STUDI TERHADAP PRODUKTIVITAS SERASAH, DEKOMPOSISI SERASAH, AIR TEMBUS TAJUK DAN ALIRAN BATANG SERTA LEACHING PADA BEBERAPA KERAPATAN TEGAKAN PINUS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI TERHADAP PRODUKTIVITAS SERASAH, DEKOMPOSISI SERASAH, AIR TEMBUS TAJUK DAN ALIRAN BATANG SERTA LEACHING PADA BEBERAPA KERAPATAN TEGAKAN PINUS"

Transkripsi

1 STUDI TERHADAP PRODUKTIVITAS SERASAH, DEKOMPOSISI SERASAH, AIR TEMBUS TAJUK DAN ALIRAN BATANG SERTA LEACHING PADA BEBERAPA KERAPATAN TEGAKAN PINUS (Pinus merkusii), DI BLOK CIMENYAN, HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RISTANTO RAHARJO PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

2 RINGKASAN Ristanto Raharjo/E Studi Terhadap Produktivitas Serasah, Dekomposisi Serasah, Air Tembus Tajuk Dan Aliran Batang Serta Leaching Pada Beberapa Kerapatan Tegakan Pinus (Pinus merkusii), Di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. Di bawah bimbingan Ir.Omo Rusdiana, M.Sc. PENDAHULUAN. Ukuran suatu kerapatan sangat perlu untuk diperhatikan karena pembagian kerapatan dalam ukuran yang berbeda menyebabkan perbedaan dalam kondisi iklim mikro, ketersediaan air tanah dan hara (van Dam, 2000) Ketersediaan unsur hara penting bagi pertumbuhan tanaman secara normal. Menurut Arsyad (2000), hilangnya secara berlebihan satu atau beberapa unsur hara dari daerah perakaran menyebabkan merosotnya kesuburan tanah sehingga tanah tidak mampu menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang normal. Ketersediaan unsur hara dapat diindikasikan oleh perbedaan produktivitas serasah, dekomposisi serasah, kehilangan air tanah melalui perkolasi dan analisis tanah beserta watak analitiknya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kerapatan tegakan Pinus sp terhadap produktivitas serasah, dekomposisi serasah, kehilangan air tanah melalui perkolasi dan analisis tanah beserta watak analitiknya di blok Cimenyan Hutan Pendidikan Gunung Walat. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat memberikan informasi tentang karakteristik tegakan Pinus sp pada kerapatan yang berbeda, sehingga pengelolaan hutan di hutan tanaman Pinus khususnya di Hutan Pendidikan Gunung Walat dapat dilakukan secara lestari. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2004 sampai bulan November 2004, dengan lokasi penelitian pada tegakan Pinus sp di blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. Alat yang digunakan untuk penelitian ini antara lain adalah plastik transparan, bambu, paku, tali rafia, patok kayu, golok, kantong plastik ukuran 1 kg dan ¼ kg, kain kasa berdiameter 6.5 mm, timbangan, tabung film, lisimeter, selang, pisau, ember, form tabulasi data curah hujan, higrometer dan alat tulis. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah serasah (daun) dan air hujan yang tertampung dalam lisimeter, air hujan yang tertampung dari air tembus dan aliran batang serta contoh tanah terusik dan tidak terusik pada tegakan Pinus sp dengan tiga kerapatan berbeda. Parameter yang diukur antara lain produktivitas serasah, dekomposisi serasah, curah tajuk, aliran batang, kehilangan air tanah melalui perkolasi dan analisis tanah beserta watak analitiknya. HASIL DAN KESIMPULAN. Rata-rata produktivitas serasah tertinggi terjadi pada kerapatan rendah. Faktor suhu dan kelembaban udara mempengaruhi hasil produktivitas serasah. Berdasarkan analisa data, dapat diketahui bahwa kerapatan dan waktu pengamatan memberikan pengaruh yang nyata pada selang kepercayaan 95 % terhadap produktivitas serasah. Waktu pengamatan (mingguan) yang memberikan pengaruh yang nyata terhadap produktivitas serasah adalah minggu ke-10 dan minggu ke-9 pada saat nilai produktivitas serasah tertinggi di berbagai kerapatan dan dimana suhu paling rendah dan kelembaban udara paling tinggi. Rata-rata dekomposisi serasah tertinggi terjadi pada kerapatan tinggi. Analisis regresi menunjukkan bahwa semakin rendah suhu udara maka dekomposisi serasah (daun) akan semakin tinggi (berkorelasi negatif) sedangkan jika semakin tinggi kelembaban udara maka dekomposisi serasah (daun) akan semakin tinggi (berkorelasi positif). Unsur fosfor adalah sangat sukar dan lambat untuk disediakan bagi tanaman. Hasil analisis tanah pada kerapatan tinggi menunjukkan bahwa kandungan fosfor untuk zona perakaran (0-20 cm) lebih tinggi dibandingkan kerapatan sedang dan rendah. Demikian halnya dengan nitrifikasi nitrogen kedalam bentuk sederhana (NH 4+ ).

3 Hal ini menunjukkan bahwa kerapatan tinggi lebih mudah dan lebih cepat menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman daripada kerapatan sedang dan rendah. Analisis tanah pada kerapatan sedang menunjukkan bahwa persentase partikel liat lebih tinggi daripada debu dan pasir dan menghasilkan bulk densitas yang tinggi dibandingkan kerapatan tinggi dan rendah. Hal ini berarti bahwa kadar air tanah pada daerah perakaran (0-20 cm) lebih rendah dibandingkan kerapatan tinggi dan rendah. Pengukuran lisimeter menunjukkan bahwa kerapatan sedang memiliki laju infiltrasi yang tinggi, diikuti juga dengan perkolasi (air hilang yang tertampung dalam lisimeter) yang tinggi pula. Tingginya air yang hilang pada zona perakaran di kerapatan sedang kemungkinan juga dipengaruhi oleh produktivitas serasah yang sangat rendah. Potensi tegakan Pinus yang terdapat di kerapatan tinggi, sedang dan rendah ditinjau dari segi iklim mikro dan analisis unsur hara tanah menghasilkan informasi yang diharapkan berguna bagi kelangsungan pengelolaan hutan pendidikan gunung walat yang sustainable.

4 STUDI TERHADAP PRODUKTIVITAS SERASAH, DEKOMPOSISI SERASAH, AIR TEMBUS TAJUK DAN ALIRAN BATANG SERTA LEACHING PADA BEBERAPA KERAPATAN TEGAKAN PINUS (Pinus merkusii), DI BLOK CIMENYAN, HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RISTANTO RAHARJO SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

5 Judul Penelitian Nama Nomor Pokok Departemen Program Studi : Studi Terhadap Produktivitas Serasah, Dekomposisi Serasah, Air Tembus Tajuk dan Aliran Batang, serta Leaching pada Beberapa Kerapatan Tegakan Pinus (Pinus merkusii) di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi : Ristanto Raharjo : E : Manajemen Hutan : Budidaya Hutan Menyetujui : Dosen Pembimbing Ir. Omo Rusdiana, M. Sc NIP : Mengetahui : Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP : Tanggal Lulus :

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 18 Maret 1982 di Boyolali, Jawa Tengah dari ayah bernama Aris Sadimin dan ibu Sunarni dan merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai di Taman Kanak-Kanak TK P.G Colomadu pada tahun 1986 sampai Pada tahun 1988 sampai tahun 1994, penulis melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri 15 Surakarta. Tahun 1994, penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Surakarta dan lulus pada tahun Selanjutnya pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Batik 1 Surakarta dan lulus pada tahun Pada tahun 2000, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih program studi Budidaya Hutan dengan Bidang Kekhususan Pengaruh Hutan pada tahun Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti Praktek Umum Pengenalan Hutan di Cilacap-Baturaden dan Praktek Pengelolaan Hutan di Getas pada tahun Pada tahun 2004, penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata di Desa Megamendung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Sebagai salah satu sayarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan, penulis menyusun karya ilmiah dengan judul Studi Terhadap Produktivitas Serasah, Dekomposisi Serasah, Air Tembus Tajuk dan Aliran Batang serta Leaching di Beberapa Kerapatan Tegakan Pinus (Pinus merkusii) di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi dibawah bimbingan Ir. Omo Rusdiana, M. Sc.

7 KATA PENGANTAR Bismillahirrahmaanirrahiim. Seraya mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Studi Terhadap Produktivitas Serasah, Dekomposisi Serasah, Air Tembus Tajuk dan Aliran Batang serta Leaching di Beberapa Kerapatan Tegakan Pinus (Pinus merkusii) di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi dapat diselesaikan dengan baik. Sebagai tugas akhir, penulis mengharapkan karya ini dapat menjadi sumbangan bagi pemikiran yang berarti khususnya dalam pengelolaan hutan di areal Hutan Pendidikan Gunung Walat dan kelestarian hutan Indonesia pada umumnya. Pada lembar ini penulis bermaksud menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya karya ilmiah ini, diantaranya kepada : 1. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, saran dan bimbingannya serta Ibu Omo atas motivasinya yang tiada henti. 2. Keluarga tercinta, Bapak, Ibu, terima kasih yang tak terhingga. Mas Fredy atas doa dan dukungan keuangannya, thanks a lot. 3. Selli Fidi Yani Wardani, S.Hut. U always be my sweety. 4. Keluarga di Bantarjati, Papa, Mama, Rina, Deri, Devi, terima kasih atas doa, dukungan dan perhatiannya. 5. Teman-teman di Lab. Pengaruh Hutan, Ibu Atikah, Setiyanto, S.Hut, terima kasih banyak atas perhatian dan motivasinya. 6. Pak Lilik beserta seluruh pihak di HPGW, terima kasih atas kopi dan keramahtamahannya. 7. My home sweet home Baristar beserta segala isinya yang lucu-lucu dan imut-imut. 8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Terima kasih. Dalam penyusunan karya ilmiah ini, penulis telah berupaya seoptimal mungkin untuk dapat menghasilkan karya yang sempurna. Menyadari akan segala keterbatasan yang dimiliki penulis, maka dengan segala kerendahan hati penulis akui bila dalam uraian maupun penyajian terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan tanggapan, kritik dan saran-saran perbaikan untuk menyempurnakan karya ini. Amiin. Bogor, Januari 2006 Penulis

8 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR LAMPIRAN... vi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1 B. Tujuan... 2 C. Manfaat... 2 II. III. IV. TINJAUAN PUSTAKA A. Karakteristik Pinus sp Penyebaran Persyaratan Tumbuh Lukisan Pohon Benih... 3 B. Kerapatan Tegakan Hutan... 3 C. Produktivitas Serasah Pengertian Produktivitas Serasah Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Hutan Produktivitas Serasah Produktivitas Serasah di Gunung Walat... 7 D. Dekomposisi Serasah Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Serasah Proses Dekomposisi Laju Dekomposisi Serasah Dekomposisi Serasah di Gunung Walat E. Infiltrasi dan Perkolasi F. Air Tembus dan Aliran Batang Pengertian Air Tembus dan Aliran Batang Air Tembus dan Aliran Batang pada Hutan Pinus G. Pencucian Hara KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Kondisi Umum Hutan Walat B. Potensi dan Obyek Rekreasi METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian B. Alat dan Bahan C. Jenis Data D. Metode Penelitian Produktivitas Serasah Dekomposisi Serasah Air Tembus dan Aliran Batang... 23

9 4. Pencucian Hara Analisis Tanah dan Kadar Air Tanah V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Produktivitas Serasah Dekomposisi Serasah Volume Air Lisimeter Air Tembus Tajuk dan Aliran Batang Analisis Tanah dan Kadar Air Tanah B Pembahasan Produktivitas Serasah Dekomposisi Serasah Volume Air Lisimeter Air Tembus Tajuk dan Aliran Batang Analisis Tanah dan Kadar Air Tanah VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

10 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Laju Produktivitas Serasah di Berbagai Tipe Ekosistem Dunia (Jordan, 1971 dalam Wiharto, 2003)... 6 Tabel 2. Data Rata-rata Produktivitas Serasah di Hutan Pendidikan Gunung Walat Tahun Tabel 3. Hasil Proses Dekomposisi Bahan Organik Secara Aerobik dan Anaerobik (Chanlett, 1979 dalam Sunarto, 2004)... 9 Tabel 4. Laju Penghancuran serasah selama satu bulan pada Bulan Maret Tabel 5. Hasil Pengukuran Aliran Batang (Stemflow) dan Air Tembus (Throughfall) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (Mulyana, 2002 dalam Priyono, 2003) Tabel 6. Data Hasil Pengukuran Produktivitas Serasah, Dekomposisi Serasah, Stemflow, dan Throughfall di Berbagai Kerapatan pada Plot yang Berbeda di HPGW Tabel 7. Data Hasil Pengukuran Kadar Air, Bulk Density dan Volume Air Lisimeter di Berbagai Kerapatan pada Plot yang Berbeda di HPGW... 37

11 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Perbandingan Rata-rata Produktivitas Serasah pada Tegakan Pinus merkusii, Schima wallichii dan Agathis loranthifolia (Nilamsari, 2000) Gambar 2. Grafik Rata-Rata Produktivitas Serasah (Daun) Pinus sp (gr/m 2 ) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi Gambar 3. Grafik Prediksi Rata-Rata Produktivitas Serasah (Daun) Pinus sp (gr/m 2 /minggu) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi Gambar 4. Grafik Hubungan Rata-Rata Produktivitas Serasah (Daun) Pinus sp (gr/m 2 /minggu) dengan Suhu (ºC) dan Kelembaban (%) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi Gambar 5. Grafik Nilai Bobot Sisa Serasah (Daun) Pinus sp Mingguan pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi Gambar 6. Grafik Persentase Dekomposisi Serasah (Daun) Pinus sp Mingguan pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi Gambar 7. Grafik Hubungan Rata-Rata Bobot Sisa Serasah (Daun) Pinus sp Mingguan dengan Suhu (ºC) dan Kelembaban (%) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi Gambar 8. Grafik Hubungan Rata-Rata Volume Aliran Batang (mm) dengan Curah Hujan (mm) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi Gambar 9. Grafik Hubungan Rata-Rata Volume Air Tembus Tajuk (mm) dengan Curah Hujan (mm) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi Gambar 10. Grafik Hubungan Rata-Rata Volume Air Lisimeter (mm) dengan Curah Hujan (mm) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi Gambar 11. Grafik Rata-Rata Volume Air Lisimeter (mm/hari) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi

12 Gambar 12. Grafik Analisis Tekstur Tanah (%) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi Gambar 13. Grafik Rata-Rata Kadar Air Tanah (%) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi Gambar 14. Grafik Rata-Rata Bulk Density (g/cm 3 ) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi Gambar 15. Grafik Rata-Rata Bulk Density (g/cm 3 ) dengan Kadar Air Tanah (%)pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi... 37

13 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil Pengamatan Produktivitas Serasah (Daun)/Litter Trap (gr/m 2 ) selama 16 Minggu pada Kerapatan Tinggi, Sedang dan Rendah. Lampiran 2. Hasil Pengamatan Bobot Sisa Serasah (Daun) selama 16 Minggu pada Kerapatan Tinggi, Sedang dan Rendah (gr). Lampiran 3. Persentase Serasah (Daun) yang telah Terdekomposisi selama 16 Minggu pada Kerapatan Tinggi, Sedang dan Rendah (%). Lampiran 4. Selisih Persentase Serasah (Daun) yang telah Terdekomposisi selama 16 Minggu pada Kerapatan Tinggi, Sedang dan Rendah (%). Lampiran 5. Data Fisik Lingkungan (Suhu dan Kelembaban) Plot Pengamatan. Lampiran 6. Volume Air Lisimeter selama 15 kali kejadian Hujan pada Kerapatan Tinggi, Sedang dan Rendah (mm). Lampiran 7. Volume Air pada Aliran Batang dan Curah Hujan selama Sepuluh Kali Kejadian Hujan pada Kerapatan Tinggi, Sedang dan Rendah (mm). Lampiran 8. Rata-Rata Volume Air pada Aliran Batang dan Curah Hujan Selama Sepuluh Kejadian Hujan pada Kerapatan Tinggi, Sedang dan Rendah (mm). Lampiran 9. Analisis Pengaruh Kerapatan Tegakan dan Waktu Pengamatan terhadap Produktivitas Serasah (Daun). Lampiran 10. Uji Lanjut Pengaruh Kerapatan Tegakan dan Waktu Pengamatan terhadap Produktivitas Serasah (Daun). Lampiran 11. Analisis Pengaruh Kerapatan Tegakan terhadap Bobot Sisa Serasah (Daun). Lampiran 12. Analisis Pengaruh Fisik Lingkungan terhadap Bobot Sisa Serasah (Daun). Lampiran 13. Uji Lanjut Pengaruh Kerapatan Tegakan terhadap Bobot Sisa Serasah (Daun). Lampiran 14. Analisis Pengaruh Kerapatan Tegakan terhadap Rata-Rata Aliran Batang. Lampiran 15. Tabel Regresi Hubungan antara Rata-Rata Aliran Batang dan Curah Hujan pada Kerapatan Tinggi, Kerapatan Sedang dan Kerapatan Rendah. Lampiran 16. Analisis Pengaruh Kerapatan Tegakan terhadap Rata-Rata Curah Tajuk. Lampiran 17. Tabel Regresi Hubungan antara Rata-Rata Curah Tajuk dan Curah Hujan pada Kerapatan Tinggi, Kerapatan Sedang dan Kerapatan Rendah.

14 Lampiran 18. Uji Lanjut Pengaruh Kerapatan Tegakan terhadap Volume Air Lisimeter. Lampiran 19. Analisis Regresi Pengaruh Fisik Lingkungan terhadap Produktivitas Serasah (Daun). Lampiran 20. Analisis Regresi Pengaruh Fisik Lingkungan terhadap Bobot Sisa Serasah (Daun).

15 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerapatan hutan mempengaruhi karakteristik suatu tegakan. Analisa mengenai pengaruh kerapatan terhadap karakteristik tegakan Pinus sp melalui pengukuran komponen-komponen tegakan seperti luas bidang dasar, volume dan jumlah pohon per hektarnya telah dilakukan pada penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Adhiputra (2005) menyimpukan bahwa potensi tegakan Pinus merkusii berupa LBDS dan volume kayu berdiri dalam plot luasan 0,1 Ha mempunyai nilai yang berbeda pada kerapatan yang berbeda. Ukuran suatu kerapatan sangat perlu untuk diperhatikan karena pembagian kerapatan dalam ukuran yang berbeda menyebabkan perbedaan dalam kondisi iklim mikro, ketersediaan air tanah dan hara (van Dam, 2000). Ketersediaan unsur hara penting bagi pertumbuhan tanaman secara normal. Menurut Arsyad (2000), hilangnya secara berlebihan satu atau beberapa unsur hara dari daerah perakaran menyebabkan merosotnya kesuburan tanah sehingga tanah tidak mampu menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang normal. Ketersediaan unsur hara dapat diindikasikan oleh perbedaan produktivitas serasah, dekomposisi serasah, kehilangan air tanah melalui perkolasi dan analisis tanah beserta watak analitiknya. Vegetasi hutan bersifat dinamis yang berarti akan berubah dari musim ke musim. Sebagai bagian dari proses yang bersifat dinamis, maka hutan tanaman Pinus akan mempunyai peran terhadap pengendalian daur air. Peran hutan tanaman Pinus pada proses siklus air dimulai dari peran tajuk menyimpan air melalui proses intersepsi. Peran kedua adalah melalui proses evapotranspirasi yang mempengaruhi besarnya cadangan air tanah dan peran ketiga adalah pengendalian hasil air (Balitbang-DAS, 2003). Keberadaan hutan Pinus di Hutan Pendidikan Gunung Walat terbukti mampu menjawab permasalahan awal yang dahulu dikeluhkan masyarakat di sekitar Gunung Walat yaitu erosi dan kelangkaan air. Penting sekali dilakukan penggalian informasi-informasi yang berkaitan dengan pengaruh pengelolaan hutan Pinus terhadap tata air dan tanah.

16 Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang bermanfaat bagi pengelolaan hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat. B. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kerapatan tegakan Pinus sp terhadap produktivitas serasah, dekomposisi serasah, masukan air dari air tembus tajuk dan aliran batang, kehilangan air tanah melalui perkolasi dan analisis tanah beserta watak analitiknya di blok Cimenyan Hutan Pendidikan Gunung Walat C. Manfaat Penelitian Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat memberikan informasi tentang karakteristik tegakan Pinus sp pada kerapatan yang berbeda, sehingga pengelolaan hutan di hutan tanaman Pinus khususnya di Hutan Pendidikan Gunung Walat dapat dilakukan secara lestari.

17 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Karakteristik Pinus sp 1. Penyebaran Selain di Indonesia jenis ini terdapat di wilayah Bhurma, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam dan Philipina. Di Indonesia secara alami banyak dijumpai di Sumatera Utara dan Aceh (Departemen Kehutanan, 1995). 2. Persyaratan Tumbuh Di Jawa pohon ini dapat tumbuh antara ketinggian m diatas permukaan laut dan tidak meminta persyaratan tumbuh yang tinggi. Walaupun demikian untuk tumbuh baik, dibutuhkan ketinggian tempat diatas 400 m diatas permukaan laut dengan curah hujan antara mm sampai dengan 4000 mm/tahun (Departemen Kehutanan, 1995). 3. Lukisan Pohon Pohion ini dapat mencapai tinggi m dengan diameter 100 cm. Batang dengan kulit berwarna kelabu tua, berjalur agak dalam, memanjang berserpih dalam lempeng bulat panjang cm dan buahnya berbentuk kerucut (Departemen Kehutanan, 1995). 4. Benih Berbuah hampir sepanjang tahun, terutama bulan Maret sampai dengan Juni. Jumlah benih sekitar /kg benih kering tanpa sayap atau /l (Departemen Kehutanan, 1995). B. Kerapatan Tegakan Hutan Pada umumnya hutan-hutan berbeda dalam hal jumlah pohon dan volume per-ha, luas bidang dasar dan kriteria lainnya. Perbedaan antara sebuah tegakan yang rapat dan jarang, lebih mudah dilihat bila menggunakan kriteria pembukaan tajuknya. Sedangkan kerapatan berdasarkan volume, luas bidang dasar dan jumlah batang per-ha, dapat diketahui melalui pengukuran (Departemen Kehutanan, 1992) Untuk keperluan praktis kerapatan tajuk telah dibuat, yaitu (Departemen Kehutanan, 1992):

18 1. Rapat, bila terdapat lebih dari 70 % penutupan tajuk 2. Cukup, bila terdapat % penutupan tajuk 3. Jarang, bila terdapat kurang dari 40 % penutupan tajuk Hutan yang terlalu rapat pertumbuhannya akan lambat, karena persaingannya yang keras terhadap sinar matahari, air dan zat hara mineral. Pertumbuhan akan terhambat, tetapi tidak berlangsung lama, karena persaingan antara pohon-pohon akan mematikan yang lemah dan penguasaan yang kuat. Sebaiknya hutan yang terlalu jarang, terbuka atau hutan rawang akan menghasilkan pohon-pohon dengan tajuk yang besar dan bercabang banyak dengan batang yang pendek (Departemen Kehutanan, 1992). Suatu hutan yang dikelola dengan baik ialah hutan yang kerapatannya dipelihara sampai tingkat optimum, sehingga pohon-pohonnya dapat dengan penuh memanfaatkan sinar matahari, air dan zat hara mineral dalam tanah (Departemen Kehutanan, 1992). Jelaslah bahwa hutan yang tajuknya kurang rapat, berfungsi kurang efisien, kecuali bila celah yang ada diisi dengan permudaan hutan atau pohonpohon muda (Departemen Kehutanan, 1992). C. Produktivitas Serasah 1. Pengertian Produktivitas Menurut Odum (1971), pengertian produktivitas ada dua, yaitu produktivitas primer dan produktivitas sekunder. Produktivitas primer didefinisikan sebagai laju energi pancaran yang disimpan oleh kegiatan fotosintesis atau khemosintesis organisme-organisme produsen (terutama tumbuhan hijau) dalam bentuk senyawa-senyawa organik yang dapat digunakan sebagai bahan pangan. Produktivitas primer meliputi produktivitas primer kotor dan produktivitas primer bersih. Produktivitas primer kotor atau fotosintesis total atau asimilasi total adalah laju total dari fotosintesis, termasuk bahan organik yang habis digunakan di dalam respirasi. Sedangkan Produktivitas primer bersih atau apparent fotosintesis atau asimilasi bersih adalah laju penyimpanan bahan organik di dalam jaringanjaringan tumbuhan (Odum, 1971).

19 Pada prakteknya, banyaknya respirasi biasanya ditambahkan pada pengukuran produktivitas primer bersih sebagai koreksi untuk memperoleh taksiran-taksiran produksi kotor. Produktivitas komunitas bersih adalah laju penyimpanan bahan organik yang tidak digunakan oleh heterotrof ( yakni, produktivitas primer bersih dikurangi penggunaan heterotrof) (Odum, 1971). Laju penyimpanan pada tingkat konsumen disebut sebagai produktivitas sekunder. Karena konsumen-konsumen hanya menggunakan bahan-bahan pangan yang sudah dibuat. Produktivitas sekunder tidak dibagi menjadi produktivitas kotor dan produktivitas bersih(odum, 1971). 2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas Hutan Produktivitas merupakan parameter ekologi yang sangat penting. Produktivitas ekosistem adalah suatu indeks yang mengintegrasikan pengaruh kumulatif dari banyak proses dan interaksi yang berlangsung simultan di dalam ekosistem. Jika produktivitas pada suatu ekosistem hanya berubah sedikit dalam jangka waktu yang lama maka hal ini menandakan kondisi lingkungan yang stabil, tetapi jika terjadi perubahan yang dramatis, maka menunjukkan telah terjadi perubahan lingkungan yang nyata atau terjadi perubahan yang penting dalam interaksi di antara organisme-organisme yang menyusun ekosistem (Jordan, 1985 dalam Wiharto, 2003). Beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas vegetasi di wilayah hutan hujan tropis adalah: a. Suhu b. Curah hujan c. Interaksi antara suhu dan curah hujan d. Produktivitas serasah e. Tahap suksesi komunitas f. Edafik g. Herbivora h. Sistem konservasi hara yang sangat ketat 3. Produktivitas Serasah Menurut Nasoetion (1990), serasah adalah lapisan teratas dari permukaan tanah yang mungkin terdiri atas lapisan tipis sisa tumbuhan.

20 Tanaman memberikan masukan bahan organik melalui daun-daun, cabang dan rantingnya yang gugur, dan juga melalui akar-akarnya yang telah mati. Serasah yang jatuh di permukaan tanah dapat melindungi permukaan tanah dari pukulan air hujan dan mengurangi penguapan. Tinggi rendahnya peranan serasah ini ditentukan oleh kualitas bahan oraganik tersebut. Semakin rendah kualitas bahan, semakin lama bahan tersebut dilapuk, sehingga terjadi akumulasi serasah yang cukup tebal pada permukaan tanah hutan (Hairiah, dkk, 2005). Produktivitas serasah di hutan hujan tropis adalah yang tertinggi dibanding dengan wilayah-wilayah lain (Tabel 1). Oleh karena produktivitas serasah yang tinggi maka akan memberikan keuntungan bagi vegetasi untuk meningkatkan produktivitas karena tersedianya sumber hara yang banyak. Tabel 1. Laju Produktivitas Serasah di Berbagai Tipe Ekosistem Dunia (Jordan, 1971 dalam Wiharto, 2003) Ekosistem Lokasi Produktivitas Serasah (g/m/tahun) Hutan hujan tropis Thailand 2322 Hutan iklim sedang Di beberapa lokasi 1200 Savana kering Rusia 290 Hutan oak Rusia 350 Taiga Rusia Hutan musim tropis Pantai Gading 440 Herba perennial Jepang 1484 Prairi Amerika Serikat 520 Hutan hujan tropis adalah ekosistem dengan laju dekomposisi serasah tercepat dibanding ekosistem-ekosistem lainnya ( Tabel 2). Menurut Resosoedarmo et al., (1986) dalam Wiharto (2003), hal ini disebabkan karena serasah yang jatuh ke permukaan tanah tidak akan lama tertimbun di lantai hutan tetapi segera mengalami dekomposisi sehingga dapat dengan segera diserap kembali oleh tumbuhan. Barbour et al., (1987) dalam Wiharto (2003) mengatakan bahwa laju dekomposisi serasah berbeda antara satu ekosistem dengan ekosistem

21 lainnya. Laju ini terutama dipengaruhi oleh kelembaban udara, organisme flora dan fauna mikro dan kandungan kimia dari serasah. 4. Produktivitas Serasah di Gunung Walat Penelitian yang dilakukan oleh Hilwan (1992) mengenai produktivitas serasah di Gunung Walat menunjukkan bahwa komponen serasah berupa daun yang berasal dari tegakan Pinus merkusii maupun Acacia mangium mempunyai produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan komponen serasah lainnya (Tabel 2). Tabel 2. Data Rata-rata Produktivitas Serasah di Hutan Pendidikan Gunung Walat Tahun 1992 Komponen Acacia mangium Pinus merkusii g/m 2 /minggu ton/ha/th % g/m 2 /minggu ton/ha/th % Daun 12 6,24 71,17 6,8 3,54 60,88 Bunga,buah 1,54 0,8 9,13 2,51 1,31 22,47 Dahan, ranting 2,28 1,18 13,4 1,44 0,75 12,89 Kulit, batang,dll 1,06 0,55 6,29 0,42 0,22 3,76 Jumlah 16,88 8,77 99,99 11,17 5, Sumber : Hilwan, 1992 Penelitian yang dilakukan oleh Nilamsari (2000) menunjukkan bahwa tegakan Pinus merkusii memberikan nilai rataan produksi serasah yang tertinggi yaitu 25,248 g/m 2 /minggu atau sekitar 13,12 ton/ha/tahun, kemudian pada tegakan Agathis loranthifolia sebesar 18,085 g/m 2 /minggu atau 9,39 ton/ha/tahun dan terendah yaitu tegakan Schima wallichii sebesar 14,076 g/m 2 /minggu atau 7,31 ton/ha/tahun. Produktivitas Pinus Puspa Agathis Jenis Tegakan Gambar 1. Perbandingan Rata-rata Produktivitas Serasah pada Tegakan Pinus merkusii, Schima wallichii dan Agathis loranthifolia (Nilamsari, 2000).

22 D. Dekomposisi Serasah 1. Faktor Yang Mempengaruhi Dekomposisi Serasah Dekomposisi terbentuk melalui suatu proses fisika dan kimia yang mereduksi secara kimia bahan organik yang telah mati pada vegetasi dan binatang. Dekomposisi bahan organik hutan mempunyai dua tahap proses. Yang pertama, ukuran partikel dari bagian bunga ke batang dari pohon yang besar, dipecah ke dalam spesies yang lebih kecil yang dapat direduksi secara kimia. Yang kedua, biasanya sampai aktifitas organisme spesies kecil ini dari bahan organik direduksi dan dimineralisasi untuk melepaskan unsur dasar dari protein, karbohidrad, lipid dan mineral yang dapat dikonsumsi, diserap oleh organisme atau dihanyutkan dari sistem (Edward, 1977 dalam Golley, 1983) Dekomposisi merupakan proses yang dinamis dan sangat dipengaruhi oleh keberadaan dekomposer baik jumlah maupun diversitasnya. Sedangkan keberadaan dekomposer sendiri sangat ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan baik kondisi kimia, fisika maupun biologi. Faktor-faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap dekomposisi antara lain oksigen, bahan organik dan bakteri sebagai agen utama dekomposisi (Sunarto, 2004). a. Oksigen Oksigen secara umum sangat diperlukan dalam proses dekomposisi terutama bagi dekomposer yang bersifat aerobik. Sebenarnya baik bakteri aerobik maupun anaerobik sama-sama membutuhkan oksigen dan sama-sama dapat melakukan proses dekomposisi (Moriber, 1974 dalam Sunarto, 2004). b. Bakteri Bakteri merupakan agen utama proses dekomposisi selain beberapa jenis jamur atau fungi. Berdasarkan kebutuhannya terhadap oksigen, kita mengenal dua jenis bakteri yaitu bakteri aerobik dan bakteri anaerobik (Sunarto, 2004). Moriber (1974) dalam Sunarto (2004) menyatakan bahwa bakteri aerobik tumbuh pada kondisi tersedia oksigen bebas (molekul-molekul O 2 ). Pada beberapa kasus, oksigen bebas bersifat toksik bagi jenis bakteri anaerob dan dapat hidup hanya pada lingkungan bebas oksigen, bakteri tersebut membutuhkan oksigen dalam bentuk selain oksigen bebas dan hal ini diperoleh melalui pemecahan senyawa-senyawa kimia yang mengandung oksigen.

23 Jika suplai oksigen berkurang sampai nol karena dihabiskan oleh bakteri aerob dalam proses dekomposisi bahan organik, bakteri aerobik akan mati dan bakteri anaerobik mulai tumbuh. Bakteri anaerobik akan mendekompisisi dan menggunakan oksigen yang disimpan dalam molekul-molekul yang sedang dihancurkan. Hasil dari kegiatan bakteri anaerobik dapat membentuk Hidrogen Sulfida (H 2 S), gas yang berbau busuk dan berbahaya, serta beberapa produk lainnya (Tabel 3). Produk utama dari oksidasi aerobik adalah Karbon Dioksida (CO 2 ) dan air yang dapat dimanfaatkan kembali oleh produsen primer dalam melakukan fotosintesis (Sunarto, 2004). Pada proses reproduksi bakteri terdapat mekanisme keseimbangan antara reproduksi bakteri dengan keberadaan oksigen dan bahan organik atau nutrisinya. Proses reproduksinya dengan membelah diri dari satu sel menjadi dua sel dan seterusnya secara eksponensial, dibatasi oleh kondisi oksigen dan bahan organik, sehingga lajunya pun terhambat atau bahkan terhenti (Sunarto, 2004). Tabel 3. Hasil Proses Dekomposisi Bahan Organik Secara Aerobik dan Anaerobik (Chanlett, 1979 dalam Sunarto, 2004) Melalui proses aerobik Melalui proses anaerobik NO 3 - CO = 3 CO 2 C CH 4 dan CO 2 - NO 2 NH 3 N NH 3 SO 4 = H 2 O H PO 4 = S H 2 S P c. Bahan Organik Bahan organik merupakan faktor penting dalam proses dekomposisi. Sumber bahan organik bisa berasal dari ekosistem itu sendiri (autochthonous) maupun disuplai dari ekosistem lain (allochthonous). Bahan-bahan organik hadir dalam bentuk makluk hidup dan sisa-sisa organisme (bangkai, humus, debris, dan detritus) baik dalam ukuran partikel besar, kecil dan terlarut. Bahan organik dalam bentuk partikel biasanya dikenal dengan istilah POM (Particulate Organic Matter) sedangkan yang terlarut dikenal dengan DOM (Dissolved Organic

24 Matter). DOM adalah bahan organik terlarut yang sebagian merupakan produk proses dekomposisi dari POM. Secara operasional DOM didefinisikan sebagai bahan organik yang dapat melewati saringan yang memiliki pori yang sangat kecil yaitu 0.5 μm atau kurang dari itu (Saunder,1980 dalam Sunarto, 2004). Bahan organik baik yang berasal dari ekosistem itu sendiri (autochthonous) maupun yang disuplai dari ekosistem lain (allochthonous) akan mengalami dekomposisi oleh dekomposer seperti bakteri atau jamur. Hasil proses dekomposisi ini berupa nutrien anorganik yang selanjutnya dimanfaatkan oleh tumbuhan dan dirubahnya kembali menjadi bahan organik sebagai produksi primer, melalui proses fotosintesis. Melalui proses jaring-jaring makanan bahan organik ini akan diubah kembali menjadi nutrien anorganik. Siklus ini berlangsung terus-menerus sepanjang tidak ada penghambatan terhadap prosesproses yang terjadi (Saunder,1980 dalam Sunarto, 2004). 2. Proses Dekomposisi Ada beberapa definisi yang dikemukakan tentang dekomposisi antara lain dekomposisi didefinisikan sebagai penghancuran bahan organik mati secara gradual yang dilakukan oleh agen biologi maupun fisika (Begon, 1990 dalam Sunarto, 2004). Dekomposisi bahan organik dipandang sebagai reduksi komponenkomponen organik dengan berat molekul yang lebih tinggi menjadi komponen dengan berat molekul yang lebih rendah melalui mekanisme enzimatik (Saunder 1980 dalam Sunarto, 2004). Sejalan dengan Begon (1990) dan Saunder (1980), Smith (1980) dalam Sunarto (2004) menyatakan bahwa proses dekomposisi adalah gabungan dari proses fragmentasi, perubahan struktur fisik dan kegiatan enzim yang dilakukan oleh dekomposer yang merubah bahan organik menjadi senyawa anorganik. Definisi-definisi tersebut menggambarkan bahwa proses dekomposisi bukan saja dilakukan oleh agen biologis seperti bakteri tetapi juga melibatkan agen-agen fisika. Proses dekomposisi dimulai dari proses penghancuran atau fragmentasi atau pemecahan struktur fisik yang mungkin dilakukan oleh hewan pemakan bangkai (scavenger) terhadap hewan-hewan mati atau oleh hewanhewan herbivora terhadap tumbuhan dan menyisakannya sebagai bahan organik

25 mati yang selanjutnya menjadi serasah, debris atau detritus dengan ukuran yang lebih kecil. Proses fisika dilanjutkan dengan proses biologi dengan bekerjanya bakteri yang melakukan penghancuran secara enzimatik terhadap partikel-partikel organik hasil proses fragmentasi. Proses dekomposisi oleh bakteri dimulai dengan kolonisasi bahan organik mati oleh bakteri yang mampu mengautolisis jaringan mati melalui mekanisme enzimatik. Dekomposer mengeluarkan enzim yang menghancurkan molekul-molekul organik kompleks seperti protein dan karbohidrat dari tumbuhan dan hewan yang telah mati. Beberapa dari senyawa sederhana yang dihasilkan digunakan oleh dekomposer (Moriber, 1974; Saunder, 1980 dalam Sunarto, 2004). 3. Laju Dekomposisi Serasah Sebagai suatu proses yang dinamis, dekomposisi memiliki dimensi kecepatan yang mungkin berbeda dari waktu ke waktu tergantung faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut umumnya adalah faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dekomposer disamping faktor bahan yang akan didekomposisi. Laju dekomposisi umumnya diukur secara tidak langsung melalui pendugaan konsumsi oksigen atau perubahan karbondioksida (CO 2 ) atau dapat pula diduga melalui kehilangan berat atau pengurangan konsentrasi tiap waktu seperti kehilangan karbon radioaktif (Saunder,1980 dalam Sunarto, 2004). Godshalk dan Wetzel (1978) dalam dalam Sunarto (2004) membuat persamaan umum untuk laju dekomposisi sebagai berikut : k = (T.O.N) / (R.S) k = Laju dekomposisi T = Temperatur O = Oksigen N = Nutrien yang tersedia untuk proses pertumbuhan mikroorganisme R = Refractility yaitu kerentanan bahan organik untuk dihancurkan S = Ukuran atau jumlah bahan

26 Godshalk dan Wetzel (1978) dalam dalam Sunarto (2004) menentukan tiga fase utama penghancuran yaitu: 1. Setelah fase awal yang lambat muncul secara cepat DOM dan metabolisme bahan organik terlarut (DOM) hasil dekomposisi yang cepat 2. Laju berkurang secara gradual dan POM yang memiliki kerentanan rendah tertinggal 3. Akhirnya dekomposisi berhenti dan menyisakan bahan yang bergabung dalam sedimen secara permanen. Persamaan diatas menunjukkan bahwa laju dekomposisi merupakan hal yang kompleks yang dipengaruhi oleh banyak faktor baik faktor lingkungan maupun kondisi bahan organiknya itu sendiri. Dapat dikatakan pula bahwa dekomposisi merupakan fungsi dari faktor lingkungan dan bahan organik. Akan tetapi persamaan tersebut belum menggambarkan kecepatan suatu proses yang berupa suatu produk tertentu (dengan satuan tertentu) per satuan waktu. Persamaan tersebut juga tidak menjelaskan satuan dari masing-masing komponen sehingga tidak tergambar proses penghitungan kecepatannya atau kalaupun ada tetap tidak dapat menggambarkan suatu kecepatan proses. Indeks untuk nilai refractility juga sangat susah ditentukan, karena hal ini bisa bersifat kualitatif dan cenderung subyektif. Proses dekomposisi bahan organik secara alami akan berhenti bila faktorfaktor pembatasnya tidak tersedia atau telah dihabiskan dalam proses dekomposisi itu sendiri. Perlu diingat pula bahwa faktor lingkungan yang mendukung proses dekomposisi dalam kondisi yang terbatas dan bukan hanya dimanfaatkan oleh bakteri tetapi juga organisme lainnya. Persaingan atas carrying capacity baik berupa oksigen maupun bahan organik, menjadi faktor kendali dalam proses dekomposisi. Ketersediaan bahan organik yang berlimpah mungkin tidak berarti banyak dalam mendukung dekomposisi bila faktor lain seperti oksigen tersedia dalam kondisi terbatas. Kedua faktor ini terutama oksigen merupakan faktor kritis bagi dekomposisi aerobik. Penumpukan bahan organik dapat terjadi bila tidak ada kesetimbangan antara suplai bahan organik dengan kecepatan dekomposisi. Beban bahan organik semakin berat seiring dengan terhambatnya kecepatan dekomposisi.

27 4. Dekomposisi Serasah di Gunung Walat Penelitian Nilamsari (2000) mengenai penghancuran serasah selama satu bulan di bulan Maret 2000 menunjukkan hasil sebagai berikut : Tabel 4. Laju Penghancuran serasah selama satu bulan pada Bulan Maret 2000 Jenis Berat Brat Akhir (gram) % Massa Awal Plot Hilang/bulan (gram) I II III Rata-rata Pinus Merkusii 34,47 26,61 27,18 21,28 25,02 27,41 Schima wallichii 25,4 18,30 15,60 11,74 15,21 40,10 Agathis loranthifolia 26,29 18,78 19,48 23,26 20,51 22,00 Sumber : Nilamsari (2000) Besarnya penghancuran serasah di bawah tegakan Pinus adalah 27,41 %/bulan, rata-rata di bawah tegakan Agathis yaitu 22,00 %/bulan, dan Puspa sebesar 40,1 %/bulan. E. Infiltrasi Dan Perkolasi Menurut Arsyad (1989), infiltrasi adalah peristiwa masuknya air ke dalam tanah, umumnya (tetapi tidak mesti), melalui permukaan dan secara vertikal. Laju infiltrai adalah banyaknya air per satuan waktu yang masuk melalui permukaan tanah. Laju infiltrasi berkurang dengan lamanya (waktu) hujan berlangsung Perkolasi adalah peristiwa bergeraknya air ke bawah dalam profil tanah. Infiltrasi dan perkolasi berhubungan erat sekali. Infiltrasi menyediakan air untuk perkolasi. Perkolasi menurut Buckman and Brady dalam Soegiman (1982) diartikan sebagai kehilangan air tanah dalam bentuk cairan. Ada dua cara umum untuk mempelajari perkolasi dan pelindian (kehilangan garam larut) yaitu penggunaan sistem pipa saluran air khusus untuk keperluan ini dan penggunaan lisimeter. Cara lisimeter sering digunakan untuk menentukan kehilangan karena pelindian. F. Air Tembus dan Aliran Batang 1. Pengertian Air Tembus dan Aliran Batang

28 Peran hutan dalam siklus air dimulai dari intersepsi. Pada areal hutan, curah hujan yang jatuh tidak langsung menuju ke tanah tetapi dapat terserap oleh tajuk tanaman. Peristiwa ini disebut intersepsi. Disamping itu tetesan hujan juga mengalir lewat batang pohon, yang disebut stemflow. Air yang masuk ke tajuk tanaman akan dilepas lagi melalui proses air tembus yang disebut throughfall. Dengan demikian jumlah air yang sampai ke permukaan tanah tergantung kepada ketiga proses tersebut ( Priyono, 2003). Air hujan yang jatuh melalui tumbuh-tumbuhan dibedakan menjadi dua komponen, yaitu air tembus (throughfall) dan air aliran batang (stemflow). Air tembus adalah air yang jatuh ke tanah dengan menetes melalui daun-daun dan ranting-ranting (Soerianegara, 1970 dalam Fermanto, 2000). Sedangkan menurut Finlayson (1998) dalam Fermanto (2000) air tembus merupakan bagian dari air hujan yang jatuh ke daratan melalui vegetasi dan mencapai tanah berupa butiran air yang berasal dari daun. Aliran batang menurut Finlayson (1998) dalam Fermanto (2000) merupakan bagian dari hujan yang mengalir ke bawah melalui ranting dan cabang yang akhirnya mencapai tanah. Nilai aliran batang jauh lebih kecil dibandingkan dengan air tembus. Aliran batang juga didefinisikan sebagai air yang sampai ke tanah dengan mengalir melalui permukaan batang (Soerianegara, 1970 dalam Fermanto, 2000). 2. Air Tembus dan Aliran Batang pada Hutan Pinus Penelitian Institut Pertanian Bogor di Hutan Pendidikan Gunung Walat tahun memperoleh informasi bahwa persentase curah hujan yang diintersepsikan oleh tajuk tegakan Pinus sebesar 15,7%, untuk tegakan Agathis 14,7% dan tegakan Puspa 13,7%. Sedangkan hasil pengukuran aliran batang dan air tembus pada ketiga jenis tegakan dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 5. Hasil Pengukuran Aliran Batang (Stemflow) dan Air Tembus (Throughfall) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (Mulyana, 2002 dalam Priyono, 2003). No Jenis Tanaman Aliran Batang Air Tembus (mm/bulan) (mm/bulan) 1 Pinus merkusii 0,07-12,33 1,52-45,83

29 2 Agathis loranthifolia 0,02-6,85 1,08-47,00 3 Schima wallichii 0,03-2,2 1,17-48,00 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fermanto (2000) kandungan Nitrogen yang terdapat pada ait tembus dan aliran batang di bawah tegakan Pinus merupakan unsur hara tertinggi dibandingkan unsur yang lain ( K, P, Ca dan Mg). G. Pencucian Hara Hutan hujan tropis memiliki karakteristik berupa besarnya volume biomassa tumbuhan persatuan luas sehingga memberi kesan produktivitas yang sangat tinggi dan lahan yang sangat subur. Keanekaragaman yang sangat tinggi dan produktivitas biomassa yang besar menggambarkan tingginya produktivitas vegetasi di hutan hujan tropis. Pada kenyataannya menurut Weaver dan Clement (1980) dalam Wiharto (2004), kecuali produktivitas vegetasi yang sangat tinggi, tanah di daerah tropis tidaklah terlalu subur kecuali lahan-lahan yang tersusun atas tanah alluvial baru dan tanah vulkanik. Sifat tanah hutan hujan tropis adalah miskin hara sehingga tidak mampu mendukung produktivitas tumbuhan yang sangat tinggi. Menurut Resosoedarmo et al., (1986) dalam Wiharto (2004), produktivitas yang sangat tinggi pada kawasan ini terjadi karena ekosistem hutan hujan tropis memiliki sistem daur hara yang sangat ketat, tahan kebocoran, dan berlangsung cepat. Sumber hara dalam suatu ekosistem dapat berasal dari biomassa ekosistem itu sendiri maupun berasal dari lingkungan fisik. Hujan selain berfungsi sebagai sumber air juga berfungsi sebagai sumber hara. Whitmore (1986) dalam Wiharto (2004), mengatakan bahwa banyak nitrogen yang terfiksasi selama terjadi badai dan turun ke bumi bersama dengan hujan. Hara lain yang banyak masuk ke dalam ekosistem melalui curah hujan menurut Kenworty dalam Whitmore (1986) dalam Wiharto (2004), adalah K, Ca, dan Mg. Walaupun memberi dampak positif bagi produktivitas vegetasi menurut Resosoedarmo et al., (1986) dalam Wiharto (2004), curah hujan yang tinggi akan menyebabkan tanah-tanah yang tidak tertutupi oleh vegetasi rentan sekali terhadap pencucian yang akan mengurangi kesuburan tanah dengan cepat. Barbour et al, (1987) dalam Wiharto (2004), mengatakan bahwa sebagai salah satu faktor siklus

30 hara dalam sistem, pencucian adalah penyebab utama hilangnya hara dari suatu ekosistem. Hara yang mudah sekali tercuci terutama adalah Ca dan K. Lima proses utama yang terjadi timbulnya tanah terdegradasi, yaitu menurunnya bahan kandungan bahan organik tanah, perpindahan liat, memburuknya struktur dan pemadatan tanah, erosi tanah, deplesi dan pencucian unsur hara (Lal, 1986 dalam Firmansyah, 2004). Pencucian terjadi menurut Brady (1974) dalam Wiharto (2004) karena beberapa hara tersimpan di permukaan tanah liat atau pada bahan organik koloid, Permukaan ini bermuatan negatif. Ion-ion bermuatan positif seperti K +, Ca ++, dan NH 4 + akan bergabung dengan permukaan yang memiliki muatan negatif. Kemampuan tanah untuk mempertahankan kation pada permukaan liat maupun humus terutama ditentukan oleh nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK)nya. Tanah yang memiliki kandungan liat atau kandungan organik yang tinggi memiliki KTK yang tinggi yang berarti tanah tersebut memiliki kemampuan tinggi dalam mempertahankan mineral-mineralnya. Namun faktor lain juga turut berperan dalam hal ini, terutama jenis mineral liat yang terdapat di tanah. Mineral liat yang mengalami pelapukan yang sangat kuat seperti kaolinit memiliki KTK yang rendah (Sanchez, 1992 dalam Wiharto, 2004). Ion hara yang bermuatan positif pada permukaan liat dapat digantikan oleh ion hidrogen. Potensi ketersedian hidrogen yang tinggi pada tanah-tanah tropis disebabkan oleh diproduksinya asam organik secara kontinu melalui respirasi yang dilangsungkan oleh mikroorganisme tanah dan akar. Respirasi oleh pengurai bersama dengan respirasi oleh akar disebut respirasi tanah. Jika tanah dalam keadaan basah, maka karbon dioksida (CO 2 ) dari respirasi tanah beserta air (H 2 O) akan membentuk asam karbonat (H 2 CO 3 ) yang kemudian akan mengalami disosiasi menjadi bikarbonat (HCO - 3 ) dan sebuah ion hidrogen bermuatan positif (H + ). Ion hidrogen selanjutnya dapat menggantikan kation hara yang ada pada koloid tanah, kemudian bikarbonat bereaksi dengan kation yang dilepaskan oleh koloid, dan hasil reaksi ini dapat tercuci ke bawah melalui profil tanah.

31 Karakteristik dari lapisan tanah juga menentukan apakan kation akan tercuci dari horizon tanah. Kemasamanlah yang menjadi faktor utama pencucian dan pelapukan, walaupun secara umum kejadian ini dipicu oleh ketersediaan air (Johnson et al. dalam Wiharto, 2004).

32 III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Kondisi Hutan Gunung Walat 1. Sejarah Pengelolaan kawasan hutan Gunung Walat seluas lebih kurang 359 ha dilaksanakan oleh Institut Pertanian Bogor dengan status hak pakai berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor 008/Kpts/DJ/I/73 sebagai hutan pendidikan dan secara struktural berada di bawah Unit Kebun Percobaan IPB. Kawasan Gunung Walat mulai ditanami pada tahun 1951/1952 dengan jenis Damar (Agathis loranthifolia) dan tahun-tahun selanjutnya ditanami dengan jenis-jenis lain seperti Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima sp.) dan Mahoni (Swietenia sp.). Sampai sekarang hampir seluruh areal Hutan Pendidikan Gunung Walat telah ditanami disamping masih banyaknya tumbuhan asli setempat. 2. Lokasi Secara Administrasi Pemerintahan Hutan Pendidikan Gunung Walat terletak dalam wilayah Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi, sedangkan secara Administrasi Kehutanan termasuk dalam wilayah BKPH Gede Barat, KPH Sukabumi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Lokasi Hutan Pendidikan Gunung Walat terletak 2,4 km dari poros jalan Sukabumi - Bogor (desa Segog). Dari simpang Ciawi berjarak 46 km dan dari Sukabumi 12 km. Wilayah hutan seluas 359 Ha tersebut, terdiri dari tiga blok, yaitu blok Timur (Cikatomang) seluas 120 Ha, blok Barat (Cimenyan) seluas 125 Ha, dan blok Tengah (Tangkalak) seluas 114 Ha. B. Potensi Dan Obyek Rekreasi 1. Topografi Hutan Pendidikan Gunung Walat terletak pada ketinggian m dpl. Topografi bervariasi dari landai sampai bergelombang terutama dibagian selatan, sedangkan ke bagian Utara mempunyai topografi yang semakin berat. Pada punggung bukit kawasan ini terdapat dua patok triangulasi KN (67 m dpl.) dan KN (72 m dpl).

33 2. Iklim Klasifikasi iklim Hutan Pendidikan Gunung Walat menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe hujan A dengan suhu udara maksimum 29 0 C dan minimum 19 0 C. Besarnya curah hujan adalah 827,7 mm dengan hari hujan ratarata 13 hari per tahun. Hujan terbesar terjadi pada bulan Oktober sampai dengan April. 3. Tanah Tanah Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah kompleks dari Podsolik, Latosol dan Litisol dari batu endapan dan bekuan daerah bukit, sedangkan bagian Barat Daya terdapat areal peralihan dengan jenis batuan Karst, sehingga di wilayah tersebut terbentuk beberapa gua alam karst (gamping). 4. A i r Hutan Pendidikan Gunung Walat merupakan sumber air bersih yang penting bagi masyarakat sekitarnya terutama di bagian Selatan yang mempunyai anak sungai yang mengalir sepanjang tahun. 5. Vegetasi Hutan Pendidikan Gunung Walat memiliki tidak kurang dari 4 jenis pepohonan. Pohon yang dominan adalah jenis Damar (Agathis loranthifolia), Pinus (Pinus sp.), Puspa (Schima sp.), Sonokeling (Dalbergia latifolia), Akasia (Acacia auriculiformis), Rasamala (Altingia excelsa) dan sebagainya. Selain pepohonan terdapat juga jenis paku-pakuan, epifit dan berbagai jenis rumputrumputan. 6. Satwa Jenis-jenis satwaliar yang ada di hutan Gunung Walat adalah Musang, Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Kelinci liar, Bajing, Babi hutan (Sus scrofa) dan tidak kurang dari 3 jenis burung. Disamping itu hutan Gunung Walat diperkaya dengan jenis rusa (Cervus timorensis dan C. unicolor). 7. Panorama Alam Panorama alam merupakan obyek rekreasi yang dominan di Hutan Pendidikan Gunung Walat, terutama karena arealnya terletak di daerah perbukitan yang memanjang dari ujung Barat ke Timur. Panorama alam yang

34 dapat dinikmati adalah perkampungan, persawahan, jalan raya Sukabumi dan jalur Kereta Api. 8. Gua Alam Di kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat terdapat gua alam yang terbentuk dari batuan Karst yang pada saat ini akan di kembangkan sebagai obyek rekreasi speleologi.

STUDI TERHADAP PRODUKTIVITAS SERASAH, DEKOMPOSISI SERASAH, AIR TEMBUS TAJUK DAN ALIRAN BATANG SERTA LEACHING PADA BEBERAPA KERAPATAN TEGAKAN PINUS

STUDI TERHADAP PRODUKTIVITAS SERASAH, DEKOMPOSISI SERASAH, AIR TEMBUS TAJUK DAN ALIRAN BATANG SERTA LEACHING PADA BEBERAPA KERAPATAN TEGAKAN PINUS STUDI TERHADAP PRODUKTIVITAS SERASAH, DEKOMPOSISI SERASAH, AIR TEMBUS TAJUK DAN ALIRAN BATANG SERTA LEACHING PADA BEBERAPA KERAPATAN TEGAKAN PINUS (Pinus merkusii), DI BLOK CIMENYAN, HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Luas HPGW secara geografis terletak diantara 6 54'23'' LS sampai -6 55'35'' LS dan 106 48'27'' BT sampai 106 50'29'' BT. Secara administrasi pemerintahan HPGW

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Suatu ekosistem dapat terbentuk oleh adanya interaksi antara makhluk dan lingkungannya, baik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup

Lebih terperinci

III. GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

III. GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 15 III. GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 3.1 Lokasi dan Sejarah Pengelolaan Kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) terletak 2,4 km dari poros jalan Sukabumi - Bogor (desa Segog). Dari simpang Ciawi berjarak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Vegetasi Hutan Hutan merupakan ekosistem alamiah yang sangat kompleks mengandung berbagai spesies tumbuhan yang tumbuh rapat mulai dari jenis tumbuhan yang kecil hingga berukuran

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Sifat Kimia Tanah Variabel kimia tanah yang diamati adalah ph, C-organik, N Total, P Bray, Kalium, Kalsium, Magnesium, dan KTK. Hasil analisis sifat kimia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Jati (Tectona grandis Linn. f) Jati (Tectona grandis Linn. f) termasuk kelompok tumbuhan yang dapat menggugurkan daunnya sebagaimana mekanisme pengendalian diri terhadap

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Sifat Kimia Tanah Data sekunder hasil analisis kimia tanah yang diamati yaitu ph tanah, C-Org, N Total, P Bray, kation basa (Ca, Mg, K, Na), kapasitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi merupakan tanaman dengan perakaran tunggang yang mulai berproduksi sekitar berumur 2 tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung Letak lintasan sepeda gunung di HPGW disajikan dalam Gambar 5. Ciricirinya disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Keadaan plot penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

INTERAKSI ANTAR KOMPONEN EKOSISTEM

INTERAKSI ANTAR KOMPONEN EKOSISTEM INTERAKSI ANTAR KOMPONEN EKOSISTEM 1. Interaksi antar Organisme Komponen Biotik Untuk memenuhi kebutuhannya akan makanan, setiap organisme melakukan interaksi tertentu dengan organisme lain. Pola-pola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Organisme atau makhluk hidup apapun dan dimanapun mereka berada tidak akan dapat hidup sendiri. Kelangsungan hidup suatu organisme akan bergantung kepada organisme lain

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Hutan Pendidikan Gunung Walat Data Badan Pengelola HPGW tahun 2012 menunjukkan bahwa kawasan HPGW sudah mulai ditanami pohon damar (Agathis loranthifolia)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sifat dan Ciri Tanah Ultisol. Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering yang

TINJAUAN PUSTAKA. Sifat dan Ciri Tanah Ultisol. Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering yang TINJAUAN PUSTAKA Sifat dan Ciri Tanah Ultisol Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering yang tersebar luas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya serta sebagian kecil di pulau

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd TANAH / PEDOSFER OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd 1.Definisi Tanah adalah kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horizon-horizon, terdiri dari campuran bahan mineral organic, air, udara

Lebih terperinci

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Siklus Biogeokimia 33 BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Kompetensi Dasar: Menjelaskan siklus karbon, nitrogen, oksigen, belerang dan fosfor A. Definisi Siklus Biogeokimia Siklus biogeokimia atau yang biasa disebut

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah yang di analisis adalah tekstur tanah, bulk density, porositas, air tersedia, serta permeabilitas. Berikut adalah nilai masing-masing

Lebih terperinci

PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP

PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP PENGERTIAN TANAH Pedosfer berasal dari bahasa latin yaitu pedos = tanah, dan sphera = lapisan. Pedosfer yaitu lapisan kulit bumi yang tipis yang letaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan sebagai komunitas tumbuhan juga memiliki fungsi hidrologis dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai peran yang sangat penting dalam

Lebih terperinci

1. ENERGI DALAM EKOSISTEM 2. KONSEP PRODUKTIVITAS 3. RANTAI PANGAN 4. STRUKTUR TROFIK DAN PIRAMIDA EKOLOGI

1. ENERGI DALAM EKOSISTEM 2. KONSEP PRODUKTIVITAS 3. RANTAI PANGAN 4. STRUKTUR TROFIK DAN PIRAMIDA EKOLOGI PRINSIP DAN KONSEP ENERGI DALAM SISTEM EKOLOGI 1. ENERGI DALAM EKOSISTEM 2. KONSEP PRODUKTIVITAS 3. RANTAI PANGAN 4. STRUKTUR TROFIK DAN PIRAMIDA EKOLOGI ENERGI DALAM EKOSISTEM Hukum thermodinamika I energi

Lebih terperinci

II. PEMBENTUKAN TANAH

II. PEMBENTUKAN TANAH Company LOGO II. PEMBENTUKAN TANAH Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS Arief Darmawan, S.Si., M.Sc Isi A. Konsep pembentukan tanah B. Faktor pembentuk tanah C. Proses pembentukan tanah D. Perkembangan lapisan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Organik Tanah Bahan organik tanah merupakan bagian dari fraksi organik yang telah mengalami degradasi dan dekomposisi, baik sebagian atau keseluruhan menjadi satu dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia pada umumnya, khususnya Provinsi Lampung. Hal ini dikarenakan

I. PENDAHULUAN. Indonesia pada umumnya, khususnya Provinsi Lampung. Hal ini dikarenakan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian merupakan bagian penting dalam pembangunan perekonomian di Indonesia pada umumnya, khususnya Provinsi Lampung. Hal ini dikarenakan kondisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al., 1996 dalam Iriany et al., 2007).

I. PENDAHULUAN. sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al., 1996 dalam Iriany et al., 2007). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagung merupakan tanaman serealia yang paling produktif di dunia, cocok ditanam di wilayah bersuhu tinggi. Penyebaran tanaman jagung sangat luas karena mampu beradaptasi

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina Forssk. Vierh) DI DESA LONTAR, KECAMATAN KEMIRI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Yulian Indriani C64103034 PROGRAM

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

PENGARUH BAHAN ORGANIK TERHADAP SIFAT BIOLOGI TANAH. Oleh: Arif Nugroho ( )

PENGARUH BAHAN ORGANIK TERHADAP SIFAT BIOLOGI TANAH. Oleh: Arif Nugroho ( ) PENGARUH BAHAN ORGANIK TERHADAP SIFAT BIOLOGI TANAH Oleh: Arif Nugroho (10712004) PROGRAM STUDI HORTIKULTURA JURUSAN BUDIDAYA TANAMAN PANGAN POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2012 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Padi merupakan bahan pangan terpenting di Indonesia mengingat makanan pokok penduduk Indonesia sebagian besar adalah beras. Sementara itu, areal pertanian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Gunung Walat Pembangunan Hutan Pendidikan Kehutanan berawal pada tahun 1959, ketika Fakultas Kehutanan IPB masih merupakan Jurusan Kehutanan, Fakultas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanah marginal merupakan tanah yang potensial untuk pertanian. Secara alami

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanah marginal merupakan tanah yang potensial untuk pertanian. Secara alami 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanah Ultisol dan Permasalahan Kesuburannya Tanah marginal merupakan tanah yang potensial untuk pertanian. Secara alami kesuburan tanah marginal tergolong rendah. Hal ini ditunjukan

Lebih terperinci

Geografi LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I. K e l a s. Kurikulum 2006/2013. A. Pengertian Lingkungan Hidup

Geografi LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I. K e l a s. Kurikulum 2006/2013. A. Pengertian Lingkungan Hidup Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami pengertian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kualitas Air Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada masingmasing perlakuan selama penelitian adalah seperti terlihat pada Tabel 1 Tabel 1 Kualitas Air

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan waktu Penelitian lapangan dilaksanakan di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Propinsi Kalimantan Tengah. Areal penelitian merupakan areal hutan yang dikelola dengan

Lebih terperinci

DAUR BIOGEOKIMIA 1. DAUR/SIKLUS KARBON (C)

DAUR BIOGEOKIMIA 1. DAUR/SIKLUS KARBON (C) DAUR BIOGEOKIMIA 1. DAUR/SIKLUS KARBON (C) Berkaitan dengan siklus oksigen Siklus karbon berkaitan erat dengan peristiwa fotosintesis yang berlangsung pada organisme autotrof dan peristiwa respirasi yang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karbon Biomassa Atas Permukaan Karbon di atas permukaan tanah, meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO2 Tanah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO2 Tanah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO 2 Tanah Tanah merupakan bagian dari sistem yang mengatur konsentrasi CO 2 atmosfer. Hampir 10% CO 2 dari tanah sampai ke atmosfer tiap tahunnya (Raich dan

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. produk tanaman yang diinginkan pada lingkungan tempat tanah itu berada.

I. TINJAUAN PUSTAKA. produk tanaman yang diinginkan pada lingkungan tempat tanah itu berada. I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesuburan Tanah Kesuburan tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk menghasilkan produk tanaman yang diinginkan pada lingkungan tempat tanah itu berada. Produk tanaman tersebut dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

geografi Kelas X PEDOSFER I KTSP & K-13 A. PROSES PEMBENTUKAN TANAH

geografi Kelas X PEDOSFER I KTSP & K-13 A. PROSES PEMBENTUKAN TANAH KTSP & K-13 Kelas X geografi PEDOSFER I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami proses dan faktor pembentukan tanah. 2. Memahami profil,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanah merupakan habitat kompleks untuk organisme. Di dalam tanah hidup

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanah merupakan habitat kompleks untuk organisme. Di dalam tanah hidup 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Organisme Tanah dan Bahan Organik Tanah merupakan habitat kompleks untuk organisme. Di dalam tanah hidup berbagai jenis organisme yang dapat dibedakan menjadi jenis hewan (fauna)

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisik Tanah 5.1.1. Bobot Isi dan Porositas Total Penambahan bahan organik rumput signal pada lahan Kathryn belum menunjukkan pengaruh baik terhadap bobot isi (Tabel

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Parameter pertumbuhan yang diamati pada penelitian ini adalah diameter batang setinggi dada ( DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan maupun daerah semak belukar tetapi kemudian dibudidayakan. Sebagai tanaman

Lebih terperinci

PERANAN DEKOMPOSISI DALAM PROSES PRODUKSI PADA EKOSISTEM LAUT

PERANAN DEKOMPOSISI DALAM PROSES PRODUKSI PADA EKOSISTEM LAUT 2003 Sunarto Posted: 16 November 2003 Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pascasarjana/S3 Institut Pertanian Bogor November 2003 Dosen : Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab) Prof.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pemadatan Tanah

TINJAUAN PUSTAKA Pemadatan Tanah TINJAUAN PUSTAKA Pemadatan Tanah Pemadatan tanah adalah penyusunan partikel-partikel padatan di dalam tanah karena ada gaya tekan pada permukaan tanah sehingga ruang pori tanah menjadi sempit. Pemadatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Adanya ketidakseimbangan antara jumlah kebutuhan dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Adanya ketidakseimbangan antara jumlah kebutuhan dengan kemampuan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya ketidakseimbangan antara jumlah kebutuhan dengan kemampuan penyediaan kayu jati mendorong Perum Perhutani untuk menerapkan silvikultur intensif guna memenuhi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis, yang bersumber dari bahan-bahan yang

Lebih terperinci

TANAH. Apa yang dimaksud dengan tanah? Banyak definisi yang dapat dipakai untuk tanah. Hubungan tanah dan organisme :

TANAH. Apa yang dimaksud dengan tanah? Banyak definisi yang dapat dipakai untuk tanah. Hubungan tanah dan organisme : TANAH Apa yang dimaksud dengan tanah? Banyak definisi yang dapat dipakai untuk tanah Hubungan tanah dan organisme : Bagian atas lapisan kerak bumi yang mengalami penghawaan dan dipengaruhi oleh tumbuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

Curah hujan tinggi, tanah masam & rawa bergambut. Curah hujan mm/tahun, dataran bergunung aktif. Dataran tinggi beriklim basah

Curah hujan tinggi, tanah masam & rawa bergambut. Curah hujan mm/tahun, dataran bergunung aktif. Dataran tinggi beriklim basah Diskusi selanjutnya dibatasi pada wilayah tropika Indonesia, yaitu negara kepulauan yang terdiri dari sekitar 17.508 pulau dan terbagi menjadi 34 wilayah provinsi dengan jumlah penduduk 251.857.940 jiwa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara

Lebih terperinci

TANAH. Oleh : Dr. Sri Anggraeni, M,Si.

TANAH. Oleh : Dr. Sri Anggraeni, M,Si. TANAH Oleh : Dr. Sri Anggraeni, M,Si. Tanah memberikan dukungan fisik bagi tumbuhan karena merupakan tempat terbenamnya/ mencengkeramnya akar sejumlah tumbuhan. Selain itu tanah merupakan sumber nutrien

Lebih terperinci

DAUR AIR, CARBON, DAN SULFUR

DAUR AIR, CARBON, DAN SULFUR DAUR AIR, CARBON, DAN SULFUR Daur Air/H 2 O (daur/siklus hidrologi) 1. Air di atmosfer berada dalam bentuk uap air 2. Uap air berasal dari air di daratan dan laut yang menguap (evaporasi) karena panas

Lebih terperinci

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan tingkat tinggi merupakan organisme autotrof dapat mensintesa komponen molekular organik yang dibutuhkannya, selain juga membutuhkan hara dalam bentuk anorganik

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Pemberian Kotoran Kambing Terhadap Sifat Tanah. Tabel 4.1. Karakteristik Tanah Awal Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Pemberian Kotoran Kambing Terhadap Sifat Tanah. Tabel 4.1. Karakteristik Tanah Awal Penelitian IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Pemberian Kotoran Kambing Terhadap Sifat Tanah. Pemberian dosis kotoran kambing pada budidaya secara tumpang sari antara tanaman bawang daun dan wortel dapat memperbaiki

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan nitrogen tanah bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya. Variasi kandungan nitrogen dalam tanah terjadi akibat perubahan topografi, di samping pengaruh iklim, jumlah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Hujan Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh dipermukaan tanah datar selama periode tertentu di atas permukaan horizontal bila tidak terjadi evaporasi, run off dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Biomassa Biomassa merupakan bahan organik dalam vegetasi yang masih hidup maupun yang sudah mati, misalnya pada pohon (daun, ranting, cabang, dan batang utama) dan biomassa

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Pemberian dan Terhadap Sifat sifat Kimia Tanah Penelitian ini mengevaluasi pengaruh pemberian amelioran bahan humat dan abu terbang terhadap kandungan hara tanah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH EKOFISIOLOGI TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN TANAH LINGKUNGAN Pengaruh salinitas pada pertumbuhan semai Eucalyptus sp. Gas-gas atmosfer, debu, CO2, H2O, polutan Suhu udara Intensitas cahaya, lama penyinaran

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya. 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merr) Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya. Susunan morfologi kedelai terdiri dari akar, batang, daun, bunga dan

Lebih terperinci

Restorasi Organik Lahan. Aplikasi Organik Untuk Pemulihan Biofisik Lahan & Peningkatan Sosial Ekonomi Melalui Penerapan Agroforestri.

Restorasi Organik Lahan. Aplikasi Organik Untuk Pemulihan Biofisik Lahan & Peningkatan Sosial Ekonomi Melalui Penerapan Agroforestri. Restorasi Organik Lahan Aplikasi Organik Untuk Pemulihan Biofisik Lahan & Peningkatan Sosial Ekonomi Melalui Penerapan Agroforestri Ex-Tambang Restorasi Perubahan fungsi lahan pada suatu daerah untuk pertambangan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem yang sangat. berguna bagi manusia (Soerianegara dan Indrawan. 2005).

I. PENDAHULUAN. hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem yang sangat. berguna bagi manusia (Soerianegara dan Indrawan. 2005). I. PENDAHULUAN Hutan adalah masyarakat tetumbuhan dan hewan yang hidup di lapisan permukaan tanah yang terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

Seisme/ Gempa Bumi. Gempa bumi adalah getaran kulit bumi yang disebabkan kekuatan dari dalam bumi

Seisme/ Gempa Bumi. Gempa bumi adalah getaran kulit bumi yang disebabkan kekuatan dari dalam bumi Seisme/ Gempa Bumi Gempa bumi adalah getaran kulit bumi yang disebabkan kekuatan dari dalam bumi Berdasarkan peta diatas maka gempa bumi tektonik di Indonesia diakibatkan oleh pergeseran tiga lempeng besar

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

SIFAT KIMIA TANAH LANJUTAN SIFAT KIMIA TANAH

SIFAT KIMIA TANAH LANJUTAN SIFAT KIMIA TANAH SIFAT KIMIA TANAH LANJUTAN SIFAT KIMIA TANAH 4. Phosphor (P) Unsur Fosfor (P) dlm tanah berasal dari bahan organik, pupuk buatan & mineral 2 di dlm tanah. Fosfor paling mudah diserap oleh tanaman pd ph

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan TINJAUAN PUSTAKA Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz.) Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan akan menjadi busuk dalam 2-5 hari apabila tanpa mendapat perlakuan pasca panen yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Gorontalo selama 3.minggu dan tahap analisis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan 18 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tanaman kailan adalah salah satu jenis sayuran yang termasuk dalam kelas dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan cabang-cabang akar

Lebih terperinci

Beberapa Sifat Kimia Tanah antara lain :

Beberapa Sifat Kimia Tanah antara lain : SIFAT KIMIA TANAH Beberapa Sifat Kimia Tanah antara lain : 1. Derajat Kemasaman Tanah (ph) Reaksi tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai ph. Nilai ph menunjukkan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi :

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi : METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2008 sampai dengan Februari 2009. Penelitian dilakukan di rumah kaca Departemen Silvikultur Fakultas Kehutaan Institut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanian dan Pemanasan Global Pemanasan global yang kini terjadi adalah akibat dari makin meningkatnya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, baik secara alami maupun secara buatan

Lebih terperinci

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk ALFARED FERNANDO SIAHAAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN FUNGSI AIR Penyusun tubuh tanaman (70%-90%) Pelarut dan medium reaksi biokimia Medium transpor senyawa Memberikan turgor bagi sel (penting untuk pembelahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Tebu Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil gula dan lebih dari setengah produksi gula berasal dari tanaman tebu (Sartono, 1995).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus dan Neraca Nitrogen (N) Menurut Hanafiah (2005 :275) menjelaskan bahwa siklus N dimulai dari fiksasi N 2 -atmosfir secara fisik/kimiawi yang meyuplai tanah bersama

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Unit Lapangan Pasir Sarongge, University Farm IPB yang memiliki ketinggian 1 200 m dpl. Berdasarkan data yang didapatkan dari Badan Meteorologi

Lebih terperinci

Company LOGO ILMU TANAH. Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS Arief Darmawan, S.Si., M.Sc

Company LOGO ILMU TANAH. Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS Arief Darmawan, S.Si., M.Sc Company LOGO ILMU TANAH Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS Arief Darmawan, S.Si., M.Sc Topik: Konsepsi Tanah Isi: 13 23 3 4 Pendahuluan Pengertian Tanah Susunan Tanah Fungsi Tanah 1. PENDAHULUAN Gambar 1 Gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh TINJAUAN PUSTAKA Penggenangan Tanah Penggenangan lahan kering dalam rangka pengembangan tanah sawah akan menyebabkan serangkaian perubahan kimia dan elektrokimia yang mempengaruhi kapasitas tanah dalam

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah kawasan Hutan Pusat Konservasi Alam Bodogol (PPKAB) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), di Kabupaten Sukabumi,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi penelitian terlihat beragam, berikut diuraikan sifat kimia

Lebih terperinci

PERTEMUAN XIV: EKOSISTEM DAN BIOLOGI KONSERVASI. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011

PERTEMUAN XIV: EKOSISTEM DAN BIOLOGI KONSERVASI. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011 PERTEMUAN XIV: EKOSISTEM DAN BIOLOGI KONSERVASI Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011 1 EKOSISTEM Topik Bahasan: Aliran energi dan siklus materi Struktur trofik (trophic level) Rantai makanan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran tanaman. Secara kimiawi tanah berfungsi sebagai

Lebih terperinci