BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. (constructivism) yang dikembangkan oleh Jesse Delia, memberikan pengaruh

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. (constructivism) yang dikembangkan oleh Jesse Delia, memberikan pengaruh"

Transkripsi

1 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Paradigma Penelitian Paradigma dalam penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Morissan (2014: 165) mengemukakan, teori konstruktivisme (constructivism) yang dikembangkan oleh Jesse Delia, memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan ilmu komunikasi. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan bertindak, menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya. Sedangkan Creswell (2010: 11), menyebutkan bahwa konstruktivisme sosial meneguhkan asumsi bahwa individu-individu selalu berusaha memahami dunia, di mana mereka hidup dan bekerja. Mereka mengembangkan makna-makna subjektif atas pengalamanpengalaman mereka, makna-makna yang diarahkan pada objek-objek atau bendabenda tertentu. Ardianto & Anees (2007: 154) menyebutkan bahwa paradigma konstruktivisme merupakan salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri. Prinsip dasar konstruktivisme menerangkan bahwa tindakan seseorang ditentukan oleh konstruk diri, sekaligus juga konstruk lingkungan luar dari perspektif diri, sehingga komunikasi itu dapat dirumuskan dan ditentukan oleh diri di tengah pengaruh lingkungan luar. Sebagaimana Sarantakos (dalam Poerwandari, 2007: 22-23), konstruktivis merupakan pendekatan yang menggunakan pola pikir

2 16 induktif yaitu berjalan dari spesifik menuju umum, dari yang konkret menuju abstrak, ilmu yang bersifat ideografis, nomotetis dan ilmu yang tidak bebas nilai. Sementara itu Hidayat (2003: 3) mengemukakan, paradigma konstruktivis sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui pengamatan langsung dan terperinci, terhadap pelaku sosial yang bersangkutan, menciptakan dan memelihara atau mengelola dunia sosial seseorang Penelitian Sejenis Terdahulu. Penelitian terdahulu tentang kajian persepsi budaya, khususnya penelitian tentang tradisi uang jemputan atau tradisi bajapuik, dapat dilihat pada beberapa penelitian berikut ini: (1). Matrilokal dan status perempuan: studi kasus tentang status perempuan dalam Tradisi Bajapuik di Pariaman Sumatera Barat. Penelitian tersebut dilakukan oleh Azwar Wilhendri (2000), dalam tesisnya pada Universitas Gajah Mada (UGM), Yokyakarta. Hasil penelitian menyebutkan bahwa dalam lembaga keluarga dengan pola kekerabatan patrilineal-patrilokal, merupakan wadah lahirnya sistem patriarki. Sistem patriarki sebagai analisis dalam studi perempuan, dianggap sebagai salah satu sebab timbulnya pensubordinasian dan penindasan terhadap hak-hak sosial perempuan dalam hubungan kesetaraan gender. Kota Pariaman secara kultural, merupakan salah satu wilayah di Minangkabau, dengan sistem kekerabatan matrilineal-matrilokal, status dan kedudukan perempuan dianggap sangat kuat. Ternyata pada tradisi bajapuik dengan sistem kekerabatan matrilineal-matrilokal tersebut, status dan kedudukan perempuan tersubordinasi, baik dalam keluarga maupun dalam

3 17 hubungan sosial. Pada sistem patriarki, posisi perempuan berada di bawah otoritas bapak sebelum menikah dan dikuasai oleh suami setelah menikah. Sementara itu pada sistem kekerabatan matrilineal-matrilokal, seorang perempuan dikuasai oleh mamak (paman) dalam hubungan kerabat (extended family), sekaligus oleh suami di dalam keluarga inti (nuclear family). Hal tersebut dibuktikan dengan lemahnya akses perempuan, dalam pengambilan keputusan untuk menentukan terjadinya ikatan perkawinan, karena intervensi mamak. Posisi tawar (bargaining position) dalam menentukan nilai uang japuik juga lemah, ini juga berlaku pada pengelolaan uang japuik, penghargaan terhadap status sosial dan status perempuan dalam keluarga. Kesimpulannya bahwa tradisi bajapuik membuktikan bahwa sistem patriarki terlembaga dalam perkawinan. Penelitian ini membuktikan, sistem patriarki juga terjadi pada sistem kekerabatan matrilineal-matrilokal, di mana perempuan mengalami subordinasi berganda (Sumber: (2). Persepsi remaja tentang Tradisi Uang Jemputan dalam adat perkawinan suku Minang (Studi deskriptif pada Ikatan Keluarga VII Koto sekretariat Jalan Bromo Medan). Penelitian tersebut dilakukan Susanti (2005), dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana remaja khususnya gadis Minang, mempersepsikan tradisi uang jemputan pada adat perkawinan Pariaman. Dalam penelitian ini, juga dilakukan observasi pada sebuah pesta perkawinan, yang melaksanakan tradisi uang jemputan didalamnya. Hasil penelitian menunjukkan, tradisi uang

4 18 jemputan masih dilaksanakan dalam perkawinan masyarakat suku Minang yang berasal dari daerah Pariaman. Sementara itu seorang tokoh adat Minang Pariaman yang menjadi nara sumber (key informan) dalam penelitian mengatakan bahwa uang jemputan sebenarnya bermakna tanggung jawab mamak (saudara laki-laki ibu), dalam pencarian jodoh yang layak dan sesuai untuk keponakannya. Sedangkan gadis Minang yang merupakan informan dalam penelitian, umumnya mempersepsikan uang jemputan secara subjektif, yaitu perempuan sebagai pemberi uang jemputan dianggap tidak pantas atau tidak layak (Susanti, 2005: 73). (3). Perubahan Tradisi Bajapuik pada perkawinan orang Minang Pariaman di Kota Binjai. Penelitian tersebut dilakukan oleh Deliani (2005). Hasil penelitian menyebutkan bahwa di Kota Binjai, banyak anak-anak muda Pariaman yang memilih jodohnya sendiri. Sedikit sekali di antara anak-anak orang Minang Pariaman, yang mengikuti perkawinan melalui perjodohan. Keluarga dan para mamak (paman), dalam hal ini hanya mengikuti pilihan mereka dan membantu mempersiapkan kebutuhan pernikahan anak-anak mereka. Para ninik mamak menganggap, jika terjadi pergeseran pada adat itu lumrah, meskipun keinginan untuk memegang adat masih kuat. Deliani juga menemukan beberapa bentuk perubahan yang terjadi dalam tradisi Bajapuik di Kota Binjai. Perubahan tersebut adalah sebagai berikut: (1). Tradisi perkawinan bajapuik orang Minang Pariaman, berlangsung dengan sejumlah variasi dan penyederhanaan di dalamnya;

5 19 (2). Perubahan dalam struktur sosial orang Minang Pariaman, sedikitnya ditandai dengan bergesernya struktur dalam sistem kekerabatan mereka, dari konsep extended family ke arah bentuk nuclear family; dan (3). Perubahan yang terjadi dalam struktur sosial orang Minang tersebut, berimplikasi pada perubahan orientasi nilai budaya pada pelaksanaan tradisi bajapuik. Selain pengaruh dari luar sistem dan sosial budaya orang Minang Pariaman (faktor eksternal), perubahan tradisi bajapuik juga didorong oleh kebutuhan dari dalam (faktor internal). (4). Bentuk-bentuk perubahan pertukaran dalam perkawinan Bajapuik. Penelitian tersebut dilakukan oleh Maihasni, Titik Sumarti, Ekawati Sri Wahyuni dan Sediono MP. Tjondronegoro (2010: 190). Hasil penelitian mendapati perubahan pertukaran pada perkawinan bajapuik di Pariaman, melalui 4 (empat) bentuk perubahan pertukaran, yaitu: 1). Uang jemputan adalah uang yang diberikan pihak perempuan kepada pihak laki-laki, dan dikembalikan lagi kepada perempuan pada saat mengunjungi mertua untuk pertama kali. Bentuk pengembalian ini berwujud benda yang bernilai ekonomis, seperti emas dan benda lainnya; 2). Uang hilang adalah pemberian kepada pihak laki-laki, namun tidak dikembalikan kepada pihak perempuan. Pemberian tersebut dapat berwujud benda, khususnya uang yang dapat dipergunakan sepenuhnya oleh pihak keluarga laki-laki khususnya orang tua; 3). Uang selo adalah salah satu bentuk pengeluaran lain dari pihak perempuan, untuk membiayai adat perkawinan. Uang selo ini diberikan kepada ninik mamak pihak laki-laki, yang hadir pada saat pertunangan; dan 4) Uang tungkatan adalah uang tembusan dari benda-benda tungkatan yang

6 20 dibawa perempuan, sebagai persyaratan menjemput mempelai laki-laki untuk dinikahkan. (5). Uang Japuik dalam adat perkawinan Padang Pariaman di Bandar Lampung. Penelitian tersebut dilakukan oleh Ririanty Yunita, Syaiful M dan Muhammad Basri (2012). Inti sari dalam penelitian ini berdasarkan rumusan masalah yaitu bagaimanakah persepsi orang-orang Padang Pariaman perantauan di Bandar Lampung tentang uang japuik dalam adat perkawinan Padang Pariaman di Bandar Lampung, maka penelitian ini ditujukan untuk mencari tahu persepsi orang-orang Padang Pariaman perantauan di Bandar Lampung tentang uang japuik dalam adat perkawinan Padang Pariaman di Bandar Lampung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 92 responden penelitian, sebanyak 7 responden atau 8%, mempunyai persepsi negatif mengenai uang japuik. Sementara itu sebanyak 85 responden atau 92% dari 92 responden termasuk dalam kategori persepsi yang positif mengenai uang japuik. Dapat disimpulkan bahwa persepsi para perantau asal kabupaten Padang Pariaman mengenai tradisi pemberian uang japuik pada adat perkawinan Padang Pariaman di Kota Bandar Lampung, termasuk dalam persepsi yang positif (sumber: (6). Persepsi pasangan suami-istri terhadap bentuk komunikasi simbolik yang diberikan kepada pengantin dalam upacara perkawinan masyarakat adat Batak Toba (Studi kualitatif terhadap masyarakat Batak Toba di Kelurahan Medan Tenggara Kecamatan Medan Denai).

7 21 Penelitian mengenai persepsi budaya pada tradisi perkawinan suku Batak Toba tersebut dilakukan oleh Sahmaida Lubis (2011). Ada beberapa bentuk komunikasi simbolik yang digunakan dalam adat masyarakat Batak Toba. Bentuk komunikasi simbolik tersebut adalah dekke (ikan mas), mandar hela (sarung menantu laki-laki), boras (beras), dan ulos hela (ulos menantu laki-laki). Simbol-simbol tersebut mengandung makna berupa nilai-nilai perkawinan dan kehidupan masyarakat Batak Toba. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui bentuk komunikasi simbolik yang diberikan kepada pengantin, dalam upacara perkawinan adat Batak Toba dan untuk mengetahui persepsi, berupa pemahaman pasangan suami-istri terhadap bentuk komunikasi simbolik yang diberikan kepada pengantin pada saat upacara adat perkawinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua pasangan suami-istri memahami makna komunikasi simbolik dalam upacara perkawinan adat Batak Toba, dikarenakan kurangnya proses sosialisasi budaya dan cara pandang yang berbeda dari pasangan suami-istri tersebut Uraian Teoritis Komunikasi Antarbudaya Hubungan manusia dalam proses komunikasi, tidak terlepas dari pengaruh budaya masing-masing pelaku komunikasi. Sebagaimana Edward T. Hall (dalam Syam, 2013: 84), mengemukakan bahwa komunikasi adalah budaya dan budaya adalah komunikasi. Sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) pandangan terhadap komunikasi, yaitu:

8 22 1). Komunikasi sebagai aktivitas simbolis. Aktivitas komunikasi menggunakan simbol-simbol bermakna, yang diubah ke dalam kata-kata (verbal) untuk ditulis dan diucapkan atau simbol non verbal untuk diperagakan. Simbol komunikasi itu dapat berbentuk tindakan dan aktivitas manusia, atau tampilan objek yang mewaliki makna tertentu. 2). Komunikasi sebagai proses. Komunikasi merupakan aktifitas yang dinamis, aktifitas yang terus berlangsung secara berkesinambungan, sehingga dia terus mengalami perubahan. 3). Komunikasi sebagai pertukaran makna. Para ahli mengatakan bahwa komunikasi adalah kegiatan pertukaran makna. Makna itu ada dalam setiap orang yang mengirimkan pesan. Jadi makna bukan sekedar kata-kata verbal atau perilaku non verbal, tetapi makna adalah pesan yang dimaksudkan pengirim dan diharapkan akan dimengerti pula oleh penerima (Liliweri, 2007: 5-6) (a). Pengertian Komunikasi Antarbudaya Samovar, et al. (2010: 55) menyebutkan komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang yang persepsi budaya dan sistem simbolnya berbeda. Pendapat serupa juga dikemukakan Tubbs & Moss (2005: ), bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio-ekonomi). Penggolongan kelompok-kelompok budaya tidak bersifat mutlak. DeVito (1997: 480), mendefenisikan komunikasi antarbudaya secara luas sebagai bentuk komunikasi

9 23 di antara orang-orang yang berasal dari kelompok yang berbeda, selain juga secara lebih sempit mencakup bidang komunikasi antara kultur yang berbeda. Lubis (2012: 44) mengemukakan bahwa, komunikasi yang berlangsung di antara individu yang berbeda budaya, selalu mengalami hambatan-hambatan yang disengaja maupun tidak disengaja atau tanpa disadari. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar kalau ditinjau dari komunikasi antarbudaya. Dengan demikian terlihat adanya dinamika di antara para peserta yang berkomunikasi, dengan keragaman budaya yang melatarbelakanginya. Setiap orang berkomunikasi dengan kerangka pemikiran (frame of reference) dan keluasan pengalaman (field of experience) yang berbeda-beda satu sama lain, yang dipengaruhi oleh latar belakang budayanya. Oleh karena itu komunikasi antarbudaya menjadi penting dipelajari, tidak hanya untuk tujuan efektifitas berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya, melainkan juga untuk efektifitas pemahaman terhadap budaya sendiri. Sebagaimana disebutkan Litvin (dalam Mulyana dan Rakhmat, 2010), bahwa tujuan studi komunikasi antarbudaya bersifat kognitif dan afektif, yaitu untuk: 1) Menyadari bias budaya sendiri. 2) Lebih peka secara budaya. 3) Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain dan menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan dengan orang tersebut. 4) Merangsang pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri. 5) Memperluas dan memperdalam pengalaman seseorang.

10 24 6) Mempelajari keterampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu menerima gaya dan isi komunikasinya sendiri. 7) Membantu memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan memelihara semesta wacana dan makna bagi para anggotanya. 8) Membantu memahami kontak antarbudaya sebagai suatu cara memperoleh pandangan ke dalam budaya sendiri: asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasankebebasan dan keterbatasan-keterbatasannya. 9) Membantu memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi bidang komunikasi antarbudaya. 10) Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai yang berbeda dapat dipelajari secara sistematis, dibandingkan dan dipahami. Seseorang dari latar belakang budaya tertentu akan terlibat dalam situasi komunikasi antarbudaya, saat mengalami proses akulturasi dengan orang yang memiliki latar belakang budaya berbeda. Cara kita berkomunikasi sebagian besar dipengaruhi oleh kultur, sehingga orang-orang dari kultur yang berbeda akan berkomunikasi secara berbeda (DeVito, 1997: 481). Brislin (dalam Samovar, et al., 2010: 44), menyebutkan bahwa nilai-nilai yang dianggap penting oleh suatu masyarakat yang sudah ada selama beberapa tahun, harus diturunkan dari satu generasi ke generasi yang lainnya dalam proses enkulturasi budaya (b). Proses Enkulturasi dan Akulturasi dalam Komunikasi Antarbudaya. Dalam mempelajari budaya, setiap individu yang lahir ke dunia, akan melewati proses enkulturasi dan akulturasi. Enkulturasi mengacu pada proses di mana kultur ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Orang tua, kelompok teman, sekolah, lembaga keagamaan, dan lembaga pemerintahan

11 25 merupakan guru-guru utama di bidang kultur. Sedangkan akulturasi mengacu pada proses di mana kultur seseorang dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan kultur lain (DeVito, 1997: 479). Sementara itu Samovar, et al. (2010: 479), mendefenisikan akulturasi sebagai proses pembelajaran bagaimana hidup dalam budaya yang baru. Sebagaimana Lubis (2012: 21), menyebutkan bahwa kita mempelajari kultur (budaya), bukan mewarisinya. Pada dasarnya manusia-manusia menciptakan budaya atau lingkungan sosial mereka sebagai suatu adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologis mereka. Kebiasaan-kebiasaan, praktik-praktik dan tradisi-tradisi untuk terus hidup dan berkembang, diwariskan oleh suatu generasi ke generasi lainnya dalam suatu masyarakat tertentu. Pada gilirannya kelompok atau ras tersebut tidak menyadari dari mana asal warisan kebijaksanaan tersebut. Generasi-generasi berikutnya terkondisikan untuk menerima kebenaran-kebenaran tersebut tentang kehidupan di sekitar mereka, pantangan-pantangan dan nilai-nilai tertentu ditetapkan dan melalui banyak cara orang-orang menerima penjelasan tentang perilaku yang dapat diterima untuk hidup dalam masyarakat tersebut. Budaya mempengaruhi dan dipengaruhi oleh setiap fase aktifitas manusia (Haris dan Moran dalam Mulyana dan Rakhmat, 2010: 55). Komunikasi antarbudaya terjadi ketika anggota dari satu budaya tertentu, memberikan pesan kepada anggota dari budaya yang lain. Lebih tepatnya, komunikasi antarbudaya melibatkan interaksi antara orang-orang yang persepsi budaya dan sistem simbolnya, cukup berbeda dalam suatu komunikasi (Samovar et. al, 2010: 13). Selanjutnya Gudykunst (2003: 316) menyebutkan, terdapat beberapa potensi masalah dalam proses akulturasi budaya, antara lain:

12 26 1. Stereotip. Stereotip biasa terjadi karena kita bertemu dengan banyak orang dan berhadapan dengan banyak hal yang tidak selalu sama dan tidak kita ketahui. Masalah timbul ketika kita tidak menyadari bahwa kita memiliki stereotip negatif. Stereotip dapat berupa prasangka positif dan negatif, dan kadang-kadang dapat dijadikan alasan untuk bertindak diskriminatif. 2. Prasangka. Prasangka memberikan perasaan dan tingkah laku negatif yang melibatkan rasa marah, takut, keseganan dan perasaan gelisah. Brislin (dalam Gudykunst, 2003: 323) mengatakan prasangka adalah perasaan mengenai hal baik atau buruk, benar atau salah, pantas atau tidak pantas dan lainlain. 3. Etnosentrisme. Nanda dan Warms (dalam Gudykunst, 2003: 331) menyebutkan, etnosentrisme merupakan pandangan bahwa budaya seseorang lebih unggul dibandingkan budaya lain. Pandangan bahwa budaya lain, dinilai berdasarkan standar budaya kita. Kita menjadi etnosentris ketika kita melihat budaya lain melalui kacamata budaya kita atau posisi sosial kita. Sebagaimana (Samovar, et, al. dalam Mulyana dan Rakhmat, 2010: 76), etnosentrisme adalah kecenderungan memandang orang lain, secara tidak sadar dengan menggunakan kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri sebagai kriteria untuk segala penilaian. Sumber utama perbedaan budaya dalam sikap adalah etnosentrisme.

13 27 4. Culture shock (gegar budaya). Kalvero Aberg (dalam Gudykunst, 2003: 335), gegar budaya ditimbulkan oleh rasa gelisah, sebagai akibat dari hilangnya semua tanda dan simbol yang biasa kita hadapi dalam hubungan sosial. Gegar budaya dapat menyebabkan rasa putus asa, lelah dan perasaan tidak nyaman Persepsi Budaya Adler (dalam Samovar, et al., 2010: 224) menyebutkan, persepsi merupakan suatu hal yang ditentukan oleh budaya. Kita belajar untuk melihat dunia dengan suatu cara tertentu yang didasarkan pada latar belakang budaya kita. Sebagaimana Wood (dalam Samovar, et al., 2010: 34), bahwa kita mempelajari pandangan dan pola budaya dalam proses komunikasi, ketika kita berinteraksi dengan orang lain, kita mengerti tentang kepercayaan, nilai, norma, dan bahasa budaya kita. Persepsi sering dianggap sebagai inti komunikasi. Sedangkan penafsiran atau interpretasi adalah inti persepsi yang identik dengan penyandian balik (decoding) dalam proses komunikasi (Riswandi, 2009: 50). Sementara itu hubungan manusia dalam proses komunikasi, tidak terlepas dari pengaruh budaya masing-masing pelaku komunikasi. Setiap kultur mempunyai aturan komunikasi sendiri-sendiri. Aturan ini menetapkan mana yang patut dan mana yang tidak patut (DeVito, 1997: 490). Samovar, et al. (2010: 221) menjelaskan bahwa persepsi merupakan suatu cara untuk membuat dunia fisik dan sosial menjadi masuk akal. Sementara Mulyana dan Rakhmat (2010: 25), mendefenisikan persepsi sebagai proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan

14 28 rangsangan dari lingkungan eksternal. Selanjutnya Sobur (2003: 445), mengemukakan persepsi dalam arti sempit ialah penglihatan, bagaimana seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Liliweri (2011: 153), menyebutkan persepsi merupakan proses di mana individu memilih, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan apa yang dibayangkan tentang dunia sekelilingnya. Sementara itu Matsumoto (2004: 60), mengungkapkan bahwa persepsi mengacu pada proses, di mana informasi inderawi diterjemahkan menjadi sesuatu yang bermakna. Desiderato (dalam Rakhmat, 2007: 51), menjelaskan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Hubungan sensasi dan persepsi sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi dan memori. Selanjutnya Mulyana (2001: ) menjelaskan beberapa sifatsifat persepsi, sebagai berikut: 1) Persepsi bersifat selektif. Setiap orang menerima begitu banyak rangsangan inderawi, bila manusia harus menafsirkan semua, ia bisa gila. Karena itu persepsi bersifat selektif dalam menafsirkan rangsangan yang diterima tersebut. 2) Persepsi bersifat dugaan. Karena data yang kita peroleh mengenai objek melalui penginderaan tidak pernah lengkap, persepsi merupakan loncatan langsung pada kesimpulan.

15 29 3) Persepsi bersifat evaluatif. Orang menjalani kehidupan dengan perasaan bahwa apa yang mereka persepsi adalah nyata. Mereka berfikir menerima pesan dan menafsirkannya sebagai suatu proses yang alamiah. Akan tetapi terkadang alat-alat indera dan persepsi kita menipu, sehingga perlu mengevaluasinya kembali. 4) Persepsi bersifat kontekstual. Suatu rangsangan dari luar harus diorganisasikan. Dari semua pengaruh yang ada dalam persepsi kita, konteks merupakan salah satu pengaruh paling kuat. Konteks yang melingkungi kita ketika melihat suatu objek, orang atau suatu kejadian yang sangat mempengaruhi struktur kognitif, pengharapan dan juga persepsi kita (a). Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi interpersonal Rakhmat (2007: 89-91), menjelaskan ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi interpersonal, yaitu: (1). Pengalaman Pengalaman mempengaruhi kecermatan persepsi. Pengalaman tidak selalu lewat proses belajar formal. Pengalaman kita bertambah juga melalui rangkaian peristiwa yang pernah kita hadapi. (2). Motivasi Proses konstruktif yang mewarnai persepsi interpersonal sangat banyak melibatkan unsur-unsur motivasi. Telah banyak penelitian tentang pengaruh motivasi sosial terhadap persepsi, seperti motif biologis, ganjaran dan hukuman, karakteristik kepribadian, dan perasaan terancam

16 30 karena persona stimuli. motif personal lainnya yang mempengaruhi persepsi interpersonal adalah kebutuhan untuk mempercayai dunia yang adil. Menurut Lerner (dalam Rakhmat, 2007: 89), kita perlu mempercayai bahwa dunia ini diatur secara adil. Orang diganjar dan dihukum karena perbuatannya. Bila kita melihat orang sukses, kita cenderung menanggapinya sebagai orang yang memiliki karakteristik baik. Motif dunia ini, sering mendistorsi persepsi kita. (3). Kepribadian Dalam psikoanalisis, dikenal proyeksi, sebagai salah satu cara pertahanan ego. Proyeksi adalah mengeksternalisasikan pengalaman subjektif secara tidak sadar. Orang melemparkan perasaan bersalahnya kepada orang lain. Pada persepsi interpersonal, orang mengenakan pada orang lain, sifat-sifat yang ada pada dirinya, yang tidak disenanginya. Kepribadian otoriter adalah sindrom kepribadian yang ditandai oleh ketegaran berpegangan pada nilai-nilai konvensional, hasrat berkuasa yang tinggi, kekakuan dalam hubungan interpersonal, kecenderungan melemparkan tanggung jawab pada sesuatu di luar dirinya, dan memproyeksikan sebab-sebab dari peristiwa yang tidak menyenangkan pada kekuatan di luar dirinya (b). Elemen-elemen yang mempengaruhi persepsi budaya. Sebagaimana dikutip dari pandangan Samovar, et al. tentang hal-hal yang mempengaruhi persepsi budaya, oleh Mulyana dan Rakhmat (2010: 26) diterjemahkan sebagai unsur-unsur sosio-budaya yang mempunyai pengaruh besar dan langsung atas makna-makna yang kita bangun dalam persepsi kita, yang terdiri dari: (1). sistem-sistem kepercayaan (belief), nilai (value), sikap (attitude);

17 31 (2). pandangan dunia (world view); dan (3). organisasi sosial (social organization). Sementara itu Lubis (2012: 63), menterjemahkan pandangan Samovar, et al. tersebut sebagai elemen-elemen pokok yang mempengaruhi persepsi budaya, yang terdiri dari: (1). pandangan dunia (world view) yang terdiri dari agama/sistem kepercayaan, nilai dan perilaku; (2). sistem lambang; dan (3). organisasi sosial. Kedua pendapat tersebut, tidak terlalu memiliki perbedaan yang signifikan. Selanjutnya elemen-elemen yang membentuk persepsi budaya, dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Pandangan Dunia (world view) Paige & Martin (dalam Lubis, 2012:64) menjelaskan, pandangan dunia merupakan satu lensa dari pada pandangan manusia yang memandang realitas dunia dan tentang kehidupan dunia. Isu-isu pandangan dunia bersifat abadi dan merupakan landasan paling dasar dari pada suatu budaya. Mulyana dan Rakhmat (2010: 28) mengatakan, pandangan dunia berkaitan dengan orientasi suatu budaya, terhadap hal-hal seperti Tuhan, kemanusiaan, alam semesta, dan masalahmasalah filosofis lainnya yang berkenaan dengan konsep makhluk. Pandangan dunia kita membantu kita untuk mengetahui posisi dan tingkatan kita dalam alam semesta. Sarbaugh (dalam Lubis, 2011: 81) menjelaskan, pandangan dunia sebagai sistem-sistem kepercayaan yang membentuk keseluruhan sistem berfikir tentang sifat-sifat sesuatu secara keseluruhan dan persepsinya terhadap lingkungan. Pandangan dunia (world view) orang Minang, seperti dikemukakan Navis (1984: 59), bahwa orang Minang menamakan tanah airnya sebagai Alam Minangkabau. Alam bagi mereka bukan hanya sebagai tempat lahir dan tempat

18 32 mati, tempat hidup dan berkembang, melainkan juga mempunyai makna filosofis, seperti pepatah mengatakan alam takambang manjadi guru yang artinya alam terkembang menjadi guru. Oleh karena itu, ajaran dan pandangan hidup mereka seperti yang dinukilkan dalam pepatah, petitih, pituah (nasehat), dan lain-lainnya mengambil ungkapan dari bentuk, sifat dan kehidupan alam. Alam dan segenap unsurnya bagi orang Minang, terdiri dari empat atau sering di sebut nan ampek (yang empat), atau dibagi dalam empat bentuk adat, yakni: (1) adat yang sebenarnya adat; (2) adat istiadat; (3) adat yang diadatkan; dan (4) adat yang teradat (Navis, 1984: 88-89). Berbeda budaya, akan berbeda pula keunikannya dan pandangan dunia yang terbentuk. Dalam pandangan dunia terdapat tiga unsur yang mempengaruhi yaitu : (a). Agama atau sistem kepercayaan. Agama mengikat orang bersama-sama dalam memelihara cara pandang budaya mereka (Samovar, et, al., 2010: 123). Peranan agama dalam suku manapun merupakan unsur utama, karena agama mengandung nilai-nilai universal yang berisikan pendidikan, pembinaan dan pembentukan moral dalam keluarga. Rogers dan Steinfatt (dalam Samovar, et al., 2010: 224), mengemukakan bahwa kepercayaan bekerja sebagai sistem penyimpanan bagi pengalaman masa lalu, termasuk pemikiran, ingatan dan interpretasi terhadap suatu peristiwa. Kepercayaan dibentuk oleh budaya seseorang. Pandangan dunia (world view) yang dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan pada adat istiadat Minang, di mana sebagian besar masyarakatnya memeluk agama Islam, seperti dikemukakan oleh Abdullah (1987: 104), bahwa

19 33 pada mulanya antara adat dan Islam memang terjadi konflik. Setidaknya demikian menurut peneliti-peneliti barat sejak masa penjajahan. Yaswirman (2011: 112) menyebutkan, perbenturan persepsi antara adat dan Islam muncul dalam bidang sosial kemasyarakatan, terutama bidang kekerabatan. Adat Minangkabau menganut sistem matrilineal, sedang Islam menganut parental bilateral atau menurut pemahaman para mujtahid menganut sistem patrilineal. Di Minangkabau suami tinggal bersama di rumah keluarga istri, sedang dalam Islam sebaliknya, istri tinggal di rumah yang disediakan suami. Dampaknya meluas kepada sistem perkawinan, perwalian, kepemilikan harta dan pewarisan. Kendati telah ada konsensus adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adat mamakai, namun mewujudkan persentuhan adat dan Islam dalam persoalan ini mengalami proses yang sangat panjang. (b). Nilai-nilai. Nilai-nilai adalah aspek evaluatif dari sistem-sistem kepercayaan, nilai dan sikap. Nilai-nilai menjadi rujukan seorang anggota budaya tentang apa yang baik dan apa yang buruk, yang benar dan yang salah, yang sejati dan yang palsu, positif dan negatif, dan sebagainya (Mulyana dan Rakhmat, 2010: 27). Meskipun memiliki penilaian yang unik tentang nilai, tetapi nilai-nilai itu tidak bersifat universal, karena kecenderungannya berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya, dan nilai-nilai itu dipelajari (Lubis, 2012: 67). Pandangan dunia yang dipengaruhi unsur nilai dalam tradisi pemberian uang jemputan sebagai syarat perkawinan, menunjukkan norma yang menjadi suatu keharusan. Karena kesepakatan mengenai uang jemputan ini, menjadi penentu batal atau tidaknya suatu perjodohan sebelum berlangsungnya

20 34 perkawinan (Yaswirman, 2011: 135). Sementara itu nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi uang jemputan adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap posisi laki-laki (suami) sebagai urang sumando atau orang yang datang ke keluarga istri, di mana uang jemputan tersebut, diberikan sebagai modal usaha bagi mereka untuk hidup berumahtangga (Maihasni, et. al, 2010: 178; dan Sjarifoedin, 2011: 477). (c). Sikap. Sikap adalah suatu kecenderungan yang diperoleh dengan cara belajar untuk merespons suatu objek secara konsisten. Sikap itu dipelajari dalam suatu konteks budaya. Bagaimanapun lingkungan kita, lingkungan itu akan turut membentuk sikap kita, kesiapan kita untuk merespons, dan akhirnya perilaku kita (Mulyana dan Rakhmat, 2010: 27). Sikap merupakan predisposisi mental individual untuk mengevaluasi suatu hal tertentu dalam beberapa derajat yang disukai atau yang tidak disukai. Secara umum setiap individu mempunyai sikap yang difokuskan kepada objek, orang atau institusi, bahkan peristiwa (Liliweri, 2011: 165). Sikap manusia terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: 1) Kognitif yang berkaitan dengan kepercayaan, teori, harapan, sebab dan akibat dari suatu kepercayaan, dan persepsi relatif terhadap objek tertentu; 2) Afektif yang menunjukkan perasaan, respek atau perhatian kita terhadap objek tertentu; dan 3) Konatif yang berisi kecenderungan untuk bertindak (memutuskan) atau mengimplementasikan perilaku sebagai tujuan terhadap objek (Liliweri, 2011: 166).

21 35 2. Sistem Lambang (verbal/non verbal). Forgas (dalam Lubis, 2012: 72), menyebutkan penggunaan sistem lambang seperti bahasa lisan sehari-hari mencatat suatu peristiwa komunikasi, di mana orang-orang setiap harinya saling berhubungan dari budaya yang sangat spesifik. Sedangkan Haviland (dalam Sihabuddin, 2013: 66) menyebutkan, bahasa adalah suatu sistem bunyi, yang digabungkan menurut aturan tertentu menimbulkan arti yang dapat ditangkap oleh semua orang yang berbicara dalam bahasa tersebut. Bahasa sebagai peta realitas budaya yang tidak dapat dialihkan secara sempurna ke dalam suatu bahasa lain. Bahasa sebagai wujud penyampaian pesan mempengaruhi persepsi, menyalurkan dan turut membentuk pikiran. Sementara itu, kode verbal dalam pemakaiannya menggunakan bahasa. Bahasa dapat didefenisikan sebagai seperangkat kata yang telah disusun secara berstruktur, sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung arti (Cangara, 2011: 101). Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem lambang terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar yang digunakan untuk menyajikan pengalaman-pengalaman dalam suatu komunitas geografis atau kebudayaan. Bahasa merupakan suatu sistem tidak pasti untuk menyajikan realitas secara simbolik, maka makna kata yang digunakan bergantung pada berbagai penafsiran (Porter dan Samovar dalam Mulyana dan Rakhmat, 2010: 30). Perwujudan dari perilaku adalah melalui sistem lambang yang digunakan seperti melalui percakapan, tertulis dan melalui isyarat badan (bahasa tubuh), penampilan dan lainnya (Ruben dalam Lubis, 2012: 72). Makna kata bajapuik dalam tradisi bajapuik yang disepakati oleh masyarakat Pariaman, mengandung

22 36 makna menghormati posisi laki-laki (suami) yang melibatkan barang-barang yang bernilai seperti emas atau uang, sehingga secara umum diartikan sebagai tradisi uang jemputan (Sjarifoedin, 2011: 477). Kata bajapuik yang berasal dari bahasa Minang, menyajikan realitas secara simbolik sehingga makna kata bajapuik akan dipahami perempuan Minang Pariaman yang pada akhirnya, mempengaruhi persepsinya tentang tradisi tersebut. Pengaruh bahasa pada persepsi budaya seperti dikemukakan Lubis (2011: ), bahwa bahasa yang digunakan oleh orang tua suku Tionghoa di rumah, juga berdampak kepada anak-anak dan lingkungan sekitar. Berbahasa Indonesia tidak mengecilkan atau menghilangkan identitas sebagai suku Tionghoa. Sedangkan Listiyorini (2007: 4) mengungkapkan penggunaan bahasa asing makin mendapatkan tempat dalam kehidupan masa kini, sementara penggunaan bahasa daerah kian terdesak. Sementara itu Porter dan Samovar (dalam Mulyana dan Rakhmat, 2010: 31) menyebutkan, sistem lambang juga mencakup lambang non verbal, seperti isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, postur dan gerakan tubuh, sentuhan, pakaian, artefak, diam, ruang, waktu dan suara. Cangara (2011: 105) mengatakan, manusia dalam berkomunikasi selain memakai kode verbal (bahasa), juga memakai kode non verbal. Kode non verbal biasanya disebut bahasa isyarat atau bahasa diam (silent language). 3. Organisasi Sosial (social organization) Organisasi sosial adalah cara bagaimana suatu kebudayaan dikomunikasikan kepada anggotanya. Ada dua organisasi sosial yang berperan dalam membentuk individu, yaitu keluarga dan sekolah (Samovar, et al. dalam

23 37 Lubis, 2012:76). Organisasi sosial yang berperan dalam proses komunikasi pada tradisi uang jemputan adalah keluarga. Galvin dan Brommel (dalam Budyatna dan Ganiem, 2012: 169), menyebutkan keluarga adalah sebuah kelompok manusia yang memiliki hubungan akrab yang mengembangkan rasa berumah tangga, dan identitas kelompok, lengkap dengan ikatan yang kuat mengenai kesetiaan dan emosi serta mengalami sejarah dan menatap masa depan. Keluarga merupakan perwujudan dari institusi tidak formal. Peranan keluarga sangat penting, seiring perjalanannya dari waktu ke waktu yang mana budaya luar akan mempengaruhi anak. Melalui keluarga, individu belajar mengenal kebudayaannya dan menilai kebudaannya paling baik dibandingkan kebudayaan suku lain, dan lain sebagainya. Organisasi sosial juga mencakup lembaga formal seperti sekolah. Melalui pendidikan di sekolah, seorang individu mengenal kebudayaan-kebudayaan etnis-etnis yang ada di dunia. Selain sekolah, peranan organisasi kemasyarakatan seperti serikat tolong menolong (STM), kelompok perkumpulan, maupun tempat bekerja, individu-individu yang berbeda budaya dapat saling belajar dan memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat pada masing-masing budaya (Lubis, 2012: 76-81) Komunikasi Keluarga Keluarga merupakan transmitor utama pengetahuan, nilai, perilaku, peranan dan kebiasaan dari generasi ke generasi. Melalui kata dan contoh, keluarga membentuk kepribadian seorang anak dan menanamkan pola fikir dan cara bertingkah laku, sehingga menjadi suatu kebiasaan (DeGenova dan Rice dalam Samovar, et al., 2010: 65). Hubungan antara perempuan Minang Pariaman dengan orang tua dan mamak (paman) adalah bentuk keluarga berdasarkan

24 38 hubungan darah, sebagaimana Djamarah (2004: 16) bahwa bentuk-bentuk keluarga berdasarkan dimensi hubungan darah, dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu : a) Keluarga kecil (keluarga inti) di sebut juga sebagai nuclear family adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. b) Keluarga besar di sebut sebagai extended family adalah keluarga inti di tambah dengan keluarga lainnya yang masih memiliki hubungan darah (kakek-nenek, paman-bibi, dan sebagainya). Selanjutnya Budyatna dan Ganiem (2012: 169) menyebutkan, kebanyakan fungsi mengenai sistem keluarga merupakan produk dari komunikasi di dalam keluarga. Fitzpatrick mengidentifikasi pola komunikasi dalam 4 (empat) tipe keluarga. Empat tipe pola komunikasi keluarga tersebut adalah sebagai berikut : a) Tipe Konsensual. Yaitu keluarga yang sangat sering melakukan percakapan, namun juga memiliki kepatuhan yang tinggi. Keluarga tipe ini suka sekali berkomunikasi secara terbuka dengan sesama anggota keluarga. Pemegang otoritas keluarga dalam hal ini orang tua adalah pihak yang membuat keputusan. b) Tipe Pruralistis. Yaitu keluarga yang sangat sering melakukan percakapan, namun memiliki kepatuhan yang rendah. Anggota keluarga sering sekali berkomunikasi secara terbuka, tetapi setiap orang dalam keluarga akan membuat keputusan masing-masing. Orang tua tidak merasa perlu untuk mengontrol anak-anak

25 39 mereka karena setiap pendapat di nilai berdasarkan pada kebaikannya, yaitu pendapat mana yang terbaik dan setiap orang turut serta dalam pengambilan keputusan. c) Tipe Protektif. Yaitu keluarga yang jarang melakukan komunikasi, namun memiliki kepatuhan yang tinggi, jadi terdapat banyak sifat patuh dalam keluarga tetapi sedikit komunikasi. Orang tua tidak melihat alasan penting, mengapa mereka harus menghabiskan banyak waktu untuk berbicara atau mengobrol. Mereka juga tidak melihat alasan, mengapa mereka harus menjelaskan keputusan yang telah mereka buat. d) Tipe Leissez-Faire. Yaitu keluarga yang jarang berkomunikasi satu sama lain dan juga memiliki kepatuhan yang rendah. Adanya sikap tidak peduli dan lepas tangan dengan apa yang dilakukan oleh anggota keluarga lain (dalam Morissan, 2014: ). Wursanto (dalam Djamarah, 2004: 36), menyebutkan bahwa komunikasi dapat berlangsung setiap saat, di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja dan dengan siapa saja. Sejak lahir, seseorang sudah mengadakan hubungan dengan kelompok masyarakat sekelilingnya. Kelompok pertama yang dialami oleh individu yang baru lahir, ialah keluarga yaitu dengan ibu, bapak dan anggota keluarga lainnya. Makin bertambah umurnya, makin luas pula hubungan yang dapat dijangkau oleh individu itu. Selain sebagai makhluk individu, manusia adalah makhluk sosial dan makhluk bermasyarakat.

26 40 Umur ideal untuk perkawinan dalam tradisi Minang adalah usia tahun bagi wanita, dan usia tahun bagi pria. Orang yang belum menikah pada umurnya yang ideal, akan menderita perasaan batin, baik yang bersangkutan maupun keluarganya. Oleh karenanya gadih gadang (gadis dewasa) yang belum menikah merupakan aib, bukan saja aib mamak (saudara kandung laki-laki ibu), yang bertanggung jawab pada kemenakan atau keponakannya, tapi juga aib kedua orang tua, bahkan aib orang sekampung (Depdikbud, 1978: 30) Adat Perkawinan Masyarakat Pariaman (a). Adat bagi masyarakat Minang. Amir (2006: 172) mengemukakan, masyarakat Minang harus tunduk pada ketentuan peraturan yang terdapat dalam Tali Tiga Sepilin. Ketiga peraturan yang disebut sebagai Tali Tiga Sepilin ini adalah adat Minang, agama Islam dan Undang-undang Negara. Pada kehidupan nyata, penerapan hukum yang terdapat dalam Tali Tiga Sepilin ini tidak selalu berjalan mulus. Ketiga peraturan tersebut seharusnya saling seiring sejalan, saling mengisi dan saling menguatkan. Pada kenyataannya, tidak jarang pula saling bertentangan dan berpotensi untuk saling berbenturan. Navis (1984: 88), menyebutkan bahwa adat bagi orang Minang adalah kebudayaan secara utuh yang dapat berubah. Namun ada adat yang tidak dapat berubah, seperti kata pepatah : kain dipasang usang, adaik dipakai baru (kain dipakai usang, adat dipakai baru). Maksudnya sebagaimana pakaian bila dipakai terus akan usang, sedangkan adat yang dipakai terus menerus senantiasa awet. Oleh karena ada adat yang tetap tidak berubah di samping yang berubah.

27 41 Adat di bagi dalam empat kategori, yakni: (1). adat yang sebenarnya adat; (2). adat istiadat; (3). adat yang diadatkan; dan (4). adat yang teradat. Navis (1978: 89) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan empat kategori adat tersebut adalah: (1). adat yang sebenarnya ialah adat yang asli yang tidak berubah, yang tak lapuk oleh hujan yang tak lekang oleh panas. Kalau dipaksa dengan keras mengubahnya, ia dicabuik indak mati, diasak indak layua (dicabut tidak mati, dipindahkan tidak layu). Adat yang lazim diungkapkan dalam pepatah dan petitih ini, seperti hukum alam yang merupakan falsafah hidup orang Minang. (2). adat istiadat ialah kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat umum atau setempat, seperti acara yang bersifat seremoni atau tingkah laku pergaulan yang bila dilakukan akan dianggap baik dan bila tidak dilakukan tidak apa-apa. Adat ini dalam mamangan (pepatah) diibaratkan seperti : pohon sayuran yang gadang dek diambak, tinggi dek dianjuang (besar karena dilambuk, tinggi karena dianjung), yang artinya adat itu akan dapat tumbuh karena dirawat dengan baik. (3). adat yang diadatkan ialah apa yang dinamakan sebagai undang-undang dan hukum yang berlaku, seperti yang didapatkan pada undang-undang luhak dan rantau, undang-undang nan dua puluh. Terhadap adat ini berlaku apa yang diungkapkan mamangan (pepatah) : jikok dicabuik mati, jikok diasak layua (jika dicabut (ia) mati, jika dipindahkan (ia) layu), seperti pohon yang telah hidup berakar, yang dapat tumbuh selama tidak ada tangan yang mengganggu hidupnya. (4). adat teradat ialah peraturan yang dilahirkan oleh mufakat atau konsensus masyarakat yang memakainya, seperti yang dimaksud mamangan (pepatah): patah tumbuah, hilang baganti (patah tumbuh, hilang berganti). Ibarat pohon yang patah karena bencana, maka ia akan dapat tumbuh lagi pada bekas patahannya. Kalau ia hilang, ia diganti pohon lain pada bekas tempatnya hilang karena pohon itu perlu ada untuk keperluan hidup manusia. Menurut Nasrun, adat Minangkabau merupakan suatu sistem pandangan hidup yang kekal, segar dan aktual, oleh karena didasarkan pada: 1. Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada alam yang nyata dan juga pada nilai positif, teladan baik serta keadaan yang berkembang. 2. Kebersamaan dalam arti seseorang untuk kepentingan bersama, dan kepentingan bersama untuk seseorang. 3. Kemakmuran yang merata.

28 42 4. Perimbangan pertentangan yakni pertentangan dihadapi secara nyata serta dengan mufakat berdasarkan alur dan kepatutan. 5. Meletakkan sesuatu pada tempatnya dan menempuh jalan tengah. 6. Menyesuaikan diri dengan kenyataan. 7. Segala sesuatunya berguna menurut tempat, waktu, dan keadaan (dalam Soekanto, 1983: 72-73). Tradisi uang jemputan merupakan kategori adat yang teradat. Sebagaimana Sjarifoedin (2011: 477), tradisi perkawinan bajapuik di Pariaman, termasuk ke dalam kategori adat nan teradat karena hanya berlaku di Pariaman, sedangkan di daerah lain tidak mengenal tradisi bajapuik (b). Perempuan dalam adat perkawinan Pariaman. Dalam adat Minang, etika yang harus dimiliki seorang perempuan selain patuh dan hormat kepada kedua orang tua, salah satunya adalah mendengarkan nasehat dan perintah mamak/pamannya. Meskipun mamaknya itu, seorang lakilaki yang lebih muda dibandingkan dengan umurnya, tetapi kalau mereka sudah akhil baligh, patutlah dipandang sebagai mamak juga (Dirajo, 2003: 164). Demikianlah adat Minang menempatkan peranan seorang mamak yang harus dipatuhi oleh perempuan Minang. Di Kota Pariaman, istilah gadih gadang indak balaki membuat seorang mamak orang Pariaman, sangat peduli untuk menyelesaikan masalah tersebut. Begitu pedulinya para mamak di Pariaman terhadap isu gadih gadang indak balaki ini, maka sesuai teori ekonomi demand curve, menaik se-iring meningkatnya tingkat permintaan hingga pada suatu saat terjadi penurunan tingkat suplai laki-laki yang mapan. Akibatnya merusak titik ekuilibrium dan memunculkan kolusi (dalam artian persaingan yang positif), artinya pihak keluarga anak gadis, siap memberikan kompensasi berapapun nilainya, asalkan anak gadisnya menikah dan mendapatkan suami. Dari kondisi tersebut muncul istilah uang hilang yang dalam prakteknya samasama dijalankan dengan uang jemputan. Uang jemputan akan dikembalikan dalam bentuk pemberian, berupa emas yang nilainya setara dengan nilai

29 43 yang diberikan oleh keluarga pihak pengantin wanita. Terkadang pemberian itu melebih nilai yang diterima oleh pihak marapulai (pengantin pria) sebelumnya, karena pemberian tersebut menyangkut gengsi keluarga marapulai itu sendiri (sumber: Pendapat senada disampaikan Sjarifoedin (2011: 471) bahwa gadis gadang indak balaki (gadis dewasa, namun belum menikah) di Pariaman, merupakan aib bagi keluarga. Kondisi ini membuat pihak keluarga perempuan yang terdiri dari ibu-bapak, mamak/paman dan ninik mamak dari pihak ibu, berusaha sekuat tenaga untuk mencarikan suami bagi anak kemenakannya, bahkan bersedia untuk membayar kepada pihak calon mempelai laki-laki. Terkadang jumlah uang jemputan yang diminta, tidak masuk akal sehingga membebani pihak perempuan (c). Tradisi uang jemputan dalam adat perkawinan Pariaman. Tradisi uang jemputan merupakan syarat terjadinya perkawinan yang berlaku bagi masyarakat di daerah Pariaman. Tradisi uang jemputan adalah memberikan sejumlah uang atau barang berharga lainnya oleh pihak perempuan, kepada pihak laki-laki sebagai syarat terjadinya perkawinan. Jumlah uang jemputan ditetapkan dengan kesepakatan bersama, antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan. Jika keluarga laki-laki setuju, peminangan bisa diterima. Jika tidak, berarti batal. Semakin tinggi kedudukan sosial laki-laki, semakin tinggi pula uang jemputannya. Uang jemputan diserahkan ketika acara manjapuik marapulai yaitu tradisi menjemput pengantin pria, sebelum melangsungkan akad nikah di rumah perempuan. Uang jemputan ini akan dikembalikan lagi oleh pihak laki-laki dalam bentuk perhiasan atau benda-benda berharga lainnya disebut panibo, yang diberikan saat manjalang mintuo yaitu pada saat perempuan berkunjung pertama kalinya ke rumah mertua (dalam Navis, 1984: 201; Maihasni,et. al., 2010: ; Yaswirman, 2011: 135; Sjarifoedin, 2011: 478; Naim, 2013: 329). Proses pelaksanaan tradisi uang jemputan seperti dikutip dalam Jurnal Depdikbud, Dirjen Kebudayaan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

30 44 Padang (2000: 29-59), berjudul Pola Hubungan Kekerabatan Masyarakat Pariaman dalam Upacara Perkawinan, adalah sebagai berikut : Bila ada orang Pariaman yang anak gadisnya telah siap menikah, maka orang tuanya akan mulai mencari jodoh untuk anak mereka. Saat mereka menemukan laki-laki yang dirasakan cocok, maka keluarga perempuan akan mengunjungi keluarga laki-laki tersebut, dinamakan marantak tanggo (menginjak tangga), acara ini sebagai tahap awal bagi seorang wanita mengenal calon suaminya, melalui pihak keluarganya. Bila dirasakan cocok, maka keluarga kedua belah pihak akan berunding dan melaksanakan acara mamendekkan hetongan, yaitu keluarga perempuan akan batandang (berkunjung) kembali, ke rumah calon mempelai laki-laki (marapulai), untuk melakukan musyawarah. Sebelum mamendekkan hetongan, orang tua anak daro (calon pengantin perempuan) akan menyampaikan maksud mereka, kepada mamak tungganai (paman anak daro dari pihak ibu yang paling tua). Biasanya mamak akan bertanya pada calon anak daro, apakah benar-benar siap akan menikah, karena biaya baralek (pesta) beserta isinya termasuk uang japuik (uang jemputan), akan dipersiapkan oleh keluarga perempuan. Bila keluarganya termasuk sederhana, maka keluarga akan mempertimbangkan menjual harato pusako (harta pusaka), untuk membiayai pernikahan. Kemudian dalam acara mamendekkan hetongan, kedua belah pihak akan membicarakan tentang besarnya uang japuik dan berbagai persyaratan lainnya. Sementara itu, Fiony Sukmasari menyebutkan syarat-syarat perkawinan dalam adat Minangkabau sebagai berikut: 1. Kedua calon mempelai harus beragama Islam. 2. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari nagari atau luhak yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari atau luhak yang lain. 3. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak. 4. Calon suami (marapulai) sudah mempunyai sumber penghasilan (dalam Amir, 2006: 12-13).

31 Kerangka Pemikiran Penelitian berikut: Kerangka pemikiran dalam penelitian ini, dapat digambarkan sebagai Elemen-elemen yang membentuk persepsi: 1. Pandangan dunia (agama/sistem kepercayaan, nilai-nilai dan sikap 2. Sistem lambang 3. Organisasi sosial Persepsi perempuan Minang Pariaman tentang tradisi uang jemputan Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian P E R U B A H A N S I K A P Dari bagan di atas, dapat dijelaskan alur pemikiran penelitian yang akan dilakukan. Persepsi budaya perempuan Minang Pariaman tentang tradisi uang jemputan, dibentuk oleh pandangan dunia (agama/sistem kepercayaan, nilai-nilai dan sikap); sistem lambang; dan organisasi sosial (dikembangkan dari pandangan Samovar dan Porter dalam Lubis, 2012: 61). Ketiga elemen tersebut, diasumsikan ikut berperan dalam proses pembentukan persepsi perempuan Minang Pariaman dan pada akhirnya akan terjadi perubahan cara pandang yang terlihat dalam sikap perempuan Minang Pariaman tersebut.

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan beragam etnis dan budaya. Terdiri

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan beragam etnis dan budaya. Terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan beragam etnis dan budaya. Terdiri dari ribuan pulau yang dipisahkan oleh lautan, menjadikan negara ini memiliki etnis serta

Lebih terperinci

LAMPIRAN HASIL WAWANCARA

LAMPIRAN HASIL WAWANCARA LAMPIRAN HASIL WAWANCARA 83 LAMPIRAN Wawancara Dengan Bapak Eriyanto, Ketua Adat di Karapatan Adat Nagari Pariaman. 1. Bagaimana Proses Pelaksanaan Tradisi Bajapuik? - Pada umumnya proses pelaksanaan perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Istilah komunikasi bukanlah suatu istilah yang baru bagi kita. Bahkan komunikasi itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari sejarah peradaban umat manusia, dimana pesan

Lebih terperinci

BAB VIII PENUTUP 8.1. Kesimpulan di Tataran Empirik

BAB VIII PENUTUP 8.1. Kesimpulan di Tataran Empirik BAB VIII PENUTUP 8.1. Kesimpulan di Tataran Empirik Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian yang dirumuskan sebelumnya, maka pada bab ini dapat dibuat kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era keterbukaan dan globalisasi yang sudah terjadi sekarang yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era keterbukaan dan globalisasi yang sudah terjadi sekarang yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Dalam era keterbukaan dan globalisasi yang sudah terjadi sekarang yang berkembang pesat ini, dunia pekerjaan dituntut menciptakan kinerja para pegawai yang baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau disebut makhluk bermasyarakat, selain itu manusia juga diberikan akal dan pikiran yang berkembang serta

Lebih terperinci

Thoha mendefinisikan bahwa persepsi pada hakikatnya adalah proses kognisi. yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang

Thoha mendefinisikan bahwa persepsi pada hakikatnya adalah proses kognisi. yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Persepsi Jalaludin Rahmat mengemukakan persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Antarbudaya Hal-hal yang sejauh ini dibicarakan tentang komunikasi, berkaitan dengan komunikasi antarbudaya. Fungsi-fungsi dan hubungan-hubungan antara komponen-komponen

Lebih terperinci

I.1 Latar Belakang Masalah

I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang lain dan kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai alat untuk mempersatukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dinamakan kematian. Peristiwa hukum tersebut menimbulkan akibat

BAB I PENDAHULUAN. yang dinamakan kematian. Peristiwa hukum tersebut menimbulkan akibat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai mahkluk hidup pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Peristiwa hukum tersebut menimbulkan akibat hukum yang berkaitan dengan pengurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Perkawinan betujuan untuk mengumumkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komunitas masyarakat matrilineal paling besar di dunia (Kato, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. komunitas masyarakat matrilineal paling besar di dunia (Kato, 2005). BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Minangkabau merupakan satu-satunya budaya yang menganut sistem kekerabatan matrilineal di Indonesia. Masyarakat Minangkabau merupakan komunitas masyarakat matrilineal

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 61 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Perkawinan Menurut Hukum Adat Minangkabau di Kenagarian Koto Baru, Kecamatan Koto Baru, Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat. Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sangat membutuhkan adanya suatu aturan-aturan yang dapat mengikat manusia dalam melakukan perbuatan baik untuk diri sendiri dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam masyarakat, perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan merupakan suatu pranata dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan yang baru akan membentuk satu Dalihan Natolu. Dalihan Natolu

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan yang baru akan membentuk satu Dalihan Natolu. Dalihan Natolu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Peristiwa penting tersebut dikaitkan dengan upacaraupacara yang bersifat

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abdullah, Taufik. (1987). Sejarah dan masyarakat lintasan historis Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus.

DAFTAR PUSTAKA. Abdullah, Taufik. (1987). Sejarah dan masyarakat lintasan historis Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik. (1987). Sejarah dan masyarakat lintasan historis Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus. Al Reza, Afdhal Dzikri. (2011). Pantangan perkawinan di Kota Pariaman ditinjau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perkawinan pada dasarnya merupakan manifestasi keinginan manusia untuk hidup berkelompok. Keinginan itu tercermin dari ketidakmampuan untuk hidup sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia terkenal dengan keragaman budayanya. Ragam budaya yang terdapat di Indonesia memiliki nilai-nilai budaya yang tinggi di tiap-tiap penganutnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan antar budaya telah menjadi fenomena dalam masyarakat modern, dengan WNA dari budaya barat (Sabon, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan antar budaya telah menjadi fenomena dalam masyarakat modern, dengan WNA dari budaya barat (Sabon, 2005). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan antar budaya telah menjadi fenomena dalam masyarakat modern, terutama di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta. Menurut Faradila, berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan budaya Indonesia mengalami pasang surut, pada awalnya, Indonesia sangat banyak mempunyai peninggalan budaya dari nenek moyang kita terdahulu, hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tapi juga dalam kehidupan bermasyarakat. Perkawinan merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. tapi juga dalam kehidupan bermasyarakat. Perkawinan merupakan suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan Indonesia tidak hanya memiliki pengaruh dalam keluarga, tapi juga dalam kehidupan bermasyarakat. Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencari dan menemukan pasangan hidup yang akhirnya akan. (Huvigurst dalam Hurlock, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. mencari dan menemukan pasangan hidup yang akhirnya akan. (Huvigurst dalam Hurlock, 2000). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap individu memiliki salah satu tugas perkembangan untuk mencari dan menemukan pasangan hidup yang akhirnya akan mengarahkan individu tersebut untuk melangsungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, beberapa budaya Indonesia yang terkikis oleh budaya barat sehingga generasi muda hampir melupakan budaya bangsa sendiri. Banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Komunikasi sebagai proses pertukaran simbol verbal dan nonverbal antara pengirim dan penerima untuk merubah tingkah laku kini melingkupi proses yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Perempuan merupakan kaum yang sering di nomor duakan di kehidupan sehari-hari. Perempuan seringkali mendapat perlakuan yang kurang adil di dalam kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PERNIKAHAN JAWA DAN MINANGKABAU

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PERNIKAHAN JAWA DAN MINANGKABAU KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PERNIKAHAN JAWA DAN MINANGKABAU (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pernikahan Jawa dan Minangkabau) NASKAH PUBLIKASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumarsono (2009) mengemukakan bahwa bahasa sebagai alat manusia untuk. apabila manusia menggunakan bahasa. Tanpa bahasa, manusia akan

I. PENDAHULUAN. Sumarsono (2009) mengemukakan bahwa bahasa sebagai alat manusia untuk. apabila manusia menggunakan bahasa. Tanpa bahasa, manusia akan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumarsono (2009) mengemukakan bahwa bahasa sebagai alat manusia untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan. Pikiran dan perasaan akan terwujud apabila manusia menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. watak pada individu. Karena salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya

BAB I PENDAHULUAN. watak pada individu. Karena salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebudayaan Indonesia mempunyai nilai yang tinggi karena merupakan suatu system yang dikembangkan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad lamanya, di dalam kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Indonesia merupakan sebuah negara yang terkenal akan keanearagaman budaya yang dimiliki setiap suku bangsa yang mendiami wilayahnya. Kemajemukan Indonesia tercermin

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB I. PENGANTAR... 1

DAFTAR ISI BAB I. PENGANTAR... 1 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i PERNYATAAN... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR ISTILAH... viii DAFTAR TABEL DAN GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xiii INTISARI... xiv ABSTRACT... xv BAB I. PENGANTAR... 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam kehidupan manusia, setiap pasangan tentu ingin melanjutkan hubungannya ke jenjang pernikahan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Minangkabau. Tradisi ini dapat ditemui dalam upacara perkawinan, batagak gala

BAB I PENDAHULUAN. Minangkabau. Tradisi ini dapat ditemui dalam upacara perkawinan, batagak gala BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bararak adalah suatu tradisi yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Tradisi ini dapat ditemui dalam upacara perkawinan, batagak gala (pengangkatan) penghulu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi dalam hidupnya. Kebutuhan akan komunikasi diawali dengan asumsi

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi dalam hidupnya. Kebutuhan akan komunikasi diawali dengan asumsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan komunikasi dalam hidupnya. Kebutuhan akan komunikasi diawali dengan asumsi bahwasanya komunikasi berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi. Dalam interaksi antar manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perlawanan budaya merupakan perjuangan hak yang bertentangan agar terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan untuk melakukan perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, yang memiliki keragaman atas dasar suku (etnis), adat istiadat, agama, bahasa dan lainnya. Masyarakat etnis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumatera merupakan pulau yang memiliki sejumlah suku besar berciri khas tradisional. Suku yang terkenal adalah Minangkabau, Aceh, Batak, Melayu, dan ada juga sejumlah suku-suku

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut menunjukkan bahwa perempuan memiliki posisi vital di tengah-tengah keluarga dengan segala fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. generasi ke generasi lainnya dalam suatu masyarakat tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. generasi ke generasi lainnya dalam suatu masyarakat tertentu. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang hidup dalam ruang lingkup budayannya masing-masing. Budaya yang beraneka ragam ini menunjukan bahwa

Lebih terperinci

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S-1 Psikologi Diajukan oleh: SITI SOLIKAH F100040107 Kepada FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Komunikasi Antarbudaya Dalam ilmu sosial, individu merupakan bagian terkecil dalam sebuah masyarakat yang di dalamnya terkandung identitas masing-masing. Identitas tersebut yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kebanggaan dan nilai tersendiri bagi kelompok sukunya. Setiap suku

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kebanggaan dan nilai tersendiri bagi kelompok sukunya. Setiap suku BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Setiap suku biasanya memiliki tradisi yang menjadi keunikan tersendiri yang menjadi kebanggaan dan nilai tersendiri bagi kelompok sukunya. Setiap suku bangsa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Perkembangan Sosial 2.1.1 Pengertian Perkembangan Sosial Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berprilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang mampu

Lebih terperinci

IMPLIKATUR PASAMBAHAN DALAM BATAGAK GALA DI KANAGARIAN PAUH V SKRIPSI

IMPLIKATUR PASAMBAHAN DALAM BATAGAK GALA DI KANAGARIAN PAUH V SKRIPSI IMPLIKATUR PASAMBAHAN DALAM BATAGAK GALA DI KANAGARIAN PAUH V SKRIPSI Disusun untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar sarjana SI pada Jurusan Satra Daerah Diajukan oleh : IMELDA NIM 06186002 JURUSAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang menggambarkan ciri khas daerah tersebut. Seperti halnya Indonesia yang banyak memiliki pulau,

Lebih terperinci

Sugeng Pramono Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta

Sugeng Pramono Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta 74 Komuniti, Vol. VII, No. 2, September 2015 CULTURE SHOCK SANTRI LUAR JAWA DI LINGKUNGAN PONDOK PESANTREN DI JAWA (STUDI DESKRIPTIF KUALITATIF CULTURE SHOCK SANTRI ETNIS LUAR JAWA DENGAN SANTRI ETNIS

Lebih terperinci

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO. 42 BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN 1974 A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.1/1974 Pelaksanaan Pernikahan Suku Anak Dalam merupakan tradisi

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan ASPEK PENDIDIKAN NILAI RELIGIUS DALAM PROSESI LAMARAN PADA PERKAWINAN ADAT JAWA (Studi Kasus Di Dukuh Sentulan, Kelurahan Kalimacan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen) NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Konteks Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Konteks Masalah Penyesuaian diri terhadap lingkungan yang baru dijajaki merupakan proses awal untuk dapat bertahan hidup dalam sebuah lingkungan baru. Berbagai masalah-masalah akan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita.

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Selain merubah status seseorang dalam masyarakat, pernikahan juga merupakan hal yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya.

BAB I PENDAHULUAN. budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. Umumnya manusia sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku X di Kabupaten Papua yang menganut tradisi potong jari ketika salah seorang anggota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mandailing, suku Batak, suku Jawa, suku Minang dan suku Melayu.Setiap

BAB I PENDAHULUAN. Mandailing, suku Batak, suku Jawa, suku Minang dan suku Melayu.Setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terdiri dari beragam-ragam suku diantaranya suku Mandailing, suku Batak, suku Jawa, suku Minang dan suku Melayu.Setiap suku tersebut memiliki kebudayaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS. (interpersonal communication). Diambil dari terjemahan kata interpersonal, yang

BAB II KAJIAN TEORITIS. (interpersonal communication). Diambil dari terjemahan kata interpersonal, yang BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Pengertian Komunikasi Antarpribadi Komunikasi antarpribadi disebut juga dengan komunikasi interpersonal (interpersonal communication). Diambil dari terjemahan kata interpersonal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para

BAB I PENDAHULUAN. dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Daerah Sumatera Barat beserta masyarakatnya, kebudayaannya, hukum adat dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para cendikiawan

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebudayaan dalam arti luas adalah perilaku yang tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan manusia, komunikasi merupakan sarana dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan manusia, komunikasi merupakan sarana dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan manusia, komunikasi merupakan sarana dalam berinteraksi sebagai suatu usaha atau kegiatan untuk menyampaikan ide atau gagasan kepada orang lain. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Komunikasi merupakan suatu alat penghubung antara yang satu dengan yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Komunikasi merupakan suatu alat penghubung antara yang satu dengan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi merupakan suatu alat penghubung antara yang satu dengan yang lain, baik itu komunikasi Verbal maupun Non verbal. Dimana tanpa adanya komunikasi maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 14 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Komunikasi merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Menurut Effendy (2009: 5), komunikasi adalah aktivitas makhluk sosial. Dalam praktik komunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penuturnya dilindungi oleh Undang-undang Dasar Dalam penjelasan Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. penuturnya dilindungi oleh Undang-undang Dasar Dalam penjelasan Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia terdapat berbagai ragam bahasa daerah. Bahasa daerah hidup berdampingan dengan bahasa Indonesia. Semua bahasa daerah yang dipakai penuturnya dilindungi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengubah atau mengembangkan karakter individu. Karakter yang dimaksud

BAB I PENDAHULUAN. mengubah atau mengembangkan karakter individu. Karakter yang dimaksud BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan kegiatan yang esensial didalam setiap kehidupan masyarakat. Pendidikan tidak mungkin terjadi atau terlepas dari kehidupan bermasyarakat. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Minangkabau merupakan salah satu dari antara kelompok etnis utama bangsa

BAB I PENDAHULUAN. Minangkabau merupakan salah satu dari antara kelompok etnis utama bangsa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya menempati posisi sentral dalam tatanan hidup manusia. Manusia tidak ada yang dapat hidup di luar ruang lingkup budaya. Budaya dapat memberikan makna pada hidup

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep 2.1.1 Makna Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam

BAB I PENDAHULUAN. turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tradisi merupakan kebiasaan dalam suatu masyarakat yang diwariskan secara turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam suatu masyarakat.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai

I. PENDAHULUAN. Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai suku bangsa, golongan, dan lapisan sosial. Sudah tentu dalam kondisi yang demikian

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL

BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Karakteristik Etnis Arab dan Etnis Sunda Kata Arab sering dikaitkan dengan wilayah Timur Tengah atau dunia Islam. Negara yang berada di wilayah Timur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan totalitas latar belakang dari sistem nilai, lembaga dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu merupakan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. pemahaman bahwa perempuan berada dalam posisi yang kuat. Perempuan

BAB V KESIMPULAN. pemahaman bahwa perempuan berada dalam posisi yang kuat. Perempuan BAB V KESIMPULAN Matrilineal seperti yang telah banyak kita fahami, membawa kepada pemahaman bahwa perempuan berada dalam posisi yang kuat. Perempuan memiliki posisi tawar yang baik dalam pengambilan keputusan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berarti bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lain dan hidup

BAB I PENDAHULUAN. yang berarti bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lain dan hidup 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap manusia dilahirkan seorang diri, tetapi manusia adalah makhluk sosial yang berarti bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lain dan hidup bermasyarakat

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. ekonomi dan karena kurangnya perhatian dari orang tua. memahami lagi falsafah adat yang ada di Minangkabau Adat Basandi

BAB IV PENUTUP. ekonomi dan karena kurangnya perhatian dari orang tua. memahami lagi falsafah adat yang ada di Minangkabau Adat Basandi BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai pandangan dan sikap masyarakat terhadap bunuh diri dapat kita simpulkan antara lain: 1 Dalam melihat gambaran umum pelaku dan keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki beranekaragam suku bangsa, tentu memiliki puluhan bahkan ratusan adat budaya. Salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makna bagi dunianya melalui adaptasi ataupun interaksi. Pola interaksi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. makna bagi dunianya melalui adaptasi ataupun interaksi. Pola interaksi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang mampu menciptakan makna bagi dunianya melalui adaptasi ataupun interaksi. Pola interaksi merupakan suatu cara, model, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persahabatan, pertemanan, perkumpulan dan juga perkawinan. Komunikasi. orang lain, sekecil apapun perbedaan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. persahabatan, pertemanan, perkumpulan dan juga perkawinan. Komunikasi. orang lain, sekecil apapun perbedaan tersebut. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada hakekatnya manusia adalah makhluk sosial. Karena itu manusia tidak hidup sendirian. Perwujudan manusia sebagai makhluk sosial nampak dalam persahabatan,

Lebih terperinci

ABSTRAK. A. Latar belakang masalah

ABSTRAK. A. Latar belakang masalah Judul Studi kasus : Penyesuaian menantu perempuan yang tinggal di rumah mertua yang berbeda suku Nama : Ika wahyuni NPM :10501147 NIRM : 20013137380050146 Pembimbing : M. Fakhrurrozi, M.psi, psi A. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya dan komunikasi merupakan dua hal yang kaitannya sangat erat. Seseorang ketika berkomunikasi pasti akan dipengaruhi oleh budaya asalnya. Hal tersebut juga menunjukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat ditunjukkan oleh manusia lain sebagai pelaku komunikasi. berupa ekspresi, gerak tubuh, maupun simbol simbol tertentu yang

BAB I PENDAHULUAN. dapat ditunjukkan oleh manusia lain sebagai pelaku komunikasi. berupa ekspresi, gerak tubuh, maupun simbol simbol tertentu yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi merupakan hal yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Tindakan, ucapan, bahkan ekspresi manusia dapat disebut dengan bentuk komunikasi baik antara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu budaya yang melekat pada diri seseorang karena telah diperkenalkan sejak lahir. Dengan kata lain,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi yang dilakukan oleh manusia merupakan suatu proses yang melibatkan individu dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi dan masyarakat yang merespon dan menciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pusaka peninggalan mayit kepada ahli warisnya. 1

BAB I PENDAHULUAN. pusaka peninggalan mayit kepada ahli warisnya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waris adalah perpindahan harta milik atau perpindahan pusaka.sehingga secara istilah ilmu waris adalah ilmu yang mempelajari tentang perpindahan harta pusaka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebudayaan suatu bangsa tidak hanya merupakan suatu aset, namun juga jati diri. Itu semua muncul dari khasanah kehidupan yang sangat panjang, yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti marsombuh sihol dan rondang bittang serta bahasa (Jonris Purba,

BAB I PENDAHULUAN. seperti marsombuh sihol dan rondang bittang serta bahasa (Jonris Purba, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Simalungun merupakan salah satu suku dengan ragam keunikan yang dimiliki, tanah yang subur, masyarakat yang ramah dan lemah lembut. Memiliki kekayaan warisan budaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keturunan, seperti penarikan garis keturunan secara patrilineal artinya hubungan

BAB I PENDAHULUAN. keturunan, seperti penarikan garis keturunan secara patrilineal artinya hubungan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Indonesia terdiri dari beragam etnis, seperti etnis Jawa, etnis Melayu, etnis Minang, serta etnis Batak. Setiap etnis ini memiliki budaya dan sistem kekerabatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem kekerabatan yang dianut masyarakat Indonesia umumnya adalah masyarakat patrilineal. Patrilineal adalah kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. garis keturunan berdasarkan garis bapak (patrilinial), sedangkan pada masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. garis keturunan berdasarkan garis bapak (patrilinial), sedangkan pada masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada umunmya sistem kekerabatan suku bangsa yang ada di Indonesia menarik garis keturunan berdasarkan garis bapak (patrilinial), sedangkan pada masyarakat Minangkabau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang Pariaman ditemukan oleh Tomec Pires ( ), seorang

BAB I PENDAHULUAN. tentang Pariaman ditemukan oleh Tomec Pires ( ), seorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pariaman di zaman lampau merupakan daerah yang cukup dikenal oleh pedagang bangsa asing semenjak tahun 1.500-an. Catatan tertua tentang Pariaman ditemukan oleh Tomec

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERNIKAHAN DALAM ADAT BATAK TOBA 2.1 SISTEM SOSIAL MASYARAKAT BATAK TOBA

BAB II GAMBARAN UMUM PERNIKAHAN DALAM ADAT BATAK TOBA 2.1 SISTEM SOSIAL MASYARAKAT BATAK TOBA BAB II GAMBARAN UMUM PERNIKAHAN DALAM ADAT BATAK TOBA 2.1 SISTEM SOSIAL MASYARAKAT BATAK TOBA Adat bagi masyarakat Batak Toba merupakan hukum yang harus dipelihara sepanjang hidupnya. Adat yang diterima

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Agama Republik Indonesia (1975:2) menyatakan bahwa : maka dilakukan perkawinan melalui akad nikah, lambang kesucian dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Agama Republik Indonesia (1975:2) menyatakan bahwa : maka dilakukan perkawinan melalui akad nikah, lambang kesucian dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkawinan merupakan peristiwa hukum yang terjadi didalam hidup bermasyarakat yang menyangkut nama baik keluarga ataupun masyarakat. Hal ini diterangkan dalam buku

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. perkawinan yang pantang oleh adat. Di Kenagarian Sungai Talang yang menjadi

BAB V PENUTUP. perkawinan yang pantang oleh adat. Di Kenagarian Sungai Talang yang menjadi 1 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Pelanggaran kawin sasuku pada masyarakat Minangkabau dianggap sebagai perkawinan yang pantang oleh adat. Di Kenagarian Sungai Talang yang menjadi lokasi penelitian ini terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada tujuh unsur kebudayaan universal. Salah satu hal yang dialami

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada tujuh unsur kebudayaan universal. Salah satu hal yang dialami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberagaman suku bangsa di Indonesia telah melahirkan ragamnya adat - istiadat dan kepercayaan pada setiap suku bangsa. Tentunya dengan adanya adatistiadat tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dalam menjalankan tata hukum di Indonesia. Oleh sebab itu, untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pulau dan bersifat majemuk. Kemajemukan itu berupa keanekaragaman ras,

BAB I PENDAHULUAN. pulau dan bersifat majemuk. Kemajemukan itu berupa keanekaragaman ras, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau dan bersifat majemuk. Kemajemukan itu berupa keanekaragaman ras, suku, dan kebudayaan di setiap

Lebih terperinci

Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian

Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian LAMPIRAN 143 144 Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian 145 146 Lampiran 3 Pengukuran Variabel Penelitian untuk Jawaban Pengetahuan No. Pernyataan Betul Salah Pengetahuan tentang keluarga sistem matrilineal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pangan dalam kehidupannya, yaitu dengan mengolah dan mengusahakan

BAB I PENDAHULUAN. pangan dalam kehidupannya, yaitu dengan mengolah dan mengusahakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Tanah merupakan benda tidak bergerak yang mutlak perlu bagi kehidupan manusia. Hal ini dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari seseorang melakukan komunikasi, baik

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari seseorang melakukan komunikasi, baik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari seseorang melakukan komunikasi, baik antarindividu maupun dengan kelompok. Selama proses komunikasi, komunikator memiliki peranan yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan salah satu sunatullah yang berlaku pada semua mahluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuhan. Dengan naluri mahluk, dan masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan komunikasi. Dalam buku Komunikasi AntarBudaya, Jalaluddin Rakhmat dan Deddy

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan komunikasi. Dalam buku Komunikasi AntarBudaya, Jalaluddin Rakhmat dan Deddy BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Seluruh manusia tercipta sebagai makhluk sosial, yang dimana tak pernah terlepas dalam kegiatan komunikasi. Dalam buku Komunikasi AntarBudaya, Jalaluddin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdahulu, dan harta ini berada dibawah pengelolahan mamak kepala waris (lelaki

BAB I PENDAHULUAN. terdahulu, dan harta ini berada dibawah pengelolahan mamak kepala waris (lelaki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah pusako adalah tanah hak milik bersama dari pada suatu kaum yang mempunyai pertalian darah dan diwarisi secara turun temurun dari nenek moyang terdahulu,

Lebih terperinci