BAB II LANDASAN TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Disruptive Behavior Disorders (DBD) Pengertian Disruptive Behavior Disorders Disruptive behavior disebut juga dengan perilaku yang tidak pantas atau inapproriate behaviors. Jika perilaku tersebut sering muncul, tidak hanya hubungan seorang anak dengan sesama temannya saja yang terganggu, melainkan dengan orang dewasa ikut terganggu pula (Matthys & Lochman, 2010). Sedangkan Schroeder & Gordon (2002) menyatakan, disruptive behavior adalah bentuk perilaku yang negatif seperti mengamuk, merengek atau menangis yang berlebihan, menuntut perhatian, tidak patuh, melawan, melakukan agresivitas yang dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain, mencuri, berbohong, merusak barang dan kenakalan (delinquency). Mengacu pada DSM-IV-TR (diagnostic and statistical manual of mental disorders fourth edition text revision), disruptive behavior disorders merupakan bentuk dari perilaku antisosial, yang terbagi menjadi dua kriteria yaitu conduct disorder (CD) dan oppositional defiant disorder (ODD). Dimana ODD dan CD, terpisah dengan attention deficit/hyperactivity disorder (AD/HD). Singkatnya, perilaku ODD tidak begitu parah dibandingkan CD, yang melakukan agresivitas pada orang atau hewan, merusak barang, mencuri atau menipu (Loeber, et al. dalam Mash & Wolfe, 2005; American Psychiatric Association, 2000). 9

2 10 Bentuk perilaku ODD menunjukkan sikap yang tidak pantas diusianya yang terjadi berulang-ulang, seperti keras kepala, bermusuhan dan melawan. Sementara perilaku CD, bentuk agresivitasnya sudah lebih parah yang terjadi berulang-ulang dan menetap, serta perilaku antisosialnya sudah membuat luka atau melanggar hak-hak orang lain, baik secara fisik, perkataan kasar, mencuri, atau melakukan kerusakan (Mash & Wolfe, 2005). Perbedaan yang mendasar antara ODD dengan CD bukan hanya dari tingkat keparahannya saja, melainkan juga dari perkembangan dan hirarki yang menghubungkan diantara keduanya, bahwa gejala ODD sering muncul sebelum berkembang menjadi CD yaitu sebelum masa pubertas pada anak laki-laki (Sutker & Adams, 2002). Ketika bentuk perilaku individu ada pada kedua kriteria untuk ODD dan CD, dalam hal ini dalam menentukan diagnosanya akan menjadi CD (American Psychiatric Association, 2000). Berdasarkan Mash & Wolfe (2005); Schroeder & Gordon (2002); Matthys & Lochman (2010); American Psychiatric Association (2000), kriteria diagnostik untuk perilaku ODD yang tertera di DSM adalah: merupakan bentuk perilaku yang negativistik, bermusuhan dan melawan setidaknya terjadi pada 6 bulan terakhir, kemudian gejala yang muncul bisa 4 atau lebih seperti: 1) sering mengamuk. 2) sering membantah dengan orang dewasa. 3) sering melawan atau menolak untuk menuruti permintaan atau aturan dari orang dewasa. 4) sering mengganggu orang lain sesuka hatinya.

3 11 5) sering menyalahkan orang lain atas kesalahan atau perilaku tidak pantas yang sudah dilakukannya. 6) sering tersinggung atau mudah terganggu dengan orang lain. 7) sering marah dan membenci. 8) sering iri hati atau membalas dendam. Adapun acuan kriteria diagnostik untuk perilaku CD seperti yang tertera di DSM yaitu: pola perilaku yang melanggar hak-hak dasar orang lain atau tidak sesuai dengan norma sosial untuk seusianya, yang terjadi berulang-ulang dan menetap, ditunjukkan dengan 3 gejala atau lebih pada 12 bulan yang lalu, setidaknya 1 gejala di 6 bulan terakhir diantaranya: 1) sering menggangu, mengancam, atau mengintimidasi orang lain. 2) sering memulai perkelahian fisik. 3) menggunakan senjata yang menyebabkan luka fisik serius seperti: dengan tongkat pemukul, batu bata, pecahan botol, pisau dan pistol. 4) melakukan kekejaman fisik pada orang lain. 5) melakukan kekejaman fisik pada hewan. 6) mencuri yang berhadapan dengan korbannya seperti: merampok, mengambil dompet, pemerasan dan menyamun. 7) memaksa seseorang melakukan aktivitas seksual. 8) membakar sesuatu yang menimbulkan kerusakan serius dengan tujuan mencari perhatian. 9) sengaja menghancurkan barang milik orang lain selain membakar. 10) merusak rumah orang lain, gedung atau mobil.

4 12 11) sering berbohong untuk mendapatkan barang atau meminta pertolongan atau menghindari kewajiban seperti menipu orang lain. 12) mencuri sesuatu yang tidak berharga tanpa menghadapi korbannya seperti mencuri di toko tetapi tanpa merusak atau menyelusup dan pemalsuan. 13) sering keluar rumah pada malam hari meskipun orang tua melarang, berawal sebelum usia 13 tahun. 14) melarikan diri dari rumah selama semalam setidaknya dua kali saat tinggal dengan orang tua atau di rumah sebagai pengganti orang tua, atau sekali tanpa pulang dalam waktu yang panjang. 15) sering bolos dari sekolah, berawal sebelum usia 13 tahun. Kemudian Frick et al. (dalam Schroeder & Gordon, 2002), membuat klasifikasi mengenai disruptive behavior menjadi dua dimensi yaitu: (1) covertovert dan (2) destructive-nondestructive. Supaya memudahkan untuk memahami hal tersebut, dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini: Destructive Covert Menghancurkan barang Mencuri Main api Merusak Berbohong Agresif Kejam Menyerang Berkelahi Menindas Kejam pada hewan Balas dendam Overt Sakit hati Bolos Penyalahgunaan obat Melarikan diri Bergadang Melawan Mengamuk Tidak patuh Berdebat Mengganggu orang lain Keras kepala Menentang orang dewasa Mudah tersinggung Marah Nondestructive Gambar 1. Klasifikasi Perilaku Disruptive

5 13 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa disruptive behavior disorders adalah bentuk perilaku negatif atau antisosial, dimana tindakan yang dilakukan sudah tidak sesuai dengan norma sosial, yang terjadi secara berulangulang dan menetap, akibatnya tidak hanya merugikan pada diri individu itu sendiri namun juga pada orang lain. Bahkan perilaku individu tersebut sudah melanggar hak-hak dasar orang lain dan sudah tidak pantas lagi untuk usianya Faktor-faktor Penyebab Disruptive Behavior Disorders Penyebab disruptive behavior disorders cukup beragam, akan tetapi Schroder & Gordon (2002) membaginya menjadi tiga faktor yaitu: 1) Faktor genetik atau biologis Penyebab disruptive behavior disorders dari faktor genetik menjadi dasar karakteristik seseorang atau predisposisi. Berdasarkan hasil penelitian terkini jika dilihat dari perbedaan jenis kelamin, dinyatakan bahwa anak laki-laki lebih disruptive dibandingkan anak perempuan. Aspek temperamen juga mengakibatkan perilaku disruptive diantaranya: regulasi emosi, reaktifitas yang intens (khususnya frustrasi), emosi negatif dan gampang marah, kemampuan dalam mengontrol diri, serta pendekatan yang tinggi atau lemah untuk menghindar (dapat memunculkan perilaku berisiko). Plomin (dalam Schroder & Gordon, 2002) menyimpulkan bahwa, komponen genetik cukup besar pengaruhnya pada orang dewasa yang memiliki perilaku antisosial dan kriminalitas. Namun Rutter et al. & Schmitz et al. (dalam Schroder & Gordon, 2002) membantah, dimana hubungan genetik lebih mungkin

6 14 ditemukan dalam kasus-kasus perilaku antisosial yang berlanjut sampai dewasa, sedangkan kasus-kasus yang mengalami penurunan perilaku antisosial pada usia tertentu lebih cenderung didasarkan oleh lingkungan. 2) Faktor keluarga Penyebab disruptive behavior disorders pada faktor keluarga, yaitu terkait degan disfungsi orang tua dalam mengasuh. Dalam hal ini ada beberapa hal yang mempengaruhinya yaitu: perlakuan orangtua (gaya pendisiplinan, kehangatan vs permusuhan, pengawasan terhadap anak), psikopatologi orangtua (seperti ibu yang depresi, gangguan kepribadian, penggunaan obat terlarang dan perilaku antisosial atau kriminal), perkawinan/orangtua yang disfungsi (seperti perceraian atau berpisah, konflik, kekerasan pada pasangan) dan konflik saudara kandung. 3) Faktor lingkungan Faktor lingkungan atau keadaan di sekitar seseorang yang terkait dengan status sosial ekonomi rendah atau kemiskinan, juga dapat menyebabkan disruptive behavior disorders sehingga memunculkan permasalahan perilaku antisosial. Status sosial ekonomi rendah yang terkombinasi dengan stres kronik, orangtua tunggal, isolasi sosial, kurangnya stimulasi dari lingkungan dan keterbatasan pengetahuan, dapat mengakibatkan gejala depresi pada ibu, yang berpengaruh terhadap perlakuan orangtua menjadi kurang baik. Selain itu lingkungan miskin juga cukup membahayakan bagi anak, dimana mereka sering melihat role model yang menampilkan kekerasan, penyalahgunaan obat terlarang dan bersekolah dengan keadaan yang memprihatinkan.

7 15 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa disruptive behavior disorders dapat disebabkan oleh faktor keluarga karena disfungsi orangtua dalam mengasuh, faktor genetik atau biologis meskipun mejadi predisposisi jika kasus perilaku antisosialnya berlanjut sampai dewasa, namun jika mengalami penurunan pada usia tertentu cenderung disebabkan oleh faktor lingkungan yang terkait dengan status sosial ekonomi rendah atau kemiskinan Agresivitas Pengertian Agresivitas Agresivitas adalah perilaku yang memiliki maksud untuk menyakiti seseorang baik secara fisik atau verbal (Myers, 2010). Adapun menurut Coccaro (2003) agresivitas sebuah perilaku yang berhubungan, dari mengamuk hingga melakukan tindakan kejahatan, termasuk marah, permusuhan, gampang marah dan impulsif. Kemudian Parke & Slaby (dalam Eisenberg, 2006) mengatakan, agresivitas merupakan perilaku yang memiliki maksud dapat merugikan atau melukai orang lain. Lebih luas Loeber (dalam Eisenberg, 2006) mendefinisikan agresivitas akan memunculkan perilaku antisosial, yang menyebabkan kerugian secara fisik atau mental, kerusakan barang atau hilang dan kemungkinan bisa menjurus ke arah yang kriminal dengan melanggar hukum. Sementara Collins Concise Dictionary (dalam Harding, 2006), agresivitas diartikan sebagai sebuah serangan, tindakan yang merugikan, aktivitas yang tidak sopan, permusuhan atau sikap mental yang dapat merusak. Begitu pula menurut VandenBos (dalam Marcus, 2007), agresivitas berdasarkan kamus psikologi

8 16 adalah perilaku yang menimbulkan kerugian, kerusakan atau mengalahkan orang lain. Selain itu Geen (dalam Russell, 2008) menjelaskan, agresivitas memberikan stimulus aversif dari satu orang ke yang lainnya, dengan maksud melukai dan berekspektasi setelah melukai membuat orang lain termotivasi untuk lolos atau menghindari stimulus. Selanjutnya Anderson & Bushman (dalam Russell, 2008) menyimpulkan bahwa agresivitas yaitu perilaku diarahkan pada orang lain yang dilakukan saat itu dengan maksud untuk melukai. Sebagai tambahan pelaku mempercayai kalau perilakunya akan melukai target dan si target menjadi termotivasi untuk menghindari perilaku tersebut. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa agresivitas adalah perilaku yang memiliki maksud untuk melukai dan menyakiti orang lain, baik secara fisik atau verbal sehingga menyebabkan kerugian dan kerusakan, bahkan dapat memunculkan perilaku antisosial. Dimana perilakunya juga memiliki tujuan untuk mengalahkan orang lain, membuat orang yang menjadi korbannya akan termotivasi untuk lolos dan menghindar Faktor-faktor yang Menyebabkan Agresivitas Menurut Baron & Branscombe (2012), ada empat faktor yang menyebabkan agresivitas diantaranya: 1) Faktor sosial (social) Agresivitas yang disebabkan oleh faktor sosial, dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu: frustrasi (frustration), provokasi langsung (direct provocation) dan kekerasan dalam media (media violence). Seseorang akan frustrasi saat ia tidak

9 17 mendapatkan, apa yang diinginkan atau seperti yang diharapkannya. Mengenai teori agresivitas yang disebabkan oleh frustrasi, Dollard et al. (dalam Baron & Branscombe, 2012) membaginya menjadi dua diantaranya: (a) frustrasi selalu mengarah ke salah satu bentuk agresivitas; dan (b) agresivitas selalu berasal dari adanya frustrasi. Namun kenyataan lain menunjukkan bahwa ketika seseorang frustrasi, ternyata tidak selalu merespon dengan melakukan agresivitas. Dimana respon yang terjadi bisa saja kesedihan, keputusasaan, atau depresi. Dalam hal ini frustrasi hanya salah satu hal penting, yang dapat menyebabkan agresivitas. Adapun provokasi langsung yang memiliki efek paling kuat terhadap agresivitas adalah saat orang lain merendahkan seseorang dengan ekspresi yang sombong atau menghina (Harris dalam Baron & Branscombe, 2012). Begitu pula dengan kritik yang kasar dan tidak sopan, terutama jika diarahkan pada diri seseorang daripada perilakunya (Baroon, dalam Baron & Branscombe, 2012). Selain itu candaan dengan pernyataan yang menyebutkan kekurangan dan kecacatan seseorang (Kowalski dalam Baron & Branscombe, 2012). Sementara itu munculnya agresivitas juga bisa disebabkan oleh kekerasan dalam media berupa film, televisi dan video games. Beberapa hasil penelitian dengan jelas menyatakan, semakin banyak film atau program televisi yang menampilkan kekerasan dan ditonton oleh anak-anak, maka tingkat agresivitasnya akan semakin tinggi ketika remaja atau dewasa sehingga memungkinkan mereka dapat ditahan karena tindak kejahatan. 2) Faktor budaya (cultural) Agresivitas yang disebabkan oleh faktor budaya, dipengaruhi oleh beberapa hal

10 18 yaitu: kehormatan pada budaya (cultures of honor), kecemburuan seksual (sexual jealousy) dan peran pada laki-laki (the male gender role). Beberapa norma disebuah negara memperbolehkan adanya agresivitas atas nama kehormatan. Sebagai contoh banyak tema film Barat yang lama dengan karakter, terpaksa menembak seseorang karena kehormatannya ternodai. Terlihat juga di film Asia, yang bercerita tentang perkelahian diantara pendekar untuk mengetahui siapa yang lebih hebat. Begitu pula dengan kecemburuan seksual yang terkait dengan perselingkuhan pada pasangan, memiliki proporsi yang besar terhadap agresivitas. Dimana kecemburuan merupakan emosi yang begitu kuat, dengan perasaan dihianati dan marah. Selain itu peran pada lakilaki, di negara manapun akan mengaitkan kejantanan dengan pertumbuhan yang optimal dan kematangan seksual. Dalam hal ini saat kejantanan seorang lelaki ditantang, ia lebih memilih untuk melakukan agresivitas. 3) Faktor pribadi (personal) Agresivitas yang disebabkan oleh faktor pribadi, dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu: keperibadian (personality), narsis (narcissism) dan perbedaan jenis kelamin (gender differences). Dalam hal ini jika seseorang memiliki kepribadian seperti berikut ini: (1) sangat kompetitif; (2) selalu dalam keadaan terburu-buru; (3) cepat sekali marah dan melakukan agresivitas. Gambaran kepribadian tersebut cenderung menunjukkan agresivitas lebih tinggi dibeberapa situasi dan melakukan hostile aggression yang bertujuan untuk melukai korbannya. Meskipun ada indikasi lain pula pada orang tersebut untuk melakukan instrumental aggression, yang bertujuan selain melukai korbannya,

11 19 juga berkeinginan untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai atau pujian dari orang lain dengan bersikap kasar. Selain itu orang yang memiliki sifat narsis yang tinggi, juga akan menunjukkan agresivitas yang tinggi. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Bushman et al. (dalam Baron & Branscombe, 2012), yang menyatakan bahwa bila seseorang setuju dengan pernyataan berikut: Jika saya mengatur dunia, maka dunia akan menjadi lebih baik dan Saya lebih bisa melakukan apapun dibanding orang lain. Reaksi yang berlebih seperti itu akan meningkatkan agresivitas saat egonya merasa terancam, apalagi saat orang lain meragukan dirinya, yang membuat harga dirinya menjadi terserang. Selain itu terkait perbedaan jenis kelamin, berdasarkan penelitian dilaporkan bahwa, agresivitas laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Agresivitas yang dilakukan laki-laki akan langsung ditujukan pada target, seperti menyerang dengan fisik, mendorong, melempar, berteriak dan menghina (Bogard et al.; Bjorkqvist et al. dalam Baron & Branscombe, 2012). 4) Faktor situasi (situational) Agresivitas yang disebabkan oleh faktor situasi, dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu: suhu (temperature) dan alkohol (alcohol). Terkait dengan suhu, dari beberapa hasil penelitian dilaporkan bahwa ada hubungan antara agresivitas dengan suhu yang panas (Anderson et al. dalam Baron & Branscombe, 2012). Selanjutnya mengkonsumsi alkohol, juga dapat meningkatkan agresivitas. Hal ini diperkuat dari beberapa eksperimen pada orang yang mengkonsumsi alkohol sehingga menjadi mabuk, ditemukan agresivitasnya menjadi lebih

12 20 tinggi dan membuatnya juga menjadi lebih mudah terprovokasi dibandingkan dengan orang yang tidak mengkonsumsi alkohol (Bushman et al. dalam Baron & Branscombe, 2012). Sementara Buss-Perry (dalam Demirtas, 2012) menyimpulkan ada empat faktor yang memunculkan agresivitas diantaranya: physical aggression (agresivitas fisik), anger (marah), hostility (permusuhan, kebencian) dan verbal aggression (agresivitas verbal). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa agresivitas dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya agresivitas fisik, marah, permusuhan dan agresivitas verbal. Dimana faktor-faktor tersebut dapat bersumber dari diri pribadi seseorang, sosial, budaya suatu negara dan situasi tertentu Agresivitas pada Masa Remaja Masa remaja merupakan masa transisi yang terkait dengan kepribadian, fisik, akademik dan sosial. Sebagian dari remaja mampu melewati masa transisi ini, meskipun adapula yang kesulitan. Transisi yang nyata pertama kali terlihat adalah, perubahan dengan keadaan sekolah. Dalam hal ini remaja mengalami transisi dari SD ke SMP dan lanjut ke SMA. Meskipun transisi dengan keadaan sekolah tidak secara khusus berpengaruh terhadap meningkatnya agresivitas, tetapi dari hasil penelitian menunjukkan terjadinya penurunan dalam tugas akademik, meningkatnya kebencian pada pengalaman di sekolah dan rendahnya harga diri (Wigfield et al. dalam Marcus, 2007). Namun pada saat remaja awal, gangguan pubertas sangat berpengaruh terhadap mood dan memungkinkan

13 21 agresivitas anak laki-laki menjadi meningkat karena hormon testosteronpun meningkat diusia tahun (Lee et al. dalam Marcus, 2007). Dari beberapa ulasan penelitian menyebutkan bahwa, kesulitan yang dialami pada masa remaja semakin meningkat dan adanya beberapa gangguan di dalam perkembangannya. Gangguan yang dialami yaitu: (1) konflik dengan orangtua, dimana remaja cenderung melawan dan menentang otoritas orang dewasa sehingga konflik menjadi meningkat, biasanya terjadi pada masa remaja awal; (2) gangguan mood, dimana emosi remaja cenderung berubah-ubah dibandingkan anak-anak atau orang dewasa sehingga frekuensi depresi mood juga meningkat, biasanya terjadi pada masa remaja pertengahan; dan (3) perilaku yang berisiko, dimana remaja kemungkinan menyebabkan gangguan di masyarakat dan berperilaku yang dapat melukai dirinya sendiri atau orang-orang di sekitarnya, biasanya terjadi pada masa remaja akhir (Arnet, dalam Marcus, 2007). Selain itu masa remaja biasanya lebih dikenal sebagai masa yang penuh risiko dan memungkinkan dapat memunculkan agresivitas yang tinggi. Hal ini diperkuat dari data yang diperoleh pada remaja yang usianya tahun, dimana 42% laki-laki dan 28% perempuan melakukan penyerangan secara fisik (USDHHS, dalam Marcus, 2007). Bahkan kematian diusia remaja antara tahun, yang disebabkan oleh pembunuhan menduduki urutan kedua jika dibandingkan dengan usia perkembangan lainnya (NCHS, dalam Marcus, 2007). Selain itu dari survey yang dilakukan tentang kejahatan, pada usia tahun menunjukkan hasil yang begitu tinggi karena menjadi korban kekerasan oleh kelompok diusianya (Snyder et al. dalam Marcus, 2007).

14 Anger Management Training (AMT) Pengertian Anger Management Training Anger management training merupakan pelatihan yang diberikan pada seseorang dengan tujuan agar ia mampu mengekspresikan marahnya dengan cara yang tepat sehingga membuat nyaman pada dirinya sendiri dan orang lain (Bhave & Saini, 2009). Sementara Gentry (2007) menyimpulkan, anger management training adalah suatu pelatihan untuk menangani permasalahan marah yang terkait dengan pikiran, sehingga membuat seseorang berespon dengan tepat akan perasaannya, bertanya dengan pertanyaan yang sesuai disaat marah, bagaimana menentukan pilihan ketika sedang marah dan mengambil tindakan atas konsekuensi perilaku yang telah membuatnya sakit hati. Sedangkan Gulbenkoglu & Hagiliassis (2006) membuat pengertian tentang anger management training ialah suatu pelatihan yang bukan memiliki tujuan untuk menghilangkan marah, karena marah merupakan emosi yang normal, melainkan dengan memberikan semangat pada seseorang agar mengelola marahnya dengan cara yang konstruktif dan efektif. Adapun Marcus (2007) menjelaskan, anger management training adalah pelatihan yang akan membantu seseorang mengenali isyarat dari tubuhnya disaat marah, menggunakan pernyataan diri yang positif dan belajar teknik-teknik mengurangi stres seperti menghitung mundur untuk mengontrol marahnya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa anger management training merupakan bentuk pelatihan yang bertujuan agar seseorang mampu menggunakan cara-cara yang konstruktif dan efektif dalam mengelola marahnya,

15 23 dengan mempelajari teknik-teknik yang dapat mengurangi stres sehingga ekspresi marahnya tersalurkan secara tepat Teknik-teknik dalam Anger Management Training Menurut Bhave & Saini (2009), ada empat belas teknik yang perlu dipelajari dalam anger management training diantaranya: 1) Menyebutkan sebuah mantra Dengan mengulang dan menyebutkan kata-kata yang menenangkan, efeknya dapat membawa kedamaian pada pikiran seperti: rileks, tetap tenang, lalu dikombinasikan dengan menarik napas yang dalam hingga dapat dirasakan emosi yang semakin bisa dikontrol. 2) Role playing Sebelumnya perlu sekali belajar memahami akan isyarat pada tubuh yang dapat menimbulkan marah, seperti wajah terasa menjadi panas, tangan menjadi dingin atau bergetar dan gagap saat berbicara. Kemudian gunakankanlah teknik yang dapat membantu diri, untuk mencegah timbulnya marah yang tidak terkontrol. Dalam hal ini jika merasa akan munculnya marah dalam perdebatan yang semakin memanas, lebih baik berhentilah dan keluarlah dari situasi itu. 3) Pergi menjauh ketika orang lain berteriak Maksudnya pada saat sedang marah, sebaiknya pergi keluar dari situasi tersebut dan duduklah sendiri untuk menenangkan diri. 4) Duduk di taman atau di bawah pohon yang memberikan efek ketenangan

16 24 Disaat diri sudah tenang dan sudah dapat berfikir secara rasional, setelah itu boleh kembali ke situasi sebelumnya. 5) Keluarkanlah kemarahan sebelum bertemu orang yang membuat marah Cara yang bisa dilakukan yaitu: (a) dengan membayangkan orang tersebut ada duduk dihadapan dan memberikan izin untuk mengatakan apapun yang diinginkan, karena hal ini dapat membuang rasa sakit kemarahan dan kebencian yang dirasakan; (b) boleh pula dengan menulis surat kemarahan dan menangis setelah membacanya sekali, karena hal ini dapat melepaskan beban yang dirasakan sehingga bila nantinya akan bertemu orang tersebut membuat diri dapat tetap tenang, sebab sudah mengeluarkan kemarahan pada waktu sebelumnya; (c) boleh juga dengan melakukan beberapa olahraga fisik seperti berlari, berenang, atau melakukan teknik relaksasi, mendengarkan musik sebelum pergi dan bertemu dengan orang atau situasi yang dapat menyebabkan marah. 6) Belajar untuk berdamai pada diri sendiri Hal-hal yang bisa dilakukan yaitu: menikmati apa saja yang sudah dimiliki, tidak perlu harus selalu bersama orang lain disetiap waktu, adakalanya perlu sendiri karena akan memberikan waktu dalam merefleksikan apapun yang membuat lebih menyadarkan diri dan memperbaikinya. Kemudian saat merasakan marah, cobalah untuk membayangkan bagaimana ganas dan jeleknya wajah yang tampak, apalagi jika sampai terlihat oleh orang yang disayangi. Saat sudah membayangkan bagaimana reaksi yang akan terjadi dengan tampilan diri yang negatif, maka cara itu akan membantu supaya lebih

17 25 tenang. Pada orang yang sangat kaku dan keras, ternyata membuat mereka akan lebih mudah marah. Oleh karena itu mereka perlu belajar untuk melepaskan ketegangan dan perasaan marah dengan bersikap tenang dan tertawa pada diri sendiri. 7) Lihat ke kaca pada saat marah untuk melihat wajah yang tidak menyenangkan 8) Memperbaiki pengaturan waktu Dalam hal ini janganlah mengatur jadwal dan batas akhir pengumpulan yang tidak realistik atau menunda-nunda untuk diri sendiri dan orang lain. Kemudian usahakanlah untuk melakukan banyak hal pada waktu yang sedikit dan menghindari stres karena hal itu dapat memicu marah. 9) Mencoba dengan gaya hidup yang sehat Memakan makanan yang sehat, rutin berolahraga dan istirahat yang cukup. 10) Belajar untuk berpikir dan mengekspresikan emosi yang positif Perlu disadari, kalau manusia memiliki kesalahan. Kemudian cobalah belajar untuk menerima dan menyadari, kalau diri sendiri juga bisa salah dan akuilah itu. Pada beberapa situasi marah, seseorang mampu meminta maaf dengan setulus hati, begitu pula dengan diri sendiri yang harus bisa pula untuk meminta maaf pada orang lain. Dimana memaafkan juga merupakan alat yang dapat mengurangi marah, meningkatkan harga diri dan memiliki harapan untuk ke depannya (Enright, dalam Bhave & Saini, 2009). 11) Bertindak seperti orang dewasa yang matang dan bertanggung jawab Kemarahan banyak menghancurkan pernikahan. Daripada berkelahi, Mace et al. (dalam Bhave & Saini, 2009) menyarankan, agar mengakui kemarahan,

18 26 kemudian kontrollah atau ringankanlah, lalu mintalah pada pasangan untuk membantu dalam menguraikan apa yang sudah dilakukan keduanya dan peduli terhadap tindakan pasangan yang sudah dilakukan pada situasi tersebut, yang berakhir dengan kesepakatan bersama. 12) Belajar untuk meminta maaf dan memaafkan Ada beberapa hal yang perlu dilakukan yaitu: (a) cobalah untuk melihat situasi dari perspektif orang lain ketika merasakan marah; (b) ingatlah bahwa setiap orang punya kesalahan dan hal itu merupakan proses bagi seseorang untuk belajar memperbaikinya; (c) temukan sebuah role model dari seseorang yang telah mampu menangani permasalahan terhadap keadaan yang sulit dengan kehidupan yang tenang dan bahagia, dengan menemukan cara yang dilakukannya untuk diterapkan pada diri sendiri; (d) ingatlah bahwa apapun yang ada pada dirimu dapat merubah dirimu dan responmu pada orang lain, yang memungkinkan juga dapat merubah respon orang lain pada dirimu. Dimana marah tidak menyelesaikan terhadap situasi tertentu, justru berakibat sakit yang akan berpengaruh pada diri sendiri; (e) saat seseorang menyakiti atau salah dan merasa menyesal, tidak ada salahnya untuk dimaafkan. Menurut Ohbuchi et al. dalam Bhave & Saini (2009), menerima maaf dapat mengurangi agresivitas dan memperbaiki kesan terhadap orang yang memaafkan. Bahkan Holmes, dalam Bhave & Saini (2009) mengatakan, permohonan maaf yang tulus sangat efektif untuk mengurangi marah; (f) tidak perlu berteriak dan bersuara keras, karena seseorang akan menjadi asertif dan mau mengatakan alasan perilakunya yang telah mengganggu; (g)

19 27 komunikasi yang keliru dapat menyebabkan banyak kesalahpahaman; (h) jika berdiskusi dengan tenang, maka memungkinkan untuk mendapatkan pemecahan masalah karena tidak berespon marah. 13) Menghindari konflik Sebelum mengatakan yang tidak pantas berpikirlah apakah hal itu akan menyelesaikan masalah atau memperkeruh dan janganlah sampai mengamuk atau berkelahi saat menyatakan kritik, kekecewaan, marah atau tidak senang. 14) Jangan marah selama diskusi atau berdebat Mencoba mengubah marah dan irrational thought, dengan cara yang lebih rasional dan pikiran yang tenang. Dimana pada anger management training termasuk di dalamnya: conceptual reframing atau cognitive restructuring, mengidentifikasi stimulus penyebab dan pelatihan relaksasi yang berguna untuk mengurangi ketegangan fisik akibat marah sehingga tidak menjadi agresivitas. Kemudian gunakanlah pernyataan yang mengekspresikan perasaan, daripada pernyataan yang menyalahkan orang lain. Contohnya katakanlah: Aku kecewa karena sudah menjaga kamarku tetap bersih tapi kau berantakin, karena aku capek membersihkannya. Daripada mengatakan: Kau sangat jorok atau kau selalu membuat kamarku berantakan. Selain itu cobalah menerima setiap orang tidak seperti dirimu, tak ubahnya dirimu tidak akan sama seperti orang yang dijumpai. Maksudnya jika tidak memaksakan semua orang di sekitar akan menyetujui seperti yang diinginkan, maka seseorang tidak akan kecewa dan marah saat ada beberapa orang lain yang tidak suka dengannya.

20 Efektivitas Anger Management Training untuk Menurunkan Agresivitas pada Remaja Disrutive Behavior Disorders Mengacu pada DSM-IV-TR, disruptive behavior disorders merupakan bentuk dari perilaku antisosial, yang terbagi menjadi dua kriteria yaitu conduct disorder (CD) dan oppositional defiant disorder (ODD). Dalam hal ini remaja yang disruptive dengan sengaja melanggar peraturan seperti mencuri, merusak barang-barang, atau menyerang (American Academy of Pediatrics, 2010). Perilaku disruptive merupakan bentuk ekspresi marah yang negatif dan tidak sehat, karena sudah memunculkan agresivitas (Bhave & Saini, 2009). Dimana agresivitas merupakan perilaku yang memiliki maksud untuk menyakiti seseorang baik secara fisik atau verbal (Myers, 2010). Akibatnya yang terjadi setelah itu, remaja tersebut bisa saja akan ditangkap atau dipenjara, mengalami luka fisik, membalas dendam, kehilangan orang yang disayang, merasa bersalah, menjadi malu atau menyesal (Reilly & Shopshire, 2002). Dikarenakan remaja yang berperilaku disruptive tidak hanya akan membahayakan bagi dirinya sendiri, tetapi juga terhadap orang lain. Maka untuk mengatasi permasalahan tersebut, penanganan dan pencegahan terhadap remaja disruptive sangat perlu dilakukan. Salah satu intervensi psikososial yang sangat disarankan yaitu dengan mengontrol marah (American Academy of Pediatrics, 2010), atau disebut juga dengan anger management karena merupakan cara terbaik dalam mengekspresikan marah secara positif (Bhave & Saini, 2009). Anger management training (AMT) merupakan program yang bertujuan untuk mencegah risiko kekerasan khususnya agresivitas pada remaja dan didesain

21 29 untuk membantu mengurangi intensitas dan durasi emosi marah (Marcus, 2007). Dalam hal ini AMT bukanlah terapi, melainkan salah satu bentuk intervensi psikoedukasi yang manfaatnya dapat menghasilkan potensi untuk perubahan perilaku dengan meningkatkan pengetahuan, menyediakan perspektif baru, memberikan klien kesempatan untuk belajar (Anderson, et al. dalam Thomas, 2001), dan berlatih teknik-teknik mengontrol marah (Bhave & Saini, 2009). Secara singkat kerangka teoritis penelitian, ada pada gambar 2 di bawah ini: Anger Management Training (AMT): Psikoedukasi dengan belajar teknikteknik mengontrol marah Marah diekspresikan secara positif atau terkontrol Remaja disruptive behavior disorders (DBD): oppositional defiant disorder (ODD) conduct disorder (CD) Agresivitas menurun Mengekspresikan marah secara negatif Memunculkan agresivitas: fisik verbal Mendapat konsekuensi negatif Gambar 2. Kerangka Teoritis Penelitian 2.5. Hipotesis Hipotesis yang ditetapkan berdasarkan kerangka teoritis penelitian ini adalah sebagai berikut: Ho = Tidak ada penurunan agresivitas pada remaja disruptive behavior disorders sesudah mendapatkan intervensi anger management training. Ha = Ada penurunan agresivitas pada remaja disruptive behavior disorders sesudah mendapatkan intervensi anger management training.

BAB I PENDAHULUAN. terancam atau dapat merugikan dirinya sendiri, hal itupun merupakan reaksi yang. (Bhave & Saini, 2009; Reilly & Shopshire, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. terancam atau dapat merugikan dirinya sendiri, hal itupun merupakan reaksi yang. (Bhave & Saini, 2009; Reilly & Shopshire, 2002). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap orang pernah merasakan marah, karena marah itu adalah reaksi yang normal dan alami. Seseorang juga mungkin akan marah ketika sedang frustrasi karena

Lebih terperinci

Pedologi. Gangguan Perilaku dan Perkembangan Perilaku Antisosial. Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

Pedologi. Gangguan Perilaku dan Perkembangan Perilaku Antisosial. Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi Modul ke: Pedologi Gangguan Perilaku dan Perkembangan Perilaku Antisosial Fakultas PSIKOLOGI Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id GANGGUAN TINGKAH LAKU (Conduct Disorder)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN A. Pengertian Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-objek

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-objek BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agresi 2.1.1 Definisi Agresivitas adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun mental (Aziz & Mangestuti, 2006). Perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekerasan yang terjadi saat ini sangat memprihatinkan, salah satunya adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari Komnas Perlindungan anak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode untuk mendisiplinkan anak. Cara ini menjadi bagian penting karena terkadang menolak untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan

BAB II TINJAUAN TEORI. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak kriminalitas dilakukan oleh remaja (Republika, 2 0 0 5 ). Tindak kriminal yang dilakukan oleh remaja sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam masyarakat, seorang remaja merupakan calon penerus bangsa, yang memiliki potensi besar dengan tingkat produktivitas yang tinggi dalam bidang yang mereka geluti

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara

BAB 2 LANDASAN TEORI. terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara BAB 2 LANDASAN TEORI 2. 1. Self-Control 2. 1. 1. Definisi Self-control Self-control adalah tenaga kontrol atas diri, oleh dirinya sendiri. Selfcontrol terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011), 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja awal merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar antara 13 sampai 16 tahun atau yang biasa disebut dengan usia belasan yang tidak menyenangkan, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap perkembangan yang harus dilewati. Perkembangan tersebut dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang berbeda-beda, diantaranya faktor genetik, biologis, psikis dan sosial. Pada setiap pertumbuhan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya yang semuanya menyebabkan tersingkirnya rasa

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya yang semuanya menyebabkan tersingkirnya rasa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena akhir-akhir ini sangatlah memprihatinkan, karena kecenderungan merosotnya moral bangsa hampir diseluruh dunia. Krisis moral ini dilanjutkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung pendidikan sepanjang hayat adalah diakuinya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). PAUD adalah pendidikan

Lebih terperinci

Kalender Doa Agustus 2015 Berdoa Bagi Wanita Korban Kekerasan Rumah Tangga

Kalender Doa Agustus 2015 Berdoa Bagi Wanita Korban Kekerasan Rumah Tangga Kalender Doa Agustus 2015 Berdoa Bagi Wanita Korban Kekerasan Rumah Tangga Suami Rosa biasa memukulinya. Ia memiliki dua anak dan mereka tidak berani berdiri di hadapan ayahnya karena mereka takut akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress (santrock, 2007 : 200). Masa remaja adalah masa pergolakan yang dipenuhi oleh konflik dan

Lebih terperinci

BAB IV PERBANDINGAN PEMIKIRAN ABDULLAH NASHIH ULWAN DAN B.F. SKINNER SERTA RELEVANSI PEMIKIRAN KEDUA TOKOH TERSEBUT TENTANG HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN

BAB IV PERBANDINGAN PEMIKIRAN ABDULLAH NASHIH ULWAN DAN B.F. SKINNER SERTA RELEVANSI PEMIKIRAN KEDUA TOKOH TERSEBUT TENTANG HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN BAB IV PERBANDINGAN PEMIKIRAN ABDULLAH NASHIH ULWAN DAN B.F. SKINNER SERTA RELEVANSI PEMIKIRAN KEDUA TOKOH TERSEBUT TENTANG HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN A. Perbandingan Pemikiran Abdullah Nashih Ulwan dan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hari Minggu tanggal 29 April 2007 seorang siswa kelas 1 (sebut saja A) SMA swasta di bilangan Jakarta Selatan dianiaya oleh beberapa orang kakak kelasnya. Penganiayaan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR. orang lain maupun lingkungan (Townsend, 1998). orang lain, dan lingkungan (Stuart dan Sundeen, 1998).

BAB II KONSEP DASAR. orang lain maupun lingkungan (Townsend, 1998). orang lain, dan lingkungan (Stuart dan Sundeen, 1998). BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kasus penggunaan narkoba pada remaja sudah sering dijumpai di berbagai media. Maraknya remaja yang terlibat dalam masalah ini menunjukkan bahwa pada fase ini

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. Sampel peneliti terbagi dalam 2 kelompok yaitu gamers DotA dan gamers

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. Sampel peneliti terbagi dalam 2 kelompok yaitu gamers DotA dan gamers BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Simpulan Sampel peneliti terbagi dalam 2 kelompok yaitu gamers DotA dan gamers Ragnarok Online. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat perbedaan tingkat

Lebih terperinci

Memahami dan Mencegah Terjadinya Kekerasan di Sekolah

Memahami dan Mencegah Terjadinya Kekerasan di Sekolah Memahami dan Mencegah Terjadinya Kekerasan di Sekolah (School Violence) Oleh : Nandang Rusmana Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan di Sekolah Faktor psikologis (hiperaktivitas, konsentrasi terhadap masalah,

Lebih terperinci

INFORMASI PERKEMBANGAN ANAK (Diisi oleh Orang tua)

INFORMASI PERKEMBANGAN ANAK (Diisi oleh Orang tua) INFORMASI PERKEMBANGAN ANAK (Diisi oleh Orang tua) Petunjuk: Isilah daftar berikut pada kolom yang tersedia sesuai dengan kondisi anak yang sebenarnya. Jika ada yang kurang jelas, konsultasikan kepada

Lebih terperinci

TIME OUT : ALTERNATIF MODIVIKASI PERILAKU DALAM PENANGANAN ANAK ADHD (ATTENTION DEFICIT/HYPERACTIVITY DISORDER)

TIME OUT : ALTERNATIF MODIVIKASI PERILAKU DALAM PENANGANAN ANAK ADHD (ATTENTION DEFICIT/HYPERACTIVITY DISORDER) TIME OUT : ALTERNATIF MODIVIKASI PERILAKU DALAM PENANGANAN ANAK ADHD (ATTENTION DEFICIT/HYPERACTIVITY DISORDER) SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh

Lebih terperinci

Kenakalan Remaja Ditinjau dari Tempat Tinggal Padat Penduduk. : Andri Sudjiyanto

Kenakalan Remaja Ditinjau dari Tempat Tinggal Padat Penduduk. : Andri Sudjiyanto Kenakalan Remaja Ditinjau dari Tempat Tinggal Padat Penduduk Nama Fakultas Jurusan Universitas Dosen Pembimbing : Andri Sudjiyanto : Psikologi : Psikologi : Universitas Gunadarma : Dr Eko Djuniarto,MPsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengalaman Memaafkan. kebanyakan berfokus pada memaafkan sebagai proses dengan individu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengalaman Memaafkan. kebanyakan berfokus pada memaafkan sebagai proses dengan individu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengalaman Memaafkan 1. Definisi Pengalaman Memaafkan Memaafkan merupakan sebuah konsep dimana terdapat pelaku dan korban yang berada dalam sebuah konflik dan sedang berusaha

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial BAB II TINJAUAN TEORI A. Kenakalan Remaja 1. Pengertian Kenakalan Remaja Kenakalan remaja (juvenile delinquency) mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara

Lebih terperinci

AGRESI MODUL PSIKOLOGI SOSIAL I. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

AGRESI MODUL PSIKOLOGI SOSIAL I. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh MODUL PSIKOLOGI SOSIAL I AGRESI Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Fakultas Psikologi Psikologi 13 61016 Abstract Materi tentang pengertian agresi, teoriteori dan cara menguranginya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Remaja Akhir 1. Batasan Usia Remaja Akhir Hurlock (dalam Yusuf, 2000) membagi masa akhir dalam rentang usia 17-21 tahun. Steinberg (2002) mengatakan fase remaja akhir dimulai

Lebih terperinci

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017 BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017 oleh: Dr. Rohmani Nur Indah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Angket 1: Beri tanda berdasarkan pengalaman anda di masa kecil A. Apakah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perih, mengiris dan melukai hati disebut unforgiveness. Seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. perih, mengiris dan melukai hati disebut unforgiveness. Seseorang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Membuat perubahan hidup positif adalah sebuah proses multi tahapan yang dapat menjadi kompleks dan menantang. Pengalaman emosi marah, benci, dan kesedihan yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. langsung maupun tidak langsung seperti pada media massa dan media cetak. Seorang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. langsung maupun tidak langsung seperti pada media massa dan media cetak. Seorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agresivitas bukan merupakan hal yang sulit ditemukan di dalam kehidupan masyarakat. Setiap hari masyarakat disuguhkan tontonan kekerasan, baik secara langsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seseorang, dimana pada masa ini terjadi banyak perubahan, baik perubahan

BAB I PENDAHULUAN. seseorang, dimana pada masa ini terjadi banyak perubahan, baik perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masa remaja merupakan masa yang kritis dalam siklus perkembangan seseorang, dimana pada masa ini terjadi banyak perubahan, baik perubahan biologis, psikologis

Lebih terperinci

S A N T I E. P U R N A M A S A R I U M B Y

S A N T I E. P U R N A M A S A R I U M B Y PERKEMBANGAN SOSIAL : KELUARGA S A N T I E. P U R N A M A S A R I U M B Y PENGANTAR Keluarga adalah tempat dan sumber perkembangan sosial awal pada anak Apabila interaksi yang terjadi bersifat intens maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut hasil survey yang dilakukan oleh peneliti, di PAUD X Bandung,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut hasil survey yang dilakukan oleh peneliti, di PAUD X Bandung, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Menurut hasil survey yang dilakukan oleh peneliti, di PAUD X Bandung, terdapat beberapa ibu yang memiliki anak berusia 5 tahun yang masih mengalami temper tantrum.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. Gangguan harga diri rendah digambarkan sebagai perasaan yang negatif

BAB II TINJAUAN TEORI. Gangguan harga diri rendah digambarkan sebagai perasaan yang negatif BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Gangguan harga diri rendah digambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Hurlock (2004: 206) menyatakan bahwa Secara psikologis masa remaja adalah

Lebih terperinci

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yenny, M.Psi. Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yenny, M.Psi. Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Pedologi Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga Fakultas Psikologi Yenny, M.Psi. Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Tipe-tipe Penganiayaan terhadap Anak Penganiayaan

Lebih terperinci

MENGELOLA STRESS DAN MENGENDALIKAN EMOSI. dr Gunawan Setiadi Tirto Jiwo, Pusat Pemulihan dan Pelatihan Gangguan Jiwa

MENGELOLA STRESS DAN MENGENDALIKAN EMOSI. dr Gunawan Setiadi Tirto Jiwo, Pusat Pemulihan dan Pelatihan Gangguan Jiwa MENGELOLA STRESS DAN MENGENDALIKAN EMOSI dr Gunawan Setiadi Tirto Jiwo, Pusat Pemulihan dan Pelatihan Gangguan Jiwa STRESS Segala kejadian (masa lalu/ masa datang) yang menimbulkan perasaan tidak enak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Stuttering. (1994) istilah stuttering digolongkan ke dalam kategori diagnosa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Stuttering. (1994) istilah stuttering digolongkan ke dalam kategori diagnosa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stuttering 1. Definisi Stuttering Menurut Diagnostic and Statistical Manual IV atau DSM IV (1994) istilah stuttering digolongkan ke dalam kategori diagnosa gangguan komunikasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penggemarnya amat luas. Jika kita bicara di era globalisasi sepak bola,

BAB I PENDAHULUAN. penggemarnya amat luas. Jika kita bicara di era globalisasi sepak bola, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sepak bola merupakan salah satu cabang olahraga yang penggemarnya amat luas. Jika kita bicara di era globalisasi sepak bola, maka globalisasi yang paling sukses disepanjang

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR. Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan

BAB II KONSEP DASAR. Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan menganalisis seberapa sesuai perilaku dirinya dengan ideal diri. ( Yosep, 2007 ). Harga

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu BAB II LANDASAN TEORI A. Sibling Rivalry 1. Pengertian Sibling Rivalry Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu keluarga yang sama, teristimewa untuk memperoleh afeksi atau

Lebih terperinci

Pedologi. Review Seluruh Materi. Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi.

Pedologi. Review Seluruh Materi. Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi. Pedologi Modul ke: Review Seluruh Materi Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog Fakultas PSIKOLOGI Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id RETARDASI MENTAL Retardasi mental (mental retardation) adalah keterlambatan

Lebih terperinci

Hubungan Remaja dengan Orangtua,Saudara kandung & Teman Sebaya

Hubungan Remaja dengan Orangtua,Saudara kandung & Teman Sebaya Hubungan Remaja dengan Orangtua,Saudara kandung & Teman Sebaya Remaja, Orang tua, dan Keluarga Remaja dan Orang tua pada masa remaja, sering terjadi ketegangan / tekanan dalam diri remaja karena ingin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja BAB I PENDAHALUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja adalah fase kedua dalam kehidupan setelah fase anak-anak. Fase remaja disebut fase peralihan atau transisi karena pada fase ini belum memperoleh status

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai kesimpulan, diskusi dan saran. Kesimpulan dalam penelitian ini berisi gambaran sibling rivalry pada anak ADHD dan saudara kandungnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi perubahan pertumbuhan dan perkembangan. Masa remaja mengalami perubahan meliputi perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Masalah Remaja dipandang sebagai periode perubahan, baik dalam hal fisik, minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Perilaku Agresif 2.1.1. Pengertian Perilaku Agresif Perasaan kecewa, emosi, amarah dan sebagainya dapat memicu munculnya perilaku agresif pada individu. Pemicu yang umum dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) adalah merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) adalah merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) adalah merupakan bagian yang terintegrasi dari sistem pertahanan nasional Indonesia. Sejak kelahirannya, TNI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gian Sugiana Sugara, Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. Gian Sugiana Sugara, Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Emosi adalah bagian terpenting dari manusia serta merupakan aspek perkembangan yang terdapat pada setiap manusia. Karena emosi, individu mampu untuk merasakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan anak yang berbeda-beda. Begitu pula dengan pendidikan dan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan anak yang berbeda-beda. Begitu pula dengan pendidikan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penanganan untuk anak berkebutuhan khusus menjadi suatu tantangan tersendiri bagi penyelenggara pendidikan luar biasa mengingat karakteristik dan kebutuhan anak yang

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal HARGA DIRI PADA WANITA DEWASA AWAL MENIKAH YANG BERSELINGKUH KARTIKA SARI Program Sarjana, Universitas Gunadarma Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran harga diri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk berpikir, kemampuan afektif merupakan respon syaraf simpatetik atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk berpikir, kemampuan afektif merupakan respon syaraf simpatetik atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia mempunyai tiga kemampuan yaitu kemampuan kognitif, afektif, dan perilaku. Kemampuan kognitif merupakan respon perseptual atau kemampuan untuk berpikir,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dunia pendidikan Indonesia saat ini kembali tercoreng dengan adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh para siswanya, khususnya siswa Sekolah Menengah

Lebih terperinci

BAB XVIII. Kekerasan terhadap perempuan. Kisah Laura dan Luis. Mengapa laki-laki melakukan kekerasan pada perempuan? Jenis kekerasan pada perempuan

BAB XVIII. Kekerasan terhadap perempuan. Kisah Laura dan Luis. Mengapa laki-laki melakukan kekerasan pada perempuan? Jenis kekerasan pada perempuan BAB XVIII Kekerasan terhadap perempuan Kisah Laura dan Luis Mengapa laki-laki melakukan kekerasan pada perempuan? Jenis kekerasan pada perempuan Tanda-tanda yang harus diwaspadai Siklus kekerasan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap pasangan. Saling setia dan tidak terpisahkan merupakan salah satu syarat agar tercipta keluarga

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Gelar Sarjana S-1 Psikologi Oleh : Nina Prasetyowati F

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di sekolah sebagian besar dari anak-anak berhasil beradaptasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Di sekolah sebagian besar dari anak-anak berhasil beradaptasi dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di sekolah sebagian besar dari anak-anak berhasil beradaptasi dengan orang lain dan lingkungan baru secara baik. Namun hampir di setiap kelas terdapat satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock,

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Adolescence (remaja) merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia, karena masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia yang menghubungkan

Lebih terperinci

Orang lain menganggap dia jauh, menyendiri, dan tidak bisa terikat dengan orang lain

Orang lain menganggap dia jauh, menyendiri, dan tidak bisa terikat dengan orang lain Schizoid Orang dengan gangguan kepribadian Schizoid menghindari hubungan dengan orang lain dan tidak menunjukkan banyak emosi. Tidak seperti avoidants, schizoids benarbenar lebih suka menyendiri dan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Attention Deficit Hiperactivity Disorder (ADHD) merupakan suatu gangguan perkembangan yang mengakibatkan ketidakmampuan mengatur perilaku, khususnya untuk mengantisipasi

Lebih terperinci

BULLYING. I. Pendahuluan

BULLYING. I. Pendahuluan BULLYING I. Pendahuluan Komitmen pengakuan dan perlindungan terhadap hak atas anak telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dirasakan sebagai ancaman (Nurjannah dkk, 2004). keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan ke lingkungan, kedalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dirasakan sebagai ancaman (Nurjannah dkk, 2004). keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan ke lingkungan, kedalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perilaku kekerasan merupakan salah satu yang diekspresikan dengan melakukan ancaman, menciderai orang lain ataupun merusak lingkungan (Keliat dkk, 2011). Kemarahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memasuki masa dewasa (Rumini, 2000). Berdasarkan World Health. Organization (WHO) (2010), masa remaja berlangsung antara usia 10-20

BAB I PENDAHULUAN. memasuki masa dewasa (Rumini, 2000). Berdasarkan World Health. Organization (WHO) (2010), masa remaja berlangsung antara usia 10-20 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek atau fungsi untuk memasuki masa dewasa (Rumini, 2000).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami perubahan dari masa kanak kanak menuju masa dewasa perubahan ini terjadi diantara usia 13 dan 20 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti melahirkan anak, merawat anak, menyelesaikan suatu permasalahan, dan saling peduli antar anggotanya.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 2.1 Pengertian Perilaku Asertif Perilaku assertif adalah perilaku antar perorangan yang melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan pikiran dan perasaan. Perilaku assertif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terhadap orang lain, khususnya terhadap lawan jenis. Perasaan saling mencintai,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terhadap orang lain, khususnya terhadap lawan jenis. Perasaan saling mencintai, BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cinta adalah sebuah perasaan natural yang dirasakan oleh seseorang terhadap orang lain, khususnya terhadap lawan jenis. Perasaan saling mencintai, saling memiliki,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang sangat luar biasa, karena anak akan menjadi generasi penerus dalam keluarga.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang sangat luar biasa, karena anak akan menjadi generasi penerus dalam keluarga. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Memiliki anak yang sehat dan memiliki tumbuh kembang yang baik merupakan dambaan bagi setiap pasangan suami istri yang telah menikah. Anak merupakan berkah yang sangat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan

BAB 1 PENDAHULUAN. dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap orang tua menginginkan dan mengharapkan anak yang dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan pintar. Anak-anak yang patuh, mudah diarahkan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orang Tua 1. Pengertian Orang tua adalah orang yang lebih tua atau orang yang dituakan, terdiri dari ayah dan ibu yang merupakan guru dan contoh utama untuk anakanaknya karena

Lebih terperinci

MODUL PSIKOEDUKASI MENINGKATKAN REGULASI EMOSI PADA ANAK MENTAL RETARDASI. : Menjalin rapport dengan anak serta membuat peraturan-peraturan dengan

MODUL PSIKOEDUKASI MENINGKATKAN REGULASI EMOSI PADA ANAK MENTAL RETARDASI. : Menjalin rapport dengan anak serta membuat peraturan-peraturan dengan LAMPIRAN 1. Informed Consent 152 153 154 LAMPIRAN 2. Modul Psikoedukasi 155 MODUL PSIKOEDUKASI MENINGKATKAN REGULASI EMOSI PADA ANAK MENTAL RETARDASI Sesi 1 Tema Tujuan : ice breaking : Menjalin rapport

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan perubahan pesat dalam setiap aspek kehidupan. Salah satu aspek yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan perubahan pesat dalam setiap aspek kehidupan. Salah satu aspek yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan suatu masa dalam kehidupan yang ditandai dengan perubahan pesat dalam setiap aspek kehidupan. Salah satu aspek yang mengalami perubahan

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi

MODUL PERKULIAHAN. Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi MODUL PERKULIAHAN AGRESI Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Fakultas Psikologi Psikologi 61119

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1.Latar Belakang Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat dari sekolah bagi siswa ialah melatih kemampuan akademis siswa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siswa SMA berada pada usia remaja yaitu masa peralihan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis. Dengan adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan yang ada di gereja, yang bermula dari panggilan Allah melalui Kristus

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan yang ada di gereja, yang bermula dari panggilan Allah melalui Kristus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Agama Kristen Protestan merupakan salah satu agama yang diakui di Indonesia. Pada Agama Kristen biasanya memiliki suatu organisasi di gereja yang melibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak yang memberi dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah satunya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal (Kartono, 2013:6).

BAB I PENDAHULUAN. sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal (Kartono, 2013:6). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Masa ini merupakan masa perubahan atau peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa yang meliputi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Agresivitas

BAB II LANDASAN TEORI. A. Agresivitas BAB II LANDASAN TEORI A. Agresivitas Semua orang seperti memahami apa itu agresi, namun pada kenyatannya terdapat perbedaan pendapat tentang definisi agresivitas. agresi identik dengan hal yang buruk.

Lebih terperinci

Efektivitas Anger Management Training Untuk Menurunkan Agresivitas Pada Remaja Disruptive Behavior Disorders

Efektivitas Anger Management Training Untuk Menurunkan Agresivitas Pada Remaja Disruptive Behavior Disorders Efektivitas Anger Management Training Untuk Menurunkan Agresivitas Pada Remaja Disruptive Behavior Disorders Nasrizulhaidi, Irna Minauli, Elvi Andriani Yusuf Fakultas Psikologi Universitas Sumetra Utara

Lebih terperinci

Pengaruh Perceraian Pada Anak SERI BACAAN ORANG TUA

Pengaruh Perceraian Pada Anak SERI BACAAN ORANG TUA 35 SERI BACAAN ORANG TUA Pengaruh Perceraian Pada Anak Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional

Lebih terperinci

Bab 5. Simpulan, Diskusi dan Saran

Bab 5. Simpulan, Diskusi dan Saran Bab 5 Simpulan, Diskusi dan Saran 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisa data serta pengujian hipotesis yang telah dilakukan oleh peneliti pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diambil dari hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada siswa Sekolah Menengah Pertama berusia 12 tahun sampai 15 tahun, mereka membutuhkan bimbingan dan arahan dari pihak keluarga dan sekolah agar mereka dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerimaan diri dibutuhkan oleh setiap individu untuk mencapai keharmonisan hidup, karena pada dasarnya tidak ada manusia yang diciptakan oleh Allah SWT tanpa kekurangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

AGRESI: asal-usul, sebab, & penanggulangannya.

AGRESI: asal-usul, sebab, & penanggulangannya. AGRESI: asal-usul, sebab, & penanggulangannya. AGRESI 1. Perspektif Teoritis ttg Agresi 2. Determinan Agresi manusia 3. Agresi dalam hubungan jangka panjang: agresi di tempat kerja 4. Pencegahan dan pengendalian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak selalu membawa kebaikan bagi kehidupan manusia, kehidupan yang semakin kompleks dengan tingkat stressor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa remaja ini mengalami berbagai konflik yang semakin

Lebih terperinci

Agresivitas. Persahabatan. Kesepian. Penolakan

Agresivitas. Persahabatan. Kesepian. Penolakan HUBUNGAN ANTARA KESEPIAN DENGAN AGRESIVITAS PADA REMAJA MADYA DI SMA X BOGOR LATAR BELAKANG MASALAH Agresivitas Persahabatan Kesepian Penolakan AGRESIVITAS Perilaku merugikan atau menimbulkan korban pihak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kasus gangguan perilaku eksternal sudah menjadi topik yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kasus gangguan perilaku eksternal sudah menjadi topik yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kasus gangguan perilaku eksternal sudah menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Mach (2004) mengungkapkan bahwa kasus gangguan perilaku eksternal lebih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Memaafkan. adalah kata yang berasal dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-qur an

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Memaafkan. adalah kata yang berasal dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-qur an BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Memaafkan 1. Defenisi Memaafkan Secara terminologis, kata dasar memaafkan adalah maaf dan kata maaf adalah kata yang berasal dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-qur an

Lebih terperinci

Teori Perkembangan Psikososial. Oleh : Yulia Ayriza

Teori Perkembangan Psikososial. Oleh : Yulia Ayriza Teori Perkembangan Psikososial Oleh : Yulia Ayriza Teori Perkembangan Psikososial (Menurut Erik Erikson) Erikson (1950, 1968 ) mengatakan bahwa manusia lebih berkembang dalam tahap psikososial daripada

Lebih terperinci