DINAMIKA SIMBION ALGA ZOOXANTHELLAE PADA ANEMON LAUT HASIL TEKNOLOGI REPRODUKSI ASEKSUAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DINAMIKA SIMBION ALGA ZOOXANTHELLAE PADA ANEMON LAUT HASIL TEKNOLOGI REPRODUKSI ASEKSUAL"

Transkripsi

1

2 DINAMIKA SIMBION ALGA ZOOXANTHELLAE PADA ANEMON LAUT HASIL TEKNOLOGI REPRODUKSI ASEKSUAL Dr. Ir. Muhammad Ahsin Rifa i, M.Si. Diterbitkan oleh: Lambung Mangkurat University Press, 2016 d/a Pusat Pengelolaan Jurnal dan Penerbitan ULM Jl. H. Hasan Basry, Kayu Tangi, Banjarmasin Gedung Rektorat ULM Lt 2 Telp/Faks Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya, dalam bentuk dan cara apapun, baik secara mekanik maupun elektronik, termasuk fotocopi, rekaman dan lain-lain tanpa izin tertulis dari penerbit xvi, 157 hlm.; 15,5 x 23 cm Cetakan Pertama, Agustus 2016 Desain cover : Muhammad Jilan Fawwaz Dirgantara Penata letak : Hadiratul Kudsiah & Muhammad Anugrah Samudra ISBN: ii

3 PRAKATA Anemon laut memiliki nilai ekonomis dan ekologis. Biota ini sangat populer sebagai pengisi akuarium yang indah dan menarik karena memiliki bentuk tubuh meyerupai bunga beraneka warna. Secara ekologis, anemon laut merupakan inang berbagai anemonfishes. Pada sel-sel endodermis karang dan anemon laut melimpah sel-sel alga zooxanthellae sebagai simbion intraselluler. Kehadiran alga zooxanthellae telah memberikan andil yang besar dalam sistem daur energi anemon, lingkungan, dan biota lain yang berasosiasi. Alga zooxanthellae yang hidup bersimbiosis dengan anemon memiliki kemampuan untuk melakukan aktifitas fotosintesis dan menghasilkan nutrisi karbon yang selanjutnya disumbangkan ke inang dan lingkungan perairan di sekitarnya. Kehadiran alga zooxanthellae yang hidup bersimbiosis pada anemon laut dan karang sangat penting mengingat kondisi lingkungan perairan laut miskin nutrient. Dengan demikian maka kehadiran alga zooxanthellae sangat strategis bagi kehidupan anemon dan ekosistem terumbu karang serta kajian dinamika alga zooxanthellae pada anemon hasil reproduksi aseksual menjadi sangat urgen. Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya jualah sehingga buku ini dapat diselesaikan. Membagi ilmu pengetahuan tentang anemon laut menjadi motivasi utama penulisan buku ini setelah 18 tahun ( ) melakukan riset yang berkesinambungan di wilayah perairan Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Ambon, hingga Papua. Buku ini terdiri atas 5 bab yaitu bab 1 pendahuluan, bab 2 mengenal anemon laut, bab 3 simbion alga zooxanthellae, bab 4 dinamika simbion alga iii

4 zooxanthellae pada anemon laut, dan bab 5 penutup. Pada bab 1 dijelaskan tentang pentingnya anemon laut dan kehadiran simbion alga zooxanthellae. Bab 2 menjelaskan tentang bioekologi anemon laut yang diambil dari dari berbagai sumber dan hasil penelitian. Bab 3 menjelaskan tentang definisi dan pengertian alga zooxanthellae. Bab 4 menjelaskan tentang dinamika simbion alga zooxanthellae pada anemon laut sebagai inang yang disebabkan oleh berbagai factor alam dan buatan. Pada bab ini merupakan inti dari buku ini yang diambil penulis dari berbagai hasil penelitian dari berbagai jurnal dalam dan luar negeri. Pada Bab 5 menjelaskan tentang pentingnya nilai dan fungsi anemon laut dan strategi pengelolaannya. Buku ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi para pelajar, mahasiswa, praktisi, dan peneliti kelautan, pemerintah/pengambil kebijakan, dan pembaca sakalian yang berminat. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang turut serta membantu dalam penerbitan buku ini. Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna karena itu kritik dan saran konstruktif sangat diharapkan untuk penyempurnaan dimasa yang akan datang. Akhirnya penulis berharap semoga buku sederhana ini dapat bermanfaat bagi kemashalatan ummat. Amin ya rabbal alamin. Banjarmasin, 8 Agustus 2016 Penulis, Dr. Ir. Muhamad Ahsin Rifa i, M.Si. iv

5 DAFTAR ISI PRAKATA... III DAFTAR ISI... V DAFTAR GAMBAR... VII DAFTAR TABEL... XVII I. PENDAHULUAN... 1 II. MENGENAL ANEMON LAUT... 8 A. DESKRIPSI... 8 B. HABITAT DAN SEBARAN C. MAKANAN DAN CARA MAKAN D. REPRODUKSI III. SIMBION ALGA ZOOXANTHELLAE A. ALGAE ZOOXANTHELLAE B. KLOROFIL-A ZOOXANTHELLA C. INDEKS MITOTIK IV. DINAMIKA SIMBION ALGA ZOOXANTHELLAE PADA ANEMON LAUT HASIL REPRODUKSI ASEKSUAL A. DENSITAS ZOOXANTHELLAE B. DENSITAS KLOROFIL-A ZOOXANTHELLAE C. INDEKS MITOTIK ZOOXANTHELLAE D. KONTRIBUSI KARBON SIMBION ALGA ZOOXANTHELLAE YANG DITRANSLOKASIKAN KE INANG ANEMON LAUT (CZAR) E. VARIASI DAN JARAK GENETIK ZOOXANTHELLAE v

6 G. DINAMIKA SIMBION ALGA ZOOXANTHELLAE PADA ANEMON LAUT HASIL REPRODUKSI ASEKSUAL DENGAN TEKNIK FRAGMENTASI TUBUH IV. PENUTUP A. NILAI DAN FUNGSI ANEMON B. KONDISI DAN UPAYA PENGELOLAAN DAFTAR PUSTAKA GLOSARIUM INDEKS TENTANG PENULIS vi

7 DAFTAR GAMBAR Nomor Teks Halaman GAMBAR 1. GAMBAR 2. GAMBAR 3. GAMBAR 4. BEBERAPA JENIS ANEMON LAUT DARI BEBERAPA PERAIRAN DI INDONESIA (SUMBER FOTO: RIFA I )... 9 ANATOMI ANEMON LAUT (SUMBER: KRUPP, 2001). COM/INVERTEBRATES/CNIDARIA/ ANATOMI ANEMON LAUT (SUMBER: SHIMEK, 2006) SPESIES ANEMON LAUT YANG DITEMUKAN DI LOKASI PENELITIAN (RIFA I, 2016) GAMBAR 5. RATA-RATA KELIMPAHAN RELATIF (%) ANEMON LAUT BERDASARKAN STASIUN DI PERAIRAN DESA TELUK TAMIANG (N=45, RANGE=0.00%-21.43%, X=6.67%± 1.6%) (RIFA I, 2016) GAMBAR 6. RATA-RATA KELIMPAHAN RELATIF (%) ANEMON LAUT BERDASARKAN KEDALAMAN PERAIRAN DI PERAIRAN DESA TELUK (N=45, RANGE=2.38%-35.71%, TAMIANG X=11.117% ±1.5%) (RIFA I, 2016) GAMBAR 7. RATA-RATA DIAMETER TUBUH (IND/CM) ANEMON RAKSASA BERDASARKAN STASIUN DI PERAIRAN DESA TELUK TAMIANG (N=45, RANGE= CM, X=23.45± 0.16 CM) (RIFA I, 2016) GAMBAR 8. RATA-RATA DIAMETER TUBUH (IND/CM) ANEMON RAKSASA BERDASARKAN KEDALAMAN PERAIRAN DI PERAIRAN DESA TELUK TAMIANG (N=45, RANGE=0.00- vii

8 30.53 CM, X=26.77±0.39 CM) (RIFA I, 2016) GAMBAR 9. PETA KEDALAMAN PERAIRAN (M) DAN KELIMPAHAN RELATIF (%) ANEMON LAUT (ATAS). PETA KEDALAMAN PERAIRAN (M) DAN UKURAN DIAMETER TUBUH (CM) ANEMON LAUT (BAWAH) GAMBAR 10. PEMULIHAN TUBUH ENTACMAEA QUADRI- COLOR SETELAH PEMBELAHAN: (A) LUKA TERBUKA, (B) JARINGAN TUBUH (COLUMN) MENUTUP LUKA BEKAS PEMOTONGAN, (C) TUBUH MULAI BERWARNA NORMAL, DAN (D) MULUT MASIH TERTUTUP GAMBAR 11. PROSES PEMBELAHAN TUBUN ANEMON JENIS STICHODACTYLA GIGANTEA SECARA ARTIFISIAL (RIFA I, 1988) GAMBAR 12. ANEMON LAUT SETELAH DILAKUKAN PEMBELAHAN DAN PENJAHITAN. A= ANEMON SETELAH DIJAHIT, B=ANEMON YANG BELUM DIJAHIT (RIFA I, 1998) GAMBAR 13. TEKNIK PENJAHITAN TUBUH ANEMON GAMBAR 14. KONDISI TUBUH ANEMON SETELAH DILAKU- KAN PENJAHITAN (RIFA I, DKK., 2003) GAMBAR 15. HASIL PEMBELAHAN TUBUH ANEMON MENJADI 4 BAGIAN (RIFA I, DKK., 2003) GAMBAR 16. RATA-RATA SINTASAN (%) BENIH ANEMON LAUT SELAMA 60 HARI PEMELIHARAAN DI PERAIRAN DESA TELUK TAMIANG KALIMAN- TAN SELATAN (RIFA I, 2011) GAMBAR 17. HISTOGRAM DATA RATA-RATA TINGKAT PERTUMBUHAN MUTLAK (CM) ANEMON LAUT SELAMA 60 HARI MASA PEMELIHA- RAAN DI LABORATORIUM DAN PERAIRAN viii

9 DESA TELUK TAMIANG KALIMANTAN SELATAN (RIFA I, 2011) GAMBAR 18. ALGA ZOOXANTHELLAE (SYMBIODINIUM SP) (SUMBER: RUDWAN, 2000 DAN RIDDLE, 2006) GAMBAR 19. ANEMON LAUT AIPTASIA PALLIDA YANG MENGALAMI BLEACHING. A. ANEMON NORMAL YANG MENGANDUNG SIMBION ALGA ZOOXANTHELLAE. B. ANEMON YANG TELAH DITINGGALKAN SIMBION ALGA ZOOXAN- THELLAE (SUMBER: JOHNSON, 2007) GAMBAR 20. LOKASI ALGA ENDOSIMBIOTIK DALAM ANEMON LAUT. A. BAGIAN ORAL DISC ANTHOPLEURA ELEGANTISSIMA, TAMPAK BATAS-BATAS ZOOXANTHELLAE (ZX) HINGGA ENDODERM (EN) DAN KEBERADAANNYA DARI MESOGLEA (M) DAN ECTODERM (EPI). B. SISI TENTAKEL AIPTASIA PALLIDA, TAMPAK ZOOXANTHELLAE (ZX) DALAM VACOULA (V) SEL-SEL FLAGELLATA ENDODERMAL. SKALA BAR = 10 µm. C. SEL-SEL ENDODERMAL DARI MASERASI ENZIMATIK TENTAKEL A. PILLIDA, TAMPAK FLAGELLAE AFIKAL (F) DAN DUA ZOOXANTHELLAE YANG TERTUTUP DALAM MEMBRAN PLASMA SEL (PM). SKALA BAR = 3 µm. D. ZOOCHLORELLA DAN SEL-SEL DEBRIS DALAM VACOLULA SEL-SEL INANG ANTHOPLEURA XANTHOGRAMMICA. SKALA BAR = 1 µm. E. ZOOCHLORELLA BEBAS DALAM COELENTERON A. XANTHOGRAMMICA, MEMBRAN VACUOLA (M) SKALA BAR = 1 µm. (SUMBER: A. TRENCH (1971); B DAN C. GLIDER ET AL. (1980); D DAN E. O BRIEN (1980) GAMBAR 21. KONSENTRASI ALGA ZOOXANTHELLAE PADA TENTAKEL DAN ORAL DISK. TAMPAK KANDUNG- ix

10 AN KLOROFIL DAN SUPEROXIDE DISMUTASE (SOD) DAN AKATIFITAS KATALASE PADA DAERAH YANG BERBEDA DARI ANTHOPLEURA ELEGANTISSIMA. (SUMBER: DYKENS AND SHICK, 1984) GAMBAR 22. LIGHT AND CONFOCAL IMAGES OF SYMBIO- DINIUM CELLS IN HOSPITE (LIVING IN A HOST CELL) WITHIN SCYPHISTOMAE OF THE JELLY- FISH CASSIOPEA XAMACHANA. THIS ANIMAL REQUIRES INFECTION BY THESE ALGAE TO COMPLETE ITS LIFE CYCLE. THE CHLOROPLAST IMAGED IN 3-D IS HIGHLY RETICULATED AND DISTRIBUTED AROUND THE CELL S PERIPHERY (WIKIPIDIA, 2016) GAMBAR 23. SYMBIODINIUM REACH HIGH CELL DENSITIES THROUGH PROLIFIC MITOTIC DIVISION IN THE ENDODERMAL TISSUES OF MANY SHALLOW TROPICAL AND SUB-TROPICAL CNIDARIANS. THIS IS A SEM OF A FREEZE-FRACTURED INTERNAL MESENTERY FROM A REEF CORAL POLYP (PORITES PORITES) THAT SHOWS THE DISTRIBUTION AND DENSITY OF SYMBIONT CELLS (WIKIPIDIA, 2016) GAMBAR 24. RATA-RATA DENSITAS ZOOXANTHELLAE DARI ANEMON AF2 (FRAGMENTASI 2 BAGIAN) (X±SE=0,24±0,149, N=30), ANEMON AF4 (FRAGMENTASI 4 BAGIAN) (X±SE=9,17± 0,225, N=30), DAN ANEMON AA (ALAMI NON FRAGMEN- TASI) (X±SE= 10,87±0,071, N=30) YANG DIKULTUR PADA KAWASAN TERUMBU KARANG DOMINAN RUSAK (KR) DAN BAIK (KB) SELAMA 10 BULAN GAMBAR 25. RATA-RATA DENSITAS ZOOXANTHELLAE ANTAR ANEMON AF2 (FRAGMENTASI 2 BAGIAN), AF4 (FRAGMENTASI 4 BAGIAN), DAN AA (ALAMI NON x

11 FRAGMENTASI) SELAMA 10 BULAN PEMELIHA- RAAN DI KAWASAN TERUM BU KARANG DOMINAN RUSAK (KR) DAN DOMINAN BAIK (KB) (X±SE=10,30±0,118, N = 90) GAMBAR 26. RATA-RATA DENSITAS ZOOXANTHELLAE ANTAR KAWASAN TERUMBU KARANG DOMINAN DOMINAN RUSAK (KR) DAN DOMINAN BAIK (KB) ANEMON AF2 (FRAGMENTASI 2 BAGIAN), AF4 (FRAGMEN- TASI 4 BAGIAN), DAN AA (ALAMI NON FRAGMEN- TASI) SELAMA 10 BULAN PEMELIHARAAN (X±SE=10,30±0,118, N = 90) GAMBAR 27. RATA-RATA DENSITAS ZOOXANTHELLAE ANTAR BULAN PEMELIHARAAN ANEMON AF2 (FRAGMENTASI 2 BAGIAN), AF4 (FRAGMEN- TASI 4 BAGIAN), DAN AA (ALAMI NON FRAG- MENTASI) YANG DIKULTUR PADA KAWASAN TERUMBU KARANG DOMINAN RUSAK (KR) DAN DOMINAN BAIK (KB) SELAMA 10 BULAN (X±SE=10,30±0,118, N = 90) GAMBAR 28.BAGIAN TUBUH UTAMA YANG HARUS DIMILIKI SETIAP BENIH ANEMON HASIL REPRODUKSI ASEKSUAL DENGAN TEKNIK FRAGMENTASI. A=TENTAKEL, B=SIFONOGLYFA, C=LINGKAR MULUT, D=BADAN, E=LINGKAR KAKI (SUMBER: BOOLOOTIAN & STILES, 1976) GAMBAR 29. LOKASI ALGA ZOOXANTHELLAE DALAM JARINGAN TENTAKEL ANEMON (SUMBER: GIBBONS, 2008) GAMBAR 30. LOKASI ALGA ZOOXANTHELLAE PADA JARINGAN ORAL DISC ANEMON. ZOOXAN- THELLAE (ZX), ENDODERM (EN), MESOGLEA (M), DAN ECTODERM (EPI) (SUMBER: TRENCH, 1971) xi

12 GAMBAR 31. (A). ALGA ZOOXANTHELLAE YANG MELIMPAH PADA PERMUKAAN BAGIAN DALAM DARI LAPISAN ENDODERMIS ANEMON AIPTASIA PUICHELLA 234X. (B) ALGA ZOOXANTHELLAE MASIH BERADA DALAM SEL-SEL INANG. FLA- GELLATA SEL-SEL INANG DAN SEL-SEL INANG MULAI MEMBELAH DAN TAMPAK PERMUKAAN ZOOXANTHELLAE (ANAK PANAH) 2400X. (C) ALGA ZOOXANTHELLAE MUNCUL DARI SEL-SEL INANG (ANAK PANAH) 4750X. (D) ZOOXAN- THELLAE HILANG DARI EXOCYTOTIC CUP (ANAK PANAH) 3250X (SUMBER: STEEN AND MUSCATINE, 1987) GAMBAR 32. JARINGAN GASTRODERMAL KARANG AGARICIA SP GAMBAR 33. PERKEMBANGAN DENSITAS ZOOXANTHELLAE ANTAR ANEMON AF2, AF4, DAN AA SELAMA 10 BULAN PEMELIHARAN (NOPEMBER 2007 SAMPAI JULI 2008) DAN PREDIKSI PADA BULAN KE-12 MASA PEMELIHARAAN (SEPTEMBER 2008) GAMBAR 34. RATA-RATA DENSITAS KLOROFIL-A ZOO- XANTHELLAE DARI ANEMON AF2 (X±SE=39,79±1,027,N=30), ANEMON AF4 (X±SE=39,79±0,96, N = 30), DAN ANEMON AA (X±SE=45,34±0,30, N = 30) YANG DIKULTUR PADA KAWASAN TERUMBU KARANG DOMINAN RUSAK (KR) GAMBAR 35. RATA-RATA DENSITAS KLOROFIL-A ANTAR ANEMON AF2 (FRAGMENTASI 2 BAGIAN), AF4 (FRAGMENTASI 4 BAGIAN), DAN AA (ALAMI NON FRAGMENTASI) DI KAWASAN TERUMBU KARANG DOMINAN RUSAK (KR) DAN DOMINAN BAIK (KB) SELAMA 10 BULAN PEMELIHARAAN (X±SE=41,64±0,55, N = 90) xii

13 GAMBAR 36. RATA-RATA DENSITAS KLOROFIL-A ANTAR KAWASAN TERUMBU KARANG DOMINAN RUSAK (KR) DAN DOMINAN BAIK (KB) ANEMON AF2 (FRAGMENTASI 2 BAGIAN), AF4 (FRAGMEN- TASI 4 BAGIAN), DAN AA (ALAMI NON FRAG- MENTASI SELAMA 10 BULAN PEMELIHARAAN (X±SE=41,64±0,55, N = 90) GAMBAR 37. RATA-RATA DENSITAS KLOROFIL-A ANTAR BULAN PEMELIHARAAN ANEMON AF2, AF4, DAN AA DI KAWASAN TERUMBU KARANG DOMINAN RUSAK (KR) DAN DOMINAN BAIK (KB) (X±SE=41,64±0,55, N = 90) GAMBAR 38. STRUKTUR KLOROPLAS GAMBAR 39. RATA-RATA INDEKS MITOTIK ZOOXAN- THELLAE (X±SE= 6,273±0,076, N = 240) BERDASARKAN WAKTU PENGAMATAN SELAMA 24 JAM. AA: ANEMON LAUT NON FRAG- MENTASI, AF2: ANEMON LAUT HASIL FRAGMENTASI 2 BAGIAN, AF4: ANEMON LAUT HASIL FRAGMENTASI 4 BAGIAN (RIFA I AND JUSOFF, 2013) GAMBAR 40. RATA-RATA INDEKS MITOTIK ZOOXAN- THELLAE (X±SE= 6,273±0,076, N = 240) BERDASARKAN SUMBER ANEMON LAUT. AA: ALAMI NON FRAGMENTASI, AF2: FRAGMEN- TASI 2 BAGIAN, AF4: FRAGMENTASI 4 BAGIAN (RIFA I AND JUSOFF, 2013) GAMBAR 41. RATA-RATA INDEKS MITOTIK ZOOXAN- THELLAE (X±SE= 6,273±0,076, N = 240) BERDASARKAN BULAN PEMELIHARAAN. AA: ALAMI NON FRAGMENTASI, AF2: FRAGMEN- TASI 2 BAGIAN, AF4: FRAGMENTASI 4 BAGIAN (RIFA I AND JUSOFF, 2013) xiii

14 GAMBAR 42. RATA-RATA INDEKS MITOTIK ZOOXAN- THELLAE (X±SE= 6,273±0,076, N = 240) BERDASARKAN LOKASI PEMELIHARAAN. AA: ALAMI NON FRAGMENTASI, AF2: FRAGMEN- TASI 2 BAGIAN, AF4: FRAGMENTASI 4 BAGIAN, KB: KARANG DOMINAN BAIK, KR: KARANG DOMINAN RUSAK (RIFA I AND JUSOFF, 2013) GAMBAR 43. POPULASI ZOOXANTHELLAE ANEMONE ANTHOPLEURA AUREORADIATA X=SEL ZOOXANTHELLAE YANG SEDANG MEM- BELAH MENJADI DOUBLET (SUMBER: GIBBONS, 2008) GAMBAR 44. GRAFIK KISARAN RATA-RATA SUHU PERAIRAN PADA SAAT PENGAMATAN INDEKS MITOTIK ZOOXANTHELLAE SELAMA 24 JAM (RIFA I AND JUSOFF, 2013) GAMBAR 45. RATA-RATA CZAR ANTAR ANEMON AF2 (FRAGMENTASI 2 BAGIAN), AF4 (FRAGMEN- TASI 4 BAGIAN), DAN AA (ALAMI NON FRAG- MENTASI SELAMA 10 BULAN PEMELIHARAAN DI KARANG DOMINAN RUSAK (KR) DAN DOMINAN BAIK (KB) (X±SE=69, 8±0,65, N=90) (RIFA I, 2009) GAMBAR 46. RATA-RATA CZAR ANTAR BULAN PEMELIHARAAN ANEMON AF2 (FRAGMEN- TASI 2 BAGIAN), AF4 (FRAGMENTASI 4 BAGIAN), DAN AA (ALAMI NON FRAGMEN- TASI) PADA KARANG DOMINAN RUSAK (KR) DAN DOMINAN BAIK (KB) (X±SE=69,18± 0,65, N=90) (RIFA I, 2009) GAMBAR 47. RATA-RATA CZAR ANTAR KAWASAN TERUMBU KARANG ANEMON AF2 (FRAG- MENTASI 2 BAGIAN), AF4 (FRAGMENTASI 4 BAGIAN), DAN AA (ALAMI NON FRAGMENTASI) xiv

15 SELAMA 10 BULAN PEMELIHARAAN (X±SE = 69,18±0,65, N = 90) (RIFA I, 2009) GAMBAR 48. POLA FRAGMEN DNA GENOM ZOOXAN- THELLAE ANEMON LAUT YANG DIAMPLIFI- KASI DENGAN PRIMER-2: P1, P3, P4 = ZOOXANTHELLAE YANG DIAMBIL DARI ANEMON YANG DIFRAGMENTASI MENJADI 2 BAGIAN, P7, P8, P9 = ANEMON ALAM, P12, P13, P14 = ZOOXANTHELLAE YANG DIAMBIL DARI ANEMON YANG DIFRAG- MENTASI MENJADI 4 BAGIAN (RIFA I, 2011) GAMBAR 49. POLA FRAGMEN DNA GENOM ZOOXAN- THELLAE ANEMON LAUT YANG DIAMPLIFI- KASI DENGAN PRIMER-3: P1, P3, P4 = ZOOXANTHELLAE YANG DIAMBIL DARI ANEMON YANG DIFRAGMENTASI MENJADI 2 BAGIAN, P7, P8, P9 = ANEMON ALAM, P12, P13, P14 = ZOOXANTHELLAE YANG DIAMBIL DARI ANEMON YANG DIFRAG- MENTASI MENJADI 4 BAGIAN (RIFA I, 2011) GAMBAR 50. POLA FRAGMEN DNA GENOM ZOOXAN- THELLAE ANEMON LAUT YANG DIAMPLIFI- KASI DENGAN PRIMER-4: P1, P3, P4 = ZOOXANTHELLAE YANG DIAMBIL DARI ANEMON YANG DIFRAGMENTASI MENJADI 2 BAGIAN, P7, P8, P9 = ANEMON ALAM, P12, P13, P14 = ZOOXANTHELLAE YANG DIAMBIL DARI ANEMON YANG DIFRAG- MENTASI MENJADI 4 BAGIAN (RIFA I, 2011) GAMBAR 51. POLA FRAGMEN DNA GENOM ZOOXAN- THELLAE ANEMON LAUT YANG DIAMPLIFI- KASI DENGAN PRIMER2-4: P1, P3, P4 = ZOOXANTHELLAE YANG DIAMBIL DARI ANEMON YANG DIFRAGMENTASI MENJADI 2 BAGIAN, P7, P8, P9 = ANEMON ALAM, xv

16 P12, P13, P14 = ZOOXANTHELLAE YANG DIAMBIL DARI ANEMON YANG DIFRAG- MENTASI MENJADI 4 BAGIAN (RIFA I, 2011) GAMBAR 52. DENDROGRAM 9 POPULASI ZOOXAN- THELLAE BERDASARKAN PENANDA ISSR MENGGUNAKAN 4 PRIMER (RIFA I, 2011) GAMBAR 53. HUBUNGAN MUTUALISME ANTARA SIMBION ALGA ZOOXANTHELLAE DAN INANG ANEMON LAUT GAMBAR 54. DINAMIKA SIMBION ALGA ZOOXANTHELLAE YANG DITEMUKAN PADA ANEMON LAUT HASIL REPRODUKSI ASEKSUAL xvi

17 DAFTAR TABEL Nomor Teks Halaman TABEL 1. ANALISIS KERAGAMAN TINGKAT PERTUM- BUHAN MUTLAK (CM) BENIH ANEMON SELAMA 60 HARI MASA PEMELIHARAAN TABEL 2 DENSITAS ZOOXANTHELLAE TABEL 3. DENSITAS KLOROFIL-A ZOOXANTHELLAE ANTAR PERLAKUKAN FRAGMENTASI, ANTAR, DAN ANTAR WAKTU PEMELIHARAAN TABEL 4. INDEKS MITOTIK ZOOXANTHELLAE ANTAR WAKTU PENGAMATAN, FRAGMENTASI TUBUH ANEMON, PEMELIHARAAN, DAN LOKASI PEMELIHARAAN TABEL 5. CZAR ANTAR PERLAKUKAN FRAGMENTASI TUBUH ANEMON, LOKASI PEMELIHARAAN, DAN WAKTU PEMELIHARAAN TABEL 6. JUMLAH PROFIL DNA HASIL ANALISIS ISSR MENGGUNAKAN 4 PRIMER xvii

18 I. PENDAHULUAN Salah satu organisme yang selama masa hidupnya selalu menetap dan mencari makan di kawasan terumbu karang adalah anemon laut. Anemon laut merupakan salah satu jenis karang dari filum Cnidaria. Karang dan anemon adalah anggota taksonomi kelas yang sama, yaitu Anthozoa. Perbedaan utama adalah karang menghasilkan kerangka luar dari kalsium karbonat, sedangkan anemon tidak. Anemon memiliki nilai ekonomis penting. Hewan ini sangat populer sebagai bahan makanan laut (Sea Food), terutama di luar negeri antara lain Perancis, Jepang, Korea, dan Kepulauan Pasifik bagian timur, juga sebagian kecil penduduk kepulauan Indonesia seperti penduduk Kepulauan Seribu. Nilai ekonomis penting lainnya dari anemon laut adalah dapat dijadikan sebagai hewan pengisi akuarium yang sangat indah dan menarik karena memiliki bentuk tubuh yang meyerupai bunga beraneka warna. Karena itu, hewan ini sangat digemari oleh para penggemar aquarium laut. Menurut Suwignyo dkk., (2005), beberapa jenis anemon laut seperti Actinaria equima, Anemonia sulcata, Bunodactis verrocosa, Redianthus malu, dan Stoichactis keuti telah di ekspor ke Singapura, Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada sebagai anemon hias untuk akuarium laut. Selain memiliki nilai ekonomis, anemon laut juga memiliki nilai ekologis. Anemon laut merupakan inang berbagai anemonfishes (Fautin and Allen, 1997; Richardson, 1999; Astakhov, 2002; Randall and Fautin, 2002; dan Shimek, 2006). Tidak kurang 51 spesies ikan melakukan simbiosis fakultatif dengan anemon laut, khususnya di perairan tropis (Arvedlund et al., 2006). Selanjutnya menurut Allen (1974), anemon menjadi tempat hidup bersama bagi 26 jenis ikan hias Amphiprion termasuk 1 jenis Premas biaculeatus. 1

19 Anemon laut dan ikan Amphiprion akan hidup dan tumbuh dengan baik apabila hidup bersama-sama, tetapi apabila hidup sendiri-sendiri tanpa simbiosis mutualisme maka salah satu atau keduanya akan terganggu pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya (Allen,1975 dan Randall et.al., 1990). Selain anemonfishes, pada sel-sel endodermis karang dan anemon laut melimpah pula sel-sel alga zooxanthellae sebagai simbion intraselluler (Rinkevick, 1989; Muscatine and Wels, 1992; dan Fautin and Allen, 1997). Densitas zooxanthellae anemon laut Stichodactyla gigantea mencapai 11,46 x 10 6 sel/cm 2 (Niartiningsih, 2001). Kehadiran alga zooxanthellae ini telah memberikan andil yang besar dalam sistem daur energi anemon, lingkungannya, dan biota lainnya yang berasosiasi. Hasil penelitian menunjukkan interaksi antara alga zooxanthellae sebagai simbion dengan inangnya bersifat mutualisme, yaitu hubungan yang saling menguntungkan antara keduanya. Menurut Taylor (1969), inang memberikan perlindungan, beberapa metabolisme seperti karbon dioksida, dan beberapa nutrisi kepada alga. Alga memanfaatkan produk-produk ekskresi inang seperti fosfor esensial, sulfur, senyawa nitrogen dari inangnya (McLaughlin et al., 1964). Alga zooxanthellae yang hidup bersimbiosis dengan anemon memiliki kemampuan untuk melakukan aktifitas fotosintesis dan menghasilkan nutrisi karbon yang selanjutnya disumbangkan ke inang dan lingkungan perairan di sekitarnya (Taylor, 1969 dan Muscatine et al., 1981). Translokasi karbon merupakan sumber energi utama untuk inang (Streamer et al., 1993) dan selanjutnya digunakan untuk membentuk glukosa, gliserol, asam amino dan kemungkinan lemak (Muscatine, 1967; Muscatine et al., 1984; dan Sutton and Hoegh-Guldberg, 1990). Alga zooxanthellae inilah yang diduga memberikan kontribusi terhadap fitness 2

20 inang-inangnya dan produktivitas primer terhadap komunitas di sekitarnya. Dengan demikian sangat jelas bahwa kehadiran alga zooxanthellae yang hidup bersimbiosis pada anemon laut dan karang sangat penting mengingat kondisi lingkungan perairan laut miskin nutrient. Kehadiran alga zooxanthellae pada sel-sel endodermis menjadi sangat penting bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan anemon laut. Zooxanthellae adalah sel tunggal berupa alga dinoflagellata yang hidup bersimbiosis dalam sel-sel beberapa binatang laut seperti kebanyakan terumbu yang membentuk karang di daerah tropis dan anemon laut, beberapa hydroid, dan semua giant clam (Fautin and Allen, (1997). Kehadiran anemon laut pada ekosistem terumbu karang diduga dapat meningkatkan kinerja efisiensi energi pada ekosistem terumbu karang. Hal ini disebabkan anemon laut di samping mampu memproduksi oksigen dengan adanya alga zooxanthellae juga mampu mengundang kehadiran ikan-ikan karang terutama ikan Amphiprion sehingga meningkatkan keragaman struktur tropik pada ekosistem terumbu karang. Hasil penelitian menunjukkan, alga zooxanthellae mampu memberikan kontribusi terhadap fitness inanginangnya dan produktivitas primer perairan disekitarnya. Ada kecenderungan zooxanthellae menjadi faktor-faktor pengendali dalam kelimpahan dan distribusi anemon laut. Zooxanthellae pada anemon laut (Anemonia sulcata) ternyata mampu mentransfer 60% dari total karbon yang difiksasi melalui proses fotosintesis. Anemon dan ikan-ikan anemon sangat rentan terhadap eksploitasi yang berlebihan. Hal ini disebabkan koloni anemon jarang bergerak sehingga sangat mudah ditangkap oleh kolektor, anemon tumbuh lambat dan berumur panjang, ikan anemon sangat terbatas 3

21 kemampuan penyebarannya, dan kedua kelompok organisme yang saling tergantung satu sama lain (Fautin and Allen, 1997; Wilkerson, 1998; Jones, et al., 2005; Shuman et al., 2005; Almany et al., 2007, dan Frisch and Hobbs, 2009). Perkembangan jumlah penduduk yang sangat cepat serta berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan pemanfaatan anemon laut terus meningkat terutama untuk memenuhi permintaan pasar ikan hias domestik dan ekspor. Sebagai contoh, di Sulawesi Selatan menurut Balai Besar Karantina Ikan Sulawesi Selatan, data lalu lintas domestik dan ekspor anemon laut pada tahun 2002 hanya mencapai ekor dan pada tahun 2006 telah terjadi peningkatan yang sangat signifikan hingga mencapai ekor. Kondisi serupa diduga terjadi pula di beberapa propinsi lainnya di Indonesia seperti Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Hingga saat ini eksploitasi anemon masih mengandalkan usaha penangkapan di alam dan belum ada hasil usaha budidaya. Jika kondisi ini dibiarkan maka suatu saat akan terjadi penurunan populasi. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pemanfaatan yang berkelanjutan, kelestarian sumberdaya anemon perlu dijaga dan dipertahankan melalui suatu kebijaksanaan pengelolaan yang tepat, diantaranya melalui upaya restocking dan budidaya. Upaya tersebut tentunya membutuhkan benih-benih anemon dalam jumlah besar dan berkualitas yang bersumber dari hasil teknologi pembenihan dan bukan dari hasil penangkapan di alam. Berdasarkan latar belakang tersebut maka pengembangan teknologi pembenihan untuk memproduksi massal benih anemon menjadi sangat penting. Hasil penelitian menunjukkan anemon laut jenis Stichodactyla gigantea dapat direproduksi secara seksual maupun aseksual. Cara yang umum dilakukan 4

22 oleh anemon laut jenis ini di alam adalah reproduksi aseksual (Barnes, 1963; Russel and Hunter, 1979; McConnaughey and Zottoli, 1983; dan Nybakken, 1992), yaitu dengan cara memutuskan bagian lingkar kakinya pada saat binatang tersebut berpindah tempat. Bagian kaki yang tertinggal akan muncul gelembung-gelembung (semacam kuncup) yang selanjutnya memisahkan diri dan pada akhirnya beregenerasi menjadi anemonanemon kecil (Barnes, 1963). Sedangkan menurut McConnaughey and Zottoli (1983), anemon ini melakukan reproduksi aseksual dengan merangkak secara perlahan ke arah yang berlawanan hingga tubuhnya terputus menjadi dua bagian. Bagian tersebut kemudian membulat dan hidup menjadi anemonanemon baru. Tiga jenis anemon laut dari famili Stichodactylidae dapat melakukan reproduksi secara aseksual dengan pembelahan membujur (longitudinal) dan melintang (transversal). Ketiga jenis anemon laut ini adalah Stichodactyla helianthus, Entacmaea quadricolor, dan Heteractis maginifica (Dunn, 1981). Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa anemon laut jenis Stichodactyla gigantea dapat pula dikembangbiakan secara aseksual dengan teknik fragmentasi tubuh secara longitudinal (Rifa i, 1998; Rifa i dkk., 2003, 2004, 2005; Rifa i dan Kudsiah, 2007; dan Rifa i dkk., 2008). Namun hasil penelitian ini hanya mengungkapkan teknik perekayasaan fragmentasi tubuh dan kajian sintasan benih hingga pendederan 30 hari di perairan alam. Sedangkan informasi bioekologinya masih belum terungkap, terutama efek fragmentasi tubuh yang diduga menimbulkan stress bagi anemon dan dampaknya bagi kehadiraan biota yang bersimbiosis seperti alga zooxanthellae. Stress ini dapat mengakibatkan warna tubuh karang dan anemon mengalami kepudaran yang dikenal dengan istilah bleaching. Bleaching disebabkan adanya reduksi 5

23 densitas populasi zooxanthellae (Hoegh-Guldberg and Smith, 1989a,b dan Suharsono, 1990), reduksi pigmenpigmen fotosintesis (Vaughan, 1914 dan Coles and Jokiel, 1977), atau kombinasi keduanya (Glyn and D Croz, 1990 dan Lasser et al., 1990). Dengan demikian maka reproduksi aseksual dengan teknik fragmentasi tubuh ini memberikan efek stress bagi benih anemon laut yang dihasilkan. Stress ini sangat berpotensi menyebabkan terganggunya fungsifungsi biologis tubuh karena aktifitas metabolismenya terkonsentrasi pada upaya pemulihan luka tubuh pasca fragmentasi. Sedangkan fungsi biologisnya lainnya seperti suplai nutrisi bagi simbionnya turut mengalami gangguan. Akibat gangguan ini diduga berdampak pula terhadap dinamika alga zooxanthellae yang hidup bersimbiosis pada jaringan endodermis anemon laut. Untuk itu maka dibutuhkan upaya pengkajian dengan melakukan pengukuran kuantitatif dinamika alga zooxanthellae meliputi parameter densitas zooxanthellae, densitas klorofil-a zooxanthellae, indeks mitotik zoxanthellae, kontribusi karbon yang dihasilkan alga zooxanthellae terhadap inang anemon laut (CZAR), dan variasi genetik zooxanthella. Kelima parameter ini memiliki korelasi sangat kuat terhadap efek fragmentasi tubuh anemon pada saat pelaksanaan reproduksi aseksual. Dengan diketahuinya data kelima parameter tersebut maka akan diketahui pola dinamika alga zooxanthellae yang ditemukan pada anemon alami dan hasil reproduksi aseksual. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang reproduksi aseksual anemon laut dan upaya pengembangan teknologi pembenihannya. Selain itu diharapkan pula dapat memberikan informasi ilmiah tentang kualitas benih yang dihasilkan sehingga dapat diaplikasikan untuk kepentingan konservasi dan budidaya komersial. 6

24 Dinamika simbion alga zooxanthellae pada anemon laut masih sangat sedikit di bahas dan dipublikasikan oleh para ahli biologi dan ekologi kelautan. Buku ini mencoba mereview pola tersebut yang diambil dari berbagai literatur seperti jurnal, teks book, majalah, artikel, dan beberapa hasil penelitian nasional dan internasional. 7

25 A.Deskripsi II. MENGENAL ANEMON LAUT Anemon laut merupakan salah satu jenis karang dari filum Cnidaria. Karang dan anemon laut adalah anggota taksonomi kelas yang sama, yaitu Anthozoa. Perbedaan utama adalah karang menghasilkan kerangka luar dari kalsium karbonat, sedangkan anemon tidak (Nybakken, 1992). Lebih dari 1000 spesies anemon laut ditemukan di perairan pantai, perairan dangkal (terumbu karang), dan perairan laut dalam di seluruh dunia (Fautin and Allen, 1997). Anemon laut adalah binatang invertebrata yang tidak memiliki tulang belakang atau tidak memiliki skeleton pada seluruh tubuhnya. Anemon merupakan hewan predator yang tampak seperti bunga, memiliki berbagai bentuk, ukuran, dan warna. Tubuhnya radial semetrik, columnar dan memiliki satu lubang mulut yang dikelilingi oleh tentakel. Tentakel dapat melindungi tubuhnya terhadap serangan predator lain dan dapat pula digunakan untuk menangkap makanannya. Anemon laut biasanya memiliki ukuran diameter tubuh 1 4 inchi (2,5 10 cm), tetapi beberapa anemon ada juga yang dapat tumbuh mencapai diameter tubuh 6 kaki (1,8 m) (Gambar 1). Secara umum anemon laut adalah polyp yang merupakan hewan berkantung yang mempunyai tentakel dan mulut pada salah satu ujungnya dan pada ujung seberangnya mempunyai pedal disk yang secara khusus digunakan untuk melengket (Shimek, 2006), (Gambar 2). Menurut Fautin and Allen (1997), anemon laut adalah binatang invertebrata atau binatang yang tidak memiliki tulang belakang. Anemon mempunyai beberapa filum yang dikenal dengan nama Cnidaria atau Coelenterata. Nama Cnidaria didasarkan adanya cnidae 8

26 Sticodactyla gigataea (Foto Rifa i, Perairan Barrang Lompo, Sulsel, 2009) Entacmaea quadricolor (Foto Rifa i, Perairan Teluk Tamiang Kalsel, 2015) Sticodactyla martensii (Foto Rifa i, Perairan Natuna, Kepulauan Riau, 2011) Rhodactis indosinensis (Foto Rifa i, Perairan Lai, Maluku Tengah 2014) Sticodactyla martensii (Foto Rifa i, Perairan Natuna, Kepulauan Riau, 2011) Heteractis magnifica (Foto Rifa i, Perairan Lai, Maluku Tengah 2014) Gambar 1. Beberapa jenis anemon laut dari beberapa perairan di Indonesia (Sumber Foto: Rifa i ) 9

27 Gambar 2. Anatomi Anemon Laut (Sumber: Krupp, 2001). Cnidaria/Hexacorallia.html atau nematocyst yang dihasilkan dari filum ini. Sedangkan nama Coelenterara didasarkan adanya hollow gut yang ditemukan dalam rongga tubuh dan berhubungan dengan stomach, paru-paru, intestin, sistem sirkulasi, dan lain-lain. Pada bagian atas rongga tubuh ditemukan mulut yang dapat dilalui air, makanan, dan gamet. Mulut ini dikelilingi oleh tentakel yang dapat mengeluarkan nematocyst. Tentakel aktif menangkap makanan dan memasukkannya ke dalam mulut. Selain itu juga digunakan untuk pertahanan. Sedangkan menurut Nurachmad dan Sumadiyo (1992), anemon laut adalah binatang yang seluruh tubuhnya lunak dan mempunyai tentakel di bagian atas, serta mengeras bagian bawah yang dipergunakan sebagai alat untuk menempel pada benda lain. Jika dipandang 10

28 sangat menarik karena beraneka warna dengan lambaian tentakel yang selalu mengikuti gerakan air. Menurut Dunn (1981), anatomi tubuh anemon Stichodactyla gigantea terdiri atas empat bagian yaitu dasar (base), badan (column), lingkar mulut (oral disc), dan tentakel (tentacle). Dasar (base) tubuh Stichodactyla gigantea berbentuk kaku, tidak beraturan tergantung pada lapisan (substrat) yang ditempatinya. Lebarnya kadangkala sedikit lebih kecil dari bagian badannya, tetapi garis tengah pada umumnya lebih kecil dari garis tengah lingkar mulut. Binatang ini biasanya memiliki warna dasar yang sama dengan badan walaupun dengan corak yang lebih muda. Badan (column) Stichodactyla gigantea umumnya pendek (kurang lebih setengah dari garis tengah lingkar mulut), tetapi dapat memanjang tergantung kedalaman obyek tempat menempel lingkar kakinya (pedal disc). Badan binatang ini agak tembus cahaya dengan warna bervariasi dari coklat kekuningan atau kemerahmudaan sampai coklat keoranyean melalui hijau muda sampai biru kehijauan dan hijau kelabu. Badan bagian bawah halus dan memanjang secara vertikal dari dasar (base) untuk jarak yang pendek, terletak tepat atau tegak lurus dari badan bagian atas yang terang dengan corak atau warna yang lebih gelap (karena zooxhantellae endodermal) dan dilengkapi dengan kutil-kutil (verrucae). Susunan verrucae kebanyakan endocoelic 8 10 berukuran lebih panjang (susunan ketiga hingga keempat dari bagian atas paling panjang) dengan sejumlah susunan lebih pendek diantaranya. Diameter 1 2 mm pada hewan muda hingga 4 5 mm pada hewan besar. Warna verrucae biru hingga ungu hingga maroon, biasanya kontras dengan warna tubuh, namun sering kurang nyata pada hewan muda yang memiliki warna yang pucat. Debris tidak terikat atau berpegang dengan verrucae. Lingkar mulut (oral disc) Stichodactyla gigantea bergelombang, 11

29 terutama pada individu-individu yang lebih besar dengan garis tengah 500 mm pada saat hidup. Sebagian besar barisan tentakel hanya menempati setengah atau kurang dari bagian luar lingkar mulut. Warna sama dengan bagian bawah atau tentakel, di daerah sekitar mulut berwarna hijau, kuning maupun keoranyean dan dapat memiliki warna yang sama dengan badannya. Tentakel (tentacle), seluruh tentakel Stichodactyla gigantea termasuk kelompok rongga luarnya (exocoelic) memiliki bentuk sedikit lonjong dari pangkal sampai bagian ujung yang tumpul. Pada umumnya terdapat barisan tentakel dengan lima puluh atau lebih tentakel. Letak tentakel yang mendekati mulut tersusun dalam barisan tunggal dan ganda semakin ke tepi. Barisan rongga dalam (endocoelic) yang terpendek memiliki tiga sampai lima buah tentakel. Pada saat binatang ini masih hidup tentakelnya bersifat sangat lekat. Menurut Shimek (2006), secara umum anemon laut adalah polip yang merupakan hewan berkantung yang mempunyai tentakel dan mulut pada salah satu ujungnya dan pada ujung seberangnya mempunyai pedal disc yang secara khusus digunakan untuk melengket (Gambar 3). Otot dan daerah datar ini mempunyai kelenjar epidermis yang menghasilkan mukus bergetah yang membantunya untuk menemukan substrat. Dinding tubuh anemon terdiri tiga lapisan. Lapisan pertama dinamakan mesoglea yaitu lapisan tengah non selluler yang terletak di antara dua lapisan jaringan. Lapisan jaringan terluar disebut epidermis sedangkan yang bagian dalam disebut gastrodermis. Kebanyakan anemon memiliki mesoglea tebal berserat dan bentuknya tidak rata dan mempunyai lembaran material protein yang tahan lama sehingga gastrodermis dan epidermis dapat berhubungan. Bagian dalam dari kantong adalah usus (isi perut) yang dikenal dengan sebutan rongga coelenteron atau rongga gastrovascular. 12

30 Gambar 3. Anatomi anemon laut (Sumber: Shimek, 2006) Bentuk tubuh anemon adalah sederhana, meskipun demikian secara signifikan dapat diubah oleh seleksi alam. Mulut tidak panjang mempunyai lubang (hole) terbuka hingga bagian dalam. Dekat sisi dalam mulut bagian bawah, secara internal berhubungan dengan tubular yang disebut pharynx. Selanjutnya, lembaran jaringan tipis yaitu septa berhubungan dengan dinding tubuh bagian luar mengarah ke bagian tengah dari rongga. Beberapa diantaranya berhubungan dengan pharynx. Septa-septa ini membagi usus ke dalam 13

31 beberapa compartement besar pada bagian atasnya tetapi semuanya terbuka terhadap lubang pusat pada bagian bawah. Jika anemon dibelah melintang paralel dengan substrat, maka pada bagian dalam akan nampak terbagi-bagi lagi dalam bagian-bagian sempit yang disebut bagian pie slice-shaped Septa-septa ini juga berhubungan dengan tentakel-tentakel. Dinding septa berhubungan dengan sisi-sisi dasar dari tentakel. Konsekuensinya, jumlah tentakel secara normal seimbang dengan jumlah septa. Berkaitan dengan bagian dalam tubuh, sisi tengah septa dibawah phariyx, sering memanjang ke luar seperti benang berupa untaian-untaian internal yang disebut filamen. Filamen ini mengandung nematocyst yang digunakan untuk membunuh mangsanya. Boolootian and Stiles (1976), membagi kelas Anthozoa menjadi lima bagian yaitu tentakel, sifonoglyfa, lingkar mulut, badan, dan lingkar kaki. Menurut Fautin and Allen (1997), pola warna anemon laut menjadi sangat penting untuk identifikasi di lapangan, tetapi warna itu sendiri memiliki variasi yang sangat tinggi pada kebanyakan actinian sehingga memiliki nilai diagnosa yang kecil. Simbiosis alga dapat mempengaruhi warna anemon yang akan menghasilkan warna coklat keemasan atau merangsang binatang memproduksi pigmen yang melindungi alga dari sinar matahari yang berlebihan. B.Habitat dan Sebaran Penyebaran anemon laut sangat luas mulai perairan sub tropis hingga perairan tropis. Di alam bebas anemon ditemukan hidup secara soliter dan bergerombol membentuk koloni. Anemon yang hidup soliter termasuk dalam bangsa atau ordo Actinaria, sedang yang hidup bergerombol termasuk dalam bangsa atau ordo 14

32 Zoanthidea (Dunn, 1981 dan Suharsono, 1982). Anemon hidup di dasar laut menempel pada benda keras, pecahan karang, pasir. Ada pula yang sedikit membenamkan bagian tubuhnya ke dasar tanah yang agak berlumpur. Anemon umumnya dijumpai pada daerah terumbu karang yang kurang subur dan dangkal, di goa atau di lereng terumbu. Namun ada juga yang hidup di tepian padang lamun (Dunn, 1981; Nuracmad dan Sumadiyo, 1992; Nurachmad, 1993; dan Fautin and Allen (1997). Menurut Fautin and Allen (1997), anggota kelas Anthozoa (juga meliputi karang batu dan karang lunak), anemon laut hidup menempel pada objek-objek keras, umumnya seperti dasar laut atau tertutup sedimen. Anemon laut hidup melekat pada objek-objek yang keras di perairan laut, biasanya di dasar perairan, bebatuan, atau terumbu karang. Suharsono (1982) menyatakan bahwa, penyebaran anemon laut sangat luas mulai perairan daerah sub tropis sampai daerah tropis. Di alam bebas binatang ini ditemukan hidup secara terpisah dan bergerombol membentuk koloni. Anemon yang hidup terpisah termasuk dalam bangsa atau ordo Actinaria, sedang yang hidup bergerombol termasuk dalam bangsa atau ordo Zoanthidea. Menurut Dunn (1981), jangkauan Stichodactyla gigantea sangat luas. Jenis anemon ini dilaporkan berasal dari Laut Merah dan dikenal mulai dari Selatan Samudera Hindia yaitu di Zanzibar sampai dengan tepi Barat Pasifik Basin. Verwey (1930) dan Dunn (1981) mengemukakan bahwa, habitat Stichodactyla gigantea adalah di daerah tenang dan berpasir seperti laguna-laguna karang dan tepian padang lamun. Selanjutnya Dunn (1981) menyatakan, jenis anemon ini umumnya ditemukan pada perairan dangkal (kurang dari 1 m), dengan lingkar kaki terkubur beberapa sentimeter di bawah pasir dan lingkar mulutnya terlihat di permukaan. Anemon jenis ini amat 15

33 berlimpah di Teluk Jakarta di beberapa tempat dengan kepadatan yang cukup tinggi. Pada daerah seluas 1 meter persegi dapat ditemukan empat individu Stichodactyla gigantea yang cukup besar. Hasil pengumpulan dan identifikasi anemon laut yang di perairan Desa Teluk Tamiang (45 lokasi pengamatan atau 5 stasiun penelitian), ditemukan 3 jenis anemon, yaitu: Stichodactyla gigantea, Heteractis crispa dan Entacmaea quadricolor (Gambar 4) (Rifa I, 2016). Secara keseluruhan, jumlah individu yang ditemukan di perairan Desa Teluk Tamiang sebanyak 42 individu, terdiri atas 26 individu S. gigantea (berkisar 0-15 individu/15 lokasi pengamatan), 6 individu H. crispa (berkisar 0-1 individu/15 lokasi pengamatan) dan 10 individu E. quadricolor (berkisar 0-2 individu/15 lokasi pengamatan). Kelimpahan relatif antar anemon memiliki perbedaan (Asymp Sig=0.03, P<0.05) (Gambar 5 dan 6). Kelimpahan relatif tertinggi ditemukan pada S. gigantea, yaitu 61.90%±4.30% dengan kepadatan ± individu per 1000 m 2 area pengamatan, disusul E. quadricolor, yaitu 23.81%±1.42% dengan kepadatan 0,002± 0,0006 individu per 1000 m 2 area pengamatan, dan terendah C. crispa, yaitu 14.29%±1.17% dengan kepadatan ± individu per 1000 m 2 area pengamatan. Sedangkan, kelimpahan relatif tidak memiliki perbedaan antar stasiun (Asymp Sig=0.052, P>0.05) (Gambar 5) dan antar kedalaman (Asymp Sig=0.518, P>0.05) (Gambar 6) (Rifa i, 2016). Ukuran diameter tubuh antar anemon juga memiliki perbedaan (range= cm, N=45 individu, Asymp Sig=0.010, P<0.05) (Gambar 7 dan 8). Ukuran diameter tubuh tertinggi ditemukan pada S. gigantae, yaitu 30.17±1.31 cm, disusul E. quadricolor, yaitu 29.96±1.08 cm, dan terendah C. crispa, yaitu 19.87±1.14 cm. Sedangkan, ukuran diameter tubuh tidak memiliki perbedaan antar stasiun (Asymp Sig=

34 Gambar 4. Spesies anemon laut yang ditemukan di lokasi penelitian (Rifa i, 2016) C. Makanan dan Cara Makan Anemon laut tergolong binatang yang dapat memakan binatang apa saja yang hidup di laut, namun ia lebih bersifat karnivora. Jenis makanan yang bisa disantap adalah moluska, krustasea, ikan, dan berbagai 17

35 invertebrata lainnya. Juga detritus, feses, dan bahan organik. Anemon yang dipelihara dalam aquarium dapat diberi pakan plankton yang diawetkan (liquit pre marine atau liquit food) (Barnes, 1963; Storer et.al., 1968; Nurachmad dan Sumadiyo, 1992; Mandiro,1993; dan Nurachmad, 1993). Sedangkan menurut Allen (1975), makanan anemon laut antara lain, detritus, feses, dan bahan organik. Menurut Fautin dan Allen (1997), anemon menangkap dan mencerna mangsanya dengan nematocyst. Ditemukan ikan kecil, bulu babi, berbagai krustasea (udang dan kepiting) dalam coelenteron anemon. Meskipun energi berasal dari fotosintesis cukup untuk kehidupannya, anemon membutuhkan sulfur, nitrogen, unsur-unsur lainnya untuk tumbuh dan melakukan reproduksi. Menurut Storer et.al., (1968), mangsa atau makanan ditangkap oleh tentakel dengan bantuan nematocyst yang dapat melumpuhkan mangsanya. Ada pula beberapa obyek yang langsung terpegang oleh mulut. Mulut dan kerongkongannya dapat membuka dengan lebar sesuai kebutuhannya. Makanannya dicerna dalam ruang gastrovascular dengan bantuan enzim yang disekresikan kemudian diserap oleh gastrodermis. Sisa-sisa makanan yang tidak dicerna dibuang melalui mulutnya. Menurut Shimek (2006), anemon laut merupakan predator yang bergerak lambat. Mereka menunggu hingga kontak dengan mangsanya. Ada korelasi antara tipe atau tingkah laku mangsa dan morfologi predator. Sebagai contoh, Entacmaea quadricolor memiliki tentakel yang relatif besar pada bagian atasnya sehingga dapat menemukan mangsa yang berenang secara planktonik. Faktor tambahan lainnya dalam makanan meliputi racun nematocyst yang digunakan untuk menangkap mangsa dan keperluan enzim untuk pencernaan. 18

36 D. Reproduksi Reproduksi anemon laut umumnya dilakukan baik secara seksual maupun aseksual. Reproduksi aseksual dilakukan dengan cara memutuskan bagian kakinya, yaitu bagian dari lingkar kaki yang ditinggalkan pada saat binatang tersebut berpindah tempat. Jenis anemon lain dengan cara merangkak perlahan ke arah yang berlawanan hingga tubuhnya terputus menjadi dua bagian. Bagian tersebut kemudian membulat dan hidup menjadi anemon-anemon baru (Barnes, 1963 dan McConnaughey and Zottoli, 1983). Tiga jenis anemon laut dari famili Stichodactylidae melakukan reproduksi secara aseksual dengan pembelahan longitudinal dan transversal. Ketiga jenis anemon ini adalah Stichodactyla helianthus, Entacmaea quadricolor (longitudinal) dan Heteractis maginifica (transversal) (Dunn, 1981). Sedangkan reproduksi seksual terjadi di dalam air. Sperma dan telur keluar melalui mulut dan bersatu membentuk zigot kemudian berkembang menjadi larva. Larva ini akan berenang dan mencari makan sendiri hingga akhirnya melekat di dasar sebagai bentik dan tumbuh menjadi anemon dewasa (Boolootian and Stiles, 1976). Anemon laut dapat juga bersifat hermaprodit. Telur dan sperma dari jenis yang hermaprodit ini dihasilkan dari gonad-gonad yang terletak dalam gastroderm pada waktu yang berbeda. Peristiwa ini dikenal sebagai protandri dan umum terjadi pada invertebrata (Barnes, 1963 dan Boolootian and Stiles, 1976). Anemon Entacmaea quadricolor and Heteractis crispa dapat diproduksi secara aseksual (Scott and Harrison, , , 2008, 2009). Hasil penelitian reproduksi aseksual terhadap anemon Entacmaea quadricolor and Heteractis crispa menunjukkan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi kedua masing-masing 19

37 89,3% dan 93,8% (dibelah menjadi dua bagian) dan 62,5% dan 80,4% (dibelah menjadi 4 bagian). Ukuran anemon yang dibelah menjadi dua bagian lebih lebih besar, lebih cepat sembuh, dan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan yang dibelah menjadi 4 bagian. (Gambar 5) (Scott et al., 2014). Anemon Entacmaea quadricolor and Heteractis crispa memiliki jenis kelamin terpisah dan pembuahannya dilakukan di luar tubuh secara eksternal (fertilisasi eksternal) (Scott and Harrison, 2005, , , 2009). Kedua jenis anemon ini juga dapat melakukan reproduksi secara aseksual dengan pembelahan secara longitudinal (Dunn, 1981). Anemon membagi tubunya dengan peregangan ke arah berlawanan, kemudian terjadi penipisan jaringan dan akhirnya tubuh terbelah (robek) tegak lurus terhadap sumbu peregangan (Stephenson, 1929 dan Mire, 1998). Porat dan Chadwick-Furman (2005) melakukan pembelahan terhadap enam ekor Entacmaea quadricolor, masing-masing menjadi dua bagian atau dua individu. Individu anemon ini kemudian dipelihara secara bersama dengan ikan anemon di laboratorium. Hasil penelitian menemukan sebagian besar sekitar 67% hidup. Rifa i (1998) dan Rifa i et al., (2003) melakukan reproduksi aseksual pada anemon Stichodactyla gigantea dengan teknik pembelahan tubuh secara secara longitudina) menjadi 2, dan 4 bagian, kemudian dilakukan upaya penjahitan (Gambar 10, 11, 12, 13, 14, 15) dan penyuntikan antibiotik. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kelangsungan hidup 75% - 100% saat dipelihara di laboratorium dan 100% saat dipelihara di lapangan. Namun antara benih yang disuntik dan tidak disuntik memiliki pengaruh yang sama terhadap sintasan. Organ penting yang harus diikutsertakan pada setiap bagian tubuh baru adalah kaki jalan (basal disc). 20

38 Gambar 10. Pemulihan tubuh Entacmaea quadricolor setelah pembelahan: (a) luka terbuka, (b) jaringan tubuh (column) menutup luka bekas pemotongan, (c) Tubuh mulai berwarna normal, dan (d) mulut masih tertutup (Sumber foto: Scott et al., 2014) (Rifa i, 1998). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sintasan terbaik juga ditemukan pada pembelahan tubuh menjadi 2 bagian dan dilakukan penjahitan selama pemeliharaan 60 hari di Laboratorium. Selanjutnya ditemukan bahwa semua benih hasil pembelahan tubuh menjadi 2, 3, dan 4 bagian, baik dijahit atau tidak terhadap luka bekas pembelahan akan menghasilkan sintasan 100% asalkan benih dipindahkan ke perairan alami segera setelah pembelahan tubuh pada kisaran waktu 0 9 hari (Gambar 16) (Rifa i 2011). 21

39 Gambar 11. Proses pembelahan tubun anemon jenis Stichodactyla gigantea secara artifisial (Rifa i, 1988) A B Gambar 12. Anemon laut setelah dilakukan pembelahan dan penjahitan. A = Anemon setelah dijahit, B = Anemon yang belum dijahit (Rifa i, 1998) 22

40 Gambar 13. Teknik penjahitan tubuh anemon (Rifa i, dkk., 2003) Gambar 14. Kondisi tubuh anemon setelah dilakukan penjahitan (Rifa i, dkk., 2003) 23

41 Gambar 15. Hasil pembelahan tubuh anemon menjadi 4 bagian (Rifa i, dkk., 2003) Tingkat Kelangsungan Hidup (%) Dibelah 2 Dijahit Dibelah 3 Dijahit Dibelah 4 Dijahit Dibelah 2 Tidak dijahit Dibelah 3 Tidak dijahit Dibelah 4 Tidak dijahit Tingkat Kelangsungan Hidup (%) hari 3 hari 6 hari 9 hari Waktu Pemindahan Benih 0 hari 3 hari 6 hari 9 hari Waktu Pemindahan Benih 0 hari 3 hari 6 hari 9 hari Waktu Pemindahan Benih Gambar 16. Rata-rata sintasan (%) benih anemon laut selama 60 hari pemeliharaan di perairan Desa Teluk Tamiang Kalimantan Selatan (Rifa i, 2011) 24

42 Tingginya sintasan ini disebabkan waktu pemeliharaan benih di laboratorium relatif singkat dan paling lama hanya berlangsung 9 hari, kemudian dipindahkan ke perairan alami hingga hari ke-60. Dengan demikian pada hari ke-10 semua perlakuan telah berada pada lingkungan perairan alami dengan kondisi kualitas air dengan berbagai parameter fisik, kimia, dan biologi sangat mendukung kehidupan anemon laut. Perairan alami yang dimaksud adalah perairan pantai dalam kawasan perairan terumbu karang Desa Teluk Tamiang Kecamatan Pulau Laut Kepulauan, Kabupaten Kotabaru, Propinsi Kalimantan Selatan. Perairan ini langsung berhadapan dengan Laut Jawa sehingga memiliki sirkulasi air yang baik yang dapat membawa kandungan oksigen dan pakan alami yang melimpah. Selain itu anemon laut selalu dapat menyempurnakan bentuknya kembali meski kondisi alam mengalami kerusakan yang amat berat. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan benih anemon hasil fragmentasi longitudinal yang dipelihara di laboratorium selama 60 hari, ternyata semua perlakukan hingga hari ke-11 masih mampu bertahan hidup 100%. Namun pada harihari selanjutnya hingga hari ke-60 kematian terus berlangsung dan pada pada akhir penelitian dari 18 perlakuan hanya 12 perlakuan yang mampu bertahan hidup dengan kisaran 11,11 100%. Sisanya 6 perlakuan mengalami kematian total atau tingkat kelangsungan hidup 0%. Meskipun demikian hasil penelitian menemukan adanya pengaruh yang nyata pada interaksi faktor pembelahan dan faktor penjahitan. Perlakukan P1J1 yaitu tubuh dibelah menjadi 2 bagian dan dilakukan penjahitan memberikan tingkat kelangsungan hidup terbaik (Rifa i, dkk., 2003). Hasil penelitian ini dapat melengkapi dan menyempurnakan teknologi fragmentasi anemon laut yang telah diteliti 25

43 pada tahun 2003 untuk menghasilkan benih dengan sintasan (%) yang tinggi. Jika pada penelitian pada tahun 2003 ditemukan bahwa perlakuan pembelahan tubuh menjadi 2 bagian dan dilakukan penjahitan terhadap luka bekas pembelahan (Perlakuan P1J1) menghasilkan sintasan (%) terbaik selama pemeliharaan 60 hari di Laboratorium, maka pada penelitian ini menemukan bahwa benih anemon segera dipindahkan ke perairan alami (perairan pantai) setelah dilakukan pembelahan maka benih anemon meskipun dibelah hingga menjadi 4 bagian tanpa dilakukan penjahitan ternyata mampu menghasilkan tingkat kelangsungan hidup 100% dengan masa pemeliharaan 60 hari. Pemindahan benih ini hingga hari ke-9 pun ternyata masih mampu mempertahankan tingkat kelangsungan hidup hingga 100%. Selain sintasan dilakukan pula pengamatan terhadap tingkat pertumbuhan (Gambar 17) (Rifa i, 2011). Rata-rata tingkat pertumbuhan mutlak (cm) anemon tiap-tiap perlakuan pada akhir pemeliharaan (hari ke 60) berkisar 3,071 5,050 cm. Kecenderungan tingkat pertumbuhan mutlak (cm) tertinggi ditemukan pada hari ke-0 (T1) pemindahan benih anemon dari laboratorium ke lapangan (perairan alami), kemudian disusul hari ke-3 (T2), hari ke-6 (T3), dan terendah ditemukan pada hari ke-9 (T4). Tingkat pertumbuhan mutlak (cm) anemon laut yang dipindahkan pada hari ke-0 (T1) berkisar 3,868 5,050 cm, hari ke-3 (T2) berkisar 3,553 4,160 cm, hari ke-6 (T3) berkisar 3,190 4,158, dan hari ke 9 (T4) berkisar 3,071 3,605 cm. Pada hari ke-0 (T1) pemindahan benih anemon ditemukan kecenderungan hasil pembelahan induk anemone menjadi 2 bagian (P1) menghasilkan tingkat pertumbuhan mutlan (cm) lebih tinggi dibandingkan hasil pembelahan 3 bagian (P2) dan 4 bagian (P3). Namun pada hari ke-3 (T2), hari ke-6 (T3), dan hari ke-9 (T4), 26

44 Tkt Pertumbuhan Mutlak (Cm) hari Dijahit 3 hari Dijahit 6 hari Dijahit 9 hari Dijahit Tkt Pertumbuhan Mutlak (Cm) hari Tidak dijahit 3 hari Tidak dijahit 6 hari Tidak dijahit 9 hari Tidak dijahit Dibelah 2 Dibelah 3 Dibelah 4 Jumlah belahan tubuh Dibelah 2 Dibelah 3 Dibelah 4 Jumlah belahan tubuh Dibelah 2 Dibelah 3 Dibelah 4 Jumlah belahan tubuh Dibelah 2 Dibelah 3 Dibelah 4 Jumlah belahan tubuh Gambar 17. Histogram data rata-rata tingkat pertumbuhan mutlak (cm) anemon laut selama 60 hari masa pemeliharaan di laboratorium dan perairan Desa Teluk Tamiang Kalimantan Selatan (Rifa i, 2011) tidak ditemukan kecenderungan pertumbuhan seperti pada hari ke-0 (T1) bahkan tidak ditemukan pola spesifik. Faktor T (waktu pemindahan) dan Faktor P (metode pembelahan) memiliki nilai probabilitas (sig) masingmasing 0,000 dan 0,001, keduanya lebih kecil dibandingkan tingkat signifikansi 0,005 (Tabel 1). Dengan demikian, H0 ditolak, berarti terdapat perbedaan nyata diantara perlakukan. Sedangkan Faktor J (metode penjahitan), interaksi faktor TP, TJ, PJ, dan TPJ masingmasing memiliki nilai probabilitas (sig) 0,104; 0,599; 0,661; 0,435; dan 0,730 semuanya lebih kecil dari tingkat signifikansi 0,005. Dengan demikian tidak terdapat perbedaan nyata diantara perlakuan. Hasil analisis keragaman tersebut menunjukkan faktor T (waktu pemindahan) dan faktor P (metode pembelahan) memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat pertumbuhan mutlak (cm) anemon laut 27

45 Tabel 1. Analisis keragaman tingkat pertumbuhan mutlak (cm) benih anemon selama 60 hari masa pemeliharaan Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model Intercept Waktu (Faktor T) Belah (Faktor P) Jahit (Fakor J) Waktu * Belah (TP) Waktu * Jahit (TJ) E Belah * Jahit (PJ) Waktu*Belah*Jahit (TPJ) E Error Total Corrected Total a R Squared =.776 (Adjusted R Squared =.561) yang dipelihara selama 60 hari di perairan laut. Dengan demikian, variasi taraf-taraf faktor T (waktu pembelahan) dan variasi taraf-taraf faktor P (metode pembelahan) yang diujicobakan dalam penelitian ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat pertumbuhan mutlak (cm). Hasil uji wilayah ganda Duncan terhadap waktu pemindahan (Faktor T) menunjukkan waktu pemindahan T1 (0 hari) berbeda nyata terhadap T2 (3 hari), T3 (6 hari), dan T4 (9 hari), begitu pula antara T2 dan T4. Namun antara T2 dan T3, serta antara T3 dan T4 tidak terdapat perbedaan nyata. Dengan demikian waktu pemindahan T1 (0 hari), memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat pertumbuhan mutlak (cm), dibandingkan dengan T2 (3 hari), T3 (6 hari), dan 28

46 T4 (9 hari), begitu pula waktu pemindahan T2 (6 hari) terhadap T4 (9 hari). Namun antara T2 dan T3 serta antara T3 dan T4 akan memberikan pengaruh yang sama terhadap tingkat pertumbuhan mutlak (cm) anemon laut yang dipelihara selama 60 hari di perairan alami. Tingginya tingkat pertumbuhan mutlak (cm) anemon laut pada waktu pemindahan benih hari ke-0 (T1) disebabkan semua benih mampu dengan cepat menyembuhkan luka tubuhnya akibat pembelahan. Hal ini disebabkan semua benih setelah mengalami pemebelahan tubuh di laboratorium segera pada saat itu juga langsung dipindahkan ke perairan alami untuk dipelihara. Sedangkan benih lainnya yang mendapat perlakuan T2, T3, dan T4 harus melewati masa pemeliharaan dulu di laboratorium selama masingmasing 3 hari, 6 hari, dan 9 hari, baru kemudian dipindahkan ke perairan alami. Dengan demikian benihbenih anemon yang mendapat perlakuan T2, T3, dan T4 hanya memiliki kesempatan dipelihara di perairan alami masing-masing 57 hari, 56 hari, dan 53 hari. Di samping hal-hal tersebut di atas, faktor kualitas air juga sangat berperan dalam mempercepat pertumbuhan anemon laut pada perlakuan-perlakuan yang dipindahkan lebih awal ke perairan alami. Hal ini disebabkan kondisi perairan alami jauh lebih kondusif dibandingkan perairan di laboratorium, meskipun telah dilakukan manipulasi semirip perairan alami tetapi keterbatasan masih tetap ditemukan. Tingkat pertumbuhan ini jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya terjadi peningkatan yang signifikan. Hasil penelitian tahun sebelumnya menunjukkan tingkat pertumbuhan mutlak (cm) anemon laut yang dipelihara selama 60 hari di laboratorium berkisar 0,37 2,3 cm (Rifa i dkk., 2003). Sedangkan tingkat pertumbuhan mutlak (cm) pada 29

47 penelitian ini dengan waktu yang sama 60 hari berkisar 3,071 5,050 cm. Perbedaan tingkat pertumbuhan ini disebabkan lingkungan dan wadah pemeliharaan yang berbeda. Jika penelitian tahun 2003 anemon uji dipelihara dalam bak-bak pemeliharaan di laboratorium, maka penelitian ini anemon uji langsung dipelihara di perairan alami menggunakan karamba dasar sehingga kondisi kualitas air jauh lebih baik dan sangat mendukung kehidupan anemon yang dipelihara jika dibandingkan di laboratorium. Hasil uji Duncan terhadap metode pembelahan metode pembelahan P1 (tubuh dibelah menjadi 2 bagian) tidak berbeda dengan P2 (tubuh dibelah menjadi 3 bagian), namun berbeda terhadap P3 (tubuh dibelah menjadi 4 bagian). Begitu pula antara P2 dan P3. Dengan demikian metode pembelahan P1 (tubuh dibelah menjadi 2 bagian) dan P2 (tubuh dibelah menjadi 3 bagian), memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat pertumbuhan mutlak (cm) dibandingkan dengan metode pembelahan P3 (tubuh dibelah menjadi 4 bagian). Namun antara metode pembelahan P1 dan P2 memberikan pengaruh yang sama terhadap tingkat pertumbuhan mutlak (cm) anemon laut yang dipelihara selama 60 hari di perairan alami. Tingginya tingkat pertumbuhan mutlak (cm) anemon laut pada metode pembelahan P1 (tubuh dibelah menjadi 2 bagian) dan P2 (tubuh dibelah menjadi 3 bagian) dibandingkan P3 (tubuh dibelah menjadi 4 bagian) disebabkan tingkat kerusakan anatomi tubuh bekas luka pembelahan P1 dan P2 lebih kecil dibandingkan dengan metode pembelahan P3. Akibatnya, anemon yang mendapatkan metode pembelahan P3, memerlukan energi lebih banyak untuk merapatkan dan menyembuhkan luka bekas pembelahan dibandingkan anemon yang mendapatkan metode pembelahan P1 dan P2. Karena itu, kelebihan 30

48 energi yang ada pada anemon yang mendapatkan metode pembelahan P1 dan P2 dapat digunakan untuk kegiatan metabolisme tubuh lainnya, dan pada akhirnya dapat membantu meningkatkan pertumbuhan anemon laut dibandingkan anemon-anemon yang mendapat perlakuan metode penjahitan P3. Hal ini sesuai dengan pendapat Byrne (1985) yang menyatakan bahwa jaringan tubuh yang rusak akibat luka, memerlukan energi tambahan untuk kembali ke kondisi tubuh normal. Hasil penelitian ini menunjukan adanya perbedaan dengan penelitian tahun 2003 dalam hal pengaruh metode penjahitan (faktor J) (Rifa,i dkk., 2003). Penelitian ini menunjukkan faktor metode penjahitan (faktor J) tidak ditemukan perbedaan nyata diantara perlakuan. Dengan demikian benih anemon yang mendapat perlakukan penjahitan (J1) atau tidak (J2) terhadap luka bekas pembelahan akan memberikan pengaruh yang sama terhadap tingkat pertumbuhan mutlak (cm) anemon laut yang dipelihara selama 60 hari di perairan alami. Tidak berpengaruhnya faktor metode penjahitan (faktor J) disebabkan di samping kondisi kualitas air pemeliharaan sangat kondusif juga kemampuan tubuh anemon itu sendiri yang mampu menyembuhkan dirinya sendiri secara cepat terhadap luka pembelahan yang tidak dilakukan penjahitan. 31

49 III. SIMBION ALGA ZOOXANTHELLAE ANEMON LAUT A. Algae Zooxanthellae Zooxanthellae adalah protozoa bersel tunggal (dinoflagellata) yang mampu hidup bersimbiosis dengan invertebrata laut tertentu. Zooxanthellae merupakan endosimbion intraselluler coklat keemasan dari berbagai hewan laut dan protozoa, khususnya anthozoa seperti karang scleractinian dan anemon laut tropis. Mereka adalah anggota filum dinoflagellata khususnya alga dinoflagellata, namun dapat juga berasal dari diatom (Riddle, 2006). Menurut Fautin and Allen (1997), zooxanthellae adalah sel tunggal berupa alga dinoflagellata (coklat keemasan) yang hidup bersimbiosis dalam sel-sel beberapa binatang laut seperti kebanyakan terumbu yang membentuk karang di daerah tropis dan anemon laut, beberapa hydroid, dan semua giant clam. Zooxanthellae adalah organisme fotosintetik seperti klorofil a dan klorofil c yang mengandung pigmenpigmen dinoflagellata pigmen peridinin dan diadinoxanthin. Pigmen ini memberikan warna kekuningan dan kecoklatan khas dari banyak spesies inang. Sedangkan Rudwan (2000) menyatakan bahwa zooxanthellae adalah tanaman bersel tunggal yang tinggal dalam jaringan hewan. Mereka adalah kelompok tanaman mikroskopik yang biasanya ditemukan melayang dan mengapung di perairan laut. Zooxanthellae ditemukan pada karang, karang lunak, anemon laut, gorgonian, juga pada invertebrata lainnya seerti Giant Clams (Tridacna) dan beberapa nudibranch. Sebagian besar alga uniselluler yang ditemukan dalam anemon laut adalah dinoflagellata (Dinophyceae) dari genus Symbiodinium (= Gymnodinium) yang umumnya disebut zooxanthellae. 32

50 Klasifikasi zooxanthellae adalah sebagai berikut (Rudwan, 2000 dan Riddle, 2006): Domain : Eukaryota Kingdom : Chromalveolata Superphylum : Alveolata Genus : Symbiodinium (Gambar 18). Gambar 18. Alga zooxanthellae (Symbiodinium sp) (Sumber: Rudwan, 2000 dan Riddle, 2006) Kelompok terbesar dan paling umum dari dinoflagellata endosimbiotik adalah genus Symbiodinium. Dinoflagellata ini dapat hidup bebas dalam jumlah besar di jaringan inang. Pada tahap motil dan mastigote ketika berada dalam kolom air, mereka berenang karena telah memiliki dua flagella, sementara ketika berada di dalam jaringan inang, mereka bermetamorfosis menjadi nonmotil daan masuk tahap coccoid tanpa memiliki flagella. Pada sel-sel endodermis anemon laut berlimpah selsel zooxanthellae sebagai simbion intraselluler, sebagaimana halnya karang dan beberapa biota avertebrata bentik lainnya. Menurut Toller et al. (2001), karang dan anemon memiliki phototrophic dinoflagellate endosymbionts dalam genus Symbiodinium yang umumnya disebut zooxanthellae. Endosymbiosis adalah hubungan simbiotik antara simbion yang tinggal dalam jaringan dengan inangnya. 33

51 Kebanyakan hawan karang termasuk anemon laut, relokasi zooxanthellae umumnya terdapat pada jaringan mesoglea dan gastrodermis baik di tentakel maupun mesentrinya. Untuk menempuh ini diperlukan tahapantahapan endosymbiosis (Veron, 1995). Tahapan endosimbiosis tersebut oleh Lenhoff dan Muscatine (1974) diterangkan melalui 4 mekanisme, yaitu: Kontak dan pengenalan (Recognition). Infeksi zooxanthellae pada jaringan seluler inangnya terjadi pada saat pelepasan planula, namun tahap ini diperlukan pada setiap perkembangan dari binatang karang. Proses ini merupakan proses transport yang tidak saja mencakup proses fisik akan tetapi juga biokimiawi. Endocytosis. Merupakan proses pemasukan suatu algae selular ke dalam jaringan inang. Prosesnya dilakukan setelah mengalami tahap pengenalan dengan kecepatan dan jumlah yang bergantung kepada jenis dan kapasitas dari binatang karang. Relokasi intraselluler dari simbion, ini berkaitan dengan sistem endoskeleton dari binatang karang. Proses enzimatik yang membantu pelaksanaannya ditentukan oleh fluktuasi ph seluler. Pertumbuhan dan regulasi kuantitasnya. Proses ini terjadi setelah relokasi dan berlangsung dengan bergantung kepada perubahan faktor-faktor eksternal penentu (limiting faktor) pertumbuhan. Bleaching merupakan salah satu fenomena regulasi dari zooxanthellae dalam jaringan binatang karang. Menurut Niartiningsih (2001), zooxanthellae hidup bersimbiosis secara luas dalam tubuh berbagai hewan avertebrata laut, yaitu sebagai salah satu komponen yang menyediakan sumber energi dan nutrisi bagi kelangsungan hidup hewan yang menjadi inangnya. Sedangkan Muscatine (1967) menyatakan bahwa zooxanthellae hidup bersimbiosis dengan sekitar

52 genera avertebrata laut, antara lain dengan kima, karang hermatipik, dan anemon laut. Kebanyakan zooxanthellae bersifat autotrof dan dapat menyediakan energi bagi inangnya hasil transformasi senyawa karbon dari hasil aktifitas fotosintesis. Pada karang, zooxanthellae mampu menyediakan lebih dari 90% kebutuhan energi karang. Sedangkan karang dan anemon mampu memberikan proteksi, shelter, dan supplai karbon dioksida secara konstan untuk kebutuhan aktifitas fotosintesisnya. Populasi zooxanthellae dalam jaringan inang dibatasi ketersediaan nutrien, cahaya matahari, dan kelebihan sel (Rudwan, 2000 dan Riddle, 2006). Pada siang hari, zooxanthellae menghasilkan produk fotosintesis, karbon organik dan nitrogen untuk memasok kebutuhan energi inang mereka yang digunakan hampir 90% untuk metabolisme, pertumbuhan, dan reproduksi. Sebagai imbalannya zooxanthella, menerima nutrisi, karbon dioksida, dan posisi yang ideal untuk mendpatkan akses sinar matahari (Ruppert, et. al., 2004 dan Lohr, et al., 2007). Hasil penelitian menunjukkan, zooxanthellae mampu memberikan kontribusi terhadap fitness inanginangnya dan produktivitas primer perairan disekitarnya. Ada kecenderungan zooxanthellae menjadi faktor-faktor pengendali dalam kelimpahan dan distribusi anemon laut (Rinkevick, 1989 dan Muscatine and Weis, 1992). Anemon laut jenis Stichodactyla gigantea memiliki densitas zooxanthellae mencapai 11,46 x 10 6 /cm 2 jauh lebih tinggi dibandingkan kima sisik Tridacna squamosa dan karang bercabang Acropora samoensis yang masingmasing hanya mencapai 4,04 x 10 6 /cm 2 dan 2,74 x 10 6 /cm 2. Begitu pula kandungan klorofil-a anemon mencapai 51,32 mg/m 3 lebih tinggi dibandingkan kima dan karang bercabang masing-masing sebesar 28,04 mg/m 3 dan 24,68 mg/m 3 (Niartiningsih, 2001). 35

53 Kehadiran zooxanthellae dan klorofil-a ini sangat penting dalam daur energi bagi anemon laut itu sendiri dan lingkungannya termasuk biota yang berasosiasi dengannya. Dengan kemampuan zooxanthellae aktif berfotosintesis, banyak karbon yang dihasilkan sehingga memungkinan induk semangnya membentuk gliserol, glukosa, dan bahan organik lainnya (Kozloff, 1990). Interaksi antara zooxanthellae dengan inang terutama anemon laut bersifat mutualisme, melalui hubungan yang saling menguntungkan antara inang dan simbionnya (Frankboner, 1971). Inang menyediakan perlindungan dan menyediakan beberapa hasil metabolisme seperti karbon dioksida dan kemungkinan beberapa nutrien untuk zooxanthellae (Taylor, 1969). Zooxanthellae juga dapat menggunakan produk-produk ekskresi seperti fosfor esensial, sulfur, dan senyawa nitrogen yang berasal dari inang (McLaughlin et al., 1964). Sementara itu zooxanthellae pada anemon laut aktif berfotosintesis, banyak karbon yang dihasilkan sehingga memungkinkan induk semangnya membentuk gliserol, glukosa, dan bahan organik lainnya (Kozloff, 1990). Hasil analisis autoradiographic dalam jaringan Anemonia viridis (= A. Sulcata) menunjukkan 60% karbon yang diikat oleh zooxanthellae pada saat fotosintesis ditransfer ke jaringan inang (Taylor, 1969). Menggunakan teknik radioisotop, Stambler and Dubinsky (1987) mengestimasi 45 48% hasil fotosintesis ditranslokasi ke inang anemon laut A. viridis. Zooxanthellae juga menjadi mediasi aliran nutrien antara lingkungan dan hewan inang (D Elia and Wiebe, 1990 dan Muscatine, 1990). Taylor (1971) menemukan bahwa produk metabolisme simbion adalah gliserol, glukosa, alanin, lemak, asam organik, fosfat organik, dan oksigen. Khusus untuk karang, zooxanthellae juga memiliki peranan mendasar dalam skeletogenesis terumbu karang dan kecepatan pertumbuhan karang 36

54 hermatipik. Davies (1984) menemukan 98% total kebutuhan makanan karang dihasilkan dari aktifitas zooxanthellae. Edmunds and Davies (1986) mengamati bahwa untuk Porites porites energi yang diikat dari hasil fotosintesis harian, 26% digunakan respirasi dan pertumbuhan, 22% untuk respirasi zooxanthellae dan pertumbuhan, <1% reproduksi koloni, dan 45% untuk lainnya seperti kehilangan mukus karang. Sebagaimana diketahui bahwa perairan tropis sangat miskin dengan kandungan nutrien, oleh karena itu karang dan anemon laut sangat bergantung pada kehadiran alga zooxanthellae untuk mendapatkan makanan. Hasil penelitian menunjukkan anemon laut Aiptasia pallida yang mengalami bleaching akibat ditinggalkan oleh zooxanthellae. Kehilangan zooxanthellae menyebabkan kehilangan sumber makanan yang pada akhirnya dapat mereduksi fitness inangnya (Gambar 19). Pada Gambar 19 terlihat bawah pada Bagian A tampak Aiptasia pallida normal berwarna coklat dengan simbion alga zooxanthellae yang terdapat pada jaringannya. Pada Bagian B tampak Aiptasia pallida yang mengalami bleaching ditinggalkan simbionnya. Pada saat fotosintesis zooxanthellae menggunakan karbon untuk respirasi dan pertumbuhannya kemudian zooxanthellae menghasilkan molekul organik penting seperti gliserol, asam amino, asam lemak. Bahan organik ditranslokasi ke anemon untuk mendukung kebutuhan energi dan material untuk pertumbuhan, perbaikan dan reproduksi (Johnson 2007). Pola asosiasi antara zooxanthellae dan anemon laut dalam memanfaatkan nutrien adalah sebagai berikut: (1) anemon menghasilkan sisa metabolisme seperti karbon dioksida, amonia, dan fosfat, (2) zooxanthellae menggunakan sisa metabolisme ini untuk produksi molekul biologi. Zooxanthellae membutuhkan karbon 37

55 A Gambar 19. Anemon laut Aiptasia pallida yang mengalami bleaching. A. Anemon normal yang mengandung simbion alga zooxanthellae. B. Anemon yang telah ditinggalkan simbion alga zooxanthellae (Sumber: Johnson, 2007). dioksida untuk sintesis molekul organik. Amonia digunakan oleh asam amino dan molekul biologis yang mengandung nitrogen lainnya. Fosfat digunakan oleh senyawa organik yang mengandung fosfat (contoh ATP dan DNA), (3) produk organik hasil proses sintesis ditranslokasi ke inang, (4) siklus nutrien selanjutnya digunakan untuk survival anemon pada perairan yang miskin nutrien. Pada anemon laut, alga endosimbiotik terletak dalam sel-sel endodermal (Gambar 20). Mereka terdapat dalam membran vacuola. Lokasi intraselluler alga dikendalikan oleh inang, populasi alga dan hasil fotosintesis alga. Alga zooxanthellae terkonsentrasi dalam tentakel dan oral disk (Gambar 21) karena kedua lokasi tersebut mampu menyediakan sinar matahari secara langsung, daerah permukaannya luas, dan kontrol behavior iluminasi oleh mengembang dan mengkerutnya inang (Shick, 1991). B 38

56 Gambar 20. Lokasi alga endosimbiotik dalam anemon laut. A. Bagian oral disc Anthopleura elegantissima, tampak batas-batas zooxanthellae (zx) hingga endoderm (en) dan keberadaannya dari mesoglea (m) dan ectoderm (epi). B. Sisi tentakel Aiptasia pallida, tampak zooxanthellae (zx) dalam vacoula (v) sel-sel flagellata endodermal. Skala bar = 10 µm. C. Sel-sel endodermal dari maserasi enzimatik tentakel A. pillida, tampak flagellae afikal (f) dan dua zooxanthellae yang tertutup dalam membran plasma sel (pm). Skala bar = 3 µm. D. Zoochlorella dan sel-sel debris dalam vacolula sel-sel inang Anthopleura xanthogrammica. Skala bar = 1 µm. E. Zoochlorella bebas dalam coelenteron A. xanthogrammica, membran vacuola (m) skala bar = 1 µm. (Sumber: A. Trench (1971); B dan C. Glider et al., (1980); D dan E. O Brien (1980). 39

57 Gambar 21. Konsentrasi alga zooxanthellae pada tentakel dan oral disk. Tampak kandungan klorofil dan superoxide dismutase (SOD) dan akatifitas katalase pada daerah yang berbeda dari Anthopleura elegantissima. (Sumber: Dykens and Shick, 1984). Genus Symbiodinium merupakan kelompok terbesar dan paling umum dari dinoflagellata endosimbiotik. Genus ini merupakan protista alga uniseluler yang ditemukan di endoderm cnidaria tropis seperti karang, anemon laut, dan ubur-ubur. Selain itu ditemukan pula pada berbagai spesies spons, cacing pipih, moluska seperti kima raksasa, foraminifera (soritids), dan beberapa ciliates. Produk fotosintetis genus ini dirubah dalam inang menjadi molekul anorganik. Dinoflagellata memasuki sel inang melalui proses fagositosis dan menetap sebagai simbion intraseluler. 40

58 Berbeda dengan sebagian besar moluska, Symbiodinium berada interseluler (diantara sel). Cnidaria yang berasosiasi dengan Symbiodinium umumnya terjadi di daerah oligotrophic hangat (daerah miskin hara), lingkungan laut yang konstituennya dominan komunitas bentik. Oleh karena itu dinoflagellata ini merupakan salah satu mikroba eukariotik yang paling banyak ditemukan di ekosistem terumbu karang. Symbiodinium ini dikenal dengan sebutan "zooxanthellae" (atau "zoox"), dan biota yang bersimbiosis dengan alga genus ini dikatakan "zooxanthellate" (Blank and Trench (1986). Symbiodinium memiliki peran utama sebagai endosymbionts mutualistik. Ditemukan sangat melimpah di inang, mulai ratusan ribu hingga jutaan per sentimeter persegi (Stimson, et al., 2002). Setiap sel Symbiodinium yang hidup dan tinggal di sel inang serta dan dikelilingi oleh membran yang berasal dari plasmalemma sel inang selama tahapan fagositosis (Gambar 22 dan 23). Membran ini mungkin mengalami beberapa modifikasi kandungan protein untuk membatasi atau mencegah fusi Phagolisosom (Collley and Trench 1983; Wakefield and Kempf 2001; dan Shao- En et al., 2010). Struktur vakuola mengandung simbion ini disebut symbiosome, dan hanya sel simbion tunggal ditemukan dalam setiap symbiosome. Tidak ada kejelasan bagaimana membran ini mengembang untuk mengakomodasi sel pemisah simbion. Dalam kondisi normal, sel-sel simbion dan sel inang saling bertukar molekul organik dan anorganik yang memungkinkan pertumbuhan dan proliferasi dari kedua mitra B. Klorofil-a Zooxanthella Klorofil terdapat pada semua jenis alga, tetapi lebih dominan pada cyanophyceae. Harris (1986) melaporkan 41

59 Gambar 22. Light and confocal images of Symbiodinium cells in hospite (living in a host cell) within scyphistomae of the jellyfish Cassiopea xamachana. This animal requires infection by these algae to complete its life cycle. The chloroplast imaged in 3-D is highly reticulated and distributed around the cell s periphery (Wikipidia, 2016) Gambar 23. Symbiodinium reach high cell densities through prolific mitotic division in the endodermal tissues of many shallow tropical and sub-tropical cnidarians. This is a SEM of a freeze-fractured internal mesentery from a reef coral polyp (Porites porites) that shows the distribution and density of symbiont cells (Wikipidia, 2016). 42

60 untuk mensintesis klorofil diperlukan unsur hara C, H, O, N, dan Mg sebagai pembentuk molekul klorofil. Fe sebagai katalisator dan P sebagai sumber energi. Defisiensi zat hara tersebut akan mempengaruhi sintesis dan kandungan klorofil alga. Intensitas cahaya matahari dan nutrien yang tersedia di perairan diketahui dapat memacu perkembangan konsentrasi klorofil. Peranan cahaya terhadap kandungan klorofil per sel memberikan peningkatan jumlah alga per unit jaringan. Tingginya kepadatan per unit volume disebabkan oleh adanya perkembangan kandungan klorofil dalam sel (Moosa dan Suharsno, 1995). Klorofil merupakan pigmen karena menyerap cahaya, yakni radiasi elektromagenetik pada spektrum yang kasat mata. Cahaya putih (seperti halnya sinar matahari) mengandung semua spektrum kasat mata, mulai warna merah hingga violet, tetapi seluruh panjang gelombang tidak diserap dengan baik secara merata (Kimbal, 1987). Selanjutnya dikatakan klorofil-a dan klorofil-b paling kuat menyerap cahaya di bagian merah dan ungu spektrum tersebut dan cahaya hijau paling sedikit diserap. Klorofil terbagi 3 jenis yaitu klorofil-a, klorofil-b, dan klorofil-c. Klorofil-a lebih besar 1 2% berat kering bahan organik dari alga planktonik dan merupakan pigmen klorofil yang dominan jumlahnya dibandingkan klorofil-b dan klorofil-c (APHA, 1992). Pada beberapa hewan karang, konsentrasi klorofil-a dalam hal ini pada zooxanthellae berhubungan dengan kedalaman perairan. Meskipun begitu konsentrasi klorofil-a pada organisme tertentu relatif konstan (Suharsono dan Sukarno, 1983). C. Indeks Mitotik Zooxanthella Menurut Harland and Brown (1989), kecepatan pembelahan sel zooxanthellae disebut sebagai indeks 43

61 mitotik yang dinyatakan dalam persentase dari sel yang mengalami pembelahan di dalam populasi zooxanthellae. Sedangkan menurut Ambariyanto (1996), indeks mitotik zooxanthellae adalah perbandingan antara jumlah sel zooxanthellae yang sedang membelah dalam setiap 500 sel zooxanthellae yang dijumpai pada saat perhitungan sedang berlangsung dikali 100%. Pada simbiotik alga, indeks mitotik digunakan untuk mengukur perubahan respon alga terhadap perbedaan eksperimental atau faktor-faktor alamiah. Beberapa contoh aplikasi indeks mitotik telah digunakan untuk mengevaluasi perubahan lingkungan seperti pengaruh nutrien (Cook and D Ellia, 1987; Cook et al., 1988; Muscatine et al., 1989; Hoegh-Guldberg and Smith, 1989a; dan McAuley and Cook, 1994), pengaruh sinar matahari (McAuley, 1985; Muller-Parker, 1987; dan Steen, 1987), pengaruh kedalaman air (Wilkerson et al., 1988), pengaruh temperatur dan salinitas (Steen and Muscatine, 1987 dan Hoegh-Guldberg and Smith, 1989b), peningkatan temperatur (Gates, 1990; Suharsono, 1990; Sharp, 1991; dan Nganro, 1992) dan exposure inang terhadap crude oil (Mitchel and Fitt, 1984). Pada level fundamental lainnya indeks mitotik digunakan untuk menentukan pola temporal pembelahan sel (Wilkerson et al., 1983) dan mekanisme regulasi jumlah alga dalam organisme inang (Trench, 1987). Indeks mitotik dapat digunakan untuk mengestimasi tingkat pertumbuhan spesifik alga (Weiler and Chisholm, 1976; McDuff and Chisholm, 1982; dan Wilkerson et al., 1983). Dinyatakan bahwa dalam simbiosis dinoflagellata (zooxanthellae) dan invertebrata laut, pembelahan sel zooxanthellae simbiotik dibatasi oleh supplai nitrogen (Cook and D Elia, 1987). Muscatine and Marian (1982) mengamati bahwa zooxanthellae simbiotik pada jellyfish di danau Palau menunjukkan 44

62 puncak aktifitas mitotik berhubungan dengan migrasi inangnya mengikuti pengayaan amonium saat termoklin. Beberapa studi menunjukkan pembelahan zooxanthellae simbiotik dirangsang oleh feeding inang (Cook and Fitt, 1990; Fitt and Cook, 1990; dan McAuley and Cook, 1994). Cook and D Elia (1987) menyatakan bahwa pembelahan sel zooxanthellae simbiotik dibatasi oleh supplai nitrogen. Selanjutnya Cook et al., (1988) menemukan bahwa laju mitotik zooxanthellae dapat dirangsang dengan penambahan fosfat dan amonium. Cook and Fitt (1990) dan Fitt and Cook (1990), menunjukkan suatu peningkatan aktifitas mitotik berhubungan dengan feeding inang pada hidroid laut M. ambonensis. McAuley and Cook (1994), juga mengamati indeks mitotik lebih tinggi pada zooxanthellae segar yang diisolasi dengan penambahan pakan atau amonium koloni M. ambonensis dibandingkan koloni straved di perairan laut yang kekurangan nitrogen anorganik terlarut. Studi terbaru oleh Nganro (1992) menunjukkan peningkatan indeks mitotik zooxanthellae pada anemon temperate Anemonia viridis terjadi 30 menit setelah exposure hingga 0,05 mgl-1 copper dalam kondisi laboratorium. Dia juga menemukan hasil serupa untuk anemon tropikal, Heteractis sp. hingga 0,05 mgl-1 copper dibawah kondisi siklus cahaya alamiah tropikal. Indeks mitotik pada zooxanthellae yang bersimbiosis dengan avertebrata mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan. Sifat peka inilah yang banyak digunakan sebagai indikator adanya perubahan lingkungan atau adanya zat pencemar di suatu lingkungan (Harland and Brown, 1989). Menurut Ambariyanto (1996), indeks mitotik diamati untuk mengetahui bagaimana tingkat pertumbuhan zooxanthellae tersebut di dalam inang dan pengaruhnya terhadap hewan simbion. 45

63 Menurut Nganro (1992), siklus pembelahan sel zooxanthellae atau indeks mitotik merupakan salah satu cara paling efektif yang dapat digunakan untuk menguji sensitifitas hewan inang dan simbionnya terhadap terhadap polutan seperti tembaga. Sedangkan menurut Michell and Fitt (1984), pengaturan indeks mitotik pada alga yang berdasarkan pada pembelahan sel, telah membuktikan sensitifitas terhadap stress lingkungan termasuk minyak, logam berat, dan peningkatan suhu. 46

64 IV. DINAMIKA SIMBION ALGA ZOOXANTHELLAE PADA ANEMON LAUT HASIL REPRODUKSI ASEKSUAL G. Dinamika Simbion Alga Zooxanthellae pada Anemon Laut Hasil Reproduksi Aseksual dengan Teknik Fragmentasi Tubuh Peningkatan aktifitas penangkapan sumberdaya anemon menyebabkan populasi ini terus terdegradasi. Karena itu dibutuhkan pengembangbiakan biota ini melalui upaya budidaya dan konservasi sehingga intensitas penangkapannya dapat berkurang. Langkah awal yang harus dilakukan adalah dengan mengembangan teknologi produksi benih melalui rangkaian riset secara komprehensif dan berkelanjutan. Salah satu riset yang telah dilakukan saat ini adalah pengembangbiakan anemon secara aseksual dengan teknik fragmentasi tubuh untuk memproduksi benih yang dapat digunakan untuk upaya budidaya dan konservasi di alam. Untuk keberhasilan upaya tersebut, benih anemon yang dihasilkan harus memiliki kualitas benih yang sama dengan benih alam dengan beberapa indikator seperti sintasan, pertumbuhan, ketahanan terhadap penyakit, dan kehadiran simbion zooxanthellae yang hidup bersimbiosis pada jaringan endodermis anemon secara mutualisme. Produksi massal benih anemon dengan teknik fragmentasi tubuh ternyata menimbulkan efek stress terutama pada awal pemeliharaan yang menyebabkan terganggunya hubungan mutualisme simbion alga zooxanthellae dengan inang anemon laut terutama transfer energi dan nutrisi antara keduanya sebagaimana dapat dilihat pada Gambar

65 Inang: Anemon Simbion: Zooxanthellae -Space Perlindungan -Sisa metabolisme & Ekskresi: CO2, S, P, N Fotosintesi s 60 80% Senyawa Karbon Gliserol, glukosa, dan asam amino - Survival dan pertumbuhan - Fitness inang-inangnya - Faktor pengendali dalam kelimpahan dan distribusi anemon Gambar 53. Hubungan mutualisme antara simbion alga zooxanthellae dan inang anemon laut Hasil penelitian ini menunjukkan dinamika simbion alga zooxanthellae yang ditemukan pada anemon laut hasil rerproduksi aseksual ini dapat dilihat pada Gambar 56. Untuk dapat memahani mekanisme kerja simbiosis antara alga zooxanthellae dan inangnya anemon, ada baiknya dipahami dulu terlebih dahulu struktur dan fungsi tubuh anemon. Anemon laut merupakan hewan 48

66 Anemon Laut Fragmentasi tubuh Luka Disfungsi fisiologis tubuh Stress Reduksi Densitas Zooxanthellae Reduksi Densitas Klorofil-a Zooxanthellae Reduksi Indeks Mitotik Zooxanthellae CZAR (Zooxanthellae Inang) Variasi Genetik zooxanthellae Gambar 56. Dinamika simbion alga zooxanthellae yang ditemukan pada anemon laut hasil reproduksi aseksual invertebrata yang termasuk dalam filum coelentarata yang memiliki rongga tubuh. Rongga tubuh ini yang berfungsi sebagai alat pencernaan (gastrovaskuler). Coelentarata merupakan hewan diploblastik karena tubuhnya memiliki dua lapisan sel, yaitu lapisan luar 49

67 yang disebut ektodermis (epidermis) dan lapisan dalam yang disebut endodermis (gastrodermis). Ektodermis berfungsi sebagai alat pelidung, sedangkan endodermis berfungsi sebagai alat pencernaan. Sel-sel gastrodermis berbatasan dengan coelenteron atau gastrosol. Gastrosol adalah pencernaan yang berbentuk kantong. Makanan yang masuk ke dalam gastrosol akan dicerna dengan bantuan enzim yang dikeluarkan oleh sel-sel gastrodermis. Pencernaan di dalam gastrosol disebut sebagai pencernaan ekstraseluler. Hasil pencernaan dalam gasrosol akan ditelan oleh sel-sel gastrodermis untuk kemudian dicerna lebih lanjut dalam vakuola makanan. Pencernaan di dalam sel gastrodermis disebut pencernaan intraseluler. Sari makanan kemudian diedarkan ke bagian tubuh lainnya secara difusi, begitu pula untuk pengambilan oksigen dan pembuangan karbondioksida. Coelenterata memiliki sistem saraf sederhana yang tersebar berbentuk jala yang berfungsi mengendalikan gerakan dalam merespon rangsangan. Sistem saraf terdapat pada mesoglea. Mesoglea adalah lapisan bukan sel yang terdapat diantara lapisan epidermis dan gastrodermis. Tubuh coelenterata terdiri dari bagian kaki, tubuh, dan mulut. Mulut dikelilingi oleh tentakel. Mulut berfungsi untuk menelan makanan dan mengeluarkan sisa makanan karena coelenterata tidak memiliki anus. Tentakel berfungsi untuk menangkap mangsa dan memasukan makanan ke dalam mulut. Pada permukaan tentakel terdapat sel-sel yang disebut knidosit atau knidoblas. Setiap knidosit mengandung kapsul penyengat yang disebut nematokis. Pada anemon alami yang tidak mengalami fragmentasi tubuh, hubungan simbiosis mutualisme antara alga zooxanthellae dan inangnya anemon laut berjalan normal sesuai fungsinya masing-masing. Alga zooxanthellae yang tinggal pada jaringan endodermis inang aktif melakukan aktifitas fotosintesis. Dengan 50

68 bantuan energi sinar matahari alga mengikat bikarbonat dan karbon dioksida menjadi karbohidrat dalam bentuk gliserol dan glukosa, juga asam amino alanin. Aktifitas ini membutuhkan nutrien tertentu terutama nitrogen dalam bentuk amonia dan fosfat yang dihasilkan oleh hasil metabolisme anemon. Alga zooxanthellae memberikan kurang lebih 60-80% produk fotosintetiknya ke inang. Ini difasilitasi oleh aksi enzim pencernaan inang pada dinding sel alga yang menjadi berlubang dan dapat dilalui oleh produk fotosintesis ke inang. Alanin yang diproduksi oleh alga zooxanthellae digunakan oleh inang untuk membentuk protein kompleks, sedangkan karbohidrat untuk menyediakan energi untuk bekerja dan pertumbuhan jaringan. Pada anemon yang mengalami fragmentasi tubuh telah terjadi luka tubuh yang sangat masif. Morfologi tubuhnya terbelah total secara longitudinal dari bagian atas (tentakel) hingga bagian bawah (kaki). Sebagai hewan avertebarata, anemon laut secara alami akan segera melakukan regenerasi untuk memperbaiki jaringan atau organ yang telah hilang. Proses regenerasi ini menyebabkan aktifitas metabolisme inang terkonsentrasi pada metabolisme basal untuk memperbaiki sel-sel tubuh yang mengalami kerusakan akibat luka pasca fragmentasi. Selama proses perbaikan maka terjadilah disfungsi fisiologi tubuh terutama disfungsi protein dan enzim yang mengganggu penyaluran nutrisi dari inang ke alga zooxanthellae. Disfungsi ini yang menyebabkan terjadinya pemecahan protein dan terbentuknya mukus di lapisan epidermis secara berlebihan juga disfungsi adhesi sel-sel. Disfungsi fisiologis inilah yang menyebabkan inang mejadi stress. Akibat adanya stress ini menyebabkan terjadinya reduksi alga zooxanthellae dalam jaringan endodermis inang anemon laut melalui berbagai mekanisme pengeluaran seperti eksositosis, apoptosis, nekrosis, 51

69 pinching off, dan detachment. Hasil penelitian ini menunjukkan efek stress fragmentasi tubuh menyebabkan densitas zooxanthellae mengalami penurunan. Hal ini terbukti semakin banyak fragmen tubuh yang dihasilkan semakin sedikit densitas zooxanthellae yang ditemukan terutama pada awal-awal pemeliharaan di perairan. Penurunan densitas zooxanthellae ini diikuti pula dengan penurunan konsentrasi pigmen-pigmen fotosintesis. Menurut Glynn (1996), secara normal karang memiliki densitas zooxanthellae sekitar 1 5 x 10 6 sel/cm 2 dan ditemukan 2 10 pigmen klorofil-a per zooxanthellae. Bila karang mengalami bleching mereka akan kehilangan 60 90% zooxanthellaenya dan setiap zooxanthellae akan kehilangan 50 80% pigmen fotosintesisnya. Menurunnya densitas alga zooxanthellae dan klorofil-a ini berpengaruh linear terhadap kecepatan pembelahan sel-sel alga zoxanthellae atau indeks mitotik. Selanjunya reduksi densitas zooxanthellae, klorofil-a, dan indeks mitotik secara bersama-sama berpengaruh pula secara linear terhadap kontribusi karbon oleh alga zooxanthellae kepada inang anemon laut (CZAR). Hasil penelitian genetik terhadap alga zooxanthellae menggunakan teknik PCR-ISSR menemukan bahwa alga zooxanthellae yang ditemukan pada populasi anemon alami dan hasil reproduksi aseksual dengan teknik fragmentasi memiliki polimorfisme (variasi genetik) sebesar 37,93%. Populasi alga zooxanthellae yang berasal dari anemon AF4 (fragmentasi 4 bagian) terpisah dengan populasi alga zooxanthellae yang berasal dari anemon AA (alami non fragmentasi) dan anemon AF2 (fragmentasi 2 bagian) pada jarak genetik 19%. Dengan demikian sangat jelas bahwa fragmentasi tubuh dalam pelaksanaan reproduksi aseksual anemon telah memberikan efek terhadap dinamika simbion alga zooxanthellae baik densitas zooxanthellae, densitas 52

70 klorofil-a, indeks mitotik, kontribusi karbon alga zooxanthellae terhadap inang anemon (CZAR), variasi genetik, maupun jarak genetik alga zooxanthellae. Meskipun demikian efek fragmentasi ini semakin kecil seiring dengan lamanya pemeliharaan anemon di alam. Hal ini dapat dibuktikan dengan densitas zooxanthellae, densitas klorofil-a, nilai indeks mitotik, jumlah CZAR yang semakin besar. Juga dapat dilihat dari tingkat polimorfisme yang hanya mencapai 37,93% dan jarak genetik yang hanya mencapai 19% setelah masa pemeliharaan selama 10 bulan. 53

71 IV. PENUTUP Anemon laut merupakan salah satu jenis karang dari filum Cnidaria. Karang dan anemon laut adalah anggota taksonomi kelas yang sama, yaitu Anthozoa. Perbedaan utama adalah karang menghasilkan kerangka luar dari kalsium karbonat, sedangkan anemon tidak. Lebih dari spesies anemon laut ditemukan di perairan pantai, perairan dangkal (terumbu karang), dan perairan laut dalam di seluruh dunia. Anemon laut adalah binatang invertebrata yang tidak memiliki tulang belakang atau tidak memiliki skeleton pada seluruh tubuhnya. Anemon merupakan hewan predator yang tampak seperti bunga, memiliki berbagai bentuk, ukuran, dan warna. Tubuhnya radial semetrik, columnar dan memiliki satu lubang mulut yang dikelilingi oleh tentakel. Tentakel dapat melindungi tubuhnya terhadap serangan predator lain dan dapat pula digunakan untuk menangkap makanannya. Anemon laut biasanya memiliki ukuran diameter tubuh 1-4 inchi (2,5-10 cm), tetapi beberapa anemon ada juga yang dapat tumbuh mencapai diameter 6 kaki (1,8 m). Penyebaran anemon laut sangat luas mulai perairan sub tropis hingga perairan tropis. Di Sulawesi Selatan, anemon tersebar di Taman Laut Takabonerate dan pulau-pulau kecil seperti Barrang Lompo dan sekitarnya, Salemo, Kapoposang, Bauruang, dan pulaupulau lainnya. Di alam bebas anemon ditemukan hidup secara soliter dan bergerombol membentuk koloni. Anemon yang hidup soliter termasuk dalam bangsa atau ordo Actinaria, sedang yang hidup bergerombol termasuk dalam bangsa atau ordo Zoanthidea. Anemon hidup di dasar laut menempel pada benda keras, pecahan karang, pasir. Ada pula yang sedikit membenamkan bagian tubuhnya ke dasar tanah yang agak berlumpur. Anemon umumnya dijumpai pada 54

72 daerah terumbu karang yang kurang subur dan dangkal, di goa atau di lereng terumbu. Namun ada juga yang hidup di tepian padang lamun. A. Nilai dan Fungsi Anemon Anemon laut merupakan salah satu komoditi perairan yang memiliki nilai ekonomis dan ekologis. Biota ini sangat populer sebagai bahan makanan laut (Sea Food), terutama di luar negeri antara lain Perancis, Jepang, Korea, dan Kepulauan Pasifik bagian Timur. Nilai ekonomis penting lainnya adalah dapat dijadikan sebagai hewan pengisi akuarium yang sangat indah dan menarik karena memiliki bentuk tubuh yang meyerupai B. Kondisi dan Upaya Pengelolaan Kondisi ekosistem terumbu karang di Indonesia saat ini telah mengalami degradasi intensif akibat ilegal fishing menggunakan bom dan bahan beracun. Hanya 6,2% terumbu karang di Indonesia dikategorikan masih sangat baik, sisanya 23,7% dikategorikan baik, 28,3% dikategorikan sedang, dan 41,8%.% telah dikategorikan rusak (Anonim, 2007). Akibat kerusakan ini telah dihasilkan kawasan-kawasan non produktif potensial dengan karaktersitik habitat karang mati dan karang hancur, miskin produksi dan perputaran energi, miskin ikan-ikan karang dan biota-biota lainnya yang selama ini bersimbiosis dengan terumbu karang (Rifa i, 1998). Terbentuknya kawasan-kawasan tersebut telah memberikan dampak yang signifikan terhadap penurunan kondisi ekologis perairan pesisir dan laut dangkal. Padahal daerah ini secara ekologis merupakan spawning ground, nursery ground, dan feeding ground 55

73 DAFTAR PUSTAKA Allen, G.R., Damselfishes of the South Seas. T.F.H. Publications, Inc. Sydney. Australia. Allen, G.R., The Anemonefishes: Their Classification and Biology, 2nd ed. T. F. H. Publ. Inc., Neptune City, N.J. 352 pp. Almany G. R., Berumen M. L., Thorrold S. R., Planes S. Jones G. P., Local replenishment of coral reef fish populations in a marine reserve. Science 316: Rifa,i, M.A Reproduksi Vegetatif Anemon Laut Stichodactyla gigantea (FORSSKAL, 1775) dan Upaya Rehabilitasi pada Berbagai Habitat Terumbu Karang Non Produktif. Tesis Pascasarjana Universitas Hasanuddin Ujung Pandang. Rifa i, M.A., P. Ansyari, H. Kudsiah, dan A. Naparin Rekayasa Fragmentasi Anemon Laut Jenis Stichodactyla gigantea untuk Restocking dan Rehabilitasi Kawasan Terumbu Karang non Produktif. Laporan Penelitian Tahap Pertama Hibah Bersaing XI tahun Lembaga Penelitian Unlam Banjarmasin Rifa i, M.A., P. Ansyari, H. Kudsiah, dan A. Naparin Rekayasa Fragmentasi Anemon Laut Jenis Stichodactyla gigantea untuk Restocking dan Rehabilitasi Kawasan Terumbu Karang non Produktif. Laporan Penelitian Tahap Kedua Hibah Bersaing XI tahun Lembaga Penelitian Unlam Banjarmasin Rifa i, M.A., P. Ansyari, H. Kudsiah, dan A. Naparin Rekayasa Fragmentasi Anemon Laut Jenis Stichodactyla gigantea untuk Restocking dan Rehabilitasi Kawasan Terumbu Karang non Produktif. Laporan Penelitian Tahap Ketiga Hibah 56

74 Bersaing XI tahun Lembaga Penelitian Unlam Banjarmasin Rifa i, M.A., dan H. Kudsiah Reproduksi Aseksual Anemon Laut Stichodactyla gigantea (Forsskal, 1775) dengan Teknik Fragmentasi dan Habitat Penumbuhan Berbeda. J. Sains & Teknologi, Vol. 7, No. 2, Agustus 2007: Rifa i, M.A. P. Ansyari, dan H. Kudsiah Kajian Densitas Gamet dan Densitas Zooxanthellae Anemon Laut Stichodactyla Gigantea (Forsskal, 1775) Hasil Reproduksi Aseksual dengan Teknik Fragmentasi. J. Ecosystem, Vol 8, No : Rifa i, M.A., Dinamika simbion alga zooxanthellae pada anemon aaut Stichodactyla gigantea (FORSSKAL, 1775) alam dan hasil reproduksi aseksual. Disertasi Program Doktoral. Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar. Rifa i, M.A., 2011 Sintasan benih anemon laut Stichodactyla gigantea (Forsskal, 1775) hasil reproduksi aseksual berdasarkan waktu pemindahan ke perairan alami pasca fragmentasi longitudinal. Jurnal Seri Hayati 11(2): Rifa i, M.A. and Jusoff Mitotic Index of Algae Symbion Zooxanthellae from Sea Anemone from Asexual Reproduction. WASJ Journal: , ISSN Rifa i, M.A., Hamdani, Kudsiah, H., Inventarisasi potensi dan kajian bioekologis anemon laut langka Indonesia. Laporan Hasil Penelitian Sinas Ristek Kemristek. Lembaga Penelitian Universitas Lambung Mangkurat. Rifa i M. A., 2016 The abundance and size of giant sea anemones at different depths in the waters of Teluk Tamiang village, south Kalimantan, Indonesia. AACL Bioflux Journal, 9(3):

75 GLOSARIUM Aklimatisasi Alga Amphiprion Anemonfishes Anthozoa Apoptosis Aseksual Basel disc : Proses penyesuaian diri individu terhadap perubahan kondisi lingkungan yang bertujuan untuk bertahan pada kondisi lingkungan yang berbeda dari tempat asalnya : Alga (jamak Algae) adalah sekelompok organisme autotrof yang tidak memiliki organ dengan perbedaan fungsi yang nyata. : Jenis ikan hias laut yang hidup bersimbiosis dengan anemon laut. Disebut juga ikan badut atau ikan nemo. Anemon akan melindungi ikan amphiprion dari pemangsa dan ikan amphiprion akan membersihkan anemon dengan memakan sisa-sisa makanan Anemon : Istilah kelompok ikan karang yang hidup bersimbiosis dengan anemon laut : Salah satu kelas dari hewan karang dan anemon laut. Mereka hanya ditemukan sebagai polip. : Adalah kematian sel per sel : Disebut juga dengan istilah reproduksi vegetatif yang terjadi secara mitosis, sebuah proses di mana kromosom dalam inti sel yang diduplikasi sebelum pembelahan sel. : Keping/kaki dasar dari anemon laut 58

76 Bleaching Bulu babi Cnidae Cnidaria Column CZAR Detritus Dinoflagellata Ekskresi Eksositosis Endocoelic Endocytosis : Istilah pemutihan pada tubuh karang dan anemon laut karena hilangnya alga zooxanthellae : merupakan hewan laut yang berbentuk bundar dan memiliki duri pada kulitnya yang dapat digerakkan. : Disebut juga dengan nama nematosis adalah kapsul yang menyengat atau mengeluarkan sengatan. : Nama filum dari anemon laut : Tubuh anemon laut berbentuk tabung atau kolom : Kontribusi harian karbon simbion alga Zooxanthellae yang ditranslokasikan ke inang : Partikel organik hasil dari proses penguraian sampah organik baik yang berasal dari tumbuhan ataupun hewan : Adalah protozoa bersel tunggal yang mampu hidup bersimbiosis dengan invertebrata laut tertentu : adalah proses pembuangan sisa metabolisme dan benda tidak berguna lainnya : Adalah proses pengeluaran selsel alga dari sel-sel inang : Barisan rongga dalam anemon yang terpendek memiliki tiga sampai lima buah tentakel. : Proses pemasukan suatu algae selular ke dalam jaringan inang 59

77 Endodermis Endosimbion Exocoelic Feses Fitness Fragmentasi Fragmentasi longitudinal Fragmentasi tranversal Gastrodermis Giant clam Gonad Hermaprodit : lapisan paling dalam korteks akar dengan sel-sel tebal yg membatasi korteks dan stele : Adalah organisme yang hidup di dalam tubuh inangnya tanpa merugikan inang tersebut : Rongga luar dari tentakel anemon yang memiliki bentuk sedikit lonjong dari pangkal sampai bagian ujung yang tumpul. : Istilah lain tinja, adalah produk buangan saluran pencernaan hewan yang dikeluarkan melalui anus atau kloaka. : Keragaan : Proses pembelahan tubuh secara longitudinal atau tranversal : Pembelahan secara membujur tubuh : Pembelahan secara melintang tubuh : Rongga gastrovaskuler pada cnidaria yang dikelilingi oleh lapisan jaringan bagian dalam : Kerang kima raksasa : Organ yang memproduksi sel kelamin : Hewan atau tumbuhan yang biasanya memiliki sistem reproduksi jantan dan betina, baik memproduksi telur dan sperma 60

78 Hydroid Inang Indeks mitotik Induk Intraseluler Invertebrate Karang Klorofil : Polip aseksual yang merupakan bagian dari siklus hidup dari hydrozoans : Organisme yang menampung simbion berupa alga atau virus atau parasit. Biasanya partner mutualisme atau komensalisme. Umumnya menyediakan makanan dan tempat berlindung : perbandingan jumlah sel-sel yang mengalami mitosis yaitu pada fase profase, metafase, anafase dan telofase dengan jumlah keseluruhan sel dalam populasi sel : Bioata dewasa yang telah matang gonat/mata kelamin. Pada betina telah menghasilkan telur dan pada jantan telah menghasilkan sperma : Berada di dalam sel : Hewan yang tidak memiliki tulang belakang : Sekumpulan hewan yang yang hidup pada terumbu dan bersimbiosis dengan alga zooxanthellae. hewan karang tak bertulang belakang termasuk dalam Filum Coelenterata (hewan berongga) atau ke dalam Filum Cnidaria (hewan yang memiliki cnidoblas/sel penyengat). : Zat hijau daun, pigmen yang dimiliki oleh berbagai organisme dan menjadi salah 61

79 Krustasea Larva Mesoglea Moluska Mutualisme Nekrosis Nematocyst Nudibranch Oral disk Pedal disk Pie slice-shaped Polimorfik Polyp/polip satu molekul berperan utama dalam fotosintesis. : Kelompok udang-udangan : Bentuk muda hewan yang perkembangannya melalui metamorfosis, seperti ikan, serangga, dan amfibia : Lapisan bukan sel, yaitu berupa gelatin yang terdapat diantara ectoderm dan mesoderm : Merupakan kelompok hewan avertebrata yang bertubuh lunak : Hubungan antar dua makhluk hidup yang saling menguntungkan : kematian sel yang melibatkan sekelompok sel. : Sama dengan cnidae : kelompok siput air terbesar dari ordo Opisthobranchia : Lingkar mulut anemon : Sama dengan Basel Disk yaitu Kaki dasar anemon : Jika anemon dibelah melintang paralel dengan substrat, maka pada bagian dalam akan nampak terbagi-bagi lagi dalam bagian-bagian sempit : Lokus yang memiliki variasi alel dalam suatu populasi : Hewan kecil yang hidup dalam semacam cawan yang terbentuk dari kalsium karbonat. Polip karang memiliki tiga lapisan 62

80 Predator Reproduksi Restocking Sea food Seksual Simbion Simbiosis Sintasan Skeleton Soliter Stress Substrat tubuh yaitu ektodermis, mesoglea, dan endodermis. : Pemangsa yang memburu dan memakan hewan lain : Suatu proses biologis suatu individu untuk memproduksi organisme baru : Salah satu upaya penambahan stock : Makanan yang berasal dari laut : Sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkaraperkara hubungan jantan dan betina : Organisme yang hidup bersimbiosis di inang : Hubungan timbal balik antara dua makhluk hidup yang saling berdampingan : Istilah ilmiah yang menunjukkan tingkat kelulushidupan (survival rate) dari suatu populasi dalam jangka waktu tertentu : Sistem penyokong organisme yang bertindak sebagai bingkai tubuh yang tegar. Biasanya rangka ini tersusun dari kalsium : Secara menyendiri atau sepasang-sepasang : Bentuk ketegangan dari fisik, psikis, emosi maupun mental : Dasar/landasan/alas/tanah tempat hidup organisme 63

81 Tentakel Terumbu Translokasi Zooxanthellae : Organ tubuh yang dapat memanjang dan fleksibel. Dimiliki oleh hewan-hewan tertentu, terutama hewan tak bertulang belakang. Kegunaan utamanya adalah untuk makan, meraba, dan menggengam : Endapan masif batu kapur (limestone), terutama kalsium karbonat (CaCO3), yang utamanya dihasilkan oleh hewan karang dan biota-biota lain yang mensekresi kapur, seperti alga berkapur dan moluska. : adalah peristiwa perpindahan : organisme mikroalga yang uniseluler, memiliki warna kuning sedikit kecoklatan, dan memiliki kemampuan untuk hidup di dalam jaringan hewan atau tumbuhan 64

82 INDEKS Aklimatisasi, 146 Alga, iii, iv, vi, vii, x, xii, 2, 40, 45, 65, 69, 97, 110, 114, 131, 146 Amphiprion, 1, 3, 118, 120, 146 Anemonfishes, 146 Anthozoa, 1, 8, 14, 15, 117, 127, 129, 130, 146 Apoptosis, 68, 141, 146 Aseksual, iii, vii, 110, 138, 146 Basel disc, 146 Bleaching, 5, 41, 66, 128, 129, 130, 131, 132, 140, 143, 147 Bulu babi, 147 Cnidae, 147 Cnidaria, viii, 1, 8, 10, 48, 117, 127, 141, 147, 149 Column, 147 CZAR, vi, xv, xviii, 6, 73, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 115, 116, 147 Detritus, 147 Dinoflagellata, 40, 47, 125, 130, 147 Ekskresi, 147 Eksositosis, 68, 147 Endocoelic, 147 Endocytosis, 41, 147 Endodermis, 147 Endosimbion, 148 Exocoelic, 148 Feses, 148 Fitness, 148 Fragmentasi, vii, 110, 137, 138, 148 Fragmentasi longitudinal, 148 Fragmentasi tranversal, 148 Gastrodermis, 140, 148 Giant clam, 148 Gonad,

83 Hermaprodit, 148 Hydroid, 126, 128, 133, 148 Inang, vi, 43, 97, 136, 149 Indeks mitotik, xviii, 51, 52, 86, 89, 90, 93, 96, 149 Induk, 149 Intraseluler, 149 Invertebrate, 134, 143, 149 Karang, 1, 8, 117, 123, 131, 134, 137, 138, 143, 149 Klorofil, vi, 48, 50, 77, 83, 85, 149 Krustasea, 150 Larva, 26, 150 Mesoglea, 113, 150 Moluska, 150 Mutualisme, 150 Nekrosis, 70, 150 Nematocyst, 150 Nudibranch, 150 Oral disk, 150 Pedal disk, 150 Pie slice-shaped, 150 Polimorfik, 150 Polyp/polip, 150 Predator, 151 Reproduksi, iii, vi, vii, 26, 110, 137, 138, 151 Restocking, 138, 141, 151 Sea food, 151 Seksual, 151 Simbion, vi, vii, 97, 110, 131, 151 Simbiosis, 14, 151 Sintasan, 136, 139, 151 Skeleton, 151 Soliter, 151 Stress, 5, 6, 66, 73, 125, 127, 129, 145, 151 Substrat, 24, 151 Tentakel, 8, 10, 12, 113, 117, 151 Terumbu, 123, 134, 137, 138, 143,

84 Translokasi, 2, 97, 152 Zooxanthellae, iii, vi, vii, xv, 3, 39, 43, 44, 54, 63, 65, 77, 86, 91, 93, 103, 110, 119, 125, 126, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 147,

85 TENTANG PENULIS Muhammad Ahsin Rifa i adalah Lektor Kepala pada Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin. Dilahirkan di Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan 5 September Pendidikan SDN Seroja Gunung Batu Besar diselesaikan pada tahun Pendidikan SMPN1 Kotabaru diselesaikan tahun 1982 dan Sekolah Menengah Kejuruan SPP-SPMA Banjarbaru diselesaikan tahun Pada tahun yang sama (1985) penulis melanjutkan kuliah pada Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat dan lulus sarjana S1 Budidaya Perairan pada tahun Tahun 1996 melanjutkan pendidikan S2 di Jurusan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Dangkal Universitas Hasanuddin dan lulus tahun Kemudian melanjutkan pendidikan S3 pada Program Studi Ilmu Pertanian Universitas Hasanuddin pada tahun 2004 dengan konsentrasi disertasi pada aspek budidaya dan bioekologi laut dan lulus pada tahun Pada bulan maret tahun 1991, penulis diangkat menjadi dosen tetap pada Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan ULM (UNLAM saat itu). Selesai penddikan S3, penulis ditempatkan pada Jurusan baru yaitu Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Kelautan pada tahun 2009 dan sejak tahun 2013 menjabat sebagai Ketua Jurusan/Program Studi. Selain mengajar di S1, penulis juga mengajar pada Program Pascasarajana antara lain S2 Ilmu Perikanan Unlam dan S3 Ilmu Pertanian Unlam. Penulis juga aktif melakukan kegiatan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat yang didanai oleh Dikti, Sinas Ristek, dan berbagai 68

DINAMIKA SIMBION ALGA ZOOXANTHELLAE PADA ANEMON LAUT HASIL TEKNOLOGI REPRODUKSI ASEKSUAL

DINAMIKA SIMBION ALGA ZOOXANTHELLAE PADA ANEMON LAUT HASIL TEKNOLOGI REPRODUKSI ASEKSUAL DINAMIKA SIMBION ALGA ZOOXANTHELLAE PADA ANEMON LAUT HASIL TEKNOLOGI REPRODUKSI ASEKSUAL Dr. Ir. Muhammad Ahsin Rifa i, M.Si. Diterbitkan oleh: Lambung Mangkurat University Press, 2016 d/a Pusat Pengelolaan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Anemon laut merupakan hewan invertebrata atau hewan yang tidak

2. TINJAUAN PUSTAKA. Anemon laut merupakan hewan invertebrata atau hewan yang tidak 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anemon Laut Anemon laut merupakan hewan invertebrata atau hewan yang tidak memiliki tulang belakang. Anemon laut ditemukan hidup secara soliter (individual) dengan bentuk tubuh

Lebih terperinci

PANRITA_ABDI Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat LP2M Universitas Hasanuddin

PANRITA_ABDI Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat LP2M Universitas Hasanuddin PANRITA_ABDI Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat LP2M Universitas Hasanuddin Alih Teknologi Produksi Benih Anemon Laut secara Aseksual 1 Muhammad Ahsin Rifa i, 1 Muhammad Syahdan, 2 Hadiratul Kudsiah,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Terdapat tiga hasil utama yang didapat dari penelitian ini, yaitu hasil pengamatan secara visual terhadap keadaan bagian luar tubuh anemon, pengamatan preparat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

Pengembangan Usaha Produk Intelektual Kampus: Anemon Laut Ornamen

Pengembangan Usaha Produk Intelektual Kampus: Anemon Laut Ornamen Pengembangan Usaha Produk Intelektual Kampus: Anemon Laut Ornamen 1 Muhammad Ahsin Rifa i, 1 Muhammad Syahdan, 2 Muzdalifah, dan 3 Hadiratul Kudsiah 1 Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan

Lebih terperinci

COELENTERATA Coilos = rongga Enteron = usus. By Luisa Diana Handoyo, M.Si.

COELENTERATA Coilos = rongga Enteron = usus. By Luisa Diana Handoyo, M.Si. COELENTERATA Coilos = rongga Enteron = usus By Luisa Diana Handoyo, M.Si. COELENTERATA (= CNIDARIA) Cnido = penyengat Multiseluler Tubuh bersimetri radial Diploblastik (ektoderm dan endoderm) Diantara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau berbintil yang termasuk dalam filum echinodermata. Holothuroidea biasa disebut timun laut (sea cucumber),

Lebih terperinci

CIRI-CIRI COELENTERATA :

CIRI-CIRI COELENTERATA : FILUM COELENTERATA Coelenterata berasal dari kata KOILOS = rongga tubuh atau selom dan ENTERON = usus. Jadi COELENTERON artinya rongga yang berfungsi sebagai usus. Sering juga disebut CNIDARIA CIRI-CIRI

Lebih terperinci

Filum Cnidaria dan Ctenophora

Filum Cnidaria dan Ctenophora Filum Cnidaria dan Ctenophora Filum CTENOPHORA dan CNIDARIA dikelompokkan dalam COELENTERATA (berasal dari kata coelos = rongga tubuh atau selom dan enteron = usus). Coelenterata hidupnya di perairan laut

Lebih terperinci

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR)

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) Benteng, Selayar 22-24 Agustus 2006 TRANSPLANTASI KARANG Terumbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Kondisi alami sampel karang berdasarkan data (Lampiran 1) dengan kondisi tempat fragmentasi memiliki perbedaan yang tidak terlalu signifikan

Lebih terperinci

B. Ekosistem Hutan Mangrove

B. Ekosistem Hutan Mangrove B. Ekosistem Hutan Mangrove 1. Deskripsi merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh di daerah pasang surut pantai berlumpur. umumnya tumbuh

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

PROSES PEMULIHAN ANEMON LAUT Heteractis malu (HADDON DAN SHACKLETON 1893) TERHADAP PENINGKATAN SUHU 1 ⁰C DAN 2 ⁰C

PROSES PEMULIHAN ANEMON LAUT Heteractis malu (HADDON DAN SHACKLETON 1893) TERHADAP PENINGKATAN SUHU 1 ⁰C DAN 2 ⁰C PROSES PEMULIHAN ANEMON LAUT Heteractis malu (HADDON DAN SHACKLETON 1893) TERHADAP PENINGKATAN SUHU 1 ⁰C DAN 2 ⁰C IRNITA YULIANTI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai negara kepulauan terletak diantara samudera Pasifik dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai negara kepulauan terletak diantara samudera Pasifik dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perairan Indonesia Indonesia sebagai negara kepulauan terletak diantara samudera Pasifik dan samudera Hindia dan mempunyai tatanan geografi laut yang rumit dilihat dari topografi

Lebih terperinci

POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA

POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA http://7.photobucket.com Oleh: Rizka Widyarini Grace Lucy Secioputri

Lebih terperinci

KLASIFIKASI CNIDARIA. By Luisa Diana Handoyo, M.Si.

KLASIFIKASI CNIDARIA. By Luisa Diana Handoyo, M.Si. KLASIFIKASI CNIDARIA By Luisa Diana Handoyo, M.Si. Tujuan pembelajaran Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan mampu : Menjelaskan klasifikasi Cnidaria Menjelaskan daur hidup hewan yang

Lebih terperinci

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem klasifikasi bagi karang lunak Sinularia dura adalah sebagai berikut

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem klasifikasi bagi karang lunak Sinularia dura adalah sebagai berikut 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karang Lunak Sinularia dura Sistem klasifikasi bagi karang lunak Sinularia dura adalah sebagai berikut : (Hyman, 1940; Bayer 1956 in Ellis and Sharron, 2005): Filum : Cnidaria Kelas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi dan Variasi Temporal Parameter Fisika-Kimiawi Perairan Kondisi perairan merupakan faktor utama dalam keberhasilan hidup karang. Perubahan kondisi perairan dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO

REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO Mangrove REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO TERUMBU KARANG OLEH DANIEL D. PELASULA Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI pelasuladaniel@gmail.com PADANG LAMUN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang 9 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (hermatifik) yang disebut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Perairan Indonesia. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terletak diantara samudera

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Perairan Indonesia. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terletak diantara samudera II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perairan Indonesia Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terletak diantara samudera Pasifik dan samudera Hindia dan mempunyai tatanan geografi laut yang rumit dilihat dari topografi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Wilayah Penelitian Wilayah tempat substrat batu berada bersampingan dengan rumah makan Nusa Resto dan juga pabrik industri dimana kondisi fisik dan kimia perairan sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam budidaya perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari biaya produksi. Pakan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekosistem Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekosistem Terumbu Karang 7 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang 2.1.1 Biologi Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan organisme yang hidup di dasar laut dangkal terutama di daerah tropis. Terumbu adalah endapan-endapan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perairan laut Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut yang hidup di sekitarnya. Ekosistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

Indeks Mitotik Simbion Alga Zooxanthellae pada Anemon Laut Stichodactyla gigantean Hasil Reproduksi Aseksual

Indeks Mitotik Simbion Alga Zooxanthellae pada Anemon Laut Stichodactyla gigantean Hasil Reproduksi Aseksual ILMU KELAUTAN Maret 2013 Vol. 18(1):7 13 ISSN 0853-7291 Indeks Mitotik Simbion Alga Zooxanthellae pada Anemon Laut Stichodactyla gigantean Hasil Reproduksi Aseksual M. Ahsin Rifa i Program Studi Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Pemilihan Warna yang Tepat pada Leadernet

6 PEMBAHASAN 6.1 Pemilihan Warna yang Tepat pada Leadernet 114 6 PEMBAHASAN 6.1 Pemilihan Warna yang Tepat pada Leadernet Berdasarkan hasil penelitian pada Bab 5, leadernet berwarna kuning lebih efektif daripada leadernet berwarna hijau dalam menggiring ikan.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

Apakah terumbu karang?

Apakah terumbu karang? {jcomments on} Apakah terumbu karang? Terumbu Karang adalah bangunan ribuan karang yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Bayangkanlah terumbu karang sebagai sebuah kota yang

Lebih terperinci

JAKARTA (22/5/2015)

JAKARTA (22/5/2015) 2015/05/22 14:36 WIB - Kategori : Artikel Penyuluhan SELAMATKAN TERUMBU KARANG JAKARTA (22/5/2015) www.pusluh.kkp.go.id Istilah terumbu karang sangat sering kita dengar, namun belum banyak yang memahami

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA Tipologi ekosistem laut tropis Mangrove Terumbu Lamun Pencegah erosi Area pemeliharaan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

II. Tinjuan Pustaka. A. Bulu Babi Tripneustes gratilla. 1. Klasifikasi dan ciri-ciri

II. Tinjuan Pustaka. A. Bulu Babi Tripneustes gratilla. 1. Klasifikasi dan ciri-ciri II. Tinjuan Pustaka A. Bulu Babi Tripneustes gratilla 1. Klasifikasi dan ciri-ciri Bulu babi Tripneustes gratilla termasuk dalam filum echinodermata dengan klasifikasi sebagai berikut (Anon 2011 ) : Kingdom

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Karya Tabel 2. Data parameter fisika dan kimia lokasi transplantasi di perairan Pulau Karya bulan September 2010 sampai dengan Juli

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Aziz, 1981). Tubuhnya berbentuk segilima, mempunyai lima pasang garis

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Aziz, 1981). Tubuhnya berbentuk segilima, mempunyai lima pasang garis II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bulu Babi Bulu babi merupakan organisme dari divisi Echinodermata yang bersifat omnivora yang memangsa makroalga dan beberapa jenis koloni karang (Aziz, 1981). Tubuhnya berbentuk

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 11. Organisasi KehidupanLatihan Soal 11.4

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 11. Organisasi KehidupanLatihan Soal 11.4 1. Perubahan energi yang trjadi didalam kloropas adalah.... SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 11. Organisasi KehidupanLatihan Soal 11.4 Energi cahaya menjadi energi potensial Energi kimia menjadi energi gerak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

Nutrisi Pakan pada Pendederan kerapu

Nutrisi Pakan pada Pendederan kerapu Nutrisi Pakan pada Pendederan kerapu Oleh: Ibnu Sahidhir Kementerian Kelautan dan Perikanan Ditjen Perikanan Budidaya Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee 2011 Biologi Benih Kerapu Pemakan daging Pendiam,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA Oleh: WIDYARTO MARGONO C64103076 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem laut merupakan suatu kumpulan integral dari berbagai komponen abiotik (fisika-kimia) dan biotik (organisme hidup) yang berkaitan satu sama lain dan saling berinteraksi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tercemar adalah plankton. Plankton adalah organisme. mikroskopik yang hidup mengapung atau melayang di dalam air dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. tercemar adalah plankton. Plankton adalah organisme. mikroskopik yang hidup mengapung atau melayang di dalam air dan 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Plankton Salah satu organisme yang dapat berperan sebagai bioindikator perairan tercemar adalah plankton. Plankton adalah organisme mikroskopik yang hidup mengapung atau melayang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan beberapa kontribusi penting bagi masyarakat Indonesia. sumber daya alam dan dapat dijadikan laboratorium alam.

BAB I PENDAHULUAN. memberikan beberapa kontribusi penting bagi masyarakat Indonesia. sumber daya alam dan dapat dijadikan laboratorium alam. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang secara geografis memiliki daerah pesisir yang sangat panjang. Di sepanjang daerah tersebut hidup beranekaragam biota laut (Jati dan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Siput Gonggong (Strombus turturella)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Siput Gonggong (Strombus turturella) BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Siput Gonggong (Strombus turturella) Klasifikasi Siput Gonggong (Strombus turturella) menurut Ruppert dan Barnes (1994); adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

telur, dimana setelah jam diinkubasi pada suhu 25 C kista akan menetas

telur, dimana setelah jam diinkubasi pada suhu 25 C kista akan menetas Siklus hidup Artemia (gambar 3) dimulai pada saat menetasnya kista atau telur, dimana setelah 15-20 jam diinkubasi pada suhu 25 C kista akan menetas manjadi embrio. Selanjutnya dalam waktu beberapa jam

Lebih terperinci

HASIL. Gambar 1 Permukaan atas daun nilam Aceh. Gambar 2 Permukaan atas daun nilam Jawa.

HASIL. Gambar 1 Permukaan atas daun nilam Aceh. Gambar 2 Permukaan atas daun nilam Jawa. 6 3 lintas, ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu: 1. Apabila koefisien korelasi antara peubah hampir sama dengan koefisien lintas (nilai pengaruh langsung) maka korelasi tersebut menjelaskan hubungan

Lebih terperinci

Klasifikasi Sarcophyton dalam sistem taksonomi adalah sebagai berikut. Sub-kelas : Octocorallia (Alcyonaria) Ordo : Alcyonaceae

Klasifikasi Sarcophyton dalam sistem taksonomi adalah sebagai berikut. Sub-kelas : Octocorallia (Alcyonaria) Ordo : Alcyonaceae 4 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi Sarcophyton dalam sistem taksonomi adalah sebagai berikut (Fabricius dan Alderslade, 2001): Kingdom : Animalia Filum : Coelenterata (Cnidaria) Kelas : Anthozoa Sub-kelas :

Lebih terperinci

Lampiran 1. Panduan Kuisioner untuk Internal dan Eksternal Kelembagaan

Lampiran 1. Panduan Kuisioner untuk Internal dan Eksternal Kelembagaan 84 LAMPIRAN 85 Lampiran 1. Panduan Kuisioner untuk Internal dan Eksternal Kelembagaan I. Kebutuhan data dan informasi terkait internal 1. Pengendalian : Organisasi 2. Menejemen : Kebijakan, struktur, perencanaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu adalah kawasan pelestarian alam bahari di Indonesia yang terletak kurang lebih 150 km dari pantai Jakarta Utara. Kepulauan Seribu terletak pada 106

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Tutupan Karang di Pulau Semak Daun Pulau Semak Daun dikelilingi oleh paparan pulau yang cukup luas (island shelf) hingga 20 kali lebih luas dari pulau yang bersangkutan

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

PAKAN DAN PEMBERIAN PAKAN

PAKAN DAN PEMBERIAN PAKAN PAKAN DAN PEMBERIAN PAKAN 1. Pendahuluan Pakan alami adalah sejenis pakan ikan yang berupa organisme air. Organism ini secara ekosistem merupakan produsen primer atau level makanan dibawah ikan dalam rantai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI CITRA KARANG MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN: KASUS FAMILY POCILLOPORIDAE RONI SALAMBUE

IDENTIFIKASI CITRA KARANG MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN: KASUS FAMILY POCILLOPORIDAE RONI SALAMBUE IDENTIFIKASI CITRA KARANG MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN: KASUS FAMILY POCILLOPORIDAE RONI SALAMBUE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia

Lebih terperinci

BAB I. SIMBIOSIS DAN PARASITISME. A. Pendahuluan

BAB I. SIMBIOSIS DAN PARASITISME. A. Pendahuluan BAB I. SIMBIOSIS DAN PARASITISME A. Pendahuluan Parasitologi adalah suatu ilmu cabang biologi yang membatasi diri untuk pelajari organisme yang hidupnya tergolong bersifat parasitisme yaitu parasit. Kehidupan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem daerah tropis yang memiliki keunikan dan keindahan yang khas yang pemanfaatannya harus lestari. Ekosistem terumbu

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Karang Cara Makan dan Sistem Reproduksi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Karang Cara Makan dan Sistem Reproduksi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Karang Suharsono (1996) menyatakan karang termasuk binatang yang mempunyai sengat atau lebih dikenal sebagai cnidaria (Cnida = jelatang) yang dapat menghasilkan kerangka

Lebih terperinci

1. Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan

1. Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan 1. Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan Pengertian pertumbuhan adalah Proses pertambahan volume dan jumlah sel sehingga ukuran tubuh makhluk hidup tersebut bertambah besar. Pertumbuhan bersifat irreversible

Lebih terperinci

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda 116 PEMBAHASAN UMUM Domestikasi adalah merupakan suatu upaya menjinakan hewan (ikan) yang biasa hidup liar menjadi jinak sehingga dapat bermanfaat bagi manusia. Domestikasi ikan perairan umum merupakan

Lebih terperinci

POTENSI EKOLOGIS KEANEKARAGAMAN HAYATI

POTENSI EKOLOGIS KEANEKARAGAMAN HAYATI POTENSI EKOLOGIS KEANEKARAGAMAN HAYATI Ekosistem Pesisir dan Laut 1. Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa endapan kalsium karbonat (CaCO 3) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus)

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus) BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus) 1. PENDAHULUAN Kata Belut merupakan kata yang sudah akrab bagi masyarakat. Jenis ikan ini dengan mudah dapat ditemukan dikawasan pesawahan. Ikan ini ada kesamaan dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan tempat berkumpulnya ikan, dimana alat tangkap dapat dioperasikan sesuai teknis untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan

Lebih terperinci

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T No.714, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KP. Larangan. Pengeluaran. Ikan. Ke Luar. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PERMEN-KP/2014 TENTANG LARANGAN

Lebih terperinci

Industri dan Rantai Perdagangan

Industri dan Rantai Perdagangan Sesi Pertama Industri dan Rantai Perdagangan Handout PENGENALAN TERHADAP PERMINTAAN PASAR SERTA RANTAI PERDAGANGAN SIAPAKAH PASAR IKAN HIAS DAN MENGAPA MEREKA MEMBELI IKAN HIAS? Mulailah dengan menunjukkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu wilayah yang dikenal sebagai negara kepulauan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu wilayah yang dikenal sebagai negara kepulauan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu wilayah yang dikenal sebagai negara kepulauan dan terletak di kawasan tropis dengan jumlah pulau ± 17.508. Kondisi Indonesia seperti

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal Dibawah ini adalah bahan bahan yang diperlukan dalam proses fotosintesis, kecuali...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal Dibawah ini adalah bahan bahan yang diperlukan dalam proses fotosintesis, kecuali... SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.3 1. Dibawah ini adalah bahan bahan yang diperlukan dalam proses fotosintesis, kecuali... A. Air cahaya CO 2 O 2 Kunci Jawaban : D Bahan-bahan yang

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. faktor lingkungan dimana fragmen spons diletakkan pada saat fragmentasi.

PEMBAHASAN UMUM. faktor lingkungan dimana fragmen spons diletakkan pada saat fragmentasi. PEMBAHASAN UMUM Kelangsungan hidup (sintasan) dan pertumbuhan spons dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana fragmen spons diletakkan pada saat fragmentasi. Kondisi lingkungan yang optimal dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arus Lintas Indonesia atau ITF (Indonesian Throughflow) yaitu suatu sistem arus di perairan Indonesia yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia yang

Lebih terperinci

Pola Hubungan antara Jenis Anemon Dengan Ikan Badut (Amphiprioninae) Di Perairan Daerah Pulau Pucung Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

Pola Hubungan antara Jenis Anemon Dengan Ikan Badut (Amphiprioninae) Di Perairan Daerah Pulau Pucung Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Pola Hubungan antara Jenis Anemon Dengan Ikan Badut (Amphiprioninae) Di Perairan Daerah Pulau Pucung Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Lilis Farianti Mahasiswa Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, lil_optimizel@yahoo.co.id

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kesejahteraan hidup rakyat melalui pembangunan di bidang industri, nampak memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan perairan pesisir dan laut karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 10. SISTEM ORGANISASI KEHIDUPANLatihan Soal 10.5

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 10. SISTEM ORGANISASI KEHIDUPANLatihan Soal 10.5 SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 10. SISTEM ORGANISASI KEHIDUPANLatihan Soal 10.5 1. Perubahan energi yang trjadi didalam kloropas adalah.... Energi kimia menjadi energi gerak Energi cahaya menjadi energi potensial

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Lokasi penelitian dilaksanakan di Sungai Bone. Alasan peneliti melakukan penelitian di Sungai Bone, karena dilatar belakangi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. bekas tambang, dan pohon peneduh. Beberapa kelebihan tanaman jabon

TINJAUAN PUSTAKA. bekas tambang, dan pohon peneduh. Beberapa kelebihan tanaman jabon TINJAUAN PUSTAKA Jabon (Anthocephalus cadamba) merupakan salah satu jenis tumbuhan lokal Indonesia yang berpotensi baik untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman maupun untuk tujuan lainnya, seperti

Lebih terperinci