1. Latar Belakang Lahirnya Pengadilan Niaga. Yang mendasari dan melatar belakangi lahirnya Pengadilan Niaga adalah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "1. Latar Belakang Lahirnya Pengadilan Niaga. Yang mendasari dan melatar belakangi lahirnya Pengadilan Niaga adalah"

Transkripsi

1 BAB II KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA MEMERIKSA PERKARA KEPAILITAN BERDASARKAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG A. Pengadilan Niaga 1. Latar Belakang Lahirnya Pengadilan Niaga Yang mendasari dan melatar belakangi lahirnya Pengadilan Niaga adalah Pasal 27 UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berisi : (1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU.No.48 Tahun (2) Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam undang-undang. Dan Oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 25 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara). Beberapa bentuk Pengadilan khusus lainnya, antara lain seperti Pengadilan Hubungan Industrial yang ditetapkan dengan UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang berada di bawah lingkungan 24

2 Peradilan umum, Pengadilan Anak yang telah ditetapkan dengan UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang berada di bawah lingkup Peradilan Umum. 36 Demikian halnya UU No. 2 Tahun 1986 yang telah diubah dengan UU No.8 Tahun 2004 Tentang peradilan Umum, dalam Pasal 8 dinyatakan secara tegas Di lingkungan Peradilan Peradilan Umum dapat diadakan Pengkhususan yang diatur dengan Undang-Undang. Undang-Undang memberikan ruang untuk terbentuknya Pengadilan khusus yang berada dibawah lingkungan Peradilan Umum dengan syarat bahwa pembentukan pengadilan khusus tersebut ditetapkan melalui UU. Pembentukan Pengadilan Niaga ini menunjukkan bahwa perkembangan sejarah peradilan di Indonesia telah mengalami peningkatan yang cukup berarti. Dari segi struktur organisasi, kedudukan Pengadilan Niaga merupakan bahagian khusus di dalam lingkungan Peradilan Umum. 37 Tujuan utama dibentuknya Pengadilan Niaga ini adalah agar dapat menjadi sarana hukum bagi penyelesaian hutang piutang diantara para pihak yaitu Debitor dan kreditor secara cepat, adil, terbuka, dan efektif, sehingga dengan demikian dapat meningkatkan penyelenggaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian pada umumnya. Selain itu sebagai upaya untuk mengembalikan kepercayaan kreditur asing dalam proses penyelesaian utang-piutang swasta 38, hal ini merupakan salah satu langkah positif dalam hal memperbaiki carut-marutnya UUK terdahulu yang lahir Jono, Hukum Kepailitan, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hlm Sunarmi, Hukum Kepailitan (edisi 2), (Jakarta: sofmedia, 2010),hlm.227. Ibid, hlm.229.

3 akibat desakan International Monetery Fund (IMF) karena peraturan kepailitan yang merupakan warisan pemerintahan kolonial Belanda selama ini kurang memadai dan kurang memenuhi tuntutan zaman. 39 guna Berlakunya UU Kepailitan 1998 telah memindahkan kewenangan mutlak (absolut) dari Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit, dengan menetapkan Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menerima permohonan Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). 40 Konsekuensinya, bahwa suatu Pengadilan tidak dapat memeriksa gugatan/ permohonan yang diajukan kepadanya apabila ternyata secara formil gugatan tersebut masuk dalam ruang lingkup kewenangan mutlak Pengadilan lain Kedudukan dan Pembentukan Pengadilan Niaga Lembaga Kepailitan merupakan lembaga hukum yang mempunyai fungsi penting, sebagai realisasi dari dua pasal penting dalam KUH Perdata yakni Pasal 1131 dan 1132 mengenai tanggung jawab debitur terhadap hutang-hutangnya. 42 Menurut Pasal 1131 : segala kebendaan berhutang baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatanya perseorangan. 39 Ahmad yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis : Kepailitan, (Jakarta : Rajawali Pers, 1999), hlm Ibid, hlm Ibid. 42 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: Departemen Pendidikan Nasional, 2002), hlm.10.

4 Pasal 1132 menentukan Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya. Pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masingmasing kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Kedua pasal tersebut di atas memberikan jaminan kepastian kepada kreditur bahwa kewajiban debitur akan tetap dipenuhi/ lunas dengan jaminan dari kekayaan debitur baik yang sudah ada maupun yang masih akan ada dikemudian hari Pasal 1131 KUH Perdata dan 1132 KUH Perdata itu merupakan perwujudan adanya asas jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah diadakan. 43 Adapun hubungan kedua pasal tersebut adalah bahwa kekayaan debitur merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya secara proporsional, kecuali bagi krediturnya dengan hak mendahului (hak preferensi). Jadi pada dasarnya, asas yang terkandung di dalam Pasal 1131 KUH perdata dan 1132 KUH perdata ini adalah bahwa UU mengatur tentang hak menagih bagi kreditur atau kreditur-krediturnya terhadap transaksinya dengan debitur. Bertolak dari asas tersebut di atas sebagai lex generalis, maka ketentuan kepailitan mengaturnya dalam urutan yang lebih rinci dan operasional. Menurut Sri Redjeki Hartono, lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu : 43 Ibid.

5 (1) Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada krediturnya bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan bertanggung jawab atas semua hutanghutangnya kepada semua kreditur-krediturnya. (2) Juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Sistem pengaturan yang taat asas inilah yang mempunyai nilai utama dalam rangka memberikan kepastian hukum. Oleh karena itu lembaga kepailitan berfungsi sebagai pengawas implementasi pelaksanaan Peraturan Kepailitan dan mekanisme pembayaran utang terhadap semua kreditur dengan mengacu yang diperintahkan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata yang merupakan dasar hukum dari kepailitan. 44 Kedudukan dan Pembentukan Pengadilan Niaga, menurut Sudargo Gautama merupakan pencangkokan institusi baru, Artinya Pencangkokkanya itu diambil dari berbagai lembaga baru dalam sistem hukum dan praktek hukum yang sudah ada dalam rangka Faillisemen. Dianggap wajar oleh pembuat Undang-Undang, jika dalam rangka untuk menyediakan sarana hukum sebagai landasan untuk menyelesaikan hutang piutang, dianggap perlu peraturan kepailitan yang dapat 44 Sri Redjeki Hartono, Analisis Terhadap Peraturan Kepailitan Dalam kerangka Pembangunan Hukum, (Semarang: Elips Project, 1997), hlm.5.

6 memenuhi kebutuhan dunia usaha yang makin berkembang secara cepat dan bebas. 45 PERPU (Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang) No.1 Tahun 1998 dipilih untuk melakukan penyempurnaan atas peraturan Faillissemen yang sudah ada. Karena dengan demikian dapat diharapkan bertindak lebih cepat dengan dasar pertimbanganya yaitu : (1) Adanya kebutuhan yang besar yang sifatnya mendesak untuk secepatnya mewujudkan sarana hukum bagi penyelesaian yang dapat berlangsung secara cepat, adil, terbuka, dan efektif untuk menyelesaikan piutang perusahaan yang besar pengaruhnya terhadap perekonomian nasional. (2) Dalam rangka penyelesaian akibat-akibat dari gejolak moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997, khususnya berkenaan dengan masalah utang piutang di kalangan dunia usaha nasional, dianggap perlu adanya penyelesaian yang cepat mengenai masalah ini. Untuk itu perlu kesediaan perangkat hukum untuk memenuhi kebutuhan. Penyelesaian masalah utang piutang. Dengan demikian perusahaan-perusahaan dapat segera beroperasi secara normal. Bila kegiatan ekonomi berjalan kembali, akan berarti pengurangan tekanan sosial yang menurut pengamatan pemerintah sudah terasa banyak di lapangan kerja. Maka perlu diwujudkan penyelesaian utang-piutang ini secara cepat dan efektif. 46 Dalam Pasal 8 UU No. 3 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Umum disebutkan bahwa : Yang dimaksud dengan diadakanya pengkhususan ialah adanya 45 Sudargo Gautama, Komentar Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, (Bandung:Citra Adytia Bakti, 1998), hlm Ibid.

7 diferensiasi / spesialisasi di lingkungan Peradilan Umum, misalnya Pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak dan Pengadilan Ekonomi. Dengan demikian dalam UU No. 4 Tahun 1998 diatur terbentuknya Pengadilan Niaga yang merupakan Pengadilan Khusus di lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan Pasal 300 UUK-PKPU secara tegas menentukan : (1) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan PKPU, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Undang-Undang. (2) Pembentukan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden (KEPRES), dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang diperlukan. Berlakunya UU Kepailitan 1998 telah memindahkan kewenangan mutlak (absolut) dari Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit, dengan menetapkan Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menerima permohonan Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). 47 Konsekuensinya, bahwa suatu Pengadilan tidak dapat memeriksa gugatan/permohonan yang diajukan kepadanya apabila ternyata secara formil gugatan tersebut masuk dalam ruang lingkup kewenangan mutlak Pengadilan lain Sunarmi, Loc.cit.hlm.229. Ibid.

8 Pasal 300 ayat (1) memberikan kekuasaan kepada Pengadilan Niaga untuk memeriksa dan memutuskan perkara lain di bidang perniagaan selain perkara Kepailitan dan PKPU. Namun tidak terdapat penjelasan apa yang dimaksud dengan perkara lain di bidang perniagaan tersebut, hal ini disebabkan Undang-Undang yang mengatur hal tersebut belum ada. Dengan demikian, Undang-Undang yang akan mengatur hal tersebut kelak, hendaknya harus jelas bidang-bidang perniagaan apa saja yang menjadi kewenangan yurisdiksi dalam mengadili antara Pengadilan Niaga dengan Pengadilan Negeri. Undang-Undang di bidang HAKI 49 telah secara tegas menetukan bahwa perkara-perkara di bidang HAKI harus diproses dan diputus di Pengadilan Niaga. Hal ini berarti, bahwa pada saat ini Pengadilan Niaga selain menyelesaikan sengketa sengketa di bidang kepailitan dan PKPU, juga menyelesaikan sengketa HAKI. 3. Hakim Pengadilan Niaga Hakim Pengadilan Niaga diangkat berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung. Syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai hakim sebagaimana dimaksud pada Pasal 302 ayat (2), adalah : a. Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan Peradilan Umum; b. Mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan; c. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan 49 Seperti yang terdapat dalam Pasal 76 ayat (2) UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek.

9 d. Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada pengadilan. Dengan tetap memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada Pasal 302 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d, dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dapat diangkat seseorang yang ahli, sebagai hakim Ad-hoc, baik pada tingkat pertama, Kasasi, maupun pada Peninjauan Kembali (Pasal 302 UUK- PKPU). Dalam hal pemeriksaan perkara Kepailitan, ada 2 jenis hakim yang dapat memeriksa perkara Kepailitan yaitu : 1. Hakim Tetap. 2. Hakim Ad-Hoc. 50 ad 1. Hakim Tetap Hakim Tetap, yaitu para hakim yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung untuk menjadi Hakim Pengadilan Niaga. Landasan hukumnya dapat merujuk pada Pasal 302 ayat (1), dan pasal 302 ayat (2) UUK- PKPU. ad 2. Hakim Ad-hoc Untuk mengembalikan kepercayaan kreditur asing dalam proses penyelesaian utang-piutang swasta, selain direvisinya Fv, dan dibentuknya Pengadilan Niaga, juga di introdusir hakim Ad-hoc untuk dapat menjadi bagian dari majelis hakim yang memeriksa suatu perkara di Pengadilan Niaga. 50 Sunarmi, Op.cit, hlm.234.

10 Ide awal keterlibatan hakim Ad-hoc di Pengadilan Niaga didasarkan pada penilaian atau asumsi beberapa pihak bahwa pengetahuan Hakim Karir cenderung bersifat umum (generalis) sehingga dalam menyelesaikan perkara-perkara pada lingkup Niaga diperlukan hakim dengan keahlian khusus, di luar dari Hakim Karir yang juga telah melalui tahapan pendidikan untuk menjadi Hakim Niaga. 51 Pengangkatan hakim Ad-hoc dalam Kepailitan ditentukan dalam UU No.4 Tahun 1998 yang kemudian dikuatkan kembali dalam UU No. 37 Tahun Selama berlakunya UU No.4 Tahun 1998 yang kemudian disempurnakan oleh UU No.37 tahun 2004, pengangkatan hakim Ad-hoc di Pengadilan Niaga telah dilakukan 2 (dua) kali, yakni melalui 2 (dua) buah Keppres. Pertama, Keppres No. 71/M/1999 tertanggal 27 Februari 1999 berisi pengangkatan 4 (empat) orang hakim ad-hoc untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun. Kedua, Keppres No.108/M/2000, berisikan Pengangkatan 9 (sembilan) hakim Ad-hoc. Penempatan hakim Ad-hoc dalam majelis hakim adalah berdasarkan penunjukan dari hakim Ketua Pengadilan Niaga dalam Pengadilan Niaga yang bersangkutan, dengan terlebih dahulu adanya permohonan dari salah satu pihak yang berperkara (Pemohon Pailit). Konsekuensi dari sifat fakultatif sebagaimana tercantum dalam Pasal 283 ayat (3) UU No. 4 Tahun 1998, maka bila tidak ada permintaan dari pihak tersebut, maka hakim Ad-hoc tersebut tidak bertugas. Kondisi inilah yang antara lain mengakibatkan sistem hakim Ad-hoc tidak bekerja. 51 Ibid, hlm.235.

11 Sesuai dengan ketentuan Pasal 303 ayat (3), maka persyaratan pengangkatan seorang sebagai hakim Ad-hoc yang membedakan dengan hakim Pengadilan Niaga lain adalah hakim ad-hoc tersebut haruslah seorang ahli. Jadi berdasarkan usulan dengan hakim Niaga dari Ketua Mahkamah Agung melalui Keppres maka di Pengadilan Niaga dapat diangkat seorang yang ahli sebagai hakim Ad-hoc. Tentunya, beberapa persyaratan yang sama dengan hakim Niaga atau hakim karir seperti mempunyai kemampuan pengetahuan di bidang masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga, dan persyaratan lain, harus tetap dipenuhi. 52 Paulus Efendi Lotulung menyebutkan beberapa kemungkinan pengangkatan hakim Ad-hoc (sebagai hakim pengawas atau hakim majelis) adalah: 1. Atas permohonan para pihak, baik langsung maupun dengan penetapan Ketua Pengadilan Niaga yang selayaknya diberikan jika wajar (should not be reasonably). 2. Hanya dengan penetapan Ketua Pengadilan Niaga atas kewenanganya sendiri. 53 Tentunya pilihan pertama lebih dapat diterima, karena cukup terdapat check and balance. Biaya atau imbalan bagi hakim Ad-hoc tersebut, jika perlu tambahan dapat diambil dari harta Pailit. Dalam Pasal 304 UUK-PKPU menentukan bahwa : Ibid, hlm Paulus Efendi Lotulung, dalam Sunarmi, Ibid.

12 Perkara yang pada waktu UU ini berlaku: a. Sudah diperiksa dan diputus tetapi belum dilaksanakan atau sudah diperiksa tetapi belum diputus maka diselesaikan berdasarkan peraturan perundangundangan di bidang Kepailitan sebelum berlakunya UU ini; b. Sudah diajukan tetapi belum diperiksa, diselesaikan berdasarkan ketentuan dalam UU ini; Pasal 305 UUK-PKPU menentukan bahwa : Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari UU tentang Kepailitan (Faillissements-verordening, Stbld 1905:217 jo Stbld 1906: 348) yang diubah dengan Perpu No.1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU Tentang Kepailitan yang ditetapkan menjadi UU berdasarkan UU No.4 Tahun 1998 pada saat UU diundangkan masih tetap berlaku sejauh tidak bertentangan dan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan UU ini. Berlakunya UUK-PKPU No.37 tahun 2004 mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi ( Faillissements-verordening Staatblad 1905:217 jo Staablad 1906:348 ) dan UU No.4 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU Tentang Kepailitan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 307 UUK-PKPU yang menyatakan : Pada saat UU ini mulai berlaku, UU Tentang Kepailitan (Fv dan UU No.4 Tahun 1998) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Selain Hakim tetap dan Hakim Ad-hoc di atas ada 1 hakim lagi yang berperan dalam perkara Kepailitan yakni Hakim Pengawas. Hakim pengawas ini berperan untuk mengawasi pelaksanaan pemberesan harta pailit, dalam keputusan Kepailitan,

13 yang diangkat oleh Pengadilan. Dahulu untuk hakim pengawas tersebut disebut sebagai hakim komisaris, tetapi jika ada keberatan terhadap hakim pengawas dapat ditempuh prosedur keberatan. Dan Pengadilan wajib mendengar pendapat hakim pengawas sebelum mengambil suatu putusan mengenai pengurusan atau pemberesan harta pailit. 54 Secara umum, tugas hakim pengawas adalah mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit, seperti yang disebutkan dalam Pasal 65 UUK-PKPU, yang intinya sama dengan ketentuan Pasal 63 Fv yang tidak diubah dan dicabut oleh UU No.4 Tahun B. Kompetensi Pengadilan Niaga Menurut UUK-PKPU, pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara permohonan Kepailitan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum si debitur. 55 Dan apabila debitur adalah badan Hukum maka merujuk pada kedudukan hukum yang terdapat pada anggaran dasarnya (Pasal 3 ayat (5) Dalam hal Debitor telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan Pailit 54 Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan;Perusahaan; dan Asuransi, (Bandung:Alumni,2007), hlm Lihat di Pasal 3 ayat 1 UUK-PKPU

14 adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir Debitor. 56 Bila dalam hal Debitor adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan. 57 Dalam hal Debitur tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang memutuskan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat si debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia. 58 Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya. 59 Yang dimaksud pengadilan menurut UUK-PKPU ini adalah Pengadilan Niaga yang merupakan pengkhususan Pengadilan di bidang Perniagaan yang dibentuk dalam lingkup Peradilan Umum. 60 Pengadilan Niaga yang pertama kali di dirikan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pembentukan Pengadilan Niaga dilakukan secara bertahap dengan keputusan Presiden, dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang di perlukan. Sebelum Pengadilan Niaga terbentuk, semua perkara yang menjadi lingkup Lihat di Pasal 3 ayat 2 UUK-PKPU Lihat di Pasal 3 ayat 3 UUK-PKPU Lihat di Pasal 3 ayat 4 UUK-PKPU Lihat di Pasal 3 ayat 5 UUK-PKPU Lihat di Pasal 1 ayat 7 UUK-PKPU

15 kewenangan Pengadilan Niaga diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Hal ini berdasarkan pasal 281 ayat (1) PERPU No.1 Tahun 1998 jo.uu No.1 tahun 1998 kemudian dinyatakan tetap berwenang memeriksa dan memutus perkara yang menjadi lingkup Pengadilan Niaga sebagaimana dalam bagian ketentuan Penutup Bab VII Pasal 306 UUK-PKPU tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Yang bunyinya adalah sebagai berikut : Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 281 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Kepailitan sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, dinyatakan tetap berwenang memeriksa dan memutus perkara yang menjadi lingkup tugas Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga pertama kali dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mana Pengadilan Niaga tersebut berwenang untuk menerima permohonan Kepailitan dan PKPU yang meliputi lingkup di seluruh wilayah Indonesia dan untuk pertama kali Pengadilan Niaga Jakarta Pusat diberikan yurisdiksi terbatas yaitu untuk memeriksa permohonan Pailit. 61 Namun dengan lahirnya UUK-PKPU maka pengaturan kewenangan Pengadilan Niaga harus mengacu pada UUK-PKPU sebagaimana diatur dalam Pasal 306 UUK-PKPU yaitu : Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 281 ayat 1 PERPU No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No.4 Tahun 1998, dinyatakan tetap berwenang memeriksa dan memutus perkara yang menjadi lingkup tugas Pengadilan Niaga. 61 Bagus Irawan, Op.cit, hlm.76.

16 Pada tahap permulaan pembentukan Pengadilan Niaga, kewenangan mengadili (Kompetensi Absolut) hanyalah meliputi pemeriksaan dan pemutusan perkara permohonan Kepailitan dan PKPU saja, dan untuk pertama kali Pengadilan Niaga dibentuk pada tanggal 20 Agustus 1998 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Untuk menjalankan proses pemeriksaan perkara Kepailitan Pasal 301 UUK- PKPU menentukan : (1) Pengadilan memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama dengan majelis hakim; (2) Dalam hal menyangkut perkara lain di bidang perniagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300 ayat 1, Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal. (3) Dalam menjalankan tugasnya, hakim Pengadilan dibantu oleh seorang panitera atau seorang panitera pengganti dan juru sita. Permasalahan lain yang muncul berkaitan dengan penyelesaian perkara Kepailitan adalah tentang kewenangan Pengadilan antara Pengadilan Niaga dan Pengadilan Negeri. Berdasarkan cetak biru Pengadilan Niaga, maka terungkap bahwa sebenarnya proses kepailitan di Pengadilan Niaga tidak efektif. Hal ini terjadi karena sering kali ada perkara-perkara Kepailitan yang ternyata menimbulkan persinggungan antara Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Niaga Sunarmi, Op.cit, hlm.231.

17 Persinggungan yang terjadi, misalnya saja ada perusahaan yang sudah dinyatakan Pailit dan seharusnya berdasarkan UUK-PKPU dikelola oleh kurator, ternyata masih bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri. Hal ini dianggap aneh karena seharusnya, perkara tersebut menjadi kompetensi pengadilan Niaga dan bukan Pengadilan Negeri. 63 Untuk mencegah terjadi persinggungan perlu ada mekanismenya. Pasalnya, selama ini bila ada perkara-perkara Kepailitan dan HAKI yang diajukan ke Pengadilan Negeri tidak ada mekanisme pencegahannya, Karena berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman, Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada dasar hukumnya. Selain menangani perkara kepailitan dan PKPU serta perkara-perkara di bidang perniagaan lainnya, Pengadilan berwenang menangani perkara pernyataan permohonan Pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula Arbitrase. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 303 UUK-PKPU yang menentukan bahwa : Pengadilan berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan Pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula Arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 UU ini. Penjelasan Pasal 303 kembali menegaskan tentang kewenangan Pengadilan Niaga terhadap perjanjian yang memuat klausula Arbitrase yaitu bahwa ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa Pengadilan Niaga 63 Ibid, hlm

18 tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak, sekalipun perjanjian utang piutang yang mereka buat memuat klausula Arbitrase. Pada tanggal 18 Agustus 1999, keluarlah Keppres No.97 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri semarang. Keppres No.97 Tahun 1999 dibuat bertujuan untuk : a. Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 281 ayat (2) Undang-undang tentang Kepailitan (Staatsblad Tahun 1905 No. 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 No. 348), yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998, sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-undang dengan Undang-undang no. 4 Tahun 1998; b. Untuk meningkatkan pemerataan dan mempermudah masyarakat baik secara perorangan atau badan usaha dalam menyelesaikan sengketa di bidang perniagaan secara adil, cepat, terbuka dan efektif, dipandang perlu membentuk Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri di kota-kota besar pusat perdagangan; 64 Dengan didasari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Presiden RI tentang Pembentukan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang; 64 Dapat dilihat dalam konsiderans Keppres No.97 Tahun 1999

19 Dalam Pasal 2 Keppres No.97 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang menentukan tentang wilayah hukum Pengadilan Niaga yang meliputi : (1) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang meliputi Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya. (2) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan meliputi Wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, dan Daerah Istimewa Aceh. 65 (3) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya meliputi Wilayah Propinsi Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur. (4) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang meliputi Wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya dalam Pasal 4 menentukan tentang sengketa yang menjadi kewenangan Pengadilan Niaga meliputi : (1) Sengketa di bidang Perniagaan yang termasuk lingkup kewenangan Pengadilan Niaga pada Pengadilan-Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat Keputusan Presiden ini ditetapkan telah diperiksa tetapi belum diputus 65 Daerah Istimewa Aceh telah berganti nama menjadi Nangroe Aceh Darusalam.

20 oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (2) Sengketa di bidang perniagaan yang termasuk lingkup kewenangan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat Keputusan Presiden ini ditetapkan telah diajukan tetapi belum diperiksa oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dilimpahkan kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang sesuai dengan daerah hukum masing-masing Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Khusus untuk Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Pasal 5 menentukan tentang daerah hukumnya, yakni pada saat berlakunya Keputusan Presiden ini, maka daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meliputi wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Sumatera Selatan, Lampung dan Kalimantan Barat. Menurut Sutan Remy, pembentukan Pengadilan Niaga dalam mengadili perkara-perkara Perniagaan, didasarkan pada pertimbangan kecepatan dan efektifitas, perkara-perkara Kepailitan. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang tidak puas terhadap putusan Pengadilan Niaga dalam Perkara Kepailitan adalah langsung Kasasi ke Mahkamah Agung tanpa upaya banding melalui Pengadilan

21 Tinggi. Dengan demikian, perkara Kepailitan akan berjalan lebih cepat bila dibanding dengan pemeriksaan biasa di Pengadilan Negeri. 66 Putusan perkara permohonan kepailitan akan lebih efektif oleh karena menurut Undang-undang kepailitan putusan perkara permohonan Kepailitan tersebut bersifat serta merta artinya, kurator telah dapat menjual harta Pailit meskipun pernyataan putusan pernyataan Pailit tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap, karena terhadap putusan itu diajukan upaya hukum kasasi. 67 Dengan demikian, terbentuknya Pengadilan Niaga sebagai instrumen penunjang reformasi hukum Kepailitan merupakan langkah yang dapat dikatakan fenomenal. Pembentukan Pengadilan Niaga tidak hanya memberikan Jalan bagi proses reformasi hukum Kepailitan itu sendiri, tetapi memiliki efek lebih jauh yaitu melapangkan jalan bagi reformasi Peradilan dalam bidang perekonomian lainya 68, tanpa mengesampingkan asas yang ada dalam Undang-Undang Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang antara lain : 1. Asas Keseimbangan Merupakan perwujudan dari asas keseimbangan yaitu, di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga Kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang 66 Sutan Remy Syahdeny, Hukum Kepailitan; Memahami Faillissementsverordening juncto Undang-Undang No.4 Tahun 1998, (Jakarta: Grafity, 1992), hlm Elijana.S,Penyelesaian Utang-Piutang: Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung:Penerbit Alumni,2001), hlm Bagus Irawan, Op.cit, hlm.75.

22 dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga Kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik. 2. Asas Kelangsungan Usaha Terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan. 3. Asas Keadilan Bahwa ketentuan mengenai Kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenangwenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak memperdulikan Kreditor lainya. 4. Asas Integrasi Bahwa sistem hukum Formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. C. Pemeriksaan Perkara Kepailitan Dalam hal ini dapat dilihat dari 2 sistem hukum yaitu Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Kepailitan. Terlebih dahulu akan dibahas : 1. Hukum Acara Perdata a. Sifat Hukum Acara Perdata Hukum Acara Perdata (HAP) adalah seperangkat hukum perdata formil yang menjamin kelangsungan proses Pengadilan secara lancar, cepat, dan biaya murah,

23 serta dapat dilaksanakan putusan hakim. Tujuan proses Pengadilan adalah untuk mendapatkan kepastian kedudukan hukum dalam suatu sengketa yang diajukan oleh para pihak ke hadapan sidang Pengadilan. 69 Dalam Hukum Acara Perdata inisiatif suatu perkara perdata berada di tangan para pihak yang bersengketa. Sikap dan prilaku para pihak sangat berpengaruh terhadap jalannya proses Pengadilan. Namun demikian, bukan berarti para pihak bisa bertindak semaunya di muka persidangan. Para pihak, kuasa hukum atau hakim sekalipun terikat dengan aturan main yang telah baku dalam menangani proses perkara. Sebagai contoh, para pihak tidak bisa merubah atau mencabut kembali gugatan yang telah diajukan secara sepihak, terutama bila tergugat telah memberi jawaban terhadap penggugat. Tindakan ini baru dapat dilakukan oleh penggugat atas izin tergugat. Demikian juga mengenai tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan verstek, banding, kasasi, atau Peninjauan kembali (PK) telah diatur secara cermat dan harus ditaati. Bila ketentuan ini dilanggar, maka konsekuensinya gugatan yang diajukan dinyatakan oleh hakim tidak dapat diterima. 70 b. Tuntutan Hak dan Gugatan Dalam Hukum Acara Perdata Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh Pengadilan untuk mencegah tindakan main hakim sendiri Muhammad Nasir, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Djambatan,2002), hlm.25. Ibid.

24 (eigenrichting). 71 Dalam RUU HAP, gugatan dimaksudkan sebagai tuntutan hak yang mengandung sengketa dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan putusan. Darwan Prinst merumuskan gugatan sebagai suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang, mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainnya, dan harus diperiksa menurut tata cara tertetu oleh pengadilan, serta kemudian dibuat putusan terhadap gugatan tersebut. 72 Dari pengertian tuntutan hak di atas dapat dipahami bahwa ada seseorang atau badan hukum yang merasa telah dilanggar haknya, sedangkan yang dirasa melanggar hak tersebut tidak bersedia secara sukarela memenuhi tuntutan yang diajukan kepadannya. Untuk menentukan siapa yang benar dan berhak, diperlukan adanya suatu putusan hakim. Dalam hal ini hakim bertugas memeriksa, mengadili, dan memutuskan siapa di antara para pihak tersebut yang benar dan berhak atas tuntutan hak tersebut. Seseorang atau badan hukum yang mengajukan tuntutan hak berarti mempunyai kepentingan untuk memperoleh perlindungan hukum. Pihak yang tidak menderita kerugian, baik materiil maupun non-materiil, mengajukan tuntutan hak, dianggap tidak memiliki kepentingan sehingga tuntutanya tidak diterima oleh Pengadilan. Demikian juga, tidak setiap kepentingan dapat diterima sebagai dasar pengajuan tuntutan hak. Sebagai contoh Arnold berutang pada Basri. Setelah jangka 71 Sudikno Mertokusumo, Hukum dan Peradilan, (Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada,1968), hlm Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, (Bandung : Citra Adytia Bakti, 1992), hlm.2.

25 waktu yang dijanjikan tiba, Arnold belum juga melunasi utangnya kepada Basri. Candri sebagai kakak Basri merasa kasihan kepada adiknya yang merasa ditipu oleh Arnold dan merasa berkewajiban untuk membela kepentingan adiknya. Tanpa mendapat kuasa dari Basri, Chandri menggugat Arnold agar Arnold membayar utangnya kepada Basri. Di sini jelas Chandri memiliki kepentingan yaitu untuk membela adiknya sendiri, Basri. Namun kepentingan seperti itu belum cukup untuk timbulnya hak untuk dapat menuntut melalui Pengadilan. Jadi, tidak setiap orang yang mempunyai kepentingan seperti itu dapat mengajukan tuntutan hak semaunya ke Pengadilan. Hanya kepentingan yang cukup dan layak serta mempunyai dasar hukum sajalah yang dapat diterima sebagai dasar tuntutan hak. 73 c. Kompetensi Peradilan Dalam Hukum Acara Perdata Ada dua bentuk kompetensi peradilan yaitu Kompetensi Absolut dan Kompetensi Relatif. Kompetensi Absolut adalah wewenang yang menyangkut pembagian dalam sengketa perceraian. Bagi mereka yang beragama Islam, penyelesaian sengketa ini menjadi wewenang absolut Peradilan Agama (PA) sesuai dengan ketentuan Pasal 63 ayat (1a) Undang-undang No.1 Tahun Sedangkan sengketa sewa menyewa, jual beli, pinjam-meminjam, utang piutang, gadai, taggungan, dan perceraian bagi yang beragama non muslim, menjadi wewenang Peradilan Umum (PU) dalam hal ini Pengadilan Negeri untuk mengadili sengketa tersebut. 73 Star Busmann, dalam Muhammad Nasir, Ibid.

26 Kompetensi Relatif mengatur tentang pembagian kekuasaan mengadili suatu perkara perdata antara Pegadilan sejenis, tergantung tempat domisili tergugat (actor sequitur forum rei) (Pasal 118 ayat (1) HIR,142 ayat (1) Rbg). Jadi Kompetensi Relatif berkaitan dengan wilayah hukum suatu badan Peradilan. 74 d. Tempat Pengajuan Gugatan Dalam Hukum Acara Perdata 1. Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili perkara perdata yang diajukan kepadanya adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi : a. tempat tinggal tergugat; b. tempat tinggal salah seorang tergugat, dalam hal tergugat lebih dari seorang: c. tempat tergugat sebenarnya berada, dalam hal tempat tinggal tergugat tidak diketahui; d. tempat tinggal penggugat, dalam hal tempat tinggal tergugat atau tempat tergugat sebenarnya berada tidak diketahui; e. tempat tinggal penggugat, dalam tergugat bertempat tinggal diluar daerah Republik Indonesia; f. tempat tinggal tergugat yang berhutang, dalam hal para tergugat terdiri dari tergugat yang berhutang dan tergugat yang menjamin hutang; g. tempat barang yang digugat berada, dalam hal gugatan tentang barang-barang yang tidak bergerak; 74 Muhammad Nasir, Op.cit, hlm.72.

27 h. tempat tinggal yang ditentukan, dalam hal telah ditentukan dalam suatu perjanjian tertulis antara penggugat dan tergugat. 75 i. Pengadilan Negeri berwenang untuk mengadili perkara perdata yang salah satu pihaknya adalah Negara/Pemerintah/Daerah Tingkat I/Daerah Tingkat II (Kotapraja atau Kabupaten). 2. a. Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara perdata yang diajukan kepadanya, apabila perkara tersebut menurut peraturan perundang-undangan yang ada termasuk wewenang badan peradilan yang lain. b. Karena jabatannya Ketua Pengadilan Negeri harus menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tersebut tidak berwenang mengadili, walaupun tidak ada suatu tangkisan dari tergugat. 76 e. Pelaksanaan Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Perdata 1. Hakekat Pelaksanaan Putusan Hakim Eksekusi adalah hal menjalankan putusan Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pada asasnya suatu putusan hakim yang sudah mempunyai hukum pasti yang dapat dijalankan. Semua putusan Pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial yaitu kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa oleh alat-alat negara. Adanya kekuatan eksekutorial pada putusan putusan adalah karena kepalanya berbunyi Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Lihat dalam Pasal 142 R.Bg/118 HIR. K.Wantjik Saleh, Hukum Acara perdata, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1981), hlm

28 Esa.akan tetapi tidak semua putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap memerlukan pelaksana secara paksa oleh alat negara, tetapi hanya putusan Pengadilan diktumnya bersifat condemtoir. Sedang putusan yang bersifat deklaratoir dan konstitutif tidak memerlukan alat negara untuk melaksanakan karena putusan itu tidak memuat adanya hak atas suatu prestasi. 77 Pengecualiannya adalah apabila suatu putusan dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu sesuai dengan Pasal 180 HIR. Perlu juga dikemukakan, bahwa tidak semua putusan yang sudah mempunyai kekuatan pasti harus dijalankan, karena yang perlu dilaksanakan hanyalah putusan-putusan yang bersifat condemnatoir yaitu yang mengandung perintah kepada pihak untuk melakukan suatu perbuatan. 78 Cara melaksanakan putusan hakim diatur dalam Pasal 195 sampai Pasal 208 HIR. Sehubungan dengan hal ini dikemukakan, bahwa Pasal 209 sampai dengan Pasal 222 HIR sesungguhnya juga mengatur perihal cara pelaksanaan putusan. Dalam melaksanakan putusan (eksekusi) dikenal beberapa asas yang harus dipegang oleh pihak pengadilan yaitu : a. Putusan pengadilan harus mempunyai kekuatan hukum tetap, maksudnya putusan ini tidak ada hukum lain baik tingkat banding dan kasasi. Pengecualian atas asas hukum ini adalah : 77 Poltak.I.Wibowo, Tips bagi Pengacara Publik : Sebuah Pengalaman Pendampingan Kasus Lingkungan, (Jakarta : Elaw Indonesia, 2003), hlm Ibid.

29 1. Pelaksanaan putusan uit voerbaar bij voorraad sesuai dengan Pasal 191 ayat (1) Rbg dan Pasal 180 ayat (2) HIR ; 2. Pelaksanaan putusan Provisi sesuai dengan Pasal 191 ayat (1) Rbg dan Pasal 180 ayat (1) dan Pasal 54 RV; 3. Pelaksanaan putusan perdamaian sesuai dengan Pasal 130 ayat (2) HIR dan Pasal 154 ayat (2) Rbg; 4. Eksekusi berdasarkan Grose akta sesuai dengan Pasal 245 HIR dan Pasal 295 Rbg. b. Putusan tidak dijalankan secara sukarela Ada dua cara menyelesaikan pelaksanaan putusan berdasarkan Pasal 196 HIR dan Pasal 207 Rbg yaitu secara sukarela dan Secara Paksa dengan bantuan Pihak Kepolisisan (Pasal 200 ayat (1) HIR. c. Putusan mengandung amar Condemtoir, Putusan ini lahir dari perkara yang bersifat contensius dengan proses pemeriksaan yang bersifat contradiktoir. d. Eksekusi dibawah pimpinan Ketua Pengadilan, Pengadilan berwenang melakukan eksekusi adalah pengadilan yang memutus perkara tersebut sesuai dengan kompetensi relatifnya (Pasal 195 ayat (1) HIR dan Pasal 206 ayat (1) Rbg. Pengadilan banding tidak mempunyai hak untuk melakukan eksekusi atau melaksanakan putusan Fauizie Yusuf Hasibuan, Seri Pendidikan Advokat : Praktek Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Fauzie & Partnes, 2007), hlm.97.

30 2. Jenis-Jenis Eksekusi Ada 3 jenis Eksekusi dalam Hukum Acara Perdata, yaitu : a. Eksekusi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 196 HIR dan seterusnya, dimana seorang dihukum untuk membayar sejumlah uang. b. Eksekusi sebagaimana yang diatur dalam pasal 225 HIR dimana seseorang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan. c. Eksekusi Riil, yang dalam praktik banyak dilakukan, akan tetapi tidak diatur HIR. 80 Namun dalam Pasal 1033 Rv. Sedangkan hal penjualan lelang (Pasal 200 ayat (1) HIR dan Pasal 218 ayat (2) Rbg. Menurut Pasal 1033 Rv, eksekusi riil adalah pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap. Bila orang yang dihukum untuk mengosongkan benda tetap tidak mematuhi surat perintah hakim, maka hakim dapat memerintah juru sita dengan bantuan panitera Pengadilan dan bila perlu dengan aparat Kepolisian agar benda tersebut dikosongkan oleh pihak yang dihukum d. eksekusi parate (parate executie) yaitu eksekusi yang dilakukan bila seorang kreditur menjual barang tertentu milik debitur tanpa harus memperoleh titel eksekutorial (Pasal 1155, Pasal 1175 ayat 2 KUH perdata). Bila ditelaah secara mendalam terhadap ketentuan-ketentuan dalam HIR, ternyata bahwa pasal-pasal yang mengatur tentang eksekusi (Pasal 195 s/d Pasal 224) lebih terfokus kepada pelaksanaan putusan yang memerintahkan pembayaran 80 Retno Wulan Sutantio & Iskandar Oeripkarta Winata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek,(Bandung : Mandar Maju, 1997), hlm.130.

31 sejumlah uang. Namun demikian, bukan berarti bahwa amar putusan yang memerintahkan pihak tergugat untuk mengosongkan sebidang tanah, merobohkan sebuah tembok, mengeluarkan isi sebuah bangunan, dan lain-lain tidak dapat dijalankan. Hal ini didasarkan pada realita yang ada bahwa pelaksanaan putusan seperti ini relatif mudah dan tidak rumit sehingga tidak memerlukan adanya ketentuan yang rinci Prosedur Pelaksanaan Putusan Hakim Pelaksanaan putusan hakim dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan jurusita yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 195 ayat (1) HIR, Pasal 197 ayat 2 HIR, Pasal 206 ayat (1), Pasal 209 ayat (1) Rbg). Ada dua tahap penting dalam pelaksanaan eksekusi yaitu Tahap tegoran dan Tahap sita eksekusi. Untuk dapat dilaksanakan suatu putusan hakim secara paksa oleh pengadilan negeri, maka pihak yang dimenangkan mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan supaya putusan tersebut dapat dilaksanakan. Selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan permohonan tersebut memanggil pihak yang dikalahkan untuk ditegor agar memenuhi putusan dalam waktu 8 hari setelah teguran tersebut (Pasal 196 HIR, Pasal 207 Rbg). Dalam tenggang waktu 8 hari tersebut dan pihak yang dikalahkan juga belum menjalankan atau memenuhi isi putusan, atau jika orang yang dikalahkan sesudah dipanggil 81 Muhammad Nasir, Op.cit, hlm.240.

32 dengan patut tidak juga menghadap, maka Ketua Pengadilan Negeri karena jabatannya memberi perintah dengan surat penetapan supaya disita barang-barang bergerak milik orang yang kalah, atau bila tidak ada barang bergerak untuk disita, maka barang tetap pun dapat disita sebanyak nilai uang yang tersebut dalam putusan hakim untuk menjalankan eksekusi tersebut (Pasal 197 ayat (1) HIR, pasal 208 Rbg). Dengan demikian yang diutamakan untuk disita adalah barang-barang bergerak. Bila jumlah barang tidak ada atau belum memadai maka sita dapat dilakukan terhadap benda tetap. Dengan demikian jelaslah bahwa eksekusi merupakan tindakan menguangkan bagian tertentu dari harta kekayaan pihak yang dikalahkan (debitur) dengan tujuan untuk memenuhi putusan hakim guna merealisasi kepentingan pihak yang dimenangkan hakim guna merealisasi kepentingan pihak yang dimenangkan (kreditur). Untuk dapat menguangkan harta kekayaan debitur harta kekayaan tersebut harus disita atau dibekukan terlebih dahulu. Penyitaan ini disebut dengan sita eksekusitorial yaitu penyitaan yang didasarkan atas titel eksekutorial. 4. Penjualan Hasil Eksekusi Ada dua cara barang hasil eksekusi dilakukan penjualan yaitu : a. Penjualan dengan perantaraan kantor lelang (Pasal 200 ayat (1) HIR, 215 ayat (1) Rbg)

33 b. Penjualan oleh orang yang melakukan penyitaan atau orang ditetapkan secara khusus oleh Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 200 ayat (2) HIR, Pasal 215 ayat (2) Rbg). Penjualan barang bergerak dilakukan setelah diadakan pegumuman dan tidak boleh dilakukan sebelum hari kedelapan setelah barang tersebut disita (Pasal 200 ayat (6) HIR, Pasal 217 ayat (1) Rbg). Bila barang bergerak tersebut tidak lekas rusak, maka penjualan dilakukan sekaligus pada satu waktu sesudah diumumkan dua kali yang berselang 15 hari (Pasal 200 ayat (7) HIR,Pasal 217 ayat (2) Rbg). Barang tetap yang harganya lebih dari Rp.1000 harus diumumkan satu kali dalam surat kabar dari tempat barang tetap itu dijual selama-lamanya 14 hari sebelum penjualan (Pasal 200 ayat (9), Pasal 217 ayat (4) Rbg). 82 Jika pada saat yang sama diajukan dua permohonan pelaksanaan putusan atau lebih dijatuhkan pada seorang debitur, maka disita sekian banyak barang debitur sekaligus, sehingga cukup untuk memenuhi semua putusan. Untuk penyitaan ini hanya dibuat satu berita acara saja (Pasal 201 HIR, Pasal 219 Rbg). Bila setelah penyitaan, namun sebelum barang yang disita tersebut dijual, diterima lagi permohonan pelaksanaan putusan dari kreditur lain terhadap debitur yang sama, maka penyitaan atas barang-barang debitur yang telah dilakukan itu digunakan untuk memenuhi putusan yang diminta pelaksanaan oleh kreditur lain 82 Ibid, hlm.251.

34 tersebut. Jika sekiranya sita eksekutorial yang telah dilakukan itu belum mencukupi, maka Ketua Pengadilan dapat memerintahkan untuk melakukan penyitaan terhadap barang-barang debitur yang belum di sita sekadar cukup untuk memenuhi putusan yang kedua. Pada dasarnya ini tidak merupakan penyitaan yang khusus diadakan atas permohonan kreditur yang kedua, melainkan merupakan sita eksekutorial lanjutan dari sita eksekutorial yang pertama (voortgezet beslag) (Pasal 202 HIR, Pasal 220 Rbg). Ketua Pengadilan Negeri menetukan cara pembagian hasil penjualan di antara kreditur setelah debitur dan para kreditur dipanggil dan didengar keteranganya. Terhadap putusan hakim tentang pembagian ini dapat dimintakan upaya banding (Pasal 204 HIR, Pasal 222 Rbg). Hak orang yang dijual barangnya beralih kepada pembeli segera setelah perjanjian jual beli ditutup. Kantor lelang harus membuat surat keterangan kepada pembeli (Pasal 200 ayat 10 HIR, Pasal 218 ayat (1) Rbg). 83 Orang yang barang tetapnya dijual harus meninggalkan barang tersebut. Bila yang bersangkutan enggan meninggalkanya, maka Ketua Pengadilan Negeri membuat surat perintah kepada orang yang berkuasa menjalankan surat jurusita supaya dengan bantuan Pengadilan Negeri, bila perlu dengan bantuan Polisi, barang tetap itu ditinggalkan dan dikosongkan oleh yang bersangkutan beserta keluarganya (Pasal 200 ayat (11) HIR, Pasal 218 ayat (2) Rbg). 84 Segera setelah hasil penjualan mencapai K. Wantjik saleh, Op.cit, hlm Ibid, hlm.50.

35 jumlah yang tersebut dalam putusan ditambah dengan biaya melaksanakan putusan, maka penjualan dihentikan (Pasal 200 ayat (5) HIR, Pasal 216 ayat (2) Rbg). 2. Hukum Acara Kepailitan Hukum Acara Kepailitan atau disingkat dengan (HAK) yang berlaku dalam menyelesaikan Kepailitan adalah Hukum Acara Perdata (HAP) sebagaimana dinyatakan dalam UUK-PKPU Pasal 284 ayat (1) 85, Kecuali ditentukan lain dengan Undang-Undang ini. Lebih lanjut hal ini diatur dalam Pasal 299 UUK-PKPU. Sehubungan dengan hal tersebut, berikut ini akan penulis uraikan tentang : a. Pengadilan Yang Berwenang Dalam UUK-PKPU, Pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara permohonan Kepailitan adalah : (1) Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitor. (2) Dalam hal Debitor telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir Debitor. 85 Lihat Pasal 284 ayat (1) UK No.4 Tahun 1998 dan Penjelasan

36 (3) Dalam hal Debitor adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan. (4) Dalam hal debitur tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang memutuskan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat Debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia. (5) Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya. 86 b. Pengajuan Permohonan Kepailitan Permohonan pernyataan Pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan melalui panitera dengan mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan paling lambat dua hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Dalam jangka waktu paling lambat tiga hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan 86 Lihat Pada Pasal 3 ayat (1) s/d ayat (5) UUK-PKPU.

37 dalam jangka waktu paling lambat dua puluh hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Atas permohonan debitor dan berdasarkan alasan yang cukup, Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang sebagaimana dimaksud ayat (5) sampai dengan paling lambat dua puluh lima hari setelah tanggal permohon didaftarkan. 87 Permohonan pernyataan pailit sebagaimana tersebut diatas harus diajukan oleh seorang advokat 88. Dalam hal Kepailitan yang menyangkut kepetingan umum, lembaga pasar modal, perbankan maupun perusahaan asuransi dan Badan Usaha milik Negara (BUMN) sebagaimana disebut dalam Pasal ayat (2), dan ayat (5), maka pemohon hanya dapat diajukan oleh Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri Keuangan. Bahkan panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan Pailit yang tidak diajukan oleh institusi tersebut. 89 Berikutnya Pengadilan wajib memanggil debitor, dalam hal permohonan pernyataan Pailit diajukan oleh kreditor, Kejaksaan, BI, BAPEPAM, atau Menteri Keuangan; dan dapat memanggil kreditor, dalam hal permohonan pernyataan Pailit diajukan oleh debitor dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan Lihat Pasal 6 ayat (1) s/d ayat (2) dan ayat (4) s/d (ayat (7) UUK-PKPU. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) UUK-PKPU, dan selanjutnya lihat UU advokat No.18 tahun Pasal 1 ayat (1), advokat adalah oang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar Pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-undang ini. Yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat. Jadi pengangkatan dilakukan oleh organisasi advokat dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: WNRI, bertempat tinggal di Indonesia dan magang minimal dua tahun terus menerus pada kantor advokat, dan tidak pernah dipidana atau diancam tindak pidana, serta berprilaku baik, jujur, tanggung jawab, adil, dan punya integritas tinggi (Pasal 2 dan Pasal 3 UU Advokat). 89 Ketentuan Pasal 6 ayat (3) jo. Pasal 7 ayat (2)UUK-PKPU.

Heri Hartanto - FH UNS

Heri Hartanto - FH UNS 1 Kekuasaan Kehakiman Psl 13 UU 14/1970 Jo. UU 4/2004 ttg Kekuasaan Kehakiman : memungkinkan di bentuk peradilan khusus di dalam peradilan Umum. Psl 8 UU 2/1986 Jo. UU 8/2004 ttg Peradilan Umum : Di dlm

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. Oleh : Linda Firdawaty * Abstraksi

KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. Oleh : Linda Firdawaty * Abstraksi A. Pendahuluan KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG Oleh : Linda Firdawaty * Abstraksi Pengadilan niaga merupakan salah satu alternative penyelesaian

Lebih terperinci

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) SEKITAR EKSEKUSI (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) A. Tinjauan Umum Eksekusi 1. Pengertian eksekusi Pengertian eksekusi menurut M. Yahya Harahap, adalah pelaksanaan secara paksa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan

Lebih terperinci

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

Per June 2009 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN NIAGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Per June 2009 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN NIAGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Per June 2009 XII RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN NIAGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan hukum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keterpurukan perekonomian Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan menyisakan sedikit yang mampu bertahan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

Kepailitan. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates

Kepailitan. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates Kepailitan Miko Kamal Principal, Miko Kamal & Associates Sejarah Kepailitan Pada masa Hindia- Belanda: Faillissements- verordening Staatblad 1905:217 juncto Staatblad 1906: 348) Masa merdeka: - Peraturan

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) Copyright (C) 2000 BPHN UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kepailitan 1. Pengertian Pailit dan Kepailitan Kepailitan secara etimologi berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal dari kata Belanda yaitu failliet yang mempunyai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan penurunan nilai rupiah terhadap nilai dolar Amerika yang dimulai sekitar bulan Agustus 1997, telah

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. Semua harta benda dari si pailit untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Kedudukan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan nasional adalah peraturan tentang kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban

Lebih terperinci

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4443 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 131) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

Copyright (C) 2000 BPHN

Copyright (C) 2000 BPHN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 97/1999, PEMBENTUKAN PENGADILAN NIAGA PADA PENGADILAN NEGERI UJUNG PANDANG, PENGADILAN NEGERI MEDAN, PENGADILAN NEGERI SURABAYA, DAN PENGADILAN NEGERI SEMARANG *48999 KEPUTUSAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang. mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang. mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam undang-undang untuk membayar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan merupakan setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia membuat utang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

PELAKSANAAN LELANG EKSEKUSI TERHADAP TANAH BERIKUT BANGUNAN YANG DIJAMINKAN DI BANK DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

PELAKSANAAN LELANG EKSEKUSI TERHADAP TANAH BERIKUT BANGUNAN YANG DIJAMINKAN DI BANK DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA PELAKSANAAN LELANG EKSEKUSI TERHADAP TANAH BERIKUT BANGUNAN YANG DIJAMINKAN DI BANK DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat

Lebih terperinci

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditor perlu untuk mengantisipasi kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada kepastian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada masyarakat. Mengingat

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada masyarakat. Mengingat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bank sebagai lembaga keuangan yang menggerakkan roda perekonomian, dikatakan telah melakukan usahanya dengan baik apabila dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada

Lebih terperinci

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum dalam Ilmu

Lebih terperinci

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 I. TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN Putusan perkara kepailitan

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga Putusan pernyataan pailit adalah putusan yang diberikan oleh pengadilan niaga atas permohonan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO

PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG Oleh Arkisman ABSTRAK Setelah dijatuhkannya

Lebih terperinci

SEKITAR PENYITAAN. (Oleh : H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

SEKITAR PENYITAAN. (Oleh : H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) SEKITAR PENYITAAN (Oleh : H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) A. Pengertian Penyitaan Sita (Beslag) adalah suatu tindakan hukum pengadilan atas benda bergerak ataupun benda tidak bergerak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah unsur penting yang menunjang kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Begitu pentingnya tanah, maka setiap

Lebih terperinci

SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL OLEH : SOLECHAN 1. A. PENDAHULUAN Sejak dahulu sampai sekarang

Lebih terperinci

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN DAPAT DITERIMANYA CONSERVATOIR BESLAG SEBAGAI PELAKSANAAN EKSEKUSI RIIL ATAS SENGKETA TANAH

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN DAPAT DITERIMANYA CONSERVATOIR BESLAG SEBAGAI PELAKSANAAN EKSEKUSI RIIL ATAS SENGKETA TANAH SKRIPSI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN DAPAT DITERIMANYA CONSERVATOIR BESLAG SEBAGAI PELAKSANAAN EKSEKUSI RIIL ATAS SENGKETA TANAH ( Studi Kasus di Pengadilan Negeri Magetan ) Disusun dan Diajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut akan melakukan barter, yaitu menukarkan barang yang. usaha dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole

BAB I PENDAHULUAN. tersebut akan melakukan barter, yaitu menukarkan barang yang. usaha dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang hidup memerlukan uang atau dana untuk membiayai keperluan hidupnya. Demikian juga halnya dengan suatu badan hukum. Uang diperlukan badan hukum, terutama perusahaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Didalam Hukum Acara Perdata terdapat dua perkara, yakni perkara

BAB I PENDAHULUAN. Didalam Hukum Acara Perdata terdapat dua perkara, yakni perkara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Didalam Hukum Acara Perdata terdapat dua perkara, yakni perkara permohonan dan perkara gugatan. Dalam perkara gugatan sekurangkurangnya ada dua pihak yang

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat

BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat 27 BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS A. Kurator Dalam Proses Kepailitan Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat (1) UU Kepailitan dan

Lebih terperinci

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara BAB III Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Pejabat Tata Usaha Negara A. Upaya Hukum Ada kalanya dengan keluarnya suatu putusan akhir pengadilan sengketa antara Penggugat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi, memberi rasa aman, tentram dan tertib untuk mencapai kedamaian dan keadilan setiap orang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN Oleh: Adem Panggabean A. PENDAHULUAN Pada dunia bisnis dapat terjadi salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya membayar hutang-hutangnya kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terbadap kehidupan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia 7 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Majunya perekonomian suatu bangsa, menyebabkan pemanfaatan tanah menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia itu sendiri. Hal ini terlihat

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa manusia lain. Hanya dalam kehidupan bersamalah manusia dapat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyalur dana masyarakat yang bertujuan melaksanakan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. penyalur dana masyarakat yang bertujuan melaksanakan pembangunan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu fungsi utama Bank adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat yang bertujuan melaksanakan pembangunan nasional kearah peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan. Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan. Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara BAB I PENDAHULUAN Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman,

Lebih terperinci

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA 20 BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA A. Pengertian PKPU Istilah PKPU (suspension of payment) sangat akrab dalam hukum kepailitan. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak masalah. Modal

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan mempunyai utang. Perusahaan yang mempunyai utang bukanlah merupakan suatu hal yang buruk, asalkan perusahaan

Lebih terperinci

E K S E K U S I (P E R D A T A)

E K S E K U S I (P E R D A T A) E K S E K U S I (P E R D A T A) A. Apa yang dimaksud dengan Eksekusi Eksekusi adalah melaksanakan secara paksa (upaya hukum paksa) putusan Pengadilan dengan bantuan kekuatan umum. B. AZAS-AZAS EKSEKUSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh

BAB I PENDAHULUAN. yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada

Lebih terperinci

III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN

III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN A. Pendahuluan Pokok bahasan III ini mengandung sub-sub pokok bahasan tentang putusan, upaya hukum terhadap putusan dan pelaksanaan putusan. Penguasaan materi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat,

Lebih terperinci

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 Abstrak Pada Undang undang Kepailitan,

Lebih terperinci

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI 1. Ketentuan Dalam Pasal 21 UUJF Mengenai Benda Persediaan yang Dialihkan dengan

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 UU Tentang Yayasan BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bisnis waralaba atau franchise sedang berkembang sangat pesat di Indonesia dan sangat diminati oleh para pengusaha karena prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 28-2004 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

BAB II HUKUM KEPAILITAN. Sri Redjeki Hartono dapat dipilah menjadi 3 masa yakni masa sebelum

BAB II HUKUM KEPAILITAN. Sri Redjeki Hartono dapat dipilah menjadi 3 masa yakni masa sebelum BAB II HUKUM KEPAILITAN A. Sejarah Hukum Kepailitan Dalam sejarah berlakunya Peraturan Kepailitan di Indonesia, menurut Sri Redjeki Hartono dapat dipilah menjadi 3 masa yakni masa sebelum Faillisement

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I. Eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang

BAB I. Eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang 1 BAB I PENDAHULUAN Eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang kalah dalam suatu perkara untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan pengadilan oleh karena

Lebih terperinci

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU A. Prosedur Permohonan PKPU Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur dapat terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika

Lebih terperinci

Hukum Acara Perdata Pertemuan Ke-2

Hukum Acara Perdata Pertemuan Ke-2 Hukum Acara Perdata Pertemuan Ke-2 Hukum acara perdata (hukum perdata formil), yaitu hukum yang mengatur mengenai bagaimana cara menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. (Prof.

Lebih terperinci

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN SITA JAMINAN ATAS BENDA BERGERAK PADA PENYELESAIAN PERKARA PERDATA (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN SITA JAMINAN ATAS BENDA BERGERAK PADA PENYELESAIAN PERKARA PERDATA (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN SITA JAMINAN ATAS BENDA BERGERAK PADA PENYELESAIAN PERKARA PERDATA (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-syarat

Lebih terperinci

KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN YANG MEMUAT KLAUSULA ARBITRASE SKRIPSI

KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN YANG MEMUAT KLAUSULA ARBITRASE SKRIPSI KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN YANG MEMUAT KLAUSULA ARBITRASE SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Oleh : SHAFIRA HIJRIYA

Lebih terperinci

ELIZA FITRIA

ELIZA FITRIA EKSEKUSI RIIL TERHADAP PUTUSAN HAKIM YANG TELAH MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI BATUSANGKAR KLAS II (STUDI KASUS PERKARA PERDATA NO. 02/Pdt.G/2007/PN.BS) SKRIPSI DIAJUKAN GUNA MEMENUHI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN Riska Wijayanti 1, Siti Malikhatun Bariyah 2 Abstrak Penelitian ini bertujuan mengkaji

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci