BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
|
|
- Inge Oesman
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN V.1 Sisa Minyak di Pulau Pramuka Pengukuran sisa minyak di Pulau Pramuka dilakukan terhadap sampel pasir dan batuan. Total Petroleum Hydrocarbon yang terukur (Tabel V.1) digunakan untuk menganalisis kondisi lingkungan pasca terjadinya tumpahan minyak. Nomor sampel Tabel V.1 Hasil Pengukuran Sampel Beral labu ekstraksi Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) Berat awal Berat akhir (gram) (gram) (mg/gram) % 09B 88, ,9890 0,58 0, , ,2668 0,064 0, , ,2632 4,876 0, A 96, ,5095 9,364 0, B 99, , ,884 1, , ,9964 1,092 0, , ,2738 1,912 0, A 108, , ,72 1, , ,9689 1,804 0, , , , ,4376 0,132 0, , ,2039 0,46 0, , ,2666 0,66 0, , ,4336 2,308 0,2308 Sumber : Pengukuran laboratorium Contoh pengukuran TPH (sampel 09B): - 88, , ,58 / V - 1
2 - TPH (%) = (0,58 mg)/(1 gram x kg/gram) = 580 mg/kg = (580 mg/kg)/(10000 (mg/kg)/%) = 0,058% Gambar V.1 memperlihatkan peta sebaran sisa minyak di Pulau Pramuka. Konsentrasi sisa minyak tertinggi, yakni mg/gram terdapat di wilayah utaraa Pulau Pramuka, yakni berada di wilayah terumbu karang, pantai berpasir, dan letaknya jauh dari lokasi pemukiman. Lokasi pemukiman padat berada di wilayah tengah Pulau Pramuka. Menuju ke arah selatan, kepadatan semakin menurun. Pada area pemukiman, konsentrasi sisa minyak sudah rendah yakni mg/gram. Gambar V.1 Sebaran Sisa Minyak di Pulau Pramuka (mg/gram) Untuk mengetahui apakah nilai konsentrasi yang diperoleh telah melampaui batas pencemaran, maka diperlukan adanya sebuah standar kualitas Total Petroleum Hydrocarbon di dalam sedimen atau tanah. Indonesia belum memilikii baku mutu yang mengatur hal ini secara spesifik. Peraturan yang cukup memiliki kaitan antara lain Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup no 128 tahun 2003 mengenai Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi secara Biologis. V - 2
3 Terdapat beberapa peraturan luar negeri yang dapat dijadikan acuan perbandingan hasil pengukuran, diantaranya adalah American Petroleum Association(APA) dan Canadawide Standards for Petroleum Hydrocarbon in Soil. Baik KepMenLH maupun APA menetapkan baku mutu yang sama untuk TPH di dalam tanah yakni mg/kg (1%). Sebuah studi menunjukkan bahwa angka ini merupakan batas protektif bagi kesehatan manusia (EPA, 2003). Nilai 1% juga digunakan di negara bagian Alberta, Canada. Sementara Canada-wide Standards menetapkan batas bawah konsentrasi TPH dalam tanah sebesar 0.56%. Nilai ini merupakan nilai batas untuk fraksi hidrokarbon nc 35+ untuk wilayah pemukiman dan taman. Berdasarkan hasil pengukuran sampel, setelah 2 (dua) tahun terjadi tumpahan masih teridentifikasi adanya minyak di wilayah pesisir Pulau Seribu. Sebagian besar konsentrasi sisa minyak berada di bawah referensi baku mutu, yakni 1% dan 0.56%. Hal ini menunjukkan bahwa minyak mengalami penguraian selama proses perjalanan dari titik tumpahan hingga terperangkap di dalam sedimen. Proses ini tentu didukung oleh faktorfaktor lingkungan, baik untuk proses penguraian secara fisik, kimia, dan biologi. Selain itu sebagian besar konsentrasi sisa minyak telah berada di bawah batas konsentrasi yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Kandungan hidrokarbon di wilayah pesisir dapat memberikan dampak negatif bagi kehidupan penduduk Pulau Pramuka. Dampak yang ditimbulkan dapat berupa dampak jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendek terjadi jika upaya pembersihan tidak dilakukan sesegera mungkin setelah terjadi tumpahan. Ekosistem di sekitar wilayah perairan akan mati seketika akibat kurangnya suplai oksigen, sinar matahari, serta tingkat toksisitas dari petroleum itu sendiri. Pulau Pramuka merupakan kawasan penangkaran penyu sisik, budidaya ikan dan rumput laut, serta dikenal akan kawasan terumbu karang yang menjadi pusat objek wisata. Efek lethal dari tumpahan minyak dapat mengancam kehidupan makhluk-makhluk hidup tersebut. Selain itu, jika dibiarkan begitu saja, minyak akan terdampar ke pesisir pantai, terperangkap di dalam pasir hingga bertahun-tahun. Dampak jangka panjang yang ditimbulkan bergantung pada seberapa besar konsentrasi minyak yang terperangkap di dalam sedimen. Negara bagian New Mexico di Amerika Serikat memiliki sebuah sistem pemberian nilai (Tabel V.2) untuk membuat sebuah evaluasi mengenai potensi resiko keberadaan minyak V - 3
4 terhadap kesehatan masyarakat, air, dan lingkungan. Berdasarkan sistem penilaian tersebut, sebagian besar sisa minyak mendapatkan nilai >19 dan Tabel V.2 Evaluasi Level Kegiatan Pembersihan Minyak di New Mexico (mg/gram) Nilai > Benzene 0,010 0,010 0,010 BTEX 0,050 0,050 0,050 TPH 0,100 1,000 5,000 Sumber: EPA, 2003 Sisa minyak dengan nilai 0-9, yakni dengan konsentrasi di atas 5 mg/gram berada pada wilayah Pulau Pramuka utara dengan lokasi berada pada kawasan terumbu karang. Minyak yang tumpah pada kawasan ini dapat menutupi permukaan terumbu karang sehingga menghalangi kontak dengan sinar matahari dan oksigen yang menunjang kehidupan ekosistem. Apalagi terumbu karang menjadi penopang hidup bagi organisme lain, seperti ikan. Kehidupan organisme-organisme ini yang kemudian menunjang kehidupan penduduk pulau yang mengandalkan hidup dari sektor pariwisata dan perikanan. Oleh karenanya, upaya pembersihan di daerah terumbu karang perlu untuk dilakukan. Selain terumbu karang, hutan bakau juga merupakan tutupan lahan yang terdapat di utara Pulau Pramuka. Kawasan hutan bakau berfungsi untuk menahan gelombang yang dapat menyebabkan abrasi pantai. Kawasan ini memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap tumpahan minyak, karena laju pertumbuhan hutan bakau yang sangat lambat. Selain itu, minyak yang telah masuk wilayah hutan bakau akan sulit untuk dibersihkan secara alami oleh gelombang laut yang tertahan. Minyak juga akan terperangkap dalam pasir dan sulit untuk diuraikan baik secara kimia maupun biologi. Sisa minyak di kawasan ini berkisar antara mg/gram. Dengan konsentrasi yang cukup tinggi, hutan mangrove akan sulit untuk melakukan pemulihan secara alami. Oleh karena itu upaya pembersihan minyak perlu dilakukan. Rusaknya ekosistem hutan bakau akan mengakibatkan abrasi pantai karena berkurangnya kemampuan pantai untuk menahan gelombang. Konsentrasi sisa minyak pada zona pemukiman di tengah menuju selatan Pulau Pramuka berkisar antara mg/gram. Jika mengacu pada baku mutu, maka konsentrasi tersebut masih berada di bawah 1% sehingga tidak perlu diadakan suatu upaya V - 4
5 pembersihan minyak, seperti bioremediasi. Namun jika minyak bergerak cukup dalam ke bawah sedimen, minyak memiliki potensi untuk mencemari sumber air bagi penduduk pulau yang menggunakan sumur sebagai sumber air bersih. Selain itu pada wilayah timur pulau ini terdapat Pembangkit Listrik Tenaga Diesel yang memiliki potensi untuk mencemari air. Karena karakteristik minyaknya yang mudah menguap maka tumpahan minyak dari PLTD mudah untuk menghilang dari wilayah pesisir. Namun, jika tumpahan terjadi dalam frekuensi yang tinggi, minyak dapat bergerak ke dalam sedimen dan menjadi sulit untuk dibersihkan. Untuk itu, pemantauan perlu dilakukan terhadap tingkat tumpahan minyak pada instalasi ini beserta pengaruhnya terhadap kualitas air tanah. Pada zona barat daya Pramuka di mana kawasan permukiman cukup jauh dari pantai, sisa minyak berkisar antara Walaupun berada jauh dari kawasan penduduk, minyak dapat mencemari pasir dan air, serta mencemari sumber air bersih yang digunakan penduduk dalam aktivitas sehari-hari. Upaya pembersihan perlu dilakukan jika ditemukan bahwa minyak yang tertinggal di daerah ini menyebabkan kontaminasi pada sumber air sumur penduduk. V.2 Parameter yang Mempengaruhi Proses Minyak Tingkat konsentrasi sisa minyak di sekitar wilayah studi bervariasi dipengaruhi oleh proses penguraian yang terjadi pada minyak di setiap zona. Jenis dan laju proses penguraian ini dipengaruhi oleh jenis minyak yang tumpah serta faktor-faktor lingkungan tempat terjadinya tumpahan minyak. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah kondisi perairan yang mengelilingi daratan, tipe sedimen, tutupan lahan, temperatur, nutrien, salinitas, dan faktor-faktor lainnya. Model Environmental Sensitivity Index (ESI) pada bab sebelumnya menguraikan parameter-parameter klasifikasi garis pantai yang mempengaruhi kerentanan lingkungan antara lain energi gelombang dan pasut, kemiringan pantai, tipe sedimen, dan produktivitas biologi (Ali, 2003). Temperatur akan mempengaruhi penyebaran minyak, tingkat evaporasi, dan laju biodegradasi. Laju biodegradasi juga dipengaruhi oleh kandungan nutrien dan salinitas. V.2.1 Gelombang dan Arus Pasang Surut Energi gelombang adalah fungsi dari rata-rata tinggi gelombang selama satu tahun sedangkan energi dari arus pasut dibangkitkan oleh elevasi pasut. Energi dari kedua parameter ini dapat menimbulkan arus menyusur pantai yang berpotensi memindahkan minyak dan membawa pasir atau kerikil ke arah lepas pantai serta V - 5
6 mengubur minyak. Semakin tinggi energi gelombang maka potensi untuk membersihkan minyak secara alami akan lebih mudah. Proses pembersihan minyak secara alami biasanya terjadi dalam waktu yang cepat dan hanya hitungan hari. Minyak akan lebih mudah dibersihkan pada musim dengan energi gelombang dan arus pasang surut yang lebih besar. Energi gelombang dan kecepatan arus memiliki pola musiman, yakni di musim barat lebih besar dibandingkan pada musim timur (Ali, 2003). Arus menyusur pantai akan membawa tumpahan minyak ke arah pesisir pantai. Karena pada musim barat energi gelombang dan kecepatan arus lebih besar, maka minyak akan lebih cepat terbawa ke arah pantai. Namun, minyak dapat segera dibersihkan oleh datangnya gelombang yang kemudian membawa sebagian minyak menjauhi pantai. Proses tersebut menyebabkan konsentrasi minyak yang terperangkap di pantai menjadi lebih rendah. Sementara pada musim timur energi gelombang akan lebih rendah sehingga minyak yang telah berada di daerah pantai akan lebih lama tertahan karena kecepatan arus pasut dan arus menyusur pantai yang lebih kecil tidak dapat mendorong minyak untuk menjauhi garis pantai. Kondisi ini menyebabkan minyak cenderung untuk diam di dalam pasir dan sulit untuk dibersihkan. Selain membawa tumpahan minyak, gelombang laut juga akan membawa partikel massa air, diantaranya adalah nutrien yang dibutuhkan dalam proses biodegradasi. Energi gelombang yang lebih besar, yakni pada musim barat, akan membawa nutrien dalam jumlah yang lebih besar pula. Tingkat energi gelombang rendah di daerah pesisir akibat gelombang telah pecah pada jarak yang jauh dari pantai. Kondisi ini mengurangi probabilitas terbentuknya gumpalan minyak (oil globule) yang dapat menurunkan rasio luas permukaan/volume dan menurunkan kontak mikroorganisme dengan minyak serta tingkat biodegradasi minyak. Dengan luas permukaan molekul minyak yang besar, mikroorganisme sulit untuk melakukan degradasi terhadap tumpahan. V - 6
7 Tabel V.3 Residu Minyak Berdasarkan Klasifikasi Model Spasial Kemiringan Produktivitas Tipe Sedimen Titik Pantai Biologi Zona Kerentanan Lingkungan 0-5 Dermaga/ Seawall Pasir Terumbu Karang Agak Rentan Rentan Sangat Rentan 09B 0,0580 0, ,000 0, ,0064 0, ,000 0, ,4876-0,4876-0,000-0, A 0,9364-0,9364-0,000-0, B 1,0884 1, ,000 1, ,1092-0,1092-0,000-0, ,1912-0,1912 0,1912 0,000-0, A 1,1720-1,1720 1,1720 0,000-1, ,1804-0,1804 0,1804 0,000-0, ,0000-0,0000 0,0000 0,000-0, ,0132-0,0132 0,0132 0,000-0, ,0460 0,0460-0,0460 0,000 0, ,0660 0,0660-0,0660 0,000-0, ,2308 0, ,000-0,2308 Ratarata 0,3275 0,2493 0,3863 0,2384 0,0000 0,2997 0,3387 V - 7
8 V.2.2 Kemiringan Pantai Kemiringan pantai berhubungan erat dengan tipe pantai dan daerah intertidal, semakin landai maka daerah intertidal akan semakin luas. Daerah intertidal yang luas mempunyai tingkat kerentanan yang tinggi karena tingkat kesulitan untuk membersihkan minyak semakin sulit dan pengaruh energi gelombang dan arus pasut yang kecil. Namun, zona intertidal yang luas dengan kemiringan pantai Pulau Pramuka yang landai (berkisar antara ) membuat zona gelombang pecah jauh dari pantai sehingga energi gelombang akan mengecil ketika mendekat pantai. Akibatnya, minyak yang menutupi sedimen, terumbu karang, dan kayu tidak dapat dibersihkan dalam jangka waktu singkat. Wilayah Pulau Pramuka dikelilingi oleh perairan dengan kemiringan <5 0 sehingga konsentrasi minyak bervariasi dari % hingga 1.172% (Tabel V.3) Gambar V.2 Daerah Zona Gelombang Pecah (Sumber: Ali, 2003) Gelombang pecah terjauh terjadi pada zona terumbu karang. Gambar V.2 menunjukkan bahwa pada zona terumbu karang dan titik gelombang pecah, kedalaman laut kurang dari 5 meter dan kemiringan pantai landai. Tumpahan minyak yang telah mendekati pantai akan sulit terbawa oleh gelombang karena energi gelombang telah pecah sebelum memasuki kawasan terumbu karang. V - 8
9 Akibatnya terumbu karang akan rentan tertutupi dan terkontaminasi oleh lapisan minyak yang diam di zona ini. Berdasarkan konsentrasi sisa minyak yang masih terkandung di daerah zona terumbu karang tersebut, konsentrasi berkisar antara %. Konsentrasi 1.172% berada di utara zona terumbu karang. Variasi konsentrasi yang terjadi dapat disebabkan oleh sumber minyak yang lebih dekat ke arah utara sera pola arus pada saat terjadi tumpahan yang bergerak ke arah utara Pulau Pramuka. Sisa minyak ini menunjukkan bahwa jika minyak tumpah di daerah dengan karakteristik kemiringan pantai landai dan gelombang pecah di titik cukup jauh dari pantai, maka minyak akan tinggal di daerah tersebut hingga waktu yang cukup lama. Wilayah dengan karakteristik seperti di atas akan menerima dampak jangka panjang lebih besar daripada daerah-daerah lainnya. Selain merusak ekosistem terumbu karang, tumpahan minyak dapat merusak usaha keramba jaring apung yang dilakukan penduduk setempat. V.2.3 Tipe Sedimen Terdapat tiga kelas tipe sedimen dalam klasifikasi kerentanan lingkungan ini yaitu bedrock, material buatan dan pasir. Pembagian kelas tersebut diambil berdasarkan sifat lapisan sedimen yaitu lapisan impermeable (lapisan yang tidak dapat ditembus minyak) dan lapisan permeable (lapisan yang dapat ditembus minyak). Bedrock merupakan tipe sedimen yang termasuk ke dalam sifat lapisan yang impermeable, material buatan merupakan tipe sedimen yang termasuk ke dalam lapisan impermeable dan permeable sedangkan pasir adalah sedimen yang permeable. Semakin permeable suatu sedimen maka tingkat kerentanan akan semakin tinggi atau semakin kecil ukuran sedimen maka tingkat kerentanan semakin besar. Pasir sangat rentan terhadap tumpahan minyak, karena bersifat impermeable, dapat melarutkan minyak ke dalam butiran pasir. Pasir termasuk kategori yang sangat rentan, karena minyak dapat menyerap dan terkubur oleh pasir setelah teraduk oleh arus menyusur pantai. Sedangkan seawall dan dermaga relatif rentan terhadap minyak karena minyak dapat diangkat untuk dibersihkan atau terbawa arus menyusur pantai untuk menjauhi pantai, terutama ketika kondisi pasang. V - 9
10 Gambar V.3 menunjukkan bahwa sisa minyak di daerah pasir lebih tinggi daripada saerah dermaga/seawall. Pasir di pantai wilayah Pulau Pramuka mengandung minyak 1.5x lebih besar daripada kandungan minyak yang terkandung di wilayah dermaga/seawall. Dengan mempertimbangkan adanya aktivitas kapal penyeberangan yang melabuh di daerah dermaga setiap hari, maka daerah ini padaa dasarnya menerima tumpahan minyak dengann frekuensi lebih tinggi, yakni bersumber dari bocoran tanki bahan bakar kapal. Namun, dengan adanya aktivitas tersebut, konsentrasi minyak di wilayah pasir masih lebih tinggi dibandingkan dengan daerah dermaga. Selain disebabkan oleh tipe sedimen di wilayah dermagaa yang inpermeable, tumpahan minyak yang berasal dari bahan bakar kapal merupakan jenis yang hampir seluruh bagian hidrokarbon memiliki karakteristik mudah terevaporasi. Berbeda adanya dengan kasus tumpahan minyak yang bersumberr dari jenis minyak mentah. Hanya sepertiga bagian dari minyak mentah yang dapat mengalami evaporasi (Oil In The Sea III, 2003). Sebagian lainnya selain akan terurai secara kimia dan biologi juga akan bergerak sesuai arus dan gelombang laut. Sisa dari minyak yang tidak menguap ini jika masuk ke area pantai berpasir akan terperangkap di dalam pasir. Tanpa adanya upaya pembersihan yang baik, minyak akan terus terkandung di dalam pasir. 0,5000 Rerata Sisa Minyak 0,4000 0,3000 0,2000 0,1000 0,2493 0,3863 0,0000 Dermaga/Seawall Pasir Tipe Sedimen Gambar V.3 Rerata Sisa Minyak menurut Tipe Sedimen Dari hasil pengambilan sampel terlihat bahwa minyak tidak hanya terperangkap di sedimen seperti pasir, namun juga terperangkap di kayu yang berasal dari dermaga V - 10
11 dan terumbu karang. Nilai konsentrasi maksimum pengukuran minyak diperoleh dari sampel terumbu karang dan kayu. Dari penampakan warna sampel telah menghitam dan mengeluarkan bau minyak. Pada saat terjadi tumpahan, secara visual lapisan minyak akan terlihat di permukaan pantai. Selain mengancam kehidupan biota, dari sisi estetika kondisi ini akan mengurungkan niat wisatawan untuk mengunjungi pulau. Sehingga tidak hanya sekedar dampak lingkungan yang akan dialami oleh penduduk sekitar, namun juga dampak ekonomi akibat berkurangnya pemasukan dari bidang pariwisata. V.2.4 Produktivitas Biologi Produktivitas biologi merupakan jenis tutupan lahan yang terdapat pada wilayah studi. Tutupan lahan seperti hutan bakau, terumbu karang, padang lamun, rawa, dan air payau merupakan wilayah-wilayah yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap tumpahan minyak. Pulau Pramuka didominasi oleh tutupan lahan terumbu karang. Tutupan lahan lain yang terdapat di Pulau Pramuka yaitu hutan bakau. Tumpahan minyak akan membuat kondisi terumbu karang menjadi semakin parah, selain disebabkan oleh penangkapan ikan dengan menggunakan sianida oleh penduduk sekitar dan terjadinya bleaching sebagai salah satu bentuk dampak dari naiknya temperatur rata-rata laut. Pada saat terjadi tumpahan, lapisan minyak akan berada di permukaan laut dan sebagian akan mengalami evaporasi. Hanya fraksi dari hidrokarbon dengan yang akan mengalami pergerakan secara vertikal. Jurnal Oil In The Sea III (2003) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa mekanisme minyak dapat turun ke dalam laut, antara lain karena massa minyak lebih besar daripada air, serta minyak terserap ke dalam sedimen tersuspensi dan sedimen kemudian mengendap di dasar laut. Salah satu penyebab minyak dapat terserap ke dalam sedimen tersuspensi adalah ekskresi dari zooplankton yang memakan butiran-butiran kecil minyak yang terdispersi di kolom air. V - 11
12 Sisa minyak yang teridentifikasi di wilayah terumbu karang merupakan bagian minyak yang masuk ke dasar laut pada saat terjadi tumpahan. Pada wilayah dengan konsentrasi sisa minyak cukup tinggi, minyak diperkirakan diam di permukaan laut dalam waktu yang cukup lama akibat rendahnya gelombang dan arus pasang surut serta kemiringan pantai yang landai. Selain aktivitas zooplankton, waktu tinggal minyak yang lama menyebabkan bagian minyak dengan massa lebih besar dari air bergerak secara vertikal dan turun ke permukaan terumbu karang. V.2.5 Temperatur Permukaan Laut (TPL) Diantara faktor-faktor yang mempengaruhi biodegradasi hidrokarbon, temperatur merupakan salah satu faktor paling penting karena proses degradasi adalah suatu proses yang mengikuti hukum Arrhenius. Metabolisme mikrobial meningkat seiring dengan naiknya temperatur, dan umumnya meningkat dua kali lipat setiap kenaikan 10 0 C pada rentang temperatur 10 hingga 40 0 C (Coulon et al., 2004). Selain proses biodegradasi, TPL juga memberikan pengaruh terhadap proses lain dari penguraian minyak, yakni penyebaran minyak dan evaporasi. Berdasarkan hasil pengklasifikasian citra, nilai sebaran temperatur pada musim timur berkisar antara C sementara pada musim barat berkisar antara C (Tabel V.4). Tabel V.4 Nilai Temperatur Permukaan Laut Rata-rata ( 0 C) Tahun Musim Timur Musim Barat Rata-rata M.Timur M.Barat Rata-rata Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara temperatur di musim timur dan musim barat (Gambar V.4). Selain itu, sebaran temperatur di wilayah studi cenderung merata. Temperatur permukaan laut pada wilayah sekitar Pulau Pramuka pada musim barat memiliki rentang sempit antara C sementara pada musim timur antara C. Temperatur yang terukur sesuai dengan hasil pengukuran lapangan yang dilakukan LAPAN pada tahun V - 12
13 2005, yakni C (Tabel IV.1). Berdasarkan pengukuran lapangan LAPAN terlihat bahwa memang temperatur di wilayah studi berada pada rentang yang sempit. Namun, tidak terlihatnya variasi yang signifikan antar titik di wilayah studi dapat disebabkan pula oleh resolusi citra yang kecil (4 km). Resolusi ini ternyata tidak dapat diterapkan secara maksimal pada wilayah kepulauan kecil, sehingga perlu dilakukan pengolahan dengan menggunakan citra berresolusi lebih tinggi. Metabolisme mikrobial biasanya akan meningkat dua kali lipat setiap peningkatan temperatur 10 0 C pada variasi temperatur 10 0 C-40 0 C (Bossert dan Bartha, 1984 dalam Coulon et. al, 2004). Berdasarkan hal tersebut maka tingkat sensitivitas lingkungan terhadap tumpahan minyak rendah karena adanya faktor pendukung temperatur yang cukup tinggi. Selain itu, nilai temperatur konstan baik di musim barat maupun musim timur (Gambar V.5), sehingga tidak terdapat perbedaan tingkat sensitivitas yang signifikan terhadap tumpahan minyak antar musim. Keadaan konstan ini disebabkan oleh lokasi wilayah studi di daerah tropis yang mengalami penyinaran matahari secara konstan. (a) V - 13
14 (b) Gambar V.4 (a) Peta Sebaran TPL Musim Timur ( 0 C) dan (b) Peta Sebaran TPL Musim Barat ( 0 C) Temperatur ( 0 C) 30 29,8 29,6 29,4 29,2 Musim Timur Musim Barat 29 28,8 28,6 28,4 28, Tahun Gambar V.5 Variasi Temperatur antara Musim Timur dan Musim Barat Temperatur permukaan laut selain menjadi faktor pendukung berlangsungnya biodegradasi minyak juga menjadi faktor pendukung proses penguraian minyak secara fisik. Pada suhu 15 0 C dan waktu lebih dari 40 jam setelah terjadi tumpahan, V - 14
15 minyak jenis bensin akan terevaporasi >90%, minyak mentah 40%, dan solar >30% dari jumlah awalnya (Oil In The Sea III, 2003). Dengan TPL berada jauh di atas 15 0 C, maka akan lebih banyak bagian dari tumpahan yang akan mengalami evaporasi. Sisa minyak yang tidak menguap akan bergerak, baik secara horizontal maupun vertikal ke dalam kolom air. Temperatur akan menurunkan densitas air, sehingga bagian minyak dengan densitas lebih besar akan masuk ke dalam air dan dapat diam di dasar laut. Di dasar laut, terutama laut dalam, minyak akan sulit terdegradasi baik secara kimia (fotokimia) dan biologi karena kurangnya kontak dengan cahaya matahari. Karena temperatur cenderung merata di seluruh bagian wilayah studi, maka dapat disimpulkan bahwa tidak temperatur tidak memberikan pengaruh yang berbeda pada proses penyebaran dan penguraian minyak di setiap titik di wilayah studi. Sebagai faktor lingkungan, temperatur juga tidak memberikan pengaruh yang berbeda dalam proses yang terjadi pada minyak baik di musim timur maupun musim barat. Proses penyebaran minyak lebih dipengaruhi oleh energi gelombang, arus pasang surut, dan kemiringan pantai. V.2.6 Klorofil-a Klorofil merupakan pigmen hijau yang ditemukan di sebagian besar tanaman, alga, dan cyanobacteria. Klorofil merupakan faktor penting dalam fotosintesis, karena memyebabkan tumbuhan dapat menerima energi dari cahaya. Klorofil-a merupakan salah satu jenis kelompok klorofil dengan rumus molekul C 55 H 72 O 5 N 4 ZMg dan penyebarannya universal. Klorofil-a memiliki korelasi positif terhadap keberadaan nitrogen (ammonia dan nitrit) serta fosfor (Abdel-Halim, 2007), sehingga konsentrasi klorofil-a di permukaan laut dapat dijadikan acuan untuk menggambarkan penyebaran nutrien di wilayah studi. Produksi fitoplankton di ekosistem akuatik sangat bergantung terhadap masukan nitrat-n dan fosfat-p ke dalam perairan (Ketchum et al., 1958 dalam Smith, 2007). Oleh karena itu tingkat nutrien di dalam ekosistem akuatik (N dan P) memiliki korelasi positif terhadap nilai produktivitas primer (klorofil-a). Hubungan ini telah lama digunakan untuk menganalisa kemungkinan terjadinya eutrofikasi dalam lingkungan pesisir dan estuari. V - 15
16 Berdasarkan hasil klasifikasi citra, nilai klorofil-a pada musim timur berkisar antara mg/m 3 sementara pada musim barat berkisar antara mg/m 3 (Tabel V.5). Tabel V.5 Nilai Klorofil-a Rata-rata (mg/m 3 ) Tahun Musim Timur Musim Barat Rata-rata M.Timur M.Barat Rata-rata Nilai konsentrasi klorofil-a rata-rata pada wilayah Pulau Pramuka timur lebih rendah dibandingkan dengan wilayah Pulau Pramuka barat, yakni dengan rentang pada musim barat antara 1.20 hingga mg/m 3 dan pada musim timur antara mg/m 3. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada pola sebaran klorofil-a baik di musim timur maupun musim barat (Gambar V.6). Berdasarkan hasil pengukuran LAPAN pada tahun 2005, diketahui bahwa nilai klorofil-a pada tahun 2005 adalah mg/m 3 (Tabel IV.1) V - 16
17 (a) (b) Gambar V.6 (a) Peta Sebaran Klorofil-a Musim Timur (mg/m 3 ) dan (b) Peta Sebaran Klorofil-a Musim Barat (mg/m 3 ) Terumbu karang hidup di wilayah dengan karakteristik air laut yang jernih, hangat, dan cukup salinitas. Perairan dengan karakteristik seperti cenderung miskin akan kandungan nutrien (CoRIS, 2007). Terumbu karang hidup di zona Pulau Pramuka timur. Gambar V.6 menunjukkan bahwa konsentrasi klorofil-a Pulau Pramuka sebelah timur jauh lebih rendah dibandingkan klorofil-a Pulau Pramuka sebelah barat. Akibatnya, pada zona terumbu karang nutrien menjadi faktor pembatas penguraian minyak secara biologi. Selain itu, konsentrasi klorofil-a yang rendah akan menyebabkan rendahnya sebaran mikroorganisme pengurai minyak. Mikrorganisme sendiri, seperti cyanobacteria dan fungi, merupakan sumber penyakit yang dapat merusak terumbu karang (CoRIS, 2007). Oleh karena itu keberadaanya di lingkungan terumbu karang merupakan indikasi menurunnya kondisi ekosistem terumbu karang. Konsentrasi klorofil-a di wilayah Pulau Pramuka sebelah barat yang lebih tinggi daripada wilayah sebelah timur juga dapat disebabkan oleh aktivitas penduduk. Seperti terlihat pada Gambar V.6(b) bahwa pemukiman penduduk lebih padat di V - 17
18 sebelah barat pulau. Selain itu, aktivitas dermaga dan keramba jaring apung juga terdapat di sebelah barat pulau ini. Keseluruhan aktivitas tersebut dapat menambah masukan nutrien ke dalam perairan laut. Kandungan nutrien tersebut dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk melakukan fotosintesis dan menambah jumlah klorofil-a di dalam perairan. Pada batas-batas tertentu, kondisi ini menyebabkan lingkungan menjadi tempat yang baik bagi kehidupan mikroorganisme. Sehingga pada saat terjadi tumpahan, terdapat nutrien yang dapat mendukung mikroorganisme untuk melakukan penguraian terhadap minyak. Tidak terdapat studi yang menjelaskan hubungan langsung antara laju biodegradasi dan konsentrasi klorofil-a. Klorofil-a sendiri berhubungan langsung dengan tingkat fotosintesis sehingga mempengaruhi keberadaan nutrien di perairan laut. Konsentrasi klorofil di atas 0.2 mg/m 3 mengindikasikan kehadiran kehidupan plankton yang cukup untuk mendukung perikanan komersil (Gower, 1972 dalam Butler, 1988). Konsentrasi klorofil yang terukur citra satelit dan baik pada musik timur maupun musim barat serta hasil pengukuran lapangan LAPAN berada di atas 0.2 mg/m 3. Keberadaan plankton ini menunjukkan sebaran nutrien yang dapat mendukung terjadinya proses biodegradasi terhadap tumpahan minyak. Klorofil-a (mg/m 3 ) 1,6 1,4 1,2 1 0,8 Musim Timur Musim Barat 0,6 0,4 0, Tahun Gambar V.7 Variasi Klorofil-a antara Musim Timur dan Musim Barat Konsentrasi klorofil di wilayah studi memiliki pola musiman, yakni pada musim barat cenderung lebih tinggi daripada konsentrasi klorofil pada musim timur (Gambar V.7). Berdasarkan Wyrtki (1961) dalam Ali (2003), pada musim barat V - 18
19 pola arus permukaan bergerak dari arah Laut Cina Selatan ke Laut Jawa dan Laut Flores. Sedangkan pada musim timur arus bergerak dari arah Barat, Laut Jawa menuju Laut Cina Selatan. Besarnya kecepatan arus pada musim yang berbeda ini sangat tergantung dari kecepatan anginnya, dengan kecepatan pada musim barat relatif lebih cepat dari musim timur. Konsentrasi klorofil-a pada musim barat lebih tinggi dari musim timur diperkirakan karena membawa massa air yang berasal dari Laut Cina Selatan dan melewati Selat Karimata sehingga terjadi pencampuran massa air. Hal ini juga didukung oleh kecepatan arus musim barat yang lebih tinggi daripada musim barat. Berdasarkan standar kualitas air yang berlaku di Connecticut, yakni Connecticut Lake Trophic Classifications Water Quality Standards, kondisi danau atau perairan oligotrofik mengandung klorofil-a dengan rentang 0 2 µg/l, mesotrofik 2 15 µg/l, eutrofik µg/l, dan eutrofik tinggi >30 µg/l (EPA, 2000). Konsentrasi hasil citra satelit menunjukkan bahwa wilayah pesisir timur pantai wilayah studi berada pada kondisi oligotrofik sementara pesisir barat pantai Pulau Pramuka berada pada kondisi eutrofik. Kondisi eutrofik pada pantai barat Pulau Pramuka mengindikasikan resiko konsentrasi nutrien yang tinggi sehingga walaupun proses biodegradasi dapat berlangsung dengan baik, namun terdapat potensi terjadi alga bloom yang dapat menyebabkan penurunan kualitas air. Kondisi eutrofik dapat terjadi akibat adanya masukan nutrien secara berlebihan baik dari kegiatan pemukiman dan perikanan yang dilakukan di sekitar wilayah Teluk Jakarta. V.2.7 Colored Dissolved Organic Matter (CDOM) CDOM adaah fraksi materi organik terlarut yang menyerap cahaya baik ultraviolet maupun cahaya tampak. CDOM disebabkan oleh pelapukan partikel organik (organic detritus), yang melepaskan senyawa tanin ke dalam air, sehingga menyebabkan warna air menjadi kuning hingga coklat. Pengukuran CDOM memiliki hubungan terhadap salinitas pada lingkungan pesisir. Semakin besar nilai koefisien absorpsi, nilai salinitas akan semakin kecil, dengan kasus-kasus tertentu dimana yang terjadi adalah sebaliknya (Coble et al., 2003). Nilai CDOM rata-rata pada rentang waktu April-Mei 2008 berkisar antara m -1. Gambar V.8 menunjukkan sebaran CDOM pada wilayah studi. Di V - 19
20 sekitar wilayah Pulau Pramuka, nilai CDOM berada pada rentang m - 1. Area berwarna hitam di tengah gambar menunjukkan tidak ada nilai CDOM yang teridentifikasi dari pengolahan citra. Nilai yang tidak teridentifikasi disebabkan kurangnya data citra harian untuk menghasilkan peta sebaran yang lebih merata. Gambar V.8 Peta Sebaran CDOM Untuk memperkirakan nilai salinitas berdasarkan nilai perolehan CDOM, dibutuhkan referensi hasil pengukuran lapangan. Tabel V.6 memperlihatkan perbandingan antara hasil pengukuran salinitas oleh LAPAN dan nilai CDOM. Nilai salinitas hasil pengukuran lapangan berada pada rentang Sebagian besar spesies laut hidup pada salinitas optimum berkisar antara 2.5 (25 ) hingga 3.5% (35 ) dan sulit atau tidak dapat tumbuh pada salinitas di bawah 1.5 (15 ) hingga 2% (20 ) (Zobell, 1973 dalam Zhu, 2001). Laju metabolisme hidrokarbon menurun seiring meningkatnya salinitas dari 3.3% hingga 28.4% pada studi kolam evaporasi garam (Ward dan Crock, 1078 dalam Zhu, 2001). Dengan menggunakan grafik regresi, diperkirakan bahwa nilai salinitas di Pulau Pramuka sebelah barat adalah sementara nilai salinitas Pulau Pramuka sebelah timur adalah Hasil perolehan nilai salinitas tersebut menunjukkan V - 20
21 bahwa nilai salinitas di wilayah Pramuka berada dalam rentang salinitas optimum bagi kehidupan spesies laut hidup, termasuk mikroorganisme. Dengan variasi rentang yang sempit, diperkirakan sebaran mikroorganisme bersifat merata di sepanjang perairan Pulau Pramuka. Pada saat terjadi tumpahan, minyak akan dapat terdegradasi dengan adanya keberadaan mikroorganisme di perairan laut. Tabel V.6 Perbandingan Hasil Pengukuran LAPAN dan Citra Satelit Titik LAPAN ( ) CDOM (m -1 ) Timur P. Harapan 33 - Antara P. Kalage & P. Kelapa 32 - Antara P. Karang Bongkok & P. Kotok 32 - Barat P. Gosong Pandan Barat P. Semak Daun KJA Gosong Pramuka Barat P. Pramuka KJA P. Panggang (Laguna) Barat Laut P. Ayer Timur P. Kaliage Besar Timur P. Tidung Antara P. Tidung Kecil & P. Tidung Besar Laguna P. Ayer Selatan P. Pramuka Barat Daya P. Semak Daun Timur P. Payung Barat P. Pari Antara P. Tikus & P. Burung 30 - Selatan P. Pari Antara P. Bokor & P. Untung Jawa Selatan P. Untung Jawa Selatan P. Bidadari 25 - Sumber : LAPAN (2005) dan hasil pengolahan citra Keterangan : (-) --> Tidak terdapat data V - 21
22 Salinitas ( ) R² = 0, ,02 0,07 0,12 CDOM (m -1 ) Gambar V.9 Regresi antara CDOM dan Salinitas Karena CDOM merupakan fraksi organik terlarut, maka CDOM juga dapat mempengaruhi kandungan substrat di wilayah perairan. Kandungan CDOM yang tinggi menyebabkan semakin tingginya senyawa organik sehingga laju biodegradasi semakin meningkat. Studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh kandungan CDOM di perairan pesisir terhadap laju penguraian minyak alami secara biologi. V.3 Analisis Kerentanan Wilayah Studi terhadap Tumpahan Minyak Sensitivitas lingkungan wilayah Pulau Pramuka terhadap tumpahan minyak berbeda antara musim barat dan musim timur. Perbedaan yang teridentifikasi terjadi akibat adanya perbedaan tingkat energi gelombang dan arus pasang surut serta sebaran nutrien di permukaan laut (Tabel V.7). Penyebaran minyak dipengaruhi oleh gelombang dan arus pasang surut, kemiringan pantai, temperatur, dan salinitas. Laju arus laut yang lebih besar akan membawa massa air lebih banyak. Massa air mengandung baik senyawa-senyawa nutrien yang berasal dari perairan lain namun juga bagian tumpahan minyak yang tidak terevaporasi atau berpindah secara vertikal. Jika energi gelombang rendah, minyak yang telah terbawa hingga ke daerah intertidal yang dangkal akan sulit dibawa menjauhi daerah pantai. Apalagi daerah dengan kemiringan landai mengelilingi seluruh pulau. Akibatnya, pada musim timur tumpahan minyak memiliki resiko merusak yang lebih tinggi tanpa adanya upaya pembersihan oleh manusia. V - 22
23 Tabel V.7 Perbedaan Tingkat Kerentanan Wilayah Studi terhadap Tumpahan Minyak Parameter Musim Timur Musim Barat Gelombang dan Arus Pasang Surut Lebih besar Lebih kecil Kemiringan Pantai Sama Sama Tipe Sedimen Sama Sama Produktivitas Biologi Sama Sama Temperatur Permukaan Laut Sama Sama Nutrien Lebih besar Lebih kecil Salinitas - - Dengan temperatur cukup tinggi, yakni antara C, diperkirakan setelah beberapa hari terjadi tumpahan kurang lebih 40% tumpahan minyak akan mengalami evaporasi. Proses ini akan terjadi di sepanjang wilayah studi karena temperatur menyebar secara merata dalam rentang variasi yang sempit. Temperatur yang tinggi juga membantu menghilangkan tumpahan-tumpahan minyak yang seringkali terjadi akibat adanya aktivitas kapal penyeberangan di wilayah dermaga. Minyak yang digunakan sebagai bahan bakar kapal umumnya memiliki berat molekul ringan yang lebih mudah terevaporasi. Hanya dibutuhkan beberapa hari bagi minyak jenis ini untuk terevaporasi hingga 90% dari volume awalnya. Oleh karena itu, pada tumpahan di wilayah Pulau Pramuka proses evaporasi memegang peranan penting dalam mengurangi jumlah minyak yang tertinggal di lokasi kejadian. Di sisi lain, walaupun evaporasi dapat mengurangi volume dan toksisitas dari sisa tumpahan yang berada di permukaan laut, namun jika konsentrasinya tinggi komponen minyak dalam bentuk gas dapat mengakibatkan terjadi polusi udara dan mengkontaminasi habitat udara, seperti burung, dan manusia di sekitar pulau. Efeknya dapat bersifat efek akut, atau akan terakumulasi dan memberikan efek kronis jika paparannya terus menerus. Walaupun tidak terdapat korelasi positif antara TPL, klorofil-a, dan CDOM (Gambar V.10), namun nilai TPL dan CDOM (salinitas) bersama-sama akan mempengaruhi massa jenis air. Pada wilayah dengan temperatur rendah dan salinitas tinggi, tumpahan minyak akan cenderung untuk tenggelam. Hal ini akan meningkatkan sensitivitas wilayah karena minyak di bawah laut lebih sulit untuk diurai oleh karena kurangnya sinar matahari, oksigen, dan tekanan yang tinggi. V - 23
24 Temperatur ( 0 C) a Temperatur ( 0 C) R² = 0, ,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 Klorofil-a (mg/l) R² = 0, ,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 Klorofil-a (mg/l) (a) (b) (b) Klorofil-a (mg/l) 0,07 0,06 0,05 0,04 Klorofil-a (mg/l) 0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,03 0,02 0,02 0,01 R² = 0,012 0,01 R² = 0, ,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 CDOM (m -1 ) 0 0,1 0,2 0,3 CDOM (m -1 ) (c) (d) Temperatur ( 0 C) Temperatur ( 0 C) R² = 0, R² = 0, ,1 0,2 0,3 0,4 CDOM (m -1 ) 0 0,1 0,2 0,3 0,4 CDOM (m -1 ) (e) (f) Gambar V.10 (a) Korelasi antara klorofil-a musim barat dan TPL musim barat (b) Korelasi antara klorofil-a musim timur dan TPL musim timur (c) Korelasi antara CDOM dan klorofil-a musim barat (d) Korelasi antara CDOM dan klorofil-a musim timur (e) Korelasi antara CDOM dan TPL musim barat (f) Korelasi antara CDOM dan TPL musim timur Wilayah Pulau Pramuka memiliki salinitas yang tinggi namun juga memiliki temperatur permukaan laut yang tinggi. Oleh karena itu, walaupun terdapat sebagian kecil minyak V - 24
25 yang akan bergerak secara vertikal, sebagian besar tumpahan minyak akan tetap berada di permukaan dan kolom air atas. Selain itu TPL yang tinggi akan menyebabkan sebagian besar minyak dengan berat molekul ringan lebih mudah untuk terevaporasi. Dengan faktor lingkungan ini, maka proses pergerakan secara vertikal tidak memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap ekosistem lingkungan. Proses oksidasi secara kimia (fotooksidasi) akan berlangsung di sepanjang wilayah intertidal yang memiliki perairan dangkal dengan kedalaman 0-5 meter. Hal ini disebabkan pada perairan dangkal terdapat kontak sumber cahaya dari matahari lebih besar. Cahaya matahari sendiri berperan sebagai katalis. Proses biodegradasi akan cenderung terjadi pada wilayah timur pulau di mana tidak terdapat ekosistem terumbu karang. Penyebabnya adalah kandungan nutrien yang lebih tinggi di daerah ini, nilai salinitas yang optimum, dan temperatur yang tinggi. Keberadaan nutrien sendiri tidak dipengaruhi oleh temperatur dan salinitas (Gambar IV.10), namun cenderung dipengaruhi karakteristik komunitas yang hidup di dalam ekosistem. Selain itu laju biodegradasi pada musim barat diperkirakan lebih tinggi daripada musim timur, karena energi gelombang yang lebih tinggi akan membawa nutrien dalam jumlah yang lebih besar serta memecah minyak menjadi gumpalan dengan luas permukaan lebih kecil. Luas permukaan yang lebih kecil memudahkan mikroorganisme untuk menguraikan molekul minyak tersebut. Pada pemeriksaan sisa minyak diketahui bahwa konsentrasi sisa minyak tertinggi berada pada area dengan kandungan nutrien rendah. Beberapa sisa minyak yang juga memiliki konsentrasi sisa minyak tinggi berada pada daerah barat laut. Hal ini dapat disebabkan antara lain minyak yang terlebih dahulu terperangkap dalam sedimen atau minyak berada dalam bentuk tarball. Kedua bentuk tumpahan minyak ini memiliki sifat stabil dan sulit untuk mengalami proses penguraian kembali. Oleh karena itu, kandungan nutrien dan tipe sedimen sangat mempengaruhi kemampuan minyak untuk terurai, baik secara fisik, kimia, dan biologi. Faktor tambahan lain yang menentukan laju biodegradasi adalah kemampuan mikroorganisme untuk melakukan kontak dengan hidrokarbon. Bila insiden tumpahan minyak bukan merupakan kejadian yang pertama kali, maka waktu respon mikroorganisme terhadap hidrokarbon akan berkurang namun tidak menambah laju kontaknya. Tumpahan minyak di Pulau Pramuka pada bulan Oktober 2004 bukan V - 25
26 merupakan kejadian yang pertama kali. Oleh karena itu, mikroorganisme yang berada di wilayah tersebut memiliki waktu kontak lebih singkat dibanding insidenn sebelumnya. Berdasarkan klasifikasii model ESI (Ali, 2003), konsentrasi sisa minyak tertinggi terdapat di daerah dengan kemiringan pantai landai, tipe sedimen pasir, dengan wilayah dilingkupi oleh terumbu karang. Pada model kerentanan lingkungan, wilayah dengan karakteristik tersebut tergolong sebagai wilayah sangat rentan. Rerata konsentrasi wilayah rentan dan sangat rentan adalah 0,,30 % dan 0,34 %. Nilai maksimum untuk wilayah rentan adalah 1,09 % sementara untuk wilayah sangat rentan adalah 1,17 %. Hasil ini menunjukkan bahwa residu minyak di wilayah sangat rentan lebih tinggi dibandingkan wilayah rentan (Gambar V.11). Rerata Sisa Minyak 0,4000 0,3000 0,2000 0,1000 0,2997 0,3387 0,0000 0,0000 Agak Rentan Rentan Sangat Rentan Tingkat Kerentanan Lingkungan Gambar V.11 Rerata Sisa Minyak menurut Tingkat Kerentanan Lingkungan Walaupun pemeriksaan sisa minyak menunjukkan bahwa konsentrasi minyak telah berada di bawah baku mutu, namun berdasarkan analisis kerentanan lingkungan terhadap parameter-parameter lingkungan perlu adanya upaya manajemen penanggulangan tumpahan minyak. Hal ini untuk mencegah terjadinya sisa minyak dengan konsentrasi lebih tinggi jika terjadi insiden tumpahan dengan volume minyak lebih besar. Dengan volume yang lebih besar, beban lingkungan akan semakin meningkat dan laju pemulihan secara alami akan berkurang. Upaya manajemen penanggulangan tumpahan minyak ini harus melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah setempat, perusahaan minyak yang berada di sekitar wilayah studi, penduduk, dan juga wisatawan. V - 26
27 Pengawasan terhadap proses pengeboran dan transportasi minyak perlu semakin diperketat oleh pemerintah dengan mengimplementasikan peraturan yang ada agar pelaku tumpahan dapat dituntuk untuk bertanggungjawab pada insiden yang terjadi. Partisipasi dari masyarakat dan organisasi lingkungan dalam mengawasi insiden tumpahan juga bermanfaat dalam mengindentifikasi dan menindak pelaku, serta melakukan proses pembersihan minyak untuk mengurangi beban lingkungan. Perusahaan pengeboran minyak sebaiknya memiliki standar penanggulangan insiden tumpahan serta teknologi pembersihan tumpahan minyak yang dapat segera digunakan segera setelah terjadi tumpahan. Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM 86 tahun 1990 tentang Pencegahan Pencemaran oleh Minyak dari Kapal-kapal, beberapa peralatan yang perlu dimiliki kapal tangki minyak antara lain pondasi, tangki, sera pipa peralatan pencegahan pencemaran, peralatan pemisah air dan minyak, serta tangki slop penampungan limbah bekas cucian tangki muatan dan bekas tolak bara. Peralatan untuk membersihkan tumpahan minyak juga perlu dimiliki oleh pemerintah setempat ataupun pihak-pihak lain yang memiliki aktivitas di Pulau Pramuka. Proses pembersihan secara mekanis dapat dilakukan di wilayah-wilayah yang tidak rentan terjadi erosi atau memiliki habitat yang tidak sensitif. Minyak yang berada di area terumbu karang jika dibersihkan dengan menggunakan metode mekanis memiliki kemungkinan untuk merusak terumbu karang itu sendiri. Tumpahan minyak sebaiknya tidak memasuki area terumbu karang atau pantai berpasir. Untuk mencegah pergerakan minyak menuju daerah tersebut dapat dengan menggunakan skimmer sebelum kemudian minyak dibersihkan dari perairan. Program penanaman kembali pohon bakau serta terumbu karang dapat pula dilakukan untuk mengganti spesies yang mati dan rusak akibat tumpahan serta untuk menjaga keseimbangan ekosistem. V - 27
BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI
BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM
HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di ekosistem perairan rawa. Perairan rawa merupakan perairan tawar yang menggenang (lentik)
Lebih terperinci2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan
4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan
Lebih terperinciModul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan
ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut merupakan ekosistem yang kaya akan sumber daya alam termasuk keanekaragaman sumberdaya hayati yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia. Sebagian besar
Lebih terperinciV ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN
49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Biawak merupakan suatu daerah yang memiliki ciri topografi berupa daerah dataran yang luas yang sekitar perairannya di kelilingi oleh
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Karakteristik Minyak Minyak bumi merupakan campuran berbagai macam zat organik. Minyak bumi disusun dari komponen pokok yaitu hidrokarbon yang tersusun dari unsur hidrogen
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2016 TENTANG PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan
17 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,
Lebih terperinci4 HASIL DAN PEMBAHASAN
23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Minyak bumi merupakan senyawa kimia yang sangat kompleks, sebagai
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Minyak bumi merupakan senyawa kimia yang sangat kompleks, sebagai gabungan antara senyawa hidrokarbon (unsur karbon dan hidrogen) dan nonhidrokarbon (unsur oksigen,
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Panggang adalah salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu yang memiliki berbagai ekosistem pesisir seperti ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera
Lebih terperinciMANAJEMEN KUALITAS AIR
MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,
Lebih terperinciVI. EVALUASI TINGKAT PENCEMARAN MINYAK DI PERAIRAN SELAT RUPAT
77 VI. EVALUASI TINGKAT PENCEMARAN MINYAK DI PERAIRAN SELAT RUPAT Abstrak Selat Rupat merupakan salah satu selat kecil di Selat Malaka yang terletak di antara pesisir Kota Dumai dangan Pulau Rupat. Berbagai
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Perairan Semak Daun, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS) Daerah Khusus bukota Jakarta
Lebih terperinciES R K I R P I S P I S SI S S I TEM
69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi
Lebih terperinciPENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya
III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut ini berada di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut
1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari
Lebih terperinci4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
33 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara,
Lebih terperinciKANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA
KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk
Lebih terperinciBY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA
BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton adalah organisme mikroskopis yang hidup melayang bebas di perairan. Plankton dibagi menjadi fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton adalah organisme berklorofil
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat
Lebih terperinciBab V Hasil dan Pembahasan
biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).
Lebih terperinciPENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM
PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA Laut Belawan Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia yang berjarak ± 24 km dari kota Medan berhadapan dengan Selat Malaka yang sangat padat lalu lintas kapalnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan kebutuhan paling mendasar untuk menunjang suatu kehidupan. Sifat-sifat air menjadikannya sebagai suatu unsur yang paling penting bagi makhluk hidup. Manusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegang peranan penting, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang
Lebih terperinciKARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK
KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK Penelitian tentang karakter morfologi pantai pulau-pulau kecil dalam suatu unit gugusan Pulau Pari telah dilakukan pada
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisik Kimiawi dan Biologi Perairan Dari hasil penelitian didapatkan data parameter fisik (suhu) kimiawi (salinitas, amonia, nitrat, orthofosfat, dan silikat) dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang diperlukan oleh makhluk hidup baik itu manusia, hewan maupun tumbuhan sebagai penunjang kebutuhan dasar. Oleh karena itu, keberadaan
Lebih terperinciBAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA
BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,
Lebih terperinciV. KEADAAN UMUM WILAYAH. 5.1 Kondisi Wilayah Kelurahan Pulau Panggang
V. KEADAAN UMUM WILAYAH 5.1 Kondisi Wilayah Kelurahan Pulau Panggang Wilayah Kelurahan Pulau Panggang terdiri dari 12 pulau dan memiliki kondisi perairan yang sesuai untuk usaha budidaya. Kondisi wilayah
Lebih terperinciEKOSISTEM. Yuni wibowo
EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies
Lebih terperinciBab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman
Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari
Lebih terperinci5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir
BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas
Lebih terperinciFaktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe Estuari dan Debit Sungai. Tipe estuari biasanya dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Pada saat pasang, salinitas perairan akan didominasi oleh salinitas air laut karena
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Gambaran Umum Metodologi Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan baik data primer maupun data sekunder. Kedua data ini kemudian digunakan untuk melakukan analisis
Lebih terperinciGambar 1. Diagram TS
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke perairan yang menyebabkan pencemaran. Limbah tersebut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang khas dimana dibentuk dari komunitas pasang surut yang terlindung dan berada di kawasan tropis sampai sub tropis.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa
Lebih terperinci4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta
Lebih terperinciStandart Kompetensi Kompetensi Dasar
POLUSI Standart Kompetensi : Memahami polusi dan dampaknya pada manusia dan lingkungan Kompetensi Dasar : Mengidentifikasi jenis polusi pada lingkungan kerja 2. Polusi Air Polusi Air Terjadinya polusi
Lebih terperinciPERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK
PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kesejahteraan hidup rakyat melalui pembangunan di bidang industri, nampak memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan perairan pesisir dan laut karena
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,
I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar
Lebih terperinci2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Pantai Pemaron merupakan salah satu daerah yang terletak di pesisir Bali utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai wisata
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perairan Laut Belawan Perairan Laut Belawan yang berada di Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara banyak digunakan oleh masyarakat setempat untuk berbagai aktivitas.
Lebih terperinciAmonia (N-NH3) Nitrat (N-NO2) Orthophosphat (PO4) mg/l 3 Ekosistem
Tabel Parameter Klasifikasi Basis Data SIG Untuk Pemanfaatan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Kelautan No Parameter Satuan 1 Parameter Fisika Suhu ºC Kecerahan M Kedalaman M Kecepatan Arus m/det Tekstur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir
Lebih terperinciLAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN Lampiran 1. Alat dan Bahan Penelitian DO Meter ph Meter Termometer Refraktometer Kertas Label Botol Sampel Lampiran 1. Lanjutan Pisau Cutter Plastik Sampel Pipa Paralon Lampiran 2. Pengukuran
Lebih terperinciPERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat
TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat
Lebih terperinciBencana Baru di Kali Porong
Bencana Baru di Kali Porong Pembuangan air dan Lumpur ke Kali Porong menebarkan bencana baru, air dengan salinitas 38/mil - 40/mil akan mengancam kualitas perikanan di Pesisir Porong. Lapindo Brantas Inc
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Pertumbuhan beberapa tanaman air Pertumbuhan adalah perubahan dimensi (panjang, berat, volume, jumlah, dan ukuran) dalam satuan waktu baik individu maupun komunitas.
Lebih terperinciGambar 1. Kondisi Teluk Benoa saat surut. (http://telukbenoa.net)
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Lokasi Secara administratif Teluk Benoa terletak di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Teluk Benoa termasuk dalam teluk semi tertutup yang memiliki fase pasang dan surut
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen Sumber DO di perairan
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen) 2.1.1. Sumber DO di perairan Oksigen terlarut (DO) adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut di dalam air (Wetzel 2001). DO dibutuhkan
Lebih terperinciPengertian Pencemaran Laut dan Penyebab Terjadinya Pencemaran Laut
Pencemaran Laut Pengertian Pencemaran Laut dan Penyebab Terjadinya Pencemaran Laut Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,
Lebih terperinciSD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.4
SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.4 1. Penanaman pohon bakau di pinggir pantai berguna untuk mencegah.. Abrasi Erosi Banjir Tanah longsor Jawaban a Sudah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plankton merupakan salah satu jenis biota yang penting dan mempunyai peranan besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam air atau
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Morotai yang terletak di ujung utara Provinsi Maluku Utara secara geografis berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PLANKTON Plankton merupakan kelompok organisme yang hidup dalam kolom air dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas (Wickstead 1965: 15; Sachlan
Lebih terperinci2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove
4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove Mangrove atau biasa disebut mangal atau bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis, tanamannya mampu beradaptasi dengan air yang bersalinitas cukup tinggi, menurut Nybakken
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pencemaran lingkungan yang cukup serius selama 30 tahun terakhir ini.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Polusi yang disebabkan karena minyak merupakan salah satu isu pencemaran lingkungan yang cukup serius selama 30 tahun terakhir ini. Pencemaran oleh minyak terjadi
Lebih terperinciPRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN
PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Suatu ekosistem dapat terbentuk oleh adanya interaksi antara makhluk dan lingkungannya, baik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup
Lebih terperinciDAFTAR PUSTAKA. 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Buku Tahunan. Bogor.
DAFTAR PUSTAKA 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut. 2006. Buku Tahunan. Bogor. 2. Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk
Lebih terperinciIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Tumpahan Minyak Dari Citra Modis Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 dan 9 dengan resolusi citra resolusi 1km. Composite RGB ini digunakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. serta lapisan kerak bumi (Darmono, 1995). Timbal banyak digunakan dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Logam timbal atau Pb adalah jenis logam lunak berwarna coklat kehitaman dan mudah dimurnikan. Logam Pb lebih tersebar luas dibanding kebanyakan logam toksik lainnya
Lebih terperinci2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan
4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekitar 78 % wilayah Indonesia merupakan perairan sehingga laut dan wilayah pesisir merupakan lingkungan fisik yang mendominasi. Di kawasan pesisir terdapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan
5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh
Lebih terperinciLampiran 1. Dokumentasi Penelitian. Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata. Dekstruksi Basah
Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata Dekstruksi Basah Lampiran 1. Lanjutan Penyaringan Sampel Air Sampel Setelah Diarangkan (Dekstruksi Kering) Lampiran 1. Lanjutan
Lebih terperinci