ekonomi yang dibelanjakan oleh rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung. Konsumsi rumah tangga berdasarkan harga konstan tahun 2000, sepanjang tahun 1993 hingga 2007 relatif mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2001, konsumsi rumah tangga sempat mengalami sedikit penurunan Sumber : BPS Kota Bogor, (diolah). Gambar 5.3. Perkembangan Konsumsi Rumah Tangga Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga sepanjang tahun 1993 hingga 2007 mengalami fluktuasi. Pada awal pelaksanaan desentralisasi fiskal, konsumsi

71 rumah tangga Kota Bogor mengalami penurunan hingga sebesar -1,43 persen namun sepanjang tahun 2002 hingga 2007 pertumbuhan konsumsi rumah tangga Kota Bogor relatif stabil, yaitu berkisar antara 6,12 hingga 8,78 persen. Rata-rata pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebelum desentralisasi fiskal relatif lebih besar daripada selama desentralisasi fiskal. Rata-rata konsumsi rumah tangga sebelum desentralisasi fiskal sebesar 19,38 persen sedangkan selama desentralisasi fiskal sebesar 5,91 persen. Tabel 5.1. Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga Kota Bogor Tahun Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga (%) Rata-Rata Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga (%) , , , ,04 Sebelum Desentralisasi Fiskal ,59 19, , , , , , , , , , ,26 Sumber : BPS Kota Bogor, (diolah). Selama Desentralisasi Fiskal 5,91 Pendugaan model konsumsi rumah tangga didasarkan atas hipotesis yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya. Tingkat konsumsi rumah tangga diduga dipengaruhi oleh disposable income, jumlah populasi, suku bunga dan dummy desentralisasi fiskal. Variabel disposable income, jumlah populasi dan dummy desentralisasi berpengaruh positif sedangkan variabel suku bunga berpengaruh negatif terhadap konsumsi rumah tangga.

72 CT Nilai R 2 dari model dugaan konsumsi rumah tangga ini sebesar 0,995. Artinya, model dugaan konsumsi rumah tangga ini dapat menggambarkan kondisi yang sebenarnya dengan baik. Konsumsi rumah tangga Kota Bogor secara signifikan dipengaruhi oleh disposable income dan dummy desentralisasi pada taraf nyata 5 persen. Tabel 5.2. Model Dugaan Konsumsi Rumah Tangga Kota Bogor Variabel Parameter Dugaan T-hitung Peluang α Intersep ,0-5,884 0,000 Pendapatan disposable 0, ,133 0,000* Populasi 0, ,727 0,484 Suku Bunga -1846,367-1,344 0,209 Dummy desentralisasi ,4-2,323 0,043* R 2 =0.995 R 2 -adj=0.993 F-hitung=491,765(0,000) DW=1,693 Pendapatan disposable berpengaruh positif terhadap konsumsi rumah tangga dengan nilai parameter dugaan sebesar 0, Artinya, jika pendapatan disposable meningkat sebesar satu juta rupiah akan meningkatkan konsumsi rumah tangga sebesar 0, juta rupiah (ceteris paribus). Pernyataan ini diperkuat dengan pola hubungan antara pendapatan disposable dan konsumsi rumah tangga yang menunjukkan bahwa pola hubungan yang positif terhadap konsumsi rumah tangga (Gambar 5.4) Scatterplot of CT vs Yd Yd Sumber : BPS Kota Bogor, (diolah). Gambar 5.4. Pola Hubungan antara Pendapatan Disposable (Yd) dan Konsumsi Rumah Tangga (CT)

73 Variabel dummy desentralisasi menunjukkan pengaruh yang negatif. Artinya, konsumsi rumah tangga menurun selama desentralisasi fiskal. Kondisi ini terjadi diduga disebabkan oleh penurunan konsumsi rumah tangga pada tahun Selain itu, rata-rata pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada masa desentralisasi fiskal yang relatif lebih rendah dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Rata-rata pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebelum desentralisasi fiskal sebesar 19,38 persen sedangkan setelah desentralisasi fiskal sebesar 5,91 persen. Jika dilihat data perkembangan konsumsi rumah tangga sepanjang tahun 2001 hingga 2007 menunjukkan peningkatan. Peningkatan konsumsi rumah tangga ini diduga didorong oleh variabel lain, yaitu disposable income. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, variabel disposable income berpengaruh nyata dan positif terhadap konsumsi rumah tangga. Variabel suku bunga tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi rumah tangga. Hal ini diduga terjadi karena terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi keputusan konsumsi rumah tangga, seperti kebutuhan masyarakat, besarnya biaya kebutuhan pokok masyarakat, pendapatan masyarakat dan lain sebagainya Investasi Daerah Investasi daerah merupakan salah satu instrumen yang dapat mempengaruhi kinerja ekonomi daerah. Perkembangan investasi Kota Bogor berdasarkan harga konstan tahun 2000, sepanjang tahun 1993 hingga 2007 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2001, investasi daerah Kota Bogor sempat

74 Juta Rupiah mengalami peningkatan, namun sepanjang tahun 2001 hingga 2007 relatif menurun I 0.00 Sumber : BPS Kota Bogor, (diolah). Gambar 5.5. Perkembangan Investasi Daerah Laju pertumbuhan investasi daerah sepanjang tahun 1993 hingga 2007 relatif berfluktuasi. Rata-rata pertumbuhan investasi daerah selama desentralisasi fiskal lebih besar dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Rata-rata pertumbuhan investasi daerah selama desentralisasi fiskal sebesar 3,24 persen sedangkan sebelum desentralisasi fiskal hanya sebesar -3,59 persen. Tabel 5.3. Pertumbuhan Investasi Daerah Kota Bogor Tahun Pertumbuhan Investasi Daerah (%) Rata-Rata Pertumbuhan Investasi Daerah (%) , , , ,09 Sebelum Desentralisasi Fiskal ,53-3, , , , , , , , , , ,95 Sumber : BPS Kota Bogor, (diolah). Selama Desentralisasi Fiskal 3,24

75 I Untuk melihat berbagai variabel yang mempengaruhi investasi daerah di Kota Bogor, maka dapat dilakukan pendugaan model investasi. Berdasarkan Tabel 5.4, investasi daerah Kota Bogor dipengaruhi secara signifikan oleh pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan pengeluaran pembangunan dan suku bunga pada taraf nyata 5 persen. Tabel 5.4. Model Dugaan Investasi Daerah Kota Bogor Variabel Penjelas Parameter Dugaan T-hitung Peluang α Intersep ,4 4,627 0,001 Pertumbuhan ekonomi 1672,548 2,310 0,046* Pertumbuhan Pengeluaran pembangunan 646,4223 3,035 0,014* Suku bunga riil ,21-2,515 0,033* Investasi tahun lalu 0, ,232 0,053 Dummy desentralisasi ,76-2,050 0,071 R 2 =0,843 R 2 -adj=0,756 F-hitung=9,675(0,002) DW=2,337 h=-0,737 Variabel investasi daerah didorong oleh pertumbuhan ekonomi dengan dugaan parameter sebesar 1672,548. Jika pertumbuhan ekonomi meningkat satu persen, maka investasi daerah akan meningkat sebesar 1672,548 juta rupiah. Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan investasi daerah yang cenderung positif (Gambar 5.6) Scatterplot of I vs G_PDRB G_PDRB Sumber : BPS Kota Bogor, (diolah). Gambar 5.6. Pola Hubungan antara Pertumbuhan PDRB (G_PDRB) dan Investasi Daerah (I)

76 I Variabel pertumbuhan pengeluaran pembangunan berpengaruh positif terhadap investasi Kota Bogor dengan nilai dugaan parameter sebesar 646,4223. Artinya investasi di Kota Bogor didorong oleh pertumbuhan pengeluaran pembangunan. Semakin meningkat pertumbuhan pengeluaran pembangunan maka investasi daerah akan semakin meningkat pula. Jika pengeluaran pembangunan pemerintah daerah meningkat satu persen, maka investasi daerah pun akan meningkat sebesar 646,4223 juta rupiah Scatterplot of I vs G_DE G_DE Sumber : BPS Kota Bogor, (diolah). Gambar 5.7. Pola Hubungan antara Pertumbuhan Pengeluaran Pembangunan (G_DE) dan Investasi Daerah (I) Suku bunga berpengaruh negatif dengan nilai dugaan sebesar 10777,21. Artinya, jika suku bunga meningkat sebesar satu persen, maka investasi daerah akan berkurang sebesar 10777,21 juta rupiah. Berdasarkan hasil regresi model dugaan investasi daerah, variabel investasi tahun lalu dan dummy desentralisasi tidak berpengaruh nyata terhadap investasi daerah. Hal tersebut diduga terjadi karena terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi keputusan investor untuk berinvestasi di Kota Bogor, seperti prosedur birokrasi yang relatif panjang, kondisi perekonomian daerah, potensi daerah, kondisi masyarakat dan lain sebagainya. Lokasi instansi pemerintah daerah yang tidak terpusat di suatu tempat

77 Juta Rupiah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan panjangnya birokrasi untuk berinvestasi di Kota Bogor. Oleh karena itu, pelaksanaan desentralisasi fiskal tidak berpengaruh nyata terhadap investasi daerah Pengeluaran Pemerintah Komponen ketiga dalam analisis kinerja ekonomi Kota Bogor adalah pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah yang dianalisis merupakan semua pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah sehubungan dengan kegiatan operasionalnya. Perkembangan pengeluaran pemerintah sepanjang tahun 1993 hingga 2007 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada awal desentralisasi fiskal, pengeluaran pemerintah mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan pengeluaran pemerintah ini sangat terkait dengan besarnya biaya penyelenggaraan pemerintahan daerah pada masa desentralisasi fiskal G Sumber : BPS Kota Bogor, (diolah). Gambar 5.8. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Laju pertumbuhan pengeluaran pemerintah sepanjang tahun 1993 hingga 2007 relatif berfluktuasi. Pada tahun 2001, pertumbuhan pengeluaran pemerintah meningkat pesat hingga sebesar 141,00 persen. Pertumbuhan pengeluaran

78 pemerintah selama desentralisasi fiskal pun meningkat setiap tahunnya. Rata-rata pertumbuhan pengeluaran pemerintah selama desentralisasi fiskal relatif lebih tinggi yaitu 25,79 persen sedangkan sebelum desentralisasi fiskal hanya sebesar 12,29 persen. Tabel 5.5. Pertumbuhan Pengeluaran Pengeluaran Pemerintah Tahun Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah (%) Rata-Rata Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah (%) , , , ,13 Sebelum Desentralisasi fiskal ,31 12, , , , , , , , , , ,56 Sumber : BPS Kota Bogor, (diolah). Selama Desentralisasi fiskal 25,79 Pengeluaran pemerintah yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah pengeluaran untuk konsumsi. Berbagai variabel diduga mempengaruhi pengeluaran pemerintah daerah, oleh karena itu dirumuskan sebuah model untuk menggambarkan kondisi pengeluaran pemerintah daerah. Pengeluaran pemerintah diduga dipengaruhi oleh PDRB, pendapatan asli daerah, inflasi dan dummy desentralisasi. Berdasarkan hasil regresi model dugaan pengeluaran pemerintah, variabel PDRB dan dummy desentralisasi berpengaruh signifikan terhadap pengeluaran pemerintah.

79 G Tabel 5.6. Model Dugaan Pengeluaran Pemerintah Daerah Kota Bogor Variabel Penjelas Parameter Dugaan T-hitung Peluang α Intersep -7617,882-0,398 0,699 PDRB 0, ,926 0,003* Pendapatan asli daerah -0, ,184 0,858 Inflasi -33, ,126 0,902 Dummy desentralisasi ,8 9,002 0,000* R 2 =0,977 R 2 -adj=0,967 F-hitung=104,962(0,000) DW=1,582 Variabel PDRB berpengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah dengan nilai dugaan parameter sebesar 0, Artinya, jika PDRB meningkat satu juta rupiah, maka pengeluaran pemerintah pun akan meningkat sebesar 0, juta rupiah. Pernyataan ini diperkuat dengan pola hubungan antara PDRB dan pengeluaran pemerintah yang cenderung positif (Gambar 5.9). Variabel dummy desentralisasi secara signifikan mempengaruhi pengeluaran pemerintah pada taraf kepercayaan 5 persen. Variabel dummy desentralisasi yang secara signifikan berpengaruh positif, artinya pengeluaran pemerintah semakin meningkat sejak diberlakukannya desentralisasi fiskal Scatterplot of G vs PDRB PDRB Sumber : BPS Kota Bogor, (diolah). Gambar 5.9. Pola Hubungan antara PDRB dan Pengeluaran Pemerintah (G) Variabel pendapatan asli daerah dan inflasi tidak berpengaruh nyata terhadap pengeluaran pemerintah daerah. Peningkatan PAD tidak berpengaruh

80 G terhadap pengeluaran pemerintah. Hal ini diduga terjadi karena keputusan pengeluaran pemerintah lebih dipengaruhi oleh kebutuhan daerah. Semakin meningkat kondisi perekonomian daerah maka kebutuhan daerah pun akan semakin meningkat. Oleh karena itu, pengeluaran pemerintah secara nyata dipengaruhi oleh PDRB Kota Bogor. Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan antara pendapatan asli daerah dan pengeluaran pemerintah yang cenderung tidak berpola dan acak (Gambar 5.10) sedangkan pola hubungan antara PDRB dan pengeluaran pemerintah cenderung positif (Gambar 5.9) Scatterplot of G vs LOR LOR Sumber : BPS Kota Bogor, (diolah). Gambar Pola Hubungan antara Pendapatan Asli Daerah (LOR) dan Pengeluaran Pemerintah (G) Selain itu, variabel inflasi tidak berpengaruh terhadap pengeluaran pemerintah. Hal ini diduga terjadi karena pengeluaran pemerintah daerah sebagian besar digunakan untuk pengeluaran rutin, terutama pengeluaran belanja pegawai. Oleh karena itu, walaupun inflasi daerah mengalami peningkatan atau penurunan, pengeluaran pemerintah akan tetap dilakukan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah.

81 Juta Rupiah 5.2. Pendapatan Daerah Kota Bogor Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan cerminan dari program-program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah selama periode waktu tertentu. APBD dijadikan sebagai acuan bagi pemerintah daerah dalam menyelenggarakan sistem pemerintahan. Pada masa desentralisasi fiskal, terjadi pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. pemerintah daerah diberi kewenangan untuk menyelenggarakan tugas daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal yang dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal ini ditegaskan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang keuangan daerah yang menyatakan bahwa penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dan DPRD dibiayai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sumber : BPS Kota Bogor, (diolah). Gambar Total Pendapatan Daerah Kota Bogor Tahun Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa total pendapatan daerah Kota Bogor sepanjang tahun 1993 hingga 2007 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal ( ) total pendapatan

82 Kota Bogor relatif rendah, yaitu di bawah ,00 juta rupiah. Total pendapatan daerah pada tahun 1993 sebesar ,17 juta rupiah dan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya hingga sebesar ,82 juta rupiah tahun Pelaksanaan desentralisasi fiskal merupakan penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menggali sumber-sumber penerimaan potensial yang ada di daerahnya. Pemberlakuan desentralisasi fiskal memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Untuk itu, dilaksanakan anggaran berbasis kinerja, yang menuntut pemerintah daerah untuk dapat membangun dan memajukan masyarakat atas kemampuannya sendiri dan berusaha mengatasi hambatan dan kelemahan yang dihadapi dalam menangkap dan memanfaatkan peluang yang tersedia. Berdasarkan prinsip tersebut, maka pemerintah daerah berusaha untuk mengoptimalkan pendapatan daerahnya berdasarkan potensi yang ada di daerah. Sejak pelaksanaan desentralisasi fiskal, total pendapatan daerah mengalami peningkatan yang sangat pesat. Pada tahun 2000, total pendapatan daerah hanya sebesar ,82 juta rupiah dan mengalami peningkatan hingga sebesar ,15 juta rupiah pada tahun Pada tahun 2001, pendapatan daerah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, yaitu sebesar 167,95 persen. Sejak tahun 2001, total pendapatan daerah Kota Bogor semakin meningkat dari tahun ke tahun. Total pendapatan daerah yang diperoleh Kota Bogor pada tahun 2002 sebesar ,15 juta rupiah dan terus meningkat hingga sebesar ,38 juta rupiah pada tahun 2007.

83 Juta Rupiah Perkembangan Komponen Pendapatan Daerah Kota Bogor Struktur APBD Kota Bogor terdiri atas dua bagian, yaitu : pendapatan daerah dan pengeluaran daerah. Berbagai sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang tercantum dalam pendapatan daerah, antara lain : sisa lebih APBD tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan dan pendapatan lainnya yang sah. PAD merupakan pendapatan yang diperoleh daerah berdasarkan sumber-sumber yang terdapat di wilayahnya. Komponen PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, laba usaha daerah dan lain-lain PAD yang sah. Dana perimbangan merupakan pendapatan daerah yang berasal dari APBN, terdiri dari dana bagi hasil dan dana transfer. Dana bagi hasil tersebut terdiri dari dana bagi hasil pajak dan bukan pajak sedangkan dana transfer yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penjumlahan dari dana alokasi umum dan dana alokasi khusus PAD SHR TRSF Sumber : BPS Kota Bogor ( ), diolah Gambar Perkembangan Komponen Pendapatan Daerah Kota Bogor Tahun Gambar 5.12 menunjukkan perkembangan PAD, dana bagi hasil dan dana transfer yang diperoleh Kota Bogor selama tahun 1993 hingga Ketiga

84 komponen tersebut rata-rata mengalami peningkatan setiap tahunnya, terutama sejak diberlakukannya desentralisasi fiskal. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal telah mendorong pendapatan daerah yang berasal dari PAD, dana bagi hasil dan dana transfer dengan proporsi yang berbeda pada setiap komponennya. Salah satu sumber pendapatan untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD) sepanjang tahun 1993 hingga 2000 mengalami fluktuasi (Gambar 5.12). Pada tahun 1993, PAD Kota Bogor sebesar ,51 juta rupiah dan terus meningkat hingga sebesar ,07 juta rupiah pada tahun Sejak tahun 1998 hingga 2000, jumlah PAD yang diperoleh Kota Bogor mengalami penurunan. Pendapatan PAD yang diperoleh pada tahun 1998 hanya sebesar ,60 juta rupiah dan terus menurun hingga sebesar ,46 juta rupiah pada tahun Pendapatan asli daerah yang diperoleh Kota Bogor tahun 2001 sebesar ,46 juta rupiah. Nilai PAD ini mengalami peningkatan cukup pesat jika dibandingkan tahun Sejak pemberlakuan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah memiliki keleluasaan untuk meningkatkan pendapatan daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal dimanfaatkan oleh pemerintah Kota Bogor untuk menetapkan sejumlah peraturan daerah guna meningkatkan pendapatan asli daerahnya. Pada awal desentralisasi fiskal, PAD Kota Bogor sebesar ,46 juta rupiah dan terus meningkat hingga ,13 juta rupiah pada tahun 2007.

85 Juta Rupiah Komponen PAD, baik sebelum atau selama penetapan desentralisasi fiskal, tidak mengalami banyak perubahan. Komponen pendapatan dari PAD terdiri dari empat, yaitu: pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah, dan lain-lain PAD yang sah (hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan, penjualan kendaraan bermotor, penjualan milik daerah lainnya dan jasa giro). Sepanjang tahun 1993 hingga 2007, pendapatan asli daerah (PAD) yang bersumber dari pajak daerah setiap tahunnya mengalami peningkatan, sedangkan retribusi daerah, bagian laba usaha daerah dan bagian lain-lain PAD yang sah mengalami fluktuasi (Gambar 5.13) Pajak Retribusi Laba BUMD Lain-lain PAD yang sah Sumber : BPS Kota Bogor, (diolah). Gambar Perkembangan Komponen Pendapatan Asli Daerah Kota Bogor Tahun PAD Kota Bogor sebagian besar bersumber dari pajak dan retribusi daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal, mendorong pemerintah daerah memanfaatkan kewenangan yang dimilikinya untuk menggali potensi daerah dalam bentuk pajak dan retribusi daerah. Pemerintah daerah memiliki keleluasaan dalam menentukan jenis dan besarnya pungutan pajak dan retribusi daerah serta mengelola perusahaan daerah. Kewenangan dalam menentukan jenis dan besarnya

ANALISIS KINERJA EKONOMI DAN POTENSI KEUANGAN DAERAH KOTA BOGOR SEBELUM DAN SELAMA DESENTRALISASI FISKAL OLEH DHINTA RACHMAWATI H

ANALISIS KINERJA EKONOMI DAN POTENSI KEUANGAN DAERAH KOTA BOGOR SEBELUM DAN SELAMA DESENTRALISASI FISKAL OLEH DHINTA RACHMAWATI H ANALISIS KINERJA EKONOMI DAN POTENSI KEUANGAN DAERAH KOTA BOGOR SEBELUM DAN SELAMA DESENTRALISASI FISKAL OLEH DHINTA RACHMAWATI H14053127 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pusat kepada pemerintah daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pusat kepada pemerintah daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Konsep dan Teori 2.1.1. Konsep dan Pengertian Desentralisasi Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dijelaskan mengenai

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk V. PEMBAHASAN 5.1. Kinerja Ekonomi Daerah Kota Magelang Adanya penerapan desentralisasi fiskal diharapkan dapat mendorong perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan

I. PENDAHULUAN. pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang berupaya meningkatkan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan taraf hidup ke arah yang lebih

Lebih terperinci

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAERAH DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN DAN KOTA PROVINSI JAWA BARAT

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAERAH DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN DAN KOTA PROVINSI JAWA BARAT DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAERAH DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN DAN KOTA PROVINSI JAWA BARAT OLEH ANDROS M P HASUGIAN H14101079 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun Data time series

III. METODE PENELITIAN. berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun Data time series III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun 2011. Data time series merupakan data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 butir 5, yang dimaksud dengan otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun di sektor swasta, hanya fungsinya berlainan (Soemitro, 1990).

BAB I PENDAHULUAN. maupun di sektor swasta, hanya fungsinya berlainan (Soemitro, 1990). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pajak erat sekali hubungannya dengan pembangunan, baik di sektor publik maupun di sektor swasta, hanya fungsinya berlainan (Soemitro, 1990). Pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Pengertian Pendapatan Asli Daerah Menurut Darise ( 2007 : 43 ), Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) adalah pendapatan yang diperoleh

Lebih terperinci

ANALISIS PENERIMAAN PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH DI KOTA BOGOR OLEH DIO HAKKI H

ANALISIS PENERIMAAN PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH DI KOTA BOGOR OLEH DIO HAKKI H ANALISIS PENERIMAAN PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH DI KOTA BOGOR OLEH DIO HAKKI H14103068 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengertian PAD dan penjabaran elemen-elemen yang terdapat dalam PAD.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengertian PAD dan penjabaran elemen-elemen yang terdapat dalam PAD. 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dijelaskan teori-teori yang berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), variabel-variabel yang diteliti serta penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Timbulnya pergerakan dan tuntutan-tuntutan praktek otonomi daerah menyebabkan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui potensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata baik materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 1999 telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Belanja Daerah Seluruh pendapatan daerah yang diperoleh baik dari daerahnya sendiri maupun bantuan dari pemerintah pusat akan digunakan untuk membiayai seluruh

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang mencakup segala bidang yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (Rusyadi, 2005).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Menurut Halim (2004:15-16) APBD adalah suatu anggaran daerah, dimana memiliki unsur-unsur

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAN POTENSI KEUANGAN KABUPATEN BOGOR. Oleh : ANNISA IRDHANIA H

ANALISIS DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAN POTENSI KEUANGAN KABUPATEN BOGOR. Oleh : ANNISA IRDHANIA H ANALISIS DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAN POTENSI KEUANGAN KABUPATEN BOGOR Oleh : ANNISA IRDHANIA H14050761 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.32 Tahun 2004 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pusat (sentralistik) telah menimbulkan kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa

BAB 1 PENDAHULUAN. pusat (sentralistik) telah menimbulkan kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat yaitu melalui pembangunan yang dilaksanakan secara merata. Pembangunan di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia mengacu pada Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di segala bidang, dan juga guna mencapai cita-cita bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat UUD RI Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Kabupaten Bekasi merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan perbaikan yang secara terus menerus menuju pada pencapaian tujuan yang diinginkan. Secara umum tujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN. Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN. Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN 2.1 LANDASAN TEORI 2.1.1 Stewardship Theory Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship Theory, Teori Stewardship menjelaskan mengenai situasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan daerah adalah komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan dan melancarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengembangan Wilayah Pada dasarnya pengembangan adalah proses dimana individu, kelompok, organisasi, institusi dan masyarakat meningkatkan kemampuannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua BAB II LANDASAN TEORI A. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pendapatan Asli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Otonomi Daerah Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-undang No.25 Tahun 2000 tentang Program. Pembangunan Nasional , bahwa program penataan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-undang No.25 Tahun 2000 tentang Program. Pembangunan Nasional , bahwa program penataan pengelolaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai dengan Undang-undang No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000-2004, bahwa program penataan pengelolaan keuangan daerah ditujukan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang Reformasi yang telah terjadi membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan yang sentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi berkelanjutan. Seluruh negara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Di dalam pembangunan ekonomi terutama pembangunan di daerah, peranan yang sangat penting dari keuangan daerah adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Timbulnya pergerakan dan tuntutan-tuntutan praktek otonomi daerah menyebabkan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur urusan pemerintahan sesuai dengan Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat.

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era reformasi saat ini, Pemerintah Indonesia telah mengubah sistem sentralisasi menjadi desentralisasi yang berarti pemerintah daerah dapat mengurus keuangannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variable Penelitian 2.1.1 Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, pendapatan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH DI KOTA DEPOK PADA ERA OTONOMI DAERAH OLEH DELLA PUTRI RAHDINAA H14104124 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dana Alokasi Umum (DAU) Diera otonomi daerah ini ternyata juga membawa perubahan pada pengelolaan keuangan daerah. Diantaranya dalam hal sumber-sumber penerimaan pemerintahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sistem pemerintahan daerah sangat erat kaitannya dengan otonomi daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem pemerintahan di Indonesia bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran daerah merupakan rencana keuangan daerah yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen anggaran daerah disebut

Lebih terperinci

2014 ANALISIS POTENSI PENERIMAAN PAJAK PENERANGAN JALAN DI KOTA BANDUNG TAHUN

2014 ANALISIS POTENSI PENERIMAAN PAJAK PENERANGAN JALAN DI KOTA BANDUNG TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat. Kesejahteraan kehidupan masyarakat dapat dicapai jika pembangunan

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PENERAPAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAN POTENSI KEUANGAN KOTA MAGELANG. Oleh: ERMA TRISTANTI H

ANALISIS DAMPAK PENERAPAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAN POTENSI KEUANGAN KOTA MAGELANG. Oleh: ERMA TRISTANTI H ANALISIS DAMPAK PENERAPAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAN POTENSI KEUANGAN KOTA MAGELANG Oleh: ERMA TRISTANTI H14080099 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang saat ini dalam masa pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dalam perkembangannya senantiasa memberikan dampak baik positif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator yang umumnya digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di dalam suatu daerah dengan ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (revisi dari UU no

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengembangan Wilayah Menurut Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya merupakan peningkatan nilai manfaat wilayah bagi masyarakat suatu wilayah tertentu, mampu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam Undang-undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Otonomi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam Undang-undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Otonomi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam Undang-undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LANDASAN TEORITIS 2.1.1 Alokasi Anggaran Belanja Modal Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap berwujud yang memberi manfaaat lebih dari satu tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan teori 2.1.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1.1 Pengertian APBD Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah dan APBD Menurut Mamesah (1995), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 10 BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Otonomi Daerah Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia tumbuh semakin pesat seiring dengan adanya otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah merupakan landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah di Indonesia, akan tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang ditetapkan dengan undang-undang telah membawa konsekuensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem pemerintahan daerah, baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru dengan dikeluarkannya Undangundang No.22 tahun 1999 dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari pulau-pulau atau dikenal dengan sebutan Negara Maritim. Yang mana dengan letak

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari pulau-pulau atau dikenal dengan sebutan Negara Maritim. Yang mana dengan letak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara, dimana kawasan daerahnya terdiri dari pulau-pulau atau dikenal dengan sebutan Negara Maritim. Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

KAJIAN KAPASITAS KABUPATEN SEMARANG DALAM MELAKUKAN PINJAMAN (STUDI KASUS : PEMDA DAN PDAM KABUPATEN SEMARANG) TUGAS AKHIR

KAJIAN KAPASITAS KABUPATEN SEMARANG DALAM MELAKUKAN PINJAMAN (STUDI KASUS : PEMDA DAN PDAM KABUPATEN SEMARANG) TUGAS AKHIR KAJIAN KAPASITAS KABUPATEN SEMARANG DALAM MELAKUKAN PINJAMAN (STUDI KASUS : PEMDA DAN PDAM KABUPATEN SEMARANG) TUGAS AKHIR Oleh: WIBYCA FUISYANUAR L2D 003 379 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas pemerintah secara profesional untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan nasional, Indonesia menganut

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan nasional, Indonesia menganut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan nasional, Indonesia menganut asas desentralisasi dengan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang melanda indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat ekonomi lemah berupa ketimpangan ekonomi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang BAB I PENDAHULIAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi daerah semakin meningkat. Ini dapat dibuktikan dengan jelas dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintahan suatu negara pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 18 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Derah dan Undang-Undang Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada tahun 1997 Pemerintah akhirnya mengeluarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kalau dilihat dari segi waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah melakukan reformasi di bidang Pemerintah Daerah dan Pengelolaan Keuangan pada tahun 1999. Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan ditetapkannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang berkaitan dengan Pendapatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang berkaitan dengan Pendapatan 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan juga jumlah kendaraan bermotor Kabupaten

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN RETRIBUSI DAERAH DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH ANDIKA BUDI RATWONO H

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN RETRIBUSI DAERAH DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH ANDIKA BUDI RATWONO H ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN RETRIBUSI DAERAH DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH ANDIKA BUDI RATWONO H14103901 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan daerah di Indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Kebijakan otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan

Lebih terperinci