BAB III PENCABUTAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS. A. Perseroan Terbatas Badan Hukum Yang dapat dipailitkan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III PENCABUTAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS. A. Perseroan Terbatas Badan Hukum Yang dapat dipailitkan"

Transkripsi

1 BAB III PENCABUTAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS A. Perseroan Terbatas Badan Hukum Yang dapat dipailitkan Sebuah perseroan dinyatakan pailit maka sebagaimana di maksud dalam Pasal 24 ayat (1 ) Undang-Undang nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan Melihat pada penjelasan pasal tersebut jelaslah bahwa debitor dalam perseroan terbatas kehilangan haknya untuk mengurus harta kekayaan perusahaan, karena harta kekayaan secara otomatis pengurusannya akan beralih kepada seorang kurator. Pasal 1 angka 1 UUK menyatakan bahwa kepailitan adalah: sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini Ketentuan pasal tersebut adalah bermaksud agar semua harta kekayaan tersebut dapat menjadi jaminan pelunasan hutang-hutang peseroan selaku debitur pailit. Jika telah dinyatakan pailit kemudian perseroan terbatas tersebut tidak mampu untuk membayar hutang-hutangnya, maka tujuan terakhir dari kepailitan ini adalah dengan melikuidasi perseroan terbatas tersebut. Likuidasi merupakan aktivitas yang dilakukan apabila debitur pailit tidak dapat menunjukan kepada pengadilan niaga yang memiliki otoritas untuk menghentikan kepailitan. Atau dengan kata lain

2 membereskan harta (asset) yang nantinya dipergunakan untuk membayar hutanghutang. 30 Ilmu hukum mengenal dua macam subjek hukum, yaitu subjek hukum pribadi (orang perorangan), dan subjek hukum berupa badan hukum. Terhadap masing-masing subjek hukum tersebut berlaku ketentuan hukum yang berbeda satu dengan yang lainnya, meskipun dalam hal-hal tertentu terhadap keduanya dapat diterapkan suatu aturan yang berlaku umum. 31 Salah satu ciri khas yang membedakan subjek hukum pribadi dengan subjek hukum badan hukum adalah saat lahirnya subjek hukum tersebut, yang pada akhirnya akan menentukan saat lahirnya hak-hak dan kewajiban bagi masing-masing subjek hukum tersebut. Menurut Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,pada subjek hukum pribadi, status subjek hukum dianggap telah ada bahkan pada saat pribadi perseorangan tersebut berada dalam kandungan. Sedangkan pada badan hukum, keberadaan status badan hukumnya baru diperoleh setelah ia memperoleh pengesahan dari pejabat yang berwenang, yang memberikan hak-hak, kewajiban dan harta kekayaan sendiri bagi badan hukum tersebut, terlepas dari hak-hak, kewajiban dan harta kekayaan para pendiri, pemegang saham, maupun para pengurusnya. Pasal 7 ayat (4) UUPT menyatakan bahwa perseroan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian disahkan oleh Menteri. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak satu pasal pun yang menyatakan perseroan sebagai badan hukum, tetapi dalam UUPT secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 butir 1 bahwa perseroan adalah badan hukum. Ini berarti perseroan tersebut memenuhi syarat keilmuan sebagai pendukung hak dan kewajiban antara lain memiliki harta kekayaan pendiri atau pengurusnya. hlm M. Udin Silalahi, Badan Hukum Organisasi Perusahaan. (Jakarta : Penerbit IBLAM, 2005), 31 Ibid, hlm 12

3 Sebagai suatu badan hukum, perseroan memenuhi unsur-unsur badan hukum seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. Unsur-unsur tersebut adalah : 1. Organisasi yang teratur Di dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Perseroan Terbatas, dapat kita lihat dari adanya organ perusahaan yang terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris. 2. Harta kekayaan sendiri Menurut Pasal 31 dan 32 UUPT, harta kekayaan sendiri ini berupa modal dasar yang terdiri atas seluruh nilai nominal saham yang terdiri atas uang tunai dan harta kekayaan dalam bentuk lain. 3. Melakukan hubungan hukum sendiri Sebagai badan hukum, perseroan melakukan sendiri hubungan hukum dengan pihak ketiga yang diwakili oleh pengurus yang disebut Direksi dan Komisaris. Direksi bertanggung jawab penuh untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dalam melaksanakan kegiatannya, direksi berada di bawah pengawasan Dewan Komisaris, yang dalam hal-hal tertentu membantu direksi dalam menjalankan tugasnya tersebut. 4. Mempunyai tujuan tersendiri Tujuan tersebut ditentukan di dalam Anggaran Dasar perseroan, karena perseroan menjalankan perusahaan, maka tujuan utama perusahaan adalah memperoleh keuntungan/ laba.

4 Tujuan utama proses kepailitan terhadap perseroan terbatas adalah untuk mempercepat proses likuidasi dalam rangka pendistribusian asset perseroan dalam rangka membayar utang-utang perseroan karena perseroan telah mengalami kesulitan keuangan yang menyebabkan insolvensi perseroan tersebut. Dengan demikian eksistensi perseroan terbatas yang dipailitkan segera berakhir dengan percepatan pemberesan proses likudasi tersebut. Prinsip utama kepailitan perseroan terbatas adalah menyegerakan proses likuidasi asset perseroan untuk kemudian membagikannya kepada segenap kreditornya. 32 Eksistensi yuridis dari perseroan terbatas yang telah dipailitkan adalah masih tetap ada eksistensi badan hukumnya. Dengan dinyatakanya pailit tidak muitatis mutandis badan hukum perseroan menjadi tidak ada. Suatu argumentasi yuridis mengenai proposisi ini setidaknya ada tiga (3) landasan antara lain : 1) Kepailitan terhadap perseroan tidak mesti berakhir dengan likuidasi dan pembubaran badan hukum perseroan. Dalam hal harta kekayaan perseroan telah mencukupi tagihan-tagihan kreditor dan biaya-biaya yang timbul dari kepailitan, maka langkah berikutnya adalah pengakhiran kepailitan dengan jalan rehabilitasi terhadap perseroan terbatas tersebut dan kepailitan diangkat serta berakibat perseroan terbatas itu kembali pada keadaan semula sebagaimana perseroan sebelum adanya kepailitan. Seandainya eksisistensi badan hukum perseroan terbatas hapus dengan adanya kepailitan, maka tentunya tidak dimungkinkannya adanya pengangkatan kepailitan serta rehabilitasi perseroan karena sudah hapusnya status badan hukum itu. 2) Dalam proses kepailitan perseroan terbatas, maka perseroan terbatas tersebut masi dapat melakukan transaksi hukum terhadap pihak kedua, di mana tentunya 32 M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, edisi pertama, cet.ke-1, (Jakarta : Prenada Media Group, 2008). hlm.198

5 yang melakukan perbuatan hukum perseroan tersebut adalah kurator atau setidak-tidaknya atas mandat kurator. Sehingga tidak mungkin jika badan hukum perseroan telah tiada sementara masih dapat melakukan proses transaksi tersebut. 3) Dimungkinkannya untuk melanjutkan usaha perseroan yang dalam pailit (on going concern). Pelanjutan usaha perseroan yang dalam pailit tentunya tidak dimungkinkan seandainya eksistensi badan hukum dari perseroan terbatas itu sudah hapus bersamaan dengan pernyataan kepailitan perseroan terbatas itu. Dengan masih tetapnya eksistensi badan usaha perseroan dalam pailit ini, maka dimungkinkannya going concern dari usaha perseroan ini. Disinilah kelebihan/ keuntungan status perseroan dalam pailit yang tunduk pada rezim hukum kepailitan dengan status perseroan dalam likuidasi yang tunduk pada hukum perseroan terbatas secara umum yang diatur dalam undang-undang perseroan terbatas. 33 Dalam pada itu, dalam kasus-kasus tertentu kepailitan perseroan bisa dimungkinkan tanpa likuidasi. Hal terakhir ini jika dipandang perlu untuk meneruskan kegiatan usaha perseroan (going concern) sehingga menghasilkan keuntungan yang lebih yang pada akhirnya hasil keuntungan tersebut digunkan untuk membayar utangutang perseroan. Melanjutkan perusahaan ini merupakan langkah yang sangat strategis dalam hal terjadinya kepailitan perseroan karena kesulitan jangka pendek sementara prospek perusahaan tersebut masih baik. Dalam konsep manajemen keuangan perseroan dikenal dengan tiga jenis utang, yakni utang jangka pendek, utang jangka menengah, dan utang jangka panjang. Kesulitan utang jangka pendek ini tidak mesti berhubungan dengan kebangkrutan suatu perseroan terbatas. Dan kesulitan likuiditas ini biasanya hanya sebagai akibat 33 Ibid, hlm.199

6 dari kesalahan manajemen cash flow (arus keluar masuk uang perseroan). Dalam teori manajemen keuangan sebagaimana disebut diatas membedakan kesulitan keuangan perusahaan menjadi : 34 1) Economic Failure, yang berarti bahwa pendapatan perusahaan tidak dapat menutup biaya total, termasuk biaya modal. Usaha yang economic failure dapat meneruskan operasinya sepanjang kreditor berkeinginan untuk menyediakan tambahan modal dan pemilik dapat menerima tingkat pengembalian ( return ) dibawah tingkat bunga pasar. 2) Business Failure, istilah ini digunakan oleh Dun dan Bradstreet yang merupakan penyusun utama failure statistic, untuk mendefenisikan usaha yang menghentikan operasinya dengan akibat kerugian bagi kreditor. Dengan demikian, suatu usaha dapat diklasifikasikan gagal meskipun tidak melalui kebangkrutan secara normal. Juga suatu usaha dapat menghentikan/ menutup usahanya tetapi tidak dianggap sebagai gagal. 3) Technical Insolvency. Sebuah perusahaan dapat dinilai bangkrut apabila tidak memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo. Technical Insolvency ini mungkin menunjukkan kekurangan likuiditas yang sifatnya sementara dimana pada suatu waktu perusahaan dapat mengumpulkan uang untuk memenuhi kewajibannya dan tetap hidup. Di lain pihak apabila technical insolvency merupakan gejala awal dari economic failure, maka hal ini merupakan tanda kearah bencana keuangan ( financial disaster). 4) Insolvency in bankruptcy. Sebuah perusahaan dikatakan bankruptcy bilamana nilai buku dari total kewajiban melebihi nilai pasar dari asset perusahaan. Hal ini merupakan suatu keadaan yang lebih serius dibandingkan dengan technical 34 Ibid, hlm.202

7 insolvency, sebab pada umumnya hal ini merupakan pertanda daari economic failure yang mengarah ke likuidasi suatu usaha. 5) Legal bankruptcy. Kepailitan ini adalah putusan kepailitan yang dijatuhkan oleh pengadilan sesuai dengan undang-undang karena mengalami tahapan-tahapan kesulitan keuangan tersebut diatas. Dari lima jenis kesulitan keuangan tersebut, maka kesulitan keuangan jenis pertama, kedua, dan ketiga bisa dicarikan jalan keluarnya bukan dengan dengan kepailitan. Jadi perseroan terbatas yang sedang mengalami kesulitan keuangan, maka tidak secara apriori harus dinyatakan pailit. Namun oleh karena sistem hukum kepailitan Indonesia menutup mata terhadap jenis kesulitan keuangan perusahaan tersebut dalam kaitannya dengan kepailitan yang berarti bahwa kepailitan perseroan terbatas tersebut sudah secara tekhnis bangkrut, maka konsep pelanjutan usaha (on going concern) memilki makna yang sangat strategis, terutama jika kepailitan tersebut menyangkut perseroan terbatas yang memilki kesulitan keuangan tipe kesatu, kedua, atau yang ketiga. Dalam hal perseroan meneruskan kegiatan usahanya setelah dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka eksistensi perseroan diakui sebagai subjek hukum yang penuh dalam transaksi bisnis. Ada beberapa perbedaan perseroan terbatas yang sudah dinyatakan pailit dalam melakukan kegiatan usahanya jika dibandingkan dengan perseroan terbatas tidak dalam pailit, yakni organ pengurus yang bertindak untuk dan atas nama perseroan adalah kurator bukan direksi dari perseroan tersebut. Kurator inilah yang menjalankan tindakan pengurursan perseroan terbatas. Namun tidak menutup kemungkinan kurator memanfaatkan organ direksi dalam pengurusan perseroan terbatas dalam kepailitan yang on going concern tersebut Ibid, hlm 205.

8 Perseroan terbatas yang dinyatakan pailit tidak secara otomatis bubar, melainkan masih eksis badan hukumnya, bahkan dalam keadaan tertentu masih menjalankan usahanya seperti lazimnya perseroan terbatas ketika tidak terjadinya kepailitan sebagaimana telah dijelaskan diatas. Kepailitan menurut UUK diatur dalam Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi : Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Dari pasal diatas menerangkan, bahwa apabila terjadi pailit pada suatu badan hukum maka akan terjadi penyitaan atau sita umum terhadap kekayaan debitur yang nantinya pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas. Permohonan pailit dapat diajukan oleh pihak yang berinisiatif untuk mengajukan pailit ke pengadilan berdasarkan undang-undang kepailitan, pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit ialah : 1. Debitor itu sendiri (Volutary petition), 2. Adany satu/lebih kreditur, 3. Kejaksaan untuk kepentingan umum, 4. Bank Indonesia jika debiturnya bank, 5. Badan Pengawas Pasar Modal jika debiturnya perusahaan efek. 36 Dengan adanya permohonan pailit yang diajukan maka akan dikeluarkan putusan pernyataan pailit. Putusan pernyataan pailit yang dikeluarkan atas permohonan kreditur dapat mengubah seseorang (badan hukum) menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai dan mengurus harta kekayaannya 36 Sayudi Aria, dkk, Kepailitan Dinegeri Pailit, Cetakan kedua, (Jakarta : Pusat Studi Hukum & kebijakan Indinesia dicetak oleh Dimensi, 2004), hlm 76.

9 sejak adanya pernyataan putusan pailit diucapkan oleh ketua pengadilan. Permohonan pailit tersebut diajukan ke Pengadilan Niaga yang mengurus perkara pailit, permohonan pailit yang diajukan akan dikabulkan apabila telah terbukti secara sederhana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) UUK menyatakan bahwa: Permohonan pernyatan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi. Yang dimaksud dengan pembuktian secara sederhana dalam pasal diatas adalah yang lazim disebut dengan pembuktian secara sumir. Pembuktian sederhana atau sumir yang dimaksud dalam UU Kepailitan tidak dapat menjawab sejauh mana batasan pembuktian sederhana tersebut. 37 Akibat hukum dari adanya kepailitan yang diberlakukan kepada debitor oleh undang-undang. Menurut Munir Fuady akibat-akibat tersebut berlaku kepada debitor dengan dua mode pemberlakuan yaitu : Berlaku demi hukum Ada beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation of law) segera setelah adanya pernyataan pailit memiliki kekuatan tetap, ataupun setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal telah adanya pernyataan pailit pada debitur, maka debitur dilarang untuk meninggalkan tempat tinggalnya selama masa pemberesan tersebut dilakukan. Walaupun dalam keadaanya seperti ini pihak hakim pengawas masih mungkin dapat memberikan izin kepada debitur untuk meninggalkan tempat tinggalnya. 2. Berlaku secara Rule of Reason 37 Ibid, hlm Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 65.

10 Akibat hukum ini tidak secara otomatis berlaku, akan berlaku apabila diberlakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan, dengan mengajukan alasan-alasan yang wajar untuk memberlakukannya. Dalam hal ini pihak-pihak yang dapat mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat hukum tertentu tersebut misalany kurator, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, dan lain-lain. Akibat yang memerlukan rule of reason adalah tindakan penyegelan harta pailit. Dalam hal ini harta debitur dapat disegel atas persetujuan Hakim Pengawas jadi hal tersebut tidak dapat terjadi secara otomatis. Reason yang dilakukan dalam penyegelan harta pailit ini diartikan hanya untuk alasan pengamanan harta pailit tersebut. Ada perbedaan mendasar antara akibat hukum kepailitan dari subjek hukum orang dengan kepailitan suatu perseroan terbatas. Terhadap kepailitan subjek hukum orang, maka demi hukum sipailit tidak berwenang lagi untuk melakukan pengurusan terhadap harta kekayaannya yang menjadi boedel pailit. Kewenangan untuk melakukan pengurusan terhadap harta kekayaannya berlalih kepada kurator. Kurator dalam kepalitan orang secara apriori melakukan pemberesan terhadap harta pailit. Kurator tidak berwenang untuk mengembangkan usaha dari sipailit. 39 Sedangkan kepailitan bagi perseroan terbatas tidak menyebabkan secara otomatis perseroan terbatas tersebut berhenti mealkukan segala perbuatan hukumnya. Yang secara otomatis melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan perseroan adalah organ perseroan yang terdiri dari pemegang saham, komisaris, dan direktur M. Hadi Subhan, Op.Cit. hlm (diakses tanggal 13 Juni 2013)

11 B. Pembubaran Perseroan Terbatas menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Sebelum membahas eksistensi Perseroan Terbatas setelah berakhirnya kepailitan, berikut ini akan dipaparkan terlebih dahulu syarat-syarat berakhirnya kepailitan, yaitu : 1. Apabila pembagian terhadap harta si pailit telah dilakukan secara tuntas dan mempunyai kekuatan hukum yang pasti; 2. Apabila homogolasi akor telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti; 3. Apabila ada pertimbangan dari hakim yang memutus kepailitan, bahwa harta si pailit ternyata tidak cukup untuk membiayai kepailitan. Dalam hal kepailitan badan hukum perseroan terbatas setelah berakhirnya kepailitan, bubar atau tidaknya perseroan tergantung kepada keputusan hakim atas adanya permohonan pembubaran perseroan karena didalam undang-undang kepailitan dan undang-undang perseroan terbatas No. 40 tahun 2007 tidak adanya pengaturan mengenai pembubaran demi hukum perseroan terbatas secara terperinci. Pembubaran Perseroan terbatas demi hukum hanya dikenal pengaturannya di KUHD yaitu Alasanalasan pembubaran perseroan karena jangka waktu berdirinya berakhir dan bubar demi hukum karena kerugian yang mencapai 75% dari modal perseroan.akan tetapi undang-undang UUPT mengenal adanya pembubaran karena penetapan pengadilan tetapi tidak mengenal adanya pembubaran demi hukum. Menurut ketentuan Pasal 142 UUPT, Pembubaran Perseroan terjadi : a. berdasarkan keputusan RUPS; b. karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir; c. berdasarkan penetapan pengadilan;

12 d. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan; e. karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau f. karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 142 UUPT ada 2 (dua) alasan pembubaran PT yang berhubungan dengan Kepailitan yaitu 1. Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan; 2. Karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; Alasan pertama digunakan untuk melindungi kepentingan kreditor.dalam hal ini kreditor tentunya tidak boleh dirugikan dengan adanya keadaan tidak mampu membayar ini.berdasarkan Pasal 18 ayat 1 UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, apabila perseroan pailit sehingga tidak mampu membayar hutangnya, maka kreditor dapat mengajukan permohonan pembubaran perseroan kepada Hakim Pengawas atas Putusan Pernyataan Pailit yang diajukan oleh Debitor. Berdasarkan permohonan Kreditor atau Panitia Kreditor sementara jika ada, tersebut Hakim Pengawas mengusulkan kepada Pengadilan Niaga, serta setelah memanggil dengan sah atau mendengar Debitor, dapat

13 memutuskan pencabutan putusan pernyataan pailit Berdasarkan keputusan Pengadilan Niaga tersebut, suatu perseroan dapat dibubarkan. Pembubaran tersebut diikuti dengan pemberesan sehingga kreditor berhak mendapatkan pelunasan dari hasil pemberesan tersebut. Setelah pembubaran PT terjadi dengan adanya pencabutan kepailitan ini, maka menurut Pasal 142 butir 4 Pengadilan Niaga sekaligus memutuskan, pemberhentian Kurator.Kemudian peran Kurator digantikan oleh Likuidator sebagai pihak yang ditunjuk untuk menyelesaikan pemberesan. Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembubaran Perseroan, likuidator wajib memberitahukan: a. kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan pembubaran Perseroan dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia; dan b. pembubaran Perseroan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan bahwa Perseroan dalam likuidasi. Pemberitahuan kepada kreditor dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia memuat: a. pembubaran Perseroan dan dasar hukumnya; b. nama dan alamat likuidator; c. tata cara pengajuan tagihan; dan d. jangka waktu pengajuan tagihan. Jangka waktu pengajuan tagihan adalah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana. Pemberitahuan kepada Menteri wajib dilengkapi dengan bukti:

14 a. dasar hukum pembubaran Perseroan; dan b. pemberitahuan kepada kreditor dalam surat kabar Alasan kedua, Pembubaran Perseroan Terbatas terjadi karena telah dinyatakan pailit dan dalam keadaan insolvensi. Keadaan insolvenasi menurut Pasal 178 ayat 1 UUK dan PKPU yaitu suatu keadaan dimana Debitor dinyatakan benar-benar tidak mampu membayar, insolvensi ini terjadi apabila : a. Dalam rapat pencocokan piutang Kreditor tidak ditawarkan perdamaian atau b. Rencana Perdamaian yang ditawarkan Debitor ditolak oleh Panitia Kreditor atau c. Pengesahan Perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Akibat hukum dari penetapan insolvensi debitor pailit, timbulnya konsekuensi hukum tertentu, yaitu sebagai berikut : 1. Harta pailit segera dieksekusi dan dibagi kecuali ada pertimbangan tertentu (misal : pertimbangan prospek kelangsungan usaha) yang menyebabkan penundaan eksekusi dan penundaan pembagian akan lebih mengutungkan; 2. Pada prinsipnya tidak ada Rehabilitasi, sebab insolvensi ini disebabkan tidak adanya perdamaian dan aset Debitor Pailit lebih kecil dari kewajibannya. Kecuali apabila setelah dalam keadaan insolvensi kemudian terdapat Harta lain dari Debitor pailit. Misalnya adanya warisan, sehingga utang dapat dibayar lunas. Dengan demikian Rehabilitasi dapat diajukan berdasarkan Pasal 215 UUK dan PKPU. Bertolak dari kedua alasan yang dipakai sebagai dasar Pembubaran Perseroan Terbatas dalam Kepailitan, menimbulkan dua mode perlakuan hukum terhadap perseroan terbatas, yaitu :

15 1. Berlaku demi hukum (by the operation of law). Ada beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation of law) segera setelah pernyataan pailit dinyatakan atau setelah pernyataan pailit mempunyai hukum tetap, ataupun setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal ini, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, Kurator, Kreditur dan siapapun yang terlibat dalam proses kepailitan tidak dapat memberikan andil secara langsung untuk terjadinya akibat yuridis tersebut. Misal, dalam Pasal 93 Undang-undang Kepailitan disebutkan, larangan bagi debitur pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya (cekal), sungguhpun dalam hal inipihak hakim pengawas masih mungkin memberi izin bagi debitur pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya. 2. Berlaku secara Rule of Reason. Untuk akibat-akibat hukum tertentu dari kepailitan berlaku Rule of Reason, adalah bahwa akibat hukum tersebut tidak otomatis berlaku,akan tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu,setelah mempunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan. Pihak-pihakyang mesti mempertimbangkan berlakunya akibatakibat hokum tertentu tersebut.misal, Kurator, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas,dan lain-lain. Dengan demikian, bahwa berlakunya akibat hukum tersebut tidak semuanya sama. Ada yang perlu dimintakan oleh pihak tertentu dan perlu pula persetujuan institusi tertentu, tetapi ada juga yang berlaku karena hukum (by theoperation of law) begitu putusan pailit dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Pada dasarnya sebelum pernyataan pailit, hak-hak debitur untuk melakukan semua tindakan hukum berkenaan dengan kekayaannya harus dihormati. Tentunya dengan memperhatikan hak-hak kontraktual serta kewajiban debitur menurut peraturan perundang-undangan.

16 Semenjak pengadilan mengucapkan putusan kepailitan dalam sidang yang terbuka untuk umum terhadap debitur berakibat bahwa ia kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya (persona standy in ludicio) dan hak kewajiban si pailit beralih kepada kurator untuk mengurus dan menguasai boedelnya. Si pailit masih diperkenankan untuk melakukan perbuatanperbuatan hukum di bidang harta kekayaan, misalnya membuat perjanjian, apabila dengan perbuatan hukum itu akan memberi keuntungan bagi harta (boedel) si pailit, sebaliknya apabila dengan perjanjian atau perbuatan hukum itu justru akan merugikan boedel, maka kerugian itu tidak mengikat boedel. Kepailitan Badan Hukum Perseroan Terbatas di Indonesia tidak secara otomatis terhentinya operasional perseroan.pernyataan Pailit Perseroan Terbatas membuat perseroan sebatas kehilangan haknya untuk mengurus dan menguasai harta kekayaan perseroan tersebut. Pendapat ini dkuatkan dengan berlandaskan pada beberapa hal sebagai berikut : Pasal 143 ayat 1 UUPT, menjelaskan bahwa : (1) Pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan. (2) Sejak saat pembubaran pada setiap surat keluar Perseroan dicantumkan kata dalam likuidasi di belakang nama Perseroan. Pasal ini berkaitan dengan pasal sebelumnya bahwa salah satu penyebab pembubaran adalah disebabkan karena berada pada keadaan pailit yang mana keadaan pailit dapat terjadi karena dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan karena telah dinyatakan Insolvensi. Dengan demikian Pembubaran perseroan, seperti yang diatur dalam Pasal 142 butir 4,

17 yang dimaksud dalam Pasal 143 UUPT tersebut pun harus memperhatikan ketentuanketentuan yang berlaku di dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU No. 37 tahun Pembubaran perseroan terbatas yang dimaksud dalam Pasal 142 butir 1 huruf d dan e UUPT, proses dan pemberesannya haruslah sesuai dengan UU Kepailitan dan PKPU. Pada Pembubaran yang demikian ini, bahwa Pembubaran yang dimaksud adalah penghentian operasional perseroan terbatas yang dilakukan oleh organ-organ perseroan yang meliputi RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris, bukanlah berupa Pembubaran Badan Hukum perseroan terbatas.peran organ-organ perseroan tersebut berdasarkan pasal 16 dan pasal 21 UU Kepailitan dan PKPU, diambil alih oleh Kurator dan Hakim Pengawas untuk melakukan Pemberesan harta pailit dan atau melanjutkan operasional perseroan terbatas dengan pertimbangkan lebih mengutungkan daripada menghentikan operasional perseroan terbatas, kecuali apabila terjadi pencabutan kepailitan akibat tidak ada kemampuan membayar Debitor untuk membayar biaya kepailitan maka bersamaan dengan itu dilakukan penghentian tugas dan wewenang Kurator dalam kegiatannnya, pemberesan dan penyelesaian kewajiban perseroan dilakukan oleh likuidator seperti halnya diatur dalam pasal 143 butir 4 UUPT. Dari ketiga organ perseroan, yang sangat berperan penting dalam operasional badan hukum perseroan terbatas adalah Direksi. Sebagai organ dari perseroan, keberadan direksi bergantung sepenuhnya pada keberadaan perseroan, dan sebaliknya perseroan baru dapat menjalankan kegiatannya jika ada direksi yang mengurus dan mengelolanya. Sebagai suatu badan hukum, perseroan terbatas dianggap seolah-olah sebagai suatu person atau subyek hukum tersendiri (artificial person) yang mandiri sehingga mempunyai hak untuk menjadi pemegang hak dan kewajibannya sendiri,

18 sedangkan Direksi sebagai bagian dari organ perseroan terbatas adalah satu-satunya organ perseroan yang berhak dan berwenang untuk mewakili perseroan sebenarnya hanyahlah sub dari suatu subyek hukum yang bernama perseroan terbatas. Dari pengertian di atas maka dalam melakukan kewajibannya untuk melakukan pengurusan perseroan maka ada pembatasan kewenangan bagi Direksi bahwa ia tidak diperkenankan untuk bertindak diluar maksud dan tujuan dari perseroan serta untuk melakukan tindakan yang berada di luar kewenangannya sebagaimana ditentukan di dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, Anggaran Dasar, dan Peraturan lain yang berlaku. Dengan dipenuhinya syarat-syarat pembatasan kewenangan yang berlaku maka setiap tindakan yang dilakukan oleh anggota Direksi Perseroan akan dianggap tetap mengikat perseroan. Ini berarti perseroan harus tetap menanggung segala akibat hukumnya sehingga berdasaran hal ini maka untuk menciptakan kepastian hukum mengenai kewenangan bertindak untuk dan atas nama perseroan, pada banyak negara telah diberlakukan mekanisme keterbukaan (disclosure) tertentu yang mewajibkan perseroan untuk mengumumkan kewenangan bertindak Direksi dan setiap anggotanya termasuk pihak-pihak lainnya yang ditunjuk atau diberi kuasa untuk bertindak untuk dan atas nama perseroan serta pembatasan kewenang-kewenangannya.dari sinilah makna yang sebenarnya dari pembubaran Perseroan Terbatas sebagai akibat dari Kepailitan yang diatur dalam Pasal 142 butir 1 huruf d dan e UUPT. Pemberhentian tugas dan wewenang organ PT, termasuk yang sangat penting adalah Direksi dalam menjalankan operasional Perseroan Terbatas. Sedang Pembubaran badan hukum perseroan terbatas dilaksanakan setelah segala urusan dan pemberesan kewajiban telah diselesaikan secara keseluruhan terhadap Kreditor maupun pihak ketiga.pembubaran Badan Hukum ini melalui mekanisme yang diatur

19 dalam UUPT.Setelah segala sesuatu mengenai pemberesan dan penyelesaian kewajiban terhadap Kreditor maupun Pihak Ketiga selesai, RUPS sebagai organ tertinggi Perseroan Terbatas, kembali pada fungsi, tugas dan wewenangnya untuk melakukan langkah-langkah pembubaran Badan Hukum. Pembubaran perseroan yang dimaksud dalam pasal 142 butir 1 huruf d dan e, adalah penghentian kegiatan perseroan terbatas yang dilakukan oleh organ-organ PT yang meliputi RUPS, Direksi dan Dewan Direksi, Perseroan Terbatas yang telah dinyatakan dalam keadaan Insolvensi wajib mencantumkan Likuidasi dibelakang nama Perseroan Terbatas. Sedangkan Badan Hukum PT, tidak secara otomatis bubar (Pasal 143 ayat 1). Pembubaran Badan Hukum PT tetap mengunakan prosedur RUPS sebagai organ tertinggi dalam PT. Pelaksanaan Pembubaran Badan Hukum PT dilaksanakan setelah pengurusan dan pemberesan perseroan telah selesai dilaksanakan. 3. Pembubaran perseroan terbatas setelah putusan pailit dibacakan hanya dapat dimintakan penetapan pengadilan oleh kreditor dengan alasan perseroan tidak mampu membayar hutangnya setelah dinyatakan pailit atau harta kekayaan perseroan tidak cukup untuk melunasi seluruh hutangnya setelah pernyataan pailit dicabut. Hal mana juga ditegaskan di dalam penjelasan UUK dan PKPU bahwa asas di dalam Undangundang ini di antaranya adalah asas kelangsungan usaha yang artinya bahwa kepailitan tidak demi hukum menjadikan perseroan bubar. Pengadilan Niaga atas anjuran dari Hakim pengawas dapat mencabut kepailitan dengan memperhatikan keadaan harta pailit.keadaan ini terjadi bila harta pailit tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan. Dalam memerintahkan pengakhiran kepailitan tersebut, Pengadilan Niaga juga menetapkan biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator yang dibebankan terhadap debitor.biaya tersebut juga harus

20 didahulukan pembayarannya atas semua utang yang tidak dijamin dengan agunan. Putusan yang memerintahkan pencabutan pernyataan pailit, diumumkan oleh Panitera Pengadilan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian. Putusan pencabutan pernyataan pailit ini dapat diajukan kasasi dan/atau peninjauan kembali. Dalam hal setelah putusan pencabutan pernyataan pailit diucapkan diajukan lagi permohonan pernyataan pailit, maka Debitor atau pemohon wajib membuktikan bahwa ada cukup harta untuk membayar biaya kepailitan. C. Keadaan harta Pailit yang Mengakibatkan dicabutnya Pernyataan Pailit PT Status kepailitan dapat diakhiri melalui pencabutan kepailitan oleh pengadilan niaga berdasarkan rekomendasi dari kurator atau hakim pengawas. Pencabutan ini dilakukan bila kondisi kekayaan maupun kegiatan usaha dari debitur pailit berada dalam keadaan sangat tidak mampu membayar. Pencabutan kepailitan dilakukan dalam hal terjadi kondisi dimana harta pailit sangat tidak mencukupi untuk membayar utang-utang dari kreditur atau bahkan tidak ada sama sekali asetnya. 41 Praktek penjatuhan pailit dalam Undang-undang Kepailitan banyak menimbulkan problematika dan debat yuridis. Salah satu penyebabnya adalah karena pengaturannya banyak yang tidak jelas dan adanya ketidak sinkronan antara peraturan perundang-undangan seperti yang terdapat dalam Pasal 142 huruf d dan e yang menjelaskan bahwa pembubaran perseroan terbatas dikarenakan kondisi keuangan perusahaan tidak cukup untuk melunasi keuangannya dan karena perseroan terbatas memasuki fase insolvensi namun dalam Pasal 2 ayat 1 tentang syarat dijatuhkan pailit tidak mengatur kondisi keuangan perusahaan dalam keadaan insolvensi sehingga memberikan peluang untuk beragam penafsiran yang berakibat ketidakpastian hukum (diakses tanggal 13 Juni 2013)

21 Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitor yang mempunyasi kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan. Dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya. Pernyataan tersebut mengakibatkan debitor kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak putusan pailit dijatuhkan. Salah satu tahap penting dalam proses kepailitan adalah tahap insolvensi. Tahap ini penting artinya karena pada tahap inilah nasib debitor pailit ditentukan. Apakah harta debitor akan habis dibagi-bagi sampai menutup utangnya, ataupun debitor masih dapat bernafas lega dengan diterimanya suatu rencana perdamaian atau rekstrukturisasi utang. Apabila debitor sudah dinyatakan insolvensi, maka debitor sudah benar-benar pailit, dan hartanya segera akan dibagi-bagi, meskipun hal ini tidak berarti bahwa bisnis dari perusahaan pailit tersebut tidak bisa dilanjutkan. Untuk mempailitkan debotor Undang-undang nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak mensyaratkan agar debitor berada dalam keadaan insolvensi. Hal ini tentu melindungi kepentingan kreditor, tidak diterapkannya insolvensi test mengakibatkan perusahaan di indonesia bangkrut secara hukum. Padahal dalam kondisi ekonomi Indonesia saat ini bila persyaratan insolvensi diterapkan maka akan sulit membuat debitor di Indonesia dinyatakan pailit. 42 Tidak diatur dan dibedakannya antara kemampuan debitor untuk membayar utang dengan kemauan debitor untuk membayar utang mengakibatkan banyak perseroan yang masih solven namun dapat dipailitkan. Salah satu tahap penting dalam proses kepailitan adalah tahap insolvensi. Tahap ini penting artinya karena pada tahap inilah nasib debitor pailit ditentukan. Apakah hartanya dibagi-bagi sampai menutupi utang-utangnya ataupun debitor masih dapat bernapas dengan diterimanya suatu rencana perdamaian atau restrukturisasi utang. Yang jelas, jika debitor sudah dinyatakan insolvensi, dia sudah benar-benar pailit dan hartanya segera akan dibagibagi meskipun hal ini tidak berarti bahwa bisnis dari 42 Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Yogyakarta : Liberty, 1981), hlm 53

22 perusahaan pailit tersebut tidak bisa dilanjutkan. Dicabutnya izin usaha perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencabutan perseroan berdasarkan keputusan RUPS diajukan oleh Direksi, Dewan Komisaris atau 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara. Keputusan RUPS tentang pembubaran perseroan adalah sah apabila diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat dan/atau paling sedikit dihadiri oleh ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan disetujui paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan. 43 Sebagaimana kepailitan bisa berakibat pada hilangnya segala hak debitor untuk mengurus segala harta kekayaan yang termasuk ke dalam harta pailit tetapi putusan pernyataan pailit tidak mengakibatkan debitur kehilangan kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum. Kewenangan debitor atas harta kekayaannya akan diambil oleh kurator sejak jatuhnya putusan pernyataan pailit. Sesudah pernyataan pailit maka segala perikatan yang dibuat debitur dengan pihak ketiga tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta pailit atau dapat menambah harta pailit. Oleh karena itu gugatan-gugatan yang diajukan dengan tujuan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit, selama dalam kepailitan, yang secara langsung diajukan kepada debitor pailit, hanya dapat diajukan dalam bentuk laporan untuk pencocokan atau rapat verifikasi. Segala tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator. Bagitu pula mengenai segala 43 html (diakses tanggal 13 Juni 2013)

23 eksekusi pengadilan terhadap harta pailit. Eksekusi pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan harus dihentikan, kecuali eksekusi itu sudah sedemikian jauh hingga hari pelelangan sudah ditentukan dengan izin hakin pengawas kurator dapat meneruskan pelelangan tersebut. 44 Syarat debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang 45 yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Hukum kepailitan bukan mengatur kepailitan debitor yang tidak membayar kewajibannya hanya kepada salah satu krediturnya saja, tetapi debitor itu harus berada dalam keadaan insolven (insolvent). Seorang debitor dalam keadaan insolven hanyalah apabila debitor itu tidak mampu secara financial untuk membayar utang-utangnya kepada sebagian besar krediturnya. Seorang debitor tidak dapat dikatakan telah dalam keadaan insolvensi apabila hanya kepada seorang kreditur saja debitor tersebut tidak membayar utangnya, sedangkan kepada kreditur lainnya debitor tetap dapat melaksanakan kewajiban pelunasan utang-utangnya dengan baik. 46 Keadaan berhenti membayar haruslah merupakan keadaan yang objektif, yaitu karena keuangan debitor telah mengalami ketidakmampuan membayar utangutangnya. Dengan kata lain, debitor tidak boleh hanya sekedar tidak mau membayar utang-utangnya tetapi keadaan objektif keuangannya memang telah dalam keadaan tidak mampu membayar, sehingga yang menjadi pertimbangan pengadilan niaga untuk menyatakan seorang debitor pailit, tidak saja dikarenakan ketidakmampuannya untuk melunasi utang-utang tersebut seperti yang sudah diperjanjikan. Hukum 44 (diakses tanggal 13 Juni 2013) 45 Menurut Pasal 1 ayat (6) UUK dan PKPU, bahwa yang dimaksud dengan Utang adalah Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. 46 Sunarmi, Op.Cit, hlm 28.

24 kepailitan di Indonesia baik dalam Faillissement Verordening, UU No. 4 Tahun 1998 maupun UU No. 37 Tahun 2004 tidak memberikan batasan yang jelas tentang berhenti membayar dan tidak membayar. Dengan tidak adanya tes insolvensi dalam hukum kepailitan Indonesia merupakan kelemahan. Debitor yang masih memiliki kekayaan yang cukup untuk membayar utang-utangnya dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan karena tidak membayar utang. Istilah solvent berasal dari bahasa latin solvere yang artinya membayar dan lawan katanya insolvent yang artinya tidak membayar. Utang yang telah jatuh tempo dengan sendirinya menjadi utang yang telah dapat ditagih, namun utang yang dapat ditagih belum tentu merupakan utang yang telah jatuh tempo. Utang hanyalah jatuh tempo apabila menurut perjanjian kredi atau perjanjian utang-piutang telah sampai jadwal waktunya untuk dilunasi oleh debitor sebagaimana ditentukan dalam perjanjian itu. Tentu saja apabila utang tersebut telah jatuh tempo, maka kreditur mempunyai hak untuk menagih seluruh jumlah yang terutang dan jatuh tempo pada debitor.cara pembubaran PT dalam hal kepailitan juga dapat ditemui didalam ketentuan Pasal 146 UU No.40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas yaitu adanya permohonan dari kreditur kepada Pengadilan Negeri untuk membubarkan Perseroan dengan alasan : 1. Perseroan tidak mampu membayar hutangnya setelah dinyatakan pailit. 2. Harta kekayaan perseroan tidak cukup untuk melunasi seluruh hutangnya setelah pernyataan pailit dicabut. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas menurut UU PT, pailit tidak mengakibatkan perseroan bubar selama harta kekayaan perseroan setelah kepailitan berakhir masih ada dan dapat digunakan untuk menjalankan perseroan.kepailitan perseroan hanya menjadi alasan tidak mampu membayar hutang kepada kreditur.

25 Dalam hal ini kreditur tentunya tidak boleh dirugikan dengan adanya keadaan tidak mampu membayar ini.oleh karena itu apabila perseroan pailit sehingga tidak mampu membayar hutangnya, maka kreditur dapat mengajukan permohonan pembubaran perseroan kepada Pengadilan Negeri. Berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri suatu perseroan dapat dibubarkan. Pembubaran tersebut diikuti dengan pemberesan sehingga kreditur berhak mendapatkan pelunasan dari hasil pemberesan tersebut.

26 BAB IV PENCABUTAN PERNYATAAN PAILIT ATAS DEBITOR PAILIT PERSEROAN TERBATAS A. Akibat Hukum Percabutan Pernyataan Pailit atas Debitor Pailit Perseroan Terbatas Pernyataan pailit, mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan putusan kepailitan. Dengan ditiadakannya hak debitur secara hukum untuk mengurus kekayaannya, maka oleh Undang-Undang Kepailitan ditetapkan bahwa terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Kurator tersebut ditunjuk bersamaan dengan Hakim Pengawas pada saat putusan pernyataan pailit dibacakan. Dengan demikian jelaslah, bahwa akibat hukum bagi debitur setelah dinyatakan pailit adalah bahwa ia tidak boleh lagi mengurus harta kekayaannya yang dinyatakan pailit, dan selanjutnya yang akan mengurus harta kekayaan atau perusahaan debitur pailit tersebut adalah Kurator. Untuk menjaga dan mengawasi tugas seorang kurator, pengadilan menunjuk seorang hakim pengawas, yang mengawasi perjalan proses kepailitan (pengurusan dan pemberesan harta pailit). 47 Zainal Asikin, menguraikan beberapa akibat hukum dari putusan pailit. Hal yang utama adalah dengan telah dijatuhkannya putusan kepailitan, si debitur (si pailit) kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta 47 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Kepailitan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 31.

27 bendanya.pengurusan dan penguasaan harta benda tersebut beralih ke tangan curator/balai Harta Peninggalan. 48 Dengan demikian, apabila suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur dan perbuatan hukum tersebut dapat merugikan para kreditor serta dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum pernyataan pailit ditetapkan, sedangkan perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan debitur, (kecuali dapat dibuktikan sebaliknya) debitur dan pihak dengan siapa perbuatan itu dilakukan dianggap mengetahui/sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor. Perbuatan hukum tersebut: 49 a. Merupakan perikatan dimana kewajiban debitur jauh melebihi kewajiban pihak dengan siapa perikatan tersebut dilakukan b. Merupakan pembayaran atas atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo dan belum dapat ditagih c. Dilakukan oleh debitur perorangan, dengan atau terhadap: 1) Anggota atau istrinya, anak angkat atau keluarganya sampai derajat ketiga. 2) Suatu badan hukum dimana debitur atau pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam angaka 1 adalah anggota direksi atau pengurus atau apabila pihak-pihak tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama, ikut serta secara langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut paling kurang sebesar 50% dari modal disetor. d. Dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum. B. Upaya Hukum Pencabutan Pernyataan Pailit atas Debitor Pailit Perseroan Terbatas Tujuan utama dalam suatu proses di muka Pengadilan adalah untuk memperoleh putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap putusan yang dijatuhkan oleh Hakim belum tentu dapat menjamin kebenaran secara yuridis, karena putusan itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekilafan, bahkan tidak 48 Zainal Asikin, Op.Cit, hlm Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, (Yogyakarta : Total Media, 2008), hlm 255.

28 mustahil bersifat memihak. Agar kekeliruan dan kehilafan itu dapat diperbaiki, maka demi tegaknya kebenaran dan keadilan, terhadap putusan Hakim itu dimungkinkan untuk diperiksa ulang. Cara yang tepat untuk dapat mewujudkan kebenaran dan keadilan itu adalah dengan melaksanakan upaya hukum. 50 Demikian pula terhadap putusan dari Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan. Namun, perbedaan dari Pengadilan Niaga ialah hanya tersedia upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Pengadilan Niaga disebut sebagai pengadilan tingkat pertama dan tidak ada tingkat kedua atau sering disebut sebagai tingkat banding. Terhadap putusan-putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersedia upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali. Kasasi Kasasi berasal dari bahasa Perancis : Cassation, dengan kata kerja casser,yang berarti membatalkan atau memecahkan putusan pengadilan, karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukum, yang tunduk pada kasasi hanyalah kesalahan-kesalahan di dalam penerapan hukum saja. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, bahwa salah satu tugas dan wewenang Mahkamah Agung adalah memeriksa dan memutus permohonan kasasi. Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung menyebutkan bahwa Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena: a) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang. b) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. c) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundangundangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. 50 Kelik Pramudya, Upaya Hukum dalamkepailitan, (diakses tanggal 20 April 2013)

29 Upaya hukum kasasi dalam kepailitan diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 13 Undang-Undang Kepailitan, prosesnya dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Pendaftaran Kasasi Dalam perkara kepailitan permohonan kasasi dapat diajukan oleh Debitor dan Kreditor yang berkedudukan sebagai pihak pada persidangan tingkat pertama maupun Kreditor lain yang bukan merupakan pihak pada persidangan tingkatpertama yang tidak puas terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit. Permohonan kasasi dalam perkara kepalitan tidak hanya terbatas pada putusan permohonan kepailitan tingkat pertama saja. Permohonan kasasi juga dapat diajukan apabila rencana perdamaian ditolak oleh Pengadilan Niaga atau dalam hal pencabutan kepailitan yang menyebabkan kepailitan berakhir. Dalam hal demikian kreditor yang menyetujui perdamaian serta debitor pailit dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pasal 11 Undang-Undang Kepailitan menyebutkan bahwa permohonan kasasi diajukan paling lambat 8 (delapan) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan atau, dengan mendaftarkan kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan pernyataan pailit. Selanjutnya panitera mendaftar permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftar. b) Penyampaian Memori Kasasi Pemohon kasasi wajib menyampaikan kepada Panitera Pengadilan memori kasasi pada tanggal permohonan kasasi didaftarkan. Paling lambat 2 (dua) hari setelah permohonan kasasi didaftarkan, panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi kepada pihak termohon kasasi. c) Pengajuan Kontra Memori Kasasi

30 Terhadap kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi itu, termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera Pengadilan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima memori kasasi. Panitera Pengadilan selanjutnya wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lambat 2 (dua) hari setelah kontra memori kasasi diterima. d) Pegiriman Berkas ke Mahkamah Agung Setelah semua berkas kasasi dari pihak pemohon maupun termohon kasasi lengkap, panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi, dan kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lambat 14 (empat belas) hari setelah tanggal permohonan kasasi didaftarkan. Mahkamah Agung selanjutnya akan mempelajari permohonan itu sekaligus menetapkan hari sidang paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima. e) Sidang Pemeriksaan Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan oleh sebuah majelis hakim Mahkamah Agung yang khusus dibentuk untuk memeriksa dan memutus perkara yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga. f) Putusan Kasasi Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Putusan kasasi tersebut wajib memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam 43 BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA 3.1 Batasan Pelaksanaan On Going Concern Dalam berbagai literatur ataupun dalam UU KPKPU-2004 sekalipun tidak ada

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 UU Tentang Yayasan BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan

Lebih terperinci

BAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR

BAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR BAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR 2.1. Pembubaran dan Likuidasi Dalam Pasal 1 UU PT tidak dijelaskan mengenai definisi dari pembubaran tetapi apabila ditarik dari rumusan Pasal 142 ayat (2)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama

Lebih terperinci

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) Copyright (C) 2000 BPHN UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS 1 tahun ~ keharusan Perseroan menyesuaikan ketentuan Undang-undang ini Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Perseroan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 28-2004 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan

Lebih terperinci

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT

AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT Pernyataan pailit mengakibatkan debitor yang dinyatakan pailit kehilangan segala hak perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat,

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Sumber: LN 1995/13; TLN NO. 3587 Tentang: PERSEROAN TERBATAS Indeks: PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

PAILIT ON GOING CONCERN

PAILIT ON GOING CONCERN PAILIT ON GOING CONCERN Angga Pramodya Pradhana 1) Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun Abstrak Pailit adalah adanya ketidakmampuan debitur untuk membayar kepada kreditur atas utang-utangnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. Semua harta benda dari si pailit untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Kedudukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada saat ini perkumpulan orang di Indonesia

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan dalam Tambahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan nasional adalah peraturan tentang kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) 1 Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) Debitor Pailit menjadi Insolvensi, 2 Jika : Pada rapat pencocokan piutang, Debitor tdk mengajukan rencana Perdamaian Rencana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada saat ini perkumpulan di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

Lebih terperinci

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 I. TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN Putusan perkara kepailitan

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 B A B II TINJAUAN PUSTAKA A. Perseroan Terbatas 1. Dasar Hukum Perseroan Terbatas Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT),

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat

BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat 27 BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS A. Kurator Dalam Proses Kepailitan Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat (1) UU Kepailitan dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

ORGANISASI PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN WISHNU KURNIAWAN SEPTEMBER 2007

ORGANISASI PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN WISHNU KURNIAWAN SEPTEMBER 2007 ORGANISASI PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN WISHNU KURNIAWAN SEPTEMBER 2007 LITERATUR Kitab Undang Undang Hukum Perusahaan ( Prof. Drs. C.S.T. Kansil dan Christie S.T. Kansil, S.H., M.H.) Hukum Perusahaan Perseroan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era modern ini Indonesia harus menghadapi tuntutan yang mensyaratkan beberapa regulasi dalam bidang ekonomi. tidak terkecuali mengenai perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA 20 BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA A. Pengertian PKPU Istilah PKPU (suspension of payment) sangat akrab dalam hukum kepailitan. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016 AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP PERJANJIAN SEWA MENYEWA YANG DI NYATAKAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 1 Oleh : Joemarto V. M. Ussu 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin berkembangnya zaman maka semakin tinggi tingkat problematika sosial yang terjadi. Di zaman yang yang semakin berkembang bukan hanya masalah hukum yang menjadi

Lebih terperinci

Penundaan kewajiban pembayaran utang

Penundaan kewajiban pembayaran utang Penundaan kewajiban pembayaran utang PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitor atau kreditor Debitor mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.82, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Kurator. Pengurus. Imbalan. Pedoman. PERATURAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN IMBALAN BAGI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan merupakan setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /POJK.05/2015 TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH,

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga JOURNAL SKRIPSI KEDUDUKAN HUKUM KURATOR PERUSAHAAN DEBITOR PAILIT YANG DILANJUTKAN KEGIATAN USAHANYA Oleh : NIM. 031011202 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA 2015 JURNAL SKRIPSI ABSTRAKSI Didalam dinamika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan mempunyai utang. Perusahaan yang mempunyai utang bukanlah merupakan suatu hal yang buruk, asalkan perusahaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kepailitan 1. Pengertian Pailit dan Kepailitan Kepailitan secara etimologi berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal dari kata Belanda yaitu failliet yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LAMPIRAN 218 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

SEMULA ANGGARAN DASAR PT. BANK VICTORIA INTERNATIONAL, Tbk.

SEMULA ANGGARAN DASAR PT. BANK VICTORIA INTERNATIONAL, Tbk. Pasal SEMULA ANGGARAN DASAR PT. BANK VICTORIA INTERNATIONAL, Tbk. USULAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR PT. BANK VICTORIA INTERNATIONAL, Tbk. Pasal PEMINDAHAN HAK ATAS SAHAM PASAL 10 PEMINDAHAN HAK ATAS SAHAM

Lebih terperinci

NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN STATUS DAN JANGKA WAKTU MAKSUD DAN TUJUAN KEGIATAN

NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN STATUS DAN JANGKA WAKTU MAKSUD DAN TUJUAN KEGIATAN NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 1 1. Yayasan ini bernama [ ] disingkat [ ], dalam bahasa Inggris disebut [ ] disingkat [ ], untuk selanjutnya dalam Anggaran Dasar ini disebut "Yayasan" berkedudukan di

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah No.1514, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Kurator. Pengurus. Imbalan. Pedoman. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan. meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan. meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional. Pada awal kemerdekaan Indonesia, koperasi diatur

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa gejolak moneter

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terbadap kehidupan ekonomi,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Pengesahan Badan Hukum. Perubahan Anggaran Dasar. Data. Perseroan Terbatas. Pengajuan. Tata Cara.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Pengesahan Badan Hukum. Perubahan Anggaran Dasar. Data. Perseroan Terbatas. Pengajuan. Tata Cara. No.392, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Pengesahan Badan Hukum. Perubahan Anggaran Dasar. Data. Perseroan Terbatas. Pengajuan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Lebih terperinci

Syarat DEBITOR Pailit (Psl 2 (1) UU 37/2004)

Syarat DEBITOR Pailit (Psl 2 (1) UU 37/2004) Syarat DEBITOR Pailit (Psl 2 (1) UU 37/2004) Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan

Lebih terperinci

CONTOH SURAT PERJANJIAN KREDIT

CONTOH SURAT PERJANJIAN KREDIT CONTOH SURAT PERJANJIAN KREDIT PERJANJIAN KREDIT Yang bertanda tangan di bawah ini : I. ------------------------------------- dalam hal ini bertindak dalam kedudukan selaku ( ------ jabatan ------- ) dari

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mengubah: UU 6-1983 lihat: UU 9-1994::UU 28-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 126, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya.

BAB I PENDAHULUAN. selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya. Demikian juga kiranya dalam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah

Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah AKTA PENDIRIAN YAYASAN "..." Nomor :... Pada hari ini,..., tanggal... 2012 (duaribu duabelas) pukul... Waktu Indonesia Barat. Berhadapan dengan saya, RUFINA INDRAWATI TENGGONO, Sarjana Hukum, Notaris di

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM DARI KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. orang dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaan tersebut.

BAB II AKIBAT HUKUM DARI KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. orang dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaan tersebut. 26 BAB II AKIBAT HUKUM DARI KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS A. Perseroan Terbatas Perseroan Terbatas (PT) merupakan bentuk usaha yang paling diminati, karena pertanggung jawaban yang bersifat terbatas, perseroan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS. perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk

BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS. perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS A. Kedudukan Direksi Sebagai Pengurus dalam PT Pengaturan mengenai direksi diatur dalam Bab VII dari Pasal 92 sampai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bisnis waralaba atau franchise sedang berkembang sangat pesat di Indonesia dan sangat diminati oleh para pengusaha karena prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4443 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 131) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

Disusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H

Disusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H Disusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H A. PENGANTAR Disaat pertama kali kita mendengar Pailit, maka yang pertama kali ada di dalam bentak kita adalah bangkrut. Bangkrut, diidentikkan dengan keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan bukan hal yang baru dalam suatu kegiatan ekonomi khususnya dalam bidang usaha. Dalam mengadakan suatu transaksi bisnis antara debitur dan kreditur kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT) definisi dari Perseroan Terbatas (selanjutnya

Lebih terperinci

2016, No Manusia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar sert

2016, No Manusia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar sert BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 KEMENKUMHAM. Perseroan Terbatas. Permohonan. Perubahan. Anggaran Dasar. Penyampaian Perubahan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pembinaan

Lebih terperinci

BAB II PENENTUAN KEABSAHAN SUATU RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM DALAM PERSEROAN

BAB II PENENTUAN KEABSAHAN SUATU RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM DALAM PERSEROAN 34 BAB II PENENTUAN KEABSAHAN SUATU RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM DALAM PERSEROAN A. Rapat Umum Pemegang Saham Dalam setiap Perseroan Terbatas mempunyai alat yang disebut dengan organ perseroan yang bertugas

Lebih terperinci