BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 11 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini dijabarkan sejumlah teori yang akan menjadi kerangka berpikir dalam melaksanakan penelitian. Penjabaran teori terbagi dalam sejumlah bagian, yaitu tinjauan teori mengenai kewirausahaan, intensi berwirausaha, adversity quotient, dan dimensi-dimensi dari adversity quotient. Selain itu, terdapat pembahasan mengenai profil perusahaan yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini. Pada akhir bab ini diuraikan mengenai hubungan antara variabel intensi berwirausaha dan variabel adversity quotient Wirausaha (Entrepreneur) Pada bagian ini akan dijelaskan hal-hal yang berhubungan dengan wirausaha, seperti definisi wirausaha, dan karakteristik wirausaha Definisi Wirausaha Akar kata kewirausahaan adalah sebuah kata dalam bahasa perancis entreprendre yang artinya dalam Bahasa Indonesia berusaha atau mengusahakan (Astamoen, 2005). Hisrich, Peters, & Shepherd (2008) mendefinisikan kewirausahaan sebagai: the process of creating something new with value by devoting the necessary time and effort, assuming the accompanying financial, psychic, and social riks and receiving the resulting rewards of monetary and personal satisfaction and independen (p.8). Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan adalah sebuah proses menciptakan atau merealisasikan suatu ide oleh seorang individu, dengan memberdayakan sumber daya yang dimiliki dan dengan mempertimbangkan segala konsekuensinya (Hisrich, Peters, & Shepherd, 2008). Dalam hal ini, dinyatakan bahwa kewirausahaan merupakan perilaku yang dilakukan oleh seseorang, dan seseorang yang melakukan kewirausahaan disebut sebagai wirausaha.

2 12 Zimmerer & Scarborough (2002) mendefinisikan wirausaha sebagai berikut: One who creates a new business in the face of risk and uncertainty for the purpose of achieving profit and growth by identifying significant opportunities and assembling the necessary resources to capitalize on them. Jika dilihat dari beberapa definisi di atas, peneliti menyimpulkan bahwa wirausaha (entrepreneur) adalah seseorang yang dapat menciptakan, mengatur, dan mengembangkan usaha yang baru dengan mengenali kesempatan dan sumber daya yang mendukung, serta menjalaninya dengan kesiapan menghadapi risiko dan ketidakpastian (Zimmerer & Scarborough, 2002) Karakteristik Wirausaha Dalam Zimmerer dan Scarborough (2002), terdapat beberapa karakteristik wirausaha, yaitu: 1. Bertanggung jawab Wirausaha memiliki pemahaman yang mendalam bahwa mereka memiliki tanggung jawab pribadi untuk mencapai hasil dari usaha yang dimulai. Mereka cenderung mengatur sumber daya yang mereka miliki dengan baik dan menggunakannya untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. 2. Tingkat risiko sedang Wirausaha melihat sebuah bisnis dengan tingkat pemahaman risiko pribadinya. Dalam hal ini, ia merupakan tipe pengambil risiko yang penuh perhitungan. 3. Merasa yakin dengan kemampuannya untuk sukses Wirausaha umumnya memiliki keyakinan atas kemampuan mereka untuk berhasil. Mereka cenderung optimis mengenai kesempatan mereka untuk sukses. Tingkat optimisme yang tinggi ini menjelaskan kenapa seorang wirausaha yang berhasil setidaknya pernah gagal lebih dari sekali sebelum mereka benar-benar sukses. Mereka menjadikan kegagalan sebagai sarana untuk belajar agar dapat lebih baik dalam menjalankan bisnis di kemudian hari. 4. Hasrat mendapatkan umpan balik Wirausaha menikmati tantangan dalam menjalankan bisnis dan mereka senang mengetahui dan mendapatkan umpan balik tentang apa yang mereka kerjakan.

3 13 5. Memiliki daya kerja yang tinggi Wirausaha lebih energik dibandingkan dengan orang-orang pada umumnya. Daya kerja yang tinggi ini menjadi faktor yang penting dan dibutuhkan dalam merintis suatu usaha. 6. Orientasi masa depan Wirausaha memiliki kemampuan yang baik dalam membaca peluang. Mereka lebih fokus kepada apa yang akan mereka lakukan daripada apa yang sudah mereka kerjakan sebelumnya. 7. Kemampuan mengorganisir Wirausaha harus pandai menempatkan orang yang tepat agar dapat melakukan tugas dengan sempurna. Kemampuan mengorganisir antara sumber daya manusia dan tugas yang dikerjakan secara efektif dapat membantu wirausaha dalam mewujudkan visinya. 8. Menilai prestasi bukan sekedar dari uang Bagi wirausaha, uang hanyalah simbol dari pencapaian, yang lebih penting dalam memotivasi wirausaha untuk terus maju adalah pencapaian prestasi 9. Komitmen yang tinggi Kewirausahawan adalah kerja keras, dan agar sukses dalam menjalankan suatu bisnis atau usaha, seorang wirausahawan harus memiliki komitmen penuh. Oleh karena itu, untuk memunculkan suatu usaha yang baru dan menjalankannya dibutuhkan wirausaha yang memiliki komitmen yang tinggi. 10. Toleransi terhadap ambiguitas Wirausaha cenderung memiliki tingkat toleransi yang tinggi terhadap keadaan yang tidak pasti serta situasi yang selalu berubah dalam lingkungan mereka beraktivitas. 11. Fleksibilitas Salah satu faktor penting dari wirausaha adalah kemampuannya untuk beradaptasi terhadap tuntutan yang berubah dari bisnis atau para pelanggan. Dengan berubahnya masyarakat kita, orang-orangnya, dan seleranya, para wirausaha juga harus bersedia menyesuaikan bisnisnya untuk memenuhi perubahan-perubahan ini.

4 Adversity Quotient (AQ) Adversity Quotient (AQ) merupakan satu konsep yang dikemukakan oleh Paul G. Stoltz (2000) mengenai kualitas pribadi yang dimiliki oleh seseorang untuk menghadapi berbagai kesulitan dan dalam usaha mencapai kesuksesan di berbagai bidang hidupnya. Stoltz (2000) menekankan pada unsur kesulitan (adversity) sebagai faktor penentu terhadap kesuksesan seseorang. Dalam hal ini, kesuksesan seseorang dalam pekerjaan dan sebagian besar kehidupan ditentukan oleh Adversity Quotient. Sebagai sebuah teori ilmiah, Adversity Quotient memiliki definisi dan dimensi-dimensi yang menyusunnya Definisi Adversity Quotient Adversity Quotient (AQ) menginformasikan pada individu mengenai kemampuannya dalam menghadapi keadaan sulit (adversity) dan kemampuan untuk mengatasinya, meramalkan individu yang mampu dan yang tidak mampu menghadapi kesulitan, meramalkan mereka yang akan melampaui dan mereka yang akan gagal melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi yang dimiliki, dan meramalkan individu yang akan menyerah dan yang akan bertahan dalam menghadapi kesulitan. Stoltz (2000) menjelaskan Adversity Quotient secara ringkas sebagai : hardwired pattern of response to all and magnitudes of adversity, from major tragedies to minor annoyances (Stoltz, 2000: 3). Berdasarkan pernyataan tersebut, Adversity Quotient didefinisikan sebagai kapasitas manusia dalam bentuk pola-pola respon yang dimiliki seseorang dalam mengendalikan dan mengarahkan situasi yang sulit, mengakui dan memperbaiki situasi yang sulit, mempersepsikan jangkauan situasi yang sulit dan mempersepsikan jangka waktu terjadinya kesulitan di berbagai aspek dalam hidupnya. Konsep ini merupakan satu kerangka kerja yang dapat diukur karena memiliki alat yang dikembangkan dengan dasar ilmiah yang bertujuan untuk mengetahui kecenderungan dan memahami aspek-aspek dari kesuksesan seseorang dalam merespon keadaan sulit.

5 Dimensi-Dimensi Adversity Quotient Stoltz (1997) menyatakan bahwa AQ seseorang terdiri dari empat dimensi, yaitu Control (C), Ownership & Origin (O²), Reach (R), dan Endurance (E). Keempat dimensi ini merupakan hasil berbagai penelitian dari tiga cabang ilmu pengetahuan yang membangun konsep AQ. Skor dari keempat dimensi tersebut akan menentukan nilai AQ keseluruhan seseorang. Akan tetapi, berdasarkan hasil penelitian lanjutan yang dilakukan pada dimensi origin dan ownership (O²), Stoltz (2000) menyatakan bahwa yang penting adalah bukan siapa atau apa yang harus disalahkan (origin) tapi lebih pada sejauh apa orang-orang mengambil tanggung jawab terhadap situasi yang sulit (ownership) untuk mengarahkan situasi tersebut menjadi lebih baik (Stoltz, 2000). Pada perkembangan selanjutnya, dimensi yang membetuk AQ menjadi CORE, penjelasannya sebagai berikut : 1. Kendali (Control) Dimensi ini mempertanyakan seberapa besar kendali individu terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Kontrol atau kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu, apapun itu, dapat dilakukan. Individu dengan skor kontrol yang tinggi mampu mengubah situasi secara positif dan mempunyai kendali yang lebih besar atas kesulitan yang dihadapi. Dalam hal ini, keuletan dan tidak kenal menyerah muncul dari orang dengan skor kontrol yang tinggi. Tidak hanya itu, individu dengan skor kontrol yang tinggi mempunyai tingkat kendali yang kuat untuk bertahan terhadap peristiwa buruk dan dapat menyelesaikannya dengan pendekatan yang lebih efektif. Di sisi lain, individu dengan skor kontrol yang sedang merespon peristiwa buruk sebagai sesuatu yang sekurang-kurangnya berada dalam kendali dirinya, tergantung dari seberapa sulit masalah yang dihadapi. Individu mungkin tidak mudah menyerah, namun sulit mempertahankan kendali bila dihadapkan pada tantangan yang lebih berat lagi. Sedangkan individu yang memiliki tingkat kontrol yang rendah merasakan ketidakmampuan mengubah situasi, karena merasa peristiwa buruk atau kesulitan yang dialami berada di luar kendalinya. Dalam hal ini, hanya sedikit yang dapat dilakukan untuk mencegah atau membatasi akibat dari kesulitan tersebut. Individu menjadi

6 16 tidak berdaya saat menghadapi kesulitan dan akan menimbulkan pandangan hidup menyerah kepada nasib. 2. Kepemilikan (Ownership) Dimensi ini mengandung pertanyaan, sejauh manakah seseorang mengakui akibat-akibat dari kesulitan. Mengakui akibat yang ditimbulkan oleh kesulitan mencerminkan tanggung jawab dari suatu peristiwa sulit yang dialami, apapun penyebabnya dan berfokus pada usaha mencari solusi. Dimensi ini secara sederhana menyatakan bahwa apabila terjadi sesuatu yang salah, maka seseorang memegang peranan penting dalam memperbaiki keadaan, tanpa memperhatikan kesalahan atau hal-hal yang menjadi penyebab. Maka yang muncul dari diri individu berkaitan dengan dimensi ini adalah rasa percaya, proses belajar, dan kemajuan diri. Individu dengan AQ tinggi pada dimensi ini merespon kesuksesan sebagai pekerjaan dan kesulitan sebagai sesuatu yang berasal dari dalam dirinya. Individu dengan tingkat ownership yang tinggi akan mengakui akibat dari suatu perbuatan, apapun penyebabnya dan bertanggung jawab untuk memperbaikinya. Individu dengan tingkat ownership yang rendah tidak mengakui akibat-akibat dari perbuatan, apapun penyebabnya. Dalam hal ini, individu akan menolak mengakui dengan menghidar diri dari tanggung jawab untuk mengatasi masalah tersebut. 3. Jangkauan (Reach) Dimensi ini mempertanyakan sejauh mana kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan individu. Semakin rendah jangkauan (reach) seseorang, semakin besar kemungkinan individu menganggap peristiwa buruk sebagai bencana, dengan membuat kesulitan meluas hingga ke bagian-bagian lain dari kehidupan orang tersebut. Individu dengan reach yang rendah pada umumnya akan merespon kesulitan sebagai sesuatu yang memasuki wilayah lain kehidupannya dan menganggap peristiwa yang baik sebagai sesuatu yang kebetulan dan terbatas jangkauannya. Akibat yang lainnya akan merusak kebahagiaan dan ketenangan

7 17 pikiran ketika berhadapan dengan peristiwa sulit. Sebaliknya semakin besar reach seseorang, semakin besar kemungkinan individu membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi. Individu dengan skor reach yang sedang merespon peristiwa yang mengandung kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik, namun kadang membiarkan peristiwa itu memasuki wilayah lain dalam kehidupannya. Ketika individu merasa kecewa, mungkin dia akan menganggap kesulitan sebagai bencana, dan menjadikan kesulitan itu lebih meluas dan hebat daripada semestinya. Individu dengan reach tinggi akan merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Semakin efektif individu menahan atau membatasi jangkauan kesulitan, dia akan merasa dapat berpikir jernih dan semakin berdaya untuk mengambil tindakan. 4. Daya Tahan (Endurance) Dimensi ini mempertanyakan dua hal yang berkaitan, yakni berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan akan berlangsung. Individu dengan skor endurance yang tinggi akan merespon kesulitan dan penyebabnya sebagai sesuatu yang sifatnya sementara, cepat berlalu, dan kecil kemungkinannya terjadi lagi. Hal ini akan meningkatkan energi, optimisme, dan kemungkinan untuk meningkatkan kemampuan dalam mengatasi kesulitan serta tantangan yang lebih besar. Individu dengan skor endurance yang sedang akan merespon peristiwa buruk dan penyebabnya sebagai sesuatu yang berlangsung lama. Terkadang membuat individu menunda mengambil tindakan yang konstruktif. Individu dengan skor endurance yang rendah pada umumnya menganggap kesulitan atau penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama atau bahkan selamanya. Hal ini akan memunculkan respon perasaan tidak berdaya atau hilang harapan. Individu yang melihat kemampuan diri mereka sebagai penyebab kegagalan (penyebab yang stabil) cenderung kurang bertahan dibandingkan dengan orang yang mengaitkan kegagalan sebagai usaha (penyebab yang sifatnya sementara) yang mereka lakukan.

8 Makna Skor Adversity Quotient Stoltz (1997) membagi skor Adversity Quotient (AQ) ke dalam tiga golongan, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Namun, pembagian itu bukan kategorisasi yang mutlak. Pada dasarnya skor AQ terletak di dalam suatu rangkaian nilai (continuum). Pada penelitian ini, dalam rangka memenuhi tujuan penelitian maka peneliti akan membagi skor AQ para partisipan ke dalam tiga kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Orang-orang dengan skor AQ yang tinggi secara garis besar adalah orangorang yang memiliki kecenderungan untuk mengubah segala kesulitan menjadi suatu peluang (Stoltz, 2000). Mereka memiliki karakteristik tangkas dan gesit sebagai pemecah masalah, berinovasi untuk menemukan solusi, mengambil tantangan yang sulit, berkembang di dalam keadaan yang berubah-ubah, dapat mengambil resiko yang sesuai dengan yang diperlukan, dan mempertahankan kinerja yang terbaik (Stoltz, 2000). Mereka mampu untuk menganggap kesulitan dan penyebab-penyebabnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara, menanggapi masalah sebagai sesuatu yang bersifat spesifik, mengakui akibat-akibat dari suatu perbuatan, dan mampu menguasai keadaan yang merugikan dan mengubah keadaan tersebut ke arah yang lebih baik (Stoltz, 1997). Orang-orang dengan skor AQ yang sedang mencerminkan bahwa mereka sampai dengan taraf tertentu memiliki kemampuan yang cukup baik dalam menghadapi berbagai tantangan, hambatan dan kesulitan. Mereka juga mengerahkan semua potensi yang mereka miliki untuk mengembangkan diri dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, mereka masih rentan dengan tingkat kesulitan, tantangan dan hambatan yang berat. Orang-orang dengan AQ sedang memiliki kemungkinan untuk merasakan kerugian, kekecewaan dan frustasi seiring dengan tingkat kesulitan, tantangan dan hambatan yang bertambah melampaui taraf yang dapat mereka terima (Stoltz, 1997). Orang-orang dengan skor AQ yang rendag adalah mereka yang cenderung cepat menyerah, merasa kewalahan, dan putus asa pada saat menghadapi kesulitan dan tantangan, mereka tidak memaksimalkan potensi diri dan menghindari situasi dan pekerjaan yang menantang (Stoltz, 2000). Mereka merasa tidak dapat mengendalikan kesulitan atau peristiwa-peristiwa buruk, memandang kesulitan

9 19 sebagai sesuatu yang berlangsung lama, melebih-lebihkan kejadian yang buruk dan membiarkan hal tersebut mempengaruhi hal-hal lain dalam kehidupan (Stoltz,1997) Adversity Quotient pada Karyawan Di dalam dunia kerja, Adversity Quotient dapat membantu perusahaan untuk memperkirakan kinerja para karyawannya dan sebagai bahan pertimbangan untuk mempromosikan para karyawannya (Stoltz, 2000). Dalam hal ini, karyawan dengan Adversity Quotient yang tinggi memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan karyawan yang memiliki Adversity Quotient rendah (Stoltz, 2000). Selain itu, karyawan yang memiliki Adversity Quotient yang tinggi juga lebih cepat dipromosikan jabatannya dibandingkan dengan karyawan dengan Adversity Quotient yang rendah. Tidak hanya itu, karyawan dengan tingkat Adversity Quotient yang tinggi memiliki produktivitas, kreativitas, kesehatan, ketekunan, daya tahan, dan vitalitas yang lebih baik dalam bekerja daripada karyawan yang memiliki tingkat Adversity Quotient yang rendah (Stoltz, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Yoshiarmand (2003) pada karyawan PT. Tribhakti Inspektama menunjukkan hasil bahwa Adversity Quotient terkait dengan prestasi kerja para karyawan. Dalam hal ini, AQ yang telah dicapai karyawan memegang peranan penting pada prestasi kerja yang dihasilkan. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perusahaan memiliki karyawan yang ber AQ sedang, prestasi kerja yang tinggi dan AQ memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap prestasi kerja karyawan. (Yoshiarmand, 2003) Lebih lanjut lagi, Adversity Quotient juga berhubungan dengan tingkat performance seseorang. Lazaro (2004) melakukan penelitian mengenai hubungan antara Adversity Quotient dan tingkat performance pada manajer tingkat menengah (middle managers) di Manila. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara Adversity Quotient dengan tingkat performance pada manajer tingkat menengah di Manila (Lazaro, 2004). Dalam hal ini, manajer-manajer yang memiliki tingkat Adversity Quotient yang lebih tinggi menunjukkan tingkat performance yang lebih baik pula, begitupula sebaliknya.

10 Intensi Berwirausaha Definisi Intensi Fishbein dan Ajzen (1975) mendefinisikan intensi sebagai: A person s location on a subjective probability dimension involving a relation between himself and some action. (Fishbein & Ajzen: 288) Definisi di atas menyatakan bahwa intensi merupakan derajat kemungkinan seseorang untuk melakukan suatu tindakan (Fishbein & Ajzen, 1975). Dengan demikian, intensi berperilaku mengarah kepada kemungkinan subjektif seseorang bahwa ia akan menampilkan perilaku tertentu. Berdasarkan teori Ajzen (1991), perilaku ditentukan oleh intensi seseorang untuk menampilkan, atau untuk tidak menampilkan, suatu perilaku. Dalam hal ini, intensi dapat menunjukkan seberapa besar kemauan seseorang untuk berusaha melakukan suatu tingkah laku tertentu. Hisrich, Peters, dan Shepherd (2008) menyatakan: Intentions capture the motivational factors that influence a behavior; they are indications of how hard people are willing to try, of how much of an effort they are planning to exert in order to perform the behavior (p.58). Dengan kata lain, intensi menggambarkan seberapa besar motivasi seseorang terhadap suatu perilaku dan seberapa besar usaha yang akan dikeluarkan untuk menampilkan perilaku tersebut. Secara singkat, intensi memprediksi perilaku individu. Aturan umum yang berlaku adalah, semakin besar intensi seseorang untuk terlibat dalam suatu perilaku, maka semakin besar kemungkinan untuk menampilkan perilaku tersebut (Hisrich, Peters, & Shepherd, 2008) Intensi Berwirausaha Seperti yang telah dikemukakan di atas, intensi mengarahkan seseorang kepada kemungkinan subjektif untuk menampilkan perilaku tertentu terhadap suatu objek. Dalam penelitian ini, objek tersebut adalah kewirausahaan. Jadi, intensi berwirausaha dapat disimpulkan sebagai posisi seseorang pada sebuah dimensi kemungkinan subjektif, berkaitan dengan hubungan individu tersebut dengan kewirausahaan. Dalam Hisrich, Peters, dan Shepherd (2008), intensi berwirausaha didefinisikan sebagai: The motivational factors that influence individuals to pursue entrepreneurial outcomes (p. 58)

11 21 Definisi tersebut menjelaskan bahwa intensi berwirausaha merupakan faktor motivasional yang mendorong seseorang menampilkan perilaku tertentu, yaitu dalam hal ini kewirausahaan. Ajzen (1991) mengajukan suatu model yang dinamakan theory of planned behavior untuk menjelaskan intensi berwirausaha. Di dalam teori ini, intensi ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu sikap terhadap perilaku (attitude toward the behavior), norma subjektif (subjective norms), dan kontrol perilaku yang dipersepsikan (perceived behavioral control). Selain itu, model tersebut juga mempertimbangkan bagaimana faktor budaya dan lingkungan sosial mempengaruhi tingkah laku seseorang (Linan, Urbano, & Guerrero, 2008). Berdasarkan studi lintas budaya mengenai intensi berwirausaha yang dilakukan Linan, Urbano, dan Guerrero (2008), didapat faktor-faktor yang menjadi penyebab dari intensi berwirausaha, yaitu faktor motivasional dan faktor lingkungan. Berdasarkan pendekatan teori planned behavior dari Ajzen (1991), keputusan untuk menampilkan tingkah laku tertentu adalah hasil dari proses rasional yang diarahkan pada suatu tujuan tertentu dan mengikuti urutan berpikir. Dalam hal ini, seseorang mengambil keputusan untuk memulai suatu usaha berdasarkan tiga faktor motivasional, antara lain: 1. Daya tarik pribadi (personal attraction) Daya tarik pribadi merupakan ketertarikan seseorang pada suatu tingkah laku, atau derajat di mana seseorang memiliki penilaian pribadi yang positif atau negatif dari tingkah laku yang ditampilkan. Dalam hal ini, daya tarik pribadi merupakan ketertarikan seseorang pada tingkah laku berwirausaha, atau evaluasi yang positif atau negatif dalam hal menjadi wirausaha (Ajzen, dalam Linan, Urbano, & Guerrero, 2008). 2. Kontrol tingkah laku yang dipersepsikan (perceived behavioral control) Kontrol tingkah laku yang dipersepsikan (PBC) adalah persepsi seseorang akan kemampuan dirinya untuk menampilkan tingkah laku. Dalam hal ini, merupakan perpsepsi seseorang terhadap kemudahan dan kesukaran menjadi seorang wirausaha (Linan, Urbano, & Guerrero, 2008). Hal ini merefleksikan persepsi bahwa seseorang akan mampu melakukan dan mengendalikan tingkah laku tersebut, dalam hal ini perilaku berwirausaha.

12 22 3. Norma-norma subjektif (subjective norms) Norma subyektif berhubungan dengan pengaruh lingkungan sosial terhadap tingkah laku. Dalam hal ini, norma subyektif merupakan persepsi seseorang apakah orang lain yang menjadi acuan akan menyetujui atau menolak suatu tingkah laku (Ajzen, 1991). Orang lain yang menjadi acuan tersebut dapat berasal dari keluarga, teman, atau orang lain yang memiliki pengaruh signifikan. Dikaitkan dengan perilaku wirausaha, norma subyektif berkaitan dengan persepsi seseorang apakah orang lain yang menjadi acuan akan menyetujui atau menolak keputusannya untuk menjadi seorang wirausaha (Ajzen, dalam Linan, Urbano, & Guerrero, 2008). Faktor lingkungan (environmental value) sendiri merupakan dinamika sosial dari kewirausahaan, yaitu tingkat penghargaan seseorang terhadap kewirausahaan dalam sebuah komunitas (Bygrave & Minniti, dalam Linan, Urbano, & Guerrero, 2008). Faktor lingkungan tersebut mencakup faktor nilai sosial (social value) dan faktor nilai lingkungan terdekat individu (closer valuation). Seseorang menerima pengaruh dari lingkungan terdekat di sekitarnya, yaitu dapat berhubungan dengan keluarga dan teman-teman, yang dapat mempengaruhi secara langsung kepada persepsi seseorang terhadap pemilihan karir (Linan, 2008, p.261). Dalam jurnalnya, Linan (2008) menambahkan faktor kemampuan wirausaha (entrepreneurial skill) ke dalam teori planned behavior untuk membahas intensi berwirausaha. Kemampuan berwirausaha tersebut mengindikasikan seberapa besar keyakinan diri individu dalam memiliki level kemampuan-kemampuan tertentu yang cukup tinggi, yang berkaitan dengan kewirausahaan (Linan, 2008, p.261). Memiliki kemampuan tersebut dapat membuat individu merasa lebih mampu untuk memulai suatu usaha (Denoble et al., dalam Linan, 2008). Oleh sebab itu, faktor kemampuan berwirausaha juga turut diperhitungkan. Secara lebih jelas, penjabaran intensi berwirausaha oleh Linan (2008) tersebut, dapat digambarkan dalam Gambar 2.1 yang ada pada halaman berikutnya.

13 23 Closer Valuation Personal Attraction Entrepreneurial Skills Subjective Norms Entrepreneurial Intentions Social Valuation Perceived Behavioral Control Gambar 2.1. Model Intensi Berwirausaha dari Linan (2008) Pada penelitian ini, alat ukur intensi berwirausaha yang diciptakan Linan (2008) mencakup semua faktor yang diperhitungkan pada model tersebut Intensi Berwirausaha pada Karyawan Zimmerer & Scarborough (2002) menyatakan bahwa memulai bisnis paruh waktu (dengan tetap bekerja) merupakan pintu masuk yang populer untuk menjadi wirausaha. Wirausaha tipe ini mendapatkan yang terbaik dari keduanya, yakni dapat masuk ke dunia bisnis tanpa mengorbankan keamanan pendapatan dan fasilitas tetap sebagai karyawan (Zimmerer & Scarborough, 2002). Lebih lanjut lagi, dalam pandangan Masbukhin (2006), saat yang tepat untuk membuka usaha adalah pada saat seseorang masih menjadi karyawan. Hal tersebut dikarenakan uang gaji yang diterima dapat dimanfaatkan sebagai tabungan untuk modal dalam membuka usaha. Mengingat keterbatasan waktu dan tenaga karena berstatus karyawan, usaha yang dijalankan oleh para karyawan adalah usaha yang dapat dijalankan bersama orang lain (tidak berperan sebagai penggerak utama) atau usaha yang tidak memerlukan waktu penuh. Biasanya dalam hal ini, mereka berperan sebagai investor atau penanam modal dalam sebuah bisnis (Masbukhin, 2007). Keuntungan dalam bisnis paruh waktu ini adalah resiko yang lebih rendah apabila terjadi kegagalan usaha (Zimmerer & Scarborough, 2002).

14 24 Selain istilah wirausaha yang berperan sebagai owner bisnisnya, masih ada istilah intrapreneur. Intrapreneur adalah karyawan, pekerja, manajer yang memiliki semangat kewirausahaan (Astamoen, 2005). Dengan kata lain intrapreneur merupakan wirausaha yang ada dalam lingkungan perusahaan. Intrapreneur sangat dibutuhkan oleh perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan dalam hal upaya memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen (Hisrich, Peters, & Shepherd, 2008). Untuk membentuk intrapreneur banyak perusahaan yang melakukan program pelatihan intrapreneurship, untuk tetap mempertahankan semangat kreativitas dan inovasi perusahaan (Lupiyoadi, 2004) Intensi Berwirausaha dan Hubungannya dengan Adversity Quotient Menurut Schumpeter (dalam Kandiyatna, 2005) wirausahawan adalah individu yang dapat menjadikan perubahan sebagai sebuah kesempatan. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 dan krisis ekonomi global yang terjadi pada akhir tahun 2008, dirasakan sebagai kondisi yang sulit bagi masyarakat Indonesia. Disebabkan karena adanya krisis, harga semua produk naik hampir dua kali lipat, masyarakat pun gempar menghadapi perubahan yang drastis tersebut. Tetapi ada beberapa yang menganggap kondisi ini sebagai peluang usaha. Dikaitkan dengan hal tersebut, wirausahawan adalah individu yang kreatif dan inovatif, karena mereka dapat merubah hambatan menjadi peluang. Konsep merubah hambatan menjadi peluang berkaitan dengan Adversity Quotient. Adversity Quotient (AQ) merupakan suatu kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi suatu peluang keberhasilan (Stoltz, 2000). Dalam berbagai penelitian sebelumnya, Adversity Quotient (AQ) telah banyak dikaitkan dengan perilaku kewirausahaan. Salah satunya adalah Stoltz (2000), yang meneliti pola sukses diantara wirausahawan dan mahasiswa dengan prestasi tinggi. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa Adversity Quotient merupakan faktor penentu terhadap kesuksesan wirausahawan dan mahasiswa yang memiliki prestasi tinggi. Lebih lanjut lagi, Markman (2004) melakukan penelitian mengenai perbedaan tingkat Adversity Quotient yang dimiliki oleh kelompok wirausaha dan non-wirausaha (masyarakat yang tidak berprofesi sebagai wirausaha). Dari penelitian tersebut menujukkan hasil bahwa terdapat perbedaan

15 25 tingkat Adversity Quotient yang signifikan antara kelompok wirausaha dan nonwirausaha. Dalam hal ini, individu-individu yang berprofesi sebagai wirausaha memiliki tingkat Adversity Quotient yang lebih tinggi daripada individu nonwirausaha (tidak berprofesi sebagai wirausaha). Lebih lanjut lagi, dikatakan bahwa kelompok wirausaha menunjukkan respon yang baik dalam menghadapi kesulitan (Markman, 2004). Mereka tidak menyerah, tetap bertahan di masa sulit dan menjadikan kesulitan sebagai penguat untuk menghadapi rintangan selanjutnya (Markman, 2004). Dalam hal ini, setiap wirausaha pasti pernah mengalami kegagalan, namun yang menarik 60% wirausahawan yang gagal ternyata tidak menyerah (Sasmito, 2007). Mereka bangun lagi dan mencoba bisnis yang sama, hingga akhirnya meraih sukses dengan susah payah setelah melewati berbagai kegagalan (Sasmito, 2007). Berkaitan dengan hal tersebut, dikatakan bahwa para wirausaha adalah golongan pencari rezeki yang tahan banting terhadap berbagai masalah, dan sudah tentu bila mereka terjatuh, maka akan bangun lagi (Sasmito, 2007). Pengalaman jatuh dan rugi menjadikan mereka modal baru untuk bangkit, menuju usaha yang lebih dashyat (Sasmito, 2007). Para wirausaha tidak takut akan kegagalan dan apabila harus mengalami kegagalan, mereka menerima hal tersebut dan memanfaatkannya sebagai suatu cara untuk belajar, bagaimana cara menjalankan usaha lebih baik pada masa mendatang (Winardi, 2003). Di dalam penelitian dengan karakteristik sampel yang berbeda, juga ditemukan hubungan antara variabel Adversity Quotient dengan variabel intensi berwirausaha. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2007) mengenai adversity intelligence dan intensi berwirausaha pada siswa SMK di Yogyakarta, didapatkan hasil bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara adversity intelligence dengan intensi berwirausaha. Dalam penelitian ini, komponen adversity intelligence memberikan kontribusi 11% terhadap intensi berwirausaha (Wijaya, 2007). Di sisi lain, hasil yang berbeda ditunjukkan oleh penelitian dari Fransiskus (2009), yang meneliti tentang hubungan antara Adversity Quotient dengan intensi berwirausaha pada mahasiswa UI yang mengambil mata kuliah kewirausahaan. Dalam penelitian ini, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara Adversity Quotient dengan intensi berwirausaha.

16 26 Berdasarkan uraian di atas, terdapat berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan. Oleh karena itu peneliti berasumsi bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara Adversity Quotient dengan intensi seseorang dalam berwirausaha. Melalui penelitian kuantitatif, peneliti berusaha untuk menguji teori-teori yang dipaparkan mengenai intensi berwirausaha dan Adversity Quotient. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran hubungan antara kedua hal tersebut Profil Perusahaan X Perusahaan X adalah salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar yang memegang peranan penting dalam sejarah perkembangan telekomunikasi di Indonesia. Perusahaan X telah berdiri selama 42 tahun, yakni telah berdiri sejak tahun Dalam perjalanannya hingga saat ini, Perusahaan X telah mengalami beberapa kali transformasi bisnis, yaitu dari operator telex, operator SLI (sambungan langsung internasional), penyelenggara jaringan data, dan pada saat ini menjadi perusahaan yang akan memfokuskan bisnisnya di telekomunikasi seluler. Pada tahun 2002, Perusahaan X telah memulai transformasi bisnisnya, yaitu tidak lagi sebagai operator SLI, namun sebagai penyedia jaringan dan jasa telekomunikasi terpadu yang berfokus di bidang seluler. Perusahaan ini memiliki karyawan berjumlah kurang lebih 8000 orang (termasuk outsourcing) yang merupakan generalis dan specialist di bidang telekomunikasi. Komposisi jumlah karyawan tetap di tahun 2004 adalah 44,7 % karyawan unit jasa selular, 21,7 % karyawan unit usaha telekomunikasi jasa MIDI (Corporate Data Communications, Leased Lines, Satellite, Internet) dan 33,6 % merupakan karyawan dari unit-unit penunjang diluar unit bisnis.

BAB 6 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB 6 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 58 BAB 6 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bagian ini peneliti memaparkan mengenai kesimpulan yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian berdasarkan analisis data yang telah dilakukan; diskusi

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. penelitian dengan judul Pengaruh Pengetahuan Kewirausahaan dan

BAB II URAIAN TEORITIS. penelitian dengan judul Pengaruh Pengetahuan Kewirausahaan dan BAB II URAIAN TEORITIS A. Penelitian Terdahulu Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Amelia (2009), melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Pengetahuan Kewirausahaan dan Kemandirian Pribadi Terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Asuransi untuk jaman sekarang sangat dibutuhkan oleh setiap perorangan

BAB I PENDAHULUAN. Asuransi untuk jaman sekarang sangat dibutuhkan oleh setiap perorangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Asuransi untuk jaman sekarang sangat dibutuhkan oleh setiap perorangan maupun perusahaan, baik di Indonesia maupun diluar negeri. Definisi asuransi menurut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Intensi Berwirausaha. tindakan dan merupakan unsur yang penting dalam sejumlah tindakan, yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Intensi Berwirausaha. tindakan dan merupakan unsur yang penting dalam sejumlah tindakan, yang 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Berwirausaha 1. Definisi Intensi Menurut Ancok (1992 ), intensi merupakan niat seseorang untuk melakukan suatu perilaku. Intensi merupakan sebuah istilah yang terkait

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Dalimunthe dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Dalimunthe dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu Menurut hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Dalimunthe dengan judul penelitian Pengaruh Karakteristik Individu, Kewirausahaan, Gaya Kepemimpinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi era globalisasi, berbagai sektor kehidupan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi era globalisasi, berbagai sektor kehidupan mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam menghadapi era globalisasi, berbagai sektor kehidupan mengalami banyak perubahan. Salah satu penyebab dari perubahan tersebut adalah semakin berkembangnya

Lebih terperinci

School of Communication & Business Telkom University

School of Communication & Business Telkom University MEMULAI BISNIS DENGAN ADMINISTEASI BISNIS Week-12 By: Ida Nurnida Contents Pemahaman Wirausaha & Kewirausahaan Wirausaha Sebagai Profesi Memulai Bisnis Baru Memulai Bisnis dengan Administrasi ENTREPRENEURSHIP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan bentuk organisasi yang didirikan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan bentuk organisasi yang didirikan untuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perusahaan merupakan bentuk organisasi yang didirikan untuk memproduksi barang atau jasa, serta bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Tujuan organisasi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. pejuang. Sedangkan usaha artinya kegiatan yang dilakukan terus-menerus dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. pejuang. Sedangkan usaha artinya kegiatan yang dilakukan terus-menerus dalam BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Karakteristik Kewirausahaan 2.1.1.1 Pengertian Kewirausahaan Secara harfiah wira artinya utama, gagah, luhur, berani, teladan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY INTELLIGENCE DENGAN MOTIVASI BERWIRAUSAHA PADA MAHASISWA. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY INTELLIGENCE DENGAN MOTIVASI BERWIRAUSAHA PADA MAHASISWA. Skripsi HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY INTELLIGENCE DENGAN MOTIVASI BERWIRAUSAHA PADA MAHASISWA Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Oleh : DIANITA WAHYU S. F100 040 259 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dunia kerja semakin menuntut manusia untuk lebih mampu bersaing dari kompetitornya, sehingga tidak mudah untuk memperoleh pekerjaan yang layak sesuai yang

Lebih terperinci

04Pasca. Kewirausahaan, Etika Profesi dan Hukum Bisnis

04Pasca. Kewirausahaan, Etika Profesi dan Hukum Bisnis Modul ke: Fakultas 04Pasca Kewirausahaan, Etika Profesi dan Hukum Bisnis Pembuatan Template Powerpoint untuk digunakan sebagai template standar modul-modul yang digunakan dalam perkuliahan Cecep Winata

Lebih terperinci

Kesimpulannya, intensi seseorang terhadap perilaku tertentu dipengaruhi oleh tiga variabel yaitu sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku (Ajzen

Kesimpulannya, intensi seseorang terhadap perilaku tertentu dipengaruhi oleh tiga variabel yaitu sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku (Ajzen 55 PEMBAHASAN Berdasarkan karakteristik contoh dan karakteristik keluarga contoh, hasil penelitian menunjukkan bahwa profil contoh mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) pada contoh yang hanya mengikuti

Lebih terperinci

BAB 3 PERMASALAHAN, HIPOTESIS, DAN VARIABEL

BAB 3 PERMASALAHAN, HIPOTESIS, DAN VARIABEL 27 BAB 3 PERMASALAHAN, HIPOTESIS, DAN VARIABEL Sebuah penelitian memerlukan permasalahan yang hendak dijawab untuk mengarahkan penelitian. Selain itu, variabel-variabel dan hipotesis juga diperlukan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, hampir setiap hari manusia menemui kesulitankesulitan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, hampir setiap hari manusia menemui kesulitankesulitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Masalah Dalam kehidupan, hampir setiap hari manusia menemui kesulitankesulitan yang berbeda-beda. Kesulitan itu sudah menjadi bagian dari diri individu dan tidak dapat

Lebih terperinci

Kewirausahaan, Etika Profesi dan Hukum Bisnis

Kewirausahaan, Etika Profesi dan Hukum Bisnis Modul ke: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Kewirausahaan, Etika Profesi dan Hukum Bisnis Karakteristik : Wirausaha vs Kewirausahaan, Sikap Dasar Wirausaha,Kemampuan Dasar : Evaluasi peluang networking, skill

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Era globalisasi dengan segala kemajuan teknologi yang mengikutinya,

BAB 1 PENDAHULUAN. Era globalisasi dengan segala kemajuan teknologi yang mengikutinya, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Era globalisasi dengan segala kemajuan teknologi yang mengikutinya, menantang bangsa ini untuk mengatasi krisis yang dialami agar tidak tertinggal kemajuan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIK. lambang pengganti suatu aktifitas yang tampak secara fisik. Berpikir

BAB II KAJIAN TEORETIK. lambang pengganti suatu aktifitas yang tampak secara fisik. Berpikir BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual 1. Proses Berpikir Analogi Matematis Menurut Gilmer (Kuswana, 2011), berpikir merupakan suatu pemecahan masalah dan proses penggunaan gagasan atau lambang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk karakteristik seseorang agar menjadi lebih baik. Melalui jalur pendidikan formal, warga negara juga diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan berbagai jenis dan macam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan berbagai jenis dan macam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan berbagai jenis dan macam barang serta jasa untuk memenuhi kebutuhannya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Minat terhadap profesi wirausaha (entrepreneur) pada masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Minat terhadap profesi wirausaha (entrepreneur) pada masyarakat Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Minat terhadap profesi wirausaha (entrepreneur) pada masyarakat Indonesia masih sangat kurang. Kurangnya profesi wirausaha pada masyarakat Indonesia ini dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan keahlian atau kompetensi tertentu yang harus dimiliki individu agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan keahlian atau kompetensi tertentu yang harus dimiliki individu agar dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan yang terjadi pada era globalisasi saat ini menuntut adanya persaingan yang semakin ketat dalam dunia kerja. Hal ini mengakibatkan adanya tuntutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau perusahaan dapat melakukan berbagai kegiatan bisnis, operasi fungsi-fungsi

BAB I PENDAHULUAN. atau perusahaan dapat melakukan berbagai kegiatan bisnis, operasi fungsi-fungsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Teknologi internet semakin banyak dimanfaatkan oleh berbagai organisasi terutama organisasi bisnis, kegiatan dunia usaha yang menggunakan teknologi internet

Lebih terperinci

Instrumen Bimbingan dan Konseling Bidang Pribadi-Sosial WAWANCARA Variabel: Kepercayaan Diri

Instrumen Bimbingan dan Konseling Bidang Pribadi-Sosial WAWANCARA Variabel: Kepercayaan Diri Instrumen Bimbingan dan Konseling Bidang Pribadi-Sosial WAWANCARA Variabel: Kepercayaan Diri A. Wawancara Wawancara menurut Purwoko (2007: 36) adalah suatu teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penelitian ini adalah teori perilaku terencana yang merupakan

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penelitian ini adalah teori perilaku terencana yang merupakan BAB II LANDASAN TEORI A. Intensi Berwirausaha 1. Pengertian Intensi Pendekatan teoritis yang digunakan untuk menjelaskan intensi perilaku dalam penelitian ini adalah teori perilaku terencana yang merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Riyanti, 2003:21), kata entrepreneur berasal dari kata kerja entreprende. Kata

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Riyanti, 2003:21), kata entrepreneur berasal dari kata kerja entreprende. Kata BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 URAIAN TEORITIS 2.1.1 Wirausaha Kata wirausaha dalam bahasa Indonesia adalah padanan kata bahasa Perancis entrepreneur, yang sudah dikenal sejak abad ke 17. Menurut Holt (dalam

Lebih terperinci

Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru di Madrasah Aliyah Al-Mursyid Kota Bandung

Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru di Madrasah Aliyah Al-Mursyid Kota Bandung Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru di Madrasah Aliyah Al-Mursyid Kota Bandung 1 Olla Tiyana, 2 Eni Nuraeni Nugrahawati 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. seiring dengan berjalannya waktu. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik

BAB 1 PENDAHULUAN. seiring dengan berjalannya waktu. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengangguran di Indonesia semakin hari semakin meningkat jumlahnya seiring dengan berjalannya waktu. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam penelitian ini.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam penelitian ini. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menjelaskan mengenai berbagai teori yang terkait dengan sikap kewirausahaan terhadap niat kewirausahaan mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang menjadi dasar dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Intensi Berwirausaha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Intensi Berwirausaha BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Berwirausaha 1. Pengertian Intensi Berwirausaha 1.1. Pengertian Intensi Berdasarkan teori planned behavior milik Ajzen (2005), intensi memiliki tiga faktor penentu dasar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ulina (2008) melakukan penelitian dengan judul Analisis Faktor-Faktor yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ulina (2008) melakukan penelitian dengan judul Analisis Faktor-Faktor yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu Ulina (2008) melakukan penelitian dengan judul Analisis Faktor-Faktor yang Mendorong Keberhasilan Usaha Baru (Studi Kasus pada Crispo Accessories Grand Palladium

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Model Theory of Reason Action (TRA) (Sumber : Fishbein dan Ajzen 1975)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Model Theory of Reason Action (TRA) (Sumber : Fishbein dan Ajzen 1975) 9 TINJAUAN PUSTAKA Teori Perilaku yang telah Direncanakan (Theory of Planned Behavior) Para teoritikus sikap memiliki pandangan bahwa sikap seseorang terhadap suatu objek sudah dapat dijadikan prediktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah kota besar terdiri dari beberapa multi etnis baik yang pribumi maupun

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah kota besar terdiri dari beberapa multi etnis baik yang pribumi maupun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dimana terletak di garis katulistiwa ujung dari Sumatera hingga Papua. Salah satu keunikan

Lebih terperinci

ADVERSITY QUOTIENT PADA MAHASISWA BERPRESTASI

ADVERSITY QUOTIENT PADA MAHASISWA BERPRESTASI ADVERSITY QUOTIENT PADA MAHASISWA BERPRESTASI NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sehingga persyaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan oleh: Laksmi Fivyan Warapsari F100110088 FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Wirausaha dan kewirausahaan Istilah wirausaha berasal dari kata wira artinya utama, gagah, luhur, berani, teladan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan manusia yang berjiwa kreatif, inovatif, sportif, dan wirausaha.

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan manusia yang berjiwa kreatif, inovatif, sportif, dan wirausaha. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan kewirausahaan merupakan salah satu program pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan Nasional yang bertujuan untuk membangun dan mengembangkan manusia

Lebih terperinci

NURUL ILMI FAJRIN_ Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

NURUL ILMI FAJRIN_ Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang HUBUNGAN ANTARA KEMANDIRIAN DENGAN INTENSI BERWIRAUSAHA PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG NURUL ILMI FAJRIN_11410126 Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terjadinya krisis perekonomian di Indonesia yang berdampak sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Terjadinya krisis perekonomian di Indonesia yang berdampak sangat luas, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Terjadinya krisis perekonomian di Indonesia yang berdampak sangat luas, menjadikan persaingan antar perusahaan semakin ketat. Baik perusahaan yang begerak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. ADVERSITY QUOTIENT 1. PengertianAdversity Quotient Adversity atau kesulitan adalah bagian kehidupan kita yang hadir dan ada karena sebuah alasan dan kita sebagai manusia dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ajzen yang merupakan penyempurnaan dari reason action theory yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ajzen yang merupakan penyempurnaan dari reason action theory yang A. Teori Planned Behavior BAB II TINJAUAN PUSTAKA Theory of planned behavior merupakan teori yang dikembangkan oleh Ajzen yang merupakan penyempurnaan dari reason action theory yang dikemukakan oleh Fishbein

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wirausaha merupakan ujung tombak kemajuan perekonomian suatu negara. Menurut pendapat David McClelland, (seperti yang disebut oleh Nugroho, 2010), suatu Negara

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. rumah tangga seringkali dihadapkan pada kejenuhan. Bayangkan, dalam waktu 24

BAB I. Pendahuluan. rumah tangga seringkali dihadapkan pada kejenuhan. Bayangkan, dalam waktu 24 BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Menjadi ibu rumah tangga adalah sebuah anugrah yang mulia namun ibu rumah tangga seringkali dihadapkan pada kejenuhan. Bayangkan, dalam waktu 24 jam, selama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang berkembang, yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang berkembang, yang BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang berkembang, yang mau tidak mau dituntut untuk giat membangun dalam segala bidang kehidupan. Terutama dengan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior) 1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior) Teori Perilaku Terencana atau TPB (Theory of Planned Behavior) merupakan pengembangan lebih lanjut dari Teori Perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan untuk selalu berkembang dengan pendidikan. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan untuk selalu berkembang dengan pendidikan. Pendidikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan. Hal ini berarti bahwa setiap manusia Indonesia berhak mendapatkannya dan diharapkan untuk selalu berkembang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior) Teori Perilaku Terencana atau Theory of Planned Behavior (selanjutnya disingkat TPB, dikemukakan olehajzen (1991). Teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan sikap sikap dan keterampilan, serta peningkatan kualitas hidup menuju

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan sikap sikap dan keterampilan, serta peningkatan kualitas hidup menuju BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses untuk mendapatkan pengetahuan atau wawasan, mengembangkan sikap sikap dan keterampilan, serta peningkatan kualitas hidup menuju kesuksesan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. INTENSI Intensi menurut Fishbein dan Ajzen (1975), merupakan komponen dalam diri individu yang mengacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku tertentu. Intensi didefinisikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian Analisis Faktor-Faktor Yang Mendorong Wirausahawan Memulai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian Analisis Faktor-Faktor Yang Mendorong Wirausahawan Memulai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Indra Hakim Matondang dengan judul penelitian Analisis Faktor-Faktor Yang Mendorong Wirausahawan Memulai Usaha

Lebih terperinci

BAB 2. LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN

BAB 2. LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN BAB 2 LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Wirausaha (Entrepreneur) Wirausaha menurut Joseph Schumpeter (Alma, 2007) adalah sebagai orang yang mendobrak sistem ekonomi yang ada dengan memperkenalkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat setiap orang berlomba-lomba

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat setiap orang berlomba-lomba BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat setiap orang berlomba-lomba membekali diri dengan berbagai keterampilan dan pendidikan yang lebih tinggi agar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. usaha berarti melakukan kegiatan usaha (bisnis). hasil yang dapat dibanggakan (Sadono Sukirno, 2004:367).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. usaha berarti melakukan kegiatan usaha (bisnis). hasil yang dapat dibanggakan (Sadono Sukirno, 2004:367). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kewirausahaan 2.1.1 Definisi Kewirausahaan Wirausaha berasal dari kata wira yang berarti pahlawan (berani) dan usaha berarti melakukan kegiatan usaha (bisnis). Dengan demikian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB II KAJIAN TEORITIK BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1. Proses Berpikir Berpikir selalu dihubungkan dengan permasalahan, baik masalah yang timbul saat ini, masa lampau dan mungkin masalah yang belum terjadi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan tenaga kerja di Indonesia akhir-akhir ini semakin kompleks.

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan tenaga kerja di Indonesia akhir-akhir ini semakin kompleks. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan tenaga kerja di Indonesia akhir-akhir ini semakin kompleks. Hal ini dapat diamati dari jumlah pengangguran yang terus meningkat dan terbatasnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai SMA saja, tetapi banyak juga sarjana. Perusahaan semakin selektif menerima

BAB I PENDAHULUAN. sampai SMA saja, tetapi banyak juga sarjana. Perusahaan semakin selektif menerima BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi solusi yang dilematis namun terus saja terjadi setiap tahun. Saat ini pengangguran tak hanya berstatus lulusan SD sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. membuat manusia dituntut untuk mengikuti segala perubahan yang terjadi dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. membuat manusia dituntut untuk mengikuti segala perubahan yang terjadi dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan jaman melalui globalisasi, perubahan teknologi dan informasi membuat manusia dituntut untuk mengikuti segala perubahan yang terjadi dengan harapan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. intrapreneurship sebagai kewirausahaan yang terjadi di dalam organisasi

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. intrapreneurship sebagai kewirausahaan yang terjadi di dalam organisasi BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka Intrapreneurship 2.1.1 Pengertian Intrapreneurship Berdasarkan pendapat Antonic dan Hisrich (2003, p9) intrapreneurship sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan tingginya angka pengangguran di negara Indonesia adalah. pertumbuhan ekonomi di Indonesia (Andika, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan tingginya angka pengangguran di negara Indonesia adalah. pertumbuhan ekonomi di Indonesia (Andika, 2012). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengangguran dan kemiskinan merupakan masalah klasik yang dihadapi negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Tingginya angka pengangguran merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu mengetahui hubungan antara kemandirian dengan intensi berwirausaha pda mahasiswa tingkat akhir UI, maka pada bab ini akan dibahas mengenai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN DAFTAR ISI ABSTRAK... i ABSTRACT... ii KATA PENGANTAR... iii UCAPAN TERIMA KASIH... iv DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai Adversity Quotient pada siswa/i SMP X kelas I di Bandung (Suatu Penelitian Survei yang dilakukan pada Siswa/i SMP Yayasan Badan Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. teknologi dan ilmu pengetahuan ini, dituntut orang-orang yang berkualitas

BAB I PENDAHULUAN. teknologi dan ilmu pengetahuan ini, dituntut orang-orang yang berkualitas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi yang sudah sangat canggih dengan berbagai teknologi dan ilmu pengetahuan ini, dituntut orang-orang yang berkualitas dan berkompetisi tinggi.

Lebih terperinci

KERANGKA TEORITIS DAN HIPOTESIS

KERANGKA TEORITIS DAN HIPOTESIS II. KERANGKA TEORITIS DAN HIPOTESIS Theory of Planned Behavior/TPB digunakan sebagai model dan kerangka teori karena sudah banyak diterapkan dan teruji dalam menangkap hubungan antara variabel-variabel

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. memperkirakan perilaku dari pengukuran sikap. Teori ini dinamakan reason action karena

BAB II LANDASAN TEORI. memperkirakan perilaku dari pengukuran sikap. Teori ini dinamakan reason action karena BAB II LANDASAN TEORI A. Intensi Berwirausaha 1. Pengertian Intensi Berwirausaha Fishbein dan Ajzein (Sarwono, 2002) mengembangkan suatu teori dan metode untuk memperkirakan perilaku dari pengukuran sikap.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu bisnis yang bergerak di bidang jasa adalah perbankan. Di era

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu bisnis yang bergerak di bidang jasa adalah perbankan. Di era BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu bisnis yang bergerak di bidang jasa adalah perbankan. Di era globalisasi ini kompetisi antar bank menjadi sangat ketat. Perkembangan bisnis yang baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia pada dasarnya dilahirkan dalam keadaan lemah dan tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia pada dasarnya dilahirkan dalam keadaan lemah dan tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada dasarnya dilahirkan dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, ia membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Pada masa bayi ketika

Lebih terperinci

Modul ke: KEWIRAUSAHAAN PENDAHULUAN DAN GAMBARAN UMUM. 01Fakultas FASILKOM. Matsani, S.E, M.M. Program Studi SISTEM INFORMASI

Modul ke: KEWIRAUSAHAAN PENDAHULUAN DAN GAMBARAN UMUM. 01Fakultas FASILKOM. Matsani, S.E, M.M. Program Studi SISTEM INFORMASI Modul ke: 01Fakultas FASILKOM KEWIRAUSAHAAN PENDAHULUAN DAN GAMBARAN UMUM Matsani, S.E, M.M Program Studi SISTEM INFORMASI DISIPLIN ILMU KEWIRAUSAHAAN Menurut Thomas W. Zimmerer, Kewirausahaan adalah hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menengah, koperasi juga merupakan salah satu bagian penting untuk membantu

BAB I PENDAHULUAN. menengah, koperasi juga merupakan salah satu bagian penting untuk membantu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Koperasi merupakan suatu wadah yang dapat membantu masyarakat kecil dan menengah, koperasi juga merupakan salah satu bagian penting untuk membantu meningkatkan perekonomian.peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 13,86% pada Agustus 2010, yang juga meningkat dua kali lipat dari

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 13,86% pada Agustus 2010, yang juga meningkat dua kali lipat dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tantangan dalam pembangunan suatu negara adalah menangani masalah pengangguran. Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) menunjukkan bahwa angka pengangguran di Indonesia

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Semakin banyaknya angka pengangguran jaman sekarang, memaksa

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Semakin banyaknya angka pengangguran jaman sekarang, memaksa BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Pengertian Kewirausahaan Semakin banyaknya angka pengangguran jaman sekarang, memaksa seseorang untuk bisa lebih kreatif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Theory of Planned Behavior Fishbein dan Ajzen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Theory of Planned Behavior Fishbein dan Ajzen BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Theory of Planned Behavior Fishbein dan Ajzen Theory of planned behaviour merupakan pengembangan lebih lanjut dari Theory of Reasoned Action (Fishbein dan Ajzen, 1980; Fishbein

Lebih terperinci

Studi Mengenai Intensi Perilaku Merokok Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Di RS X Bandung

Studi Mengenai Intensi Perilaku Merokok Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Di RS X Bandung Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Studi Mengenai Intensi Perilaku Merokok Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Di RS X Bandung 1) Febby Zoya Larisa, 2) Suhana 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Di era globalisasi sekarang ini, kebutuhan hidup setiap orang semakin

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Di era globalisasi sekarang ini, kebutuhan hidup setiap orang semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di era globalisasi sekarang ini, kebutuhan hidup setiap orang semakin hari semakin meningkat, hal ini salah satu permasalahan yang membuktikan bahwa setiap

Lebih terperinci

Gambaran Intensi Golput pada Pemilih Pemula dalam Pemilihan Umum 2014

Gambaran Intensi Golput pada Pemilih Pemula dalam Pemilihan Umum 2014 Gambaran Intensi Golput pada Pemilih Pemula dalam Pemilihan Umum 2014 oleh : Yoga Adi Prabowo (190110080095) Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran ABSTRAK Golput atau golongan putih merupakan suatu

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kewirausahaan telah lama menjadi perhatian penting dalam mengembangkan pertumbuhan sosioekonomi suatu negara (Zahra dalam Peterson & Lee, 2000). Dalam hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan manusia dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok utama, sehubungan

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan manusia dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok utama, sehubungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kegiatan manusia dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok utama, sehubungan dengan hakikat manusia, yaitu sebagai makhluk berketuhanan, makhluk individual,

Lebih terperinci

KEWIRAUSAHAAN. Ahsin Zaedi, S.Kom Direktur GMP Nusantara Berkarya Owner Griya Sehat Sejahtera Owner Sekolah Panahan

KEWIRAUSAHAAN. Ahsin Zaedi, S.Kom Direktur GMP Nusantara Berkarya Owner Griya Sehat Sejahtera Owner Sekolah Panahan MENUMBUHKAN JIWA KEWIRAUSAHAAN Ahsin Zaedi, S.Kom Direktur GMP Nusantara Berkarya Owner Griya Sehat Sejahtera Owner Sekolah Panahan 1 PENDAHULUAN Jika dahulu kewirausahaan merupakan bakat bawaan sejak

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori

Bab 2. Landasan Teori Bab 2 Landasan Teori 2.1. Teori Perilaku Rencanaan (Theory Of Planned Behavior) Melanjutkan sekolah dan menyelesaikan pendidikan merupakan sebuah tujuan yang semestinya dicapai oleh setiap siswa. Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. global. Hal tersebut lebih penting dibandingkan dengan sumber daya alam yang

BAB I PENDAHULUAN. global. Hal tersebut lebih penting dibandingkan dengan sumber daya alam yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sumber daya manusia yang berkualitas memiliki faktor penting dalam era global. Hal tersebut lebih penting dibandingkan dengan sumber daya alam yang berlimpah.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Populasi/ Sampel Penelitian Penelitian ini dilakukan di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang asuransi jiwa, yaitu PT. Prudential Life Assurance (Prudential

Lebih terperinci

1. Tujuan Instruksional Umum (TIU) 2. Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

1. Tujuan Instruksional Umum (TIU) 2. Tujuan Instruksional Khusus (TIK) Bab 4 Hakekat, Karakteristik dan Nilai-nilai Hakiki Kewirausahaan 1. Tujuan Instruksional Umum (TIU) Mahasiswa dapat menjelaskan hakekat, karakteristik dan nilai-nilai hakiki kewirausahaan 2. Tujuan Instruksional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Adapun alasan atau faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang untuk

BAB I PENDAHULUAN. Adapun alasan atau faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap individu mempunyai keinginan untuk merubah dirinya menjadi lebih baik. Hal ini bisa dikarenakan tempat sebelumnya mempunyai lingkungan yang kurang baik, ingin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,

BAB I PENDAHULUAN. spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, berbagai sektor bidang kehidupan mengalami peningkatan yang cukup pesat. Untuk dapat memajukan bidang kehidupan, manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Krisis global dan dibukanya ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA)

BAB I PENDAHULUAN. Krisis global dan dibukanya ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Krisis global dan dibukanya ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) berdampak negatif terhadap produk-produk dalam negeri. Produk-produk dalam negeri akan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Suryana (2008:2), mendefinisikan bahwa kewirausahaan adalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Suryana (2008:2), mendefinisikan bahwa kewirausahaan adalah BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Niat Berwirausaha Suryana (2008:2), mendefinisikan bahwa kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar,

Lebih terperinci

Entrepreneurship and Inovation Management

Entrepreneurship and Inovation Management Modul ke: Entrepreneurship and Inovation Management KEWIRAUSAHAAN DAN KARAKTER WIRAUSAHA (ENTREPRENEUR) Fakultas Ekonomi Dr Dendi Anggi Gumilang,SE,MM Program Studi Pasca Sarjana www.mercubuana.ac.id 1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian. Objek dalam penelitian ini merupakan entrepreneur di Bandung yang sudah menjalani usahanya selama lebih dari tiga setengah tahun. Wirausaha memiliki

Lebih terperinci

Bab 1 Kewirausahaan. 1. Kewirausahaan dalam Perspektif Sejarah

Bab 1 Kewirausahaan. 1. Kewirausahaan dalam Perspektif Sejarah K e w i r a u s a h a a n 1 Bab 1 Kewirausahaan Mahasiswa diharapkan dapat memahami dan menguasai terkait latar belakang kewirausahaan dan perkembangannya. K emakmuran dari suatu negara bisa dinilai dari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian 3.1.1. Pendekatan penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Data kuantitatif adalah data yang berbentuk angka

Lebih terperinci

6. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

6. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 66 6. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Pada bab ini akan disimpulkan mengenai hasil penelitian yang telah disampaikan pada bab sebelumnya. Pada bab ini juga akan dijelaskan diskusi yang menyatakan analisis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia berada di muka bumi ini. Kneller dalam Prasetyo (2009:3) menyebutkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia berada di muka bumi ini. Kneller dalam Prasetyo (2009:3) menyebutkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pengertian Pendidikan Secara historis, pendidikan dalam arti luas telah mulai dilaksaanakan sejak manusia berada di muka bumi ini. Kneller dalam Prasetyo

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut Mathis dan Jackson (2006, p.3), manajemen sumber daya manusia adalah rancangan rancangan sistem formal

Lebih terperinci

Oleh: Dr. Jimmy Ellya Kurniawan, M.Si., Psikolog Dosen Fak. Psikologi Univ Ciputra Alumni S3 Psikologi Universitas Airlangga Anggota Himpsi-APIO

Oleh: Dr. Jimmy Ellya Kurniawan, M.Si., Psikolog Dosen Fak. Psikologi Univ Ciputra Alumni S3 Psikologi Universitas Airlangga Anggota Himpsi-APIO Oleh: Dr. Jimmy Ellya Kurniawan, M.Si., Psikolog Dosen Fak. Psikologi Univ Ciputra Alumni S3 Psikologi Universitas Airlangga Anggota Himpsi-APIO Pertemuan HIMPSI-JATIM 25 Februari 2017 Entrepreneurs semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pembelajaran matematika, idealnya siswa dibiasakan memperoleh pemahaman melalui pengalaman dan pengetahuan yang dikembangkan oleh siswa sesuai perkembangan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Kata kewirausahaan diambil dari kata wirausaha. Sebagian orang ada

BAB II LANDASAN TEORI. Kata kewirausahaan diambil dari kata wirausaha. Sebagian orang ada 2.1.Kewirausahaan (Entrepreneurship) BAB II LANDASAN TEORI Kata kewirausahaan diambil dari kata wirausaha. Sebagian orang ada yang menyebut wirausaha sebagai wiraswasta. Wirausaha diterjemahkan dari sebuah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Prestasi Akademik 1. Pengertian prestasi akademik Menurut pendapat Djamarah (2002) tentang pengertian prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan,

Lebih terperinci

Kewirausahaan I. Berisi tentang Konsepsi Dasar Kewirausahaan. Dosen : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom. Modul ke: Fakultas Fakultas Ilmu Komputer

Kewirausahaan I. Berisi tentang Konsepsi Dasar Kewirausahaan. Dosen : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom. Modul ke: Fakultas Fakultas Ilmu Komputer Modul ke: Kewirausahaan I Berisi tentang Konsepsi Dasar Kewirausahaan. Fakultas Fakultas Ilmu Komputer Dosen : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom Program Studi Sistem Informasi www.mercubuana.ac.id Hakikat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kewirausahaan (entrepreneurship)merupakan salah satu alternatif bagi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kewirausahaan (entrepreneurship)merupakan salah satu alternatif bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kewirausahaan (entrepreneurship)merupakan salah satu alternatif bagi pemerintah untuk meningkatkan perekonomian negara dan juga untuk menambahkan lapangan pekerjaan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action) Icek Ajzen dan Martin Fishbein bergabung untuk mengeksplorasi cara untuk memprediksi

Lebih terperinci

ADVERSITY QUOTIENT DENGAN MINAT ENTREPRENEURSHIP. Muhammad Shohib Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang

ADVERSITY QUOTIENT DENGAN MINAT ENTREPRENEURSHIP. Muhammad Shohib Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang ADVERSITY QUOTIENT DENGAN MINAT ENTREPRENEURSHIP Muhammad Shohib Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang m_shohib@yahoo.com Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan adversity quotient

Lebih terperinci